i. fakultas sains dan teknik pengembangan mesin...

45
1 PENGEMBANGAN MESIN REFRIGERASI EVAPORATOR GANDA UNTUK PENGAWETAN IKAN SEGAR DI MOBIL PENGANGKUT IKAN DAN KAPAL PENANGKAP IKAN TRADISIONAL Matheus M. Dwinanto 1 , Hari Rarindo 2 , Verdy A. Koehuan 3 Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik Hasil perikanan laut mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup nelayan dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan. Untuk mewujudkan peranan tersebut, hasil perikanan harus dapat mengikuti persyaratan yang dapat menjamin mutu dan keamanan yang diinginkan oleh konsumen. Salah satu faktor yang mempengaruhi mutu produk perikanan adalah jarak ke pelabuhan (atau tempat pendaratan ikan). Persoalan jarak ini menjadi lebih nyata pada wilayah-wilayah tropis (seperti di laut Sawu, wilayah laut di Nusa Tenggara Timur) dibanding pada iklim yang lebih dingin. Suhu udara yang lebih panas meningkatkan tingkat penurunan kualitas, khususnya apabila hasil tangkapan ditumpuk di atas geladak dengan sedikit atau tanpa es untuk menjaganya tetap dingin. Sengatan sinar matahari dengan cepat menjadikan ikan terlalu panas dan mempercepat penurunan mutu ikan pasca penangkapan. Penanganan pasca penangkapan ikan, dan pengangkutan ikan memegang peranan penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan untuk memperoleh nilai jual ikan yang maksimal dalam proses pemasaran. Pengembangan mesin pendingin evaporator ganda ini dilakukan agar pasca penangkapan dan setelah ikan segar disortasi, ikan tersebut dimasukkan ke dalam kedua kotak pendingin dan pembeku berdasarkan ukurannya (ikan berukuran besar dan ikan berukuran kecil) sehingga memudahkan dalam distribusi dan pemasaran. Keberhasilan yang diharapkan akan diperoleh dari penelitian ini adalah koefisien prestasi (COP) yang tinggi dari mesin pendingin, dan mutu ikan yang mampu dipertahankan untuk tetap memiliki nilai jual yang tinggi. Hasil penelitian ini adalah rancangbangun mesin refrigerasi evaporator ganda ini dapat diterapkan pada kapal penangkap ikan tradisional bertonase 5 GT yang biasa digunakan oleh para nelayan untuk menangkap ikan selama 2 3 hari. Mesin refrigerasi evaporator ini dapat mendinginkan ruangan di dalam kotak pendingin hingga mencapai 28 o C, dan dengan suhu ruangan 28 o C ikan-ikan segar dapat didinginkan dan dibekukan. Mesin refrigerasi ini mampu mempertahankan dan menjaga mutu ikan sehingga tetap aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Kata kunci : Refrigerasi, evaporator ganda, pengawetan ikan laut I. FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

Upload: doanthuan

Post on 08-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

PENGEMBANGAN MESIN REFRIGERASI EVAPORATOR GANDA UNTUK

PENGAWETAN IKAN SEGAR DI MOBIL PENGANGKUT IKAN DAN KAPAL

PENANGKAP IKAN TRADISIONAL

Matheus M. Dwinanto1, Hari Rarindo

2, Verdy A. Koehuan

3

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik

Hasil perikanan laut mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan

perekonomian nasional terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan

pendapatan, dan peningkatan taraf hidup nelayan dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang

perikanan. Untuk mewujudkan peranan tersebut, hasil perikanan harus dapat mengikuti

persyaratan yang dapat menjamin mutu dan keamanan yang diinginkan oleh konsumen. Salah

satu faktor yang mempengaruhi mutu produk perikanan adalah jarak ke pelabuhan (atau tempat

pendaratan ikan). Persoalan jarak ini menjadi lebih nyata pada wilayah-wilayah tropis (seperti di

laut Sawu, wilayah laut di Nusa Tenggara Timur) dibanding pada iklim yang lebih dingin. Suhu

udara yang lebih panas meningkatkan tingkat penurunan kualitas, khususnya apabila hasil

tangkapan ditumpuk di atas geladak dengan sedikit atau tanpa es untuk menjaganya tetap dingin.

Sengatan sinar matahari dengan cepat menjadikan ikan terlalu panas dan mempercepat

penurunan mutu ikan pasca penangkapan. Penanganan pasca penangkapan ikan, dan

pengangkutan ikan memegang peranan penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan

untuk memperoleh nilai jual ikan yang maksimal dalam proses pemasaran. Pengembangan mesin

pendingin evaporator ganda ini dilakukan agar pasca penangkapan dan setelah ikan segar

disortasi, ikan tersebut dimasukkan ke dalam kedua kotak pendingin dan pembeku berdasarkan

ukurannya (ikan berukuran besar dan ikan berukuran kecil) sehingga memudahkan dalam

distribusi dan pemasaran. Keberhasilan yang diharapkan akan diperoleh dari penelitian ini adalah

koefisien prestasi (COP) yang tinggi dari mesin pendingin, dan mutu ikan yang mampu

dipertahankan untuk tetap memiliki nilai jual yang tinggi. Hasil penelitian ini adalah

rancangbangun mesin refrigerasi evaporator ganda ini dapat diterapkan pada kapal penangkap

ikan tradisional bertonase 5 GT yang biasa digunakan oleh para nelayan untuk menangkap ikan

selama 2 – 3 hari. Mesin refrigerasi evaporator ini dapat mendinginkan ruangan di dalam kotak

pendingin hingga mencapai –28oC, dan dengan suhu ruangan –28

oC ikan-ikan segar dapat

didinginkan dan dibekukan. Mesin refrigerasi ini mampu mempertahankan dan menjaga mutu

ikan sehingga tetap aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Kata kunci : Refrigerasi, evaporator ganda, pengawetan ikan laut

I. FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

2

MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN PARIWISATA DAN PENGELOLAAN

SUMBER DAYA PESISIR KOTA KUPANG YANG BERKELANJUTAN DENGAN

SISTEM DINAMIS

Ruslan Ramang1 dan Jauhari Effendi

2

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik

Email: [email protected]@yahoo.co.id

Keterkaitan konsep ruang dan waktu merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam kehidupan umat manusia, khususnya pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir

membutuhkan pengaturan ruang dan waktu yang terintegrasi. Kenyataan ini telah menuntut

paraperencana dan pengelola wilayah pesisir agar mampu menjawab berbagai pertanyaan yang

bersifat epistemologis. Demikianhalnya Kota Kupang mempunyai keterkaitan konsepruang dan

waktu sangat esensial dalam pengelolaan wilayah pesisir, dan perlu diperlakukan secara eksplisit

dalam setiap perencanaan dan pengelolaan, yang diarahkan keperbaikan dan penyempurnaan

kehidupan manusia. Konsep ruang dan waktu ini sangat relevan untuk mengkaji berbagai isu

yang mencuat kepermukaan, khususnya mengenai isu-isu keruangan di wilayah pesisir Teluk

Kupang.

Kawasan di pesisir pantai kota Kupang yang terbentang sepanjang ±15 km merupakan

salah satukawasan yang saat ini mulai dikembangkan oleh pemerintah kota menjadi kawasan

pariwisata yang sampai saat ini belum dikelola secara optimal. Ada indikasi perubahan fungsi

kawasan yang dimanfaatkan secara konvensional dan tidak terintegrasi, sehingga menimbulkan

degradasi pada kawasan itu. Untuk menjamin fungsi ruang sesuai dengan peruntukkannya, maka

diperlukan suatu konsep desain system penataan ruang serta pengelolaan dan pengusahaan yang

tepat guna pada zona pemanfaatan, sehingga dapat bermanfaat secara optimal.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) melakukan pemetaan fungsi ruang kawasan pesisir

dengan menggunakan pendekatan aspeksektoral dan aspekspasial; (2) mendesain suatu system

dan pemodelan pengembangan kawasan pesisir terhadap pemanfaatan sumber daya, sehingga

secara simultan dapat diketahui tingkat pemanfaatan saat ini dan masa mendatang; (3) menyusun

dokumen perencanaan pengembangan kawasan pantai/pesisir Kota Kupang yang memungkinkan

untuk dapat mengatur berbagai opsi antara tujuan optimasi pemanfaatan ruang dengan berbagai

perubahan variable secara berkelanjutan.

Lokasi penelitian dilakukan di Kota Kupang khususnya di Bagian Wilayah Kota II (BWK

II) yang secara geografis sebelah utara berbatasan denganTeluk Kupang, sebelah selatan dengan

BWK V, sebelah barat dengan BWK I dan sebelah timur dengan BWK III. Secara administrasi

BWK II terdiridari 7 (tujuh) kelurahan yakni Kelurahan Kelapa Lima, Kelurahan Oesapa Barat,

Kelurahan Tuak Daun Merah, Kelurahan Fatululi, Kelurahan Kayu Putih, Kelurahan Nefonaek

dan Kelurahan Pasir Panjang. Perda No. 12 tahun 2011 arah pengembangan Kota Kupang akan menuju Kota Kupang Kota

Tepi Pantai (waterfront city) dalam pengembangan wilayahnya kondisi ini menyebabkan pola

pemanfaatan lahan Kota Kupang akan dimanfaatkan untuk menunjang konsep Kota Kupang tersebut

tidak terkecuali wilayah BWK II menjadi salah satu dampak dari konsep kota tersebut. Berdasarkan

peta BWK II Kota Kupang luas Wilayah BWK II secara keseluruhan berkisar 12,46 km2yang

diperuntukan bagizona pemerintahan, pendidikan, perdagangan, pariwisata dan jasa.

Dari rencana peruntukan lahan tersebut terdapat 79,94% diperuntukan untuk lahan terbangun

sedangkan 20,06% diperuntukan untuk lahan terbuk yakni Kawasan Rekreasi dan Olahraga, kawasan

3

pemakaman dan RTH. Sedangkan menurut konsep penataan ruang yang tertuang dalam UU No. 26

tahun 2007. Pemerintah menetapkan bahwa Ruang Terbuka harus mencapai 40% yang terdiri dari

20% untuk jaringan jalan dan 20% untuk ruang terbuka non jalan seperti taman-taman (12,5%) dan

sarana public lainnya seperti sarana olah raga, dll harus sebesar 7,5%. Selain itu untuk daerah/ruang

terbangun harus menyiapkan RTH sebesar 10%.Jadi total RTH yang harus disiapkan oleh pemerintah

untuk public harus sebesar Minimal 30%. Kota Kupang dalam pemanfaatan lahan yang tertuang

dalam Perda Nomor 12 tahun 2011 tersebut hanya mencantumkan kurang lebih 0,64% atau 0,08 Km2

RTH sehingga kecenderungan pemanfaatan lahan di BWK II untuk daerah terbangun sangat besar.

Meningkatnya jumlah penduduk di BWK II Kota Kupang telah member pengaruh terhadap

meluasnya kawasan permukiman/perumahan baik itu oleh masytakat sendiri maupun oleh

pengembang. Sela ini itu juga pertumbuhan ekonomi dengan meningkatnya bangunan pertokoan

sehingga menyebabkan laju pemanfaatan lahan juga meningkat. Dari aspek sarana prasarana tersebut

diatas dominasi pembangunan yang akan terus mengalami dinamika/bertumbuh, yakni di sector

perdagangan dan jasa, perhotelan dan perumahan. Sedangkan fasilitas lahan terbuka seperti taman,

tempat olah raga tidak mengalami pertumbuhan karena terdesak oleh pembangunan infrastruktur.

Kata Kunci: Lahan, KawasanPesisir, AspekSektoral

4

MODEL DEVELOPMENT AREA TOURISM AND RESOURCES MANAGEMENT OF

COASTAL KUPANGCITY DYNAMIC SYSTEMS WITH SUSTAINABLE

Ruslan Ramang1 dan Jauhari Effendi

2

Linking the concept of space and time is a unity that can not be separated .In human life,

especially the resource utilization of coastal areas in need of space and time settings are

integrated . This fact has been demanding the planners and managers of coastal areas to be able

to answer questions that are epistemological. Similarly Kupang is linked concepts of space and

time is essential in the management of coastal areas , and need to be treated explicitly in the

planning and management , which are directed to the improvement and perfection of human life .

The concept of space and time is very relevant to examine the various issues that came to the

surface, especially on spatial issues in the coastal areas of the Gulf of Kupang.

Area on the coast of Kupang city that stretches along the ± 15 km is one area that is

currently being developed by the city government become tourist area that until now has not

managed optimally. There are indications of changes in the area function used conventionally

and are not integrated, leading to degradation in the region. To ensure the space according to

their distribution functions, we need a system design concept of spatial planning and

management and appropriate utilization in the utilization zone, so it can benefit optimally.

The purpose of this study is: (1) mapping function coastal region of space using the

sectoral approach and aspects of spatial aspects, (2) designing and modeling a system of coastal

area development on resource use, so that it can be seen simultaneously utilization rates of

current and future, (3) prepare a document for coastal development planning /coastal city of

Kupang which allows to set various options for the purpose of optimization of space utilization

with various changes of variables on an ongoing basis.

Location research performed in the Kupangcity in particular Part II Urban Area (BWK II)

that are geographically north bordering the Kupang Bay, south of the BWK V, west to east BWK

I and III with BWK. The administration BWK II consists of 7 (seven ) villages: Village of

Kelapa Lima, Village of West Oesapa, Village of TuakDaunMerah, Village of Fatululi, Village

of KayuPutih, Village of Nefonaekand Village of PasirPanjang.

By law No. 12 in 2011 will be the development direction towards KupangCity

(waterfront city ) in the development of this condition causes the area of land use patterns will be

utilized to Kupang support the concept that no exception BWK region II became one of the

impact of the concept of the city. Based on a map of the city of KupangBWK II wider region as a

whole ranges from 12.46 km2 zone intended for government, education, commerce, tourism and

services.

Of the land use plan are allocated 79.94 % to 20.06 % while the built land intended for

the open land and Sports Recreation Area, funerals and green space areas. Meanwhile, according

to the concept of spatial planning as stipulated in Law no. 26 in 2007 . The government stipulates

that open space should reach 40 %, consisting of 20% of the road network and 20% for non- road

open spaces such as parks ( 12.5%) and other public facilities such as sports facilities, etc should

be at 7.5%. In addition to the area / space shall prepare RTH awakened by 10%. So the total

green space that must be prepared by the government to the public should be at a minimum 30%.

Kupang in land use are contained in Regulation No. 12 in 2011 included only approximately

0.64 % or 0.08 km2 green space so that the tendency of land use in BWK II woke up to a very

large area.

5

The increasing number of population in the Kupang City(BWK II) has an impact on the

spread of settlements / housing community either by itself or by the developer. In addition, with

the increasing growth of the building , causing stores also increased the rate of land use . From

the above aspects of infrastructure development that dominance will continue to experience

dynamic / growth , namely in trade and services, hospitality and residential. While the facility is

open land such as parks , sports venues are not experiencing growth as driven by infrastructure

development .

