1
PENGEMBANGAN MESIN REFRIGERASI EVAPORATOR GANDA UNTUK
PENGAWETAN IKAN SEGAR DI MOBIL PENGANGKUT IKAN DAN KAPAL
PENANGKAP IKAN TRADISIONAL
Matheus M. Dwinanto1, Hari Rarindo
2, Verdy A. Koehuan
3
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik
Hasil perikanan laut mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan
perekonomian nasional terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan
pendapatan, dan peningkatan taraf hidup nelayan dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang
perikanan. Untuk mewujudkan peranan tersebut, hasil perikanan harus dapat mengikuti
persyaratan yang dapat menjamin mutu dan keamanan yang diinginkan oleh konsumen. Salah
satu faktor yang mempengaruhi mutu produk perikanan adalah jarak ke pelabuhan (atau tempat
pendaratan ikan). Persoalan jarak ini menjadi lebih nyata pada wilayah-wilayah tropis (seperti di
laut Sawu, wilayah laut di Nusa Tenggara Timur) dibanding pada iklim yang lebih dingin. Suhu
udara yang lebih panas meningkatkan tingkat penurunan kualitas, khususnya apabila hasil
tangkapan ditumpuk di atas geladak dengan sedikit atau tanpa es untuk menjaganya tetap dingin.
Sengatan sinar matahari dengan cepat menjadikan ikan terlalu panas dan mempercepat
penurunan mutu ikan pasca penangkapan. Penanganan pasca penangkapan ikan, dan
pengangkutan ikan memegang peranan penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan
untuk memperoleh nilai jual ikan yang maksimal dalam proses pemasaran. Pengembangan mesin
pendingin evaporator ganda ini dilakukan agar pasca penangkapan dan setelah ikan segar
disortasi, ikan tersebut dimasukkan ke dalam kedua kotak pendingin dan pembeku berdasarkan
ukurannya (ikan berukuran besar dan ikan berukuran kecil) sehingga memudahkan dalam
distribusi dan pemasaran. Keberhasilan yang diharapkan akan diperoleh dari penelitian ini adalah
koefisien prestasi (COP) yang tinggi dari mesin pendingin, dan mutu ikan yang mampu
dipertahankan untuk tetap memiliki nilai jual yang tinggi. Hasil penelitian ini adalah
rancangbangun mesin refrigerasi evaporator ganda ini dapat diterapkan pada kapal penangkap
ikan tradisional bertonase 5 GT yang biasa digunakan oleh para nelayan untuk menangkap ikan
selama 2 – 3 hari. Mesin refrigerasi evaporator ini dapat mendinginkan ruangan di dalam kotak
pendingin hingga mencapai –28oC, dan dengan suhu ruangan –28
oC ikan-ikan segar dapat
didinginkan dan dibekukan. Mesin refrigerasi ini mampu mempertahankan dan menjaga mutu
ikan sehingga tetap aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Kata kunci : Refrigerasi, evaporator ganda, pengawetan ikan laut
I. FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
2
MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN PARIWISATA DAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYA PESISIR KOTA KUPANG YANG BERKELANJUTAN DENGAN
SISTEM DINAMIS
Ruslan Ramang1 dan Jauhari Effendi
2
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik
Email: [email protected]@yahoo.co.id
Keterkaitan konsep ruang dan waktu merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam kehidupan umat manusia, khususnya pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir
membutuhkan pengaturan ruang dan waktu yang terintegrasi. Kenyataan ini telah menuntut
paraperencana dan pengelola wilayah pesisir agar mampu menjawab berbagai pertanyaan yang
bersifat epistemologis. Demikianhalnya Kota Kupang mempunyai keterkaitan konsepruang dan
waktu sangat esensial dalam pengelolaan wilayah pesisir, dan perlu diperlakukan secara eksplisit
dalam setiap perencanaan dan pengelolaan, yang diarahkan keperbaikan dan penyempurnaan
kehidupan manusia. Konsep ruang dan waktu ini sangat relevan untuk mengkaji berbagai isu
yang mencuat kepermukaan, khususnya mengenai isu-isu keruangan di wilayah pesisir Teluk
Kupang.
Kawasan di pesisir pantai kota Kupang yang terbentang sepanjang ±15 km merupakan
salah satukawasan yang saat ini mulai dikembangkan oleh pemerintah kota menjadi kawasan
pariwisata yang sampai saat ini belum dikelola secara optimal. Ada indikasi perubahan fungsi
kawasan yang dimanfaatkan secara konvensional dan tidak terintegrasi, sehingga menimbulkan
degradasi pada kawasan itu. Untuk menjamin fungsi ruang sesuai dengan peruntukkannya, maka
diperlukan suatu konsep desain system penataan ruang serta pengelolaan dan pengusahaan yang
tepat guna pada zona pemanfaatan, sehingga dapat bermanfaat secara optimal.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) melakukan pemetaan fungsi ruang kawasan pesisir
dengan menggunakan pendekatan aspeksektoral dan aspekspasial; (2) mendesain suatu system
dan pemodelan pengembangan kawasan pesisir terhadap pemanfaatan sumber daya, sehingga
secara simultan dapat diketahui tingkat pemanfaatan saat ini dan masa mendatang; (3) menyusun
dokumen perencanaan pengembangan kawasan pantai/pesisir Kota Kupang yang memungkinkan
untuk dapat mengatur berbagai opsi antara tujuan optimasi pemanfaatan ruang dengan berbagai
perubahan variable secara berkelanjutan.
Lokasi penelitian dilakukan di Kota Kupang khususnya di Bagian Wilayah Kota II (BWK
II) yang secara geografis sebelah utara berbatasan denganTeluk Kupang, sebelah selatan dengan
BWK V, sebelah barat dengan BWK I dan sebelah timur dengan BWK III. Secara administrasi
BWK II terdiridari 7 (tujuh) kelurahan yakni Kelurahan Kelapa Lima, Kelurahan Oesapa Barat,
Kelurahan Tuak Daun Merah, Kelurahan Fatululi, Kelurahan Kayu Putih, Kelurahan Nefonaek
dan Kelurahan Pasir Panjang. Perda No. 12 tahun 2011 arah pengembangan Kota Kupang akan menuju Kota Kupang Kota
Tepi Pantai (waterfront city) dalam pengembangan wilayahnya kondisi ini menyebabkan pola
pemanfaatan lahan Kota Kupang akan dimanfaatkan untuk menunjang konsep Kota Kupang tersebut
tidak terkecuali wilayah BWK II menjadi salah satu dampak dari konsep kota tersebut. Berdasarkan
peta BWK II Kota Kupang luas Wilayah BWK II secara keseluruhan berkisar 12,46 km2yang
diperuntukan bagizona pemerintahan, pendidikan, perdagangan, pariwisata dan jasa.
Dari rencana peruntukan lahan tersebut terdapat 79,94% diperuntukan untuk lahan terbangun
sedangkan 20,06% diperuntukan untuk lahan terbuk yakni Kawasan Rekreasi dan Olahraga, kawasan
3
pemakaman dan RTH. Sedangkan menurut konsep penataan ruang yang tertuang dalam UU No. 26
tahun 2007. Pemerintah menetapkan bahwa Ruang Terbuka harus mencapai 40% yang terdiri dari
20% untuk jaringan jalan dan 20% untuk ruang terbuka non jalan seperti taman-taman (12,5%) dan
sarana public lainnya seperti sarana olah raga, dll harus sebesar 7,5%. Selain itu untuk daerah/ruang
terbangun harus menyiapkan RTH sebesar 10%.Jadi total RTH yang harus disiapkan oleh pemerintah
untuk public harus sebesar Minimal 30%. Kota Kupang dalam pemanfaatan lahan yang tertuang
dalam Perda Nomor 12 tahun 2011 tersebut hanya mencantumkan kurang lebih 0,64% atau 0,08 Km2
RTH sehingga kecenderungan pemanfaatan lahan di BWK II untuk daerah terbangun sangat besar.
Meningkatnya jumlah penduduk di BWK II Kota Kupang telah member pengaruh terhadap
meluasnya kawasan permukiman/perumahan baik itu oleh masytakat sendiri maupun oleh
pengembang. Sela ini itu juga pertumbuhan ekonomi dengan meningkatnya bangunan pertokoan
sehingga menyebabkan laju pemanfaatan lahan juga meningkat. Dari aspek sarana prasarana tersebut
diatas dominasi pembangunan yang akan terus mengalami dinamika/bertumbuh, yakni di sector
perdagangan dan jasa, perhotelan dan perumahan. Sedangkan fasilitas lahan terbuka seperti taman,
tempat olah raga tidak mengalami pertumbuhan karena terdesak oleh pembangunan infrastruktur.
Kata Kunci: Lahan, KawasanPesisir, AspekSektoral
4
MODEL DEVELOPMENT AREA TOURISM AND RESOURCES MANAGEMENT OF
COASTAL KUPANGCITY DYNAMIC SYSTEMS WITH SUSTAINABLE
Ruslan Ramang1 dan Jauhari Effendi
2
Linking the concept of space and time is a unity that can not be separated .In human life,
especially the resource utilization of coastal areas in need of space and time settings are
integrated . This fact has been demanding the planners and managers of coastal areas to be able
to answer questions that are epistemological. Similarly Kupang is linked concepts of space and
time is essential in the management of coastal areas , and need to be treated explicitly in the
planning and management , which are directed to the improvement and perfection of human life .
The concept of space and time is very relevant to examine the various issues that came to the
surface, especially on spatial issues in the coastal areas of the Gulf of Kupang.
Area on the coast of Kupang city that stretches along the ± 15 km is one area that is
currently being developed by the city government become tourist area that until now has not
managed optimally. There are indications of changes in the area function used conventionally
and are not integrated, leading to degradation in the region. To ensure the space according to
their distribution functions, we need a system design concept of spatial planning and
management and appropriate utilization in the utilization zone, so it can benefit optimally.
The purpose of this study is: (1) mapping function coastal region of space using the
sectoral approach and aspects of spatial aspects, (2) designing and modeling a system of coastal
area development on resource use, so that it can be seen simultaneously utilization rates of
current and future, (3) prepare a document for coastal development planning /coastal city of
Kupang which allows to set various options for the purpose of optimization of space utilization
with various changes of variables on an ongoing basis.
Location research performed in the Kupangcity in particular Part II Urban Area (BWK II)
that are geographically north bordering the Kupang Bay, south of the BWK V, west to east BWK
I and III with BWK. The administration BWK II consists of 7 (seven ) villages: Village of
Kelapa Lima, Village of West Oesapa, Village of TuakDaunMerah, Village of Fatululi, Village
of KayuPutih, Village of Nefonaekand Village of PasirPanjang.
By law No. 12 in 2011 will be the development direction towards KupangCity
(waterfront city ) in the development of this condition causes the area of land use patterns will be
utilized to Kupang support the concept that no exception BWK region II became one of the
impact of the concept of the city. Based on a map of the city of KupangBWK II wider region as a
whole ranges from 12.46 km2 zone intended for government, education, commerce, tourism and
services.
Of the land use plan are allocated 79.94 % to 20.06 % while the built land intended for
the open land and Sports Recreation Area, funerals and green space areas. Meanwhile, according
to the concept of spatial planning as stipulated in Law no. 26 in 2007 . The government stipulates
that open space should reach 40 %, consisting of 20% of the road network and 20% for non- road
open spaces such as parks ( 12.5%) and other public facilities such as sports facilities, etc should
be at 7.5%. In addition to the area / space shall prepare RTH awakened by 10%. So the total
green space that must be prepared by the government to the public should be at a minimum 30%.
Kupang in land use are contained in Regulation No. 12 in 2011 included only approximately
0.64 % or 0.08 km2 green space so that the tendency of land use in BWK II woke up to a very
large area.
5
The increasing number of population in the Kupang City(BWK II) has an impact on the
spread of settlements / housing community either by itself or by the developer. In addition, with
the increasing growth of the building , causing stores also increased the rate of land use . From
the above aspects of infrastructure development that dominance will continue to experience
dynamic / growth , namely in trade and services, hospitality and residential. While the facility is
open land such as parks , sports venues are not experiencing growth as driven by infrastructure
development .
Keywords: Land, Coastal Region ,Sectoral Aspects
6
PERANCANGAN PERANGKAT LUNAK SISTEM PENJADWALAN EKONOMIS
PADA UNIT – UNIT PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA DIESEL (PLTD) UNTUK
MENGOPTIMALKAN PENGGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DI KOTA
KUPANG
Sri Kurniati1, Sudirman
2, dan Nursalim
3
Email:[email protected]@[email protected]
Mengoperasikan suatusi stem tenaga listrik yang terdiri dari beberapa pusat pembangkit
listrik, perlu suatu koordinasi di dalam penjadwalan pembebanan besar daya listrik yang di
bangkitkan masing-masing pusa tpembangkit listrik, sehingga diperoleh biaya pembangkit yang
minim. Dalam suatu system tenaga listrik yang terdiri dari Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) dan
Pusat Listrik Tenaga Termal, telah diketahui bahwa biaya pembangkitan energy listrik dari
pembangkit termal adalah lebih besar di bandingkan dengan biaya pembangkitan dari
pembangkit hidro, untuk menghasilkan daya yang sama. Masalah pada operasi system tenaga
listrik seperti diatas adalah dalam melayani beban listrik yang tertentu besarnya dan dalam
selang waktu tertentu, dimana dibangkitkan energy listrik yang maksimum pada pusat listrik
tenaga air dan optimal pada pusat listrik tenaga termal. Hal tersebut dikenal sebagai masalah
optimisasi pembangkitan energilistrik.
Sistem tenaga listrik yang besar yang memiliki pembangkit-pembangkit termal seperti
PLTU, PLTD dan PLTG akan menghadapi permasalahan dalam hal biaya bahan bakar untuk
pengoperasiannya. Hal ini disebabkan harga bahan bakar yang cenderung mengalami kenaikan
dari waktu kewaktu, sementara biaya bahan bakar merupakan bagian yang terbesar dari biaya
operasi pembangkitan secara keseluruhan, sehingga pengurangan biaya bahan bakar akan
menghasilkan operasi pembangkitan yang lebihekonomis.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cara mengatur penjadwalan unit-unit
pembangkit PLTD Kota Kupang dan untuk mengetahui perbedaan biaya yang diperlukan
setelah unit-unit pembangkit PLTD dioptimisasi dengan menggunakan metode gradient orde
dua. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen dan
observasi lapangan, yang menekankan pada peluang penghematan penggunaan BBM sehingga
diperoleh nilai harga yang lebih murah setelah dilakukan optimisasi pembangkit dan melakukan
perancangan perangkat lunak dengan melakukan simulasi dengan menggunakan metode gradient
orde dua dan fuzzy logic. Sedangkan pengolahan data menggunakan simulasi dengan perangkat
keras komputer PC Pentium I3 dan perangkat lunak MATLAB versi 2010a.
