i
PENANGANAN PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN ( Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas
Penegakan Hukum Perambahan Hutan)
DISUSUN OLEH :
Sadatin Misry NIM:S.330809010
PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
ii
PENANGANAN PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN ( Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas
Penegakan Hukum Perambahan Hutan)
DISUSUN OLEH :
Sadatin Misry NIM:S.330809010
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing :
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
1.
Pembimbing I
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum NIP195702031985032001
...………….…
…..………
2.
Pembimbing II
Rofikah, S.H., M.H. NIP.195512121983032001
………………
……..……
Mengetahui : Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S.
iii
NIP.194405051969021001
PENANGANAN PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN ( Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas
Penegakan Hukum Perambahan Hutan)
Disusun Oleh:
Sadatin Misry NIM:S.330809010
Telah disetujui oleh Tim Penguji :
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
1. Ketua Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S. NIP.19440505 196902 1 001
…...……….…
…......……
2. Sekretaris Dr. I Gusti Ayu KRH, S.H., M.M.
NIP.19721400 8200501 2 001 ……...…….…
...…………
3.
Anggota
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum NIP19570203 198503 2 001
………………
.……..……
4. Anggota
Rofikah, S.H., M.H. NIP.19551212 198303 2 001
…..………..…
.………….
Mengetahui :
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S. NIP.19440505 196902 1 001
........................
...................
Direktur Pasca Sarjana
Prof. Drs. Suranto, Msc, P.hD NIP.19570820 198503 1 004
........................
...................
iv
PERNYATAAN N a m a : SADATIN MISRY N I M : S.330908010
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul:
PENANGANAN PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT
BARISAN SELATAN (Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas
Penegakan Hukum Perambahan Hutan) adalah betul karya saya sendiri. Hal-hal
yang bukan karya saya, dalam tesis diberi tanda Citasi dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti bahwa saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang saya peroleh
dari tesis tersebut.
Surakarta, April 2010 Yang membuat pernyataan
SADATIN MISRY
v
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis
yang berjudul “Penanganan Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan (Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas
Penegakan Hukum Perambahan Hutan).
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk dapat dinyatakan lulus
dari Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret.
Terselesaikannya tesis ini nantinya diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran secara ilmiah khususnya kepada Balai Besar Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan dan semua pihak yang peduli terhadap keutuhan keamanan serta
keutuhan kawasan hutan untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan semua
makhluk hidup yang ada dimuka bumi.
Dalam penulisan ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan dorongan
moril serta bantuan yang berupa informasi dari berbagai pihak. Atas bantuan
maupun bimbingan yang diberikan kepada penulis, maka dengan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syamsulhadi, Sp.Kj. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Kepala Pusat Pendidikan dan
pelatihan Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menimba ilmu pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Prof. Drs Suranto, M.Sc,.Ph.D selaku direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Moh. Jamin, S.H., M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
vi
5. Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S., Selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H,.M.Hum., selaku pembimbing I dan ibu
Rofikah, S.H., M.H., selaku pembimbing II yang dengan tulus ikhlas
mengarahkan, membimbing, memberi motivasi serta mencurahkan ide-ide
kreatif dalam rangka penulisan tesis ini.
7. Bapak/ibu dosen pengampu pada program studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Ir. Kurnia Rauf, selaku Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan yang memberikan izin lokasi penelitian, sekaligus meluangkan
waktunya untuk berdiskusi serta memberikan masukan dan arahan dalam
penulisan tesis ini. Seluruh rekan-rekan di Kantor Balai Besar Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan yang telah banyak memberikan bantuan
kepada penulis selama menyusun tesis ini.
9. Rekan-rekan rimbawan senasib sepenanggungan Nouvi Lihu, Mufrizal,
Azmardi, Herbert Aritonang, Terima kasih atas segala kerjasamanya selama
menimba ilmu di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
10. Kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan dukungan moril kepada penulis.
11. Kepada istri tercita K. Indah Susilawati, S.Hut., M.P., anak-anakku Intan dan
Iman, karena tanpa Do’a, bantuan dan pengorbanan kalian tidak mungkin
penulis dapat menyelesaikan studi ini.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tidak
terlepas dari berbagai kekurangan sehingga penulis sangat mengharapkan segala
kritik dan saran dari berbagai pihak demi lebih sempurnanya tulisan ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri, dan
instansi Departemen Kehutanan, praktisi serta seluruh masyarakat yang berminat
untuk memperluas wawasannya di bidang ilmu hukum pada umumnya.
Surakarta, April 2010 Penulis,
vii
MOTTO
”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) prbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar).QS: Ar-Ruum 41”
viii
PERSEMBAHAN
Tesis ini kupersembahkan kepada mereka yang telah memberikan motivasi yang terbaik untukku :
Ayah dan Emak tercinta Papah dan Ibu mertua
Istriku Kelana Indah Susilawati Anakku Intan dan Iman
Seluruh saudaraku
ix
ABSTRAK Sadatin Misry, S.330908010, Penanganan Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Perambahan Hutan). Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan belum mencapai tujuan yang diharapkan dan memberikan solusi upaya dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Penelitian ini termasuk penelitian non-doktrinal, dengan bentuk penelitian diagnostik, yang bersifat deskriptif dengan konsep hukum yang ke-5 yaitu hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para prilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan guna mendapatkan data skunder dan data primer. Analisis data menggunakan metode kwalitatif interaktif.
Setelah dilakukan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu: 1) Masih terjadi perbedaan persepsi diantara para penegak hukum (kehutanan, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) dalam menterjemahkan arti perambahan hutan, sehingga berpengaruh terhadap penegakan hukum, kewenangan Penyidik pegawai negeri sipil masih dibatasi. 2) Kualitas/profesionalisme aparat penegak hukum di Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih rendah dan dari segi kwantitas/jumlah juga masih kurang. 3) Sarana dan prasarana untuk mendukung penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih sangat minim. 4) Kesadaran hukum masyarakat khususnya yang berada disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih kurang, karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan rendahnya pengetahuan yang dimiliki. 5) Budaya masyarakat disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sudah mulai bergeser kearah lebih modern disebabkan oleh kemajuan teknologi dan pembangunan sehingga kearifan lokal dan ketaatan untuk menjaga lingkungan hidup sudah mulai memudar.
Upaya untuk menangani perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah dengan melakukan penegakan hukum secara preventif, pencegahan tanpa pidana dengan meniadakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perambahan, di iringi tindakan represif, penerapan hukum pidana dengan tahapan 1) koordinasi, 2) sosialisasi dan pendekatan emosional, 3) tindakan (action) 4) pembinaan/pengawasan terhadap perambah pasca tindakan 5) rehabilitasi lahan bekas perambahan.
Sebagai saran yang disampaikan adalah pendekatan integral seperti keterpaduan antara kebijakan penanganan perambah dengan kebijakan pembangunan, pembenahan kualitas dan kwantitas aparat, pembenahan
x
manajemen organisasi, serta peningkatan kerjasama dan bantuan teknis dalam rangka memperkuat penegakan hukum.
Kata kunci : Penegakan Hukum, Perambahan Hutan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
ABSTRACT Sadatin Misry, S 330908010, 2010. The Deforestation Handling in the Bukit Barisan Selatan National Park (The Analysis of the Factors that Affecting the Effectiveness of the Law Enforcement towards the Deforestation). Thesis: Graduate Program Sebelas Maret University
This research had a purpose to know why the law enforcement against the deforestation in the Bukit Barisan Selatan National Park is not yet effective, and to give solution on the efforts to enforce the law against the deforestation in the Bukit Barisan Selatan National Park.
This research was a non-doctrinal research, and the form of the research was diagnostic, which characteristic was descriptive using the fifth law concept, namely that law is the manifestation of the symbolic meanings of the social behavior, such as observable in the interaction among them. The data collection was through the field and library study to get primary and secondary data. The interactive-qualitative method was used to analyze the data.
After the data were analyzed it was concluded that the law enforcements against the deforestation in the Bukit Barisan Selatan National Park are influenced by several factors namely: 1) There are perception divergences among law enforcement officers (forestry, police, prosecutor, and court) in translating the meaning of deforestation so that it affects the law enforcement, the authority of the civil servant investigators is still restricted. 2) The quality/professionalism of the law enforcement officers in Bukit Barisan Selatan National Park Center is still low, and the quantity/the number of the officers is also low. 3) The means and the infrastructures to support the law enforcement against the deforestation in the Bukit Barisan Selatan National Park are very limited. 4) There is a lack of law awareness in the community especially of those who live around the Bukit Barisan Selatan National Park; because they are affected by the factors of economy, social, and lack of knowledge. 5) The culture of the community around the Bukit Barisan Selatan National Park area is starting to shift towards modernity, which is caused by technological advance and development, so that the local wisdom and the fidelity to guard the environment are starting to fade.
The efforts to overcome deforestation in the Bukit Barisan Selatan National Park are by implementing preventive law enforcement, to restrain without involving criminal punishment by eliminating the factors causing the deforestation, followed by repressive law enforcement with the following stages: 1) coordination, 2) socialization and emotional approach, 3) action, 4) control/fostering the deforestation actors/illegal loggers after the action, 5) deforested land rehabilitation.
It is suggested that the integral approach such as the unity between the handling the illegal loggers policy and in development policy, the improvement of the officers quality and quantity, the improvement of organizational management,
xi
and the cooperation and technical help improvement to strengthen the law enforcement.
Keywords: Law Enforcement, Deforestation, Bukit Barisan Selatan National Park
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………….………...……….…. i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ………….…..………….… ii
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ……………….……….….. iii
PERNYATAAN …………………………………………………….…...….. iv
KATA PENGANTAR ………………………….……………..….…...……. v
MOTTO ……………………………………………….…………….….....… vii
PERSEMBAHAN …………………………………….………….…..…..…. viii
ABSTRAK ……………………………………………………………....…... ix
ABSTRACT ……………………………..…….………………………....…. x
DAFTAR ISI………………………………………………………………… xi
DAFTAR BAGAN……………………………………………….………….. xv
DAFTAR TABEL …………………………………………….…………….. xvi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….....……. xvii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …….……………………….… 1
B. Rumusan Masalah ………………………..…..………… 8
C. Tujuan Penelitian …………………………....…………. 8
D. Manfaat Penelitian …………………………….………. 9
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori …………..……………….…….………… 10
1. Tinjauan Tentang Perambahan Hutan Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan …………………………………………. 10
2. Taman Nasional ………..………………………….. 15
a. Batasan dan Pengertian ……………….………. 15
xii
b. Konsep tentang Taman Nasional …….……….. 16
3. Tinjauan tentang Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tantang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup………………………………….
22
4. Teori Pemidanaan …………………………………. 25
5. Teori Bekerjanya Hukum …………………………. 34
6. Teori Penanggulangan Kejahatan …………..……... 46
7. Penelitian yang Relevan ……………………….….. 48
B. Kerangka Pikir …………………………………………. 49
BAB III. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian ………………..….……………….…… 53
2. Lokasi Penelitian …………..….….….…………….…… 55
3. Jenis dan Sumber Data ……………………..………….. 55
4. Teknik Pengumpulan Data …………….……..………… 57
5. Teknik Analisa Data ………..……….……………….… 59
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ………………………………………… 62
1. Gambaran Umum Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ……………………………………………...
62
a. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 62
b. Luas dan Kedudukan …………………….…… 63
c. Organisasi dan Tata Kerja …….……...………. 66
d. Kerusakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan…………………………………………
67
2. Tinjauan tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi
Penegakan Hukum Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan…………………….
68
a. Pengertian Penegakan Hukum ………………... 68
1. Undang-undang......………….……..…….. 72
2. Aparat Penegak Hukum ……………….…. 74
3. Sarana dan Fasilitas …………………..….. 78
4. Masyarakat ………………….…………… 80
xiii
5. Budaya …………………….………...…… 81
3. Upaya Penegakan Hukum terhadap Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan….
83
a. Preventif ……………………………..………. 83
b. Represif ……………………………..……….. 87 B. Pembahasan ……………………………………………. 94
1. Penegakan Hukum terhadap Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan……………. 93
a. Undang-undang …………….………...…….… 95
b. Aparat Penegak Hukum …………………….… 99
c. Sarana dan Fasilitas ………….…...………...… 104
d. Masyarakat ……………………………………. 106
e. Budaya ……………………….……………….. 108
2. Upaya yang seharusnya dilakukan dalam Penegakan Hukum terhadap Perambahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan …………………...
111
a. Represif Penggunaan sarana pidana (criminal law application)....................................……….. 112
1 Koordinasi ……………………………….. 115 2 Sosialisasi ……………………….……….. 115 3 Pendekatan Emosional ……….………….. 116 4 Tindakat/action ……………….…………. 116 5 Pengawasan ……………………………… 116 6 Rehabilitasi Lahan ……………………….. 116 b. Preventif Penegakan hukum tanpa pidana
(prevention without punishman) ……………… 116 1 Faktor Internal a Lemahnya Pengawasan oleh Petugas.. 118 b Ketidaktegasan dan kurang keseriusan
dalam Menjalankan Aturan..……....... 119 2 Faktor Eksternal a Adanya akses Jalan yang Melintasi
Kawasan……………………………... 120 b Faktor kemiskinan dan kurangnya
Keahlian Masyarakat di sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan……… 121
c Tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat perambah yang masih 121
xiv
rendah ..................................................
d Masih kurangnya dukungan dari Pemerintah Daerah dalam pengamanan kawasan hutan khususnya kawasan Konservasi........... 123
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan …………………….……………………... 120
B. Implikasi ……………………………...………………. 123
C. Saran …………………………….……………………. 124
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR BAGAN
Hal
Gambar 1 Teori Bekerjanya Hukum ………………..……….…….. 41
Gambar 2 Teori Penanggulangan Kejahatan ………………………. 46
Gambar 2 Kerangka Pikir………………………………………….. 52
Gambar 3 Analisis Data Interaktif (Interaktif Model of Analisis)…. 60
Gambar 4 Peta Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan…. 65
xvi
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1 Tindak Pidana Kejahatan dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan………………………………...
10
Tabel 2 Tindak Pidana Pelanggaran hutan dalam Undang-undang
Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan……………...……...
12 Tabel 3 Dasar Penetapan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan…...... 63 Tabel 4 Luas Kawasan Per Propinsi / Kabupaten.................................... 64 Tabel 5 Luasa Kawasan Per Wilayah………………………………...... 64 Tabel 6 Luas Kawasan Per Propinsi ....................................................... 65 Tabel 7 Perambahan Kawasan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan......................................................................................... 67
Tabel 8 Jumlah Pegawai Negeri Sipil Dan Calon Pegawai Negeri Sipil
Balai Besar TNBBS Menurut Pendidikan……………………..
67 Tabel 9 Grafik Penanganan Kasus Balai Besar Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan 2001 s/d Oktober 2008………………………..
68 Tabel 10 Keadaan Tenaga Perlindungan Hutan........................................ 75 Tabel 11 Pelatihan Tenaga Pengaman Berdasarkan Jenis Pelatihan……. 76 Tabel 12 Sarana Dan Prasarana Pengamanan Hutan…………………… 79 Tabel 15 Register Perkara Perambahan 2007 s/d 2009………………… 89
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
- Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam dan komponen
lingkungan hidup yang amat penting dan strategis, yakni sebagai suatu sistem
penyangga kehidupan dengan 3 (tiga) fungsi utamanya yang meliputi fungsi
konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Fungsi-fungsi tersebut
dengan jelas telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-undang nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan.1 Ketiga fungsi tersebut memiliki hubungan
timbal balik dan saling mengisi antara satu sama lainnya. Oleh karena itu,
pengelolaan fungsi tersebut amat penting, demi tercapainya optimalisasi
fungsi secara berkelanjutan serta memberikan makna yang sangat mendalam
bagi kelangsungan pembangunan bangsa dan negara kita, masa sekarang dan
masa yang akan datang.
Hutan mampu memberi manfaat tidak langsung yang sering sekali
justru tak ternilai harganya, anatara lain berperan sebagai pengatur sistem tata
air sehingga mampu mencegah banjir dikala musim hujan dan ancaman
kekeringan di musim kemarau. Bahkan dunia Internasionalpun mengakui
keberadaan sumber daya hutan Indonesia sebagai salah satu bagian terpenting
terwujudnya keseimbangan ekosistem planet bumi secara lintas generasi
melalui fungsinya untuk menyerap emisi berbagai gas dan polutan beracun
1 Departemen Kehutanan, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan,
Jakarta, 2007
xviii
yang menjadi penyebab meningkatnya efek rumah kaca serta semakin
menipisnya lapisan ozon.2
Hutan mempunyai fungsi ekologi yang penting. Fungsi hidrologi hutan
bersifat lokal dan regional dan fungsi pengaturan iklim, khususnya
pemanasan global dan sebagai sumberdaya hayati bersifat global. Kerusakan
hutan tidak saja merugikan secara fisik dan ekonomis, tetapi yang paling
penting adalah terhadap keseimbangan ekonomi dan ekologi. Lingkungan
hutan merupakan suatu ekosistem tertentu dengan fungsi tertentu, dimana di
dalam ekosistem tersebut memiliki peran masing-masing. Apabila terjadi
kerusakan, maka akan menggangu keseimbangan ekosistem di dalam hutan
tersebut. Terganggunya keseimbangan ekosistem tersebut akan menyebabkan
dampak ikutan terhadap seluruh sistem yang ada di dalam hutan tersebut.
Kerusakan hutan dalam hubungannya dengan ekologi dapat dijelaskan
misalnya terjadinya pemanasan global, efek rumah kaca serta pergeseran
musim, khususnya di daerah tropik. Pemanasan global terjadi akibat dari
menurunnya jumlah hutan. Kerusakan hutan pada umumnya disebabkan
semakin renggangnya hubungan antara manusia terhadap hutan. Dengan
perkataan lain kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan jika masih terdapat
hubungan harmonis antara manusia dengan hutan dengan segala
problematikanya. Hubungan harmonis ini mulai retak, ketika pemanfaatan
hutan hanya menjadi monopoli segelintir orang yang mendapat pengusahaan
hutan. Di lain pihak, rakyat yang berabad-abad hidup dalam hubungan
harmonis dengan hutan disekitarnya tidak dapat memanfaatkan sumber daya
ini, baik langsung maupun tidak langsung. Ironi menyebabkan masyarakat
melakukan berbagai usaha ilegal terhadap hutan, seperti perambahan dan
pencurian kayu, karena mereka tidak lagi difungsikan dalam hubungan
dengan hutan sekitarnya.
Dalam Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945
dalam pasal 33 dijelaskan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang
2 Winarno Budyatmojo, Tindak Pidana Illegal Logging, UNS Press, hal.2
xix
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besar
kemakmuran rakyat3. Hal ini juga dipertegas di dalam Pasal 4 Undang-
undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu Semua hutan di dalam
wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai
oleh negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya
wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga
kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bagi generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang.
Hutan juga merupakan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan
dan sumber kemakmuran rakyat, kondisinya sekarang cendrung menurun,
oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga
daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif,
bijaksana, terbuka, profesional dan bertanggung-gugat.4 Penguasaan hutan
oleh negara bukan kepemilikan tetapi negara memberi wewenang kepada
pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan
dengan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan mengubah
setatus kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara
orang dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta mengatur perbuatan
hukum menegenai kehutanan.
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan kawasan konservasi
terbesar ketiga di Sumatera. Pada awalnya Bukit Barisan Selatan merupakan
kawasan Suaka Margasatwa yang ditetapkan pada tahun 1935 melalui Besluit
Van der Gouverneur Indie No. 48 stbl. 1935 dengan nama Sumatera Selatan I
(SS I). Ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional melalui surat pernyataan
Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 melalui
3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 4 Penjelasan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Alenia ke-4
xx
SK Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-lI/1997 tanggal 31 Maret 1997
statusnya berubah menjadi Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Selain kawasan darat seluas ± 356.800 ha, ditetapkan pula Cagar Alam Laut
(CAL) Bukit Barisan Selatan seluas ± 21.600 ha dalam pengelolaan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Februari 1990.5
Sebagai kawasan konservasi, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
(TNBBS) tidak luput dari kerusakan sebagai akibat illegal logging dan
perambahan hutan. Hal ini dapat berdampak pada ancaman kepunahan
keanekaragaman hayati, perubahan iklim lokal dan regional, hilangnya
peluang ekonomi dan pengembangan sektor wisata, kerusakan ekonomi
terutama sektor pertanian dan perikanan akibat banjir dan kekeringan, serta
hilangnya plasma nutfah untuk pengembangan pertanian dalam arti luas di
masa depan.
Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pada
penjelasan pasal 50 ayat 3 huruf (b), yang dimaksud dengan perambahan
adalah melakukan kegiatan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin
dari pejabat yang berwenang. Sementara dalam Undang-undang Nomor 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
tidak menyebutkan secara eksplisit tentang arti dari perambahan, dalam pasal
19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dijelaskan bahwa kegiatan yang dapat
merubah keutuhan kawasan suaka alam atau zona inti taman nasional.
Pengerjaan atau pendudukan hutan secara tidak sah merupakan kegiatan
yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan hutan secara ekstrim. Dalam
Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan dijelaskan dalam
pasal 50 ayat (3) huruf b bahwa yang dimaksud denga merambah adalah
melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang
5 Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Balai
Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik, 2008
xxi
berwenang, perambahan hutan dilakukan dengan mangambil hasil hutan dan
kemudian menkonversi hutan menjadi peruntukan lain secara illegal.
Perambahan hutan dengan segala kompleksitas dan implikasinya
merupakan masalah yang bukan saja dihadapi oleh suatu daerah tertentu,
tetapi menjadi masalah di berbagai kawasan hutan di tanah air, sehingga
perambahan hutan merupakan masalah yang berskala nasional.
Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah tanpa mengindahkan
makna dari otonomi secara utuh maka akan menyuburkan indikasi kurang
jelasnya rumusan peraturan perundang-undangan tentang batas-batas
kewenangan, hak dan kewajiban masyarakat dalam bidang tertentu, sehingga
interprestasi hukum dan putusan hukum menghasilkan ketidakadilan.
Kebijakan pemerintah melalui upaya penegakan hukum tidak cukup hanya
dengan peraturan yang baik dan aparat penegak hukum yang disiplin, namun
masih diperlukan peran serta masyarakat untuk mendukung terwujudkan
penegakan hukum.
Akhir-akhir ini kejahatan dibidang kehutanan kehususnya perambahan
hutan intensitasnya semakin meningkat dan telah mengakibatkan kerugian
terhadap negara berupa ancaman kelestarian hutan, kerusakan lingkungan
yang menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap keseimbangan
ekosistem hutan. Langkah-langkah yang telah di tempuh oleh pihak pengelola
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dari tindakan pereventif sampai
dengan tindakan represif sudah banyak dilaksanakan, khususnya dalam
peroses penegakan hukum yang melibatkan semua unsur aparat penegak
hukum sampai dengan putusan pengadilan, namun kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa perambahan yang terjadi di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan bukannya berkurang, bahkan masih terus berlangsung sampai
saat ini.
Seperti Taman Nasional lain di Indonesia, kawasan Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan juga tidak luput dari berbagai permasalahan, mulai dari
permasalahan keamanan kawasan, kelestarian sumberdaya alam hayati,
xxii
maupun keterbatasan sumberdaya kelembagaan. Secara nyata, telah terjadi
berbagai bentuk gangguan di lapaangan, seperti perambahan (encroachment),
penebangan liar (illegal logging), perburuan liar (illegal poaching), konflik
satwa dengan manusia, tata batas kawasan dan tata ruang/zonasi yang belum
benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan.
Aktivitas perambahan hutan yang dilakukan di kawasan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan telah berlangsung sejak lama. Berdasarkan
Citra Landsat tahun 2002 teridentifikasi kerusakan Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan seluas ± 57.089 ha (17,5 %) sebagai akibat perambahan hutan
dan illegal logging. Berdasarkan data hasil inventarisasi pada akhir tahun
2003 ditemukan kegiatan perambahan telah mengakibatkan kerusakan dan
konversi areal hutan seluas +30.841,5 Ha dengan jumlah perambah sebanyak
± 15.934 KK, kawasan hutan telah disulap menjadi areal perladangan dengan
jenis tanaman utama kopi, lada, coklat/kakao, nilam dan tanaman pertanian
lainnya seperti padi. Lokasi perambahan terkonsentrasi di daerah Sekincau
(Register 46 B), Rata Agung dan sepanjang batas kawasan di sisi timur dan
barat kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sementara itu, pada
tahun 2005 luas perambahan hutan kembali meningkat yaitu 52.981 Ha
terutama tersebar di Sekincau, Suoh, dan Rata Agung dengan jumlah Kepala
Keluarga (KK) 26.491. Pada tahun 2007, melalui analisis citra satelit
terindentifikasi areal perambahan yang masih aktif seluas 57.089 Ha dengan
jumlah kepala keluarga sebanyak 16.312 KK dan areal perambahan yang
sudah tidak aktif lagi seluas 14.299 Ha.6 . Aktivitas perambahan hutan yang
dilakukan di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan telah
berlangsung sejak tahun 1952 dan terus meningkat dari tahun ke tahun
sehingga semakin sulit untuk ditangani.
Penegakan hukum terhadap perambahan oleh Balai Besar Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) telah sering dilakukan baik
melalui tindakan represif (operasi rutin, operasi fungsional dan operasi
6 Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Ibid, hal-36
xxiii
penurunan perambah serta operasi gabungan) maupun dalam bentuk kegiatan
pemberdayaan dan pembinaan daerah penyangga yang difokuskan pada
peningkatan ekonomi masyarakat di desa penyangga (desa yang berbatasan
langsung dengan kawasan), penyuluhan dan pembinaan partisipasi
masyarakat, optimalisasi pemanfaatan, namun demikian, upaya tersebut
kurang didukung oleh sumberdaya dan pendanaan yang memadai serta masih
kurangnya dukungan dari pihak pemerintah daerah sehingga hanya efektip
untuk kasus-kasus perambahan dalam skala kecil, sementara tekanan
perambahan makin terus meningkat. Terdapat tiga unsur yang harus
diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu kepastian hukum
(rechtsicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan
(gerechttigheit)7. Masyarakat mengharapkan kepastian hukum, karena dengan
kepastian hukum masyarakat akan menjadi lebih tertib, kemanfaatan hukum,
hukum diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia, jadi harus
memberikan manfaat bagi manusia, sedangkan keadilan hukum harus
memberikan rasa keadilan dalam masyarakat bukan sebaliknya hukum
membuat resah masyarakat.
Upaya untuk mengatasi dan menangani masalah perambahan hutan
merupakan hal yang sangat penting untuk menjadi perhatian semua pihak
dalam rangka menyelasaikan berbagai persoalan yang terjadi karena ini
menyangkut kepentingan banyak pihak sehingga permasalahannya bersifat
multidimensi, apalagi dengan adanya otonomi daerah dimana daerah diberi
wewenang dalam pengurusan hutan sering mengabaikan makna dari otonomi
daerah itu sendiri. Dari upaya penanganan yang telah dilakukan oleh pihak
Balai Besar Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan bekejasama dengan aparat
penegak hukum lainnya (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) dari
tindakan represif dan pereventif yang selalu melibatkan unsur masyarakat
nampaknya belum bisa mengatasi permasalahan yang ada yaitu untuk
menghentikan kegiatan perambahan hutan diwilayah Taman Nasional Bukit
7 Sudikno Manrtokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, penerbit Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.145
xxiv
Barisan Selatan sehingga kelestarian dan keutuhan kawasan belum dapat
tercapai.
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul ”PENANGANAN
PERAMBAHAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN
SELATAN (Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektifitas
Penegakan Hukum Perambahan Hutan).
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas maka dalam penelitian ini
perlu di rumuskan suatu permasalahan agar dapat mewujudkan tujuan yang
diharapkan. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengapa penanganan perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan belum efektif ?
2. Upaya apa yang seharusnya dilakukan untuk menangani perambahan
hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab tidak efektifnya penanganan
perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
2. Untuk mengetahui upaya yang seharusnya dilakukan dalam penanganan
perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
D. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian tentunya sangat diharapkan untuk dapat memberikan
Manfaat dan kegunaan dari penelitian yang dilakukan. Adapun manfaat dari
penelitian ini adalah:
xxv
1. Manfaat Teoritis.
a. Diharapkan hasil dari penelitian ini nantinya dapat memberikan
sumbangan pemikiran secara ilmiah dalam perkembangan ilmu hukum,
khususnya dalam peneyelesaian perkara tindak pidana dibidang
kehutanan.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan
dan referensi bagi penelitian berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk
mengetahui kemapuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah
diperoleh selama di bangku kuliah.
b. Memberikan kontribusi terhadap berbagai pemecahan masalah
khususnya tentang penegakan hukum terhadap perambahan hutan di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan daerah lain pada umumnya.
xxvi
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Tindak Pidana Perambahan Hutan dalam Undang-undang nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pemerintah telah menetapkan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan, sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat (3) Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok dibidang
Kehutanan ( Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2823) dinyatakan tidak berlaku, sejauh tidak
bertentangan dengan Undang-undang yang baru sampai dikeluarkannya
peraturan pelaksana berdasarkan Undang-undangNomor 41 Tahun 1999 8.
Undang-Undang Nonor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jenis-
jenis tindak pidana yang termuat di dalam undang-undang ini dibagi
menjadi tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. Ketentuan tindak pidana
kejahatan dan pelanggaran ini masuk dalam bab tersendiri tentang
ketentuan pidana, yang secara tegas dipisahkan dari jenis sanksi, ganti rugi
dan sanksi administratif, seperti yang terdapat dalampasal 78 ayat (13)
Undang-undang nomor 14 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Tabel 1: Tindak Pidana Kejahatan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan:
No. Pasal Tindak Pidana Kejahatan
1. Pasal 78 (1)
Kejahatan merusak prasarana dan sarana perlindungan kehutanan Pasal 50 ayat (1)
2. Pasal 78 (1) Melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan Pasal 50 ayat (2)
3. Pasal 78 (2)
Mengerjakan, menggunakan, menduduki kawasan hutan secara tidak sah Pasal 50 ayat (3) huruf a
8 Nyoman Sarikat putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran kearah Pengembangan Hukum Pidana,
PT. Citra Aditya Bakti, bandung. Hal. 203-204
xxvii
No. Pasal Tindak Pidana Kejahatan
4. Pasal 78 (2)
Merambah hutan Pasal 50 ayat (3) huruf b
5. Pasal 78 (2)
Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan jarak dan radius tertentu Pasal 50 ayat (3) huruf c
6. Pasal 78 (3) dan (4)
Membakar hutan Pasal 50 ayat (3) huruf d.
7. Pasal 78 (5)
Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin (mencuri) Pasal 50 ayat (3) huruf e
8. Pasal 78 (5)
Menerima, membeli, atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang dipungut secara tidak sah. Pasal 50 ayat (3) huruf f
9. Pasal 78 (6)
Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri. Pasal 50 ayat (3) huruf g
10. Pasal 78 (7)
Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan Pasal 50 ayat (3) huruf h
11. Pasal 78 (9) Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang Pasal 50 ayat (3) huruf j
12. Pasal 78 (10)
Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang Pasal 50 ayat (3) huruf k
13. Pasal 78 (11)
Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan Pasal 50 ayat (3) huruf l
14.
Pasal 78 (11)
Semua hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara
xxviii
Tabel 2 : Tindak Pidana Pelanggaran hutan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutana
No. Pasal Tindak Pidana Pelanggaran
1. Pasal 78 (8) Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang Pasal 50 ayat (3) huruf i
2. Pasal 78 (12)
Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang Pasal 50 ayat (3) huruf m
Sumber : Kumpulan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan, Direktorat Penyidikan dan perlindungan hutan direktorat jenderal PHKA, Departemen Kehutanan Republik Indonesia tahun 2007. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
mengenal penggolongan tindak pidana formil dan materil, tindak pidana
formil dapat dijumpai di Pasal 78 ayat (1) dan (2), yang merujuk ketentuan
di Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3). Pasal 50 ayat (1) menyatakan: Setiap
orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
Pasal 50 ayat (3) berbunyi: Setiap orang dilarang:
(a). mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
(b). merambah kawasan hutan; (c). melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
(d). membakar hutan; (e). menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
xxix
(f). menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
(g). melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
(h). mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
(i). menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
(j). membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
(k). membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
(l). membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
(m). mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
Penjelasan dari pasal-pasal di atas adalah adanya larangan terhadap orang
dan atau badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan di kawasan hutan.
Sedangkan untuk rumusan tindak pidana materil, dapat dijumpai dalam
Pasal 78 ayat (1), yang merupakan rujukan Pasal 50 ayat (2). Isi pasal 50
ayat (2) adalah:
”Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.”
Pasal ini merumuskan larangan melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan. Yang menjadi intinya adalah bukan uraian
perbuatan tetapi perbuatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Selanjutnya Undang-undang ini sebenarnya mengenal badan hukum
sebagai pelaku tindak pidana. Ketentuan ini diatur di dalam ketentuan
Pasal 78 ayat (14). Pasal ini berbunyi: Tindak pidana sebagaimana
xxx
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan
oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan
sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana
masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
dijatuhkan. Pasal tersebut mengatur pertanggungjawaban pidana dari
pengurus badan usaha yang melakukan kejahatan di bidang kehutanan.
Perambahan adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa
mendapat izin dari pejabat yang berwenang.9
Pasal 50 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 41 tahun 1999
selengkapnya menyatakan ” setiap orang dilarang merambah kawasan
hutan”. Dalam penjelasan Undang-undang nomor 41 tahun 1999 yang
dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan
tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang. jika ketentuan dalam
pasal 50 ayat (3) huruf b jika dikaitkan dengan rumusan ketentuan pidana
dalam pasal 78 ayat (2), maka rumusannya adalah ” barang siapa dengan
sengaja merambah kawasan hutan, diancam dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.00
(lima milyar rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana yang terkandung dalam rumusan pasal 50
ayat (3) huruf b junto pasal 78 ayat (2), adalah:
1. barang siapa;
2. merambah kawasan hutan;
3. di ancam dengan pidana.
Perambahan hutan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 50 ayat (3) huruf b
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap kawasan hutan atau
obyeknya adalah kawasan hutan.
9 Penjelasan Pasal 50 Ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
xxxi
2. Taman Nasional.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional
didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.10 Kewenangan pengelolaan taman nasional
berada pada Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Saat ini terdapat
45 Taman Nasional di Indonesia, enam di antaranya ditetapkan sebagai
Situs Warisan Dunia (Natural World Heritage Sites). Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari enam taman
nasional tersebut sejak tahun 2004.11
a. Batasan dan Pengertian
1) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan.12
2) Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas
tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.13
3) Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam
taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap
persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft
10 Undang-undang No. 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi Sumber Daya Alah Hayati
dan Ekosistemnya, Pasal 1 Angka 14 11 Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Balai
Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, opcit, 2008 12 Undang-undang No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan, Pasal 1 Angka 2 13 Undang-undang No. 5 Tahun 1990, Op cit, Pasal 1 Angka 13
xxxii
rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan
penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-
aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Secara
sederhana zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan
taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi
ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
4) Sistem zona adalah pembagian wilayah di dalam kawasan Taman
Nasional menjadi zona-zona guna menentukan kegiatan-kegiatan
pengelolaan yang diperlukan secara tepat dan efektif dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan pengelolaan Taman Nasional sesuai dengan
fungsi dan peruntukannya.
5) Merambah adalah Melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa
mendapat izin dari pejabat yang berwenang.14
6) Perambah hutan adalah setiap orang yang melakukan kegiatan
berusahatani secara menetap di dalam kawasan hutan atau
mengerjakan/menduduki hutan negara.
b. Konsep tentang Taman Nasional
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka
yang dimaksud dengan zona taman nasional adalah suatu proses
pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang
mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisi data,
penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik,
perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan
kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat.
Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman
nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat.
14 Ibid, Penjelasan Pasal 50 Ayat (3) huruf b
xxxiii
Zona dalam kawasan taman nasional terdiri dari:
1) zona inti;
2) zona rimba;
3) zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan;
4) zona pemanfaatan; dan
5) zona lain, antara lain: zona tradisional; zona rehabilitasi; zona
religi, budaya dan sejarah; dan zona khusus.
Pengertian dan kriteria dari masing-masing zona dalam kawasan
taman nasional adalah sebagai berikut:
1. zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi
alam baik biota ataupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum
diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk
perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan
khas. Adapun kriteria zona inti adalah sebagai berikut:
a. Bagian taman nasional yang mempunyai keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
b. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit
penyusunnya yang merupakan ciri khas ekosistem dalam
kawasan taman nasional yang kondisi fisiknya masih asli
dan belum diganggu oleh manusia;
c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang
masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia;
d. Mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu yang
cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis
tertentu untuk menunjang pengelolaan yang efektif dan
menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;
e. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan
contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi;
xxxiv
f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar
beserta ekosistemnya yang langka yang keberadaannya
terancam punah;
g. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang
prioritas dan khas/endemik; dan
h. Merupakan tempat aktivitas satwa migran.
2. zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona
perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena
letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan
pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. Kriteria zona
rimba adalah sebagai berikut:
a. Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk
melindungi dan mendukung upaya perkembangbiakan dari
jenis satwa liar;
b. Memiliki ekosistem dan atau keanekaragaman jenis yang
mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona
pemanfaatan; dan
c. Merupakan tempat kehidupan bagi jenis satwa migran.
3. zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak,
kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk
kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya.
Kriteria zona pemanfaatan adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau
berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya
yang indah dan unik;
b. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian
potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata
dan rekreasi alam;
xxxv
c. Kondisi Iingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa
lingkungan, pengembangan pariwisata alam, penelitian dan
pendidikan;
d. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya
sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan,
pariwisata alam, rekreasi, penelitian dan pendidikan; dan
e. Tidak berbatasan langsung dengan zona inti.
4. zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang
ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh
masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai
ketergantungan dengan sumber daya alam. Kriteria zona
tradisional adalah:
a. Adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non-
kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh
masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya;
dan
b. Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi sumberdaya
alam hayati tertentu yang telah dimanfaatkan melalui
kegiatan pengembangbiakan, perbanyakan dan pembesaran
oleh masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan
hidupnya.
5. zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena
mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan
pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami
kerusakan. Kriteria zona rehabilitasi adalah:
a. Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara
ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang
pemulihannya diperlukan campur tangan manusia;
b. Adanya invasi spesies yang mengganggu jenis atau spesies
asli dalam kawasan; dan
xxxvi
c. Pemulihan kawasan pada huruf a dan b sekurang-kurangnya
memerlukan waktu 5(lima) tahun.
6. zona religi adalah budaya dan sejarah adalah bagian dari taman
nasional yang di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan
warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk
kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau
sejarah. Adapun kriteria zona religi adalah sebagai berikut:
a. Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara
dan dipergunakan oleh masyarakat; dan
b. Adanya situs budaya dan sejarah baik yang dilindungi
undang-undang maupun tidak dilindungi undang-undang.
7. zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi
yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok
masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal
sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional
antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan
listrik. Kriteria zona khusus adalah:
a. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang
kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut
ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;
b. Telah terdapat sarana prasarana antara lain telekomunikasi,
fasilitas transportasi dan listrik, sebelum wilayah tersebut
ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional ; dan
c. Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti.
Adapun peruntukan masing-masing zona dalam kawasan taman
nasional adalah sebagai berikut:
1. zona inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan
fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan
perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa
xxxvii
liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya.
2. zona rimba untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan
penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa
migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.
3. zona pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan
rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan
pengembangan yang menunjang pemanfatan, kegiatan
penunjang budidaya.
4. zona tradisional untuk pemanfaatan potensi terutama nasional
oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan
pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
5. zona rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang
rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.
6. zona religi, budaya dan sejarah untuk memperlihatkan dan
melindungi nilai-nilai hasiI karya, budaya, sejarah, arkeologi
maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian; pendidikan dan
wisata alam sejarah, arkeologi dan religius.
7. zona khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat
yang tinggal diwilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan
sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya,
serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana
telekomunikasi, fasilitas transportasi dan Iistrik15.
15 Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, Tentang Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam.
xxxviii
3. Tinjauan tentang Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Disamping UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, juga
terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
pengelolaan di bidang kehutanan dan konservasi juga terus bertambah,
misalnya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungah Hidup, terdapat beberapa pasal yang berhubungan dengan
tindak pidana kehutanan, seperti dalam pasal-pasalnya dijelaskan antara
lain:
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1 Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
2 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
9 Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
16 Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
18 Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya16.
16 Ketentuan umun Pasal 1 Undang-undang nomor 23 tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
xxxix
Pasal 4 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:
a. perencanaan; b. pemanfaatan; c. pengendalian; d. pemeliharaan; e. pengawasan; dan f. penegakan hukum.
Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi administrative terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN Bagian Kesatu
Umum
Pasal 84 (1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan. (2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara
suka rela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 85
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya
pencemaran dan/atauperusakan; dan/atau d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup. (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap
tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.
xl
(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Pasal 86
(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan
lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
BAB XIV
PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN Bagian Kesatu
Penyidikan
Pasal 94
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
(2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
xli
BAB XV KETENTUAN PIDAN
Tabel 3 : Tindak pidana dalam Undang-undang ini merupakan kejahatan. salah satu pasal yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan (pasal 97)
Pasal Bunyi Pasal Ketentuan Pidana
Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h( melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Sumber : Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
4. Teori Pemidanaan
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat
dibagi dalam tiga kelompok yaitu:
1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings
theorieen)
Teori ini menjelaskan bahwa dasar pemberian hukuman pidana
kepada pelaku tindak pidana (penjahat) semata-mata adalah
pembalasan karena telah melakukan kejahatan (quia peccatum est).
Penjatuhan pidana pada dasarnya adalah penderitaan pada penjahat
dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang
lain. Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai 2
arah yaitu:
a. Ditujukan kepada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan)
Bila seorang melakukan kejahatan maka ada kepentingan
hukum yang dilanggar, untuk mengebalikan ketertiban umum si
pelanggar harus mendapat hukuman. Setiap kejahatan tidak boleh
tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya.
xlii
b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di
kalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan)
Akibat adanya kejahatan tersebut, timbul suatu penderitaan
baik fisik maupun psikis berupa perasaan tidak senang, sakit hati,
marah, tidak puas dan terganggunya ketenteraman batin yang
bukan saja dirasakan oleh korban namun dirasakan juga oleh
masyarakat. Oleh karena itu untuk menghilangkan atau memuaskan
penderitaan seperti itu (sudut subyektif) maka kepada pelaku harus
diberikan pembalasan yang setimpal (sudut obyektif).
Teori absolute berpendapat bahwa setiap kejahatan harus diikuti
dengan pidana, penghukuman diarahkan kepada pembalasan,
disamping mengandung unsur cinta kasih kepada masyarakat yang
kepentingannya dilanggar. Teori relative menekankan bahwa tujuan
pidana adalah mengamankan masyarakat dengan jalan prevensi umum
yaitu mengandung unsur menakut-nakuti atau mencegah agar
masyarakat tidak melanggar hukum/tidak melakukan kejahatan
melalui foorwardlooking bukan backwardlooking.
2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen)
Pidana adalah alat untuk mengakkan tata tertib (hukum) dalam
masyarakat yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat dimana untuk mewujudkan ketertiban tersebut diperlukan
pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan,
dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Dalam
mencapai ketertiban dalam masyarakat maka pidana mempunyai sifat
(1) menakut-nakuti, (2) bersifat memperbaiki, (3) bersifat
membinasakan, sedangkan sifat pencegahan teori pencegahan teori
relative ini terdiri dari:
xliii
a. Teori pencegahan umum
Teori pencegahan umum penjatuhan pidana bagi orang yang
melakkan kejahatan dimaksudkan agar masyarakat umum menjadi
takut untuk melakukan kejahatan. Penjahat yang dijatuhkan
hukuman pidana dijadikan contoh oleh masyarakat, agar perbuatan
tersebut tidak ditiru dan tidak melakukan perbuatan yang sama.
seperti yang dikemukakan oleh Helena du Rees dalam bukunya
yang berjudul Can Criminal Law Protect the environment, bahwa
the goal of environmental criminal law is to establish sufficiently
severe sanctions for committing environmental crimes so as to
deter potential offenders.17 tujuan hukum pidana lingkungan adalah
untuk menetapkan sanksi yang cukup berat karena melakukan
kejahatan lingkungan sehingga dapat mencegah pelaku lain yang
berniat untuk melakukan.
b. Teori pencegahan khusus
Penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan dimaksudkan
agar pelakukejahatan tersebut tidak mengulangi perbuatannya dan
mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk melakukan
kejahatan agar tidak mewujudkan niatnya dalam perbuatan nyata.
3. Teori Gabungan (vernegings theorien)
Teori ini mendasarkan pidana pada azas pemblasan dan azas
pertahanan tata tertib masyarakat, teori ini dibedakan menjadi 2
bagian:
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi tidak
boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat
dipertahankannya tata tertib masyarakat.
17 Helena du Rees, “Can Criminal Law Protect the Environmental”, dalam avi brisman, crime-Environment Relationships And Environmental Justice, seattle Journal for Social Justice, Spring/Summer, 2008
xliv
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Kombinasi antara teori absolut dengan relative adalah merupakan
teori gabungan, hukuman dijatuhkan sebagai pembalasan tetapi dengan
tujuan memelihara tertib hukum jadi ada unsur pembalasan sekaligus ada
unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat, sedangkan teori
rehabilitasi lebih mengarahkan agar pelaku diobati, karena meurut teori
ini pelaku dilukiskan sebagai seorang yang ditarik atau degerakkan untuk
melakukan kejahatan oleh sesuatu keuatan diluar kemauan bebasnya.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana
merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri (the
filosophi of crime control). Penggunaan sanksi pidana dalam pengunaan
kejahatan telah menciptakan dua kubu yang saling bertenangan.
Panadangan pertama mengatakan tidak setuju dengan penggunaan sanksi
pidana dalam penaggulangan kejahatan dengan alas an pidana merupakan
peninggalan dari kebiadaban manusia dimasa lalu (a vestig of our savage
post). Pandangan ini menadasarkan bahwa pidana merupakan tindakan
perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Pandanan kedua
adalah pendapat yang setuju penggunaan sanksi pidana dalam
penanggulangan kejahatan. Misalnya Ruslan Saleh menemukan tiga alas
an perlunya sanksi pidana, pertama sasaran yang ingin dicapai tidak
melalui paksaan, kedua untuk adanya usaha perbaikan bagi siterhukum
dan ketiga sebagai bahan I’tibar bagi orang yang belum melakukan
pelanggaran hukum untuk tidak melakukannya18.
Dikemukakan oleh All Ross bahwa sanksi pidana penting untuk
pemberian penderitaan bagi pelaku dan sanksi pidana merupakan
pernyataan pencelaan dari masyarakat/Negara terhadap perbuatan pelaku.
18 Edi Setiadi, Bahan kuiah Sistem Peradilan Pidana pada program Magister Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009, hal-2
xlv
Senada dengan All Ross adalah pendapat Herbert Packer yang
menyatakan bahwa masyrakat masih perlu adanya sanksi pidana,
kemudian sanksi pidana diperlukan untuk menghadapi ancaman dari
bahaya kejahatan dan sanksi pidana merupakan penjamin sekaligus
pengancam bagi kehidupan masyarakat.
Menurut Nigel Walker mengatakan bahwa semestinya prinsif-
prinsif penggunaan sanksi pidana harus menjadi acuan yaitu:
1. hukum pidana jangan digunakan untuk semata-mata pembalasan;
2. hukum pidana jangan dipergunakan untuk menghukum perbuatan
yang tidak merugikan/membahayakan;
3. hukum pidana jangan digunakan untuk mencapai suatu tujuan yang
dapat diatasi oleh sarana lain yang lebih ringan;
4. jangan mengunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang
timbul dari sanksi pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari
tindak pidana itu sendiri;
5. larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih
berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah;
6. hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat
dukungan kuat dari publik19.
Dari uraian diatas perlu kiranya dilihat tentang Pidana dan
Sistem Pemidanaan yang secara konseptual, Barda Nawawi Arief,
mengutip pernyatan L.H.C. Hulsman, mengemukakan bahwa sistem
pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan.
Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu
proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah
dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup pengertian:
19 Ibid, hal-3
xlvi
a. keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk
pemidanaan
b. keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk
pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana
c. keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk
fungsionalisasi/ operasionalisasi/konkretisasi pidana
d. keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur
bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan
secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).
Dengan mengacu pada pengertian ini, maka semua perundang-
undangan adalah berhubungan dengan hukum pidana
material/substantif. Hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan
pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Dengan
kata lain, sistem pemidanaan terdiri dari subsistem hukum pidana
substantif, subsistem hukum pidana formal, dan subsistem hukum
pelaksanaan/eksekusi pidana.
Beberapa konsep mendasar yang berhubungan dengan sistem
pemidanaan:
a. Kejahatan dan Pelanggaran
Penggolongan ini diatur di dalam buku tersendiri. Buku II
memuat tentang jenis-jenis tindak pidana yang termasuk dalam
golongan kejahatan. Sedangkan tindak pidana yang termasuk di
dalam golongan pelanggaran diatur di dalam Buku III. Kata
kejahatan dan pelanggaran merupakan terjemahan dari istilah
misdrijf dan overtreding dalam Bahasa Belanda.
Sebenarnya tidak mudah membedakan kejahatan dengan
pelanggaran, karena keduanya merupakan perbuatan yang
melanggar hukum. Tetapi ada dua cara untuk menemukan
perbedaan itu, yaitu: pertama, meneliti maksud dari pembentuk
xlvii
undang-undang; kedua, meneliti sifat-sifat yang berbeda antara
tindak-tindak pidana yang termuat di dalam Bab II KUHP dan
tindak-tindak pidana yang termuat di dalam Buku III KUHP 20.
b. Tindak Pidana Material dan Formil
Penggolongan tindak pidana ini adalah berdasarkan cara
perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk undang-
undang. Apabila perumusan tindak pidana dirumuskan tanpa
menyebutkan secara rinci kegiatan atau tindak pidananya, tetapi
hanya menyebutkan perbuatan yang menyebabkan suatu akibat
tertentu, maka tindak pidana ini disebut sebagai tindak pidana
material. Apabila tindak pidana itu dirumuskan dengan
menggambarkan wujud perbuatannya tanpa menyebutkan akibat
yang disebabkan oleh perbuatan itu, maka tindak pidana semacam
itu disebut sebagai tindak pidana formil 21.
c. Unsur Kesengajaan dan Kelalaian dalam Tindak Pidana
Kesengajaan (dolus) menurut teori kehendak (wilstheorie)
dan teori pengetahuan (voorstellingstheorie) adalah adalah
perbuatan atau tindakan yang dikehendaki dan diketahui akan
mewujudkan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan
dikategorikan sebagai tindak pidana. Sebuah teori lain yang disebut
dengan inkauf nehmen atau oleh Moeljatno disebut dengan teori
“apa boleh buat”, menyatakan bahwa kesengajaan merupakan
perbuatan atau tindakan yang kemungkinan akibatnya diketahui
oleh terdakwa dan sikapnya atas kemungkinan tersebut, andaikata
terjadi, adalah berani mengambil risikonya.22 Sementara, kelalaian
(tidak sengaja atau culpa) adalah tindak pidana yang dilakukan
20 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003,
hlm.32-33. 21 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 88-90. 22 Moeljatno, ibid., hlm. 171-177.
xlviii
dalam situasi di mana terdakwa tidak mengetahui sifat melawan
hukumnya perbuatan tersebut.23
d. Subjek Tindak Pidana
Subjek tindak pidana adalah orang yang bisa dikenakan
tanggung jawab pidana. Dalam konsep hukum perdata yang
kemudian diadopsi dalam hukum-hukum publik, orang adalah
istilah yang mencakup dua subjek hukum yakni manusia dan
subjek lain yang oleh hukum ditetapkan sebagai subjek hukum.
Dalam konteks yang terakhir ini, hukum perdata telah
mengkategorikan badan hukum sebagai subjek hukum.24 Namun
dalam perkembangan selanjutnya, subjek hukum pidana tidak
hanya manusia dan badan hukum tetapi juga mencantumkan nama
korporasi. Menurut Sutan Sjahdeini, dalam hukum pidana,
pengertian korporasi tidak hanya badan hukum. Di sana, korporasi
meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum.
Cakupannya, bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan
terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah
mempunyai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi
menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer
atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan
usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu hukum.
Sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan
melakukan perbuatan-perbuatan hukum, juga termasuk ke dalam
apa yang dimaksud dengan korporasi.25
23 Moeljatno, ibid., hlm. 185-192. 24 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003,
hlm. 73-74. 25 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta,
2006, hlm. 39-47.
xlix
e. Stelsel Pidana
Stelsel pidana mencakup pengaturan tentang jenis-jenis
pidana (strafsoord), berat ringannya pidana (straafmaat) dan cara
bagaimana pidana itu dilaksanakan (strafmodus).26 Di dalam Pasal
10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur mengenai jenis
pidana (hukuman), yang terdiri dari:
Pidana pokok:
(1) pidana mati,
(2) pidana penjara,
(3) pidana kurungan,
(4) pidana denda,
(5) pidana tutupan.
Pidana tambahan:
(1) pencabutan hak-hak tertentu,
(2) perampasan barang-barang tertentu,
(3) pengumuman putusan hakim.
Berkaitan dengan berat ringannya pidana, KUHP menyebut
pidana dengan jumlah/maksimum pidana, minimum pidana dan
pidana yang sudah ditentukan jenis dan jumlah atau bentuknya
(pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara 20 tahun).
Sedangkan cara-cara pelaksanaan pidana berbeda-beda berdasarkan
jenis pidananya.
f. Pidana Administrasi
Pidana administrasi tersebar di berbagai undang-undang
sektoral di Indonesia. Pidana ini merupakan bagian dari sanksi
administrasi karena dikenakan kepada pelanggaran-pelanggaran
atas hukum administrasi. Menurut Barda Nawawi Arief, hukum
26 Muladi, “Pembaruan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah
Hukum, No. 2 Tahun 1988, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 28.
l
administrasi pada dasarnya adalah hukum mengatur atau hukum
pengaturan (regulatory rules), yaitu hukum yang dibuat dalam
melaksanakan kekuasaan mengatur/pengaturan maka hukum
pidana administrasi sering disebut sebagai hukum pidana
pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan
(ordnungstrafrecht/ordeningstrafrecht). Selain itu, kata Barda,
istilah hukum administrasi juga terkait dengan tata pemerintahan,
sehingga istilah hukum pidana administrasi juga ada yang
menyebutnya sebagai hukum pidana pemerintahan
(verwaltungsstrafrehct/bestuursstrafrehct). Dengan demikian,
hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan
menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk melaksanakan
atau menegakan hukum administrasi. Jadi, pidana administrasi
merupakan bentuk fungsionalisasi/operasionalisasi hukum pidana
di bidang hukum adiministrasi.27
5. Teori Bekerjanya hukum dalam masyarakat
Soejono Soekanto.28 mengemukakan bahwa untuk melihat apakah
hukum itu dapat ditegakkan atau tidak maka dalam pelaksanaan
penegakan hukum di pengaruhi oleh 5 (lima) faktor pokok yaitu:
1. Undang-undang atau peraturan hukum
Undang-undang dalam arti materiil adalah peraturan tertulis
yang berlaku umum yang dibuat oleh penguasa pusat dan daerah
yang sah. Jadi dalam penegakan hukum yang dipengaruhi oleh
Undang-undang adalah:
27 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, hlm.14-15.
28 Soejono Soekanto, Faktor-faktor yang Mepengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1993. Hal. 5
li
a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya Undang-undang.
b. Belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang.
c. Ketidakjelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang
mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta
penerapannya.
2. Aparat penegak hukum.
Secara sosiologis penegak hukum mempunyai kedudukan
(status) dan pranan (role) kedudukan (sosial) yang merupakan posisi
tertentu dalam kemasyarakatan. Orang yang mempunyai kedudukan
tertentu dalam masyarakat biasa disebut pmegang peran (role
occupant) peranan tertentu dapat dijabarkan dalam unsusr-unsusr:
a. Peranan yang idial (ideal role)
b. Peranan yang seharusnya (expected role)
c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)
d. Peranan yang sebenarnya (actual role)
3. Sarana dan fasilitas
Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak
mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana
atau fasilitas antara lain yang mencakup seperti tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup, dan lain sebagainya. Kalau hal-hal
tersebut tidak terpenuhi maka penegakan hukum tidak mungkin akan
bisa mencapai tujuan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan
untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat, maka masyarakat
dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum. Dari sudut sistem
lii
sosial budaya, indonesia merupakan suatu masyarakat yang
majemuk (plural society) terdapat banyak golongan etnik dengan
kebudayaan yang berbeda-beda, disamping itu sebagian besar
penduduk Indonesia tinggal dipedesaan yang tentunya berbeda
dengan ciri-ciri wilayah perkotaan. Masalah yang timbul di wilayah
pedesaan mungkin harus lebih banyak ditangani dengan cara-cara
tradisional, demikian pula diwilayah perkotaan tidak semua masalah
bisa diselesaikan tanpa menggunakan cara-cara tradisional.
5. Faktor kebudayaan.
Faktor kebudayaan sebenarnya bersatu dengan faktor
masyarakat, masalah-masalah sistem nilai yang menjadi inti dari
kebudayaan spritual atau non materil, sebagai suatu sistem hukum
mencakup struktur, substansi, dan kebudayaan. Struktur mencakup
bentuk dari sistem tersebut yang mencakup tatanan lembaga-
lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga hukum
tersebut, hak-hak dan kewajibannya. Substansi mencakup isi norma-
norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk
menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun
pencari keadilan. Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup
nilai-nilai yang mendasari hukum-hukum yang berlaku, nilai yang
merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap tidak baik atau buruk
(sehingga dihindari).
Implementsi hukum bila dikaitkan dengan badan penegak hukum
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain undang-undang yang
mengaturnya harus dirancang dengan baik, Pelaksana hukum harus
memusatkan tugasnya dengan baik, hukum agar berfungsi sebagai rekasa
sosial memerlukan pendekatan. Menurut Robert seidman bekerjanya
hukum dalam masyarakat melibatkan 3 (tiga) kemampuan dasar yaitu
Pembuat hukum, birokrat pelaksana dan pemegang peran.
liii
Menurut Radbruch dalam Sudikno Martokusumo,29 hukum harus
mempunyai 3 (tiga) nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum
yang baik yaitu:
1. Keadilan (gerechttigkeit);
2. Kemanfaatan (zweckmassigkeit);
3. Kepastian hukum (rechtsicherheit).
Walaupun ketiganya merupakan nilai dasar dari hukum, namun
diantara ketiganya terdapat satu Spanungsverhalnis yaitu ketegangan
antara satu dengan yang lainnya, keadaan yang demikian itu dapat
dimegerti karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang lain-lain dan antara
satu dengan yang lain mengandung potensi untuk bertentangan. Apa
yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh
suatu peaturan bisa dinilai tidak sah dari sgi kegunaannya bagi
masyarakat.30
Hukum agar berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial masyarakat
biasa dan pejabat sebagai pemegang law enforcement, maka menurut
teori Robert B. Seidmen yang menyatakan bahwa bekerjanya hukum
dalam masyarakat itu melibatkan tiga kemampuan dasar, yaitu pembuat
hukum (Undang-undang), Birokrat/Penegak hukum dan masyarakat
sebagai obyek hukum31.
Dari penjelasan tersebut diatas kita bisa melihat bahwa:
1. Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seorang
pemegang peran itu diharapkan bertindak;
2. Bagaimana seorang pemegang peran bertindak sebagai suatu respon
terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan yang
29 Sudikno Mortokusumo, Mengenal Hukum sebuah Pengantar, Liberti, Yogyakarta,
1999, hal.145 30 Satjipto raharjo, Op.cit. hal. 19 31 Esmi Warassih, Peranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama,
Semarang, 2005
liv
ditujukan kepadanya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta
keseluruhan komplek kekuatan sosial, politik dan lain sebagainya;
3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai
respon terhadap peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka,
sanksi-sanksi, dan seluruh kekuatan sosial politik dan lain
sebagainya;
4. Bagaimana para pembuat Undang-undang itu akan bertindak
merupakan fungsi peraturan yang mengatur tingkah laku, sanksi-
sanksinya, ketentuan sosial, politik, idiologi, dan lain sebagainya32.
Paul dan Dias dalam Esmi Warassih, mengajukan lima (5) syarat
yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu:
1. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap
dan dipahami;
2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi
aturan-aturan hukum yang bersangkutan;
3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum;
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah
dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan
juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa;
5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga
masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu
memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif .33
Dalam penelitian ini untuk mengetahui mengapa penegakan
hukum perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
belum mencapai tujuan yang diharapkan maka akan menitikberatkan
penggunaan teori Penegakan hukum yang di gagas oleh Soerjono
Soekanto yang menjelaskan bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat
32 Satjipto raharjo, Op.cit, 1986 33 Esmi Warassih. Op cit. hal 105
lv
itu dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti Undang-undang, Aparat
Penegak Hukum, Sarana dan Fasilitas, Masyarakat serta Budaya.
Hukum dan ketertiban, seolah-olah keduanya identik. Hukum
pertama-tama menunjukkan keterikatan masyarakat kepada pertauran-
peraturan, kepada prosedur formal, sedangkan ketertiban itu mengandung
ide-ide keteraturan, efisiensi, inisiatif. Jadi hukum dipakai sebagai
lambang suatu yang formal, sedangkan ketertiban merupakan lambang
substansinya34. Penegak hukum yang mencerminkan hamba hukum
maka ia cukup menjalankan ketentuan-ketentuan yang secara jelas sudah
dituangkan dalam bentuk undang-undang serta peraturan lainnya.
Sedangkan aparat hukum yang mencerminkan sebagai hamba masyarakat
ia dituntut lebih dari itu, yaitu sebagai penjaga ketertiban dan dituntut
inisiatif-inisiatif pribadi atau daya kreasi untuk mewujudkan ketertiban
dalam masyarakat.
Suatu tatanan yang ada dalam masyarakat sesungguhnya terdiri dari
satu kompleks tatanan yang berupa kebiasaan, hukum dan kesusilaan,
dengan demikian ketertiban yang ada dalam masyarakat itu senantiasa
terdiri dari ketiga tatanan trsebut. Keadaan yang demikian ini
memberikan pengaruh tersendiri terhadap masalah efektivitas tatanan
dalam masyarakat. Efektivitas ini bisa dilihat dari peraturan hukum
sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubungan-
hubungan antara orang perorang didasarkan pada hukum atau tatanan
hukum.
Menurut Satjipto Rahardjo secara sosiologis dapat dilihat adanya 2
(dua) fungsi utama hukum yaitu:
1. Social Control (Kontrol Sosial)
Social Control merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi
warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang
34 Satjipto Rahardjo, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, Alumni, Bandung,
1977
lvi
telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang
hidup didalam masyarakat. Termasuk dalam lingkup kontrol sosial
ini adalah:
a. Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan
peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang
dengan orang;
b. Penyelesaian sengketa dalam masyarakat;
c. Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, dalam hal terjadi
perubahan-perubahan sosial.
2. Social Engineering (rekayasa sosial)
Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib
atau keadaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat
hukum. Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih peraktis,
yaitu hanya untuk kepentingan sekarang, maka fungsi rekayasa
sosial dari hukum ebih mengarah kepada pembahasan sikap dan
prilaku masyarakat dimasa mendatang sesuai dengan keinginan
pembuat undang-undang. Perubahan-perubahan yang dikehendaki
itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-
pola tingkah laku yang baru di masyarakat 35
Selanjutnya menurut satjipto Rahardjo adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan hukum yaitu:
1. Mudah tidaknya ketaatan/pelanggaran hukum itu dilihat/disidik;
2. Siapakah yang bertanggungjawab menegakkan hukum yang
bersangkutan.
Sedangkan syarat-syarat yang menentukan kemungkinan hukum
menjadi efektip adalah implementasinya yaitu :
1. Undang-ndang direncanakan dengan baik;
35 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu
Hukum, Alumni, Bandung, 1977, hal.143
lvii
2. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang (prohibitur) dan bukan
mengharuskan/memperbolehkan (mandatur);
3. Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan/sifat Undang-undang;
4. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding) dengan ancaman
pelanggaran;
5. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah);
6. Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral;
7. Pelaksanaan hukum menjelaskan tugasnya dengan baik,
menyebarluaskan undang-undang, penafsiran seragan dan konsisten.
Menurut Robert B. Seidman, bekerjanya hukum sangat dipengaruhi
oleh kekuatan atau faktor-faktor sosial dan personal. Faktor sosial dan
personal tidak hanya berpengaruh terhadap rakyat sbagai sasaran yang
diatur oleh hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum.
Teori ini dicetuskan oleh Robert B. Seidman yang menyatakan adanya
pengaruh-pengaruh sosial dalam bekerjanya hukum dengan digambarkan
sebagai berikut:
Bekerjanya kekuatan- Kekuatan Personal dan Sosial
Umpan balik umpan balik
Norma Peran yang dimainkan Penerapan Sanksi
Bekerjanya kekuatan Bekerjanya Kekuatan Personal dan sosial Personal dan Sosial Umpan balik
Gambar 1. teori bekerjanya hukum
Lembaga Pembuat Peraturan
Pemegang Peran Penegak Hukum
lviii
Dari bagan tersebut di atas tampak peran dari kekuatan sosial,
yang tidak berpengaruh terhadap rakyat terhadap sasaran yang diatur oleh
hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Dari arah
panah tersebut diatas dapat diketahui, bahwa hasil akhir dari tatanan
masyarakat tidak hanya bisa hanya dimonopoli oleh hukum. Kita lihat
bahwa tingkah laku rakyat tidak hanya ditentukan oleh hukum,
melainkan juga oleh kekuatan personal dan sosial lainnya. Melihat
permasalahan dalam gambar sebagaimana diterangkan oleh Chamblis &
Seidman memberikan perspektif yang lebih baik dalam memahami
bekerjanya hukum dalam masyarakat36.
Berbicara masalah hukum pada dasarnya kita membicarakan fungsi
hukum didalam masyarakat. Untuk memahami bagaimana fungsi hukum
itu, maka perlu dipahami terlebih dahulu bidang pekerjaan hukum.
Hoebel dalam Sadjipto Rahardjo.37 mengemukakan ada 4 (empat) bidang
pekerjaan yang dilakukan oleh hukum yaitu:
1. Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat
dengan menunjukka perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan
yang boleh dilakukan;
2. Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh
melakukan kekuasaan atau siapa berikut prosedurnya;
3. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat;
4. Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara
mengatur kembali hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat
dengan menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan
yang boleh dilakukan.
Untuk melihat bekerjanya hukum sebagai suatu pranata dalam
masyarakat, maka perlu dimasukkan suatu faktor yang menjadi perantara
yang memungkinkan teradinya penerapan dari norma-norma hukum itu.
36 Satjipto Rahardjo, ibid, hal. 21 37 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1979, hal.38
lix
Penerapan hukum di dalam masyarakat hanya dapat terjadi melalui
manusia sebagai perantaranya, masuknya manusia ke dalam pembicaraan
hukum khususnya didalam hubungan dengan bekerjanya hukum itu,
membawa kepada penglihatan mengenai hukum sebagai karya manusia
dalam masyarakat, maka tidak dapat membatasi masuknya pembicaraan
mengenai faktor-faktor yang memberikan beban pengaruhnya(impact)
terhadap hukum, yang meliputi:
a. Pembuatan Hukum
Dalam hubungannya dengan masyarakat, pembuatan hukum
merupakan pencerminan dari model masyarakatnya. Menurut
Chamblis & Seidman terdapat 2 (dua) model masyarakat (Satjipto
Rahardjo, 1980 : 49) yaitu:
1. Model masyarakat yang berdasarkan pada basis kesepakatan
akan nilai-nilai (value consensus) masyarakat yang demikian
akan sedikit sekali mengenal adanya konflik-konflik atau
ketegangan didalamnya sebagai akibat dari adanya kesepakatan
nilai-nilai yang menjadi landasan kehidupannya, dengan
demikian maslah yang dihadapi oleh pembuatan hukum
hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku didlam
msyarakat.
2. Masyarakat dengan model konflik. Masyarakat dilihat sebagai
suatu hubungan yang sebagian warganya mengalami tekanan-
tekanan oleh sementara warga lain, perubahan dan konflik-
konflik merupakan kejadian yang umum. Sehingga akan
tercermin dalam pembuatan hukumnya.
b. Pelaksanaan Hukum (Hukum sebagai suatu proses)
Hukum tidak dapat bekerja atas kekuatan sendiri, melainkan
hukum hanya dapat berjalan melalui manusia, manusialah yang
menciptakan hukum, untuk pelaksanaan hukum yang telah dibuat
lx
diperlukan adanya beberapa langkah yang memungkinkan hukum itu
bisa berjalan, pertama, harus ada pejabat sebagaimana yang
ditentukan dalam peraturan hukum, kedua harus ada orang-orang
yang melakukan perbuatan hukum, ketiga orang-orang tersebut
mengetahui adanya peraturan tentang keharusan bagi mereka38.
c. Bekerjanya Hukum Dibidang Pengadilan
Bekerjanya hukum dengan proses peradilan secara
konvensional melibatkan pembicaraan tentang kehakiman, prosedur
berperkara dan lain sebagainya. Masalahnya adalah bagaimana
mengatur penyelesaian sengketa secara tertib berdasarkan prosedur
formal yang ditentukan. Apabila penyelesaian sengketa itu dilihat
sebagai fungsi kehidupan sosial maka keadaannya menjadi lain. Hal
ini yang menjadi masalah adalah bagaimana bekerjanya pengadilan
sebagai suatu peranata yang melayani kehidupan sosial. Dalam
rangka penglihatan ini maka pengadilan tidak dilihat sebagai suatu
badan yang merupakan bagian dari keseluruhan nilai-nilai dan
proses-proses yang bekerja didalam masyarakat tersebut.39
d. Hukum dan Nilai-nilai dalam Masyarakat
Hukum menetapkan pola hubungan antar manusia dan
merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat kedalam
bagan-bagan. Didalam masyarakat ada norma-norma yang
disebutsebagai norma yang tertinggi atau norma dasar. Norma inilah
yang merupakan norma yang paling menonjol yang paling kuat
bekerjanya atas diri anggota-anggota masyarakat seperti halya
dengan norma maka nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan
tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai itu
merujuk pada hal yang sama tetapi dari sudut pandang yang berbeda,
38 ibid 39 Satjipto Rahardjo, ibid, hal. 53
lxi
norma itu mempunyai suatu perspektif sosial, sedang nilai
melihatnya dari sudut persepektif individual.40
Mengenai validitas pelaksanaan hukum berkaitan erat dengan
masalah berfungsinya hukum dalam masyarakat, apabila berbicara
masalah berfungsinya hukum dalam masyarakat maka biasanya pikiran
diarahkan kepada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku
atau tidak. Kelihatannya sangat sederhana padahal di balik
kesederhanaan tersebut ada hal-hal yang merumitkan. Dalam teori-teori
hukum biasanya dibedakan antara 3 (tiga) macam berlakunya hukum
sebagai kaidah. (Soerjono Soekanto & Mustafa Abdullah), yaitu:
1. Kaidah hukum berlaku secara Yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau apabila terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zebenbergen), atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara satu kondisi dan akibatnya ( L.H.A. Logemann).
2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis
Apabila kaidah hukum tersebut efektip artinya: (a). Kaidah hukum dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak bisa diterima oleh warga masyarakat. (b). Kaidah hukum diberlakukan oleh penguasa meskipun tidak diterima oleh masyarakat. (c). Kaidah hukum berlaku karena diterima dan diakui oleh warga masyarakat.
3. Kaidah Hukum berlaku secra filosofis.
Artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut mengenai masalah berfungsinya ketentuan hukum yang berlaku, digunakan konsep kaidah hukum yang berlaku secara sosiologis, dan teori pengakuan.
40 ibid. hal.13
lxii
6. Teori Penanggulangan Kejahatan.
Kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang sering dikenal
dengan istilah ”politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang
cukup luas G. Peter Hoefnagels menggambarkan ”Criminal Policy”
dengan skema sebagai berikut 41
ad. of crime.justice in narrow sense: soc. policy crime legislation crime jurisprudence community crime. process in wide sense planning sentencing mental health forensic psychiatary and nat. mental health psicology sot work child forensic social work walfere crime, sentence executonand administrative policy statistic civil law
Dari skema diatas terlihat, bahwa menurut G. Peter Hoefnagels upaya
penaggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a. penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman);
c. mempengaruhi pandangan masyarakat menegenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on
crime and punishman/mass media).
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara
garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur ”penal” (hukum pidana)
dan lewat jaur ”non penal” (bukan/di luar huum pidana). dalam
41 Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-39
criminal policy
prevention without punishman
crime law application (practical criminology)
influencing view of societynon crime and punishman (mass media)
lxiii
pembagian G.P. Hoefnagels diatas upaya dalam butir (b) dan (c) dapat
disebutkan dalam kelompok ”non penal”.
Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan
kejahatan lewat jalur ”penal” lebih menitikberatkan pada sifat
”repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah
kejahatan terjadi, sedangkan jalur ”non penal” lebih menitikberatkan
pada sifat ”preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian)
sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan yang kasar,
karena tindakan represif pada hakiktnya juga dapat dilihat sebagai
tindakan preventif dalam arti luas.
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jaur ”non penal” lebih
bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utaanya
adalah menegenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan, faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan antara lain
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secra
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan.
Dalam salah satu kongres kongres PBB ke-6 tahun 1980 di
ciracas venezuela, antara lain dinyatakan dalam pertimbangan resolusi
mengenai ”Crime tends and crime prevention strategies” 42.
- bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian
kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semuaorang; (the
crime problem impedes progress towards the attainment of an
accebtable quality of life fot all people).
- bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada
penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
42 Sixth United Nations Congress, Report, 1981, hal-5 dalam Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-41
lxiv
kejahatan; (crime prevention strategies should be based upon the
elimination of causes and conditions giving rise to crime).
- bahwa penyebab utama dari kejahatan dibanyak negara adalah
ketimpangan sosial, deskriminasi rasial, dan deskriminasi nasional,
setandart hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurupan
(kebodohan) diantara golongan besar penduduk; (the man causes of
crime in mani countries are social inequality, rasial and national
diskrimination. low standart of living, unemployment and liliteracy
among broad section of the population).
7. Penelitian yang relevan
Penelitan yang relevan dengan penelitian ini adalah yang berjudul :
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN
HUKUM TERHADAP PELAKU ILLEGAL LOGGING DI KALIMANTAN
BARAT oleh Subaryanto, 2007.
Penelitian tersebut dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa dalam
konteks penegakan terhadap kegiatan illegal logging hukum oleh instansi
pemerintah, ternyata tidak mudah untuk di wujudkan. Kerjasama yang
bersifat kuratif dan polisionil seringkali menimbulkan gesekan dengan
kekuasaan, termasuk terjadinya korupsi, kolusi dan nepotismen justru
menyebabkan pemberantasa ileegal logging yang dilakukan tidak
berjalan dengan maksimal. Hasil dari penelitian tersebut digambarkan
bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap
illegal logging di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Sintang Propinsi
kalimanatan Barat adalah : 1) dari segi substansi hukum, yaitu masih
adanya kelemahan dalam peraturan perundang-undanagn yang
memberikan peluang terjadinya illegal logging maupun dalam penegakan
hukumnya, yaitu pasal-pasal yang memberikan alternative penjatuhan
sanksi pidana dengan tidak memberikan sanksi pidana minimum; 2) dari
segi struktur hukum, yaitu masih minimnya jumlah petugas, sarana dan
prasarana bila dibandingkan dengan jumlah dan luas kawasan yang harus
lxv
diawasi. adanya oknum-oknum petugas yang sengaja memanfaatkan
kelemahan peraturan untuk memeberikan kemudahan-kemudahan
terjadinya illegal logging dan pengangkutan kayu hasil hutan secara tidak
sah.; 3) dari kultur hukum, yaitu bergesernya sikap dan pola hidup
masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, dari
masyararakat petani/peladang menjadi konsumtif dengan menjadikan
buruh dan penebang liar. Hal ini dipicu adanya kebutuhan yang
meningkat/konsumtif dengan mencari penghasilan yang cepat guna
memenuhi kebutuhan tersebut.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut diatas, Pada
penelitian yang dilakukan oleh Subaryanto fokus analisis adalah
mengenai efektipitas UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
terhadap pemeberantasan illegal logging khususnya terhadap peredaran
hasil hutan (kayu) illegal di Kalimantan Barat. Sedangkan penelitaan ini
difokuskan membahas efektipitas terhadap penanganan perabahan hutan
di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Propinsi Lampung, Indikator
yang digunakan adalah : a). Kaedah Hukum atau peraturan itu sendiri; b).
