HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN
TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU DI INDONESIA
TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh :
KHADZIYATUL FILDAH RUSDINA
NIM: 1113101000105
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1439 H
i
1 LEMBAR PERNYATAAN
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI
Skripsi, 5 Desember 2017
Khadziyatul Fildah Rusdina, NIM: 1113101000105
Hubungan Merokok dengan Kejadian Toleransi Glukosa Terganggu
di Indonesia Tahun 2013
xv + 140 halaman, 18 tabel, 4 bagan, 22 lampiran
2 ABSTRAK
Latar belakang: Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) merupakan suatu kondisi yang
berperan penting dalam meningkatkan prevalensi DM Tipe 2. Angka prevalensinya
baik nasional maupun global selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Salah
satu faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya TGT yaitu merokok. Merokok
dapat menyebabkan masuknya zat berupa nikotin yang dapat mengganggu fungsi
hormon insulin, sehingga insulin tidak dapat mengatur regulasi maupun metabolisme
glukosa dengan baik. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dengan desain cross sectional yang terdiri dari
22496 sampel. Adapun tujuannya ialah untuk mengetahui hubungan merokok dengan
kejadian TGT setelah dikontrol variabel confonder (umur, jenis kelamin dan
konsumsi kopi). Hasil: Berdasarkan hasil analisis, individu yang pernah merokok
memiliki risiko 2.9 untuk terjadinya TGT, risiko tersebut naik menjadi 3.9 ketika
individu masih berstatus merokok. Pada usia mulai merokok, individu yang merokok
pada rentang usia 5-19 tahun memiliki risiko 3.4 kali untuk terjadinya TGT. Durasi
merokok ≥20 tahun berisiko 1.5 kali untuk terjadinya TGT. Adapun jumlah rokok
yang dihisap ≥20 batang perhari memiliki risiko sebesar 1.1 kali untuk terjadinya
TGT dan jenis rokok yang memiliki risiko lebih terhadap kejadian TGT yaitu rokok
kretek dan cangklong. Simpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara status
merokok, usia mulai merokok, durasi merokok, jumlah rokok yang dihisap, jenis
rokok dengan kejadian TGT setelah dikontrol variabel umur, jenis kelamin dan
konsumsi kopi. Oleh karena itu, menghindari rokok bagi pelajar sejak usia anak-anak
dan remaja serta berhenti merokok bagi perokok sangat dianjurkan sebagai
pencegahan TGT.
Kata kunci: Toleransi Glukosa Terganggu, Merokok, Resistensi insulin.
Daftar bacaan: 67 (1998-2017)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
MAJOR OF PUBLIC HEALTH
EPIDEMIOLOGY DEPARTMENT
Undergraduate Thesis, 5th
Desember 2017
Khadziyatul Fildah Rusdina, NIM: 1113101000105
The Relationship Between Smoking and Impired Glucose Tolerance in
Indonesia 2013
xv + 140 pages, 18 tables, 4 figures, 22 attachments
ABSTRACT
Background: Impaired Glucose Tolerance (IGT) is an essential condition that
increases the prevalence of Diabetes Mellitus type 2. The number of prevalence in
national and global is always increasing every year. One of the risk factor of Impaired
Glucose Tolerance (IGT) is smoking. Smoking causes the entry of nicotine
substances that can distract the function of hormone insulin, so insulin can not
regulate the regulation and metabolism of glucose properly. Methods : This research
uses secondary data of Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 with cross sectional
design consisting of 22496 samples. The aim is to know the correlation between
smoking and glucose tolerance occurrence in Indonesia in 2013 after controlled by
confonder variables (age, sex and coffee consumption). Results: Based on the
analysis, individuals who has smoked has a risk of 2,9 for TGT, the risk increase to
3,9 when individuals were still smoking. At the earlier age of smoking, individuals
who smoked in the age of 10-19 has a risk of 3,4 for TGT. The risk of duration of
smoking ≥20 years is 1,5 for TGT. The amount of cigarettes smoked ≥20 cigarettes
per day has a risk of 1,1 and types of cigarettes that have a greater risk of the
incidence of TGT is kretek and cangklong. Conclusion: There is a significant
correlation between smoking status, the earlier age of smoking, duration of smoking,
number of cigarettes smoked, type of cigarette with TGT after controlled by age, sex
and coffee consumption. Therefore, avoiding tobacco use since adolescence for
student and quitting smoking for smoker are highly recommended to prevent TGT.
Keywords: Impaired Glucose Tolerance, Smoking, Insulin Resistance.
Reading list: 67 (1998-2017)
iv
3 PERNYATAAN PERSETUJUAN
v
vi
4 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Khadziyatul Fildah Rusdina
Tempat/Tanggal Lahir : Jombang/26 Juli 1996
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jombang, Jawa Timur
Nomor Handphone : 085887287807
Email : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
MI Al-Asyariyah Banjarsari
MTsN Tambakberas Jombang
MAN Tambakberas Jombang
Epidemiologi, Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vii
5 KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat sehat dan kelapangan waktu sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Skripsi yang berjudul “Hubungan Merokok dengan Kejadian Toleransi
Glukosa Terganggu di Indonesia Tahun 2013” ini disusun untuk menyelesaikan studi
S1 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini
tentunya tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis turut mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Ma’rifah, S.Pd, M.Pd, bapak Yarminanto dan keluarga yang memberikan
doa dan motivasi tanpa henti.
2. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM selaku dosen pembimbing fakultas yang telah
memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan skripsi
3. Ibu Hoirun Nisa, Ph.D selaku dosen peminatan epidemiologi yang telah
memberikan masukan pada penulis
4. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D dan ibu Dewi Utami Iriani, Ph.D selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Teman-teman seperjuangan di Epidemiologi 2013 (Roron, Mila, Fitri, Ica,
Anggi, Sabrina, Wio, Upy, Mute, Fatih, Dedes, Mbak Rina, Mbak Wanti,
Teteh, Narita, Hindun, Rista, Citra) yang selalu memberikan motivasi dan
dukungan.
7. Hamdan, Sofi, dan Asis yang menjadi teman diskusi penulis terkait kerangka
teori.
viii
8. Sahabat-sahabat Puri Laras (Sofi, Maulidah, Mila, Latifah, Nana, Afi, Luthfi,
Ririn), Keluargaku di CSSMoRA Kesmas 2013, Chirals, dan adik CSSMoRA
(Nca, Anis, Ila, Wilda, Liska, Rizki, Harismawati) yang memberikan dukungan
dan doa sampai penulis menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman HIMABI (Himpunan Mahasiswa Bahrul Ulum Ibukota) yang
senantiasa memberikan motivasi dan dukungan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Penulis
berharap isi dari skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta, Desember 2017
Penulis
ix
6 DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ i
ABSTRAK .................................................................................................................. ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN ................................................................................................... xiv
DAFTAR ISTILAH ................................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 8
1.3 Pertanyaan Penelitian ..................................................................................... 9
1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 10
1.4.1 Tujuan Umum ..................................................................................... 10
1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................... 10
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 11
1.6 Ruang Lingkup............................................................................................. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 14
2.1 Merokok ....................................................................................................... 14
2.1.1 Usia mulai merokok ........................................................................... 17
2.1.2 Jumlah rokok yang dihisap ................................................................. 20
2.1.3 Durasi merokok .................................................................................. 21
2.1.4 Jenis rokok .......................................................................................... 22
2.2 Metabolisme Glukosa .................................................................................. 24
x
2.3 Hormon yang Berperan dalam Regulasi Glukosa ........................................ 26
2.4 Mekanisme Merokok dengan Resistensi Insulin ......................................... 30
2.5 Mekanisme Kejadian Toleransi Glukosa Terganggu ................................... 32
2.6 Definisi TGT ................................................................................................ 33
2.7 Diagnosis TGT ............................................................................................. 34
2.8 Epidemiologi TGT ....................................................................................... 35
2.9 Faktor Confonder antara Hubungan Merokok dengan TGT........................ 35
2.9.1 Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi ....................................................... 36
2.9.2 Faktor yang Dapat Dimodifikasi .................................................................. 40
2.10 Pencegahan TGT .......................................................................................... 45
2.11 Fatwa Majelis Ulama tentang Rokok ........................................................... 48
2.12 Kerangka Teori ............................................................................................ 49
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS PENELITIAN .................................................................................... 51
3.1 Kerangka Konsep ......................................................................................... 51
3.2 Definisi Operasional .................................................................................... 53
3.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 55
BAB IV METODE PENELITIAN ......................................................................... 56
4.1 Desain Penelitian ......................................................................................... 56
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................................... 56
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................... 56
4.3.1 Populasi Penelitian ............................................................................. 56
4.3.2 Sampel Penelitian ............................................................................... 59
4.4 Metode Pengumpulan Data .......................................................................... 62
4.5 Instrumen Pengumpulan Data ...................................................................... 63
4.6 Manajemen data ........................................................................................... 64
4.7 Analisis Data ................................................................................................ 74
4.7.1 Analisis Univariat ............................................................................... 74
4.7.2 Uji Bivariat ......................................................................................... 75
xi
4.7.3 Uji Multivariat .................................................................................... 76
BAB V HASIL .......................................................................................................... 77
5.1 Proporsi Kejadian Toleransi Glukosa Terganggu berdasarkan Proporsi
Merokok dan Karakteristik Individu di Indonesia Tahun 2013 ................... 77
5.2 Hubungan Kejadian Toleransi Glukosa Terganggu berdasarkan Proporsi
Merokok, dan Karakteristik Individu di Indonesia Tahun 2013 .................. 80
5.3 Hubungan Merokok Setelah Dikontrol Variabel Karakteristik Individu
dengan Kejadian TGT di Indonesia Tahun 2013 ......................................... 83
5.3.1 Pemilihan Variabel Kandidat Multivariat .......................................... 84
5.3.2 Pembuatan Model Faktor Penentu...................................................... 85
5.3.3 Uji Confounding ................................................................................. 89
BAB VI PEMBAHASAN ......................................................................................... 97
6.1 Keterbatasan Penelitian ................................................................................ 97
6.2 Proporsi Kejadian Toleransi Glukosa Terganggu berdasarkan Proporsi
Merokok, dan Karakteristik Individu di Indonesia Tahun 2013 .................. 98
6.3 Hubungan Merokok Setelah Dikontrol Variabel Karakteristik Individu
dengan Kejadian TGT di Indonesia Tahun 2013 ....................................... 115
BAB VII PENUTUP ............................................................................................... 131
7.1 Simpulan .................................................................................................... 131
7.2 Saran .......................................................................................................... 132
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 135
LAMPIRAN 1 ......................................................................................................... 141
LAMPIRAN 2 ......................................................................................................... 143
LAMPIRAN 3 ......................................................................................................... 144
LAMPIRAN 4 ......................................................................................................... 147
LAMPIRAN 5 ......................................................................................................... 157
LAMPIRAN 6 ......................................................................................................... 160
xii
7 DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Batas Ambang IMT untuk Laki-laki dan Perempuan Dewasa di Asia 1 .... 41
Tabel 3.1 Definisi Operasional 1 ................................................................................ 53
Tabel 4.1 Metode dan Instrumen Pengumpulan Data 1 .............................................. 63
Tabel 4.2 Distribusi Jumlah Sampel berdasarkan Variabel Penelitian 1 .................... 69
Tabel 4.3 Perhitungan Kekuatan Uji (1-β) pada Setiap Variabel Penelitian 1 ........... 70
Tabel 4.4 Pengkodean Ulang Data Riskesdas 1 .......................................................... 72
Tabel 5.1 Proporsi Kejadian Toleransi Glukosa Terganggu berdasarkan Proporsi
Merokok dan Karakteristik Individu di Indonesia Tahun 2013 1 ................. 77
Tabel 5.2 Proporsi Jenis Rokok dengan Toleransi Glukosa Terganggu di Indonesia
Tahun 2013 1 ................................................................................................ 79
Tabel 5.3 Hasil Analisis Hubungan Merokok dengan Kejadian Toleransi Glukosa
Terganggu di Indonesia Tahun 2013 d1 ....................................................... 80
Tabel 5.4 Hasil Analisis Hubungan Jenis Rokok dengan Kejadian Toleransi Glukosa
Terganggu di Indonesia Tahun 2013 1 ......................................................... 82
Tabel 5.5 Variabel Kandidat Multivariat 1 ................................................................. 84
Tabel 5.6 Nilai P wald Hasil Analisis Multivariat antara Variabel Independen dan
Variabel Confonder dengan Variabel Dependen 1 ...................................... 85
Tabel 5.7 Hasil Analisis Multivariat antara Variabel Independen dan Variabel
Confonder dengan Variabel Dependen 1 ...................................................... 86
Tabel 5.8 Hasil Uji Confounding dengan Mengeluarkan Variabel Umur 1 ............... 89
Tabel 5.9 Hasil Uji Confounding dengan Mengeluarkan Variabel Konsumsi Kopi 1 90
Tabel 5.10 Hasil Uji Confounding dengan Mengeluarkan Variabel Jenis Kelamin 192
xiii
Tabel 5.11 Hasil Analisis Hubungan Merokok dengan Kejadian Toleransi Glukosa
Terganggu setelah Dikontrol Variabel Umur, Jenis Kelamin dan Konsumsi
Kopi di Indonesia Tahun 2013 1 ................................................................ 94
Tabel 6.1 Kadar Nikotin berdasarkan Jenis Rokok 1 ................................................ 129
xiv
8 DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori …………………………………………………………. 50
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ………………………………………........ 51
Bagan 4.1 Pengambilan Sampel Penelitian ………………………………………... 60
Bagan 4.2 Penyeleksian Data ……………………………………………………… 68
xv
9 DAFTAR ISTILAH
ADA : American Diabetes Association
ART : Anggota Rumah Tangga
ARR : Adjusted Relative Risk
Bln : Bulan
BS : Blok Sensus
Btg : Batang
DM : Diabetes Melitus
GD2PP : Gula Darah 2 Jam Paska Pembebanan
GDPT : Gula Darah Puasa Terganggu
IDF : International Diabetes Federation
IMT : Indeks Massa Tubuh
KRL : Kereta Listrik
PRR : Prevalence Relative Risk
PSP : Persetujuan Setelah Penjelasan
RT : Rumah Tangga
TGT : Toleransi Glukosa Terganggu
1
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan penyakit kronik terbanyak di seluruh dunia
dan menyerang lebih dari 15 juta orang di Amerika Serikat. Di Amerika,
proporsi penderita DM lebih dari 18,2 juta orang, dan sekitar sepertiganya tidak
mengetahui bahwa mereka menderita DM. Berdasarkan data IDF (International
Diabetes Federation), prevalensi diabetes melitus di dunia pada tahun 2012
sebanyak 371 juta orang dan mengalami peningkatan sebesar 11 juta orang di
tahun 2013. Prevalensi diabetes diprediksikan akan meningkat menjadi 552 juta
pada tahun 2030 (IDF, 2015).
Indonesia menjadi negara keempat sebagai penyandang DM terbanyak di
dunia setelah India, China, dan Amerika Serikat. Berdasarkan data riskesdas,
terjadi peningkatan kasus DM dari tahun 2007 sampai 2013 yaitu sebesar 1%
atau sekitar 1,7 juta penduduk. Prevalensi DM di Indonesia mencapai 12 juta
orang pada tahun 2013 dan WHO menyatakan bahwa diperkirakan pada tahun
2030 prevalensi DM di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Riskesdas, 2013).
Dari keseluruhan total prevalensi DM, DM tipe dua menyumbangkan sekitar
90% dari total kasus.
2
Salah satu keadaan penting yang berperan dalam meningkatkan
prevalensi DM tipe 2 yaitu semakin meningkatnya prevalensi pradiabetes.
Pradiabetes merupakan keadaan yang sangat potensial dalam menimbulkan
DM tipe 2 yang ditandai dengan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)
atau Toleransi Glukosa Terganggu (TGT). Penelitian di negara berkembang
melaporkan bahwa 9,2% populasi mengalami GDPT dan 4,3% mengalami
TGT. Prevalensi pradiabetes pada populasi di Dakota Utara sebesar 22,8%.
Prevalensi GDPT di Australia berkisar 4,5% sampai 10%, sedangkan
prevalensi pradiabetes di Jepang, Singapura, dan Afrika Selatan berkisar
antara 8,02% sampai 15,85%. Di Taiwan prevalensi pradiabetes mencapai
23,3%. Di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas biomedis tahun 2013,
diperoleh prevalensi GDPT sebesar 36% dan TGT sebesar 29,9% (Nasrul and
Sofitri, 2012).
Dari berbagai penelitian, TGT memiliki risiko lebih besar untuk
berkembang menjadi DM tipe 2 daripada GDPT dengan peningkatan risiko
sebesar 6-10% per tahunnya (Nasrul and Sofitri, 2012). Semakin meningkatnya
prevalensi TGT menjadi tantangan bagi pemerintah untuk memberikan upaya
pencegahan dan penanggulangan. Hal ini dikarenakan TGT yang tidak segera
ditanggulangi dapat menyebabkan peningkatan insidens DM tipe dua yang
nantinya dapat berkembang merusak berbagai sistem tubuh terutama saraf dan
pembuluh darah, sehingga meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung dan
stroke hingga kematian (Khalid, 2014). Padahal kondisi TGT masih bisa
3
dicegah untuk menghambat perkembangannya menjadi diabetes melitus melalui
modifikasi gaya hidup (Nasrul and Sofitri, 2012). Menurut Soewondo dan
Pramono (2011), tidak merokok memiliki kontribusi menurunkan risiko TGT
sebesar 44%.
Pada umumnya faktor risiko TGT tidak berbeda dengan diabetes tipe dua
yaitu obesitas, kurang aktivitas fisik, diet yang tidak sehat, dan riwayat diabetes
keluarga (IDF, 2015). Namun menurut Chang (2012), merokok juga termasuk
salah satu faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya TGT.
Beberapa penelitian dengan studi kohort di Korea menyebutkan bahwa
merokok memiliki hubungan yang signifikan dengan peningkatan risiko
perkembangan DM tipe 2. Merokok telah terbukti dapat menyebabkan
peningkatan konsentrasi glukosa darah dan meningkatkan resistensi insulin.
Kebiasaan merokok dapat meningkatkan radikal bebas dalam tubuh yang dapat
menganggu kerja insulin dan merusak sel beta pankreas. Merokok dapat
meningkatkan risiko TGT sebesar 1,4 kali dibanding individu yang tidak
merokok (Soewondo dan Pramono, 2011). Meskipun demikian, peningkatan
risiko kejadian TGT akibat merokok dipengaruhi oleh jumlah batang rokok
yang dihisap per hari, usia mulai merokok, durasi merokok, dan jenis rokok
yang dihisap (Chang, 2012).
Berdasarkan penelitian Marimoto 2013 dengan menggunakan desain studi
case series menyebutkan bahwa individu yang merokok 1 sampai 20 pack
pertahun berisiko mengalami resistensi insulin sebesar 17% kali dibanding
4
bukan perokok dan risiko meningkat 2% pada perokok yang merokok 20
sampai 30 pack pertahun dan 3% pada perokok yang menghabiskan 30 pack
rokok dalam satu tahun. Penelitian Mosson dan Milnerowicz (2017) dengan
desain metaanalisis menunjukkan beberapa penelitian yang menyebutkan
merokok 10-19 batang perhari berisiko 1,84 kali terjadinya TGT dan meningkat
menjadi 1,87 kali saat merokok 20 batang atau lebih. Individu yang merokok
lebih dari 30 batang per hari meningkatkan risiko sebesar 23% untuk terjadinya
TGT. Banyaknya jumlah batang yang dihisap setiap harinya akan berpengaruh
terhadap kadar nikotin dalam darah. Hal ini sesuai dengan teori dose respons
relationship yaitu semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap maka
nikotin dalam darah juga semakin banyak. Kadar nikotin yang banyak juga
berpengaruh pada banyaknya pelepasan hormon kortisol. Hormon kortisol
merupakan antagonis insulin. Hormon inilah yang memicu pemecahan glukosa
terus menerus. Apabila hal ini terjadi terus menerus maka kerja insulin akan
terganggu (Sherwood, 2012).
Selain banyaknya nikotin, lama pajanan nikotin juga berpengaruh
terhadap kerja insulin, sehingga durasi merokok juga berkontribusi terhadap
kejadian TGT. Pada durasi merokok, penelitian dengan desain studi case
control menyebutkan bahwa individu yang merokok selama kurang dari 10
tahun berisiko 2,48 kali mengalami pradiabetes dan risiko meningkat menjadi
7,67 kali apabila merokok selama 11 sampai 20 tahun dan meningkat menjadi
12,86 apabila merokok selama lebih dari 20 tahun (Venkatachalam dkk., 2012).
5
Semakin lama individu merokok maka semakin banyak radikal bebas yang
terakumulasi dalam tubuh. Zat-zat tersebut yang nantinya dapat menganggu
kerja insulin dan merusak sel beta pankreas, sehingga menyebabkan produksi
insulin menjadi berkurang dan mengakibatkan kadar gula dalam darah tidak
terkontrol (Sherwood, 2012).
Selain itu, durasi merokok juga dapat berpengaruh pada masa tubuh.
Individu yang merokok mengalami penurunan indeks massa tubuh. Hal ini
diakibatkan terjadinya penekanan respon lapar, dikarenakan saat merokok
terjadi pemecahan glukosa sehingga sel merasa tubuh masih bisa mencukupi
kebutuhan glukosa sendiri, akibatnya tubuh tidak memberikan sinyal lapar
ketika seseorang merokok (Kamaura dkk., 2011). Namun, penelitian lain justru
menyebutkan bahwa semakin lama individu merokok maka semakin berisiko
terhadap obesitas. Paparan nikotin dapat mengaktivasi ekspresi gen yang
bertanggungjawab atas penyimpanan lemak. Obesitas pada perokok inilah yang
juga menjadi faktor yang mempercepat untuk terjadinya TGT (Chiolero dkk.,
2008).
Penelitian Kim dkk., (2014) menyebutkan bahwa usia mulai merokok di
Amerika dan di Korea yaitu dimulai pada usia kurang dari 16 tahun. Di
Indonesia, berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 diketahui bahwa usia mulai
merokok setiap hari terdapat pada kelompok umur 10-14 tahun. Adapun
insidens TGT di Indonesia dimulai dari rentang usia 15 sampai 24 tahun. Hasil
penelitian Kim dkk., (2014) dengan desain studi cross sectional pada pria
6
Amerika dan Korea Selatan menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
usia mulai merokok dengan kejadian TGT. Pada penelitian tersebut usia mulai
merokok kurang dari 16 tahun memiliki risiko 24% untuk terjadinya TGT
dibanding bukan perokok. Usia mulai merokok juga berkaitan dengan durasi
merokok. Ketika individu lebih cepat terpapar oleh asap rokok maka tubuh
akan menyimpan nikotin dalam darah terlebih dulu. Akumulasi radikal bebas
dalam tubuh ini dapat memicu terjadinya stres oksidatif, dimana stres oksidatif
ini dapat menyebabkan apoptosis sel beta pankreas yang merupakan sel
penghasil insulin akibatnya insulin yang dihasilkan tidak optimal (Bajaj, 2012).
Di Indonesia terdapat beberapa Jenis rokok yang dihisap diantaranya
rokok kretek, rokok putih, rokok linting atau cerutu, dan rokok cangklong.
Rokok kretek merupakan rokok yang paling berbahaya diantara jenis rokok
yang lain. Rokok kretek terdiri dari 30-40% zat adiktif, sedangkan rokok putih
memiliki kadar zat adiktif yang lebih rendah dibanding rokok kretek karena
tidak memiliki kandungan cengkeh yang merupakan penghasil tar dan memiliki
filter di ujung batang rokok. Untuk rokok linting dan cerutu memiliki kesamaan
yaitu berisi tembakau yang digulung (Kemenkes, 2012). Seperti penjelasan
sebelumnya bahwa semakin banyak nikotin yang masuk dalam darah maka
semakin banyak zat kotinin yang menstimulus pengeluaran hormon kortisol.
Efek yang ditimbulkan yaitu pemecahan glukosa terus menerus. Selain itu,
kotinin dapat memicu apoptosis dari sel beta pankreas sehingga proses produksi
insulin menjadi terganggu. Apabila hormon kortisol bekerja terus menerus
7
untuk memecah glukosa dan tidak disertai dengan pengeluaran insulin yang
cukup untuk mengaturnya maka kadar glukosa dalam tubuh menjadi tidak
terkontrol. Insulin yang berperan sebagai kunci bagi glukosa untuk masuk
dalam sel juga tidak berfungsi dengan optimal sehingga glukosa hasil
pemecahan dari rangsangan hormon kortisol tersebut menumpuk dalam darah
(Sherwood, 2012).
Indonesia merupakan negara berkembang yang berpotensi mengalami
peningkatan insidens TGT. Berdasarkan hasil riskesdas biomedis tahun 2013,
diketahui prevalensi TGT sebesar 26,6% atau lebih dari seperempat jumlah
penduduk. Jika dibandingkan dengan Riskesdas 2007, maka terjadi peningkatan
insidens TGT sebesar 2,5%. Menurut ADA (2010) hal ini kemungkinan
disebabkan oleh perilaku merokok pria. Karena merokok merupakan faktor
langsung yang dapat menyebabkan resistensi insulin. Menurut WHO (2011),
Indonesia menjadi negara dengan prevalensi perokok terbanyak di ASEAN dan
terbanyak kedua di dunia (33%).
Berdasarkan data riskesdas 2013 juga diketahui bahwa proporsi merokok
di Indonesia sebesar 29,3% dan paling banyak berada di usia 30-34 tahun
dengan usia termuda perokok yaitu kelompok usia 10 sampai 14 tahun. Selain
itu terdapat 15 provinsi dengan proporsi merokok setiap hari di atas rata-rata
Indonesia. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa kandungan nikotin dalam
rokok dapat menyebabkan gangguan kerja insulin yang dapat berakibat pada
peningkatan kadar glukosa darah . Berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa
8
darah 2 jam paska pembebanan, sebagian besar dari penduduk yang diperiksa
gula darah tersebut tidak pernah didiagnosis DM oleh tenaga kesehatan,
sehingga hal ini bermanfaat sebagai upaya deteksi dini.
Riskesdas merupakan penelitian survei komunitas dengan skala nasional
dengan pengukuran penyakit tidak menular salah satunya pemeriksaan TGT
dan perilaku individu seperti konsumsi rokok. Hal tersebut memungkinkan
peneliti untuk melihat risiko yang ditimbulkan oleh merokok dengan kejadian
TGT di Indonesia. Sampai saat ini penelitian lanjut dari hasil Riskesdas
mengenai merokok dengan TGT di Indonesia belum pernah dilakukan.
Berdasarkan hasil cleaning data Riskesdas 2013, diperoleh persentase sampel
yang dapat dianalisis sebesar 94% yaitu 22.496 dari 23.893 sampel. Oleh
karena itu, dengan tersedianya data mengenai merokok dan TGT pada riskesdas
2013, penelitian mengenai hubungan merokok dengan kejadian TGT di
Indonesia penting dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
TGT merupakan salah satu kondisi yang berpotensi untuk berkembang
menjadi DM. Prevalensi TGT terus meningkat baik ditingkat nasional maupun
global. Sampai saat ini prevalensi TGT di Indonesia mencapai lebih dari
seperempat jumlah penduduk atau sekitar 52 juta penduduk. Padahal kondisi
TGT dapat dicegah dan ditanggulangi terlebih dahulu untuk mencegah dan/atau
menurunkan risiko berkembang menjadi DM. Salah satu faktor yang dapat
9
dilakukan dalam menurunkan risiko perkembangan TGT menjadi DM yaitu
modifikasi gaya hidup. Gaya hidup yang erat kaitannya dengan resistensi
insulin yaitu merokok. Hasil riskesdas 2013 terdapat satu per empat lebih
(29,3%) masyarakat Indonesia merupakan perokok. Dari seperempat tersebut,
26,7% merupakan penderita TGT. Hal ini menunjukkan Indonesia berpotensi
mengalami peningkatan insidens TGT. Peningkatan risiko TGT pada
masyarakat yang merokok tentunya dipengaruhi juga oleh usia mulai merokok,
durasi merokok, banyaknya batang rokok yang dihisap dalam sehari, dan jenis
rokok yang dihisap. Oleh karena itu, untuk melihat risiko merokok dengan
kejadian TGT di indonesia, penelitian mengenai hubungan merokok dengan
kejadian TGT di Indonesia penting dilakukan.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana proporsi kejadian TGT berdasarkan proporsi merokok (status
merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, durasi merokok
dan jenis rokok) dan karakteristik individu (umur, jenis kelamin dan
konsumsi kopi) di Indonesia tahun 2013?
