i
UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU
(Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor. 365K/PID/2012)
SKRIPSI
Diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum paada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh :
AMRI HIDAYAT
NIM. E1A010212
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU (Tinjauan
Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor. 365 K/Pid/2012)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang
lain.
Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,
maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, 24 November 2014
AMRI HIDAYAT
NIM. E1A010212
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul : UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr.
DEWA AYU (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor
365K/Pid/2012).
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menghadapi
tantangan dan hambatan. Akan tetapi dengan rahmat Allah SWT dan bantuan dari
berbagai pihak, maka tantangan dan hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih dan puji syukur kepada Allah SWT kepada
semua pihak khususnya kepada :
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto, serta selaku Pembimbing Akademik dari penulis
yang telah memberikan semangat dan doanya yang tulus untuk penulis agar
selesainya skripsi ini dan lulus dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto;
2. Bapak Pranoto, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing I/ dosen penguji I, yang
telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis;
3. Ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku dosen pembimbing II/ dosen
penguji II, yang telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya
skripsi penulis;
4. Bapak Dr. Hibnu Nugroho,S.H.,M.H., selaku dosen penguji III yang telah
memberikan saran-saran yang membantu penulis dalam menyempurnakan skripsi
penulis;
5. Sutambah dan Kobsah, orang tua dari penulis yang telah memberikan semangat
dan doanya yang tulus untuk penulis agar selesainya skripsi ini dan lulus dari
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;
6. Jajaran dewan guru Bapak H. Abdul Madjid Malik, Bapak Chamid, Bapak H.
Gunawan Afiranto, Bapak Khoeron, yang telah banyak memberikan ilmu dan
bimbingannya dari awal sampai dengan akhir penulis menyelesaikan kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
7. Sahabat penggiat budaya Dwanda Julisa Sistyawan, S.H., dan, Hendi Yudha Putra
serta rekan yang lain, yang telah memberikan dukungan dan berbagi ilmu dan
pengalaman selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman;
8. Semua teman-teman angkatan 2010 khususnya Kelas C tercinta yang selalu
memberikan dorongan dan semangat bagi penulis selama kuliah;
9. Akang-akang serta Mba-mba di Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam Yudhistira
Fakultas Hukum Unsoed Angkatan Tirta Bhaskara, Angkatan Tebing Putih,
Angkatan Sangga Purnama, Angkatan Cahaya Senja, Angkatan Akar Kelana,
Angkatan Bintang Fajar, Angkatan Surya Kusuma, Rekan-rekan Angkatan Tunas
Bumi, Angkatan Wadas Sumerep serta Angkatan Sinar Bulan, yang telah
memberikan dukungan dan ilmunya serta pengalaman selama penulis kuliah dan
berproses di HMPA Yudhistira Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini
masih jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, penulisan maupun materi di
dalamnya, namun dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus
sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk memacu semangat penulis dalam menulis.
Akhir kata semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan menjadi
sumbangan pemikiran bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri sehingga
tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Wassalamua’alaikum Wr. Wb
Purwokerto, 24 November 2014
Amri Hidayat
NIM. E1A010212
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
ABSTRAK
ABSTRACT
BAB I : PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 5
D. Kegunaan Penelitian .............................................................. 5
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 7
A. Pengertian, Tujuan dan Asas Hukum Acara Pidana ................ 7
B. Putusan Dalam Tindak Pidana ................................................. 21
1. Pengertian Putusan ................................................................. 21
iii
2. Macam-Macam Putusan Dalam KUHAP .............................. 23
C. Upaya Hukum .......................................................................... 34
1. Pengertian Upaya Hukum ...................................................... 34
2. Bentuk-bentuk Upaya Hukum ............................................... 35
3. Upaya Hukum Kasasi ............................................................ 41
D. Kesalahan Menurut Hukum Pidana.......................................... 47
1. Pengertian Kesalahan ............................................................. 47
2. Kealpaan Menyebabkan Matinya Orang ............................... 48
E. Kejahatan pemalsuan Surat ...................................................... 51
F. Kriminal Malpraktik ................................................................. 53
1. Pengertian Kriminal Malpraktik ............................................ 53
2. Dokter dalam Melaksanakan Profesi Medik .......................... 55
BAB III : METODE PENELITIAN ........................................................ 59
A. Metode Pendekatan ................................................................ 59
B. Spesifikasi Penelitian ............................................................. 60
C. Sumber Data .......................................................................... 60
D. Metode Pengumpulan Data .................................................... 62
E. Metode Penyajian Data ......................................................... 63
F. Metode Analisa Data ............................................................. 63
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................... 64
A. Hasil Penelitian ...................................................................... 64
B. Pembahasan ........................................................................... 119
iv
BAB V : PENUTUP .................................................................................. 162
A. Kesimpulan ............................................................................ 162
B. Saran ..................................................................................... 163
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAK
Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan No.365 K/Pid/2012, memvonis
dr. Dewa Ayu dkk. selama 10 bulan penjara, menganulir vonis bebas yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Manado dalam Putusan
No.90/Pid.B/2011/PN.Mdo. Rumusan masalah yang diangkat adalah
pertimbangan hakim dalam kedua putusan tersebut. Penelitian ini bersifat yuridis
normatif dengan spesifikasi perskriptif analitis. Pengadilan Negeri Manado
berpendapat Pasal 359 KUHP mengandung unsur karena kesalahannya (unsur
subjektif) dan menyebabkan orang mati (unsur objektif). Berdasarkan fakta-fakta
di persidangan, keterangan saksi-saksi dan keterangan Para Terdakwa bahwa
dakwaan kelalaian ini unsur kelalaian dalam menjalankan tugas profesi medik
adalah tidak terbukti menurut hukum. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya
para Terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak
melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan
kondisi yang tertentu. Para Terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban.
Pengaturan mengenai Tindak Pidana malpraktek belum diatur secara terperinci
oleh undang-undang, maka saran dari peneliti adalah majelis hakim dalam
memberikan putusan terhadap perkara malpraktek diharapkan kedepan selain
mempertimbangkan adanya alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP,
juga mempertimbangkan sumber hukum tak tertulis dan azas-azas umum
berdasarkan kepatutan masyarakat, selain itu juga melihat Yurisprudensi yang
telah ada dan dipakai sebagai sember hukum.
Kata Kunci: pertimbangan hakim, karena kesalahannya menyebabkan orang mati, melakukan tindakan atau tidak melakukan sesuatu
tindakan tertentu.
ABSTRACK
The Supreme Court ( MA ) in Decision 365 K/Pid/2012, convicted dr. Dewa Ayu et al. for 10 months in prison, annulled acquittal rendered by the
District Court of Manado in Decision 90/Pid.B/2011/PN.Mdo. The both
consideration in the decision of judges was the formulation of the issues. This
research was a normative juridical with perskriptif analytical specifications.
Manado District Court argued Article 359 of the Criminal Code because it
contains elements of the guilt (subjective element) and caused the dead (objective
element). Based on the facts in the trial, witnesses and testimony that the
defendant's negligence charges of negligence of duty medical profession is not
legally proven. The Supreme Court in consideration of the defendant fails to
perform any act or not do something specific action to certain patients in certain
circumstances. The defendant has made a deviation obligation. Setting of the
crime of malpractice has not been regulated by law, so the advice of researcher is
the judges in giving judgment to next malpractice cases are expected in addition to
consider the evidence which set in the Criminal Code, also consider the source of
the unwritten laws and the general principles based on the propriety of the
community, but it also saw the existing jurisprudence and used as legal cracked .
Keywords: consideration of judge, because mistakes cause
people die, act or not do something certain action
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dokter adalah seorang yang ahli di bidang medik, namun sebagai
manusia dokter pun tidak terhindar dari kesalahan. Berbuat kesalahan itu
manusiawi (to err is human). Pada umumnya adanya dugaan malpraktik medik
(alegal medical malpractice) adalah akibat dari suatu tindakan medik yang
dilakukan oleh seorang dokter, ternyata keadaan pasien bahkan menjadi tambah
buruk, menderita kesakitan, menjadi lumpuh, jatuh ke dalam koma, ataupun
sampai meninggal.
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan
dugaan kasus malpraktik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan
diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Ada berbagai faktor
yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan
semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan
diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada
kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal
didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di
Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional
2
yang bertentangan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP), kode etik, dan
undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang
mengakibatkan kerugian dan kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik
dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien
yang akhirnya dokter salah memberikan obat.
Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa
rumah sakit, salah satunya adalah kasus dr. Dewa Ayu, dr. Hendy Siagian, dan
dr. Hendri Simanjuntak di Manado yang kasusnya telah bergulir sampai ke
Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung (MA) memvonis dr. Dewa Ayu dkk selama 10 bulan
penjara karena kealpaan dr. Ayu dkk yang mengakibatkan kematian pasien Siska
Makatey. Dalam Putusan Nomor 365 K/Pid/2012, majelis kasasi yang dalam
pertimbangannya menyatakan para terdakwa karena kelalaiannya mengakibatkan
kematian pasien. Ketiga dokter tersebut dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh
MA setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi
Utara. Dasar dakwaan MA dalam memvonis tersebut adalah menilai salah dan
benarnya dokter Ayu dalam melakukan tindakan medis dan prosedur medis.
Terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan baik pada tingkat
pertama maupun tingkat kasasi dalam kasus ini memang sangat menarik, karena
akan muncul 2 (dua) pendapat yakni bahwa putusan pada tingkat pertama adalah
sudah benar karena memang ini bukanlah criminal malpractice, karena itu maka
dr. Dewa Ayu dan kedua rekannya dijatuhi putusan bebas.
3
Dalam sistem peradilan pidana, hakim dalam memberikan putusan
berdasarkan Pasal 1 angka (11) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) menyatakan bahwa:
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini”.
Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan selama
persidangan, kesalahan terdakwa sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut
umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas
(Pasal 191 ayat (1) KUHAP).
“Tidak terbuktinya secara sah dan meyakinkan karena1 Ketiadaan bukti
minimum yang ditetapkan oleh undang-undang (sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah), misalnya hanya ada keterangan seorang saksi saja
atau satu petunjuk atau keterangan terdakwa saja, dan tidak dikuatkan
oleh alat bukti lain; atau bukti minimum tersebut telah dipenuhi, akan
tetapi pengadilan tidak yakin atas kesalahan terdakwa.”
Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/Pid.B/2011/PN.MDO,
yang mana dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa para terdakwa tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam
dakwaan Kesatu Primair dan Subidair, dakwaan Kedua, dan dakwaan Ketiga
Primair dan Subsidair, serta membebaskan para terdakwa dari semua dakwaan
(vrijspraak). Dalam hal hakim menjatuhkan putusan bebas, berdasar ketentuan
Pasal 191 ayat (3) KUHAP jika terdakwa ada dalam status tahanan,
diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena adanya alasan
yang sah untuk terdakwa perlu tetap ditahan.
1 Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Akademika Pressindo, Jakarta,
1985, hlm. 58.
4
Terhadap putusan bebas ini, berdasarkan ketentuan Pasal 67 KUHAP
tidak dapat dilakukan upaya hukum banding maupun kasasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 244 KUHAP.
Atas putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Manado tersebut, jaksa
penuntut umum mengajukan upaya hukum di tingkat Kasasi dan permohonan
Kasasi tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung beralasan
bahwa sebagai peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan
menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara
diterapkan secara tepat dan adil, dan Mahkamah Agung berdasarkan Putusan
Nomor 365 K/Pid/2012 telah menganulir putusan Pengadilan Negeri Manado
Nomor 90/Pid.B/2011 dan menjatuhkan putusan Pidana kepada para terdakwa
masing-masing 10 (sepuluh) bulan penjara.
Berdasarkan pada Yurisprudensi, bahwa putusan bebas dapat dimintakan
Kasasi apabila dianggap putusan bebas yang dijatuhkan adalah putusan bebas
tidak murni, karena dalam perkara besar dan penting, atau perkara-perkara yang
ramai diperbincangkan dan menyita perhatian publik adanya putusan bebas
kadang tidak bisa diterima oleh jaksa penuntut umum dan juga sulit diterima oleh
masyarakat.
Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian tentang
suatu putusan bebas yang dianggap sebagai putusan bebas tidak murni dan apa
yang menjadi pertimbangan majelis hakim kasasi sehingga memberikan vonis
pemidanaan terhadap kasus yang sebelumnya telah diberikan putusan bebas,
5
dengan judul: UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU
(Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor. 365 K/Pid/2012)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor
90/Pid.B/2011/PN.MDO sehingga menjatuhkan putusan bebas terhadap
dr. Dewa Ayu?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 365 K/Pid/2012
sehingga menjatuhkan putusan pidana terhadap dr. Dewa Ayu?
C. Tujuan
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut di atas, tujuan dari penelitian
yang akan dilakukan ini adalah :
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan Nomor
90/Pid.B/2011/PN.MDO sehingga menjatuhkan putusan bebas terhadap
dr. Dewa Ayu
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan Nomor
365K/Pid/2012 sehingga menjatuhkan putusan pidana terhadap dr. Dewa
Ayu.
D. Manfaat Penelitian
Dengan melihat tujuan dari penelitian ini, maka hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberi manfaat :
6
1. Manfaat teoritis
Sebagai sumber informasi ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan
referensi bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam penyelesaian
sengketa hukum kesehatan. Karena memang masihlah sangat dibutuhkan
masukan yang jelas mengenai bagaimanakah penyelsaian sengketa kesehatan
yang terkait dokter dengan pasien.
Pihak Ikatan Dokter Indonesia menyatakan bahwa setiap sengketa
dokter dengan pasien diselesaikan melalui Majelis Kode Etik Kedokteran
(MKEK), namun ada pendapat bahwa penyelesaian semacam ini tidaklah
transparan dan memenuhi rasa keadilan karena adanya spirit the corps antara
sesama dokter.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan bagi
aparat penegak hukum, salah satunya bagi hakim agar dalam memperhatikan
unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, karena meskipun si terdakwa
melakukan kelalaian walaupun itu dalam hal menjalankan tugasnya harus
diperhatikan sudah sesuai prosedurkah tindakan yang dilakukan oleh terdakwa
ketika menjalankan tugasnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan, dan Asas Hukum Acara Pidana
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Untuk mewujudkan pernyataan tersebut di atas, melalui TAP MPR Nomor:
IV/MPR/1978, pemerintahan mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan
pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta
unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan
Nusantara.
Pembangunan hukum nasional salah satu diantaranya adalah di bidang
Hukum Acara Pidana dengan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan
kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak
hukum sesuai fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum,
keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta
kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD
1945.2
2 Lihat konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
8
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) lahir setelah hampir 36
tahun Negara Republik Indonesia merdeka. Berdasarkan Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hukum Acara Pidana disebut juga
hukum pidana formil, hal ini untuk membedakan dengan hukum pidana materiil.3
Hukum Pidana materiil atau Hukum Pidana sendiri berisi petunjuk dan
uraian tentang delik, peraturan tentang syarat dipidananya suatu perbuatan,
petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan,
mengatur tentang kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan.
Sedangkan hukum pidana formil mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya
melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara
pidana.4
“Menurut Poernomo5, hukum pidana tidak dapat dilakukan apabila tidak
ada aturan beracara yaitu untuk proses perkara pidana dan menentukan
suatu keputusan menjatuhkan sanksi pidana atau keputusan lain kepada
seseorang yang terbukti atau tidak terbukti melakukan perbuatan pidana
dengan kesalahannya. Secara singkat dapat dilaksanakan melalui hukum
acara pidana. Hukum acara pidana sendiri secara esensial dalam perkara
pidana dapat dibedakan menjadi hukum acara pidana formil dalam arti
hukum beracara pidana dan dalam arti hukum acara pidana materiil
dalam arti pembuktian dari perkara pidana.”
“Menurut Wirjono Projodikoro6 bahwa hukum acara pidana berhubungan
erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatau
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-
badan pemerintahan yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan, dan
3 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996, hlm 7.
4 Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm 1. 5 Endang Sri Lestari, “Pembuktian Tindak Pidana Korporasi Pada Kasus Kabut Asap di
Pekanbaru (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan M.A.R.I No. 275TU/811K/Pid/2002)”, (Skripsi
Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2007), hlm. 10 6 Andi Hamzah, Loc.Cit
9
pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan
mengadakan hukum pidana.”
Dalam pembagian hukum pidana antara publik dan hukum privat, maka
hukum acara pidana digolongkan dalam hukum publik. Sebagai bagian dari
hukum publik, hukum acara pidana sering diartikan secara sempit dan secara luas.
Arti sempit dari hukum acara pidana adalah berjalan apabila terjadi dugaan
adanya pelanggaran terhadap undang-undang pidana materiil, sedangkan dalam
arti luas apabila dipandang dari segi tugas, wewenang, kewajiban, dan hal-hal dari
orang yang bersangutan dengan penyidikan, penuntutan dan mengadili delik,
maka ia termasuk dalam hukum tata negara dan hukum administraasi negara.7
Menurut R. Soesilo8, hukum acara pidana itu erat kaitannya dengan hukum
pidana, bahkan hukum acara pidana itu pada hakekatnya termasuk dalam
pengertian hukum pidana. Kumpulan dari seluruh tindak-tindak pidana
dinamakan hukum pidana, yaitu hukum pidana yang berupa materi atau
materiil dan dinamakan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil
lawannya hukum pidana formil. Hukum pidan formil adalah kumpulan
peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan mengatur
soal sebagai berikut:
a. Cara bagaimana harus mengambil tindakan-tindakan jikalau ada
sangkaan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana
mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah
dilakukan;
b. Setelah ternyata, bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa
dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik atau menyelidiki
orang-orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, cara
menangkap, menahan dan memeriksa orang itu;
c. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa,
menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta menyita barang-
barang itu, untuk membuktikan kesalahan tersangka;
d. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap
terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana;
e. Oleh siapa dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu
harus dilaksanakan dan sebagainya, atau dengan singkat dapat
dikatakan bahwa yang mengatur tentang cara bagaimana
7 Ibid, hlm 20.
8 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Politea, Bogor, 1995, hlm 3.
10
mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil,
sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi
keputusan itu dapat dilaksanakan.
“Menurut Van Bemmelen9, ilmu hukum acara pidana mempelajari
peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya
dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana. Hukum acara
pidana dilukiskan sebagai berikut:
a. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si
pelaku dan kalau perlu menahannya;
d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada
hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidan atau tindakan tata tertib;
f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
g. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib itu.”
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8
Tahun 1981) tidak menjelaskan apakah hukum acara pidana itu. Hanya diberikan
devinisi-devinisi dari beberapa bagian hukum acara pidan seperti penyidikan,
penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum,
penyitaan, penggeledan, penangkapan, penahanan dan lain-lain sebagaiman
disebutkan di dalam Pasal 1 KUHAP.
2. Tujuan Hukum Acara Pidana
Setiap peraturan yang dibuat pasti mempunyai tujuan tertentu yang
hendak dicapai, begitu pula hukum acara pidana dibuat juga mempunyai tujuan
yang hendak dicapai yaitu suatu keadilan. Sedangkan baik dan buruknya suatu
tujuan akan mempengaruhi kualitas suatu peraturan atau undang-undang, oleh
9 Andi Hamzah, Op.Cit. hlm 17-18
11
karena itu realisasi pelaksanaan akan menjadi tolak ukur keberhasilan suatu
tujuan, semakin baik tujuan yang hendak dicapai maka semakin baik pula
keadilan yang diperoleh masyarakat.
Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan tentang tujuan
hukum acara pidana sebagai berikut:
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran
yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum pidana secara jujur dan tepat, dengan
tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan
suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu
tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu
dapat dipersalahkan”.10
Menurut van Bemmelen11
mengemukakan tiga fungsi hukum acara
pidana, yaitu sebagai berikut:
a. Mencari dan menemukan kebenaran
b. Pemberian keputusan oleh hakim
c. Pelaksanaan keputusan.
3. Asas Hukum Acara Pidana
Pengertian asas dalam hukum acara pidana adalah dasar patokan hukum
yang mendasari KUHAP dalam menjalankan hukum. Asas ini akan menjadi
pedoman bagi semua orang termasuk penegak hukum, serta orang-orang yang
berkepentingan dengan hukum acara pidana.
KUHAP dilandasi oleh asas atau prinsip hukum tersebut diartikan
sebagai dasar patokan hukum sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi
instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP.
10
Ibid, hlm. 18. 11
Ibid, hlm 19.
12
Mengenai hal tersebut, bukan hanya kepada aparat hukum saja, asas atau prinsip
yang dimaksud menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota
masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang
menyangkut KUHAP.12
Makna asas-asas hukum adalah merupakan ungkapan hukum yang
bersifat umum, pada sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan
kesusilaan atau etis kelompok manusia dan pada sebagian yang lain berasal dari
dasar pemikiran dibalik peraturan perundang-undangan serta yurisprudensi.13
Asas-asas penting yang terdapat dalam hukum acara pidana yaitu:
1. Peradilan Cepat, Sederhana, Dan Biaya Ringan
Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menghendaki agar
pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas: cepat,
sederhana, dan biaya ringan. Tidak bertele-tele dan berbelit-belit. Apabila jika
keterlambatan penyelesaian kasus terhadap hukum dan martabat manusia.
Asas ini mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia
sekalipun orang tersebut berada dalam kedudukan sebagai tersangka atau
terdakwa. Walaupun dalam kondisi dibatasi kemerdekaannya karena ditangkap
kemudian ditahan, namun orang tersebut tetep memperoleh kepastian bahwa
12
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
Dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 35. 13
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan
Penegakan Hukum Pidana. Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 46
13
tahapan-tahapan pemeriksaan yang dilaluinya memiliki batas waktu dan dijamin
undang-undang.
Asas ini menghendaki adanya peradilan yang efektif dan efesien,
sehingga tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada tersangka
atau terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Asas ini juga terdapat dalam
Penjelasan Umum butir 3 huruf e KUHAP yang merumuskan:
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya
ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus ditetapkan secara
konsekuen dalam seruluh tingkat peradilan”.
Beberapa ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang
cepat, sederhana, dan biaya ringan antara lain tersangka atau terdakwa berhak:
1). Segera mendapat pemeriksaan dari penyidik;
2). Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik;
3). Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum;
4). Berhak segera diadili oleh pengadilan.
Menurut Andi Hamzah,14
Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang
dianut didalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peradilan cepat (terutama untuk
menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan
bagian hak-hak manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak
yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.
2. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumtion of innocence)
Asas ini disebut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
14
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta,
2004, hlm. 10-11.
14
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan dalam
Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP, yang merumuskan:15
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, Wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Asas praduga tak bersalah menjadi salah satu bukti penghargaan KUHAP
pada hak asasi manusia. Cara-cara pemeriksaan tersangka atau terdakwa yang
semula bersifat inquisitoir menjadi aqusatoir.
Menurut M. Yahya Harahap, sebagaimana dikutip oleh Taufik Makarao
dan Suhasril, mengemukakan:16
Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan
“Prinsip Akusator”. Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka
atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah subyek bukan
sebagai objek pemeriksaan karena itu tersangka atau terdakwa harus
didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai
harkat dan martabat harga diri, yang mejadi objek pemeriksaan dalam
prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh
tersangka atau terdakwa, karena itulah pemeriksaan ditujukan.
3. Asas Oportunitas
Dalam hukum acara pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana kepengadilan yang disebut
penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum disebut juga jaksa (Pasal 1 butir a
dan b serta Pasal 137 dan seterusnya KUHAP).
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum. Asas oportunitas
adalah hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk menuntut atau tidak
15
Ibid., hlm. 34. 16
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan
Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 3.
15
menuntut seseorang kepengadilan. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan
kepada kejaksaan.
A.Z. Abidin Farid,17
memberikan perumusan asas oportunitas adalah Asas
hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau
tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau koperasi yang telah
mewujudkan delik demi kepentingan umum.
Andi Hamzah18
menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
“Menurut asas oportunitas penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang
yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan
kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang
melakukan delik tidak dituntut.”
Mengenai kriteria kepentingan umum dalam pedoman pelaksanaan
KUHAP dijelaskan adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat
dan bukan kepentingan pribadi.
4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum dapat dilihat dalam
Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP sebagai berikut:
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Pasal 153 ayat (4) KUHAP menyebutkan:
“Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan
batalnya putusan demi hukum”.
Mengenai asas pemeriksaan persidangan terbuka untuk umum, M. Yahya
Harahap19
berpendapat:
17
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 17. 18
Ibid., hlm. 16.
16
“Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan pemeriksaan
perkara yang terdakwanya anak-anak dilakukan dengan pintu tertutup.
Sebab jika dilakukan terbuka untuk umum akan membawa akibat
psikologis yang lebih parah kepada jiwa dan batin si anak.”
Asas ini memberikan makna bahwa tindakan penegakan hukum di
Indonesia harus dilandasi oleh jiwa persamaan dan keterbukaan serta adanya
penerapan sistem musyawarah dan mufakat.
I. Sumantri20
menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
“Asas terbuka untuk umum ini memang tepat karena persidangan dapat
dihadiri oleh umum, sehingga dapat menjamin obyektifitas peradilan dan
tujuannya memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi terdakwa. Di
lain pihak juga ditentukan pengecualian apabila kesusilaan dan
terdakwanya anak-anak.”
Hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya
atau sebagian tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di
belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada
hakim yang melakukan hal itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan
penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar
sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya.
5. Semua Orang Diperlakukan Sama Di Depan Hukum (Equality Before the Law)
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini
tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum butir 3 a KUHAP.
Penjelasan Umum butir 3 a KUHAP merumuskan:
19
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 56. 20
I. Sumantri, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Nasional Tentang Hukum
Acara Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1996, hlm. 18.
17
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak
mengadakan perbedaan perlakuan”.
Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang”.
Ketentuan-ketentuan di dalam KUHAP mendasarkan pada asas ini,
sehingga tidak ada satu pasal pun yang mengarah pada pemberian hak-hak
istimewa pada suatu kelompok dan memberikan ketidakistimewaan kepada
kelompok lain.
Menurut Andi Hamzah,21
Asas ini menegaskan bahwa sebagai Negara
Hukum maka dihadapan hukum semua orang sama dan sederajat. Bagaimanapun
kedudukan manusia itu sama di mata hukum yang dijunjung tinggi oleh negara
Indonesia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
6. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum terdapat
pada Pasal 54 KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam
waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang
ditentukan dalam undang-undang ini”.
Ketentuan asas ini berkaitan dengan hak dari seseorang yang tersangkut
dalam suatu perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi
21
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 19.
18
pembelaannya maupun untuk mendapatkan nasehat atau penyuluhan tentang jalan
yang dapat ditempuhnya dalam menegakan hak-haknya sebagai tersangka atau
terdakwa. Bantuan hukum dalam KUHAP tidak terdapat penjelasan atau definisi
mengenai pengertian bantuan hukum.
M. Yahya Harahap,22
menjelaskan mengenai bantuan hukum diatur
dalam Pasal 74 KUHAP, dimana didalamnya diatur tentang kebebasan yang
sangat luas yang didapat oleh tersangka atau terdakwa. Kebebasan tersebut
antara lain:
a) Bantuan hukum dapat diberikan saat tersangka ditangkap atau ditahan;
b) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan;
c) Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu;
d) Pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka atau terdakwa
tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik
yang menyangkut keamanan Negara;
e) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasehat
hukum guna kepentingan pembelaan;
f) Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka
atau terdakwa.
