Download - Inkontinentia urin
Penyakit Inkontinentia Urine pada Lansia
Ramli Saibun Hasudungan Simanjuntak
10.2010.356
C/C3
Pendahuluan
Proses menua adalah sebuah proses yang mengubah orang dewasa sehat menjadi rapuh
disertai dengan menurunnya cadangan hampir semua sistem fisiologis dan disertai pula
dengan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan kematian. Proses menua bukan
akumulasi penyakit, walau proses menua dan penyakit yang terkait usia saling berkaitan
dalam bentuk yang samar dan rumit, sehingga salinh untuk membedakan keduanya.
Inkontinentia urine merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering dijumpai pada
pasien lanjut usia. Dipekirakan 15-30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien
geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinentia urine. Perubahan-perubahan
akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut
merupakan predisposisi bagi usila untuk mengalami inkontinentia tetapi tidak
menyebabkan inkontinentia. Jadi inkontinentia bukan bagian normal proses menua.1
Proses menua mempengaruhi penurunan kadar estrogen, kapasistas kandung kemih,
tekanan uretra, dan laju aliran urin, dan meningkatnya kontraksi detrusor tak terkendali,
meningkatnya residu pasca berkemih, produksi urine nokturnal, dan ukuran prostat. Oleh
karena itu tujuan dari makalah ini ingin mengetahui tentang proses menua dan penyakit
inkontinentia urin pada lansia. Hipotesis yang dibuat ialah usia tua dapat menyebabkan
inkontinentia urine.
Alamat Korespondensi :
Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6, Jakarta Barat 11510, No telp:(021) 56942061, Fax:
(021)5631731, E-mail: [email protected].
1
Isi
Inkontinentia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine secara tak terkendali dan atau
tidak pada tempatnya (mengompol) sehingga menyebabkan timbulnya masalah sosial dan
higiene yang pada akhirnya mengakibatkan isolasi sosial, depresi, stress, luka lecet, infeksi
saluran kemih yang berulang, jatuh, dan tak kalah pentingnya biaya perawatan yang tinggi.
Compos mentis ialah kejernihan kesadaran atau dapat dikatakan dengan waras.2
Anamnesis
Pada anamnesis kita dapat langsung menanyakan pada pasien yang bersangkutan (auto-
anamnesis) maupun keluarga pasien (allo-anamnesis) jika pasien tidak dapat berkomunikasi
dengan baik akibat gangguan yang timbul pada usia lanjut (seperti sering lupa) atau dengan
tujuan memperlengkap data pasien.
Pada anamnesis yang dapat kita tanyakan adalah:
Apakah pasien merasa ada sisa-sisa urine yang menetes setelah buang air kecil.
Apakah disaat pasien melakukan kegiatan yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen seperti tertawa atau batuk tanpa sadar ia berkemih.
Apakah ada kemungkinan pasien mengalami trauma tulang belakang sehingga
menimbulkan refleks kencing.
Seberapa besar volume urine yang keluar pada saat berkemih
Apakah ada perubahan warna yang khas pada urine pasien serta adakah rasa nyeri saat
berkemih
Tanyakan apa pasien memiliki riwayat penyakit diabetes yang dapat meningkatkan
volume urin.3
Tetap perhatikan umur pasien. Penyakit ini sangat berhubungan dengan kelompok usia yang
sudah lanjut. Penderita usia muda kemungkinan mengalami ini karena trauma benturan.
Selain itu jangan lupakan kemungkinan komplikasi yang terjadi seperti adanya infeksi
saluran kemih dan ulkus dekubitus. Sedangkan pada wanita, inkontinensia dapat terjadi
akibat melemahnya otot dasar panggul karena sering melahirkan. Kemungkinan ini juga perlu
dipikirkan saat melakukan anamnesis.1
Pemeriksaan
2
Pemeriksaan fisik
Pada prinsipnya tidak diperlukan pemeriksaan fisik yang lebih lanjut karena dari anamnesis
kita sudah bisa menyimpulkan terjadinya inkontinensia serta jenis inkontinensia yang terjadi.
Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan ialah palpasi dan perkusi untuk menentukan
batas bawah abdomen dan batas atas rongga pelvis untuk mengetahui posisi vesika urinaria.2
Pemeriksaan yang lebih lanjut dapat dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien dengan inkontenensia, berikut adalah jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk menunjang anamnesis dan pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan Laboratorium
o Kultur Urin
o Sitologi Urin
o Gula darah, kalsium darah
o Uji fungsi ginjal
o USG ginjal
Pemeriksaan Ginekologik
Pemeriksaan Urologik
Cystouretroskopi
Uji Urodinamik
o Simpel
Observasi proses pengosongan kandung kemih
Uji batuk
Cystometri simpel
o Kompleks
Urin flowmetry
Multichannel cystometrogram
Pressure low study
Leak point pressure
Urethral pressure profilometry
Video urodynamic
3
Pemeriksaan dengan prosedur khusus seperti diatas tidak dilakukan setiap saat.
