Download - Idiopatik Trombositopenia Purpura
IDIOPATIK TROMBOSITOPENIA PURPURA
PENDAHULUAN
Pupura Trombositopenia Idiopatik (PTI) merupakan suatu kelainan didapat yang
berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya
penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotel akibat adanya
autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari Immunoglubolin G (IgG) yang
bersirkulasi dalam darah.
Adanya trombositopenia pada PTI ini akan mengakibatkan gangguan pada sistem
hemostasis karena trombosit bersama dengan sistem vaskular faktor koagulasi darah terlibat
secara bersamaan dalam mempertahankan hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat
bervariasi mulai dari asimptomatik, bermanifestasi perdarahan ringan, sedang sampai dapat
mengakibatkan kejadian-kejadian yang fatal.
Berdasarkan awitan penyakit dibedakan tipe akut bila kejadiannya kurang atau sama
dengan 6 bulan dan kronik bila lebih dari 6 bulan serta disertai dengan manifestasi yang
membedakan keduanya.
Diperkirakan insidensi PTI terjadi pada 100 kasus per 1 juta penduduk per tahun, dan
kira-kira setengahnya terjadi pada anak-anak dengan usia puncak 5 tahun, dimana jumlah
kasus pada anak laki-laki dan perempuan sama perbandingannya. Namun pada orang
dewasa, ITP paling sering terjadi pada wanita muda: 72% pasien selama 10 tahun adalah
perempuan, dan 70% wanita ini usianya kurang dari 40 tahun. Pada anak-anak itu biasanya
merupakan tipe akut, yang sering mengikuti suatu infeksi, dan sembuh dengan sendirinya
(self limited). Pada orang dewasa umumnya terjadi tipe kronis.
Trombosit, antithrombin III, dan d dimer memiliki fungsinya masing-masing dalam
pembekuan darah. Trombosit berfungsi dalam pembuluh darah. Antithrombin adalah
inhibitor yang potensial dari kaskade koagulasi. D dimer merupakan hasil dari pemecahan
fibrin. Gangguan salah satu dari ketiganya maupun salah satunya akan mengakibatkan
ketidakseimbangan hemostasis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
150.000/n.L) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan destruksi
prematur dari trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa.
B. Epidemiologi
Perkiraan insiden adalah 100 kasus per 1 juta orang per tahun, dan sekitar setengah
dari kasus-kasus ini terjadi pada anak-anak. Insiden PTI pada anak antara 4,0-5,3 per
100.000, PTI akut umumnya terjadi pada anak-anak usia antara 2-6 tahun. 7-28 % anak-anak
dengan PTI akut berkembang menjadi kronik 15-20%. Purpura Trombositopenia Idiopatik
(PTI) pada anak berkembang menjadi bentuk PTI kronik pada beberapa kasus menyerupai
PTI dewasa yang khas. Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak per
tahun.2,6
Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta populasi pertahun
(5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Purpura
Trombositopenia Idiopatik (PTI) kronikpada umumnya terdapat pada orang dewasa dengan
median rata-rata usia 40-45 tahun. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1:1 pada
pasien PTI akut sedangkan pada PTI kronik adalah 2-3:1.6
Pasien PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI yang gagal diterapi dengan
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat terapi karena
angka trombosit di bawah normal atau ada perdarahan. Pasien PTI refrakter ditemukan kira-
kira 25-30 persen dari jumlah pasien PTI. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap
pemberian terapi dengan morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%.6
C. Patofisiologi
Sindrom PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yakni berikatan dengan
trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit
mononuklir melalui reseptor Fc makrofag. Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama
mengidentifikasi membran trombosit glikoprotein Ilb/IIIa (CD41) sebagai antigen yang
dominan dengan mendemostrasikan bahwa autoantibodi dari trombosit pasien PTI
berikatan dengan trombosit normal.
Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian
transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita PTI, dan
perkiraan ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang
menerima transfuse plasma kaya IgG, dari seorang pasien PTI. Trombosit yang diselimuti
oleh autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah
berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian
besar pasien, akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit.
Pada sebagian kecil yang lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi
trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang
(intramedullary), atau karena hambatan pembentukan megakariosit (megakaryocytopoiesis),
kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit normal.
