Download - Intoleransi Laktosa Diantara Anak
Intoleransi Laktosa pada anak-anak dengan gizi buruk dan diare yang diakui
oleh pusat gizi, rumah sakit Mulago, Uganda.
Richard Nyeko, Israel Kalyesubula, Edison Mworozi dan Hanifa Bachou.
Abstrak
Latar belakang
Intoleransi laktosa merupakan komplikasi diare yang umum terjadi pada bayi dengan
malnutrisi dan merupakan penyebab kegagalan dalam suatu pengobatan. Kombinasi kelainan
gizi dengan infeksi mengakibatkan kekurangan energi protein dimana terjadi pengurangan
kapasitas mukosa usus dalam menghasilkan enzim laktase.
Penatalaksaan standar pada pasien dengan gizi buruk meliputi rehabilitasi gizi dengan
pemberian susu formula yang mengandung laktosa. Walaupun demikian, pada beberapa anak
yang berisiko mengalami intoleransi laktosa kemungkinan tidak dapat mencapai hasil
penatalaksanaan yang diinginkan. Studi ini bertujuan untuk membuktikan hubungan terjadinya
intoleransi laktosa dengan faktor-faktor yang berkorelasi dalam masyarakat.
Metode
Studi deskriptif ini dilakukan di Mwanamugimu Nutrition Unit (MNU), rumah sakit
Mulago pada bulan Oktober 2006 sampai Februari 2007 dan melibatkan 196 anak dengan gizi
buruk dan diare yang berusia 3- 60 bulan.
Hasil
Studi penelitian yang dilakukan selama periode tersebut menunjukkan bahwa 196 anak
dengan gizi buruk dan diare, 50 (25.5%) dari anak-anak tersebut mengalami intoleransi laktosa
(reduksi tinja ≥ 1 + [0.5%] dan pH feses < 5.5) dan gizi buruk umumnya lebih banyak terjadi
pada anak-anak yang mengalami kwashiorkor 27/75 (36.0%) dibandingkan dengan marasmus
dan kwashiorkor 6/25 (24.0%) dan marasmus 17/96 (17.7%). Gizi buruk disertai dengan edema
(p= 0.032), erosi kulit perianal (p= 0.044), frekuensi buang air besar yang meningkat (p= <0.001)
dan mengalami diare sebanyak 2 kali dalam periode 3 bulan (p= 0.007) merupakan predictor
independen terjadinya intoleransi laktosa.
Faktor lain yang memiliki korelasi bermaknaterhadap intoleransi laktosa diantaranya
adalah usia 3-12 bulan; imunisasi yang tidak lengkap; diare persisten; muntah-muntah; dehidrasi
dan perut kembung. Asi eksklusif kurang dari 4 bulan dan diare yang semakin parah dalam
1
proses pengobatan dengan inisiasi susu juga merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya
intoleransi laktosa.
Kesimpulan
Prevalensi terjadinya intoleransi laktosa pada studi ini relatif tinggi, yakni mencapai 25.5
%. Skrining feses rutin yang dilakukan berupa pH feses dan reduksi tinja sebaiknya dilakukan,
khususnya pada anak-anak yang mengalami gizi buruk dan diare dengan edema, erosi kulit
perianal, tingginya frekuensi buang air besar serta mengalami riwayat diare ≥ 2 kali dalam
waktu 3 bulan. Penggunaan diet bebas laktosa seperti yogurt dapat dipertimbangkan
pemberiannya bagi anak-anak yang terbukti mengalami intoleransi laktosa dan rendah
responsnya terhadap terapi dengan susu formula.
2
I. Latar Belakang
Intoleransi laktosa merupakan komplikasi diare yang umum terjadi pada bayi dengan gizi
buruk dan merupakan penyebab gagalnya suatu pengobatan. Prevalensi terjadinya intoleransi
laktosa sekunder adalah 26% sampai 100% pada anak-anak. Aktivitas enzim laktase berkurang
pada pasien dengan kwashiorkor bahkan pada derajat rendah sekalipun. Intoleransi karbohidrat
lebih banyak terjadi pada penderita kwashiorkor (48.3%) dibandingkan dengan marasmus (15%),
marasmus- kwashiorkor (20%) dan anak-anak yang dalam keadaan stabil (23.5%). Kwashiorkor
juga berhubungan dengan kemampuan penyerapan zat gizi pada pasien. Sebagai akibatnya,
pasien dengan kwashiorkor juga mengalami penurunan kadar vitamin dan mineral dan hal
tersebut juga mendukung terjadinya kerusakan yang lebih parah terhadap mukosa usus dan
proliferasi bakteri abnormal dalam usus dan terjadinya imunodefisiensi.