Petugas/aparat yang menegakan hukum; c). Fasilitas yang diharapkan
mendukung pelaksanaan hukum; d). Warga masyarakat yang terkena
ruang lingkup peraturan tersebut; dan e). Budaya Hukum
B. Kerangka Pikir
Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan diundangkan
pada tanggal 30 September 1999 9Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, tambahan Lembaraan Negara Republik Indonesia
tahun 1999 Nomor 167), menyatakan bahwa hutan sebagai modal
pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan
penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun
ekonomi, secara seimbang dan dinamis, untuk itu hutan harus diurus dan
dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang maupun yang
lxvi
akan datang. Negara sebagai organisasi kekuasaan yang mempunyai
kewenangan secara yuridis untuk mengatur hutan, pemanfaatan hutan, harus
mampu mengarahkan kebijakannya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
rakyat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, dengan
demikian fungsi dari hutan dapat dilihat baik dari segiekologis, ekonomis dan
segi sosial. Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Kehutanan dimana
Kementerian Kehutanan mempunyai Unit Pelaksana Teknis yang ada di
Daerah salah satunya Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mencakup
pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian
menyangkut sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Undang-undang ini
juga memuat sanksi berupa Pidana, sanksi administratif, dan sanksi denda
atau ganti rugi. Terhadap perkara tindak pidana perambahan hutan
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 50 Ayat (3) setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau
jarak sampai dengan; 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai dan
daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang
terendah dari tepi pantai.
Dalam Pasal 78 Ayat (2) di jelaskan mengenai sanksi pidana yaitu: Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Penjelasan dari bunyi pasal 78 Ayat (2) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu:
1. Dengan sengaja; 2. Melakukan Perambahan hutan; 3. Diancam dengan pidana.
lxvii
Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagi lembaga
yang berwenang dalam pengelolaan kawasa hutan mempunyai tugas dan
tanggung jawab dalam hal penegelolaan kawasan dan pengamanan kawasan.
Penegakan hukum terhadap perambahan oleh Balai Besar Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) telah sering dilakukan baik melalui
operasi represif maupun dalam bentuk kegiatan pemberdayaan dan
pembinaan daerah penyangga (daerah yang berbatasan langsung dengan
kawasan) yang difokuskan pada peningkatan ekonomi masyarakat di desa
penyangga, penyuluhan dan pembinaan partisipasi masyarakat, optimalisasi
pemanfaatan.
Dalam penelitian ini penulis akan menyoroti tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di
Taman Nasonal Bukit Barisan Selatan, oleh karena penulis menekankan
kepada aspek penegakan hukum (baik secara preventif maupun secara
represif) dimana menurut Soerjono Soekanto dalam teori yang digagasnya
bahwa dalam penegakan hukum dapat di pengaruhi oleh faktor-faktor seperti
Undang-undang, Aparat penegak hukum, Sarana atau fasilitas, Masyarakat
dan Budaya. Skema dapat digambarkan sebagai berikut:
lxviii
Skema dapat digambarkan:
Gambar 2. Kerangka pikir
UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Penegakan hukum perambahan hutan
belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan
Upaya
Represif/ Penerapan hukum pidana (criminal law application)
Preventif/ Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishmant
Faktor yang mempengaruhi: 1. Undang-undang 2. Aparat Penegak Hukum 3. Sarana dan Prasarana 4. Masyarakat 5. Budaya
terwujudnya kelestarian dan keutuhan kawasan
lxix
BAB III METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum non
doktrinal, sedangkan dilihat dari bentuknya penelitian ini merupakan
penelitian diagnostik yaitu merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan
untuk mendapatkan keterangan menegenai sebab-sebab terjadinya suatu
gejala atau beberapa gejala, dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk
penelitian yang deskriptif, yaitu dimaksudkan untuk memberikan data yang
diteliti seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya,43
Dalam mempelajari hukum tentunya tidak bisa terlepas dari 5 (lima)
konsep hukum menurut Soetandyo wignyosoebroto, sebagaimana dikutif oleh
Stiono, ke 5 (lima) konsep hukum tersebut yaitu:
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan
berlaku universal;
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan
hukum nasional;
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcretto dan
tersistematis sebagai judge made law;
4. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai
variabel sosial yang empirik;
5. Hukum adalah manivestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial
sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.
Berdasarkan atas penjelasan dari kelima konsep hukum tersebut,
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian non doktrinal penulis
menggunakan konsep hukum yang ke 5 (lima), yaitu Hukum adalah
manifestasi makna-makna simbolik para prilaku sosial sebagai tampak dalam
interaksi antar mereka. tipe kajiannya sosiologi dan/antropologi hukum yang
43 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, 2007, hal. 10
lxx
mengkaji ” law as it is in (human) action ” dengan menggunakan metode
penelitian sosiologi dan/atau sosial/non-doktrinal dengan pendekatan
intraksional/mikro dengan analisis-analisis yang kualitatif ini metode
penelitiannya kemudian penelitinya menggunakan sosio-antropolog, pengkaji
humaniora dan orientasinya kepada simbolik interaksional.44
Hukum disini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai
regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam
pengalaman. Disini hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan interaksi
manusian yang secara aktual atau pontensial akan terpola. Karena setiap
perilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam alam
pengalaman indrawi dan empiris, maka setiap penelitian yang mendasarkan
atau mengkonsepkan hukum sebagai tingkah laku atau perilaku dan aksi ini
dapat disebut sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau
penelitian non doktrinal. Tipe kajian ini adalah kajian keilmuan dengan
maksud hanya hendak mempelajari saja dan bukan hendak mengajarkan suatu
doktrin. Maka metodenya disebut mentode non doktrinal..45
Berdasarkan konsep hukum ke lima dan dengan pendekatan mikro yang
dilakukan, maka gejala empiris yang diamati dalam penelitian ini adalah yang
berkaitan dengan faktor-faktor Yang Mempengaruhi dalam penanganan
perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan selatan.
Penelitian-penelitian non doktrinal yang sosial dan empiris atas hukum
akan menghasilkan teori-teori eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat
berikut perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses-proses perubahan
sosial. Teori-teori ini dikembangkan dari hasil-hasil penelitian yang beruang
lingkup luas, mikro dan pada umumnya amat kuantitatif untuk mengelola
data itu sangat massal terorganisasi dalam suatu gugusan yang disebut the
sosial theoritie of law.
44 Burhan Ashshofa., Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga. Rineka Cipta. Jakarta,
2001, hal .11 45 Op.cit., hal 33-34
lxxi
Menurt Moleong (2004 : 5) mengatakan bahwa metode kualitatif di
gunakan karena beberapa pertimbangan, pertama, menyesuaikan metode
kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua,
metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan
responden.
Dalam penelitian ini dimaksudkan tidak untuk menguji hipotesis
tertentu, tetapi lebih menggambarkan keadaan apa adanya tentang suatu
variabel atau keadaan. Kata-kata yang tergambar dalam penelitian deskriptif
bertolak pada penafsiran data yaitu melalui suatu alur berpikir logis.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian dalam penelitian ini di lakukan di:
a. Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan;
b. Pengadilan Negeri Liwa di Lampung Barat;
c. Cabang Kejaksaan Negeri Liwa;
d. Kepolisian Resort Lampung Barat;
e. Pemerintahan Kabupaten Lampung Barat (Dinas Kehutanan dan Sumber
Daya Alam).
3. Data dan Jenis Data
Dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal (normatif)
maka jenis data adalah data sekunder yang mencakup:
1. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil
penelitian lapangan yang berupa keterangan dan penjelasan yang
diberikan oleh para responden/nara sumber, antara lain Kepala Balai
Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Penyidik Pegawai Negeri
Sipil Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Kepolisian
lxxii
Resort Lampung Barat, Cabang Kejaksaan Negeri Liwa, Pengadilan
Negeri Liwa, Dinas Kehutanan dan Sumber Daya Alam.
2. Data Sekunder
Data Skunder adalah data yang diperoleh dari bahan perpustakaan46. dan
berbagai hukum yang relevan, atau data yang mendukung atau menunjang
kelengkapan data Primer.
Data sekunder terdiri atas:
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat. meliputi peraturan
perundang-undangan dan peraturan lain yang berhubungan dengan
penelitian.
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 19945;
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
3. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 1981;
4. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;
5. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya;
6. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hdup;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, Tentang Pengelolaan
Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya,
rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
46 Soerjono Soekanto, Op cit, UI Press, Jakarta, 1986
lxxiii
kalangan hukum, bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel,
makalah, literatur, serta surat kabar.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum terstier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder seperti
a. kamus hukum / ensklopedia;
b. kamus umum bahasa Indonesia;
c. Majalah;
d. Surat Kabar;
e. Web site.
4. Teknik Pengumpulan Data.
Untuk mendapatkan data primer, maka teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah wawancara secara mendalam (indefth interview)
observasi dan studi dokumentasi.
1. Wawancara (indefth interview)
Wawancara adalah suatu metode pengumulan data dengan cara
mendapatkan keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu47.
Artinya pengumpulan data dengan menanyakan secara langsung/tatap
muka dengan para responden untuk mendapatkan keterangan atau
informasi mengenai suatu masalah, yang dilakukan dengan sistematis
berdasarkan pedoman yang disusun sesuai dengan tujuan penelitian dan
sifatnya tidak terbatas. Wawancara dilakukan dengan tujuan memperoleh
keterangan-keterangan yang jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan
penanganan perkara tindak pidana perambahan kawasan hutan Dalam
suatu wawancara terdapat dua pihak yaitu pencari informasi yang bisa
disebut dengan pewawancara atau interviewer, dalam hal ini adalah
penulis. Dipihak lain adalah informen atau responden.
47 Burhan Ashshofa, Op cit, Hal.95
lxxiv
Dalam penelitian ini wawancara mendalam di lakukan terhadap nara
sumber/responden yang telah ditentukan antara lain:
1. Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan;
2. Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Wilayah II Liwa;
3. Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Wilayah III Krui;
4. Penyidik Pegawai Negeri Spil Balai Besar Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan;
5. Polisi Kehutanan (POLHUT) Balai Besar Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan;
6. Kepolisian Resort Lampung Barat (Unit Reserse Kriminal);
7. Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Liwa;
8. Ketua, dan Hakim Pengadilan Negeri Liwa;
9. Pemerintah Daerah Lampung Barat, (Dinas Kehutanan dan Sumber
Daya Alam);
2. Observasi
Metode observasi ini dilakukan selama melangsungkan pengamatan
lapangan termasuk kesempatan selama pengumpulan bukti yang lain.
Observasi bermanfaat untuk memberikan informasi tambahan tentang
pemahaman suatu konteks dan fenomena yang akan diteliti.
3 . Studi Dokumen
Pengumpulan data sekunder dengan studi dokumentasi sebagai
pelengkap data, dan dokumen-dokumen tersebut diharapkan menjadi
sumber untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dimungkinkan
dioperoleh melalui wawancara dan observasi. Dokumentasi yang
berhubungan dengan penelitian ini adalah buku-buku, majalah, dokumen,
peraturan-peraturan, dan dokumen pendukung yang berhubungan dengan
penegakan hukum perambahan hutan.
lxxv
5. Teknik Analisis Data
Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metoda ilmiah
karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna
dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Menurut Lexy J. Moloeng
analisis data adalah proses mengatur urutan data dan mengorganisasikannya
ke dalam satu pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehigga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesiskerja seperti yag disarankan data 48.
Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis kualitatif, yaitu cara pemilihan data yang menghasilkan data
deskriptif. Menurut Burhan Ashshofa data deskriptif adalah apa yang
dinyatakan oleh informen secra lisan maupun tulisan dan juga prilaku nyata
di amati dan dipelajari secara utuh. Penerapan metode kualitatif dalam
penelitian ini adalah untuk mengungkap kebenaran dan memahaminya secara
operasional dengan menggunakan pendekatan deduktif dan interpretasi 49.
Analisis data dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) komponen pokok
yaitu: Reduksi data, Sajian data, kesimpulan atau verifikasi data 50. Teknik
analisis kualitatif interaktif dapat digambarkan dalam bentuk rangkaian yang
utuh antar ke tiga komponen diatas (reduksi data, penyajian data, serta
verifiksi data) yaitu sebagai berikut:
48 Lexy J. Moloeng, Metode Peneitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. 2001,
Hal 103 49 Burhan Ashshofa, Ibid, Rineka Cipta, Jakarta, 2001. Hal. 74 50 H.B. Sutopo,Metodelogi Penelitian kualitatif, UNS Press, surakarta, 2006, hal.120
lxxvi
Gambar 3. Proses Analisis Data Interaktif (Interaktif Model of Analisis).
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah bagian analisis, berbentuk mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, dan membuang hal-hal yang tidak
penting dan mengatur datasedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir
dapat disimpulkan51. Menurut B. Miles dan A. Michael Huberman dalam
Tjejep Rohendi Rohidi (1992 : 16) Reduksi data diartikan sebagai proses
pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis
dilapangan. Hal yang sangat penting di dalam reduksi data adalah analisis
yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak
perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa hingga
kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
b. Sajian data
Sajian data berupa rangkaian nformasi yang tersusun dalam bentuk
kesatuan yang dapat dimungkinkan untuk menarik kesimpulan dan
pengambilan tindakan dalam penelitian yang dilakukan. Sajian data
sebaiknya dalam bentuk tabel, gambar, matriks, jaringan kerja, kaitan
51 H.B. Sutopo,Ibid, hal.12
lxxvii
kegiatan sehingga dapat memudahkan peneliti untuk mengambil
kesimpulan. Peneliti diharapkan sejak awal dapat memahami arti dari
berbagai hal yang ditemui sejak dimulainya penelitian, dengan demikian
diharapkan dapat menarik kesimpulan yang terus dikaji dan diperiksa
seiring dengan perkembangan penelitian yang dilakukan.
c. Simpulan dan Verifikasi
Kesimpulan merupakan sebagian dari suatu konfigurasi yang utuh,
kesimpulan di verifikasi selama penelitian berlangsung. Dalam penarikan
simpulan (verifikasi) ini tidak terlepas dari reduksi dan penyajian data,
penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari suatu kegiatan dari
konfigurasi-konfigurasi yang utuh. Kesimpulan juga diverifikasi selama
penelitian berlangsung untuk dapat memberikan makna yang telah teruji
kebenarannya. Data yang telah dikumpulkan akan memberikan makna
apabila data-data tersebut dibuat simpulan dan diverifikasi.
lxxviii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum tentang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan a. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan
kawasan konservasi terbesar ketiga di Sumatera. (setelah Taman
Nasional Gunung Leuser di Nangroe Aceh Darussalam, dan Taman
Nasional Kerinci Sebelat di Propinsi Jambi) Pada awalnya Bukit
Barisan Selatan merupakan kawasan Suaka Margasatwa yang
ditetapkan pada tahun 1935 melalui Besluit Van der Gouverneur Indie
No. 48 stbl. 1935 dengan nama Sumatera Selatan I (SS I) dan
diperuntukkan bagi perlindungan hidupan liar khususnya mamalia
besar yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Badak
(Dicerorhinus sumatrensis) dan Gajah Sumatera (Elephas maximus
sumatranus). Ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional melalui
surat pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982 tanggal
14 Oktober 1982. 52. Kemudian pada tahun 1997 dibentuk Balai
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan melalui SK Menteri Kehutanan
No. 185/Kpts-lI/1997 tanggal 31 Maret 1997. Pada tahun 2004
TNBBS ditetapkan sebagai salah satu dari enam taman nasional yang
ditetapkan sebagai natural wolrd haritage site. Selain kawasan darat,
ditetapkan pula Cagar Alam Laut (CAL) Bukit Barisan Selatan seluas
± 21.600 Ha dalam pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisn Selatan
melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 71/Kpts-II/1990
tanggal 15 Februari 1990.53
52 Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982, tanggal 14 Oktober
1982 53 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000
lxxix
b. Luas dan Kedudukan
Kawasan TNBBS meliputi areal seluas ± 356.800 Ha yang
membentang dari ujung Selatan bagian Barat Propinsi Lampung
sampai bagian selatan Propinsi Bengkulu yang secara geografis
terletak pada 4°29’ - 5°57’ LS dan 103°24’-104°44’ BT.
Secara administrasi pemerintahan, kawasan Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanggamus
(Kecamatan Kotaagung, Wonosobo, Pematang Sawa dan Semaka),
Propinsi Lampung seluas ± 10.500 Ha, Kabupaten Lampung Barat
(Kecamatan Pesisir Utara, Pesisir Tengah, Pesisir Selatan, Bengkunat,
Balik Bukit, Belalau, Sekincau, Way Tenong, Sumberjaya dan Suoh),
Propinsi Lampung seluas ± 280.300 Ha dan Kabupaten Kaur
(Kecamatan Nasal, Bintuhan, Tanjung Iman, Padang Guci, Muara
Saung, dan Maje), Propinsi Bengkulu seluas ± 66.000 Ha. Sementara
bagian tengah hingga utara sebelah timur Taman Nasional berbatasan
dengan Propinsi Sumatera Selatan, masing-masing dengan Kecamatan
Banding Agung, Kecamatan Pembantu Mekakau Ilir dan Kecamatan
Pulau Beringin, Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Tabel 3 : Dasar Penetapan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.54
NO KAWASAN
HUTAN STATUS LUAS (HA) SURAT
KEPUTUSAN MENTERI
TANGGAL LOKASI
01 02 03 04 05 06 07 1. TNBBS TN 356.800 Surat Pernyataan
Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982
14-10-1982 Propinsi Lampung (Kab. Tanggamus dan Kab. Lampung Barat) dan Propinsi Bengkulu (Kab. Kaur)
2. KONSER VASI LAUT
CAL 17.280,75 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000
23-08-2000 Propinsi Lampung
JUMLAH 374.080,75 - - - Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.
54 Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982 dan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000
lxxx
Tabel 4 : Luas Kawasan Per Propinsi / Kabupaten.55
NO. KAWASAN KONSERVASI LOKASI KAWASAN LUAS (HA) PROSENTASE
01 02 03 04 05 1. TAMAN NASIONAL
BUKIT BARISAN SELATAN
PROP. LAMPUNG : 283.145,00 81,40 % - Kab. Tanggamus 10.500,00 3,02 % - Kab. Lampung Barat 272.645,00 78,38 % PROP. BENGKULU : 64.711,00 18,60 % - Kab. Bengkulu Selatan 64.711,00 18,60 %
2. CAGAR ALAM LAUT BUKIT BARISAN SELATAN
PROPINSI LAMPUNG: 17.280,75 - Kab. Lampung Barat 13.804.75 79,89% - Kab. Tanggamus 3.476 20,11%
Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.
Tabel 5 : Luas Kawasan Per Wilayah
NO.
KAWASAN KONSERVASI
BIDANG PENGELO-LAAN TN
LUAS (HA)
SEKSI PENGELOLA
AN TN
LUAS (HA) RESORT
LUAS (HA)
1. TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN, 356.800 HA
WILAYAH I SEMAKA
178.091 WILAYAH I SUKARAJA
94.765 ULU BELU 6.741 TAMPANG 20.091 WAY NIPAH 16.567 SUOH 37.560 SUKARAJA ATAS 13.806
WILAYAH II BENGKUNAT
83.326 WAY HARU 28.224 PEMERIHAN 17.902 BIHA 21.906 NGAMBUR 15.294
WILAYAH II LIWA
178.709 WILAYAH III KRUI
96.179 PUGUNG TAMPAK
18.493
BALAI KENCANA 17.022 BALIK BUKIT 23.011 LOMBOK 24.238 SEKINCAU 13.415
WILAYAH IV BINTUHAN
82.530 MERPAS 30.504 MAKAKAU ILIR 26.425 MUARA SAUNG 25.601
2. CAGAR ALAM LAUT BUKIT BARISAN SELATAN, 21.600 HA
WILAYAH I SEMAKA
15.777,50 WILAYAH I SUKARAJA
12.301.5 TAMPANG 12.301,5
WILAYAH II BENGKUNAT
3.476 WAY HARU 3.476
WILAYAH II LIWA
1.503,25 WILAYAH III KRUI
1.503,25 PUGUNG TAMPAK
1.503,25
JUMLAH ( 1 + 2 ) 378.400 - 378.400 - 378.400
Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.
55 - Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus
2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Propinsi Lampung;
- Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 420/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Propinsi Bengkulu.
- Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Pebruari 1990, bahwa pengelolaan CAL.BBS digabungkan dengan TNBBS.
lxxxi
Secara rinci luas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah sebagai berikut:
Tabel 6. Luas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Per-Propinsi
PROPINSI LAMPUNG PROPINSI BENGKULU - Kab. Tanggamus : 10.500 Ha
(2,8% dari luas kabupaten) - Kab. Kaur : 66.000 Ha (30% dari
luas kabupaten)
- Kab. Lampung Barat: 280.300 Ha (55% dari luas kabupaten)
Luas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Keseluruhan - Area darat : 356.800 Ha - Cagar Alam Laut : 21.600 Ha - Total Area : 378.400 Ha
Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008
Gambar 4 : Peta Kawasan TNBBS
lxxxii
c. Organisasi dan Tata Kerja
Struktur organiasi Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan merupakan Balai Besar Tipe B yang memiliki 3 (tiga) bidang
terdiri dari 1 (satu) bidang teknis dan 2 (dua) bidang pengelolaan
Taman Nasional. Bagan struktur organisasi Balai Besar Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan dapat dilihat pada Gambar 2.
BALAI BESAR TNBBS (KOTAAGUNG)
BAGIAN TATA USAHA
SUB BAG. UMUM
SUB BAG PERENCANAA
N DAN KERJASAMA
SUB BAG
DATA EVLAP DAN HUMAS
BIDANG
TEKNIS KONSERV. TN
BIDANG PENGEL.TN. WIL. I SEMAKA
BIDANG PENGEL.TN. WIL. II LIWA
SEKSI PEMANFAATAN
DAN PELAYANAN
SEKSI PERLINDUNGANPENGAWETAN
DAN PERPETAAN
SEKSI PENGELOLA
AN TN WILAYAH I SUKARAJA
SEKSI PENGELOLAAN TN WILAYAH II
BENGKUNAT
SEKSI PENGELOLAAN TN WILAYAH III
KRUI
SEKSI PENGELOLAAN TN WILAYAH IV
BINTUHAN
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
Gambar 2. Bagan Organisasi Balai Besar TNBBS (TIPE B). 56
Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.
56 Permenhut Nomor : P. 03/Menhut-II/2007 Tanggal : 1 Pebruari 2007
lxxxiii
d. Kerusakan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan akibat perambahan.
Salah satu faktor penyebab kerusakan kawasan Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan adalah disebabkan karena perambahan hutan,
disamping terjadi karena illegal logging. Perambahan di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan terjadi semenjak tahun 1950an, dan
sekarang masih merupakan kebun yang masih produktip yang
ditanami dengan tanaman kopi, lada, coklat dan tanaman pertanian
lainnya.
Tabel 7 : Data Perambahan Kawasan Hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan .57
TAHUN JUMLAH / LUAS PERAMBAHAN
JUMLAH PERAMBAH YANG TURUN
SAMPAI AKHIR TAHUN 2008
01 02 03 04 sampai tahun
2008 18.015 KK / 57.089 Ha 1.817 KK (3.634 ha) 16.198 KK (53.455 ha) Jumlah 18.015 KK / 57.089 Ha 1.817 KK (3.634 ha) 16.198 KK (53.455 ha)
Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008
Tabel 8 : Jumlah Pegawai Negeri Sipil Dan Calon Pegawai Negeri Sipil Balai Besar TNBBS Menurut Pendidikan
NO
TINGKAT PENDIDIKAN JUMLA
H
Jml. total SARJANA SARJANA
MUDA SLTA
SMP SD K NK S.2 K NK Jml. K NK Jml. K NK Jml.
1. 4 10 14 28 5 2 7 18 70 88 5 2 35 95 130
JML 4 10 14 28 5 2 7 18 70 88 5 2 35 95 130
Keterangan : K = Kehutanan NK = Non Kehutanan
Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.
57 Interpretasi Citra Spot 5, tahun 2005 oleh WCS-IP dan TNBBS.
lxxxiv
Tabel 9 : Grafik Penanganan Kasus Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 2001 s/d Oktober 2008
TANDAK PIDANA 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
PERAMBAHAN 0 1 6 10 3 24 5 5
ILLEGAL LOGGING 2 4 12 17 12 6 3 3
PERBURUAN LIAR 0 3 13 9 1 3 6 -
LAIN-LAIN 0 0 0 0 3 0 - 1
TOTAL 2 8 31 36 19 33 14 9
Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008
2. Tinjauan tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan
Hukum Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan.
a. Pengertian Penegakan Hukum
Seacara konsepsional menurut Soerjono Soekanto inti dari
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyelesaikan hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-
nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.58
Selanjutnya Jimly Asshiddiqie dalam Sabian Utsman membagi
pengertian penegakan hukum menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
1. Penegakan hukum (law enforcement) dalam artian luas yaitu
mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum
58 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1983 hal-5
58 Sabian Utsman, menuju penegakan hukum responsive (konsep Philippe Nonet & Philip Selznick Perbandingan sipil law System & Common Law System Spiral Kekerasan & Penegakan Hukum), Pustaka Plejar, Yogyakarta, 2008
lxxxv
serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum baik
melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan
mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
2. Penegakan hukum dalam arti sempit yaitu mencakup kegiatan
penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan
terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih
sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran
aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara dan badan-
badan peradilan.
Proses penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan
hukumnya dibuat atau diciptakan. Dalam nada yang agak ekstrim bisa
dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum
dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan
hukum yang harus dilaksanakan itu dibuat. Apabila misalnya bedan
Legislatif membuat suatu peraturan yang sulit sekali dilaksanakan
dalammasyarakat, maka saat itu sebenarnya badan tersebut telah
menjadi arsitekbagi kegagalan para penegak hukum dalam menegakkan
aturan tersebut. itulah sebabnya para pembuat Undang-undang juga
merupakan unsur penegak hukum. Kemudian unsur penegak hukum
menempati posisi yang sangat penting, sebab para penegak hukum yang
lebih utama menentukan dilaksanakan atau tidaknya suatu peraturan.
Menurut kajian normatif penegakan hukum adalah suatu tindakan
yang pasti yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang
dapat diibaratkan menarik garis lurus antara dua titik. Dalam ilmu
hukum acara seperti itu disebut sebagai model mesin otomat dan
pekerjaan menegakan hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Disini
hukum dilihat sebagai variabel yang jelas dan pasti dan terlihat sangat
lxxxvi
sederhana 59. Dalam kenyataannya tidak sesederhana itu melainkan
yang terjadi penegakan hukum itu mengandung pilihan dan
kemungkinan, oleh karena dihadapkan kepada kenyataan yang
kompleks. Dalam ilmu hukum normatif kompleksitas tersebut
diabaikan, sedangkan sosiologi hukum sebagai ilmu empirik sama
sekali tidak dapat mengabaikannya.60 Menurut Soerjono Soekanto61
menyebutkan bahwa secara konseptual, inti dan arti penegakan hukum
terletak pada kegiatan meyerasikan hubungan niali-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup. Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, agar suatu penegakan
hukum dapat berjalan ada lima faktor yang harus dipenuhi :
1. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri;
2. Petugas yang menerapkan atau menegakan;
3. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan
kaedah hukum;
4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut;
5. Budaya.62
Kelima faktor tersebut harus mempunyai hubungan yang serasi,
kepincangan salah satu unsur akan mengakibatkan bahwa seluruh
sistem akan terkena dampak negatifnya. Selanjutnya Satjipto Raharjo
berpendapat bahwa unsur-unsur yang terlibat dalam proses penegakan
hukum dibagi dalam dua golongan besar, yaitu unsur-unsur yang
mempunyai tingkat keterlibatan yang agak jauh dan yang dekat.
59 Satjipto Raharjo, Sosoilogi Hukum Perkembangan Metode Dan Pilihan Masalah,
Surakarta, Muhamadiyah University Press Tahun 2002 hlm 173 60 Ibid. 61 Soerjono Soekanto, Of cit- hlm 5.
59 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu tinjauan Sosiologis, Bandung Badan Pembinaan Hukum Nasional, hlm. 24
lxxxvii
Sebagai contoh unsur yang mempunyai keterlibatan yang dekat dengan
proses penegakan hukum adalah legislatif atau pembuat undang-undang
dan polisi, sedang unsur pribadi dan sosial mempunyai keterlibatan
yang jauh 63. Hal ini dapat dipahami karena legislatif adalah badan yang
memproduksi peraturan, sedang polisi adalah badan yang melaksanakan
peraturan sehingga mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan
proses penegakan hukum, sedang masyarakat adalah obyek yang
terkena peraturan sehingga wajar apabila keterlibatannya dengan proses
penegakan hukum terlihat lebih jauh. Oleh karena itu menurut Satjipto
Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai
keinginan-keinginan hukum disini adalah pikiran-pikiran badan
pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan
hukum itu. Keberhasilan dari proses penegakan hukum itu sangat
tergantung oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri.64 Penegakan
hukum dilihat dari kacamata normatif memang merupakan
permasalahan yang sangat sederhana, tetapi bila dilihat dari kacamata
sosiologis maka penegakan hukum merupakan proses yang panjang dan
merupakan suatu perjuangan, sebagaimana dikemukakan oleh Barda
Nawawi Arief, bahwa penegakan hukum dan keadilan merupakan
serangkaian proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai
kewenangan instansi aparat penegak hukum lainnya (di bidang
penegakan hukum pidana melibatkan aparat penyidik/kepolisian, aparat
penuntut umum kejaksaan, aparat pengadilan, dan aparat pelaksana
pidana) 65
Dari hasil penelitian dan wawancara dalam penegakan hukum
terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
63 Ibid 64 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan HukumDan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Bandung Penerbit PT.Citra Aditya Bakti. Tahun 2001 hlm.2
lxxxviii
berdasarkan Teori Penegakan hukum yang digagas oleh Soerjono
Soekanto di pengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Undang-undang
Undang-undang dalam arti materil adalah Peraturan tertulis
yang berlaku umum yang dibuat oleh penguasa pusat dan daerah
yang sah. Aturan merupakan pedoman untuk menjaga keselamatan
kawasan hutan. Aturan-aturan yang diberlakukan terkadang
penerapan dilapangan kurang atau tidak dijalankan sebagaimana
mestinya. Akibatnya kawasan hutan yang dirambah kerusakan yang
terjadi semakin parah.
Mengenai berlakunya undang-undang terdapat beberapa azas
yang tujuannya agar undang-undang tersebut mempunyai dampak
yang positif. Artinya Undang-undang tersebut mencapai tujuannya
sehingga efektif.66
Azas-azas tersebut antara lain yaitu:
1. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut, serta terjadi setlah undang-undang itu dinyatakan berlaku;
2. Undang-undang ang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
3. Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampngkan undang-undang yang bersifat umum;
4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu;
5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat; 6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai
kesejahteraan spritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian atau pembaharuan (inovasi).
Dalam mekanisme penyusunan undang-undang merupakan hal
yang sangat penting, karena tidak hanya menyangkut hal teknis
(prosedur) tetapi juga keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan
66 Soerjono Soekanto, Ibid
lxxxix
(stakeholders). Berkaitan dengan keterlibatan para pihak maka isu
yang muncul kemudian adalah keterwakilan (representativeness)
tingkat keterlibatan (degree of participation) dan pegaruh infut yang
diberikan pada produk akhir dari peraturan perundangan.67
Hukum yang berkembang dibidang kehutanan ditandai dengan
terbitnya Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dalam undang-undang tersebut telah dimuat larangan yang disertai
ancaman pidana, namun keberadaan undang-undang yang spesifik
yang mengatur tentang kehutanan tidak serta merta penegakan
hukumnya menjadi hal yang mudah, penegakan hukum dalam
bentuk preventif dan represif yang terarah dan terukur.
Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
masih ada beberapa kelemahan diantaranya mengenai kewenangan
penyidik pegawai negeri sipil seperti yang di sampaikan oleh Maris
Feriyadi, S.H., M.Hum:
“bahwa penyidikan yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil dalam menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik polri sebagai koorwas PPNS, hal ini berbeda dengan kewenangan yang ada pada penyidik pegawai negeri sipil dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan68.
Sama halnya seperti yang disampaikan oleh Dody Saputra Thamrin, S.H., M.H.
“bahwa dalam ketentuan pidana yang dimuat dalam pasal 78 Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tidak ada sanksi minimal melainkan sanksi maksimal, hal ini akan berpengaruh dalam tahap penuntutan 69.
67 Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan Dalam Persepektif Kebijakan Hukum Pidana,
Cetakan 1, UNS Press, Surakarta, 2008
68 Wawancara dengan Maris Feriyadi, S.H., M.Hum, Kepala Satuan Polisi Kehutanan selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di Kantor Balai Besar TNBBS, tanggal, 04 Januari 2010, pukul 09.00 WB
69 Wawancara dengan Dodi Saputra Thamrin, S.H., M.H. Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Liwa di Krui, di kantor Cabang kejaksaan Negeri Liwa di Krui, tanggal, 05 Januari 2010, pukul 08.30 WIB
xc
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam mengadili tindak pidana
di bidang Kehutanan ada beberapa fakta yang muncul dalam
persidangan seperti tersangka tidak mengetahui tentang kawasan
hutan, dan perbuatan yang dilarang. Seiring dengan apa yang
disampaikan oleh Rendra, S.H.,
“bahawa untuk memutus perkara di bidang kehutanan kita melihat fakta-fakta yang muncul dalam persidangan, seperti latar belakang terdakwa dan akibat dari perbuatannya dan sebagainya, serta undang-undang nomor 41 tentang Kehutanan memuat sanksi maksimal bukan sanksi minimal, masih sering terjadi perbedaan persepsi antara jaksa dengan hakim dalam memandang kasus-kasus Kehutanan 70.
2. Aparat Penegak Hukum
Masalah penegakan hukum adalah sangat luas karena
mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung
berkecimpung dibidang penegakan hukum atau Law enforcement.
Secara sosiologis penegak hukum mempunyai kedudukan (status)
dan pranan (role) kedudukan (sosial) yang merupakan posisi tertentu
dalam kemasyarakatan. Orang yang mempunyai kedudukan tertentu
dalam masyarakat biasa disebut pemegang peran (role occupant)
peranan tertentu dapat dijabarkan dalam unsusr-unsur :
a. Peranan yang idial (ideal role)
b. Peranan yang seharusnya (expected role)
c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)
d. Peranan yang sebenarnya (actual role)
Pihak yang masuk dalam kategori penegak hukum dalam
konteks perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
termasuk Polisi Kehutanan (POLHUT), Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) Kehutanan, Polisi, Jaksa dan Hakim, aparat hukum
70 Wawancara dengan Rendera,S.H., Hakim Pengadilan Negeri Liwa, di kantor Pengadilan Negeri Liwa,tanggal, 14 Januari 2010, pukul 11.00 WIB.
xci
tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama-sama tidak akan mampu
untuk melakukan upaya penegakan preventif dan represif tanpa
dukungan masyarakat dan unsur lembaga pemerintahan lainnya,
lebih jauh lagi sering ditemukan faktor teknis dan non teknis yang
mempengaruhi kinerja penegak hukum misalnya deteksi dini yang
memerlukan partisipasi masyarakat, pendanaan penyelidikan,
penyidikan, penahanan dan sebagainya.
Dari hasil penelitian dokumen bahwa keadaan atau Faktual
dari tenaga pengaman hutan di Balai Besar Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan sebagai berikut:
Tabel 10 : Keadaan Tenaga Perlindungan Hutan
NO. UNIT KERJA
JENIS TENAGA
KETERANGAN POLHUT (org)
TPHL (org)
POLHUT DAN TPHL
(org)
PPNS (org)
SATPAM (org)
PABIN (org)
01 02 03 04 05 06 07 08 09 1. BALAI
BESAR TNBBS
57 - 57 16 - 1 - Jumlah PPNS 16 orang (1 orang Peg Non Struktural dan 15 orang fungsional Polhut)
- Anggota SPORC = 7 orang
Keterangan : TPHL : Tenaga Pengamanan Hutan Lainnya PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil PABIN : Perwira Pembina Polisi Kehutanan (Polri) POLHUT : Polisi Kehutanan SATPAM : Satuan Pengamanan
Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.
xcii
Tabel 11 : Pelatihan Tenaga Pengaman Berdasarkan Jenis Pelatihan
NO JENIS LATIHAN JUMLAH
INSTANSI / UPT (lokasi pelatihan) WAKTU RENCANA
(orang) REALISASI
(orang) 01 02 03 04 05 06 1. SPORC/Satuan Polhut
Reaksi Cepat 15 7 SECAPA Polri
Sukabumi 8 Nop. – 19 Des. 2008
2. Pengamanan Hutan Partisipatif
2 2 BPPK Bogor 24 Okt. – 7 Nop.2008
3. Penjenjangan Polhut Pelaksana Lanjutan
1 1 Pusdiklat Kehutanan Bogor
18 Juni – 17 Juli 2008
4. Penjenjangan Polhut Pelaksana Lanjutan
2 2 BPPK Bogor 14 Maret -12 April 2008
Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008
Penegakan hukum harus didukung oleh aparat yang cakap dan
profesional dalam manjalankan tugas, seperti yang disampaikan oleh
Ir. Kurnia Rauf, yang menjelaskan:
“bahwa Jumlah personil pengamanan hutan yang ada di Balai Basar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Sekarang Berjumlah 57 (limapuluh tujuh) orang personil, dan mengawasi luas kawasan dengan luas ± 356.800 Ha. artinya jumlah tersebut belum sebanding antara rasio kecukupan petugas dengan luas kawasan yang harus dijaga. jadi sekitar perbandingan antara ± 1: 6000 ha. mengingat topografi kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang merupakan tipe berbukit-bukit. Kemampuan teknis aparat yang belum memadai, serta wawasan aparat masih perlu ditingkatkan”71. Hal serupa juga disampaikan oleh Ir. Maryanto:
“bahwa sumber daya manusia baik dari segi kwalitas maupun kwantitas belum memadai dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Serta masih minimnya pengalaman dan pengetahuan aparat, baik Polisi kehutanan maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang secara langsung menangani masalah perambahan hutan, artinya Rasio perbandingan antara jumlah tenaga pengaman hutan dengan luas kawasan yang harus dijaga belum sesuai”.72
71 Wawancara dengan Ir. Kurnia Rauf, Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di kantor Balai Besar TNBBS kotaagung, tanggal, 04 Januari 2010, pukul 12.30 WIB.