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi PTI
untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetic kekurangan kompleks glikoprotein
IIb/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein Ib/X,
Ia/ITa, IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang bereaksi
terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang
diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen,
yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopenia
Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein Ilb/IIIa memperlihatkan
restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibody yang berasal dari displai phage
menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen
dari antibodi-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang
mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Pasien PTI
dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR + T cells, peningkatan jumlah
reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor
sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis
antibodi setelah terpapar fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh
protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang
bertahan lama tidak dapat diketahui dengan pasti.
Faktor yang memicu produksi autoantibodi tidak diketahui. Kebanyakan pasien
mempunyai antibody terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit
terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIb/IIIa dikenali oleh autoantibodi,
sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini.
Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag
atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses intenalisasi dan
degradasi. Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein Ilb/IIIa, tetapi juga
memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain. Sel penyaji antigen yang
teraktivasi mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan bantuan kostimulasi
(yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi
memfasilitasi proliferasi inisiasi CD-4 positif antiglikoprotein 1b/IX antibody T-cell clone I dan
T cell clone II (5) Reseptor imunoglobulin sel-B yang mengenali platelet antigen tambahan (B-
cell clone 2) dengan demikian juga terdorong untuk berkembang biak dan mensintesis
antibodi anti-glikoprotein Ib / IX (hijau) Selain memperkuat produksi anti-glikoprotein IIb /
IIIA antibodi (oranye) oleh B-1 cell clone.
Pada umumnya obat yang dipakai pada awal PTI menghambat terjadinya klirens
antibodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor FcG pada makrofag jaringan.
Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian kecil mekanisme ini namun mungkin pula
mengganggu interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam sintesis antibody pada beberapa
pasien. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara
menghalangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit,
sedangkan trobopoietin berperan merangsang progenitor megakariosit. Beberapa
imunosupresan nonspesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada tingkat sel T.
Antibodi monoclonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan
kostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel T makrofag dan interaksi sel
T dan sel B yang terlibat dalam produksi antibody dan pertukaran klas. Immunoglobulin IV
mengandung antiidiotypic antibody yang dapat menghambat produksi antibody. Antibody
monoclonal yang mengenali ekspresi CD 20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian.
Plasmafaresis dapat mengeluarkan antibody sementara dari dalam plasma. Transfusi
trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi perdarahan.
PTI telah didiagnosis pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, serta
telah diketahui adanya kecenderungan menghasilkan autoantibody pada anggota keluarga
yang sama. Adanya peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 dihubungkan dengan
respon yang menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid, dan HLA-DRB1*1501
dihubungkan dengan respon yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi. Meskipun
demikian, banyak penelitian gagal menunjukkan hubungan yang konsisten antara PTI dan
kompleks HLA kelas I dan II.
D. Manifestasi Klinik
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, awitan penyakit
biasanya mendadak, riwayat infeksi sering mengawali terjadinya perdarahan berulang,
sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas
yang disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia
imunologik. Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah varisella zooster dan Ebstein barr.
Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi
kurang dari 1% pasien. Pada PTI dewasa, bentuk akut jarang terjadi, namun umumnya terjadi
bentuk yang kronis.. PTI akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan terjadi pada
90% pasien, 60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.
Awitan PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari ringan
sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, serta memiliki perjalanan klinis
yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu, mungkin intermitten atau bahkan terus menerus. Remisi spontan jarang terjadi dan
tampaknya remisi tidak lengkap.
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, petekie, purpura, pada umumnya berat
dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum hubungan
antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan AT >50.000/µL maka
biasanya asimptomatik, AT 30.000-50.000 /µL terdapat luka memar/hematom, AT 10.000-
30.000/µL terdapat perdarahan spontan, menoragia dan perdarahan memanjang bila ada
luka, AT <10.000>6
Pasien secara sistemik baik dan biasanya tidak demam. Gejala yang dikeluhkan
berupa perdarahan pada mukosa atau kulit. Jenis-jenis perdarahan seperti hidung berdarah,
mulut perdarahan, menoragia, purpura, dan petechiae. Perdarahan gusi dan epistaksis
sering terjadi, ini dapat berasal dari lesi petekie pada mukosa nasal, juga dapat ditemukan
pada tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang
paling sering, menoragia dapat merupakan gejala satu-satunya dari PTI dan mungkin tampak
pertama kali pada pubertas. Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan
gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih jarang lagi dengan hematemesis.
Perdarahan intracranial dapat terjadi, hal ini dapat mengenai 1% pasien dengan
trombositopenia berat.
