i
HUMAN RIGHT IN A GLOBALISED WORLD
(HAM DALAM DUNIA YANG MENGLOBAL)
Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:
Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia
Dosen:
Dr. EPI SUPIADI, M.Si
Dra. SUSILADIHARTI, M.SW
Oleh:
HERU SUNOTO
NRP: 13.01.03
PROGRAM PASCASARJANA SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL
SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL (STKS)
BANDUNG
2013
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Segala puji bagi Allah SWT sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas ke-III, membuat paper tentang Human Right in a Globalised World
(HAM dalam Dunia yang Mengglobal) dengan referensi utama buku Jim Ife, “Human Right
and Social Work” untuk mata kuliah Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan HAM bisa selesai,
pertemuan ke-IV.
Kajian ilmiah tentang HAM dan Peksos ini kami topang dengan beberapa referensi yang
kami anggap layak, dengan harapan bisa menyempurnakan perspektif kita, praktisi peksos
professional tentang HAM dan posisi kita terhadap isu-isu HAM, baik level mikro, mezzo,
maupun makro.
Terakhir, kami berharap ada masukan dan penyempurnaan dari sesama teman-teman Sp-1,
dan lebih khusus lagi dosen kami.
Bandung, 10 September 2013
Heru Sunoto
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 3
Pekerjaan Sosial
Pendekatan Dinamis HAM
Apa itu HAM?
Hak Asasi Antargenerasi
Hak dan Kebebasan
Hak Asasi Hewan
Globalisasi
Praktik Peksos Berbasis HAM
BAB III. PEMBAHASAN 12
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 15
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pekerjaan social berkaitan erat dengan penyelesaian masalah kemanusiaan, fungsi social,
peran Negara terhadap well-being individu, keluarga, kelompok, komunitas, maupun
masyarakat, dan penguatan potensi-potensi.
Pekerjaan Sosial menurut IFSW1 (dalam Kode Etika BASW) didefinisikan sebagai berikut:
The social work profession promotes social change, problem solving in human relationships
and the empowerment and liberation of people to enhance well-being. Utilising theories of
human behaviour and social systems, social work intervenes at the points where people
interact with their environments. Principles of human rights and social justice are
fundamental to social work. (profesi yang memperjuangkan perubahan social, penyelesaian
masalah relasi manusia dan lingkungan, membebaskan manusia untuk meningkatkan
kesejahteraan social, dengan menggunakan teori-teori perilaku dan system social, focus
intervensi pada interaksi manusia dengan lingkungannya, prinsip-prinsip HAM dan keadilan
social merupakan dasar bagi pekerjaan sosial).
Berdasarkan definisi di atas, peksos selalu bersentuhan dengan problem-solving di semua
level: mikro-mezzo-makro; prinsip-prinsip HAM dan keadilan social menjadi core
pelayanannya; dan teori-teori pekerjaan social menjadi bajunya.2
HAM dalam dunia yang mengglobal. Hal ini mengindikasikan bahwa betapapun
penghormatan peradaban manusia terhadap HAM dan keadilan muncul, tumbuh, dan tinggi
di abad sekarang, namun ketika kepentingan globalisasi segelintir orang, yakni kalangan
borjuis muncul, maka dua hal itu terancam eksistensinya. Pernyataan ini bukan tidak
berdasar. Sejarah revolusi industry di Eropa pada abad 18 hingga meluas ke Amerika dan
melahirkan revolusi social adalah wujud ketamakan kaum borjuis, kaum pemodal sehingga
menjadikan kaum proletar, kalangan buruh, hanya menjadi “robot” pemuas kepentingan.
Globalisasi terkait erat dengan gerakan ekonomi yang melintas-batas Negara. Tidak ada
loyalitas kepada Negara manapun. Pemodal hanya loyal pada uangnya; dimanapun ada
Negara yang mendukung kepentingannya, maka disitulah modalnya akan ditanamkan.
Negara tidak lagi menjadi kekuatan pelindung dan pensejahtera rakyatnya, melainkan alat
legitimasi segelintir orang pemilik modal.
1 The Code of Ethics for Social Work, BASW; downloaded from: http://cdn.basw.co.uk/upload/basw_112315-
7.pdf, at August 29th
2013. 2 Susan C. Mapp, “Human Right and Social Justice in a Global Perpective: an Introduction to Int’l. Social Work”,
Oxford Univercity Press, 2008, p.v.
2
Korban globalisasi adalah murahnya ubah buruh, rendahnya kesejahteraan masyarakat,
tidak adanya jaminan social, jaminan kesehatan, jaminan untuk pengangguran, orang-orang
termarjinalkan. Sifat dasar globalisasi yang demikian, merupakan tantangan bagi pekerja
social untuk eksis dalam perannya, yaitu sebagaimana definisi yang kami paparkan di atas.
HAM dan keadilan social sebagai agenda penting seorang peksos untuk membantu klien,
keluarga, kelompok, komunitas, dan bangsa dalam melaksanakan peran demi keselarasan
dengan lingkungan yang berperadaban.