Lokasipenelitiandilakukanpada PLTD TenauKupangdenganpengambilan data penggunaan
BBM, daya yang dibangkitkan serta daya terpasang dan daya mampu selama 3 bulan terakhir,
yaitu bulan Desember 2012, Januari 2013 dan Pebruari 2013. Data yang digunakan adalah data
– data dari pembangkit milik PLN yang terdiridari MAK I, MAK II, MAK III, MAK IV,
MIRRLEES II, MIRRLEES III, CATERPILLAR II dan SULZER 40/48 sebagai data sekunder
pada penelitian ini. Pada PLTD Tenau Kupang yang memiliki total 8 pembangkit yang
beroperasi pada 3 bulan terakhir ini dan juga beberapa mesin sewaan (rental) guna melayani
kebutuhan daya beban. Pada saat beban puncak malam hari, maka semua unit diesel generator
tersebut beroperasi, sedangkan diluar waktu beban puncak, maka yang memikul beban adalah
dua sampai tiga unit pembangkit yang memiliki daya yang besar dan untuk kenaikan beban
tertentu, maka ditambah dengan pengoperasian unit diesel ganerator yang memiliki daya yang
sedikit lebih kecil untukmemenuhi kebutuhantersebut.
7
Besarnya konsumsi bahan bakar tiap unit pembangkit per kWh dan daya yang dibangkitkan
pada tahun 2012 (Desember) dan 2013 (JanuaridanPebruari) dapat dilihat padaTabel 5.2, 5.3 dan
5.4. Dari Tabel5.4 dapat dilihat bahwa selamaTahun 2013 (Februari) unit Mak III merupakan
unit yang paling banyak jam operasinya, yaitu 629 dengan pemakaian bahan bakar sebesar
249.839 liter dan energi yang dihasikan sebesar 951.960 kWh. Unit Sulzer 40/48 adalah unit
yang paling sedikit jam operasinya, yaitu 302 jam dengan pemakaian bahan bakar sebesar
282.420 liter dan energi yang dihasilkan sebesar 1.009.700 kWh.
Dari data Tabel 5.5 terlihat bahwa daya terpasang pembangkit system Kupang terbesar
adalah PLTD Mirrlees II &III 5,218 MW/unit, kemudian PLTD Caterpillar sebesar 4,896 MW.
Sedangkan menurut informasi yang didapat dari PLTD Tenau Kupang, bahwa dengan Faktor
Kapasitas (CF) rata-rata 61,08 % untuk Mirrlees II pada Bulan Desember, maka pembangkit
Mirrlees II tidak dapat beroperai membangkitkan daya sesuaidaya terpasangnya. Dengan cos phi
tiap – tiappembangkitsebesar 0,9didapatdayapembangkitan (MVA) dengancara : contoh daya
pembangkitan pada pukul 01.00 per tanggal 16 Desember 2012. Kemudian dari dataTabel 5.7
terlihat bahwa daya terpasang pembangkit system Kupang terbesar adalah PLTD Mirrlees I
5,218 MW, kemudian PLTD Caterpillar sebesar 4,896 MW. Menurut informasi yang didapat
dari PLTD Tenau Kupang, terjadi penurunan factor kapasitas pembangkit dari Bulan Desember
(2012) ke Januari (2013) dengan Faktor Kapasitas (CF) rata-rata 56,55 %. Selanjutnya, untuk
Mirrlees II di Bulan Januari, maka pembangkit Mirrlees II tidak dapat beroperasi
membangkitkan daya sesuai daya terpasangnya.
Dari data Tabel 5.9 terlihat bahwadaya terpasang pembangkit system Kupang terbesar
adalah PLTD Sulzer 40/486,3 MW, kemudian PLTD Mirrlees Isebesar 5,218 MW. Menurut
informasi yang didapat dari PLTD Tenau Kupang, terjadi penurunan factor kapasitas
pembangkit dari bulan Desember (2012), Januari (2013), Pebruari dengan Faktor Kapasitas
(CF) rata-rata 55,30 % untuk Mirrlees II di bulan Januari, maka pembangkit Mirrlees II tidak
dapat beroperasi membangkitkan daya sesuai daya terpasangnya. Sedangkan untuk pembangkit
Sulzer 40/48 yang tidak beroperasi di bulan sebelumnya (Desember dan Januari) mempunyai
Faktor Kapasitas (CF) rata-rata 23,849 %, sehingga tidak dapat beroperasi membangkitkan daya
sesuai daya terpasangnya dikarenakan beberapa hal teknis dan ekonomisnya. Kemudian jika kita
lihat hubungannya antara daya mampu, baban puncak dan daya cadangan, terlihat bahwa dari
bulan desember 2012 sampai februari 2013, daya mampu pembangkit dapat dikatakan stabil,
sementara beban puncak juga cenderung stabil dengan cadangan daya tidaklah terlalu banyak
seperti diperlihatkan dalamTabel 4.11.
Kata Kunci: Dayamampu, BebanPuncak, BebanDasar
Operate a power system consisting of several power plants, needs a scheduling
coordination within large loading generate electrical power in each power station, in order to
obtain the minimal cost of generation. In a power system consisting of a Central Water Power
(hydropower) and Thermal Power Plant, it is known that the cost of generating electricity from
thermal plants is greater in comparison with the cost of generation from hydro plants, to produce
the same power. Problems in power system operation as above is in serving a certain amount of
electrical load and, at intervals, in which the electrical energy generated at the maximum hydro-
power and optimal thermal power plants. This is known as an optimization problem of electrical
energy generation.
Large electric power systems that have thermal plants such as power plants, diesel and
gas power plant will face problems in terms of fuel costs for the operation. This is due to fuel
8
prices tend to rise over time, while fuel costs constitute the largest part of the overall operating
costs of generation, resulting in a reduction in fuel costs will result in the generation of a more
economical operation .
The purpose of this study is to determine how to set scheduling diesel generating units
Kupang and to determine differences in the costs required after the diesel generating units
optimized by using a second order gradient method. The method used in this study is the
experimental method and field observations, which emphasizes the use of fuel-saving
opportunities in order to obtain a lower price values after generating and perform design
optimization software by performing simulations using a second order gradient methods and
fuzzy logic. While processing the data using a simulation with computer hardware i3 and
Pentium PC software MATLAB 2010a version .
Location research conducted in PLTD Tenau-Kupang usage data retrieval , as well as the
generated power installed capacity and power output during the last 3 months, the month of
December 2012, January 2013 and February 2013. The data used is the data from PLN power
plant consisting of MAK I, II MAK, MAK III, IV MAK, Mirrlees II, III Mirrlees, CAT II and
SULZER 40/48 as secondary data in this study. In PLTD Tenau-Kupang which has a total of 8
plants operating in the past 3 months and also some machine rental in order to serve the needs of
the power load. At the time of the evening peak load, then all units are operating diesel
generators, while outside the peak load time, then the burden is two to three generating units that
have great power and to a certain load increase, then coupled with the operation of the diesel
units ganerator has a slightly smaller to meet these needs.
The amount of fuel consumption per unit of power per kWh and power generated in 2012
(December) and 2013 (January and February) can be seen in Table 5.2, 5.3 and 5.4. From Table
5.4 it can be seen that during the year 2013 (February) Mak III units are the units most hours of
operation, namely the use of 629 to 249.839 liters of fuel and energy dihasikan of 951.960 kWh.
Sulzer Unit 40/48 is the fewest hours of unit operation, which is 302 hours with the use of 282
420 liters of fuel and energy amounted to 1.0097 million kWh produced.From the data in Table
5.5 shows that the installed Kupang power generation system is the largest II& III Mirrlees diesel
with 5.218 MW/unit, then Caterpillar diesel at 4.896 MW. Meanwhile, according to information
obtained from PLTDTenauKupang , that the capacity factor ( CF ) average 61.08 % for the
Mirrlees II in December, then the plant can not operate Mirrlees II generate power according to
their installed power. With power factor each plant generating power of 0.9 obtained (MVA) by
the way: the example of power generation at 01.00 as at December 16, 2012. Then from the data
in Table 5.7 shows that the installed Kupangpower generation system is the largest Mirrlees I
diesel with 5.218 MW, then diesel Caterpillar of 4,896 MW. According to information obtained
from PLTD TenauKupang, a decrease in the capacity factor of the plant in December (2012) to
January (2013) with a capacity factor ( CF ) average 56.55 % . Furthermore, for the Mirrlees II in
January, then the plant can not operate Mirrlees II generate power according to their installed
power .
From the data in Table 5.9 shows that the installed Kupangpower generation system is
the largestSulzer diesel 40/48 with 6.3 MW, then diesel Mirrlees I of 5.218 MW. According to
information obtained from PLTD TenauKupang , a decrease in the capacity factor of the plant in
December (2012), January (2013), February the Capacity Factor (CF) average 55.30 % for the
Mirrlees II in January, the plant Mirrlees II can not operate generate power according to their
installed power. As for Sulzer plant 40/48 is not operating in the previous month (December and
January) have the capacity factor (CF) average 23.849 %, so the operation can not generate
power according to their installed power due to some technical and economic terms. Then if we
9
see the relationship between power output, peak load and backup power, it appears that from the
December 2012 to February 2013, the power can be said to be capable of generating stable,
while the peak load is also likely to be stable with a backup power not so much as shown in
Table 4.11 .
Keywords : Power capable, Peak Load, Load Basis
10
KAJIAN AWAL PENGGUNAAN ISOLATOR POLIMER PADA PERENCANAAN
SALURAN TRANSMISI UNTUK MENINGKATKAN KEANDALAN SISTEM TENAGA
LISTRIK DI NUSA TENGGARA TIMUR
Sudirman S1. dan Sri Kurniati A
2
Email: [email protected][email protected]
Daerah pantai dan industri merupakan daerah utama penghasil pengotoran pada
permukaan isolator. Lapisan polutan pada permukaan isolator biasanya terdiri dari komponen
isolatif dan komponen induktif. Jika terjadi pembasahan pada lapisan pengotor akan mengalir
arus bocor yang cukup besar. Arus bocor yang mengalir pada permukaan isolator yang terpolusi
ini akan memicu terjadinya peluahan sebagian. Peluahan ini ditandai dengan munculnya nyala
api pada lapisan polutan permukaan isolator tersebut. Akibat pengaruh hubung singkat ini arus
bocor yang mengalir menjadi lebih besar sehingga menimbulkan pemanasan lanjutan dan
menghubung singkat lapisan polutan berikutnya. Selanjutnya timbul busur api karena adanya
peluahan yang semakin panjang. Apabila panjang busur yang terjadi dapat menjembatani
konduktor dengan penyangga isolator, maka terjadilah peristiwa lewat denyar (flashover) pada
isolator tersebut.
Adapunyang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah melakukan pengkajian
unjuk kinerja bahan isolator polimerterhadap iklim tropis NTT yang mempunyai musim kemarau
lebih panjang dari musim hujan. Sedangkan tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan
analisis tingkat kegagalan isolator polimer dengan melakukan pengukuran arus bocor dengan
mempertimbangkan temperatur, kelembaban dan tekanan, serta melakukan studi sifat hidrofobik
permukaan dan arus bocor dari bahan isolator polimer.
Berdasarkan hasil pengukuran sifat kimiawi terlihat bahwa konduktivitas larutan sebelum
ada polutan (air dan NH4Cl ) mempuyai nilai yang lebih besar disbanding dengan konduktivitas
sesudah ada polutan, hal ini dikarenakan pada polutan PT. Semen Kupang mengandung zat-zat
kimia yang bukan merupakan penyumbang komponen konduktif dan juga memiliki sifat yang
tidak mudah terurai menjadi ion dalam suatu larutan. Sedangkan hasil perhitungan dapat kita
lihat bahwa kandungan ESDD pada isolator semakin meningkat dengan bertambahnya
konsentrasi polutan pada larutan untuk tiap – tiap pengujian yaitu 40 mg / ml. Dengan besar
kenaikan ESDD mulai dari 1.8x10-4
pada konsentrasi polutan 20 mg / ml hingga mencapai
2.9x10-3
pada konsentrasi polutan 180 mg/ml, dengan jumlah rata-rata dari ESDD yaitu 1.3x10-3
.
Berdasarkan klasifikasi tingkat polusi menurut Standar IEC No. 815 tahun 1994, maka dapat
dikatakan bahwa tingkat polusi pada isolator pasangan luar di Kupang berada pada tingkat yang
sangat ringan dengan harga 0-0,03 mg/cm2. Selanjutnya, berdasarkan hasil pengukuran sifat
fisika terlihat perbedaan sudut kontak antara material isolator keramik (bersih dan yang
berpolutan) dan material isolator polimer.Polimer yang mempunyai sifat hidropobik sehingga
memiliki jumlah sudut kontak yang besar, sedangkan untuk material isolasi keramik yang
bersifat hidropilik memiliki jumlah sudut kontak yang kecil.
Pada pengujian sifat listrik, karakteristik arus bocor pengaruh tekanan termal dapa dilihat
bahwa besarnya arus bocor berbanding terbalik dengan suhu / temperatur, yaitu pada suhu
20°Cnilaiarusbocor yang terukur adalah 0,169mA dan pada suhu 47°C nilai arus bocor yang
terukur turun hingga 0,143mA, dalam arti semakin besar temperatur / suhu disekitar isolator
maka, semakin rendah nilai arus bocornya. Kemudian karakteristik arus bocor terhadap
kelembaban dan juga pengaruh intensitas hujan naik dari 0,143 mA pada kelembaban 55%
11
hingga 0,169 pada kelembaban 100%, dan untuk kondisi di bawah terpaan intensitas curah hujan
nilai arus bocor naik dari harga 0,767 pada intensitas curah hujan 0,05 mm/min hingga 1,17 mA
pada intensitas curah hujan 1,00 mm/min. Dalam hal ini, keadaan basah atau lembab arus bocor
yang mengalir pada permukaan isolator akan mengalami peningkatan, dalam arti isolator akan
mudah terjadi arus bocor pada keadaan udara lembab / basah / hujan yang akan menurunkan
fungsi isolator.
Kata Kunci: ESDD, Polutan, Hidrofilik, Hidrofobik
Coastal regions and industries is a major area of discoloration on the surface of the
insulator producer. Pollutants on the surface of the insulator layer usually consists of isolatif
components and inductive components. If there is wetting the impurity layer leakage current will
flow big enough . Leakage current flowing on the surface of the polluted insulators will trigger a
partial discharge . This discharge is characterized by the appearance of the flame on the insulator
surface layer of pollutants. Due to the influence of the short circuit leakage current that flows
into a larger, causing further warming and connect briefly next layer of pollutants. Furthermore
arise because of the discharge arc is getting longer. If the arc length is happening to bridge
conductors with an insulator buffer, then there was a flashover event (flashover) on the insulator.
As for the specific purpose of this study is to conduct performance assessment
performance polymer insulator material to the tropical climate of NTT that have a longer dry
season than the wet season. While the general purpose of this study is to analyze the polymer
insulator failure rate by measuring the leakage current by considering the temperature, humidity
and pressure, as well as to study the surface hydrophobic properties and leakage current of
polymer insulators .