Keywords: Land, Coastal Region ,Sectoral Aspects

6

PERANCANGAN PERANGKAT LUNAK SISTEM PENJADWALAN EKONOMIS

PADA UNIT – UNIT PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA DIESEL (PLTD) UNTUK

MENGOPTIMALKAN PENGGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DI KOTA

KUPANG

Sri Kurniati1, Sudirman

2, dan Nursalim

3

Email:[email protected]@[email protected]

Mengoperasikan suatusi stem tenaga listrik yang terdiri dari beberapa pusat pembangkit

listrik, perlu suatu koordinasi di dalam penjadwalan pembebanan besar daya listrik yang di

bangkitkan masing-masing pusa tpembangkit listrik, sehingga diperoleh biaya pembangkit yang

minim. Dalam suatu system tenaga listrik yang terdiri dari Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) dan

Pusat Listrik Tenaga Termal, telah diketahui bahwa biaya pembangkitan energy listrik dari

pembangkit termal adalah lebih besar di bandingkan dengan biaya pembangkitan dari

pembangkit hidro, untuk menghasilkan daya yang sama. Masalah pada operasi system tenaga

listrik seperti diatas adalah dalam melayani beban listrik yang tertentu besarnya dan dalam

selang waktu tertentu, dimana dibangkitkan energy listrik yang maksimum pada pusat listrik

tenaga air dan optimal pada pusat listrik tenaga termal. Hal tersebut dikenal sebagai masalah

optimisasi pembangkitan energilistrik.

Sistem tenaga listrik yang besar yang memiliki pembangkit-pembangkit termal seperti

PLTU, PLTD dan PLTG akan menghadapi permasalahan dalam hal biaya bahan bakar untuk

pengoperasiannya. Hal ini disebabkan harga bahan bakar yang cenderung mengalami kenaikan

dari waktu kewaktu, sementara biaya bahan bakar merupakan bagian yang terbesar dari biaya

operasi pembangkitan secara keseluruhan, sehingga pengurangan biaya bahan bakar akan

menghasilkan operasi pembangkitan yang lebihekonomis.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cara mengatur penjadwalan unit-unit

pembangkit PLTD Kota Kupang dan untuk mengetahui perbedaan biaya yang diperlukan

setelah unit-unit pembangkit PLTD dioptimisasi dengan menggunakan metode gradient orde

dua. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen dan

observasi lapangan, yang menekankan pada peluang penghematan penggunaan BBM sehingga

diperoleh nilai harga yang lebih murah setelah dilakukan optimisasi pembangkit dan melakukan

perancangan perangkat lunak dengan melakukan simulasi dengan menggunakan metode gradient

orde dua dan fuzzy logic. Sedangkan pengolahan data menggunakan simulasi dengan perangkat

keras komputer PC Pentium I3 dan perangkat lunak MATLAB versi 2010a.

Lokasipenelitiandilakukanpada PLTD TenauKupangdenganpengambilan data penggunaan

BBM, daya yang dibangkitkan serta daya terpasang dan daya mampu selama 3 bulan terakhir,

yaitu bulan Desember 2012, Januari 2013 dan Pebruari 2013. Data yang digunakan adalah data

– data dari pembangkit milik PLN yang terdiridari MAK I, MAK II, MAK III, MAK IV,

MIRRLEES II, MIRRLEES III, CATERPILLAR II dan SULZER 40/48 sebagai data sekunder

pada penelitian ini. Pada PLTD Tenau Kupang yang memiliki total 8 pembangkit yang

beroperasi pada 3 bulan terakhir ini dan juga beberapa mesin sewaan (rental) guna melayani

kebutuhan daya beban. Pada saat beban puncak malam hari, maka semua unit diesel generator

tersebut beroperasi, sedangkan diluar waktu beban puncak, maka yang memikul beban adalah

dua sampai tiga unit pembangkit yang memiliki daya yang besar dan untuk kenaikan beban

tertentu, maka ditambah dengan pengoperasian unit diesel ganerator yang memiliki daya yang

sedikit lebih kecil untukmemenuhi kebutuhantersebut.

7

Besarnya konsumsi bahan bakar tiap unit pembangkit per kWh dan daya yang dibangkitkan

pada tahun 2012 (Desember) dan 2013 (JanuaridanPebruari) dapat dilihat padaTabel 5.2, 5.3 dan

5.4. Dari Tabel5.4 dapat dilihat bahwa selamaTahun 2013 (Februari) unit Mak III merupakan

unit yang paling banyak jam operasinya, yaitu 629 dengan pemakaian bahan bakar sebesar

249.839 liter dan energi yang dihasikan sebesar 951.960 kWh. Unit Sulzer 40/48 adalah unit

yang paling sedikit jam operasinya, yaitu 302 jam dengan pemakaian bahan bakar sebesar

282.420 liter dan energi yang dihasilkan sebesar 1.009.700 kWh.

Dari data Tabel 5.5 terlihat bahwa daya terpasang pembangkit system Kupang terbesar

adalah PLTD Mirrlees II &III 5,218 MW/unit, kemudian PLTD Caterpillar sebesar 4,896 MW.

Sedangkan menurut informasi yang didapat dari PLTD Tenau Kupang, bahwa dengan Faktor

Kapasitas (CF) rata-rata 61,08 % untuk Mirrlees II pada Bulan Desember, maka pembangkit

Mirrlees II tidak dapat beroperai membangkitkan daya sesuaidaya terpasangnya. Dengan cos phi

tiap – tiappembangkitsebesar 0,9didapatdayapembangkitan (MVA) dengancara : contoh daya

pembangkitan pada pukul 01.00 per tanggal 16 Desember 2012. Kemudian dari dataTabel 5.7

terlihat bahwa daya terpasang pembangkit system Kupang terbesar adalah PLTD Mirrlees I

5,218 MW, kemudian PLTD Caterpillar sebesar 4,896 MW. Menurut informasi yang didapat

dari PLTD Tenau Kupang, terjadi penurunan factor kapasitas pembangkit dari Bulan Desember

(2012) ke Januari (2013) dengan Faktor Kapasitas (CF) rata-rata 56,55 %. Selanjutnya, untuk

Mirrlees II di Bulan Januari, maka pembangkit Mirrlees II tidak dapat beroperasi

membangkitkan daya sesuai daya terpasangnya.

Dari data Tabel 5.9 terlihat bahwadaya terpasang pembangkit system Kupang terbesar

adalah PLTD Sulzer 40/486,3 MW, kemudian PLTD Mirrlees Isebesar 5,218 MW. Menurut

informasi yang didapat dari PLTD Tenau Kupang, terjadi penurunan factor kapasitas

pembangkit dari bulan Desember (2012), Januari (2013), Pebruari dengan Faktor Kapasitas

(CF) rata-rata 55,30 % untuk Mirrlees II di bulan Januari, maka pembangkit Mirrlees II tidak

dapat beroperasi membangkitkan daya sesuai daya terpasangnya. Sedangkan untuk pembangkit

Sulzer 40/48 yang tidak beroperasi di bulan sebelumnya (Desember dan Januari) mempunyai

Faktor Kapasitas (CF) rata-rata 23,849 %, sehingga tidak dapat beroperasi membangkitkan daya

sesuai daya terpasangnya dikarenakan beberapa hal teknis dan ekonomisnya. Kemudian jika kita

lihat hubungannya antara daya mampu, baban puncak dan daya cadangan, terlihat bahwa dari

bulan desember 2012 sampai februari 2013, daya mampu pembangkit dapat dikatakan stabil,

sementara beban puncak juga cenderung stabil dengan cadangan daya tidaklah terlalu banyak

seperti diperlihatkan dalamTabel 4.11.

Kata Kunci: Dayamampu, BebanPuncak, BebanDasar

Operate a power system consisting of several power plants, needs a scheduling

coordination within large loading generate electrical power in each power station, in order to

obtain the minimal cost of generation. In a power system consisting of a Central Water Power

(hydropower) and Thermal Power Plant, it is known that the cost of generating electricity from

thermal plants is greater in comparison with the cost of generation from hydro plants, to produce

the same power. Problems in power system operation as above is in serving a certain amount of

electrical load and, at intervals, in which the electrical energy generated at the maximum hydro-

power and optimal thermal power plants. This is known as an optimization problem of electrical

energy generation.

Large electric power systems that have thermal plants such as power plants, diesel and

gas power plant will face problems in terms of fuel costs for the operation. This is due to fuel

8

prices tend to rise over time, while fuel costs constitute the largest part of the overall operating

costs of generation, resulting in a reduction in fuel costs will result in the generation of a more

economical operation .

The purpose of this study is to determine how to set scheduling diesel generating units

Kupang and to determine differences in the costs required after the diesel generating units

optimized by using a second order gradient method. The method used in this study is the

experimental method and field observations, which emphasizes the use of fuel-saving

opportunities in order to obtain a lower price values after generating and perform design

optimization software by performing simulations using a second order gradient methods and

fuzzy logic. While processing the data using a simulation with computer hardware i3 and

Pentium PC software MATLAB 2010a version .

Location research conducted in PLTD Tenau-Kupang usage data retrieval , as well as the

generated power installed capacity and power output during the last 3 months, the month of

December 2012, January 2013 and February 2013. The data used is the data from PLN power

plant consisting of MAK I, II MAK, MAK III, IV MAK, Mirrlees II, III Mirrlees, CAT II and

SULZER 40/48 as secondary data in this study. In PLTD Tenau-Kupang which has a total of 8

plants operating in the past 3 months and also some machine rental in order to serve the needs of

the power load. At the time of the evening peak load, then all units are operating diesel

generators, while outside the peak load time, then the burden is two to three generating units that

have great power and to a certain load increase, then coupled with the operation of the diesel

units ganerator has a slightly smaller to meet these needs.

The amount of fuel consumption per unit of power per kWh and power generated in 2012

(December) and 2013 (January and February) can be seen in Table 5.2, 5.3 and 5.4. From Table

5.4 it can be seen that during the year 2013 (February) Mak III units are the units most hours of

operation, namely the use of 629 to 249.839 liters of fuel and energy dihasikan of 951.960 kWh.

Sulzer Unit 40/48 is the fewest hours of unit operation, which is 302 hours with the use of 282

420 liters of fuel and energy amounted to 1.0097 million kWh produced.From the data in Table

5.5 shows that the installed Kupang power generation system is the largest II& III Mirrlees diesel

with 5.218 MW/unit, then Caterpillar diesel at 4.896 MW. Meanwhile, according to information

obtained from PLTDTenauKupang , that the capacity factor ( CF ) average 61.08 % for the

Mirrlees II in December, then the plant can not operate Mirrlees II generate power according to

their installed power. With power factor each plant generating power of 0.9 obtained (MVA) by

the way: the example of power generation at 01.00 as at December 16, 2012. Then from the data

in Table 5.7 shows that the installed Kupangpower generation system is the largest Mirrlees I

diesel with 5.218 MW, then diesel Caterpillar of 4,896 MW. According to information obtained

from PLTD TenauKupang, a decrease in the capacity factor of the plant in December (2012) to

January (2013) with a capacity factor ( CF ) average 56.55 % . Furthermore, for the Mirrlees II in

January, then the plant can not operate Mirrlees II generate power according to their installed

power .

From the data in Table 5.9 shows that the installed Kupangpower generation system is

the largestSulzer diesel 40/48 with 6.3 MW, then diesel Mirrlees I of 5.218 MW. According to

information obtained from PLTD TenauKupang , a decrease in the capacity factor of the plant in

December (2012), January (2013), February the Capacity Factor (CF) average 55.30 % for the

Mirrlees II in January, the plant Mirrlees II can not operate generate power according to their

installed power. As for Sulzer plant 40/48 is not operating in the previous month (December and

January) have the capacity factor (CF) average 23.849 %, so the operation can not generate

power according to their installed power due to some technical and economic terms. Then if we

9

see the relationship between power output, peak load and backup power, it appears that from the

December 2012 to February 2013, the power can be said to be capable of generating stable,

while the peak load is also likely to be stable with a backup power not so much as shown in

Table 4.11 .

Keywords : Power capable, Peak Load, Load Basis

10

KAJIAN AWAL PENGGUNAAN ISOLATOR POLIMER PADA PERENCANAAN

SALURAN TRANSMISI UNTUK MENINGKATKAN KEANDALAN SISTEM TENAGA

LISTRIK DI NUSA TENGGARA TIMUR

Sudirman S1. dan Sri Kurniati A

2

Email: [email protected][email protected]

Daerah pantai dan industri merupakan daerah utama penghasil pengotoran pada

permukaan isolator. Lapisan polutan pada permukaan isolator biasanya terdiri dari komponen

isolatif dan komponen induktif. Jika terjadi pembasahan pada lapisan pengotor akan mengalir

arus bocor yang cukup besar. Arus bocor yang mengalir pada permukaan isolator yang terpolusi

ini akan memicu terjadinya peluahan sebagian. Peluahan ini ditandai dengan munculnya nyala

api pada lapisan polutan permukaan isolator tersebut. Akibat pengaruh hubung singkat ini arus

bocor yang mengalir menjadi lebih besar sehingga menimbulkan pemanasan lanjutan dan

menghubung singkat lapisan polutan berikutnya. Selanjutnya timbul busur api karena adanya

peluahan yang semakin panjang. Apabila panjang busur yang terjadi dapat menjembatani

konduktor dengan penyangga isolator, maka terjadilah peristiwa lewat denyar (flashover) pada

isolator tersebut.

Adapunyang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah melakukan pengkajian

unjuk kinerja bahan isolator polimerterhadap iklim tropis NTT yang mempunyai musim kemarau

lebih panjang dari musim hujan. Sedangkan tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan

analisis tingkat kegagalan isolator polimer dengan melakukan pengukuran arus bocor dengan

mempertimbangkan temperatur, kelembaban dan tekanan, serta melakukan studi sifat hidrofobik

permukaan dan arus bocor dari bahan isolator polimer.

Berdasarkan hasil pengukuran sifat kimiawi terlihat bahwa konduktivitas larutan sebelum

ada polutan (air dan NH4Cl ) mempuyai nilai yang lebih besar disbanding dengan konduktivitas

sesudah ada polutan, hal ini dikarenakan pada polutan PT. Semen Kupang mengandung zat-zat

kimia yang bukan merupakan penyumbang komponen konduktif dan juga memiliki sifat yang

tidak mudah terurai menjadi ion dalam suatu larutan. Sedangkan hasil perhitungan dapat kita

lihat bahwa kandungan ESDD pada isolator semakin meningkat dengan bertambahnya

konsentrasi polutan pada larutan untuk tiap – tiap pengujian yaitu 40 mg / ml. Dengan besar

kenaikan ESDD mulai dari 1.8x10-4

pada konsentrasi polutan 20 mg / ml hingga mencapai

2.9x10-3

pada konsentrasi polutan 180 mg/ml, dengan jumlah rata-rata dari ESDD yaitu 1.3x10-3

.

Berdasarkan klasifikasi tingkat polusi menurut Standar IEC No. 815 tahun 1994, maka dapat

dikatakan bahwa tingkat polusi pada isolator pasangan luar di Kupang berada pada tingkat yang

sangat ringan dengan harga 0-0,03 mg/cm2. Selanjutnya, berdasarkan hasil pengukuran sifat

fisika terlihat perbedaan sudut kontak antara material isolator keramik (bersih dan yang

berpolutan) dan material isolator polimer.Polimer yang mempunyai sifat hidropobik sehingga

memiliki jumlah sudut kontak yang besar, sedangkan untuk material isolasi keramik yang

bersifat hidropilik memiliki jumlah sudut kontak yang kecil.