2. Bagaimana hubungan merokok (status merokok, usia mulai merokok,
jumlah rokok yang dihisap, durasi merokok dan jenis rokok) dan variabel
karakteristik individu (umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi) dengan
kejadian TGT di Indonesia tahun 2013?
10
3. Bagaimana hubungan merokok (status merokok, usia mulai merokok,
jumlah rokok yang dihisap, durasi merokok dan jenis rokok) setelah
dikontrol variabel karakteristik individu (umur, jenis kelamin dan konsumsi
kopi) dengan kejadian TGT di Indonesia tahun 2013?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan merokok dengan kejadian toleransi glukosa
terganggu (TGT) di Indonesia tahun 2013.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya proporsi kejadian TGT berdasarkan proporsi merokok
(status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap,
durasi merokok dan jenis rokok) dan karakteristik individu (umur,
jenis kelamin dan konsumsi kopi) di Indonesia tahun 2013.
2. Diketahuinya hubungan merokok (status merokok, usia mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap, durasi merokok dan jenis
rokok) dan variabel karakteristik individu (umur, jenis kelamin dan
konsumsi kopi) dengan kejadian TGT di Indonesia tahun 2013.
3. Diketahuinya hubungan merokok (status merokok, usia mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap, durasi merokok dan jenis
rokok) setelah dikontrol variabel karakteristik individu (umur, jenis
11
kelamin dan konsumsi kopi) dengan kejadian TGT di Indonesia
tahun 2013.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Hasil penelitian dapat menjadi bahan rekomendasi terkait pengaruh
merokok dengan kejadian TGT, sehingga diharapkan ada kebijakan dan
program edukasi tentang perilaku merokok dan kaitannya dengan TGT.
Diharapkan kedepannya terjadi peningkatan upaya deteksi dini dan
perubahan penurunan kebiasaan merokok masyarakat Indonesia, sehingga
kejadian TGT dapat dideteksi dan ditanggulangi terlebih dulu supaya tidak
berkembang menjadi DM tipe dua. Pada akhirnya outcome yang diharapkan
yaitu menurunkan insidens DM tipe dua di Indonesia.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
Banlitbangkes terkait referensi penelitian mengenai TGT dan saran maupun
kritik instrumen penelitian untuk memperbaiki program survei nasional
kedepannya.
12
3. Masyarakat Indonesia
Penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan untuk memperbanyak
pengetahuan masyarakat terkait perilaku merokok dengan kejadian TGT.
Selain itu, menjadi stimulus masyarakat agar melakukan deteksi dini kadar
glukosa darah, terutama pemeriksaan kadar gula darah 2 jam paska
pembebanan untuk mendeteksi terlebih dulu kejadian TGT agar dapat
melakukan pengendalian sejak awal.
4. Institusi Pendidikan
Sebagai bahan dalam pembuatan peraturan sekolah terkait perilaku
merokok agar siswa dan siswi mengetahui bahaya merokok dan tidak
merokok sejak dini.
5. Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai dasar dalam
penelitian selanjutnya terkait risiko merokok terhadap kejadian TGT dengan
desain studi yang berbeda dan dengan menyertakan variabel-variabel yang
lain untuk melakukan kontrol atau mengetahui risiko yang lebih dominan.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini termasuk dalam penelitian epidemiologi analitik dengan
desain studi cross sectional analitik yang bertujuan untuk mengetahui
13
hubungan merokok dengan Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) di Indonesia
pada tahun 2013. Penelitian ini merupakan analisis lanjut dari data sekunder
Riskesdas tahun 2013. Variabel dalam penelitian ini meliputi status merokok,
usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, durasi merokok, jenis rokok,
umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi. Analisis lanjut univariat, bivariat dan
multivariat dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2017.
14
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Merokok
Menurut Chang (2012), merokok juga termasuk salah satu faktor yang
berperan penting dalam meningkatkan risiko pemkembangan diabetes melitus.
Merokok telah terbukti dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa
darah dan meningkatkan resistensi insulin. Kebiasan merokok dapat
meningkatkan radikal bebas dalam tubuh yang dapat merusak sel beta pankreas.
Merokok dapat meningkatkan risiko TGT sebesar 3 kali dibanding individu yang
tidak merokok (Bener,2009). Meskipun demikian, peningkatan risiko kejadian
TGT akibat merokok dipengaruhi oleh durasi merokok, jumlah rokok yang
dihisap dan jenis rokok yang dihisap (Chang, 2012).
Berdasarkan Kemenkes (2012), terdapat beberapa kandungan rokok yang
berbahaya bagi tubuh diantaranya yaitu nikotin, tar, karbon monoksida (CO),
timah hitam (Pb) dan lain lain.
1. Nikotin
Nikotin merupakan zat adiktif dan beracun. Nikotin yang dihirup
masuk ke dalam paru dan masuk ke aliran darah dan sampai pada otak dalam
tempo 7-10 detik. Nikotin mempengaruhi sejumlah hormon dan
neurotransmitter seperti dopamin, adrenalin dan insulin. Nikotin membuat
15
individu merasa relax sehingga hal ini juga yang membuat individu memiliki
ketergantungan dengan rokok. Dalam satu batang rokok terdapat sekitar 8-20 mg
nikotin. Maksimum dosis pada manusia yaitu 60 mg. Semakin banyak rokok yang
dihisap maka semakin banyak pula akumulasi nikotin dalam tubuh. Nikotin dapat
terakumulasi dalam hati, ginjal, lemak dan paru-paru. Nikotin menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan glukosa darah. Nikotin dalam tubuh akan berusaha
dikeluarkan kembali melalui urin sebesar 80% dan 20% masih berada dalam tubuh
(Steptoe and Ussher, 2006).
Nikotin merupakan zat adiktif sehingga tubuh berusaha untuk menghapus
jejak nikotin dan menstabilkan metabolisme tubuh. Hal ini ditunjukkan dengan
pelepasan hormon kortisol yang merupakan salah satu hormon stres. Akan tetapi
hal ini justru berakibat pada peningkatan glukosa darah dikarenakan hormon
kortisol bertugas untuk merangsang proses glikogenolisis di hati dan
glukoneogenesis di otot dan lemak akibatnya kerja insulin menjadi terganggu.
Apabila individu merokok setiap hari maka kortisol juga akan bekerja terus
menerus akibatnya insulin lama kelamaan tidak mampu mengontrol glukosa darah
yang pelepasannya dipicu oleh hormon kortisol sehingga glukosa dalam darah
akan meningkat (Steptoe dan Ussher, 2006).
2. Tar
Tar merupakan zat karsinogen yang berwarna coklat tua atau hitam. Tar ini
bersifat lengket dan dapat menempel pada paru. Adanya kandungan tar dalam
tubuh dapat ditandai dengan warna gigi dan kuku perokok yang kecoklatan. Tar
16
mengganggu kerja mukosa silia yang merupakan pertahanan utama dalam
melawan infeksi. Penumpukan tar dalam tubuh dapat meningkatkan radikal bebas.
Radikal bebas ini akan memicu keluarnya hormon kortisol yang merupakan
pemicu untuk meningkatkan glukosa darah. Kortisol yang keluar terus menerus
akan mengganggu kerja insulin (Kemenkes, 2012).
3. Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida adalah zat beracun yang tidak memiliki bau dan warna.
Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari zat arang atau karbon.
Gas CO dari sebatang rokok bisa mencapai 3-6% dan dapat dihisap oleh siapa saja.
Zat ini memiliki kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat didalam sel
darah merah. Ketika semakin banyak individu menghisap rokok maka sel darah
merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut CO bukan O2. Jika
kadar CO dalam darah berlebihan maka oksigen dalam darah akan turun drastis.
Dengan demikian jaringan tubuh akan mengalami hipoksia. Apabila hipoksia ini
menyerang otak maka akan terjadi gangguan sususan saraf pusat, sedangkan saraf
pusat merupakan pengendali dari aktivitas-aktivitas hormon dalam tubuh.
Akibatnya pelepasan hormon juga akan terganggu apabila terjadi hipoksia pada
otak. Hormon sangat erat kaitannya dengan metabolisme tubuh khususnya
metabolisme glukosa (Kemenkes, 2012).
17
4. Timah hitam (Pb)
Timah hitam merupakan partikel asap rokok. Setiap satu batang rokok
mengandung 0,5 mikrogram timah hitam. Bila individu menghisap 1 bungkus
rokok per hari berarti menghasilkan 10 mikrogram, sedangkan batas bahaya Pb
dalam tubuh adalah 20 mikrogram/hari (Kemenkes, 2012).
Akumulasi zat-zat adiktif dari rokok sesuai dengan teori dose respons relationship
yaitu semakin banyak rokok yang dihisap maka semakin banyak pula zat nikotin yang
masuk ke dalam darah (Kamaura dkk., 2011). Selain itu semakin lama individu merokok
tentunya juga semakin banyak akumulasi zat nikotin dalam tubuh. Berikut adalah
penjelasannya.
2.1.1 Usia mulai merokok
Penelitian Kim dkk., (2014) menyebutkan bahwa usia mulai merokok di
Amerika dan di Korea yaitu dimulai pada usia kurang dari 16 tahun. Di Indonesia,
berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 diketahui bahwa usia mulai merokok setiap
hari terdapat pada kelompok umur 10-14 tahun. Adapun insidens TGT di Indonesia
dimulai dari rentang usia 15 sampai 24 tahun (Riskesdas, 2013). Usia 15 sampai 24
tahun masuk pada kelompok usia remaja awal dimana pada usia tersebut remaja,
individu dituntut untuk mandiri dan memiliki prinsip sesuai dengan tujuan
hidupnya.
Selain itu masa remaja merupakan masa dimana individu dituntut untuk
melepaskan ketergantungannya pada orang tua. Pada masa ini pun, teman pergaulan
18
sangat berpengaruh dalam mengubah perilaku individu, dan solidaritas kelompok
sangat diutamakan. Hal ini ditentukan dari seberapa banyak ia mau untuk
melakukan hal sesuai dengan kelompoknya lakukan. Apabila dia masuk pada
kelompok dengan sebagian besar merokok, karena solidaritas kelompok inilah
individu remaja merasa juga harus melakukannya (Widiansyah, 2014). Individu
yang mula-mula merokok bisa bukan karena keinginannya sendiri akan tetapi
karena tidak ingin dianggap orang asing dalam kelompoknya. Karena rokok
memiliki zat nikotin yang memiliki sifat ketergantungan maka lama-kelamaan dia
merokok karena paksaan dari dalam dirinya sendiri.
Menurut Molina (2017), remaja merupakan masa dimana individu memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi. Akan tetapi, rasa ingin tahu tersebut juga bisa
berdampak negatif apabila tidak didasari dengan pengetahuan dan pemahaman yang
baik. Rasa ingin tahu tersebut mendorong remaja untuk melakukan perilaku yang
orang dewasa lakukan. Seperti merokok, perilaku merokok menjadikan simbol
sebuah kematangan, kedewasaan dan daya tarik bagi lawan jenis. Melalui merokok,
remaja akan tampak bebas dan dewasa saat mereka bergabung dan menyesuaikan
diri dengan teman-teman sebaya yang merokok. Hal ini juga disebut dengan
konformitas.
Konformitas merupakan perubahan perilaku sebagai akibat dari pengaruh
sosial berupa tekanan kelompok maupun norma-norma dalam kelompok. Menurut
Baron dkk., (2008), manusia cenderung mengikuti aturan-aturan yang ada dalam
lingkungannya dan konformitas memberikan suatu tekanan yang kuat, sehingga
usaha untuk menghindari situasi ini dapat menenggelamkan nilai-nilai personalnya.
19
Sebagai contoh remaja memiliki kelompok teman bergaul yang seluruh anggotanya
merokok. Secara tidak langsung terdapat suatu tekanan yang mendorong remaja
tersebut untuk melakukan hal serupa. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka ia
akan kehilangan rasa simpati dari kelompoknya dan kemudian perlahan akan dijauhi
karena dianggap tidak mengikuti aturan-aturan dalam kelompok. Oleh karena itu,
masa remaja ini perlu mendapat perhatian khusus karena berkaitan dengan usia
mulai merokok individu. Dimana menurut Pan dkk., (2015), semakin muda usia
individu saat mulai merokok, maka semakin sulit untuk berhenti merokok.
Setelah diketahuinya usia mulai merokok ini dapat dilakukan pemetaan
kelompok usia berisiko terhadap awal mula perilaku merokok sehingga dapat
dilakukan upaya promosi kesehatan sedini mungkin bagi remaja. Program ini sangat
diperlukan bagi remaja untuk memberikan pengetahuan bagi dirinya. Pemberian
edukasi dapat dilaksanakan melalui kegiatan di sekolah maupun pendekatan pada
orang tua. Sekolah merupakan salah satu tempat yang dapat membentuk kepribadian
individu. Kepribadian inilah yang menentuka perilaku dan mutu dari dirinya sendiri.
Pengetahuan yang cukup terhadap kesehatan akan mendorong individu untuk
berperilaku sehat .
Hasil penelitian Kim dkk., (2014) dengan desain studi cross sectional pada
pria Amerika dan Korea Selatan menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
usia mulai merokok dengan kejadian TGT. Pada penelitian tersebut usia mulai
merokok kurang dari 16 tahun memiliki risiko 24% untuk terjadinya TGT dibanding
bukan perokok. Usia mulai merokok juga berkaitan dengan durasi merokok. Ketika
individu lebih cepat terpapar oleh asap rokok maka tubuh akan menyimpan nikotin
20
dalam darah terlebih dulu. Akumulasi radikal bebas dalam tubuh ini dapat memicu
terjadinya stres oksidatif, dimana stres oksidatif ini dapat menyebabkan apoptosis
sel beta pankreas yang merupakan sel penghasil insulin akibatnya insulin yang
dihasilkan tidak optimal (Bajaj, 2012). Selain usia mulai rokok, jumlah batang
rokok yang dihisap perharinya tentunya memiliki kontribusi terhadap kejadian TGT.
2.1.2 Jumlah rokok yang dihisap
Teori dose respons relationship menyatakan bahwa semakin banyak pajanan
yang masuk ke dalam tubuh maka semakin tinggi pula risikonya dan semakin berat
pula efek yang ditimbulkan (Kamaura dkk., 2011). Jumlah rokok yang dihisap
sejalan dengan teori tersebut yaitu semakin banyak jumlah batang rokok yang
dihisap maka nikotin dalam darah juga semakin banyak. Kadar nikotin yang banyak
juga berpengaruh pada banyaknya pelepasan hormon kortisol.
Hormon kortisol merupakan hormon antagonis insulin. Hormon inilah yang
memicu pemecahan glukosa terus menerus. Apabila hal ini terjadi terus menerus
maka kerja insulin akan terganggu (Sherwood, 2012). Akibatnya sel beta pankreas
akan merespon dengan memproduksi dan melepaskan insulin lebih banyak lagi.
Akan tetapi karena aktivitas insulin sudah terganggu oleh adanya sehingga kinerja
insulin juga menurun. Akibatnya pemecahan glukosa yang seharusnya dapat
digunakan sel untuk menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan makanan
menjadi tidak terpakai dan tersebar dalam aliran darah, sehingga glukosa darah
meningkat.
21
Menurut kemenkes RI tahun 2012, jenis perokok dibagi menjadi tiga yaitu
perokok ringan (1-10 batang perhari), perokok sedang (11-20 batang perhari) dan
perokok berat lebih dari 20 batang perhari. Berdasarkan penelitian Venkatachalam
dkk., 2012 dengan menggunakan desain studi case contol menyebutkan bahwa
individu yang merokok kurang dari 10 batang perhari berisiko mengalami TGT
sebesar 3,07 kali dibanding bukan perokok dan perokok yang merokok lebih dari 10
batang perhari berisiko 7,15 kali untuk terkena TGT. Penelitian Mosson dan
Milnerowicz (2017) menyebutkan bahwa adanya peningkatan risiko sebesar 2
sampai 3 kali pada individu yang merokok lebih dari 20 batang sehari untuk
mengalami gangguan TGT.
2.1.3 Durasi merokok
Selain banyaknya nikotin, lama pajanan nikotin juga berpengaruh terhadap
kerja insulin, sehingga durasi merokok juga berkontribusi terhadap kejadian TGT.
Semakin lama individu merokok maka semakin banyak radikal bebas yang
terakumulasi dalam tubuh. Zat-zat tersebut yang nantinya dapat menganggu kerja
insulin dan merusak sel beta pankreas, sehingga menyebabkan kadar gula dalam
darah tidak terkontrol.
Pada durasi merokok, penelitian dengan desain studi case control
menyebutkan bahwa individu yang merokok selama kurang dari 10 tahun berisiko
2,48 kali mengalami pradiabetes dan risiko meningkat menjadi 7,67 kali apabila
merokok selama 11 sampai 20 tahun dan meningkat menjadi 12,86 apabila merokok
selama lebih dari 20 tahun (Venkatachalam dkk., 2012).
22
2.1.4 Jenis rokok
Di Indonesia terdapat beberapa jenis rokok diantara yaitu rokok kretek, rokok
putih, rokok linting, dan cangklong atau cerutu (Kemenkes, 2012).
a. Rokok Kretek
Rokok kretek mengandung 60-70% tembakau, 30-40% cengkeh dan zat
adiktif lainnya. Rokok ini mengandung nikotin, tar, dan karbon monoksida
yang lebih banyak dari jenis rokok lainnya. Rokok kretek memiliki ciri tidak
adanya filter atau sejenis gabus diujung rokok batang rokok. Akan tetapi, akhir-
akhir ini terdapat produk baru dari rokok kretek yang memiliki filter di ujung
batangnya. Sehingga yang membedakan antara rokok kretek dan rokok putih
adalah bukan dari ada tidaknya filter di ujung batang rokok, tetapi dari ada
tidaknya campuran cengkeh dalam rokok tersebut karena rokok putih
merupakan jenis rokok tanpa campuran cengkeh.
b. Rokok Putih
Rokok putih adalah jenis rokok yang tidak memiliki campuran cengkeh.
Jenis ini memiliki filter di ujung batang rokok. Rokok ini sering disebut dengan
mild. Rokok ini memiliki kandungan nikotin yang lebih rendah dibanding rokok
kretek dan rokok pada umumnya.
c. Rokok linting
Seperti namanya rokok linting merupakan gulungan utuh dari daun
tembakau yang dikeringkan dan difermentasikan. Rokok ini dianggap kurang
23
berbahaya oleh masyarakat sehingga banyak anak kecil yang mengkonsumsi
rokok jenis ini. Padahal rokok linting memiliki kandungan zat adiktif yang
sama berbahayanya dengan rokok yang lain.
d. Cangklong atau cerutu
Kandungan tembakau dari rokok jenis cangklong atau cerutu lebih
banyak dibandingkan jenis lainnya, seringkali cerutu hanya mengandung
tembakau saja.
Seperti penjelasan sebelumnya bahwa semakin banyak nikotin yang masuk
dalam darah maka semakin banyak zat kotinin yang menstimulus pengeluaran
hormon kortisol. Efek yang ditimbulkan yaitu pemecahan glukosa terus menerus.
Selain itu, kotinin dapat memicu apoptosis dari sel beta pankreas sehingga proses
produksi insulin menjadi terganggu. Apabila hormon kortisol bekerja terus menerus
untuk memecah glukosa dan tidak disertai dengan pengeluaran insulin yang cukup
untuk mengaturnya maka kadar glukosa dalam tubuh menjadi tidak terkontrol. Insulin
yang berperan sebagai kunci bagi glukosa untuk masuk dalam sel juga tidak berfungsi
dengan optimal sehingga glukosa hasil pemecahan dari rangsangan hormon kortisol
tersebut menumpuk dalam darah (Sherwood, 2012).
Aktivitas merokok merupakan suatu aktivitas menghisap batang rokok yang
didalamnya terdapat berbagai macam jenis zat adiktif yang tentunya berbahaya bagi
tubuh karena mengganggu metabolisme tubuh secara normal. Normalnya, hormon
insulin dalam tubuh yang bertugas sebagai pengatur penyerapan, pemakaian dan
24
penyimpanan glukosa sudah bisa bekerja dengan baik sesuai dengan kadarnya
walaupun pada hakikatnya insulin memiliki banyak hormon-hormon antagonis yang
ketika keseimbangannya tidak terjaga dengan baik maka kerja insulin juga akan
terganggu. Berikut adalah penjelasan mengenai metabolism glukosa secara normal
dan hormon-hormon yang berpengaruh terhadap regulasi glukosa.
2.2 Metabolisme Glukosa
Terdapat beberapa jenis metabolisme glukosa dalam tubuh. Diantaranya yaitu
glikolisis, glikogenesis, glikogenolisis dan glukoneogenesis dkk., 2009).
1. Glikolisis
Glikolisis merupakan tahap pertama metabolisme karbohidrat. Glikolisis
terjadi pada sitosol di semua sel. Glikolisis merupakan tahap pemecahan glukosa
menjadi piruvat dan laktat. Selanjutnya piruvat dioksidasi menjadi asetil KoA.
Akhirnya asetil KoA masuk ke dalam rangkaian siklus asam sitrat untuk
dikatabolisir menjadi energi. Proses ini terjadi jika tubuh membutuhkan energi
untuk beraktivitas. Jika tubuh memiliki glukosa melampaui kebutuhan energi,
maka kelebihan glukosa akan disimpan dalam bentuk glikogen. Proses ini
kemudian disebut dengan glikogenesis.
2. Glikogenesis
Glikogenesis merupakan suatu proses perubahan glukosa menjadi
glikogen. Glikogen merupakan bentuk simpanan utama karbohidrat dalam tubuh
terutama di hati dan otot. Glikogen otot berfungsi untuk proses glikolisis dalam
25
otot itu sendiri, sedangkan glikogen hati berhubungan dengan simpanan dan
pengiriman heksosa keluar untuk mempertahankan kadar glukosa darah. Apabila
glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat mencukupi kebutuhan, maka
glikogen harus dipecah untuk mendapatkan glukosa sebagai sumber energi.
Proses ini disebut dengan glikogenolisis.
3. Glikogenolisis
Glikogenolisis adalah proses pemecahan glikogen menjadi glukosa ketika
asupan makanan tidak dapat mencukupi kebutuhan glukosa tubuh.
4. Glukoneogenesis
Glukoneogenesis merupakan tahapan pembentukan glukosa dari
senyawa-senyawa non karbohidrat seperti lemak mapun protein. Proses ini
terjadi jika sumber energi karbohidrat tidak tersedia lagi. Ketika karbohidrat
tidak tersedia, maka tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energi. Jika
lemak juga tidak tersedia, maka tubuh menggunakan protein sebagai sumber
energi.
Secara umum metabolisme glukosa di dalam tubuh dibagi menjadi dua yaitu
pada saat puasa dan pada saat individu telah mengkonsumsi makanan. Setelah
individu makan, maka makanan yang dicerna dalam usus akan diurai dan dipecah
sehingga menghasilkan glukosa. Proses yang terjadi setelah individu mengkonsumsi
makanan yaitu glikogenesis yaitu pembentukan glikogen. Proses glikogenesis ini
26
terjadi pada otot, lemak dan hepar. Pada kondisi ini insulin bertugas untuk
merangsang pembentukan glikogen. Sedangkan pada saat puasa, proses yang terjadi
yaitu proses pemecahan glukosa atau yang disebut dengan glikogenolisis dan
glukoneogenesis. Proses tersebut dipicu oleh hormone glucagon. Pada tahap ini
insulin tetap bekerja yaitu dengan mensupresi pelepasan glukagon apabila glukosa
dalam sel sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Proses ini terjadi terus
menerus dan berkesinambungan apabila tidak adanya zat-zat lain atau nutrisi lain
yang menganggu aktivitas insulin. Akan tetapi, metabolism ini berbeda jika dalam
tubuh individu terdapat kandungan nikotin karena ada hormon lain yang bertugas
untuk merespon nikotin dalam tubuh, dimana kerja hormon ini dapat mengganggu
kerja insulin. Berikut adalah hormon yang bertugas dalam regulasi glukosa dalam
tubuh.
2.3 Hormon yang Berperan dalam Regulasi Glukosa
Dalam tubuh manusia, terdapat beberapa hormon yang berperan dalam regulasi
glukosa diantaranya yaitu insulin, glukagon, amilin, epinefrin, kortisol, dan growth
hormone. Hormon regulator ini berperan dalam menstabilkan kadar glukosa dalam
sirkulasi (Sherwood, 2012).
1. Insulin
Hormon yang disekresi oleh sel beta pankreas yang memiliki tiga fungsi
yaitu memberikan sinyal pada sel-sel di jaringan perifer untuk pengambilan
glukosa biasanya pada jaringan lemak dan otot. Kedua, insulin bekerja di hati
27
untuk memicu proses glikogenesis dan ketiga, sekresi glukagon oleh sel beta
pankreas akan terus diinhibisi untuk menghentikan proses glikogenolisis dan
glukoneogenesis. Ketiga cara ini pada akhirnya akan menurunkan kadar glukosa
darah. Selain itu, insulin juga berperan dalam menstimulasi sintesis lemak,
memicu penyimpanan trigliserida di dalam jaringan lemak, memicu sintesis
protein di dalam hati dan otot , serta membantu prosesproliferasi jaringan yang
sedang berkembang.
2. Glukagon
Glukagon merupakan hormon yang juga disekresikan oleh sel alfa
pankreas. Hormon ini memiliki peran yang berkebalikan dengan insulin.
Glukagon berperan besar dalam mempertahankan kadar glukosa darah saat
berpuasa ataupun saat tidak mengkonsumsi makanan dengan cara menstimulasi
produksi glukosa dari hati melalui proses glikogenolisis da glukoneogenesis.
Glukosa yang dihasilkan dari hati akan mempertahankan konsentrasi basal
glukosa dalam rentang normal saat berpuasa. Apabila glukosa darah menurun di
bawah rentang normal, maka akan memicu sekresi glukagon dan selanjutnya
produksi glukosa dari hati akan menstabilkan kembali kadar glukosa darah. Jika
kadar glukosa darah normal maka hal ini tidak akan terjadi karenaa sekresi
glukagon telah dihambat oleh kerja insulin.
28
3. Epinefrin
Hormon epinefrin berfungsi meningkatkan proses glikogenolisis,
glukoneogenesis dan sekresi glukagon. Hormon ini menstimulasi simpatis saat
stres dan olahraga. Tugasnya yaitu menyediakan energi dalam keadaan darurat
dan olahraga.
4. Kortisol
Pengaruh utama kortisol adalah pada metabolisme glukosa di dalam tubuh.
Kortisol berfungsi untuk meningkatkan kadar glukosa di dalam tubuh dengan
membantu mobilisasi glukagon dari pankreas, serta meningkatkan metabolisme
pembentukan glukosa dari bahan non-karbohidrat (lemak dan protein). Dalam
kondisi yang mencekam (stres), tubuh cenderung memiliki laju metabolisme
yang tinggi, oleh karena itu dibutukan begitu banyak glukosa sebagai bahan
bakar pembentuk energi. Kortisol membantu penyediaan akan kebutuhan glukosa
yang meningkat. Kortisol akan mempengaruhi sel–sel otot yang akan
merangsang perombakan protein otot. Hasil perombakan ini dibawa menuju hati
dan ginjal untuk dibentuk glukosa (oleh glukagon) lalu dibebaskan ke darah.