Pada pemeriksaan, pasien tampak normal, dan tidak ada temuan abnormal selain
yang berkaitan dengan pendarahan. Pembesaran limpa harus mengarah pada
mempertanyakan diagnosis. Tampak tanda-tanda perdarahan yang sering muncul seperti
purpura, petechiae, dan perdarahan bula di mulut.
E. Diagnosis
Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan PTI akut dan kronik,
serta tidak terdapatnya gejala sistemik dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk
sekunder dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis pemakaian obat-obatan yang dapat
menyebabkan trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan perdarahan karena
trombosit yang rendah (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan perdarahan selaput
lendir yang lain).
Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi), tidak ada limfadenopati. Selain
trombositopenia hitung darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk
menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan hematologi yang lain. Megatrombosit
sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi oleh flow
sitometri berdasarkan messenger RNA yang menerangkan bahwa perdarahan pada PTI tidak
sejelas gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung trombosit yang serupa. Salah
satu diagnosis penting adalah pungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang dijumpai banyak
megakariosit dan agranuler atau tidak mengandung trombosit.
Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada pasien lebih dari 40
tahun, pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atau
pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak dianjurkan, banyak ahli
pediatri hematologi merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum
mulai terapi kortikosteroid untuk menyingkirkan kasus leukemia akut. Pengukuran trombosit
dihubungkan dengan antibodi secara uji langsung untuk mengukur trombosit yang berikatan
dengan antibodi yakni dengan Monoclonal-Antigen-Capture Assay, sensitivitasnya 45-66%,
spesifisitasnya 78-92% dan diperkirakan bernilai positif 80-83 %. Uji negatif tidak
menyingkirkan diagnosis deteksi yang tanpa ikatan antibody plasma tidak digunakan. Uji ini
tidak membedakan bentuk primer maupun sekunder PTI.
F. Diagnosis Banding
Trombositopenia dapat dihasilkan baik oleh sumsum tulang yang berfungsi abnormal
atau kerusakan perifer. Meskipun sebagian besar gangguan sumsum tulang menghasilkan
kelainan di samping adanya trombositopenia, diagnosa seperti myelodysplasia baru dapat
dihilangkan hanya setelah dengan memeriksakan sumsum tulang. Sebagian besar penyebab
trombositopenia akibat kerusakan perifer dapat dikesampingkan oleh evaluasi awal.
Kelainan seperti DIC, trombotik trombositopenia purpura, sindrom hemolitik-uremic,
hypersplenisme, dan sepsis mudah dihilangkan oleh tidak adanya penyakit sistemik. Pasien
harus ditanya mengenai penggunaan narkoba, terutama sulfonamid, kina, thiazides,
simetidin, emas, dan heparin. Heparin sekarang merupakan penyebab paling umum obat
yang menginduksi trombositopenia pada pasien yang dirawat. Sistemik lupus erythematosus
dan CLL merupakan penyebab yang sering trombositopenia purpura sekunder, yang secara
hematologis identik dengan PTI.
G. Penatalaksanaan
Terapi PTI lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman
sehingga mencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi menghindari
aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma kepala, hindari
pemakaian obat-obatan yang mempengaruhi fungsi trombosit. Terapi khusus yakni terapi
farmakologis.
Prednison
Prednison, terapi awal PTI dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0 - 1,5
mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada
umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai
1 bulan , kemudian tapering. Kriteria respon awal adalah peningkatan AT <30.000>50.000/µL
setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila peningkatan AT
<30.000/>50.000/ mL setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simtomatik persisten dan
trombositopenia berat (AT <>6,9
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IglV) dosis 1 g/kg/ hari selama 2-3 hari berturut-turut
digunakan bila terjadi perdarahan intemal, saat AT <5,0oo>6
Mekanisme kerja IglV pada PTI masih belum banyak diketahui namun meliputi
blockade fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan
autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi. 6
Splenektomi
Splenektomi adalah pengobatan yang paling definitif untuk PTI, dan kebanyakan
pasien dewasa pada akhirnya akan menjalani splenektomi. Terapi prednison dosis tinggi
tidak boleh berlanjut terus dalam upaya untuk menghindari operasi. Splenektomi
diindikasikan jika pasien tidak merespon pada prednison awal atau memerlukan prednison
dosis tinggi yang tidak masuk akal untuk mempertahankan jumlah platelet yang memadai.