***
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
HAM DALAM DUNIA YANG MENGLOBAL3
Gagasan tentang HAM adalah satu diantara pembahasan tentang social dan politik
kontemporer yang paling kuat. Topik ini didukung oleh banyak orang dari beragam latar
belakang ideology dan budaya. Ia digunakan dalam tataran wacana untuk mendukung
agenda kebinekaan, dan terkadang mengenai kasus-kasus konflik. Karena topic ini sangat
menarik dan penuh retorika, terkadang juga digunakan secara bebas dan dapat memiliki
makna yang berbeda-beda tergantung konteksnya. Meskipun yang menggunakan tema ini
jarang berhenti untuk mempertimbangkan berbagai makna yang tercakup di dalamnya dan
kontradiksinya. Kombinasi ini sangat menarik dan kontradiksi ini juga membuat gagasan
tentang HAM patut untuk dipertimbangkan, khususnya bagi pekerja social dan HAM bagi
profesi layanan kemanusiaan lainnya.
PEKERJAAN SOSIAL
Sejumlah pembahasan dalam buku ini tentang profesi dapat diaplikasikan pada seting
profesi pelayanan kemanusiaan, semisal mengajar, medis, dan beberapa profesi kesehatan
yang terkait. Maka focus utama buku ini adalah pada pekerjaan social. Untuk ini, pekerjaan
social membutuhkan sejumlah penjelasan, sebab kata “pekerjaan social” pada beberapa
Negara dan konteks budayanya memiliki makna yang berbeda-beda. (Tan dan Envall,
2000).
Pada beberapa masyarakat, terutama Australia dan Amerika Utara, “pekerja social”
didefinisikan sebagai kelompok pekerja yang memiliki kualifikasi profesi tinggi, termasuk di
dalamnya pekerjaan lainnya dalam lapangan pelayanan kemanusiaan (Ife, 1997a;
Leighninger and Midgley, 1997).
Pada masyarakat lain, kata “pekerjaan social” memiliki seting aplikasi yang lebih luas,
melingkupi pekerja layanan kemanusiaan dari satu jenis latar belakang dengan kualifikasi
pendidikan yang berbeda-beda. Pada sejumlah masyarakat, semisal Inggris, pekerjaan
social telah dipandang sebagai implementasi kebijakan “Negara kesejahteraan” melalui
perundang-undangan, dengan sedikit peran dalam pengembangan komunitas atau
pengubahan social.
3 Diringkas dari Jim Ife, “Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge University
Press, Revised Ed., 2008, hal 4 - 28.
4
Pada masyarakat lainnya, semisal Amerika Latin (Aguilar, 1997; Cornely & Bruno, 1997),
Querino, 1997), “pekerja social” memiliki banyak radikal atau konotasi aktivitas yang
diarahkan untuk melakukan perubahan social, gerakan progresif untuk mencapai keadilan
social dan HAM, serta oposisi untuk menyebarkan model birokrasi dan dominasi politik.
Dalam beberapa konteks, semisal di AS, peran terapi individu oleh peksos sudah dominan.
(Leighhinger dan Midgley, 1997), dimana pada konteks lain, bagian dari “pembangunan
dunia” atau “dunia bagian selatan”, peksos sudah lebih kuat pada orientasi pengembangan
masyarakat.
Dengan menaruh perhatian pada “membumikan peksos” pada budaya manusia, social, dan
konteks politik, maka sudah barang tentu bahwa pekerjaan sosial akan dimaknai secara
beragam pada situasi/tempat yang berbeda pula. Hal ini akan banyak membawa
keuntungan bagi peksos, karena ia bisa memilih minat dan praktik yang ia inginkan.
PENDEKATAN DINAMIS HAM
Cita-cita HAM itu sendiri adalah sangat alami, menyiratkan pencarian akan prinsip-prinsip
universal yang digunakan oleh seluruh umat manusia, apapun perbedaan latar belakang
budaya, system kepercayaan, usia, jenis kelamin, kemampuan, dan keadaannya. Memang,
universalitas telah menghilang dari sejumlah pemahaman tentang HAM, sederhana karena
tidak setiap orang merasa sebagai “manusia”. Diskusi tentang hak manusia dan pandangan
tradisional oleh filosof yang beraliran patriarchal, semisal Locke, telah menjauhkan wanita
dari definisi “manusia” dan dari pemahaman tentang “apa implikasi dari HAM”. Thomas
Jefferson memperkirakan bahwa tidak ada konflik antara advokasi yang ia lakukan tentang
HAM dengan kebebasan serta dengan ia memiliki budak.
Universalitas HAM tidak harus dibingungkan bahwa ia bersifat statis, tidak bisa mengubah
cita-cita HAM. Karena HAM harus dipandang sebagai sebuah tatanan, daripada keberadaan
yang objektif, maka yang terpenting adalah bagaimana melakukan dialog, diskusi, dan
bertukar fikiran tentang nilai-nilai yang universal.
Pendapat siapa yang dinilai bagus dalam diskusi tentang HAM dan siapa yang tidak?
Bagaimana pendapat lainnya bisa didengar, dan apakah ada jalan lain untuk
menjelaskan konsep HAM?
Apakah beberapa jenis HAM lebih bagus daripada yang lainnya?
Dan apakah jalan yang telah kita pilih untuk menyatakan konsep nilai-nilai HAM memilih
aksi manusia dan memarjinalkan yang lainnya?
Ini dan beberapa pertanyaan lainnya akan kita kaitkan dengan bab berikutnya, yaitu
bagaimana seorang peksos bisa menjadi bagian dari jalannya diskusi tentang HAM ini dan
bagaimana menyusun ulang tentang ranah HAM dalam proses diskusi tersebut.
5
MENDEFINISIKAN APA ITU HAM?