Apabila glukosa hasil perombakan dari protein otot dibebaskan terus menerus
dalam darah, maka kadar glukosa darah meningkat.
Pada sistem peredaran darah, kortisol sangat penting guna membantu
mempertahankan keseimbangan tekanan darah dengan memelihara kepekaan
pembuluh darah dari pengaruh hormon adrenalin lainnya. Kortisol juga berperan
dalam meningkatkan rangsang pada sel –sel saraf serta memicu terjadinya
29
apoptosis (kematian jaringan yang tidak dibutuhkan). Kortisol memiliki efek
negatif pada jaringan tulang. Kortisol menghambat penyerapan senyawa kalsium
dari saluran pencernaaan dan saluran tubulus ginjal. Dengan demikian, dapat
menghambat penulangan pada tubuh. Kortisol sangat penting dalam
perkembangan sistem saraf, indera, saluran pernafasan serta pencernaan pada
janin. Kortisol dapat juga digunakan untuk mengatasi peradangan yang terjadi
pada tubuh seperti radang sendi (artritis). Namun demikian penguunaan kortisol
yang berlebih dapat menimbulkan reaksi peningkatan terhadap infeksi dan
penurunan sistem kekebalan tubuh.
5. Growth hormone (GH)
Hormon pertumbuhan memiliki efek anabolik di otot. Meskipun dapat
meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak darah namun GH dalam keadaan
normal kurang penting untuk regulasi keseluruhan metabolisme bahan bakar.
Tidur, stres, olahraga, dan hipoglikemia berat merangsang sekresi GH, mungkin
untuk menyediakan asam lemak sebagai sumber energi dan menyediakan asupan
glukosa bagi otak. GH membantu mempertahankan konsentrasi glukosa selama
kelaparan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa glukagon, epinefrin,
kortisol, dan GH semua memiliki fungsi yaitu meningkatkan kadar glukosa dalam
darah. Karena itu, hormon-hormon tersebut dianggap sebagai antagonis insulin.
Dengan demikian alasan utama penderita diabetes melitus menimbulkan konsekuensi
30
yang sangat merugikan yaitu karena tidak adanya mekanisme pengontrol yang
mendorong anabolisme ketika aktivitas insulin kurang memadai sehingga reaksi-
reaksi katabolik digerakkan oleh hormon-hormon tersebut tanpa kendali. Satu-
satunya pengecualian yaitu anabolisme protein yang dirangsang oleh GH, sehingga
upaya preventif yang dilakukan pada masa pradiabetes sangatlah penting untuk
mencegah individu mengalami diabetes melitus di kemudian hari.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai kandungan rokok dan efek
merokok serta metabolisme glukosa darah secara normal dan hormon-hormon yang
berperan dalam regulasinya beikut adalah mekanisme terjadinya kejadian TGT akibat
pajanan dari nikotin dalam rokok.
2.4 Mekanisme Merokok dengan Resistensi Insulin
Pada umumnya faktor terpenting dalam menimbulkan resistensi insulin yaitu
obesitas, terutama obesitas sentral. Akumulasi asam lemak dalam otot dapat
menghambat kinerja insulin dengan menghambat pemasokan glukosa dalam sel.
Sedangkan deposisi trigliserid pada hati akibat peningkatan distribusi asam lemak
bebas melalui sirkulasi portal ke hati, meningkatkan glukoneogenesis dan
menyebabkan kegagalan kerja insulin. Selain obesitas terdapat banyak gaya hidup
yang dapat mempengaruhi kinerja hormon insulin salah satunya yaitu merokok.
Merokok dapat meningkatkan radikal bebas dalam tubuh. Salah satu kandungan
rokok yang mengganggu kerja metabolisme tubuh yaitu nikotin. Nikotin yang berasal
dari rokok dapat masuk melalui saluran pernapasan dan saluran pencernaan. Nikotin
31
tersebut akan sampai pada otak dan menimbulkan rasa nyaman pada perokok.
Selanjutnya nikotin diedarkan dalam darah (Sherwood, 2012).
Proses metabolisme nikotin terjadi di dalam paru-paru. Disini, Nikotin akan
diubah menjadi kotinin dan nikotin oksida. Selain itu, di dalam organ hati, enzim
yang disebut sitokrom P450 akan mencerna sekitar 80% nikotin akan menjadi
kotinin. Kotinin dapat dikeluarkan melalui urin, sehingga urin seorang perokok akan
menimbulkan bau yang sangat tajam. Kotinin memiliki waktu paruh 24 jam. Artinya,
24 jam setelah merokok, zat kotinin dalam tubuh akan tersisa setengahnya. Nikotin
yang tersisa dalam darah, juga akan disaring di dalam ginjal dan akan dikeluarkan
melalui urin. Tubuh akan mencoba untuk menghapus semua jejak nikotin dari sistem
tubuh karena beracun. Namun, ini tergantung pada dua faktor utama yaitu berapa
lama dan berapa banyak rokok yang telah dihisap (Bajaj, 2012).
Nikotin berada dalam darah selama 1-3 hari. Seorang perokok yang merokok
setiap hari tetap mengeluarkan nikotin melalui urin tetapi terdapat zat kotinin yang
terakumulasi dalam tubuh. Nikotin yang terakumulasi dalam tubuh dapat memicu
kerja hormon kortisol. Hormon kortisol berfungsi meningkatkan proses
glukoneogenesis yaitu metabolisme glukosa dari senyawa non karbohidrat seperti
lemak dan protein. Sehingga kebanyakan dari perokok mengalami penurunan berat
badan. Efek pengeluaran hormon kortisol yang berlebihan ini dapat mengganggu
kinerja insulin. Tidak adanya mekanisme pengontrol yang mendorong anabolisme
ketika aktivitas insulin kurang memadai inilah yang kemudian menjadi kinerja insulin
menurun dan lama kelamaan akan menyebabkan resistensi insulin (Sherwood, 2012).
32
Ketika terjadi resistensi insulin, maka insulin ada dalam tubuh tetapi tidak dapat
berfungsi. Akibatnya terjadi gangguan penyerapan glukosa di sel otot dan lemak
karena insulin yang bertugas sebagai kunci atau perantara masuknya glukosa dalam
sel sudah tidak dapat berfungsi. Disisi lain karena pasokan glukosa dalam sel tidak
dapat terpenuhi maka tubuh akan merespon dengan meningkatkan produksi glukosa
oleh hati melalui proses glikogenolisis dan glukoneogenesis. Walaupun pasokan
glukosa telah banyak dihasilkan oleh simpanan dihati, lemak dan otot. Akan tetapi
karena insulin tidak dapat berfungsi akibatnya glukosa tersebut tidak dapat masuk
dalam sel dan tetap berada dalam darah. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan
kadar glukosa darah (Tabak dkk., 2012).
2.5 Mekanisme Kejadian Toleransi Glukosa Terganggu
Glukosa dari makanan yang masuk melalui mulut dicerna dalam usus kemudian
di serap ke dalam aliran darah. Glukosa merupakan sumber energi utama bagi sel
tubuh di otot dan jaringan. Agar dapat menjalankan fungsinya, glukosa membutuhkan
insulin. Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel beta di pankreas. Ketika
individu makan, pankreas memberi respon dengan mengeluarkan insulin ke dalam
aliran darah. Seperti sebuah kunci, insulin bertugas membukakan pintu sel agar
glukosa bisa masuk. Dengan demikian glukosa sudah terdistribusi dalam sel dan
kadar glukosa dalam darah menjadi turun (Sherwood, 2012).
Sekresi insulin pada orang normal meliputi 2 fase yaitu fase dini (fase 1) atau
early peak yang terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan. Insulin yang
disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai); dan
33
fase lanjut (fase 2) adalah sekresi insulin dimulai 50 sampai 120 menit setelah
stimulasi glukosa. Pada fase 1, pemberian glukosa akan meningkatkan sekresi insulin
untuk mencegah kenaikan kadar glukosa darah, dan kenaikan glukosa darah
selanjutnya akan merangsang fase 2 untuk meningkatkan produksi insulin. Makin
tinggi kadar glukosa darah sesudah makan makin banyak pula insulin yang
dibutuhkan, akan tetapi kemampuan ini hanya terbatas pada kadar glukosa darah
dalam batas normal (Nasrul dan Sofitri, 2012).
Pada kondisi TGT, sekresi insulin di fase 1 tidak dapat menurunkan glukosa
darah sehingga merangsang fase 2 untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi
sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal.
Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar
insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat,
sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat. Inilah tahap dimana glukosa darah
puasa terganggu. Kemudian secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk
menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan TGT, dimulai
dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan
fase 2 (Nasrul and Sofitri, 2012).
2.6 Definisi TGT
American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan pradiabetes sebagai
keadaan individu yang mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan atau
Gula Darah Puasa Terganggu (GDPT). Kepustakaan lain menyebutkan keadaan
pradiabetes yaitu kondisi glukosa darah plasma meningkat tetapi belum cukup untuk
34
dapat didiagnosis sebagai diabetes melitus. TGT merupakan kondisi glukosa 2 jam
pasca pembebanan 75 gram glukosa oral ≥140 mg/dl dan <200 mg/dl atau 140-199
mg/dl, sedangkan GDPT merupakan kondisi glukosa darah individu yang berkisar
antara 100-125 mg/dl. Kondisi tersebut tentunya belum cukup untuk membuat
individu terdiagnosis DM. dikarenakan DM sendiri merupakan kondisi glukosa darah
sewaktu ≥200 mg/dl jika terdapat keluhan poliuri, polifagi, polidipsi dan penurunan
berat badan tanpa penyebab yang jelas; mengalami nilai TGT ≥200 mg/dl dan GDP
≥126 mg/dl (ADA, 2010).
2.7 Diagnosis TGT
Diagnosis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM seperti poliuri, polidipsi,
polifagi dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika
terdapat gejala khas dan pemeriksaan gula darah sewaktu menunjukkan ≥200 mg/dL
atau gula darah puasa menunjukkan ≥126 mg/dL maka sudah dikatakan sebagai DM.
Sedangkan pada pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa abnormal
satu kali saja belum cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan investigasi
lebih lanjut yaitu Gula darah puasa ≥126 mg/dL, Gula darah sewaktu ≥200 mg/dL
pada hari berikutnya atau dengan tes toleransi glukosa oral yang menunjukkan ≥200
mg/dL (ADA, 2010). Pada kondisi pradiabetes bisa ditegakkan bila hasil tes kadar
glukosa 2 jam pasca pembebanan 75 gram glukosa oral 140-199 mg/dl dan atau nilai
GDPT menunjukkan kisaran 100-125 mg/dl (Goldenberg dan Punthakee, 2013).
Adapun yang dilakukan individu sebelum dilakukan tes TGT yaitu dengan
mengontrol pola makan selama 3 hari. Lalu melakukan puasa selama 8 jam sebelum
35
diberi minuman yang mengandung glukosa 75 gram. 2 jam setelah diberi
pembebanan glukosa tersebut, kadar glukosa darah diukur (Alphaparm, 2009).
2.8 Epidemiologi TGT
The National Diabetes Data Group (NDDG) pada tahun 1970 memperkenalkan
istilah intoleransi glukosa. Subjek dengan intoleransi glukosa belum cukup untuk
dikategorikan menjadi diabetes. The Expert Comitte on Diabetes Mellitus tahun 2003
memperluas konsep ini dengan mengkategorikan pradiabetes menjadi dua yaitu
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) dan Toleransi Glukosa Terganggu (TGT).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa TGT merupakan faktor risiko lebih besar
untuk menyebabkan insidens DM tipe 2 dibanding dengan GDPT (Nasrul dan Sofitri,
2012). Diperkiraan 300 juta penduduk di seluruh dunia mengalami pradiabetes.
Penelitian di negara berkembang melaporkan 9,2% populasi umum mengalami
GDPT dan 4,3% mengalami TGT. Prevalensi pradiabetes di Australia berkisar antara
4,55% sampai 10,15%. Di Jepang, Singapura dan Afrika Selatan prevalensi
pradiabetes mencapai rentang 8,02% sampai 15,85% . Berdasarkan data Riskesdas
2013, prevalensi pradiabetes di Indonesia berdasarkan nilai TGT sebesar 26,6% yaitu
hampir sepertiga dari jumlah penduduk (Nasrul dan Sofitri, 2012).
2.9 Faktor Confonder antara Hubungan Merokok dengan TGT
TGT merupakan kejadian yang ditandai dengan kadar glukosa 2 jam setelah
pembebanan berada pada rentang 140-199 mg/dl. Kondisi ini terjadi secara kronik
dan apabila tidak ditanggulangi dengan segera maka dapat mengakibatkan insidens
36
DM tipe 2, sehingga pada dasarnya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap TGT
tidak berbeda dengan DM tipe 2 yaitu merokok, obesitas, aktivitas fisik rendah, umur
diatas 45 tahun, jenis kelamin, dan konsumsi kopi (Bustan, 2007). Namun, tidak
semua tersebut menjadi confonder antara hubungan merokok dengan TGT tergantung
dengan karakteristik masing-masing populasi penelitian. Berikut adalah beberapa
variabel yang secara substansi diduga menjadi konfonder antara hubungan merokok
dengan TGT. Berikut faktor confonder antara hubungan merokok dengan kejadian
TGT.
2.9.1 Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Umur
Berbagai penelitian sepakat bahwa semakin tua individu semakin
berisiko terhadap penyaki tidak menular, khususnya TGT (Soewondo and
Pramono, 2011; Zhao dkk., 2015; Nur dkk., 2016). Hal ini dikarenakan
kinerja sel beta pankreas sebagai penghasil insulin juga dipengaruhi oleh
usia individu. Semakin tua usia individu maka semakin banyak
karakteristik yang melekat pada dirinya seperti pola makan, pola
aktivitas, stres dan lain sebagainya. Sehingga peran insulin menjadi lebih
kompleks dalam mengatur regulasi glukosa dalam tubuh. Akibatnya
lama-kelamaan kinerjanya akan menurun apabila tidak dijaga dengan baik
khususnya ketika individu merokok (Oba dkk., 2015).
Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa semakin tua individu maka
semakin banyak rokok yang dihisap. Hal ini berkaitan dengan aktivitas
37
yang dilakukan. Pada usia produktif, baik pria maupun wanita cenderung
menghabiskan waktu untuk melakukan pekerjaannya dan merokok pada
jam istirahat atau jam setelah bekerja (Widiansyah, 2014). Begitu juga
pada usia remaja, remaja masih menghabiskan waktunya di sekolah. Pada
area perkantoran maupun sekolah dilarang melakukan aktivitas merokok.
Berbeda dengan usia dewasa lanjut sampai lansia yang kebanyakan sudah
terjadi penurunan aktivitas sehari-hari baik dalam hal pekerjaan maupun
rumah tangga. Banyak waktu luang yang tersedia, akibatnya waktu luang
tersebut sering digunakan untuk merokok.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa umur menjadi faktor yang
secara subtansi menjadi perancu antata hubungan merokok dengan TGT.
Hal ini dikarenakan semakin tua usia individu maka semakin banyak
rokok yang dihisap dan semakin banyak rokok yang dihisap
meningkatkan risiko terjadinya TGT.
2. Jenis kelamin
Umumnya perempuan mempunyai jumlah lemak lebih besar
dibandingkan dengan laki-laki, yaitu rata-rata 26.9% dari total berat
badan perempuan. Sementara jumlah lemak pada laki-laki rata-rata
14.7%. Kelebihan lemak perempuan tersebut terutama terlihat pada
bagian perut, dada, dan anggota tubuh badan bagian atas, yaitu lengan
atas, dan paha (Elffers dkk., 2017). Penelitian lain menunjukkan bahwa
perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang banyak
38
pada masa pubertas, sedangkan laki-laki cenderung mengonsumsi
makanan kaya protein. Perilaku merokok juga lebih banyak dilakukan
oleh laki-laki sehingga laki-laki terlihat memiliki berat badan lebih kurus
dibanding perempuan. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa
laki-laki secara signifikan lebih berkemungkinan kelebihan berat atau
obesitas dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh
kebiasaan santai dalam penggunaan waktu senggang pada laki-laki lebih
besar dibandingkan dengan perempuan (WHO, 2004; Proper dkk. 2006).
Secara subtansi, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
perempuan memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadinya TGT. Hal
ini dikarenakan perempuan memiliki siklus bulanan yaitu menstruasi
yang menyebabkan akumulasi lemak tubuh menjadi lebih mudah (Irawan,
2010). Selain itu, ditambah dengan perilaku konsumsi makanan ringan
pada perempuan juga dapat menyebabkan berat badan bertambah.
Namun, penelitian justru menunjukkan bahwa berat badan laki-laki lebih
berisiko terhadap TGT hal ini dikarenakan laki-laki lebih berisiko untuk
terjadinya akumulasi lemak dalam perut. Namun, penelitian Ghoraba
dkk., (2016) dengan desain studi cross sectional menyebutkan tidak
adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian pradiabetes di
Rumah Sakit Force, Riyadh Saudi Arabia. Penelitian Imamura dkk.,
(2013) dengan desain cohort juga menyebutkan bahwa tidak adanya
hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian
peningkatan glukosa darah.
39
Berdasarkan penjelasan tersebut, diketahui secara substansi
bahwa jenis kelamin dalam mengganggu hubungan antara merokok
dengan TGT. Oleh karena itu jenis kelamin juga harus dikontrol agar
diperoleh nilai risiko yang sebenarnya antara merokok dengan TGT
setelah dikontrol variabel jenis kelamin.
3. Riwayat Diabetes dalam Keluarga
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin
pada seseorang adalah faktor genetik. Berdasarkan penelitian Trisnawati
dkk., (2013) dengan desain studi case control menyebutkan bahwa 57,3%
responden memiliki riwayat DM keluarga pada kelompok kasus dan
61,7% pada kelompok kontrol. Beberapa penelitian telah membuktikan
adanya pengaruh dominan dari genetik terhadap timbulnya kejadian DM.
Risiko terjadinya toleransi glukosa terganggu akan meningkat dua sampai
enam kali pada individu yang memiliki riwayat keluarga menderita DM
tipe 2 Zahtamal dkk., (2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Alfiyah (2010), individu dengan riwayat salah satu orang tua menderita
DM tipe 2 akan meningkat risikonya untuk mengalami TGT sebesar 40%,
sedangkan jika kedua orang tua menderita DM tipe 2, risiko tersebut akan
meningkat menjadi 70%.
Beberapa penelitian menyebutkan tidak adanya hubungan antara
riwayat DM keluarga dengan kejadian pradiabetes. Seperti pada
penelitian Sharifi dkk., (2013) dengan desain studi cross sectional di Iran
40
yang menyebutkan tidak adanya hubungan antara riwayat keluarga
dengan kejadian pradiabetes dengan OR sebesar 1. Penelitian Oba dkk.,
(2015) di Jepang dengan desain studi yang sama menunjukkan tidak
adanya hubungan antara riwayat DM keluarga dengan kejadian
pradiabetes dengan p value 0,30. Penelitian Marimoto dkk., (2013) pada
laki-laki di Jepang dengan desain cross sectional juga menyebutkan tidak
adanya hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian pradiabetes
dengan p value 0,290.
2.9.2 Faktor yang Dapat Dimodifikasi
1. Obesitas
Kegemukan atau obesitas didefinisikan sebagai kelebihan adipositas
tubuh (Gibney, 2008). Hal ini dikarenakan terjadinya ketidakseimbangan
antara zat gizi yang disimpan dalam bentuk lemak tubuh dan zat gizi yang
digunakan untuk menghasilkan energi (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).
Obesitas sering dikaitkan dengan kesakitan dan kematian. Pada tahun
1980-an, berat badan ideal diganti dengan indeks massa tubuh atau IMT.
Cut of point yang digunakan untuk mendefisinikan kelebihan berat badan
yaitu IMT pada rentang 25-30 sedangkan untuk kegemukan IMT>30.
Namun hubungan antara obesitas dengan risiko kesakitan dan kematian
memiliki perbedaan pada etnis yang berbeda, sehingga beberapa negara
memiliki cut of point IMT tersendiri sesuai dengan etnisnya. Misalnya
41
IMT>23 mengindikasikan risiko kegemukan pada negara-negara di Asia
(Caballero, 2007).
Terdapat penemuan terbaru mengenai perbedaan persen lemak dan
bobot tubuh orang Asia dengan orang Eropa, sehingga muncullah
pengklasifikasian batas ambang IMT terbaru untuk orang Asia. Batas
ambang IMT terbaru untuk laki-laki dan perempuan dewasa berdasarkan
WHO (2004) yang cocok untuk klasifikasi masyarakat Asia, yaitu pada
tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Batas Ambang IMT untuk Laki-laki dan Perempuan
Dewasa di Asia 1
Kategori IMT (kg/m2) Risiko penyakit
Kurus (underweight) <18.5 Rendah
Normal (ideal) 18.5-22.9 Rata-rata
Overweight (At risk) 23.0-24.9 Meningkat
Obese I 25.0-29.9 Berbahaya
Obese II 30 Berbahaya
Sumber : (WHO, 2004)
Berdasarkan penelitian Astuti dkk., (2012) pada remaja diketahui
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dengan kejadian
TGT. Penelitian Soewondo and Pramono (2011) juga menyebutkan
bahwa obesitas memiliki risiko 47,4% dalam meningkatkan risiko
terjadinya TGT, sedangkan merokok memiliki risiko 44% untuk
meningkatkan risiko terjadinya TGT. Penelitian tersebut menjelaskan
bahwa obesitas merupakan keadaan penting seseoang yang dapat
42
mempercepat proses terjadinya resistensi insulin. Akan tetapi apabila
dikaitkan dengan perilaku merokok, justru ketika individu merokok maka
dia cenderung memiliki berat badan kurus dan baru berisiko obesitas
apabila berhenti merokok (Chiolero dkk., 2008). Pada kenyataannya tidak
semua perokok, merokok setiap hari. Hal inilah yang juga menyebabkan
berat badan pada perokok tetap pada kondisi berlebih.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Canoy (2005) terhadap 828
orang dewasa berumur 45-79 tahun di Norfolk, Inggris, menunjukkan
bahwa merokok memengaruhi pola distribusi lemak. Selain itu, penelitian
yang dilakukan 2 universitas terkemuka yang dilakukan pada tikus di
University of New South Wales dan University of Melbourne, Australia,
menunjukkan bahwa rokok malah mengurangi massa otot yang
sesungguhnya dibutuhkan oleh tubuh sehingga tubuh terlihat kecil.
Sebagian tikus-tikus tersebut diberi asap dari 4 batang rokok tiap hari
selama seminggu, sebagian lainnya bebas asap rokok. Hasilnya, tikus
yang bebas rokok makannya berkurang 23%, namun massa lemak mereka
tidak berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa kehilangan otot dapat
memberikan efek terlihat kurus pada tubuh seakan-akan terjadi penurunan
berat badan namun sebenarnya lemak tubuh masih tersimpan (Davis dkk,
2012).
Berdasarkan uraian beberapa hasil penelitian diatas, diketahui
bahwa obesitas menjadi faktor yang diduga secara substansi memiliki
hubungan dengan merokok dan berhubungan pula dengan TGT. Hal
43
inilah yang mendasari status gizi menjadi salah satu faktor confonder
antara merokok dengan TGT.
2. Konsumsi kopi
Kafein merupakan zat psikoaktif jenis stimulant ringan yang paling
banyak digunakan di dunia. Kafein terdapat dalam kopi, teh, soft drink,
cokelat, kokoa dan lain lain. Kafein dapat meningkatkan sekresi
noreepinefrin dan meningkatkan aktivitas saraf pada berbagai area di
otak. Konsumsi kafein dapat menyebabkan penguraian jaringan adiposa
sehingga terjadi penyerapan lemak yang tinggi. Hal inilah yang dapat
berdampak pada melemahnya stimulasi insulin pada otot rangka dan liver
yang pada akhirnya dapat menyebabkan sensitivitas insulin berkurang
(Coelho dkk., 2016).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa konsumsi kopi dalam
jumlah tinggi dapat meningkatkan asam lemak bebas atau free fatty acid
(FFA). Kandungan FFA yang tinggi akan menyebabkan lipolisis.
Lipolisis adalah proses pemecahan lemak yang tersimpan dalam sel-sel
lemak yang melibatkan hidrolisis trigliserida. Selama proses ini, asam
lemak bebas dilepaskan ke dalam aliran darah dan beredar ke seluruh
tubuh. Pemecahan lemak ini dapat menstimulasi insulin dalam otot dan
hati. Akibatnya menganggu sensitivitas insulin. Selain itu, peningkatan
FFA juga dapat menyebabkan perubahan pada cairan membran sel dan
struktur membran sel, sehingga struktur insulin mengalami perlekatan
44
dengan lemak yang dapat menyebabkan terganggunya jalan masuk
reseptor insulin (Bajaj, 2012).
Selain menjadi faktor risiko, beberapa penelitian menyebutkan
bahwa konsumsi kopi memberikan efek protektif terhadap peningkatan
glukosa darah. Hasil penelitian Tjekyan (2007) yang menyebutkan bahwa
terdapat hubungan terbalik antara konsumsi kopi dengan DM tipe 2.
Dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa individu yang
mengkonsumsi kopi 7-9 per hari menurunkan risiko sebesar 53%,
sedangkan individu yang mengkonsumsi kopi lebih dari 9 gelas per hari
menurunkan risiko sebanyak 66%. Ia juga menyebutkan bahwa semakin
kental kopi semakin tinggi pula faktor protektif terhadap perkembangan
diabetes, terutama kopi pahit yang tidak dicampur gula.
Perilaku merokok juga biasanya diiringi dengan kebiasaan
mengkonsumsi kopi. Biasanya individu mengkonsumsi kopi pada pagi
hari bersamaan dengan aktivitas merokok. Selain itu, kebiasaan merokok
dan konsumsi kopi ini juga sering dilaksanakan pada saat meeting atau
sekedar kopdar dengan teman. Hal inilah yang menjadikan kopi sebagai
faktor confonder antara hubungan merokok dengan TGT. individu yang
merokok cenderung mengkonsumsi kopi dan individu yang
mengkonsumsi kopi dapat memberikan efek terhadap TGT.
45
3. Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan seseorang rentan
terhadap kondisi pradiabetes. Penelitian Soewondo and Pramono (2011)
menyebutkan bahwa kurang aktivitas fisik meningkatkan risiko sebesar
23%. Aktivitas fisik dapat meningkatkan sensitivitas insulin sehingga
meningkatkan kerja insulin dalam mengontrol kadar glukosa dalam darah.
Selain itu, aktivitas fisik juga dapat membakar lemak dalam tubuh,
seseorang yang memiliki status gizi normal memberikan efek protektif
terhadap peningkatan kadar glukosa darah.
2.10 Pencegahan TGT
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya resistensi
insulin yang kemudian tentunya dapat mencegah terjadinya TGT. Berikut
pencegahan TGT berdasarkan status merokok.
1. Bagi perokok
Bagi perokok sangat diharapkan untuk segera berhenti merokok. Berhenti
merokok memang sangat susah. Hal ini juga berkaitan dengan kandungan
dalam rokok yang memiliki efek kecanduan. Selain itu, lingkungan sangat
berpengaruh terhadap upaya berhenti merokok seseorang. Perokok akan
kesulitan berhenti merokok apabila memiliki teman atau sekumpulan kelompok
yang juga sama-sama merokok. Terkadang perokok akan dianggap tidak sopan
apabila berkumpul tanpa ikut menghisap rokok. Hal ini menunjukkan
46
lingkungan memberikan kontribusi yang penting dalam upaya berhenti
merokok. Dalam konteks Islam, ada masa dimana memberikan dampak yang
positif terhadap perokok yaitu pada bulan Ramadan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Hani dkk., (2016) pada yang dilakukan di Malaysia, menyebutkan
bahwa adanya perbedaan yang signifikan kadar nikotin pada perokok antara
sebelum, saat, dan setelah berpuasa. Selain itu, perilaku perokok juga
menunjukkan hal yang berbeda yaitu adanya penurunan jumlah rokok yang
dihisap dan lama merokok. Hal ini tentunya upaya yang bermanfaat apabila
diaplikasikan oleh perokok yang berusaha berhenti merokok.