The Internasional Convenant on Civil and Political Rights article 14
sub 3d kepada tersangka atau terdakwa diberikan jaminan sebagai berikut:
“to be tried in his presence and to defend himself in person or
through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not
have legal assistance, of his right, and to have legal assistance assigned
to him, in any case where the interests justice so require, and without
payment by him in any such case if he does not have sufficient means to
pay for it.” (Diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri
secara pribadi atau dengan bantuan penasehat hukum menurut pilihannya
sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai
penasehat hukum dan ditunjuk penasehat hukum untuk dia jika untuk
kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu
membayar penasehat hukum ia dibebaskan dari pembayarannya).”23
22
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid 1
dan Jilid II), Pustaka Kartini, Jakarta, 1998, hlm. 21. 23
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 20.
19
7. Asas Akusatoir Dan Inkisitoir (Accusatoir dan Inquisitoir)
Asas akusatoir dalam KUHAP tidak menjadikan pengakuan tersangka
sebagai salah satu dari jenis alat bukti. Pengakuan yang digariskan dalam KUHAP
yang demikian menunjukan bahwa KUHAP menganut asas akusatoir yaitu
menempatkan kedudukan tersangka sebagai subyek pemeriksaan.
Asas inkisitoir yaitu kedudukan tersangka atau terdakwa merupakan
obyek pemeriksaan sehingga pengakuan tersangka atau terdakwa menjadi hal
yang sangat penting untuk diperoleh penegak hukum. dalam hal ini kedudukan
tersangka sangat lemah dan tidak menguntungkan karena tersangka masih
dianggap sebagai barang atau objek yang harus diperiksa. Pada asas inkisitoir
pemeriksaan bersifat rahasia atau tertutup.
Asas akusatoir memperlakukan tersangka atau terdakwa yang manusiawi
bukan berarti menghilangkan ketegasan yang menyebabkan tersangka atau
terdakwa tidak menghormati proses penegakan hukum. Dengan menggunakan
ilmu bantu penyidikan seperti psikologis, kriminalistik, psikiatri dan kriminologi
maka penyidik tetap akan dapat memperoleh hasil penyidikan yang memadai.
“Menurut Andi Hamzah,24
Asas inkisitoir berarti tersangka dipandang
sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR untuk
pemeriksaan pendahuluan. Sama halnya dengan Ned. Sv. yang lama
yaitu tahun 1828 yang direvisi tahun 1885. Sejak tahun 1926 yaitu
berlakunya Ned. Sv. yang baru di negeri Belanda telah dianut asas
gematigd accusatoir yang berarti asas bahwa tersangka dipandang
sebagai pihak pada pemeriksaan pendahuluan dalam arti terbatas, yaitu
pada pemeriksaan perkara-perkara politik berlaku asas inkisitoir.”
24
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 22.
20
8. Pemeriksaan Hakim Yang Langsung Dan Lisan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung,
artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sidang pengadilan melakukan
pemeriksaan secara langsung kepada terdakwa atau orang lain yang terlibat,
dengan mengadakan pembicaraan secara lisan, berupa tanya jawab dengan majelis
hakim. Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam
persidangan harus dilakukan dengan berbicara satu sama lain secara lisan agar
dapat diperoleh keterangan yang benar dan yang bersangkutan tanpa tekanan dari
pihak manapun.
Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan diatur dalam Pasal 154
KUHAP yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk
dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas.
(2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak
hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang
meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah.
(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang
rnenunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil
lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak
dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar
terdakwa dipanggil sekali lagi.
(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak
semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap
terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua
kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya.
(7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan
menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
21
Mengenai asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan, M. Yahya
Harahap25
berpendapat:
“Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP menegaskan ketua sidang dalam
memimpin sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan. Tidak
boleh pemeriksaan dengan perantara tulisan baik terhadap terdakwa
maupun saksi-saksi. Kecuali bagi mereka yang bisu atau tuli, pernyataan
dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Prinsip pemeriksaan dalam
persidangan dilakukan secara langsung berhadap-hadapan dalam ruang
sidang. Semua pernyataan dilakukan dengan lisan dan jawaban atau
keteranganpun disampaikan dengan lisan, tiada lain untuk memenuhi
tujuan agar persidangan benar-benar menemukan kebenaran yang hakiki.
Sebab dari pemeriksaan secara langsung dan lisan, tidak hanya keterangan
terdakwa atau saksi saja yang dapat didengar dan diteliti, tetapi sikap dan
cara mereka memberikan keterangan dapat menentukan isi dan nilai
keterangan.”
Pengecualian dari asas langsung dan lisan adalah kemungkinan putusan
dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia), yaitu dalam acara pemeriksaan
perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 213 KUHAP,
yang merumuskan:
“Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di
sidang”.
B. Putusan Dalam Tindak Pidana
1. Pengertian Putusan
Muara dari seluruh proses persidangan perkara pidana adalah
pengambilan keputusan hakim atau sering disebut juga dengan istilah “Putusan
Pengadilan” atau “Putusan Akhir” atau lebih sering disebut juga dengan istilah
“Putusan” saja.26
25
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 113. 26
Al. Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana: Proses Penanganan Perkara Pidana,
Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002, hlm. 119.
22
Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk
tertulis maupun lisan.27
Berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (1) KUHAP, apabila pemeriksaan
sidang dinyatakan selesai, tahap proses selanjutnya adalah penuntutan, pembelaan,
dan jawaban atas pembelaan. Ketika proses ini telah selesai, maka hakim ketua
menyatakan “pemeriksaan dinyatakan ditutup”.
Apabila pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan
musyawarah terakhir untuk menjatuhkan putusan. Bentuk putusan yang akan
dijatuhkan tergantung dari hasil musyawarah berdasarkan surat dakwaan dengan
segala sesuatu yang terbukti dalam persidangan di sidang pengadilan.
Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan banwa :
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini”.
Proses atau cara pengambilan putusan diawali setelah hakim ketua sidang
dinyatakan pemeriksaan ditutup, dan seterusnya hakim akan mengadakan
musyawarah. Berdasarkan ketentuan Pasal 182 KUHAP untuk menentukan
putusan, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan mulai dari hakim yang
paling muda sampai hakim yang paling tua, sedangkan yang terakhir hakim ketua
akan menyatakan pendapatnya.
27
Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan
Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksepsi), Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 129.
23
Hasil musyawarah majelis hakim merupakan permufakatan bulat, namun
jika telah benar-benar diupayakan tetapi tetap tidak dapat mencapai suatu
permufakatan bulat maka akan ditempuh dua cara yaitu:
1. Putusan diambil dengan suara terbanyak (Voting)
2. Putusan yang dipilih adalah hakim yang paling menguntungkan bagi
terdakwa.
Proses penyusunan materi muatan perlu mencermati ketentuan Pasal 182
ayat (4) KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa musyawarah majelis
hakim dalam menyusun putusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala
sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Proses pengambilan keputusan tersebut dicatat dalam buku himpunan
putusan yang disediakan khusus untuk itu yang sifatnya rahasia. Putusan
Pengadilan Negeri dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau pada hari yang lain,
yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum dan terdakwa atau
penasehat hukum terdakwa. Berdasarkan ketentuan Pasal 195 KUHAP, semua
putusan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka
untuk umum.
2. Macam-Macam Putusan Dalam KUHAP
Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan banwa :
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas
atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini”.
Ketentuan Pasal 1 angka 11 KUHAP diatas, Putusan Pengadilan Negeri
yang dijatuhkan terhadap suatu perkara pidana bisa terbentuk sebagai berikut:
24
1) Putusan pemidanaan
Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman
yang dikemukakan dalam pasal pidana yang didakwakan kepada terdakwa.28
Pasal 193 ayat (1) KUHAP:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana”
Berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, penjatuhan putusan pemidanaan
terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan
berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap
terdakwa. Atau dengan kata lain bahwa apabila menurut pendapat dan penilaian
pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem
pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang telah ditentukan dalam
Pasal 183 KUHAP.
Menurut M. Yahya Harahap,29
Putusan yang menjatuhkan hukuman
pemidanaan kepada seseorang terdakwa tidak lain daripada putusan yang berisi
perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang sisebut
dalam pasal yang didakwakan.
28
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2002, hlm. 354. 29
Ibid.
25
Hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang
dijatuhkan kepada teerdakwa adalah bebas, artinya memberikan kebebasan kepada
hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum
sesuai dengan pasal pidana yang didakwakan. Namun, titik tolak hakim dalam
menjatuhkan pidana harus didasarkan kepada ancaman pidana yang disebutkan
dalam pasal pidana yang didakwakan dan seberapa besar kesalahan terdakwa
dalam perbuatan tindak pidana yang dilakukannya.
Hakim dalam hal menjatuhkan putusan pemidanaan, dapat menentukan
salah satu dari macam-macam hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP
yaitu salah satu dari hukuman pokok dalam Pasal 10 KUHP yakni:
Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim.
Hakim dalam menjatuhkan putusan juga harus melihat status terdakwa
dalam tahanan atau tidak, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 193 ayat (2)
KUHAP yang menyatakan bahwa:
a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan,
dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila
dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP terdapat alasan cukup untuk itu.
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan
putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau
membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.
26
2) Putusan yang membebaskan terdakwa
Putusan pembebasan atau sering juga disebut putusan bebas diatur dalam
Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan “perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah
tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Berdasarkan
ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang
terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat buti yang sah.
Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Berdasarkan dengan Pasal 183 KUHAP diatas, pembentuk undang-
undang mencantumkan macam-macam alat bukti yang sah sebagaimana
tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa:
Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
27
e. Keterangan terdakwa;
3) Putusan lepas dari segala tuntutan
Putusan lepas dari segala tuntutan diatur dalam Pasal 191 ayat (2)
KUHAP yang menyatakan:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
M. Yahya Harahap,30
berpendapat banwa Putusan lepas dari segala
tuntutan, terdakwa bukan dibebaskan dari ancaman pidana tetapi dilepaskan dari
penuntutan.
Terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum harus segera
dibebaskan dari tahanan, sesuai dengan Pasal 191 ayat (3) KUHAP yang
menyatakan:
“Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa
yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika
itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah terdakwa perlu ditahan”
Terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum harus segera
dibebaskan dari tahanan, kecuali ada alasan lain. perintah untuk membebaskan
terdakwa dari tahanan dilakukan oleh jaksa setelah putusan diucapkan dan laporan
tertulis mengenai perintah tersebut dilampiri surat penglepasan yang diserahkan
kepada Ketua Pengadilan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh
empat jam.31
30
Ibid., hlm. 352. 31
Ibid., hlm. 353-354.
28
4) Putusan Bebas
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang
merumuskan bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
M. Yahya Harahap,32
berpendapat mengenai putusan bebas bahwa:
“Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan
bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak)”.
Vrijspraak adalah salah satu dari beberapa putusan hakim yang berisi
pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, manakala perbuatan terdakwa
dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.33
Jadi putusan hakim yang
mengandung suatu pembebasan terdakwa karena peristiwa-peristika yang
disebutkan dalam surat dakwaan, setelah diadakan perubahan atau penambahan
selama persidanagan, bila ada sebagian atau seluruh dinyatakan oleh hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti.34
Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan “perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah
tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Berdasarkan
ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seseorang
terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
32
Ibid., hlm. 347. 33
Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel dalam KUHAP, Ghalia Indonesi, Jakarta,
1986, hlm. 270. 34
Ibid.
29
Putusan bebas ditinjau dari asas pembuktian Pasal 183 KUHAP
merumuskan sebagai berikut:35
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”
Menurut Martiman Prodjohamidjojo,36
Pasal 183 KUHAP mengandung;
1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
2. Dasar-dasar alat bukti yang sah itu keyakinan hakim, yakni bahwa :
a. Tidak terjadi;
b. Terdakwa telah bersalah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, terkandung dua asas
mengenai pembuktian yaitu:
1) Asas minimum pembuktian yaitu asas bahwa untuk membuktikan
kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah;
2) Asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif yang
mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping
kesalahan terdakwa cukup terbukti harus pula diikuti keyakinan hakim
akan kebenaran kesalahan terdakwa;
Ditinjau dari asas pembuktian Pasal 183 KUHAP, pembentuk undang-
undang telah menentukan macam alat bukti secara limitatif sebagaimana
tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Jadi agar dapat menjadi alat bukti
yang sempurna yang dapat menjatuhkan suatu hukuman harus ada kesesuaian
35
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 254. 36
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem pembuktian dan Alat-Alat bukti, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983, hlm. 12.
30
antara alat bukti dengan alat bukti yang lain sehingga mampu menciptakan
keyakinan hakim terhadap kesalahan terdakwa atas tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Penjelasan putusan bebas selain diatur dalam Pasal 191 KUHAP, juga
dapat diperluas dengan syarat-syarat putusan pembebasan atau pelepasan dari
segala tuntutan hukum yang diatur dalam KUHP. Didalam KUHP, Buku Kesatu
Bab III terdapat beberapa pasal yang menghapuskan pemidanaan terhadap seorang
terdakwa.
Jika pada diri seseorang terdakwa terdapat hal-hal atau keadaan yang
ditentukan dalam pasal-pasal KUHP yang bersangkutan, hal-hal atau keadaan itu
merupakan alasan yang membebaskan terdakwa dari pemidanaan,37
antara lain
Pasal 44 KUHP, Pasal 45 KUHP, Pasal 48 KUHP, Pasal 49 KUHP dan Pasal 50
KUHP.
Terdakwa yang diputus bebas harus segera dibebaskan dari tahanan
sesuai Pasal 191 ayat (3) yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa
yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika
itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah terdakwa perlu ditahan”.
Majelis hakim dalam amar putusannya menyebutkan “memerintahkan
terdakwa dibebaskan dari tahanan”. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 191 ayat (3)
KUHAP.
Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 191 ayat (3) KUHAP segera dilaksanakan oleh Jaksa setelah putusan
37
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 348-349.
31
diucapkan. Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang
dilampiri surat pelepasan disampaikan kepada ketua pengadilan yang
bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam
(Pasal 192 ayat (1) dan (2) KUHAP).
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2001 tentang
Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwannya
Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan, menyatakan bahwa:
“Terhadap perkara pidana yang terdakwanya ditahan dan diputus dengan
amar putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari segala
dakwaan (vrijspraak) atau dilepas dari segala tuntutan (ontslag van alle
rechtsvervolging) dengan perintah agar terdakwa segera dikeluarkan dari
tahanan pada saat putusan diucapkan didepan sidang terbuka untuk
umum harus sudah ada setidak-tidaknya ringkasan putusan (extract
vonis) atau setidak-tidaknya segera setelah putusan tersebut diucapkan
agar segera dibuat ringkasan putusan (extrack vonis) guna dapat segera
dieksekusi oleh Jaksa dalam kedudukannya selaku eksekutor dari putusan
Hakim”.
Putusan hakim yang menjatuhkan putusan bebas tidak dapat dimintakan
upaya hukum biasa, dalam hal ini yaitu upaya hukum banding dan kasasi. Hal ini
sesuai dengan Pasal 67 KUHAP dan Pasal 244 KUHAP.
Pasal 67 KUHAP:
“Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas,
lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang
tepatnya penerapan hakim dan putusan pengadilan dalam acara cepat”.
Pasal 244 KUHAP:
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau
penuntut umum dapat mengajukan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.
32
Berdasarkan ketentuan kedua pasal diatas, dapat diketahui bahwa untuk
putusan bebas tidak dapat dimintakan upaya hukum banding maupun kasasi
sebagai upaya hukum biasa.
Djoko prakoso,38
berpendapat:
“Mengenai putusan bebas/Vrijspraak tidak dapat diajukan permohonan
kasasi, hal ini diatur secara tegas dalam undang-undang (Pasal 244
KUHAP), tetapi pasal ini dapat diterobos dengan Keputusan Menteri
Kehakiman RI: M 14-P.W, 07, 03 Tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdapat
dalam Pasal 19 yang menyatakan: “Terhadap putusan bebas tidak dapat
dimintakan banding tetapi demi situasi dan kondisi, demi hukum,
keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan
kasasi”.
Pendapat diatas sesuai dengan ketentuan Pasal 259 ayat (1) KUHAP
yang menyatkan bahwa:
“Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh
Jaksa Agung”.
Kasasi adalah suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari
Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan dari pengadilan-
pengadilan terdahlu, dan ini merupakan peradilan terakhir. Tujuan dari kasasi
ialah untuk menciptakan kesatuan peneraan hukum dengan jalan membatalkan
putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam penerapan
hukum.
38
Djoko Prakoso, Op. Cit., hlm. 288.
33
M. Yahya Harahap berpendapat,39
ada beberapa tujuan utama upaya
hukum kasasi yaitu:
1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu
tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan
penerapan hukum, agar hukum bener-benar diterapkan sebagaimana
mestinya serta apakan cara mengadili perkara benar-benar dilakukan
menurut ketentuan undang-undang.
2. Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi
yang dilakukan oleh Mahamah Agung dalam peradilan kasasi,
adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru
dalam bentuk yurisprudensi.
3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum, tujuan lain
dari pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran
“keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work dan
unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang
menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman
pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya
upaya hukum kasasi, dapat terhindar kesewenangan dan
penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam
memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya.
Kasasi demi kepentingan hukum adalah upaya hukum luar biasa.40
Hal
ini dikarenakan kasasi demi kepentingan hukum diajukan terhadap putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan hanya terbatas pada
putusan Pengadilan Negeri dan Putusan Pengadilan Tinggi.
M. Yahya Harahap,41
berpendapat bahwa:
“Pada hakikatnya kasasi demi kepentingan hukum tidak berbeda tujuannya
dengan permohonan kasasi biasa, sama-sama bertujuan untuk
memperbaiki kesalahan penerapan hukum, keteledoran cara pelaksanaan
peradilan menurut ketentuan undang-undang, serta mencegah terjadinya
tindakan pengadilan yang melampaui batas wewenangnya. Bertitik tolak
dari tujuan koreksi ini, alasan kasasi demi kepentingan hukum pun sama
dan sejajar dengan kasasi biasa seperti yang telah dirinci dalam Pasal 252
ayat (1). Akan tetapi, kalau bertitik tolak dari perkataan demi
kepentingan hukum, berarti tidak hanya terbatas kepada kesalahan yang
disebut Pasal 253 ayat (1). Bahkan meliputi segala segi yang menyangkut
39
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 539-542. 40
Ibid., hlm. 608. 41
Ibid., hlm. 612-613.
34
kepentingan hukum. Baik yang menyangkut pemidanaan, barang bukti,
biaya perkara, penilaian pembuktian, dan sebagainya.
Penjabat yang berwenang mengajukan kasasi demi kepentingan hukum
diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:
“Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetep dari pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh
Jaksa Agung”
Berdasarkan ketentuan Pasal 259 ayat (2) KUHAP, putusan kasasi demi
kepentingan hukum tidak boleh merugikan terdakwa. Selain itu kasasi demi
kepentingan hukum hanya dapat diajukan satu kali saja.
C. Upaya Hukum
1. Pengertian Upaya Hukum
Mengenai pengertian upaya hukum, secara normatif diatur di dalam Bab
I Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang mana menyebutkan:
“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau
kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.”
Undang-undang menyediakan upaya hukum bagi terdakwa maupun
penuntut umum, yakni apabila pihak-pihak tersebut merasa tidak puas akan
kualitas putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan atau putusan tersebut dirasakan
tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan.
Terkait dengan upaya hukum tersebut, maka keadilan yang relevan dalam
hal ini yakni terwujudnya keadilan sosial yang secara inheren disebut dengan
35
keadilan Pancasiila, yakni dengan berpijak pada keadilan distributif sebagai
landasannya dengan melalui sarana keadilan korektif.
2. Bentuk-bentuk Upaya Hukum
KUHAP membedakan upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum
biasa merupakan Bab XVII sedangkan upaya hukum luar biasa Bab XVIII.
Upaya hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Upaya hukum biasa yang terbagi atas:
a. Banding;
b. Kasasi.
2. Upaya hukum luar biasa yang terbagi atas:
a. Kasasi demi kepentingan hukum;
b. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Perbedaan antara upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa adalah
terletak pada:
a. Upaya hukum biasa diajukan terhadap putusan pengadilan yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan upaya hukum luar biasa
diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap;
b. Upaya hukum biasa tidak memerlukan syarat-syarat yang bersifat khusus
atau syarat-syarat tertentu, dalam hal upaya hukum luar biasa hanya dapat
diajukan apabila terpenuhi syarat-syarat tertentu;
c. Upaya hukum biasa tidak selamanya diajukan ke Mahkamah Agung,
sedangkan upaya hukum luar biasa diajukan ke Mahkamah Agung dan
36
diperiksa serta diputus oleh Mahkamah Agung sebagai instansi pertama
dan terakhir.42
a. Upaya Hukum biasa
Upaya hukum biasa merupakan upaya hukum yang dimintakan terhadap
putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya
hukum biasa terdiri dari dua bagian, bagian kesatu tentang Pemeriksaan Banding
dan bagian kedua tentang Pemeriksaan Kasasi.
1. Pemeriksaan Tingkat Banding
Banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang
berkepentingan, supaya putusan pengadilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam
peradilan tingkat banding. Disamping itu, banding merupakan upaya hukum
yang dibenarkan oleh undang-undang dan sifat dari upaya hukum banding
adalah upaya hukum biasa, ditinjau dari segi yuridis, upaya hukum banding
adalah hak yang diberikan undang-undang kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.43
Hal tersebut dapat dilihat di dalam perumusan Pasal 67 KUHAP yang
menyatakan:
“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama”
Adapun putusan pengadilan yang bisa diajukan banding adalah putusan
pengadilan tingkat pertama, yakni44
:
a. Putusan yang bersifat pemidanaan dalam acara biasa;
42
Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op,Cit., hlm 190. 43
M. Yahya Harahap, Op, Cit., hlm 451. 44
Ibid, hlm 194.
37
b. Putusan pemidanaan dalam acara singkat;
c. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima dalam acara
biasa dan singkat;
d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum dalam perkara
acara biasa dan singkat;
e. Putusan dalam perkara acara cepat yang menyangkut perampasan
kemerdekaan terdakwa.
f. Putusan pengadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidik
atau penuntutan.
Pasal 233 ayat (1) KUHAP apabila ditelaah dan dihubungkan dengan
pasal 67 KUHAP maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan
tingkat pertama dapat dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa
atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa
pengeecualian sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 67 KUHAP.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) KUHAP, permintaan
banding boleh diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari
sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa
yang tidak hadir. Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud Pasal 233 ayat
(2) KUHAP ini sudah lewat tanpa diajukan permintaan banding oleh yang
bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan.
2. Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Kasasi adalah salah satu upaya dalam rangkaian penegakan hukum
yang bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum yang berintikan keadilan
dan kebenaran yang hidup di tengah masyarakat. Kasasi yang berarti pembatalan
itu hanya ada pada Mahkamah Agung selaku Pengadilan Negara Tertinggi.
Kasasi hanya dilakukan apabila sudah tidak ada upaya hukum lain yang masih
dapat ditempuh. Pembatalan itu dilakukan terhadap putusan pengadilan penilai
38
fakta yang dinilai tidak sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku.
Tujuannya adalah untuk tercapainya keadilan dan kebenaran serta kesatuan dan
kesamaan penerapan hukum di seluruh wilayah negara. Untuk mewujudkannya,
apabila perlu Mahkamah Agung dengan putusan Kasasinya dapat menciptakan
hukum.45
Kasasi berasal dari Perancis. Kata asalnya adalah casser artinya
memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan
peradilan. Semula berada ditangan raja beserta dewannya yang disebut conseil
du roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan prancis, dibentuk suatu
badan khusus yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi
merupakan badan antara yang menjembatani pembuat undang-undang dan
kekuasaan kehakiman. Pada tanggal 21 Agustus 1790 di bentuk letribunal de
casstion dan pada tahun 1810 de Cour de cassation telah terorganisasi dengan
baik. Kemuadian lembaga kasasi ditiru pula negeri Belanda yang pada gilirannya
dibawa ke indonesia.46
b. Upaya Hukum Luar Biasa
Upaya hukum luar biasa tercantum didalam Bab XVIII KUHAP, yang
terdiri atas dua bagian :
1) Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
2) Peninjauan Kembali Putusan Pengadialan yang Telah Melaporkan
Kekuatan Hukum Tetap.
45
H.M Silaban, Kasasi Upaya Hukum Acara Pidana, Jakarta, Sumber Ilmu Jaya, 1997,
hlm 1. 46
Soedirjo, Kasasi dalam Perkara Pidana, Op, Cit., hlm 1
39
1. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa
Agung karena jabatannya dalam perkara perdata maupun tata usaha negara yang
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat
Banding di semua lingkungan Peradilan. Permohonan kasasi demi kepentingan
hukum dapat diajukan hanya satu kali. Dan putusan kasasi demi kepentingan
hukum tidak boleh merugikan pihak-pihak yang berperkara, artinya ialah tidak
menunda pelaksanaan putusan dan tidak mengubah putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.47
Menurut pasal 259 ayat (1) KUHAP Jaksa Agung dapat mengajukan
satu kali permohonan kasasi terhadap semua putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dari pengadilan selain daripada Mahkamah Agung, demi
kepentingan hukum.
Selanjutnya Pasal 259 ayat (2) mengemukakan, putusan kasasi demi
kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. Dari
ketentuan pasal ini maka kita dapat mengambil patokan yang dapat digunakan,
yaitu:
a. Tidak menjatuhan putusan pemidanaan atas putusan pembebasan;
b. Putusan pidana kasasi demi kepentingan hukum tidak bisa lebih
berat daripada pidana yang telah dijatuhkan;
47
H.M Silaban, Op, Cit., hlm 399.
40
c. Tidak boleh mencabut hak perdata terdakwa jika hal itu tidak
terdapat dalam putusan yang dikasasi.48
Pada umumnya sama saja dengan kasasi biasa, kecuali dalam kasasi
demi kepentingan hukum ini penasehat hukum tidak lagi dilibatkan.
2. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan
Hukum Tetap.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, terhadap putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyatakan, permintaan peninjauan
kembali dilakukan atas dasar berikut.
1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dar segala
tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan.
2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu
telah terbukti, tetapi hal keadaan sebagai dasar dan alasan putusan
yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu
dengan yang lain;
3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pasal 263 KUHAP tidak menyebutkan siapa saja yang dapat
mengajukan peninjauan kembali. Namun jika merujuk ketentuan Pasal 263 ayat
(1) KUHAP, bahwa yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah
48
Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op, Cit., hlm 229
41
terdakwa atau ahli warisnya, maka adalah sangat tidak mungkin karena terdakwa
justru menghindari pemidanaan, sehingga pasal ini secara tersirat memberikan
kesempatan kepada jaksa penuntut umum sebagai instansi yang membuat surat
dakwaan mengajukan peninjauan kembali, sebab suatu perbuatan yang
didakwakan telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti dengan suatu
pemidanaan. Jaksa penuntut umum yang mewakili masyarakat merasa tidak puas
atas putusan tanpa pemidanaan.49
Adapun putusan peninjauan kembali dapat berupa berikut ini:
a) Permintaan dinyatakan tidak dapat diterima;
b) Putusan yang membenarkan alasan pemohon;
c) Putusan yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan
semula.50
3. Upaya Hukum Kasasi
Berdasarkan esensi Pasal 244 KUHAP dan pendapat kalangan doktrina,
bahwa upaya hukum kasasi merupakan suatu hak yang dapat dipergunakan atau
dikesampingkan oleh terdakwa atau penuntut umum. Apabila terdakwa atau
penuntut umum tidak menerima putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat
bawahnya maka dapat mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah
Agung terhadap pelaksanaan dan penerapan hukum yang telah dijalankan oleh
pengadilan dibawahnya kecuali terhadap putusan yang mengandung
pembebasan.51
49
Ibid, hlm 232-233 50
Ibid, hlm 235-236 51
Ni Nengah Adiyaryani, “Upaya Hukum Kasasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap
Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam Sistem Peradilan Indonesia”(Thesis Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro,2010), hlm 6.