Untuk memahami HAM dalam arti yang dinamis dimana HAM tidak pernah statis, maka kita
tidak akan pernah final untuk mendefinisikan apa itu HAM.
Secara umum, HAM dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang diklaim milik semua orang
tanpa memandang negara, ras, suku, budaya, umur, jenis kelamin dan lain-lain. Hak-hak ini
bersifat universal dan dapat diimplementasikan kepada siapapun dan dimanapun. Namun,
tidak semua klaim tentang hak, terutama dari kelompok atau orang tertentu dapat disebut
HAM. Sebagai contoh, tuntutan seorang dosen atas tambahan gaji atau perbaikan fasilitas
kantornya tidak dapat disebut „hak‟ atau HAM jika tuntutan tersebut mengakibatnya
menurunnya kualitas pendidikan mahasiswa. Dalam kasus ini, maka pendidikan yang
diklaim sebagai HAM, yaitu bahwa hak mahasiswa atas pendidikan memiliki prioritas yang
lebih tinggi ketimbang tuntutan dosen tersebut. Inilah dasar-dasar yang penting di dalam
memahami sebuah pendekatan HAM. Dengan mendefinisikan sesuatu sebagai HAM, maka
kita bisa meletakkan secara benar klaim kita bahwa hak tertentu lebih diutamakan daripada
tuntutan hak lainnya. Dengan demikian, jika terjadi konflik yang diakibatkan oleh adanya
klaim hak dari orang atau kelompok tertentu maka HAM diprioritaskan dan mengatasi setiap
klaim yang ada. Sebuah klaim hak untuk kepentingan orang atau kelompok tertentu tidak
boleh bertentangan dengan hak-hak fundamental yang dimiliki oleh setiap orang.
Untuk mengklaim sesuatu sebagai HAM, maka ada beberapa hal yang harus terpenuhi:
1. Merealisasikan tuntutan hak adalah perlu, baik bagi individu, maupun kelompok
sehingga eksistensi mereka sebagai manusia benar-benar optimal, selaras dengan
orang lain;
2. Hak yang dituntut adalah dipandang oleh pihak lain sebagai upaya untuk memenuhi rasa
kemanusiaan diri, dan ini artinya bahwa individu atau kelompok yang menuntut hak
tersebut juga menginginkan hal tersebut dirasakan atau diterima oleh siapapun dan
dimanapun; atau mereka sedang mengupayakan hak-hak mendasar bagi masyarakat
atau kelompok yang termarjinalkan sehingga mereka bisa mencapai secara penuh
potensi kemanusiaan mereka;
3. Ada consensus hak yang sangat substansial pada legitimasi tuntutan hak, ini tidak bisa
disebut sebagai “HAM” kecuali jika ada dukungan yang luas kepada hak tersebut untuk
melampaui budaya dan pembagian lain;
4. Bisa saja agar tuntutan dari para penuntut hak bisa direalisasikan secara lebih efektif. Ini
tidak termasuk hak atas barang-barang yang tersedia secara terbatas. Misalnya hak
untuk tinggal di perumahan dengan pemandangan panorama alam di sekitarnya, hak
untuk memiliki chanel TV sendiri, ataupun hak untuk memiliki lahan yang luas.
6
5. Tuntutan hak tidak boleh kontradiksi dengan HAM orang lain. Hal ini berarti menolak
sebagai HAM atas “hak mengangkat senjata”, “hak” memperbudak orang lain, “hak” laki-
laki memukul/mengalahkan istri dan anak-anaknya, “hak” mengambil laba terlalu banyak
dalam kemiskinan orang lain, dan lain-lain.
Ini artinya bahwa “HAM” tidak bermakna seluruh hak yang ingin dituntut oleh semua orang,
dan tuntutan HAM harus diuji secara cermat terlebih dahulu.
HAM harus dilihat sebagai satu paket, universal and indivisible (universal dan tidak dapat
dipisah-pisahkan satu sama lain). Ini berdasarkan 5 kriteria di atas, karena HAM adalah
harus dilaksanakan secara bersama-sama, ia harus konsisten dan tidak boleh ada konflik
satu sama lain. Ini artinya dalam tataran lapangan HAM, memberikan prioritas kepada hak
yang seharusnya tidak perlu. Semua item HAM harus dipandang sebagai penting semua,
tidak boleh ada satu hak yang dianggap lebih penting daripada hak lainnya. Sebuah
perpektif HAM mengatakan bahwa satu tuntutan hak harus dimaknai sebagai tuntutan HAM,
diprioritaskan, dan didahulukan daripada tuntutan hak-hak lain. Dalam praktiknya,
begaimanapun juga, benturan beragam tuntutan HAM selalu tidak sejalan, tentang hal ini
akan dibahas pada bab berikutnya. Hak-hak tersebut harus diselesaikan, tetapi seringkali
bisa diselesaikan dengan menggunakan 5 kriteria di atas.
Bagi seorang peksos, perbedaan antara manusia dan hak orang lain, dan tuntutan bahwa
HAM tersebut harus diprioritaskan, memiliki hubungan satu dengan lainnya. Ada sejumlah
urusan dalam praktik peksos jika menghadapi konflik antara kenyataan “hak” dan HAM.