Pada pengujian sifat listrik, karakteristik arus bocor pengaruh tekanan termal dapa dilihat

bahwa besarnya arus bocor berbanding terbalik dengan suhu / temperatur, yaitu pada suhu

20°Cnilaiarusbocor yang terukur adalah 0,169mA dan pada suhu 47°C nilai arus bocor yang

terukur turun hingga 0,143mA, dalam arti semakin besar temperatur / suhu disekitar isolator

maka, semakin rendah nilai arus bocornya. Kemudian karakteristik arus bocor terhadap

kelembaban dan juga pengaruh intensitas hujan naik dari 0,143 mA pada kelembaban 55%

11

hingga 0,169 pada kelembaban 100%, dan untuk kondisi di bawah terpaan intensitas curah hujan

nilai arus bocor naik dari harga 0,767 pada intensitas curah hujan 0,05 mm/min hingga 1,17 mA

pada intensitas curah hujan 1,00 mm/min. Dalam hal ini, keadaan basah atau lembab arus bocor

yang mengalir pada permukaan isolator akan mengalami peningkatan, dalam arti isolator akan

mudah terjadi arus bocor pada keadaan udara lembab / basah / hujan yang akan menurunkan

fungsi isolator.

Kata Kunci: ESDD, Polutan, Hidrofilik, Hidrofobik

Coastal regions and industries is a major area of discoloration on the surface of the

insulator producer. Pollutants on the surface of the insulator layer usually consists of isolatif

components and inductive components. If there is wetting the impurity layer leakage current will

flow big enough . Leakage current flowing on the surface of the polluted insulators will trigger a

partial discharge . This discharge is characterized by the appearance of the flame on the insulator

surface layer of pollutants. Due to the influence of the short circuit leakage current that flows

into a larger, causing further warming and connect briefly next layer of pollutants. Furthermore

arise because of the discharge arc is getting longer. If the arc length is happening to bridge

conductors with an insulator buffer, then there was a flashover event (flashover) on the insulator.

As for the specific purpose of this study is to conduct performance assessment

performance polymer insulator material to the tropical climate of NTT that have a longer dry

season than the wet season. While the general purpose of this study is to analyze the polymer

insulator failure rate by measuring the leakage current by considering the temperature, humidity

and pressure, as well as to study the surface hydrophobic properties and leakage current of

polymer insulators .

Based on the results of measurements of the chemical properties shows that the

conductivity of the solution before any pollutants ( water and NH4Cl ) have value greater than

the conductivity after no pollutants, this is due to the pollutants PT . Semen Kupang contain

chemicals that are not a contributor to the conductive component and also has properties that do

not easily break down into ions in a solution . While the results of the calculation we can see that

the content of the insulator ESDD increased with increasing the concentration of pollutants in the

solution for each test is 40 mg / ml . With the large increase in ESDD ranging from 1.8x10 - 4 to

the pollutant concentration of 20 mg / ml up to 2.9x10 - 3 in pollutant concentration of 180 mg /

ml, with an average number of ESDD is 1.3x10 - 3. Based on the classification of the level of

pollution according to IEC Standard No. 815 1994, it can be said that the level of pollution in the

outside pair insulator in Kupang is at a level that is extremely lightweight with prices from 0 to

0.03 mg/cm2. Furthermore, based on the results of measurements of physical properties of

visible difference in the contact angle between the ceramic insulator material (clean and the

pollutants ) and a polymer insulator material. Polymer having hydrophobic properties that have a

large number of contact angle , while the ceramic insulating material that is hydrophilic has a

number of small contact angles .

In testing the electrical properties, leakage current characteristics influence the thermal

pressure have seen that magnitude of leakage current is inversely proportional to the temperature,

which is at a temperature of 20°C measured value of leakage current is 0.169 mA and at a

temperature of 47°C measured value of leakage current down up to 0.143 mA , in the sense that

the greater the temperature around the insulator, the lower the value of the leak current. Then

against moisture leakage current characteristics and also the influence of rain intensity increased

from 0.143 mA at 55 % humidity up to 0.169 at 100 % humidity, and exposure to conditions

12

under rainfall intensity value of leakage current prices rose from 0.767 to 0.05 mm of rainfall

intensity / min to 1.17 mA at rainfall intensity of 1.00 mm / min. In this case, wet or damp state

leakage current flowing on the insulator surface will increase, within the meaning of the insulator

leakage current will easily occur in a state of moist air / wet / rain will degrade the insulator

function .

Keywords : ESDD, Pollutants, Hydrophilic, Hydrophobic

13

RANCANG BANGUN DISTALATOR SOLAR ENERGI SKALA RT SEBAGAI

PREDIKTOR PENGUATAN KOMPONEN KESEHATAN

PRODUKSI AIR TAWAR DARI AIR LAUT

Hari Rarindo1, Harijono

2, Suwari

3

Fakultas Sains dan Teknik Universitas Nusa Cendana

E-mail: [email protected]

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) merancang distalator tenaga skala rumah tangga

dalam memproduksi air tawar dari air laut sebagai penguatan komponen kesehatan, (2) produk

air bersih dengan kualitas standar kesehatan, (3) produk garam dapur pengelolaan lanjutan secara

higienes, (4) mengetahui kuantitas/kualitas air tawar yang dihasilkan, (5) penyusunan

rekomendasi yang akan disampaikan sebagai bukti empiris penggunaan distalator untuk

memproduksi air tawar dari air laut. Data dikumpulkan dengan pengamatan lapangan.

Hasil penelitian adalah (1) alat distalator tenaga surya skala rumah tangga, (2) produk air

bersih yang memenuhi standart kesehatan, (3) produk garam dapur yang masih perlu proses

lanjutan, (4) kuantitas air tawar yang dihasilkan oleh distalator tenaga surya atau destilan secara

lengkap.

Kata Kunci: Penguatan kesehatan lingkungan, Rancangan distalator

14

KAJIAN BIOMASSA ALGA TERAKTIVASI Na, K dan Ca SEBAGAI KANDIDAT

BIOSORBEN BARU

Yohanes Buang, PhD dan Dr. Suwari

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik

Proses bioakumulasi dan pemisahan logam berat seperti kadmium (Cd) dan merkuri (Hg)

membutuhkan biomaterial baru yang banyak tersedia secara lokal dan murah untuk aplikasi

teknik biosorpsi menggunakan biosorben. Biosorben terpilih diharapkan memiliki kapasitas

sorpsi dan selektifitas tinggi terhadap logam berat tertentu. Penelitian diawali dengan sampling

alga hijau di Pantai Tablolong dan sampling alga merah di Pantai Pulau Semau Kabupaten

Kupang, selanjutnya preparasi sampel dan pembuatan biosorben dari biomassa alga teraktivasi

Na, K, Ca, terprotonasi, dan biomassa tanpa aktivasi sebagai pembanding. Karakteristik

biosorben terhadap kapasitas sorpsi ion Cd(II) dan Hg(II) diteliti. Parameter eksperimen yang

mempengaruhi proses biosorpsi seperti waktu kontak, pH, volume kontak, konsentrasi biomassa

dan konsentrasi ion Cd(II) dan Hg(II) awal dikaji. Hasil penelitian menunjukan bahwa

biosorben-Ca memiliki kapasitas sorpsi tertinggi terhadap ion Cd(II) maupun Hg(II) berturut-

turut sebesar 15,79 – 17,44 mg Cd(II) /g biosorben dan 18,81 – 18,83 mg Hg(II) / g biosorben.

Kondisi optimum hasil optimasi, proses biosorpsi ion Cd(II) menggunakan biosorben-Ca adalah

waktu kontak 60 menit, pH 5, volume kontak 125 ml, konsentrasi ion Cd(II) awal 300 mg/L dan

dosis biosorben-Ca 1,0 g/L. Pada kondisi ini, kapasitas sorpsi biosorben terhadap ion Cd(II)

mencapai 65,41 – 73,48 mg Cd(II)/g biosorben dengan efisiensi sorpsi 94,16 – 97,93%.

Sementara kondisi optimum proses biosorpsi ion Hg(II) adalah waktu kontak 90 menit, pH 4,

volume kontak 125 ml, konsentrasi ion Hg(II) awal 300 mg/L dan dosis biosorben-Ca 1,5 g/L

yang menghasilkan kapasitas sorpsi 58,22 - 60,48 mg Hg(II)/g biosorben-Ca dengan efisiensi

sorpsi 88,48 – 92,29%. Kapasitas dan efisiensi pemisahan ion Cd(II) dari biosorben-Ca yang

berasal dari biomasa alga hijau lebih tinggi dibandingkan biosorben-Ca dari biomassa alga merah

dan kapasitas sorpsi kedua jenis alga terhadap ion Cd(II) lebih tinggi dibandingkan kapasitas

sorpsi terhadap ion Hg(II).

15

PENGEMBANGAN MESIN PENDINGIN EVAPORATOR GANDA SINGLE STAGE

SYSTEM UNTUK PENGAWETAN IKAN DI KAPAL PENANGKAP IKAN

TRADISIONAL

Matheus M. Dwinanto!, Yunita A. Messah

2, Verdy A. Koehuan

3

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik

Hasil perikanan laut mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan

perekonomian nasional terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan

pendapatan, dan peningkatan taraf hidup nelayan dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang

perikanan. Untuk mewujudkan peranan tersebut, hasil perikanan harus dapat mengikuti

persyaratan yang dapat menjamin mutu dan keamanan yang diinginkan oleh konsumen. Salah

satu faktor yang mempengaruhi mutu produk perikanan adalah jarak ke pelabuhan (atau tempat

pendaratan ikan). Persoalan jarak ini menjadi lebih nyata pada wilayah-wilayah tropis (seperti di

laut Sawu, wilayah laut di Nusa Tenggara Timur) dibanding pada iklim yang lebih dingin. Suhu

udara yang lebih panas meningkatkan tingkat penurunan kualitas, khususnya apabila hasil

tangkapan ditumpuk di atas geladak dengan sedikit atau tanpa es untuk menjaganya tetap dingin.

Sengatan sinar matahari dengan cepat menjadikan ikan terlalu panas dan mempercepat

penurunan mutu ikan pasca penangkapan. Penanganan pasca penangkapan ikan, dan

pengangkutan ikan memegang peranan penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan

untuk memperoleh nilai jual ikan yang maksimal dalam proses pemasaran. Pengembangan mesin

pendingin evaporator ganda ini dilakukan agar pasca penangkapan dan setelah ikan segar

disortasi, ikan tersebut dimasukkan ke dalam kedua kotak pendingin dan pembeku berdasarkan

ukurannya (ikan berukuran besar dan ikan berukuran kecil) sehingga memudahkan dalam

distribusi dan pemasaran. Keberhasilan yang diharapkan akan diperoleh dari penelitian ini adalah

koefisien prestasi (COP) yang tinggi dari mesin pendingin, dan mutu ikan yang mampu

dipertahankan untuk tetap memiliki nilai jual yang tinggi. Hasil pengujian awal dalam penelitian

ini adalah mesin refrigerasi evaporator ganda single stage system hasil rancangbangun ini telah

mampu bekerja dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan temperatur ruang kedua

kotak pendingin yang dapat mencapai ± -6 oC dalam waktu pengujian 60 menit. Rangka kotak

pendingin yang digunakan dari bahan kayu jati dan kayu multipleks, serta isolator dari

polyurethane telah mampu menekan rugi kalor dari udara sekitar kotak pendingin sebagi akibat

perpindahan kalor konduksi yang terjadi pada dinding kotak pendingin selama mesin refrigerasi

bekerja. Pengujian awal mesin refrigerasi ini memberikan koefisien performans (COP) sebesar

6,09 dan dengan kapasitas refrigerasi sebesar 24,39 kW.

Kata kunci : Mesin pendingin, evaporator ganda, pengawet ikan

16

MODEL STRATEGIS PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN

NUSA TENGGARA TIMUR (INDONESIA) DENGAN TIMOR LESTE

Jauhari Effendi1, Sri Kurniati

2, Sudirman

3, dan RuslanRamang

4

Email: [email protected], [email protected], [email protected],

[email protected]

Dari aspek infrastruktur, sebagian besar wilayah perbatasan ternyata belum memiliki

sarana dan prasarana wilayah yang memadai, sehingga mengakibatkan keterisolasian wilayah

dan tidak berkembangnya kegiatan ekonomi, serta potensi terjadinya disintegrasi. Dari aspek

kebijakan, selama ini arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang ada cenderung

berorientasi inward looking, sehingga seolah-olah kawasan perbatasan tersebut hanya menjadi

halaman belakang dari pembangunan nasional. Akibatnya kawasan perbatasan dianggap bukan

merupakan wilayah prioritas pembangunan, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Tujuan jangka panjang dari penelitian ini meliputi: (1) penyusunan kebijakan, peraturan,

standar minimum, dan rencana tindak pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh; (2)

peningkatan kerjasama antarwilayah, antarsektor, dan antarpelaku dalam pengembangan wilayah

strategis dan cepat tumbuh; (3) peningkatan peran pemerintah daerah sebagai perencana dan

pelaksana pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh melalui peningkatan kualitas SDM

pemerintah daerah dan fasilitasi pemerintah pusat.Sedangkan target khusus yang ingin dicapai

adalah (1) mengkaji potensi wilayah dalam rangka membuat model pengembangan kawasan

perbatasan NTT-Timor Leste; (2) membuat suatu master plan pengembangan wilayah perbatasan

sebagai rencana strategi pengelolaan wilayah perbatasan; (3) melakukan pemetaan fungsi ruang

wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan aspek sektoral dan aspek spasial; (4) dan

menyusun Rencana Investasi Program Jangka Menengah (RPIJM).

Untuk mencapa itu juan tersebut, maka digunakan metode desktriptif dan pendekatan

empirik. untuk menghasilkan model teoritis pengembangan kawasan perbatasan dilakukan proses

dengan membandingkan model teoritis dari beberapa kasus di negara yang telah berhasil maupun

gagal dalam mengembangkan kawasan perbatasan. Analisis deskriptif dilakukan terhadap

beberapa model empirik dinegara lain berdasarkan potensi wilayahnya dengan beberapa asumsi,

konsep dan konteks tertentu sehingga didapatkan model teoritis.

Berdasarkan perhitungan LQ selama periode tahun 2006-2010, maka secara rata-rata dapat

diidentifikasi bahwa sector perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor basis Kabupaten

Belu. Walaupun terlihat bahwa pada tahun 2006 dan 2007 belum menunjukkan sektor basis,

tetapi setelah memasuki tahun 2007 – 2010 sektor ini mengalami peningkatan yang cukup

signifikan melampaui 2 sektor lainnya yang menjadi sektor basis pada tahun 2007 -2010

(pertanian, dan keuangan, persewaan dan jasa perusahaan). Kedua sector tersebut menjadi sector

basis setelah memasuk tahun 2007 – 2010 yang secara rata-rata dapat diidentifikasikan sektor-

sektor yang merupakan sektor basis adalah sector pertanian dengan nilai LQ sebesar 1,18, dan

sector keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dengan nilai LQ sebesar 1,11. Setelah

memasuki tahun 2008 muncul lagi dua sektor basis, yakni sector industry pengolahan dengan LQ

sebesar 1,03 dan sector perdagangan, hotel dan restoran dengan besar LQ sebesar 1,83. Bahkan

khusus sector perdagangan, hotel dan restoran dapat mengungguli kedua sektor basis

sebelumnya. Selanjutnya, tahun 2010 muncul beberapa sektor yang menjadi sektor basis,

17

diantaranya sector pertambangan dan penggalian dengan LQ sebesar 1,04, sector pengangkutan

dan komunikasi dengan LQ sebesar 1,06. Oleh karena itu, dengan berdasarkanTabel 5.7 dapat

disimpulkan, bahwa sector perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor basis sejak 2008-

2010 sehingga mampu memenuhi kebutuhan di dalam Kabupaten Belu, serta mempunyai potensi

untuk memenuhi kebutuhan kabupaten lain yang ada di NTT. Sektor perdagangan, hotel dan

restoran dengan rata-rata LQ (2006 – 2010) = 1,38 artinya secara teoritis sebanyak 27,5%

(0,38/1,38) hasilnya dapat diekspor dan sisanya 72,5% dapat dikonsumsi sendiri. Sementara

sektorlainnya, yaitu sector pertanian, sector pertambangan & penggalian, industry pengolahan,

listrik, gas & air bersih, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan & jasa

perusahaan, jasa – jasa lainnya mempunyai nilai LQ lebih kecil dari satu sehingga dimasukkan

sebagai sektor non basis di Kabupaten Belu.Namun demikian, secara keseluruhan terdapat 6

sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan guna meningkatkan PDRB Kabupaten Belu

di tahun-tahun mendatang.