Pasien lain mungkin tidak toleran terhadap prednison atau mungkin hanya lebih memilih
terapi bedah alternatif . Splenektomi dapat dilakukan dengan aman bahkan dengan
menghitung trombosit kurang dari 10.000 / MCL. 80 % pasien mendapatkan manfaat dari
splenektomi baik dengan remisi lengkap atau parsial, dan angka kekambuhan ialah 15-
25%.5,9
Penanganan Relaps Pertama
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak
berespons dengan kortikostroid, imunoglobulin iv dan Imunoglobulin anti-D.
Dari gambar 2.4 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis menggunakan AT <30.000>30.000 /µL, Tidak ada konsensus yang menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk pasien Rh-positif. Apakah penggunaan IglV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi pasien yang mempunyai AT 30.000 /µL sampai 50.000/µL bergantung pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/µL perlu diberi IglV sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien. Pada pasien PTI kronik dan AT <30.000/µl>2,6
Terapi PTI Kronik Refrakter
Pasien refrakter (+ 25%-30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena
AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respons terapi yang
rendah, mempunyai morbiditas yang bermakna terhadap penyakit ini dan terapinya serta
memiliki mortalitas sekitar 16%. PTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria
sebagai berikut: a). PTI menetap lebih dari 3 bulan; b). Pasien gagal berespon dengan
splenektomi; c). AT <30.000>6
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua
Untuk pasien yang dengan terapi standar kortikosterpid tidak membaik, ada
beberapa pilihan terapi lain. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua menggambarkan
relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual. 6
Steroid Dosis Tinggi. Terapi pasien PTI refrakter selain prednisolon dapat digunakan
deksametason oral dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari, diulang setiap 28
hari untuk 6 siklus. Dari 10 pasien dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang
baik (dengan AT >100.000/mL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang
tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya. 6
Metilprednisolon
Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua dan
ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan
dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil
pada pasien PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg iv kemudian
dosis diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kg sekali sehari dibandingkan dengan pasien PTI
klinis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis konvensional. Pasien yang
mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4
hari) dan mempunyai angka respons (80% vs 53%). Respons steroid intravena bersifat
sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap
adekuat. 6
IglV Dosis Tinggi
Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut,
sering dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat. Efek
samping, terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten
atau disubtitusi dengan anti-D intravena. 6
Anti-D Intravena
Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa.
Dosis anti-D 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah merah
rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing
dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade. 6
Alkaloid Vinka
Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan, meskipun mungkin bernilai
ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat,
misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 ing, setiap minggu selama 4-6 minggu. 6
Danazol
Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering
lambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respons terjadi, dosis diteruskan sampai
dosis maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari setiap 4
bulan. 6
Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi
Immunosupresif diperlukan pada pasien yang gagal berespons dengan terapi lainnya.
Terapi dengan azatioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau siklofosfamid sebagai obat
tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%. Pada pasien yang
berat, simptomatik, PTI kronik refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian
siklofosfaraid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif digunakan seperti
pada limfoma. Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/bulan selama 3 bulan. Azatioprin
50-100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respons sampai 3
bulan turunkan sampai dosis terkecil. 6
Dapsone
Dapson dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien harus
diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis
yang serius. 6
Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua
Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau
kedua dan memberi masalah besar. Beberapa di antaranya mengalami perdarahan aktif
namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdaraihan serta masalah penanganannya.
Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa
mempunyai kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan
terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a,
(ii) anti-CD20, (iii) Campath-1H,(iv) mikofonelat mofetil,(vi)terapi lainnya. 6
Rekomendasi Terapi PTI Yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua
Susunan terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran splenektomi
dan bagi mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi. Rituximab, suatu antibodi
monoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki tingkat respons keseluruhan 25 - 50%, dan
memiliki respon yang tahan lama, dengan efek samping yang relatif sedikit.5
Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak
berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya. perdarahan
aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi
lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam hal
pertimbangan resiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-a, protein A columns,
plasmafaresis dan liposomal doksorubisin tidaklah direkemoendasikan. 5
Kesulitan utama dengan obat lini ketiga ialah tingkat respons yang sederhana dan,
seringnya, mempunyai onset yang lambat sehingga efek dapat tidak jelas selama beberapa
bulan. Selain itu, supresi sumsum tulang dan peningkatan risiko infeksi menyulitkan
pengobatan dengan menggunakan obat yang imunosupresif. 5
Obat trombopoietik mewakili strategi terapi baru yang menjanjikan untuk ITP yang
refrakter untuk terapi lini kedua dan ketiga. Obat ini mungkin juga dapat sebagai alternatif
bagi pasien yang tidak dapat mentolerir terapi imunosupresif atau pada calon yang tidak
dapat menggunakan untuk itu. Tempat agen ini pada armamentarium dari terapi ITP,
bagaimanapun, tetap ditentukan. Penggunaannya akan dipandu oleh uji klinis lebih lanjut
dengan durasi yang lebih lama dan pemahaman yang lebih baik dari kontribusi relatif
penghancuran platelet dan gangguan produksi trombosit pada masing-masing pasien
dengan ITP.5
H. Prognosis
Respons terapi dapat mencapai 50%-70% dengan kortikosteroid. Pasien PTI dewasa
hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada PTI biasanya
disebabkan oleh perdarahan intracranial yang berakibat fatal berkisar 2,2% untuk usia lebih
dari 40 tahun dan sampai 47,8% untuk usia lebih dari 60 tahun.
I. Pembekuan Darah (Koagulasi)
Hemostasis merupakan peristiwa penghentian perdarahan akibat putusnya atau
robeknya pembuluh darah, sedangkan thrombosis terjadi ketika endothelium yang melapisi
pembuluh darah rusak atau hilang. Proses ini mencakup pembekuan darah (koagulasi ) dan
melibatkan pembuluh darah, agregasi trombosit serta protein plasma baik yang
menyebabkan pembekuan maupun yang melarutkan bekuan.
J. Lintasan intrinsik
Lintasan intrinsik melibatkan faktor XII, XI, IX, VIII dan X di samping prekalikrein,
kininogen dengan berat molekul tinggi, ion Ca2+ dan fosfolipid trombosit. Lintasan ini
membentuk faktor Xa (aktif). Lintasan ini dimulai dengan “fase kontak” dengan prekalikrein,
kininogen dengan berat molekul tinggi, faktor XII dan XI terpajan pada permukaan pengaktif
yang bermuatan negatif. Secara in vivo, kemungkinan protein tersebut teraktif pada
permukaan sel endotel. Kalau komponen dalam fase kontak terakit pada permukaan
pengaktif, factor XII akan diaktifkan menjadi factor XIIa pada saat proteolisis oleh kalikrein.
Faktor XIIa ini akan menyerang prekalikrein untuk menghasilkan lebih banyak kalikrein lagi
dengan menimbulkan aktivasi timbal balik. Begitu terbentuk, faktor xiia mengaktifkan faktor
XI menjadi Xia, dan juga melepaskan bradikinin(vasodilator) dari kininogen dengan berat
molekul tinggi.
Faktor Xia dengan adanya ion Ca2+ mengaktifkan faktor IX, menjadi enzim serin
protease, yaitu faktor IXa. Faktor ini selanjutnya memutuskan ikatan Arg-Ile dalam factor X
untuk menghasilkan serin protease 2-rantai, yaitu faktor Xa. Reaksi yang belakangan ini
memerlukan perakitan komponen, yang dinamakan kompleks tenase, pada permukaan
trombosit aktif, yakni: Ca2+ dan faktor IXa dan faktor X. Perlu kita perhatikan bahwa dalam
semua reaksi yang melibatkan zimogen yang mengandung Gla (factor II, VII, IX dan X), residu
Gla dalam region terminal amino pada molekul tersebut berfungsi sebagai tempat
pengikatan berafinitas tinggi untuk Ca2+. Bagi perakitan kompleks tenase, trombosit
pertama-tama harus diaktifkan untuk membuka fosfolipid asidik (anionic). Fosfatidil serin
dan fosfatoidil inositol yang normalnya terdapat pada sisi keadaan tidak bekerja. Faktor VIII,
suatu glikoprotein, bukan merupakan precursor protease, tetapi kofaktor yang berfungsi
sebagai resepto untuk factor IXa dan X pada permukaan trombosit. Faktor VIII diaktifkan
oleh thrombin dengan jumlah yang sangat kecil hingga terbentuk faktor VIIIa, yang
selanjutnya diinaktifkan oleh thrombin dalam proses pemecahan lebih lanjut.