72 Wawancara dengan Ir. Maryanto, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional wilayah II Liwa, di kantor Bidang PTN Liwa, tanggal, 20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.
xciii
Aparat yang terlibat langsung dalam penanganan perambahan hutan
di taman nasional bukit barisan selatan yang berada pada lapis
pertama yaitu Polisis kehutanan dan penyidik pegawai negeri sipil
kehutanan hal ini seperti yang dijelaskan oleh Maris Feriyadi, S.H.,
M.Hum:
“bahwa tenaga pengaman baik Polisi Kehutanan maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil jumlahnya belum mencukupi jika dibandingkan dengan jumlah luas kawasan yang harus diawasi. Dengan jumlah tenaga pengaman yang masih minim sehingga pengawasan terhadap kawasan hutan belum bisa di cover secara keseluruhan. Kemampuan dan pengetahuan dari aparat dalam mendeteksi terjadinya perambahan hutan masih sangat minim73.
Dalam organisasi Balai besar taman nasional bukit barisan
selatan dibagi dalam resort-resort dalam penyebaran personil
dilapangan untuk lebih efektifnya pengamanan terhadap kawasan
hutan seperti yang disampaikan oleh Yulizar, S.P.:
“bahwa masih minimnya Jumlah aparat Polhut belum mencukupi dalam pangamanan kawasan hutan, seperti pada satu Resort hanya terdapat 2 (dua) sampai 4 (empat) orang personil yang harus mengawasi kawasan hutan seluas ± 28.000 ha. dengan topografi hutan yang berbukit-bukit.serta pemahaman terhadap aturan tentang Kehutanan masih kurang, sehingga menimbulkan keragu-raguan dalam melakukan tindakan74.
Aparat kepolisian yang merupakan criminal just system dalam
menangani kasus kehutanan seperti yang disampaikan oleh M. Daud,
S.H.:
“bahwa dalam tahap penyidikan tindak pidana kehutanan personil polri tidak memiliki kriteria tersendiri, artinya instansi kepolisian yang merupakan korwas dari PPNS memberikan pembimbingan dan pengawasan, dan selama ini banyak kasus-kasus kehutanan yang disidik langsung oleh penyidik pegawai negeri sipil kehutanan,
73 Wawancara dengan Maris Feriyadi, Kepala Satuan Polisi Kehutanan selaku Penyidik Pegawai Negeri sipil, diBalai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, tanggal, 04 januari 2010, pukul 09.00 WIB.
74 Wawancara dengan Yulizar, S.P., Koordinator Resort Pugung Tampak, Seksi Wilayah III Krui, Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Liwa, tanggal,15 Januari 2010, 15.00 WIB.
xciv
namun yang harus diperhatikan yaitu koordinasi antara penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan penyidik Polri masih sangat minim bahkan masih jarang dilakukan dan hanya bersifat insidentil saja 75.
Begitu juga dengan aparat kejaksaan, seperti yang disampaikan
oleh Dody Saputra Thamrin, S.H., M.H. :
“bahwa dalam menangani kasus kehutanan aparat kejaksaan tidak memiliki kriteria tersendiri atau memiliki pendidikan yang khusus dalam melakukan tindakan penelitian berkas, membuat da’waan, melakukan penuntutan, sampai dengan ekskusi, hanya saja yang diutamakan adalah jaksa-jaksa senior yang pernah menangani kasus-kasus kehutanan, serta dalam melakukan rencana penuntutan terhadap suatu perkara di lakukan secara berjenjang mulai dari Jaksa Penuntut Umum – Kacabjari – Kajari 76.
Muara ahir dari peneyelesaian suatu tindak pidana adalah pada
tingkat pengadilan, Sama halnya dengan apa yang disampaikan oleh
Rendra, S.H. hakim pada pengadilan negeri Liwa yang menyatakan:
“bahwa, hakim dalam mengadili kasus-kasus kehutanan yang diutamakan adalah hakim-hakim yang berpengalaman dalam kasus kehutanan, sedangkan dari jumlah sudah mencukupi, akan tetapi masih kesulitan dalam mengumpulkan keterangan dalam persidangan khususnya saksi ahli, dan masih kurangnya pemahaman dalam melihat dampak dari kerusakan yang diakibatkan dari perbuatan terdakwa 77.
3. Sarana dan Fasilitas
Sarana dan prasarana adalah merupakan alat untuk mencapai
tujuan dalam penanganan perambahan hutan, dengan ketiadaan atau
keterbatasan sarana dan prasarana maupun penunjang lainnya akan
sangat mempengaruhi keberhasilan dalam penanganan perambahan
hutan khususnya di Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan. Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa sarana dan prasarana dalam
75 Wawancara dengan M. Daud, S.H., Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Lampung Barat, di kantor POLRES Lampung Barat Liwa, tanggal, 12 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.
76 Wawancara dengan Dody Saputra Thamrin, S.H., M.H. Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Liwa di Krui, tanggal,05 Januari 2010, pukul 08.30 WIB.
77 Wawancara dengan Rendera,S.H., Hakim Pengadilan Negeri Liwa, di kantor Pengadilan Negeri Liwa,tanggal, 14 Januari 2010, pukul 11.00 WIB.
xcv
menunjang penegakan hukum terhadap tinak pidana perambahan
hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu:
Tabel 12 : Sarana Dan Prasarana Pengamanan Hutan
NO. JENIS SARANA DAN PRASARANA SATUAN JUMLAH KETERANGAN
01 02 03 04 05 1. Kendaraan Roda Empat Unit 6 2. Senjata Api Pucuk 36 35 PM.1.A.1dan 1
pistol
3. HT Buah 4 4. Pondok Kerja Buah 28 11 rusak berat 5. Pondok Jaga Buah 28 10 rusak berat 6. Pos Jaga Buah 18 12 rusak berat 7. Shelter Buah 23 15 rusak berat 8. Portal Buah 7 Rusak berat 9. Pintu Gerbang Buah 12
10. SSB/RIG Buah 15 Baik 11. Speed boat Unit 2 2 rusak berat 12. Alat Pemadam Kebakaran Unit - 15 Hand Sprayer
dan 10 Jet Shooter 13. Borgol Buah 5 Baik 14. Kapal Motor 85 PK Unit 1 15. Kantor Sub Seksi Buah 2 16. Pal Batas Buah 1.475 17. Menara Pengamat Pengintai Buah 5 rusak berat 18. Kandang Satwa Buah 4 3 rusak berat,1
baik 19. Sepeda motor unit 31
Sumber : Departemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik tahun 2008.
Jumlah Sarana prasarana pengamanan hutan masih belum
mencukupi untuk menunjang pelaksanaan tugas aparat
dilapangan. seperti yang disampaiakan oleh Ir. Kurnia Rauf:
“bahwa dalam 1 (satu) Resort pengamanan hutan yang jumlah personilnya ada 2 - 4 orang personil hanya ada 1 (satu) unit kenderaan operasional roda 2 (dua), gedung/Pos kerja sarana prasarananya belum terpenuhi semuanya, serta Kondisi sarana pengaman hutan yang ada saat ini sangat memperihatinkan”78.
78 Wawancara dengan Ir. Kurnia Rauf, Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di kantor Balai Besar TNBBS Kotaagung, tanggal, 04 Januari 2010. ukul 12.30 WIB
xcvi
Sama halnya dengan apa yang disampikan oleh Ir. Maryanto:
“bahwa belum terpenuhinya saranan dan prasarana yang memadai dalam mendukung tugas pengamanan terhadap kawasan. baik sarana yang tidak bergerak seperti kantor resort yang belum dilengkapai dengan sarana prasarana pendukung lainnya, dan sarana mobilitas, sehigga masih berpengaruh terhadap pengelolaan dan pengamanan kawasan taman nasional”79.
Senada juga dengan apa yang disampaikan oleh Maris Feryadi:
“bahwa sebagai dampak dari belum terpenuhinya sarana dan prasarana dalam penanganan tindak pidana perambahan kita masih kurang tanggap dan kurang cepat dalam mengatasinya, karena mengingat topografi dari kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang berbukit-bukit dan jarak Tempat Kajadian Perkara (TKP) yang cukup jauh dan membuthkan waktu yang lama”80.
4. Faktor Masyarakat
Ukuran atau indikator kesadaran masyarakat terhadap hukum
yaitu terletak pada kepatuhan terhadap ketentuan hukum. Kepatuhan
dan ketaatan masyarakat terhadap hukum akan menunjukkan
efektifitas berlakunya hukum di dalam masyarakat.
Dari hasil wawancara terhadap masyarakat yang ada disekitar
kawasan hutan (tokoh masyarakat) yang berbatasan dengan kawasan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dari mereka mengatakan:
”bahwa perambahan terjadi dikarenakan tuntutan ekonomi, dan juga tingkat pengetahuan masyarakat terhadap fungsi dan manfaat dari kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan banyak dari mereka yang belum mengetahui, untuk itu diperlukan sosialisasi atau penyuluhan secara berkala terhadap masyarakat, agar tumbuh kesadaran hukum dalam masyarakat.81
79 Wawancara dengan Ir. Maryanto, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional wilayah II Liwa, di kantor Bidang Pengelolaan TN Liwa, tanggal, 20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.
80 Wawancara dengan Maris Feriyadi, Kepala Satuan Polisi Kehutanan selaku Penyidik Pegawai Negeri sipil, diBalai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, tanggal, 04 januari 2010, pukul 09.00 WIB.
81 Wawancara dengan Samri Hakim, Peratin (Kepala Desa) Rataagung, Desa yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional bukit barisan selatan, kec. Lemong, kab. Lampung Barat, tanggal, 18 Januari 2010, pukul 13.00 WIB
xcvii
Disamping itu karena sebagian besar luas daerah Lampung
Barat (salah satu Kabupaten yang merupakan lokasi Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan) yang merupakan kawasan hutan, seperti
yang disampaikan oleh Ir. Amirian, M.P.:
”bahwa mengingat luas wilayah Kabupaten Lampung Barat yang ± 78% wilayahnya adalah kawasan hutan, dan sisanya digunakan untuk pemukiman, perkantoran, pembangunan sarana umum lainnya, sehingga masyarakat melakukan perambahan terhadap hutan, karena diluar kawasan tidak tersedia lahan pertanian, dan mengingat masyarakat Lampung Barat khususnya adalah masyarakat agraris atau bertani yang masih menggunakan pola tradisional, kopi, lada menjadi tanaman komoditinya” 82.
5. Faktor Budaya
Faktor budaya adalah merupakan hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.83
Kebudayaan dalam penelitian ini yaitu merupakan kebudayaan
(sistem) hukum yang pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan
konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
(sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari).
Friedmen menelaah budaya hukum dari berbagai perspektif. Ia
menganalisa budaya hukum nasional yang dibedakan dari sub
budaya hukum yang berpengaruh secara positif dan negatif terhadap
hukum nasional. Friedman membedakan antara budaya hukum
internal dan budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal
merupakan budaya hukum dari masyarakat yang melaksanakan
tugas-tugas hukum secara khusus (polisi, jaksa dan hakim) dalam
82 Wawancara dengan Ir. Amirian, M.P., Sekretaris Dinas Kehutanan dan SDA kabupaten Lampung Barat, di kantor Dinas Kehutanan dan SDA Lampung Barat, tanggal, 20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB
83 Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983 hal-8
xcviii
menjalankan tugasnya atau budaya aparat penegak hukum. Budaya
hukum eksternal yaitu budaya masyarakat pada umumnya. Karena
tuntutan ekonomi maka tidak jarang masyarakat yang berada
disekitar hutan dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk melakukan
penebangan dan perambahan terhadap kawasan hutan, kondisi yang
demikian didukung oleh faktor kemiskinan dan masih kurangnya
kesejahteraan masyarakat yang tinggal disekitar hutan. keadaan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang selalu dalam
kemiskinan mengakibatkan budaya hukum masyarakat yang dulunya
sangat menghormati dan mentaati peraturan yang dibuat oleh
pemerintah menjadi luntur.
Dari hasil penelitian terhadap faktor budaya maka budaya
masyarakat khususnya yang berada disekitar kawasan adalah
merupakan masyarakat yang agraris atau bertani yang sudah turun
temurun dari nenek moyang sampai sekarang, dimana pola bertani
masih secara tradisional, Selanjutnya kurangnya keahlian dibidang
lain dapat juga mendorong untuk melakukan kegiatan perambahan
hutan karena tidak ada pilihan lain, dan dilihat dari kepastian usaha
lebih menjanjikan serta dapat menjamin untuk kelangsungan hidup
anggota keluarganya. Perambahan dilakukan dengan harapan kondisi
ekonomi keluarga akan menjadi lebih baik lagi. Biasanya kegiatan
perambah juga dilakukan karena faktor kebiasaan dari generasi yang
sebelum-belumnya dan kebiasaan itu masih terus dipelihara dan
dijalankan oleh generasi selanjutnya.
xcix
3. Upaya yang dilakukan dalam penanganan perambahan hutan di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
a. Upaya Preventif
Penegakan hukum terhadap perambahan oleh Balai Besar
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) sudah sering
dilakukan baik melalui operasi represif maupun dalam bentuk
kegiatan pemberdayaan dan pembinaan daerah penyangga yang
difokuskan pada peningkatan ekonomi masyarakat di desa
penyangga, penyuluhan dan pembinaan partisipasi masyarakat,
optimalisasi pemanfaatan, Namun demikian, upaya tersebut kurang
didukung oleh input sumberdaya yang memadai dan kurang
mendapat dukungan dari pihak pemerintah daerah sehingga hanya
efektip untuk kasus-kasus perambahan dalam skala kecil, sementara
tekanan perambahan makin terus meningkat 84.
Dari hasil penelitaian penegakan hukum terhadap perambahan
hutan di Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan diperoleh data
sebagai berikut:
Perambahan di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan terjadi sejak lama, tahun 1950an dan sudah menimbulkan
masalah yang sangat besar bagi penyelamatan tujuan dan fungsi
taman nasional dan pembangunan dimasa yang akan datang. Seperti
yang disampaikan oleh Ir. Kurnia Rauf Kepala Balai Besar Taman
nasional Bukit Barisan Selatan bahwa:
“Upaya penegakan hukum terhadap perambahan hutan di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan pendekatan preventif sudah sejak lama kita lakukan seperti menggelar pertemuan-pertemuan atau mengadakan Seminar dan lokakarya dengan Pemerintah Daerah serta jajaran penegak hukum lainnya seperti Kepolisisan, Kejaksaan, Pengadilan. dan dengan semua unsur terkait
84 Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Master Plan Penurunan Perambahan, 2009.
c
lainnya, yaitu dengan tujuan untuk membangun visi, misi, dan konsep yang akan dijalankan secara bersama dalam membangun dan mengelola kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan serta tindakan-tindakan yang perlu diselesaikan secara bersama”85.
Selain beberapa usaha yang telah dilakukan oleh pihak
pengelola Balai Taman Nasional bukit Barisan Selatan yaitu
penyuluhan dan sosialisasi tentang fungsi, manfaat dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terkait dengan kegiatan yang
diperbolehkan dan dilarang dalam kawasan TNBBS dengan sasaran
masyarakat perambah khususnya, yang intinya antara lain:
1) Penegasan kepada perambah bahwa pembukaan lahan dalam
kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk dijadikan
lahan perkebunan dilarang berdasarkan perundang-undangan, dan
dapat diancam dengan pidana.
2) Penertiban para perambah dengan tujuan agar para perambah
tidak melakukan kegiatan illegal dalam kawasan Taman Nasional
Bukit Barisan Seatan.
Upaya penanganan perambahan hutan secara preventif selain melalui
sosialisasi dan penyuluhan dapat pula dilakukan dengan:
1) Pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat yang ada
disekitar hutan, atau peningkatan pengetahuan dan keterampilan
petani dalam mengoptimalkan fungsi dan manfaat Taman
Nasional melalui pemantapan kelembagaan kelompok-kelompok
masyarakat.
2) Peningkatan usaha-usaha ekonomi masyarakat sekitar kawasan.
seperti kegiatan ekonomi yang dapat dikembangkan diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan Usaha Jasa Lingkungan dan Pariwisata
85 Wawancara dengan Ir. Kurnia Rauf , Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di kantor Balai Besar TNBBS Kotaagung, tanggal, 14 Januari 2010, pukul 12.30 WIB
ci
Masyarakat turut terlibat dalam mengembangkan sektor wisata
sebagai pemilik wirausaha wisata (penginapan), home stay,
rumah makan, pemandu wisata (guide) dan lain-lain.
b. Budidaya Tanaman Obat dan tanaman Hias (Anggrek)
TNBBS sebagai sumber plasma nutfah menyediakan berbagai
jenis tumbuhan obat dan anggrek untuk dikembangkan di luar
kawasan konservasi TNBBS untuk dibudidayakan oleh
masyarakat dan setelah pembudidayaannya selesai, tanaman
induk akan dikembalikan lagi ke dalam Taman Nasional.
3). Program Masyarakat Desa Konservasi
Masyarakat dapat mengembangkan peternakan domba dan
sapi, perikanan dengan bantuan dari instansi-instansi terkait.
Pengembangan ternak di sekitar kawasan TNBBS merupakan
alternatif yang cukup baik untuk mengurangi ketergantungan
masyarakat terhadap lahan di dalam kawasan.
4). Pelibatan masyarayarakat dalam Pengamanan Swakarsa.
Masyarakat dilibatkan secara langsung dalam pengamanan
swakarsa dengan tujuan membantu pihak pengelola Taman
Nasional dalam rangka pengamanan kawasan dari segala
ancaman dan gangguan yang akan mengganggu keutuhan
kawasan.
5). Membentuk Kelompok masyarakat Pecinta Alam, Kader
Konservasi, pembinaan keperamukaan, membentuk Sentera
Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP).
Keterangan yang disampaikan oleh Ir. Amirian, M.P.
mengenai upaya penanganan preventif terhadap perambahan hutan
yaitu:
“bahwa tahap Sosialisasi merupakan suatu hal yang wajib dilakukan, dilihat dari kenyataan yang terjadi bahwa masyarakat kita masih banyak yang belum mengetahuai tentang batas kawasan Taman
cii
Nasional dengan hutan lainnya, belum mengetahui tentang guna dan manfaat dari kawasan hutan, serta akibat yang terjadi jika hutan rusak, serta masyarakat masih banyak yang belum mengetahui tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur kawasan Taman Nasional. disamping tindakan preventif yang dilakukan juga tindakan represif harus tetap dilakukan agar supaya masyarakat menjadi jera jika ia melakukan kegiatan illegal didalam kawasan hutan, namun sebelum melakukan tindakan represif terlebih dahulu dilakukan tahap-tahap: (1) Melakukan pendataan atau menginventarisir masyarakat yang ada di kawasan Taman Nasional baik dari jumlah, asal-ususl dan keadaan sosial ekonomi masyarakat perambah. (2) Melakukan sosialisasi tentang peraturan-peraturan yang mengatur Taman Nasional terhadap masyarakat perambah di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. (3) Melarang keras kegiatan masyarakat yang melakukan usaha di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.86
Hal senada juga disampaikan oleh Ir. Maryanto:
“ bahwa Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan upaya yang lebih efektif adalah melakukan tindakan preventif disamping tindakan represif artinya kita melakukan pemberdayaan masyrakat yang ada disekitar kawasan hutan dengan cara melibatkan masyrakat secara langsung dalam pengelolaan dan pengembangan Taman Nasional, seperti kegiatan daerah penyangga, dimana masyarakat diberikan bantuan berupa bibit, ternak, dan bantuan lain yang bisa meningkatkan tarap ekonomi masyarakat sekitar kawasan, sehingga mereka tidak selalu menggantungkan hidupnya dengan hutan.87
Pelibatan masyarakat dalam pengamanan dan pengelolaan
kawasan taman nasional memang sangat diperlukan, karena
mengingat kawasan taman nasional bukit barisan selatan banyak
yang berbatasan langsung dengan desa-desa, seperti yang
disampaikan oleh Achmad Sutardi, S.Ip:
86 Wawancara dengan Ir. Amirian, M.P. Sekretaris Dinas Kehutanan dan Sumber Daya Alam Kab. Lampung Barat, di kantor dinas Kehutanan dan SDA Lampung Barat, tanggal,20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.
87 Wawancara dengan Ir. Maryanto, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan wilayah II Liwa, di kantor Bidang PTN II Liwa, tanggal, 20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.
ciii
”bahwa penegakan hukum selain dengan tindakan refresip terhadap perambahan yang terjadi di kawasan TNBBS sebaiknya dilakukan dengan memberikan penyuluhan terhadap masyarakat perambah, serta pemberdayaan masyarakat yang ada disekitar kawasan hutan agar supaya bisa dialihkan konsentrasi usahanya keluar dari kawasan melalui pelibatan mereka dalam kegiatan wisata alam menjadi pemandu (guide) mengingat banyaknya potensi wisata yang terdapat dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, hal ini secara perlahan-lahan akan melepaskan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan 88.
Dengan adanya otonomi daerah maka keterlibatan pemerintah
daerah dalam pengelolaan taman nasional sangat diperlukan karena
mengingat kepala daerah mempunyai peran yang sangat penting
pada suatu daerah tertentu, seperti yang disampaikan oleh Maris
Feriyadi, S.H., M.Hum:
“ bahwa penegakan hukum terhadap perambahan hutan, kita harus melibatkan semua unsur dalam penaganannya, seperti satuan-satuan kerja pada pemerintahan daerah. tindakan preventif yang kita lakukan akan lebih menyentuh terhadap masyarakat, karena masyarkat merasa dilibatkan dalam pengelolaan taman nasional sehingga mereka merasa memiliki atau merupakan bagian dari taman nasional dan akhirnya tumbuh kesadaran bagi masyarakat yang nantinya secara sukarela akan berperan dalam pengamanan dan pengawasan kawasan taman nasional 89.
b. Tindakan Refresif
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana
yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan
penanggulangan kejahatan, jadi kebijkan atau politik hukum pidana
juga merupakan bagian dari politik kriminal dengan perkataan lain
dilihat dari sudut politik criminal maka politik hukum pidana
88 Wawancara dengan Achmad Sutardi, S.Ip. Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Krui, di kantor Seksi PTN Wilayah IIItanggal,05 Januari 2010, pukul 12.00 WIB
89 Wawancara dengan Maris Feriyadi, S.H., M.Hum. Kepala Satuan Polisi Kehutanan selaku penyidik, di kantor Balai Besar TNBBS Kotaagug, tanggal, 04 Januari 2010, pukul 09.00 WIB
civ
identik dengan pengertian ”kebijakan penanggulanagn kejahatan
dengan hukum pidana”.90
Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada
hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum
(khususnya hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan
bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).
Dalam penelitian ini akan dilihat peroses penegakan hukum
terhadap tindak pidana perambahan hutan yang terjadi di Balai
Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu terhadap
Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan tepatnya
pasal 50 ayat (3) huruf b yang dijelaskan bahwa:
Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki
kawasan hutan secara tidak sah; b. merambah kawasan hutan; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan
radius atau jarak sampai dengan; 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai
dan daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan
pasang terendah dari tepi pantai.
Dalam Pasal 78 Ayat (2) di jelaskan mengenai ketentuan/sanksi pidana yaitu:
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
90 Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-24
cv
Penjelasan dari bunyi pasal 78 Ayat (2) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu:
1. dengan sengaja; 2. merambah kawasan hutan; 3. diancam dengan pidana.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran jumlah perkara
perambahan hutan yang sudah ditangani oleh penegak hukum pada
Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan:
Tabel 15 : Register Perkara Perambahan 2007 s/d 2009
NO KASUS PELANGGARAN BARANG
BUKTI PROSES HUKUM KETERANGAN
01 02 03 04 05 06 1 Perambahan Pasal 50 Ayat (3)
huruf a, b dan d Jo. Pasal 78 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
1 (satu) bilah golok
- Vonis tanggal 29 Januari 2008
- 1 tahun penjara & denda 1 juta subsider 2 bulan kurungan
Daerah Way Mendati Pekon Pekon Mon Kec. Ngambur Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. MULKAN bin ABDULLAH pada tanggal 27 September 2007 dengan LK Nomor : LK. 45/IX/Polhut-BBTNBBS/ 2007.
2 Perambahan Pasal 50 Ayat (3) huruf a dan b Jo. Pasal 78 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
1 (satu) buah Kored dan 1 (satu) buah arit
- P 21 tanggal 29 Nopember 2007
- Sidang pertama tanggal 22 Januari 2008
Dalam kawasan TNBBS Daerah Sinar Banten Pekon Bandar Dalam Kec. Bangkunat Belimbing Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. SUKARNA bin MASLAN pada tanggal 02 Oktober 2007 dengan LK Nomor : LK. 50/X/Polhut-BBTNBBS/ 2007.
cvi
NO KASUS PELANGGARAN BARANG BUKTI
PROSES HUKUM
KETERANGAN
4. Perambahan Pasal 50 Ayat (3) huruf b Jo. Pasal 78 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo Pasal 55 dan 56 KUHP.
1. 1 (satu) arit
- Vonis tanggal 29 Januari 2008
Dalam kawasan TNBBS Daerah Way Pemerihan Pekon Pemerihan Kec. Bangkunat Belimbing Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. JONI bin BAGIONO pada tanggal 03 Oktober 2007 dengan LK Nomor : LK. 51/X/Polhut-BBTNBBS/ 2007.
5 Perambahan Pasal 50 Ayat (3) huruf b dan d Jo. Pasal 78 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
1 (satu) unit handsrayer merk Solo, 2 (dua) buah arit, 1 (satu) bilah golok, dan 1 (satu) korek gas
- 10 bulan penjara & denda 2,5 juta subsider 3 bulan kurungan
Dalam kawasan TNBBS Daerah Way Pemerihan Pekon Pemerihan Kec. Bangkunat Belimbing Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. SUPARNIANTON bin TOIMIN pada tanggal 03 Oktober 2007 dengan LK Nomor : LK. 52/X/Polhut-BBTNBBS/ 2007.
6 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b, Jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jo. Pasal 55, 56 KUHPidana
2 (dua) bilah golok bersarung
- P 21 tanggal 13 Februari 2008
- Sidang I tanggal 4 Maret 2008
- Vonis : 2 tahun 3 bulan penjara dan denda Rp. 2.000.000,- Subsider 3 bulan kurungan
Dalam kawasan hutan TNBBS Daerah Umbul Salam, Dusun Cukuh Pandan, Pekon Tampang Tua, Kec. Pematang Sawa, Kab. Tanggamus yang dilakukan oleh tersangka a.n. SUYATMIN bin SAMIRJA dan SUMARNO bin MARSUDI sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK.01/I/ Polhut-BBTNBBS/2008 tanggal 26 Januari 2008.
7 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b, Jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
1 (satu) bilah golok dan 1 (satu) lembar kulit kayu Kuyung ukuran 1,5 m x 20 cm.
- P 21 tanggal 27 Februari 2008
- Sidang pertama tanggal 18 Maret 2008
- Vonis : 8 bulan penjara dan denda Rp. 1.000.000,- Subsider 1 bulan kurungan
Dalam kawasan hutan TNBBS Daerah Rataagung, Kec. Lemong, Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. MAT RASYID bin SAWUMIN sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK.03/II/Polhut-BBTNBBS/2008 tanggal 15 Februari 2008.
cvii
NO KASUS PELANGGARAN BARANG
BUKTI PROSES HUKUM KETERANGAN
8 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Jo. Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
- 2 (dua) bilah golok;
- 1 (satu) bilah koret;
- 1 (satu) unit sprayer;
- 1 (satu) Kg cabe;
- 1 (satu) buah ember.
- P 21 tanggal 9 Juni 2008
- Vonis : 1 tahun 5 bulan penjara dan denda Rp. 3.000.000,- Subsider 3 bulan kurungan
Dalam kawasan hutan TNBBS Reg. 49 B Daerah KM 70 Jalan Tembus Krui – Bengkulu, Pekon Rataagung, Kec. Lemong, Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. SUNARDI bin JUSAR sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK.17/IV/Polhut-BBTNBBS/2008 tanggal 08 Mei 2008.
9 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a, b dan e Jo. Pasal 78 ayat (2), (4) dan (5) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
1 (satu) buah sabit dan 1 (satu) buah cangkul.
- P 21 tanggal 3 Desember 2008
Dalam kawasan hutan Reg.47 B TNBBS daerah Serdang Pekon Way Mengaku, Kec. Balik Bukit, Kab. Lambar yang dilakukan oleh tersangka a.n. PAIYO bin YAHBIN sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK 03/X/POLHUT-BBTNBBS/2008 tanggal 16 Oktober 2008.
10 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
1 (satu) bilah golok
- P 21 tanggal 3 Desember 2008
Dalam kawasan hutan Reg.47 B TNBBS daerah Serdang Pekon Way Mengaku, Kec. Balik Bukit, Kab. Lambar yang dilakukan oleh tersangka a.n. ADIYAR bin RAHDI sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK 04/X/POLHUT-BBTNBBS/2008 tanggal 16 Oktober 2008.
11 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b Jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
- 1 (satu) bilah golok ber-sarung;
- 1 (satu) bilah koret;
- 1 (satu) bilah arit.
- P 21 tanggal 7 Januari 2009
Dalam kawasan hutan Reg.22 B Kubunicik TNBBS Pekon Way Haru, Kec. Bengkunat Belimbing, Kab. Lambar yang dilakukan oleh tersangka a.n. ASMUNI bin MAT USIN sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK 28/XI/POLHUT-BBTNBBS/2008 tanggal 20 Nopember 2008.
cviii
NO KASUS PELANGGARAN BARANG
BUKTI PROSES HUKUM KETERANGAN
12 Perambahan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b, Jo. Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
2 (dua) bilah golok.
- Telah dilimpahkan ke Cabang Kejaksaan Negeri Liwa di Krui.P 21 tanggal 25 Maret 2009.
Dalam kawasan hutan TNBBS Reg. 49 B Daerah Rataagung, Pekon Rataagung, Kec. Lemong, Kab. Lampung Barat yang dilakukan oleh tersangka a.n. HADRI bin ZAINI SANIT sesuai dengan Laporan Kejadian Nomor : LK. 01 / II / Polhut-BBTNBBS / 2009 tanggal 10 Maret 2009.
Sumber : Register Perkara Balai Besar Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan tahun 2008
Dari hasil wawancara terhadap beberapa responden yang
berhubungan langsung dalam penegakan hukum secara represif
diperoleh data bahwa dalam pelaksanaannya masih banyak faktor-
faktor yang mempengaruhi dalam penegakan hukum secara represif
(penggunaan sarana pidana) terhadap perambahan hutan di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan dengan melibatkan aparat penegak
hukm lainnya (polisi, jaksa dan hakim) masih banyak dijumpai
faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaannya seperti
masih minimnya aparat/petugas kehutanan baik Polisi Kehutanan
maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil, sarana prasarana maupun
dana belum mencukupi, kemampuan aparat masih kurang,
mengingat jumlah perambah sudah begitu banyak sehingga yang
diutamakan adalah perambahan-perambahan yang bersifat baru,
sedangkan untuk perambahan yang sudah terjadi sejak lama kita
masih mencarikan cara-cara penanganan yang terbaik agar tidak
terjadi benturan di masyarakat karena mengingat yang akan di
cix
hadapi adalah masyarakat dalam jumlah banyak yang ekonominya
pas-pasan91.
Seperti apa yang disampaikan oleh Ir. Maryanto:
“bahwa dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan kita masih bersifat sporadis, artinya belum dilaksanakan secara terus-menerus atau kontinyu dan berkesinambungan, disamping itu juga masih minimnya sumber daya aparat kehutanan baik dari segi kwalitas maupun kwantitasnya, serta masih minimnya pendanaan yang tersedia, belum adanya perencanaan yang tepat untuk mengatasi perambah yang jumlahnya sangat banyak dan mereka melakukan perambahan sudah cukup lama, yang terjadi sekarang dalam penegakan hukum yang dilakukan secara represif masih sebatas terhadap perambahan yang masih dalam sekala kecil dan yang membuka lahan baru92.
Sama halnya dengan apa yang disampaikan oleh M. Daud, S.H.
“bahwa hal ini juga ditambah dengan koordinasi dengan aparat penegak hukum khususnya dengan kepolisisan masih sangat minim dan terjadi hanya pada saat insidentil saja belum dilakukan secara berkala. Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan secara represif selama ini belum dilakukan secara menyeluruh di seluruh kawasan taman nasional, kasus-kasus yang di tangani masih relatif sedikit atau masih dalam sekala kecil dibandingkan dengan jumlah perambahan yang ada di dalam kawasan Taman Nasional, serta belum adanya persamaan persepsi antara kehutanan dengan Pemerintah Daerah setempat serta aparat penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa dan hakim) untuk mengambil langkah represif terhadap pelaku perambahan93.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Dodi Setiyawan, S.H.
“bahwa Jumlah kasus kehutanan yang di tangani pada cabang kejaksaan negeri Liwa masih dalam jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan jumlah perambahan yang terjadi di dalam kawasan hutan taman nasional, hal ini bisa dilihat dari jumlah perkara yang diajukan kepada kejaksaan baik yang ditangani oleh
91 Wawancara dengan Ir. Kurnia Rauf , Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di kantor Balai Besar TNBBS Kotaagung, tanggal, 04 Januari 2010, pukul 12.30 WIB. 92 Wawancara dengan Ir. Maryanto, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan wilayah II Liwa, di kantor Bidang PTN II Liwa, tanggal, 20 Januari 2010, pukul 09.00 WIB.
93 Wawancara dengan M. Daud, S.H., Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Lampung Barat, di Kantor POLRES Lampung Barat Liwa, tanggal,12 Januari 2010, pukul, 09.00 WIB.
cx
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan sendiri maupun yang ditanganai langsung oleh penyidik Polri.
Seperti apa yang disampaikan oleh Ginever Girsang, S.H., M.H.
“bahwa penegakan hukum secara represif yang dilakukan terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan selama ini masih dalam sekala kecil dilihat dari jumlah kasus yang masuk sampai pengadilan jika dibandingkan dengan jumlah perambahan yang ada di Taman Nasional Bukit Barisan selatan, serta belum menyentuh aktor intlektual di lapangan, hal ini bisa kita lihat dari para terdakwa, mereka hanya merupakan masyarakat biasa yang memang karena keadaan ekonomi mereka melakukan perambahan” 94.
B. Pembahasan
Untuk menentukan keberhasilan Penanganan perambahan hutan di
Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan tidak hanya bertumpu pada produk
Undang-undangnya saja tetapi juga terletak pada kemampuan aparat penegak
hukum dan kepatuhan warga masyarakat pada peraturan undang-undang yang
ada. Dalam membahas permasalahan mengapa penegakan hukum terhadap
perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan selatan belum mencapai
tujuan yang diharapkan, peneliti menggunakan teori penegakan hukum yang
digagas oleh Soerjono Soekanto. yang menyatakan bahwa dalam penegakan
hukum banyak dipeangaruhi oleh faktor-faktor seperti, Undang-undang, Aparat
penegak hukum, Sarana dan fasilitas, Masyarakat dan Budaya.
Secara umum atau secara makro penanganan perambahan di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan baik secara preventif maupun represif belum
sesuai dengan tujuan yang diharapan oleh semua pihak, untuk menjawab
semua itu perlu diuraikan sebagai berikut:
94 Wawancara dengan Ginever Girsang, S.H., M.H. Ketua Pengadilan Negeri Liwa, di kantor Pengadilan Negeri Liwa, tanggal, 14 Januari 2010, pukul, 09.00 WIB.
cxi
1. Penegakan Hukum perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan belum efektif disebabkan karena dipengaruhi oleh:
a. Undang-undang.
Peraturan hukum merupakan hasil karya manusia untuk itu tidak
mungkin akan mencapai kesempurnaan, terlebih lagi kesempurnaan yang
bersifat hakiki. Hal ini disebabkan karena kemampuan manusia untuk
dapat menciptakan hukum di batasi oleh kemampuan yang bersifat
manusiawi yang ada dalam diri manusia. Hukum itu hanya sebagai
sarana, karena itu kalau hukumnya baik maka akan tersedia sarana yang
baik pula. Agar kebaikan dapat terlaksana secara nyata maka sarana yang
sudah ada perlu diterapkan dan digunakan dengan baik yang secara nyata
tergantung dari keinginan dan perbuatan nyata dari manusia yang dapat
ditunjang oleh hukum. Hukum yang baik belum tentu akan menjamin
bahwa kebaikan akan sungguh-sungguh dapat terlaksana, oleh karena itu
demi berhasilnya pengaturan yang baik maka perlu disusun hukum yang
baik dan perlu pelaksanaan yang nyata.
Undang-undang dalam arti materil adalah Peraturan tertulis yang
berlaku umum yang dibuat oleh penguasa pusat dan daerah yang sah.
Aturan merupakan pedoman untuk menjaga keselamatan kawasan hutan.