Pemeriksaan dapat dilakukan bila ada kasus dengan riwayat sebagai berikut: operasi atau
radiasi daerah urogenital bawah, infeksi saluran kemih berulang, prolaps berat, hipertrofi
prostat atau kanker, gagalnya kateterisasi, volume residu pasca miksi yang mencapai
lebih dari 200 ml, hematuria tanpa petunjuk infeksi saluran kemih dan gagal terapi yang
telah diberikan.3
Diagnosis
- Diagnosis Kerja
Berdasarkan kasus yang ada dapat disimpulkan bahwa ibu tersebut menderita
inkontinensia campuran. Yaitu jenis inkontinensia gabungan antara inkontinensia stress dan
inkontinensia urgensi. Inkontinensia stress didefinisikan oleh tak terkendalinya pengeluaran
urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal seperti pada saat batuk, bersin atau berolah
raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab
tersering inkontinentia urin pada usia dibawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita
tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter uretra setelah
pembedahan tranuretra dan terapi radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin ketika tertawa,
batuk atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak. Inkontinentia urgensi
sering didefinisika keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan
berkemih inkontinentia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak
terkendali (detrusor overacitivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan
inkontinentia urin tipe urgensi ini, meliputi stroke, penyakit parkinson, demensia, dan cedera
medul spinalis. Jika terdapat masalah neurologis, disebut hiperrefleksi detrusor, jika tidak ada
masalah neurologis disebut inhabilitas detrusor. Pasien mengeluh tidak cukup waktu untuk
sampai ke toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa
inkontinentia urin. Inkontinentia urin tipe urgensi ini merupakan penyebab tesering
inkontinentia urin pada usia diatas 75 tahun.
Satu variasi inkontinentia urin urgensi adalah hipersktivitas detrusor dengan kontraktilitas
yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tettapi tidak dapat mengosongkan
kandung kemih sama sekali. Mereka mungkin juga memiliki gejala inkontinentia urin stres,
overlow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat
meyerupai inkontinentia urin tipe lain sehingg penanganannya tidak tepat.
4
Inkontinentia urin campuran
Inkontinentia urin tipe ini umumnya gabungan antara inkontinentia urin tipe urgensi dengan
inkotinentia urin tipe stress.4
- Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari inkontinensia yang dialami ibu tersebut ialah jenis inkontinensia yang
lainnya, yaitu:
Inkontinensia overflow
Keadaan dimana pengeluaran urine terjadi akibat overdistensi kandung kemih. Dengan kata
lain aktivitas kandung kemih menurun akibat kandung kemih terlalu melebar. Inkontinensia
overflow dapat diakibatkan oleh trauma pada medula spinalis, stroke, diabetik neuropari serta
pembedahan yang radikal pada pelvis.
Pada laki-laki, dapat terjadi inkontinensia jenis overflow akibat hipertrofi prostat. Pada
hipertrofi prostat, dapat terjadi obstruksi pada uretra pars prostatika. Hal ini dapat
meningkatkan tegangan kandung kemih yang dapat menyebabkan pelebaran kandung kemih
dalam jangka waktu yang terlalu lama. Yang akhirnya memicu terjadinya inkontinensia.4
Inkontinensia ini umumnya diikuti dengan sering berkemih pada malam hari dengan volume
yang kecil. Umumnya sisa urine setelah berkemih (biasanya 450 cc) dapat menjadi pembeda
jenis inkontinensia ini dengan jenis yang lainnya.
Inkontinensia fungsional
Berbagai penyakit seperti demensia berat, gangguan mobilitas (artritis genu, kontraktur) serta
gangguan neurologik dan psikologik dapat menyebabkan penurunan berat pada fungsi fisik
dan kognitif. Hal ini sangat mengganggu mobilisasi penderita sehingga penderita tidak dapat
mencapai toilet pada saat yang tepat.3
Patofisiologi
Secara normal proses berkemih merupakan proses dinamik yang memerlukan rangkaian
koordiansi proses fisiologik yang berurutan. Secara umum terdapat 2 fase yaitu fase
penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen
saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.4
Ada mekanisme yang berada di luar kendali dalam melaksanakan proses berkemih. Proses ini
dikendalikan oleh sistem saraf. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada
5
dibawah kendali saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra
internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom.