Misalnya, permintaan manajer yang menginginkan seorang peksos untuk tidak mau
memberikan layanan yang bisa dijustifikasi pada HAM yang mendasar. “Hak manajer” tentu
saja tidak cocok dengan HAM sesuai dengan 5 landasan kriteria di atas, dan jika seorang
peksos berada dalam posisi ini maka ia harus memprioritaskan HAM daripada permintaan
manajer tersebut. Peksos secara moral seharusnya menghadapi manajemen yang menolak
HAM dan jika perlu ia membuat satu kasus yang bagus untuk tidak tunduk pada perintah
manajemen. Tentu saja ada sejumlah factor situasional dimana seorang peksos perlu untuk
memperhitungkan ketika ia berkonfrontasi dengan majamemen, menyampaikan secara
ilmiah dan bijak, dan ada beberapa pilihan aksi, semisal:
Melakukan riset secara hati-hati terhadap dokumen pelanggaran HAM sebelum
bergerak dan beraksi,
Meminta ikatan profesi peksos untuk mengambil alih tanggungjawab tersebut
daripada melaksanakannya secara pribadi,
Berbicara dengan supervisor secara informal sehingga selesai masalahnya, dan lain-
lain.
7
Ketika HAM didiskusikan, maka HAM bermakna universal, terpadu, tidak bisa dicabut dari
manusia, atau dihilangkan4. Universalitas implikasinya adalah bahwa HAM diwujudkan
dalam seluruh kesejahteraan manusia, dan keterpaduan implikasinya adalah bahwa HAM
sebagai satu kesatuan paket, satu bagian tidak bisa diambil dan dipilih, diterima sebagian
dan ditolak sebagian lainnya. Pernyataan bahwa HAM tidak bisa dicabut, implikasinya
adalah ia tidak bisa dicabut dari satu orang pun. Di sini ada beberapa hal yang kontroversial,
semisal pelaksanaan sanksi hukum pelanggar HAM. Misalnya, hak untuk bebas, hak
berkumpul dan berserikat, kebebasan untuk bepergian yang ditolak karena narapidana
menolak dipenjara. Tetapi, secara umum, kaidah HAM tidak bisa diambil/dicabut dari
manusia selama ia hidup. Pernyataan bahwa HAM bersifat inabrogable (tidak bisa
dihilangkan/dibubarkan), implikasinya adalah satu orang tidak bisa menyerahkan HAM-nya
atau menjualnya demi menambahkan keistimewaan kepada yang lain, HAM tidak bisa
ditukar dengan apapun. Kita mungkin saja memilih untuk tidak menggunakan hak kita
secara bersamaan semuanya, akan tetapi kita masih tetap memilikinya, bahkan jika kita
memilih untuk tidak mengunakannya, secara teori, kita selalu masih bebas untuk mengubah
fikiran kita.
Hak Asasi Antargenerasi
Satu dari perubahan penting yang paling menonjol untuk mengambil posisi dalam diskursus
tentang HAM pada beberapa decade terakhir telah memperluas pemahaman kita tentang
tugas HAM di masa kini. Dahulu, banyak pelanggaran HAM terjadi, akan tetapi seiring
berlalunya waktu meningkat pula kesadaran akan HAM; jika di masa lalu banyak
pelanggaran HAM terjadi maka kini kita mesti menghargai HAM dan memperbaikinya, dan
melakukan tindakan yang sesuai HAM untuk masalah-masalah yang serupa. Dan diskusi
seputar NAZI memunculkan keuntungan dimana Bank Swiss akan memberikan santunan
sebagai kompensasi korban holocaust yang masih selamat. Ini adalah satu contohnya.
Contoh lain: kompensasi moneter sebagai satu contoh kasus, dimana pemerintah –dengan
kompensasi moneter-- melakukan permintaan maaf kepada orang-orang Indian korban
yang mengalami salah perlakuan pemerintah Kanada (HREOC, 1997). Itu adalah cara
sebagai rasa tanggung jawab terhadap pelanggaran HAM pemerintah atas kecerobohan
dalam memperlakukan warganya secara tidak layak. Dan contoh-contoh lain. Apapun,
seluruh isu tentang pelanggaran HAM di era lama adalah menjadi bagian penting bagi
seorang peksos, jika ia menemui dan akan menyelesaikan ketidakadilan, penindasan, dan
beragam pelanggaran HAM lainnya yang sudah lama terjadi dan mungkin sudah dialami
masyarakat sejak lama.
4 Cassese 1990; Centre for Human Rights 1994; Jones 1994; Freeman 2002; O’Byrne 2003.
8
Cara lain membahas panjang tentang HAM adalah dengan mengubah diskursus, yaitu
dengan memperluas gagasan HAM dan dimasukkan dalam hak-hak generasi mendatang.
Semua yang kita lakukan akan berpengaruh kepada dunia di waktu mendatang;
pertanyaannya adalah apa yang akan kita perluas aksinya yang mesti kita tetapkan demi
melindungi HAM pada generasi mendatang sehingga bisa baik sebagaimana saat ini?
Hak dan Kebebasan
Hak seringkali dikaitkan dengan kebebasan, atau beragam gagasan tentang kebebasan
biasanya selaras dengan kata “hak dan kemerdekaan”. Di dunia Barat, karena hak dan
kebebasan individu demikian kuat, tidak terelakkan, telah diabadikan dalam filsafat John
Stuart Mill, seorang tokoh liberalism dan kebebasan individu (Mill, 1906).
Hak Asasi Hewan
Ketika kita membahas secara detail tentang HAM, maka kita perlu untuk mendiskusikan
seputar hak asasi dari makhluk selain manusia, yaitu hewan.