Aturan-aturan yang diberlakukan terkadang penerapan dilapangan kurang
atau tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Akibatnya kawasan hutan
yang dirambah kerusakan yang terjadi akan semakin parah.
Mengenai berlakunya undang-undang terdapat beberapa azas yang
tujuannya agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif.
Artinya Undang-undang tersebut mencapai tujuannya sehingga efektif.95
Azas-azas tersebut antara lain yaitu:
95 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Memprngaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grapindo Persada, Jakarta, 2008
cxii
1. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku;
2. Undang-undang ang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
3. Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampngkan undang-undang yang bersifat umum;
4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu;
5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat; 6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai
kesejahteraan spritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian atau pembaharuan (inovasi).
Dalam mekanisme penyusunan undang-undang merupakan hal
yang sangat penting, karena tidak hanya menyangkut hal teknis
(prosedur) tetapi juga keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholders). Berkaitan dengan keterlibatan para pihak maka isu yang
muncul kemudian adalah keterwakilan (representativeness) tingkat
keterlibatan (degree of participation) dan pegaruh infut yang diberikan
pada produk akhir dari peraturan perundangan.96
Hukum yang berkembang dibidang kehutanan ditandai dengan
terbitnya Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam
undang-undang tersebut telah dimuat larangan yang disertai ancaman
pidana, namun keberadaan undang-undang yang spesifik yang mengatur
tentang kehutanan tidak serta merta penegakan hukumnya menjadi hal
yang mudah, penegakan hukum dalam bentuk prefentif dan represif yang
terarah dan terukur.
Dari hasil penelitian, maka terhadap faktor undang-undang yaitu
Undang-undang Nomor. 41 tahun 1999 tentang kehutanan di jelaskan
bahwa Undang-undang ini tampaknya memanfaatkan semua sistem
sanksi, baik sistem sanksi administratif, sistem sanksi perdata, maupun
sistem sanksi pidana dalam mempertahankan norma-norma administratif
96 Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan Dalam Persepektif Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan 1, UNS Press, Surakarta, 2008
cxiii
di bidang kehutanan. Undang-undang No. 41 tahun 1999 menggunakan
pola ancaman komulatif pidana penjara dan denda, pola ancaman yag
demikian itu merupakan pola ancaman yang bersifat kaku dan imperatif.
Lamanya sanksi pidana penjara dan besarnya pidana denda tidak bisa
dijadikan ukuran untuk menentukan tingkat keseriusan tindak pidana di
bidang kehutanan. Dalam Undang-undang ini juga menjelaskan subjek
tindak pidana dibidang kehutanan tidak hanya manusia sebagai pribadi,
tetapi juga badan badan usaha sehingga badan usaha atau bisa
dipertanggungjawabkan dan dipidana. Namun sangat disayangkan
didalam undang-undang itu sendiri tidak dijelaskan kapan suatu badan
hukum itu melakukan tindak pidana di bidang kehutanan sehingga sangat
sulit untuk menyeret suatu badan hukum atau badan usaha tersebut ke
pengadilan.97
Dari hasil penelitian dan wawancara dengan (Penyidik PNS,
Penyidik kepolisian, Jaksa dan Hakim) yang pernah menangani kasus
perambahan hutan bahwa dari segi Perundang-undangan yang mengatur
tentang perambahan hutan khususnya di kawasan konservasi dalam
substansinya tidak ada permasalahan yang berarti, karena sudah diatur
secara jelas dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan dalam Pasal 50 Ayat (3) setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan; 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai dan
daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang
terendah dari tepi pantai.
97 Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, 2008
cxiv
Sedangkan dalam Pasal 78 Ayat (2) di jelaskan mengenai sanksi pidana yaitu:
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Penjelasan dari bunyi pasal 78 Ayat (2) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu:
1. Dengan sengaja; 2. Melakukan perambahan hutan; 3. Diancam dengan pidana.
Tindak pidana perambahan hutan sebagaimana yang di atur dalam
Pasal 50 ayat 3 huruf (b) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan adalah perbuatan yang melawan hukum yang diancam dengan
hukuman pidana. Namun dalam penerapannya masih sering terjadi
perbedaan persepsi diantara para instansi yang terkait dalam penegakan
hukum terhadap perambahan hutan (Taman Nasional, Pemerintah Daerah
baik Propinsi maupun Kabupaten, Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan) dalam mengartikan perambahan hutan, karena dampak dari
perambahan belum dirasakan secara langsung dan perambahan hutan
masih dianggap dalam tahap wajar sehigga masih ditempatkan pada lapis
kedua dalam penangannya. Kemudian adanya ketentuan dalam Undang-
undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang tidak memuat
sanksi pidana minimum melainkan pidana maksimum sehingga hakim
dalam menjatukan pidana tidak dapat optimal. Dan pada umumnya
pelaku perambahan hutan yang di jatuhi sanksi pidana adalah mereka
yang melakukan perambahan dalam sekala kecil saja.
Pola ancaman pidana kumulatif pidana penjara dan denda, pola
ancaman yang demikian ini merupakan pola yang kaku dan bersifat
impratif, selain itu juga ancaman pidana denda yang begitu tinggi yang
berkisar antara Rp.50.000.000.- sampai dengan Rp.10.000.000.000.-
tidak ada artinya apabila tidak diterapkan secara betul-betul, lebih-lebih
cxv
jika dikaitkan dengan pasal 30 KUHP, pidana denda dapat diganti dengan
kurungan pengganti untuk paling lama 6 (enam) bulan sehingga
seandainya seorang dijatuhi pidana 5 (lima) milyar rupiah subsidair 6
(enam) bulan kurungan sudah barang tentu untuk orang yang pas-pasan
akan memilih menjalani kurungan pengganti 98.
Oleh karena itu hukum dalam bentuk peraturan adalah perwujudan
dari kebijakan publik penguasa dan kebijakan itu tidak dapat dilepaskan
dari isu-isu dan lingkungan politik. Dalam pengertian pembuat undang-
undang yang pada dasarnya akan menghasilkan norma yang berisikan
petunjuk-petunjuk tingkah laku yang merupakan pencerminan dari
kehendak manusia tentang bagaimana masyarakat itu dibina dan kearah
mana masyarakat itu diarahkan. Sehingga hukum itu harus mengandung
ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan yang
muaranya adalah merupakan ide tentang keadilan. Dengan demikian
supaya peraturan itu bisa berlaku maka dalam pembuatan undang-undang
dituntut untuk dapat meramu dunia yang ideal dengan dunia kenyataan,
supaya peraturan yang dibuatnya tersebut selain memberikan kepastian
hukum juga memberikan keadilan dengan memperhatikan kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat serta memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
2. Aparat Penegak Hukum
Masalah penegakan hukum adalah sangat luas karena mencakup
mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung
dibidang penegakan hukum atau Law enforcement. Secara sosiologis
penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan pranan (role)
kedudukan (sosial) yang merupakan posisi tertentu dalam
kemasyarakatan. Orang yang mempunyai kedudukan tertentu dalam
98. Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa pemikiran kearah pengembangan hokum pidana, PT.
Citra Aditiya Bhakti, Bandung 2008, hal : 210-211
cxvi
masyarakat biasa disebut pemegang peran (role occupant) peranan
tertentu dapat dijabarkan dalam unsusr-unsur :
a. Peranan yang idial (ideal role) b. Peranan yang seharusnya (expected role) c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) d. Peranan yang sebenarnya (actual role)
Pihak-pihak yang termasuk dalam kategori penegak hukum dalam
kontek perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
termasuk Polisi Kehutanan, Penydik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan,
Polisi, Jaksa dan Hakim, aparat hukum tersebut secara sendiri-sendiri
atau bersama-sama tidak akan mampu untuk melakukan upaya
penegakan preventif dan represif tanpa dukungan masyarakat dan unsur
lembaga pemerintahan lainnya, lebih jauh lagi sering ditemukan faktor
teknis dan non teknis yang mempengaruhi kinerja penegak hukum
misalnya deteksi dini yang memerlukan partisipasi masyarakat,
pendanaan penyelidikan, penyidikan, penahanan dan sebagainya.
Dari hasil penelitian dan wawancara dalam hal aparat penegak
hukum baik dalam arti tindakan preventif maupun represif dalam
menangani tindak pidana perambahan hutan di samping jumlahnya
sangat kurang juga kemampuannya masih terbatas. Hal ini dapat dilihat
khususnya pada Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
dimana jumlah petugas/tenaga pengaman baik Polisi Kehutanan
(selanjutnya disingkat POLHUT) maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(selanjutnya disingkat PPNS) masih sangat minim dibandingkan dengan
jumlah luas kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang
mencapai 356.800 ha dengan jumlah tenaga pengaman 57 (limapuluh
tujuh) personil, jadi rasio perbandingannya antara ± 1 : 6000 ha, rasio
kecukupan ini harus ditinjau kembali dengan memperhatikan kondisi
wilayah, sarana prasarana, sosial ekonomi masyarakat dan faktor lain.
cxvii
Sedangkan jumlah seluruh pegawai Balai Besar Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan berjumlah 130 (seratus tiga puluh) orang.99
Terhadap Aparat penegak hukumnya yaitu bahwa dalam Undang-
undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan memberikan kewenangan
kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya meliputi pengamanan hutan diberi wewenang khusus sebagai
penyidik. Setiap memulai penyidikan PPNS memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada penyidik Polri dan hasil penyidikan diserahkan
kepada Penuntut Umum melalui pejabat penyidik Polri.100
Keberadaan penyidik pegawai negeri sipil dalam sistem peradilan
pidana berada dalam satu komponen yang sama dengan penyidik Polri.
Ini diperkuat dengan UU No. 2/2002 tentang Kepolisian RI. Dalam
sebuah pasal disebutkan Polri melakukan koordinasi, pengawasan, dan
pembinaan teknis terhadap PPNS. Sejak berlakunya Undang-Undang No.
8/1981 tentang KUHAP, keberadaan PPNS secara eksplisit diatur Pasal 6
Ayat (1) huruf b, Pasal 7 Ayat (2), Pasal 107, dan Pasal 109 KUHAP.
Terhadap pelaksanaan tugas penyidikan terhadap Undang-undang
tertentu keberadaan PPNS di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
Polri. PPNS mempunyai fungsi dan peranan sebagai perpanjangan tangan
Polri dalam upaya penegakan hukum, khususnya tindak pidana yang
terjadi di luar KUHP. PPNS merupakan subsistem dari sistem peradilan
pidana (criminal justice system). "PPNS merupakan penyidik yang
mandiri. Artinya fungsi dan perannnya tidak dapat digantikan lembaga
atau fungsi lain. Dalam bertugas, mereka berada di bawah koordinasi
pengawasan dan bimbingan teknis penyidik Polri. Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Kehutanan dalam melaksanakan tugasnya bersifat
fungsional sebagai pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
99 Balai Besar Bukit Barisan selatan, Statistik 2008 hal-41
100 Direktorat Perlindungan Hutan, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, Panduan Penyidik Pegawai Negeri sipil, Jakarta,2004
cxviii
wewenang oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-
undang Nomor 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistenya, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan, yang secara fungsional melakukan penyidikan tindak pidana
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan. Penyidik Polri dalam
melaksanakan koordinasi dan pengawasan terhadap PPNS tidak
membawahi PPNS akan tetapi bersifat pembinaan. Baik diminta ataupun
tidak diminta Penyidik Polri wajib memberikan pembinaan kepada
PPNS. pengertian koordinasi disini adalah suatu bentuk hubungan kerja
antara penyidik polri dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam rangka
peaksanaan tugas-tugas yang menyangkut bidang penyidikan atas dasar
hubungan fungsional dengan tetap memperhatikan hirarki dari masing-
masing instansi 101.
Dari hasil penelitian dan wawancara disimpulkan bahwa kendala
dan masalah dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan
dijumpai dalam berbagai tahapan yakni melihat dari faktor aparat
penegak hukum maka akan berkaitan dengan aspek kwalitas dan kantitas
dari aparat penegak hukum tersebut. Kwantitas berkaitan dengan jumlah
atau cukup tidaknya aparat penegak hukum yang sudah ada selama ini,
sedangkan kwalitas berkaitan dengan kemampuan atau profesionalisme
aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kehutanan
khususnya perambahan hutan. Kekurangan dari segi kwalitas dan
kwantitas dari aparat penegak hukum maka akan meberikan pengaruh
yang sangat besar dalam menangani tindak pidana perambahan hutan.
Disamping itu juga dalam kenyataannya menunjukkan bahwa
aparat penegak hukum baik penyidik PNS maupun Polri, penuntut umum
dan hakim yang memahami ketentuan atau peraturan tentang Kehutanan
jumlah dan kemampuannya masih terbatas, dan dilain pihak harus
disadari bahwa aturan tentang kehutanan ini merupakan lex spesialis 101 Anonimous, Dasar hukum pelaksanaan tugas PPNS, bahan ajar Diklat Jagawana, Sekolah calon Perwira Polri, Sukabumi, 2000
cxix
yang asfeknya sangat luas dan bersifat kompleks yang nantinya akan
berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu (multi disipliner) karena itu perlu
mendidik tenaga-tenaga yang professional aparat penegak hukum
sehingga diharapkan nantinya mereka akan mampu menangani kasus-
kasus tindak pidana kehutanan khususnya perambahan hutan.
Dalam hal penyidikan ini untuk memberikan jaminan bahwa hasil
penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan. PPNS
merupakan ujung tombak dalam pengungkapan kasus di bidang
Kehutana khususnya tentang perambahan hutan semua tergantung pada
kejelian, kemahiran, kemampuan serta komitmen dari penyidik. Bila di
bandingkan dengan luas kawasan yang di awasi dengan jumlah penyidik
yang ada di Balai Bsar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan maka
belum sebanding, karena dalam menangani satu kasus tindak pidana
kehutanan minimal diselesaikan oleh 2 (dua) orang penyidik/PPNS agar
hasil penyidikan lebih efektif dan efisien. Sedangkan jumlah keseluruhan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang pada pada Balai Besar Taman
Nasional Bukit Baris Selatan adalah berjumlah 13 (tiga belas) orang
personil102, dan tidak semua Penyidik bisa melaksanakan proses
penyidikan secara optimal.
Pada umumnya penyidik dalam tindak pidana umum adalah
penyidik polri, namun dalam tindak pidana tertentu selain penyidik
kepolisian, oleh undng-undang dijelaskan secara khusus penyidik dari
lingkungan instansnya sendiri yang dikenal dengan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana pada pasal 1 angka (1) yang dijelaskan bahwa “ Penyidik adalah
pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau penyidik pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan”. Selanjutnya dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana pasal 6 dijelaskan bahwa:
102 Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik 2008
cxx
(1). Penyidik adalah: a. pejabat polisi Negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-undang.
(2). Syarat dan kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berwenang melakukan
penyidikan terhadap tindak kejahatan kehutanan (Pasal 78 Undang-
Undang No. 41 Tahun 1999). PPNS Kehutanan melakukan tugas lex
specialist, oleh karena itu PPNS harus lebih menguasai bidangnya
dibandingkan dengan Penyidik Polri. Untuk menjamin kelancaran
penyidikan tindak pidana dibidang kehutanan, sebaiknya penyidikan
dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dan bukan
Penyidik Polri. Pengalaman menunjukkan bahwa penyidikan yang
dilakukan sendiri lebih cepat, murah dan tepat, saksi ahli sedapat
mungkin harus dari instansi kehutanan karena secara keilmuan dan
pengalaman lebih menguasai dibidangnya dibandingkan dengan institusi
lain.
3. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan
dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan, dengan ketiadaan
atau keterbatasan sarana dan prasarana maupun penunjang lainnya akan
sangat mempengaruhi keberhasilan dalam penanganan perambahan hutan
khususnya di Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan. Tanpa adanya
sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung dengan optimal. Terhadap faktor sarana atau fasilitas bahwa
dalam penegakan hukum tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka
tidak mungkin penegakan hukum akan lancar dan sesuai dengan apa
yang diharapan, sarana atau fasilitas tersebut antara lain yaitu mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan terampil, organisasi yang baik,
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, khususnya mengenai
cxxi
tindak pidana perambahan hutan karena mengingat lokasi atau Tempat
Kejadian Perkara (TKP) yang berada di dalam kawasan hutan yang
memerlukan biaya yang cukup tinggi karena tidak semua lokasi bisa
dijangkau dengan menggunaan kendaraan baik roda dua maupun roda
empat dan memerlukan waktu yang cukup lama karena tidak menutup
kemungkinan lokasi tersebut tidak dapat dijangkau dalam hitungan
waktu.
Dari hasil penelitian dan wawancara diperoleh bahwa untuk
melakukan pengamanan dan penanganan terhadap perambahan hutan di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan jumlah luasan kawasan
yang begitu luas mencapai 356.800 ha dengan jumlah aparat yang masih
terbatas dimana dalam organisasi Taman Nasional dalam pengelolaannya
dibagi dalam resort-resort yang tentunya akan didukung dengan sarana
prasarana yang memadai untuk menunjang pelaksanaan tugas, namun
kenyataannya belum sesuai dengan harapan seperti dalam satu resort
dengan jumlah personil 4 (empat) orang petugas dengan luas wilayah
kerja ± 30.000 ha hanya dilengkapi dengan sarana dan prasarana 1 (satu)
unit kendaraan roda 2 (dua), 1 (satu) sampai 2 (dua) pucuk senjata api
dan 1 (satu) unit pos jaga yang juga belum dilengkapi dengan sarana
prasarana penunjang lainnya yang memadai 103. Pada tingkat resort
merupakan ujung tombak dalam menjalankan fungsi perlindungan dan
pengawasan hutan, namun dengan jumlah petugas sebanyak 2 (dua) sam
pai 4 (empat) orang pada masing-masing resort tentu tidak akan mampu
untuk berbuat maksimal untuk melakukan perlindungan dan pengamanan
kawasan.
Sarana dan prasarana merupakan elemen yang sangat penting
dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perambahan
hutan, oleh karena itu perbaikan dan peningkatan sarana prsarana
merupakan hal yang tidak bisa ditunda-tunda lagi, sudah saatnya
103. Balai Besar Bukit Barisan selatan, Statistik, 2008
cxxii
pemerintah memperhatikan persoalan ini dengan lebih serius
menyediakan sarana prasarana yang memadai untuk mendukung
berhasilnya penegakan hukum terhadap perambahan hutan.
4. Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian dan keadilan dalam masyarakat, maka masyarakat
dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum. Dari sudut sistem sosial
budaya, indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk (plural
society) terdapat banyak golongan etnik dengan kebudayaan yang
berbeda-beda, disamping itu sebagian besar penduduk Indonesia tinggal
dipedesaan yang tentunya berbeda dengan ciri-ciri wilayah perkotaan.
Masalah yang timbul di wilayah pedesaan mungkin harus lebih banyak
ditangani dengan cara-cara tradisional, demikian pula diwilayah
perkotaan tidak semua masalah bisa diselesaikan tanpa menggunakan
cara-cara tradisional.104
Masyarakat secara umum memiliki empat ciri utama, yaitu (1)
adanya interaksi antar warga, (2) adanya adat istiadat, norma-norma,
hukum, serta aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku
warga, (3) adanya kontinuitas dalam waktu, (4) adanya rasa identitas
yang kuat yang mengikat semua warga. Koentjaraningrat merangkum
keempat ciri tersebut menjadi sebuah definisi tentang masyarakat, yaitu
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat
istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu
rasa identitas bersama.
Masayarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang berhubungan
sangat erat, susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu
ketertiban. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh
104 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Memprngaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grapindo Persada, Jakarta, 2008
cxxiii
bermacam lembaga secara bersama-sama seperti hukum dan tradisi. Oleh
karena itu didalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma
yang masing-masing memberikan sahamnya dalam menciptakan
ketertiban itu. Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan
dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan. Karena
adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib.105
Manusia berintegrasi secara terus menerus dengan lingkungan
hidupnya dimana dalam integrasi tersebut manusia akan bisa mengamati
alam sekitarnya dan nantinya akan mendapatkan pengalaman, dari
pengamatan dan pengalamannya tersebut manusia akan mendapatkan
gambaran tertentu tentang lingkungan hidupnya dan akan menimbulkan
kesadaran dalam diri manusia. Bila kesadaran manusia tersebut bersifat
negatif, dalam artian bahwa manusia tersebut tidak memahami dan
menghayati betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup
bagi kelangsungan hidup dan kehidupan dimuka bumi ini. Maka manusia
tersebut akan cenderung bersifat masa bodoh terhadap lingkungan di
sekitarnya, orang yang demikian tidak akan segan-segan untuk
melakukan perbuatan yang berdampak negatif terhadap lingkungannya,
seperti salah satunya membabat/merambah hutan. Terbatasnya kesadaran
masyarakat terhadap lingkungan atau terhadap arti dan manfaat kawasan
hutan bagi kehidupan manusia sekarang dan terhadap generasi yang akan
datang, hal ini disebabkan karena keawaman atau ketidaktahuan
masyarakat terhadap berbagai asfek tentang hutan dan kehutanan.
Analisis faktor yang keempat yaitu faktor Masyarakat, dalam
penanganan perambahan hutan tentang faktor masyarakat dikhususkan
terhadap masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan dan
masyarakat perambah. Dalam kehidupan sehari-hari seorang aparat
penegak hukum pasti akan menghadapi bermacam-macam manusia
105 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya, Bandung, 2000, hal-13
cxxiv
dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing, diantara
mereka ada yang taat pada hukum, ada yang pura-pura mentaatinya, ada
yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan ada pula yang terang-
terangan mentaatinya. Hal ini disebabkan salah satunya yaitu tingkat
pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang ada disekitar kawasan
hutan yang pada umumnya masih rendah. serta kearifan lokal yang
merupakan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan
hidup secara lestari sudah mulai memudar, hal ini disebabkan oleh
tuntutan kebutuhan hidup. Untuk mengatasi permaslahan ini tentunya
harus diambil langkah-langkah positif seperti penyuluhan harus
ditingkatkan khususnya terhadap masyarakat yang ada disekitar kawasan
hutan yang tentunya dengan media yang mudah dimengerti oleh
masyarakat, dengan tujuan untuk meminimalisir konflik-konflik yang
ada.
5. Faktor Budaya
Faktor budaya disini akan dijelaskan tentang budaya hukum yang
di katakana oleh Lawrence Friedman bahwa ada dua budaya hukum yaitu
budaya hukum Internal dan budaya hukum eksternal.
a. Budaya hukum Internal adalah budaya hukum orang-orang yang
bertugas untuk menjalankan hukum termasuk didalamnya adalah
polisi, jaksa dan hakim maupun penyidik pegawai negeri sispil,
budaya hukum seseorang tentunya akan berpengaruh dalam
pengambilan keputusan yang diambilnya. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi putusan seseorang dalam mengambil keputusan yaitu:
dinamika diri individu, dinamika para kelompok orang dalam
organisasi, adanya tekanan dari luar, adanya pengruh kebiasaan lama,
adanya pengaruh dari sifat pribadi, adanya pengaruh dari kelompok
luar dan pengaruh masa lalu. budaya hukum internal aparat penegak
hukum agar bisa dikatakan budaya yang baik harus dimulai dari sejak
cxxv
awal rekrutmen pegawai, hal ini harus dilakukan dengan cara
menegakkan prinsip transparansi, profesionalisme, dan akuntabilitas,
sehingga akan dapat menghilangkan pola rekrutmen yang didasari
pada kolusi, korupsi dan nepotisme. Disamping itu juga harus
memperhatikan penempatan aparat yang didasarkan pada faktor
integritas dan moral sehingga diharapkan akan menghasilkan
penegakan hukum yang baik.
b. Budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat, yaitu
sejauhmana tanggapan dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
Soerjono soekanto mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah
sebagi hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
dalam pergaulan hidup, artinya budaya hukum masyarakat adalah
pemaknaan masyarakat terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan dari pandangan yang mereka yakini, hal ini berkaitan dengan
seberapa jauh tingkat penerimaan masyarakat terhadap peraturan
perundang-undangan yang telah disosialisasikan oleh instansi yang
berwenang. Apabila sosialisasi telah cukup dilakukan, langkah
selanjutnya adalah tindakan persuasiasif untuk mengarahkan budaya
masyarakat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat undang-
undang.
Faktor budaya akan sangat menentukan berhasil atau tidaknya
pengelolaan hutan dan penegakan hukum terhadap perambahan hutan,
Adanya kenyataan bahwa hampir semua masyarakat disekitar kawasan
hutan adalah masyarakat miskin. masyarakat dipedesaan hanya
mengandalkan sumber mata pencariannya dari sektor pertanian.
Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga serta peningkatan
cxxvi
kebutuhan, menyebabkan masyarakat yang kurang mampu melakukan
perluasan areal pertaniannya masuk kedalam kawasan hutan106.
Angelsen (1998) argued that decisions about agricultural expansion as the proximate cause of deforestation in many frontier areas should be modeled as investment decisions, because forest clearing commonly gives farmers rights to the forest and hence deforestation is a title establishment strategy. 107
Angelsen (1998) berpendapat bahwa keputusan tentang perluasan
pertanian sebagai penyebab terdekat dari deforestasi di daerah perbatasan
banyak harus dimodelkan sebagai keputusan investasi, karena
pembukaan hutan biasanya memberikan hak-hak petani untuk masuk
hutan dan menyebabkan deforestasi merupakan strategi.
Ada dua faktor sebagai pengikat yang disebut sebagai masyarakat
yaitu sistem adat istiadat dan rasa identitas. Sistem adat istiadat meliputi
sistem nilai budaya, norma-norma dan aturan-aturan hidup yang
dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat dalam bertingkah
laku. Sedangkan adat istiadat merupakan pola yang sudah mantap dan
telah hidup dalam waktu yang lama secara berkesinambungan, sehingga
adat istiadat menjadi sesuatu yang dianggap khas. Kekhasan ini
kemudian dikomunikasikan dari generasi ke generasi melalui proses
belajar.
Sedangkan faktor sosial budaya dan faktor sosial lainnya yang
dapat memberikan pengaruh terhadap penanaganan perambahan hutan di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah bahwa perambahan yang
terjadi di Taman Nasional bukit Barisan Selatan sudah tejadi sejak tahun
1950an, jika dikaitkan dengan masyarakat yang latar belakang mereka
adalah petani dimana tanaman andalannya adalah kopi, disamping itu
106 Suyanto, Pengaruh Perambahan Terhadap Kawasan Hutan peroduksi Terbatas
(HPT),http://fkkm.org/PusatData/index.php?lang=ind&action=kehutananmasyarakat
107 Angelsen, Arild. 1998. “Agricultural Expansion and Deforestation: Modeling the Impact of Population, Market Forces, and Property Right.” Journal of Development Economics, Vol. 58 (1999) p.185-218.
cxxvii
juga Kabupaten lampung Barat merupakan salah satu daerah penghasil
kopi di Propinsi Lampung dan didukung oleh sumber daya alam yang
subur maka masyarakat menggarap lahan di dalam kawasan hutan karena
lahan yang tersedia tidak mencukupi, hal ini sudah terjadi secara turun
temurun dan masih berlanjut hingga sekarang. Selain itu adalah faktor
agama dan tradisi, setiap agama mengajarkan kepada umatnya untuk
memelihara dan menjaga alam lingkungan hidupnya secara arif dan
bijaksana, alam semesta merupakan titipan sang pencipta kepada umat
manusia, karena itu harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya
dan tidak boleh dirusak. Manusia yang menghayati ajaran agama maka ia
akan selalu menjaga keutuhan dan kelestarian hutan serta keseimbangan
dalam hubungannya dengan sesama manusia, hubungan dengan alam
lingkungannya, dan hubungannya dengan Allah sang pencipta alam
semesta.
2. Upaya yang seharusnya dilakukan dalam penegakan hukum terhadap
perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Berdasarkan teori yang digagas oleh G.P. Hoefnagels tentang
penanggulangan kejahatan bahwa upaya penegakan hukum atau upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman);
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanan lewat mass media (influencing views of society on crime and funeshman/mass media).108
108 Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-40
cxxviii
1. Tindakan represif atau penggunaan sarana pidana (criminal law
application).
Usaha penegakan hukum dengan meggunakan sarana pidana pada
hakekatnya merupakan penegakan hukum pidana. Penggunaan Hukum
pidana memang bukanlah sarana utama yang dapat digunakan untuk
menanggulangi kejahatan, karena apabila hukum pidana dipaksakan
dalam menanggulangi kejahatan maka tidak mungkin hukum pidana akan
menjadi salah satu faktor kriminogen karena tidak semua persoalan
hukum penyelesaiannya melalui sistem peradilan pidana. Kalau dilihat
dari sudut kepentingan yang akan dilindungi, sistem peradilan pidana
bertujuan untuk melindungi kepentingan si pelapor (korban), dalam hal
ini kepentingan pemerintah atau kepentingan Negara yang juga bertujuan
melindungi kepentingan masyarakat.
Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan akan melibatkan tenaga-tenaga pengaman hutan
yang ada seperti Polisi Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kehutanan, mereka berada pada garis terdepan atau lapis pertama dalam
penegakan hukum, sedangkan Polisi, Jaksa dan Hakim berada pada lapis
kedua109.
Sasaran akhir dari penegakan hukum terhadap perambahan hutan
adalah terciptanya kondisi hutan yang baik sehingga terjamin kelestarian
dan keutuhannya. Fungsi hutan dapat dipertahankan jika telah
memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat yang ada
disekitar kawasan hutan, sehingga masyarakat akan mendukung upaya-
upaya pelestarian hutan. Jadi jelas bahwa tujuan akhir penegakan hukum
terhadap perambahan hutan bukan berarti berapa banyak kasus yang
ditangani dan berapa lama vonis yang dijatuhkan oleh hakim terhadap
para pelaku tindak pidana kehutanan, tetapi yang terpenting adalah 109 Tamen Sitorus, Pola Perlindungan yang Mantap Pada Tingkat Hulu, http://www.fkkm.org/artikel/index.php?action=detail&page=34
cxxix
bagaimana kelestarian dan keutuhan hutan dapat dipertahankan110. Oleh
karena itu Polisi Kehutanan sebagai ujung tombak dalam pengamanan
hutan harus ditempatkan di pos terdepan.
Tugas-tugas Polisi Kehutanan tercermin di dalam kegiatan-kegiatan
yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan untuk
melakukan patroli dan penjagaan, operasi pengamanan hutan baik operasi
fungsional, operasi gabungan maupun operasi khusus. Sehingga peluang
terjadinya gangguan terhadap kawasan hutan harus dicegah sedini
mungkin.
Kewenangan Polisi Kehutanan dalam tindak pidana kehutanan
hanya sampai penangkapan tersangka dan pengamanan barang bukti.
Tugas ini selanjutnya harus segera diserahkan kepada Penyidik Pegawai
Negeri Sipil untuk proses pemeriksaan lebih lanjut. Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Kehutanan berwenang melakukan penyidikan terhadap
tindak kejahatan dibidang Kehutanan sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 78 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan melakukan tugas lex
specialist, oleh karena itu Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan
harus lebih menguasai bidangnya dibandingkan dengan Penyidik Polri.
Untuk menjamin kelancaran penyidikan dibidang tindak pidana
kehutanan, seharusnya penyidikan dilakukan oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil dengan dibawah koorwas Penyidik Polri. PPNS harus
memonitor perkembangan kasus yang sudah divonis oleh hakim dan
berapa lama vonis yang dijatuhkan. Selain itu, mengenai saksi ahli
sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana pasal 1 ayat (28) yang dijelaskan bahwa keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan.
110 Tamen Sitorus, Ibid , hal-5
cxxx
Koordinasi harus dibina dan lebih ditingkatkan lagi diantara aparat
penegak hukum Kehutanan, Kepolisian, Kejaksan dan Pengadilan. Hal
ini perlu dilakukan karena selama ini koordinasi diantara aparat penegak
hukum hanya bersifat insidentil saja artinya kalau terjadi kasus baru
dilakukan koordinasi, seharusnya koordinasi dilakukan jangan hanya
bersifat insidentil saja karena dalam penegakan hukum diantara aparat
penegak hukum harus ada persamaan persepsi agar supaya penegakan
hukum mulai dari awal penyidikan, penuntutan hingga putusan
pengadilan dapat memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan kedamaian
dalam masyarakat.
Untuk lebih meningkatkan kewenangan penyidik, perlu dilakukan
penyempurnaan terhadap Kitab Undang-unding Hukum Acara Pidana
terutama yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Penyididk Pegawai
Negeri Sipil antara lain tentang penangkapan dan penahanan tersangka,
penyampaian atau pengiriman berkas kepada penuntut umum ”melalui”
penyidik Polri. Kata-kata penangkapan, penahanan dan melalui, sering
menghambat kelancaran tugas-tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil
terutama apabila ada ”interest tertentu” oleh Penyidik Polri. Kalau kita
melihat dalam KUHAP Pasal 6 ayat (1) KUHAP:
Penyidik adalah: a. pejabat polisi Negara Republik Indonesia b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Dilihat dari bunyi pasal 6 ayat (1) bahwa kedudukan penyidik polri
dengan penyidik pegawai negeri sipil adalah sama, tapi dalam
perakteknya menunjukkan bahwa penyidik pegawai negeri sipil dalam
menyampaikan berkas ke Jaksa penuntut umum harus melalui penyidik
polri. PPNS merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal
justice system). PPNS merupakan penyidik yang mandiri.
Penanganan perambahan hutan di taman nasional bukit barisan
selatan harus dilihat kasus perkasus, artinya tidak bisa disamaratakan,
cxxxi
unsur keadilan tentunya harus seimbang dengan unsur kepastian hukum
walaupun dalam kenyataannnya sulit untuk pencapaian antara kedua
unsur tersebut.
Agar tujuan dari penegakan hukum dapat memberikan kepastian
hukum dan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, karena melihat
dari luasan lahan yang sudah di rambah dan jumlah perambah begitu
banyak, maka sebelum dilakukan tindakan refresip dengan
menggunakan sarana pidana hendaknya dilihat tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1. Koordinasi
Tahap koordinasi dilakukan di tingkat Pemerintah Daerah (Propinsi
dan Kabupaten), aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan) Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli dengan
lingkungan, diharapkan agar tercipta kesepakatan bersama dalam
penanganan perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan (membuat suatu konsep dan perumusan yang tepat tentang
upaya penanganan perambah), dengan memperhatikan masalah-
masalah yang berkembang dalam masyarakat. Koordinasi disini
adalah suatu bentuk hubungan kerja antara lembaga dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas yang menyangkut bidang penegakan hukum
atas dasar hubungan fungsional dengan tetap memperhatikan hirarki
dari masing-masing instansi.
2. Sosialisasi
Pada tahap sosialisasi, sasarannya adalah masyarakat yang ada
disekitar kawasan hutan dan masyarakat perambah khususnya,
sosialisasi penanganan perambah di lakukan dengan menggunakan
media yang bisa diterima oleh masyarakat, dalam tahap sosialisasi
hal yang perlu ditagaskan adalah sesuai dengan tujuannya bahwa
hukum pidana akan diterapkan terhadap ketentuan yang telah
disosialisasikan.
cxxxii
3. Pendekatan emosional
pada tahap ini sasarannya adalah masyarakat perambah, serta
pendataan terhadap masyarakat (sosial ekonomi, asal usul) serta
memberikatan peringatan kepada perambah agar segera
meninggalkan lahan rambahannya.
4. Tindakan (action)
pada tahap tindakan dengan melibatkan semua unsur aparat penegak
hukum (kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) serta
pemerintah daerah, agar penanganan terhadap perambahan dapat
berjalan tanpa adanya benturan-benturan di masyarakat.
5. Pengawasan terhadap masyarakat perambah pasca tindakan
dilakukan secara berkesinambungan dan kontinyu/terus menerus,
agar masyarakat yang telah meninggalkan lahannya tidak kembali
lagi masuk ke hutan dan melakukan perambahan kebali.
6. Rehabilitasi lahan bekas rambahan, melibatkan unsur masyarakat,
dan dilakukan dengan cara transparan, hal ini menunjukkan
keseriusan pemerintah dalam menjaga kelestarian dan keutuhan
kawasan, serta untuk mensejahterakan masyarakat.
2. Penegakan hukum dengan tanpa pidana/tindakan preventif
(prevention without punishman)
Penegakan hukum dengan tindakan tanpa pidana atau tindakan
preventif yaitu menitikberatkan pada sifat prevenventive (pencegahan
/penangkalan /penegndalian) sebelum kejahatan itu terjadi. Upaya
penegakan hukum dengan tindakan preventif atau tanpa pidana lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran
utamanya adalah menanganai faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan, faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat
cxxxiii
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung
atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan
kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara
makro dan global maka upaya –upaya preventif menduduki posisi kunci
dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. dikatakan posisi
kunci dan strategis khususnya dalam menanggulangi sebab-sebab dan
kondisi-kondisi yang menimbukan kejahatan. Dijelaskan dalam salah
satu kongres Perserikatan Bangsa Bangsa ke-6 tahun 1980 di caracas,
venezuela, antara lain dinyatakan dalam pertimbangan resolusi
mengenai ”Crime tends and crime prevention strategies”. yaitu bahwa
strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan
sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime
prevention strategies should be based upon the elimination of causes
and conditions giving rise to crime)111.
Dari penjelasan di atas bila dikaitkan dengan penegakan hukum
terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
maka terlebih dahulu akan dilihat penyebab timbulnya perambahan
hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu:
a. Faktor Internal diantaranya adalah:
1. lemahnya pengawasan oleh petugas terhadap kawasan hutan;
2. ketidaktegasan dalam menjalankan aturan oleh petugas.
b. Faktor Eksternal
1. adanya akses Jalan yang memotong kawasan Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan;
2. faktor kemiskinan dan kurangnya keahlian masyarakat yang ada
disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan;
3. tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat perambah yang
masih rendah;
111 Barda Nawawi arief, Of. Cit.hal-41
cxxxiv
4. masih kurangnya dukungan dari Pemerintah Daerah dalam
pengamanan kawasan hutan khususnya kawasan Konservasi.