Vesika urinaria terdiri atas 4 lapisan, yaitu lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan
submukosa dan lapisan mukosa. Saat otot detrusor berelaksasi terjadi pengisian kandung
kemih, dan bila otot ini mengalami kontraksi maka urine yang telaha tertampung didalamnya
akan dikeluarkan. Proses kontraksi ini berlangsung akibat kerja saraf parasimpatis, sedangkan
penutupan sfingter vesika urinaria agar dapat menampung urin dikerjakan oleh saraf simpatis
yang dipicu oleh noradrenalin.1,3
Mekanisme kerja pada otot detrusor melibatkan kerja otot itu sendiri, saraf pelvis, medula
spinalis dan kontrol sistem saraf pusat yang mengontrol jalannya proses berkemih. Pada
sistem saraf pusat ada bagian yang bernama pusat sobkortikal dan pusat kortikal. Ketika urine
mulai mengisi kandung kemih, pusat subkortikal akan bekerja agar otot-otot pada kandung
kemih dapat berelaksasi sehingga dapat berdistensi untuk menampung urin hasil proses di
ginjal. Ketika pengisian ini berlanjut akan tercapai suatu volume tertentu (biasanya 200 ml)
yang memicu pusat kortikal yang ada pada lobus frontal untuk bekerja mengurangi pasokan
urine yang masuk ke dalam kandung kemih.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas relaksasi yang menyebabkan pengisian urin
ditimbulkan oleh pusat yang lebih tinggi yaitu korteks serebri atau dengan kata lain bersifat
menghambat proses miksi. Sedangkan pusat yang lebih rendah yaitu batang otak dan saraf
supra spinal memfasilitasi proses miksi dengan mendukung proses kontraksi otot yang
terjadi. Gangguan yang mungkin terjadi pada kedua bagian otak ini yang dapat menyebabkan
pengurangan kemampuan penundaan pengeluaran urin.2
Ketika terjadi desakan untuk berkemih, maka rangsang saraf dari daerah korteks akan
disalurkan melalui medula spinalis ke saraf pelvis. Aksi saraf parasimpatis ini akan memicu
terjadinya kontraksi. Namun kontraksi ini tidak hanya semata-mata tergantung kepada
aktivitas saraf yang bersifat kolinergik. Otot detrusor memiliki reseptor prostaglandin. Obat-
obat yang menyebabkan inhibisi pada prostaglandin tentu saja akan mempengaruhi kontraksi
m. Detrusor. Selain itu kontaksi otot detrusor juga bergantung pada calcium-channel. Oleh
karena itu bila pemberian calcium channel blocker seperti pada pasien hipertensi dapat
menyebabkan terjadinya gangguan kontraksi kandung kemih.4
Selain faktor dari kandung kemih, juga harus diperhatikan sfingter uretra baik yang interna
dan eksterna. Proses kontraksi pada sfingter uretra dipengaruhi oleh aktivitas dari adrenergik
alfa. Pengobatan yang sifatnya agonis terhadap adrenergik alfa (pseudoefedrin) dapat
6
memperkuat kontraksi dari sfingter sehingga menahan urin secara berkelanjutan. Sedangkan
obat alpha-blocking dapat mengganggu penutupan sfingter. Persarafan adrenergik beta dapat
menyebabkan relaksasi pada sfingter uretra. Obat yang bersifat beta-adrenergic blocking
dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktivitas kontraktil
adrenergik alfa.
Perlu diperhatikan bahwa meskipun inkontinensia urin kebanyakan dialami pada lansia,
sindrom ini bukanlah kondisi yang normal pada usia lanjut. Namun dapat dikatakan bahwa
usia lanjut yang dapat menjadi faktor predesposisi (faktor pendukung) terjadinya
inkontinensia urin. Proses menua akan menyebabkan perubahan anatomis dan fisiologis pada
sistem urogenital bagian bawah. Perubahan ini memiliki kaitan erat dengan menurunnya
kadar estrogen pada wanita dan kadar androgen pada laki-laki. Perubahan yang terjadi
meliputi penumpukan fibrosis dan kolagen pada dinding kandung kemih sehingga
menyebabkan penurunan efektivitas fungsi kontraksi dan memudahkan terbentuknya
trabekula maupun divertikula.3
Atrofi pada mukosa, perubahan vaskularisasi pada daerah submukosa dan menipisnya lapisan
otot uretra menyebabkan penurunan pada tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow.