Dari hasil perhitungan analisis Shift-Share, menunjukkan bahwa semua sektor di wilayah

Kabupaten Belu laju pertumbuhannya tidak kompetitif atau lebih lambat dengan laju

pertumbuhan provinsi NTT secara keseluruhan (semua nilai Nij menunjukkan nilai negatif).

Sedangkan pengaruh bauran industrinya menunjukkan nilai positif (rin>rn(-0,125)) pada sektor

pertambangan dan penggalian (-0,1317); listrik, gas, dan air bersih (-0,1320); bangunan

(-0,1419); keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (-0,1450); serta jasa-jasa (-0,1316)

yang mengindikasikan bahwa kesempatan kerja (diasumsikan sebagai variabel wilayah) di

sektor-sektor tersebut tumbuh lebih cepat dari pada kesempatan kerja pada sektor-sektor secara

keseluruhan. Selanjutnya, untuk empat sektor lainnya, yaitu sektor pertanian; industri

pengolahan;perdagangan, hotel danrestoran; danpengangkutandankomunikasipengaruh bauran

industrinya bertanda negatif (rin<rn) mengindikasikan bahwa kesempatan kerja di sektor-sektor

tersebut tumbuh lebih lambat daripada kesempatan kerja di sektor secara keseluruhan.

Berdasarkanhasilanalisis shift share, terlihatbahwapadadaerahinihanyaada 3 yang

sektormampumemberikankontribusipositifterhadap PDRB (nilaiCij yang positif), yakni:

pertanian, listrik, gas dan air bersih; keuangan, persewaan, danjasapersewaan; sertajasa-

jasalainnya,sedangkan pada sector lainnya lebih rendah dari pertumbuhan PDRB total wilayah

referensi dengan nilai Cij yang negatif.

Kata Kunci: Infrastruktur, Analisis LQ, Analisis Shift Share, Model

Based on the infrastructure, most of the border region has yet to have facilities adequate

region, resulting in the isolation of the area and the development of economic activities, as well

as the potential for disintegration. From the aspect of the policy, as long as the direction of the

existing regional development policies tend to be oriented inward looking, so it seems that only

the border region into the backyard of national development. As a result, the border area is not

considered a priority area of development, both by the central and local governments.

The long term goal of this research include: (1) development of policies, regulations,

minimum standards, and strategic action plan development and fast growing region, (2) an

increase in cooperation between regions, between sectors, and between actors in the development

of strategic and fast-growing, (3) increasing the role of local government as a planner and

implementer of strategic regional development and rapid growth through improving the quality

of human resources of local governments and the central government facilitation. While the

specific targets to be achieved are: (1) assess the potential of the region in order to model the

development of the border region NTT-East Timor; (2) create a master plan for the development

18

of the border region as a border zone management strategy plan; (3) to map the spatial function

border using a sectoral approach and aspects of spatial aspects; (4) and draw up a Medium Term

Investment Plan Program ( RPIJM ) .

To achieve these objectives, the methods used descriptive and empirical approaches. to

generate a theoretical model of the development of the border region is done by comparing the

theoretical models of several cases in countries that have succeeded or failed in developing the

border region. Descriptive analysis conducted on several empirical models in other countries

based on the potential territory with several assumptions, concepts and specific contexts to obtain

the theoretical model .

Based on the calculation of LQ over the period 2006-2010, the average can be identified

that trade, hotels and restaurants sector basis is Belu district. Although it appears that in 2006 and

2007 have not shown a sector basis, but after entering the year 2007 to 2010 this sector has

increased significantly exceed 2 the other sectors into a sector basis in 2007 -2010 (agriculture,

finance, leasing and business services ). Both the sector into a sector basis after entering the year

2007 - 2010 the average can be identified sectors are agriculture sector is the basis of the LQ

value of 1.18, and the financial sector, renting and business services with a value of 1 LQ , 11.

After entering the year 2008 appeared again two sector basis, the manufacturing sector with LQ

of 1.03 and trade, hotel and restaurant with a large LQ of 1.83. Even specialized trade, hotel and

restaurant sectors can outperform both the previous base. Subsequently, in 2010 appeared some

sectors into a sector basis, including mining and quarrying with LQ of 1.04, the transport and

communication sectors with LQ of 1.06. Therefore, based on Table 5.7 it can be concluded, that

the trade, hotel and restaurant sector is the base from 2008 to 2010 so as to meet the needs in the

Belu district, as well as having the potential to meet the needs of other districts in NTT. Trade,

hotels, and restaurants with an average LQ (2006 - 2010) = 1.38 theoretically means as much as

27.5 % ( 0.38 /1.38 ) results can be exported and the remaining 72.5 % can be consumed alone.

While other sectors, namely agriculture, mining and quarrying, manufacturing, electricity, gas &

water supply, construction, transport and communications, finance, leasing and services

company, services - other services has a value smaller than the one that entered as sector base in

Belu district. However, overall there are six sectors that have the potential to be developed in

order to increase GDP Belu district in the coming years .

From the calculation of the Shift - Share analysis, shows that all sectors in Belu district or

the rate of growth is not competitive with the slower growth rate of NTT province as a whole (all

Nij values indicate negative values). While the industry mix effect indicates a positive value (rin

¬ >rn (-0.125) in the mining and quarrying sector (-0.1317); electricity, gas, and water (-

0.1320); building (-0.1419), finance, leasing, and business services (-0.1450), as well as services

(-0.1316) which indicates that employment opportunities (assumed as variable regions) in these

sectors grew faster than employment in the sector - sector as a whole. Furthermore, for the four

sectors, agriculture, manufacturing, trade, hotels and restaurants, and transport and

communications industry mix effect is negative (rin<rn) indicates that employment in these

sectors grew slower than employment in sector as a whole .

Based on the results of the shift share analysis, it is seen that in this region there are only

3 that the sector is able to make a positive contribution to GDP ( the value of Cij is positive):

agriculture, electricity, gas and water supply; finance, rental and leasing services, as well as

services other services, while in other sectors is lower than the total GDP growth references

territory with a negative value of Cij

Keywords : Infrastructure, Analysis LQ, Shift Share Analysis, Model

19

APLIKASI TURBIN ANGIN TIPE PROPELER TIGA BLADE UNTUK PEMOMPAAN

AIR DARI SUMUR BOR SEBAGAI SOLUSI PEMANFAATAN ENERGI ALTERNATIF

UNTUK IRIGASI

Verdy A. Koehuan

Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik, UNDANA

Pembuatan alat pompa torak dengan penggerak turbin angin yang dihubungkan dengan poros

penggerak yang akan menggerakan tuas pompa torak secara bolak balik melalui mekanisme poros

engkol untuk memompa air dari dalam sumur ke reservoir yang ditempatkan dekat sumur bor

merupakan suatu solusi pemanfaatan enrgi alternatif. Kapasitas pemompaan air tergantung pada

diameter pompa torak dan diameter turbin angin yang digunakan. Pompa torak yang dibuat dengan

kapasitas pemompaan air 5 lter per detik dan tinggi angkat 15 m dengan penggerak turbin angin

tiga baling-baling yang bahannya terbuat dari bahan komposit serat gelas. Diameter rotor turbin

angin 3,5 m dengan transmisi poros dan rantai untuk merubah gerak rotasi menjadi gerak bolak

balik pada tuas pompa torak. Tinggi menara yang dibuat adalah 9 m yang terbuat dari 4 m rangka

menara dari bahan besi siku dan 5 m rangka menara dari bahan pipa besi medium A diameter 3

inch. Selain desain pompa yang baik, proses pembuatan termasuk pelatihan untuk para petani perlu

diberikan dengan baik agar keberlanjutan alat tetap terjaga dan masyarakat menjadi mandiri dalam

hal penggunaan energi angin untuk penggerak pompa torak. Kegiatan ini dihasilkan produk model

pompa torak dan turbin angin untuk irigasi untuk meningkatkan produktifitas usaha lombok para

petani. Selain itu, masyarakat juga menguasai pengoperasian dan pemeliharaan alat tersebut,

sehingga mereka menjadi mandiri dan dapat melakukan aktifitas usaha secara berkelanjutan.

Kata Kunci:Turbin Angin, Sumur Bor, Kelompok Tani, Pompa Torak, Irigasi

20

PEMBANGUNAN MODEL SISTEM-SPASIAL DINAMIK

AKSELARASI PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR

BERBASIS PADA MASYARAKAT KELOMPOK MISKIN

Drs. Heru Suwardi

1, Jafaruddin

2, Ariyanto

3,Jakobis Johanis Messakh4

, Fakultas Sains dan Teknik, UNDANA

Produktivitas pendidikan SD sangat ditentukan oleh interaksi antara penduduk usia 6-12

tahun, sarana dan prasarana, dan guru pendidikan dasar. Angka produktivitas pendidikan, Q0

yaitu rata-rata jumlah sekunder penduduk yang bersekolah pada SD setelah satu individu usia

6-12 tahun bersekolah di SD selama usia sekolah di SD. Intensitas penduduk usia 6-12 tahun, ,

yaitu peluang per satuan waktu seseorang dengan usia 6-12 tahun bersekolah di SD. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa produktivitas penduduk pada pendidikan SD berbeda antar

Kabupaten. Di Kab. Donggala produktivitas penduduk fluktuatif dalam interval [0.042;0.45]

yang berakibat angka produktivitas pendidikan SD juga fluktuatif dalam interval [1.72;10.92] ,

Di Kab. Sigi produktivitas penduduk fluktuatif dalam interval [ 0.11;0.32] yang berakibat angka

produktivitas pendidikan SD juga fluktuatif dalam interval [0.87;7.65] , Di Kab. Kapuas

produktivitas penduduk fluktuatif dalam interval [0.01163;0.03954] yang berakibat angka

produktivitas pendidikan SD juga fluktuatif dalam interval [1.28;1.94] , Di Kab. Sumba Barat

produktivitas penduduk fluktuatif dalam interval [0.0039;0.023] yang berakibat angka

produktivitas pendidikan SD juga fluktuatif dalam interval [1.11;1.57] . Ada efek positif

intensitas penduduk usia 6-12 tahun terhadap produktivitas SD pada setiap kabupaten, namun

masih ada kecenderungan ketidakstabilan akselerasi pendidikan dasar dari state penduduk.

Model Hubungan antar Intensitas Penduduk dan antar Produktivitas Pendidikan SD. Berikut

perbandingan antar Intensitas Penduduk (Lambda) dan antar Produktivitas Pendidikan SD ( 0Q )

empat kabupaten dengan APK terendah di Indonesia, yaitu Kab Donggala, Kab Sigi (Sulteng),

Kab Kapuas (Kalteng), dan Kab Sumba Barat (NTT). Tabel 1 Perbandingan intensitas penduduk

antar Kabupaten Donggala, Sigi, Kapuas, dan Sumba Barat.

Peningkatan intensitas penduduk berbanding lurus dengan peningkatan produktivitas

pendidikan. Oleh karena penduduk merupakan input yang vital untuk produktivitas pendidikan

SD pada Kab. Donggala, Kab Sigi, Kab Kapuas, dan Kab Sumba Barat. Peningkatan intensitas

penduduk tidak cukup untuk percepatan ekselerasi penuntasan wajib belajar pendidikan dasar

khusus di SD, masih ada state yang penting yaitu prasarana dan sarana pendidikan yang layak

dan jumlah dan kualitas guru. Oleh karena model produktivitas pendidikan yang dibangun dan

digunakan pada penelitian ini masih perlu dikembangkan dengan menginteraksikan tiga state

yaitu penduduk, prasarana, dan guru secara simultan. Implementasi dan relevansi dengan

permasalahan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar khususnya pada masyarakat kelompok

miskin.

Hasil utama di atas adalah kolektivitas penelitian tahun I (2012) dan tahun II (2013).

Hasil penelitian ini telah terpublikasi satu artikel pada prosiding nasional, dua jurnal nasional

sudah diterima untuk terbit pada awal dan pertengahan tahun 2014, serta submit satu artikel

jurnal internasional yang dalam proses revieu. Selain itu telah dihasilkan satu modul dan

21

suplemen satu bab pada buku ajar pemodelan matematika.

Finalisasi rekonstruksi model penduduk usia 6-12 versus ruang kelas dikembangkan

menjadi model produktivitas pendidikan dasar interaksi penduduk usia 6-15 tahun sudah

dilakukan pada tahun kedua ini, dan akan diimplementasikan pada tahun III (2014).

Pengembangan hasil tahun II akan dilakukun pada tahun III khususnya pendalaman model

produktivitas pendidikan dasar (SD/SMP) dan implementasi dan relevansi dengan permasalahan

akselerasi penuntasan wajib belajar pendidikan dasar di Kab Donggala, Sigi, Kapuas, Kaimana,

Pegunungan Bintang sebagai studi kasus dari aspek tipology masyarakat kelompok miskin.

22

PENGEMBANGAN REAKTOR HOT WIRE CELL PECVD FREKUENSI TINGGI

UNTUK FABRIKASI SEL SURYA MIKROKRISTAL SILIKON

Amiruddin Supu1, Fakhruddin

2, I Wayan Sukarjita

3, Ruslan R

4

, Fakultas Sains dan Teknik, UNDANA

Dalam penelitian ini, kami akan mengembangkan penelitian tentang metoda Hot Wire

Cell Plasma Enhanced Chemical Vapor Deposition frekuensi tinggi. Harapan kami, metoda

HWC-PECVD ini dapat digunakan untuk membuat sel surya berbasis mikrokristal silikon

yang memiliki efisiensi dan tingkat kestabilan yang tinggi dan biaya produksi yang rendah.

Fokus penelitian kami adalah mendesain letak filamen relatif terhadap letak substrat di dalam

reaktor Hot Wire Cell PECVD. Harapan kami, desain baru ini dapat meningkatkan jumlah

radikal hydrogen sehingga mengurangi penggunaan gas hidrogen (H2) dalam proses

penumbuhannya. Hal ini dapat mengurangi biaya produksi sel surya.

Saat ini, fokus utama peneliti adalah dapat membuat sel surya yang memiliki efisiensi

tinggi, stabil dan murah (<1USD/MW). Sel surya berbasis silikon amorf memiliki efisiensi

dan tingkat kestabilan yang rendah. Hal ini disebabkan karena saat sel surya disinari dengan

intensitas cahaya yang tinggi, lapisan aktifnya tidak stabil. Selain itu, biaya produksi sel

surya berbasis kristal silikon sangat tinggi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan efisiensi sel surya dan mengurangi biaya produksinya adalah dengan

mengembangkan metoda penumbuhannya. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah

merancang dan mengembangkan reaktor Hot Wire Cell PECVD frekuensi tinggi untuk

fabrikasi sel surya mikrokristal silikon yang memiliki efisiensi tinggi (9 %) dan tingkat

kestabilan yang tinggi (95 %). Tahapan-tahapan penelitian yang akan dilakukan adalah

perancangan reaktor Hot Wire Cell PECVD frekuensi tinggi, penumbuhan lapisan tipis

mikrokristal silikon, karakterisasi lapisan tipis mikrokristal silicon dengan menggunakan ultra

violet – visible (UV-Vis), fourier transform infra red (FTIR), X-ray difraction (XRD),

scanning electron microscope (SEM), dan konduktivitas listriknya menggunakan metode dua

titik. Terakhir,fabrikasi sel surya p-i-n efisiensi tinggi dengan HWC-PECVD. Kami

mengharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna untuk

pengembangan ilmu dan teknologi sel surya di Indonesia.