Dari kedua faktor yang telah dijelaskan diatas maka akan
diuraikan satu persatu dari faktor yang menyebabkan perambahan hutan
di Taman Nasional Bukit barisan Selatan yaitu:
a. Faktor internal, faktor yang terdapat pada Balai Besar Taman Nasional itu sendiri.
1. Lemahnya pengawasan terhadap kawasan hutan oleh petugas
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Kurangnya pengawasan terhadap kawasan hutan dapat
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya : Fasilitas atau sarana
dan prasarana yang tersedia belum memadai atau belum
mendukung untuk melakukan pelaksanaan kegiatan pengawasan
dan pengamanan yang lebih intensif, Jumlah personil pegawai
kehutanan yang belum seimbang dengan luas kawasan yang harus
di awasi, atau rasio kecukupan antara petugas dengan jumlah luas
kawasan belum sebanding, masalah kesejahteraan petugas, serta
sulitnya medan yang harus dilalui, sehingga menuntut kecakapan
personil untuk mampu mengawasi wilayah dan mengamankan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dari segala macam
ancaman terhadap kelestariannya terutama ancaman dari
perambah hutan. Lemahnya pengawasan atau kontrol terhadap
kawasan hutan oleh aparat penegak hukum dapat menyebabkan
masuknya perambah ke dalam kawasan hutan. Hal ini dapat
memberikan anggapan kepada para perambah bahwa tindakan
yang mereka lakukan masih dalam batas yang wajar dalam artian
bahwa memfungsikan kawasan hutan untuk dimanfaatkan atau
untuk dijadikan kebun, sehingga secara ekonomi dapat
meningkatkan kesejahteraan bagi para perambah. Permasalahan
ini harus disikapi secara arif dan bijaksana karena kalau hal ini
cxxxv
dibiarkan secara terus menerus tidak menutup kemungkinan
perambahan yang terjadi akan semakin meningkat dari tahun
ketahun.
b. Ketidaktegasan atau kurang keseriusan dalam menjalankan
aturan.
Ketidaktegasan oleh aparat penegak hukum dalam
menjalankan aturan maka akan membuat Masyarakat semakin
berani untuk merambah kawasan, dikarenakan dari kelompok
mereka yang telah lebih dahulu melakukan perambahan terhadap
kawasan tidak mendapat sanksi yang tegas atas pelanggaran yang
mereka lakukan. sehingga hal tersebut membuat anggota yang
lain termotivasi untuk melakukan tindakan yang sama, yang pada
akhirnya semakin lama mereka mendiami kawasan maka akan
semakin memperkuat eksistensi/keberadaan mereka di dalam
kawasan.
Aturan merupakan pedoman untuk menjaga kelestarian
serta keutuhan kawasan hutan. Aturan-aturan yang diberlakukan
terkadang penerapan dilapangan kurang atau tidak dijalankan
sebagaimana mestinya. Akibatnya kawasan hutan yang dirambah
kerusakan yang dialami akan semakin parah. Bahkan jika aparat
hanya bekerja sebatas menunaikan kewajiban, sekedar
menjalankan perintah pimpinan, atau menjalankan kewenangan,
maka penegakan hukum akan berubah menjadi komoditas belaka.
dan jika didasarkan pada kepentingan pribadi maka akan
menghasilkan konflik kepentingan yang bermuara pada
penegakan hukum yang pilih kasih atau dibeda bedakan.
Ketidaktegasan dalam menjalankan aturan oleh aparat penegak
hukum akan berpengaruh terhadap kredebilitas institusi di mata
masyarakat.
cxxxvi
2. Faktor eksternal yang terdapat di luar Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan yaitu:
a. Adanya akses Jalan yang memotong kawasan Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan;
Dengan adanya ketersediaan jalan yang memotong dalam
kawasan Taman Nasional maka akan sangat berpengaruh
terhadap kelestarian dan keutuhan kawasan. Kemudahan bagi
masyarakat perambah menuju ke kawasan akan menstimulasi
bagi perambah untuk melakukan pembukaan lahan di dalam
kawasan hutan. Tersedianya akses jalan akan memudahkan bagi
mereka untuk mengangkut barang-barang kebutuhan maupun
hasil dari tanaman yang diusahakan di dalam kawasan hutan.
Adanya jalan yang memotong kawasan hutan dapat merupakan
penyebab masuknya pelaku illegal kedalam kawasan. Masyarakat
akan semakin banyak melakukan perambahan hutan sehingga
akibatnya akan semakin memperparah kondisi kawasan itu
sendiri.
Hal ini terbukti dengan adanya pembukaan beberapa jalan
yang melintas dalam kawasan Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan, terdapat 9 (sembilan) ruas jalan yang memotong kawasan
Taman Nasional dengan panjang keseluruhan ± 99,5 km, maka
para pelaku illegal yang akan masuk dalam kawasan Taman
Nasional akan lebih mudah untuk menjangkau kawasan. Hal ini
juga merupakan dampak dari pembagunan, disisi lain dengan
adanya akses jalan maka laju roda perekonomian di daerah akan
lebih baik dan bisa mensejahterakan masyarakat, namun disisi
lain khususnya terhadap kawasan Taman Nasional akan
menghadapi ancaman terhadap kelestarian dan keamanan serta
keutuhan kawasan tersebut.
cxxxvii
b. Faktor kemiskinan dan kurangnya keahlian masyarakat yang ada
disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan;
Kenyataan menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat
yang ada disekitar kawasan hutan adalah masyarakat miskin.
Setiap wilayah mempunyai karakteristik kemiskinan tersendiri.
Hampir di semua Desa yang berbatasan langsung dengan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan adalah masyarakat petani,
masyarakat yang hanya mengandalkan sumber mata pencariannya
dari sektor pertanian, data statistik menunjukkan ± 128.485
penduduk sekitar taman nasional bukit barisan selatan adalah
petani. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga
serta peningkatan kebutuhan, menyebabkan masyarakat yang
kurang mampu melakukan perluasan areal pertaniannya,
khususnya di Kabupaten Lampung Barat dimana sekitar 78,38 %
dari luas wilayahnya adalah merupakan kawasan hutan baik hutan
peroduksi, hutan lindung serta Taman Nasional dari data
menunjukkan bahwa luas kawasan Taman Nasional Bukit Barisan
yang ada di wilayah Kabupaten Lampung Barat seluas 272.645,00
ha. dari luas Kabupaten Lampung Barat seluas 507.927 ha, sisa
dari luas Kabupaten yang ada digunakan untuk pembangunan,
sarana/fasilitas umum, perkantoran, pemukiman dan lain-lain.
Mengingat masyarakat Lampung Barat adalah sebagian besar
bermata pencaharian bertani dengan cara tradisional, dengan
lahan yang kurang tersedia maka tidak menutup kemungkinan
masyarakat akan masuk kedalam kawasan Taman Nasional guna
memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan hidup.
c. Tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat perambah yang
masih rendah.
Masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan
masyarakat perambah, akan berdampak pada kelestarian dan
cxxxviii
keamanan serta keutuhan kawasan hutan dan keselamatan
lingkungan. Memang terkadang di dalam masyarakat tradisional
masih memiliki kearifan lokal yang bisa memanfaatkan dengan
menekan dampak yang ditimbulkan, tetapi untuk waktu sekarang
kearifan tesebut telah hilang dikarenakan tuntutan hidup dan
desakan ekonomi yang semakin sulit.
Umumnya masyarakat perambah, tingkat pendidikan masih
rendah dengan melihat dari beberapa kasus yang ditangani rata-
rata pelaku perambahan berpendidikan Sekolah Dasar, disamping
itu kurangnya keahlian dibidang lain, maka hal tersebut akan
dapat mendorong mereka untuk melakukan kegiatan perambahan
hutan karena tidak ada alternatif lain, anggapan para perambah
bahwa perambahan yang dilakukan akan membuat kondisi
ekonomi keluarga menjadi lebih baik. Biasanya kegiatan
perambahan dilakukan karena faktor kebiasaan dari generasi yang
sebelumnya dan kebiasaan itu masih terus dipelihara dan
dijalankan oleh generasi selanjutnya, dilihat dari perambahan
yang terjadi di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
yang sudah mulai terjadi sejak tahun 1950an hingga sekarang.
Langkah untuk meningkatkan produktifitas lahan salah satunya
yang harus dimiliki adalah pengetahuan atau kemampuan dalam
pengelolaan lahan dan ketersediaan modal. Sedangkan
masyarakat disekitar kawasan hutan tidak memiliki kemampuan
dan kurang atau tidak memiliki modal keuangan yang mencukupi,
untuk mengatasi masalah seperti ini Pemerintah Daerah dengan
Satuan kerja yang ada seharusnya dapat memberikan penyuluhan
terhadap masyarakat perambah guna untuk meningkatkan tarap
hidup mereka dengan cara intensifikasi lahan, supaya dengan
lahan yang tersedia akan dapat menghasilkan produksi yang lebih.
cxxxix
d. Masih kurangnya dukungan dari pemerintah daerah dalam
penaganan masalah perambahan hutan.
Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah tanpa
mengindahkan makna dari otonomi secara utuh maka akan
menyuburkan indikasi kurang jelasnya rumusan peraturan
perundang-undangan tentang batas-batas kewenangan, hak dan
kewajiban masyarakat dalam bidang tertentu, sehingga
interprestasi hukum dan putusan hukum menghasilkan
ketidakadilan. Menyikapi hal ini maka antara Taman Nasional
dengan pemerintah daerah harus mensinergikan kebijakannya
sesuai peraturan perundang-udangan yang berlaku dalam
penanganann perambahan yang terjadi di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan.
Berdasarkan teori dari G. Peter Hoefnagels tentang
penanggulangan kejahatan dengan tindakan bukan sarana pidana
atau tindakan preventif maka setelah semua faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kejahatan atau perambahan hutan
tersebut diselesaikan maka tindakan preventif sudah berjalan.
penanganan perambahan dengan cara preventif di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan sendiri ada beberapa tindakan
preventif yang sudah dilakukan, namun langkah-langkah tersebut
harus melibatkan masyarakat khususnya masyarakat yang ada
disekitar kawasan, sehingga masyarakat akan merasa dilibatkan
dalam pengelolaan kawasan dan dengan sadar mereka akan
merasa memiliki tanggungjawab terhadap keutuhan dan
keamanan kawasan, namun langkah-langkah tersebut kalau tidak
didukung oleh sarana prasarana serta pendanaan yang mencukupi
maka langkah-langkah tersebut tidak akan berjalan sesuai dengan
tujuan yang diharapkan.
cxl
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pebahasan, maka peneliti dapat mengambil
suatu kesimpulan bahwa:
1. Penanganan perabahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :
a. Undang-undang dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah Undang-undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam tahap aplikasinya dilapangan oleh
aparat penegak hukum (Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Polri, Kejaksaan,
dan Pengadilan) masih belum adanya persamaan persepsi dalam melihat
tindak pidana perambahan yang dikategorikan sebagai organized crime
yang telah membahayakan kehidupan manusia dimuka bumi, hal ini
dapat berpengaruh terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim
terhadap pelaku perambahan. Disamping itu juga terdapat ketentuan
bahwa Undang-undang nomor 41 tahun 1999 memuat sanksi pidana
maksimal bukan minimal, serta membatasi kewenangan penyidik
pegawai negeri sipil dalam penyampaian berkas penyidikan kepada
penuntut umum harus melalui penyidik polri, hal ini akan membuat
birokrasi yang panjang.
b. Aparat penegak hukum, akan berkaitan dengan aspek kualitas dan
kuantitas dari aparat penegak hukum tersebut. Kuantitas berkaitan
dengan jumlah atau cukup tidaknya aparat penegak hukum yang sudah
ada selama ini, sedangkan kualitas berkaitan dengan kemampuan atau
profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus
kehutanan khususnya perambahan hutan. Kekurangan dari segi kualitas
dan kuantitas dari aparat penegak hukum maka akan meberikan pengaruh
yang sangat besar dalam menangani tindak pidana perambahan hutan.
cxli
c. Sarana dan fasilitas, adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam
penanganan perambahan hutan, dengan ketiadaan atau keterbatasan
sarana dan prasarana serta penunjang lainnya akan sangat mempengaruhi
keberhasilan dalam penanganan perambahan hutan khususnya di Taman
Nasiona Bukit Barisan Selatan. sarana atau fasilitas tersebut antara lain
yaitu mencakup tenaga manusia yang berpendidikan terampil, organisasi
yang baik, peralatan yang memadai, serta keuangan/pendanaan yang
cukup.
d. Masyarakat, Indikator kesadaran hukum masyarakat terletak pada
kepatuhan pada ketentuan hukum, kepatuhan dan ketaatan kepada
peraturan hukum kehutanan menunjukkan efektifitas berlakunya hukum
kehutanan di masyarakat. masyarakat dikhususkan terhadap masyarakat
yang berada disekitar kawasan hutan. Dalam kehidupan sehari-hari
seorang aparat penegak hukum pasti akan menghadapi bermacam-macam
manusia dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing,
diantara mereka ada yang taat pada hukum, ada yang pura-pura
mentaatinya, ada yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan ada pula
yang terang-terangan mentaatinya. Hal ini disebabkan salah satunya yaitu
tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang ada disekitar
kawasan hutan yang pada umumnya masih rendah.
e. Budaya, Dari sudut sistem sosial budaya, indonesia merupakan suatu
masyarakat yang majemuk (plural society) terdapat banyak golongan
etnik dengan kebudayaan yang berbeda-beda, disamping itu sebagian
besar penduduk Indonesia tinggal dipedesaan yang tentunya berbeda
dengan ciri-ciri wilayah perkotaan. Masalah yang timbul di wilayah
pedesaan mungkin harus lebih banyak ditangani dengan cara-cara
tradisional, demikian pula diwilayah perkotaan tidak semua masalah bisa
diselesaikan tanpa menggunakan cara-cara tradisional. Budaya juga
menyangkut budaya hukum yang dibagi dalam dua bagian yaitu budaya
hukum internal yaitu budaya hukum orang-orang yang bertugas untuk
cxlii
menegakkan hukum termasuk polisi, jaksa, hakim serta penyidik pegawai
negeri sipil kehutanan, serta budaya hukum eksternal yaitu budaya
hukum masyarakat, yaitu sejauhmana tanggapan dan ketaatan hukum
masyarakat terhadap peraturan yang telah ditetapkan.
2. Upaya yang seharusnya diakukan oleh Balai Besar Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan dalam menangani perambahan hutan yaitu:
a. Tindakan represif atau penggunaan sarana Pidana (criminal law
application), Upaha penegakan hukum dengan meggunakan sarana
pidana pada hakekatnya merupakan penegakan hukum pidana.
Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan akan melibatkan tenaga-tenaga pengaman hutan yang
ada seperti Polisi Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
kehutanan yang berada pada garis terdepan atau lapis pertama dalam
penegakan hukum, sedangkan Polisi, Jaksa dan Hakim berada pada garis
kedua. tujuan akhir penegakan hukum terhadap perambahan hutan bukan
berarti berapa banyak kasus yang ditangani dan berapa lama vonis yang
dijatuhkan oleh hakim terhadap para pelaku tindak pidana perambahan,
tetapi yang terpenting adalah bagaimana kelestarian serta keutuhan
kawsan hutan dapat dipertahankan, serta keadilan terhadap masyarakat
dapat tercapai.
b. Tindakan preventif atau pencegahan tanpa pidana (prevention without
punishman), upaya penegakan hukum dengan tindakan preventif atau
tanpa pidana lebih bersifat tindakan pencegahan terhadap terjadinya
kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menanganai faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan, faktor-faktor kondusif itu antara
lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuh-suburkan kejahatan. Penyebab timbulnya perambahan hutan
di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu:
cxliii
1. Faktor Internal, (1). lemahnya pengawasan oleh petugas Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan terhadap kawasan hutan, hal ini karena
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sarana dan fasilitas yang
tersedia belum memadai, jumlah personil yang belum mencukupi,
sulitnya medan yang harus dilalui, serta kesejahteraan petugas. (2).
Ketidaktegasan dalam menjalankan aturan oleh petugas Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, hal ini akan berpengaruh terhadap
kredibilitas institusi dimata masyarakat.
2. Faktor Eksternal, (1). adanya akses Jalan yang memotong kawasan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dengan adanya ketersediaan
jalan yang memotong kawasan hutan maka akan memberikan
kemudahan bagi para pelaku illegal masuk kedalam kawasan hutan,
sehingga akan semakin memperparah kondisi kawasan. (2).
kemiskinan masyaraankat yang ada disekitar kawasan hutan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, hampir semua masyarakat yang
berada disekitar kawasan taman nasional bukit barisan selatan adalah
petani, keterbatasan lahan yang dimiliki oleh warga dan peningkatan
pemenuhan kebutuhan hidup, menyebabkan masyarakat yang kurang
mampu akan melakukan perluasan areal pertaniannya ke dalam
kawasan. (3). tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat
perambah yang masih rendah, dan masih kurangnya keahlian dibidang
lain, maka hal ini akan mendorong mereka untuk melakukan
perambahan karena tidak ada alternatif lain. (4). masih kurangnya
dukungan dari pemerintah daerah dalam penanganan perambahan
hautan, menyikapi masalah ini antara pengelola taman nasional bukit
barisan selatan dengan pemerintah daerah setempat harus dapat
mensinergikan kebijakan penurunan perambah dengan kebijakan
pemabangunan dimasa mendatang.
Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sudah
melakukan beberapa tindakan preventif yang telah dilakukan dalam
cxliv
rangka mencegah terjadinya perambahan hutan seperti diantaranya
program masyarakat desa konservasi, penguatan daerah penyangga,
pembentukan kader konservasi, pembentukan pengaman swakarsa.
Langkah-langkah tersebut telah dilakukan oleh pihak pengelola
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan namun kalau tidak dilakukan
secara kontinyu dan belum didukung oleh sarana prasarana serta
pendanaan yang mencukupi, maka tindakan tersebut tidak akan dapat
mencapai tujuan yang diharapkan. Disamping tindakan preventif yang
telah dilakukan pihak taman nasional bukit barisan selatan juga
dilakukan tindakan represif seperti operasi rutin, operasi fungsional
serta operasi gabungan penurunan perambah dengan melibatkan unsur
penegak hukum lainnya, langkah-langkah tersebut tidak akan berjalan
sesuai dengan tujuan yang diharapkan tanpa didukung dengan sarana
prasarana serta pendanaan yang mencukui. Pemerintah daerah
merupakan lembaga yang harus diajak bekerjasama untuk
menyelesaikan perambahan hutan, khususnya dalam pengambilan
kebijakan agar supaya tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.
B. Implikasi
1. Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan sudah diaksanakan baik dalam tindakan preventif atau
pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman) maupun tindakan
represif atau penerapan hukum pidana (criminal law application), namun
kenyataannya belum sesuai dengan harapan semua pihak baik pengelola
Taman Nasional sendiri maupun masyarakat secara umum, hal ini karena
disebabkan oleh faktor-faktor seperti Undang-undang yang menjadi acuan
dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan, aparat penegak
hukumnya atau yang melaksanakan undang-undang, sarana dan fasilitas
yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum, masyarakat serta budaya.
Kesemua faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap perambahan
hutan tersebut belum bisa diatasi maka penegakan hukum terhadap
cxlv
perambahan hutan tidak akan efektip, dan keutuhan kawasan hutan Taman
Nasional akan terganggu serta kelestariannya sebagai warisan dunia tidak
dapat dipertahankan.
2. Upaya untuk mempertahankan keutuhan kawasan Taman Nasional bukit
barisan Selatan mutlak harus dilaksanakan baik melalui tindakan preventif
atau pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman) maupu
dengan cara represif (criminal law application) penggunaan sarana pidana,
apabila upaya tersebut belum bisa dijalankan dengan efektif oleh aparat
penegak hukum, maka ancaman terhadap kelestarian dan keutuhan kawasan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan akan semakin meningkat, mengingat
jumlah penduduk terus bertambah dengan tidak didukung dengan
tersedianya lapangan pekerjaan yang cukup maka masyarakat yang ada
disekitar kawasan hutan akan selalu menggantungkan hidupnya terhadap
hutan, sehingga fungsi hutan sebagai fungsi lindung, fungsi konservasi serta
fungsi produksi tidak bisa dipertahankan, oleh karena itu demi tercapainya
optimalisasi fungsi hutan secara berkelanjutan serta akan memberikan
makna yang sangat mendalam bagi kelangsungan pembangunan bangsa dan
negara baik masa sekarang maupun masa yang akan datang.
C. Saran
1. Pembangunan berkelanjutan adalah merupakan visi dan misi dari
pemerintah yang diwujudkan melalui lembaga yang ditunjuk dalam
pengelolaan dan pengamanan hutan secara menyeluruh. untuk itu perlu
diperhatikan faktor-faktor yang menjadi kendala dalam penegakan hukum
terhadap perambahan hutan seperti:
a. Perumusan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan di
bidang kehutanan khususnya undang-undang nomor 41 tahun 1999 yang
merumuskan tentang ancaman hukuman maksimum, seharusnya dimuat
tentang ancaman hukuman minimum, karena hal ini akan berpengaruh
terhdap penuntutan dan pejatuhan pidana atau vonis oleh hakim.
cxlvi
Memformulasikan mekanisme penyampaian berkas perkara dari penyidik
pegawai negeri sipil kehutanan kepada penuntut umum tanpa melalui
penyidik polri, hal ini sesuai dengan prinsif peradilan yang cepat, efisien,
dan biaya murah.
b. Peningkatan kuwalitas dan kuantitas aparat penegak hukum mutlak harus
dilakukan agar dapat meningkatkan profesionalisme aparat dengan
memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan baik
didalam maupun di luar negeri.
c. Pemerintah secara bertahap tidak menunda lagi untuk peningkatan sarana
dan prasarana dalam mendukung pengamanan hutan.
d. Meningkatkan fungsi penyuluhan atau sosialisasi terhadap masyarakat
yang ada disekitar kawasan hutan agar dapat menumbuhkan kepatuhan
dan ketaatan masyarakat terhadap hukum, serta memberikan alternatif
lain agar masyarakat tidak selalu menggantungkan hidupnya dari hutan.
e. Budaya aparat, pembenahan manajemen organisasi harus dilakukan, hal
ini berhubungan dengan Penempatan aparat yang harus sesuai dengan
integritas dan moral yang dimiliki, kesejahteraan aparat harus di
perhatikan untuk meningkatkan kinerja dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan harus
dilakukan guna untuk memberikan contoh dalam kepatuhan hukum
dalam budaya hukum masyarakat, serta nilai kearifan lokal yang ada
dalam masyrakat yang sudah luntur secara perlahan dapat dikembalikan
dengan penyadaran hukum terhadap masyarakat.
2. Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan yang harus diutamakan adalah tindakan preventif
(prevention without punishman) atau dengan meniadakan faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya perambahan seperti (1). lemahnya
pengawasan dari aparat terhadap kawasan hutan, (2). ketidaktegasan dalam
cxlvii
menjalankan aturan, (3). adanya jalan yang memotong atau melintasi
kawasan hutan, (4) kemiskinan dan kurangnya keahlian masyarakat yang
berada disekitar kawasan hutan, (5). tingkat pendidikan dan penegtahuan
masyarakat perambah yang masih rendah, (6). serta masih kurangnya
dukungan dari pemerintah daerah dalam penanganan perambahan hutan.
langkah ini harus dimulai dari berbagai upaya penyadaran kepada
masyarakat melalui penyuluhan, sosialisasi hingga pola pembangunan
ekonomi dan sumberdaya manusia khususnya desa-desa yang berbatasan
langsung dengan kawasan, dengan keterpaduan antara kebijakan
penanganan perambah dengan kebijakan pembangunan. serta diiringi
dengan tindakan refresip (criminal law application) yaitu dengan
menggunakan sarana pidana yang bermula dari peringatan, hingga
pemidanaan, yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat, dengan meningkatkan kerjasama serta bantuan teknis dengan
aparat penegak hukum lainnya dalam rangka memperkuat penegakan
hukum (law enforcement) karena melihat dari jumlah luas kerusakan yang
terjadi saat ini. Kedua upaya ini harus dijalankan secara harmonis untuk
dapat mencapai tujuan penanganan perambahan yang juga merupakan
upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.
cxlviii
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung. ________________, 2001, Masalah Penegakan HukumDan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung Penerbit PT.Citra Aditya Bakti.
________________, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1,Kencana Jakarta Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Departemen Kehutanan, 2007 Kumpulan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan, Jakarta. Edi Setiadi, 2009, Bahan kuiah Sistem Peradilan Pidana pada program Magister Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Esmi Warassih, 2005, Peranata Hukum sebuah telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama, Semarang.
Hartiwiningsih, 2008, Hukum Lingkungan Dalam Persepektif Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan 1, UNS Press, Surakarta. H.B. Sutopo, 1992, Metodelogi Penelitian kualitatif, UNS Press, Surakarta. H.R. Otje Salman, Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Mengingat,Mengumpulkan, dan Membuka kembali, PT. Refika Aditama, Bandung. Kartodihardjo, 1999, Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi, LATIN Bogor, Lexy J. Moloeng, 2001, Metode Peneitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Marpaung, 1995, Tindak Pidana terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta. Nyoman Sarikat putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, bandung. Moeljatno, 1993, Azas-azas Hukum pidana, PT. Reneka Cipta, Jakarta.
cxlix
________, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, Rineka Cipta, Jakarta Munajat Danusaputro, 1985, Hukum Lingkungan, buku I umum, Binacipta Bandung. Muladi, “1988, Pembaruan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, No. 2 , Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
Sabian Utsman, 2008, menuju penegakan hukum responsive (konsep Philippe Nonet & Philip Selznick Perbandingan sipil law System & Common Law System Spiral Kekerasan & Penegakan Hukum), Pustaka Plejar, Yogyakarta. Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. ________________, 1986, Hukum dan Mmasyarakat, Angkasa, Bandung. _____________, 2000Ilmu Hukum, Citra Adiya Bakti, Bamdung. Setiono, 2005, Pemahaman Terhadap Metodelogi Penelitian Hukum. ______, 2008, Pedoman Pembimbingan Tesis & Pedoman Penulisan Usulan
Penelitian & Tesis, Program Studi Magister (S – 2) Ilmu Hukum Fakultas hukum Universitas sebelas Maret.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, Cetakan I, CV. Rajawali, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1985, Efektifitas hukum dan Peranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung. _______________, 2008, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______________, 2007, Pengantar Penelitian HUKUM, Universitas Indonesia (UI-PRESS),
Soleman B. Taneko, 1993, Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
cl
Sutan Remy Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta. Winarno Budyatmojo, 2008, Tindak Pidana Illegal Logging, UNS Press. Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Undang-undang dan Peraturan Lainnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Statistik, 2008
Surat Pernyataan Menteri Pertanian No.736/Mentan/ X/1982, tanggal 14 Oktober 1982
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Pebruari 1990, bahwa pengelolaan CAL.BBS digabungkan dengan TNBBS. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 420/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Propinsi Bengkulu. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000
Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Propinsi Lampung. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, Tentang Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam Permenhut Nomor : P. 03/Menhut-II/2007 Tanggal : 1 Pebruari 2007
cli
Jurnal
“Agricultural Expansion and Deforestation: Modeling the Impact of Population, Market Forces, and Property Right.” Journal of Development Economics, Vol. 58 (1999) p.185-218.
Helena du Rees, “Can Criminal Law Protect the Environmental”, dalam avi brisman, crime-Environment Relationships And Environmental Justice, seattle Journal for Social Justice, Spring/Summer, 2008
Data Elektronik:
http://fkkm.org/PusatData/index.php?lang=ind&action=kehutananmasyarakat
http://www.fkkm.org/artikel/index.php?action=detail&page=34
http://www.gunungleuser.or.id/artikel/penegakan%20Hukum%20TNGL,%20%28bukan%29%20Basa-basi_1.pdf
clii
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG KEHUTANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
1. bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;
2. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat;
3. bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional;
4. bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;
5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu ditetapkan undang-undang tentang Kehutanan yang baru.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
cliii
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2034);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEHUTANAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu Pengertian
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
2. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
cliv
3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
4. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
5. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
6. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
7. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
8. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
9. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
10. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
11. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
12. Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu.
13. Hasil hutan adalah benda-benda hayati, nonhayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.
14. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 15. Menteri adalah menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di
bidang kehutanan.
Bagian Kedua Asas dan Tujuan
Pasal 2
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.
Pasal 3
clv
Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
1. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;
2. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
3. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; 4. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan
keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
5. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Bagian Ketiga Penguasaan Hutan
Pasal 4
(1) Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(2) Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberi wewenang kepada pemerintah untuk:
1. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
2. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
3. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
(3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
clvi
BAB II STATUS DAN FUNGSI HUTAN
Pasal 5
(1) Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
1. hutan negara, dan 2. hutan hak.
(2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
(3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
(4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.
Pasal 6
(1) Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu:
1. fungsi konservasi, 2. fungsi lindung, dan 3. fungsi produksi.
(2) Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut:
1. hutan konservasi, 2. hutan lindung, dan
clvii
3. hutan produksi.
Pasal 7
Hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri dari:
1. kawasan hutan suaka alam, 2. kawasan hutan pelestarian alam, dan 3. taman buru.
Pasal 8
(1) Pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus.
(2) Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan untuk kepentingan umum seperti:
1. penelitian dan pengembangan, 2. pendidikan dan latihan, dan 3. religi dan budaya.
(3) Kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 9
(1) Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air, di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III PENGURUSAN HUTAN
clviii
Pasal 10
(1) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat.
(2) Pengurusan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kegiatan penyelenggaraan:
1. perencanaan kehutanan, 2. pengelolaan hutan, 3. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta
penyuluhan kehutanan, dan 4. pengawasan.
BAB IV PERENCANAAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 11
(1) Perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Pasal 12
Perencanaan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a, meliputi:
clix
1. inventarisasi hutan, 2. pengukuhan kawasan hutan, 3. penatagunaan kawasan hutan, 4. pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan 5. penyusunan rencana kehutanan.
Bagian Kedua Inventarisasi Hutan
Pasal 13
(1) Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap.
(2) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
(3) Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
1. inventarisasi hutan tingkat nasional, 2. inventarisasi hutan tingkat wilayah, 3. inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai, dan 4. inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.
(4) Hasil inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Pengukuhan Kawasan Hutan
clx
Pasal 14
(1) Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.
(2) Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.
Pasal 15
(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut:
1. penunjukan kawasan hutan, 2. penataan batas kawasan hutan, 3. pemetaan kawasan hutan, dan 4. penetapan kawasan hutan.
(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Bagian Keempat Penatagunaan Kawasan Hutan
Pasal 16
(1) Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15, pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan.
(2) Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
clxi
Bagian Kelima Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan
Pasal 17
(1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat:
1. propinsi, 2. kabupaten/kota, dan 3. unit pengelolaan.
(2) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.
(3) Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri.
Pasal 18
(1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
(2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Pasal 19
clxii
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
(2) Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam Penyusunan Rencana Kehutanan
Pasal 20
(1) Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, pemerintah menyusun rencana kehutanan.
(2) Rencana kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V PENGELOLAAN HUTAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 21
Pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan:
1. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
clxiii
2. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, 3. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan 4. perlindungan hutan dan konservasi alam.
Bagian Kedua Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pasal 22
(1) Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.
(2) Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan.
(3) Blok-blok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan.
(4) Berdasarkan blok dan petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Pasal 23
Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.
Pasal 24
clxiv
Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.
Pasal 25
Pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal 27
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada:
1. perorangan, 2. koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
1. perorangan, 2. koperasi, 3. badan usaha milik swasta Indonesia, 4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
clxv
(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
1. perorangan, 2. koperasi.
Pasal 28
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal 29
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
1. perorangan, 2. koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
1. perorangan, 2. koperasi, 3. badan usaha milik swasta Indonesia, 4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(3) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
1. perorangan, 2. koperasi, 3. badan usaha milik swasta Indonesia, 4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
clxvi
(4) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
1. perorangan, 2. koperasi, 3. badan usaha milik swasta Indonesia, 4. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(5) Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
1. perorangan, 2. koperasi.
Pasal 30
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.
Pasal 31
(1) Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.
(2) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
Pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya.
clxvii
Pasal 33
(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan.
(2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.
(3) Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 34
Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada:
1. masyarakat hukum adat, 2. lembaga pendidikan, 3. lembaga penelitian, 4. lembaga sosial dan keagamaan.
Pasal 35
(1) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja.
(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
(3) Setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 hanya dikenakan provisi.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
clxviii
Pasal 36
(1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Pasal 37
(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Pasal 38
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
clxix
Pasal 39
Ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 29, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
Pasal 40
Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Pasal 41
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan:
1. reboisasi, 2. penghijauan, 3. pemeliharaan, 4. pengayaan tanaman, atau 5. penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis,
pada lahan kritis dan tidak produktif.
(2) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
clxx
Pasal 42
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik.
(2) Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
(1) Setiap orang yang memiliki, mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi.
(2) Dalam pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain atau pemerintah.
Pasal 44
(1) Reklamasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c, meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
(2) Kegiatan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
clxxi
Pasal 45
(1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
(2) Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
(3) Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Pasal 46
Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.
Pasal 47
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:
1. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan
2. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
clxxii
Pasal 48
(1) Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar
kawasan hutan.
(2) Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah.
(3) Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.
(4) Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya.
(5) Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.
(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
Pasal 50
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
(3) Setiap orang dilarang:
clxxiii
(n). mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
(o). merambah kawasan hutan; (p). melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
(q). membakar hutan; (r). menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (s). menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
(t). melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
(u). mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
(v). menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
(w). membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
(x). membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
(y). membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
(z). mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
clxxiv
Pasal 51
(1) Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus.
(2) Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
1. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
2. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
3. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
4. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
5. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan
6. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
BAB VI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, PENDIDIKAN DAN LATIHAN SERTA
PENYULUHAN KEHUTANAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 52
(1) Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan.
(2) Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan, wajib memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.
clxxv
(3) Dalam penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, pemerintah wajib menjaga kekayaan plasma nutfah khas Indonesia dari pencurian.
Bagian Kedua Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pasal 53
(1) Penelitian dan pengembangan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan nasional serta budaya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan.
(2) Penelitian dan pengembangan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan.
(3) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan dilakukan oleh pemerintah dan dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi, dunia usaha, dan masyarakat.
(4) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung peningkatan kemampuan untuk menguasai, mengembangkan, dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan.
Pasal 54
(1) Pemerintah bersama-sama dengan dunia usaha dan masyarakat mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan serta mengembangkan sistem informasi dan pelayanan hasil penelitian dan pengembangan kehutanan.
(2) Pemerintah wajib melindungi hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kehutanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Izin melakukan penelitian kehutanan di Indonesia dapat diberikan kepada peneliti asing dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
clxxvi
Bagian Ketiga Pendidikan dan Latihan Kehutanan
Pasal 55
(1) Pendidikan dan latihan kehutanan dimaksudkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia kehutanan yang terampil, profesional, berdedikasi, jujur serta amanah dan berakhlak mulia.
(2) Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk membentuk sumber daya manusia yang menguasai serta mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan secara adil dan lestari, didasari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(3) Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
(4) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselengaranya pendidikan dan latihan kehutanan, dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia.
Bagian Keempat Penyuluhan Kehutanan
Pasal 56
(1) Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.
(2) Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
clxxvii
(3) Pemerintah mendorong dan menciptakan kondisi yang mendukung terselenggaranya kegiatan penyuluhan kehutanan.
Bagian Kelima Pendanaan dan Prasarana
Pasal 57
(1) Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.
(2) Pemerintah menyediakan kawasan hutan untuk digunakan dan mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.
Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut tentang penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII PENGAWASAN
Pasal 59
Pengawasan kehutanan dimaksudkan untuk mencermati, menelusuri, dan menilai pelaksanaan pengurusan hutan, sehingga tujuannya dapat tercapai secara maksimal dan sekaligus merupakan umpan balik bagi perbaikan dan atau penyempurnaan pengurusan hutan lebih lanjut.
Pasal 60
clxxviii
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan.
(2) Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan.
Pasal 61
Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Pasal 62
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan atau pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Pasal 63
Dalam melaksanakan pengawasan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), pemerintah dan pemerintah daerah berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, dan melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan.
Pasal 64
Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional.
clxxix
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan kehutanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII PENYERAHAN KEWENANGAN
Pasal 66
(1) Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah.
(2) Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 67
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
1. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
2. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
clxxx
3. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X PERANSERTA MASYARAKAT
Pasal 68
(1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:
1. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;
3. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan
4. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 69
clxxxi
(1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.
(2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau pemerintah.
Pasal 70
(1) Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan.
(2) Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(3) Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI GUGATAN PERWAKILAN
Pasal 71
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 72
clxxxii
Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat pencemaran dan atau kerusakan hutan sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi pemerintah atau instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kehutanan dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
Pasal 73
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan, organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.
(2) Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
1. berbentuk badan hukum; 2. organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas
menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan; dan
3. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
BAB XII PENYELESAIAN SENGKETA KEHUTANAN
Pasal 74
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
(2) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara para pihak yang bersengketa.
clxxxiii
Pasal 75
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
(2) Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti-rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.
(3) Dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau pendampingan organisasi nonpemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan.
Pasal 76
(1) Penyelesaian sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa.
(2) Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari.
BAB XIII PENYIDIKAN
clxxxiv
Pasal 77
(1) Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
(2) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk:
1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
3. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
4. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
6. menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
7. membuat dan menanda-tangani berita acara; 8. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang
adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
(3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB XIV KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
clxxxv
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
clxxxvi
(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
(14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.
Pasal 79
(1) Kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilelang untuk Negara.
(2) Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang yang dimaksud.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri.
clxxxvii
BAB XV GANTI RUGI DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 80
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 81
Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 82
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
clxxxviii
undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini.
BAB XVII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 83
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan tidak berlaku:
1. Boschordonnantie Java en Madoera 1927, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 221, sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823).
Pasal 84
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar semua orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta, Pada tanggal 30 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
clxxxix
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 September 1999
MENTERI NEGARA
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd. MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 167 Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I,
ttd.
LAMBOCK V. NAHATTANDS
cxc
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG KEHUTANAN
UMUM
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.
Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat.