Puasa pada bulan Ramadan memang suatu kewajiban bagi umat islam
sehingga pasti dikerjakan oleh mereka yang beriman. Akan tetapi ada juga
puasa sunnah atau yang dianjurkan tapi tidak bersifat wajib yaitu puasa tiap hari
Senin dan Kamis. Puasa pada Senin dan Kamis merupakan sunnah Rasulullah
sehingga hal ini baik untuk dikerjakan oleh umat muslim. Akan tetapi, karena
bersifat tidak wajib, maka hanya sebagian saja yang mengerjakan. Padahal
puasa Senin Kamis ini cukup bagus khususnya bagi perokok sebagai upaya
berhenti merokok. Apabila perokok melakukan puasa Senin dan Kamis maka
dalam satu bulan sudah melakukan kontrol terhadap perilaku merokok selama 8
hari. Meskipun perokok bisa jadi kembali merokok setelah buka puasa, tetapi
jumlah rokok yang dihisap dan lama merokok dalam sehari tentunya akan
berbeda bila dibandingkan saat perokok tidak berpuasa.
47
2. Bagi Mantan Perokok
Mantan perokok masih memiliki risiko terhadap terjadinya TGT,
sehingga upaya pencegahan terhadap TGT masih harus dilakukan meskipun
sudah tidak lagi merokok. Salah satu yang dapat dilakukan yaitu mengkonsumsi
kopi. Seperti pada perokok, kopi juga baik dikonsumsi oleh mantan perokok
karena memiliki senyawa fenol dan asam klorogenat yang berfungsi
memperbaiki sensitivitas insulin (Kobayashi dkk., 2017).
Aktivitas fisik juga salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki sensitivitas insulin. Aktivitas fisik berguna memecah lemak tubuh
yang tentunya bermanfaat dalam memperbaiki sensitivitas insulin. Dimana
kerja insulin juga dapat dihambat oleh lemak tubuh yang berlebihan. Selain itu,
minum air putih yang banyak (minimal 8 gelas perhari) karena bermanfaat
untuk mendetoksifikasi kotinin dalam darah.
3. Bagi Orang yang Tidak Pernah Merokok
Bagi individu yang tidak pernah merokok diharapkan untuk tidak
mencoba merokok khususnya bagi anak-anak dan remaja. Hal ini dikarenakan
rokok memberikan banyak sekali efek negatif bagi kesehatan tubuh. Kalaupun
individu merokok dan berhenti merokok maka tetap memiliki risiko terhadap
TGT, sehingga upaya yang dilakukan yaitu untuk tidak mencoba rokok. Peran
orang tua dalam mengontrol perilaku anak dan remaja sangat penting karena
pada usia tersebut, seseorang lebih mudah percaya dan meniru perilaku orang
lain.
48
2.11 Fatwa Majelis Ulama tentang Rokok
Dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia di Padang Panjang
Sumatera Barat tanggal 24-26 Januari 2009 telah dibahas masalah hukum merokok.
Keputusan MUI tentang merokok yaitu merokok dilarang. Akan tetapi jika ditinjau
dari hukum islam maka merokok dihukumi 2 jenis yaitu makruh dan haram. Makruh
karena masih menjadi pedebatan dan haram apabila dilakukan di tempat umum, bagi
ibu hamil dan bagi anak-anak (MUI, 2009).
Berikut adalah penjelasan MUI mengenai haramnya hokum merokok, diantara
yaitu:
1. Merokok sama saja dengan menjatuhkan diri pada kebinasaan karena merokok
banyak menimbulkan penyakit. Hal ini berpedoman pada Al-Quran Surat Al-
Baqarah ayat 195.
2. Berdasarkan hadis bahwa Rasulullah melarang menyiayiakan harta.
3. Perokok menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam suatu bahaya, kecemasan dan
keletihan jiwa. Merasa cemas dan tidak bersemangat apabila tidak merokok.
4. Haram merokok karena sesuai dengan Madzab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali.
Sebenarnya haramnya rokok memang tidak tertulis secara implisit dalam Al-
Qur’an maupun As-Sunnah. Akan tetapi, Rokok memang diharamkan karena
membawa banyak sekali sisi madharatnya. Sehingga MUI Indonesia dalam ijtima’nya
memutuskan. Pertama, hukum asal merokok adalah khilaf (terjadi perbedaan
pendapat) antara makruh dan haram. Kedua, merokok di muka umum (wilayah
publik) hukumnya haram. Ketiga, merokok bagi wanita hamil hukumnya haram. Ke
49
empat, merokok bagi anak-anak hukumnya haram. Kelima, merokok bagi pengurus
MUI hukumnya haram.
Berdasarkan Riskesdas 2013, terdapat 22,2% responden yang merokok di
dalam rumah. Hal ini tentunya masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Karena
pada dasarnya setiap orang berhak untuk mendapat udara yang bersih termasuk bebas
dari asap rokok. Hal inilah yang kemudian juga menjadi dasar MUI mengeluarkan
fatwa bahwa merokok itu diharamkan.
2.12 Kerangka Teori
Faktor penyebab kejadian TGT sangat beragam dan tidak berbeda dengan DM
tipe 2. Salah satu gaya hidup masyarakat yang berpengaruh terhadap kejadian TGT
adalah merokok. Merokok merupakan aktivitas menghisap batang rokok yang
didalamnya terdiri dari berbagai macam zat adiktif. Zat adiktif inilah yang ketika
terakumulasi dalam tubuh akan menganggu kerja insulin. Hal ini karena dipacu
dengan pengeluarkan hormon antagonis insulin seperti kotekolamin dan kortisol
yang berakibat pada meningkatnya glukosa dalam darah. Banyaknya hormon yang
menstimulasi pelepasan glukosa terus-menerus pada akhirnya menyebabkan insulin
tidak mampu mengontrol kadar glukosa dalam darah yang mengakibatkan glukosa
darah meningkat. Mekanisme patofisiologi TGT membutuhkan proses yang
panjang, maka durasi merokok, usia mulai merokok dan jumlah rokok yang dihisap
setiap hari tentunya berkontribusi dalam mempercepat atau memperlambat kejadian
TGT. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dirumuskan kerangka teori sebagai
berikut:
50
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Menurunkan risiko
Merokok
Nikotin masuk melalui
saluran pencernaan
Nikotin masuk melalui
saluran pernapasan
Masuk ke peredaran darah
Diubah menjadi kotinin
Adanya kotinin merangsang
hipotalamus untuk mengeluarkan
CRH
Kelenjar adrenal
menstimulus pelepasan
hormon kortisol
Meningkatkan glikogenolisis di hati Meningkatkan glukoneogenesis di lemak dan otot
Insulin tidak adekuat dalam menekan
glikogenolisis untuk berhenti
Insulin tidak adekuat dalam menekan
glukoneogenesis untuk berhenti
Sensitivitas insulin menurun
Sumber:
Xie (2009), Bajaj (2012), Chang (2012), Gibney (2008), WHO (2014),
Sherwood (2012).
CRH merangsang hipofisis untuk
mengeluarkan ACTH
Merangsang kelenjar andrenal
Insulin pada 50-120 menit setelah makan terganggu
Proses penyimpanan glukosa setelah makan terganggu
Keterangan:
ACTH : Adenocorticotropic hormone
CRH : Corticotropin-releasing hormone
: Variabel confonder
: Variabel yang tidak diteliti
TGT
Umur ≥45 th
Jenis kelamin:
perempuan
Dipengaruhi
oleh
durasi
merokok
Dipengaruhi
oleh jumlah
rokok yang
dihisap dan
jenis rokok
Dipengaruhi oleh usia mulai merokok
Konsumsi
kopi
Masuknya
senyawa fenol
dan asam
klorogenat
dalam darah
Meningkatkan
sensitivitas
insulin
Obesitas
Kurang aktivitas fisik
Akumulasi lemak
tubuh
Riwayat diabetes
51
3 BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori pada bab sebelumnya, berikut adalah bagan
kerangka konsep dalam penelitian ini.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan bagan kerangka konsep tersebut diketahui bahwa merokok
menjadi faktor independen utama dikarenakan dari berbagai penelitian
menunjukkan adanya hubungan secara langsung antara merokok dengan
kejadian TGT akibat adanya gangguan fungsi insulin dari zat adiktif dalam
rokok. Variabel merokok ini terdiri dari status merokok, usia mulai merokok,
Merokok
1. Status merokok
2. Usia mulai merokok
3. Jumlah rokok yang
dihisap perhari
4. Durasi merokok
5. Jenis rokok
Kejadian TGT
Karakteristik individu
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Konsumsi kopi
52
jumlah rokok yang dihisap, durasi merokok dan jenis rokok. Variabel tersebut
diteliti karena dapat meningkatkan atau menurunkan risiko kejadian TGT.
Selain itu, peneliti ingin menunjukkan salah satu teori kausalitas yang dapat
dilihat dari jumlah batang yang dihisap perhari untuk menentukan apakah jika
jumlah batang yang dihisap perhari semakin banyak, risiko terhadap kejadian
TGT semakin meningkat. Variabel merokok tersebut diperoleh melalui
wawancara pada responden.
Karakteristik individu yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari umur,
jenis kelamin, dan konsumsi kopi. Variabel karakteristik individu diperoleh
berdasarkan wawancara pada responden Berdasarkan penelitian sebelumnya
diperoleh hasil bahwa fungsi insulin juga dipengaruhi oleh usia individu.
Semakin tua usia individu maka semakin berisiko terhadap kejadian TGT. Jenis
kelamin juga menentukan tingkat risiko terhadap kejadian TGT dimana pola
konsumsi rokok juga berhubungan dengan jenis kelamin. Selain itu, konsumsi
kopi juga memiliki kaitan dengan merokok karena perokok cenderung juga
mengonsumsi kopi dan kopi merupakan faktor risiko TGT.
Oleh karena itu, variabel karakteristik individu tersebut dapat menjadi
confonder bagi hubungan antara merokok dengan TGT, sehingga faktor-faktor
tersebut dikontrol dengan metode statistik menggunakan analisis multivariat.
Terdapat beberapa variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini karena
keterbatasan akses data Riskesdas 2013 yaitu diantaranya status obesitas,
riwayat diabetes keluarga, dan aktivitas fisik.
53
3.2 Definisi Operasional
Berdasarkan penjelasan mengenai kerangka konsep sebelumnya. Definisi penelitian dapat dilihat pada tabel 3.1
dibawah ini.
Tabel 3.1 Definisi Operasional 1
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. TGT Kondisi Gula Darah 2 jam
setelah pembebanan memiliki
nilai berkisar 140-199 mg/dl
Pengambilan
sampel darah
Pengukuran
spesimen darah
menggunakan
Accuchek Performa
0. TGT
1. Normal
(ADA, 2010)
Ordinal
2. Status
merokok
Pernah atau tidaknya responden
menghisap rokok dalam 1 bulan
terakhir.
Wawancara Kuesioner RKD13
G05
0. Merokok
1. Pernah merokok
2. Tidak pernah
merokok
(Kemenkes RI,
2013)
Ordinal
3. Usia mulai
merokok
Responden mulai merokok
pertama kali.
Wawancara Kuesioner RKD13
G07
0. 5-19 tahun
1. ≥20 tahun
(Kemenkes RI,
2013)
Ordinal
4. Jumlah
rokok yang
dihisap
Jumlah batang rokok yang
dihisap responden perhari.
Wawancara Kuesioner RKD13
G08
0. ≥ 20 batang
sehari
1. < 20 batang
sehari
(Shi, 2013)
Ordinal
5. Durasi Lama responden merokok Wawancara Kuesioner RKD13 0. ≥ 20 tahun Ordinal
54
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
merokok dihitung dari usia mulai
merokok sampai usia saat
berhenti merokok atau 1 bulan
terakhir sebelum penelitian
dilakukan.
G05, G06, G07 dan
G12
1. < 20 tahun
(Venkatachalam,
2012)
7. Jenis rokok Tipe rokok yang dihisap
responden setiap kali merokok.
Wawancara Kuesioner RKD13
G09
0. Kretek
1. Putih
2. Linting
3. Cerutu atau
cangklong
(Kemenkes, 2012)
Nominal
6. Umur Lama hidup responden yang
dihitung sejak lahir sampai ulang
tahun terakhir saat wawancara
dilaksanakan.
Wawancara Kuesioner Rumah
Tangga RKD13 (IV)
0. ≥ 45 tahun
1. < 45 tahun
(Bustan, 2007)
Ordinal
7. Jenis
kelamin
Jenis kelamin responden
berdasarkan hasil konfirmasi
menggunakan kartu keluarga
dan pengamatan langsung
dengan ciri-ciri fisik.
Wawancara Kuesioner Rumah
Tangga RKD13 (IV)
0. Laki-laki
1. Perempuan
(Ghoraba dkk.,
2016)
Nominal
8. Konsumsi
kopi
Pernah atau tidaknya responden
mengkonsumsi kopi dalam 1
bulan terakhir.
Wawancara Kuesioner RKD13
G27 g
0. Konsumsi kopi
1. Tidak konsumsi
kopi
(Tjekyan, 2014)
Ordinal
55
3.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan antara merokok (status merokok, usia mulai merokok,
jumlah rokok yang dihisap, durasi merokok, dan jenis rokok) dengan kejadian TGT setelah dikontrol variabel
konfoder di Indonesia tahun 2013.
56
4 BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi analitik dengan
desain cross-sectional analitik. Desain penelitian ini mengikuti desain
penelitian Riskesdas 2013. Penelitian ini merupakan analisis lanjutan dari data
biomedis Riskesdas 2013 terkait merokok dengan kejadian TGT di Indonesia
tahun 2013.
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Riskesdas 2013 dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia. Pengumpulan
data dilaksanakan pada 1 Mei sampai 30 Juni 2013. Selanjutnya, data Riskesdas
2013 yang dimanfaatkan peneliti dianalisis pada bulan Juni hingga Desember
tahun 2017 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini yaitu semua total sampel Riskesdas
Biomedis 2013. Sampel untuk blok Biomedis adalah anggota rumah
tangga (ART) dan rumah tangga (RT) dari rumah tangga terpilih di
57
dalam BS terpilih atau BS Biomedis. Berdasarkan sampling yang
dilakukan secara acak oleh BPS pada SP tahun 2010, ditetapkan bahwa
untuk penyajian tingkat nasional cukup diwakili dengan 1000 BS
(sekitar 10% dari total responden) dan setiap BS Biomedis
maksimal terdiri dari 25 RT dengan seluruh ART umur ≥1 tahun.
Untuk estimasi sampel biomedis dilakukan metode sampling
secara bertahap dan berdasarkan sub sampel dari estimasi sampel
provinsi. Langkah yang dlakukan adalah:
1. Memilih 250 kabupaten/kota secara probability proportional to size
with replacement (ppswr). Dari hasil penarikan sampel, jumlah
realisasi sampel yang efektif (effective sample size) sebanyak
177 kabupaten/kota; Dari setiap kabupaten/kota terpilih,
dilakukan pemilihan blok sensus secara systematic sampling
dari daftar blok sensus sampel Riskesdas Modul untuk estimasi
provinsi.
2. Sesuai dengan perhitungan yang mewakili angka nasional dan
kelayakan pelaksanaan di lapangan ditentukan yang menjadi sampel
pada Riskesdas 2013 ini dipisahkan menurut spesimen/sampel
dan jenis pemeriksaan. Untuk pemeriksaan glukosa darah dan
kimia klinik adalah hanya responden umur ≥ 15 tahun.
3. Estimasi jumlah ART yang menjadi sampel pengukuran glukosa
darah pada responden umur ≥ 15 tahun adalah 50.000.
58
Dari target 50.000 ART, hanya didapatkan 39.202 responden
umur ≥15 tahun yang datang dalam pemeriksaan glukosa. Untuk
memilih sampel yang eligibel dalam penelitian maka Riskesdas
biomedis ditetapkan kriteria inklusi dan ekslusi.
4.3.1.1 Kriteria inklusi
1. Tercantum dalam daftar responden (kesehatan
masyarakat) Riskesdas 2013.
2. Umur ≥15 tahun untuk pemeriksaan glukosa dan kimia
klinis
3. Kesediaan berpartisipasi dengan menandatangani
lembar persetujuan setelah penjelasan (PSP) atau
informed consent.
4.3.1.2 Kriteria eksklusi
1. Sakit berat
2. Riwayat perdarahan: hemofili, Idiophatic
Trombocytopenic Purpura (ITP)
3. Mengidap penyakit kronis yang menggunakan obat
pengencer darah (asam asetil salisilat: asetosal, aspirin,
aspilet, ascardia) secara rutin.
59
Berdasarkan keriteria inklusi dan eksklusi riset biomedis
tersebut. Diperoleh sampel sebesar 28.664, sehingga populasi dalam
penelitian ini yaitu sampel Riskesdas biomedis yang telah memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Beberapa alasan yang menjadikan sampel
minimal tidak tercapai yaitu:
1. Terdapat 2 BS yang menolak, dan dari BS terpilih terdapat
jumlah rumah tangga yang kurang dari 25,
2. Responden tidak datang ke laboratorium lapangan karena
aktivitas pekerjaan, kegiatan belajar-mengajar di sekolah atau
urusan penting lainnya yang tidak dapat ditinggalkan,
3. Medan geografis yang sulit dan/atau cuaca buruk pada saat
pengambilan/pemeriksaan biomedis,
4. Adanya gangguan keamanan, misalnya konflik antar warga,
5. Tidak memenuhi kriteria inklusi saat penapisan awal oleh dokter
pendamping, dan
6. Mengundurkan diri karena berbagai alasan.
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh responden Riskesdas
2013 berusia ≥15 tahun yang berhasil diperiksa darah oleh tenaga medis
Riskesdas 2013, yaitu sebanyak 28.664 orang. Namun, untuk keperluan
60
analisis dalam penelitian ini, maka ditentukan kriteria ekslusi sebagai
berikut.
a. Data pemeriksaan glukosa darah 2 jam paska pembebanan
memiliki nilai lebih besar dari 199 mg/dl
b. Data responden yang tidak lengkap (missing data) atau data tidak
diisi
c. Data numerik hasil pengukuran memiliki nilai ekstrim (terlalu
besar atau terlalu kecil)
Berdasarkan hal tersebut maka berikut adalah tahapan pemilihan
sampel dalam penelitian ini.
61
Bagan 4.1 Pengambilan Sampel Penelitian
Berdasarkan bagan tersebut diketahui bahwa sampel dalam
penelitian ini yaitu sebesar 22.496 sampel atau 94% dari sampel
Riskesdas biomedis.
Provinsi
Kabupaten/Kota
Blok Sensus
RT
ART
ART ≥15 tahun
33 provinsi
177 kabupaten/kota
1000 BS
25 RT
92.000 ART
50.000 ART
Datang
memeriksakan
glukosa
38.136 ART
Memenuhi kriteria
inklusi dan
eksklusi peneliti
22.496 ART
Memenuhi kriteria
inklusi dan
eksklusi sampel
biomedis
23.893 ART
62
4.4 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data Riskesdas tahun 2013 yang diperoleh
dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Indonesia. Sebelum pengajuan proposal dan pengambilan data, peneliti
melakukan observasi kuesioner Riskesdas tahun 2013 untuk mengetahui
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kejadian pradiabetes. Selain itu,
peneliti juga melakukan review terhadap judul penelitian yang telah diajukan
dalam banlitbangkes untuk memastikan tidak ada persamaan dalam judul
penelitian dan memastikan variabel apa saja yang berhubungan dengan kejadian
pradiabetes dan belum diteliti. Dengan demikian dapat diperoleh variabel yang
dapat dianalisis sebagai faktor yang berhubungan dengan kejadian TGT.
Adapun pengumpulan data Riskesdas tahun 2013 dilakukan oleh tim
enumerator. Tim enumerator dan manajemen data terdapat pada setiap
kabupaten/kota. Setiap anggota maupun ketua tim enumerator minimal
berpendidikan D3 kesehatan. Perekrutan tenaga enumerator dan tim manajemen
data diperoleh dari Poltekkes, STIKES, Universitas (Fakultas Kedokteran,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Keperawatan dan Fakultas
Kedokteran Gigi), dan lain lain. Kekurangan tenaga enumerator di beberapa
daerah digantikan dengan beberapa staf Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
telah memperoleh persetujuan kepala bidang masing-masing.
Data Riskesdas tahun 2013 dikumpulkan melalui wawancara, observasi
dan pengukuran langsung oleh enumerator Riskesdas yang terlatih. Wawancara
63
dilakukan untuk memperoleh informasi berupa umur, jenis kelamin, status
merokok, usia mulai merokok, usia berhenti merokok, dan jumlah batang yang
dihisap perhari. Sedangkan metode observasi dilakukan untuk memperoleh
informasi terkait jenis kelamin responden yang diperoleh melalui observasi
kartu tanda penduduk, sedangkan pengukuran langsung dilakukan oleh tenaga
medis untuk mengukur glukosa darah 2 jam paska pembebanan 75 gram
glukosa. Pemeriksaan spesimen biomedis dilakukan secara bertahap dan di
tempat yang berbeda, yaitu pemeriksaan spesimen/sampel biomedis dari
lapangan dan pemeriksaan spesimen/sampel biomedis di laboratorium
Badan Litbang Kesehatan.
Entri data dilakukan di lokasi pengumpulan setelah data dikumpulkan
agar masalah data dapat segera dituntaskan sebelum dikirimkan ke penanggung
jawab Riskesdas pada tingkat Kabupaten/Kota. Selanjutnya dalam penelitian
ini, beberapa variabel diberikan kode baru untuk kebutuhan analisis penelitian.
4.5 Instrumen Pengumpulan Data
Berikut adalah metode pengukuran dan instrumen pengumpulan data
pada masing-masing variabel penelitian.
Tabel 4.1 Metode dan Instrumen Pengumpulan Data 1
No. Variabel penelitian Pengukuran
1. TGT Pengukuran glukosa darah setelah 2 jam
pembebanan minuman manis berglukosa 75
64
No. Variabel penelitian Pengukuran
gram dengan menggunakan Accucheck performa
dan dilakukan oleh tenaga medis.
2. Status merokok Wawancara dengan kuesioner
3. Usia mulai merokok Wawancara dengan kuesioner. Apabila
responden lupa maka diisi dengan “98”.
4. Jumlah rokok yang
dihisap
Wawancara dengan kuesioner. Apabila
responden lupa maka diisi dengan “98”.
5. Durasi merokok Diperoleh melalui pengurangan usia berhenti
merokok atau saat wawancara dilaksanakan
dengan usia mulai merokok pertam a kali.
6. Jenis rokok Wawancara dengan kuesioner
7. Umur Wawancara dengan kuesioner yang dibuktikan
dengan KTP. Apabila tidak dapat menunjukkan
bukti tersebut atau responden lupa maka
pewawancara melakukan probing dengan
menghubungan tanggal-tanggal, bulan atau tahun
penting atau peristiwa penting di Indonesia.
8. Jenis kelamin Wawancara dengan kuesioner Rumah Tangga
RKD13 (IV) dan observasi KK serta observasi
langsung pada saat wawancara
9. Konsumsi kopi Wawancara dengan kuesioner
4.6 Manajemen data
Sebelum manajemen data dilakukan oleh peneliti, kegiatan pengolahan
data dan pembuatan dataset dilakukan oleh Litbangkes Kementerian Kesehatan
RI terlebih dahulu. Berikut adalah alur manajemen data pada penelitian ini.
65
1. Manajemen data Riskesdas 2013 oleh Litbangkes Kementerian
Kesehatan RI
Kegiatan manajemen data dilakukan dua tahap yaitu dilaksanakan
di Kabupaten/kota dan dilakukan di satuan kerja Badan Litbangkes.
a. Tahap 1 dilaksanakan di Kabupaten/kota, meliputi kegiatan:
1) Pengumpulan data
2) Penerimaan dan pembukuan
3) Kontrol kualitas data
4) Pemasukan data (entry data)
5) Pengiriman data elektronik
b. Tahap 2 dilakukan di satuan kerja Badan Litbangkes, meliputi kegiatan:
1) Penerimaan dan penggabungan data Kabupaten/kota
2) Cleaning data Kabupaten/kota
3) Penggabungan data provinsi
4) Cleaning data provinsi
5) Penggabungan data nasional
6) Cleaning data nasional
7) Imputasi
8) Pembobotan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
9) Penyimpanan data elektronik
66
2. Manajemen data Riskesdas 2013 oleh peneliti
Berikut adalah kegiatan yang dilakukan setelah menerima dataset
Riskesdas tahun 2013 sebelum melakukan analisis data lebih lanjut
diantaranya yaitu filter data, cleaning data, dan pengkodean ulang data :
1) Filter data
Peneliti mengkoreksi daftar variabel yang disediakan oleh
Banlitbangkes dengan daftar variabel yang dibutuhkan oleh peneliti.
Variabel yang disediakan tersebut antara lain komposit dari variabel
merokok, jenis kelamin, umur dan konsumsi kopi.
2) Cleaning data
Cleaning data dilakukan untuk mengeluarkan data yang
missing atau tidak lengkap dan data yang memiliki nilai ekstrim.
Data ekstrim dikeluarkan karena peneliti akan melakukan uji statistik
dimana adanya nilai ekstrim akan mempengaruhi hasil analisis
tersebut. Adapun data yang termasuk outliers atau data ekstrim yaitu
usia mulai merokok, durasi merokok dan umur.
Adapun data yang dihilangkan karena bernilai ekstrim, sebagai
berikut:
Umur : >83 tahun = 52 orang. Secara statistik usia
>83 tahun merupakan nilai ekstrim dan secara
67
substansi usia tersebut sudah sangat rentan
terhadap recall bias sehingga sebaiknya
dikeluarkan dari analisis karena akan
berpengaruh pada hasil wawancara usia mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap, dan
usia berhenti merokok.
Usia mulai merokok : <5 tahun = 2 orang dan >70 tahun = 235
orang. Berdasarkan kriteria Kemenkes RI,
usia kurang dari 5 tahun masih masuk
kategori balita sehingga harus dikeluarkan
dari analisis karena balita bisa menjadi
perokok pasif tapi untuk perokok aktif masih
diragukan sehingga peneliti mengeluarkan
dari analisis.
Durasi merokok : >70 tahun = 50 orang. Secara subtansi
kemungkinan terjadi recall bias terhadap usia
berhenti merokok, sehingga 50 orang
dikeluarkan dari analisis karena bernilai
ekstrim.
68
Berikut adalah bagan cleaning data pada sampel penelitian.
Bagan 4.2 Penyeleksian Data
Sampel : 28.664
Data pemeriksaan glukosa darah 2 jam
paska pembebanan >199 mg/dl
n = 2555
Sampel : 26.448
Missing data (kosong) pada pemeriksaan
glukosa darah 2 jam paska pembebanan
n = 2216
Data valid
n = 23.893
Terdiri dari:
Normal : 16.146
TGT : 7747
Nilai ekstrim dan missing data pada
variabel umur, usia mulai merokok, dan
durasi merokok
n = 1397
Dianalisis Tidak dianalisis
Data valid
n = 22.496
69
Berikut adalah tabel hasil cleaning data berdasarkan masing-
masing variabel.