K. Lintasan Ekstrinsik
Lintasan ekstrinsik melibatkan faktor jaringan, faktor VII, X serta Ca2+ dan
menghasilkan faktor Xa. Produksi faktor Xa dimulai pada tempat cedera jaringan dengan
ekspresi faktor jaringan pada sel endotel. Faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VII dan
mengaktifkannya; faktor VII merupakan glikoprotein yang mengandung Gla, beredar dalam
darah dan disintesis di hati. Faktor jaringan bekerja sebagai kofaktor untuk faktor VIIa
dengan menggalakkan aktivitas enzimatik untuk mengaktifkan faktor X. Faktor VII
memutuskan ikatan Arg-Ile yang sama dalam faktor X yang dipotong oleh kompleks tenase
pada lintasan intrinsik. Aktivasi faktor X menciptakan hubungan yang penting antara lintasan
intrinsik dan ekstrinsik.
Pada lintasan terakhir yang sama, faktor Xa yang dihasilkan oleh lintasan intrinsik dan
ekstrinsik, akan mengaktifkan protrombin (II) menjadi thrombin (IIa) yang kemudian
mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Pengaktifan protrombin terjadi pada permukaan trombosit
aktif dan memerlukan perakitan kompleks protrombinase yang terdiri atas fosfolipid anionik platelet,
Ca2+, faktor Va, faktor Xa dan protrombin.
L. Antitrombin
Empat inhibitor thrombin yang terdapat secara alami, ditemukan di dalam plasma
normal. Inhibitor yang paling sering adalah antitrombin III yang turut memberikan kurang-
lebih 75% dari aktivitas antitrombin. Antithrombin adalah inhibitor yang potensial dari
kaskade koagulasi. Antitrombin seperti polisi protein yang mencegah koagulasi yang terlalu
banyak. Mekanismenya memblok pembekuan darah dengan menonaktifkan protein
"trombin". Oleh karena itu, yang disebut "anti-trombin". Sementara antithrombin III adalah
nama asli yang diberikan untuk protein ini, nama yang benar sekarang ini hanya
antithrombin, dengan menghilangkan angka "III". Nama-nama lain dan singkatan dari
antithrombin ialah antithrombin III, AT, AT III, dan heparin kofaktor I.
Trombin terlibat dalam mekanisme regulasi tambahan yang bekerja dalam proses
koagulasi. Unsur ini bergabung dengan trombomodulin. yaitu suatu glikoprotein yang
terdapat pada permukaan sel endotel. Kompleks tersebut mengaktifkan protein C. Dalam
bentuk gabungan dengan protein S. Sebuah kofaktor yang dinamakan protein C yang
diaktifkan (APC; activated protein C) akan menguraikan faklor Va dan VIIIa, sehingga
membatasi kerjanya dalam koagulasi. Defisiensi genetik protein C atau protein S dapat
menyebabkan trombosis vena. Lebih jauh lagi. Pasien dengan faktor V Leiden (yang momiliki
residu glutamin sebagai pengganti arginin pada posisi 506) mnenghadapi peningkatan resiko
penyakit trombosis vena karena faktor V Leiden bersifat resisten terhadap inaktivasi oleh
APC. Keadaan ini dinamakan resistensi APC.
Antithrombin melindungi dari koagulasi darah yang terlalu banyak. Jika kadar
antithrombin rendah, darah seseorang akan memiliki kecenderungan untuk koagulasi lebih
mudah. Jika tingkat antithrombin terlalu tinggi, seseorang dapat, secara teoritis, memiliki
kecenderungan pendarahan. Namun, peningkatan kadar antithrombin tampaknya tidak
menyebabkan perdarahan atau memiliki signifikansi klinis.
Aktivitas endogen antitrombin III sangat dipotensiasi oleh keberadaan proteoglikan
yang bersifat asam seperti heparin. Zat ini terikat dengan tempat kationik spesifik pada
antitrombin III dengan menginduksi perubahan bentuk dan meningkatkan pengikatannya
pada thrombin di samping pada substrat lainnya.