Penguasaan hutan oleh Negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Namun demikian untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai strategis, pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
cxci
Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi, pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dalam daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Sumberdaya hutan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan baku industri, sumber pendapatan, menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Hasil hutan merupakan komoditi yang dapat diubah menjadi hasil olahan dalam upaya mendapat nilai tambah serta membuka peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Upaya pengolahan hasil hutan tersebut tidak boleh mengakibatkan rusaknya hutan sebagai sumber bahan baku industri. Agar selalu terjaga keseimbangan antara kemampuan penyediaan bahan baku dengan industri pengolahannya, maka pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh menteri yang membidangi kehutanan. Pemanfaatan hutan tidak terbatas hanya produksi kayu dan hasil hutan bukan kayu, tetapi harus diperluas dengan pemanfaatan lainnya seperti plasma nutfah dan jasa lingkungan, sehingga manfaat hutan lebih optimal.
Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat, perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat.
Sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan daerah, maka pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota, sedangkan pengurusan hutan yang bersifat nasional atau makro, wewenang pengaturannya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undang-undang ini hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.
Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat,
cxcii
karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk mejaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peranserta masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi. Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman.
Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Disamping mempunyai hak memanfaatkan, pemegang izin harus bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan yang dipercayakan kepadanya.
Dalam rangka pengembangan ekonomi rakyat yang berkeadilan, maka usaha kecil, menengah, dan koperasi mendapatkan kesempatan seluas-luasnya dalam pemanfaatan hutan. Badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan badan usaha milik swasta Indonesia (BUMS Indonesia) serta koperasi yang memperoleh izin usaha dibidang kehutanan, wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat dan secara bertahap memberdayakannya untuk menjadi unit usaha koperasi yang tangguh, mandiri dan profesional sehingga setara dengan pelaku ekonomi lainnya.
Hasil pemanfaatan hutan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, merupakan bagian dari penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, dengan memperhatikan perimbangan pemanfaatannya untuk kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain kewajiban untuk membayar iuran, provisi maupun dana reboisasi, pemegang izin harus pula menyisihkan dana investasi untuk pengembangan sumber daya manusia, meliputi penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan; dan dana investasi pelestarian hutan.
Untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta
cxciii
penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan. Namun demikian dalam penyelenggaraan pengembangan sumber daya manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, wajib memperhatikan kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.
Agar pelaksanaan pengurusan hutan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, maka pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan.
Selanjutnya dalam undang-undang ini dicantumkan ketentuan pidana, ganti rugi, sanksi administrasi, dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dibidang kehutanan. Dengan sanksi pidana dan administrasi yang besar diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dari uraian tersebut di atas, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, ternyata belum cukup memberikan landasan hukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan, oleh karena itu dipandang perlu mengganti undang-undang tersebut sehingga dapat memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan datang.
Undang-undang ini mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dengan telah ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka semua ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tersebut tidak diatur lagi dalam undang-undang ini.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya, serta ekonomi.
cxciv
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kerakyatan dan keadilan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan kebersamaan, dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antara masyarakat setempat dengan BUMN atau BUMD, dan BUMS Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterbukaan dimaksudkan agar setiap kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan keterpaduan, dimaksudkan agar setiap penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat setempat.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kekayaan alam yang terkandung di dalamnya" adalah semua benda hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13.
Hasil hutan tersebut dapat berupa:
1. hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan, dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan di dalam hutan;
2. hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya;
3. benda-benda nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati
cxcv
penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang;
4. jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain;
5. hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp.
Benda-benda tambang yang berada di hutan juga dikuasai oleh negara, tetapi tidak diatur dalam undang-undang ini, namun pemanfaatannya mengikuti peraturan yang berlaku dengan tetap memperhatikan undang-undang ini.
Pengertian "dikuasai" bukan berarti "dimiliki", melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang dalam bidang hukum publik sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) undang-undang ini.
Ayat (2)
Pelaksanaan kewenangan pemerintah yang menyangkut hal-hal yang bersifat sangat penting, strategis, serta berdampak nasional dan internasional, dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan wilayah tertentu adalah wilayah bukan kawasan hutan, yang dapat berupa hutan atau bukan hutan.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
cxcvi
Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya.
Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai konsekuensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan.
Hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa.
Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan.
Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Pada umumnya semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung, dan produksi.
Setiap wilayah hutan mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Ayat (2)
cxcvii
Yang dimaksud dengan fungsi pokok hutan adalah fungsi utama yang diemban oleh suatu hutan.
Pasal 7
Kawasan hutan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini merupakan bagian dari kawasan suaka alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berada pada kawasan hutan.
Kawasan hutan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini merupakan bagian dari kawasan pelestarian alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berada pada kawasan hutan.
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang mengatur tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam berlaku bagi kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan pelestarian alam yang diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tujuan khusus adalah penggunaan hutan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta kepentingan-kepentingan religi dan budaya setempat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Hutan kota dapat berada pada tanah negara maupun tanah hak di wilayah perkotaan dengan luasan yang cukup dalam suatu hamparan lahan.
Wilayah perkotaan merupakan kumpulan pusat-pusat pemukiman yang berperan di dalam suatu wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa atau suatu bentuk ciri
cxcviii
kehidupan kota. Dengan demikian wilayah perkotaan tidak selalu sama dengan wilayah administratif pemerintahan kota.
Ayat (2)
Peraturan pemerintah tentang kebijaksanaan teknis pembangunan hutan kota memuat aturan antara lain:
1. tipe hutan kota, 2. bentuk hutan kota, 3. perencanaan dan pelaksanaan, 4. pembinaan dan pengawasan, 5. luas proporsional hutan kota terhadap luas wilayah, jumlah
penduduk, tingkat pencemaran, dan lain-lain.
Peraturan pemerintah ini merupakan pedoman dalam penetapan peraturan daerah.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan pengukuhan kawasan hutan tidak selalu harus mendahului kegiatan penatagunaan hutan, karena pengukuhan kawasan hutan yang luas akan memerlukan waktu lama.
Agar diperoleh kejelasan fungsi hutan pada salah satu bagian tertentu, maka kegiatan penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setidak-tidaknya setelah ada penunjukan.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
cxcix
Ayat (3)
Inventarisasi hutan tingkat nasional menjadi acuan pelaksanaan inventarisasi tingkat yang lebih rendah.
Inventarisasi untuk semua tingkat, dilaksanakan terhadap hutan negara maupun hutan hak.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan neraca sumber daya hutan adalah suatu informasi yang dapat menggambarkan cadangan sumber daya hutan, kehilangan dan penggunaan sumber daya hutan, sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui kecenderungannya, apakah surplus atau defisit jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya.
Ayat (5)
Inventarisasi hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi pengaturannya akan dirangkum dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang perencanaan kehutanan.
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. tata cara, 2. mekanisme pelaksanaan, 3. pengawasan dan pengendalian, dan 4. sistem informasi.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan, antara lain berupa:
1. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar;
2. pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas;
3. pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan 4. pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan,
terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak.
cc
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penatagunaan hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi pengaturannya dirangkum dalam peraturan pemerintah yang mengatur tentang perencanaan kehutanan.
Peraturan pemerintah dimaksud antara lain memuat kriteria atau persyaratan hutan dan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah propinsi yang dapat dikelola secara lestari.
Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari.
Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS).
Ayat (2)
cci
Dalam penetapan pembentukan wilayah pengelolaan tingkat unit pengelolaan, juga harus mempertimbangkan hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi, dan kearifan tradisional masyarakat.
Pembentukan unit pengelolaan hutan didasarkan pada kriteria dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan.
Yang dimaksud dengan optimalisasi manfaat adalah keseimbangan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi secara lestari.
Ayat (2)
Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan. Selanjutnya pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaliknya, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya
ccii
kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu menambah luas hutannya.
Pasal 19
Ayat (1)
Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin obyektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain yang terkait.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis", adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. kriteria fungsi hutan, 2. cakupan luas, 3. pihak-pihak yang melaksanakan penelitian, dan 4. tata cara perubahan.
Pasal 20
Ayat (1)
Dalam menyusun rencana kehutanan di samping mengacu pada Pasal 13 sebagai acuan pokok, harus diperhatikan juga Pasal 11, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penyusunan rencana kehutanan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan.
Peraturan pemerintah tentang perencanaan kehutanan memuat aturan antara lain:
cciii
1. jenis-jenis rencana, 2. tata cara penyusunan rencana kehutanan, 3. sistim perencanaan, 4. proses perencanaan, 5. koordinasi, dan 6. penilaian.
Pasal 21
Hutan merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pengelolaan hutan dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian pelaksanaan setiap komponen pengelolaan hutan harus memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat, serta memperhatikan hak-hak rakyat, dan oleh karena itu harus melibatkan masyarakat setempat.
Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah. Mengingat berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat berkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayah tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk perusahaan umum (Perum), perusahaan jawatan (Perjan), maupun perusahaan perseroan (Persero), yang pembinaannya di bawah Menteri.
Untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dibutuhkan lembaga-lembaga penunjang antara lain lembaga keuangan yang mendukung pembangunan kehutanan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan dan latihan, serta lembaga penyuluhan.
Pasal 22
Ayat (1)
Tata hutan merupakan kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, yang dalam pelaksanaannya memperhatikan hak-hak masyarakat setempat, yang lahir karena kesejarahannya, dan keadaan hutan.
Tata hutan mencakup kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung didalamnya, dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.
Ayat (2)
Cukup jelas
cciv
Ayat (3)
Pembagian blok ke dalam petak dimaksudkan untuk mempermudah administrasi pengelolaan hutan dan dapat memberikan peluang usaha yang lebih besar bagi masyarakat setempat.
Intensitas pengelolaan adalah tingkat keragaman pengelolaan hutan sesuai dengan fungsi dan kondisi masing-masing kawasan hutan.
Efisiensi pengelolaan adalah pelaksanaan pengelolaan hutan untuk mencapai suatu sasaran yang optimal dan ekonomis dengan cara sederhana.
Ayat (4)
Penyusunan rencana pengelolaan hutan dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat, dan kondisi lingkungan.
Ayat (5)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. pengaturan tentang tata cara penataan hutan, 2. penggunaan hutan, 3. jangka waktu, dan 4. pertimbangan daerah.
Pasal 23
Hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok, atau golongan tertentu. Oleh karena itu, pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya.
Manfaat yang optimal bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari.
Pasal 24
Hutan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan dan atau satwa serta
ccv
ekosistemnya, yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi alam.
Kawasan taman nasional ditata ke dalam zona sebagai berikut:
1. zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia;
2. zona rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti; dan
3. zona pemanfaatan adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:
1. budidaya jamur, 2. penangkaran satwa, dan 3. budidaya tanaman obat dan tanaman hias.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:
4. pemanfaatan untuk wisata alam, 5. pemanfaatan air, dan 6. pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:
7. mengambil rotan, 8. mengambil madu, dan 9. mengambil buah.
ccvi
Usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Izin usaha pemanfaatan kawasan yang dilaksanakan oleh perorangan, masyarakat setempat, atau koperasi dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau BUMS Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dilaksanakan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi yang optimal, misalnya budidaya tanaman di bawah tegakan hutan.
Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.
Pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat berupa usaha pemanfaatan hutan alam dan usaha pemanfaatan hutan tanaman.
Usaha pemanfaatan hutan tanaman dapat berupa hutan tanaman sejenis dan atau hutan tanaman berbagai jenis.
ccvii
Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam.
Tanaman yang dihasilkan dari usaha pemanfaatan hutan tanaman merupakan aset yang dapat dijadikan agunan.
Izin pemungutan hasil hutan di hutan produksi diberikan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu maupun bukan kayu, dengan batasan waktu, luas, dan atau volume tertentu, dengan tetap memperhatikan azas lestari dan berkeadilan.
Kegiatan pemungutan meliputi pemanenan, penyaradan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran yang diberikan untuk jangka waktu tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan merasakan dan mendapatkan manfaat hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerjasama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai keutamaan, yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang disepakati bersama.
Kewajiban BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia bekerjasama dengan koperasi bertujuan untuk memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi yang tangguh, mandiri, dan profesional.
Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional diperlakukan setara dengan BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia.
Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut.
ccviii
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan aspek kelestarian hutan meliputi:
1. kelestarian lingkungan, 2. kelestarian produksi, dan 3. terselenggaranya fungsi sosial dan budaya yang adil
merata dan transparan.
Yang dimaksud dengan aspek kepastian usaha meliputi:
4. kepastian kawasan, 5. kepastian waktu usaha, dan 6. kepastian jaminan hukum berusaha.
Untuk mewujudkan asas keadilan, pemerataan dan lestari, serta kepastian usaha, maka perlu diadakan penataan ulang terhadap izin usaha pemanfaatan hutan.
Ayat (2)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. pembatasan luas, 2. pembatasan jumlah izin usaha, dan 3. penataan lokasi usaha.
Pasal 32
Khusus bagi pemegang izin usaha pemanfaatan berskala besar, selain diwajibkan untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya, juga mempunyai kewajiban untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan tempat usahanya.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pengolahan hasil hutan adalah pengolahan hulu hasil hutan.
ccix
Ayat (3)
Untuk menjaga keseimbangan penyediaan bahan baku hasil hutan terhadap permintaan bahan baku industri hulu pengolahan hasil hutan, maka pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri pengolahan hulu hasil hutan diatur oleh Menteri.
Pasal 34
Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus adalah pengelolaan dengan tujuan-tujuan khusus seperti penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta untuk kepentingan sosial budaya dan penerapan teknologi tradisional (indigenous technology). Untuk itu dalam pelaksanaannya harus memperhatikan sejarah perkembangan masyarakat dan kelembagaan adat (indigenous institution), serta kelestarian dan terpeliharanya ekosistem.
Pasal 35
Ayat (1)
Iuran izin usaha pemanfaatan hutan adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atas suatu kawasan hutan tertentu, yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan. Besarnya iuran tersebut ditentukan dengan tarif progresif sesuai luas areal.
Provisi sumber daya hutan adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai instrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
Dana reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Dana tersebut digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya.
Dana jaminan kinerja adalah dana milik pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, sebagai jaminan atas pelaksanaan izin usahanya, yang dapat dicairkan kembali oleh pemegang izin apabila kegiatan usahanya dinilai memenuhi ketentuan usaha pemanfaatan hutan secara lestari.
Ayat (2)
Dana investasi pelestarian hutan adalah dana yang diarahkan untuk membiayai segala jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam
ccx
rangka menjamin kelestarian hutan, antara lain biaya konservasi, biaya perlindungan hutan, dan biaya penanganan kebakaran hutan. Dana tersebut dikelola oleh lembaga yang dibentuk oleh dunia usaha bidang kehutanan bersama Menteri. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di bawah koordinasi dan pengawasan Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. tata cara pengenaan, 2. tata cara pembayaran, 3. tata cara pengelolaan, 4. tata cara penggunaan, dan 5. tata cara pengawasan dan pengendalian.
Pasal 36
Ayat (1)
Pemanfaatan hutan hak yang mempunyai fungsi produksi, dapat dilakukan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan sesuai potensi dan daya dukung lahannya.
Ayat (2)
Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26. Pemerintah memberikan kompensasi kepada pemegang hutan hak, apabila hutan hak tersebut diubah menjadi kawasan hutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 37
Ayat (1)
Terhadap hutan adat diperlakukan kewajiban-kewajiban sebagaimana dikenakan terhadap hutan negara, sepanjang hasil hutan tersebut diperdagangkan.
ccxi
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, dilarang.
Kepentingan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pada prinsipnya di kawasan hutan tidak dapat dilakukan pola pertambangan terbuka. Pola pertambangan terbuka dimungkinkan dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dengan ketentuan khusus dan secara selektif.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 39
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. tata cara pemberian izin, 2. pelaksanaan usaha pemanfaatan, 3. hak dan kewajiban, dan 4. pengendalian dan pengawasan.
Pasal 40
ccxii
Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan secara bertahap, dalam upaya pemulihan serta pengembangan fungsi sumber daya hutan dan lahan, baik fungsi produksi maupun fungsi lindung dan konservasi.
Upaya meningkatkan daya dukung serta produktivitas hutan dan lahan dimaksudkan agar hutan dan lahan mampu berperan sebagai sistem penyangga kehidupan, termasuk konservasi tanah dan air, dalam rangka pencegahan banjir dan pencegahan erosi.
Pasal 41
Ayat (1)
Kegiatan reboisasi dan penghijauan merupakan bagian rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan reboisasi dilaksanakan di dalam kawasan hutan, sedangkan kegiatan penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan.
Rehabilitasi hutan dan lahan diprioritaskan pada lahan kritis, terutama yang terdapat di bagian hulu daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir dan kekeringan dapat dipertahankan secara maksimal.
Rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya.
Ayat (2)
Pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya.
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kondisi spesifik biofisik adalah keadaan flora yang secara spesifik cocok pada suatu kawasan atau habitat tertentu sehingga keberadaannya mendukung ekosistem kawasan hutan yang akan direhabilitasi.
Penerapan teknik rehabilitasi hutan dan lahan harus mempertimbangkan lokasi spesifik, sehingga perubahan ekosistem dapat dicegah sedini mungkin.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat.
ccxiii
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. pengaturan daerah aliran sungai prioritas, 2. penyusunan rencana, 3. koordinasi antar sektor tingkat pusat dan daerah, 4. peranan pihak-pihak terkait, dan 5. penggunaan dan pemilihan jenis-jenis tanaman dan teknologi.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dukungan pemerintah dapat berupa bantuan teknis, dana, penyuluhan, bibit tanaman, dan lain-lain, sesuai dengan keperluan dan kemampuan pemerintah.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. teknik, 2. tata cara, 3. pembiayaan, 4. organisasi,
ccxiv
5. penilaian, dan 6. pengendalian dan pengawasan.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan perubahan permukaan tanah adalah berubahnya bentang alam pada kawasan hutan.
Yang dimaksud dengan perubahan penutupan tanah adalah berubahnya jenis-jenis vegetasi yang semula ada pada kawasan hutan.
Ayat (4)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. pola, teknik, dan metode, 2. pembiayaan, 3. pelaksanaan, dan 4. pengendalian dan pengawasan.
Pasal 46
Fungsi konservasi alam berkaitan dengan: konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, konservasi tanah, konservasi air, serta konservasi udara; diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
ccxv
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang izin meliputi pengamanan hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. prinsip-prinsip perlindungan hutan, 2. wewenang kepolisian khusus, 3. tata usaha peredaran hasil hutan, dan 4. pemberian kewenangan operasional kepada daerah.
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.
Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan.
Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan, dan alat angkut.
ccxvi
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.
Yang dimaksud dengan menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.
Yang dimaksud dengan menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Huruf c
Secara umum jarak tersebut sudah cukup baik untuk mengamankan kepentingan konservasi tanah dan air. Pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.
Huruf d
Pada prinsipnya pembakaran hutan dilarang.
Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat
ccxvii
tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Huruf e
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat pusat atau daerah yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk memberikan izin.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
1. Yang dimaksud dengan penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi umum atau geofisika di daratan, perairan, dan dari udara, dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian.
2. Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya bahan galian dan sifat letakannya.
3. Yang dimaksud dengan eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "dilengkapi bersama-sama" adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti.
Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.
ccxviii
Huruf i
Pejabat yang berwenang menetapkan tempat-tempat yang khusus untuk kegiatan penggembalaan ternak dalam kawasan hutan.
Huruf j
Yang dimaksud dengan alat-alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa traktor, buldozer, truk, logging truck, trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helikopter, jeep, tugboat, dan kapal.
Huruf k
Tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Ayat (4)
Undang-undang yang mengatur tentang ketentuan mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) memiliki peran yang sangat menentukan dalam mewujudkan hutan yang lestari.
Ayat (2)
ccxix
Kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia merupakan kekayaan kultural, baik berupa seni dan atau teknologi maupun nilai-nilai yang telah menjadi tradisi atau budaya masyarakat. Kekayaan tersebut merupakan modal sosial untuk peningkatan dan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK kehutanan.
Ayat (3)
Plasma nutfah adalah substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta jasad renik.
Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional.
Pencurian plasma nutfah adalah mengambil atau memanfaatkan plasma nutfah secara tidak sah atau tanpa izin.
Pasal 53
Ayat (1)
Budaya IPTEK adalah kesadaran akan pentingnya IPTEK yang diartikulasikan dalam sikap dan perilaku masyarakat, yang secara konsisten mau dan mampu memahami, menguasai, menciptakan, menerapkan, dan mengembangkan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pemerintah adalah lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) departemen yang bertanggung jawab di bidang kehutanan bersama-sama lembaga penelitian nondepartemen.
Yang dimaksud dengan perguruan tinggi adalah perguruan tinggi negeri dan swasta.
Yang dimaksud dengan dunia usaha adalah unit litbang BUMN, BUMD, dan BUMS Indonesia.
ccxx
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat.
Ayat (4)
Untuk mendorong dan menciptakan kondisi yang kondusif, pemerintah melakukan inisiatif dan koordinasi bagi terselenggaranya penelitian dan pengembangan, antara lain melalui kebijakan yang berorientasi pada penciptaan insentif dan disinsentif yang memadai.
Pasal 54
Ayat (1)
Pemerintah mengembangkan hasil-hasil penelitian dalam bidang kehutanan menjadi paket teknologi tepat guna, untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha pemanfaatan dan pengelolaan hutan.
Ayat (2)
Untuk menjamin keberlanjutan inovasi, penemuan, dan pengembangan IPTEK, diperlukan jaminan hukum bagi para penemunya untuk dapat memperoleh manfaat dari hasil temuannya.
Yang dimaksud melindungi adalah melindungi dari pencurian terhadap hak paten, hak cipta, merk, atau jenis hak lainnya yang menjadi hak istimewa yang dimiliki oleh peneliti atau lembaga Litbang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 55
ccxxi
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Semua upaya pemanfaatan dan pengembangan IPTEK hendaknya merupakan manifestasi rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diarahkan untuk kepentingan manusia sebagai makhluk individu dan mahluk sosial.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah perorangan atau kelompok, antara lain pondok pesantren, lembaga keagamaan lainnya, atau lembaga swadaya masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga internasional.
Ayat (4)
Mengingat penyelenggaraan pendidikan dan latihan kehutanan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Mengingat penyelenggaraan penyuluhan kehutanan tidak dapat dilaksanakan hanya oleh pemerintah, maka peran serta dunia usaha dan masyarakat sangat diperlukan. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus mengambil inisiatif dan melakukan koordinasi dalam mendorong dan menciptakan situasi yang kondusif.
Pasal 57
ccxxii
Ayat (1)
Untuk penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, diperlukan biaya yang cukup besar dan berkelanjutan, guna percepatan pengembangan kualitas SDM dan penguasaan IPTEK untuk mengejar ketinggalan selama ini. Oleh karena itu diperlukan dana investasi yang memadai.
Untuk mengelola dana tersebut, dunia usaha bidang kehutanan bersama Menteri membentuk lembaga. Pengelolaan dana dan operasionalisasi lembaga tersebut di bawah koordinasi dan pengawasan Menteri.
Ayat (2)
Penyediaan kawasan hutan dimaksudkan untuk dijadikan lokasi penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, serta pengembangan usaha guna memberdayakan lembaga penelitian, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan.
Pasal 58
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
1. kelembagaan, 2. tata cara kerjasama, 3. perizinan, 4. pengaturan tenaga peneliti asing, 5. pendanaan dan pemberdayaan, 6. pengaturan, pengelolaan kawasan hutan, penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan, 7. sistem informasi, dan 8. pengawasan dan pengendalian.
Pasal 59
Yang dimaksud dengan pengawasan kehutanan adalah pengawasan ketaatan aparat penyelenggara dan pelaksana terhadap semua ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
ccxxiii
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Yang dimaksud dengan berdampak nasional adalah kegiatan pengelolaan hutan yang mempunyai dampak terhadap kehidupan bangsa, misalnya penebangan liar, pencurian kayu, penyelundupan kayu, perambahan hutan, dan penambangan dalam hutan tanpa izin.
Yang dimaksud dengan berdampak internasional adalah pengelolaan hutan yang mempunyai dampak terhadap hubungan internasional, misalnya kebakaran hutan, labelisasi produk hutan, penelitian dan pengembangan, kegiatan penggundulan hutan, serta berbagai pelanggaran terhadap konvensi internasional.
Pasal 65
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. tata cara dan mekanisme pengawasan, 2. kelembagaan pengawasan, 3. obyek pengawasan, dan 4. tindak lanjut pengawasan.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kewenangan yang diserahkan adalah pelaksanaan pengurusan hutan yang bersifat operasional.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
ccxxiv
1. jenis-jenis urusan yang kewenangannya diserahkan, 2. tatacara dan tata hubungan kerja, 3. mekanisme pertanggungjawaban, dan 4. pengawasan dan pengendalian.
Pasal 67
Ayat (1)
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. ada wilayah hukum adat yang jelas; 4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat,
yang masih ditaati; dan 5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Ayat (2)
Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
6. tata cara penelitian, 7. pihak-pihak yang diikutsertakan, 8. materi penelitian, dan 9. kriteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat.
Pasal 68
Ayat (1)
Dalam pengertian menikmati kualitas lingkungan, termasuk untuk memperoleh manfaat sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.
Ayat (2)
Cukup Jelas
ccxxv
Ayat (3)
Perubahan status atau fungsi hutan dapat berpengaruh pada putusnya hubungan masyarakat dengan hutan atau bahkan kemungkinan menyebabkan hilangnya mata pencaharian mereka.
Agar perubahan status dan fungsi hutan dimaksud tidak menimbulkan kesengsaraan, maka pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memelihara dan menjaga, adalah mencegah dan menanggulangi terjadinya pencurian, kebakaran hutan, gangguan ternak, perambahan, pendudukan, dan lain sebagainya.
Ayat (2)
Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan dalam bentuk bantuan teknis, pelatihan, serta bantuan pembiayaan.
Pendampingan dimungkinkan karena adanya keuntungan sosial seperti pengendalian banjir dan kekeringan, pencegahan erosi, serta pemantapan kondisi tata air.
Keberadaan lembaga swadaya masyarakat dimaksudkan sebagai mitra sehingga terbentuk infrastruktur sosial yang kuat, mandiri, dan dinamis.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
ccxxvi
Cukup jelas
Ayat (3)
Forum pemerhati kehutanan merupakan mitra pemerintah dan pemerintah daerah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengurusan hutan dan berfungsi merumuskan dan mengelola persepsi, aspirasi, dan inovasi masyarakat sebagai masukan bagi pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan.
Keanggotaan forum antara lain terdiri dari organisasi profesi kehutanan, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kehutanan, tokoh-tokoh masyarakat, serta pemerhati kehutanan.
Ayat (4)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. kelembagaan, 2. bentuk-bentuk peran serta, dan 3. tata cara peran serta.
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
ccxxvii
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan tertentu adalah tindakan yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah sesuai keputusan pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Yang dimaksud dengan pejabat pegawai negeri sipil tertentu meliputi pejabat pegawai negeri sipil di tingkat pusat maupun daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan hutan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
ccxxviii
Menangkap dan menahan orang yang diduga atau sepatutnya dapat diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Dalam rangka menjaga kelancaran tugas di wilayah-wilayah kerja tertentu, maka penerapan koordinasi dengan pihak POLRI dilaksanakan dengan tetap mengacu KUHAP dan disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Penghentian penyidikan wajib diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umum.
Ayat (3)
Pejabat penyidik pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik POLRI, dan hasil penyidikan diserahkan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik POLRI. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa hasil penyidikannya telah memenuhi ketentuan dan persyaratan.
Mekanisme hubungan koordinasi antara pejabat penyidik pegawai negeri sipil dengan pejabat penyidik POLRI dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Selain pidana penjara dan denda kepada terpidana, pelanggaran terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf d, juga dapat dikenakan hukuman pidana tambahan.
Ayat (4)
Cukup jelas
ccxxix
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Ketentuan pidana yang dikenakan pada ayat ini merupakan pelanggaran terhadap kegiatan yang pada umumnya dilakukan oleh rakyat. Oleh karena itu sanksi pidana yang diberikan relatif ringan dan diarahkan untuk pembinaan.
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Ayat (11)
Cukup jelas
Ayat (12)
Cukup jelas
Ayat (13)
Cukup jelas
Ayat (14)
Yang termasuk badan hukum dan atau badan usaha, antara lain perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi, dan sejenisnya.
Ayat (15)
ccxxx
Yang termasuk alat angkut, antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, ponton, tugboat, perahu layar, helikopter, dan lain-lain.
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sanksi administratif yang dikenakan antara lain berupa denda, pencabutan izin, penghentian kegiatan, dan atau pengurangan areal.
Ayat (3)
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain:
1. ketentuan-ketentuan ganti rugi dan sanksi administratif, 2. bentuk-bentuk sanksi, dan 3. pengawasan pelaksanaan.
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
ccxxxi
ABSTRAK
Sadatin Misry, S.330908010, Penanganan Perambahan Hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Perambahan Hutan). Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan belum mencapai tujuan yang diharapkan dan memberikan solusi upaya dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Penelitian ini termasuk penelitian non-doktrinal, dengan bentuk penelitian diagnostik, yang bersifat deskriptif dengan konsep hukum yang ke-5 yaitu hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para prilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan guna mendapatkan data skunder dan data primer. Analisis data menggunakan metode kwalitatif interaktif.
Setelah dilakukan analisis data diperoleh kesimpulan bahwa penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu: 1) Masih terjadi perbedaan persepsi diantara para penegak hukum (kehutanan, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) dalam menterjemahkan arti perambahan hutan, sehingga berpengaruh terhadap penegakan hukum, kewenangan Penyidik pegawai negeri sipil masih dibatasi. 2) Kualitas/profesionalisme aparat penegak hukum di Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih rendah dan dari segi kwantitas/jumlah juga masih kurang. 3) Sarana dan prasarana untuk mendukung penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih sangat minim. 4) Kesadaran hukum masyarakat khususnya yang berada disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan masih kurang, karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan rendahnya pengetahuan yang dimiliki. 5) Budaya masyarakat disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sudah mulai bergeser kearah lebih modern disebabkan oleh kemajuan teknologi dan pembangunan sehingga kearifan lokal dan ketaatan untuk menjaga lingkungan hidup sudah mulai memudar.
Upaya untuk menangani perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah dengan melakukan penegakan hukum secara preventif, pencegahan tanpa pidana dengan meniadakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perambahan, di iringi tindakan represif, penerapan hukum pidana dengan tahapan 1) koordinasi, 2) sosialisasi dan pendekatan emosional, 3) tindakan (action) 4) pembinaan/pengawasan terhadap perambah pasca tindakan 5) rehabilitasi lahan bekas perambahan.
Sebagai saran yang disampaikan adalah pendekatan integral seperti keterpaduan antara kebijakan penanganan perambah dengan kebijakan pembangunan, pembenahan kualitas dan kwantitas aparat, pembenahan manajemen organisasi, serta peningkatan kerjasama dan bantuan teknis dalam rangka memperkuat penegakan hukum.
ccxxxii
Kata kunci : Penegakan Hukum, Perambahan Hutan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
A. Latar Belakang Masalah
Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam dan komponen
lingkungan hidup yang amat penting dan strategis, yakni sebagai suatu sistem
penyangga kehidupan dengan 3 (tiga) fungsi utamanya yang meliputi fungsi
konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Fungsi-fungsi tersebut
dengan jelas telah diatur dan ditetapkan dalam Undang-undang nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan.112 Ketiga fungsi tersebut memiliki hubungan
timbal balik dan saling mengisi antara satu sama lainnya. Oleh karena itu,
pengelolaan fungsi tersebut amat penting, demi tercapainya optimalisasi
fungsi secara berkelanjutan serta memberikan makna yang sangat mendalam
bagi kelangsungan pembangunan bangsa dan negara kita, masa sekarang dan
masa yang akan datang.
Akhir-akhir ini kejahatan dibidang kehutanan kehususnya perambahan
hutan intensitasnya semakin meningkat dan telah mengakibatkan kerugian
terhadap negara berupa ancaman kelestarian hutan, kerusakan lingkungan
yang menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap keseimbangan
ekosistem hutan. Langkah-langkah yang telah di tempuh oleh pihak pengelola
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dari tindakan pereventif sampai
dengan tindakan represif sudah banyak dilaksanakan.
Penegakan hukum terhadap perambahan oleh Balai Besar Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) telah sering dilakukan baik
melalui tindakan represif (operasi rutin, operasi fungsional dan operasi
penurunan perambah serta operasi gabungan) maupun dalam bentuk kegiatan
pemberdayaan dan pembinaan daerah penyangga yang difokuskan pada
peningkatan ekonomi masyarakat di desa penyangga (desa yang berbatasan
langsung dengan kawasan), penyuluhan dan pembinaan partisipasi
112 Departemen Kehutanan, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan,
Jakarta, 2007
ccxxxiii
masyarakat, optimalisasi pemanfaatan, namun demikian, upaya tersebut
kurang didukung oleh sumberdaya dan pendanaan yang memadai serta masih
kurangnya dukungan dari pihak pemerintah daerah sehingga hanya efektip
untuk kasus-kasus perambahan dalam skala kecil, sementara tekanan
perambahan makin terus meningkat. Terdapat tiga unsur yang harus
diperhatikan dalam penegakan hukum yaitu kepastian hukum
(rechtsicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan
(gerechttigheit)113. Masyarakat mengharapkan kepastian hukum, karena
dengan kepastian hukum masyarakat akan menjadi lebih tertib, kemanfaatan
hukum, hukum diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia, jadi harus
memberikan manfaat bagi manusia, sedangkan keadilan hukum harus
memberikan rasa keadilan dalam masyarakat bukan sebaliknya hukum
membuat resah masyarakat.
Upaya untuk mengatasi dan menangani masalah perambahan hutan
merupakan hal yang sangat penting untuk menjadi perhatian semua pihak
dalam rangka menyelasaikan berbagai persoalan yang terjadi karena ini
menyangkut kepentingan banyak pihak sehingga permasalahannya bersifat
multidimensi, apalagi dengan adanya otonomi daerah dimana daerah diberi
wewenang dalam pengurusan hutan sering mengabaikan makna dari otonomi
daerah itu sendiri. Dari upaya penanganan yang telah dilakukan oleh pihak
Balai Besar Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan bekejasama dengan aparat
penegak hukum lainnya (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) dari
tindakan represif dan pereventif yang selalu melibatkan unsur masyarakat
nampaknya belum bisa mengatasi permasalahan yang ada yaitu untuk
menghentikan kegiatan perambahan hutan diwilayah Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan sehingga kelestarian dan keutuhan kawasan belum dapat
tercapai.
B. Perumusan Masalah
113 Sudikno Manrtokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, penerbit Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm.145
ccxxxiv
Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas maka dalam penelitian ini
perlu di rumuskan suatu permasalahan agar dapat mewujudkan tujuan yang
diharapkan. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
3. Mengapa penanganan perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan belum efektif ?
4. Upaya apa yang seharusnya dilakukan untuk menangani perambahan
hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ?
C. Tujuan Penelitian
3. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab tidak efektifnya penanganan
perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
4. Untuk mengetahui upaya yang seharusnya dilakukan dalam penanganan
perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
D. Kajian Teori
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teori bekerjanya hukum
dalam masyrakat yang digagas oleh Soerjono Soekanto, dan teori
Penaggulangan Kejahatan yang digagas oleh G. Peter Hoefnagels.
1. Teori Bekerjanya hukum dalam masyarakat
Soejono Soekanto.114 mengemukakan bahwa untuk melihat apakah hukum
itu dapat ditegakkan atau tidak maka dalam pelaksanaan penegakan hukum
di pengaruhi oleh 5 (lima) faktor pokok yaitu:
a. Undang-undang atau peraturan hukum b. Aparat penegak hukum. c. Sarana dan fasilitas d. Faktor masyarakat e. Faktor kebudayaan.
2. Teori Penanggulangan Kejahatan.
114 Soejono Soekanto, Faktor-faktor yang Mepengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Perkasa, Jakarta, 1993. Hal. 5
ccxxxv
Kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang sering dikenal dengan
istilah ”politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas G.
Peter Hoefnagels menggambarkan ”Criminal Policy” dengan skema
sebagai berikut 115
ad. of crime.justice in narrow sense: soc. policy crime legislation crime jurisprudence community crime. process in wide sense planning sentencing mental health forensic psychiatary and nat. mental health psicology sot work child forensic social work walfere crime, sentence executonand administrative policy statistic civil law
Dari skema diatas terlihat, bahwa menurut G. Peter Hoefnagels upaya
penaggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
d. penerapan hukum pidana (criminal law application); e. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman); f. mempengaruhi pandangan masyarakat menegenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishman/mass media).
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis
besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur ”penal” (hukum pidana) dan lewat
jaur ”non penal” (bukan/di luar huum pidana). dalam pembagian G.P.
Hoefnagels diatas upaya dalam butir (b) dan (c) dapat disebutkan dalam
kelompok ”non penal”.
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jaur ”non penal” lebih
bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utaanya
115 Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-39 5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, 2007, hal. 10
criminal policy
prevention without punishman
crime law application (practical criminology)
influencing view of societynon crime and punishman (mass media)
ccxxxvi
adalah menegenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan,
faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan antara lain berpusat pada
masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secra langsung atau
tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum non
doktrinal, sedangkan dilihat dari bentuknya penelitian ini merupakan penelitian
diagnostik yaitu merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
mendapatkan keterangan menegenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau
beberapa gejala, dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian yang
deskriptif, yaitu dimaksudkan untuk memberikan data yang diteliti seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya,116
Dalam mempelajari hukum tentunya tidak bisa terlepas dari 5 (lima)
konsep hukum menurut Soetandyo wignyosoebroto, sebagaimana dikutif oleh
Stiono, ke 5 (lima) konsep hukum tersebut yaitu:
6. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal;
7. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional;
8. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcretto dan tersistematis sebagai judge made law;
9. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik;
10. Hukum adalah manivestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.
Berdasarkan atas penjelasan dari kelima konsep hukum tersebut,
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian non doktrinal penulis
menggunakan konsep hukum yang ke 5 (lima), yaitu Hukum adalah
manifestasi makna-makna simbolik para prilaku sosial sebagai tampak dalam
interaksi antar mereka. tipe kajiannya sosiologi dan/antropologi hukum yang
ccxxxvii
mengkaji ” law as it is in (human) action ” dengan menggunakan metode
penelitian sosiologi dan/atau sosial/non-doktrinal dengan pendekatan
intraksional/mikro dengan analisis-analisis yang kualitatif ini metode
penelitiannya kemudian penelitinya menggunakan sosio-antropolog, pengkaji
humaniora dan orientasinya kepada simbolik interaksional.117
2. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian dalam penelitian ini di lakukan di: Balai Besar Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, Pengadilan Negeri Liwa di Lampung Barat,
Cabang Kejaksaan Negeri Liwa, Kepolisian Resort Lampung Barat,
Pemerintahan Kabupaten Lampung Barat (Dinas Kehutanan dan Sumber Daya
Alam).