Tabel 4.2 Distribusi Jumlah Sampel berdasarkan Variabel
Penelitian 1
No. Variabel Total
sampel
Dapat
dianalisis
Tidak dapat dianalisis
Missing data Nilai ekstrim
1. TGT 23.893 22.496 0 0
2. Status
merokok 23.893 22.496 0 0
3. Usia mulai
merokok 23.893 22.496 824 237
4. Jumlah rokok
yang dihisap 23.893 22.496 0 0
5. Durasi
merokok 23.893 22.496 233 50
6. Jenis rokok 23.893 22.496 0 0
7. Umur 23.893 22.496 1 52
8. Jenis kelamin 23.893 22.496 0 0
9. Konsumsi
kopi 23.893 22.496 0 0
Berdasarkan jumlah sampel yang dapat dianalisis, maka dapat
dihitung kekuatan uji (1-β) pada setiap variabel. Perhitungan
kekuatan uji berdasarkan rumus besar sampel uji hipotesis pada 2
proporsi (two tail), sebagai berikut:
70
𝑛 =(𝑍1−𝛼/2 √2𝑃(1−𝑃)+ 𝑍1−𝛽 √𝑃1(1−𝑃1)+𝑃2(1−𝑃2))2
(𝑃1 − 𝑃2)2
Keterangan :
𝑧1−𝛼
2 : nilai Z pada derajat kepercayaan 95% (1,96)
𝑧1−𝛽 : nilai Z dari kekuatan uji
𝑃1 : proporsi individu yang terekspos faktor risiko TGT pada
penderita TGT
𝑃2 : proporsi individu yang tidak terekspos faktor risiko TGT
pada penderita TGT
P : 𝑃1+ 𝑃2
2
Perhitungan kekuatan uji (1-β) menggunakan aplikasi sampel
size pada setiap variabel penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Perhitungan Kekuatan Uji (1-β) pada Setiap Variabel
Penelitian 1
No. Variabel n P1 P2 Peneliti
sebelumnya
Kekuatan
uji (1-β)
1. TGT 22.496 0,13 0,87 (Soewondo, 2011) 99%
2. Status
merokok 22.496 0,89 0,11 (Soewondo, 2011) 99%
3. Usia mulai
merokok 22.496 0.19 0.10 (Kim, 2014) 99%
4.
Jumlah
rokok yang
dihisap
22.496 0,23 0,77 (Shi, 2013) 99%
5. Durasi
merokok 22.496 0,9 0,1
(Venkatachalam,
2012) 99%
6. Jenis rokok 22.496 0,8 0,2 (Venkatachalam, 99%
71
No. Variabel n P1 P2 Peneliti
sebelumnya
Kekuatan
uji (1-β)
2012)
7. Umur 22.496 0,46 0,52 (Bener, 2009) 99%
8. Jenis
kelamin 22.496 0,25 0,75
(Ghoraba dkk.,
2016) 99%
9. Konsumsi
kopi 22.496 0,42 0,62 (Tjekyan, 2007) 99%
Berdasarkan data diatas diketahui bahwa masing-masing
variabel memiliki jumlah sampel yang berbeda. Karena peneliti
menganalisis menggunakan multivariat maka jumlah sampel harus
disamakan sehingga data yang mising pada variabel umur, usia mulai
merokok, dan usia berhenti merokok, direduksi satu per satu.
3) Pengkodean data
Pengkodean data dilakukan dengan cara melihat kode awal dari
Riskesdas 2013 dan disesuaikan dengan referensi yang dipakai oleh
peneliti untuk menjawab tujuan penelitian. Peneliti melakukan
pengkodean ulang terhadap beberapa variabel yang membutuhkan
perubahan kategori sesuai dengan kebutuhan analisis. Berikut adalah
penjelasannya.
72
Tabel 4.4 Pengkodean Ulang Data Riskesdas 1
No. Variabel Kode Awal Kode Akhir Keterangan
1. Nilai
GD2PP
Data numerik 0. TGT
1. Normal
Berdasarkan
definisi (ADA,
2010) bahwa :
TGT jika GD2PP
pada rentang 140-
199 mg/dl dan
normal apabila
<140 mg/dl
2. Status
merokok
1. Ya, setiap hari
2. Ya, kadang-
kadang
3. Tidak, tapi
sebelumnya
pernah merokok
tiap hari
4. Tidak, tapi
sebelumnya
pernah merokok
kadang-kadang
5. Tidak pernah
sama sekali
0. Merokok
1. Pernah
merokok
2. Tidak
pernah
merokok
Pengkodean ulang
oleh peneliti
dengan
menggabungkan
kategori 1 dan 2
menjadi kategori
“merokok”,
kategori 3 dan 4
menjadi kategori
“pernah
merokok” dan
kategori 5
menjadi kategori
“tidak pernah
merokok”.
3. Usia
mulai
merokok
Data numerik 0. 5-19 tahun
1. ≥20 tahun
Kategorisasi data
numerik.
73
No. Variabel Kode Awal Kode Akhir Keterangan
4. Jumlah
rokok
yang
dihisap
perhari
Data numerik 0. ≥20 batang
sehari
1. <20 batang
sehari
Kategorisasi data
numerik.
5. Durasi
merokok
Data numerik 0. Lebih dari
sama
dengan 20
tahun
1. Kurang dari
20 tahun
Hasil
pengurangan
umur saat
berhenti merokok
dengan usia
merokok pertama
kali untuk
kategori pernah
merokok atau
umur saat
diwawancara
dikurangi dengan
umur pertama kali
merokok untuk
kategori perokok.
6. Jenis
rokok
1. Kretek
2. Putih
3. Linting
4. Cerutu atau
cangklong
0. Kretek
1. Putih
2. Linting
3. Cerutu atau
cangklong
Kode tetap. Jenis
rokok boleh
dijawab lebih dari
1 maka analisis
data
menggunakan
multiple respons.
74
No. Variabel Kode Awal Kode Akhir Keterangan
7. Umur Data numerik 0. ≥45 tahun
1. <45 tahun
Kategorisasi data
numerik.
8. Jenis
kelamin
1. Laki-laki
2. Perempuan
0. Laki-laki
1. Perempuan
Kode tetap
9. Konsums
i kopi
1. > 1 kali per hari
2. 1 kali per hari
3. 3-6 kali per
minggu
4. 1-2 kali per
minggu
5. <3 kali per
bulan
6. Tidak pernah
0. Konsumsi
kopi
1. Tidak
konsumsi
kopi
Pengkodean ulang
oleh peneliti
dengan
menggabungkan
kategori 1 sampai
5 menjadi
“konsumsi kopi”
dan kategori 6
menjadi “tidak
konsumsi kopi”
4.7 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat.
4.7.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan pada semua variabel penelitian untuk
melihat frekuensi atau persentase dari setiap variabel penelitian terhadap
variabel TGT. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel frekuensi
dalam tabel silang 2X2 dengan nilai total pada masing-masing kolom.
Hal ini bertujuan untuk melihat perbedaan proporsi variabel status
75
merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, durasi
merokok, jenis rokok, umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi antara
penderita TGT dan bukan TGT di Indonesia tahun 2013.
4.7.2 Uji Bivariat
Uji bivariat pada penelitian ini menggunakan uji chi-square. Uji
chi-square bertujuan untuk melihat hubungan variabel TGT dan
merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang
dihisap, durasi merokok, dan jenis rokok). Selain itu juga untuk melihat
adanya hubungan variabel umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi
terhadap kejadian TGT berdasarkan status merokok. Hasil analisis ini
disajikan dalam bentuk tabel yang memuat persentase, nilai PRR, 95%
CI, dan p value.
Adapun nilai PRR memiliki makna tertentu yang ditentukan
sebagai berikut (Merril, 2011; Webb dan Bain, 2011):
1. Jika nilai PRR>1 maka kesimpulannya yaitu ada hubungan yang
bermakna antara faktor risiko atau pajanan dengan dampak atau
penyakit dan meningkatkan risiko orang yang terpajan untuk
terkena suatu dampak atau penyakit.
2. Jika nilai PRR=1 maka kesimpulannya yaitu tidak ada hubungan
bermakna antara faktor risiko atau pajanan dengan dampak atau
penyakit.
76
3. Jika nilai PRR<1 maka kesimpulannya yaitu ada hubungan antara
faktor risiko atau pajanan dengan dampak atau penyakit dan
menurunkan risiko orang yang terpajan untuk terkena suatu dampak
atau penyakit.
Nilai PRR juga disajikan bersamaan dengan nilai 95%CI, yang
memiliki arti bahwa apabila rentang CI melewati angka 1 maka tidak
ada hubungan yang bermakna antara faktor risiko dengan suatu dampak
atau penyakit. Sebaliknya jika rentang CI tidak melewati angka 1 maka
dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara faktor risiko
dengan suatu dampak atau penyakit.
4.7.3 Uji Multivariat
Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui hubungan
variabel independen utama yaitu merokok dengan variabel dependen
yaitu TGT dengan mengontrol beberapa variabel confonder seperti
umur, jenis kelamin, dan konsumsi kopi. Pada analisis multivariat ini
yang digunakan yaitu regresi logistik berganda model faktor risiko.
Hasil dari analisis multivariat ini berupa nilai ARR (Adjusted Relative
Risk) (Merril, 2011).
77
5 BAB V
HASIL
5.1 Proporsi Kejadian Toleransi Glukosa Terganggu berdasarkan Proporsi
Merokok dan Karakteristik Individu di Indonesia Tahun 2013
Berikut adalah proporsi kejadian TGT berdasarkan status merokok, usia
mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, durasi merokok, umur, jenis kelamin
dan konsumsi kopi yang disajikan dalam tabel 5.1. Untuk variabel jenis rokok
disajikan pada tabel 5.2, Variabel tersebut dianalisis pada tabel terpisah
dikarenakan termasuk dalam variabel multiple respons sehingga persentase
berdasarkan nilai kolom bukan baris.
Tabel 5.1 Proporsi Kejadian Toleransi Glukosa Terganggu berdasarkan
Proporsi Merokok dan Karakteristik Individu di Indonesia Tahun 2013 1
No. Variabel TGT Normal J umlah
n % N %
1. Status merokok
Merokok 1478 25,5 4327 74,5 5805
Pernah merokok 287 32,1 607 67,9 894
Tidak pernah merokok 5499 34,8 10298 65,2 15797
Jumlah 22496
2. Usia mulai merokok
5-19 tahun 1172 25,1 3506 74,9 4678
≥20 tahun 593 29,3 1428 70,7 2021
Tidak pernah merokok 5499 34,8 10298 65,2 15797
Jumlah 22496
3. Durasi merokok
≥20 tahun 1239 31 2758 69 3997
<20 tahun 525 19,5 2165 80,5 2690
Tidak pernah merokok 5500 34,8 10309 65,2 15809
Jumlah 22496
78
No. Variabel TGT Normal J umlah
n % N %
4. Jumlah rokok yang dihisap
≥ 20 batang sehari 163 28,3 413 71,7 576
< 20 batang sehari 1602 26,2 4521 73,8 6123
Tidak pernah merokok 5499 34,8 10298 65,2 15797
Jumlah 22496
5. Umur
≥45 tahun 3664 38,9 5752 61,1 9416
<45 tahun 3600 27,5 9480 72,5 13080
Jumlah 22496
6. Jenis kelamin
Laki-laki 2234 26 6351 74 8585
Perempuan 5030 36,2 8881 63,8 13911
Jumlah 22496
7. Konsumsi kopi
Konsumsi kopi 4151 31,2 9156 68,8 13307
Tidak konsumsi kopi 3112 33,9 6076 66,1 9180
Jumlah 22496
6
Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa individu yang tidak merokok
justru memiliki proporsi lebih besar untuk terjadinya TGT dibanding individu
yang merokok dan pernah merokok. Untuk individu yang merokok justru
memiliki proporsi TGT paling rendah yaitu 25,5%. Hal ini juga terjadi pada usia
mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, dan durasi merokok. Pada kategori
usia, individu yang mengalami TGT paling banyak berusia ≥45 tahun (38,9%)
dibanding usia <45 tahun (27,5%). Jenis kelamin paling banyak yang mengalami
TGT yaitu perempuan dengan proporsi 36,2%. Untuk konsumsi kopi, individu
yang tidak pernah konsumsi kopi justru mengalami kejadian TGT paling banyak
dibanding yang mengkonsumsi kopi dengan proporsi 33,9%.
79
Tabel 5.2 Proporsi Jenis Rokok dengan Toleransi Glukosa Terganggu
di Indonesia Tahun 2013 1
Jenis rokok TGT Normal Jumlah
N % n %
Kretek
Iya 1262 57,1 3459 55,8 4721
Tidak 6002 33.8 11773 66.2 17775
Putih
Iya 597 27 1904 30,7 2501
Tidak 6667 33.3 13328 66.7 19995
Linting
Iya 333 15,1 811 13,1 1144
Tidak 6931 32.5 14421 67.5 21352
Cangklong
Iya 18 0,8 24 0,4 42
Tidak 7246 32.3 15208 67.7 22454
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa individu yang menghisap
rokok dengan jenis kretek mengalami kejadian TGT paling banyak
dibanding individu yang menghisap rokok selain kretek (57,1%). Individu
yang menghisap rokok kretek memiliki proporsi lebih banyak pada kondisi
TGT dibanding kondisi normal. Begitu pula individu yang menghisap rokok
linting atau cangklong. Berbeda dengan individu yang menghisap rokok
putih, justru memiliki proporsi normal lebih banyak dibanding proporsi
TGT.
80
5.2 Hubungan Kejadian Toleransi Glukosa Terganggu berdasarkan Proporsi
Merokok, dan Karakteristik Individu di Indonesia Tahun 2013
Berikut adalah hasil analisis hubungan antara merokok (status merokok,
usia mulai merokok, durasi merokok, jumlah rokok yang dihisap), dan
karakteristik individu yang terdiri dari umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi.
Tabel 5.3 Hasil Analisis Hubungan Merokok dengan Kejadian Toleransi
Glukosa Terganggu di Indonesia Tahun 2013 d1
No. Variabel TGT Normal Juml
ah
Pvalue PRR (95% CI)
n % n %
1. Status merokok
Merokok 1478 25,5 4327 74,5 5805 0.000 1.487 (1.485-1.488)
Pernah merokok 287 32,1 607 67,9 894 1.083 (1.080-1.085)
Tidak pernah
merokok
5499 34,8 10298 65,2 15797 1.000 (Reference)
2. Usia mulai
merokok
5-19 tahun 1172 25,1 3506 74,9 4678 0.000 1.565 (1.563-1.566)
≥20 tahun 593 29,3 1428 70,7 2021 1.137 (1.135-1.139)
Tidak pernah
merokok
5499 34,8 10298 65,2 15797 1.000 (Reference)
3. Durasi
merokok
≥20 tahun 1239 31 2758 69 3997 0.000 1.985 (1.982-1.989)
<20 tahun 525 19,5 2165 80,5 2690 0.901 (0.900-0.902)
Tidak pernah
merokok
5500 34,8 10309 65,2 15809 1.000 (Reference)
4. Jumlah rokok
yang dihisap
≥ 20 batang
sehari
163 28,3 413 71,7 576 0.000 1.435 (1.431-1.439)
< 20 batang
sehari
1602 26,2 4521 73,8 6123 1.415 (1.414-1.417)
Tidak pernah
merokok
5499 34,8 10298 65,2 15797 1.000 (Reference)
81
No. Variabel TGT Normal Juml
ah
Pvalue PRR (95% CI)
n % n %
5. Umur
≥45 tahun 3664 38,9 5752 61,1 9416 0.000 1.735 (1.734-1.737)
<45 tahun 3600 27,5 9480 72,5 13080 1.000 (Reference)
6. Jenis kelamin
Laki-laki 2234 26 6351 74 8585 0.000 0.625 (0.624-0.625)
Perempuan 5030 36,2 8881 63,8 13911 1.000 (Reference)
7. Konsumsi kopi
Konsumsi kopi 4151 31,2 9156 68,8 13307 0.000 0.907 (0.906-0.908)
Tidak konsumsi
kopi
3112 33,9 6076 66,1 9180 1.000 (Reference)
Tabel tersebut juga menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara
merokok, usia mulai merokok, durasi merokok, jumlah rokok yang dihisap,
umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi dengan kejadian TGT.
Individu yang pernah merokok memiliki risiko 1.08 kali untuk
terjadinya TGT. Risiko ini naik menjadi 1.48 kali untuk terjadinya TGT
apabila individu masih berstatus merokok. Pada usia mulai merokok, individu
yang mulai merokok pada usia ≥ 20 tahun memiliki risiko sebesar 1,13 kali
untuk terjadinya TGT. risiko naik menjadi 1,56 kali apabila individu merokok
pada usia lebih muda yaitu pada rentang 5-19 tahun. Pada durasi merokok,
individu yang merokok ≥ 20 tahun memiliki risiko 1,98 kali untuk terjadinya
TGT. Justru pada individu yang merokok kurang dari 20 tahun memiliki efek
protektif.
Untuk jumlah rokok yang dihisap, semakin banyak rokok yang dihisap
maka risiko terjadinya TGT semakin meningkat yaitu berisiko 1,41 kali pada
82
individu yang merokok kurang dari 20 batang sehari dan menjadi 1,43 kali
pada individu yang merokok ≥ 20 batang per hari.
Pada karakteristik individu, individu yang merokok pada usia ≥ 45
tahun berisiko 1,73 kali untuk terjadinya TGT. Adapun individu yang berjenis
kelamin laki-laki memiliki efek protektif terhadap terjadinya TGT yaitu
menurunkan risiko sebesar 37% dan apabila individu mengkonsumsi kopi
maka juga memiliki efek proteksi yaitu menurunkan risiko TGT sebesar 9,3%.
Tabel 5.4 Hasil Analisis Hubungan Jenis Rokok dengan Kejadian
Toleransi Glukosa Terganggu di Indonesia Tahun 2013 1
Jenis rokok TGT Normal Jumlah Pvalue PRR (95% CI)
n % N %
Kretek
Iya 1262 57,1 3459 55,8 4721 0.000 0.773 (0.772-0.774)
Tidak 6002 33.8 11773 66.2 17775 1.000 (Reference)
Putih
Iya 597 27 1904 30,7 2501 0.000 0.647 (0.646-0.648)
Tidak 6667 33.3 13328 66.7 19995 1.000 (Reference)
Linting
Iya 333 15,1 811 13,1 1144 0.000 0.818 (0.816-0.820)
Tidak 6931 32.5 14421 67.5 21352 1.000 (Reference)
Cangklong
Iya 18 0,8 24 0,4 42 0.000 1.289 (1.276-1.303)
Tidak 7246 32.3 15208 67.7 22454 1.000 (Reference)
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa jenis rokok kretek, putih,
linting dan cangklong memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian
TGT. Hubungan bernilai proteksi karena memiliki nilai PRR kurang dari 1.
83
Akan tetapi, hasil ini belum dilakukan pengujian apakah ada faktor individu
yang menjadi faktor confonder sehingga memberikan pengaruh terhadap nilai
PRR. Untuk mengetahui hal tersebut maka selanjutnya dilakukan analisis
multivariat.
5.3 Hubungan Merokok Setelah Dikontrol Variabel Karakteristik Individu
dengan Kejadian TGT di Indonesia Tahun 2013
Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel
dependen setelah dikontrol variabel confonder maka diperlukan analisis
multivariat. Pada analisis multivariat ini model yang digunakan yaitu regresi
logistik berganda model faktor risiko dikarenakan semua variabel berupa
kategorik dan bertujuan untuk mengetahui hubungan antara merokok (status
merokok, usia mulai merokok, durasi merokok, jumlah rokok yang dihisap, dan
jenis rokok) dengan TGT setelah dikontrol oleh variabel karakteristik individu
berupa umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi. Adapun tahapan dari analisis
multivariat meliputi pemilihan variabel kandidat multivariat, pembuatan model
faktor Confounding, dan uji Confounding.
Sebelum analisis dilakukan maka dilakukan pembobotan terlebih dulu
dengan memasukkan variabel pembobotan yang telah tersedia. Hal ini bertujuan
untuk mengantisipasi adanya bias dalam estimasi analisis regresi logistik dan
mencegah bias dari standar eror saat analisis.
84
5.3.1 Pemilihan Variabel Kandidat Multivariat
Pada penelitian ini terdapat 5 variabel independen (status merokok,
usia mulai merokok, durasi merokok, jumlah rokok yang dihisap, dan jenis
rokok), 3 variabel confonder (umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi) yang
diduga memiliki hubungan secara substansi dengan kejadian Toleransi
Glukosa Terganggu. Variabel jenis rokok merupakan variabel dengan multiple
respons sehingga dalam analisis multivariat ini jenis rokok akan dianalisis
satu per satu berdasarkan kategori rokok kretek, putih, linting atau cerutu, dan
cangklong. Dalam menentukan tahapan pertama dalam analisis multivariat
maka dilakukan pemilihan variabel kandidat multivariat terlebih dahulu
melalui analisis bivariat. Berikut adalah tabel nilai p value pada masing-
masing variabel. Variabel yang memiliki nilai p value <0,25, maka dapat
dijadikan sebagai kandidat analisis multivariat.
Tabel 5.5 Variabel Kandidat Multivariat 1
No. Variabel P value Keterangan
1. Status merokok 0.000 Kandidat
2. Usia mulai merokok 0.000 Kandidat
3. Durasi merokok 0.000 Kandidat
4. Jumlah batang rokok 0.000 Kandidat
5. Kretek 0.000 Kandidat
6. Putih 0.000 Kandidat
7. Linting/Cerutu 0.000 Kandidat
8. Cangklong 0.000 Kandidat
9. Umur 0.000 Kandidat
10 Jenis kelamin 0.000 Kandidat
11 Konsumsi kopi 0.000 Kandidat
85
Pada tabel 5.5 diketahui bahwa secara keseluruhan variabel memiliki p
value <0,25. Dengan demikian seluruh variabel dalam penelitian ini dapat
masuk ke dalam analisis model multivariat pada tahap berikutnya yaitu
pembuatan model faktor penentu.
.
5.3.2 Pembuatan Model Faktor Penentu
Pada tahap kedua ini, variabel yang menjadi kandidat pada tahap
sebelumnya dianalisis menggunakan analisis multivariat yaitu regresi logistik
berganda untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan kejadian
Toleransi Glukosa Terganggu. Adapun tahapannya yaitu kandidat variabel
pada tabel 5.6 dianalisis bersamaan dalam analisis multivariat dan variabel
yang memiliki pwald>0,05 dikeluarkan dalam analisis satu per satu dimulai
dari variabel dengan pwald paling besar. Hasil penentuan faktor penentu
melalui analisis multivariat dapat dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.6 Nilai P wald Hasil Analisis Multivariat antara Variabel
Independen dan Variabel Confonder dengan Variabel Dependen 1
No. Variabel Model 1
1. Status merokok 0.000
2. Usia mulai merokok 0.000
3. Durasi merokok 0.000
4. Jumlah batang rokok 0.000
5. Jenis
rokok
Kretek 0.000
6. Putih 0.000
7. Linting 0.000
8. Cangklong 0.000
86
No. Variabel Model 1
9. Umur 0.000
10. Jenis kelamin 0.000
11. Konsumsi kopi 0.000
Pada tabel 5.6 diketahui bahwa dari 11 variabel yang dianalisis, secara
keseluruhan variabel memiliki pwald <0,05 sehingga tidak ada variabel yang
dikeluarkan dari analisis. Hasil analisis multivariat selengkapnya dapat dilihat
pada tabel 5.7 dibawah ini.
Tabel 5.7 Hasil Analisis Multivariat antara Variabel Independen dan
Variabel Confonder dengan Variabel Dependen 1
No. Variabel TGT Normal J umlah PRR (95% CI)
N % n %
1. Status
merokok
Merokok 1478 25,5 4327 74,5 5805 3.882 (3.739-4.030)
Pernah
merokok
287 32,1 607 67,9 894 2.898 (2.791-3.009)
Tidak pernah
merokok
5499 34,8 10298 65,2 15797 1.000 (Reference)
2. Usia mulai
merokok
5-19 tahun 1172 25,1 3506 74,9 4678 3.431 (3.305-3.563)
≥20 tahun 593 29,3 1428 70,7 2021 2.898 (2.791-3.009)
Tidak pernah
merokok
5499 34,8 10298 65,2 15797 1.000 (Reference)
3. Durasi
merokok
≥20 tahun 1239 31 2758 69 3997 1.534 (1.531-1.537)
<20 tahun 525 19,5 2165 80,5 2702 4.940 (4.759-5.129)
Tidak pernah
merokok
5500 34,8 10309 65,2 15797 1.000 (Reference)
87
No. Variabel TGT Normal J umlah PRR (95% CI)
N % n %
4. Jumlah
rokok yang
dihisap
≥ 20 batang
sehari
163 28,3 413 71,7 4772 1.051 (1.048-1.054)
< 20 batang
sehari
1602 26,2 4521 73,8 1927 1.036 (1.033-1.038)
Tidak pernah
merokok
5499 34,8 10298 65,2 15797 1.000 (Reference)
5. Umur
≥45 tahun 3664 38,9 5752 61,1 9416 1.672 (1.671-1.674)
<45 tahun 3600 27,5 9480 72,5 13080 1.000 (Reference)
6. Jenis
kelamin
Laki-laki 2234 26 6351 74 8585 0.593 (0.592-0.594)
Perempuan 5030 36,2 8881 63,8 13911 1.000 (Reference)
7. Konsumsi
kopi
Konsumsi
kopi
4151 31,2 9156 68,8 13307 0.997 (0.996-0.998)
Tidak
konsumsi
kopi
3112 33,9 6076 66,1 9180 1.000 (Reference)
8. Kretek
Iya 1262 57,1 3459 55,8 4721
1.036 (1.033-1.038)
Tidak 6002 33.8 11773 66.2 17775 1.000 (Reference)
9. Putih
Iya 597 27 1904 30,7 2501
0.976 (0.974-0.978)
Tidak 6667 33.3 13328 66.7 19995
1.000 (Reference)
10. Linting
Iya 333 15,1 811 13,1 1144
0.909 (0.907-0.911)
Tidak 6931 32.5 14421 67.5 21352 1.000 (Reference)
11. Cangklong
Iya 18 0,8 24 0,4 42
1.689 (1.671-1.674)
Tidak 7246 32.3 15208 67.7 22454 1.000 (Reference)
88
Pada tabel 5.7 diketahui bahwa status merokok berhubungan dengan
kejadian TGT, individu yang pernah merokok memiliki risiko 2,89 kali untuk
terjadinya TGT dan meningkat menjadi 3,88 ketika individu masih berstatus
merokok. Pada usia mulai merokok, semakin muda usia merokok maka
individu semakin berisiko terhadap TGT yaitu 2,89 kali ketika merokok pada
usia ≥20 tahun dan menjadi 3,43 kali ketika mulai merokok pada rentang 5-19
tahun. Pada durasi merokok, individu yang merokok lebih dari 20 tahun
memiliki risiko 1,5 kali untuk terjadinya TGT dan menjadi 4,9 kali ketika
merokok kurang dari 20 tahun. Individu yang menghisap rokok <20 batang
sehari memiliki risiko 1,03 kali untuk terjadinya TGT dan naik menjadi 1,05
kali pada individu yang merokok ≥20 batang sehari. Pada jenis rokok, rokok
yang memiliki risiko terhadap terjadinya TGT yaitu kretek dan cangklong.
Pada variabel umur, usia ≥45 tahun memiliki risiko 1,6 kali untuk terjadinya
TGT dibanding usia kurang dari 45 tahun. Jenis kelamin laki-laki memiliki
efek proteksi yaitu menurunkan risiko sebesar 37% terhadap terjadinya TGT
dibanding perempuan dan individu yang mengkonsumsi kopi menurunkan
risiko sebesar 0,3%.
Akan tetapi hasil tersebut masih belum masuk pada tahap selanjutnya
yaitu uji confounding dimana pada uji tersebut akan diperoleh variabel yang
menjadi confonder antara status merokok, usia mulai merokok, durasi
merokok, jumlah rokok yang dihisap, dan jenis rokok dengan kejadian TGT,
89
sehingga diperoleh pula nilai ARR setelah dikontrol dengan variabel
confonder.