Hak asasi hewan (HAH) telah diterima selaras dengan meningkatnya minat atau perhatian
dunia pada decade sekarang dan perspektif ekosentris5 sebagai lawan dari perspektif
antropocentris. Ia telah menuntut hak yang mesti diberikan tidak hanya kepada
kesejahteraan manusia semata, bahkan kepada setiap makhluk hidup sebagai bagian dari
kesatuan ekosistem.
Akan tetapi buku ini tidak akan membicarakan isu-isu tentang HAH. Pendekatan diskursif
untuk HAM diadopsi di sini dengan arti bahwa ada perbedaan yang sangat jelas antara HAM
dan HAH, karena manusia bisa mengartikan dan memperdebatkan hak-hak asasi mereka,
padahal untuk spesies lain tidak bisa. Oleh karena itu, setiap upaya manusia untuk
mengartikan hak asasi spesies lain, maka itu akan menjadi bahan dalam mengartikan atau
mendefinisikan hak asasi mereka sendiri; menjadi acuan bagaimana selayaknya manusia
menyikapi dan bertindak kepada spesies lain. HAM, bagaimanapun juga, adalah berbeda,
baik dalam cara mendefinisikan HAM tersebut untuk mereka sendiri, bertindak, berelasi,
mengormati, melakukan perlindungan, dan merealisasikan hak-hak mereka. Tema HAM kali
ini akan berguna bagi seorang peksos untuk memfasilitasi proses dimana klien mampu
menyadari HAM-nya, dimana pada saat yang sama tidak bisa diterapkan untuk spesies lain.
Treatment untuk spesies lain dalam tema hak, mesti ditangani secara berbeda, dan meski
itu penting, berkaitan dengan kita mendefinisikan kemanusiaan kita sendiri dan mendasar
bagi sebuah ekologi untuk memahami tempat kita di dunia ini. Ini semua di luar pembahasan
buku ini.
5 Fox 1990; Eckersley 1992.
9
Globalisasi
HAM telah memberikan relevansi yang ekstra-kontemporer dengan melakukan tekanan
globalisasi.6 Adalah penting untuk menguji tema globalisasi dalam beberapa penjelasan
rinci, karena ia memberikan konteks/hubungan relevansi dengan praktik peksos pada awal
abad 21; juga karena HAM merupakan representasi elemen penting bagi globalisasi dan
sekaligus jawaban dan oposisi dari globalisasi itu sendiri.
Sebuah ekonomi global bukanlah hal baru. Sejak dahulu, sudah ada perdagangan dunia
selama berabad-abad, dan memang beberapa bentuk ekonomi global sudah ada sebelum
munculnya negara, yang sekarang dianggap sebagai di bawah ancaman dari kekuatan
globalisasi. Ini adalah diantara pemikiran yang telah menyebabkan beberapa penulis7
berpendapat bahwa globalisasi adalah benar-benar bukan fenomena baru, namun diklaim
sebagai barang baru, dan itu kita lihat sebagai keberlanjutan sejarah historis dan bukan
suatu perubahan semata.
Ini adalah kritik penting dan seperti yang akan disarankan di bawah ini, beberapa kontinuitas
sejarah globalisasi terlalu mudah diabaikan. Tapi bisa juga dikatakan bahwa ada
diskontinuitas penting, yang disebabkan oleh besarnya skala ekonomi global yang baru
muncul dan kekuatan ekonomi sebagai pemain utama. Hingga saat ini, perdagangan global
mungkin telah berkembang tapi masih di bawah kendali pemerintah, yang dapat mengatur
persyaratan dan pembatasan perdagangan tersebut dan --dalam banyak kasus-- bisa
menggunakan perdagangan dunia untuk kepentingan Negara sendiri.
Namun, kini perdagangan dunia telah tumbuh begitu besar, dan perusahaan-perusahaan
transnasional telah menjadi begitu kuat, hingga peran pemerintah untuk mengatur, atau
menetapkan regulasi marjin perdagangan mulai justru terbatasi/terkurangi. Mayoritas
negara, kalau tidak bisa dibilang seluruhnya, kini telah tunduk kepada kehendak pasar
global. Mereka tidak lagi dapat mengambil kebijakan “yang merugikan pasar”, karena jika itu
dilakukan maka modal-modal akan segera berpindah ke Negara lain yang berpihak kepada
pemodal. Dan jika itu terjadi, maka akan terjadi krisis dan ekonomi pun akan goncang.8
Dengan globalisasi ekonomi, pemerintah akhirnya hanya memiliki sedikit ruang untuk
berperan dalam pengembangan kebijakan baru; pemerintah telah kehilangan kemampuan
dalam membuat keputusan yang independen untuk mengatur Negara mereka sendiri,
bahkan dalam menentukan masa depan ekonomi dan sosial mereka.9
6 Brysk 2002; Monshipouri et al. 2003; de Feyter 2005.
7 Hirst & Thompson 1996, 2000.
8 Held et al. 1999; Meyer & Geschiere 1999; Mittelman 2000.
9 Bauman 1998; Beck 2000.
10
Hal ini menyebabkan Negara kehilangan fungsi kontrol demokrasi yang efektif, yaitu fungsi
pengambilan keputusan kebijakan yang strategis. Kebijakan kunci/strategis yang
mempengaruhi hajat hidup orang banyak akhirnya ditentukan oleh segelintir orang atau
kelompok tertentu saja. Paradigma kebijakan konvensional yang dibingkai dalam batas-
batas Negara, kini tidak lagi relevan, dan memerlukan upaya format ulang untuk
mengantisipasi perubahan-perubahan global tersebut. Dan seorang peksos perlu
memahami, mengerti, dan menerima globalisasi beserta dampak permasalahannya
sehingga ia bisa mencari dan memberikan solusi-solusi baru.