Warisan defisiensi AT meningkatkan risiko pembekuan darah, sedangkan defisiensi
AT sering tidak terjadi. Ada 2 penyebab utama dari defisiensi AT: (a) Warisan defisiensi
karena kelainan genetik (mutasi), dan (b) defisiensi yang didapat karena penyakit lain (lihat
tabel, peluru 1-3). Ada juga beberapa kondisi di mana antithrombin seseorang menurun,
tetapi kadarnya kembali normal setelah kondisi sembuh. Jika kadar antithrombin diukur
pada saat terjadi koagulasi akut atau saat diberikan heparin, kadarnya akan menurun untuk
sementara. Namun, mereka biasanya kembali normal setelah pasien telah pulih (dalam
beberapa hari untuk minggu) atau ketika heparin dihentikan. Ini penting untuk diketahui
untuk menghindari diagnosis yang salah "defisiensi AT " jika ditemukan kadar AT yang
rendah.
Kadang-kadang, kadar AT meningkat ketika seseorang diberikan warfarin. Oleh
karena itu, kadar normal selama terapi warfarin tidak mengesampingkan diagnosis adanya
defisiensi AT. Mengecek kembali AT3 setelah terapi warfarin dihentikan harus dilakukan.
(a) Warisan Defisiensi Antithrombin
Warisan Defisiensi Antithrombin merupakan kelainan genetik yang jarang. Ini terjadi
di 0,2-0,02% dari populasi umum, yaitu 1 dari 500 - 5.000 orang memilikinya. Laki-laki dan
perempuan sama-sama terpengaruh.
Orang-orang dengan defisiensi AT mempunyai peningkatan risiko untuk terjadi
koagulasi darah di dalam pembuluh darah, seperti penyumbatan pembuluh darah di kaki
(disebut deep vein thrombosis atau DVT) dan penyumbatan pada paru-paru (emboli paru).
Gumpalan vena lain mungkin juga terjadi: di lengan (ekstremitas atas DVT), saluran
pencernaan (portal vein thrombosis, sindrom Budd-Chiari, dll), atau di sekitar otak (sinus
vein thrombosis).
(b) Acquired Deficiency Antithrombin
Acquired Deficiency Antithrombin tidak umum terjadi. Biasanya, Acquired Deficiency
Antithrombin tidak menyebabkan peningkatan risiko koagulasi. Hal ini karena dalam kondisi
ini selain faktor pembekuan antithrombin sering juga diturunkan. Namun, dapat dikaitkan
dengan gumpalan darah.
Penyebab dari Acquired Deficiency Antithrombin :
• kegagalan hati (seperti sirosis hati)
• Sindrom nefrotik (kelainan ginjal)
• Penyebaran (metastasis) tumor
• gumpalan darah akut
• Terapi Heparin
• DIC (disseminated intravascular = koagulasi) *
• trauma parah
• luka bakar parah
* Yang umum gangguan pembekuan dan perdarahan sering disebabkan infeksi dalam
aliran darah (sepsis)
Seseorang dengan defisiensi AT dapat diberikan konsentrat AT intravena pada saat
peningkatan risiko pembekuan darah (operasi, persalinan). Konsentrat AT mungkin juga akan
diberikan bila profilaksis pengencer darah terhadap pembekuan darah dengan tidak dapat
digunakan karena peningkatan risiko pendarahan (bedah saraf).
Tidak ada pedoman yang menyatakan bahwa pasien dengan defisiensi AT harus
menerima antithrombin konsentrat. Biasanya, pengobatan hanya diberikan (a) pada saat-
saat peningkatan resiko pembekuan, atau (b) ketika pengencer darah heparin tidak dapat
diberikan secara aman karena akan menyebabkan peningkatan resiko pendarahan. Situasi ini
seperti pada operasi besar, trauma besar, dan persalinan.
2.3.4 Resisten Heparin
Pada beberapa pasien defisiensi AT yang membutuhkan terapi heparin, konsentrat
antithrombin mungkin harus diberikan heparin, sehingga heparin dapat bekerja secara
optimal. Heparin (termasuk heparins berat molekul rendah, LMWH) mungkin tidak
mengencerkan darah dengan efektif jika seorang individu memiliki kadar antithrombin
rendah. Hal ini karena efek heparin tergantung pada adanya antithrombin. Pada kasus
tersebut, dosis heparin yang lebih tinggi dari normal mungkin perlu diberikan agar membuat
perlindungan optimal dari terjadinya koagulasi darah. Pada keadaan tertentu, seorang
pasien dengan "resistensi heparin" tidak akan merespons secara efektif terhadap heparin
sama sekali - juga pada dosis yang lebih tinggi. Pada situasi seperti ini, pengobatan dengan
konsentrat antithrombin intravena dapat dipertimbangkan.