Based on the results of measurements of the chemical properties shows that the
conductivity of the solution before any pollutants ( water and NH4Cl ) have value greater than
the conductivity after no pollutants, this is due to the pollutants PT . Semen Kupang contain
chemicals that are not a contributor to the conductive component and also has properties that do
not easily break down into ions in a solution . While the results of the calculation we can see that
the content of the insulator ESDD increased with increasing the concentration of pollutants in the
solution for each test is 40 mg / ml . With the large increase in ESDD ranging from 1.8x10 - 4 to
the pollutant concentration of 20 mg / ml up to 2.9x10 - 3 in pollutant concentration of 180 mg /
ml, with an average number of ESDD is 1.3x10 - 3. Based on the classification of the level of
pollution according to IEC Standard No. 815 1994, it can be said that the level of pollution in the
outside pair insulator in Kupang is at a level that is extremely lightweight with prices from 0 to
0.03 mg/cm2. Furthermore, based on the results of measurements of physical properties of
visible difference in the contact angle between the ceramic insulator material (clean and the
pollutants ) and a polymer insulator material. Polymer having hydrophobic properties that have a
large number of contact angle , while the ceramic insulating material that is hydrophilic has a
number of small contact angles .
In testing the electrical properties, leakage current characteristics influence the thermal
pressure have seen that magnitude of leakage current is inversely proportional to the temperature,
which is at a temperature of 20°C measured value of leakage current is 0.169 mA and at a
temperature of 47°C measured value of leakage current down up to 0.143 mA , in the sense that
the greater the temperature around the insulator, the lower the value of the leak current. Then
against moisture leakage current characteristics and also the influence of rain intensity increased
from 0.143 mA at 55 % humidity up to 0.169 at 100 % humidity, and exposure to conditions
12
under rainfall intensity value of leakage current prices rose from 0.767 to 0.05 mm of rainfall
intensity / min to 1.17 mA at rainfall intensity of 1.00 mm / min. In this case, wet or damp state
leakage current flowing on the insulator surface will increase, within the meaning of the insulator
leakage current will easily occur in a state of moist air / wet / rain will degrade the insulator
function .
Keywords : ESDD, Pollutants, Hydrophilic, Hydrophobic
13
RANCANG BANGUN DISTALATOR SOLAR ENERGI SKALA RT SEBAGAI
PREDIKTOR PENGUATAN KOMPONEN KESEHATAN
PRODUKSI AIR TAWAR DARI AIR LAUT
Hari Rarindo1, Harijono
2, Suwari
3
Fakultas Sains dan Teknik Universitas Nusa Cendana
E-mail: [email protected]
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) merancang distalator tenaga skala rumah tangga
dalam memproduksi air tawar dari air laut sebagai penguatan komponen kesehatan, (2) produk
air bersih dengan kualitas standar kesehatan, (3) produk garam dapur pengelolaan lanjutan secara
higienes, (4) mengetahui kuantitas/kualitas air tawar yang dihasilkan, (5) penyusunan
rekomendasi yang akan disampaikan sebagai bukti empiris penggunaan distalator untuk
memproduksi air tawar dari air laut. Data dikumpulkan dengan pengamatan lapangan.
Hasil penelitian adalah (1) alat distalator tenaga surya skala rumah tangga, (2) produk air
bersih yang memenuhi standart kesehatan, (3) produk garam dapur yang masih perlu proses
lanjutan, (4) kuantitas air tawar yang dihasilkan oleh distalator tenaga surya atau destilan secara
lengkap.
Kata Kunci: Penguatan kesehatan lingkungan, Rancangan distalator
14
KAJIAN BIOMASSA ALGA TERAKTIVASI Na, K dan Ca SEBAGAI KANDIDAT
BIOSORBEN BARU
Yohanes Buang, PhD dan Dr. Suwari
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik
Proses bioakumulasi dan pemisahan logam berat seperti kadmium (Cd) dan merkuri (Hg)
membutuhkan biomaterial baru yang banyak tersedia secara lokal dan murah untuk aplikasi
teknik biosorpsi menggunakan biosorben. Biosorben terpilih diharapkan memiliki kapasitas
sorpsi dan selektifitas tinggi terhadap logam berat tertentu. Penelitian diawali dengan sampling
alga hijau di Pantai Tablolong dan sampling alga merah di Pantai Pulau Semau Kabupaten
Kupang, selanjutnya preparasi sampel dan pembuatan biosorben dari biomassa alga teraktivasi
Na, K, Ca, terprotonasi, dan biomassa tanpa aktivasi sebagai pembanding. Karakteristik
biosorben terhadap kapasitas sorpsi ion Cd(II) dan Hg(II) diteliti. Parameter eksperimen yang
mempengaruhi proses biosorpsi seperti waktu kontak, pH, volume kontak, konsentrasi biomassa
dan konsentrasi ion Cd(II) dan Hg(II) awal dikaji. Hasil penelitian menunjukan bahwa
biosorben-Ca memiliki kapasitas sorpsi tertinggi terhadap ion Cd(II) maupun Hg(II) berturut-
turut sebesar 15,79 – 17,44 mg Cd(II) /g biosorben dan 18,81 – 18,83 mg Hg(II) / g biosorben.
Kondisi optimum hasil optimasi, proses biosorpsi ion Cd(II) menggunakan biosorben-Ca adalah
waktu kontak 60 menit, pH 5, volume kontak 125 ml, konsentrasi ion Cd(II) awal 300 mg/L dan
dosis biosorben-Ca 1,0 g/L. Pada kondisi ini, kapasitas sorpsi biosorben terhadap ion Cd(II)
mencapai 65,41 – 73,48 mg Cd(II)/g biosorben dengan efisiensi sorpsi 94,16 – 97,93%.
Sementara kondisi optimum proses biosorpsi ion Hg(II) adalah waktu kontak 90 menit, pH 4,
volume kontak 125 ml, konsentrasi ion Hg(II) awal 300 mg/L dan dosis biosorben-Ca 1,5 g/L
yang menghasilkan kapasitas sorpsi 58,22 - 60,48 mg Hg(II)/g biosorben-Ca dengan efisiensi
sorpsi 88,48 – 92,29%. Kapasitas dan efisiensi pemisahan ion Cd(II) dari biosorben-Ca yang
berasal dari biomasa alga hijau lebih tinggi dibandingkan biosorben-Ca dari biomassa alga merah
dan kapasitas sorpsi kedua jenis alga terhadap ion Cd(II) lebih tinggi dibandingkan kapasitas
sorpsi terhadap ion Hg(II).
15
PENGEMBANGAN MESIN PENDINGIN EVAPORATOR GANDA SINGLE STAGE
SYSTEM UNTUK PENGAWETAN IKAN DI KAPAL PENANGKAP IKAN
TRADISIONAL
Matheus M. Dwinanto!, Yunita A. Messah
2, Verdy A. Koehuan
3
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik
Hasil perikanan laut mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan
perekonomian nasional terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan
pendapatan, dan peningkatan taraf hidup nelayan dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang
perikanan. Untuk mewujudkan peranan tersebut, hasil perikanan harus dapat mengikuti
persyaratan yang dapat menjamin mutu dan keamanan yang diinginkan oleh konsumen. Salah
satu faktor yang mempengaruhi mutu produk perikanan adalah jarak ke pelabuhan (atau tempat
pendaratan ikan). Persoalan jarak ini menjadi lebih nyata pada wilayah-wilayah tropis (seperti di
laut Sawu, wilayah laut di Nusa Tenggara Timur) dibanding pada iklim yang lebih dingin. Suhu
udara yang lebih panas meningkatkan tingkat penurunan kualitas, khususnya apabila hasil
tangkapan ditumpuk di atas geladak dengan sedikit atau tanpa es untuk menjaganya tetap dingin.
Sengatan sinar matahari dengan cepat menjadikan ikan terlalu panas dan mempercepat
penurunan mutu ikan pasca penangkapan. Penanganan pasca penangkapan ikan, dan
pengangkutan ikan memegang peranan penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan
untuk memperoleh nilai jual ikan yang maksimal dalam proses pemasaran. Pengembangan mesin
pendingin evaporator ganda ini dilakukan agar pasca penangkapan dan setelah ikan segar
disortasi, ikan tersebut dimasukkan ke dalam kedua kotak pendingin dan pembeku berdasarkan
ukurannya (ikan berukuran besar dan ikan berukuran kecil) sehingga memudahkan dalam
distribusi dan pemasaran. Keberhasilan yang diharapkan akan diperoleh dari penelitian ini adalah
koefisien prestasi (COP) yang tinggi dari mesin pendingin, dan mutu ikan yang mampu
dipertahankan untuk tetap memiliki nilai jual yang tinggi. Hasil pengujian awal dalam penelitian
ini adalah mesin refrigerasi evaporator ganda single stage system hasil rancangbangun ini telah
mampu bekerja dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan temperatur ruang kedua
kotak pendingin yang dapat mencapai ± -6 oC dalam waktu pengujian 60 menit. Rangka kotak
pendingin yang digunakan dari bahan kayu jati dan kayu multipleks, serta isolator dari
polyurethane telah mampu menekan rugi kalor dari udara sekitar kotak pendingin sebagi akibat
perpindahan kalor konduksi yang terjadi pada dinding kotak pendingin selama mesin refrigerasi
bekerja. Pengujian awal mesin refrigerasi ini memberikan koefisien performans (COP) sebesar
6,09 dan dengan kapasitas refrigerasi sebesar 24,39 kW.
Kata kunci : Mesin pendingin, evaporator ganda, pengawet ikan
16
MODEL STRATEGIS PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN
NUSA TENGGARA TIMUR (INDONESIA) DENGAN TIMOR LESTE
Jauhari Effendi1, Sri Kurniati
2, Sudirman
3, dan RuslanRamang
4
Email: [email protected], [email protected], [email protected],
Dari aspek infrastruktur, sebagian besar wilayah perbatasan ternyata belum memiliki
sarana dan prasarana wilayah yang memadai, sehingga mengakibatkan keterisolasian wilayah
dan tidak berkembangnya kegiatan ekonomi, serta potensi terjadinya disintegrasi. Dari aspek
kebijakan, selama ini arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang ada cenderung
berorientasi inward looking, sehingga seolah-olah kawasan perbatasan tersebut hanya menjadi
halaman belakang dari pembangunan nasional. Akibatnya kawasan perbatasan dianggap bukan
merupakan wilayah prioritas pembangunan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Tujuan jangka panjang dari penelitian ini meliputi: (1) penyusunan kebijakan, peraturan,
standar minimum, dan rencana tindak pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh; (2)
peningkatan kerjasama antarwilayah, antarsektor, dan antarpelaku dalam pengembangan wilayah
strategis dan cepat tumbuh; (3) peningkatan peran pemerintah daerah sebagai perencana dan
pelaksana pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh melalui peningkatan kualitas SDM
pemerintah daerah dan fasilitasi pemerintah pusat.Sedangkan target khusus yang ingin dicapai
adalah (1) mengkaji potensi wilayah dalam rangka membuat model pengembangan kawasan
perbatasan NTT-Timor Leste; (2) membuat suatu master plan pengembangan wilayah perbatasan
sebagai rencana strategi pengelolaan wilayah perbatasan; (3) melakukan pemetaan fungsi ruang
wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan aspek sektoral dan aspek spasial; (4) dan
menyusun Rencana Investasi Program Jangka Menengah (RPIJM).
Untuk mencapa itu juan tersebut, maka digunakan metode desktriptif dan pendekatan
empirik. untuk menghasilkan model teoritis pengembangan kawasan perbatasan dilakukan proses
dengan membandingkan model teoritis dari beberapa kasus di negara yang telah berhasil maupun
gagal dalam mengembangkan kawasan perbatasan. Analisis deskriptif dilakukan terhadap
beberapa model empirik dinegara lain berdasarkan potensi wilayahnya dengan beberapa asumsi,
konsep dan konteks tertentu sehingga didapatkan model teoritis.
Berdasarkan perhitungan LQ selama periode tahun 2006-2010, maka secara rata-rata dapat
diidentifikasi bahwa sector perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor basis Kabupaten
Belu. Walaupun terlihat bahwa pada tahun 2006 dan 2007 belum menunjukkan sektor basis,
tetapi setelah memasuki tahun 2007 – 2010 sektor ini mengalami peningkatan yang cukup
signifikan melampaui 2 sektor lainnya yang menjadi sektor basis pada tahun 2007 -2010
(pertanian, dan keuangan, persewaan dan jasa perusahaan). Kedua sector tersebut menjadi sector
basis setelah memasuk tahun 2007 – 2010 yang secara rata-rata dapat diidentifikasikan sektor-
sektor yang merupakan sektor basis adalah sector pertanian dengan nilai LQ sebesar 1,18, dan
sector keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dengan nilai LQ sebesar 1,11. Setelah
memasuki tahun 2008 muncul lagi dua sektor basis, yakni sector industry pengolahan dengan LQ
sebesar 1,03 dan sector perdagangan, hotel dan restoran dengan besar LQ sebesar 1,83. Bahkan
khusus sector perdagangan, hotel dan restoran dapat mengungguli kedua sektor basis
sebelumnya. Selanjutnya, tahun 2010 muncul beberapa sektor yang menjadi sektor basis,
17
diantaranya sector pertambangan dan penggalian dengan LQ sebesar 1,04, sector pengangkutan
dan komunikasi dengan LQ sebesar 1,06. Oleh karena itu, dengan berdasarkanTabel 5.7 dapat
disimpulkan, bahwa sector perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor basis sejak 2008-
2010 sehingga mampu memenuhi kebutuhan di dalam Kabupaten Belu, serta mempunyai potensi
untuk memenuhi kebutuhan kabupaten lain yang ada di NTT. Sektor perdagangan, hotel dan
restoran dengan rata-rata LQ (2006 – 2010) = 1,38 artinya secara teoritis sebanyak 27,5%
(0,38/1,38) hasilnya dapat diekspor dan sisanya 72,5% dapat dikonsumsi sendiri. Sementara
sektorlainnya, yaitu sector pertanian, sector pertambangan & penggalian, industry pengolahan,
listrik, gas & air bersih, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan & jasa
perusahaan, jasa – jasa lainnya mempunyai nilai LQ lebih kecil dari satu sehingga dimasukkan
sebagai sektor non basis di Kabupaten Belu.Namun demikian, secara keseluruhan terdapat 6
sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan guna meningkatkan PDRB Kabupaten Belu
di tahun-tahun mendatang.
Dari hasil perhitungan analisis Shift-Share, menunjukkan bahwa semua sektor di wilayah
Kabupaten Belu laju pertumbuhannya tidak kompetitif atau lebih lambat dengan laju
pertumbuhan provinsi NTT secara keseluruhan (semua nilai Nij menunjukkan nilai negatif).
Sedangkan pengaruh bauran industrinya menunjukkan nilai positif (rin>rn(-0,125)) pada sektor
pertambangan dan penggalian (-0,1317); listrik, gas, dan air bersih (-0,1320); bangunan
(-0,1419); keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (-0,1450); serta jasa-jasa (-0,1316)
yang mengindikasikan bahwa kesempatan kerja (diasumsikan sebagai variabel wilayah) di
sektor-sektor tersebut tumbuh lebih cepat dari pada kesempatan kerja pada sektor-sektor secara
keseluruhan. Selanjutnya, untuk empat sektor lainnya, yaitu sektor pertanian; industri
pengolahan;perdagangan, hotel danrestoran; danpengangkutandankomunikasipengaruh bauran
industrinya bertanda negatif (rin<rn) mengindikasikan bahwa kesempatan kerja di sektor-sektor
tersebut tumbuh lebih lambat daripada kesempatan kerja di sektor secara keseluruhan.