In this study, we will develop our research on the method of Hot Wire Cell Plasma

Enhanced Chemical Vapor Deposition of high frequency. Our hope, the HWC -PECVD

method can be used to create a microcrystalline silicon-based solar cells that have high

efficiency and a high level of stability and low production costs. The focus of our study was

to design the layout of filaments relative to the location of the substrate in the Hot Wire Cell

PECVD reactor. Our hope, this new design can increase the number of hydrogen radicals,

thereby reducing the use of hydrogen gas (H2) in the growth process. This can reduce the cost

of solar cell production.

Currently, the main focus of research is to make solar cells that have a high efficiency,

stable and inexpensive (< 1USD/MW). Amorphous silicon-based solar cells have an

efficiency and a low level of stability. This is because when the solar cells irradiated with high

23

intensity, the active layer is unstable. In addition, the cost of production of crystalline silicon-

based solar cells is very high. One effort that can be done to improve solar cell efficiency and

reduce the cost of production is to develop a new growth method. Therefore, the purpose of

this research is to design and develop a reactor Hot Wire Cell PECVD for fabrication of high

frequency microcrystalline silicon solar cells that have high efficiency (9 %) and a high

degree of stability (95 %). The stages of research that will be done is the design of Hot Wire

Cell PECVD reactor high frequency, the growth of a thin film of microcrystalline silicon,

microcrystalline silicon thin film characterization using ultraviolet - visible (UV-Vis), fourier

transform infra red (FTIR), X-ray difraction (XRD), scanning electron microscope (SEM),

and electrical conductivity using two-point proof. Finally, the fabrication of high efficiency

solar cells with HWC-PECVD. We expect the results of this study can provide useful

information for the development of science and technology of solar cells in Indonesia.

24

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DAN LEMBAR KEGIATAN SISWA

MATATA PELAJARAN STRUKTUR KAYU UNTUK PENINGKATAN KEMAMPUAN

BERFIKIR KRITIS (Critical Thinking) DENGAN STRATEGI

PEMBELAJARAN INQUIRI TERBIMBING TERHADAP PEROLEHAN

BELAJAR SISWA, KONSEP DAN RETENSI DI SMK KUPANG

Paul G. Tamelan1, Harijono

2, Ketut M. Kuswara

3

FKIP Universitas Nusa Cendana

E-mail: [email protected]

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengimplementasikan produk ipteks bahan ajar

mata pelajaran struktur kayu dan lembar kegiatan siswa pada sekolah menengah kejuruan dengan

pendekatan berfikir kritis (critical thinking). (2) Model pembelajaran berfikir kritis pendekatan

konsep dan retansi mata pelajaran struktur kayu sekolah menengah kejuruan. Temuan penelitian

menunjukkan bahwa produk bahan ajar dan Lembar kegiatan siswa di SMK mengalami beberapa

kendala antara lain terbatasnya materi pemberian kejuruan di sekolah menengah kejuruan oleh

para guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bahan ajar dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS)

yang telah disusun ini menghasilkan prosentase yang cukup baik dan signifikan hal ini sesuai

dengan tingkat probalitas atau tingkat keyakinan yang cukup memuaskan sehingga siswa

dapat memiliki daya serap yang tinggi dan mampu dalam berfikir kritis,

Berdasarkan temuan penelitian ini disarankan perlunya peran serta para guru SMK untuk

berperan serta dalam pembelajaran untuk membuat lembar kegiatan siswa agar siswa dapat

berlatih mendalami materi kejuruan untuk berfikir kritis sesuai dengan kemampuannya dalam

mempelajari matadiklat struktur kayu.

Kata Kunci: Pengembangan bahan ajar, Berfikir kritis, Siswa SMK Kupang

II. FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

25

DINAMIKA SISTEM EKONOMI

DALAM REALITAS SOSIAL GUYUB BUDAYA RONGGA DI FLORES

Fransiskus Bustan1 dan Robertus Se

2

FKIP Universitas Nusa Cendana

Penelitian mengkaji dinamika sistem ekonomi dalam realitas sosial guyub budya Rongga,

dengan sasaran pencandraan mencakup sistem pertanian, peternakan, dan perdagangan, dengan

kerangka teori yang memayunginya adalah antropopologi sosial. Penelitian ini termasuk dalam

kategori penelitian deskriptif. Lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Manggarai Timur,

khususnya Kecamatan Kota Komba, dengan lokasi utama utama adalah Kelurahan Tanarata.

Metode pengumpulan data adalah pengamatan, wawancara, diskusi kelompok terarah, dan studi

dokumentasi. Teknik pengumpulan data terdiri atas rekam dan simak-catat. Sumber data utama

adalah warga guyub budaya Rongga yang tersebar di wilayah Kelurahan Tanarata, yang diwakili

enam orang informan kunci. Data dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode

induktif, analisis data bergerak dari data menuju abstraksi dan konsep atau teori. Hasil penelitian

menunjukkan, dinamika sistem ekonomi dalam realitas sosial guyub budaya Rongga tercermin

dalam sistem pertanian, peternakan, dan perdagangan. Dinamika sistem pertanian ditandai

dengan beberapa fenomena berikut: (1) Penerapan sistem perladangan yang bersifat tetap; (2)

Pemilikan lahan pertanian bersifat perseorangan; (3) Model pembagian tanah untuk setiap sektor

berbentuk segi empat persegi panjang berdasarkan pertimbangan efisiensi untuk penanaman

tanaman perdagangan; (4) Peran kaju ata hanya menjadi jejak sejarah masa lalu karena sudah

tidak ada lagi pembukaan lahan baru; (5) Nama setiap uma lodho masih tetap digunakan sebagai

tanda pembeda atau pemisah antara satu uma lodho dengan uma lodho yang lain, namun batas

luar untuk setiap uma lodho semakin hari semakin tidak jelas karena adanya perubahan

lingkungan alam fisik; (6) Peran orang yang bertugas menjaga batas kebun (nara wea) sudah

tidak lagi menyata;(7) Sebagian besar upacara adat pertanian sudah tidak dilaksanakan secara

rutin dan intensif; (8) Signifikansi kata atau istilah gotong royong (ndua uru) bergeser di luar

bingkai fungsi dan pigura makna yang diamanatkan leluhur; (9) Mekanisme pengelolaan lahan

dilakukan dengan menggunakan uang dalam jumlah tertentu sebagai bayarannya kepada pekerja

sebagai dampak dari penerapan sistem ekonomi yang bersifat monetary term; (10) Urutan

pengerjaan lahan tidak lagi mengikuti pola perurutan yang sudah berlaku secara mentradisi sejak

dari leluhurnya; (11) Makanan pokok bukan lagi jagung, tetapi beras yang biasa dibelinya di

pasar; (12) Sistem pengetahuan dan kalender adat pertanian warisan leluhur sudah tidak lagi

menjadi panduan utama dalam pengerjaan lahan karena sebagian besar lahan pertanian sudah

ditanami tanaman perdagangan. Dinamika sistem peternakan ditandai dengan beberapa

fenomena bahwa jenis ternak yang dipelihara sudah semakin banyak, namun dalam jumlah

terbatas karena tidak adanya lahan kosong untuk peternakan. Jenis ternak yang dipelihara

cenderung untuk memenuhi kepentingan perdagangan seperti sapi, babi, dan sebagainya.

Dinamika sistem perdagngan ditandai dengan tidak diterapkannya lagi sistem barter karena

pengaruh penerapan sistem ekonomi yang bersifat monetary term.

Kata kunci: dinamika, sistem ekonomi, guyub budaya Rongga

26

ETHNISITAS IN EDGES REGION VIOLENCE

BORDER AMONG REGENCY AT

TIMOR'S ISLAND NUSA'S PROVINCE EAST SOUTH-EAST

Andreas Ande1, Bendiktus Labre

2, Yakobus Yakob

3

FKIP Universitas Nusa Cendana

Cultural symbols, politics, economy and law has enabled their to have emotional binding.

But is not at moment's notice they this identify as nation. Similar thing also happening for a few

scene, one that most cultural deep identification, politics, economy and law. Under way more,

nationalism is now most lacerated because mark sense versus's nationalism evocation ethnicity.

Riset this aims to find a model in point via data and information about etnik's sub sort and

its residency location that clear to be made basic for taking policy which that meredusir can

inharmonious relationship possible within etnik's sub sort that. One of form konkritnya it makes

new border complex dwelling and a sort more heterogeneous, opening conflicting region

settlement insulation and avoids dwelling concentration of etnik's sub one particular so

mengeliminir pretty much appearance narrow ethnosentrisme it.

Riset this will be designed deep three phases. First phase, will do identification to science

(kognisi), grasp (afeksi) and carrying out of (psikomotorik) they about ethnicity and violence in

societal life. Trick for mencermatinya which is with pass through watch in arena and visceral

interview. Approaching that is utilized in riset this is interdisipliner's approaching and dianalisis

further kualitatif's ala. Second phase is intervention phase, whereabouts observing result data in

arena and visceral interview result and yielding studi bibliography was made by mapping to

borderland ethnicity in edges violence as effort of rev to violence action. Leave from that

mapping then given by social service as counselling of good family to be done on an individual

basis and also group. Drd phase, done try out and simulation to test efficiency zoom and rev

effectiveness that dicanangkan.

Agents violence at territorial border has multiplisitas social construction that gets bearing

in consideration that edge their action do violence at territorial regency border / city at Timor's

Island. Violence action that dikonstruksikan can clically and also dikonstruksikan by oknum one

particular conversely (Bdk is Berger's statement and Derrida). Violence action at territorial

border edged by factor history factor religion, politics engineering, farm scramble, structural

factor as dualism of leadership, education, islandic composition, etnik, economy, homogenisasi

is politics, hegemonisasai is religion and etnik, region autonomy, and militerisme, as social

construction context borders territorial violence regency / city at Timor's Island. There is

mobilisasai mass that did by lead each person aught group that recognised by its member and

knows its member. materiil's mobilization did by violence master mind via alliance among

agglomerate with agglomerate lead.

Key word: Ethnisitas; Conflict; Border

27

PEMANFAATAN BEBERAPA JENIS JAMUR ENTOMOPATOGEN LOKAL SEBAGAI

AGEN PENGENDALI RAMAH LINGKUNGAN TERHADAP BELALANG KEMBARA

(Locusta migratoria)

Titik Sri Harini1, Lince Mukkun

2 dan Mayavira V. Hahuly

3

Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Undana

Jl. Adisucipto Penfui, Kupang, NTT 85001

Penelitian yang bertujuan untuk menentukan jenis jamur entomopatogen lokal yang

efektif mengendalikan belalang kembara dan merancang formulasi bioinsektisida yang efektif

mengendalikan populasi hama belalang kembara, praktis digunakan dan aman terhadap

lingkungan telah dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Penyakit Tumbuhan dan Laboratorium

Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana serta di lahan petani di Kecamatan

Kelapa Lima, Kupang berlangsung dari bulan Maret 2013 sampai Nopember 2013.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan yang dicobakan

untuk kegiatan 1 adalah 2 jenis jamur hasil isolasi dari belalang yang mati karena jamur dari

Desa Motadik, Kecamatan Biboki Anleu, Timor Tengah Utara dengan konsentrasi 107

konidia/mL dan 3 ulangan yang diuji terhadap nimfa instar 3 dan imago belalang kembara hasil

perbanyakan yang berasal dari Desa Motadik. Kegiatan 2 terdiri dari 7 perlakuan yaitu campuran

bahan carrier dan konidia jamur hasil isolasi antara lain tepung beras dan konidia/biakan jamur

entomopatogen, tepung jagung dan biakan jamur, dedak dan biakan jamur, tepung taioka dan

biakan jamur, minyak goreng bimoli dan biakan jamur, aquadest dan biakan jamur, dan konidia

kering tanpa bahan carrier (kontrol) dengan 3 ulangan.

Hasil penelitian diperoleh 2 jamur dari belalang kembara yang mati yaitu Metarhizium

anisopliae dan Fusarium sp. Nilai LT50, LT90 dan LT95 suspensi konidia M. anisopliae terhadap

nimfa instar 3 adalah 9,75 hari; 29,46 hari dan 40,31 hari. Nilai LT50, LT90 dan LT95 suspensi

konidia M. anisopliae terhadap imago adalah 11,27 hari; 27,76 hari dan 35,84 hari. Nilai LT50,

LT90 dan LT95 suspensi konidia Fusarium sp terhadap nimfa instar 3 adalah 3,83 hari; 11,57 hari

dan 15,83 hari. Nilai LT50, LT90 dan LT95 suspensi konidia Fusarium sp terhadap imago adalah

9,81 hari; 24,16 hari dan 31,19 hari. Suspensi konidia Fusarium sp lebih cepat menimbulkan

kematian nimfa dan imago belalang kembara. Untuk pengujian/penentuan formulasi jamur

sebagai bioinsektisida yang digunakan adalah konidia jamur M.anisopliae karena Fusarium sp

pada umumnya menimbulkan penyakit pada tanaman. Hasil kegiatan 2 diperoleh bahwa dari 6

jenis bahan carrier dan kontrol (tanpa carrier/konidia kering) yang dicobakan/diaplikasikan

ternyata campuran minyak bimoli dengan biakan jamur/konidia jamur M. anisopliae paling

efektif karena imago belalang yang terkena campuran tersebut sebelum 24 jam sudah mati semua

(5-10 menit) dengan LT50: 0,00003 hari, disusul berturut-turut yaitu campuran tepung tapioka

dan konidia (LT50: 3,64 hari), dedak dan konidia (LT50: 4,49 hari), kontrol (konidia kering tanpa

carrier) dengan LT50: 4,62 hari, tepung beras dan konidia (LT50: 4,90 hari), aquadest dan konidia

(LT50: 5,28 hari) dan yang paling lama menimbulkan kematian yaitu campuran tepung jagung

dan konidia (LT50: 5,99 hari).

III. FAKULTAS PERTANIAN

28

Kata kunci : Jamur entomopatogen lokal, agen pengendali, belalang kembara

THE UTILIZATION OF SEVERAL TYPES OF LOCAL ENTOMOPATHOGEN FUNGI

AS ENVIRONMENTALLY FRIENDLY CONTROL AGENT TOWARD

LOCUST (Locusta migratoria)

Titik Sri Harini1, Lince Mukkun

2, and Mayavira V. Hahuly

3

The purpose of this research is to determine the types of local entomopathogen fungi that

is effective in controlling locust and designing formulation of bioinsecticides effective in

controlling locust population, easy to use and safe toward environment. The research has been

conducted in the Pythopathology Laboratory and Microbiology Laboratory, Agriculture Faculty

University of Nusa Cendana and also in farmers land at sub-district Kelapa Lima, Kupang during

March 2013 until November 2013.