42
Alasan pengajuan Kasasi telah ditentukan secara limitatif oleh undang-
umdamg yaitu di dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Alasan kasasi sebagaimana
dimaksud Pasal 253 ayat (1) KUHAP terdiri dari:
a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau tidak
diterapkan sebagaimana mestinya;
b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya.
Putusan pengadilan mana yang dapat diajukan permohonan kasasi
adalah diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP
putusan perkara yang dapat diajukan permohonan kasasi adalah semua putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan, kecuali
terhadap putusan:
i. Mahkamah Agung sendiri, dan
ii. Putusan bebas
Berkaitan dengan putusan bebas tidak dapat diajukan permohonan
kasasi, dalam prakteknya ketentuan Pasal 244 KUHAP ini telah disingkirkan
oleh Mahkamah Agung secara centra logem, yakni praktek dan penerapan
hukum yang secara terang-terangan bertentangan dengan undang-undang.52
Sejarah penerobosan terhadap larangan Pasal 244 KUHAP ini malah
datangnya dari pihak eksekutif sendiri dalam hal ini adalah Departemen
Kehakiman, yakni dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman
tanggal 10 Desember 1983 No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan Lampiran Keputusan
52
M.Yahya Harahap, Op,Cit., hlm 544
43
dengan tanggal dan nomor yang sama. Pada angka 19 lampiran dimaksud
terdapat penegsan yang berupa pedoman:
a. Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding;
b. Tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini
akan didasarkan pada yurisprudensi.
Selang 5 (lima) hari setelah adanya Keputusan Menteri Kehakiman No.
M.14-PW.07.03 Tahun 1983, yakni pada tanggal 15 Desember 1983 lahir
Yurisprudensi pertama dalam Putusan Mahkamah Agung Reg. No.
275K/Pid/1983.
Untuk mengetahui siapa yang berhak mengajukan permohonan kasasi,
di dalam Pasal 244 KUHAP disebutkan yang berhak adalah terdakwa, dan/atau
penuntut umum baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Terdakwa
saja secara sendirian dapat mengajukan permohonan kasasi, demikian juga
halnya dengan penuntut umum. Namun tidak menutup kemungkinan baik
terdakwa maupun penuntut umum sama-sama mengajukan permohonan kasasi.
Kalau melihat perumusan Pasal 244 KUHAP, maka pasal ini
mengesampingkan asas terdakwa berhak didampingi penasihat hukum. Namun
melihat ketentuan Pasal 54 KUHAP yang menegaskan tersangka atau terdakwa
berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selam
dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Jadi mengacu pada ketentuan
Pasal 54 KUHAP terdakwa berhak menunjuk kuasanya untuk mengurus
kepentingannya mengajukan permohonan kasasi.
44
Mengenai tanggang waktu pengajuan permohonan kasasi, diatur dalam
Pasal 245 ayat (1) KUHAP yang menegaskan:
1) Permohonan Kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera
Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara pada tingkat pertama
2) Permohonan diajukan dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan
yang berhak dikasasi diberitahukan kepada terdakwa. Terlambat dari
batas waktu 14 hari, mengakibatkan hak untuk mengajukan
permohonan kasasi menjadi gugur sebagaimana ditegaskan Pasal 246
ayat (2)
M. Yahya Harahap53
menjelaska apabila permohonan kasasi diajukan
terlambat dari tenggang waktu 14 hari, dengan sendirinya menurut
hukum:
1. Haknya untuk mengajukan kasasi gugur;
2. Terdakwa dianggap menerima putusan;
3. Untuk itu panitera membuat akta penerimaan putusan.
Apabila permohonan kasasi benar-benar telah memenuhi syarat formal
yang ditentukan Pasal 244, 245, dan 248 KUHAP, maka permohonan kasasi
adalah sah. Berarti dari segi formal permohonan kasasi dapat diterima. Jika
secara formal permohonan kasasi dapat diterima, barulah Mahkamah Agung
berwenang memeriksa pokok perkara atau mengenai hukum yang bersangkutan
dengan kasasi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 245 KUHAP dimana apabila
Mahkamah Agung setelah memeriksa permohonan kasasi berpendapat
permohonan telah memenuhi syarat formal sebagaimana ditentuka Pasal 245,
246, dan 248 KUHAP barulah Mahkamah Agung dapat memeriksa mengenai
hukumnya serta memutuskan untuk menolak atau mengabulkan.54
Pasal 254 KUHAP merumuskan bahwa dalam hal Mahkamah Agung
memeriksa permohonan kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana
53
Ibid, hlm 549-550 54
Ibid, hlm 584.
45
dimaksud dalam Pasal 245, 246, dan 247 KUHAP mengenai hukumnya
Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan
kasasi.
Pemeriksaan kasasi dilakukan apabila keberatan yang diajukan oleh
pemohon kasasi masih dalam wewenang pemeriksaan kasasi yang telah diatur
dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, yaitu mengenai penerapan hukum, cara
mengadili, dan pelampauan wewenang. Diluar ketentuan pasal 253 ayat 1
KUHAP, menurut putusan Mahkamah Agung No: 864 K/Pid/1986, apabila
dalam putusan yang bersangkutan terdapat hal-hal yang bertentangan, maka hal
itupun dapat dijadikan alasan kasasi. Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung
menyatakan bahwa telah terdapat hal-hal yang bertentangan dalam putusan
Pengadilan Tinggi, yakni terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan
dari. segala dakwaan, akan tetapi barang bukti dalam perkara tersebut
dinyatakan dirampas untuk negara.
Dalam hal pemeriksaan alat bukti, alat bukti sebagaimana diatur dalam
Pasal 185 sampai dengan 189 KUHAP dapat saja dipertimbangkan dalam
pemeriksaan kasasi. Namun yang dipertimbangkan bukan penilaian atas alat
bukti itu, tetapi apakah judex fictie telah menggunakan peraturan hukum yang
mengatur alat bukti, atau apakah telah menggunakan pengaturan hukum itu
sebagaimana mestinya dalam menilai dan mengunakan alat bukti untuk
menentukan putusannya.55
55 M.H Silaban, Op, Cit, hlm 233.
46
Dalam pemeriksaan kasasi tidak jarang alat-alat bukti ini dibahas, dan
berdasarkan pembahsan itu ternyata ada permohonan dikabulkan. Pasal 254
KUHAP menyebutkan bahwa;
“Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245,
Pasal 246 dan Pasal 247 mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat
memutus menolak atau mengabulkan permohonan kasasi”
Selanjutnya dalam Pasal 256 KUHAP disebutkan;
“Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 254, Mahkamah Agung membatalkan putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam hal itu berlaku ketentuan
Pasal 255”
Pasal 255 ayat (1) KUHAP menyebutkan;
“Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah
Agung Mengadili sendiri perkara tersebut”
Berdasarkan pada ketentuan KUHAP, putusan Mahkamah Agung hanya
berupa menolak atau mengabulkan permohonan kasasi. Namun pada dasarnya
putusan Mahkamah Agung dapat diperinci sebagai berikut:
1. Putusan yang menyatakan kasasi tidak dapat diterima;
2. Putusan yang menolak permohonan kasasi;
3. Putusan yang mengabulkan permohonan kasasi.
Dalam menentukan berat ringannya hukuman yang dijatuhkan, hakim
selalu mendasarkan pada pertimbangan ada atau tidaknya dan seberapa
banyaknya keadaaan yang memberatkan dan meringankan sebagaimana diatur
dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP. Hakim bebas untuk menentukan
seberapa berat hukuman yang akan dijatuhkannya asalkan masih dalam batas
47
paling rendah satu hari (Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) KUHP), dan
paling tinggi adalah selama maksimal hukuman sebagaimana diatur dan diancam
dalam pasal yang didakwakan.
D. Kesalahan Menurut Hukum Pidana
1. Pengertian Kesalahan
Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dapat disamakan dengan
pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana; didalamnya terkandung
makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya. Jadi,
orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana berarti bahwa dapat dicela atas
perbuatannya. Kesalahan dalam arti yang luas, meliputi:
1. Kesengajaan;
2. Kelalaian/ kealpaan (culpa);
3. Dapat dipertanggungjawabkan;
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya memuat unsur-unsur, antara lain:
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku (schuldfahigkeit
atau zurechnungsfahigkeit).
2. Hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan.
3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan
pemaaf dan alasan pembenar.
Jika ketiga unsur tersebut terpenuhi maka orang atau pelaku yang
bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungan jawab
48
pidana, sehingga bisa dipidana. Oleh karena itu harus diingat bahwa untuk adanya
kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungan jawab pidana) orang yang
bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat
melawan hukum. Kalau ini tidak terpenuhi, artinya jika perbuatannya tersebut tidak
melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk menerapkan kesalahan kepada si
pelaku. Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak
dengan sendirinya mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela
atas perbuatan itu.
Maka dari itu, kita harus senantiasa menyadari akan adanya 2 (dua) keadaan
(yang saling berpasangan dan terkait) dalam syarat-syarat pemidanaan ialah adanya:
1. Dapat dipidananya perbuatan, atau memenuhi sifat melawan hukum
(strafbaarheid van het feit).
2. Dapat dipidananya pelaku atau terpenuhinya unsur kesalahan (strafbaarheid
van de persoon).
2. Kealpaan Menyebabkan Matinya Orang
Pasal 359 KUHP merumuskan:
“Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman
kurungan selama-lamanya satu tahun”
Perbuatan dengan mana karena salahnya sehingga menyebabkan orang
lain meninggal dunia oleh pembentuk undang-undang diatur di dalam Buku II
Bab XXI Pasal 359, 360, dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
rumusannya di dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut:
49
“Hij aan wiens schuld de dood van een ander te wijten is, wordt gestraft
met gevangenisstraf van ten hoogste een jaar of hechteins van ten
hoogste negen maanden”56
yang artinya:
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan meninggalnya orang lain,
dipidana dengan pidana penjara selamalamanya satu tahun atau pidana
kurungan selama-lamanya sembilan bulan”
Dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1960 tentang Perubahan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Tahun 1960 No. 1,
ancaman-ancaman pidana yang ditentukan dalam Pasal 359 KUHP diatas itu
telah diperberat,57
sehingga rumusan yang ada saat ini sebagaimana diatur di
dalam Pasal 359 KUHP adalah berbunyi sebagai berikut:
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan meninggalnya orang lain,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana
kurungan selama-lamanya satu tahun.”
Dari rumusan Pasal 359 KUHP tersebut di peroleh sejumlah unsur-
unsur yang dapat kita bagi menjadi :58
1) Unsur-unsur Subjektif pada Pasal 359 KUHP tersebut, yaitu “karena
kesalahannya”.
2) Unsur-unsur Objektif pada Pasal 359 KUHP tersebut, yaitu
“menyebabkan orang mati”
Unsur karena salahnya merupakan unsur subjektif yang melekat pada
sikap batin terdakwa dalam melakukan perbuatannya. Undang-undang sendiri
tidak memberikan penjelasannya tentang apa yang dimaksud dengan schuld atau
culpa tersebut. Memorie Van Toelichting hanya menjelaskan sedikit tentang arti
56 ENGELBRECHT, De Wetboeken hlm 1352. 57 P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm 176. 58
H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Alumni, Bandung, 1986, hlm
109.
50
dari culpa yang mengatakan bahwa “schuld is de zuivere tegenstelling van opzet
aan de eene kant, van toeval aan de andere zijde” yang artinya schuld (culpa) itu
di satu pihak merupakan kebalikan yang murni dari opzet dan di lain pihak ia
merupakan kebalikan dari kebetulan.59
“Van Hammel dalam pendapatnya yang dikutip oleh Lamintang,60
menyebutkan bahwa schuld sebenarnya terdiri dari 2 (dua) unsur,
masing-masing yaitu “het gemis aan de nodige voor zienigheid” atau
kurangnya perhatian terhadap kemungkinan yang dapat timbul, dan “het
gemis aan de nodige voorzichtigheid” atau tidak adanya kehati-hatian
yang diperlukan.”
Schuld atau kesalahan atau kelalaian atau kulpa menurut ilmu
pengetahuan mempunyai 2 (dua) syarat:61
1) Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan kurang hati-hati
atau kurang waspada.
2) Pelaku harus dapat membayangkan timbulnya akibat karena
perbuatan yang dilakukannya dengan kurang hati-hati itu.
Penentuan kesalahan ini ditentukan bahwa meskipun pelaku dapat
membayangkan akibat yang mungkin terjadi kaarena perbuatannya itu, ia tidak
melakukan tindakan-tindakan atau usaha-usaha untuk mencegah timbulnya
akibat. Apabila pelaku berhati-hati atau waspada ia akan melakukan tindakan-
tindakan terlebih dahulu guna mencegah timbulnya suatu akibat itu yang
sebelumnya telah dibayangkan.62
59
P.A.F Lamintang, Op,Cit., hlm 178 60
Ibid 61
H.A.K Moch Anwar, Op,Cit., hlm 110 62
Ibid
51
Tindak Pidana karena salahnya menyebabkan matinya orang lain
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP merupakan suatu culpoos
misdrijf atau suatu kejahatan yang harus dilakukan “tidak dengan sengaja”.
Arrest Hoge Raad tanggal 14 Nopember 1921 menyebutkan:
“Mededaderschap aan een culpoos misdrijf is ook aanwezig, wenner de
door ieder der daders geplegde handelingen of verzuimen, tezamen, en
in onderling verband, het door de wet niet gewilde gevold hebben
teweggebracht. Rechtstreekse of bewuste samenwerking is hievoor niet
vareist”
Yang artinya : “turut melakukan suatu culpoos misdrijf itu dapat terjadi
jika tindakan-tindakan atau kelalaian-kelalaian dari tiap-tiap peserta
secara bersama-sama dan secara timbal balik telah menyebabkan
timbulnya akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Untuk
adanya mededaderschap ini tidak disyaratkan adanya kerjasama yang
sifatnya langsung atau disadari”.63
“Lamintang64
menyebutkan bahwa kata mededaderschap diterjemahkan
dengan kata “turut melakukan”. Bentuk delneming atau keturutsertaan
kedua yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP itu ialah
medeplegen atau turut melakukan. Karena dalam bentuk keturutsertaan
ini seorang pelaku dan seorang atau beberapa orang yang turut
melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya, maka bentuk
keturutsertaan ini juga disebut mededaderschap.”
Apabila beberapa orang secara bersama-sama telah melakukan tindak
pidana, maka tiap-tiap peserta dalam tindak pidana yang bersangkutan harus
dipandang sebagai mededader dari peserta atau dari peserta-peserta yang lain di
dalam tindak pidana.65
63 H.R. 14 November 1921, N.J. 1992 hal 179, W. 10842 dalam P.A.F. Lamintang, Op,
Cit, hlm 188. 64 P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm 189. 65
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1984
hlm 588
52
E. Kejahatan Pemalsuan Surat
Pasal 263 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara selama 6 tahun”
Pasal 263 ayat (1) mengandung 2(dua) jenis perbuatan yang dilarang
yaitu membuat surat palsu dan memalsukan surat. Kejahatannya disebut
pemalsuan surat. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 263 ayat (1) adalah
sebagai berikut:
Unsur obyektif:
a. Membuat surat palsu,
b. Yang dapat:
1. Menerbitkan sesuatu hak;
2. Menerbitkan suatu perjanjian (perikatan)
3. Menimbulkan pembebasan suatu hutang
4. Diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal
Unsur Subyektif:
Dengan maksud:
a. Untuk mempergunakan atau memakai surat itu:
Seolah-olah asli dan tidak palsu;
b. Pemakaian atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan
kerugian66
Membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada
keseluruhannya. Adanya surat ini karena dibuat secara palsu. Surat ini
mempunyai tujuan untuk menunjukkan bahwa surat itu seakan-akan berasal dari
orang daripada penulisnya.
66
Moch Anwar, hlm 188-189.
53
Salah satu unsur objektif dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) adalah
adanya surat itu adalah diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal.
Terhadap sifat ini diadakan pembatasan, yaitu berdasarkan sifatnya harus
memiliki kekuatan pembuktian. Ketentuan diperuntukkan guna pembuktian
harus menimbulkan akibat kekuatan pembuktian, akibat kekuatan pembuktian
mana harus didasarkan atas sesuatu kekuasaan/kewenangan yang dapat
memberikan kekuatan pembuktian pada beberapa jenis surat tertentu.67
F. Kriminal Malpraktik
1. Pengertian Kriminal Malpraktik
Secara umum, pelayanan kesehatan dapat dibedakan dalam 2 (dua)
macam yaitu pelayanan kedokteran (medical services) dan pelayanan kesehatan
publik (public health services).
Indonesia sebagai suatu negara yang berlandaskan hukum, maka sesuai
dengan sifat dan hakikatnya, peranan hukum sangatlah besar peranannya dalam
mengatur setiap hubungan hukum yang timbul. Pada hakikatnya hukum
menghendaki adanya penetaan hubungan antara manusia, termasuk juga
hubungan antara dokter dengan pasien, sehingga kepentingan masing-masing
dapat terjamin dan tidak ada yang melanggar kepentingan pihak lain.68
Berkaitan dengan penyebutan istilah/terminologi hukum “legal term”
yang digunakan dan berlaku di Indonesia, yakni Undang-Undang No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, didalamnya sengaja tidak menggunakan istilah
67 Ibid, hlm 191. 68
Veronica Komalawati, Peranan Informed Concent Dalam Transaksi Terapeutik, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm 73.
54
“malpraktik pidana”, karena terjemahan secara harfiahnya adalah dari kata
criminal malpractice. Ini berarti ada malpraktik perdata atau civil malpractice.
Kepustakaan menyebutkan dengan menggunakan beberapa terminologi
yaitu malpractie, malpraxis, legal malpractice, medical malpractice,
maltreatment, malum, atau bahkan malum in se. Jelas yang dimaksudkan
didalamnya adalah dalam kaitannya dengan hukum kedokteran atau medical
malpractice.69
Soerjono Soekanto,70
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
malpraktik adalah kelalaian-kelalaian yang terjadi dalam praktik pelayanan
kesehatan.
Menurut Yusuf Hanafiah,71
malpraktik adalah kelalaian seorang dokter
untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
di lingkungan yang sama.
Berbeda dengan beberapa pengertian diatas, diantara para ahli belum
ada kesepakatan tentang pengertian malpraktik tersebut, diantaranya adalah
pendapat Guwandi72
yang menyatakan bahwa:
“Malpraktik adalah tidak sama dengan kelalaian. Kelalaian memang
masuk dalam arti malpraktik, tetapi didalam malpraktik tidak selalu
harus terdapat unsur kelalaian. Malpraktik mempunyai pengertian lebih
69
Periksa Black’s Law Dictionary, 5th edition, West Publishing Co., St. Paul Minn.,
1979, hlm 861-865 yang menyebutkan malpraxis malpractice sebagai “unskillful management or
treatment, particulary applied to the neglect or unskillfull management of a physician, surgeon, or
aphothecacy”. 70
Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadja Karya,
Bandung, 1987, hlm 153 71
Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran, dan Hukum Kesehatan (Edisi 3),
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1998, hlm 87. 72
Guwandi, Kelalaian Medik (Medical Negligence), Fakultas Kedokteran UI, Jakarta,
2004, hlm 21.
55
luas daripada negligence (kelalaian). Karena selain mencakup arti
kelalaian, istilah malpraktik juga mencakup tindakan-tindakan yang
dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan
melanggar undang-undang. Dalam arti kesengajaan tersirat adanya
motif (mens rea, guilty mind), sedangkan arti negligence lebih
berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati,
acuh, sembrono, sembarangan, tak peduli dengan kepentingan orang
lain, namun yang timbul bukanlah sebagai tujuan.”
Berbicara tentang kehati-hatian, Hermien Hadiati Koeswadji73
berpendapat:
“Batasan pengertian tentang kurang penghati-hatian yaitu bahwa untuk
menentukan apakah seseorang itu telah berbuat tidak hai-hati adalah
kalau orang itu dapat berbuat lain agar akibat yang dilarang oleh
undang-undang dan diancam dengan hukuman itu tidak timbul. Dalam
keadaan demikian maka yang menjadi tolok ukur adalah pikiran dan
kemampuan orang itu untuk menentukan apakah apakah setiap orang
yang termasuk kategori yang sama dengan itu, dan dalam kondisi serta
dengan sarana akan berbuat lain. Apabila orang lain yang termasuk
dalam kategori yang sama itu akan berbuat sama dengan dirinya maka
dapat dikatakan ada suatu kealpaan/kelalaian. Namun sebaliknya, bila
orang lain tersebut akan berbuat lain dengan apa yang dilakukannya itu,
maka dapat dikatakan bahwa ia telah berbuat kurang hati-hati, lalai,
alpa.”
2. Dokter dalam Melaksanakan Profesi Medik
Sehubungan dengan adanya risiko yang cukup tinggi yang erat
kaitannya dengan tanggungjawab dokter selaku profesional, maka besar
kemungkinan dilakukan upaya untuk mengalihkan resiko melalui berbagai cara,
antara lain dengan persyaratan eksonerasi yaitu pembatasan tanggung jawab.74
Untuk itu perlu dipahami terlebih dahulu sifat tanggung jawab hukum
dokter dalam pelayanan medik dalam hal antara tindakan dokter dan sejauh
mana dokter dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakannya dalam
73 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum
dalam mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1998, hlm 142. 74 Veronica Komalawati, Op.Cit. hlm 93.
56
menjalankan profesi medik. Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan
diantaranya:
a) Persetujuan Atas Dasar Informasi (Informed Concent)
Pada hakikatnya persetujuan atas dasar informasi atau lebih dikenal
dengan istilah informed concent merupakan alat untuk memungkinkan
penentuan nasib sendiri yang berfungsi dalam praktek dokter. Secara konkret
informed concent adalah untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnostik
maupun terapeutik, pada asasnya senantiasa diperlukan persetujuan pasien yang
bersangkutan.
Ketentuan Umum Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 menyatakan bahwa semua tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien, harus mendapat persetujuan. Persetujuan tersebut
diberikan oleh pasien setelah mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya
tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang ditimbulkannya.
Informed concent dapat dinyatakan secara lisan, bahkan dapat
dinyatakan dengan sikap menyerah pada prosedur yang telah dispesifikasikan.
Selanjutnya di dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran disebutkan :
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan;
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksudkan ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap;
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan resiko;
57
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan;
b) Tanggung jawab Dokter Dalam Melaksanakan Profesi Medik
Berkaitan dengan dokter melakukan suatu kesalahan/kelalaian medik
yang mana bukan disebabkan karena praktek yang buruk/jelek melainkan karena
tidak diikutinya prosedur medik, maka harus diketahui bahwa seseorang itu
dapat dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dipenuhi 3(tiga) hal yaitu:
1) Dapat menginsafi makna yang senyatanya dari perbuatannya;
2) Dapat menginsafi perbuatannya itu tidak dipandang patut
dalam pergaulan masyarakat; dan
3) Mampu untuk menentukan niat/kehendaknya dalam melakukan
perbuatn tersebut.75
c) Dokter sebagai salah 1 (satu) pihak di dalam perkara pidana
Dalam hal dimana dokter menjadi salah 1 (satu) pihak
(kesalahan/kelalaian dokter dalam menjalankan tugas profesi) ketika sudah
masuk dalam proses persidangan, akan muncul kesulitan ketika saksi ahli untuk
perkara ini juga adalah dokter. Sebetulnya keterangan ahli disini juga dapat
diberikan pada saat pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang
dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingast sumpah.
“Van Bemmelen76
menyatakan dokter pun dapat dikenakan unsur schuld,
karena yang dimaksudkan dengan schuld dalam bidang hukum pidana
itu hanyalah schuld yang in foro civil disebut sebagai culpa lata atau
grove schuld atau kesalahan-kesalahan yang sifatnya menyolok saja.
75 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hlm 45. 76 Ibid, hlm 185.
58
Jika kesalahan seperti itu dihubungkan dengan tindakan yang perlu
dilakukan oleh seorang dokter dalam jabatannya, kiranya dari dokter
tersebut orang menghendaki bahwa ia bukan hanya harus memiliki cara
berfikir, pengetahuan atau kebijaksanaan yang lebih baik dibandingkan
dengan cara berfikir, pengetahuan atau kebijaksanaan yang dimiliki
orang awam pada umumnya, akan tetapi dari dirinya orang juga
mengharapkan bahwa ia akan berbuat sesuai dengan kepandaian dan
pengetahuan yang ia miliki, seperti yang akan dilakukan oleh rekan-
rekan sejawatnya pada umumnya dalam hal mereka itu menghadapi
masalah yang sama dalam keadaan yang sama pula.”
Jika tindakan yang dilakukan seorang dokter hanya melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka tidak bisa masuk dalam
kriminal malpraktik, maka ia hanya melakukan malpraktek etik77
, dan bukanlah
suatu kelalaian sebagaimana dimaksud di dalam hukum pidana.
77
Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999, hlm. 89.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan tipe pendekatan kasus (case approach) yang
merupakan pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma
atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-
kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam Yurisprudensi
terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian78 tentang Putusan Mahkamah
Agung Nomor 365 K/Pid/2012 Terpidana dr. Dewa Ayu, dr. Hendri Siagian dan dr.
Hendy Simanjuntak terkait upaya hukum kasasi yang diajukan terhadap putusan
bebas.
B. Metode Penelitian
Masalah yang akan diteliti ruang lingkupnya di bidang hukum, yaitu
hukum sebagai aturan hidup manusia untuk dapat mewujudkan ketertiban dan
keadilan. Sebagai aturan hidup manusia huku itu bersifat normatif, yang terdiri
dari norma-norma (kaidah, patokan, ketentuan) yang tertulis dalam bentuk
perundang-undangan dan yang tidak tertulis dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan
berperilaku yang tetap dalam bentuk hukum adat yang hidup dalam masyarakat.79
78
Johnnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, 2006, hlm. 321. 79
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I
Cetakan III, Pustaka Kartini, Jakarta, 1985, hlm. 387.
60
C. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang diguakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi
penelitian preskriptif. Ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,
validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.80
Analitis karena kemudian akan dilakukan analisis terhadap berbagai aspek yang
diteliti dengan asas hukum, kaidah hukum dan berbagai pengertian hukum yang
berkaitan dengan penelitian ini.
. Analitis berarti kemudian akan dilakukan analisis terhadap berbagai
aspek yang akan diteliti dengan asas hukum kaedah hukum, dan berbagai
pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.81
Dimana hal itu
merupakan kegiatan pendahuluan yang sangat mendasar. Sebelum menemukan
norma hukum in contreto haruslah diketahui lebih dahulu hukum positif apa yang
berlaku.82
Konsepsi legistis-positivistis, yang mengemukakan bahwa hukum itu
identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga
atau pejabat negara yang berwenang.
D. Jenis dan Sumber Data
Penelitian masalah ini menggunakan data sekunder yaitu data-data yang
diperoleh dari penelitian kepustakaan dan hasil dokumentasi penelitian orang lain
80 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta, 2011,
hlm. 22. 81
Ronny Hanatijo, Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia, Jakarta, 1998, hlm
97-98. 82
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, hlm. 120-121
61
dalam bentuk buku-buku ilmu hukum83
. Bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat secara umum (Perundang-undangan) atau
mempunyai kekuatann mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan
(seperti : kontrak, konvensi, dokumen hukum)”84
yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti untuk selanjutnya dikaji senagai satu
kesatuan yang utuh. Penelitian menggunakan bahan hukum primer
yang terdiri dari:
a. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar
1945.
b. Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
i. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana;
ii. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana;
iii. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan;
iv. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran;
83 Hilmawan Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar maju, Bandung, 1995, hlm. 65. 84 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2004, hlm. 82.