Berdasarkanhasilanalisis shift share, terlihatbahwapadadaerahinihanyaada 3 yang
sektormampumemberikankontribusipositifterhadap PDRB (nilaiCij yang positif), yakni:
pertanian, listrik, gas dan air bersih; keuangan, persewaan, danjasapersewaan; sertajasa-
jasalainnya,sedangkan pada sector lainnya lebih rendah dari pertumbuhan PDRB total wilayah
referensi dengan nilai Cij yang negatif.
Kata Kunci: Infrastruktur, Analisis LQ, Analisis Shift Share, Model
Based on the infrastructure, most of the border region has yet to have facilities adequate
region, resulting in the isolation of the area and the development of economic activities, as well
as the potential for disintegration. From the aspect of the policy, as long as the direction of the
existing regional development policies tend to be oriented inward looking, so it seems that only
the border region into the backyard of national development. As a result, the border area is not
considered a priority area of development, both by the central and local governments.
The long term goal of this research include: (1) development of policies, regulations,
minimum standards, and strategic action plan development and fast growing region, (2) an
increase in cooperation between regions, between sectors, and between actors in the development
of strategic and fast-growing, (3) increasing the role of local government as a planner and
implementer of strategic regional development and rapid growth through improving the quality
of human resources of local governments and the central government facilitation. While the
specific targets to be achieved are: (1) assess the potential of the region in order to model the
development of the border region NTT-East Timor; (2) create a master plan for the development
18
of the border region as a border zone management strategy plan; (3) to map the spatial function
border using a sectoral approach and aspects of spatial aspects; (4) and draw up a Medium Term
Investment Plan Program ( RPIJM ) .
To achieve these objectives, the methods used descriptive and empirical approaches. to
generate a theoretical model of the development of the border region is done by comparing the
theoretical models of several cases in countries that have succeeded or failed in developing the
border region. Descriptive analysis conducted on several empirical models in other countries
based on the potential territory with several assumptions, concepts and specific contexts to obtain
the theoretical model .
Based on the calculation of LQ over the period 2006-2010, the average can be identified
that trade, hotels and restaurants sector basis is Belu district. Although it appears that in 2006 and
2007 have not shown a sector basis, but after entering the year 2007 to 2010 this sector has
increased significantly exceed 2 the other sectors into a sector basis in 2007 -2010 (agriculture,
finance, leasing and business services ). Both the sector into a sector basis after entering the year
2007 - 2010 the average can be identified sectors are agriculture sector is the basis of the LQ
value of 1.18, and the financial sector, renting and business services with a value of 1 LQ , 11.
After entering the year 2008 appeared again two sector basis, the manufacturing sector with LQ
of 1.03 and trade, hotel and restaurant with a large LQ of 1.83. Even specialized trade, hotel and
restaurant sectors can outperform both the previous base. Subsequently, in 2010 appeared some
sectors into a sector basis, including mining and quarrying with LQ of 1.04, the transport and
communication sectors with LQ of 1.06. Therefore, based on Table 5.7 it can be concluded, that
the trade, hotel and restaurant sector is the base from 2008 to 2010 so as to meet the needs in the
Belu district, as well as having the potential to meet the needs of other districts in NTT. Trade,
hotels, and restaurants with an average LQ (2006 - 2010) = 1.38 theoretically means as much as
27.5 % ( 0.38 /1.38 ) results can be exported and the remaining 72.5 % can be consumed alone.
While other sectors, namely agriculture, mining and quarrying, manufacturing, electricity, gas &
water supply, construction, transport and communications, finance, leasing and services
company, services - other services has a value smaller than the one that entered as sector base in
Belu district. However, overall there are six sectors that have the potential to be developed in
order to increase GDP Belu district in the coming years .
From the calculation of the Shift - Share analysis, shows that all sectors in Belu district or
the rate of growth is not competitive with the slower growth rate of NTT province as a whole (all
Nij values indicate negative values). While the industry mix effect indicates a positive value (rin
¬ >rn (-0.125) in the mining and quarrying sector (-0.1317); electricity, gas, and water (-
0.1320); building (-0.1419), finance, leasing, and business services (-0.1450), as well as services
(-0.1316) which indicates that employment opportunities (assumed as variable regions) in these
sectors grew faster than employment in the sector - sector as a whole. Furthermore, for the four
sectors, agriculture, manufacturing, trade, hotels and restaurants, and transport and
communications industry mix effect is negative (rin<rn) indicates that employment in these
sectors grew slower than employment in sector as a whole .
Based on the results of the shift share analysis, it is seen that in this region there are only
3 that the sector is able to make a positive contribution to GDP ( the value of Cij is positive):
agriculture, electricity, gas and water supply; finance, rental and leasing services, as well as
services other services, while in other sectors is lower than the total GDP growth references
territory with a negative value of Cij
Keywords : Infrastructure, Analysis LQ, Shift Share Analysis, Model
19
APLIKASI TURBIN ANGIN TIPE PROPELER TIGA BLADE UNTUK PEMOMPAAN
AIR DARI SUMUR BOR SEBAGAI SOLUSI PEMANFAATAN ENERGI ALTERNATIF
UNTUK IRIGASI
Verdy A. Koehuan
Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik, UNDANA
Pembuatan alat pompa torak dengan penggerak turbin angin yang dihubungkan dengan poros
penggerak yang akan menggerakan tuas pompa torak secara bolak balik melalui mekanisme poros
engkol untuk memompa air dari dalam sumur ke reservoir yang ditempatkan dekat sumur bor
merupakan suatu solusi pemanfaatan enrgi alternatif. Kapasitas pemompaan air tergantung pada
diameter pompa torak dan diameter turbin angin yang digunakan. Pompa torak yang dibuat dengan
kapasitas pemompaan air 5 lter per detik dan tinggi angkat 15 m dengan penggerak turbin angin
tiga baling-baling yang bahannya terbuat dari bahan komposit serat gelas. Diameter rotor turbin
angin 3,5 m dengan transmisi poros dan rantai untuk merubah gerak rotasi menjadi gerak bolak
balik pada tuas pompa torak. Tinggi menara yang dibuat adalah 9 m yang terbuat dari 4 m rangka
menara dari bahan besi siku dan 5 m rangka menara dari bahan pipa besi medium A diameter 3
inch. Selain desain pompa yang baik, proses pembuatan termasuk pelatihan untuk para petani perlu
diberikan dengan baik agar keberlanjutan alat tetap terjaga dan masyarakat menjadi mandiri dalam
hal penggunaan energi angin untuk penggerak pompa torak. Kegiatan ini dihasilkan produk model
pompa torak dan turbin angin untuk irigasi untuk meningkatkan produktifitas usaha lombok para
petani. Selain itu, masyarakat juga menguasai pengoperasian dan pemeliharaan alat tersebut,
sehingga mereka menjadi mandiri dan dapat melakukan aktifitas usaha secara berkelanjutan.
Kata Kunci:Turbin Angin, Sumur Bor, Kelompok Tani, Pompa Torak, Irigasi
20
PEMBANGUNAN MODEL SISTEM-SPASIAL DINAMIK
AKSELARASI PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR
BERBASIS PADA MASYARAKAT KELOMPOK MISKIN
Drs. Heru Suwardi
1, Jafaruddin
2, Ariyanto
3,Jakobis Johanis Messakh4
, Fakultas Sains dan Teknik, UNDANA
Produktivitas pendidikan SD sangat ditentukan oleh interaksi antara penduduk usia 6-12
tahun, sarana dan prasarana, dan guru pendidikan dasar. Angka produktivitas pendidikan, Q0
yaitu rata-rata jumlah sekunder penduduk yang bersekolah pada SD setelah satu individu usia
6-12 tahun bersekolah di SD selama usia sekolah di SD. Intensitas penduduk usia 6-12 tahun, ,
yaitu peluang per satuan waktu seseorang dengan usia 6-12 tahun bersekolah di SD. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa produktivitas penduduk pada pendidikan SD berbeda antar
Kabupaten. Di Kab. Donggala produktivitas penduduk fluktuatif dalam interval [0.042;0.45]
yang berakibat angka produktivitas pendidikan SD juga fluktuatif dalam interval [1.72;10.92] ,
Di Kab. Sigi produktivitas penduduk fluktuatif dalam interval [ 0.11;0.32] yang berakibat angka
produktivitas pendidikan SD juga fluktuatif dalam interval [0.87;7.65] , Di Kab. Kapuas
produktivitas penduduk fluktuatif dalam interval [0.01163;0.03954] yang berakibat angka
produktivitas pendidikan SD juga fluktuatif dalam interval [1.28;1.94] , Di Kab. Sumba Barat
produktivitas penduduk fluktuatif dalam interval [0.0039;0.023] yang berakibat angka
produktivitas pendidikan SD juga fluktuatif dalam interval [1.11;1.57] . Ada efek positif
intensitas penduduk usia 6-12 tahun terhadap produktivitas SD pada setiap kabupaten, namun
masih ada kecenderungan ketidakstabilan akselerasi pendidikan dasar dari state penduduk.
Model Hubungan antar Intensitas Penduduk dan antar Produktivitas Pendidikan SD. Berikut
perbandingan antar Intensitas Penduduk (Lambda) dan antar Produktivitas Pendidikan SD ( 0Q )
empat kabupaten dengan APK terendah di Indonesia, yaitu Kab Donggala, Kab Sigi (Sulteng),
Kab Kapuas (Kalteng), dan Kab Sumba Barat (NTT). Tabel 1 Perbandingan intensitas penduduk
antar Kabupaten Donggala, Sigi, Kapuas, dan Sumba Barat.
Peningkatan intensitas penduduk berbanding lurus dengan peningkatan produktivitas
pendidikan. Oleh karena penduduk merupakan input yang vital untuk produktivitas pendidikan
SD pada Kab. Donggala, Kab Sigi, Kab Kapuas, dan Kab Sumba Barat. Peningkatan intensitas
penduduk tidak cukup untuk percepatan ekselerasi penuntasan wajib belajar pendidikan dasar
khusus di SD, masih ada state yang penting yaitu prasarana dan sarana pendidikan yang layak
dan jumlah dan kualitas guru. Oleh karena model produktivitas pendidikan yang dibangun dan
digunakan pada penelitian ini masih perlu dikembangkan dengan menginteraksikan tiga state
yaitu penduduk, prasarana, dan guru secara simultan. Implementasi dan relevansi dengan
permasalahan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar khususnya pada masyarakat kelompok
miskin.
Hasil utama di atas adalah kolektivitas penelitian tahun I (2012) dan tahun II (2013).
Hasil penelitian ini telah terpublikasi satu artikel pada prosiding nasional, dua jurnal nasional
sudah diterima untuk terbit pada awal dan pertengahan tahun 2014, serta submit satu artikel
jurnal internasional yang dalam proses revieu. Selain itu telah dihasilkan satu modul dan
21
suplemen satu bab pada buku ajar pemodelan matematika.
Finalisasi rekonstruksi model penduduk usia 6-12 versus ruang kelas dikembangkan
menjadi model produktivitas pendidikan dasar interaksi penduduk usia 6-15 tahun sudah
dilakukan pada tahun kedua ini, dan akan diimplementasikan pada tahun III (2014).
Pengembangan hasil tahun II akan dilakukun pada tahun III khususnya pendalaman model
produktivitas pendidikan dasar (SD/SMP) dan implementasi dan relevansi dengan permasalahan
akselerasi penuntasan wajib belajar pendidikan dasar di Kab Donggala, Sigi, Kapuas, Kaimana,
Pegunungan Bintang sebagai studi kasus dari aspek tipology masyarakat kelompok miskin.
22
PENGEMBANGAN REAKTOR HOT WIRE CELL PECVD FREKUENSI TINGGI
UNTUK FABRIKASI SEL SURYA MIKROKRISTAL SILIKON
Amiruddin Supu1, Fakhruddin
2, I Wayan Sukarjita
3, Ruslan R
4
, Fakultas Sains dan Teknik, UNDANA
Dalam penelitian ini, kami akan mengembangkan penelitian tentang metoda Hot Wire
Cell Plasma Enhanced Chemical Vapor Deposition frekuensi tinggi. Harapan kami, metoda
HWC-PECVD ini dapat digunakan untuk membuat sel surya berbasis mikrokristal silikon
yang memiliki efisiensi dan tingkat kestabilan yang tinggi dan biaya produksi yang rendah.
Fokus penelitian kami adalah mendesain letak filamen relatif terhadap letak substrat di dalam
reaktor Hot Wire Cell PECVD. Harapan kami, desain baru ini dapat meningkatkan jumlah
radikal hydrogen sehingga mengurangi penggunaan gas hidrogen (H2) dalam proses
penumbuhannya. Hal ini dapat mengurangi biaya produksi sel surya.
Saat ini, fokus utama peneliti adalah dapat membuat sel surya yang memiliki efisiensi
tinggi, stabil dan murah (<1USD/MW). Sel surya berbasis silikon amorf memiliki efisiensi
dan tingkat kestabilan yang rendah. Hal ini disebabkan karena saat sel surya disinari dengan
intensitas cahaya yang tinggi, lapisan aktifnya tidak stabil. Selain itu, biaya produksi sel
surya berbasis kristal silikon sangat tinggi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan efisiensi sel surya dan mengurangi biaya produksinya adalah dengan
mengembangkan metoda penumbuhannya. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah
merancang dan mengembangkan reaktor Hot Wire Cell PECVD frekuensi tinggi untuk
fabrikasi sel surya mikrokristal silikon yang memiliki efisiensi tinggi (9 %) dan tingkat
kestabilan yang tinggi (95 %). Tahapan-tahapan penelitian yang akan dilakukan adalah
perancangan reaktor Hot Wire Cell PECVD frekuensi tinggi, penumbuhan lapisan tipis
mikrokristal silikon, karakterisasi lapisan tipis mikrokristal silicon dengan menggunakan ultra
violet – visible (UV-Vis), fourier transform infra red (FTIR), X-ray difraction (XRD),
scanning electron microscope (SEM), dan konduktivitas listriknya menggunakan metode dua
titik. Terakhir,fabrikasi sel surya p-i-n efisiensi tinggi dengan HWC-PECVD. Kami
mengharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna untuk
pengembangan ilmu dan teknologi sel surya di Indonesia.
In this study, we will develop our research on the method of Hot Wire Cell Plasma
Enhanced Chemical Vapor Deposition of high frequency. Our hope, the HWC -PECVD
method can be used to create a microcrystalline silicon-based solar cells that have high
efficiency and a high level of stability and low production costs. The focus of our study was
to design the layout of filaments relative to the location of the substrate in the Hot Wire Cell
PECVD reactor. Our hope, this new design can increase the number of hydrogen radicals,
thereby reducing the use of hydrogen gas (H2) in the growth process. This can reduce the cost
of solar cell production.