Anak dengan kurang energi protein pada umumnya mengalami penurunan aktifitas enzim
laktase. Intoleransi laktosa sekunder dapat terjadi pada semua usia namun lebih banyak terjadi
pada bayi.
Manifestasi klinis intoleransi laktosa adalah tinja cair yang bersifat asam, perut kembung,
dan flatus yang berlebihan. Erosi kulit perianal yang merupakan akibat dari kontak kulit dengan
tinja yang bersifat asam juga manifestasi klinik yang sering ditemukan. Angka kejadian
intoleransi laktosa meningkat secara bermakna pada anak-anak yang memiliki riwayat diare dan
dehidrasi yang berkorelasi dengan diare osmotik.
Dalam suatu penelitian, intoleransi susu pada kasus diare lebih banyak terjadi pada anak
yang terinfeksi giardia. Studi yang dilakukan Pettoello dan rekannya di Italia juga menemukan
korelasi antara malabsorpsi laktosa dengan anak-anak yang terinfeksi giardiasis dimana
prevalensinya 45 %.
Angka kematian pada anak-anak yang mengalami gizi buruk sangat tinggi (24 % kejadian
pada saat penelitian ini dilakukan). Kematian ini sebagian diakibatkan adanya dehidrasi yang
memperburuk keadaan defisiensi enzim laktase.
3
II. Metode
Tempat studi
Studi dilakukan di Mwanamugimu Nutrition Unit (MNU) of Mulago Hospital, Kampala,
rumah sakit pendidikan bagi Makerere University College of Health Sciences. Bagian pediatrik
dan kesehatan anak merupakan salah satu departemen terbesar di rumah sakit tersebut, menerima
pendaftaran lebih dari 10 000 anak setiap tahunnya. MNU memiliki kapasitas 72 kasur yang
secara khusus menangani anak dengan gizi buruk dengan rata-rata pendaftaran pasien 50-70
pasien setiap bulannya, sekitar 50% pasien datang dengan diare, dan sisanya datang dengan
penyakit yang bervariasi sesuai dengan musim.
Pola studi
Studi penelitian ini menggunakan penelitian cross- sectional. Sampel penelitian dihitung
berdasarkan rumus Leslie Kish (The Leslie Kish Formula) dan prevalensinya sebesar 15 %
ditemukan oleh Tolboom pada anak marasmus Besotho.
Populasi penelitian terdiri atas anak-anak dengan gizi buruk dan diare yang berusia 3-60
bulan, diakui sebagai pasien di rumah sakit Mulago selama studi ini berlangsung. Klasifikasi gizi
buruk menurut WHO (World Health Organizations) : penderita gizi buruk adalah seorang anak
dengan berat badan menurut tinggi badan kurang dari -3SD atau kurang dari 70 % baku median
WHO-NCHS (National Centre for Health Statistics), atau anak-anak yang mengalami pitting
edema pada kakinya (pitting pedal oedema). Adapun klasifikasi Wellcome menyebutkan bahwa
penderita kwashiorkor adalah anak dengan berat badan menurut usia 60-80 % baku median
dengan adanya edema pada kaki, marasmus adalah gizi buruk dengan berat badan
menurut usia < 60% dan tidak ada edema, atau marasmus-kwashiorkor dimana berat badan
menurut usia < 60 % disertai edema pada kedua kakinya. Anak-anak yang diet dengan makanan
bebas laktosa tidak masuk dalam sampel penelitian ini.
Pengumpulan data/ prosedur studi penelitian
Pengumpulan data yang dilakukan penulis dilakukan berdasarkan pengelompokkan
sampel dan pemberian kuesioner serta pemeriksaan tinja pasien dalam waktu 24 jam setelah
diberikan susu yang mengandung laktosa. Adapun pemeriksaan feses yang dilakukan meliputi
pemeriksaan pH dan reduksi tinja. Pemeriksaan positif apabila reduksi tinja sama atau lebih
4
daripada 1+(=0.5%) dan pH tinja < 5.5. Pemeriksaan mikroskopi terhadap tinja bertujuan untuk
mengetahui adakah ditemukannya lemak, telur cacing atau kista, parasit (giardiasis), sel radang
dan jamur (Candida albicans). Penilaian yang cepat untuk mengetahui ada/ tidaknya komplikasi
adalah adanya hipotermia, dehidrasi, dan atau syok serta infeksi. Pasien juga telah mendapatkan
terapi sebelum dilakukan penelitian. Tujuan penelitian ini bermannfaat bagi orang tua maupun
pengasuh anak. Pada penelitian ini juga dilakukan pre-test konseling HIV.