62
v. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti :
a) Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/Pid/2012 Terpidana dr.
Dewa Ayu, dr. Hendri Siagian dan dr. Hendy Simanjuntak.
b) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/PER/Menkes/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, semisal kamus hukum.
E. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan
pengambilan data dari tempat objek, sehingga antara das sollen dan das sein
saling memiliki keterkaitan. Metode Kepustakaan adalah cara pengumpulan data
dengan melakukan mencari, mencatat, menginventarisasi dan mempelajari data–
data yang berupa bahan–bahan pustaka dan literatur.
F. Metode Pengolahan Data
Seluruh data yang diperoleh melalui studi kepustakaan akan diolah secara
reduksi, merangkum dan memfokuskan hal-hal yang pokok dan penting dari
sekumpulan bahan hukum, sehingga menjadi ringkas, disusun secara sistematis
dan mudah dipahami. Sebelumnya dilakukan proses Editing yaitu memeriksa data
63
yang diperoleh untuk menjamin apakah data itu dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan kenyataan.
G. Metode Penyajian Data
Pengumpulan bahan hukum dulakukan dengan inventarisasi, kemudian
dicatat sesuai dengan relevansinya berkaitan dengan materi yang menjadi objek
penelitian yang selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Dalam penelitian ini data akan disajikan dalam bentuk teks naratif, yaitu
suatu penyajian data dalam bentuk uraian secara sistematis, logis dan rasional
sesuai dengan masaalh dan tujuan utama penelitian.
H. Metode Analisa Data
Data penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif. Dalam analisis kualitatif digunakan model analisis isi. Pada analisis ini
tidak menggunakan alat statistik, akan tetapi dilakukan dengan membaca tabel-
tabel, grafik-grafik, atau angka-angka yang tersedia kemudian melakukan uraian
dan penafsiran.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Dunia ilmu sudah sejak lama merintis disiplin baru sebagai cabang dalam
ilmu hukum, yaitu hukum kedokteran atau hukum medik sebagai terjemahan dari
“medical law” untuk membedakannya dengan hukum kesehatan “health law”.
Memang pada saat ini negara kita belum memiliki hukum kedokteran
yang dalam arti tersusun dalam suatu undang-undang tersendiri. Produk hukum
yang ada barulah hukum kesehatan yang dimuat dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan. Bagaimana halnya dengan Undang-Undang No. 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, undang-undang ini sudah mengatur
dunia kedokteran secara keseluruhan. Hanya saja didalamnya belum diatur secara
tegas tentang bagaimanakah penyelesaian sengketa medik dalam hal tindakan
dokter yang dikualifisir sebagai criminal malpractic.
Di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran tidak dijelaskan sejauh
mana proses hukum berperan dalam penyelesaian sengketa medik. Di dalam Pasal
55 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
disebutkan:
“Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia”
65
Selanjutnya di dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran dinyatakan:
“Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas
tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran
dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia”
Merujuk pada pengaturan diatas, bahwa ketika ada tindakan dokter atau
dokter gigi yang yang karena tindakannya itu sehingga muncul pengaduan dari
pasien, maka penyelesaiaanya adalah dilakukan secara intern dunia kedokteran.
Putusan bersalah atau tidaknya dokter yang melakukan kesalahan juga ada pada
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Secara konsepsi hukum, ini tidak menimbulkan masalah karena memang
MKDKI adalah lembaga yang independen. Namun di dalam praktek penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh MKDKI menimbulkan masalah di masyarakat.
Muncul banyak putusan dari MKDKI yang sifatnya lebih menguntungkan pihak
dokter. Disisni dipertanyakan seberapa jauh MKDKI bisa berlaku independen
dalam menjalankan tugasnya. Bahkan bisa kita lihat dalam kasus dr. Dewa Ayu
dkk. yang mana mengakibatkan kematian atas pasien Siska Makatey, dan dalam
putusannya dr. Dewa Ayu dkk. diputus tidak terbukti telah melakukan criminal
malpractic.
Kasus dr. Dewa Ayu dkk. ini awalnya sudah diselesaikan oleh Majelis
Kode Etik Kedokteran (MKEK) dan diputuskan bahwa perbuatan dr. Dewa Ayu
hanyalah bersifat pelanggaran etik kedokteran. Karena dirasa kurang transparan
dan kurang memenuhi rasa keadilan maka diajukan pengaduan ke Pengadilan
66
Negeri Manado, dan kasus ini pun bergulir sampai tingkat kasasi di Mahkamah
Agung.
Hasil penelitian ini mendasarkan pada data sekunder yakni Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia (M.A.R.I) dalam perkara Nomor
365K/Pid/2012, dan diperoleh data sebagai berikut:
1. Terdakwa
(1) Nama lengkap : dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani;
Tempat lahir : Denpasar;
Umur/tanggal lahir : 35 tahun/ 23 April 1975;
Jenis kelamin : Perempuan;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat tinggal :Jalan Parigi VII No.10, Kecamatan
Malalayang, Kota Manado;
Agama : Hindu;
Pekerjaan : Dokter;
(2) Nama lengkap : dr. Hendri Simanjuntak;
Tempat lahir : Riau;
Umur/tanggal lahir : 35 tahun/ 14 Juli 1975;
Jenis kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
67
Tempat tinggal :Kelurahan Malalayang Satu Barat,
Lingkungan I, Kecamatan Malalayang
Kota Manado;
Agama : Kristen Protestan;
Pekerjaan : Dokter;
(3) Nama lengkap : dr. Hendy Siagian;
Tempat lahir : Sorong;
Umur/tanggal lahir : 28 tahun/14 Januari 1983;
Jenis kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat tinggal :Kelurahan Bahu, Lingkungan I Kecamatan
Malalayang, Kota Manado;
Agama : Kristen Protestan;
Pekerjaan : Dokter;
2. Duduk Perkara
Pada tanggal 10 April 2010 pada pukul 22.00 WITA Siska Makatey
menjalani operasi Cito Secsio Sesaria bertempat di Ruangan Operasi Rumah
Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado. Dalam operasi
tersebut dilakukan oleh masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani
(Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian
(Terdakwa III).
68
Bahwa pada waktu melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap
korban Siska Makatey yaitu pada saat korban Siska Makatey sudah tidur
terlentang di atas meja operasi kemudian dilakukan tindakan asepsi anti septis
pada dinding perut dan sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain
operasi kecuali pada lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan
pembiusan total.
Selama operasi berlangsung, dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai dokter
yang melakukan operasi mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada
rahim milik korban kemudian bayi yang berada di dalam rahim korban diangkat
dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim korban dijahit sampai
tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya
dinding perut milik korban dijahit.
Adapun dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai asisten operator
I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten operator II (dua)
membantu untuk memperjelas lapangan operasi yang dilakukan oleh dr. Dewa
Ayu (Terdakwa I) sebagai pelaksana operasi/operator yang memotong,
menggunting dan menjahit agar lapangan operasi bisa terlihat agar
mempermudah operator yaitu dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) dalam melakukan
operasi.
Sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para
Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang
kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi
terhadap diri korban jika operasi cito secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap
69
diri korban dan Para Terdakwa sebagai dokter yang melaksanakan operasi cito
secsio sesaria terhadap diri korban tidak melakukan pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang
lainnya sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban dianestesi/ dilakukan
pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh
per tujuh puluh) dan pada waktu kurang lebih pukul 20.10 WITA, hal tersebut
telah disampaikan oleh saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp. An. pada bagian
Anestesi melalui jawaban konsul kepada bagian kebidanan bahwa pada
prinsipnya disetujui untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko
tinggi, oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan
yang bisa terjadi, tetapi pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan
setelah pelaksanaan operasi selesai dilakukan kemudian pemeriksaan jantung
tersebut dilakukan setelah dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) melaporkan kepada saksi
Najoan Nan Waraouw sebagai Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit
Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan saat
itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada dr. Dewa Ayu (Terdakwa I)
jika telah dilakukan pemeriksaan jantung/EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam
Jantung) terhadap diri korban, selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu
(Terdakwa I) tentang hasil pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut
jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa
denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per menit bukan Ventrikel Tachy
Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung).
70
Sejak dibawa masuk ke rumah sakit, keadaan umum korban adalah
lemah dan status penyakit korban adalah berat, dan korban tidak langsung
ditangani melainkan hanya diberikan resap untuk membeli obat sampai 4 kali.
Namun keadaan korban bukan malah membaik tetapi malah kian memburuk,
sampai pada akhirnya pada pukul 08.00 WITA pihak keluarga minta dilakukan
operasi. Namun pihak rumah sakit menolak melakukan operasi karena
persyaratan administratif dari rumah sakit belum dipenuhi.
Setelah ada pihak keluarga yang datang dan menyelesaikan persyaratan
administratif dengan pihak rumah sakit, langsung diberitahukan kalau operasi
terhadap Siska Makatey telah selesai dilakukan dan pihak keluarga tidak tahu
menahu kalau operasi sudah dilakukan.
Pihak keluarga Siska Makatey mendapatkan kabar dari Rumah Sakit
Malalayang pada pukul 22.00 WITA bahwa pasien atas nama Siska Makatey
telah meninggal dunia setelah melalui proses persalinan dengan operasi Cito
Secsio Sesaria, namun bayi dalam kandungan korban dapat diselamatkan.
Berdasarka hasil pemeriksaan forensik, kematian korban Siska Makatey
adalah diakibatkan karena pada diri korban terjadi emboli udara yang masuk ke
dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru
sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan
kegagalan fungsi jantung.
Korban Siska Makatey meninggal dunia berdasarkan Surat Keterangan
dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No.
71
61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani oleh dr.
Johannis F. Mallo, SH. SpF. DFM. yang menyatakan bahwa:
a. Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar
paha kanan;
b. Lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses
perubahan pada tubuh korban setelah kematian “Thanatologi” sebagai
dasar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai
dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari
pertama setelah melahirkan;
c. Tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban :
1. Pada Pasal 1 IV (a) adalah kekerasan tumpul sesuai dengan tanda
jejas sungkup alat bantu pernapasan.
2. Pada Pasal 1 angka IV (b) dan pasal dua angka romawi ayat tiga
adalah kekerasan tajam sesuai tindakan medik dalam operasi
persalinan.
3. Pada pasal 1 angka IV (c) adalah kekerasan tajam sesuai dengan
tanda perawatan medis sewaktu korban hidup.
4. Pada pasal 1 angka IV (d) adalah kekerasan tajam sesuai tanda
perawatan pengawetan jenazah.
d. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui
pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup.
Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian
72
cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari
persalinan itu sendiri.
e. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik
kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga
terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan
fungsi jantung
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Para terdakwa diajukan ke persidangan di Pengadilan Negeri Manado
dengan dakwaan yang disusun secara komulasi yang dibarengi dengan dakwaan
alternatif atau subsidair sebagai berikut:
Kesatu :
PRIMAIR :
Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani
(Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian
(Terdakwa III) baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri,
pada hari Sabtu tanggal 10 April 2010, pada waktu kurang lebih pukul 22.00
WITA atau setidaktidaknya pada waktu lain dalam tahun 2010, bertempat di
Ruangan Operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang
Kota Manado atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk
dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Manado, telah melakukan, menyuruh
lakukan dan turut serta melakukan perbuatan yang karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain yaitu korban Siska Makatey, perbuatan
73
tersebut dilakukan Para Terdakwa dengan cara dan uraian kejadian sebagai
berikut :
Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, dr. Dewa Ayu
Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr.
Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai dokter pada Rumah Sakit Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska
Makatey yaitu pada saat korban Siska Makatey sudah tidur terlentang di atas
meja operasi kemudian dilakukan tindakan asepsi anti septis pada dinding perut
dan sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada
lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total.
Sebagai operator, dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) mengiris dinding perut
lapis demi lapis sampai pada rahim milik korban kemudian bayi yang berada di
dalam rahim korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim
korban, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan
dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit.
Saat operasi dilakukan, dr. Hndry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai
asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten
operator II (dua) membantu untuk memperjelas lapangan operasi yang dilakukan
oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) sebagai pelaksana
operasi/operator yang memotong, menggunting dan menjahit agar lapangan
operasi bisa terlihat agar mempermudah operator yaitu dr. Dewa Ayu (Terdakwa
I) dalam melakukan operasi.
74
Sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban dilakukan, Para
Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga korban tentang
kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi
terhadap diri korban jika operasi cito secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap
diri korban dan Para Terdakwa sebagai dokter yang melaksanakan operasi cito
secsio sesaria terhadap diri korban tidak melakukan pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang
lainnya sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban dianestesi/ dilakukan
pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh
per tujuh puluh) dan pada waktu kurang lebih pukul 20.10 WITA, hal tersebut
telah disampaikan oleh saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp. An. pada bagian
Anestesi melalui jawaban konsul kepada bagian kebidanan bahwa pada
prinsipnya disetujui untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko
tinggi, oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala kemungkinan
yang bisa terjadi, tetapi pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan
setelah pelaksanaan operasi selesai dilakukan kemudian pemeriksaan jantung
tersebut dilakukan setelah dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I)
melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai Konsultan Jaga Bagian
Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan
puluh) x per menit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada
dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) jika telah dilakukan pemeriksaan
jantung/ EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban,
selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) tentang
75
hasil pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat)
dan saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus
delapan puluh) x per menit bukan Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat
cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung).
Berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 (nol empat satu sembilan
enam sembilan) yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto,
SH. Sp. F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R.
D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit
korban adalah berat.
Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry
Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai dokter
dalam melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey,
lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksaanaan
operasi sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk ke dalam
bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga
terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi
jantung.
Akibat perbuatan dari Para Terdakwa, korban Siska Makatey meninggal
dunia berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan
ditandatangani oleh dr. Johannus F. Mallo, SH. SpF. DFM. yang menyatakan
bahwa :
76
a. Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar
paha kanan;
b. Lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses
perubahan pada tubuh korban setelah kematian (Thanatologi) sebagai
dasar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai
dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari
pertama setelah melahirkan;
c. Tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban :
1. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (a) adalah kekerasan
tumpul sesuai dengan tanda jejas sungkup alat bantu pernapasan.
2. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (b) dan pasal dua angka
romawi ayat tiga adalah kekerasan tajam sesuai tindakan medik
dalam operasi persalinan.
3. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (c) adalah kekerasan tajam
sesuai dengan tanda perawatan medis sewaktu korban hidup.
4. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (d) adalah kekerasan tajam
sesuai tanda perawatan pengawetan jenazah.
d. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui
pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup.
Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian
cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari
persalinan itu sendiri.
77
e. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik
kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga
terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan
fungsi jantung (Visum Et Repertum terlampir dalam berkas perkara).
Perbuatan Para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 359 KUHP Jis. Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP.
SUBSIDAIR :
Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry
Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) baik secara
bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu tanggal 10
April 2010, pada waktu kurang lebih pukul 22.00 WITA atau setidak-tidaknya
pada waktu lain dalam tahun 2010, bertempat di Ruang Operasi Rumah Sakit
Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang Kota Manado atau setidak-
tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam Daerah Hukum
Pengadilan Negeri Manado, telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta
melakukan perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain yaitu korban Siska Makatey, perbuatan tersebut dilakukan Para Terdakwa
dengan cara dan uraian kejadian sebagai berikut:
Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, dr. Dewa Ayu
(Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian
(Terdakwa III) sebagai dokter pada Rumah Sakit Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey
yaitu pada saat korban Siska Makatey sudah tidur terlentang di atas meja operasi
78
kemudian dilakukan tindakan asepsi anti septis pada dinding perut dan
sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada
lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total.
Dokter Dewa Ayu (Terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi lapis
sampai pada rahim milik korban kemudian bayi yang berada di dalam rahim
korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim
korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari
bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit.
Saat operasi dilakukan, dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai
asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten
operator II (dua) membantu untuk memperjelas lapangan operasi yang dilakukan
oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai pelaksana operasi/operator yang
memotong, menggunting dan menjahit agar lapangan operasi bisa terlihat agar
mempermudah operator yaitu dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) dalam melakukan
operasi.
Pada saat sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban
dilakukan, Para Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak keluarga
korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang
dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi cito secsio sesaria tersebut
dilakukan terhadap diri korban dan Para Terdakwa sebagai dokter yang
melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban tidak melakukan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan
pemeriksaan penunjang lainnya sedangkan tekanan darah pada saat sebelum
79
korban dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka
160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan pada waktu kurang lebih pukul
20.10 WITA, hal tersebut telah disampaikan oleh saksi dr. Hermanus J. Lalenoh,
Sp. An. pada bagian Anestesi melalui jawaban konsul kepada bagian kebidanan
bahwa pada prinsipnya disetujui untuk dilaksanakan pembedahan dengan
anestesi resiko tinggi, oleh karena itu mohon dijelaskan kepada keluarga segala
kemungkinan yang bisa terjadi, tetapi pemeriksaan jantung terhadap korban
dilaksanakan setelah pelaksanaan operasi selesai dilakukan kemudian
pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr. Dewa Ayu (Terdakwa I)
melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai Konsultan Jaga Bagian
Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan
puluh) x per menit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada
dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) jika telah dilakukan pemeriksaan jantung/ EKG
(Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban, selanjutnya
dijawab oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) tentang hasil pemeriksaan adalah
Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan
Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per
menit bukan Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi
(kelainan irama jantung) dan saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa
kondisi pasien (korban Siska Makatey) jelek dan pasti akan meninggal.
Berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 (nol empat satu sembilan
enam sembilan) yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto,
SH. Sp. F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R.
80
D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit
korban adalah berat.
Dokter Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II)
dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai dokter dalam melaksanakan
operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey, lalai dalam
menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksaanaan operasi
sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik
kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi
kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Akibat perbuatan dari Para Terdakwa, korban Siska Makatey meninggal
dunia berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan
ditandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH. SpF. DFM. yang menyatakan
bahwa :
a. Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar
paha kanan;
b. Lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses
perubahan pada tubuh korban setelah kematian (Thanatologi) sebagai
dasar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai
dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam hari
pertama setelah melahirkan;
c. Tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban :
81
1. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (a) adalah kekerasan
tumpul sesuai dengan tanda jejas sungkup alat bantu pernapasan.
2. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (b) dan pasal dua angka
romawi ayat tiga adalah kekerasan tajam sesuai tindakan medik
dalam operasi persalinan.
3. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (c) adalah kekerasan
tajam sesuai dengan tanda perawatan medis sewaktu korban hidup.
4. Pada pasal satu angka romawi ayat empat (d) adalah kekerasan
tajam sesuai tanda perawatan pengawetan jenazah.
d. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui
pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup.
Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian
cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari
persalinan itu sendiri.
e. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik
kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga
terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan
fungsi jantung (Visum et Repertum terlampir dalam berkas perkara).
Perbuatan Para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
atau :
Kedua :
82
Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry
Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) baik secara
bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu tanggal 10
April 2010, pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Kesatu
di atas, dengan sengaja telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP), perbuatan
tersebut dilakukan Para Terdakwa dengan cara dan uraian kejadian sebagai
berikut:
Pada saat korban Siska Makatey sudah tidur terlentang di atas meja
operasi kemudian dilakukan tindakan asepsi anti septis pada dinding perut dan
sekitarnya, selanjutnya korban ditutup dengan kain operasi kecuali pada
lapangan operasi dan saat itu korban telah dilakukan pembiusan total.
Dokter. Dewa Ayu (Terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi
lapis sampai pada rahim milik korban kemudian bayi yang berada di dalam
rahim korban diangkat dan setelah bayi diangkat dari dalam rahim korban, rahim
korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan lagi dan dibersihkan dari
bekuan darah, selanjutnya dinding perut milik korban dijahit.
Saat operasi dilakukan, dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai
asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten
operator II (dua) membantu dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai pelaksana
operasi yang memotong, menggunting dan menjahit agar lapangan operasi bisa
terlihat agar mempermudah operator yaitu dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani
(Terdakwa I) dalam melakukan operasi.
83
Pada saat sebelum operasi cito secsio sesaria terhadap korban
dilakukan, Para Terdakwa tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan lain-lain sedangkan tekanan darah
pada saat sebelum korban dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu
menunjukkan angka 160/70 (seratus enam puluh per tujuh puluh) dan
pemeriksaan jantung terhadap korban dilaksanakan setelah pelaksanaan operasi
selesai dilakukan kemudian pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr.
Dewa Ayu (Terdakwa I) melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw
sebagai Konsultan Jaga Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi
korban 180 (seratus delapan puluh) x per menit dan saat itu saksi Najoan Nan
Waraouw menanyakan kepada dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) jika telah dilakukan
pemeriksaan jantung/ EKG (Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap
diri korban, selanjutnya dijawab oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) tentang hasil
pemeriksaan adalah Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan
saksi Najoan Nan Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus
delapan puluh) x per menit bukan Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat
cepat) tetapi Fibrilasi (kelainan irama jantung).
Berdasarkan hasil rekam medis No. 041969 (nol empat satu sembilan
enam sembilan) yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto,
SH. Sp. F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R.
D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit
korban adalah berat.
84
Dokter Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II)
dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai dokter dalam melaksanakan
operasi cito secsio sesaria terhadap korban Siska Makatey, Para Terdakwa
hanya memiliki sertifikat kompetensi tetapi Para Terdakwa tidak mempunyai
Surat Ijin Praktik (SIP) kedokteran dan tidak terdapat pelimpahan/persetujuan
untuk melakukan suatu tindakan kedokteran secara tertulis dari dokter spesialis
yang memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) kedokteran/ yang berhak memberikan
persetujuan sedangkan untuk melakukan tindakan praktik kedokteran termasuk
operasi cito yang dilakukan oleh Para Terdakwa terhadap diri korban, Para
Terdakwa harus memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) kedokteran.
Akibat perbuatan dari Para Terdakwa, korban Siska Makatey meninggal
dunia berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan
ditandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH. SpF. DFM. yang menyatakan
bahwa :
a. Korban telah diawetkan dengan larutan formalin, melalui nadi besar
paha kanan;
b. Lama kematian si korban tidak dapat ditentukan, oleh karena proses
perubahan pada tubuh korban setelah kematian (Thanatologi) sebagai
dasar penilaian, terhambat dengan adanya pengawetan jenazah. Sesuai
dengan besarnya rahim dapat menyatakan korban meninggal dalam
hari pertama setelah melahirkan;
c. Tanda kekerasan yang ditemukan pada pemeriksaan tubuh korban :
85
1. Pada Pasal 1 angka IV (a) adalah kekerasan tumpul sesuai dengan
tanda jejas sungkup alat bantu pernapasan.
2. Pada Pasal 1 angka IV (b) dan pasal dua angka romawi ayat tiga
adalah kekerasan tajam sesuai tindakan medik dalam operasi
persalinan.
3. Pada Pasal 1 angka IV (c) adalah kekerasan tajam sesuai dengan
tanda perawatan medis sewaktu korban hidup
4. Pada Pasal 1 angka IV (d) adalah kekerasan tajam sesuai tanda
perawatan pengawetan jenazah.
d. Udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk
melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih
hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada
pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat
komplikasi dari persalinan itu sendiri.
e. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam
bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru
sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan
kegagalan fungsi jantung (Visum Et Repertum terlampir dalam berkas
perkara).
Perbuatan Para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
atau :
86
Ketiga :
PRIMAIR :
Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry
Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) baik secara
bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu tanggal 10
April 2010, pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan Kesatu
dan Kedua di atas, telah melakukan, menyuruh lakukan dan turut serta
melakukan perbuatan membuat secara palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal, dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu dan jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, perbuatan tersebut dilakukan Para Terdakwa dengan cara dan uraian
kejadian sebagai berikut:
Berawal setelah terdapat indikasi untuk dilakukan operasi cito secsio
sesaria pada waktu kurang lebih pukul 18.30 WITA terhadap korban Siska
Makatey, dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) menyerahkan surat persetujuan
tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi kepada korban Siska
Makatey untuk ditandatangani oleh korban yang disaksikan oleh dr. Dewa Ayu
(Terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak
(Terdakwa II) dan saksi dr. Helmi kemudian berdasarkan surat persetujuan
tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi tersebut, dr. Dewa
87
Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian
(Terdakwa III) melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban.
Setelah dilaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban
yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak
(Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) mengakibatkan korban
meninggal dunia karena terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan
jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan
fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung pada diri
korban, berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan
ditandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH, Sp.F., DFM. (VER terlampir
dalam berkas perkara).
Ternyata tanda tangan korban yang berada di dalam surat persetujuan
tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh
dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk ditandatangani oleh korban tersebut
berbeda dengan tanda tangan korban yang berada di dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan Kartu Askes kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh
Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011,
yang dilakukan oleh masing-masing lelaki Drs. Samir, S.St. Mk., lelaki Ardhani
Adis, S. Amd dan lelaki Marendra Yudi L., SE., menyatakan bahwa tanda
tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen
bukti adalah tanda tangan karangan/ “Spurious Signature“ (Berita Acara
88
Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Dokumen terlampir dalam
berkas perkara).
Perbuatan Para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
SUBSIDAIR :
Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry
Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) baik secara
bersama-sama maupun bertindak sendiri-sendiri, pada hari Sabtu tanggal 10
April 2010, pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam dakwaan
Kesatu, Kedua dan Ketiga Primair di atas, dengan sengaja telah melakukan,
menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan memakai surat yang
isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu dan jika
pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian, perbuatan tersebut dilakukan
Para Terdakwa dengan cara dan uraian kejadian sebagai berikut:
Berawal setelah terdapat indikasi untuk dilakukan operasi cito secsio
sesaria pada waktu kurang lebih pukul 18.30 WITA terhadap korban Siska
Makatey, dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) menyerahkan surat persetujuan
tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi kepada korban Siska
Makatey untuk ditandatangani oleh korban yang disaksikan oleh dr. Dewa Ayu
(Terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak
(Terdakwa II) dan saksi dr. Helmi kemudian berdasarkan surat persetujuan
tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi tersebut, dr. Dewa
89
Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian
(Terdakwa III) melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban.
Setelah dilaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap diri korban
yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak
(Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) mengakibatkan korban
meninggal dunia karena terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan
jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan
fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung pada diri
korban, berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010 dan
ditandatangani oleh dr. Johannis F. Mallo, SH, Sp.F., DFM. (VER terlampir
dalam berkas perkara).
Ternyata tanda tangan korban yang berada di dalam surat persetujuan
tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi yang diserahkan oleh
dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk ditandatangani oleh korban tersebut
berbeda dengan tanda tangan korban yang berada di dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan Kartu Askes kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh
Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011,
yang dilakukan oleh masing-masing Drs. Samir, S.St. Mk., Ardani Adhis, S.
Amd dan Marendra Yudi L., SE., menyatakan bahwa tanda tangan atas nama
Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda
90
tangan karangan/ “Spurious Signature“ (Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris
Kriminalistik Barang Bukti Dokumen terlampir dalam berkas perkara).