Currently, the main focus of research is to make solar cells that have a high efficiency,
stable and inexpensive (< 1USD/MW). Amorphous silicon-based solar cells have an
efficiency and a low level of stability. This is because when the solar cells irradiated with high
23
intensity, the active layer is unstable. In addition, the cost of production of crystalline silicon-
based solar cells is very high. One effort that can be done to improve solar cell efficiency and
reduce the cost of production is to develop a new growth method. Therefore, the purpose of
this research is to design and develop a reactor Hot Wire Cell PECVD for fabrication of high
frequency microcrystalline silicon solar cells that have high efficiency (9 %) and a high
degree of stability (95 %). The stages of research that will be done is the design of Hot Wire
Cell PECVD reactor high frequency, the growth of a thin film of microcrystalline silicon,
microcrystalline silicon thin film characterization using ultraviolet - visible (UV-Vis), fourier
transform infra red (FTIR), X-ray difraction (XRD), scanning electron microscope (SEM),
and electrical conductivity using two-point proof. Finally, the fabrication of high efficiency
solar cells with HWC-PECVD. We expect the results of this study can provide useful
information for the development of science and technology of solar cells in Indonesia.
24
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DAN LEMBAR KEGIATAN SISWA
MATATA PELAJARAN STRUKTUR KAYU UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN
BERFIKIR KRITIS (Critical Thinking) DENGAN STRATEGI
PEMBELAJARAN INQUIRI TERBIMBING TERHADAP PEROLEHAN
BELAJAR SISWA, KONSEP DAN RETENSI DI SMK KUPANG
Paul G. Tamelan1, Harijono
2, Ketut M. Kuswara
3
FKIP Universitas Nusa Cendana
E-mail: [email protected]
Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengimplementasikan produk ipteks bahan ajar
mata pelajaran struktur kayu dan lembar kegiatan siswa pada sekolah menengah kejuruan dengan
pendekatan berfikir kritis (critical thinking). (2) Model pembelajaran berfikir kritis pendekatan
konsep dan retansi mata pelajaran struktur kayu sekolah menengah kejuruan. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa produk bahan ajar dan Lembar kegiatan siswa di SMK mengalami beberapa
kendala antara lain terbatasnya materi pemberian kejuruan di sekolah menengah kejuruan oleh
para guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bahan ajar dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS)
yang telah disusun ini menghasilkan prosentase yang cukup baik dan signifikan hal ini sesuai
dengan tingkat probalitas atau tingkat keyakinan yang cukup memuaskan sehingga siswa
dapat memiliki daya serap yang tinggi dan mampu dalam berfikir kritis,
Berdasarkan temuan penelitian ini disarankan perlunya peran serta para guru SMK untuk
berperan serta dalam pembelajaran untuk membuat lembar kegiatan siswa agar siswa dapat
berlatih mendalami materi kejuruan untuk berfikir kritis sesuai dengan kemampuannya dalam
mempelajari matadiklat struktur kayu.
Kata Kunci: Pengembangan bahan ajar, Berfikir kritis, Siswa SMK Kupang
II. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
25
DINAMIKA SISTEM EKONOMI
DALAM REALITAS SOSIAL GUYUB BUDAYA RONGGA DI FLORES
Fransiskus Bustan1 dan Robertus Se
2
FKIP Universitas Nusa Cendana
Penelitian mengkaji dinamika sistem ekonomi dalam realitas sosial guyub budya Rongga,
dengan sasaran pencandraan mencakup sistem pertanian, peternakan, dan perdagangan, dengan
kerangka teori yang memayunginya adalah antropopologi sosial. Penelitian ini termasuk dalam
kategori penelitian deskriptif. Lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Manggarai Timur,
khususnya Kecamatan Kota Komba, dengan lokasi utama utama adalah Kelurahan Tanarata.
Metode pengumpulan data adalah pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terarah, dan studi
dokumentasi. Teknik pengumpulan data terdiri atas rekam dan simak-catat. Sumber data utama
adalah warga guyub budaya Rongga yang tersebar di wilayah Kelurahan Tanarata, yang diwakili
enam orang informan kunci. Data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode
induktif, analisis data bergerak dari data menuju abstraksi dan konsep atau teori. Hasil penelitian
menunjukkan, dinamika sistem ekonomi dalam realitas sosial guyub budaya Rongga tercermin
dalam sistem pertanian, peternakan, dan perdagangan. Dinamika sistem pertanian ditandai
dengan beberapa fenomena berikut: (1) Penerapan sistem perladangan yang bersifat tetap; (2)
Pemilikan lahan pertanian bersifat perseorangan; (3) Model pembagian tanah untuk setiap sektor
berbentuk segi empat persegi panjang berdasarkan pertimbangan efisiensi untuk penanaman
tanaman perdagangan; (4) Peran kaju ata hanya menjadi jejak sejarah masa lalu karena sudah
tidak ada lagi pembukaan lahan baru; (5) Nama setiap uma lodho masih tetap digunakan sebagai
tanda pembeda atau pemisah antara satu uma lodho dengan uma lodho yang lain, namun batas
luar untuk setiap uma lodho semakin hari semakin tidak jelas karena adanya perubahan
lingkungan alam fisik; (6) Peran orang yang bertugas menjaga batas kebun (nara wea) sudah
tidak lagi menyata;(7) Sebagian besar upacara adat pertanian sudah tidak dilaksanakan secara
rutin dan intensif; (8) Signifikansi kata atau istilah gotong royong (ndua uru) bergeser di luar
bingkai fungsi dan pigura makna yang diamanatkan leluhur; (9) Mekanisme pengelolaan lahan
dilakukan dengan menggunakan uang dalam jumlah tertentu sebagai bayarannya kepada pekerja
sebagai dampak dari penerapan sistem ekonomi yang bersifat monetary term; (10) Urutan
pengerjaan lahan tidak lagi mengikuti pola perurutan yang sudah berlaku secara mentradisi sejak
dari leluhurnya; (11) Makanan pokok bukan lagi jagung, tetapi beras yang biasa dibelinya di
pasar; (12) Sistem pengetahuan dan kalender adat pertanian warisan leluhur sudah tidak lagi
menjadi panduan utama dalam pengerjaan lahan karena sebagian besar lahan pertanian sudah
ditanami tanaman perdagangan. Dinamika sistem peternakan ditandai dengan beberapa
fenomena bahwa jenis ternak yang dipelihara sudah semakin banyak, namun dalam jumlah
terbatas karena tidak adanya lahan kosong untuk peternakan. Jenis ternak yang dipelihara
cenderung untuk memenuhi kepentingan perdagangan seperti sapi, babi, dan sebagainya.
Dinamika sistem perdagngan ditandai dengan tidak diterapkannya lagi sistem barter karena
pengaruh penerapan sistem ekonomi yang bersifat monetary term.
Kata kunci: dinamika, sistem ekonomi, guyub budaya Rongga
26
ETHNISITAS IN EDGES REGION VIOLENCE
BORDER AMONG REGENCY AT
TIMOR'S ISLAND NUSA'S PROVINCE EAST SOUTH-EAST
Andreas Ande1, Bendiktus Labre
2, Yakobus Yakob
3
FKIP Universitas Nusa Cendana
Cultural symbols, politics, economy and law has enabled their to have emotional binding.
But is not at moment's notice they this identify as nation. Similar thing also happening for a few
scene, one that most cultural deep identification, politics, economy and law. Under way more,
nationalism is now most lacerated because mark sense versus's nationalism evocation ethnicity.
Riset this aims to find a model in point via data and information about etnik's sub sort and
its residency location that clear to be made basic for taking policy which that meredusir can
inharmonious relationship possible within etnik's sub sort that. One of form konkritnya it makes
new border complex dwelling and a sort more heterogeneous, opening conflicting region
settlement insulation and avoids dwelling concentration of etnik's sub one particular so
mengeliminir pretty much appearance narrow ethnosentrisme it.
Riset this will be designed deep three phases. First phase, will do identification to science
(kognisi), grasp (afeksi) and carrying out of (psikomotorik) they about ethnicity and violence in
societal life. Trick for mencermatinya which is with pass through watch in arena and visceral
interview. Approaching that is utilized in riset this is interdisipliner's approaching and dianalisis
further kualitatif's ala. Second phase is intervention phase, whereabouts observing result data in
arena and visceral interview result and yielding studi bibliography was made by mapping to
borderland ethnicity in edges violence as effort of rev to violence action. Leave from that
mapping then given by social service as counselling of good family to be done on an individual
basis and also group. Drd phase, done try out and simulation to test efficiency zoom and rev
effectiveness that dicanangkan.
Agents violence at territorial border has multiplisitas social construction that gets bearing
in consideration that edge their action do violence at territorial regency border / city at Timor's
Island. Violence action that dikonstruksikan can clically and also dikonstruksikan by oknum one
particular conversely (Bdk is Berger's statement and Derrida). Violence action at territorial
border edged by factor history factor religion, politics engineering, farm scramble, structural
factor as dualism of leadership, education, islandic composition, etnik, economy, homogenisasi
is politics, hegemonisasai is religion and etnik, region autonomy, and militerisme, as social
construction context borders territorial violence regency / city at Timor's Island. There is
mobilisasai mass that did by lead each person aught group that recognised by its member and
knows its member. materiil's mobilization did by violence master mind via alliance among
agglomerate with agglomerate lead.
Key word: Ethnisitas; Conflict; Border
27
PEMANFAATAN BEBERAPA JENIS JAMUR ENTOMOPATOGEN LOKAL SEBAGAI
AGEN PENGENDALI RAMAH LINGKUNGAN TERHADAP BELALANG KEMBARA
(Locusta migratoria)
Titik Sri Harini1, Lince Mukkun
2 dan Mayavira V. Hahuly
3
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Undana
Jl. Adisucipto Penfui, Kupang, NTT 85001
Penelitian yang bertujuan untuk menentukan jenis jamur entomopatogen lokal yang
efektif mengendalikan belalang kembara dan merancang formulasi bioinsektisida yang efektif
mengendalikan populasi hama belalang kembara, praktis digunakan dan aman terhadap
lingkungan telah dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan dan Laboratorium
Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana serta di lahan petani di Kecamatan
Kelapa Lima, Kupang berlangsung dari bulan Maret 2013 sampai Nopember 2013.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan yang dicobakan
untuk kegiatan 1 adalah 2 jenis jamur hasil isolasi dari belalang yang mati karena jamur dari
Desa Motadik, Kecamatan Biboki Anleu, Timor Tengah Utara dengan konsentrasi 107
konidia/mL dan 3 ulangan yang diuji terhadap nimfa instar 3 dan imago belalang kembara hasil
perbanyakan yang berasal dari Desa Motadik. Kegiatan 2 terdiri dari 7 perlakuan yaitu campuran
bahan carrier dan konidia jamur hasil isolasi antara lain tepung beras dan konidia/biakan jamur
entomopatogen, tepung jagung dan biakan jamur, dedak dan biakan jamur, tepung taioka dan
biakan jamur, minyak goreng bimoli dan biakan jamur, aquadest dan biakan jamur, dan konidia
kering tanpa bahan carrier (kontrol) dengan 3 ulangan.
Hasil penelitian diperoleh 2 jamur dari belalang kembara yang mati yaitu Metarhizium
anisopliae dan Fusarium sp. Nilai LT50, LT90 dan LT95 suspensi konidia M. anisopliae terhadap
nimfa instar 3 adalah 9,75 hari; 29,46 hari dan 40,31 hari. Nilai LT50, LT90 dan LT95 suspensi
konidia M. anisopliae terhadap imago adalah 11,27 hari; 27,76 hari dan 35,84 hari. Nilai LT50,
LT90 dan LT95 suspensi konidia Fusarium sp terhadap nimfa instar 3 adalah 3,83 hari; 11,57 hari
dan 15,83 hari. Nilai LT50, LT90 dan LT95 suspensi konidia Fusarium sp terhadap imago adalah
9,81 hari; 24,16 hari dan 31,19 hari. Suspensi konidia Fusarium sp lebih cepat menimbulkan
kematian nimfa dan imago belalang kembara. Untuk pengujian/penentuan formulasi jamur
sebagai bioinsektisida yang digunakan adalah konidia jamur M.anisopliae karena Fusarium sp
pada umumnya menimbulkan penyakit pada tanaman. Hasil kegiatan 2 diperoleh bahwa dari 6
jenis bahan carrier dan kontrol (tanpa carrier/konidia kering) yang dicobakan/diaplikasikan
ternyata campuran minyak bimoli dengan biakan jamur/konidia jamur M. anisopliae paling
efektif karena imago belalang yang terkena campuran tersebut sebelum 24 jam sudah mati semua
(5-10 menit) dengan LT50: 0,00003 hari, disusul berturut-turut yaitu campuran tepung tapioka
dan konidia (LT50: 3,64 hari), dedak dan konidia (LT50: 4,49 hari), kontrol (konidia kering tanpa
carrier) dengan LT50: 4,62 hari, tepung beras dan konidia (LT50: 4,90 hari), aquadest dan konidia
(LT50: 5,28 hari) dan yang paling lama menimbulkan kematian yaitu campuran tepung jagung
dan konidia (LT50: 5,99 hari).
III. FAKULTAS PERTANIAN
28
Kata kunci : Jamur entomopatogen lokal, agen pengendali, belalang kembara
THE UTILIZATION OF SEVERAL TYPES OF LOCAL ENTOMOPATHOGEN FUNGI
AS ENVIRONMENTALLY FRIENDLY CONTROL AGENT TOWARD
LOCUST (Locusta migratoria)
Titik Sri Harini1, Lince Mukkun
2, and Mayavira V. Hahuly
3
The purpose of this research is to determine the types of local entomopathogen fungi that
is effective in controlling locust and designing formulation of bioinsecticides effective in
controlling locust population, easy to use and safe toward environment. The research has been
conducted in the Pythopathology Laboratory and Microbiology Laboratory, Agriculture Faculty
University of Nusa Cendana and also in farmers land at sub-district Kelapa Lima, Kupang during
March 2013 until November 2013.
The research used Complete Randomized Design (CRD). The treatment tested for The
first research activity is two types of fungi isolated from dead body of locust that infected by
fungi and obtained from Motadik village, Biboki Anleu sub-district, Timor Tengah Utara with
107 conidia/mL. Each treatment consist of three repetitions tested towards the third instar of
nymphs and imago of locust obtained from Motadik village and be reared in the laboratory. The
second research activity consists of seven treatments which is mixed carrier material and fungal
conidia isolated, namely rice flour and conidia/entomopathogen fungal culture, corn flour and
fungal culture, bran and fungal culture, tapioca starch and fungal culture, cooking oil and fungal
culture, aquadest and fungal culture, and dried conidia without carrier material (control) with
three repetition.
The result obtained two fungi from dead locusts which are Metarhizium anisopliae and
Fusarium sp. LT50, LT90 and LT95 values of conidia M. anisopliae suspension toward the third
instar of nymph are 9,75 days; 29,46 days; and 40,31 days. LT50, LT90 and LT95 values of conidia
Fusarium sp suspension toward third instar of nymph are 3,83 days; 11,57 days; and 15,83 days.