Prosedur laboratorium
Pemeriksaan sampel darah sebelumnya telah dilakukan untuk pemeriksaan HIV.
Konseling mengenai hasil pemeriksaan tersebut akan dilakukan secepatnya setelah hasilnya
keluar. Semua anak yang ditemukan positif HIV akan dialih rawatkan ke bagian klinik penyakit
infeksi pediatrik (Paediatric Infectious Disease Clinic / PIDC) untuk mendapatkan penanganan
yang sesuai. Hal ini juga dilakukannya pada ibunya yang menderita HIV.
Pemeriksaan pH tinja dilakukan dengan menggunakan kertas pH sedangkan pemeriksaan
reduksi tinja menggunakan larutan Benedict. Pemeriksaan ini dilakukan pada laboratorium yang
memiliki tenaga kerja handal serta reputasi yang terpercaya di rumah sakit Mulago.
Pengaturan Data dan analisis data
Data dikumpulkan dan dimasukkan dalam suatu sistem komputerisasi yang menggunakan
Epidata 3.1. Semua data yang telah terkumpul sebelum analisa data telah dilakukan pemeriksaan
ulang untuk memeriksa kelengkapan data serta keakuratan data. Analisa data dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak Statistical Package for Social Sciences (SSPS II). Adapun
variabel yang digunakan berupa rata-rata (means), median, serta deviasi standar (DS)
Dalam analisis data ini juga digunakan odds ratio serta test Chi-square yang digunakan
sebagai kekuatan data dan mengetahui korelasi antar faktor-faktor terkait dengan variabel
dependen sementara tes student digunakan untuk variabel selanjutnya.
Adanya multivariabel data digunakan untuk menentukan faktor independen yang
menunjukkan korelasi terhadap intoleransi laktosa. Nilai p < 0.05 dapat dipertimbangkan adanya
korelasi bermakna dalam data statistik ini. Adapun hasil penelitian ini telah disimpulkan pada
tulisan, tabel, serta grafik yang tercantum pada jurnal penelitian ini.
5
Pertimbangan etik
Penelitian ini melibatkan badan etika dan komite penelitian dari universitas Makere serta
persatuan penelitian dan teknologi nasional Uganda (Ethics and Research Committee of The
School of Health Sciences, Makerere University, and The Uganda National Council for Science
and Technology). Informed consent (pernyataan persetujuan) telah dilakukan sebelum penelitian
dilakukan kepada orang tua maupun pengasuh anak.
6
III. Hasil penelitian
Studi penelitian ini melibatkan196 anak yang berusia 3-60 bulan (rata-rata umur 15.5
bulan dan median 12 bulan). 64 (32.7%) dalam studi penelitian anak ini ditemukan positif HIV
dan hanya satu diantara mereka yang menjalani pengobatan dengan menggunakan antiretrovirus.
113 (57.7%) adalah laki-laki dan hanya 50.0% (98/116) yang telah melakukan imunisasi.
Angka prevalensi intoleransi laktosa sebesar 25.5% dan diderita lebih banyak oleh
anak-anak yang berusia 3-12 bulan (68.0%), dimana 90% kasus yang terjadi pada anak-anak
memiliki riwayat intoleransi laktosa selama 2 tahun. Prevalensi terjadinya intoleransi laktosa
menurun setelah 24 bulan kehidupan mereka, dan pada usia inilah terjadinya peningkatan
prevalensi penderita intoleransi laktosa akibat gizi buruk dapat terlihat.
Intoleransi laktosa pada umumnya lebih banyak pada anak-anak dengan kwashiorkor
{27/75 (36.0%), [p= 0.011]} dibandingkan marasmus dan kwashiorkor {6/25 (24.0%),
[p=1.000]} dan marasmus {17/196 (17.7%), [p=0.021]} (tabel 1. Toleransi laktosa dengan gizi
buruk).
7
Analisis data selanjutnya menggunakan umur anak serta status imunisasi (tabel 2), dalam
masa ASI eksklusif dan pada masa diberikannya susu terapeutik (Tabel 3). Kedua hal ini
memiliki korelasi bermakna dengan intoleransi laktosa. Selain itu terdapat pula hubungan dengan
terjadinya diare, riwayat terjadinya diare dalam waktu 3 bulan serta frekuensi buang air besar
(Tabel 4). Adanya muntah-muntah, suhu badan, status hidrasi serta adanya edema, erosi kulit
perianal dan perut kembung merupakan manifestasi klinis bermakna pada kasus intoleransi
laktosa (Tabel 5).
Dengan adanya multivariabel dalam analisa data ini, gizi buruk yang disertai edema, erosi
kulit perianal, frekuensi buang air besar dan mengalami riwayat diare berulang dalam waktu
3 bulan merupakan prediktor independen dalam studi penelitian intoleransi laktosa.