Praktik Peksos Berbasis HAM
Beberapa pembahasan berikut, menjelaskan bagaimana HAM bisa digunakan seorang
peksos untuk menjadi dasar praktiknya. Implementasi atau aktivasi HAM telah menjadi
perhatian sejumlah penulis10, dan buku ini berusaha untuk melakukan hal ini dalam konteks
pekerjaan sosial, pelayanan/praktik kemanusiaan.
Mungkin tampaknya sangat aksiomatis, bahwa peksos adalah berhubungan dengan HAM,
meski ada beberapa formula lain tentang peksos yang tidak mengkaitkannya dengan HAM.
Contohnya adalah Needs-based social work (peksos berbasis kebutuhan klien). Needs-
based menekankan pada bagaimana seorang peksos mampu meng-assesment kebutuhan
klien untuk kemudian melakukan proses mempertemukan kebutuhan tersebut dengan
system sumber yang ada. Needs-based, tentu saja merupakan focus perhatian praktik
peksos, meski saat ini juga dikritik.
Beberapa penulis, semisal Illich11 telah melakukan kritik kepada beberapa profesi, termasuk
diantaranya kepada profesi peksos. Kritikannya adalah agar profesi ini mendefinisikan
profesinya sebagai profesi yang menjawab kebutuhan masyarakat. Hal ini berakibat
melemahkan posisi klien, sehingga klien tidak lagi bisa mendefinisikan kebutuhan mereka
sendiri tetapi sebaliknya, kebutuhan mereka didefinisikan oleh peksos. Juga, ada sejumlah
isu tentang praktik peksos berbasis kebutuhan, yaitu bahwa gagasan tentang kebutuhan
manusia terkait erat dengan HAM.
Praktik berbasis kebutuhan telah merepresentasikan formula alternative bagi seorang
peksos daripada berbasis HAM. Hal ini turut mengadvokasi a right-based approach
(pendekatan berbasis HAM) untuk menunjukkan apa kelebihan pendekatan ini daripada
needs-based approach (pendekatan praktik berbasis kebutuhan klien).
Formulasi alternative ke dua sebagai alternative pendekatan praktik peksos adalah justice-
based approach (pendekatan praktik berbasis keadilan). Sebagian besar pekerja sosial,
10
Misalnya, lihat Porter & Offord 2006. 11
Illich et al. 1977.
11
jika diminta untuk menjelaskan secara ringkas nilai dasar praktik mereka, mungkin akan
menggunakan istilah 'keadilan sosial' daripada 'hak asasi manusia'. Sebagaimana
pendekatan sebelumnya, needs-based approach, maka untuk justice-based approach, juga
bisa dikaitkan antara keadilan dan HAM. Namun demikian, ada dua masalah untuk diatasi,
yaitu antara pendekatan keadilan murni dengan pendekatan HAM.
Masalah pertama dengan keadilan adalah bahwa hal itu dapat berarti “balas dendam
sederhana”. "Kami menuntut keadilan” adalah seruan umum yang terdengar dari para
pendukung hukuman mati, hukuman penjara dan sejenisnya. Hal ini menjadi sebab bagi
sebagian besar pekerja sosial enggan untuk mendukung dan lebih cenderung untuk
menentang. Penggunaan retorika keadilan yang begitu kuat, bagi seorang peksos, tidaklah
progresif, dan hanya membantu melegitimasi politik balas-dendam.
Masalah kedua adalah bahwa keadilan sering didefinisikan secara prosedural: untuk
menjadi adil, atau untuk melakukan keadilan, adalah untuk menegakkan hukum secara adil,
adil dan tidak memihak. Dan perundang-undangan itu sendiri meski sangat diskriminatif dan
menindas bisa saja disebut “system yang berkeadilan” dapat berakibat pada peradilan yang
efektif dari sebuah undang-undang yang tidak adil. Ini memang produk sejarah kolonialisme,
dimana penindasan secara brutal bisa dibenarkan oleh system peradilan yang tidak bisa
disuap.
A human rights approach (Pendekatan praktik peksos berbasis HAM) seyogyianya tidak
hanya dilihat sebagai jawaban atas kebutuhan klien akan “kebutuhan” dan “keadilan” yang
tanpa makna bagi seorang peksos. Justru sebaliknya, ia punya posisi penting dalam
penggambaran praktik pekerjaan sosial, dan ia adalah kata-kata yang beresonansi kuat
dengan para praktisi peksos. Akan muncul masalah jika masing-masing kata itu difahami
secara terpisah. Bahkan berdasarkan paparan di atas, praktik peksos yang berlandaskan
pada HAM mampu memperkaya khasanah “kebutuhan dan keadilan”, lebih kontekstual,
makin bermakna, dan makin bermanfaat.
***
12
BAB III
PEMBAHASAN
HAM DALAM DUNIA YANG MENGGLOBAL
Manusia dan HAM ibarat dua sisi mata uang logam. Jika ada manusia, maka ada hak untuk
dimiliki, siapapun dan kapanpun.