LT50, LT90 and LT95 values of conidia M. anisopliae suspension toward imago are 9,81 days;
24,16 days and 31,19 days. Conidia of Fusarium sp suspension is faster cause the dead of
nymphs and imago. However, M. anisopliae is used for treatments/determination fungi
formulation as bioinsecticides because Fusarium sp. generally causes disease on plants
(phytopathogen). The second research activity showed that from six types of carrier material
and control (without carrier/dried conidia) tested/implemented , the treatment using cooking oil
and fungal culture M. anisopliae is the most effective as bioinsecticide because imago locust
infected by that mixture died before 24 hours (5-10 minutes) with LT50: 0,00003 days, followed
by starch and fungal culture (LT50: 3,64 days), bran and fungal culture (LT50: 4,49 days), control
(dried conidia without carrier) with LT50: 4,62 days , rice flour and conidia (LT50: 4,90 days),
aquadest and conidia (LT50: 5,28 days). Nevertheless, the most prolonged cause of death is
mixture of corn flour and conidia (LT50: 5,99 days).
Keyword: local entomopathogen fungi, control agents, locust
29
KAJIAN POTENSI TANAMAN OBAT TRADISIONAL SEBAGAI ANTIBAKTERI
ALAMI DALAM PENGENDALIAN BAKTERI Vibrio alginolitycus DAN
Aeromonas hydropilla PADA BUDIDAYA IKAN
Yuliana Salosso1 dan Yudiana Jasmanindar
2
Fakultas kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang
Email : [email protected]
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tanaman obat sebagai antibakteri alami
dalam pengendalian bakteri Aeromonas hydropilla dan Vibrio alginolyticus dengan mengkaji
jenis senyawa aktif yang dikandung dari daun tanaman ceremai (Phyllanthus acidus), patikan
kerbau (Euphorbia hirta), advokat (Persea gratissima), patikan cina (Euphorbia thymifolia),
murbei (Morus australis), Gandarusa (Justica gendarussa), kentut (Paederia scandeus), srikaya
(Annona squamosa), Jayanti (Sesbania sesban), jarak ulung (Jatropha gossypifolia) dan jenis
pelarut yang terbaik dalam mengekstraksi senyawa aktifnya dan mengetahui dosis
bakterisidalnya serta mengetahui toksisitasnya terhadap ikan lele dan kerapu tikus. Penelitian
ini meliputi Uji Fitokimia 10 jenis tanaman obat, uji antibakteri dengan metode cakram dan uji
MIC ekstrak aktif terhadap V.alginolyticus dan A. hydropilla serta uji toksisitas tanaman obat
yang aktif terhadap ikan lele dan kerapu tikus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua tanaman mengandung senyawa fenolik (kecuali
daun kentut), Flavanoid, tanin dan steroid (kecuali Patikan kerbau). Sedangkan senyawa alkaloid
hanya dikandung oleh tanaman daun srikaya dan daun kentut. Triterpenoid hanya dikandung
daun srikaya, patikan kerbau dan alvokat sedangkan saponin hanya dikandung daun kentut dan
alvokat. Jenis daun yang bersifat antibakteri terhadap bakteri A. hydropilla adalah daun
gandarusa, patikan cina dan patikan kerbau sedangkan untuk bakteri V.alginolitycus adalah daun
patican cina dan patikan kerbau. Ekstrak air daun patikan kerbau dapat menghambat bakteri
A.hydropilla dan V.alginolitycus pada Konsentrasi minimum 0,156 % dan konsentrasi minimum
yang mematikan adalah 0,625% serta aman digunakan (tidak bersifat toksik) pada ikan lele dan
kerapu tikus pada dosis 1% ke bawah yang direndam selama 5 menit. Ekstrak air daun patikan
cina dapat menghambat bakteri A.hydropilla dan V.alginolitycus pada Konsentrasi minimum
0,625 % dan konsentrasi minimum yang mematikan adalah 1,25% serta aman digunakan (tidak
bersifat toksik) pada ikan lele dan kerapu tikus pada dosis 1% ke bawah yang direndam selama 5
menit. Ekstrak air daun gandarusa dapat menghambat bakteri A.hydropilla pada Konsentrasi
minimum 1,25% dan konsentrasi minimum yang mematikan adalah 2,5% serta aman digunakan
(tidak bersifat toksik) pada ikan lele konsentrasi 10% ke bawah yang direndam selama 5 menit
Kata Kunci : Tanaman obat, Antibakteri, Vibrio alginolyticus, Aeromonas hydropilla
30
MENGKAJI TINGKAT KETAHANAN KACANG TANAH ROTE TERHADAP
CEKAMAN KEKERINGAN DAN PENYAKIT UTAMA DALAM RANGKA
PENGEMBANGANNYA SEBAGAI CALON VARIETAS UNGGUL
Oleh
Yosep Seran Mau1, Antonius S.S. Ndiwa
2, dan I G.B. Adwita Arsa
3.
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana.
Jln. Adisucipto Penfui-Kupang, NTT. 85001. Indonesia.
Kacang tanah merupakan tanaman pangan penting dalam melengkapi kebutuhan gizi
masyarakat NTT, namun produktivitas dan kualitas hasil di daerah ini masih rendah, selain
karena faktor agroklimat yang ektrim kering, juga karena faktor genetik galur-galur yang
dibudidayakan berdaya hasil rendah. Tersedianya galur-galur lokal di daerah ini merupakan
potensi daerah yang bisa dimanfaatkan untuk merakit varietas unggul yang adaptif terhadap
kondisi spesifik daerah NTT. Kacang tanah lokal Rote merupakan salah satu varietas lokal yang
cukup dikenal di NTT dan berpotensi dilepas sebagai calon varietas unggul karena ukuran
bijinya yang besar, hasil tinggi dan rasanya. Namun, pengusulannya sebagai calon varietas
unggul memerlukan informasi penting seperti tingkat ketahanannya terhadap cekaman abiotik
maupun biotik. Penelitian ini melibatkan lima varietas (Lokal Rote dan 4 varietas pembanding)
untuk menguji daya hasil dan tingkat ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Penelitian
dilakukan di lapang dari Juni sampai Oktober 2013 menggunakan rancangan faktorial dengan
pola petak terbagi, petak utama adalah tingkat pengairan dan anak petak genotipe kacang tanah,
terdiri dari tiga ulangan. Perlakuan pengairan terdiri dari dua level, pengairan optimum/ tanpa
cekaman dan pengairan minimum (cekaman), sedangkan anak petak terdiri dari 5 genotipe
kacang tanah (Lokal Rote, Gajah, Jerapah, Kancil, Bison). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
interaksi antara tingkat pengairan dan jenis varietas berpengaruh nyata terhadap peubah
komponen hasil dan hasil tanaman. Rerata hasil biji semua varietas yang diuji, terutama varietas
pembanding di bawah potensi genetiknya, mengindikasikan bahwa kondisi pertanaman di bawah
kondisi optimum untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kacang tanah
lokal Rote memberikan hasil biji tertinggi, baik pada pengairan optimum maupun cekaman,
dengan rerata hasil 1,21 t.ha-1
. Empat varietas pembading yang turut diuji memberikan hasil biji
<1,0 t.ha-1
, sekiitar 50% di bawah potensi genetiknya. Hanya Kacang Tanah lokal Rote dianggap
”Tahan” terhadap terhadap cekaman kekeringan dan berdaya hasil tinggi berdasarkan indikator
seleksi STI, SSI, dan PH.
Kata kunci: Kacang Tanah, galur Lokal Rote, cekaman kekeringan, ketahanan
31
ELUCIDATION OF DROUGHT TOLERANCE LEVEL OF LOCAL ROTE
GROUNDNUT (Arachis hypogaea L.) GENOTYPE AS A CANDIDATE OF
SUPERIOR VARIETY
Yosep S. Mau1, A.S.S. Ndiwa
2, I G. B. Adwita Arsa
3
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana.
Jln. Adisucipto Penfui-Kupang, NTT. 85001. Indonesia.
Groundnut is one of the most important staple crops in NTT; however, the crop yield and
quality in this region is relatively low due to erratic climatic condition and low genetic potency
of the genotypes cultivated. NTT province is rich of groundnut germplasm that can serve as basis
for selection of high yielding varieties which are able to cope with erratic climatic condition of
the region. Local Rote variety is one of the well known local groundnut variety in NTT Province
that has the potential to be released a superior variety due its large seed size, high yield and taste.
However, promotion of this local variety to be a commercial and superior variety needs more
data on its resistance to abiotic and biotic stresses such as drought and pests and diseases. Five
sweet potato genotypes (Local Rote and 4 check varieties) were elucidated to identify high
yielding genotypes with tolerance to drought stress. The study was carried out in a split-plot
design with three replicates in the farmer’s field during June to October 2013. Two irrigation
regimes (normal and stress conditions) were assigned as main plot and 5 groundnut genotypes as
sub-plot. Results of the study revealed significant interaction effect between irrigation regimes
and groundnut genotypes on yield and yield component variables observed. Seed yields of most
genotypes tested, especially the check varieties, were below their yield potential indicating sub-
optimum condition of the trial location. The local variety, Local Rote, produced the highest seed
yield on both normal and stress conditions, with an average of 1.21 t-1
.ha. The four check
varieties produced seed yield < 1.0 t-1
.ha, about 50% lower their mean yield potential. Only the
local genotype, Local Rote, was considered drought tolerant and high yielding based on STI,
GMP, SSI and YL selection indices.
Key words: Groundnut, local Rote genotype, drought, tolerance
32
INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI KLON-KLON UBI JALAR LOKAL ASAL NTT
DI KABUPATEN TTS DAN TTU DALAM UPAYA PENGEMBANGAN DAN
PENINGKATAN POTENSI PRODUKSI SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF IDEAL
A. S. S. Ndiwa1 dan Y. S. Mau
2
Fakultas Pertanian
Universitas Nusa Cendana
Tanaman ubi jalar yang telah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat/petani di
NTT, diketahui memiliki sebaran wilayah pertanaman yang cukup luas dimana hampir seluruh
kabupaten di NTT dapat dikategorikan sebagai penghasil ubi jalar. Sebagian besar dari
masyarakat petani di pedesaan memanfaatkan ubi jalar ini sebagai sumber pangan alternatif
yang cukup potensial dalam melengkapi sumber pangan pokok dalam bentuk beras dan jagung.
Untuk menentukan jenis-jenis lokal yang potensial dalam program pengembangannya
sampai dengan penentuan klon-klon unggulan lokal dalam proses pelepasannya sebagai varietas
unggulan nasional maka perlu dilakukan inventarisasi plasmanutfah lokal yang dilanjutkan
dengan identifikasi/evaluasi terhadap sifat-sifat agronominya.
Penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan, evaluasi, dan identifikasi sejumlah klon-
klon ubi jalar lokal yang ada di NTT dari dua kabupaten TTS dan TTU sesuai dengan
agroekosistem setempat. Hasil penelitian ini akan bermanfaat sebagai data pendukung dalam
rencana usulan pelepasan salah satu klon ubi jalar lokal asal NTT sebagai varietas/klon unggul
spesifik di wilayah NTT dan pengembanganya sebagai pangan alternatif masyarakat NTT
khususnya di wilayah Timor Barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kabupaten TTS dan TTU terdapat keragaman yang
nyata yang mencerminkan variabilitas genetik yang luas antar aksesi atau klon-klon ubi jalar
lokal asal kabupaten TTS dan TTU.
Hasil karakterisasi sifat kualitatif hasil koleksi dari lapangan dan pertumbuhan selama fase
vegetatif, dapat diidentifikasi ke dalam beberapa jenis atau klon sebagai berikut: (a) klon-klon
ubi Jalar lokal asal kabupaten TTU dibedakan atas tiga kelompok untuk warna kulit umbi yakni
putih, kuning dan merah dengan proporsi terbesar pada kelompok warna kulit umbi merah dan
empat jenis untuk warna daging umbi putih , kuning, merah dan jingga dengan proporsi yang
dominan pada warna daging umbi ungu., (b) klon-klon ubi Jalar lokal asal kabupaten TTS
dibedakan atas empat kelompok untuk warna kulit umbi dan warna daging umbi yakni putih,
kuning, merah muda dan merah, warna daging umbi putih, kuning, jingga dan ungu dengan
proporsi yang dominan ditemukan pada kelompok warna kulit umbi dan daging umbi putih, (c)
terdapat perbedaan morfologis yang tegas dan variatif dari bagian-bagian vegetatif berupa bentuk
batang, warna batang, bentuk daun dan warna daun muda maupun dewasa dari klon-klon ubi
jalar asal kabupaten TTU maupun TTS.
Identifikasi terhadap karakter kuantitatif hasil pengumpulan berupa bobot umbi, kadar air umbi
serta pengamatan terhadap saat munculnya tunas dan jumlah daun selama periode pertumbuhan
vegetatif menunjukkan pengaruh yang nyata dan sangat nyata akibat perbedaan klon-klon ubi
jalar lokasl baik yang beasal dari kabupaten TTU maupun dari kabupaten TTS
33
REKAYASA KONSTRUKSI BUBU LOKAL SUATU STRATEGI UNTUK
MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp ) DI
PERAIRAN PANTAI DESA OEBELO KECAMATAN KUPANG TENGAH
Risamasu, F.J.L1, Yahyah, I. Tallo
2 dan Kiik G. Sine
3
Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana
email : [email protected]
Penelitian ini telah dilakukan di perairan Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, mulai bulan
Oktober sampai Desember 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan daya
tangkap bubu dengan tipe berbeda (kubus, setengah lingkaran dan kerucut), ukuran diameter
mulut bubu, jumlah pintu bubu serta posisinya terhadap hasil tangkapan kepiting bakau baik
komposisi jenis, jumlah kepiting yang tertangkap serta ukuran baik lebar karapaks maupun berat
kepiting; menghasilkan prototipe alat tangkap bubu yang memiliki kemampuan daya tangkap
tinggi; serta mendeskripsikan hasil tangkapan kepiting bakau baik komposisi jenis, jumlah
kepiting yang tertangkap serta ukuran baik lebar karapaks maupun berat kepiting. Penelitian ini
menggunakan metode observasi dengan melakukan uji coba penangkapan (experimental fishing)
selama satu bulan. Hasil penelitian menujukkan bahwa jenis kepiting yang tertangkap secara
keseluruhan berjumlah 6 jenis kepiting bakau seperti Scylla serrata, S. transquabarica,
S.olivacea. Portunus pelagicus, Charybdis granulata dan C. anisodon yang tertangkap pada
setiap jenis tipe bubu ternyata jenis kepiting yang tertangkap dengan proporsi tertinggi adalah
scylla serrata sebanyak 60 individu (58,823%), dan diikuti jenis lainnya. Jenis tipe bubu yang
memiliki nilai kelimpahan tertinggi adalah jenis bubu tipe kerucut dengan kode B 2.3, kemudian
jenis bubu tipe kerucut dengan kode B 3.2 dan diikuti jenis tipe bubu lainnya. Jenis tipe bubu
dengan kode B 2.3 dan B 3.2 merupakan prototipe alat tangkap bubu yang memiliki
kemampuan daya tangkap lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis tipe bubu lainnya. Jenis
tipe bubu yang mempunyai nilai CPUE tertinggi terdapat pada bubu tipe kerucut dengan kode B
3.2, kemudian bubu tipe setengah lingkaran dengan kode C 3.2, bubu tipe kubus dengan kode A
2.2 dan diikuti oleh jenis tipe bubu lainnya. Ukuran panjang dan lebar karapaks serta berat
kepiting bakau yang tertangkap pada setiap jenis tipe bubu sangat bervariasi tergantung dari jenis
kepiting. Hasil analisis korelasi (r) antara panjang karapaks dengan berat kepiting, kemudian
antara lebar karapaks dengan berat kepiting mempunyai keeratan hubungan tergolong kuat.