Selain itu pada laki-laki terjadi pembesaran prostat dan pengecilan testis sedangkan pada
wanita terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan
dan penyempitan ruang vagina serta peningkatan pH lingkungan vagina akibatnya kurangnya
lubrikasi.
Melemahnya fungsi otot dasar panggul yang disebabkan oleh berbagai macam operasi,
denervasi dan gangguan neurologik dapat menyebabkan prolaps pada kandung kemih
sehingga melemahkan tekanan akhir kemih keluar. Hal ini dapat memicu terjadinya
inkontinensia.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terdiri dari intervensi perilaku, farmakologis dan pembedahan. Prinsip
pentalaksanaan adalah memilih modalitas terapi yang paling tidak invasif dan paling
aman. Kombinasi pembedahan, perilku dan terapi farmakologis mungkin dapat membantu.
Strategi pengobatan yang optimal tergantung pada masing-masing pasien, tipe
inkontinentia urin, dan rasio resiko manfaat masing-masing intervensi. Keberhasilan
masing-masing modalitas tergantung pada indentifikasi penyebab inkontinentia urin.
7
1. Teknik (intervensi) perilaku:
Strategi umum meliputi pendidikan kepada pasien atau keluarga atau pegasuh lansia
(care givers). Teknik khusus meliputi latihan kandung kemih (baldder training), laatihan
kebiasaan (habit training), prompted voidding, dan latihan otot dasar panggul (pelvic
muscle extercise). Selain itu, terdapat teknik-teknik canggihyang dapat meningkatkan
efektivitas metode biofeedback, stimulasi elektri, dan retensi vaginak cone.
- Bladder training adalah untuk latihan untuk memperpanjang jarak berkemih yang
terkendali dengan teknik relaksasi atau distraksi (mengalihkan pikiran dari keinginan
berkemih) sehingga pasien dapat menahan atau menghambat keinginan sensasi
berkemih. Teknik ini bermanfaaat untuk inkontinentia urin tipe urgensi dan stress.
- Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih (scheduled toileting). Teknik
ini akan lebih berhasil bila jadwal berkemih disesuaikan dengan pola berkemih alamiah
pasien. Teknik ini sangat baik digunakan pada inkontinentia urin fungsional dan
memerlukan keterlibatan perawat atau pengasuh lansia.
- Prompted voiding mengajarkan pasien untuk mengenali pola berkemihnya dan
memberitahu petugas atau pengasuh bila akan berkemih. Teknik ini diperlukan untuk
pasien dengan gangguan fungi kognitif.
- Latihan otot dasar panggul atau larihan kegel adalah latihan untuk mengkontraksikan
otot dasar panggul dengan cara seolah-olah sedang menahan keluarnya flatus atau feses
beberapa menit latihan ini dilakukan rutin, setiap hari, berulang-ulang, pada berbagai
macam kondisi dan situasi. Dengan memperkuat otot dasar panggul, latihan ini
membantu meningkatkan tekanan menutup pada uretra dan menunjang struktur
panggul.
Untuk membantu teknik perilaku tersebut diatas, evaluasi terhadap lingkungan fisis dan
sosial meliputi mendekatkan ke toilet, pakaian atau celana yang mudah dibuka, kursi yang
mudah ditinggikan, bel yang berfungsi baik untuk meminta bantuan, perlu diperhatikan.