Jim Ife menyatakan:
The idea of human rights, by its very nature, implies the search for universal principles that
apply to all humans, whatever their cultural background, belief system, age, sex, ability or
circumstances.12 (Gagasan tentang HAM itu sendiri adalah sangat alami, menyiratkan
pencarian akan prinsip-prinsip universal yang digunakan oleh seluruh umat manusia,
apapun perbedaan latar belakang budaya, system kepercayaan, usia, jenis kelamin,
kemampuan, dan keadaannya).
Satu kalimat dari Jim Ife di atas menjadi kata kunci bahwa HAM adalah kebutuhan dan milik
semua orang. Karena manusia hidup dari zaman ke zaman yang berbeda, maka HAM juga
mengalami pasang naik dan surut. Terjadi pergesekan kepentingan antar anggota
masyarakat, baik masyarakat perdesaan maupun perkotaan, agraris maupun industry,
memunculkan masalah HAM.
Dalam konteks global, maka masalah HAM tersebut menjadi agenda serius yang harus
diselesaikan. Keinginan si kaya untuk tetap kaya, memestikan kalangan buruh menjadi tetap
miskin, berpenghasilan rendah, tidak ada jaminan social, jaminan kesehatan, pengangguran
pada bagian masyarakat yang tidak punya ketrampilan kerja juga merupakan masalah lain.
Jim Ife menyatakan:
Understanding human rights as discursive means that human rights are not fixed or static,
and therefore in that sense they cannot be fully defined.
Untuk memahami HAM sebagai sesuatu yang dinamis, yaitu bahwa HAM adalah tidak tetap
atau statis, oleh karena itu setiap kita tidak dapat sepenuhnya mendefinisikannya secara
final.
Schmitz and Sikkin (2002)13 mendefinisikan HAM sebagai berikut:
12
Jim Ife, “Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge Univercity Press, 2008, hal.10. 13
Derrick M. Nault and Shawn L. England, “Globalization and Human Right in the Developing World”, Palgrave Mac-Millan, 2011.. Downloaded from: http://bookre.org/reader?file=1434909&pg=1 , at August 29
th 2013.
13
Human right are a set of principles of ideas about the threatment to which individual are
entitled by virtue of being human. The Human right discourse is universal in character and
includes claims of equality and non-discrimination (p. 157).
HAM adalah seperangkat prinsip gagasan yang tinggi/luhur tentang solusi apa yang ingin
diwujudkan oleh manusia sehingga bisa menjadi manusia seutuhnya. HAM dalam banyak
diskusi juga merupakan karakter yang sangat universal dan mencakup tuntutan kesetaraan
dan non-diskriminasi (hal 157).
Susan C. Mapp (2008) mengatakan:
The rights it defines were intended to be universal and indivisible—that is, all humans have
the right to them regardless of culture, political system, ethnicity, or any other characteristic
(universal), and a country cannot select which rights it should grant; all humans should have
all rights (indivisible)…. Not all rights claimed by people can be regarded as human rights.
By human rights we generally mean those rights which we claim belong to all people,
regardless of national origin, race, culture, age, sex, or anything else. (p.17 - 18)
Hak didefinisikan sebagai sesuatu yang universal dan tidak dapat dipisah-pisahkan, dimana
setiap manusia memiliki hak mereka tanpa memperhatian budaya, system politik, suku, dan
karakteristik apapun, dan sebuah Negara tidak dapat menentukan hak tertentu untuk diakui
dan tidak diakui, setiap manusia memiliki semua hak tersebut tanpa terpisah-pisahkan.
Namun, tidak setiap hak yang dituntut oleh orang bisa disebut sebagai HAM. Dengan
HAM, kita biasanya mengartikannya sebagai hak yang kita anggap sebagai hak milik semua
orang, terlepas dari perbedaan asal Negara, ras/warna kulit, budaya, suku, usia, jenis
kelamin, dan sebagainya. (hal. 17 - 18) 14
PEKSOS DALAM ERA GLOBALISASI
Dalam struktur atau pranata yang normal, setiap orang akan bisa menempatkan diri, peran
dan fungsinya secara apik, selaras dengan lingkungan, optimal untuk diri dan sekitar.
Sebaliknya, dalam tatanan yang tidak adil, tidak mengindahkan HAM, globalisasi yang
berpihak pada pemilik modal, neo-liberalisme, maka ada sub-bagian masyarakat yang mesti
diperhatikan. Seorang praktisi peksos mesti melakukan advokasi terhadap setiap
pelanggaran terhadap HAM.15
Susan C. Mapp (2008) mengatakan:
14
Susan C. Mapp, “Human Right and Social Justice in a Global Perpective: an Introduction to Int’l. Social Work”, Oxford Univercity Press, 2008. 15
Iain Ferguson et.al., “Globalisation, Global Justice, and Social Work”, Routledge, London & New
York, 2005.
14
Social workers may find themselves in a bind trying to recognize both the right to one’s
culture as well as one’s human rights. George (1999) argues that human rights cannot be
both universal and culturally relevant and states that social workers have put themselves in a
dilemma by arguing for both human rights and the right to one’s own culture. For example, in
some cultures women are treated as subordinate to men, yet the UNDR states that treating
any person as less than another due to a characteristic is prohibited; it is discrimination. How
can the traditional order of a society and the UNDR16 both be respected? (p.20).