D-Dimer
D-dimer adalah hasil produk fibrin spesifik yang dimediasi plasmin. Trombin
mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer larut. Kemudian secara spontan polimerisasi
monomer membentuk fibrin polimer larut. Trombin juga mengaktifkan faktor XIII, yang
dengan adanya kalsium, menyilang dengan fibrin polimer, menghasilkan fibrin yang
crosslinked. Pembelahan plasmin fibrinogen atau fibrin yang larut menghasilkan FDPs yang
"tradisional", fragmen X, Y, D dan E. Pembelahan plasmin dari crosslinked fibrin
menghasilkan produk degradasi yang berbeda, yang bervariasi dalam berat molekul dan
disebut X-oligomers. D-dimer adalah neoantigen tertentu yang diproduksi oleh faktor XIIIa
yang dimediasi dari fibrin silang dan diekspos setelah plasmin crosslinked mendegradasi
fibrin, sehingga memungkinkan untuk dapat dideteksi menggunakan tes berbasis kekebalan
(immunologic based assay). Perhatikan bahwa meskipun plasmin adalah enzim fibrinolytic
utama, enzim proteolitik yang dibebaskan oleh neutrofil juga dapat mendegradasi ikatan
fibrin dan melepaskan D-dimer.
Jadi, D-dimer yang lebih spesifik untuk fibrinolisis daripada FDPs, pembentukannya
memerlukan trombin (untuk mengaktifkan faktor XIII) untuk menghasilkan crosslinked fibrin
dan pembelahan fibrin ini oleh plasmin. Sebaliknya, tes FDP tradisional tidak dapat
membedakan antara tindakan plasmin fibrinogen (fibrinogenolysis) dan fibrin (fibrinolisis),
oleh karena itu FDPs dapat meningkat ketika tidak terjadi gumpalan (dan plasmin hanya
memecah fibrinogen).
Tes D-dimer yang normal berarti bahwa kemungkinan besar tidak ada kondisi atau
penyakit akut yang menyebabkan pembentukan bekuan abnormal dan kerusakan.
Kebanyakan dokter setuju bahwa D-dimer negatif yang paling sah dan bermanfaat bila tes
dilakukan pada pasien yang dianggap berisiko rendah. Tes ini digunakan untuk membantu
menyingkirkan penggumpalan darah sebagai penyebab gejala.
Hasil D-dimer yang positif menunjukkan adanya kadar yang tinggi yang abnormal dari
produk degradasi fibrin di dalam tubuh. Ini memberitahu bahwa telah terjadi pembentukan
gumpalan (trombus) yang signifikan dan kerusakan dalam tubuh, tetapi tidak memberitahu
lokasi atau penyebab. Kadar D-dimer yang tinggi mungkin karena VTE atau DIC tetapi
mungkin juga bisa disebabkan oleh operasi yang masih baru, trauma, atau infeksi. Kadar juga
dapat terlihat pada penyakit hati, kehamilan, eklampsia, penyakit jantung, dan beberapa
jenis kanker.
D-dimer dianjurkan tes sebagai tambahan. dan tidak menjadi satu-satunya tes yang
digunakan untuk mendiagnosis suatu penyakit atau kondisi.
Pada DIC prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), jumlah
tromobsit, and produk degradasi serum fibrin/fibrinogen merupakan tes skrining yang paling
baik. Pemeriksaan d dimer lebih spesifik dan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis.
D-dimer akan meningkat setiap kali ada aktivasi trombin, untuk membentuk
crosslinked fibrin dan fibrinolisis, yaitu trombosis dan fibrinolisis. Penyakit tromboemboli
yang prototipikal adalah koagulasi intravaskular diseminata (DIC) dan D-dimer sering sangat
tinggi pada gangguan ini (memang, D-dimer sangat sensitif untuk DIC dan nilai-nilai dapat
meningkat pada awal DIC sebelum pengujian koagulasi lainnya, seperti PT dan aPTT, menjadi
abnormal). Namun, setiap gangguan mengakibatkan pembentukan crosslinked fibrin dan
kerusakan dapat berpotensi meningkatkan D-dimer (yaitu D-dimer tinggi tidak spesifik untuk
DIC). Ini mencakup hal yang fisiologis (misalnya berhubungan dengan penyembuhan luka
bedah) dan hal yang patologis fibrinolisis (berhubungan dengan trombosis dari setiap
penyebab, misalnya tromboemboli paru-paru).