5.3.3 Uji Confounding
Tahapan selanjutnya pada analisis multivariat model faktor risiko yaitu
uji Confounding. Tahap ini dilakukan untuk mencari variabel apa yang
berperan sebagai confonder. Penentuan variabel confonder dilakukan dengan
membandingkan nilai RR variabel independen antara sebelum dan sesudah
variabel yang diduga confonder dikeluarkan. Apabila selisih nilai RR>10%
maka variabel tersebut dinyatakan terbukti sebagai perancu dan tetap masuk
dalam model multivariat. Namun apabila variabel memiliki selisih RR<10%
maka dikeluarkan dalam analisis (Riyanto, 2009). Berikut adalah tabel 5.8
yaitu hasil uji Confounding dari variabel umur.
Tabel 5.8 Hasil Uji Confounding dengan Mengeluarkan Variabel Umur 1
No. Variabel Gold
standar
RR tanpa
variabel umur
∆RR Keterangan
1. Status merokok (1) 3.882 4.345 99,8%
Umur
Confonder
Status merokok (2) 2.898 2.796 3,51%
2. Usia mulai merokok 1.184 1.306 10.3%
3. Durasi merokok (1) 1.534 2.108 37,4%
Durasi merokok (2) 4.940 6.823 38,1%
4. Jumlah rokok yang
dihisap (1)
1.051 1.064 1,2%
5. Kretek 1.036 1.038 0,2%
6. Putih 0.976 0.933 4,4%
7. Linting 0.909 0.956 5,2%
8. Cangklong 1.689 1.696 0,4%
90
No. Variabel Gold
standar
RR tanpa
variabel umur
∆RR Keterangan
9. Umur 1.672 - -
10. Jenis kelamin 0.539 0.599 11,1%
11. Konsumsi kopi 0.997 1.011 1,4%
Pada tabel 5.8 diketahui bahwa ∆RR dari variabel status merokok, usia
mulai merokok, durasi merokok dan jenis kelamin memiliki nilai >10% maka
dapat disimpulkan bahwa umur merupakan variabel confonder. Oleh karena
itu umur harus tetap berada dalam analisis. Umur menjadi faktor yang secara
substansi menjadi perancu antara hubungan merokok dengan TGT. Hal ini
dikarenakan semakin tua usia individu maka semakin meningkatkan risiko
terjadinya TGT.
Selanjutnya RR yang paling besar yaitu variabel konsumsi kopi.
Variabel konsumsi kopi dikeluarkan dari analisis untuk mendeteksi apakah
variabel konsumsi kopi menjadi faktor confonder atau tidak. Sesuai dengan
tahapan sebelumnya yaitu dengan membandingkan nilai RR ketika variabel
konsumsi kopi masih masuk dalam analisis dan ketika variabel telah
dikeluarkan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 5.9.
Tabel 5.9 Hasil Uji Confounding dengan Mengeluarkan Variabel
Konsumsi Kopi 1
No. Variabel Gold
standar
RR tanpa
variabel umur
∆RR Keterangan
1. Status merokok (1) 3.882 3.884 0.05% Konsumsi
kopi
confonder
Status merokok (2) 2.898 2.898 0
2. Usia mulai
merokok
1.184 1.184 0
91
No. Variabel Gold
standar
RR tanpa
variabel umur
∆RR Keterangan
3. Durasi merokok
(1)
1.534 1.534 0
Durasi merokok
(2)
4.940 4.940 0
4. Jumlah rokok yang
dihisap (1)
1.051 1.051 0
5. Kretek 1.036 1.036 0
6. Putih 0.976 0.976 0
7. Linting 0.909 0.909 0
8. Cangklong 1.689 1,688 0.06%
9. Umur 1.672 1.672 0
10. Jenis kelamin 0.539 0.593 10,01%
11. Konsumsi kopi 0.997 - -
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa terdapat satu variabel yang
memiliki nilai ∆RR>10% yaitu jenis kelamin sehingga dapat disimpulkan
bahwa konsumsi kopi merupakan faktor confonder. Oleh karena itu konsumsi
kopi harus diikutsertakan dalam analisis.
Kopi memiliki hubungan dengan TGT. Dalam penelitian ini
disebutkan bahwa kopi memiliki efek protektif terhadap TGT. Terdapat zat
berupa asam klorogenat dalam kopi yang dapat menunda absorbsi glukosa.
Apabila absorbsi glukosa dapat dihambat maka peluang untuk terjadinya
hiperglikemi yang dapat menyebabkan resistensi insulin juga dapat dicegah
(Kobayashi dkk., 2017). Hal inilah yang menyebabkan kopi dapat menjadi
faktor confonder antara hubungan merokok dengan TGT karena kopi juga
memiliki hubungan terhadap TGT secara langsung.
92
Tabel 5.10 Hasil Uji Confounding dengan Mengeluarkan Variabel Jenis
Kelamin 1
No. Variabel Gold
standar
RR tanpa
variabel jenis
kelamin
∆RR Keterangan
1. Status merokok (1) 3.882 5.420 39.6%
Jenis
kelamin
confonder
Status merokok (2) 2.898 3.958 36.6%
2. Usia mulai
merokok
1.184 1.225 3.5%
3. Durasi merokok
(1)
1.534 1.523 0.7%
Durasi merokok
(2)
4.940 4.760 3.6%
4. Jumlah rokok yang
dihisap (1)
1.051 1.081 2.8%
5. Kretek 1.036 1.041 0.5%
6. Putih 0.976 0.965 1.1%
7. Linting 0.909 0.890 2.1%
8. Cangklong 1.689 1.693 0.2%
9. Umur 1.672 1.664 0.5%
10. Jenis kelamin 0.539 - -
11. Konsumsi kopi 0.997 0.979 1.8%
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa terdapat satu variabel yang
memiliki nilai ∆RR>10% yaitu status merokok, sehingga dapat disimpulkan
bahwa jenis kelamin merupakan faktor confonder. Oleh karena itu jenis
kelamin harus diikutsertakan dalam analisis.
Secara subtansi, penelitian Soewondo dan Pramono (2011) di
Indonesia dengan menggunakan data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa
perempuan lebih berisiko terhadap TGT dibanding dengan laki-laki.
Penelitian Lang dkk., (2015) di Croatia dengan desain studi yang sama juga
menunjukkan hasil yang serupa. Penelitian Irawan (2010) juga menunjukkan
93
bahwa perempuan memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadinya TGT. Hal
ini dikarenakan perempuan memiliki siklus bulanan yaitu menstruasi yang
menyebabkan akumulasi lemak tubuh menjadi lebih mudah hal ini
dikarenakan berkurangnya sekresi hormon estrogen yang merupakan hormon
pengatur distribusi lemak (Irawan, 2010). Penelitian Davis dkk., (2012),
dengan desain eksperimen menggunakan tikus aromatase gene knock-out
(ArKO) yang tidak dapat mensintesis estrogen. Tikus ArKO menunjukkan
obesitas sejak usia 3 bulan yang ditandai dengan peningkatan lapisan lemak.
Penelitian lain dengan desain studi yang sama pada tikus juga menunjukkan
bahwa berkurangnya hormon estrogen menyebabkan terjadinya peningkatan
massa jaringan adiposa tanpa dipengaruhi oleh diet dan kondisi metabolik.
Berdasarkan penjelasan tersebut, diketahui secara substansi bahwa
jenis kelamin dapat mengganggu hubungan antara merokok dengan TGT.
Oleh karena itu jenis kelamin juga harus dikontrol agar diperoleh nilai risiko
yang sebenarnya antara merokok dengan TGT setelah dikontrol variabel jenis
kelamin.
Berdasarkan hasil uji Confounding pada tabel 5.8 sampai 5.10 dapat
disimpulkan bahwa umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi merupakan
variabel confonder, sehingga variabel tersebut harus tetap diikutsertakan
dalam analisis, maka berikut adalah tabel 5.11 hasil analisis hubungan
merokok dengan Toleransi Glukosa Terganggu setelah dikontrol variabel
umur dan jenis kelamin.
94
Tabel 5.11 Hasil Analisis Hubungan Merokok dengan Kejadian Toleransi
Glukosa Terganggu setelah Dikontrol Variabel Umur, Jenis Kelamin dan
Konsumsi Kopi di Indonesia Tahun 2013 1
No. Variabel TGT Normal J umlah ARR (95% CI)
N % N %
1. Status
merokok
Merokok 1478 25,5 4327 74,5 5805 3.882 (3.739-4.030)
Pernah
merokok
287 32,1 607 67,9 894 2.898 (2.791-3.009)
Tidak pernah
merokok
5499 34,8 10298 65,2 15797 1.000 (Reference)
2. Usia mulai
merokok
5-19 tahun 1172 25,1 3506 74,9 4678 3.431 (3.305-3.563)
≥20 tahun 593 29,3 1428 70,7 2021 2.898 (2.791-3.009)
Tidak pernah
merokok
5499 34,8 10298 65,2 15797 1.000 (Reference)
3. Durasi
merokok
≥20 tahun 1239 31 2758 69 3997 1.534 (1.531-1.537)
<20 tahun 525 19,5 2165 80,5 2702 4.940 (4.759-5.129)
Tidak pernah
merokok
5500 34,8 10309 65,2 15797 1.000 (Reference)
4. Jumlah
rokok yang
dihisap
≥ 20 batang
sehari
163 28,3 413 71,7 4772 1.051 (1.048-1.054)
< 20 batang
sehari
1602 26,2 4521 73,8 1927 1.036 (1.033-1.038)
Tidak pernah
merokok
5499 34,8 10298 65,2 15797 1.000 (Reference)
5. Kretek
Iya 1262 57,1 3459 55,8 4721
1.036 (1.033-1.038)
Tidak 6002 33.8 11773 66.2 17775 1.000 (Reference)
6. Putih
Iya 597 27 1904 30,7 2501
0.976 (0.974-0.978)
Tidak 6667 33.3 13328 66.7 19995
1.000 (Reference)
95
No. Variabel TGT Normal J umlah ARR (95% CI)
N % N %
7. Linting
Iya 333 15,1 811 13,1 1144
0.909 (0.907-0.911)
Tidak 6931 32.5 14421 67.5 21352 1.000 (Reference)
8. Cangklong
Iya 18 0,8 24 0,4 42
1.689 (1.671-1.674)
Tidak 7246 32.3 15208 67.7 22454 1.000 (Reference)
Berdasarkan tabel 5.11 diketahui bahwa individu yang pernah
merokok memiliki peluang 2,9 kali untuk terjadinya TGT dibanding yang
tidak pernah merokok. Peluang ini meningkat menjadi 3,9 kali untuk
terjadinya TGT pada individu yang masih merokok. Adapun individu yang
merokok pada usia ≥20 tahun memiliki risiko 2,9 kali untuk terjadinya TGT
dan risiko meningkat menjadi 3,4 kali ketika individu mulai merokok pada
rentang usia 5-19 tahun. Pada durasi merokok, individu yang merokok selama
<20 tahun memiliki risiko 4,9 kali untuk terjadinya TGT dan individu yang
merokok ≥20 tahun memiliki risiko 1,5 kali untuk terjadinya TGT. Individu
yang merokok <20 batang sehari memiliki risiko 1,03 kali untuk terjadinya
TGT dan risiko meningkat menjadi 1,05 kali ketika individu merokok ≥20
batang sehari. Terkait jenis rokok, jenis rokok kretek dan cangklong memiliki
risiko untuk terjadinya TGT dengan risiko 1,03 untuk individu yang
menghisap rokok kretek dan 1,7 untuk individu yang menghisap rokok
cangklong. Untuk jenis rokok putih dan linting justru menjadi faktor protektif
karena keduanya memiliki rentang CI kurang dari 1.
96
Secara umum, setelah dilakukan kontrol terhadap variabel
confounding, perbedaan risiko antara analisis bivariat dan multivariat terlihat
jelas. Nilai risiko menjadi lebih besar setelah dilakukan kontrol terhadap
variabel confonder. Selain itu, jenis rokok kretek dan cangklong menjadi
faktor risiko TGT setelah dilakukan analisis multivariat, padahal pada analisis
bivariat rokok kretek bukan merupakan faktor risiko TGT. Hal inilah
pentingnya dilakukan analisis multivariat karena untuk menghasilkan nilai
risiko yang sebenarnya antara hubungan merokok dengan kejadian TGT.
97
6 BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penggunaan data riskesdas 2013 sebag ai bahan analisis membuat peneliti
terbatas dalam meminimalisir bias, terutama bias saat pengumpulan data. Adapun
upaya yang dilakukan peneliti dalam mengontrol bias yaitu dengan melakukan
cleaning data melalui eliminasi terhadap missing data dan data yang memiliki
nilai ekstrim. Pelaksana Riskesdas juga sudah melakukan upaya untuk menjaga
kualitas data yaitu melalui pelatihan terhadap enumerator. Para enumerator yang
dipilih dipastikan berlatar belakang kesehatan, sehingga sejalan dengan riset
yang dilakukan. Berikut adalah beberapa keterbatasan dalam penelitian ini :
1. Pengukuran durasi merokok dan jumlah rokok yang dihisap perhari sangat
mengandalkan ingatkan individu terutama pertanyaan usia mulai merokok
pertama kali dan usia berhenti merokok serta jumlah batang rokok yang
biasa dihisap perharinya. Oleh karena itu bias informasi mungkin terjadi
dalam penelitian ini. Akan tetapi para enumerator meminimalisasi bias
dengan melakukan probing.
2. Pada jenis rokok dalam kuesioner RKD2013 memang hanya membedakan
berdasarkan kandungan rokok dan tidak membedakan pada filter dan non
filter. Padahal ada tidaknya filter juga lebih penting dalam menilai peluang
98
risiko terjadinya suatu penyakit. Karena filter rokok dapat meminimalkan
kandungan nikotin yang masuk melalui saluran pencernaan. Peneliti
berharap pada kuesioner selanjutnya dibedakan pula antara rokok filter dan
non filter. Selain itu variabel jenis rokok merupakan variabel multiple
respons, sehingga peneliti tidak mengetahui rokok yang paling dominan
yang dihisap oleh individu. Diharapkan pada riset selanjutnya terdapat
variabel jenis rokok yang paling dominan atau paling sering dihisap oleh
individu.
3. Selain variabel merokok, beberapa variabel lain yang diduga secara
substansi menjadi confonder dari hubungan antara merokok dengan
kejadian TGT tidak dapat peneliti teliti dikarenakan keterbatasan dalam
pemanfaatan data sekunder. Variabel tersebut yaitu status gizi. Padahal
status gizi merupakan variabel penting yang diduga variabel confonder
paling dominan. Oleh karena itu, peneliti berharap pada penelitian lanjutan
dapat mengontrol variabel status gizi.
6.2 Proporsi Kejadian Toleransi Glukosa Terganggu berdasarkan Proporsi
Merokok, dan Karakteristik Individu di Indonesia Tahun 2013
6.2.1 Status merokok
Berdasarkan penelitian Soewondo (2011) dengan desain studi
cross sectional di indonesia, Venkatachalam (2012) dengan desain
studi case control di india, Marimoto (2013) dengan desain studi
99
kohort di jepang menunjukkan bahwa status merokok memiliki
proporsi lebih banyak untuk terjadinya TGT dibanding status pernah
merokok atau tidak merokok. Hal ini disebabkan karena rokok
mengandung banyak sekali zat yang berbahaya bagi kesehatan. Salah
satu zat yang berbahaya tersebut yaitu nikotin. Nikotin memiliki
persentase paling banyak dari keseluruhan zat yang berbahaya dalam
rokok.
Zat nikotin ini mulanya masuk melalui saluran pernapasan dan
sampai pada pembuluh darah. Dalam darah nikotin dapat menyebar ke
seluruh tubuh khususnya pada otak. Kandungan nikotin dalam darah
ini berubah menjadi kotinin. Zat kotinin inilah yang dapat merangsang
keluarnya hormon kortisol yang mengakibatkan meningkatnya proses
pemecahan glukosa. Apabila perilaku merokok terjadi terus menerus
maka proses pemecahan glukosa juga demikian sehingga dapat
mengganggu proses penyimpanan glukosa 2 jam paska mengkonsumsi
makanan yang kemudian menimbulkan kejadian TGT. Oleh karena itu
prevalensi TGT akan meningkat pada individu yang merokok atau
pernah mengkonsumsi rokok (Soewondo and Pramono, 2011).
Akan tetapi beberapa penelitian lain juga menyebutkan bahwa
justru status tidak merokok memiliki proporsi terjadinya TGT lebih
besar dibanding individu yang merokok dan pernah merokok
(Chidozie dkk., 2014). Beberapa penyebabnya yaitu karena faktor
100
genetik yaitu penyakit bawaan keluarga atau adanya kelainan dalam
produksi insulin dalam tubuh (Alfiyah, 2010). Ketika individu
memiliki kelainan ini maka risiko terjadinya TGT semakin besar,
sehingga dapat menyebabkan prevalensi TGT menjadi tinggi.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa
prevalensi TGT justru lebih banyak pada individu dengan status tidak
merokok dibanding dengan individu yang merokok atau pernah
merokok (Soewondo and Pramono, 2011). Akan tetapi hal ini tetap
belum dapat menunjukkan bahwa perilaku merokok justru
memberikan risiko yang lebih rendah terhadap kejadian TGT karena
memang TGT merupakan penyakit yang multikausal sehingga naik
turunnya prevalensi TGT tidak hanya dipengaruhi oleh 1 faktor saja
karena kemungkinan terdapat faktor lain yang dapat meningkatkan
prevalensi TGT (Bustan, 2008). Hasil penelitian menunjukkan
perilaku tidak merokok justru memiliki prevalensi TGT lebih besar
dibanding merokok dan pernah merokok, hal ini dapat disebabkan
karena sebagian individu yang masuk dalam kategori merokok, rata-
rata menghabiskan kurang dari 10 batang rokok perhari dan memiliki
usia kurang dari 45 tahun dan masih masuk dalam usia produktif,
sehingga belum berisiko terhadap TGT atau masih memiliki risiko
yang rendah.
101
Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang berstatus
pernah merokok memiliki risiko 1,08 kali untuk terjadinya TGT
dibanding dengan individu yang tidak pernah merokok. Risiko ini naik
menjadi 1,48 kali pada individu yang masih berstatus merokok.
Setelah melakukan tahapan analisis multivariat, diketahui bahwa
umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi menjadi faktor confonder
antara hubungan status merokok dengan TGT. Setelah dilakukan
analisis, justru risiko menjadi lebih besar yaitu menjadi 2,89 kali pada
individu dengan status pernah merokok dan 3,88 kali pada individu
yang masih merokok.
Merokok merupakan aktivitas menghisap rokok yang
memiliki berbagai kandungan yang berbahaya bagi kesehatan. Salah
satunya yaitu nikotin. Nikotin yang berada dalam darah dapat memicu
keluarnya hormon kortisol. Hormon ini bertugas untuk mengirimkan
sinyal proses glukoneogeneisis yaitu pemecahan glukosa. Apabila hal
ini berlangsung secara terus menerus maka akan mengganggu proses
penyimpanan glukosa setelah makan. Akibatnya gula darah setelah
makan pun akan naik (Bajaj, 2012). Oleh karena itu risiko TGT
meningkat pada individu yang masih merokok.
Berbeda halnya dengan perokok yang sudah berhenti
merokok. Individu yang dulunya pernah merokok tentunya memiliki
risiko lebih rendah dibanding dengan yang masih merokok (Luo et
102
dkk., 2012). Hal inilah yang mendasari anjuran berhenti merokok pada
individu yang telah didiagnosis DM tipe 2. Berdasarkan penelitian
diketahui bahwa berhenti merokok dapat penurunan risiko TGT
sebesar 44% (Soewondo dan Pramono, 2011). Penelitian juga
menyebutkan bahwa berhenti merokok berguna untuk memperbaiki
kinerja dari hormon insulin. Hal ini tentunya didukung oleh perilaku
sehat lainnya seperti aktivitas fisik dan konsumsi makanan yang
mengandung banyak serat (Hans, 2008). Oleh karena itu, individu
yang telah didiagnosis TGT juga harus diedukasi untuk berhenti
merokok supaya insulin bekerja dengan baik. Hal ini dapat bermanfaat
dalam menurunkan insidens DM tipe 2.
6.2.2 Usia mulai merokok
Rata-rata usia mulai merokok individu berpengaruh terhadap
durasi merokoknya. Meskipun belum tentu individu yang semakin
awal merokok semakin lama durasi merokoknya. Akan tetapi, jika
individu sudah merokok sejak anak-anak dan remaja maka efek candu
dari rokok akan lebih susah dilepaskan . Walaupun awalnya bukan
karena keinginannya sendiri, rokok memiliki zat nikotin yang juga
bersifat ketergantungan maka lama-kelamaan individu merasa butuh
dengan rokok dan kemudian memilih untuk terus merokok. Hal ini
didukung pula dengan kurangnya pengetahuan mengenai dampak
103
merokok dan bahayanya. Menurut Bustan (2007), semakin muda usia
merokok individu maka semakin sulit untuk berhenti merokok. Rokok
juga memiliki dose-response effect yaitu semakin muda usia merokok
maka semakin besar pula pengaruhnya.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat 25,1% individu
yang mengalami TGT pada usia mulai merokok 5-19 tahun. Hasil
penelitian Kim dkk., (2014) juga menunjukkan individu yang
mengalami TGT lebih banyak pada individu yang berstatus tidak
merokok dibanding yang pertama kali merokok pada usia 5-19 tahun
atau lebih dari itu. Semakin muda usia seseorang dalam pertama kali
merokok maka semakin susah pula ia dalam berhenti merokok.
Dikarenakan dalam rokok terdapat kandungan nikotin yang dapat
menyebabkan efek rileks terhadap tubuh sehingga menyebabkan
ketergantungan. Padahal efek nikotin ini berbahaya dalam
mengganggu regulasi glukosa, karena dapat mengganggu kerja insulin,
merusak mitokondria, menyebabkan inflamasi sel beta yang kemudian
lama kelamaan terjadi peningkatan glukosa darah (Xie dkk., 2009).
Diharapkan remaja dan anak-anak menghindari rokok karena
rokok dapat menyebabkan ketergantungan. Apabila sudah terlanjur
merokok maka diharapkan untuk segera mungkin berhenti untuk
mencegah terjadinya resistensi insulin. Karena semakin muda usia
seseorang maka sensitivitas insulin masih tinggi. Apabila sudah
104
terpajan rokok di usia remaja atau bahkan anak-anak maka
kemungkinan pada usia dewasa sudah terjadi penurunan insulin dan
berisiko terhadap kejadian TGT (Chen dan Millar, 1998).
Hasil penelitian Kim dkk., (2014) dengan desain studi cross
sectional pada pria Amerika dan Korea Selatan menunjukkan ada
hubungan yang signifikan antara usia mulai merokok dengan kejadian
TGT. Pada penelitian tersebut usia mulai merokok kurang dari 16
tahun memiliki risiko 24% untuk terjadinya TGT dibanding bukan
perokok. Penelitian menyebutkan bahwa semakin muda usia individu
dalam merokok maka semakin berisiko terhadap TGT. Hal ini
dikarenakan semakin muda usia individu dalam merokok maka
semakin sulit untuk berhenti merokok (Widiansyah, 2014).
Penelitian Chen dan Millar (1998) di Canada menyebutkan dari
3449 responden, hanya 18% perokok yang mulai merokok dari usia 13
atau lebih muda baru berhenti merokok setelah merokok selama
sepuluh tahun, hal ini berbeda dibandingkan dengan responden yang
memulai merokok lebih dari usia 20 tahun peluang untuk berhenti
merokok setelah 10 tahun lebih besar yaitu 42%. Hasil ini tentunya
memperkuat hasil penelitian peneliti yang menyebutkan bahwa
semakin muda usia seseorang mulai merokok maka semakin berisiko
terhadap TGT karena berpeluang memiliki durasi merokok yang juga
lebih panjang.
105
6.2.3 Durasi merokok
Durasi merokok merupakan lama individu merokok terhitung
dari usia mulai merokok pertama kali sampai usia individu saat
terakhir kali merokok atau sampai saat wawancara dilakukan
(Kemenkes, 2012). Durasi merokok ini sangat penting karena
berpengaruh pula pada konsentrasi nikotin dalam tubuh dan kerja
insulin. TGT merupakan penyakit kronik yang membutuhkan waktu
dan faktor yang cukup untuk menyebabkan dirinya bisa muncul
(Bustan, 2007). Karena TGT tidak memiliki gejala khusus maka
penyakit ini perlu diwaspadai, khususnya bagi individu yang telah
merokok lebih dari 20 tahun. Penelitian Venkatachalam dkk., (2012)
di india menyebutkan bahwa proporsi TGT lebih tinggi pada individu
yang merokok lebih dari 20 tahun.
Semakin lama individu merokok maka semakin lama pula
kandungan nikotin dalam darah. Nikotin ini kemudian diubah menjadi
kotinin dan merangsang kerja hormon kortisol. Tubuh selalu
mengganggap zat kotinin sebagai salah satu zat yang tidak baik
sehingga berusaha untuk mengeluarkan kotinin tersebut. Oleh karena
itu tubuh juga semakin meningkatkan proses pemecahan glukosa
seiring dengan adanya zat kotinin dalam darah. Akibatnya ketika
glukosa dipecah terus menerus beban insulin menjadi besar dan lama
kelamaan sensitivitasnya akan menurun (Mosson and Milnerowicz,
106
2017). Selain itu, durasi merokok dapat menyebabkan meningkatnya
radikal bebas dalam tubuh yang lama kelamaan dapat menyebabkan
rusaknya sel beta pankreas. Hal inilah yang menyebabkan proporsi
TGT lebih besar pada individu yang memiliki durasi merokok yang
lama terutama lebih dari 20 tahun (Sherwood, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama yaitu
proporsi TGT lebih banyak pada individu yang merokok selama lebih
dari 20 tahun dibanding dengan yang kurang dari 20 tahun. Akan
tetapi, jika dibandingkan dengan tidak merokok maka proporsi TGT
lebih banyak pada individu yang tidak merokok dibanding dengan
individu yang merokok selama lebih dari 20 tahun. Hal ini
dikarenakan distribusi jumlah sampel pada status tidak merokok lebih
banyak dibanding status merokok, sehingga peluang proporsi TGT
pada individu yang tidak merokok tentunya juga lebih besar.
Penelitian dengan desain studi case control menyebutkan
bahwa individu yang merokok selama kurang dari 10 tahun berisiko
2,48 kali mengalami TGT dan risiko meningkat menjadi 7,67 kali
apabila merokok selama 11 sampai 20 tahun dan meningkat menjadi
12,86 apabila merokok selama lebih dari 20 tahun (Venkatachalam
dkk., 2012). Semakin lama individu merokok maka semakin banyak
radikal bebas yang terakumulasi dalam tubuh. Zat-zat tersebut yang
nantinya dapat menganggu kerja insulin dan merusak sel beta
107
pankreas, sehingga menyebabkan kadar gula dalam darah tidak
terkontrol.
Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan perbedaan yaitu
justru risiko individu yang merokok lebih dari 20 tahun lebih rendah
dibanding individu yang telah merokok selama kurang dari 20 tahun.
Hal ini dikarenakan pada durasi merokok terdapat proses recall yaitu
usia mulai merokok pertama kali dan usia berhenti merokok.
Kemungkinan terdapat bias informasi karena jawaban mengandalkan
ingatan dari individu. Selain itu, pada individu yang merokok lebih
dari 20 tahun ternyata memiliki jumlah rokok yang dihisap lebih
rendah bila dibanding dengan individu yang merokok kurang dari 20
tahun. Hal ini yang dapat menyebabkan risiko pada individu yang
merokok kurang dari 20 tahun menjadi lebih tinggi.