Seorang peksos mungkin bisa menemukan eksistensi mereka di dalam mengkorelasikan diri
dengan cara berusaha menghargai budaya setempat dan hak individu client. George (1999)
menjelaskan bahwa HAM tidak dapat disejajarkan baik dalam aspek universal maupun
budaya dan negara dimana peksos bekerja telah menempatkan diri dalam situasi dilemma
antara memenuhi hak individu dan nilai budaya local. Misal, beberapa budaya local
menempatkan wanita dalam peran sub-ordinat dari pria, sementara itu Deklarasi dunia
tentang HAM universal tahun 1948 menyatakan itu sebagai terlarang, tidak boleh karena
diskriminatif. Nah, bagaimana peran peksos dalam menghargai tata-nilai tradisi masyarat
tersebut daan sekaligus mewujudkan HAM universal tersebut? (hal. 20).
Lihatlah pula bagaimana Brenda L. DuBois dan Miley (2005) memaparkan eksistensi peksos
ketika maraknya ketidakadilan di dunia Barat dan bagaimana peran-peran peksos itu
menjadi semakin spesifik dengan spesifiknya permasalahan social dan ketidakadilan social.
Peksos harus concern terhadap isu ketidakadilan. Apabila peksos apriori terhadap isu-isu
ketidakadilan, maka ia akan kehilangan peran dan kemudian tidak dihargai oleh masyarakat.
BASW17 bahkan menetapkan salah satu nilai18 yang dijadikan pegangan peksos dalam
praktiknya adalah social justice (keadilan social).19
16
UNDR is Universal Declaration of Human Right. Deklarasi HAM Universal, ditetapkan pada 10 Desember 1948 di PBB. (Lihat: Susan C. Mapp, “Human Right and Social Justice in a Global Perpective: an Introduction to Int’l. Social Work”, Oxford Univercity Press, 2008, hal. 17). 17
BASW adalah British Association of Social Workers (Ikatan Profesi Peksos Inggris). 18
Lima Value (nilai) Peksos dalam BASW adalah: (i) Nilai dan Martabat Manusia, (ii) Keadilan sosial, (iii) Pelaya-nan terhadap kemanusiaan, (iv) Integritas, dan (v) Kompetensi. 19
Paul Dugmore and Jane Pickfordy, “Youth Justice and Social Work”, Learning Maters Ltd., 2007.(hal. 5).
15
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang sudah kami kemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat kami
simpulkan hal-hal sebagai berikut:
Pekerjaan social adalah profesi pertolongan yang difokuskan pada agenda hak asasi
manusia (HAM) dan ketidakadilan social, penguatan peran dan fungsi; dilakukan dengan
menggunakan teori-teori pekerjaan social, nilai dan etika, diimplementasikan dalam
program dan kegiatan nyata.
Dalam era yang mengglobal, maka eksistensi HAM terancam oleh kepentingan kapitalis
dan neo-liberalisme. Mereka merupakan “reinkarnasi” dari zaman revolusi industry
dalam baju baru; melanggengkan kekuasaan material atas kaum kecil, para buruh, dan
marjinal.
Fungsi Negara sebagai pelindung dan pensejahtera masyarakat tereduksi oleh segelitir
orang atau kelompok ini. Merekalah yang menanamkan modal demi keuntungan mereka
semata. Hal ini akan langsung atau tidak langsung bergesekan dengan HAM dan
ketidakadilan social.
Peksos harus bisa menerima bahwa dunia dengan globalisasi ekonomi akan berdampak
kepada masalah social. Maka, peksos seyogyanya mampu mempersiapkan beragam
alternative solusi bagi masalah yang akan muncul kemudian.
SARAN
1. Peksos dituntut untuk selalu meng-update informasi dan pengetahuan tentang
aspek-aspek HAM dan keadilan social serta dampak globalisasi untuk kemudian
memberikan solusinya melalui pelayanan dengan pendekatan HAM;
2. Memperkuat jaringan profesi pekerjaan social untuk mengadvokasi pemerintah,
legislative, dan dunia usaha untuk melahirkan peraturan yang mengindahkan HAM
dan memberikan peran-peran peksos dalam semua permasalahan HAM;
3. Mengingatkan dunia usaha agar aware dengan permasalahan social sebagai
dampak kegiatan ekonomi mereka. Kegiatan ekonomi mereka tidak semata-mata
menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya, namun bagaimana mampu seimbang
dan bermitra dengan semua komponen kehidupan.
16
DAFTAR PUSTAKA
BASW, “The Code of Ethics for Social Work”; downloaded from: http://cdn.basw.co.uk/
upload/basw_112315-7.pdf, at August 29th 2013
Brenda L. Dubois and Karla Krogsrud Miley, (1995): Social Work: an Empowering
Profession;
Derrick M. Nault and Shawn L. England, “Globalization and Human Right in the
Developing World”, Palgrave Mac-Millan, 2011. Downloaded from: http://bookre.org/
reader?file=1434909&pg=1 , at August 29th 2013;
IFSW, “Definition of Social Work” http://ifsw.org/policies/definition-of-social-work/,
downloaded at August 29th 2013.
Iain Ferguson et.al., “Globalisation, Global Justice, and Social Work”, Routledge,
London & New York, 2005.
Jim Ife, Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge
Univercity Press, 2008;
Paul Dugmore and Jane Pickfordy, “Youth Justice and Social Work”, Learning Maters
Ltd., 2007
Susan C. Mapp, “Human Right and Social Justice in a Global Perpective: an
Introduction to Int’l. Social Work”, Oxford Univercity Press, 2008.