2. Pengobatan farmakologis
Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti efektif
terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat dilaksanakan bila upaya
8
terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak dapat mengatasi masalah inikontinensia
tersebut.5 Berikut adalah obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan inkontinensia
urin:Tabel no.1. Obat yang digunakan untuk inkontinentia urin.5
Obat Yang Digunakan Untuk Inkontinensia Urin
Obat Dosis Tipe Inkontinensia Efek Samping
Hyoscamin 3 x 0,125 mg Urgensi atau campuran Mulut kering, mata kabur, glaukoma,
derilium, konstipasi
Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi atau OAB Mulut kering, konstipasi
Imipramin 3 x 25-50 mg Urgensi Derilium, hipotensi ortostatik
Pseudoephedrin 3 x 30-60 mg Stress Sakit kepala, takikardi, hipertensi
Topikal estrogen Urgensi dan Stress Iritasi lokal
Doxazosin 4 x 1-4 mg BPH dengan Urgensi Hipotensi postural
Tamsulosin 1 x 0,4-0,8 mg
Terazosin 4 x 1-5 mg
Penggunaan fenilpropanolamin sabagai obat inkontenensia urin tipe stress sekarang telah
dihentikan karena hasil uji klinik yang menunjukkan adanya resiko stroke pasca penggunaan
obat ini. Sebagai gantinya digunakan pseudoefedrin. Namun penggunaan pseudoefedrin pun
jarang ditemukan pada usia lanjut karena adanya masalah hipertensi, aritmia jantung dan
angina.4
3. Pembedahan
Pembedahan merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk masalah inkontinensia bila
terapi secara farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil dilakukan. Pembedahan yang
sering dilakukan ialah berupa pemasangan kateterisasi yang menetap. Namun penggunaan
kateterisasi ini harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang tepat. Misalnya adanya ulkus
dekubitis yang terganggu penyembuhannya karena adanya inkontinensia urin ini. Komplikasi
yang dapat timbul sebagai efek dari penggunaan kateter ialah timbulnya batu saluran kemih,
abses ginjal bahkan proses keganasan pada saluran kemih.6
Pada laki-laki dengan obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan
pembedahan untuk mencegah timbulnya inkontinensia tipe overflow di kemudian hari. Selain
itu, ada pula teknik pembedahan yang bertujuan melemahkan otot detrusor misalnya dengan
menggunakan pendekatan postsakral maupun paravaginal. Teknik pembedahan ini contohnya
9
ialah transeksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan
sitolisis.
Pencegahan
Ada beberapa pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terkena inkontinensia urin:
Wanita disarankan untuk tidak melahirkan terlalu sering. Hal ini dikarenakan dapat
melemahkan otot dasar panggul yang memicu prolapsis kandung kemih. Kondisi ini dapat
menyebabkan inkontinensia urin tipe stress.
Bagi wanita yang sering melahirkan, dapat mengikuti senam kegel sejak dini untuk
menghindari resiko timbulnya inkontinensia di kemudian hari.
Pria harus menjaga kesehatan prostatnya agar terhindar dari resiko timbulnya hipertrofi
maupun keganasan pada prostat yang bisa menyebabkan timbulnya resiko inkontinensia
tipe overflow.
Pasien dengan penyakit demensia dan gangguan mobilitas harus mendapat akses ke kamar
kecil yang lebih mudah. Pemasangan kateter sementara dapat dilakukan bila pasien tidak
dapat bergerak sama sekali. Hal ini untuk mengurangi resiko timbulnya inkontinensia
fungsional.
Komplikasi
Dari segi medis, komplikasi yang timbul dapat meliputi ulkus dekubitus, infeksi saluran
kemih, urosepsis hingga gagal ginjal. Hal ini perlu diperhatikan saat melakukan pemeriksaan,
apakah telah timbul komplikasi dari gejala awal inkontinensia.1
Pada penggunaan kateterisasi yang menetap juga dapat timbul komplikasi seperti infeksi,
batu kandung kemih, abses ginjal dan bahkan proses keganasan pada saluran kemih.
Prognosis
Prognosis inkontinensia urin cukup baik bila ditekahui secara cepat dan tepat penyebabnya
sehingga dapat diberikan terapi yang baik. Jarang ada kasus inkontinensia urin yang berujung
pada komplikasi seperti gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian.3
Terapi sangat penting dalam mengatasi hal ini terutama terapi non-farmakologis sebagai
sarana lapis pertama untuk mengatasi inkontinensia urin yang terjadi.
10
Kesimpulan
Hipotesis yang dibuat benar ialah usia tua atau pada proses menua dapat menyebabkan
terkena penyakit inkontinentia urin. Berdasarkan skenario yang didapat ibu tersebut
terkena panyakit inkontinentia urin tipe gabungan antara inkontinentia urin tipe urgensi
dengan inkotinentia urin tipe stress.
Inkontinensia urin merupakan penyakit yang jamak dijumpai pada usia lanjut yang
dicirikan dengan ketidakmampuan menahan sensasi untuk berkemih. Umumnya penyakit
ini dapat ditegakkan diagnosanya melalui anamnesis. Namun pada keadaan tertentu
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit ini.
Daftar Pustaka
1. Dewanto George, Suwono Wita, Riyanto Budi. Panduan praktis diagnosis dan tata laksana
penyakit saraf. Edisi I. Jakarta: EGC: 2009. Hal 193-9.
2. Sudoyo Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati Siti. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jilid III. Jakarta: EGC; 2007. Hal 1777-1785.
3. Rahmalia A. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga. 2003: 151-3.
11
4. James J, Baker C. Prinsip-prinsip sains untuk keperwatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
2008: 116-9.
12