Perbuatan Para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
4. Pembuktian di Persidangan
a. Barang Bukti
Barang bukti yang diajukan dalam pemeriksaan perkara Para Terdakwa
adalah berupa berkas catatan medis No. cm. 041969 atas nama Siska Makatey
yang terdiri dari:
1. PT. Asuransi Kesehatan Indonesia Results Siska Yulian Makatey ;
2. Surat pernyataan telah dirawat ;
3. Rekam jantung Siska Makatey 2004 ;
4. Surat konsul 10 April 2010 RSU Prof. Kandou Manado (poliklinik
obstetri status obstetrikus) ;
5. Catatan pemasukan dan pengeluaran cairan form 0014 ;
6. Instruksi post operasi ;
7. Surat konsul ke bagian anastesiologi ;
8. Rekam jantung ;
9. Laporan operasi ;
10. Kurva suhu dan nadi, serta catatan khusus ;
11. Dinas kesehatan Kota Manado Puskesmas Bahu/ surat rujukan ibu
hamil atas nama Siska Makatey ;
12. Ringkasan masuk dan keluar Siska Makatey ;
13. Lembaran masuk dan keluar Siska Makatey ;
14. Klinical Patway Siska Makatey ;
15. Surat persetujuan tindakan khusus dan surat persetujuan
pembedahan dan anastesi tanggal 10 April 2010 ;
16. Diagnosa akhir Siska Makatey ;
17. Resume keluar Siska Makatey ;
18. Surat pengantar pulang (tidak ada catatan) ;
19. Iktisar waktu pulang (tidak ada catatan ) ;
20. Anamnesis utama Siska Makatey ;
91
21. Anamnesis kebidanan Siska makatey ;
22. Pemeriksaan kebidanan I Siska Makatey ;
23. Pemeriksaan kebidanan II Siska Makatey ;
24. Resume masuk Siska Makatey ;
25. Portograf Siska Makatey ;
26. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ;
27. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ;
28. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ;
29. Laporan persalinan I Siska Makatey ;
30. Laporan persalinan IIa Siska Makatey ;
31. Lembaran catatan harian dokter (tidak ada catatan) ;
32. Hasil pemeriksaan laboratorium (tidak ada catatan) ;
33. Catatan pemasukan dan pengeluaran cairan (tidak ada catatan) ;
34. Hasil pemeriksaan radiologi kedokteran nuklir, dan lain-lain (tidak
ada catatan);
35. Nifas (tidak ada catatan);
36. Catatan perawat intensif (tidak ada catatan) ;
37. Catatan dan instruksi dokter (tidak ada catatan) ;
38. Pelaksanaan proses keperawatan pengkajian data (tidak ada
catatan) ;
39. Lembaran untuk penempelan surat (tidak ada catatan) ;
40. Catatan obat oral dan per enteral (tidak ada catatan) ;
41. Catatan perawat bidan (Siska Makatey) ;
42. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Dewa Ayu
Sasiary Prawani yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri
Manado ;
43. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Hendry
Simanjuntak yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri Manado;
44. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Hendy Siagian
yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri Manado
b. Keterangan Saksi
Saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah
sebanyak 2 (dua) orang yang telah didengar keterangannya dibawah sumpah
masing-masing di muka persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp.An.
92
Menerangkan bahwa pada prinsipnya kami setuju untuk dilaksanakan
pembedahan dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat
maka mohon dijelaskan kepada keluarga resiko yang bisaterjadi "darurat"/
sebelum operasi atau "post"/ usai operasi.
Penyebab udara masuk dari setiap pembuluh darah balik yang terbuka
yaitu dari infus atau dari suntikan obat tetapi dalam kepustakaan dikatakan udara
yang masuk dari pembuluh darah balik ini hanya bisa menyebabkan kecelakaan
penting yang kalau dia di atas 25 mg dan kalau di bawah tidak akan
menyebabkan apa-apa, kemudian dalam kenyataan pemberian obat dari infus
tidak pernah masuk udara karena dari suntik disposible untuk masuk udara,
selanjutnya dari kepustakaan yang saksi baca dan saksi dapat dalam pendidikan
saksi yaitu kemungkinan yang bisa juga adalah terutama dalam operasi
persalinan bahkan di dalam aturan dikatakan bahwa udara bisa masuk sering
terjadi pada operasi bedah saraf dengan posisi pasien setengah duduk bisa terjadi
pada saat dia terkemuka itu udara bisa masuk, pada bagian kebidanan yang bisa
sering terjadi bukan saja pada sectio sesaria tetapi juga pada kuretase bahkan
dalam laporan kasus yaitu untuk hubungan intim dimana suami memakai oral itu
bisa terjadi masuk udara, kasus ini memang jarang tetapi bisa saja terjadi, jadi
pada waktu bayi lahir plasenta terangkat pembuluh darah itu terbuka yaitu
pembuluh darah arteri/ pembuluh darah yang pergi yang warna merah dan
pembuluh darah balik/ arteri yang warna hitam, jadi kemungkinan udara yang
masuk berdasarkan hasil visum et repertum bisa saja terjadi dari beberapa hal
tadi, selanjutnya tugas anestesi dalam hal ini telah selesai karena pasien/ korban
93
sudah membuka mata dan bernapas spontan kecuali jika saat pasien sebelum
dirapihkan semua kemudian meninggal maka masih merupakan tugas dan
tanggung jawab dari anestesi dan kebidanan.
2. Saksi Prof. Dr. Najoan Nan Waraouw, Sp.OG.
Menerangkan bahwa Terdakwa I (satu) mengatakan bahwa operasi
terhadap pasien/ korban telah selesai dilaksanakan dan pada saat operasi
dilakukan yaitu sejak sayatan dinding perut pertama sudah mengeluarkan darah
hitam, selama operasi dilaksanakan kecepatan nadi tinggi yaitu 160 (seratus
enam puluh) x per menit , saturasi oksigen hanya berkisar 85 % (delapan puluh
lima persen) sampai dengan 87 % (delapan puluh tujuh persen), setelah operasi
selesai dilakukan kecepatan nadi pasien/ korban adalah 180 (seratus delapan
puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/
periksa jantung yang dilakukan oleh bagian penyakit dalam dan saksi
menanyakan apakah sudah dilakukan pemeriksaan jantung karena saksi berpikir
keadaan ini penyebabnya dari jantung serta dijawab oleh Terdakwa I (satu)
sementara dilakukan pemeriksaan dan hasilnya sudah ada yaitu bahwa pada
penderita terjadi "Ventrikel Tachy Kardi" (denyut nadi yang cepat) tetapi saksi
mengatakan bahwa itu bukan "Ventrikel Tachy Kardi" (denyut nadi yang cepat)
jika denyut nadi sudah di atas 160 x per menit tetapi "Fibrilasi" yaitu pertanda
bahwa pada jantung terjadi kegagalan yang akut dan pasti pasien akan
meninggal karena biasanya kegagalan akut itu karena "emboli" (penyumbatan
pembuluh darah oleh suatu bahan seperti darah, air ketuban, udara, lemak,
trombus dan komponenkomponen lain) serta pasien/ korban pasti meninggal,
94
selanjutnya dikabarkan bahwa pada waktu kurang lebih pukul 22.20 WITA,
pasien/ korban dinyatakan meninggal dunia oleh bagian penyakit dalam.
c. Keterangan Ahli
Dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri
sendiri tanpa didukung oleh alat bukti lain tidaklah cukup dan tidak memadai
untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Begitu juga apabila dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan satu saksi saja tidak
cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini pun berlaku bagi
keterangan ahli. Bahwa keterangan seorang ahli pun tidak cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, melainkan harus disertai alat bukti lain.
“Pasal 184 ayat (1) KUHAP menetapkan keterangan ahli sebagai alat
bukti yang sah. Keterangan ahli ini oleh pembuat undang-undang
ditempatkan pada urutan kedua setelah keterangan saksi. Hal ini
menandakan bahwa keterangan ahli merupakan keterangan yang harus
diperhitungkan dalam dunia pembuktian. Mengingat juga dalam ranah
ilmu hukum baik pidana, perdata, tata negara maupun hukum
internasional pendapat ahli merupakan salah satu sumber hukum yang
diakui secara internasional meskipun dalam penerapannya keterangan
ahli harus dipandang tidak dapat berdiri sendiri dan harus didukung
dengan alat-alat bukti lain.”85
Pasal 1 angka (28) KUHAP memberikan pengerian mengenai
keterangan ahli sebagai berikut:
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”
Mengenai keterangan ahli yang diberikan dalam sidang pengadilan
diatur dalam ketentuan Pasal 186 KUHAP yaitu:
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”
85
Endang Sri Lestari, Op. Cit, hlm 175.
95
Melihat pada pengaturan di dalam Pasal 1 angka (28) KUHAP dan
Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP dan Pasal 186 KUHAP, maka agar
keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah dan mempunyai nilai
pembuktian dalam mencari kebenaran materiil guna menetapkan keyakinan
hakim bahwa benar terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan serta dapat
dipertangagungjawabkan.
Menurut M. Yahya Harahap,86
secara hukum seseorang baru dikatakan
ahli apabila:
a. Memiliki pengetahuan khusus atau spesialis di bidang ilmu
pengetahuan tertentu sehingga orang itu benar-benar kompeten
(competent) di bidang tersebut;
b. Spesialis itu bisa dalam bentuk skill karena latihan (training) atau hasil
pengalaman;
c. Sedemikian rupa spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan atau
pengalaman yang demikian, sehingga keterangan dan penjelasan yang
diberikan dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan
pengetahuan umum orang biasa.
Jaksa Penuntut Umum di dalam persidangan pada perkara ini
menghadirkan 2 (dua) orang ahli dan telah memberikan keterangan dibawah
sumpah sesuai dengan keahliannya, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Saksi Ahli dr. Robby Willar, Sp.A.
Menerangkan bahwa pada saat plasenta keluar, pembuluh darah yang
berhubungan dengan plasenta terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta tetapi
tidak berpengaruh terhadap bayi karena sebelum plasenta dikeluarkan bayi sudah
dipotong/ bayi lebih dulu keluar kemudian tali pusat/ plasenta dipotong.
2) Saksi Ahli Johannis F. Mallo, SH. Sp.F. DFM.
86
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm 789-790
96
Menerangkan bahwa bahwa infus dapat menyebabkan emboli udara
tetapi kecil kemungkinan dan hal tersebut dapat terjadi karena efek venturi,
kemudian kapan efek venturi terjadi yaitu korban meninggal dunia pukul 22.20
WITA, infus 20 tetes = 100cc/menit, operasi dilakukan pukul 20.55 WITA, anak
lahir pukul 21.00 WITA dalam hal ini udara sudah masuk terlebih dulu
kemudian dilaksanakan operasi, maka 30 menit sebelum pelaksanaan operasi
sudah terdapat 35 cc udara.
d. Keterangan Terdakwa
i. Terdakwa I, dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani
Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I) adalah peserta
program pendidikan dokter spesialis di Universitas Samratulangi Manado sejak
tahun 2007 sampai sekarang. Terdakwa I sudah memiliki Surat Tanda Registrasi
sejak tahun 2002, adapun yang menjadi dasar Terdakwa dapat melakukan
operasi adalah kompetensi dari Universitas Samratulangi. Bahwa pada saat
Terdakwa I melakukan tindakan operasi belum memiliki Surat Ijin Praktek
(SIP), Surat Ijin Praktek untuk PPDS diurus oleh Dekan Fakultas Kedokteran.
Surat Ijin Praktek Terdakwa baru diurus oleh Dekan Fakultas Kedokteran
setelah kasus ini terjadi.
Pada tanggal 10 April 2010 jam 09.00. WITA korban Siska Makatey
dibawa ke Rumah Sakit Umum Prof. Kandou Malalayang dengan surat rujukan
dari Puskesmas Bahu untuk melahirkan anak kedua lalu dibawah ke kamar
bersalin dan diperiksa USG dan hasil dalam keadaan baik dan dilaporkan kepada
konsuler dan diusahakan melahirkan normal. Pada saat korban masuk rumah
97
sakit Prof.Kandou Malalayang belum ada tanda-tanda untuk dioperasi tetapi
posisi bayi tinggi, biasanya pada pembukaan 7 cm bayi bisa lahir.
Pada jam 18.00 WITA pembukaan lengkap tetapi posisi bayi tetap
tinggi dan hal tersebut dilaporkan kepada dokter konsuler dan dokter konsuler
menyarankan supaya melahirkan secara normal dengan cara posisi korban
dimiringkan dan ditunggu sampai 30 menit tidak ada kemajuan dan pada jam
18.30 WITAdikonsultasikan dengan bagian anastesi dan bagian anastesi
memberikan persetujuan operasi dan pada jam 20.55 WITA operasi dimulai.
Terdakwa I sudah lebih dari 100 (seratus) kali melakukan operasi Cito,
dan pada saat korban dioperasi Terdakwa I sebagai operator, Terdakwa II dan
Terdakwa III sebagai asisten operasi. Pada saat sayatan pertama keluar darah
berwarna hitam, Terdakwa menghentikan sebentar dan mengatakan kepada
suster Anitang Lengkong korban kekurangan oksigen da selanjutnya Suster
Anitang Lengkong mengatakan cepat-cepat saja operasi karena oksigen dan alat
pernafasan sudah terpasang dengan baik. Bayi lahir pada jam 21.00 WITA yakni
5 (lima) menit setelah sayatan pertama dan kondisi bayi saat itu sangat buruk
kesehatannya, setelah bayi lahir dilakukan penutupan. Kematian korban (Siska
makatey) bukanlah efek dari operasi yang Terdakwa dilakukan. Selama
Terdakwa I melakukan operasi tidak pernah menemui kejadian seperti yang
dialami korban Siska Makatey.
Berkaitan dengan Visum Et Repertum atas nama korban Siska Makatey
bukan kewenangan Terdakwa. Adapun ditemukannya emboli ketuban terjadi
pada persalinan dan komplikasi dari persalinan adalah robekan rahim.
98
Berkaitan dengan pelaksanaan operasi cito terhadap korban, Korban
(Siska Makatey) dalam kamar operasi dalam keadaa sadar, dan saat dilakukan
operasi, pada saat sayatan pertama keluar darah dan warnanya hitam berarti
korban (Siska Makatey ) kekurangan oksigen dan Terdakwa menyampaikan
kepada Anita Lengkong dari bagian anastesi dan oleh Anita Lengkong
mengatakan operasi supaya dilanjutkan.
Alasan Terdakwa I memilih operasi dilanjutkan karena saat itu dalam
rahim ada bayi yang harus diselamatkan, kalau operasi dihentikan persalinan
tidak dapat dilakukan pasien dan bayi pasti meninggal, kalau pada saat operasi
tidak dilakukan maka Terdakwa I dapat dikenakan sangsi sesuai Undang-
Undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Setelah kejadian meninggalnya korban (Siska Makatey) Terdakwa I
melaporkan kepada pihak rumah sakit dan dilakukan mediasi dan akhirnya dari
bagian kebidanan telah memberikan uang sebesar Rp. 50.000.000.-(lima puluh
juta rupiah) kepada keluarga korban sebagai rasa turut berduka cita.
ii. Terdakwa II, dr. Hendry Simanjuntak
Terdakwa I dalam pelaksanaan operasi terhadap korban (Siska
Makatey) adalah sebagai asisten I, Terdakwa II sebagai chif residen dan
Terdakwa III sebagai asisten II. Terdakwa II bertugas membantu jalannya
operasi memberisihkan darah yang keluar saat sayatan.
Operasi terhadap korban dilakukan pada jam 20.55 WITA, yang mana
korban (Siska Makatey) adalah pasien rujukan dari Puskesmas Bahu. Sebalum
melakukan pemeriksaan, Terdakwa I telah membaca surat rujukan korban (Siska
99
Makatey) dan riwayat persalinannya buruk. Memang benar dalam hal ini yang
menentukan operasi adalah Terdakwa I sebagai chif residen. Langkah
melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey diambil karena persalinannya
tidak maju.
Peran Terdakwa II dalam melakukan operasi terhadap korban Siska
Makatey adalah memegang kapas untuk menghentikan darah dan menarik
benang. Operasi sempat dihentikan oleh Terdakwa I karena keluar darah hitam
karena oksigen kurang dan Terdakwa I memberitahukan kepada bagian anastesi,
bahwa oksigen yang baik dan cukup itu diatas 96 persen. Terdakwa II tidak
mengetahui secara pasti apa penyebab oksigen kurang.
Operasi sempat dihentikan selama 1(satu) menit dan Anita Lengkong
mengatakan agar operasi tetap dilanjutkan. Bahwa sebagai pertimbangan untuk
melanjutkan operasi terhadap korban Siska Makatey adalah untuk
menyelamatkan bayi dalam kandungan korban (Siska Makatey). Lamanya
operasi kurang lebih 5 (lima) menit dan kemudian dilakukan penutupan dan
menjahit dan pada saat operasi selesai dilaporkan oleh Terdakwa I selaku chif
residen, dan pada akhirnya korban meninggal di ruang perawatan.
iii. Terdakwa III, dr. Hendy Siagian
Bahwa tugas Terdakwa III dalam operasi tersebut sebagai asisten II,
menyedot/membersihkan darah yang keluar dari luka operasi, Terdakwa I
sebagai operator, melakukan sayatan, menjahit, dan Terdakwa II adalah
membantu operator. Operasi dimulai pada pukul 20.55 WITA dan selesai pukul
22.55 WITA. Sebelum dan sesudah dilakukan operasi, operasi Terdakwa I telah
100
melapor kepada bagian kebidanan. Terdakwa III juga melihat Terdakwa I
konsultasi dengan dr. Najoan dari monitor.
Terdakwa III 2 (dua) kali bertemu dengan keluarga korban, pertama
pada jam 6.00 WITA dan kedua pada jam 6.30 WITA dan memberitahukan
kepala bayi tinggi, tidak bias lahir normal, kemungkinan akan dioperasi, dan saat
itu ibu korban mengatakan kasihan, dan Terdakwa III katakana siapkan darah
dan menyodorkan kepada ibu korban (Siska Makatey) surat persetujuan operasi,
dan yang lebih dahulu menanda tangani surat persetujuan operasi adalah korban
kemudian ibu korban. Korban (Siska Makatey) pada saat menanda tangani surat
persetujuan operasi dalam posisi miring dan bisa menulis.
Terdakwa III pada saat bertemu ibu korban (Siska Makatey) ada
menjelaskan resiko operasi, tunggu setengah jam lagi ada resep dan siapkan
darah. Tugas Tim Dokter operasi selesai setelah penjahitan dan diserahkan
kepada bagian pemulihan dan korban meninggal dunia di ruang pemulihan.
5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Manado
tanggal adalah sebagai berikut :
1. Menyatakan Para Terdakwa masing-masing dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani
(Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian
(Terdakwa III), terbukti secara sah dan meyakinkan, telah bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359 KUHP jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
101
2. Menjatuhkan hukuman terhadap Para Terdakwa, masing-masing dr. Dewa
Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II)
dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III), dengan pidana penjara selama 10
(sepuluh) bulan;
3. Menyatakan barang bukti berupa Berkas catatan medis No.CM.041969 atas
nama Siska Makatey Tetap dilampirkan dalam berkas perkara;
4. Menetapkan agar kepada Para Terdakwa dibebani membayar biaya perkara
masing-masing sebesar Rp.3.000,- (tiga ribu rupiah)
6. Putusan Pengadilan Negeri
a. Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, Majelis Hakim mempertimbangkan apakah segala sesuatu
yang terungkap dalam persidangan perkara ini baik dari keterangan saksi-saksi,
keterangan ahli baik yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun diajukan
oleh para Terdakwa/Penasihat Hukumnya maupun ahli yang dimintakan oleh
Majelis Hakim, surat-surat keterangan para Terdakwa, setelah
menghubungkannya satu sama lain, sejauh manakah fakta-fakta hokum yang
terungkap dalam persidangan dapat menjadi penilaian hukum dari Majelis
Hakim dalam menentukan apakah perbuatan para Terdakwa telah memenuhi
unsur-unsur sebagaimana yang terdapat dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum
tersebut dan untuk itu Majelis Hakim akan mempertimbangkan lebih dahulu
dakwaan Kesatu Primair yaitu Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo. Pasal
55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Pasal 359 KUHP berbunyi sebagai berikut :
102
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang
lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana kurungan paling lama 1 tahun”
Pasal 361 KUHP berbunyi sebagai berikut :
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah
dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan Hakim
dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan”
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berbunyi sebagai berikut :
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan”
Delik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361
KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
Ad. 1. Unsur Barang siapa :
Pengertian barang siapa adalah kata ganti orang, yang lazimnya
dipergunakan dalam setiap perumusan pasal-pasal tindak pidana dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau dengan kata lain dapat diartikan
pula sebagai subjek pelaku delik. Dalam perkara ini tidak ada orang lain yang
dijadikan sebagai Terdakwa (subjek pelaku delik) selain Terdakwa I dr. Dewa
Ayu Sasiary Prawani, Terdakwa II dr. Hendry Simanjuntak dan Terdakwa III dr.
Hendy Siagian. Dengan demikian menurut Majelis Hakim unsur barang siapa
dalam perkara ini telah terpenuhi menurut hukum.
Ad. 2. Unsur karena kesalahannya menyebabkan matinya orang lain :
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa yang dijadikan dasar oleh
Majelis Hakim dalam pemeriksaan perkara ini untuk menentukan apakah
103
perbuatan para Terdakwa bersalah atau tidak adalah perbuatan para Terdakwa
yang dirumuskan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya tersebut.
Jaksa Penuntut Umum halaman 2 alinea 5 yang berbunyi sebagai
berikut :
“Bahwa pada saat sebelum operasi Cito secsio sesaria terhadap korban
dilakukan para Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada pihak
keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk
kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi Cito
secsio sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban dan para
Terdakwa sebagai dokter yang melaksanakan operasi cito secsio sesaria
terhadap diri korban tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan jantung foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang
lainnya ………dst”
Kelalaian para Terdakwa dalam menangani operasi terhadap korban
(Siska Makatey) dapat terbaca juga dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum
halaman 3 alinea 3 yang berbunyi sebagai berikut :
“Bahwa dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa
II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai dokter dalam
melaksanakan Operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban Siska
Makatey, lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat
pelaksanaan operasi sehingga terhadap diri korban terjadi emboli udara
yang masuk kedalam bilik kanan jantung yang menghambat darah
masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan
selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung”
Menimbang, berdasarkan keterangan saksi-saksi dr. Helmy, Anita
Lengkong, dr. Hermanus J. Lalenoh,Sp.An dan dihubungkan dengan keterangan
Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III sebagaimana yang telah diuraikan
diatas, menurut Majelis Hakim adalah bersesuaian satu dengan yang lainnya
tentang hal bahwa para Terdakwa sebelum melakukan operasi Cito Secsio
Sesaria terhadap korban telah menyampaikan kepada pihak keluarga tentang
kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi
104
terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio Sesaria tersebut dilakukan terhadap
diri korban walaupun hal tersebut dibantah oleh ibu korban Julian Mahengkang
dan ayah korban Anselmus Makatey.
Menimbang oleh karena Julian Mahengkang (ibu korban) dan
Anselmus Makatey (ayah korban) telah menyatakan surat persetujuan operasi
tertanggal 10 April 2010 tersebut adalah benar, berarti pula menurut Majelis
Hakim pernyataan keluarga korban yang mengatakan para Terdakwa dalam
melaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban (Siska Makatey)
tidak menjelaskan tentang resiko operasi tidak cukup beralasan.
Menimbang, adanya penjelasan sangat erat kaitannya dengan
persetujuan untuk dilaksanakannya operasi, hal tersebut dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang No. 29 tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran :
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan ;
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kuranganya
mencakup
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis ;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan ;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya ;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan ;
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan ;
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas menurut
Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan kebenaran dalil
105
dakwaannya tentang hal para Terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada
pihak keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk kematian
yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio Sesaria
dilakukan terhadap diri korban (Siska Makatey).
Berdasarkan keterangan saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum yaitu saksi Prof.dr. Najoan Nan Waraouw, keterangan ahli yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum dr. Erwin Kristanto,S.H, S.PF, dr. Johanis F. Mallo,
SH,Spt, DFM sebagaimana keterangannya tersebut diatas Majelis Hakim dapat
mengambil kesimpulan bahwa dalam operasi cito secsio sesaria (darurat) tidak
diperlukan pemeriksaan penunjang terhadap pasien in casu korban (Siska
Makatey) sehingga dengan demikian pula menurut Majelis Hakim perbuatan
para Terdakwa sebagai dokter yang dalam melaksanakan operasi cito secsio
sesaria terhadap diri korban (Siska Makatey) yang tidak melakukan pemeriksaan
penunjang, seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen, dada dan pemeriksaan
penunjang lainnya bukanlah merupakan suatu kelalaian.
Menimbang, bahwa Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran, dan Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri
Kesehatan No.512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktek dan
Pelaksanaan Praktek Kedokteran berbunyi sebagai berikut :
“Majelis kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah Lembaga
yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang
dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu
kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sangsi”
Menimbang, bahwa dari uraian-uraian tersebut diatas menurut Majelis
Hakim untuk dijadikan sebagai ukuran bahwa para Terdakwa telah melakukan
106
kelalaian didalam melakukan operasi cito secsio seaseria terhadap korban (Siska
Makatey) sehingga terhadap diri korban (Siska Makatey) terjadi emboli udara
yang masuk dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk kedalam
paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan
kegagalan fungsi jantung adalah apabila dalam penanganan operasi tersebut
tidak sesuai dengan SOP (Standard Operasional Prosedur) dan yang menilai
telah terjadi kesalahan dalam penanganan operasi tersebut adalah Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKEK).
Berdasar pada uraian-uraian keterangan saksi, keterangan ahli
sebagaimana dikemukakan diatas Majelis Hakim tidak melihat adanya bukti-
bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun oleh para Terdakwa/
Penasehat Hukumnya, untuk dapat dijadikan ukuran bahwa para Terdakwa
didalam menangani operasi cito section caeseria tidak sesuai dengan SOP
sehingga menyebabkan kematian korban (Siska Makatey) dan hal tersebut
dikuatkan pula oleh hasil sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI
Wilayah Sulawesi Utara No.006/IDI-WIL/SULUT/MKEK/II/2011 tanggal 24
Februari 2011.
Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dari dakwaan kesatu
primer tidak terbukti menurut hukum maka dengan sendirinya pula para
Terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari dakwaan kesatu primer tersebut
yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1
KUHP, maka dengan dibebaskannya para Terdakwa dari dakwaan kesatu primer
107
maka kepada para Terdakwa haruslah dibebaskan pula dari dakwaan kesatu
subsider yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Karena para Terdakwa oleh Majelis Hakim telah dinyatakan tidak
terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum
dalam dakwaan alternative kesatu primer dan dakwaan kesatu subsider dan
dibebaskan dari dakwaan kesatu primer dan subsider tersebut, maka Majelis
Hakim akan mempertimbangkan dakwaan alternative kedua sebagaimana
dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu perbuatan para Terdakwa sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun
2004 tentang Prakter Kedokteran Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Terhadap dakwaan alternative kedua pada dakwaan Jaksa Penuntut
Umum tersebut yaitu perbuatan para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran,
bahwa terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang R.I No.
29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran sudah ada putusan Mahkamah
Konstitusi No.4/ PVV-V/2007 tanggal 19 Juni 2007 atas permohonan dr. Anny
J.S. Tandyaril Sarwono, Sp.An, SH, dr. Pranomo Sp.PD, Prof. Dr. R.M. Padmo
Sartjojo, dr. Bambag Tutuko, dr. Charina, dr. Rama Tjandra, Sp.OG, H. Chanada
S. Chasani, SH yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
- Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian.
- Menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata
“penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang
mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau “serta
Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata “atau huruf e “Undang-
Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.
- Menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata
“penjara paling lama 3 (Tiga) tahun atau dan Pasal 79 sepanjang
108
mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau “serta
Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata atau huruf e ” Undang-
Undang No. 29 tahun 2004 Tentang prektek Kedokteran tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Oleh karena dakwaan alternatif kedua melanggar Pasal 76 Undang-
Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, sudah bukan
merupakan tindak pidana sehingga dengan demikian kepada para Terdakwa
harus dibebaskan pula dari dakwaan alternative kedua yaitu Pasal 76 Undang-
Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran tersebut.
Karena para Terdakwa dibebaskan dari dakwaan alternative kedua
maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan alternative ketiga
primer perbuatan para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Pasal 263 ayat (1) KUHP berbunyi sebagai berikut :
“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara selama 6 tahun”
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berbunyi sebagai berikut :
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan”
Bahwa yang dipersoalkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam hal ini
adalah tanda tangan korban yang berada didalam surat persetujuan tindakan
khusus dan persetujuan pembedahan dan anastesi yang diserahkan oleh dr.
Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk ditanda tangani oleh korban tersebut
109
berbeda dengan tanda tangan korban yang berada didalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan kartu Askes kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh
laboratorium Forensik Cabang Makasar dan berdasarkan hasil pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 9 Juni 2010 No.Lab:509/DTF/2011, yang
dilakukan oleh masing-masing Drs. Samir. S.st mk, Ardani Adhis, S.Amd dan
Marendra Yudi L,SE menyatakan tanda tangan atas nama Siska Makatey Alias
Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan
“spurious signature” (Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik).
Menimbang, bahwa surat persetujuan tindakan khusus, surat
persetujuan pembedahan dan anastesi tertanggal 10 April 2010, menurut Majelis
Hakim surat tersebut nanti dapat dikatakan palsu apabila setelah dapat
diketahui/dibuktikan siapa yang menandatangani diatas nama Siska Makatey
didalam surat yang dimaksud. Dalam pemeriksaan perkara ini Majelis tidak
menemukan adanya alat-alat bukti terutama alat bukti berupa keterangan saksi
yang melihat ataupun menyatakan yang menandatangani diatas nama korban
didalam surat persetujuan tindakan khusus, surat persetujuan pembedahan dan
anastesi tertanggal 10 April 2010, adalah salah satu dari para Terdakwa. Dengan
demikian menurut Majelis Hakim Surat Persetujuan Tindakan Khusus, Surat
Persetujuan Pembedahan dan Anastesi tertanggal 10 April 2010 tersebut belum
dapat dikatakan surat tersebut adalah palsu.
Menimbang, bahwa oleh karena unsur membuat surat palsu atau
memalsukan surat tidak terpenuhi menurut hukum maka para Terdakwa haruslah
dibebaskan dari dakwaan alternative ketiga primair yaitu melanggar Pasal 263
110
ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Selanjutnya akan dipertimbangkan
dakwaan alternative ketiga subsidair perbuatan para Terdakwa sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1)
ke 1 KUHP.
Pasal 263 ayat (2) KUHP berbunyi sebagai berikut:
“Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa degan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika
pemakaian surat itu seolah-olah sejati”
Sebagaimana telah dipertimbangkan diatas dalam dakwaan Alternatif
ketiga primer menurut Majelis Hakim surat persetujuan tindakan khusus, surat
persetujuan pembedahan dan anastesi tertanggal 10 April 2010 tersebut tidak
dapat dikatakan surat tersebut adalah palsu menurut Majelis Hakim para
Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbuti telah melakukan tindak pidana
sebagaimana dakwaan alternative ketiga subsidair yaitu melanggar Pasal 263
ayat (2) Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan kepada para Terdakwa haruslah
dibebaskan dari dakwaan alternative ketiga subsidair tersebut.
Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan-
pertimbangan diatas maka para Terdakwa haruslah dibebaskan dari semua
dakwaan Jaksa Penuntut Umum yaitu: Dakwaan kesatu Primair melanggar pasal
359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, subsidair
melanggar Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Dakwaan Kedua
Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang praktek Kedokteran Jo
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, Dakwaan Ketiga Primair melanggar pasal 263
111
ayat (1) KUHP Jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, subsidair melanggar Pasal 263
ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
b. Putusan Hakim Pengadilan Negeri
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan diatas,
maka Majelis Hakim memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terdakwa II dr.
Hendry Simanjuntak dan Terdakwa III dr. Hendy Siagian, tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan
Kesatu Primer dan subsidair, dakwaan kedua dan dakwaan ketiga primer dan
subsidair.
2. Membebaskan Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III oleh karena itu dari
semua dakwaan (Vrijspraak).
3. Memulihkan hak para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya.
4. Menetapkan barang bukti tetap terlampir dalam berkas perkara.
5. Membebakan biaya perkara ini kepada Negara.
7. Putusan Mahkamah Agung
a. Pertimbangan Hukum Hakim Agung
Menimbang terhadap pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan
bebas yang telah dijatuhkan pada pengadilan tingkat pertama, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa Pasal 244 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana) menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan
112
pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
Akan tetapi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa selaku badan
peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar
semua hukum dan Undang-Undang di seluruh wilayah Negara diterapkan secara
tepat dan adil, Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang
mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan bawahannya yang
membebaskan Terdakwa, yaitu guna menentukan sudah tepat dan adilkah
putusan Pengadilan bawahannya itu.
Selanjutnya, mendasarkan pada yurisprudensi yang sudah ada apabila
ternyata putusan Pengadilan yang membebaskan Terdakwa itu merupakan
pembebasan murni sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tersebut, permohonan kasasi tersebut
harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Namun sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran
yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan
dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang
didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu
Pengadilan telah melampaui batas kewenangannya (meskipun hal ini tidak
diajukan sebagai alasan kasasi), Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya
113
bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni harus
menerima permohonan kasasi tersebut.
Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi / Jaksa Penuntut
Umum pada pokoknya adalah Judex Facti telah salah menerapkan hukum karena
seharusnya Majelis Hakim dapat mempertimbangkan unsur subyektif maupun
unsur obyektif berdasarkan alat-alat bukti yang sah daIam perkara ini yaitu
keterangan saksi-saksi, bukti surat, petunjuk serta keterangan Terdakwa.
Berdasarkan keterangan para saksi dan para ahli tersebut di atas maka
Para Terdakwa telah melakukan tindakan kedokteran dan telah menimbulkan
kerugian terhadap korban yaitu korban meninggal dunia, sehingga dengan
demikian maka unsur-unsur sebagaimana yang telah didakwakan oleh kami
Jaksa/ Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan tersebut telah terpenuhi menurut
hukum.
Berbicara menngenai adanya unsur "kelalaian" telah disebutkan di
dalam keterangan saksi yaitu Prof. Dr. Najoan Nan Waraouw, Sp.OG., bahwa
Terdakwa I (satu) melaporkan ketuban pasien/ korban sudah dipecahkan di
Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah keluar semua,
selanjutnya sejak Terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA
sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa I
(satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan "USG (Ultrasonografi)" dan
sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam
medis dan Terdakwa I (satu) sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat
itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk
114
Terdakwa I (satu) tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah
dilakukan terhadap korban.
Namun ternyata pada pukul 18.30 WITA tidak terdapat kemajuan
persalinan pada korban, Terdakwa I (satu) melakukan konsul dengan konsulen
jaga dan setelah mendapat anjuran, Terdakwa I (satu) mengambil tindakan untuk
dilakukan cito secsio sesaria, kemudian Terdakwa I (satu) menginstruksikan
kepada saksi dr. Helmi untuk membuat surat konsul ke bagian anestesi dan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan
setelah mendapat jawaban konsul dari saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp.An.
yang menyatakan bahwa pada prinsipnya setuju untuk dilaksanakan pembedahan
dengan anestesi resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka
mohon dijelaskan kepada keluarga resiko yang bisa terjadi sebelum operasi atau
usai operasi.
Maka Terdakwa I (satu) menugaskan kepada dr. Hendy Siagian
(Terdakwa Ill) untuk memberitahukan kepada keluarga pasien/ korban tetapi
ternyata hal tersebut tidak dilakukan oleh Terdakwa III (tiga) melainkan
Terdakwa III (tiga) menyerahkan informed consent/ lembar persetujuan tindakan
kedokteran tersebut kepada korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri
dan dalam keadaan kesakitan dengan dilihat oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani
(Terdakwa I) dari jarak kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak
(Terdakwa II) dari jarak kurang lebih 3 (tiga) meter sampai dengan 4 (empat)
meter juga turut diketahui dan dilihat oleh saksi dr. Helmi tetapi temyata tanda
tangan yang tertera di dalam lembar persetujuan tersebut adalah tanda tangan
115
karangan sesuai dengan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada
tanggal 09 Juni 2010 NO. LAB: 509/DTF/2011, yang dilakukan oleh masing-
masing lelaki Drs. Samir, S.St. Mk., lelaki Ardani Adhis, S. A.Md. dan lelaki
Merendra Yudi L. SE., menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska
Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan
karangan/ Spurious Signature.
Selanjutnya korban dibawa ke kamar operasi pada waktu kurang lebih
pukul 20.15 WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55
WITA dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai operator mulai melaksanakan operasi
terhadap korban dengan dibantu oleh dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II)
sebagai asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai
asisten operator II (dua).
Selama pelaksanaan operasi kondisi nadi korban 160 (seratus enam
puluh) x per menit dan saat sayatan pertama mengeluarkan darah hitam sampai
dengan selesai pelaksanaan operasi, kemudian pada pukul 22.00 WITA setelah
operasi selesai dilaksanakan kondisi nadi korban 180 (seratus delapan puluh) x
per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa
jantung oleh bagian penyakit dalam, selanjutnya berdasarkan keterangan Ahli
Johannis F. Mallo, SH. Sp.F. DFM. bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan
operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam tubuh korban.
Pada saat pelaksanaan operasi, Terdakwa I (satu) melakukan sayatan
sejak dari kulit, otot, uterus serta rahim dan pada bagian-bagian tersebut terdapat
pembuluh darah yang sudah pasti ikut terpotong dan saat bayi lahir, plasenta
116
keluar/terangkat sehingga pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta
yaitu pembuluh darah arteri dan pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa
masuk dari plasenta, kemudian berdasarkan hasil Visum et Repertum disebutkan
bahwa udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui
pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup.
Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian
cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan
itu sendiri. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam
bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga
terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi
jantung.
Akibat tindakannya itu, dengan demikian Para Terdakwa telah lalai
untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan
tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu, Para
Terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban, Para Terdakwa telah
menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh
Para Terdakwa terhadap korban, Para Terdakwa telah menimbulkan suatu
hubungan sebab akibat yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari
Para Terdakwa dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat sejak tidak
terdapat kemajuan persalinan pada pukul 18.30 WITA tetapi yang seharusnya
sejak korban datang dengan surat rujukan dari Puskesmas dan masuk ke ruang
Instalasi Rawat Darurat Obstetrik keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat,
117
kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di
Puskesmas.
Selain itu, rekam medis yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap
tindakan medis yang dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak
diketahui oleh Para Terdakwa sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara
berulang kali hingga ditolak oleh pihak apotik, tidak terdapatnya koordinasi
yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis, terdapatnya informed
consent/lembar persetujuan tindakan kedokteran.
Para Terdakwa berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan
adalah tindakan darurat, tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-
tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/pemeriksaan jantung baru
dilakukan setelah korban selesai dioperasi dengan kondisi gawat, yang
seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh
Para Terdakwa tersebut sebelumnya telah dapat dibayangkan dengan cara
berpikir, pengetahuan atau kebijaksanaan sesuai pengetahuan, keahlian dan
moral yang dimiliki oleh Para Terdakwa berdasarkan Standar Operasional
Prosedur (SOP) sehingga seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Para
Terdakwa tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban
meninggal dunia.
Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa/ Penuntut Umum dapat dibenarkan
karena dengan pertimbangan sebagai berikut :
i. Judex Facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan
dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil
118
rekam medis No. No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin
Gidion Kristanto, SH. Sp.F. bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah
Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah
lemah dan status penyakit korban adalah berat;
ii. Para Terdakwa sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap
korban dilakukan, para terdakwa tanpa menyampaikan kepada pihak
keluarga korban tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri
korban;
iii. Perbuatan Para Terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska
Makatey yang kemudian terjadi emboli udara yang masuk ke dalam bilik
kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru kemudian
terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan
fungsi jantung;
iv. Perbuatan Para Terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan
meninggalnya korban Siska Makatey sesuai Surat Keterangan dari Rumah
Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No.
61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010;
Hal-hal yang memberatkan:
1. Sifat dari perbuatan Para Terdakwa itu sendiri yang mengakibatkan
korban meninggal dunia.
Hal-hal yang meringankan:
1. Para Terdakwa sedang menempuh pendidikan pada Program
Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Sam Ratulangi Manado;
119
2. Para Terdakwa belum pernah dihukum.
b. Putusan Hakim Mahkamah Agung
Berdasarkan pertimbangan hukum diatas, Hakim Mahkamah Agung
memberikan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/ Penuntut
Umum pada Kejaksaan Negeri Manado tersebut.
2. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor
90/PID.B/2011/PN.MDO tanggal 22 September 2011 ;
MENGADILI SENDIRI
1. Menyatakan Para Terdakwa : dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I),
dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siaagian (Terdakwa III)
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Para Terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani
(Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siaagian
(Terdakwa III) dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh)
bulan.
3. Menetapkan barang bukti berupa Berkas catatan medis No.CM.041969 atas
nama Siska Makatey Tetap dilampirkan dalam berkas perkara.
4. Membebankan Para Termohon Kasasi/ Para Terdakwa tersebut untuk
membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat
kasasi ini ditetapkan masing-masing sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus
rupiah).
120
B. Pembahasan
2. Pertimbangan Hukum Hakim sehingga Menjatuhkan Putusan Bebas
pada Perkara Nomor 90/Pid.B/2011/PN.Manado
Putusan bebas atau disebut Vrijspraak juga diatur dalam Pasal 191 ayat
(1) KUHAP yang merumuskan bahwa:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus
bebas”.
M. Yahya Harahap,87
berpendapat mengenai putusan bebas bahwa
Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas
dari tuntutan hukum (vrijspraak)”.
Vrijspraak adalah salah satu dari beberapa putusan hakim yang berisi
pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, manakala perbuatan terdakwa
dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.88
Jadi putusan hakim yang
mengandung suatu pembebasan terdakwa karena peristiwa-peristiwa yang
disebutkan dalam surat dakwaan, setelah diadakan perubahan atau penambahan
selama persidanagan, bila ada sebagian atau seluruh dinyatakan oleh hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti.89
Inti dari putusan bebas adalah terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya. Putusan perkara Nomor 90/Pid.B/2011/PN.Manado, terdakwa
87
M Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 347. 88
Djoko Prakoso, Op. Cit., hlm. 270. 89
Ibid.
121
didakwa dengan dakwaan yang disusun secara Kumulasi yang dibarengi dengan
dakwaan alternatif atau subsidair yaitu :
Kesatu:
Primair: Pasal 359 KUHP Jis. Pasal 361 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP;
Subsidair: Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
Atau,
Kedua:
Primair: Pasal 76 Undang-Undang RI No.29 Tahun 2004 jo. Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP;
Atau,
Ketiga:
Primair: Pasal 263 ayat (1)KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Subsidair: Pasal 263 ayat (2)KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
Perbuatan dengan mana karena salahnya sehingga menyebabkan orang
lain meninggal dunia oleh pembentuk undang-undang diatur di dalam Buku II
Bab XXI Pasal 359, 360, dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
rumusannya di dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut:
“Hij aan wiens schuld de dood van een ander te wijten is, wordt gestraft
met gevangenisstraf van ten hoogste een jaar of hechteins van ten
hoogste negen maanden”90
yang artinya:
90 ENGELBRECHT, De Wetboeken hlm 1352.
122
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan meninggalnya orang lain,
dipidana dengan pidana penjara selamalamanya satu tahun atau pidana
kurungan selama-lamanya sembilan bulan”
Dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1960 tentang Perubahan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Tahun 1960 No. 1,
ancaman-ancaman pidana yang ditentukan dalam Pasal 359 KUHP diatas itu
telah diperberat,91
sehingga rumusan yang ada saat ini sebagaimana diatur di
dalam Pasal 359 KUHP adalah berbunyi sebagai berikut:
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan meninggalnya orang lain,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana
kurungan selama-lamanya satu tahun”
Dari rumusan Pasal 359 KUHP tersebut di peroleh sejumlah unsur-
unsur yang dapat kita bagi menjadi :92
1. Unsur-unsur Subjektif pada Pasal 359 KUHP tersebut, yaitu
“karena kesalahannya”.
2. Unsur-unsur Objektif pada Pasal 359 KUHP tersebut, yaitu
“menyebabkan orang mati”
Unsur “barang siapa” adalah orang atau manusia selaku subjek hukum
yang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, dalam hal ini adalah
terdakwa manusia yang normal yang tidak menderita kelainan jiwa sehingga
mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya apabila dikaitkan dengan
sehingga mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya apabila dikaitkan
dengan fakta-fakta yang terdapat dalam persidangan. Terdakwa dalam hal ini
91 P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm 176. 92
H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Alumni, Bandung, 1986, hlm
109.
123
adalah dr. Dewa Ayu (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan
dr. Hendy Siagian (Terdakwa III). Oleh karena itu unsur “barang siapa” telah
terpenuhi.
Unsur “karena salahnya”, unsur ini merupakan unsur subjektif yang
melekat pada sikap batin terdakwa dalam melakukan perbuatannya. Undang-
undang sendiri tidak memberikan penjelasannya tentang apa yang dimaksud
dengan schuld atau culpa tersebut. Memorie Van Toelichting hanya menjelaskan
sedikit tentang arti dari culpa yang mengatakan bahwa “schuld is de zuivere
tegenstelling van opzet aan de eene kant, van toeval aan de andere zijde” yang
artinya schuld (culpa) itu di satu pihak merupakan kebalikan yang murni dari
opzet dan di lain pihak ia merupakan kebalikan dari kebetulan.93
“Van Hammel dalam pendapatnya yang dikutip oleh Lamintang,94
menyebutkan bahwa schuld sebenarnya terdiri dari 2 (dua) unsur,
masing-masing yaitu “het gemis aan de nodige voor zienigheid” atau
kurangnya perhatian terhadap kemungkinan yang dapat timbul, dan “het
gemis aan de nodige voorzichtigheid” atau tidak adanya kehati-hatian
yang diperlukan.”
Schuld atau kesalahan atau kelalaian atau kulpa menurut ilmu
pengetahuan mempunyai 2 (dua) syarat:95
1. Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan kurang hati-hati
atau kurang waspada.
2. Pelaku harus dapat membayangkan timbulnya akibat karena
perbuatan yang dilakukannya dengan kurang hati-hati itu.
93 P.A.F Lamintang, Op,Cit., hlm 178 94
Ibid 95
H.A.K Moch Anwar, Op,Cit., hlm 110
124
Penentuan kesalahan ini ditentukan bahwa meskipun pelaku dapat
membayangkan akibat yang mungkin terjadi kaarena perbuatannya itu, ia tidak
melakukan tindakan-tindakan atau usaha-usaha untuk mencegah timbulnya
akibat. Apabila pelaku berhati-hati atau waspada ia akan melakukan tindakan-
tindakan terlebih dahulu guna mencegah timbulnya suatu akibat itu yang
sebelumnya telah dibayangkan.96
Tindak Pidana karena salahnya menyebabkan matinya orang lain
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP merupakan suatu culpoos
misdrijf atau suatu kejahatan yang harus dilakukan “tidak dengan sengaja”.
Arrest Hoge Raad tanggal 14 Nopember 1921 menyebutkan:
“Mededaderschap aan een culpoos misdrijf is ook aanwezig, wenner de
door ieder der daders geplegde handelingen of verzuimen, tezamen, en
in onderling verband, het door de wet niet gewilde gevold hebben
teweggebracht. Rechtstreekse of bewuste samenwerking is hievoor niet
vareist”
Yang artinya : “turut melakukan suatu culpoos misdrijf itu dapat terjadi
jika tindakan-tindakan atau kelalaian-kelalaian dari tiap-tiap peserta
secara bersama-sama dan secara timbal balik telah menyebabkan
timbulnya akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Untuk
adanya mededaderschap ini tidak disyaratkan adanya kerjasama yang
sifatnya langsung atau disadari”.97
“Lamintang98
menyebutkan bahwa kata mededaderschap diterjemhkan
dengan kata “turut melakukan”. Bentuk delneming atau keturutsertaan
kedua yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP itu ialah
medeplegen atau turut melakukan. Karena dalam bentuk keturutsertaan
ini seorang pelaku dan seorang atau beberapa orang yang turut
melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya, maka bentuk
keturutsertaan ini juga disebut mededaderschap.”
96 ibid 97
H.R. 14 November 1921, N.J. 1992 hal 179, W. 10842 dalam P.A.F. Lamintang,
Op, Cit, hlm 188. 98 P.A.F. Lamintang, Op, Cit, hlm 189.
125
Apabila beberapa orang secara bersama-sama telah melakukan tindak
pidana, maka tiap-tiap peserta dalam tindak pidana yang bersangkutan harus
dipandang sebagai mededader dari peserta atau dari peserta-peserta yang lain di
dalam tindak pidana.99
Unsur karena kesalahannya dapat dilihat pada kasus dr. Dewa Ayu dkk
ini, dalam mana secara bersama-sama ketiganya yakni dr. Dewa Ayu Sasiary
Prawani, dr. Hendy Siagian, dan dr. Hendri Simanjuntak yang mana masing-
masing dr. Dewa Ayu bertugas sebagai operator yang melakukan operasi,
kemudia dr. Hendy Siagian dan dr. Hendri Simanjuntak masing-masing sebagai
asisten operator I dan II.
Dokter Dewa Ayu sebagai operator merupakan dader atau pembuat
tindak pidana. Adapun dr. Hendy Siagian dan dr. Hendri Simanjuntak keduanya
sebagai asisten operator maka perbuatan keduanya dikualifisir sebagai
mededader atau turut melakukan sebagaimana dimaksud dalam bentuk
delneming atau keturutsertaan kedua yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1
KUHP.
Para terdakwa secara bersama-sama melakukan operasi cito secsio
sessaria terhadap korban Siska Makatei, dan sebelum dilakukannya operasi
tidak dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto
rontgen dada dan lain-lain sedangkan tekanan darah pada saat sebelum korban
dianestesi/ dilakukan pembiusan, sedikit tinggi yaitu menunjukkan angka 160/70
(seratus enam puluh per tujuh puluh) dan pemeriksaan jantung terhadap korban
99
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1984
hlm 588
126
dilaksanakan setelah pelaksanaan operasi selesai dilakukan kemudian
pemeriksaan jantung tersebut dilakukan setelah dr. Dewa Ayu (Terdakwa I)
melaporkan kepada saksi Najoan Nan Waraouw sebagai Konsultan Jaga Bagian
Kebidanan dan Penyakit Kandungan bahwa nadi korban 180 (seratus delapan
puluh) x per menit dan saat itu saksi Najoan Nan Waraouw menanyakan kepada
dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) jika telah dilakukan pemeriksaan jantung/ EKG
(Elektri Kardio Graf atau Rekam Jantung) terhadap diri korban, selanjutnya
dijawab oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) tentang hasil pemeriksaan adalah
Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) dan saksi Najoan Nan
Waraouw mengatakan bahwa denyut nadi 180 (seratus delapan puluh) x per
menit bukan Ventrikel Tachy Kardi (denyut jantung sangat cepat) tetapi Fibrilasi
(kelainan irama jantung).
Unsur “menyebabkan matinya orang” adalah melihat pada unsur
objektif yang merupakan akibat dari perbuatan yang mana karena kurang hati-
hati atau kurang waspada. Matinya telah terjadi karena perbuatan yang dilakukan
secara kurang hati-hati dan kematian tersebut tidak dikehendaki.
Pokok permasalahan dalam perkara ini adalah pertama para terdakwa
dianggap lalai karena tidak memberitahukan akan adanya resiko yang dihadapi
ketika dilakukannya operasi cito secsio sesaria terhadap korban maupun
keluarga korban.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan alat bukti yang diajukan dalam
persidangan bahwa menurut keterangan saksi-saksi dari keluarga korban yaitu
Julian Mahengkang dan Anselmus Makatey masing-masing menyatakan
127
menerima surat permohonan persetujuan operasi terhadap korban Siska Makatey
dari Terdakwa III, namun memang tidak diberikan penjelasan mengenai resiko
dilakukannya operasi. Para saksi juga mengetahui adanya tanda tangan Siska
Makatey dalam surat persetujuan operasi tersebut.
Saksi yang dihadirkan dari pihak dokter yaitu dr. Helmi, Anita
Lengkong, dan dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp. An., menyebutkan penjelasan oleh
Terdakwa III tentang resiko dilakukannya operasi telah disampaikan pada
keluarga korban dan langkah dilakukannya operasi terhadap korban juga telah
sesuai prosedur dan melalui pertimbangan tim medis.
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan
dihubungkan dengan keterangan Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III
sebagaimana yang telah diuraikan diatas, menurut Majelis Hakim adalah
bersesuaian satu dengan yang lainnya tentang hal bahwa para Terdakwa sebelum
melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban (Siska Makatey) ada
menyampaikan kepada pihak keluarga tentang kemungkinan-kemungkinan
terburuk termasuk kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi
Cito Secsio Sesaria tersebut dilakukan terhadap diri korban walaupun hal
tersebut dibantah oleh keluarga korbaan. namun berdasarkan alat bukti yaitu
surat persetujuan operasi tertanggal 10 April 2010, masing-masing Julien
Mahengkeng (ibu korban) dan Anselmus Makatey (ayah korban) telah
menyatakan surat persetujuan operasi tertanggal 10 April 2010 tersebut adalah
benar.
128
Berdasarkan uraian diatas, menurut Majelis Hakim pernyataan Julien
Mahengkeng (ibu korban) dan Anselmus Makatey (ayah korban) yang
mengatakan para Terdakwa dalam melaksanakan operasi Cito Secsio Sesaria
terhadap korban (Siska Makatey) tidak menjelaskan tentang resiko operasi tidak
cukup beralasan. Bahwa menurut Majelis Hakim adanya penjelasan sangat erat
kaitannya dengan persetujuan untuk dilaksanakannya operasi.
Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4)
Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran bahwa:
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan ;
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat penjelasan secara lengkap ;
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kuranganya
mencakup
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis ;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan ;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya ;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan ;
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan ;
Selain hal tidak diberitahukannya resiko operasi, para terdakwa juga
dianggap lalai karena tidak melakukan pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan penunjang lainnya
sebelum dilakukannya operasi terhadap korban Siska Makatey.
Berdasarkan keterangan saksi yaitu Prof. dr. Najoan Nan Waraouw, dan
setelah mendengarkan keterangan ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, S.H.,S.PF, dr.
Johanis F. Mallo, S.H.,S.Pt,.DFM bahwa operasi ada 2 (dua) jenis yaitu operasi
terencana dan operasi segera (Cito). Adapun bedanya antara operasi terencana
129
dan operasi segera (Cito) adalah dari sisi kepentingan, operasi terencana itu
apakah benar harus dilakukan, dan harus ada persetujuan pasien atau
keluarganya sedangkan operasi cito sifatnya segera untuk menyelamatkan jiwa
dan tidak harus ada persetujuan. Selain itu, pada operasi Cito (Darurat) tidak
harus dilakukan pemeriksaan pendukung.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, yakni berdasar pada keterangan saksi
yaitu saksi Prof.dr. Najoan Nan Waraouw, serta keterangan ahli dr. Erwin
Gidion Kristanto, S.H.,S.PF, dan dr. Johanis F. Mallo,S.H.,S.Pt,DFM Majelis
Hakim berpendapat bahwa dalam operasi cito secsio sesaria (darurat) tidak
diperlukan pemeriksaan penunjang terhadap pasien in casu korban (Siska
Makatey) sehingga dengan demikian pula menurut Majelis Hakim perbuatan
para Terdakwa sebagai dokter yang dalam melaksanakan operasi cito secsio
sesaria terhadap diri korban (Siska Makatey) yang tidak melakukan pemeriksaan
penunjang, seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada dan pemeriksaan
penunjang lainnya bukanlah merupakan suatu kelalaian.