Hasil tangkapan kepiting berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah Scylla serrata berkelamin
jantan. Rekayasa tipe bubu dalam penangkapan kepiting yang diuji coba ini merupakan salah
satu informasi penting guna memperbaiki disain konstruksi bubu dan metode penangkapan
kepiting bakau dengan alat tangkap bubu dimasa mendatang.
Kata kunci : Bubu, hasil tangkapan, kepiting bakau
34
EFEKTIVITAS SPI PEMDA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH
STUDI KASUS: KAB. KUPANG DAN KAB. TIMOR TENGAH UTARA
Fredrik L Benu1, Anthon S Y Kerihi2, Moni W Muskanan3, Herly M Oematan4,
Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana
email : [email protected]
Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki Sistem Pengendalian Intern (SPI) Pemerintah
Daerah (PEMDA) Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).Alasan Kab.
Kupang dan TTU dipilih karena kedua pemda ini telah diidentifikasi memiliki SPI terlemah
dalam tata kelola pemerintahannya (LHP BPK 2011). Pelitian ini direncanakan dua tahun,
dengan aktivitas tahun pertama yaitu mengevaluasi sejauh mana pemahaman kedua PEMDA
mengenai SPIP (knowing); mengevaluasi unsur SPIP mana yang terlemah dalam implementasi
SPIP (diagnostic assessment) dengan melakukan analisa konteks dari dimensi
politik,ekonomi,sosial,teknologi, lingkungan dan hukum dan penyelenggaraan unsur SPI pada
tingkatan formal dan informal. Selanjutnya dengan ditemuinya unsur SPI terlemah pada tahun
pertama, kemudian akan dirancang model SPI yang relevan dapat menyelesaikan permasalahan
SPI pada kedua pemda tersebut.
Tahun pertama. Secara keseluruhan temuan-temuan dari aktivitas penelitian tahun pertama
sebagai berikut:
1. Unsur SPI terlemah di PEMDA Kabupaten Kupang dan TTU yaitu Lingkungan Pengendalian,
Kegiatan Pengendalian dan Manajemen Resiko
2. Penyebab utama lemahnya lingkungan pengendalian adalah kurangnya komitmen terhadap
profesinalisme kerja baik oleh pimpinan instansi pemerintah dan bawahan.
3. Di Pemda Kabupaten Kupaang, pemicu utama kurangnya komitmen terhadap profesinalisme
kerja adalah adanya konflik kepentingan baik itu konflik kepentingan politik, ekonomi
maupun social budaya. Sedangkan di Pemda Kabupaten TTU, Kegiatan Pengendalian adalah
unsur terlemah dengan pemicu utama kelemahannya adalah lemahnya pengembangan SDM
dan riviu kinerja dan tolok ukur.
Dari temuan-temuan ini telah dirancang draft model SPI yang efektif yang dapat menyelesaiakan
permasalahan-permasalahan di atas, yang nantinya pada tahun kedua akan didiskusikan dengan
kedua mitra, kemudian diimplementasikan.
Kata kunci : Efektivitas SPI, Otonomi
35
PERKEMBANGAN DAN KUALITAS OVARY BULUBABI TRIPNEUESTES GRATILLA
DI DALAM WADAH BUDIDAYA
A. Tjendanawangi
Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana
Studi ini bertujuan mengetahui perkembangan gonad betina bulu babi Tripneustes.
gratilla yang dipelihara dalam wadah budidaya. Sebanyak 25 individu induk bulubabi T. gratilla
yang berdiameter tubuh 50 – 80 mm dipelihara dalam bak yang berukuran 2.5 x 2.0 x 1.5 m
selama 12 minggu. sebanyak 2 individu disampling setiap 2 minggu.Selanjutnya dilakukan
pengukuran konsentrasi hormon estradiol, bobot gonad, dan diameter telur, dan pengamatan
warna ovary. Hasil studi menunjukkan bahwa bobot ovary, rata-rata diameter oosit, dan kualitas
warna ovary tertinggi pada minggu ke 9, sebaliknya kadar hormon estradiol terendah pada
minggu tersebut. Pada minggu ke 9 kebanyakan oosit berada pada tingkatan pra matang dan
matang. Kadar hormon estradiol tertinggi pada minggu ke 7 dimana ovary kebanyakan berada
pada tingkatan pertumbuhan dan pra matang. Selama 12 minggu pemeliharaan dalam wadah
budidaya, perkembangan ovary berada pada tingkatan pulih, pertumbuhan, pra matang, matang,
dan sebagian kecil ada yang sudah memijah.
Kata Kunci: ovary, perkembangan gonad, kualitas gonad, estradiol, oosit
36
RESTRUKTURISASI LEMBAGA-LEMBAGA PEMASARAN TERNAK SAPI
DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK
DI DARATAN TIMOR NUSA TENGGARA TIMUR
Matheos F. Lalus1, Maria R. Deno Ratu
2
Fakultas Peternakan - Universitas Nusa Cendana, Kupang
Dalam sistem pemeliharaan ternak sapi tradisional, petani yang paling banyak berkorban
tenaga dan waktu, jika dinilai dengan uang maka akan menjadi sangat besar, namun karena
berbagai alasan, penerimaan petani menjadi jauh lebih rendah. Penelitian ini dilakukan dengan
metode survai. Hasil penelitian ini sebagai berikut : Harga daging sapi di Kota Kupang tidak
terintegrasi secara sempurna dengan harga daging sapi di kota-kota kabupaten lainnya di Daratan
Timor Barat NTT. Perubahan harga daging sapi di Kota Kupang tidak segera menyebabkan
terjadinya perubahan harga daging sapi di kota-kota kabupaten lainnya di Daratan Timor Barat
NTT. Harga daging sapi dan jumlah permintaan ternak untuk Kota Kupang dan Kota Atambua
belum terintegrasi secara sempurna, sedangkan untuk Kota Soe dan Kota Kefamenanu sudah
terintegrasi secara sempurna. IMC antara harga ternak sapi potong di tingkat petani peternak dan
pedagang perantara sebesar 1.0040; antara petani peternak dan pedagang antara pulau 1.0048;
antara pedagang perantara dan pedagang antar pulau sebesar 1.0714. Koefisien IMC > 0 pada
ketiga tingkat pasar ternak sapi potong di Daratan Timor Barat NTT; berarti dalam jangka
pendek harga ternak sapi potong di ketiga pasar tidak teritegrasi secara sempurna atau belum
efisien. Farmer’s share dalam pemasaran ternak sapi di Daratan Timor Barat NTT sudah
berlangsung cukup adil, meskipun pada berbagai tingkatan pasar ternak sapi di wilayah ini belum
terintegrasi secara sempurna. Rata-rata farmer’s share untuk Daratan Timor Barat NTT adalah
75,95%. Margin pemasaran 62,17%; profit margin 66.71%. Profit margin terbesar diterima
pedagang perantara yakni 60.70%, pedagang antar pulau sebesar 29.30%. Distribusi margin
pemasaran masih timpang, yakni pedagang perantara 88.57% dan pedagang antar pulau sebesar
48.33%. Rata-rata harga ternak sapi yang diterima petani naik 15,73% jika penentuan harga
berdasarkan berat badan hidup. Rata-rata penerimaan petani naik sebesar 78.32%. Sedangkan
yang tidak berdasarkan berat hidup ternak maka akan terjadi kenaikan farmer’s share sebesar
71.63%, berarti terjadi penurunan share petani sebesar 6.69%.
Kata kunci : Integrasi pasar, Farmer’s share, Margin, Prof
IV. FAKULTAS PETERNAKAN
37
SUPLEMENTASI TEPUNG IKAN TERPROTEKSI EKSTRAK TANIN HIJAUAN
KABESAK KUNING, KABESAK HITAM DAN KIHUJAN DALAM RANSUM
TERHADAP PERTUMBUHAN TERNAK KAMBING
Emma Dyelim Wie Lawa1 dan Edwin J.L. Lazarus
2
Staf Pengajar Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang-NTT
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh suplementasi protein tepung ikan
terproteksi ekstrak tannin hijauan kabesak kuning, kabesak hitam dan kihujan dalam ransum
terhadap pertumbuhan ternak kambing. Penelitian ini dirancang dalam Rancangan Acak Lengkap
dengan empat perlakuan yang diulang empat kali. Sebanyak enam belas ekor ternak kambing
lokal dialokasikan untuk menerima perlakuan P0 (pemberian ransum basal + jagung-urea +
tepung ikan tidak terproteksi ekstrak tanin), P1 (pemberian ransum basal + jagung-urea + tepung
ikan terproteksi ekstrak tanin kabesak kuning), P2 (pemberian pakan basal jagung-urea + tepung
ikan terproteksi ekstrak tanin kabesak hitam) dan P3 (pemberian pakan basal + jagung-urea +
tepung ikan terproteksi ekstrak tanin kihujan). Ransum basal yang diberikan terdiri dari
kombinasi rumput alam dengan lamtoro (60:40). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
yang diterapkan mempengaruhi pertumbuhan ternak kambing dan pertumbuhan terbaik
ditunjukkan ternak kambing yang mendapat suplemen tepung ikan terproteksi ekstrak tannin
kabesak kuning (KBK 719,88 g/e/h; Retensi N 10,46 g/e/h; PBB 52,94 g/e/h dan EPR 0,070) dan
yang mendapat suplemen tepung ikan terproteksi ekstrak tannin kabesak hitam (KBK 719,88
g/e/h; Retensi N 10,03 g/e/h; PBB 51,47 g/e/h dan EPR 0,072)
.
Kata Kunci : suplementasi, tepung ikan, proteksi, ekstrak tannin, pertumbuhan kambing
SUPPLEMENTATION OF FISH MEAL PROTECTED OF TANNIN EXTRACT FROM
ACACIA LEUCOPHLOEA, ACACIA CATECHU AND SAMMANEA SAMAN IN RATION
ON GOAT PERFORMANCE
The objective of research was to study supplementation of fish meal protected of tannin
extract from Acacia leucophloea, Acacia catechu and Sammanea saman in ration on goat
performance. The experiment was arranged in Completely Randomized Design with 4 treatments
and 4 replicaties. Sixteen male local goats allocated to give treatments, P0 (basal feed + corn-
urea + non protected fish meal with extract tannin), P1 (basal feed + corn-urea + protected fish
meal with extract tannin from Acacia leucophloea), P2 (basal feed + corn-urea + protected fish
meal with extract tannin from Acacia catechu), and P3 (basal feed + corn-urea + protected fish
meal with extract tannin from Sammanea saman). Combination native grass with Leucaena used
as basal feed (60:40). The result of experiment showed that the treatments effective in increased
of goat performance and the best treatment were supplementation fish meal with extract tannin
from Acacia leucophloea (DMI 719,88 g/h/d; N retention 10,03 g/h/d; daily gain 52,94 g/h/d and
ration efficiency 0,070) and Acacia catechu (DMI 719,88 g/h/d; N retention 10,03; daily gain
51,47 g/h/d and ration efficiency 0,072).
Keywords : supplementation, fish meal, protection, tannin extract, goat performance
38
PENGARUH PARITAS DAN LEVEL PROTEIN KONSENTRAT TERHADAP
KONSUMSI, KECERNAAN DAN PERTAMBAHAN BERAT BADAN SAPI BALI
BETINA AFKIR
I GN. Jelantik, GEM. Malelak, MR. Deno Ratu
Fakultas Peternakan
Universitas Nusa Cendana Jl. Adisucipto Penfui, Kupang NTT, 85001, email : [email protected]
Penelitian ini menggunakan 24 ekor ternak sapi betina afkir dalam kondisi kurus dengan
skor kondisi tubuh antara 1sampai 1.5. Penelitian ini yang mengikuti rancangan acak lengkap
pola faktorial dengan frekuensi beranak sebagai faktor pertama dan level protein konsentrat
sebagai faktor ke-dua. Pakan yang diberikan berupa konsentrat (2% dari berat badan) dengan
level yang berbeda yaiu 12, 14 dan 16%, silase batang jagung (1% dari berat badan) dan sisanya
jerami ammoniasi. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 minggu masa
persiapan dan penyesuaian (preleminary) dan 10 minggu pengambilan (koleksi) data. Parameter
utama dalam penelitian ini adalah pertambahan berat badan yang selanjutnya akan dihubungkan
dengan konsumsi bahan organik tercerna (DOMI, digestible organic matter intake) dan atau
konsumsi energi tercerna. Dengan demikian parameter yang diukur juga termasuk konsumsi dan
kecernaan nutrisi (BK, BO, protein dan energi), lingkungan rumen (asetat, propionat dan butirat)
serta beberapa metabolit darah (glukosa, urea, packed cell volume dan total protein plasma).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara umur dan level protein
konsentrat pada kebanyakan yang diukur. Demikian juga halnya, tidak terdapat perbedaan nyata
(P>0.05) di antara ternak dengan paritas yang berbeda pada semua parameter yang diukur.
Sementara itu, total konsumsi pakan secara signifikan dipengaruhi oleh level protein konsentrat.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggemukan sapi Bali betina afkir dapat dilakukan
secara efisien dalam periode singkat dengan pertambahan berat badan yang memadai pada
berbagai paritas (frekuensi beranak) yang berbeda dengan pemberian pakan konsentrat
berprotein rendah (12%).
Kata Kunci : Sapi Bali betina afkir, frekuensi beranak, level protein, pertambahan berat badan
39
(EFFECT OF PARITY AND CRUDE PROTEIN LEVEL ON INTAKE, DIGESTIBILITY
AND LIVE WEIGHT GAIN OF CULL BALI COWS)
An experiment with the objective to investigate the effect of parity and dietary protein
levels on intake, digestibility and daily weight gain on culled Bali cows was conducted involving
24 Bali thin Bali cows with body condition score varying from 1 to 1.5 (1-5 scoring system). The
experiment followed a completely randomized factorial design with two level of parity (less and
more than 8 calvings) of which was offered a concentrate feed containing different crude protein
(12, 14 and 16%) and offered at 2% of live weight (LW). All animals were offered corn-stover
silage at 1% LW and ad libitum access on rice straw. The measured variables included nutrients
intake and digestibility, rumen environment (acetate, propionate, butyrate, valerate and iso-
valerate), blood metabolites (glucose, urea, total protein plasm and packed cell volume), daily
live weight gain and feed convertion. Results of the experiment showed that interaction between
parity and concentrate crude protein level was absent in most measured variables. Both parities
and level of protein in the concentrate diet did not affect live weight gain. Nutrient intake,
however, was significantly higher (P<0.05) in cows receiving 12% concentrate than cows given
higher level of protein in the concentrate. This pattern was similar in the concentration of some
blood metabolites. It could be concluded that culled Bali cows could be fattened effeciently in
aperiod up to 3 months with concentrate diet containing low protein level.