The research used Complete Randomized Design (CRD). The treatment tested for The

first research activity is two types of fungi isolated from dead body of locust that infected by

fungi and obtained from Motadik village, Biboki Anleu sub-district, Timor Tengah Utara with

107 conidia/mL. Each treatment consist of three repetitions tested towards the third instar of

nymphs and imago of locust obtained from Motadik village and be reared in the laboratory. The

second research activity consists of seven treatments which is mixed carrier material and fungal

conidia isolated, namely rice flour and conidia/entomopathogen fungal culture, corn flour and

fungal culture, bran and fungal culture, tapioca starch and fungal culture, cooking oil and fungal

culture, aquadest and fungal culture, and dried conidia without carrier material (control) with

three repetition.

The result obtained two fungi from dead locusts which are Metarhizium anisopliae and

Fusarium sp. LT50, LT90 and LT95 values of conidia M. anisopliae suspension toward the third

instar of nymph are 9,75 days; 29,46 days; and 40,31 days. LT50, LT90 and LT95 values of conidia

Fusarium sp suspension toward third instar of nymph are 3,83 days; 11,57 days; and 15,83 days.

LT50, LT90 and LT95 values of conidia M. anisopliae suspension toward imago are 9,81 days;

24,16 days and 31,19 days. Conidia of Fusarium sp suspension is faster cause the dead of

nymphs and imago. However, M. anisopliae is used for treatments/determination fungi

formulation as bioinsecticides because Fusarium sp. generally causes disease on plants

(phytopathogen). The second research activity showed that from six types of carrier material

and control (without carrier/dried conidia) tested/implemented , the treatment using cooking oil

and fungal culture M. anisopliae is the most effective as bioinsecticide because imago locust

infected by that mixture died before 24 hours (5-10 minutes) with LT50: 0,00003 days, followed

by starch and fungal culture (LT50: 3,64 days), bran and fungal culture (LT50: 4,49 days), control

(dried conidia without carrier) with LT50: 4,62 days , rice flour and conidia (LT50: 4,90 days),

aquadest and conidia (LT50: 5,28 days). Nevertheless, the most prolonged cause of death is

mixture of corn flour and conidia (LT50: 5,99 days).

Keyword: local entomopathogen fungi, control agents, locust

29

KAJIAN POTENSI TANAMAN OBAT TRADISIONAL SEBAGAI ANTIBAKTERI

ALAMI DALAM PENGENDALIAN BAKTERI Vibrio alginolitycus DAN

Aeromonas hydropilla PADA BUDIDAYA IKAN

Yuliana Salosso1 dan Yudiana Jasmanindar

2

Fakultas kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang

Email : [email protected]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tanaman obat sebagai antibakteri alami

dalam pengendalian bakteri Aeromonas hydropilla dan Vibrio alginolyticus dengan mengkaji

jenis senyawa aktif yang dikandung dari daun tanaman ceremai (Phyllanthus acidus), patikan

kerbau (Euphorbia hirta), advokat (Persea gratissima), patikan cina (Euphorbia thymifolia),

murbei (Morus australis), Gandarusa (Justica gendarussa), kentut (Paederia scandeus), srikaya

(Annona squamosa), Jayanti (Sesbania sesban), jarak ulung (Jatropha gossypifolia) dan jenis

pelarut yang terbaik dalam mengekstraksi senyawa aktifnya dan mengetahui dosis

bakterisidalnya serta mengetahui toksisitasnya terhadap ikan lele dan kerapu tikus. Penelitian

ini meliputi Uji Fitokimia 10 jenis tanaman obat, uji antibakteri dengan metode cakram dan uji

MIC ekstrak aktif terhadap V.alginolyticus dan A. hydropilla serta uji toksisitas tanaman obat

yang aktif terhadap ikan lele dan kerapu tikus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua tanaman mengandung senyawa fenolik (kecuali

daun kentut), Flavanoid, tanin dan steroid (kecuali Patikan kerbau). Sedangkan senyawa alkaloid

hanya dikandung oleh tanaman daun srikaya dan daun kentut. Triterpenoid hanya dikandung

daun srikaya, patikan kerbau dan alvokat sedangkan saponin hanya dikandung daun kentut dan

alvokat. Jenis daun yang bersifat antibakteri terhadap bakteri A. hydropilla adalah daun

gandarusa, patikan cina dan patikan kerbau sedangkan untuk bakteri V.alginolitycus adalah daun

patican cina dan patikan kerbau. Ekstrak air daun patikan kerbau dapat menghambat bakteri

A.hydropilla dan V.alginolitycus pada Konsentrasi minimum 0,156 % dan konsentrasi minimum

yang mematikan adalah 0,625% serta aman digunakan (tidak bersifat toksik) pada ikan lele dan

kerapu tikus pada dosis 1% ke bawah yang direndam selama 5 menit. Ekstrak air daun patikan

cina dapat menghambat bakteri A.hydropilla dan V.alginolitycus pada Konsentrasi minimum

0,625 % dan konsentrasi minimum yang mematikan adalah 1,25% serta aman digunakan (tidak

bersifat toksik) pada ikan lele dan kerapu tikus pada dosis 1% ke bawah yang direndam selama 5

menit. Ekstrak air daun gandarusa dapat menghambat bakteri A.hydropilla pada Konsentrasi

minimum 1,25% dan konsentrasi minimum yang mematikan adalah 2,5% serta aman digunakan

(tidak bersifat toksik) pada ikan lele konsentrasi 10% ke bawah yang direndam selama 5 menit

Kata Kunci : Tanaman obat, Antibakteri, Vibrio alginolyticus, Aeromonas hydropilla

30

MENGKAJI TINGKAT KETAHANAN KACANG TANAH ROTE TERHADAP

CEKAMAN KEKERINGAN DAN PENYAKIT UTAMA DALAM RANGKA

PENGEMBANGANNYA SEBAGAI CALON VARIETAS UNGGUL

Oleh

Yosep Seran Mau1, Antonius S.S. Ndiwa

2, dan I G.B. Adwita Arsa

3.

Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana.

Jln. Adisucipto Penfui-Kupang, NTT. 85001. Indonesia.

Kacang tanah merupakan tanaman pangan penting dalam melengkapi kebutuhan gizi

masyarakat NTT, namun produktivitas dan kualitas hasil di daerah ini masih rendah, selain

karena faktor agroklimat yang ektrim kering, juga karena faktor genetik galur-galur yang

dibudidayakan berdaya hasil rendah. Tersedianya galur-galur lokal di daerah ini merupakan

potensi daerah yang bisa dimanfaatkan untuk merakit varietas unggul yang adaptif terhadap

kondisi spesifik daerah NTT. Kacang tanah lokal Rote merupakan salah satu varietas lokal yang

cukup dikenal di NTT dan berpotensi dilepas sebagai calon varietas unggul karena ukuran

bijinya yang besar, hasil tinggi dan rasanya. Namun, pengusulannya sebagai calon varietas

unggul memerlukan informasi penting seperti tingkat ketahanannya terhadap cekaman abiotik

maupun biotik. Penelitian ini melibatkan lima varietas (Lokal Rote dan 4 varietas pembanding)

untuk menguji daya hasil dan tingkat ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Penelitian

dilakukan di lapang dari Juni sampai Oktober 2013 menggunakan rancangan faktorial dengan

pola petak terbagi, petak utama adalah tingkat pengairan dan anak petak genotipe kacang tanah,

terdiri dari tiga ulangan. Perlakuan pengairan terdiri dari dua level, pengairan optimum/ tanpa

cekaman dan pengairan minimum (cekaman), sedangkan anak petak terdiri dari 5 genotipe

kacang tanah (Lokal Rote, Gajah, Jerapah, Kancil, Bison). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

interaksi antara tingkat pengairan dan jenis varietas berpengaruh nyata terhadap peubah

komponen hasil dan hasil tanaman. Rerata hasil biji semua varietas yang diuji, terutama varietas

pembanding di bawah potensi genetiknya, mengindikasikan bahwa kondisi pertanaman di bawah

kondisi optimum untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kacang tanah

lokal Rote memberikan hasil biji tertinggi, baik pada pengairan optimum maupun cekaman,

dengan rerata hasil 1,21 t.ha-1

. Empat varietas pembading yang turut diuji memberikan hasil biji

<1,0 t.ha-1

, sekiitar 50% di bawah potensi genetiknya. Hanya Kacang Tanah lokal Rote dianggap

”Tahan” terhadap terhadap cekaman kekeringan dan berdaya hasil tinggi berdasarkan indikator

seleksi STI, SSI, dan PH.

Kata kunci: Kacang Tanah, galur Lokal Rote, cekaman kekeringan, ketahanan

31

ELUCIDATION OF DROUGHT TOLERANCE LEVEL OF LOCAL ROTE

GROUNDNUT (Arachis hypogaea L.) GENOTYPE AS A CANDIDATE OF

SUPERIOR VARIETY

Yosep S. Mau1, A.S.S. Ndiwa

2, I G. B. Adwita Arsa

3

Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana.

Jln. Adisucipto Penfui-Kupang, NTT. 85001. Indonesia.

Groundnut is one of the most important staple crops in NTT; however, the crop yield and

quality in this region is relatively low due to erratic climatic condition and low genetic potency

of the genotypes cultivated. NTT province is rich of groundnut germplasm that can serve as basis

for selection of high yielding varieties which are able to cope with erratic climatic condition of

the region. Local Rote variety is one of the well known local groundnut variety in NTT Province

that has the potential to be released a superior variety due its large seed size, high yield and taste.

However, promotion of this local variety to be a commercial and superior variety needs more

data on its resistance to abiotic and biotic stresses such as drought and pests and diseases. Five

sweet potato genotypes (Local Rote and 4 check varieties) were elucidated to identify high

yielding genotypes with tolerance to drought stress. The study was carried out in a split-plot

design with three replicates in the farmer’s field during June to October 2013. Two irrigation

regimes (normal and stress conditions) were assigned as main plot and 5 groundnut genotypes as

sub-plot. Results of the study revealed significant interaction effect between irrigation regimes

and groundnut genotypes on yield and yield component variables observed. Seed yields of most

genotypes tested, especially the check varieties, were below their yield potential indicating sub-

optimum condition of the trial location. The local variety, Local Rote, produced the highest seed

yield on both normal and stress conditions, with an average of 1.21 t-1

.ha. The four check

varieties produced seed yield < 1.0 t-1

.ha, about 50% lower their mean yield potential. Only the

local genotype, Local Rote, was considered drought tolerant and high yielding based on STI,

GMP, SSI and YL selection indices.

Key words: Groundnut, local Rote genotype, drought, tolerance

32

INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI KLON-KLON UBI JALAR LOKAL ASAL NTT

DI KABUPATEN TTS DAN TTU DALAM UPAYA PENGEMBANGAN DAN

PENINGKATAN POTENSI PRODUKSI SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF IDEAL

A. S. S. Ndiwa1 dan Y. S. Mau

2

Fakultas Pertanian

Universitas Nusa Cendana

Tanaman ubi jalar yang telah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat/petani di

NTT, diketahui memiliki sebaran wilayah pertanaman yang cukup luas dimana hampir seluruh

kabupaten di NTT dapat dikategorikan sebagai penghasil ubi jalar. Sebagian besar dari

masyarakat petani di pedesaan memanfaatkan ubi jalar ini sebagai sumber pangan alternatif

yang cukup potensial dalam melengkapi sumber pangan pokok dalam bentuk beras dan jagung.

Untuk menentukan jenis-jenis lokal yang potensial dalam program pengembangannya

sampai dengan penentuan klon-klon unggulan lokal dalam proses pelepasannya sebagai varietas

unggulan nasional maka perlu dilakukan inventarisasi plasmanutfah lokal yang dilanjutkan

dengan identifikasi/evaluasi terhadap sifat-sifat agronominya.

Penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan, evaluasi, dan identifikasi sejumlah klon-

klon ubi jalar lokal yang ada di NTT dari dua kabupaten TTS dan TTU sesuai dengan

agroekosistem setempat. Hasil penelitian ini akan bermanfaat sebagai data pendukung dalam

rencana usulan pelepasan salah satu klon ubi jalar lokal asal NTT sebagai varietas/klon unggul

spesifik di wilayah NTT dan pengembanganya sebagai pangan alternatif masyarakat NTT

khususnya di wilayah Timor Barat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kabupaten TTS dan TTU terdapat keragaman yang

nyata yang mencerminkan variabilitas genetik yang luas antar aksesi atau klon-klon ubi jalar

lokal asal kabupaten TTS dan TTU.

Hasil karakterisasi sifat kualitatif hasil koleksi dari lapangan dan pertumbuhan selama fase

vegetatif, dapat diidentifikasi ke dalam beberapa jenis atau klon sebagai berikut: (a) klon-klon

ubi Jalar lokal asal kabupaten TTU dibedakan atas tiga kelompok untuk warna kulit umbi yakni

putih, kuning dan merah dengan proporsi terbesar pada kelompok warna kulit umbi merah dan

empat jenis untuk warna daging umbi putih , kuning, merah dan jingga dengan proporsi yang

dominan pada warna daging umbi ungu., (b) klon-klon ubi Jalar lokal asal kabupaten TTS

dibedakan atas empat kelompok untuk warna kulit umbi dan warna daging umbi yakni putih,

kuning, merah muda dan merah, warna daging umbi putih, kuning, jingga dan ungu dengan

proporsi yang dominan ditemukan pada kelompok warna kulit umbi dan daging umbi putih, (c)

terdapat perbedaan morfologis yang tegas dan variatif dari bagian-bagian vegetatif berupa bentuk

batang, warna batang, bentuk daun dan warna daun muda maupun dewasa dari klon-klon ubi

jalar asal kabupaten TTU maupun TTS.

Identifikasi terhadap karakter kuantitatif hasil pengumpulan berupa bobot umbi, kadar air umbi

serta pengamatan terhadap saat munculnya tunas dan jumlah daun selama periode pertumbuhan

vegetatif menunjukkan pengaruh yang nyata dan sangat nyata akibat perbedaan klon-klon ubi

jalar lokasl baik yang beasal dari kabupaten TTU maupun dari kabupaten TTS

33

REKAYASA KONSTRUKSI BUBU LOKAL SUATU STRATEGI UNTUK

MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp ) DI

PERAIRAN PANTAI DESA OEBELO KECAMATAN KUPANG TENGAH

Risamasu, F.J.L1, Yahyah, I. Tallo

2 dan Kiik G. Sine

3

Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana

email : [email protected]

Penelitian ini telah dilakukan di perairan Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, mulai bulan

Oktober sampai Desember 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan daya

tangkap bubu dengan tipe berbeda (kubus, setengah lingkaran dan kerucut), ukuran diameter

mulut bubu, jumlah pintu bubu serta posisinya terhadap hasil tangkapan kepiting bakau baik

komposisi jenis, jumlah kepiting yang tertangkap serta ukuran baik lebar karapaks maupun berat

kepiting; menghasilkan prototipe alat tangkap bubu yang memiliki kemampuan daya tangkap

tinggi; serta mendeskripsikan hasil tangkapan kepiting bakau baik komposisi jenis, jumlah

kepiting yang tertangkap serta ukuran baik lebar karapaks maupun berat kepiting. Penelitian ini

menggunakan metode observasi dengan melakukan uji coba penangkapan (experimental fishing)

selama satu bulan. Hasil penelitian menujukkan bahwa jenis kepiting yang tertangkap secara

keseluruhan berjumlah 6 jenis kepiting bakau seperti Scylla serrata, S. transquabarica,

S.olivacea. Portunus pelagicus, Charybdis granulata dan C. anisodon yang tertangkap pada

setiap jenis tipe bubu ternyata jenis kepiting yang tertangkap dengan proporsi tertinggi adalah

scylla serrata sebanyak 60 individu (58,823%), dan diikuti jenis lainnya. Jenis tipe bubu yang

memiliki nilai kelimpahan tertinggi adalah jenis bubu tipe kerucut dengan kode B 2.3, kemudian

jenis bubu tipe kerucut dengan kode B 3.2 dan diikuti jenis tipe bubu lainnya. Jenis tipe bubu

dengan kode B 2.3 dan B 3.2 merupakan prototipe alat tangkap bubu yang memiliki

kemampuan daya tangkap lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis tipe bubu lainnya. Jenis

tipe bubu yang mempunyai nilai CPUE tertinggi terdapat pada bubu tipe kerucut dengan kode B

3.2, kemudian bubu tipe setengah lingkaran dengan kode C 3.2, bubu tipe kubus dengan kode A

2.2 dan diikuti oleh jenis tipe bubu lainnya. Ukuran panjang dan lebar karapaks serta berat

kepiting bakau yang tertangkap pada setiap jenis tipe bubu sangat bervariasi tergantung dari jenis

kepiting. Hasil analisis korelasi (r) antara panjang karapaks dengan berat kepiting, kemudian

antara lebar karapaks dengan berat kepiting mempunyai keeratan hubungan tergolong kuat.