Dakwaan kelalaian yang ketiga adalah bahwa para terdakwa dianggap
lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksanaan
operasi sehingga terhadap diri korban terjadi kembali udara yang masuk
kedalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk keparu-paru
sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan
kegagalan fungsi jantung dan berujung pada meninggalnya korban (Siska
Makatey).
130
Berdasarkan Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado No. 61 / VER / IKF / FK / K / VI / 2010, tanggal 26 April 2010
Visum Et Repertum atas nama Julia F. Makatey yang ditanda tangani oleh dr.
Johanis F. Mallo, S.H.,S.Pt. DFM., bahwa operasi cito secsio sesaria yang
dilakukan terhadap diri korban yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I),
dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III)
mengakibatkan korban meninggal dunia karena terjadi emboli udara yang masuk
ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru
sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan
kegagalan fungsi jantung pada diri korban.
Berdasarkan uraian diatas, para terdakwa dianggap lalai karena tidak
menjalankan tugasnya sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang
telah ditetapkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun Peraturan
perundangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.512/MenKes/PER/IV/2007 tentang izin praktek dalam
melaksanakan praktek kedokteran menyebutkan:
“Standard prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-
langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu, dimana standard prosedur operasional memberikan langkah
yang benar dan terbaik berdasarkan consensus bersama untuk
melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh
sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standard profesi.”
131
Joseph H. King Jr.100
sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto dan
Herkutanto menyebutkan:
“Mengenai standar perawatan atau standar profesional tidaklah mudah
menentukannya. Oleh karena itu, dalam penentuan tolak ukurnya itu
diajukan beberapa permasalahan terlebih dahulu. Setelah masalah-
masalah itu terjawab barulah dapat dilakukan identifikasi terhadap
standarisasi perawatan atau standar profesional tersebut.”
Berdasarkan keterangan ahli dr. Johanis F. Mallo, S.H.,S.Pt.DFM.,
dipersidangan mengatakan penyebab korban (Siska Makatey) meninggal dunia
adalah karena masuknya udara dalam bilik kanan jantung yang menghambat
udara masuk paru-paru dan terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya
mengakibatkan kegagalan fungsi jantung, yang mana udara masuk kedalam bilik
kanan jantung korban sebelum operasi dilakukan karena terjadi pelebaran
pembuluh darah yang disebabkan oleh reaksi tubuh. Kematian korban tidak ada
hubungannya dengan tindakan operasi yang dilakukan oleh para terdakwa.
Berdasarkan keterangan saksi Prof. dr. Najoan Nan Waraouw di
persidangan mengatakan bahwa tindakan operasi yang dilakukan para Terdakwa
sudah sesuai prosedur dan ternyata anak dari korban selamat dan kematian
korban (Siska Makatey) diluar jangkauan.
Melihat alat-alat bukti dalam persidangan yakni Putusan dari lembaga
kedokteran yang berwenang menilai apakah tindakan dokter dalam menjalankan
tugasnya telah sesuai dengan prosedur atau melanggar standar operasional
prosedur yakni Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), setelah
membaca dan mempelajari Hasil Sidang Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
100
Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Bandung,
Remadja Karya, 1987, hlm 159.
132
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Sulawesi Utara No. 006/IDIWIL
/SULUT /MKEKII/ 2011 tanggal 24 Pebruari 2011 yang ditanda tangani oleh
Prof. Dr. R. L. Lefrandt, S.PJP-(K) sebagai ketua, Prof. Dr. Max Mantik,
S.PA(K) sebagai sekertaris dan juga mempertimbangkan Visum Et Repertum
atas nama Julia F. Makatey tertanggal 26 April 2010 yang ditanda tangani oleh
dr. Johanis F. Mallo, S.H.,S.Pt.,DFM.
Berdasarkan uraian-uraian keterangan saksi, keterangan ahli
sebagaimana dikemukakan diatas Majelis Hakim tidak melihat adanya bukti-
bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun oleh para Terdakwa/
Penasehat Hukumnya, untuk dapat dijadikan ukuran bahwa para Terdakwa
didalam menangani operasi cito sectio ceseria tidak sesuai dengan SOP sehingga
menyebabkan kematian korban (Siska Makatey) dan hal tersebut dikuatkan pula
oleh hasil sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI Wilayah Sulawesi
Utara No.006/IDI-WIL/SULUT/MKEK/II/2011 tanggal 24 Februari 2011.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka majelis hakim berkesimpulan
bahwa dakwaan para terdakwa telah melakukan kelalaian dalam menjalankan
tugasnya sebagai profesi medik, sehingga mengakibatkan meninggalnya pasien
(Siska Makatey) adalah tidak terbukti menurut hukum. Dengan demikian maka
para terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan kesatu primair yang mana unsur
melawan hukumnya adalah karena kelalaian dalam menjalankan tugasnya
sehingga menimbulkan kematian pada orang lain. hal itu sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP, Jo Pasal 55 ayat
(1) ke 1 KUHP.
133
Dakwaan kesatu primer yang didakwakan kepada para terdakwa yaitu
melanggar Pasal 359 KUHP Jis Pasal 361 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1
KUHP merupakan pasal pemberatan dari pasal yang didakwakan dalam
dakwaan kesatu subsider yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1)
ke 1 KUHP, karena kelalaian yang menyebabkan kematian pada orang lain itu
dijalankan dalam melaksanakan profesinya. Maka dengan dibebaskannya para
Terdakwa dari dakwaan kesatu primer yaitu melanggar Pasal 359 KUHP Jis
Pasal 361 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka para terdakwa haruslah
juga dibebaskan dari dakwaan kesatu subsider yaitu melanggar Pasal 359 KUHP
Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Dakwaan kesatu telah gugur, maka akan dipertimbangkan dakwaan
alternatif yang kedua yakni perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan
diancam dengan pidana dalam Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004
tentang Prakter Kedokteran Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Adapun Pasal 76
Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004 tentang Prakter Kedokteran berbunyi
sebagai berikut :
“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktek
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah)”
Berdasarkan dakwaan kedua tersebut, dan didengarkan keterangan
saksi-saksi dalam persidangan yaiut dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp.An., Prof. dr.
Najoan Nan Waraouw, yang mana menyatakan bahwa para Terdakwa
sebenarnya adalah peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis di
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi tetapi bertindak sebagai tenaga
134
medis karena sudah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Dalam hal ini,
peserta pendidikan program dokter spesialis para Terdakwa tidak wajib memiliki
surat ijin praktek karena sudah memiliki Surat Tanda Registrasi dokter dan
sudah bisa melakukan tindakan kedokteran. Namun demikian seorang dokter
tetap wajib memiliki sirat ujun praktek walaupun sudah mendapatkan STR.
Peserta pendidikan program dokter spesialis para Terdakwa tidak wajib
memiliki surat ijin praktek karena sudah memiliki Surat Tanda Registrasi dokter
dan sudah bisa melakukan tindakan kedokteran. Proses pengajuan perijinan
dokter PPDS adalah Surat Tanda Registrasi diajukan oleh Dekan Fakultas
Kedokteran kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Manado untuk diterbikan ijin
praktek secara kolektif, yang menjadi dasar Dekan Fakultas Kedokteran
mengajukan permohonan ijin kolektif untuk dokter Program Pendidikan Dokter
Spesialis adalah Peraturan Menteri Kesehatan No.512 tahun 2007. Terdakwa I
sudah mengurus Surat Ijin Praktek pada tahun 2010 sebagai dokter umum. Ketua
Program Study Kebidanan dan kandungan di Universitas Sam Ratulangi adalah
Prof. dr. Najoan Nan Waraouw sendiri dan para Terdakwa belum diusulkan
untuk mendapatkan Surat Ijin Praktek (SIP) oleh Dekan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kota Manado.
Berdasarkan keterangan ahli yang dihadirkan dalam persidangan dr.
Johanis F. Mallo, S.H.,S.Pt.DFM., menyatakan berkaitan dengan persoalan SIP
adalah bahwa untuk dokter PPDS Surat Ijin Prakteknya dilakukan oleh Dekan
Fakultas Kedokteran dengan membuat usulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan menerbitkan Surat Ijin Praktek secara
135
kolektif. Jika Dekan Fakultas Kedokteran tidak mengusulkan Ijin Praktek dokter
PPDS kepada Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota itu merupakan suatu
kelalaian. Namun jika ada 10 (sepuluh) dokter PPDS oleh Dekan Fakultas
Kedokteran tidak melaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
para dokter PPDS tersebut tidak berkewajiban mengurusnya.
Berdasarkan keterangan para saksi dan keterngan ahli diatas maka
tindakan para terdakwa menjalankan tugas praktek kedokteran walaupun belum
memiliki Surat Ijin Praktek bukanlah sebuah pelanggaran Prosedural karena para
terdakwa adalah peserta didik dalam Program Pendidikan Dokter Spesiaalis
kebidanan dan Kandungan Universitas Samratulangi, sehingga mereka bertindak
sebagai peserta didik dan tindakan melakukan operasi yang para terdakwa
lakukan sudah dikonsultasikan dengan tim medis dan dokter jaga.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PVV-V/2007 tanggal
19 Juni 2007 atas permohonan dr. Anny J. S. Tandyaril Sarwono, Sp. An, S.H,
dr. Pranomo SP.PD, Prof. Dr. R.M. Padmo Sartjojo, dr. Bambang Tutuko, dr.
Charina, dr. Rama Tjandra, SP.Og, H. Chanada Chasani, S.H. mengenai
ketentuan yang diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang R.I No. 29 Tahun 2004
tentang Praktek kedokteran sudah ada putusan yang amarnya berbunyi sebagai
berikut :
a. Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
b. Menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-
kata “penjara” paling lama 3 (tiga) tahun atau dan Pasal 79 sepanjang
mengenai kata-kata “kurungan” paling lama 1 (satu) tahun atau serta
Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata atau huruf e Undang-Undang
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 No. 116, Tambahan Lembaran Negara
136
Republik Indonesia No.4431 bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Menyatakan Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-
kata penjara paling lama 3 (Tiga) tahun atau dan Pasal 79 sepanjang
mengenai kata-kata kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau serta
Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata atau huruf e Undang-
Undang No. 29 tahun 2004 Tentang prektek Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No.116 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No.4431 tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
d. Menolak permohonan para pemohon untuk selebihnya;
e. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimanamestinya
Berdasarkan uraian-uraian diatas menurut Majelis Hakim dakwaan
yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada para Terdakwa sebagaimana
dakwaan alternative kedua melanggar Pasal 76 Undang-Undang No. 29 Tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran, sudah bukan merupakan tindak pidana
sehingga dengan demikian kepada para Terdakwa harus dibebaskan pula dari
dakwaan alternative kedua yaitu Pasal 76 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktek Kedokteran.
Para terdakwa dibebaskan dari dakwaan kesatu dan kedua, maka akan
dipertimbangkan dakwaan ketiga primair yakni perbuatan para terdakwa
sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo Pasal
55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 263 ayat (1) KUHP berbunyi sebagai berikut :
“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara selama 6 tahun”
137
Pasal 263 ayat (1) mengandung 2(dua) jenis perbuatan yang dilarang
yaitu membuat surat palsu dan memalsukan surat. Kejahatannya disebut
pemalsuan surat. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 263 ayat (1) adalah
sebagai berikut:
Unsur obyektif:
c. Membuat surat palsu,
d. Yang dapat:
1. Menerbitkan sesuatu hak;
2. Menerbitkan suatu perjanjian (perikatan)
3. Menimbulkan pembebasan suatu hutang
4. Diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal
Unsur Subyektif:
Dengan maksud:
c. Untuk mempergunakan atau memakai surat itu:
Seolah-olah asli dan tidak palsu;
d. Pemakaian atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan
kerugian101
Membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada
keseluruhannya. Adanya surat ini karena dibuat secara palsu. Surat ini mempunyai
tujuan untuk menunjukkan bahwa surat itu seakan-akan berasal dari orang
daripada penulisnya.
Salah satu unsur objektif dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHP adalah
adanya surat itu adalah diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal.
Terhadap sifat ini diadakan pembatasan, yaitu berdasarkan sifatnya harus
memiliki kekuatan pembuktian. Ketentuan diperuntukkan guna pembuktian harus
menimbulkan akibat kekuatan pembuktian, akibat kekuatan pembuktian mana
101
Moch Anwar, hlm 188-189.
138
harus didasarkan atas sesuatu kekuasaan/kewenangan yang dapat memberikan
kekuatan pembuktian pada beberapa jenis surat tertentu.102
Melihat unsur-unsur yang ada di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP, yang
pertama bahwa adanya unsur “barang siapa”, melihat sebagaimana uraian
sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah mereka yang
menjadi subjek hukum dan dianggap melakukan tindak pidana, dengan demikian
maka unsur pertama ini menurut hukum telah terpenuhi.
Unsur kedua adalah “Unsur membuat surat palsu atau memalsukan
surat”, yang dipersoalkan adalah tanda tangan korban yang berada didalam surat
persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anastesi yang
diserahkan oleh dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk ditanda tangani oleh
korban tersebut berbeda dengan tanda tangan korban yang berada didalam Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dan kartu Askes kemudian setelah dilakukan pemeriksaan
oleh laboratorium Forensik Cabang Makasar dan berdasarkan hasil pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 9 Juni 2010 No.Lab:509/DTF/2011, yang
dilakukan oleh Drs. Samir. S.St M.K, Ardani Adhis, S. A.Md dan lelaki Marendra
Yudi L,S.E menyatakan tanda tangan atas nama Julia Fransiska Makatey pada
dokumen bukti adalah tanda tangan karangan /spurious signature.
Dengan kata lain para terdakwa dianggap telah melakukan pemalsuan
dengan tujuan diperuntukkan sebagai bukti atas sesuatu hal yakni dilakukannya
operasi. Namun majelis hakim berpendapat bahwa mengenai keaslian tanda
tangan dari korban (Siska Makatey) pada surat persetujuan tindakan medik adalah
102 Ibid, hlm 191.
139
harus dianggap benar sejauh tidak dapat dibuktikan sebaliknya bahwa memang
bukanlah korban sendiri yang membubuhkan tanda tangan pada surat persetujuan
tindakan medik tersebut. Berdasarkan uraian diatas, maka unsur pemalsuan surat
adalah tidak terbukti menurut hukum, maka unsur yang lainnya tidak perlu
dibuktikan lagi.
Majelis Hakim selanjutnya mempertimbangkan dakwaan alternative
ketiga subsidair yakni perbuatan para Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal
263 ayat (2) KUHP menyebutkan:
“Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa degan sengaja memakai
surat palsu atau yang dipalsukan seolaholah sejati, jika pemakaian surat
itu seolah-olah sejati”
Mendasarkan pada uraian diatas, surat persetujuan tindakan khusus, surat
persetujuan pembedahan dan anastesi tertanggal 10 April 2010 tersebut tidak
dapat dikatakan surat tersebut adalah palsu menurut Majelis Hakim para
Terdakwa haruslah dinyatakan tidak terbuti telah melakukan tindak pidana
sebagaimana dakwaan alternative ketiga subsidair yaitu melanggar Pasal 263 ayat
(2) Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan kepada para Terdakwa haruslah
dibebaskan dari dakwaan alternative ketiga subsidair tersebut.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum hakim tersebut,
terdakwa dijatuhkan putusan bebas sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP. hal
ini sesuai dengan pendapat M. Yahya Harahap,103
mengenai putusan bebas dapat
ditinjau dari beberapa segi yaitu:
103
M. yahya Harahap, Loc. Cit.
140
1). Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik
berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk, serta
pengakuan terdakwa sendiri tidak dapat membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Artinya perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena
menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup
atau tidak memadai, atau;
2). Pembuktikan kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas
minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya satu
orang saksi. Dalam hal ini, selain tidak memenuhi batas minimum
pembuktian juga bertentanagan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang
menegaskan unnus testis nullus testis atau satu orang saksi bukan saksi;
3). Putusan bebas disini bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang
terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim jadi sekalipun secara
formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai
pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh
keyakinan hakim. Dalam keadaan penilaian seperti ini, putusan yang
akan dijatuhkan pengadilan adalah membebaskan terdakwa dari tuntutan
hukum.104
Majelis hakim dalam pembuktian perkara ini telah sesuai dengan sistem
pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk) yang
merupakan sistem pembuktian dalam KUHAP.105
Maksud dari sistem pembuktian
ini adalah teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif
dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (Conviction-in time). Sistem
ini, terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan
kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang, serta dibarengi dengan keyakinan hakim.106
Pasal 183 KUHAP yang mengatur tentang sistem pembuktian negative
wettelijk menyatakan bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
104
Ibid., hlm. 348. 105
Ibid., hlm. 132. 106
Ibid., hlm. 278.
141
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo,107
Pasal 183 KUHAP mengandung;
1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
2. Dasar-dasar alat bukti yang sah itu keyakinan hakim, yakni bahwa :
a. Tidak terjadi;
b. Terdakwa telah bersalah.
Alat bukti dalam perkara ini yaitu keterangan beberapa saksi (2 orang)
dan mendengarkan keterangan ahli (2 orang) dalam perkara ini, keterangan para
terdakwa, serta barang bukti berupa berkas catatan medis No. cm. 041969 atas
nama Siska Makatey dan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada
tanggal 9 Juni 2010 No.Lab:509/DTF/2011.
Hal ini telah sesuai dengan alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa:
Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa;
Terdakwa dalam perkara ini diputus bebas, karena majelis hakim
menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidanagan
dengan memeriksa beberapa alat bukti dan hakim berkeyakinan bahwa dalam hal
melakukan tindakan medis berupa operasi cito secsio sesaria para terdakwa
tidaklah melakukan kelalaian karena perbuatan para terdakwa sudah sesuai
dengan SOP dan sesuai kewajiban dan tanggungjawab etika kedokteran. Selain itu
107
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 12.
142
adanya pemalsuan tanda tangan korban (Siska Makatey) tidak dapat dibuktikan
bahwa tanda tangan tersebut adalah palsu.
2. Pertimbangan Hukum Hakim Sehingga Menjatuhkan Putusan Pemidanaan
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/Pid/2012
Ketentuan Pasal 244 KUHAP menyebutkan bahwa:
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau
penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”
Ketentuan dalam Pasal 244 KUHAP ini secara nyata telah menutup
segala pintu upaya hukum bagi putusan bebas. Namun berkaitan dengan putusan
bebas tidak dapat diajukan permohonan kasasi, dalam prakteknya ketentuan
Pasal 244 KUHAP ini telah disingkirkan oleh Mahkamah Agung secara centra
logem, yakni praktek dan penerapan hukum yang secara terang-terangan
bertentangan dengan undang-undang.108
Sejarah penerobosan terhadap larangan Pasal 244 KUHAP ini malah
datangnya dari pihak eksekutif sendiri dalam hal ini adalah Departemen
Kehakiman, yakni dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman
tanggal 10 Desember 1983 No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan Lampiran Keputusan
dengan tanggal dan nomor yang sama. Pada angka 19 lampiran dimaksud
terdapat penegsan yang berupa pedoman:
1) Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding;
108
M.Yahya Harahap, Op,Cit., hlm 544
143
2) Tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini
akan didasarkan pada yurisprudensi.
Selang 5 (lima) hari setelah adanya Keputusan Menteri Kehakiman
No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983, yakni pada tanggal 15 Desember 1983 lahir
yurisprudensi pertama dalam putusan Mahkamah Agung yang menerima dan
mengabulkan permohonan kasasi terhadap putusan bebas yakni dalam putusan
Mahkamah Agung Reg. No. 275K/Pid/1983.
Berdasarkan pada Yurisprudensi diatas, Djoko prakoso,109
berpendapat:
“Mengenai putusan bebas/Vrijspraak tidak dapat diajukan
permohonan kasasi, hal ini diatur secara tegas dalam undang-undang
(Pasal 244 KUHAP), tetapi pasal ini dapat diterobos dengan
Keputusan Menteri Kehakiman RI: M 14-P.W, 07, 03 Tahun 1983
tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang terdapat dalam Pasal 19 yang menyatakan: “Terhadap
putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi demi situasi dan
kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan
bebas dapat dimintakan kasasi”.
Permohonan kasasi diajukan oleh penuntut umum dengan alasan bahwa
putusan bebas itu bukan bebas murni. Dalam meninjau apakah pembebasan itu
merupakan “pembebasan yang murni” ataukah “pembebasan yang tidak murni”
Mahkamah Agung dalam Putusannya tanggal 28 Agustus No. 68 K/Kr/1965
berpendapat bahwa persoalan yang diputus oleh Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi dalam perkara ini bukanlah mengenai pembuktian melainkan
mengenai penilaian tindak pidana sebagaimana harus dianggap ternyata menurut
109
Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm. 288.
144
pemeriksaannya, sehingga pembebasan para terdakwa tersebut diatas merupakan
suatu pembebasan yang tidak murni (verkapte onslag van rechtsvervoeling)110
.
Dalam hal putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa itu sifatnya
merupakan pembebasan murni maka permohonan kasasi harus dinyatakan
ditolak. Namun sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran
yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan
dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur pidana yang
didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu
pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, Mahkamah Agung atas dasar
pendapatnya bahwa pembebasan tersebut bukanlah pembebasan murni, maka
permohonan kasasi harus diterima.111
Berdasarkan pada uraian-uraian diatas, maka Mahkamah Agung
menerima permohonan kasasi terhadap putusan bebas No.
90/Pid.B/2011/PN.Mdo yang diajukan oleh penutut umum dengan alasan bahwa
hakim tingkat pertama dalam menjatuhkan putusan adalah memberikan
interpretasi yang tidak benar sehingga tuduhan itu dianggap tidak terbukti.
Proses pemeriksaan dalam kasasi, walaupun pemeriksaan dilakukan
atas berkas perkara, namun sebagaimana telah ditentukan oleh Pasal 253 ayat (3)
KUHAP, apabila diperlukan Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri
keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum.
110
Soedirjo, Kasasi dalam Perkara Pidana (sifat dan fungsi), Op.Cit, hlm.79-80. 111
Lihat Pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam Putusan No.
365K/Pid/2012
145
Majelis hakim setelah membaca berkas-berkas yang bersangkutan,
majelis hakim mempertimbangkan unsur subyektif maupun unsur obyektif
berdasarkan alat-alat bukti yang sah daIam perkara ini yaitu keterangan saksi-
saksi, bukti surat, petunjuk serta keterangan Terdakwa serta mempelajari
putusan Pengadilan Negeri Manado dengan register perkara No.
90/Pid.B/2011/PN.Mdo maka majelis hakim kasasi berpendapat Judex Facti
salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-
hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekam medis No. 041969
yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp.F. bahwa
pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou
Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah
berat.
“M.H. Silaban menyebutkan,112
Setiap putusan pengadilan harus
memenuhi persyaratan sebagaimana telah ditentukan oleh undang-
undang. Secara terperinci persyaratan tersebut dimuat dalam Pasal 197
KUHAP, yang mana tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagaimana
telah ditentukan, itu akan mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah alasan-alasan atau
pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dasar putusan.
Dalam kasus dr. Dewa Ayu ini, majelis hakim mempelajari alat-alat
bukti berupa:
1) Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes atas nam Julia
Fransiska Makatey;
2) Dokumen hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Cabang Makassar
dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada
112 M.H. Silaban, Op.Cit, hlm 173.
146
tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011, yang dilakukan oleh
masing-masing lelaki Drs. Samir, S.St. Mk., lelaki Ardani Adhis, S.
Amd dan lelaki Marendra Yudi L., SE.,
3) Berkas catatan medis No. cm. 041969 atas nama Siska Makatey yang
terdiri dari:
1. PT. Asuransi Kesehatan Indonesia results Siska Yulian
Makatey;
2. Surat pernyataan telah dirawat;
3. Rekam jantung Siska Makatey 2004;
4. Surat konsul 10 April 2010 RSU Prof. Kandou Manado
(poliklinik obstetri status obstetrikus);
5. Catatan pemasukan dan pengeluaran cairan form 0014;
6. Instruksi post operasi;
7. Surat konsul ke bagian anastesiologi;
8. Rekam jantung ;
9. Laporan operasi ;
10. Kurva suhu dan nadi, serta catatan khusus Dinas kesehatan Kota
Manado Puskesmas Bahu/ surat rujukan ibu hamil atas nama
Siska Makatey ;
11. Ringkasan masuk dan keluar Siska Makatey ;
12. Lembaran masuk dan keluar Siska Makatey ;
13. Klinical Patway Siska Makatey ;
14. Surat persetujuan tindakan khusus dan surat persetujuan
pembedahan dan anastesi tanggal 10 April 2010 ;
15. Diagnosa akhir Siska Makatey ;
16. Resume keluar Siska Makatey ;
17. Surat pengantar pulang (tidak ada catatan) ;
18. Iktisar waktu pulang (tidak ada catatan ) ;
19. Anamnesis utama Siska Makatey ;
20. Anamnesis kebidanan Siska makatey ;
21. Pemeriksaan kebidanan I Siska Makatey ;
22. Pemeriksaan kebidanan II Siska Makatey ;
23. Resume masuk Siska Makatey ;
24. Portograf Siska Makatey ;
25. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ;
26. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ;
147
27. Lembaran observasi persalinan Siska Makatey ;
28. Laporan persalinan I Siska Makatey ;
29. Laporan persalinan IIa Siska Makatey ;
30. Lembaran catatan harian dokter (tidak ada catatan) ;
31. Hasil pemeriksaan laboratorium (tidak ada catatan) ;
32. Catatan pemasukan dan pengeluaran cairan (tidak ada catatan) ;
33. Hasil pemeriksaan radiologi kedokteran nuklir, dan lain-lain
(tidak ada catatan);
34. Nifas (tidak ada catatan) ;
35. Catatan perawat intensif (tidak ada catatan) ;
36. Catatan dan instruksi dokter (tidak ada catatan) ;
37. Pelaksanaan proses keperawatan pengkajian data (tidak ada
catatan) ;
38. Lembaran untuk penempelan surat (tidak ada catatan) ;
39. Catatan obat oral dan per enteral (tidak ada catatan) ;
40. Catatan perawat bidan (Siska Makatey) ;
41. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Dewa Ayu
Sasiary Prawani yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri
Manado ;
42. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Hendry
Simanjuntak yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri
Manado;
43. 1 (satu) lembar foto copy sertifikat kompetensi dr. Hendy
Siagian yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Negeri Manado
Majelis hakim mempertimbangkan alasan dari Jaksa Penuntut Umum
dalam mengajukan Permohonan kasasi adalah sebagai berikut:
Judex Facti telah salah menerapkan hukum karena seharusnya Majelis
Hakim dapat mempertimbangkan unsur subyektif maupun unsur obyektif
berdasarkan alat-alat bukti yang sah daIam perkara ini yaitu keterangan saksi-
saksi, bukti surat, petunjuk serta keterangan Terdakwa, diperoleh fakta bahwa :
1) Berdasarkan keterangan dari saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp.An.
bahwa jawaban konsul terhadap surat konsul yang dikirim oleh bagian
kebidanan kepada bagian anestesi tersebut yang menyatakan : pada
prinsipnya kami setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi
148
resiko tinggi, oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon
dijelaskan kepada keluarga resiko yang bias terjadi "darut"/ sebelum
operasi atau "post"/ usai operasi. Bahwa penyebab udara masuk dari
setiap pembuluh darah balik yang terbuka yaitu dari infus atau dari
suntikan obat tetapi dalam kepustakaan dikatakan udara yang masuk dari
pembuluh darah balik ini hanya bisa menyebabkan kecelakaan penting
yang kalau dia di atas 25 mg dan kalau di bawah tidak akan
menyebabkan apa-apa, kemudian dalam kenyataan pemberian obat dari
infus tidak pernah masuk udara karena dari suntik disposible untuk
masuk udara, selanjutnya dari kepustakaan yang saksi baca dan saksi
dapat dalam pendidikan saksi yaitu kemungkinan yang bisa juga adalah
terutama dalam operasi persalinan bahkan di dalam aturan dikatakan
bahwa udara bisa masuk sering terjadi pada operasi bedah saraf dengan
posisi pasien setengah duduk bisa terjadi pada saat dia terkemuka itu
udara bisa masuk, pada bagian kebidanan yang bisa sering terjadi bukan
saja pada sectio sesaria tetapi juga pada kuretase bahkan dalam laporan
kasus yaitu untuk hubungan intim dimana suami memakai oral itu bisa
terjadi masuk udara, kasus ini memang jarang tetapi bisa saja terjadi, jadi
pada waktu bayi lahir plasenta terangkat pembuluh darah itu terbuka
yaitu pembuluh darah arteri/ pembuluh darah yang pergi yang warna
merah dan pembuluh darah balik/ arteri yang warna hitam, jadi
kemungkinan udara yang masuk berdasarkan hasil visum bisa saja terjadi
dari beberapa hal tadi, selanjutnya tugas anestesi dalam hal ini telah
selesai karena pasien/ korban sudah membuka mata dan bernapas spontan
kecuali jika saat pasien sebelum dirapihkan semua kemudian meninggal
maka masih merupakan tugas dan tanggung jawab dari anestesi dan
kebidanan.