Selain itu, pada fase kronik, durasi merokok juga berhubungan
dengan status gizi individu. Penelitian menyebutkan bahwa semakin
lama individu merokok maka berisiko untuk mengalami berat badan
yang berlebih apabila diimbangi dengan aktivitas fisik yang rendah
dan diet yang tidak sehat (Chiolero dkk., 2008). Berat badan yang
berlebih inilah yang juga dapat mempercepat terjadinya TGT. Akan
tetapi dalam hal ini tidak diketahui rata-rata status gizi individu antara
yang merokok lebih dari 20 tahun dan kurang dari 20 tahun karena
108
status gizi tidak diteliti dalam penelitian dan menjadi kelemahan dari
penelitian ini.
6.2.4 Jumlah rokok yang dihisap
Menurut kemenkes RI tahun 2012, jenis perokok dibagi
menjadi tiga yaitu perokok ringan (1-10 batang perhari), perokok
sedang (11-20 batang perhari) dan perokok berat lebih dari 20 batang
perhari. Berdasarkan penelitian Venkatachalam dkk., 2012 dengan
menggunakan desain studi case contol menyebutkan bahwa individu
yang merokok lebih dari 20 batang sehari juga memiliki persentase
TGT lebih besar dibanding individu yang merokok kurang dari 20
batang per hari. Hasil penelitian ini sejala dengan teori tersebut yaitu
menunjukkan persentase TGT lebih besar pada individu yang
menghisap rokok 20 batang atau lebih sebanyak 28,3% dibanding
kurang dari 20 batang perhari (26,2%).
Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap maka
nikotin dalam darah juga semakin banyak. Kadar nikotin yang banyak
juga berpengaruh pada banyaknya pelepasan hormon kortisol. Hormon
kortisol merupakan hormon antagonis insulin. Hormon inilah yang
memicu pemecahan glukosa terus menerus. Apabila hal ini terjadi
terus menerus maka kerja insulin akan terganggu (Sherwood, 2012).
Akibatnya sel beta pankreas akan merespon dengan memproduksi dan
109
melepaskan insulin lebih banyak lagi. Akan tetapi karena aktivitas
insulin sudah terganggu oleh adanya sehingga kinerja insulin juga
menurun. Akibatnya pemecahan glukosa yang seharusnya dapat
digunakan sel untuk menghasilkan energi atau disimpan sebagai
cadangan makanan menjadi tidak terpakai dan tersebar dalam aliran
darah, sehingga glukosa darah meningkat.
6.2.5 Jenis rokok
Jenis rokok berpengaruh pada kandungan dari masing-masing
rokok. Jenis rokok kretek memiliki kandungan nikotin lebih banyak
dibanding jenis rokok yang lainnya. Pada jenis rokok putih, yang
menyebabkan berbeda yaitu adanya filter pada ujung rokok .
Kebanyakan usia remaja dan dewasa muda menyukai rokok jenis ini
karena filter diujung rokok yang memiliki rasa yang manis. Berbeda
dengan rokok jenis lainnya yang tidak memiliki filter, yang
memberikan rasa pahit terutama ketika batang rokok semakin kecil.
Selain itu, rokok putih ini tidak memiliki kandungan cengkeh, dimana
cengkeh merupakan bahan yang mengandung senyawa tar yang juga
berbahaya bagi kesehatan (Bajaj, 2012). Akan tetapi justru pria yang
berusia dewasa lanjut dan lansia lebih banyak yang menghisap rokok
jenis kretek. Padahal usia mereka juga lebih rentan terhadap TGT.
Penelitian menunjukkan bahwa jenis rokok kretek memiliki peluang
110
untuk terjadinya TGT lebih besar dibanding jenis lain (Ghoraba dkk.,
2016).
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori tersebut. Bahwa
proporsi TGT lebih banyak pada individu yang menghisap rokok jenis
kretek dibanding rokok jenis lainnya. Akan tetapi, individu yang
merokok dengan jenis rokok putih memiliki proporsi normal lebih
banyak dibanding dengan proporsi TGT. Hal ini dikarenakan pada
rokok putih terdapat filter yang merupakan penyaring agar kandungan
rokok tidak banyak yang terhisap melalui mulut. Sehingga
kemungkinan zat nikotin yang masuk melalui saluran pencernaan pada
individu yang mengkonsumsi rokok putih lebih rendah dibanding pada
individu yang mengkonsumsi rokok jenis lain.
Rokok kretek terdiri dari 30-40% zat adiktif, sedangkan rokok
putih memiliki kadar zat adiktif yang lebih rendah dibanding rokok
kretek karena tidak memiliki kandungan cengkeh yang merupakan
penghasil tar dan memiliki filter di ujung batang rokok. Untuk rokok
linting dan cerutu memiliki kesamaan yaitu berisi tembakau yang
digulung (Kemenkes, 2012). Seperti penjelasan sebelumnya bahwa
semakin banyak nikotin yang masuk dalam darah maka semakin
banyak zat kotinin yang menstimulus pengeluaran hormon kortisol.
Efek yang ditimbulkan yaitu pemecahan glukosa terus menerus. Selain
itu, kotinin dapat memicu apoptosis dari sel beta pankreas sehingga
111
proses produksi insulin menjadi terganggu (Sherwood, 2012). Apabila
hormon kortisol bekerja terus menerus untuk memecah glukosa dan
tidak disertai dengan pengeluaran insulin yang cukup untuk
mengaturnya maka kadar glukosa dalam tubuh menjadi tidak
terkontrol (Xie dkk., 2009).
6.2.6 Umur
Pada umumnya, di negara berkembang seperti Indonesia,
kelompok umur yang berisiko menderita TGT yaitu pada rentang 46
sampai 64 tahun (Riskesdas, 2013). Pada rentang usia tersebut sangat
rentan untuk terjadi intoleransi glukosa. Penuaan menyebabkan
kemampuan sel beta pankreas dalam memproduksi insulin semakin
menurun (Sanjaya, 2009). Selain itu, aktivitas mitokondria di sel-sel
otot juga mengalami penurunan sebesar 35%. Hal ini dapat
menyebabkan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% yang
memicu terjadinya resistensi insulin (yale news, 2010).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia ≥45 tahun memiliki
proporsi TGT lebih banyak dibanding usia kurang dari 45 tahun. Hal
ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang
menyebutkan bahwa usia di atas 45 tahun memberikan proporsi TGT
lebih besar (Ghoraba dkk., 2016). Hal ini disebabkan karena fungsi
insulin menurun seiring dengan bertambahnya usia sehingga dewasa
112
dan lansia memiliki proporsi lebih besar dalam meningkatkan
prevalensi TGT (Setiawan, 2011).
Berbagai penelitian sepakat bahwa semakin tua individu
semakin berisiko terhadap penyaki tidak menular, khususnya TGT .
Hal ini dikarenakan kinerja sel beta pankreas sebagai penghasil insulin
juga dipengaruhi oleh usia individu. Semakin tua usia individu maka
semakin banyak karakteristik yang melekat pada dirinya seperti pola
makan, pola aktivitas, stres dan lain sebagainya. Sehingga peran
insulin menjadi lebih kompleks dalam mengatur regulasi glukosa
dalam tubuh. Akibatnya lama-kelamaan kinerjanya akan menurun
apabila tidak dijaga dengan baik khususnya ketika individu merokok
(Oba dkk., 2015).
Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa semakin tua individu
maka semakin banyak rokok yang dihisap. Hal ini berkaitan dengan
aktivitas yang dilakukan. Pada usia produktif, baik pria maupun
wanita cenderung menghabiskan waktu untuk melakukan
pekerjaannya dan merokok pada jam istirahat atau jam setelah bekerja
(Widiansyah, 2014). Berbeda dengan usia dewasa lanjut sampai lansia
yang kebanyakan sudah terjadi penurunan aktivitas sehari-hari baik
dalam hal pekerjaan maupun rumah tangga. Banyak waktu luang yang
tersedia, akibatnya waktu luang tersebut sering digunakan untuk
merokok.
113
6.2.7 Jenis kelamin
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa proporsi TGT
paling banyak yaitu pada jenis kelamin perempuan. Perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dalam meningkatkan risiko TGT terlihat
setelah usia 30 tahun, secara fisiologis, setelah berusia 30 tahun atau
lebih perempuan memiliki kecenderungan mudah dalam akumulasi
lemak dalam tubuh dibanding dengan laki-laki. Hal ini juga
dipengaruhi oleh siklus bulanan perempuan yaitu pada premenstrual
dan pascamenstrual menstruasi yang menyebabkan distribusi lemak
tubuh menjadi mudah terakumulasi karena faktor hormonal (Irawan,
2010).
Hormon estrogen merupakan hormon yang berperan dalam
distribusi lemak. Produksi hormon estrogen semakin berkurang seiring
dengan bertambahnya usia seorang perempuan. Hal ini yang
menyebabkan adanya risiko penumpukan lemak pada perempuan.
Berkaitan dengan hal tersebut, wanita juga cenderung memiliki status
gizi yang melebihi normal dibanding dengan laki-laki, sehingga hal ini
dapat meningkatkan proporsi kejadian TGT pada perempuan (Davis
dkk., 2012).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa TGT memang lebih
rentan menyerang perempuan sehingga banyak penelitian
menyebutkan proporsi TGT lebih banyak pada perempuan dibanding
114
laki-laki (Ghoraba dkk., 2016). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang menyebutkan bahwa proporsi TGT lebih banyak terdapat pada
jenis kelamin perempuan dibanding laki-laki. Akan tetapi laki-laki
juga tetap berpotensi mengalami peningkatan TGT melalui perilaku
konsumsi rokok dan obesitas sentral, sehingga upaya penyuluhan
kesehatan tetap harus diberikan baik pada laki-laki maupun
perempuan.
6.2.8 Konsumsi kopi
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa proporsi kejadian
TGT lebih rendah pada individu yang mengkonsumsi kopi daripada
yang tidak mengkonsumsi kopi (Tjekyan, 2007). Kopi mengandung zat
yang disebut dengan kafein. Kafein merupakan stimulus ringan,
termasuk dalam zat psikoaktif yang paling banyak digunakan di dunia.
Kafein dapat meningkatkan sekresi neuroepinefrin dan meningkatkan
aktivitas saraf pada beberapa area di otak. Penelitian menyebutkan
bahwa kafein dapat mengembalikan sensitivitas insulin (Coelho dkk.,
2016).
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori tersebut yaitu proporsi
TGT lebih rendah pada orang yang mengkonsumsi kopi. Konsumsi
kopi berperan dalam meningkatkan sensitivitas insulin. Kopi
mengandung senyawa fenol yang termasuk dalam senyawa antioksidan
115
(Tjekyan, 2007). Penelitian menyebutkan bahwa antioksidan sangat
membantu dalam meningkatkan sensitivitas insulin. Dalam penelitian
ini, proporsi paling banyak yaitu konsumsi kopi (50,2%) dengan
kategori konsumsi kopi paling banyak yaitu kategori lebih dari 1 kali
dalam sehari (15,7%).
Selain itu, Terdapat zat berupa asam klorogenat dalam kopi
yang dapat menunda absorbsi glukosa. Apabila absorbsi glukosa dapat
dihambat maka peluang untuk terjadinya hiperglikemi yang dapat
menyebabkan resistensi insulin juga dapat dicegah (Kobayashi dkk.,
2017).
6.3 Hubungan Merokok Setelah Dikontrol Variabel Karakteristik Individu
dengan Kejadian TGT di Indonesia Tahun 2013
Setelah melakukan tahapan analisis multivariat, diketahui bahwa umur,
jenis kelamin dan konsumsi kopi merupakan faktor confounding antara merokok
dengan TGT sehingga kedua variabel tersebut tetap dimasukkan dalam analisis.
Selain kedua variabel tersebut, sebenarnya masih ada variabel status gizi yang
kemungkinan menjadi confonder dalam penelitian ini. Akan tetapi, karena
keterbatasan penelitian maka variabel tersebut tidak diteliti.
Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa status gizi memang berhubungan
dengan TGT, dimana risiko TGT meningkat seiring semakin besarnya nilai IMT.
Akan tetapi penelitian menyebutkan bahwa semakin lama seseorang merokok
116
maka justru berisiko terhadap penurunan berat badan dan cenderung memiliki
status gizi normal (ASH, 2012). Padahal berat badan normal memiliki efek
protektif terhadap TGT. Hal ini yang menjadi dasar bahwa kemungkinan
kontribusi status gizi dalam memberikan efek perancu terhadap hubungan
merokok dengan TGT adalah kecil.
Berdasarkan penelitian Manson dkk., (2000) dengan desain studi kohort
dengan mengontrol variabel status gizi dan aktivitas fisik diperoleh hasil bahwa
merokok memberikan risiko sebesar 1,5 kali untuk terjadinya TGT saat individu
merokok <20 batang perhari dan risiko meningkat menjadi 1,7 kali untuk
terjadinya TGT apabila individu merokok ≥20 batang sehari. penjelasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa hubungan merokok dengan TGT tetap bisa diyakini
secara statistik.
Sebelum analisis dilakukan maka dilakukan pembobotan terlebih dulu
dengan memasukkan variabel pembobotan yang telah tersedia. Hal ini bertujuan
untuk mengantisipasi adanya bias dalam estimasi analisis regresi logistik dan
mencegah bias dari standar eror saat analisis. Setelah dilakukan pembobotan,
hasil analisis multivariate menunjukkan bahwa, dari 8 variabel independen yaitu
status merokok, usia mulai merokok, durasi merokok, jumlah rokok yang
dihisap, rokok kretek, putih, linting, dan cangklong, setelah dilakukan pemodelan
dan uji confounding maka keseluruhan variabel konsisten memiliki nilai p value
kurang dari 0,05. Berikut adalah pembahasannya.
117
6.3.1 Status merokok
Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang pernah
merokok memiliki risiko 2,89 kali terhadap terjadinya TGT setelah
dikontrol oleh variabel umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi dan
risiko naik menjadi 3,88 ketika individu masih berstatus merokok. Hal
ini sejalan dengan Penelitian Venkatachalam dkkl., (2012) dengan
desain studi case control di India yang menyebutkan ada hubungan
antara merokok dengan kejadian TGT pada kasus maupun kontrol
dengan melakukan matching pada jenis kelamin. Penelitian Marimoto
dkk., (2013) dengan desain studi kohort pada laki-laki di jepang juga
menyebutkan bahwa adanya risiko yang lebih besar pada individu
yang berstatus merokok dan pernah merokok dibanding dengan tidak
merokok setelah dilakukan kontrol terhadap usia, riwayat diabetes
keluarga, konsumsi alkohol, aktivitas fisik dan riwayat hipertensi.
Penelitian Bruin dkk., (2010) dengan menelaah berbagai studi
tentang hewan menyebutkan bahwa nikotin dapat mempengaruhi
perkembangan sel beta pankreas dan berkontribusi terhadap risiko
diabetes melitus. Eksperimen terhadap kelompok hewan yang
diberikan injeksi nikotin dan dikontrol dengan kelompok hewan yang
diberikan injeksi garam diperoleh hasil setelah 21 hari, terdapat
penurunan fungsi sel beta pankreas dan peningkatan apoptosis pada sel
beta pankreas yang merupakan mediator terjadinya resistensi insulin.
118
Dimana resistensi insulin dalam menyebabkan penyimpanan glukosa 2
jam setelah makan terganggu. Hal inilah yang menyebabkan status
merokok lebih berisiko terhadap TGT dibanding status pernah
merokok maupun tidak pernah merokok. Karena individu yang
merokok terpajan dengan nikotin yang secara langsung dapat
mempengaruhi fungsi dari sel beta pankreas yang merupakan
penghasil hormon regulator glukosa yaitu insulin.
Berdasarkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa berat
badan akan mengalami kenaikan ketika individu berhenti merokok
sehingga berisiko terhadap TGT. Hal ini terjawab melalui hasil
penelitian Kamaura dkk., (2011) dengan desain studi kohort melalui
follow up selama 4 tahun dengan mengontrol variabel usia, jenis
kelamin, status gizi, dan konsumsi alkohol, menyebutkan bahwa
individu memang berisiko mengalami peningkatan berat badan setelah
berhenti merokok. Akan tetapi, setelah berhenti merokok 3 tahun,
diketahui bahwa tidak ada perbedaan indeks massa tubuh yang
signifikan dan berat badan cenderung stabil (tidak mengalami
peningkatan atau penurunan kembali). Selain itu, hasil penelitian juga
menyebutkan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara
kejadian TGT dengan individu yang telah berhenti merokok selama 3
tahun terlepas dari jumlah rokok yang sebelumnya pernah dihisap. Hal
119
ini menunjukkan bahwa peran dari berhenti merokok bagi perokok
sangatlah penting untuk mencegah terjadinya resistensi insulin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang masih
berstatus merokok memiliki risiko paling tinggi untuk terjadinya TGT
terlepas dari banyaknya rokok yang dihisap atau lamanya durasi
merokok. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku merokok memberikan
kontribusi yang sangat besar untuk terjadinya TGT, sehingga upaya
berhenti merokok sangatlah penting untuk menurunkan risiko
terjadinya TGT sebagaimana diketahui bahwa risiko individu yang
masih berstatus merokok dan yang telah berhenti merokok memiliki
perbandingan 2:3. Akan tetapi, hal ini juga menunjukkan bahwa
meskipun individu tersebut sudah berhenti merokok maka ia masih
memiliki risiko 2,89 kali untuk terjadinya TGT. Fakta ini
menyebutkan bahwa bagi siapapun yang berstatus tidak merokok,
jangan sampai mencoba untuk merokok. Karena kalaupun telah
berhenti merokok, risiko terhadap kejadian TGT masih ada.
Bagi perokok sangat diharapkan untuk segera berhenti merokok.
Berhenti merokok memang sangat susah. Hal ini juga berkaitan
dengan kandungan dalam rokok yang memiliki efek kecanduan. Selain
itu, lingkungan sangat berpengaruh terhadap upaya berhenti merokok
seseorang. Perokok akan kesulitan berhenti merokok apabila memiliki
teman atau sekumpulan kelompok yang juga sama-sama merokok
120
(Molina, 2017). Terkadang perokok akan dianggap tidak sopan apabila
berkumpul tanpa ikut menghisap rokok. Hal ini menunjukkan
lingkungan memberikan kontribusi yang penting dalam upaya berhenti
merokok.
Dalam konteks Islam, ada masa dimana memberikan dampak
yang positif terhadap perokok yaitu pada bulan Ramadan. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Hani dkk., (2016) pada yang dilakukan
di Malaysia, menyebutkan bahwa adanya perbedaan yang signifikan
kadar nikotin pada perokok antara sebelum, saat, dan setelah berpuasa.
Perilaku perokok juga menunjukkan hal yang berbeda yaitu adanya
penurunan jumlah rokok yang dihisap dan lama merokok. Hal ini
tentunya upaya yang bermanfaat apabila diaplikasikan oleh perokok
yang berusaha berhenti merokok. Penelitian Shariatpanahi dkk.,
(2008) pada individu yang menjalani puasa Ramadan juga demikian.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa berpuasa baik untuk kadar
glukosa darah puasa, kadar HDL, sensitivitas insulin dan tekanan
darah.
Puasa pada bulan Ramadan memang suatu kewajiban bagi umat
islam sehingga pasti dikerjakan oleh mereka yang beriman. Akan
tetapi ada juga puasa sunnah atau yang dianjurkan tapi tidak bersifat
wajib yaitu puasa tiap hari Senin dan Kamis. Puasa pada Senin dan
Kamis merupakan sunnah Rasulullah sehingga hal ini baik untuk
121
dikerjakan oleh umat muslim. Akan tetapi, karena bersifat tidak wajib,
maka hanya sebagian saja yang mengerjakan. Padahal puasa Senin
Kamis ini cukup bagus khususnya bagi perokok sebagai upaya
berhenti merokok. Apabila perokok melakukan puasa Senin dan
Kamis maka dalam satu bulan sudah melakukan kontrol terhadap
perilaku merokok selama 8 hari. Meskipun perokok bisa jadi kembali
merokok setelah buka puasa, tetapi jumlah rokok yang dihisap dan
lama merokok dalam sehari tentunya akan berbeda bila dibandingkan
saat perokok tidak berpuasa.
Berdasarkan perhitungan tumpukan nikotin dalam tubuh yang
dapat dilihat pada lampiran halaman 161, diketahui bahwa puasa
memberikan efek pengurangan tumpukan nikotin dalam tubuh. Upaya
detoksifikasi tubuh terus berlanjut dan perilaku merokok menjadi
berkurang baik dari segi jumlah maupun waktu. Hal ini tentunya
memberikan dampak yang positif bagi perokok. Semakin banyak
puasa dalam satu bulan maka tumpukan nikotin dalam tubuh akan
berkurang.
6.3.2 Usia mulai merokok
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa individu yang merokok
pada usia ≥20 tahun memiliki risiko 2,9 kali untuk terjadinya TGT dan
risiko meningkat menjadi 3,4 kali ketika individu mulai merokok pada
122
rentang usia 5-19 tahun. Hasil penelitian sejalan dengan penelitian
sebelumnya oleh Chen dan Millar (1998) yang menunjukkan bahwa
semakin muda usia individu ketika mulai merokok pertama kali maka
semakin besar pula risiko terhadap TGT setelah mengontrol variabel
stres, depresi, tingkat pendapatan dan jumlah rokok yang dihisap. Hal
ini dapat terjadi karena semakin muda usia seseorang pertama kali
merokok maka peluang untuk berhenti merokok semakin kecil (Bach,
2017). Nikotin dalam rokok yang bersifat candu ini dapat
menyebabkan individu sulit untuk berhenti merokok (Pan dkk., 2015).
Padahal berhenti merokok merupakan salah satu upaya yang dapat
digunakan untuk menanggulangi hiperglikemia dan mengembalikan
fungsi insulin pada perokok meskipun tidak akan kembali seperti
semula (Bajaj, 2012).
Usia mulai merokok memiliki risiko lebih besar kedua terhadap
kejadian TGT setelah status merokok. Variabel usia mulai merokok ini
juga lebih tinggi dibanding dengan durasi merokok dan jumlah rokok
yang dihisap. Hal ini dapat terjadi karena pada usia muda, seharusnya
hormon insulin masih bekerja dengan baik dikarenakan sensitivitasnya
masih tinggi (Oba dkk., 2015). Akan tetapi, karena kerja hormon
tersebut diganggu oleh adanya kotinin dalam darah sejak dini maka
seharusnya bisa berfungsi dengan optimal justru menghasilkan hal
123
yang sebaliknya. Hal inilah yang mendasari pencegahan agar tidak
merokok sejak dini.
Remaja memang identik dengan rasa ingin tahu yang tinggi,
tetapi hal ini bisa memberikan dampak yang negatif apabila tidak
diimbangi dengan pengetahuan yang cukup. Akibatnya banyak remaja
dan anak-anak yang cenderung mencoba-coba dan melakukan perilaku
yang dilakukan oleh orang dewasa, salah satunya yaitu merokok.
Perilaku merokok dapat menjadi sebuah bukti bagi mereka agar
terlihat bebas dan dewasa saat mereka bergabung dengan teman-teman
sebayanya yang merokok. Merokok juga sebagai simbol kematangan,
kedewasaan dan daya tarik bagi lawan jenis (Molina, 2017).
Oleh karena itu, pada rentang usia tersebut peran dari orang tua
dan guru di sekolah sangatlah penting. Meskipun pada usia tersebut
anak sudah dituntut untuk bisa bersikap mandiri, tetapi orang tua tetap
harus melakukan pengawasan. Nilai-nilai dapat ditanamkan pada
individu tersebut khususnya mengenai perilaku merokok, kerugian
yang ditimbulkan ketika merokok dan solusi lain agar tidak merokok
dan tetap bisa bergaul dengan teman. Begitu juga guru di sekolah, guru
merupakan orang tua kedua bagi anak ketika di sekolah, Hendaknya
selain menyalurkan materi pendidikan, guru juga menanamkan aspek
perilaku kesehatan agar siswa sejak dini mengerti pentingnya untuk
124
berperilaku sehat dan pentingnya menjauhi rokok sejak dini melalui
konseling maupun bimbingan kelompok.
6.3.3 Jumlah rokok yang dihisap
Jumlah rokok yang dihisap memberikan pengaruh terhadap
kotinin yang merupakan senyawa hasil penguraian nikotin yang dapat
memberikan stimulus pada nefron sehingga mengaktifkan saraf
parasimpatis. Semakin banyak jumlah kotinin yang terbentuk maka
semakin banyak pula hormon yang disekresikan oleh kelenjar adrenal.
Hormon ini yang bertugas untuk memberikan perintah pemecahan
glukosa baik dalam hati, otot maupun lemak. Apabila pemecahan
glukosa terjadi terus menerus maka insulin selaku pengatur regulasi
glukosa akan mengalami kesulitan dan dapat menyebabkan resistensi
insulin (Sherwood, 2012).
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori tersebut yaitu
menunjukkan ada hubungan antara jumlah rokok yang dihisap dengan
TGT. Individu yang merokok <20 batang sehari memiliki risiko 1,03
kali untuk terjadinya TGT dan risiko meningkat menjadi 1,05 kali
ketika individu merokok ≥20 batang sehari. Jumlah rokok yang
dihisap berbanding lurus dengan risiko terjadinya TGT. Semakin
banyak jumlah rokok yang dihisap maka risiko TGT juga semakin
meningkat.
125
Penelitian Kim dkk., (2014) menyatakan bahwa semakin
banyak pajanan yang masuk ke dalam tubuh maka semakin tinggi pula
risikonya dan semakin berat pula efek yang ditimbulkan. Jumlah rokok
yang dihisap sejalan dengan teori tersebut yaitu semakin banyak
jumlah batang rokok yang dihisap maka nikotin dalam darah juga
semakin banyak. Berdasarkan penelitian Venkatachalam dkk., 2012
dengan menggunakan desain studi case contol menyebutkan bahwa
individu yang merokok kurang dari 10 batang perhari berisiko
mengalami TGT sebesar 3,07 kali dibanding bukan perokok dan
perokok yang merokok lebih dari 10 batang perhari berisiko 7,15 kali
untuk terkena TGT. Hasil metaanalisis dari jurnal tahun 1993 sampai
2015 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah rokok maka risiko
TGT semakin besar Mosson dan Milnerowicz (2017).
6.3.4 Durasi merokok
Pada dasarnya durasi merokok dapat menyebabkan terganggunya
kerja insulin, dimana semakin lama seseorang merokok semakin lama
pula nikotin dalam menganggu kerja insulin (Sherwood, 2012).
Apabila hal ini terjadi secara terus menerus maka sel beta penghasil
insulin pun akan rusak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan antara durasi merokok selama kurang dari 20 tahun maupun
lebih dari 20 tahun dengan kejadian TGT. individu yang merokok
126
selama <20 tahun memiliki risiko 4,9 kali untuk terjadinya TGT dan
individu yang merokok ≥20 tahun memiliki risiko 1,5 kali untuk
terjadinya TGT.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa durasi merokok <20 tahun
justru memiliki risiko lebih besar dibanding durasi merokok ≥20 tahun.
Hal ini kemungkinan individu yang telah merokok ≥20 tahun sudah
masuk tahap diabetes melitus, sehingga risiko terhadap TGT lebih
kecil. Selain itu, durasi merokok sangat erat kaitannya dengan status
gizi seseorang, salah satu keterbatasan dalam penelitian ini yaitu tidak
mengontrol variabel status gizi sehingga kemungkinan risiko lebih
besar pada individu yang merokok kurang dari 20 tahun dipengaruhi
oleh perbedaan status gizi antara individu yang menghisap rokok
selama ≥20 tahun atau < 20 tahun. Karena secara substansi status gizi
juga memiliki kontribusi terhadap terjadinya TGT. status gizi berlebih
dapat meningkatkan risiko terjadinya TGT karena akumulasi lemak
dalam tubuh dapat menghambat kerja insulin (Sherwood, 2012).