Hasil tangkapan kepiting berdasarkan jenis kelamin terbanyak adalah Scylla serrata berkelamin

jantan. Rekayasa tipe bubu dalam penangkapan kepiting yang diuji coba ini merupakan salah

satu informasi penting guna memperbaiki disain konstruksi bubu dan metode penangkapan

kepiting bakau dengan alat tangkap bubu dimasa mendatang.

Kata kunci : Bubu, hasil tangkapan, kepiting bakau

34

EFEKTIVITAS SPI PEMDA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH

STUDI KASUS: KAB. KUPANG DAN KAB. TIMOR TENGAH UTARA

Fredrik L Benu1, Anthon S Y Kerihi2, Moni W Muskanan3, Herly M Oematan4,

Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana

email : [email protected]

Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki Sistem Pengendalian Intern (SPI) Pemerintah

Daerah (PEMDA) Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).Alasan Kab.

Kupang dan TTU dipilih karena kedua pemda ini telah diidentifikasi memiliki SPI terlemah

dalam tata kelola pemerintahannya (LHP BPK 2011). Pelitian ini direncanakan dua tahun,

dengan aktivitas tahun pertama yaitu mengevaluasi sejauh mana pemahaman kedua PEMDA

mengenai SPIP (knowing); mengevaluasi unsur SPIP mana yang terlemah dalam implementasi

SPIP (diagnostic assessment) dengan melakukan analisa konteks dari dimensi

politik,ekonomi,sosial,teknologi, lingkungan dan hukum dan penyelenggaraan unsur SPI pada

tingkatan formal dan informal. Selanjutnya dengan ditemuinya unsur SPI terlemah pada tahun

pertama, kemudian akan dirancang model SPI yang relevan dapat menyelesaikan permasalahan

SPI pada kedua pemda tersebut.

Tahun pertama. Secara keseluruhan temuan-temuan dari aktivitas penelitian tahun pertama

sebagai berikut:

1. Unsur SPI terlemah di PEMDA Kabupaten Kupang dan TTU yaitu Lingkungan Pengendalian,

Kegiatan Pengendalian dan Manajemen Resiko

2. Penyebab utama lemahnya lingkungan pengendalian adalah kurangnya komitmen terhadap

profesinalisme kerja baik oleh pimpinan instansi pemerintah dan bawahan.

3. Di Pemda Kabupaten Kupaang, pemicu utama kurangnya komitmen terhadap profesinalisme

kerja adalah adanya konflik kepentingan baik itu konflik kepentingan politik, ekonomi

maupun social budaya. Sedangkan di Pemda Kabupaten TTU, Kegiatan Pengendalian adalah

unsur terlemah dengan pemicu utama kelemahannya adalah lemahnya pengembangan SDM

dan riviu kinerja dan tolok ukur.

Dari temuan-temuan ini telah dirancang draft model SPI yang efektif yang dapat menyelesaiakan

permasalahan-permasalahan di atas, yang nantinya pada tahun kedua akan didiskusikan dengan

kedua mitra, kemudian diimplementasikan.

Kata kunci : Efektivitas SPI, Otonomi

35

PERKEMBANGAN DAN KUALITAS OVARY BULUBABI TRIPNEUESTES GRATILLA

DI DALAM WADAH BUDIDAYA

A. Tjendanawangi

Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana

Studi ini bertujuan mengetahui perkembangan gonad betina bulu babi Tripneustes.

gratilla yang dipelihara dalam wadah budidaya. Sebanyak 25 individu induk bulubabi T. gratilla

yang berdiameter tubuh 50 – 80 mm dipelihara dalam bak yang berukuran 2.5 x 2.0 x 1.5 m

selama 12 minggu. sebanyak 2 individu disampling setiap 2 minggu.Selanjutnya dilakukan

pengukuran konsentrasi hormon estradiol, bobot gonad, dan diameter telur, dan pengamatan

warna ovary. Hasil studi menunjukkan bahwa bobot ovary, rata-rata diameter oosit, dan kualitas

warna ovary tertinggi pada minggu ke 9, sebaliknya kadar hormon estradiol terendah pada

minggu tersebut. Pada minggu ke 9 kebanyakan oosit berada pada tingkatan pra matang dan

matang. Kadar hormon estradiol tertinggi pada minggu ke 7 dimana ovary kebanyakan berada

pada tingkatan pertumbuhan dan pra matang. Selama 12 minggu pemeliharaan dalam wadah

budidaya, perkembangan ovary berada pada tingkatan pulih, pertumbuhan, pra matang, matang,

dan sebagian kecil ada yang sudah memijah.

Kata Kunci: ovary, perkembangan gonad, kualitas gonad, estradiol, oosit

36

RESTRUKTURISASI LEMBAGA-LEMBAGA PEMASARAN TERNAK SAPI

DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK

DI DARATAN TIMOR NUSA TENGGARA TIMUR

Matheos F. Lalus1, Maria R. Deno Ratu

2

Fakultas Peternakan - Universitas Nusa Cendana, Kupang

Dalam sistem pemeliharaan ternak sapi tradisional, petani yang paling banyak berkorban

tenaga dan waktu, jika dinilai dengan uang maka akan menjadi sangat besar, namun karena

berbagai alasan, penerimaan petani menjadi jauh lebih rendah. Penelitian ini dilakukan dengan

metode survai. Hasil penelitian ini sebagai berikut : Harga daging sapi di Kota Kupang tidak

terintegrasi secara sempurna dengan harga daging sapi di kota-kota kabupaten lainnya di Daratan

Timor Barat NTT. Perubahan harga daging sapi di Kota Kupang tidak segera menyebabkan

terjadinya perubahan harga daging sapi di kota-kota kabupaten lainnya di Daratan Timor Barat

NTT. Harga daging sapi dan jumlah permintaan ternak untuk Kota Kupang dan Kota Atambua

belum terintegrasi secara sempurna, sedangkan untuk Kota Soe dan Kota Kefamenanu sudah

terintegrasi secara sempurna. IMC antara harga ternak sapi potong di tingkat petani peternak dan

pedagang perantara sebesar 1.0040; antara petani peternak dan pedagang antara pulau 1.0048;

antara pedagang perantara dan pedagang antar pulau sebesar 1.0714. Koefisien IMC > 0 pada

ketiga tingkat pasar ternak sapi potong di Daratan Timor Barat NTT; berarti dalam jangka

pendek harga ternak sapi potong di ketiga pasar tidak teritegrasi secara sempurna atau belum

efisien. Farmer’s share dalam pemasaran ternak sapi di Daratan Timor Barat NTT sudah

berlangsung cukup adil, meskipun pada berbagai tingkatan pasar ternak sapi di wilayah ini belum

terintegrasi secara sempurna. Rata-rata farmer’s share untuk Daratan Timor Barat NTT adalah

75,95%. Margin pemasaran 62,17%; profit margin 66.71%. Profit margin terbesar diterima

pedagang perantara yakni 60.70%, pedagang antar pulau sebesar 29.30%. Distribusi margin

pemasaran masih timpang, yakni pedagang perantara 88.57% dan pedagang antar pulau sebesar

48.33%. Rata-rata harga ternak sapi yang diterima petani naik 15,73% jika penentuan harga

berdasarkan berat badan hidup. Rata-rata penerimaan petani naik sebesar 78.32%. Sedangkan

yang tidak berdasarkan berat hidup ternak maka akan terjadi kenaikan farmer’s share sebesar

71.63%, berarti terjadi penurunan share petani sebesar 6.69%.

Kata kunci : Integrasi pasar, Farmer’s share, Margin, Prof

IV. FAKULTAS PETERNAKAN

37

SUPLEMENTASI TEPUNG IKAN TERPROTEKSI EKSTRAK TANIN HIJAUAN

KABESAK KUNING, KABESAK HITAM DAN KIHUJAN DALAM RANSUM

TERHADAP PERTUMBUHAN TERNAK KAMBING

Emma Dyelim Wie Lawa1 dan Edwin J.L. Lazarus

2

Staf Pengajar Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang-NTT

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh suplementasi protein tepung ikan

terproteksi ekstrak tannin hijauan kabesak kuning, kabesak hitam dan kihujan dalam ransum

terhadap pertumbuhan ternak kambing. Penelitian ini dirancang dalam Rancangan Acak Lengkap

dengan empat perlakuan yang diulang empat kali. Sebanyak enam belas ekor ternak kambing

lokal dialokasikan untuk menerima perlakuan P0 (pemberian ransum basal + jagung-urea +

tepung ikan tidak terproteksi ekstrak tanin), P1 (pemberian ransum basal + jagung-urea + tepung

ikan terproteksi ekstrak tanin kabesak kuning), P2 (pemberian pakan basal jagung-urea + tepung

ikan terproteksi ekstrak tanin kabesak hitam) dan P3 (pemberian pakan basal + jagung-urea +

tepung ikan terproteksi ekstrak tanin kihujan). Ransum basal yang diberikan terdiri dari

kombinasi rumput alam dengan lamtoro (60:40). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan

yang diterapkan mempengaruhi pertumbuhan ternak kambing dan pertumbuhan terbaik

ditunjukkan ternak kambing yang mendapat suplemen tepung ikan terproteksi ekstrak tannin

kabesak kuning (KBK 719,88 g/e/h; Retensi N 10,46 g/e/h; PBB 52,94 g/e/h dan EPR 0,070) dan

yang mendapat suplemen tepung ikan terproteksi ekstrak tannin kabesak hitam (KBK 719,88

g/e/h; Retensi N 10,03 g/e/h; PBB 51,47 g/e/h dan EPR 0,072)

.

Kata Kunci : suplementasi, tepung ikan, proteksi, ekstrak tannin, pertumbuhan kambing

SUPPLEMENTATION OF FISH MEAL PROTECTED OF TANNIN EXTRACT FROM

ACACIA LEUCOPHLOEA, ACACIA CATECHU AND SAMMANEA SAMAN IN RATION

ON GOAT PERFORMANCE

The objective of research was to study supplementation of fish meal protected of tannin

extract from Acacia leucophloea, Acacia catechu and Sammanea saman in ration on goat

performance. The experiment was arranged in Completely Randomized Design with 4 treatments

and 4 replicaties. Sixteen male local goats allocated to give treatments, P0 (basal feed + corn-

urea + non protected fish meal with extract tannin), P1 (basal feed + corn-urea + protected fish

meal with extract tannin from Acacia leucophloea), P2 (basal feed + corn-urea + protected fish

meal with extract tannin from Acacia catechu), and P3 (basal feed + corn-urea + protected fish

meal with extract tannin from Sammanea saman). Combination native grass with Leucaena used

as basal feed (60:40). The result of experiment showed that the treatments effective in increased

of goat performance and the best treatment were supplementation fish meal with extract tannin

from Acacia leucophloea (DMI 719,88 g/h/d; N retention 10,03 g/h/d; daily gain 52,94 g/h/d and

ration efficiency 0,070) and Acacia catechu (DMI 719,88 g/h/d; N retention 10,03; daily gain

51,47 g/h/d and ration efficiency 0,072).

Keywords : supplementation, fish meal, protection, tannin extract, goat performance

38

PENGARUH PARITAS DAN LEVEL PROTEIN KONSENTRAT TERHADAP

KONSUMSI, KECERNAAN DAN PERTAMBAHAN BERAT BADAN SAPI BALI

BETINA AFKIR

I GN. Jelantik, GEM. Malelak, MR. Deno Ratu

Fakultas Peternakan

Universitas Nusa Cendana Jl. Adisucipto Penfui, Kupang NTT, 85001, email : [email protected]

Penelitian ini menggunakan 24 ekor ternak sapi betina afkir dalam kondisi kurus dengan

skor kondisi tubuh antara 1sampai 1.5. Penelitian ini yang mengikuti rancangan acak lengkap

pola faktorial dengan frekuensi beranak sebagai faktor pertama dan level protein konsentrat

sebagai faktor ke-dua. Pakan yang diberikan berupa konsentrat (2% dari berat badan) dengan

level yang berbeda yaiu 12, 14 dan 16%, silase batang jagung (1% dari berat badan) dan sisanya

jerami ammoniasi. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 minggu masa

persiapan dan penyesuaian (preleminary) dan 10 minggu pengambilan (koleksi) data. Parameter

utama dalam penelitian ini adalah pertambahan berat badan yang selanjutnya akan dihubungkan

dengan konsumsi bahan organik tercerna (DOMI, digestible organic matter intake) dan atau

konsumsi energi tercerna. Dengan demikian parameter yang diukur juga termasuk konsumsi dan

kecernaan nutrisi (BK, BO, protein dan energi), lingkungan rumen (asetat, propionat dan butirat)

serta beberapa metabolit darah (glukosa, urea, packed cell volume dan total protein plasma).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara umur dan level protein

konsentrat pada kebanyakan yang diukur. Demikian juga halnya, tidak terdapat perbedaan nyata

(P>0.05) di antara ternak dengan paritas yang berbeda pada semua parameter yang diukur.

Sementara itu, total konsumsi pakan secara signifikan dipengaruhi oleh level protein konsentrat.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggemukan sapi Bali betina afkir dapat dilakukan

secara efisien dalam periode singkat dengan pertambahan berat badan yang memadai pada

berbagai paritas (frekuensi beranak) yang berbeda dengan pemberian pakan konsentrat

berprotein rendah (12%).

Kata Kunci : Sapi Bali betina afkir, frekuensi beranak, level protein, pertambahan berat badan

39

(EFFECT OF PARITY AND CRUDE PROTEIN LEVEL ON INTAKE, DIGESTIBILITY

AND LIVE WEIGHT GAIN OF CULL BALI COWS)

An experiment with the objective to investigate the effect of parity and dietary protein

levels on intake, digestibility and daily weight gain on culled Bali cows was conducted involving

24 Bali thin Bali cows with body condition score varying from 1 to 1.5 (1-5 scoring system). The

experiment followed a completely randomized factorial design with two level of parity (less and

more than 8 calvings) of which was offered a concentrate feed containing different crude protein

(12, 14 and 16%) and offered at 2% of live weight (LW). All animals were offered corn-stover

silage at 1% LW and ad libitum access on rice straw. The measured variables included nutrients

intake and digestibility, rumen environment (acetate, propionate, butyrate, valerate and iso-

valerate), blood metabolites (glucose, urea, total protein plasm and packed cell volume), daily

live weight gain and feed convertion. Results of the experiment showed that interaction between

parity and concentrate crude protein level was absent in most measured variables. Both parities

and level of protein in the concentrate diet did not affect live weight gain. Nutrient intake,

however, was significantly higher (P<0.05) in cows receiving 12% concentrate than cows given

higher level of protein in the concentrate. This pattern was similar in the concentration of some

blood metabolites. It could be concluded that culled Bali cows could be fattened effeciently in

aperiod up to 3 months with concentrate diet containing low protein level.