Key words : cull cows , parity, concenrate diet, protein level
40
EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRSAK (ANNONAMURICATA)
SEBAGAI ANTIBAKTERI PADA KARKAS AYAM BROILER
Jublin Franzina Bale Therika, Ince Picauly
b, Diana Agustiani Wuri
c, Gomera Bouk
d
aProgram Pascasarjana Undana,
bFakultas Kesehatan Masyarakat Undana,
cFakultas
Kedokteran Hewan Undana, d
Mahasiswa Program Pascasarjana Undana.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari Efektivitas Ekstrak Daun Sirsak
(Annonamuricata)Sebagai Antibakteri Pada Karkas Ayam Broiler.Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan percobaan Pola Faktorial 4x3. Faktor I adalah : Konsentrasi daun sirsak
dalam rebusan air untuk perendaman karkas (K)yangterdiri atas 4 taraf perlakuan yaitu: K0: 0
gram/liter air; K1: 10 gram/liter air; K2: 20 gram/ liter air; K3: 30 gram /liter air. Faktor II
adalah:Lama perendaman karkas (L) yang terdiri atas 3 taraf yaitu: L0: 0 menit; L1: 10 menit;
L2: 20 menit. Evaluasi karkas dilakukan dengan carapengujian fisik , yaiti penilaian keempukan
daging dan susut masak serta pengujian kualitas mikrobiologis, yaitu TPC, Coliform, Escheria
coli dan Salmonella sp; . Data penelitian yang terkumpul, dianalisa dengan Anova dan
dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multilple Range Test). Hasil evaluasi kualitas fisik
memperlihatkan bahwa keempukan daging terbaik diperoleh pada karkas yang memperoleh
perlakuan K30L20 (0.1807 kgcm2) sedangkan susut masak terbaik diperoleh pada karkas dengan
perlakuan K20L20 (22%). Hasil analisis mikrobilogis karkas memperlihatkan bahwa hasil
terbaik pada evaluasi TPC diperoleh pada perlakuan K30L20 diikuti perlakuan K30L10 dan
K30L0 masing-masing pada waktu penyimpanan 0,12,24 jam.
Kata kunci: Daun sirsak, karkas ayam, anti bakteri
The objective of this experiment was to determine the effectiveness of Annonamuricata leaf
extract as antibacterial on broiler carcasses. The experiment was arranged in completely
randomized design in a 4x3 factorial lay out with three replications. The first factor was
concentration of Annonamuricata leaf extrcat (K) with four levels i.e: 0, 10, 20 and 30 g/l water.
The second factor was soaking time of broiler carcass (L) with three levels i.e: 0, 10, 20 minute.
Data collected were analysed using Analysis of Variance and continued with Duncan’s Multiple
Range Test. The result showed that both factors of concentration of Annonamuricata leaf extrcat
and soaking time with their interactions had significant effect on physical quality, microbiology
quality. The physical quality of broiler meat showed that the best quality of tenderness was the
treatment of K30L20 (0.1807 kg/cm2); the best quality of coocking loss was K20L20 (22.0%).
The microbiology quality of broiler carcass (Total Plate Count) indicated that the best result was
gained by K30L20 followed by K30L10 and K30L0 respectively at 0,12,24 hours of time
examination.
Key words: Annona muricata leaf, broiler carcasses, antibacterial
41
KARAKTERISASI MOLEKULAR GEN PAGA PENYANDI FAKTOR VIRULENSI
PADA BEBERAPA ISOLAT LOKAL Bacillus Anthracis DI INDONESIA
Drh. Maxs Urias Ebenhaizar Sanam, M.Sc.
Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana
e-mail : [email protected]
Telp/Faks : (0380) 8000230
Antraks adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Bacillus anthracis dan bersifat
fatal bagi manusia dan hewan, khususnya ruminansia. Wabah antraks masih terjadi di beberapa
wilayah di Indonesia. Penyakit ini merugikan secara ekonomis, serta mengancam keselamatan
jiwa manusia. Gen pagA adalah gen utama menyandi pembentukan protein antigenic (PA) yang
adalah determinan virulensi utama pada bakteri tersebut. Tujuan penelitian ini adalah
mengkarakterisasi gen pagA pada isolat-isolat lokal B. anthracis di Indonesia untuk
mengungkapkan adanya variasi genetik pada gen tersebut. Informasi tersebut selanjutnya dapat
dimanfaatkan sebagai penanda epidemiologik (epidemiologic marker) dalam pengendalian
terhadap penyebaran penyakit antraks di Indonesia. Informasi molekular yang diperoleh ini juga
bermanfaat untuk studi pengembangan vaksin ataupun alat diagnostik yang memanfaatkan
protein PA. Metode molekular yang diterapkan dalam penelitian ini terdiri dari sejumlah proses,
diawali dari ekstraksi DNA plasmid bakteri; amplifikasi PCR; isolasi, visualisasi, dan pemurnian
produk PCR; serta sekuensing amplikon.
Hasil penelitian yang telah diperoleh adalah karakterisasi fenotipe terhadap 27 isolat
Bacillus anthracis, amplifikasi dan sekuensing gen pagA pada total 26 isolat B. anthracis.
Tampilan morfologis B. anthracis adalah koloni 2-3 mm, tepi tidak rata, berwarna putih
keabuan, non hemolitik. Bakteri bentuk batang membentuk untaian, bersifat Gram positif,
memiliki spora dan berkapsula. Uji konfirmasi virulensi menunjukkan 25 isolat bersifat virulen
karena memiliki kedua plasmid (pXO1 dan pXO2) secara lengkap sedangkan 2 isolat lain
kehilangan salah satu dari kedua plasmid tersebut. Hasil sekuensing terhadap 26 sekuen gen
pagA diketahui bahwa sebagaian besar sekuen isolat tersebut memiliki tingkat homogensitas
yang sangat tinggi dan perbedaan terjadi tidak lebih dari dua nukleotida. Analisis terhadap
genotipe didapatkan bahwa sebagian besar isolat B. anthracis (21 dari 26) adalah genotipe I
sementara 5 isolat lain adalah genotipe V. Sebagaian data dari peneltian ini telah dipresentasikan
dalam suatu Seminar Internasional di Surabaya, dan ditulis sebagai artikel pada jurnal nasional
terakreditasi yang sedang dalam proses review.
Kata Kunci: Antraks, Bacillus anthracis, Gen, fenotipe
V. FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
42
ANALISIS KEBIJAKAN DAN KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOPERASI DAN
PARIWISATA DI NUSA TENGGARA TIMUR
(Studi Kasus: Di Kabupaten Sabu Raijua dan Sumba Barat Daya)
Apriana H. J Fanggidae1, Jeny Eoh
2 ,Catrin Adam
3
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana
Telp/Faks. (0380)81183, E-mail: [email protected]
Pemerintah dalam hal ini Menteri Koperasi dan UKM dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
RI (13 Juni 2011; dalam Kunjungannya di Kayuambua, Desa Tiga, Kecamatan Susut Bangli)
menyampaikan harapannya bahwapengembangan koperasi dapat menurunkan angka
kemiskinan penduduk sampai angka 12 % dan Koperasi berpeluang baik untuk mengelola
pariwisata (Agroekoturisme) dengan menggunakan Program One Village One Product (OVOP).
Harapan ini disambut baik oleh kepala daerah (NTT) dengan programmembangun NTT
berkoperasi melalui pengembangan pariwisata sebagai sektor unggulan (lokomotif).
Menghadapi tantangan dan peluang ini, Gubernur berharap pemerintah, stakeholder dan
masyarakat untuk mewujudkan program tersebut dengan dasar pijak UU NO 25 Tahun 1992,
Bab VIII tentang Lapangan Usaha, pasal 43 berbunyi : Usaha Koperasi adalah usaha yang
berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan
anggota, kelebihan kemampuan pelayanan koperasi dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang bukan anggota koperasi dan menjalankan kegiatan usaha serta
berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.UU NO 10 Tahun 2009, Bab VI
tentang Usaha Pariwisata, Pasal 17 berbunyi: Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dalam bidang
usaha pariwisata. Program Gubernur tersebut tepat diterapkan di Kabupaten Sabu Raijua dan
Sumba Barat Daya yang merupakan daerah pemekaran ± 4 tahun, dengan memiliki 6 buah
koperasi untuk Sabu dan 19 koperasi untuk SBD yang masih aktif sampai dengan tahun 2011
serta untuk potensi obyek wisata yang sangat menarik. Hasil penelitian baik melalui
pengamatan, wawancara dengan pihak terkait dan FGD bahwa perkembangan koperasi dan
pariwisata di Sabu Raijua dan SBD menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan namun
tantangan yang dihadapi masih cukup berat dan masih terdapat beberapa kelemahan dan
ancaman yang perlu dicari solusi pemecahannya. Karena dalam perkembangannya para
pelaku ekonomi baik dari bidang koperasi dan pariwisata dituntut memiliki kinerja yang lebih
efisien dan produktif dengan tingkat daya saing yang tinggi. Mengingat strategisnya posisi
koperasi dan menyadari besarnya potensi koperasi, maka diperlukan kebijakan dan langkah-
langkah operasional pemberdayaan yang lebih intensif dan terpadu serta perlunya data base
koperasi yang dapat mempermudah, mempercepat pemahaman dan pengetahuan tentang
keberadaan suatu koperasi dan pengelolaannya. Koperasi berkualitas adalah badan usaha yang
mengorganisir pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya ekonomi para anggotanya atas
dasar prinsip-prinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup
anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya dengan berlandaskan
VI. FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
43
pada gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru perekonomian nasional.Potensi atraksi alam,
pantai, budaya dan adat istiadat yang beraneka ragam memberikan peluang bagi daerah
khususnya SBD dan Sabu Raijua meningkatkan pendapatan daerah melalui pengembangan
pariwisata.Kegiatan pencapaian kebijakan dimulai dengan melakukan survey dan sampai pada
tujuan akhir yaitu tindak lanjut dengan model Rantai Nilai.
kata kunci: kebijakan, kebutuhan,pengembangan,koperasi,dan pariwisata
44
REALITA, TANTANGAN DAN INOVASI PROGRAM ANGGUR MERAH DALAM
MENINGKATKAN PELAYANAN YANG PRO MASYARAKAT MISKIN DI
KABUPATEN ROTE NDAO
Ni Putu Nursiani1, Apriana H.J Fanggidae
2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana
Telp/Faks. (0380)81183, E-mail: [email protected]
Kemiskinan merupakan realitas sosial yang menjadi tantangan yang harus dipecahkan, Karena
itu masyarakat dunia bertekad menanggulangi kemiskinan yang diformulasikan dalamMillenium
Development Goals (MDGs) yang berisikan kesepakatan bersama untuk pengurangan angka
kemiskinan dunia hingga 50% pada tahun 2015 dan peningkatan kualitas pembangunan manusia
(Human Development Indeks). Salah satu kabupaten yang mendapatkan dana Anggur Merah
adalah Kabupaten Rote Ndao. Kabupaten Rote Ndao merupakan kabupaten yang berada di
daerah perbatasan Australia dengan garis perbatasan pantai 54 km dari australia. Hasil
pendataan oleh Dispenduk Rote Ndao diketahui bahwa jumlah penduduk Rote Ndao sebesar
194.640 jiwa dengan jumlah KK sebesar 37.886 artinya tiap KK memiliki ± 5 anggota keluarga.
Luas wilayah Rote Ndao 18.278,05km2 dengan jumlah pulau sebanyak 92 dan pulau yang
berpenghuni sebanyak 6 pulau. Kabupaten ini memiliki jumlah KK miskin sebanyak 20.553 KK
dengan 76.731 jiwa yang tersebar di 8 (delapan) kecamatan yang ada di Rote Ndao.Dan yang
menjadi desa terpilih untuk program anggur merah ada 8 desa untuk tahun 2010 dan 10 desa
tahun 2011 sehingga jumlah desa penerima bantuan program anggur merah sebanyak 18 desa.
Desa-desa terpilih telah dialokasikan dana sebesar Rp 250.000.000,- dan peruntukannya bagi
pengembangan usaha ekonomi produktif. Adapun tujuan penelitian tahun pertama
adalahMengidentifikasi potensi masyarakat miskin dengan menyatukan persepsi melalui kriteria
Badan Pusat Statistik(BPS), BadanKeluarga Berencana dan kesejahteraan Sosial (BKBKS),
Menganalisis realita, tantangan dan inovasi pengembangan masyarakat desa yang telah
mendapat dana bantuan program Anggur Merah dan Strategi peningkatan pendapatan penduduk
miskin melalui pengembangan usaha ekonomi produktif dengan menggunakan dana bantuan
program Anggur Merah. Hasil analisis tujuan pertama diketahui bahwa Kabupaten Rote Ndao
memiliki 5 Sektor Andalan Kabupaten Rote Ndao yaitu:Pertanian (Padi, Jagung, Sorghum,
Kacang tanah, Semangka, Bawang Merah, Lombok, Turis/Kacang Polong), Perkebunan (lontar,
Jarak, Jambu mente) Kehutanan (Kutu Lak, Jati Lokal, Kayu Putih), Peternakan (Sapi, Kerbau,
Babi, Kambing), Perikanan (Rumput laut, Kerapu, Tongkol, Kembung, Lobster, Udang,
Mutiara), Pariwisata (Nemberala, Bo’a, Doo, Batu Termanu, Mulut Seribu, Oemau, Seni dan
Budaya khas). Dan tujuan kedua hasilnya: Masalah DataMiskin, Masalah Kelembagaan, Masalah
produksi, Masalah Permodalan, Masalah Pemasaran serta Masalah Sumber DayaManusia.
Strategi inti yang harus ditempuh dalam mempersiapkan sumber daya manusia dan sumber daya
alam daerah setempat adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan pengetahuan, sikap dan
ketrampilan mengelola usaha ekonomi produktif. 2) Perlu adanya penguatan, dan fasilitasi dari
pemerintah, LSM, dan Perguruan Tinggi tentang pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat.
3) Meningkatkan dan mengembangkan kemitraan, jejaring kerja dan kewirausahaan.
4) Identifikasi potensi lokal berbasis kearifan local. Untuk itu dapat disarankan bahwa
Kabupaten Rote Ndao perlu memperkenalkan potensi unggulan daerah melalui promosi produk.
45
Pemerintah (Badan PusatStatistik(BPS), BadanKeluarga Berencana dan Kesejahteraan Sosial
(BKBKS)) perlu bekerjasama dengan para akademisi untuk menetapkan standar kemiskinan bagi
masyarakat. Penguatan kelembagaan Program Anggur Merah melalui pengembangan karakter
para fasilitator sehingga mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap program yang
dijalankannya.
Kata Kunci: realita, tantangan dan inovasi program anggur merah pelayanan, masyarakat
miskin