3. Data dan Jenis Data
Dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal (normatif) maka
jenis data adalah data sekunder yang mencakup: Data Primer, Data Sekunder
(Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, Bahan Hukum Tertier
4. Teknik Pengumpulan Data.
Untuk mendapatkan data primer, maka teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah wawancara secara mendalam (indefth interview) observasi
dan studi dokumentasi.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis kualitatif, adalah untuk mengungkap kebenaran dan memahaminya
secara operasional dengan menggunakan pendekatan deduktif dan interpretasi 118. Analisis data dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) komponen pokok
yaitu: Reduksi data, Sajian data, kesimpulan atau verifikasi data 119. Teknik
analisis kualitatif interaktif dapat digambarkan dalam bentuk rangkaian yang
117 Burhan Ashshofa., Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga. Rineka Cipta. Jakarta, 2001, hal .11
118 Burhan Ashshofa, Ibid, Rineka Cipta, Jakarta, 2001. Hal. 74 119 H.B. Sutopo,Metodelogi Penelitian kualitatif, UNS Press, surakarta, 2006, hal.120
ccxxxviii
utuh antar ke tiga komponen diatas (reduksi data, penyajian data, serta verifiksi
data) yaitu sebagai berikut:
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum tentang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
a. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan kawasan
konservasi terbesar ketiga di Sumatera. (setelah Taman Nasional Gunung
Leuser di Nangroe Aceh Darussalam, dan Taman Nasional Kerinci Sebelat di
Propinsi Jambi) Pada awalnya Bukit Barisan Selatan merupakan kawasan
Suaka Margasatwa yang ditetapkan pada tahun 1935 melalui Besluit Van der
Gouverneur Indie No. 48 stbl. 1935 dengan nama Sumatera Selatan I (SS I)
dan diperuntukkan bagi perlindungan hidupan liar khususnya mamalia besar
yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Badak (Dicerorhinus
sumatrensis) dan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Ditetapkan
sebagai kawasan Taman Nasional melalui surat pernyataan Menteri Pertanian
No. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982. 120. Kemudian pada tahun
1997 dibentuk Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan melalui SK
Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-lI/1997 tanggal 31 Maret 1997. Pada tahun
2004 TNBBS ditetapkan sebagai salah satu dari enam taman nasional yang
ditetapkan sebagai natural wolrd haritage site. Selain kawasan darat,
ditetapkan pula Cagar Alam Laut (CAL) Bukit Barisan Selatan seluas ± 21.600
Ha dalam pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisn Selatan melalui Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 71/Kpts-II/1990 tanggal 15 Februari
1990.121
b. Luas dan Kedudukan
120 Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982, tanggal 14 Oktober
1982 121 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000
ccxxxix
Kawasan TNBBS meliputi areal seluas ± 356.800 Ha yang membentang
dari ujung Selatan bagian Barat Propinsi Lampung sampai bagian selatan
Propinsi Bengkulu yang secara geografis terletak pada 4°29’ - 5°57’ LS dan
103°24’-104°44’ BT. Secara administrasi pemerintahan, kawasan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan termasuk dalam wilayah Kabupaten
Tanggamus (Kecamatan Kotaagung, Wonosobo, Pematang Sawa dan Semaka),
Propinsi Lampung seluas ± 10.500 Ha, Kabupaten Lampung Barat (Kecamatan
Pesisir Utara, Pesisir Tengah, Pesisir Selatan, Bengkunat, Balik Bukit, Belalau,
Sekincau, Way Tenong, Sumberjaya dan Suoh), Propinsi Lampung seluas ±
280.300 Ha dan Kabupaten Kaur (Kecamatan Nasal, Bintuhan, Tanjung Iman,
Padang Guci, Muara Saung, dan Maje), Propinsi Bengkulu seluas ± 66.000 Ha.
Sementara bagian tengah hingga utara sebelah timur Taman Nasional
berbatasan dengan Propinsi Sumatera Selatan, masing-masing dengan
Kecamatan Banding Agung, Kecamatan Pembantu Mekakau Ilir dan
Kecamatan Pulau Beringin, Kabupaten Ogan Komering Ulu.
PEMBAHASAN
Dalam membahas permasalahan mengapa penegakan hukum terhadap
perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan selatan belum efektif,
peneliti menggunakan teori digagas oleh Soerjono Soekanto. yang menyatakan
bahwa dalam penegakan hukum dipeangaruhi oleh faktor-faktor seperti, Undang-
undang, Aparat penegak hukum, Sarana dan fasilitas, Masyarakat dan Budaya.
Secara umum atau secara makro penanganan perambahan di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan baik secara preventif maupun represif belum
efektif, untuk menjawab semua itu perlu diuraikan sebagai berikut:
1. Penegakan Hukum perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
belum efektif disebabkan karena dipengaruhi oleh:
a. Undang-undang.
Peraturan hukum merupakan hasil karya manusia untuk itu tidak
mungkin akan mencapai kesempurnaan, terlebih lagi kesempurnaan yang
bersifat hakiki. Hal ini disebabkan karena kemampuan manusia untuk dapat
ccxl
menciptakan hukum di batasi oleh kemampuan yang bersifat manusiawi
yang ada dalam diri manusia. Hukum itu hanya sebagai sarana, karena itu
kalau hukumnya baik maka akan tersedia sarana yang baik pula. Hukum
yang baik belum tentu akan menjamin bahwa kebaikan akan sungguh-
sungguh dapat terlaksana, oleh karena itu demi berhasilnya pengaturan yang
baik maka perlu disusun hukum yang baik dan perlu pelaksanaan yang
nyata.
Hukum yang berkembang dibidang kehutanan ditandai dengan
terbitnya Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam
undang-undang tersebut telah dimuat larangan yang disertai ancaman
pidana, namun keberadaan undang-undang yang spesifik yang mengatur
tentang kehutanan tidak serta merta penegakan hukumnya menjadi hal yang
mudah, penegakan hukum dalam bentuk prefentif dan represif yang terarah
dan terukur.
Dari hasil penelitian, maka terhadap faktor undang-undang yaitu
Undang-undang Nomor. 41 tahun 1999 tentang kehutanan di jelaskan
bahwa Undang-undang ini tampaknya memanfaatkan semua sistem sanksi,
baik sistem sanksi administratif, sistem sanksi perdata, maupun sistem
sanksi pidana dalam mempertahankan norma-norma administratif di bidang
kehutanan. Undang-undang No. 41 tahun 1999 menggunakan pola ancaman
komulatif pidana penjara dan denda, pola ancaman yag demikian itu
merupakan pola ancaman yang bersifat kaku dan imperatif. Lamanya sanksi
pidana penjara dan besarnya pidana denda tidak bisa dijadikan ukuran untuk
menentukan tingkat keseriusan tindak pidana di bidang kehutanan. Dalam
Undang-undang ini juga menjelaskan subjek tindak pidana dibidang
kehutanan tidak hanya manusia sebagai pribadi, tetapi juga badan badan
usaha sehingga badan usaha atau bisa dipertanggungjawabkan dan dipidana.
Namun sangat disayangkan didalam undang-undang itu sendiri tidak
dijelaskan kapan suatu badan hukum itu melakukan tindak pidana di bidang
ccxli
kehutanan sehingga sangat sulit untuk menyeret suatu badan hukum atau
badan usaha tersebut ke pengadilan.122
Adanya ketentuan dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan yang tidak memuat sanksi pidana minimum melainkan
pidana maksimum sehingga hakim dalam menjatukan pidana tidak dapat
optimal. Dan pada umumnya pelaku perambahan hutan yang di jatuhi sanksi
pidana adalah mereka yang melakukan perambahan dalam sekala kecil saja.
b. Aparat Penegak Hukum
Masalah penegakan hukum adalah sangat luas karena mencakup
mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung
dibidang penegakan hukum atau Law enforcement. Secara sosiologis
penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan pranan (role)
kedudukan (sosial) yang merupakan posisi tertentu dalam kemasyarakatan.
Orang yang mempunyai kedudukan tertentu dalam masyarakat biasa disebut
pemegang peran (role occupant) peranan tertentu dapat dijabarkan dalam
unsusr-unsur :
e. Peranan yang idial (ideal role) f. Peranan yang seharusnya (expected role) g. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) h. Peranan yang sebenarnya (actual role)
Pihak-pihak yang termasuk dalam kategori penegak hukum dalam
kontek perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
termasuk Polisi Kehutanan, Penydik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan,
Polisi, Jaksa dan Hakim, aparat hukum tersebut secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama tidak akan mampu untuk melakukan upaya penegakan
preventif dan represif, tanpa dukungan masyarakat dan unsur lembaga
pemerintahan lainnya, lebih jauh lagi sering ditemukan faktor teknis dan
non teknis yang mempengaruhi kinerja penegak hukum misalnya deteksi
122 Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana,
PT. Citra Aditya Bakti, 2008
ccxlii
dini yang memerlukan partisipasi masyarakat, pendanaan penyelidikan,
penyidikan, penahanan dan sebagainya.
Terhadap pelaksanaan tugas penyidikan terhadap Undang-undang
tertentu keberadaan PPNS di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
Polri. PPNS mempunyai fungsi dan peranan sebagai perpanjangan tangan
Polri dalam upaya penegakan hukum, khususnya tindak pidana yang terjadi
di luar KUHP. PPNS merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana
(criminal justice system). "PPNS merupakan penyidik yang mandiri.
Penyidik Polri dalam melaksanakan koordinasi dan pengawasan terhadap
PPNS tidak membawahi PPNS akan tetapi bersifat pembinaan, baik diminta
ataupun tidak diminta Penyidik Polri wajib memberikan pembinaan kepada
PPNS. pengertian koordinasi disini adalah suatu bentuk hubungan kerja
antara penyidik polri dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam rangka
peaksanaan tugas-tugas yang menyangkut bidang penyidikan atas dasar
hubungan fungsional dengan tetap memperhatikan hirarki dari masing-
masing instansi 123.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berwenang melakukan
penyidikan terhadap tindak kejahatan kehutanan (Pasal 78 Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999). PPNS Kehutanan melakukan tugas lex specialist, oleh
karena itu PPNS harus lebih menguasai bidangnya dibandingkan dengan
Penyidik Polri. Untuk menjamin kelancaran penyidikan tindak pidana
dibidang kehutanan, sebaiknya penyidikan dilakukan oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Kehutanan dan bukan Penyidik Polri. Pengalaman
menunjukkan bahwa penyidikan yang dilakukan sendiri lebih cepat, murah
dan tepat.
c. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan
dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan, dengan ketiadaan atau
123 Anonimous, Dasar hukum pelaksanaan tugas PPNS, bahan ajar Diklat Jagawana, Sekolah calon Perwira Polri, Sukabumi, 2000
ccxliii
keterbatasan sarana dan prasarana maupun penunjang lainnya akan sangat
mempengaruhi keberhasilan dalam penanganan perambahan hutan
khususnya di Taman Nasiona Bukit Barisan Selatan. Tanpa adanya sarana
dan fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung dengan optimal. Terhadap faktor sarana atau fasilitas bahwa
dalam penegakan hukum tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka
tidak mungkin penegakan hukum akan lancar dan sesuai dengan apa yang
diharapan, sarana atau fasilitas tersebut antara lain yaitu mencakup tenaga
manusia yang berpendidikan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup, khususnya mengenai tindak pidana
perambahan hutan karena mengingat lokasi atau Tempat Kejadian Perkara
(TKP) yang berada di dalam kawasan hutan yang memerlukan biaya yang
cukup tinggi karena tidak semua lokasi bisa dijangkau dengan menggunaan
kendaraan baik roda dua maupun roda empat dan memerlukan waktu yang
cukup lama karena tidak menutup kemungkinan lokasi tersebut tidak dapat
dijangkau dalam hitungan waktu.
Dari hasil penelitian dan wawancara diperoleh bahwa untuk
melakukan pengamanan dan penanganan terhadap perambahan hutan di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dengan jumlah luasan kawasan yang
begitu luas mencapai 356.800 ha dengan jumlah aparat yang masih terbatas
dimana dalam organisasi Taman Nasional dalam pengelolaannya dibagi
dalam resort-resort yang tentunya akan didukung dengan sarana prasarana
yang memadai untuk menunjang pelaksanaan tugas. Sarana dan prasarana
merupakan elemen yang sangat penting dalam upaya penegakan hukum
terhadap tindak pidana.
d. Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian dan keadilan dalam masyarakat, maka masyarakat
dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum. Dari sudut sistem sosial
budaya, indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk (plural
ccxliv
society) terdapat banyak golongan etnik dengan kebudayaan yang berbeda-
beda, disamping itu sebagian besar penduduk Indonesia tinggal dipedesaan
yang tentunya berbeda dengan ciri-ciri wilayah perkotaan. Masalah yang
timbul di wilayah pedesaan mungkin harus lebih banyak ditangani dengan
cara-cara tradisional, demikian pula diwilayah perkotaan tidak semua
masalah bisa diselesaikan tanpa menggunakan cara-cara tradisional.124
Analisis faktor yang keempat yaitu faktor Masyarakat, dalam
penanganan perambahan hutan tentang faktor masyarakat dikhususkan
terhadap masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan dan masyarakat
perambah. Dalam kehidupan sehari-hari seorang aparat penegak hukum
pasti akan menghadapi bermacam-macam manusia dengan latar belakang
maupun pengalaman masing-masing, diantara mereka ada yang taat pada
hukum, ada yang pura-pura mentaatinya, ada yang tidak mengacuhkannya
sama sekali, dan ada pula yang terang-terangan mentaatinya. Hal ini
disebabkan salah satunya yaitu tingkat pendidikan dan pengetahuan
masyarakat yang ada disekitar kawasan hutan yang pada umumnya masih
rendah. serta kearifan lokal yang merupakan nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari sudah mulai memudar, hal ini
disebabkan oleh tuntutan kebutuhan hidup.
e. Faktor Budaya
Faktor budaya disini akan dijelaskan tentang budaya hukum yang di
katakana oleh Lawrence Friedman bahwa ada dua budaya hukum yaitu
budaya hukum Internal dan budaya hukum eksternal.
a. Budaya hukum Internal adalah budaya hukum orang-orang yang bertugas
untuk menjalankan hukum termasuk didalamnya adalah polisi, jaksa dan
hakim maupun penyidik pegawai negeri sispil, budaya hukum internal
aparat penegak hukum agar bisa dikatakan budaya yang baik harus
124 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Memprngaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grapindo Persada, Jakarta, 2008
ccxlv
dimulai dari sejak awal rekrutmen pegawai, hal ini harus dilakukan
dengan cara menegakkan prinsip transparansi, profesionalisme, dan
akuntabilitas, sehingga akan dapat menghilangkan pola rekrutmen yang
didasari pada kolusi, korupsi dan nepotisme.
b. Budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat, yaitu
sejauhmana tanggapan dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
Soerjono soekanto mengungkapkan bahwa kebudayaan adalah
sebagi hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
dalam pergaulan hidup, artinya budaya hukum masyarakat adalah
pemaknaan masyarakat terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan dari pandangan yang mereka yakini, hal ini berkaitan dengan
seberapa jauh tingkat penerimaan masyarakat terhadap peraturan
perundang-undangan yang telah disosialisasikan oleh instansi yang
berwenang. Apabila sosialisasi telah cukup dilakukan, langkah
selanjutnya adalah tindakan persuasiasif untuk mengarahkan budaya
masyarakat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembuat undang-
undang.
Ada dua faktor sebagai pengikat yang disebut sebagai masyarakat
yaitu sistem adat istiadat dan rasa identitas. Sistem adat istiadat meliputi
sistem nilai budaya, norma-norma dan aturan-aturan hidup yang
dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat dalam bertingkah
laku. Sedangkan adat istiadat merupakan pola yang sudah mantap dan
telah hidup dalam waktu yang lama secara berkesinambungan, sehingga
adat istiadat menjadi sesuatu yang dianggap khas. Kekhasan ini
kemudian dikomunikasikan dari generasi ke generasi melalui proses
belajar.
2. Upaya yang seharusnya dilakukan dalam penegakan hukum terhadap
perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
ccxlvi
Berdasarkan teori yang digagas oleh G.P. Hoefnagels tentang
penanggulangan kejahatan bahwa upaya penegakan hukum atau upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
4. Penerapan hukum pidana (criminal law application); 5. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishman); 6. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanan lewat mass media (influencing views of society on crime and funeshman/mass media).125
1. Tindakan represif atau penggunaan sarana pidana (criminal law
application).
Usaha penegakan hukum dengan meggunakan sarana pidana pada
hakekatnya merupakan penegakan hukum pidana. Penggunaan Hukum
pidana memang bukanlah sarana utama yang dapat digunakan untuk
menanggulangi kejahatan, karena apabila hukum pidana dipaksakan
dalam menanggulangi kejahatan maka tidak mungkin hukum pidana akan
menjadi salah satu faktor kriminogen karena tidak semua persoalan
hukum penyelesaiannya melalui sistem peradilan pidana. Kalau dilihat
dari sudut kepentingan yang akan dilindungi, sistem peradilan pidana
bertujuan untuk melindungi kepentingan si pelapor (korban), dalam hal
ini kepentingan pemerintah atau kepentingan Negara yang juga bertujuan
melindungi kepentingan masyarakat.
Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan akan melibatkan tenaga-tenaga pengaman hutan
yang ada seperti Polisi Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kehutanan, mereka berada pada garis terdepan atau lapis pertama dalam
penegakan hukum, sedangkan Polisi, Jaksa dan Hakim berada pada lapis
kedua126.
125 Barda Nawawi arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta 2008 hal-40
126 Tamen Sitorus, Pola Perlindungan yang Mantap Pada Tingkat Hulu, http://www.fkkm.org/artikel/index.php?action=detail&page=34
ccxlvii
Sasaran akhir dari penegakan hukum terhadap perambahan hutan
adalah terciptanya kondisi hutan yang baik sehingga terjamin kelestarian
dan keutuhannya. Fungsi hutan dapat dipertahankan jika telah
memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat yang ada
disekitar kawasan hutan, sehingga masyarakat akan mendukung upaya-
upaya pelestarian hutan. Jadi jelas bahwa tujuan akhir penegakan hukum
terhadap perambahan hutan bukan berarti berapa banyak kasus yang
ditangani dan berapa lama vonis yang dijatuhkan oleh hakim terhadap
para pelaku tindak pidana kehutanan, tetapi yang terpenting adalah
bagaimana kelestarian dan keutuhan hutan dapat dipertahankan127.
Penanganan perambahan hutan di taman nasional bukit barisan
selatan harus dilihat kasus perkasus, artinya tidak bisa disamaratakan,
unsur keadilan tentunya harus seimbang dengan unsur kepastian hukum
walaupun dalam kenyataannnya sulit untuk pencapaian antara kedua
unsur tersebut.
Agar tujuan dari penegakan hukum dapat memberikan kepastian
hukum dan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, karena melihat
dari luasan lahan yang sudah di rambah dan jumlah perambah begitu
banyak, maka sebelum dilakukan tindakan refresip dengan
menggunakan sarana pidana hendaknya dilihat tahapan-tahapan seperti:
Koordinasi, Ssialisasi, Pendekatan emosional, tindakan, pengawasan,
dan rehabilitasi.
2. Penegakan hukum dengan tanpa pidana/tindakan preventif
(prevention without punishman)
Penegakan hukum dengan tindakan tanpa pidana atau tindakan
preventif yaitu menitikberatkan pada sifat prevenventive (pencegahan
/penangkalan /penegndalian) sebelum kejahatan itu terjadi. Upaya
penegakan hukum dengan tindakan preventif atau tanpa pidana lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran
127 Tamen Sitorus, Ibid , hal-5
ccxlviii
utamanya adalah menanganai faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan, faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung
atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan
kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara
makro dan global maka upaya –upaya preventif menduduki posisi kunci
dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. dikatakan posisi
kunci dan strategis khususnya dalam menanggulangi sebab-sebab dan
kondisi-kondisi yang menimbukan kejahatan.
Dari penjelasan di atas bila dikaitkan dengan penegakan hukum
terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
maka terlebih dahulu akan dilihat penyebab timbulnya perambahan
hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu:
a. Faktor internal, faktor yang terdapat pada Balai Besar Taman Nasional itu sendiri.
1. Lemahnya pengawasan terhadap kawasan hutan oleh petugas
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Lemahnya pengawasan terhadap kawasan hutan dapat
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya : Fasilitas atau sarana
dan prasarana yang tersedia belum memadai atau belum
mendukung untuk melakukan pelaksanaan kegiatan pengawasan
dan pengamanan yang lebih intensif, Jumlah personil pegawai
kehutanan yang belum seimbang dengan luas kawasan yang harus
di awasi, atau rasio kecukupan antara petugas dengan jumlah luas
kawasan belum sebanding, masalah kesejahteraan petugas, serta
sulitnya medan yang harus dilalui, sehingga menuntut kecakapan
personil untuk mampu mengawasi wilayah dan mengamankan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
b. Ketidaktegasan atau kurang keseriusan dalam menjalankan
aturan.
ccxlix
Ketidaktegasan oleh aparat penegak hukum dalam
menjalankan aturan maka akan membuat Masyarakat semakin
berani untuk merambah kawasan. Aturan merupakan pedoman
untuk menjaga kelestarian serta keutuhan kawasan hutan. Aturan-
aturan yang diberlakukan terkadang penerapan dilapangan kurang
atau tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Akibatnya kawasan
hutan yang dirambah kerusakan yang dialami akan semakin
parah. Ketidaktegasan dalam menjalankan aturan oleh aparat
penegak hukum akan berpengaruh terhadap kredebilitas institusi
di mata masyarakat.
2. Faktor eksternal yang terdapat di luar Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan yaitu:
a. Adanya akses Jalan yang memotong kawasan Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan;
Dengan adanya ketersediaan jalan yang memotong dalam
kawasan Taman Nasional maka akan sangat berpengaruh
terhadap kelestarian dan keutuhan kawasan. Kemudahan bagi
masyarakat perambah menuju ke kawasan akan menstimulasi
bagi perambah untuk melakukan pembukaan lahan di dalam
kawasan hutan. Hal ini juga merupakan dampak dari
pembagunan, disisi lain dengan adanya akses jalan maka laju roda
perekonomian di daerah akan lebih baik dan bisa mensejahterakan
masyarakat, namun disisi lain khususnya terhadap kawasan
Taman Nasional akan menghadapi ancaman terhadap kelestarian
dan keamanan serta keutuhan kawasan tersebut.
b. Faktor kemiskinan dan kurangnya keahlian masyarakat yang ada
disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan;
Kenyataan menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat
yang ada disekitar kawasan hutan adalah masyarakat miskin.
ccl
Setiap wilayah mempunyai karakteristik kemiskinan tersendiri.
Hampir di semua Desa yang berbatasan langsung dengan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan adalah masyarakat petani,
masyarakat yang hanya mengandalkan sumber mata pencariannya
dari sektor pertanian, data statistik menunjukkan ± 128.485
penduduk sekitar taman nasional bukit barisan selatan adalah
petani. Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh setiap keluarga
serta peningkatan kebutuhan, menyebabkan masyarakat yang
kurang mampu melakukan perluasan areal pertaniannya.
c. Tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat perambah yang
masih rendah.
Masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan
masyarakat perambah, akan berdampak pada kelestarian dan
keamanan serta keutuhan kawasan hutan dan keselamatan
lingkungan. Memang terkadang di dalam masyarakat tradisional
masih memiliki kearifan lokal yang bisa memanfaatkan dengan
menekan dampak yang ditimbulkan, tetapi untuk waktu sekarang
kearifan tesebut telah hilang dikarenakan tuntutan hidup dan
desakan ekonomi yang semakin sulit. Umumnya masyarakat
perambah, tingkat pendidikan masih rendah dengan melihat dari
beberapa kasus yang ditangani rata-rata pelaku perambahan
berpendidikan Sekolah Dasar, disamping itu kurangnya keahlian
dibidang lain, maka hal tersebut akan dapat mendorong mereka
untuk melakukan kegiatan perambahan hutan karena tidak ada
alternatif lain.
d. Masih kurangnya dukungan dari pemerintah daerah dalam
penaganan masalah perambahan hutan.
ccli
Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah tanpa
mengindahkan makna dari otonomi secara utuh maka akan
menyuburkan indikasi kurang jelasnya rumusan peraturan
perundang-undangan tentang batas-batas kewenangan, hak dan
kewajiban masyarakat dalam bidang tertentu, sehingga
interprestasi hukum dan putusan hukum menghasilkan
ketidakadilan.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pebahasan, maka peneliti dapat mengambil suatu
kesimpulan bahwa:
1. Penanganan perabahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :
f. Undang-undang dalam penegakan hukum terhadap perambahan hutan di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah Undang-undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam tahap aplikasinya dilapangan oleh
aparat penegak hukum (Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Polri, Kejaksaan,
dan Pengadilan) masih belum adanya persamaan persepsi dalam melihat
tindak pidana perambahan yang dikategorikan sebagai organized crime
yang telah membahayakan kehidupan manusia dimuka bumi, hal ini dapat
berpengaruh terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku
perambahan. Disamping itu juga terdapat ketentuan bahwa Undang-
undang nomor 41 tahun 1999 memuat sanksi pidana maksimal bukan
minimal, serta membatasi kewenangan penyidik pegawai negeri sipil
dalam penyampaian berkas penyidikan kepada penuntut umum harus
melalui penyidik polri, hal ini akan membuat birokrasi yang panjang.
g. Aparat penegak hukum, akan berkaitan dengan aspek kualitas dan
kuantitas dari aparat penegak hukum tersebut. Kuantitas berkaitan dengan
jumlah atau cukup tidaknya aparat penegak hukum yang sudah ada,
sedangkan kualitas berkaitan dengan kemampuan atau profesionalisme
cclii
aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kehutanan
khususnya perambahan hutan. Kekurangan dari segi kualitas dan kuantitas
dari aparat penegak hukum maka akan meberikan pengaruh yang sangat
besar dalam menangani tindak pidana perambahan hutan.
h. Sarana dan fasilitas, adalah merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam
penanganan perambahan hutan, dengan ketiadaan atau keterbatasan sarana
dan prasarana serta penunjang lainnya akan sangat mempengaruhi
keberhasilan dalam penanganan perambahan hutan khususnya di Taman
Nasiona Bukit Barisan Selatan. sarana atau fasilitas tersebut antara lain
yaitu mencakup tenaga manusia yang berpendidikan terampil, organisasi
yang baik, peralatan yang memadai, serta keuangan/pendanaan yang
cukup.
i. Masyarakat, Indikator kesadaran hukum masyarakat terletak pada
kepatuhan pada ketentuan hukum, kepatuhan dan ketaatan kepada
peraturan hukum kehutanan menunjukkan efektifitas berlakunya hukum
kehutanan di masyarakat. masyarakat dikhususkan terhadap masyarakat
yang berada disekitar kawasan hutan. Dalam kehidupan sehari-hari
seorang aparat penegak hukum pasti akan menghadapi bermacam-macam
manusia dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing,
diantara mereka ada yang taat pada hukum, ada yang pura-pura
mentaatinya, ada yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan ada pula
yang terang-terangan mentaatinya.
j. Budaya, Dari sudut sistem sosial budaya, indonesia merupakan suatu
masyarakat yang majemuk (plural society) terdapat banyak golongan etnik
dengan kebudayaan yang berbeda-beda, disamping itu sebagian besar
penduduk Indonesia tinggal dipedesaan yang tentunya berbeda dengan
ciri-ciri wilayah perkotaan. Masalah yang timbul di wilayah pedesaan
mungkin harus lebih banyak ditangani dengan cara-cara tradisional,
demikian pula diwilayah perkotaan tidak semua masalah bisa diselesaikan
tanpa menggunakan cara-cara tradisional. Budaya juga menyangkut
ccliii
budaya hukum yang dibagi dalam dua bagian yaitu budaya hukum internal
yaitu budaya hukum orang-orang yang bertugas untuk menegakkan hukum
termasuk polisi, jaksa, hakim serta penyidik pegawai negeri sipil
kehutanan, serta budaya hukum eksternal yaitu budaya hukum masyarakat,
yaitu sejauhmana tanggapan dan ketaatan hukum masyarakat terhadap
peraturan yang telah ditetapkan.
2. Upaya yang seharusnya diakukan oleh Balai Besar Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan dalam menangani perambahan hutan yaitu:
a. Tindakan represif atau penggunaan sarana Pidana (criminal law
application), Upaha penegakan hukum dengan meggunakan sarana pidana
pada hakekatnya merupakan penegakan hukum pidana. Penegakan hukum
terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan akan
melibatkan tenaga-tenaga pengaman hutan yang ada seperti Polisi
Kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil kehutanan yang berada
pada garis terdepan atau lapis pertama dalam penegakan hukum,
sedangkan Polisi, Jaksa dan Hakim berada pada garis kedua. tujuan akhir
penegakan hukum terhadap perambahan hutan bukan berarti berapa
banyak kasus yang ditangani dan berapa lama vonis yang dijatuhkan oleh
hakim terhadap para pelaku tindak pidana perambahan, tetapi yang
terpenting adalah bagaimana kelestarian serta keutuhan kawsan hutan
dapat dipertahankan, serta keadilan terhadap masyarakat dapat tercapai.
b. Tindakan preventif atau pencegahan tanpa pidana (prevention without
punishman), upaya penegakan hukum dengan tindakan preventif atau
tanpa pidana lebih bersifat tindakan pencegahan terhadap terjadinya
kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menanganai faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan, faktor-faktor kondusif itu antara
lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-
suburkan kejahatan. Penyebab timbulnya perambahan hutan di Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu:
ccliv
1. Faktor Internal, (1). lemahnya pengawasan oleh petugas Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan terhadap kawasan hutan, hal ini karena
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sarana dan fasilitas yang tersedia
belum memadai, jumlah personil yang belum mencukupi, sulitnya
medan yang harus dilalui, serta kesejahteraan petugas. (2).
Ketidaktegasan dalam menjalankan aturan oleh petugas Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, hal ini akan berpengaruh terhadap
kredibilitas institusi dimata masyarakat.
2. Faktor Eksternal, (1). adanya akses Jalan yang memotong kawasan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dengan adanya ketersediaan
jalan yang memotong kawasan hutan maka akan memberikan
kemudahan bagi para pelaku illegal masuk kedalam kawasan hutan,
sehingga akan semakin memperparah kondisi kawasan. (2). kemiskinan
masyaraankat yang ada disekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan, hampir semua masyarakat yang berada disekitar
kawasan taman nasional bukit barisan selatan adalah petani,
keterbatasan lahan yang dimiliki oleh warga dan peningkatan
pemenuhan kebutuhan hidup, menyebabkan masyarakat yang kurang
mampu akan melakukan perluasan areal pertaniannya ke dalam
kawasan. (3). tingkat pengetahuan dan pendidikan masyarakat
perambah yang masih rendah, dan masih kurangnya keahlian dibidang
lain, maka hal ini akan mendorong mereka untuk melakukan
perambahan karena tidak ada alternatif lain. (4). masih kurangnya
dukungan dari pemerintah daerah dalam penanganan perambahan
hautan, menyikapi masalah ini antara pengelola taman nasional bukit
barisan selatan dengan pemerintah daerah setempat harus dapat
mensinergikan kebijakan penurunan perambah dengan kebijakan
pemabangunan dimasa mendatang.
Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sudah
melakukan beberapa tindakan preventif yang telah dilakukan dalam
cclv
rangka mencegah terjadinya perambahan hutan seperti diantaranya
program masyarakat desa konservasi, penguatan daerah penyangga,
pembentukan kader konservasi, pembentukan pengaman swakarsa.
Langkah-langkah tersebut telah dilakukan oleh pihak pengelola Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan namun kalau tidak dilakukan secara
kontinyu dan belum didukung oleh sarana prasarana serta pendanaan
yang mencukupi, maka tindakan tersebut tidak akan dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Disamping tindakan preventif yang telah
dilakukan pihak taman nasional bukit barisan selatan juga dilakukan
tindakan represif seperti operasi rutin, operasi fungsional serta operasi
gabungan penurunan perambah dengan melibatkan unsur penegak
hukum lainnya, langkah-langkah tersebut tidak akan berjalan sesuai
dengan tujuan yang diharapkan tanpa didukung dengan sarana
prasarana serta pendanaan yang mencukui. Pemerintah daerah
merupakan lembaga yang harus diajak bekerjasama untuk
menyelesaikan perambahan hutan, khususnya dalam pengambilan
kebijakan agar supaya tidak terjadi tumpang tindih kebijakan.
SARAN
1. Pembangunan berkelanjutan adalah merupakan visi dan misi dari pemerintah
yang diwujudkan melalui lembaga yang ditunjuk dalam pengelolaan dan
pengamanan hutan secara menyeluruh. untuk itu perlu diperhatikan faktor-
faktor yang menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap perambahan
hutan seperti:
a. Perumusan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan di
bidang kehutanan khususnya undang-undang nomor 41 tahun 1999 yang
merumuskan tentang ancaman hukuman maksimum, seharusnya dimuat
tentang ancaman hukuman minimum. Memformulasikan mekanisme
penyampaian berkas perkara dari penyidik pegawai negeri sipil
kehutanan kepada penuntut umum tanpa melalui penyidik polri, hal ini
sesuai dengan prinsif peradilan yang cepat, efisien, dan biaya murah.
cclvi
b. Peningkatan kuwalitas dan kuantitas aparat penegak hukum mutlak harus
dilakukan agar dapat meningkatkan profesionalisme aparat dengan
memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan baik
didalam maupun di luar negeri.
c. Pemerintah secara bertahap tidak menunda lagi untuk peningkatan sarana
dan prasarana dalam mendukung pengamanan hutan.
d. Meningkatkan fungsi penyuluhan atau sosialisasi terhadap masyarakat
yang ada disekitar kawasan hutan agar dapat menumbuhkan kepatuhan
dan ketaatan masyarakat terhadap hukum, serta memberikan alternatif
lain agar masyarakat tidak selalu menggantungkan hidupnya dari hutan.
e. Budaya aparat, pembenahan manajemen organisasi harus dilakukan, hal
ini berhubungan dengan Penempatan aparat yang harus sesuai dengan
integritas dan moral yang dimiliki, kesejahteraan aparat harus di
perhatikan untuk meningkatkan kinerja dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan harus
dilakukan guna untuk memberikan contoh dalam kepatuhan hukum
dalam budaya hukum masyarakat, serta nilai kearifan lokal yang ada
dalam masyrakat yang sudah luntur secara perlahan dapat dikembalikan
dengan penyadaran hukum terhadap masyarakat.
2. Penegakan hukum terhadap perambahan hutan di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan yang harus diutamakan adalah tindakan preventif
(prevention without punishman) atau dengan meniadakan faktor-faktor
kondusif penyebab terjadinya perambahan seperti (1). lemahnya
pengawasan dari aparat terhadap kawasan hutan, (2). ketidaktegasan dalam
menjalankan aturan, (3). adanya jalan yang memotong atau melintasi
kawasan hutan, (4) kemiskinan dan kurangnya keahlian masyarakat yang
berada disekitar kawasan hutan, (5). tingkat pendidikan dan penegtahuan
masyarakat perambah yang masih rendah, (6). serta masih kurangnya
dukungan dari pemerintah daerah dalam penanganan perambahan hutan.
langkah ini harus dimulai dari berbagai upaya penyadaran kepada
masyarakat melalui penyuluhan, sosialisasi hingga pola pembangunan
cclvii
ekonomi dan sumberdaya manusia khususnya desa-desa yang berbatasan
langsung dengan kawasan, dengan keterpaduan antara kebijakan
penanganan perambah dengan kebijakan pembangunan. serta diiringi
dengan tindakan refresip (criminal law application) yaitu dengan
menggunakan sarana pidana yang bermula dari peringatan, hingga
pemidanaan, yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat, dengan meningkatkan kerjasama serta bantuan teknis dengan
aparat penegak hukum lainnya dalam rangka memperkuat penegakan
hukum (law enforcement) karena melihat dari jumlah luas kerusakan yang
terjadi saat ini. Kedua upaya ini harus dijalankan secara harmonis untuk
dapat mencapai tujuan penanganan perambahan yang juga merupakan
upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2000, Dasar hukum pelaksanaan tugas PPNS, bahan ajar Diklat Jagawana, Sekolah calon Perwira Polri, Sukabumi
Barda Nawawi arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP yang baru), edisi pertama cetakan ke-1, Kencana Jakarta.
Burhan Ashshofa., 2001, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga. Rineka Cipta. Jakarta. Departemen Kehutanan, 2007, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan tentang Kehutanan, Jakarta
H.B. Sutopo, 2006, Metodelogi Penelitian kualitatif, UNS Press, Surakarta.
Soejono Soekanto, 1993, Faktor-faktor yang Mepengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum.
Sudikno Manrtokusumo, 1999, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, penerbit Liberty, Yogyakarta.
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, 2008
Peraturan Lain
cclviii
Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/ X/1982, tanggal 14 Oktober 1982
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 256/KPTS-II/2000
Data Elektronik
http://fkkm.org/PusatData/index.php?lang=ind&action=kehutananmasyarakat
http://www.fkkm.org/artikel/index.php?action=detail&page=34