Key words : cull cows , parity, concenrate diet, protein level

40

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SIRSAK (ANNONAMURICATA)

SEBAGAI ANTIBAKTERI PADA KARKAS AYAM BROILER

Jublin Franzina Bale Therika, Ince Picauly

b, Diana Agustiani Wuri

c, Gomera Bouk

d

aProgram Pascasarjana Undana,

bFakultas Kesehatan Masyarakat Undana,

cFakultas

Kedokteran Hewan Undana, d

Mahasiswa Program Pascasarjana Undana.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari Efektivitas Ekstrak Daun Sirsak

(Annonamuricata)Sebagai Antibakteri Pada Karkas Ayam Broiler.Penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan percobaan Pola Faktorial 4x3. Faktor I adalah : Konsentrasi daun sirsak

dalam rebusan air untuk perendaman karkas (K)yangterdiri atas 4 taraf perlakuan yaitu: K0: 0

gram/liter air; K1: 10 gram/liter air; K2: 20 gram/ liter air; K3: 30 gram /liter air. Faktor II

adalah:Lama perendaman karkas (L) yang terdiri atas 3 taraf yaitu: L0: 0 menit; L1: 10 menit;

L2: 20 menit. Evaluasi karkas dilakukan dengan carapengujian fisik , yaiti penilaian keempukan

daging dan susut masak serta pengujian kualitas mikrobiologis, yaitu TPC, Coliform, Escheria

coli dan Salmonella sp; . Data penelitian yang terkumpul, dianalisa dengan Anova dan

dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multilple Range Test). Hasil evaluasi kualitas fisik

memperlihatkan bahwa keempukan daging terbaik diperoleh pada karkas yang memperoleh

perlakuan K30L20 (0.1807 kgcm2) sedangkan susut masak terbaik diperoleh pada karkas dengan

perlakuan K20L20 (22%). Hasil analisis mikrobilogis karkas memperlihatkan bahwa hasil

terbaik pada evaluasi TPC diperoleh pada perlakuan K30L20 diikuti perlakuan K30L10 dan

K30L0 masing-masing pada waktu penyimpanan 0,12,24 jam.

Kata kunci: Daun sirsak, karkas ayam, anti bakteri

The objective of this experiment was to determine the effectiveness of Annonamuricata leaf

extract as antibacterial on broiler carcasses. The experiment was arranged in completely

randomized design in a 4x3 factorial lay out with three replications. The first factor was

concentration of Annonamuricata leaf extrcat (K) with four levels i.e: 0, 10, 20 and 30 g/l water.

The second factor was soaking time of broiler carcass (L) with three levels i.e: 0, 10, 20 minute.

Data collected were analysed using Analysis of Variance and continued with Duncan’s Multiple

Range Test. The result showed that both factors of concentration of Annonamuricata leaf extrcat

and soaking time with their interactions had significant effect on physical quality, microbiology

quality. The physical quality of broiler meat showed that the best quality of tenderness was the

treatment of K30L20 (0.1807 kg/cm2); the best quality of coocking loss was K20L20 (22.0%).

The microbiology quality of broiler carcass (Total Plate Count) indicated that the best result was

gained by K30L20 followed by K30L10 and K30L0 respectively at 0,12,24 hours of time

examination.

Key words: Annona muricata leaf, broiler carcasses, antibacterial

41

KARAKTERISASI MOLEKULAR GEN PAGA PENYANDI FAKTOR VIRULENSI

PADA BEBERAPA ISOLAT LOKAL Bacillus Anthracis DI INDONESIA

Drh. Maxs Urias Ebenhaizar Sanam, M.Sc.

Fakultas Kedokteran

Universitas Nusa Cendana

e-mail : [email protected]

Telp/Faks : (0380) 8000230

Antraks adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Bacillus anthracis dan bersifat

fatal bagi manusia dan hewan, khususnya ruminansia. Wabah antraks masih terjadi di beberapa

wilayah di Indonesia. Penyakit ini merugikan secara ekonomis, serta mengancam keselamatan

jiwa manusia. Gen pagA adalah gen utama menyandi pembentukan protein antigenic (PA) yang

adalah determinan virulensi utama pada bakteri tersebut. Tujuan penelitian ini adalah

mengkarakterisasi gen pagA pada isolat-isolat lokal B. anthracis di Indonesia untuk

mengungkapkan adanya variasi genetik pada gen tersebut. Informasi tersebut selanjutnya dapat

dimanfaatkan sebagai penanda epidemiologik (epidemiologic marker) dalam pengendalian

terhadap penyebaran penyakit antraks di Indonesia. Informasi molekular yang diperoleh ini juga

bermanfaat untuk studi pengembangan vaksin ataupun alat diagnostik yang memanfaatkan

protein PA. Metode molekular yang diterapkan dalam penelitian ini terdiri dari sejumlah proses,

diawali dari ekstraksi DNA plasmid bakteri; amplifikasi PCR; isolasi, visualisasi, dan pemurnian

produk PCR; serta sekuensing amplikon.

Hasil penelitian yang telah diperoleh adalah karakterisasi fenotipe terhadap 27 isolat

Bacillus anthracis, amplifikasi dan sekuensing gen pagA pada total 26 isolat B. anthracis.

Tampilan morfologis B. anthracis adalah koloni 2-3 mm, tepi tidak rata, berwarna putih

keabuan, non hemolitik. Bakteri bentuk batang membentuk untaian, bersifat Gram positif,

memiliki spora dan berkapsula. Uji konfirmasi virulensi menunjukkan 25 isolat bersifat virulen

karena memiliki kedua plasmid (pXO1 dan pXO2) secara lengkap sedangkan 2 isolat lain

kehilangan salah satu dari kedua plasmid tersebut. Hasil sekuensing terhadap 26 sekuen gen

pagA diketahui bahwa sebagaian besar sekuen isolat tersebut memiliki tingkat homogensitas

yang sangat tinggi dan perbedaan terjadi tidak lebih dari dua nukleotida. Analisis terhadap

genotipe didapatkan bahwa sebagian besar isolat B. anthracis (21 dari 26) adalah genotipe I

sementara 5 isolat lain adalah genotipe V. Sebagaian data dari peneltian ini telah dipresentasikan

dalam suatu Seminar Internasional di Surabaya, dan ditulis sebagai artikel pada jurnal nasional

terakreditasi yang sedang dalam proses review.

Kata Kunci: Antraks, Bacillus anthracis, Gen, fenotipe

V. FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

42

ANALISIS KEBIJAKAN DAN KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOPERASI DAN

PARIWISATA DI NUSA TENGGARA TIMUR

(Studi Kasus: Di Kabupaten Sabu Raijua dan Sumba Barat Daya)

Apriana H. J Fanggidae1, Jeny Eoh

2 ,Catrin Adam

3

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana

Telp/Faks. (0380)81183, E-mail: [email protected]

Pemerintah dalam hal ini Menteri Koperasi dan UKM dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata

RI (13 Juni 2011; dalam Kunjungannya di Kayuambua, Desa Tiga, Kecamatan Susut Bangli)

menyampaikan harapannya bahwapengembangan koperasi dapat menurunkan angka

kemiskinan penduduk sampai angka 12 % dan Koperasi berpeluang baik untuk mengelola

pariwisata (Agroekoturisme) dengan menggunakan Program One Village One Product (OVOP).

Harapan ini disambut baik oleh kepala daerah (NTT) dengan programmembangun NTT

berkoperasi melalui pengembangan pariwisata sebagai sektor unggulan (lokomotif).

Menghadapi tantangan dan peluang ini, Gubernur berharap pemerintah, stakeholder dan

masyarakat untuk mewujudkan program tersebut dengan dasar pijak UU NO 25 Tahun 1992,

Bab VIII tentang Lapangan Usaha, pasal 43 berbunyi : Usaha Koperasi adalah usaha yang

berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan

anggota, kelebihan kemampuan pelayanan koperasi dapat digunakan untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat yang bukan anggota koperasi dan menjalankan kegiatan usaha serta

berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.UU NO 10 Tahun 2009, Bab VI

tentang Usaha Pariwisata, Pasal 17 berbunyi: Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib

mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dalam bidang

usaha pariwisata. Program Gubernur tersebut tepat diterapkan di Kabupaten Sabu Raijua dan

Sumba Barat Daya yang merupakan daerah pemekaran ± 4 tahun, dengan memiliki 6 buah

koperasi untuk Sabu dan 19 koperasi untuk SBD yang masih aktif sampai dengan tahun 2011

serta untuk potensi obyek wisata yang sangat menarik. Hasil penelitian baik melalui

pengamatan, wawancara dengan pihak terkait dan FGD bahwa perkembangan koperasi dan

pariwisata di Sabu Raijua dan SBD menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan namun

tantangan yang dihadapi masih cukup berat dan masih terdapat beberapa kelemahan dan

ancaman yang perlu dicari solusi pemecahannya. Karena dalam perkembangannya para

pelaku ekonomi baik dari bidang koperasi dan pariwisata dituntut memiliki kinerja yang lebih

efisien dan produktif dengan tingkat daya saing yang tinggi. Mengingat strategisnya posisi

koperasi dan menyadari besarnya potensi koperasi, maka diperlukan kebijakan dan langkah-

langkah operasional pemberdayaan yang lebih intensif dan terpadu serta perlunya data base

koperasi yang dapat mempermudah, mempercepat pemahaman dan pengetahuan tentang

keberadaan suatu koperasi dan pengelolaannya. Koperasi berkualitas adalah badan usaha yang

mengorganisir pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya ekonomi para anggotanya atas

dasar prinsip-prinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup

anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya dengan berlandaskan

VI. FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

43

pada gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru perekonomian nasional.Potensi atraksi alam,

pantai, budaya dan adat istiadat yang beraneka ragam memberikan peluang bagi daerah

khususnya SBD dan Sabu Raijua meningkatkan pendapatan daerah melalui pengembangan

pariwisata.Kegiatan pencapaian kebijakan dimulai dengan melakukan survey dan sampai pada

tujuan akhir yaitu tindak lanjut dengan model Rantai Nilai.

kata kunci: kebijakan, kebutuhan,pengembangan,koperasi,dan pariwisata

44

REALITA, TANTANGAN DAN INOVASI PROGRAM ANGGUR MERAH DALAM

MENINGKATKAN PELAYANAN YANG PRO MASYARAKAT MISKIN DI

KABUPATEN ROTE NDAO

Ni Putu Nursiani1, Apriana H.J Fanggidae

2

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana

Telp/Faks. (0380)81183, E-mail: [email protected]

Kemiskinan merupakan realitas sosial yang menjadi tantangan yang harus dipecahkan, Karena

itu masyarakat dunia bertekad menanggulangi kemiskinan yang diformulasikan dalamMillenium

Development Goals (MDGs) yang berisikan kesepakatan bersama untuk pengurangan angka

kemiskinan dunia hingga 50% pada tahun 2015 dan peningkatan kualitas pembangunan manusia

(Human Development Indeks). Salah satu kabupaten yang mendapatkan dana Anggur Merah

adalah Kabupaten Rote Ndao. Kabupaten Rote Ndao merupakan kabupaten yang berada di

daerah perbatasan Australia dengan garis perbatasan pantai 54 km dari australia. Hasil

pendataan oleh Dispenduk Rote Ndao diketahui bahwa jumlah penduduk Rote Ndao sebesar

194.640 jiwa dengan jumlah KK sebesar 37.886 artinya tiap KK memiliki ± 5 anggota keluarga.

Luas wilayah Rote Ndao 18.278,05km2 dengan jumlah pulau sebanyak 92 dan pulau yang

berpenghuni sebanyak 6 pulau. Kabupaten ini memiliki jumlah KK miskin sebanyak 20.553 KK

dengan 76.731 jiwa yang tersebar di 8 (delapan) kecamatan yang ada di Rote Ndao.Dan yang

menjadi desa terpilih untuk program anggur merah ada 8 desa untuk tahun 2010 dan 10 desa

tahun 2011 sehingga jumlah desa penerima bantuan program anggur merah sebanyak 18 desa.

Desa-desa terpilih telah dialokasikan dana sebesar Rp 250.000.000,- dan peruntukannya bagi

pengembangan usaha ekonomi produktif. Adapun tujuan penelitian tahun pertama

adalahMengidentifikasi potensi masyarakat miskin dengan menyatukan persepsi melalui kriteria

Badan Pusat Statistik(BPS), BadanKeluarga Berencana dan kesejahteraan Sosial (BKBKS),

Menganalisis realita, tantangan dan inovasi pengembangan masyarakat desa yang telah

mendapat dana bantuan program Anggur Merah dan Strategi peningkatan pendapatan penduduk

miskin melalui pengembangan usaha ekonomi produktif dengan menggunakan dana bantuan

program Anggur Merah. Hasil analisis tujuan pertama diketahui bahwa Kabupaten Rote Ndao

memiliki 5 Sektor Andalan Kabupaten Rote Ndao yaitu:Pertanian (Padi, Jagung, Sorghum,

Kacang tanah, Semangka, Bawang Merah, Lombok, Turis/Kacang Polong), Perkebunan (lontar,

Jarak, Jambu mente) Kehutanan (Kutu Lak, Jati Lokal, Kayu Putih), Peternakan (Sapi, Kerbau,

Babi, Kambing), Perikanan (Rumput laut, Kerapu, Tongkol, Kembung, Lobster, Udang,

Mutiara), Pariwisata (Nemberala, Bo’a, Doo, Batu Termanu, Mulut Seribu, Oemau, Seni dan

Budaya khas). Dan tujuan kedua hasilnya: Masalah DataMiskin, Masalah Kelembagaan, Masalah

produksi, Masalah Permodalan, Masalah Pemasaran serta Masalah Sumber DayaManusia.

Strategi inti yang harus ditempuh dalam mempersiapkan sumber daya manusia dan sumber daya

alam daerah setempat adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan pengetahuan, sikap dan

ketrampilan mengelola usaha ekonomi produktif. 2) Perlu adanya penguatan, dan fasilitasi dari

pemerintah, LSM, dan Perguruan Tinggi tentang pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat.

3) Meningkatkan dan mengembangkan kemitraan, jejaring kerja dan kewirausahaan.

4) Identifikasi potensi lokal berbasis kearifan local. Untuk itu dapat disarankan bahwa

Kabupaten Rote Ndao perlu memperkenalkan potensi unggulan daerah melalui promosi produk.

45

Pemerintah (Badan PusatStatistik(BPS), BadanKeluarga Berencana dan Kesejahteraan Sosial

(BKBKS)) perlu bekerjasama dengan para akademisi untuk menetapkan standar kemiskinan bagi

masyarakat. Penguatan kelembagaan Program Anggur Merah melalui pengembangan karakter

para fasilitator sehingga mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap program yang

dijalankannya.

Kata Kunci: realita, tantangan dan inovasi program anggur merah pelayanan, masyarakat

miskin