2) Berdasarkan keterangan dari saksi Prof. Dr. Najoan Nan Waraouw,
Sp.OG. bahwa Terdakwa I (satu) mengatakan : operasi terhadap pasien/
korban telah selesai dilaksanakan dan pada saat operasi dilakukan yaitu
sejak sayatan dinding perut pertama sudah mengeluarkan darah hitam,
selama operasi dilaksanakan kecepatan nadi tinggi yaitu 160 (seratus
enam puluh) x per menit , saturasi oksigen hanya berkisar 85 % (delapan
puluh lima persen) sampai dengan 87 % (delapan puluh tujuh persen),
setelah operasi selesai dilakukan kecepatan nadi pasien/ korban adalah
180 (seratus delapan puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru
dilakukan pemeriksaan EKG/ periksa jantung yang dilakukan oleh bagian
penyakit dalam dan saksi menanyakan apakah sudah dilakukan
pemeriksaan jantung karena saksi berpikir keadaan ini penyebabnya dari
jantung serta dijawab oleh Terdakwa I (satu) sementara dilakukan
149
pemeriksaan dan hasilnya sudah ada yaitu bahwa pada penderita terjadi
Ventrikel Tachy Kardi (denyut nadi yang cepat) tetapi saksi mengatakan
bahwa itu bukan Ventrikel Tachy Kardi (denyut nadi yang cepat) jika
denyut nadi sudah di atas 160 x per menit tetapi "Fibrilasi" yaitu pertanda
bahwa pada jantung terjadi kegagalan yang akut dan pasti pasien akan
meninggal karena biasanya kegagalan akut itu karena emboli
(penyumbatan pembuluh darah oleh suatu bahan seperti darah, air
ketuban, udara, lemak, trombus dan komponenkomponen lain) serta
pasien/ korban pasti meninggal, selanjutnya dikabarkan bahwa pada
waktu kurang lebih pukul 22.20 WITA, pasien/ korban dinyatakan
meninggal dunia oleh bagian penyakit dalam.
3) Berdasarkan keterangan dari Ahli dr. Robby Willar, Sp.A. bahwa pada
saat plasenta keluar, pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta
terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta tetapi tidak berpengaruh
terhadap bayi karena sebelum plasenta dikeluarkan bayi sudah dipotong/
bayi lebih dulu keluar kemudian tali pusat/ plasenta dipotong.
4) Berdasarkan keterangan dari Ahli Johannis F. Mallo, SH. Sp.F. DFM.
Bahwa infus dapat menyebabkan emboli udara tetapi kecil kemungkinan
dan hal tersebut dapat terjadi karena efek venturi, kemudian kapan efek
venturi terjadi yaitu korban meninggal dunia pukul 22.20 WITA, infus 20
tetes = 100 cc/ menit, operasi dilakukan pukul 20.55 WITA, anak lahir
pukul 21.00 WITA dalam hal ini udara sudah masuk terlebih dulu
kemudian dilaksanakan operasi, maka 30 menit sebelum pelaksanaan
operasi sudah terdapat 35 cc udara.
Majelis hakim mempelajari berkas keterangan para saksi yang
dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun para saksi yang dihadirkan para
terdakwa, serta keterangan para ahli serta mendengarkan keterangan para
terdakwa.
Berdasar rumusan dalam Pasal 359 KUHP Jis. Pasal 361 KUHP Jo.
Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
Ad. 1. Unsur Barang siapa :
Pengertian barang siapa adalah kata ganti orang, atau dengan kata lain
dapat diartikan pula sebagai subjek pelaku delik. Dalam perkara ini tidak ada
150
orang lain yang dijadikan sebagai Terdakwa (subjek pelaku delik) selain
Terdakwa I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terdakwa II dr. Hendry
Simanjuntak dan Terdakwa III dr. Hendy Siagian. Dengan demikian menurut
majelis hakim unsur barang siapa dalam perkara ini telah terpenuhi menurut
hukum.
Ad. 2. Unsur karena kesalahannya menyebabkan matinya orang lain
Majelis Hakim berpendapat bahwa adanya unsur unsur kelalaian yang
menyebabkan matinya orang lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 359
KUHP
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau
pidana kurungan paling lama 1 tahun”
Unsur “karena salahnya”, unsur ini merupakan unsur subjektif yang
melekat pada sikap batin terdakwa dalam melakukan perbuatannya. Undang-
undang sendiri tidak memberikan penjelasannya tentang apa yang dimaksud
dengan schuld atau culpa tersebut. Memorie Van Toelichting hanya menjelaskan
sedikit tentang arti dari culpa yang mengatakan bahwa “schuld is de zuivere
tegenstelling van opzet aan de eene kant, van toeval aan de andere zijde” yang
artinya schuld (culpa) itu di satu pihak merupakan kebalikan yang murni dari
opzet dan di lain pihak ia merupakan kebalikan dari kebetulan.113
“Van Hammel dalam pendapatnya yang dikutip oleh Lamintang,114
menyebutkan bahwa schuld sebenarnya terdiri dari 2 (dua) unsur,
masing-masing yaitu “het gemis aan de nodige voor zienigheid” atau
kurangnya perhatian terhadap kemungkinan yang dapat timbul, dan “het
113
P.A.F Lamintang, Op,Cit., hlm 178 114
Ibid
151
gemis aan de nodige voorzichtigheid” atau tidak adanya kehati-hatian
yang diperlukan.”
Schuld atau kesalahan atau kelalaian atau kulpa menurut ilmu
pengetahuan mempunyai 2 (dua) syarat:115
1) Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan kurang hati-hati
atau kurang waspada.
2) Pelaku harus dapat membayangkan timbulnya akibat karena
perbuatan yang dilakukannya dengan kurang hati-hati itu
Mendasarkan pada uraian diatas, maka berdasarkan keterangan dari
saksi Prof. Dr. Najoan Nan Waraouw, Sp.OG., yang mana Terdakwa I (satu)
melaporkan ketuban pasien/ korban sudah dipecahkan di Puskesmas dan jika
ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah keluar semua, selanjutnya sejak
Terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA sampai dengan
pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa I (satu) hanya
pemeriksaan tambahan dengan USG (Ultrasonografi) dan sebagian tindakan
medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis dan
Terdakwa I (satu) sebagai ketua residen yang bertanggung jawab saat itu tidak
mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk Terdakwa I
(satu) tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap
korban.
Berdasar fakta di persidangan diketahui ternyata pada pukul 18.30
WITA tidak terdapat kemajuan persalinan pada korban, Terdakwa I (satu)
melakukan konsul dengan konsulen jaga dan setelah mendapat anjuran,
115
H.A.K Moch Anwar, Op,Cit., hlm 110
152
Terdakwa I (satu) mengambil tindakan untuk dilakukan cito secsio sesaria,
kemudian Terdakwa I (satu) menginstruksikan kepada saksi dr. Helmi untuk
membuat surat konsul ke bagian anestesi dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan setelah mendapat jawaban
konsul dari saksi dr. Hermanus J. Lalenoh, Sp.An. yang menyatakan bahwa pada
prinsipnya setuju untuk dilaksanakan pembedahan dengan anestesi resiko tinggi,
oleh karena ini adalah operasi darurat maka mohon dijelaskan kepada keluarga
resiko yang bisa terjadi sebelum operasi atau usai operasi.
Korban dibawa ke kamar operasi pada waktu kurang lebih pukul 20.15
WITA dalam keadaan sudah terpasang infus dan pada pukul 20.55 WITA dr.
Dewa Ayu (Terdakwa I) sebagai operator mulai melaksanakan operasi terhadap
korban dengan dibantu oleh dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) sebagai
asisten operator I (satu) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) sebagai asisten
operator II (dua). Bahwa selama pelaksanaan operasi kondisi nadi korban 160
(seratus enam puluh) x per menit dan saat sayatan pertama mengeluarkan darah
hitam sampai dengan selesai pelaksanaan operasi, kemudian pada pukul 22.00
WITA setelah operasi selesai dilaksanakan kondisi nadi korban 180 (seratus
delapan puluh) x per menit dan setelah selesai operasi baru dilakukan
pemeriksaan EKG/ periksa jantung oleh bagian penyakit dalam, selanjutnya
berdasarkan keterangan Ahli dr. Johannis F. Mallo, SH. Sp.F. DFM. bahwa 30
menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam tubuh
korban.
153
Berdasarkan hasil Visum et Repertum disebutkan bahwa udara yang
ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah
balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang
terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan
dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. Sebab kematian si
korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang
menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru
dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Dengan demikian Para Terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu
tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien
tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu, Para Terdakwa telah melakukan
penyimpangan kewajiban, Para Terdakwa telah menimbulkan kerugian dengan
tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh Para Terdakwa terhadap korban,
Para Terdakwa telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang nyata
yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari Para Terdakwa dengan suatu keadaan
korban yang dikatakan darurat sejak tidak terdapat kemajuan persalinan pada
pukul 18.30 WITA tetapi yang seharusnya sejak korban datang dengan surat
rujukan dari Puskesmas dan masuk ke ruang Instalasi Rawat Darurat Obstetrik
keadaan korban sudah dapat dikatakan darurat, kemudian sejak diketahuinya
ketuban dari korban yang telah pecah sejak di Puskesmas, rekam medis yang
tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang dilakukan,
pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh Para Terdakwa
sampai dengan dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak
154
oleh pihak apotik, tidak terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim
melakukan tindakan medis, terdapatnya informed consent / lembar persetujuan
tindakan kedokteran sedangkan Para Terdakwa berpendapat bahwa tindakan
kedokteran yang dilakukan adalah tindakan cito / darurat, tidak adanya tindakan
persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/
pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban selesai dioperasi dengan
kondisi gawat, yang seharusnya seluruh tindakan medis dan tindakan kedokteran
yang dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut sebelumnya telah dapat
dibayangkan dengan cara berpikir, pengetahuan atau kebijaksanaan sesuai
pengetahuan, keahlian dan moral yang dimiliki oleh Para Terdakwa berdasarkan
Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga seluruh tindakan kedokteran yang
dilakukan oleh Para Terdakwa tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap
korban yaitu korban meninggal dunia.
Berkaitan dengan pemalsuan tanda tangan yang dilakukan oleh para
terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 263 ayat (1) KUHP
Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Pasal 263 ayat (1) KUHP berbunyi sebagai
berikut :
“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan
pidana penjara selama 6 tahun”
Pasal 263 ayat (1) mengandung 2(dua) jenis perbuatan yang dilarang
yaitu membuat surat palsu dan memalsukan surat. Kejahatannya disebut
155
pemalsuan surat. Membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada
keseluruhannya. Adanya surat ini karena dibuat secara palsu. Surat ini
mempunyai tujuan untuk menunjukkan bahwa surat itu seakan-akan berasal dari
orang daripada penulisnya.
Salah satu unsur objektif dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHP
adalah adanya surat itu adalah diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu
hal. Terhadap sifat ini diadakan pembatasan, yaitu berdasarkan sifatnya harus
memiliki kekuatan pembuktian. Ketentuan diperuntukkan guna pembuktian
harus menimbulkan akibat kekuatan pembuktian, akibat kekuatan pembuktian
mana harus didasarkan atas sesuatu kekuasaan/kewenangan yang dapat
memberikan kekuatan pembuktian pada beberapa jenis surat tertentu.116
Melihat unsur-unsur yang ada di dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP, yang
pertama bahwa adanya unsur “barang siapa”, melihat sebagaimana uraian
sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah mereka yang
menjadi subjek hukum dan dianggap melakukan tindak pidana, dengan demikian
maka unsur pertama ini menurut hukum telah terpenuhi.
Unsur kedua adalah “Unsur membuat surat palsu atau memalsukan
surat”, yang dipersoalkan adalah tanda tangan korban yang berada didalam surat
persetujuan tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anastesi yang
diserahkan oleh dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk ditanda tangani oleh
korban tersebut berbeda dengan tanda tangan korban yang berada didalam Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dan kartu Askes kemudian setelah dilakukan
116
Ibid, hlm 191.
156
pemeriksaan oleh laboratorium Forensik Cabang Makasar dan berdasarkan hasil
pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 9 Juni 2010
No.Lab:509/DTF/2011, yang dilakukan oleh Drs. Samir. S.St M.K, Ardani
Adhis, S. A.Md dan Marendra Yudi L, S.E menyatakan tanda tangan atas nama
Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan /
spurious signature.
Berkaitan dengan hal ini majelis hakim berpendapat kasasi berpendapat
sama dengan hakim pad tingkat pertama bahwa mengenai keaslian tanda tangan
dari korban (Siska Makatey) pada surat persetujuan tindakan medik adalah harus
dianggap benar sejauh tidak dapat dibuktikan sebaliknya bahwa memang
bukanlah korban sendiri yang membubuhkan tanda tangan pada surat
persetujuan tindakan medik tersebut.
Pertimbanagan diatas muncul karena diperoleh fakta bahwa Terdakwa I
(satu) menugaskan kepada dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) untuk
memberitahukan kepada keluarga pasien/ korban tetapi ternyata hal tersebut
tidak dilakukan oleh Terdakwa III (tiga) melainkan Terdakwa III (tiga)
menyerahkan informed consent / lembar persetujuan tindakan kedokteran
tersebut kepada korban yang sedang dalam posisi tidur miring ke kiri dan dalam
keadaan kesakitan dengan dilihat oleh dr. Dewa Ayu (Terdakwa I) dari jarak
kurang lebih 7 (tujuh) meter, dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dari jarak
kurang lebih 3 (tiga) meter sampai dengan 4 (empat) meter juga turut diketahui
dan dilihat oleh saksi dr. Helmi.
157
Hakim harus mencari alat bukti dalam persidangan melalui alat-alat
bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP
“Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa”
Dari dua atau lebih alat bukti hakim dapat memperoleh keyakinan akan
kesalahan terdakwa. Apakah dalam sidang telah diperoleh sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah, bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana pula
hubungannya satu sama lain sudah diatur dengan undang-undang. Semua ini
harus dipertimbangkan hakim dalam putusannya. Perolehan dan penggunaan
alat-alat bukti itu harus sesuai dengan peraturan hukum yang mengatur alat bukti
yang bisa dinamakan hukum pembuktian.
Demikian juga apakah alat bukti itu telah saling bersesuaian
sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP, itu pun termasuk
harus dipertimbangkan. Dan apakah pertimbangan-pertimbangan itu telah
bersesuaian dan tidak saling bertentangan. Setelah semua itu dipertimbangkan
dan telah bersesuaian barulah hakim menentukan keyakinannya bahwa benar-
benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bertanggungjawab.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mana disebutkan
bahwa seorang hanya dapat dijatuhi pidana apabila sebelumnya telah ditentukan
dalam undang-undang bahwa perbuatan itu dialarang dan pelakunya diancam
dengan pidana. Maka setelah mempertimbangkan alat-alat bukti di dlam
persidangan dan dikaitkan dengan unsur delik yang didakwakan, semua unsur-
158
unsur deliknya harus terbukti. Apabila salah satu unsur saja tidak terbukti, maka
dakwaan tidak terbukti dan akan mengakibatkan bebasnya terdakwa (Pasal 191
ayat (1) KUHAP). Atau apabila hakim menyatakan unsur delik telah terbukti
tetapi pertimbangan tentang terbuktinya unsur itu tidak jelas atau tidak cukup,
maka kekurangan itu dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk
menyatakan tidak terbuktinya unsur itu dan karena itu membatalkan putusan
yang bersangkutan.
Adanya hukum tidak tertulis dan azas-azas umum berdasarkan
kepatutan masyarakat juga harus dipertimbangkan untuk dijadikan alasan dalam
suatu putusan pengadilan. Hal itu meliputi azas keadilan, azas umum
berdasarkan kepatutan dan kewajaran yang hidup dalam masyarakat. Hukum
tidak tertulis yang dimuat dalam ketentuan itu, sebelum terbitnya Undang-
Undang No. 14 tahun 1970 sudah dikenal dalam Jurisprudensi Indonesia yaitu
sejak terbitnya putusan Mahkamah Agung No. 424K/Kr/1965 tanggal 8 Januari
1966.117
Disana dinyatakan bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang
sifat melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan dalm perundang-
undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum
yang tidak tertulis dan bersifat umum.118
Sejak putusan itu,maka pengadilan di Indonesia telah menganut paham
melawan hukum dalam arti materiil disamping melawan hukum dalam arti
formil. Dengan paham melawan hukum dalam arti materiil itu, maka hakim
dalam putusannya selalu mempertimbangkan faktor azas-azas keadilan, azas
117
Lihat Yurisprudensi Indonesia, Tahun 1997, hlm 39. 118
M.H. Silaban, Op.Cit, hlm 191.
159
hukum tak tertulis, azas-azas yang bersifat umum menurut kepatutan dan
kewajaran dalam masyarakat.119
Dalam perkara ini, hakim berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
hukum hakim tersebut, terdakwa dijatuhkan putusan bebas sesuai dengan Pasal
193 KUHAP. Hal ini sesuai dengan pendapat M. Yahya Harahap120
bahwa:
“Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan
ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) penjatuhan putusan
pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan.
Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan
menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa.”
Undang-undang memberikan kebebasan kepada hakim untuk
menjatuhkan pidana antara hukuman minimum atau maksimum yang
diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang
diatur dalam pasal 12 KUHP. Namun demikian, titik tolak hakim menjatuhkan
putusan pemidanaan harus didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam
pasal pidana yang didakwakan.121
Majelis hakim dalam pembuktian perkara ini telah sesuai dengan sistem
pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijk) yang
merupakan sistem pembuktian dalam KUHAP.122
Pasal 183 KUHAP yang mengatur tentang sistem pembuktian negative
wettelijk menyatakan bahwa:
119
Ibid. 120
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 354. 121
Ibid. 122
Ibid., hlm. 132.
160
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo,123
Pasal 183 KUHAP mengandung;
1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
2. Dasar-dasar alat bukti yang sah itu keyakinan hakim, yakni bahwa :
a. Tidak terjadi;
b. Terdakwa telah bersalah.
Alat bukti dalam perkara ini yaitu keterangan beberapa saksi (2 orang)
dan mendengarkan keterangan ahli (2 orang) dalam perkara ini, keterangan para
terdakwa, serta barang bukti berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu
Askes atas nam Julia Fransiska Makatey, Dokumen hasil pemeriksaan
Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil pemeriksaan
Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB: 509/DTF/2011,
serta Berkas catatan medis No. cm. 041969 atas nama Siska Makatey.
Hal ini telah sesuai dengan alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa:
Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa;
Berdasarkan pertimbangan bahwa dr. Dewa Ayu dkk telah melakukan
kelalaian dan menyebabkan matinya pasien atas nama Julia Fransiska Makatey
yang mana Para Terdakwa telah melakukan pembiaran dengan tidak melakukan
123
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hlm. 12.
161
hal yang seharusnya dilakukan oleh dokter ketika pasien datang meminta
pertolongan. Hal itu diperoleh berdasarkan fakta-fakta di persidangan yakni
mendasarkan pada keterangan dari saksi Prof. Dr. Najoan Nan Waraouw,
Sp.OG., yang mana Terdakwa I (satu) melaporkan ketuban pasien/ korban sudah
dipecahkan di Puskesmas dan jika ketuban sudah pecah berarti air ketuban sudah
keluar semua, selanjutnya sejak Terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul
09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan oleh
Terdakwa I (satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan USG (Ultrasonografi)
dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam
rekam medis dan Terdakwa I (satu) sebagai ketua residen yang bertanggung
jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis
termasuk Terdakwa I (satu) tidak mengetahui tentang pemasangan infus yang
telah dilakukan terhadap korban.
Majelis hakim kasasi dalam kasus dr. Dewa Ayu berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan diatas, dalam Putusan No. 365K/Pid/2012
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado No 90/Pid.B/2011/PN.Mdo
yang menjatuhkan putusan bebas terhadap dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr.
Hendy Siagian, dan dr. Hendry Simanjuntak. Majelis Hakim Kasasi mengadili
sendiri dan menjatuhkan putusan pemidanaan yakni menjatuhkan vonis 10 bulan
penjara terhadap dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendy Siagian, dan dr.
Hendry Simanjuntak.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahsan, maka dapat diambil
kesimpulan yaitu:
1) Alasan dari majelis hakim pemeriksa perkara kasus dr. Dewa Ayu
Sasiary Prawani, dr. Hendy Siagian, dan dr. Hendry Simanjuntak dalam
Putusan No 90/Pid.B/2011/PN.Mdo adalah tindakan para Terdakwa
mendiamkan pasien (Siska Makatey) ketika sampai di RSU Prof. Dr.
Kandou Malalayang Kota Manado dan tindakan yang dilakukan oleh
Terdakwa I hanya pemeriksaan tambahan dengan USG (Ultrasonografi)
dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke
dalam rekam medis dan Terdakwa I sebagai ketua residen yang
bertanggung jawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis
beserta rekam medis termasuk Terdakwa I tidak mengetahui tentang
pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban adalah bukan
merupakan perbuatan yang menyalahi Prosedur tindakan medik dan tidak
melanggar etika kedokteran tentang apa yang harus dilakukan seorang
dokter dalam menghadapi pasien.
163
2) Pertimbangan ini berbeda dengan majelis kasasi Mahkamah Agung
dalam putusannya No. 365K/Pid/2012 yang mana menyatakan bahwa
tindakan Para Terdakwa mendiamkan pasien (Siska Makatey) sehingga
menyebabkan meninggalnya pasien adalah sebuah tindak pidana
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP.
3) Berkaitan dengan pemalsuan tanda tangan dan pelanggaran praktek
kedokteran sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang No 24
tahun 2009 tentang Praktek Kedokteran baik Majelis hakim pemeriksa
pada tingkat pertama maupun majelis hakim kasasi mempunyai
kesepahaman dalam menafsirkan hukumnya.
B. SARAN
Tindak Pidana malpraktik belum diatur secara terperinci oleh undang-
undang, maka majelis hakim dalam memberikan putusan terhadap perkara
malpraktik diharapkan kedepan selain mempertimbangkan adanya alat-alat bukti
sebagaimana diatur dalam KUHAP, juga mempertimbangkan sumber hukum tak
tertulis dan azas-azas umum berdasarkan kepatutan masyarakat, juga melihat
Yurisprudensi yang telah ada. Walaupun hakim memiliki kebebasan dalam
memutuskan suatu perkara, namun untuk menghindari kesalahan penafsiran
hukum, ada baiknya adanya Yurisprudensi sebagai sumber hukum juga
dipertimbangkan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Arrasjid, Chainur .2008. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.
Asikin, Zainal dan Amirudin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hadikusuma, Hilmawan. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi
Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju.
Hamzah, Andi. 2001. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi.
Ghalia Indonesia, Jakarta.
___________. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Sinar Grafika,
Jakarta.
__________. 2008. Hukum Acara Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.
Harahap, M Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
,1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid I
Cetakan III. Jakarta: Pustaka Kartini.
Ibrahim Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing.
Iswanto. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Purwokerto: UPT. Percetakan dan
Penerbitan Universitas Jenderal Soedirman.
Koeswadji, Hermien Hadiati. 1998. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan
Hukum Dalam mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Komalawati, Veronica. 2002. Peranan Informed Concent Dalam Transaksi
Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien). Bandung:
Citra Aditya Bakti
Lamintang. 1985. Delik-Delik Khusus Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan
Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan
Kesehatan. Bandung: Binacipta.
Makarao, Muhammad Taufik., Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam
Teori Dan Praktek. Ghalia Indonesia, Jakarta.
________________________________. 2010. Hukum Acara Pidana dalam Teori
dan Prakte. Ghalia Indonesia, Bogor.
Marpaung, Laden. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan
Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksepsi. Sinar Grafika, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2011. Penelitian Hukum. Kencana Media Group,
Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Mulyadi, Lilik. 1996. Hukum Acara Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Nasir, Mohamad. 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia. Media Prima Aksara, Jakarta.
Poernomo, Bambang. 1993. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana
Dan Penegakan Hukum Pidana. Liberty, Yogyakarta.
Prakoso, Djoko. 1986. Kedudukan Justisiabel dalam KUHAP. Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Prodjodikoro, Wiryono. 2003. Tindak Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. PT
Rafika Aditama, Bandung.
Prodjohamidjojo, Martiman. 1983. Sistem pembuktian dan Alat-Alat bukti. Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Sumantri, I. 1996. Pembahasan Perkembangan Pembangunan Nasional Tentang
Hukum Acara Pidana. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.
Silaban. 1997. Kasasi Upaya Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sumber Ilmu Jaya.
Soedirjo. 1985. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Jakarta: Akademika
Pressindo.
. 1985. Kasasi dalam Perkara Pidana (sifat dan fungsi). Jakarta:
Akademika Pressindo.
Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia.
,dan Herkutanto. 1987. Pengantar HukumKesehatan.
Bandung: Remadja Karya.
Sudarto. 2013. Hukum Pidana I Edisi Revisi. Semarang : Yayasan Sudarto FH
UNDIP.
Sunggono, Bambang. 2009. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Widnyana, I Made. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Fikahati Aneska.
Wisnubroto, Al. 2002. Praktek Peradila Pidana: Proses Penanganan Perkara
Pidana. Galaxy Puspa Mega, Jakarta.
B. Skripsi dan Tulisan Ilmiah
Endang Sri Lestari. 2007. “Pembuktian Tindak Pidana Korporasi Pada Kasus
Kabut Asap di Pekanbaru (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan M.A.R.I
No. 275TU/811K/Pid/2002)”, (Skripsi Hukum Acara Pidana, Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman).
Ni Nengah Adiyaryani. 2010. “Upaya Hukum Kasasi Oleh Jaksa Penuntut Umum
Terhadap Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam Sistem Peradilan Indonesia”
(Thesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro)
C. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP)
.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
.Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.