8
9
10
11
IV. Diskusi
Prevalensi terjadinya intoleransi laktosa pada 196 anak yang menderita gizi buruk dan
diare sebesar 25.5% sebelumnya telah dilakukan studi penelitian Senegal yang menyimpulkan
bahwa prevalensi intoleransi laktosa adalah 26 %. Walaupun demikian, angka prevalensi pada
studi ini juga memiliki hasil yang signifikan.
Berdasarkam hasil penelitian yang menunjukkan terjadinya intoleransi laktosa lebih
banyak terjadi pada anak-anak dengan kwashiorkor 27/75 (36.0%) dibandingkan marasmus
kwashiorkor 6/25 (24%) dan marasmus 17/96 (17.7%) konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh Tolboom dan rekan-rekannya. Fakta ini tidaklah mengejutkan dan fakta ini
memperkuat penyataan bahwa kwashiorkor menunjukkan korelasi dengan berbagai variabel gizi
buruk, seperti halnya kerusakan mukosa usus sehingga terjadi defisiensi penyerapan vitamin dan
mineral. Kegagalan usus dalam mencegah perkembangbiakan bakteri sehingga bateri tersebut
mampu melewati lipopolisakarida dan beredar dalam sirkulasi darah sehingga tidak
terkontrolnya mekanisme inflamasi yang terjadi dalam tubuh manusia juga berperan penting
dalam hal ini.
Sebagian besar anak-anak (68%) dengan intoleransi laktosa adalah bayi berusia 3-12
bulan. Hal ini, walaupun demikian juga menjadi risiko bagi anak-anak normal sebagaimana
ditunjukkan melalui penelitian yang dilakukan oleh Gabr dan rekannya di Mesir. Hal yang
menjadi perbedaan ialah pada anak-anak normal, intoleransi laktosa terjadi secara primer dimana
manifestasi klinisnya semakin bermakna pada saat usia anak mencapai 5 tahun.
Anak-anak dengan intoleransi laktosa memiliki frekuensi buang air besar lebih sering (≥8
kali dalam 24 jam) [p<0.001]. hal ini juga ditemukan dalam studi penelitian yang dilakukan oleh
Ozmert dan rekannya di Turki.
Penderita dengan intoleransi laktosa juga memiliki riwayat penyakit diare dalam waktu 3
bulan. Adanya penyakit diare berulang akan menimbulkan gangguan pada vili usus sehingga hal
ini merupakan predisposisi defisiensi laktase.
Intoleransi laktosa lebih banyak menyerang anak-anak yang menderita diare persisten
(34.2%) apabila dibandingkan dengan diare akut (20.0%). Fagundes-Neto dan koleganya di
Brazil juga mendapatkan hasil studi penelitian yang mendukung fakta ini (33.3% dan 18.2%)
Tiga puluh lima anak (70%) dengan intoleransi laktosa akan menunjukkan manifestasi klinis
erosi kulit perianal (p< 0.001).
12
Penelitian lain menyebutkan adanya korelasi antara intoleransi laktosa dengan giardiasis,
namun ternyata hanya satu anak yang menderita giardiasis dan ia tidak dapat dibuktikan
mengalami intoleransi laktosa. Begitu pula dengan Salmonela dan penderita HIV, tidak ada
korelasi bermakna dengan intoleransi laktosa.
Studi penelitian memiliki keterbatasan diantaranya tidak dilakukan breath hydrogen test
(uji hidrogen napas) yang mana merupakan gold standar dalam menentukan diagnosa intoleransi
glukosa. Pemeriksaan ini tidak dilakukan karena mahal.
13
V. Kesimpulan
Prevalensi terjadinya intoleransi laktosa yang terjadi pada anak-anak dengan gizi buruk
dan diare pada studi ini relatif tinggi, yakni mencapai 25.5%, khususnya pada kelompok
umur 3-12 bulan. Prediktor klinik dari intoleransi laktosa pada anak dengan gizi buruk meliputi
edema, erosi kulit perianal, meningkatnya frekuensi buang air besar dan memiliki riwayat diare
berulang ≥ 2 kali dalam waktu 3 bulan. Adanya intoleransi laktosa dapat dipertimbangkan
melalui skrining feses rutin meliputi pH feses dan reduksi tinja. Pemberian yogurt dapat
dipertimbangkan bagi anak-anak yang terbukti mengalami intoleransi laktosa dan rendah
responsnya terhadap terapi.
VI. Permasalahan
Para peneliti menyatakan bahwa mereka sependapat mengenai penelitian ini.
14