Akan tetapi, dari hasil analisis menunjukkan bahwa individu
yang telah merokok selama ≥20 tahun atau <20 tahun tetap
memberikan risiko terhadap terjadinya TGT, sehingga diharapkan
individu yang merokok untuk segera berhenti merokok agar dapat
mencegah terjadinya resistensi insulin sejak dini yang kemudian dapat
mencegah terjadinya TGT.
127
6.3.5 Jenis rokok
Berdasarkan hasil analisis multivariat diperoleh variabel jenis
rokok kretek dan cangklong yang memiliki konsistensi nilai p value
kurang dari 0,05. Setelah dilakukan pengontrolan terhadap umur, jenis
kelamin dan konsumsi kopi diketahui bahwa jenis rokok kretek dan
cangklong memberikan risiko terhadap kejadian TGT.
Rokok kretek mengandung 60-70% tembakau, 30-40%
cengkeh dan zat adiktif lainnya. Rokok ini mengandung nikotin, tar,
dan karbon monoksida yang lebih banyak dari jenis rokok lainnya .
Rokok kretek memiliki ciri tidak adanya filter atau sejenis gabus
diujung rokok batang rokok. Akan tetapi, akhir-akhir ini terdapat
produk baru dari rokok kretek yang memiliki filter di ujung batangnya.
Sehingga yang membedakan antara rokok kretek dan rokok putih
adalah bukan dari ada tidaknya filter di ujung batang rokok, tetapi dari
ada tidaknya campuran cengkeh dalam rokok tersebut karena rokok
putih merupakan jenis rokok tanpa campuran cengkeh (Kemenkes,
2012).
Berdasarkan penelitian (Ghoraba, 2008) diketahui bahwa rokok
jenis kretek memiliki kandungan nikotin lebih banyak dibanding
dengan rokok jenis lainnya hal ini pula yang menyebabkan hasil
penelitian menunjukkan rokok kretek berhubungan dengan kejadian
TGT dan meningkatkan risiko sebesar 1,04 kali untuk terjadinya TGT
128
setelah dikontrol oleh variabel umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi.
Rokok kretek adalah rokok yang paling banyak diminati terutama oleh
kelompok usia lanjut karena selain harganya yang lebih murah
dibanding dengan rokok filter. Rokok putih dan rokok linting bersifat
menurunkan risiko kemungkinan disebabkan oleh perilaku konsumsi
kopi. Diketahui bahwa individu yang menghisap rokok putih dan
linting secara berurutan memiliki persentase konsumsi sebanyak 56%
dan 58%.
Selain kretek, rokok jenis cangklong juga meningkatkan risiko
terhadap terjadinya TGT. Cangklong merupakan rokok yang dihisap
dengan menggunakan pipa. Pada jaman dulu, rokok ini hanya
dikonsumsi oleh orang bangsawan. Namun, sekarang rokok ini dapat
dinikmati oleh siapa saja. Merokok dengan cara cangklong yaitu
menggunakan tembakau yang diisi sendiri dalam ujung pipa yang
kemudian dibakar dan memiliki saluran langsung dengan mulut. Hal
ini tentunya tidak memberikan efek protektif tersendiri ketika
seseorang merokok dengan pipa. Karena tentunya efek nikotin tetap
bisa secara langsung dihirup oleh tubuh. Bedanya hanya cara
pemakaian dan banyaknya tembakau yang dihisap (Molina, 2017).
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian sebelumnya yaitu
Venkatachalam dkk., (2012) yang menyebutkan bahwa risiko
meningkat ketika seseorang merokok menggunakan pipa. Hal ini
129
dikarenakan pada rokok kretek maupun rokok lain olahan pabrik telah
ditetapkan standar maksimal kandungan nikotin sedangkan dalam
rokok cangklong, tembakau hanya berupa bungkusan-bungkusan tanpa
adanya jumlah dari kadar nikotin. Selain itu, merokok dengan pipa
tentunya menghasilkan lebih banyak asap dibanding merokok dengan
jenis rokok putih yang memiliki filter. Hal ini yang menyebabkan
nikotin dalam tembakau tentunya lebih banyak terhirup masuk ke
dalam saluran pernapasan. Hal inilah yang kemudian dapat menjadikan
konsumsi rokok cangklong berisiko terhadap TGT. Berikut adalah
perhitungan nikotin dan tumpukan nikotin dalam darah.
Tabel 6.1 Kadar Nikotin berdasarkan Jenis Rokok 1
No. Jenis
rokok
Nikotin
(mg)/btg
Kadar yang
masuk ke
dalam tubuh
(15%)
Rokok
yang
dihisap/
hari
Durasi
merokok
Nikotin
dikeluarkan
bersama
urin
Tumpukan
nikotin
(mg)/bln
1. Kretek 2,3 0,345
20 btg
30 hari
80%
41,4
25 hari* 34,5
21 hari** 28,98
2. Putih 1 0,15 30 hari 18
25 hari* 15
21 hari** 12,6
3. Linting 2,6 0.39 30 hari 46,8
25 hari* 39
21 hari** 32,76
4. Cangklong 2,5 0.375 30 hari 45
25 hari* 37,5
21 hari** 31,5
Sumber : (Tirtosastro and Murdiati, 2010; Benowitz dkk., 2009)
130
Keterangan : kadar nikotin dalam setiap batang berbeda-beda tergantung dari
perusahaan yang mengeluarkan, hasil diatas tidak mutlak sama dan benar karena bisa
jadi berbeda-beda dalam sumber bacaan. Akan tetapi hasil tersebut cukup mewakili
individu yang merokok setiap hari selama 1 bulan.
*puasa Senin Kamis (dengan estimasi puasa 14 jam dalam sehari)
**puasa Daud
Hasil perhitungan kadar nikotin berdasarkan jenis rokok
diketahui bahwa jenis rokok yang paling banyak menyisakan endapan
nikotin dalam tubuh yaitu kretek dan cangklong (dapat dilihat di
lampiran 161). Hal ini kemudian mendukung hasil penelitian ini yang
juga menyebutkan bahwa nikotin paling banyak terdapat pada jenis
rokok kretek dan cangklong. Dalam konteks islam, berdasarkan
perhitungan endapan nikotin dalam tubuh antara seseorang yang
berpuasa dan tidak, diketahui bahwa berpuasa mengurangi kadar
nikotin dalam darah sehingga hal ini bagus diterapkan khususnya bagi
para perokok. Selain bernilai pahala, puasa juga bermanfaat untuk
membantu mendetoksifikasi tubuh dan mengurangi kadar nikotin
dalam darah. Hal ini tentunya bagus sebagai upaya pencegahan
kejadian TGT.
131
7 BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa:
1. Analisis Univariat
a. Berdasarkan status merokok, individu yang tidak merokok memiliki
proporsi lebih besar untuk terjadinya TGT dibanding individu yang
merokok dan pernah merokok.
b. Untuk usia merokok, proporsi TGT paling banyak terdapat pada individu
yang merokok ≥20 tahun dibanding kurang dari 20 tahun.
c. Pada jumlah rokok yang dihisap, individu yang menghisap ≥20 batang
sehari lebih banyak mengalami TGT dibanding <20 batang sehari.
d. Individu yang merokok selama ≥20 tahun juga lebih banyak mengalami
TGT dibanding yang <20 tahun.
e. Pada jenis rokok, TGT paling banyak terjadi pada individu yang
mengkonsumsi rokok jenis kretek.
f. Individu yang mengalami TGT paling banyak berusia ≥45 tahun
dibanding usia <45 tahun.
g. Jenis kelamin paling banyak yang mengalami TGT yaitu perempuan.
132
h. Untuk konsumsi kopi, individu yang tidak pernah konsumsi kopi justru
mengalami kejadian TGT paling banyak dibanding yang mengkonsumsi
kopi.
2. Terdapat hubungan antara status merokok, usia mulai merokok, durasi
merokok, jumlah rokok yang dihisap, jenis rokok, umur, jenis kelamin dan
konsumsi kopi dengan kejadian TGT.
3. Terdapat hubungan antara status merokok, usia mulai merokok, durasi
merokok, jumlah rokok yang dihisap, jenis rokok dengan kejadian TGT
setelah dikontrol variabel umur, jenis kelamin dan konsumsi kopi.
7.2 Saran
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
a. Diharapkan adanya program edukasi terkait larangan merokok sejak
usia muda terutama usia 5-19 tahun dan anjuran untuk berhenti merokok
sesegera mungkin bagi perokok. Program tersebut dapat ditanyangkan
di televisi, layar KRL, maupun di papan billboard agar dapat dilihat
oleh masyarakat umum secara langsung.
b. Memberikan kebijakan mengenai anjuran untuk melakukan deteksi dini
TGT pada perokok maupun mantan perokok.
c. Berintegrasi dengan kementerian lain yang terkait seperti kementerian
agama mengenai isu rokok.
133
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Pada survei selanjutnya diharapkan untuk jenis rokok juga ditanyakan
rokok yang paling dominan atau paling sering dihisap. Selain itu,
diharapkan juga membedakan antara rokok yang berfilter dan nonfilter.
3. Masyarakat Indonesia
a. Masyarakat, khususnya perokok diharapkan melakukan deteksi dini
kadar glukosa darah, terutama pemeriksaan kadar gula darah 2 jam
paska pembebanan untuk mendeteksi terlebih dulu kejadian TGT agar
dapat melakukan pengendalian sejak dini.
b. Bagi perokok dianjurkan untuk mengikuti fatwa MUI yang
mengharamkan rokok.
c. Untuk muslim yang bertekad berhenti merokok dapat melakukan puasa
sunnah Senin dan Kamis karena puasa terbukti memberikan dampak
yang bagus bagi sensitivitas insulin dan mengurangi jumlah batang
rokok sekaligus lama waktu perokok saat merokok.
4. Institusi Pendidikan
Bagi institusi pendidikan baik tingkat sekolah dasar sampai perguruan
tinggi diharapkan memberikan himbauan dan aturan larangan merokok bagi
siswa atau mahasiswa. Selain itu, diharapkan ada kurikulum kesehatan di
SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi.
134
5. Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya diharapkan melakukan kontrol terhadap
variabel obesitas, aktivitas fisik dan riwayat diabetes keluarga karena
variabel-variabel tersebut juga memberikan peran penting dalam
menimbulkan kejadian TGT. Selain itu, diharapkan untuk melakukan
penelitian dengan desain studi lain seperti kohort untuk melihat langsung
sebab akibat antara merokok dengan TGT.
135
8 DAFTAR PUSTAKA
ADA, 2010. Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care Vol. 33, 11–61.
Adriani, M., Wirjatmadi, B., 2012. Pengantar Gizi Masyarakat, 1st ed. Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
Alfiyah, S.., 2010. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit
Diabetes Mellitus pada Pasien Rawat jalan di Rumah Sakit Umum
Pusat DR. Kariadi Semarang Tahun 2010. Semarang.
Alphaparm, 2009. Pre-Diabetes, Talking Diabetes No 29. Australia.
ASH, 2012. Cigarette Smoking and Body Mass Index (BMI). Edinburgh.
Astuti, L.M., Prawirohartono, E.P., Noormanto, 2012. Obesitas sentral berhubungan
dengan toleransi glukosa terganggu pada remaja perempuan. J. Gizi Klin.
Indones. 8, 113–117.
Bach, L., 2017. The Path to Tobacco Addiction Starts at Very Young Ages.
Campaign for Tobacco-Free Kids, Washington DC.
Bajaj, M., 2012. Nicotine and Insulin Resistance: When the Smoke Clears. Public
Health Prev. Med. Arch. 1–3.
Baron, R., Byrne, D., Branscombe, 2008. Social Psycology, 12. Pearson, Boston.
Benowitz, N.L., Hukkanen, J., Jacob III, P., 2009. Nicotine Chemistry, Metabolism,
Kinetics and Biomarkers. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, San Francisco.
Bruin, J., Gerstein, H., Holloway, A., 2010. Long-term consequences of fetal and
neonatal nicotine exposure: a critical review. Toxicol Sci. 116, 364–374.
Bustan, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, 2nd ed. PT Asdi Mahastya,
Jakarta.
Caballero, B., 2007. The Global Epidemic of Obesity: An Overview. Epidemiol. Rev.
29, 1–5.
Canoy, D., 2005. Cigarette Smoking and fat Distribution in 21.828 British Man and
Women : a Population-Based Study. J. Obes. 13, 1466–1475.
136
Chang, S.A., 2012. Smoking and Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes Metab. J. Vol.
36, 399–403.
Chen, J., Millar, W.J., 1998. Age of Smoking Initiation: Implications for Quitting.
Stat. Can. 9, 39–46.
Chidozie, N.J., Okorie, E.A., Chima, O.E., Sally, I., Amadi A N, 2014. Study on the
effect of smoking on Type 2 Diabetic Patients in Federal Medical Center
Owerri, Southeastern Nigeria. Asian J. Med. Sci. Vo. 5, 63–71.
Chiolero, A., Faeh, D., Paccaud, F., Cornuz, J., 2008. Consequences of smoking for
body weight, body fat distribution, and insulin resistance. Am. Soc. Nutr. 87,
801–809.
Coelho, J., Melo, B., Rodrigues, T., Metafome, P., Sacramento, J., Guarino, M.,
Seica, R., Conde, S., 2016. Caffein Restore Insulin Sensitivity and Glucose
Tolerance in High-Sucrose Diet Rats: Effects on Adipose Tissue. J.
Cardiovasc. Dis. 10, 1–10.
Davis, S.R., Castelo-Branco, Chedraui, P., Lumsden, M.A., Nappi, R.E., Shah, D.,
Villaseca, P., 2012. Memahami Peningkatan Berat Badan saat Menopause.
Climacteric 15, 1–31.
Elffers, T., Mutsert, R., Lamb, H., Roos, A., Dijk, K.W., Rossendaal, F., 2017. Body
fat distribution, in particular visceral fat, is associated with cardiometabolic
risk factors in obese women. PLOS ONE 12, 1–10.
Ghoraba, M., Shiddo, O., Almuslmani, M., Jallad, I., Khan, A., Maranan, G.,
Alharabi, M., Alsaygh, A., 2016. Prevalence of prediabetes in Family and
Community Medicine Department, Security Forces Hospital, Riyadh, Saudi
Arabia. Int. J. Med. Sci. Public Health Vol. 5, 777–784.
Gibney, M.J., 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. EGC, Jakarta.
Goldenberg, R., Punthakee, Z., 2013. Definition, Classification and Diagnosis of
Diabetes, Prediabetes and Metabolic Syndrome. Can. J. Diabetes Vol. 37, 8–
11.
Hani, N., Suriani, Rosliza, Farhan, A., 2016. Effect of Ramadan Environment on
Fagerstrom Test for Nicotine Dependence (FNTD) among Smokers. Int. J.
Public Health Clin. Sci. 3, 59–69.
Hans, T., 2008. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang Diabetes: Panduan
Lengkap Mengenal dan Mengatasi Diabetes dengan Cepat dan Mudah. PT
Gramedia, Jakarta.
137
Imamura, F., Mukamal, K., Meigs, J., Luchsinger, J.A., Joachim, H., Siscovic, D.S.,
Mozaffarian, D., 2013. Risk Factors for Type 2 Diabetes Mellitus Preceded by
β-Cell Dysfunction, Insulin Resistance, or Both in Older Adults. Am. J.
Epidemiol. Vol. 177, 1418–1429.
Irawan, D., 2010. Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di
Daerah Urban Indonesia (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2007).
Universitas Indonesia, Jakarta.
Kamaura, M., Fujii, H., Mizushima, S., Tochikubo, O., 2011. Weight Gain and Risk
of Impaired Fasting Glucose After Smoking Cessation. NCBI 21, 431–439.
Kemenkes, 2012. Peraturan Pemerintah No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan
Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau bagi Kesehatan.
Kemenkes RI, 2013. Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia berdasarkan Riskesdas
2007 dan 2013. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
Kim, S.J., Jee, S.H., Nam, J.M., Cho, W.H., Kim, J.-H., Park, E.-C., 2014. Do early
onset and pack-years of smoking increase risk of type II diabetes? BMC
Public Health Vol. 14.
Kobayashi, M., Kurata, T., Hamana, Y., Hiramitsu, M., Inoue, T., Murai, A., Horio,
F., 2017. Coffee Ingestion Suppresses Hyperglycemia in Strestozotocin-
Induced Diabetic Mice. J. Nutr. Sci. 63, 200–207.
Lang, V.B., Markovic, B.B., Vrdoljak, D., 2015. The association of lifestyle and
stress with poor glycemic control in patients with diabetes mellitus type 2: a
Croatian nationwide primary care cross-sectional study. Croat Med J Vol. 56,
357–365.
Luo, J., Rossow, J., Tong, E., Giovino, G., Lee, C., Chen, C., Ockene, J., Qi, L.,
Margolis, K., 2012. Smoking Cessation, Weght Gain, and Risk of Type 2
Diabetes Mellitus among Posmenopausal Women. Archinternmed Vol. 172
No. 5, 438–440.
Manson, J., Ajani, U., Liu, S., David, N., Hennekens, C., 2000. A Prospective Study
of Cigarette Smoking and the Incidence of Diabetes Mellitus among US Male
Physicians. Am. J. Med. 109, 538–542.
Marimoto, A., Tatsumi, Y., Deura, K., Mizuno, S., Ohno, Y., Watanabe, S., 2013.
Impact of cigarette smoking on impaired insulin secretion and insulin
resistance in Japanese men: The Saku Study. J. Diabetes Investig. Vol. 4,
274–280.
138
Merril, R.M., 2011. Principles of Epidemiology Workbook: Exercise and Activities.
Jones and Barlett Learning, Canada.
Molina, 2017. Hubungan antara Konformitas terhadap Perilaku Merokok pada Siswa
SMP Negeri 1 Loa Janan. E-J. Psikol. 5, 96–106.
Mosson, M., Milnerowicz, H., 2017. The impact of smoking on the development of
diabetes and its complications. Diab. Vasc. Dis. Res. Vol. 00, 1–7.
MUI, 2009. Fatwa Merokok. Majelis Ulama Indonesia Pekan Baru, Pekan Baru.
Murray, R.K., Granner, D.K., Rodwell, V.W., 2009. Biokimia Harper, 27th ed. EGC,
Jakarta.
Nasrul, E., Sofitri, 2012. Hiperurisemia pada Pra Diabetes. J. Kesehat. Andalas Vol.
1, 1–6.
Ndraha, S., 2014. Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini. Medicinus Vol.
27, 9–16.
Nur, A., Fitria, E., Zulhaida, A., Hanum, S., 2016. Hubungan Pola Konsumsi dengan
Diabetes Melitus Tipe 2 pada Pasien Rawat Jalan di RSUD Dr. Fauziah
Bireuen Provinsi Aceh. Media Litbangkes 26, 145–150.
Oba, S., Suzuki, E., Yamamoto, M., Horikawa, Y., Nagata, C., Takeda, J., 2015.
Active and passive exposure to tobacco smoke in relation to insulin sensitivity
and pancreatic beta-cell function in Japanese subjects. Elsevier Vol. 41,
160–167.
Pan, A., Wang, Y., Talaei, M., Hu, F., Wu, T., 2015. Relation of active, passive, and
quitting smoking with incident diabetes: a meta-analysis and systematic
review. HHS Public Access Vol. 3, 1–18.
Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Jakarta.
Riyanto, A., 2009. Penerapan Analisis Multivariat dalam Penelitian Kesehatan, 1.
Niftra Media Press, Bandung.
Setiawan, M., 2011. Pre-diabetes dan Peran HBA1C dalam Skrining dan Diagnosis
Awal Diabetes Melitus Vol. 14, 57–64.
Shariatpanahi, Z., Shariatpanahi, M., Shahbazi, S., Hossaini, A., Abadi, A., 2008.
Effect of Ramadan fasting on some indices of insulin resistance and
139
components of the metabolic syndrome in healthy male adults. Br. J. Nutr.
100, 147–151.
Sherwood, L., 2012. Fisiologi Manusia. EGC, Jakarta.
Soewondo, P., Pramono, L.A., 2011. Prevalence, characteristics, and predictors of
pre-diabetes in Indonesia. Med. J. Indones. Vol. 20, 283–294.
Steptoe, A., Ussher, M., 2006. Smoking, cortisol and nicotine. Elsevier 59, 228–235.
Tabak, A., Herder, C., Rathmann, W., Brunner, E.J., Kivimaki, M., 2012.
Prediabetes: A high-risk state for developing diabetes Vol. 16, 2279–2290.
Tirtosastro, S., Murdiati, A.S., 2010. Kandungan Kimia Tembakau dan Rokok. Bul.
Tanam. Tembakau Serat Miny. Ind. 2, 33–43.
Tjekyan, S., 2014. Angka Kejadian dan Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di 78
RT Kotamadya Palembang Tahun 2010. Makara Kesehat. Vol. 46, 85–94.
Tjekyan, S., 2007. Risiki Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 di Kalangan Peminum
Kopi di Kotamadya Palembang Tahun 2006-2007. Makara Kesehat. Vol. 11,
54–61.
Trisnawati, S., Widarsa, T., Suastika, K., 2013. Faktor risiko diabetes mellitus tipe 2
pasien rawat jalan di Puskesmas Wilayah Kecamatan Denpasar Selatan.
Public Health Prev. Med. Arch. Vol. 1, 1–6.
Venkatachalam, J., Rajesh, M., Singh, Z., Devi, S., Purty, A.J., P, S., S, J., GR, S.,
2012. Smoking and Diabetes: A Case Control Study in a Rural Area of
Kancheepuram District of Tamil Nadu. IOSR J. Dent. Med. Sci. JDMS Vol.
3, 18–21.
Webb, P., Bain, C., 2011. Essential Epidemiology: An Introduction for Students and
Health Professionals, Second Edition. ed. Cambridge University Press, United
Kingdom.
WHO, 2011. World Health Organization Report on the Global Tobacco Epidemic.
WHO, 2004. Appropriate body-mass index for Asian populations and its implications
for policy and intervention strategies. The Lancet 363, 157–163.
Widiansyah, M., 2014. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Remaja Perokok di Desa
Sidoarjo KABUPATEN penajam Paser Utara. J. Sosiol. Konesntrasi 2, 1–12.
140
Xie, X.-T., Liu, Q., Wakui, M., 2009. Impact of Cigarette Smoking in Type 2
Diabetes Development. Acta Pharmacol. Sin. Vol. 30, 784–787.
Zahtamal, Chandra, F., Suyanto, Restuastuti, T., 2007. Faktor-Faktor Risiko Pasien
Diabetes Melitus. Ber. Kedokt. Masy. 23, 142–147.
Zhao, D., Wu, N., Yang, J., Liu, S., Zhang, N., Wang, X., Zhang, H., 2015. The
Prevalence and Associated Risk Factors of Impaired Glucose Regulation in
Chinese Adults: A Population-Based Cross-Sectional Study. Hindawi Publ.
Corp. 1–6.
141
LAMPIRAN 1
KUESIONER RISKESDAS 2013
142
143
LAMPIRAN 2
ALAT CEK GLUKOSA DARAH
144
LAMPIRAN 3
Analisis Univariat
status_merokok
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Merokok 5805 25.8 25.8 25.8
Pernah merokok 894 4.0 4.0 29.8
Tidak pernah merokok 15797 70.2 70.2 100.0
Total 22496 100.0 100.0
usia_mulai_merokok
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 5-19 tahun 4678 20.8 20.8 20.8
lebih dari sama dengan 20 tahun 2021 9.0 9.0 29.8
tidak merokok 15797 70.2 70.2 100.0
Total 22496 100.0 100.0
kategori_durasi_merokok
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid lebih dari 20 tahun 3997 17.8 17.8 17.8
kurang dari 20 tahun 2702 12.0 12.0 29.8
tidak pernah merokok 15797 70.2 70.2 100.0
Total 22496 100.0 100.0
kategori_batang_rokok
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid lebih dari sama dengan 20 batang 576 2.6 2.6 2.6
kurang dari 20 batang 6123 27.2 27.2 29.8
tidak pernah merokok 15797 70.2 70.2 100.0
Total 22496 100.0 100.0
145
$jenis_rokok Frequencies
Responses
Percent of Cases N Percent
$jenis_rokoka a. Rokok kretek 4721 56.1% 70.5%
b. Rokok putih 2501 29.7% 37.3%
c. Rokok linting 1144 13.6% 17.1%
d. Cangklong/ cerutu 42 0.5% 0.6%
Total 8408 100.0% 125.5%
a. Dichotomy group tabulated at value 1.
kretek
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid iya 4721 21.0 21.0 21.0
tidak 17775 79.0 79.0 100.0
Total 22496 100.0 100.0
putih
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid iya 2501 11.1 11.1 11.1
tidak 19995 88.9 88.9 100.0
Total 22496 100.0 100.0
linting
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid iya 1144 5.1 5.1 5.1
tidak 21352 94.9 94.9 100.0
Total 22496 100.0 100.0
cangklong
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid iya 42 .2 .2 .2
tidak 22454 99.8 99.8 100.0
146
Total 22496 100.0 100.0
kategori_umur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid lebih dari sama dengan 45 tahun 9416 41.9 41.9 41.9
kurang dari 45 tahun 13080 58.1 58.1 100.0
Total 22496 100.0 100.0
jenis_kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid laki-laki 8585 38.2 38.2 38.2
perempuan 13911 61.8 61.8 100.0
Total 22496 100.0 100.0
kategori_konsumsi_kopi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid konsumsi kopi 13307 59.2 59.2 59.2
tidak konsumsi kopi 9189 40.8 40.8 100.0
Total 22496 100.0 100.0
147
LAMPIRAN 4
Analisis Bivariat
1. Status merokok
status_merokok * status_TGT Crosstabulation
status_TGT
Total TGT Normal
status_mer
okok
Merokok Count 1478 4327 5805
% within status_merokok 25.5% 74.5% 100.0%
Pernah merokok Count 287 607 894
% within status_merokok 32.1% 67.9% 100.0%
Tidak pernah merokok Count 5499 10298 15797
% within status_merokok 34.8% 65.2% 100.0%
Total Count 7264 15232 22496
% within status_merokok 32.3% 67.7% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 169.740a 2 .000
Likelihood Ratio 174.498 2 .000
Linear-by-Linear Association 168.229 1 .000
N of Valid Cases 22496
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 288.67.
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a status_merokok 572273.888 2 .000
status_merokok(1) .397 .001 572247.531 1 .000 1.487 1.485 1.488
status_merokok(2) .079 .001 5260.641 1 .000 1.083 1.080 1.085
148
Constant .611 .000 6334045.746 1 .000 1.842
a. Variable(s) entered on step 1: status_merokok.
2. Usia mulai merokok
usia_mulai_merokok * status_TGT Crosstabulation
status_TGT
Total TGT Normal
usia_mulai_me
rokok
5-19 tahun Count 1172 3506 4678
% within
usia_mulai_merokok 25.1% 74.9% 100.0%
lebih dari sama dengan 20
tahun
Count 593 1428 2021
% within
usia_mulai_merokok 29.3% 70.7% 100.0%
tidak merokok Count 5499 10298 15797
% within
usia_mulai_merokok 34.8% 65.2% 100.0%
Total Count 7264 15232 22496
% within
usia_mulai_merokok 32.3% 67.7% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 165.979a 2 .000
Likelihood Ratio 170.705 2 .000
Linear-by-Linear Association 165.690 1 .000
N of Valid Cases 22496
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
652.58.
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)
149
Lower Upper
Step 1a usia_mulai_merokok 614194.303 2 .000
usia_mulai_merokok(1) .448 .001 610378.491 1 .000 1.565 1.563 1.566
usia_mulai_merokok(2) .129 .001 26657.825 1 .000 1.137 1.135 1.139
Constant .611 .000 6334045.746 1 .000 1.842
a. Variable(s) entered on step 1: usia_mulai_merokok.
3. Durasi merokok
kategori_durasi_merokok * status_TGT Crosstabulation
status_TGT
Total TGT Normal
kategori_durasi_me
rokok
lebih dari 20 tahun Count 1239 2758 3997
% within
kategori_durasi_merokok 31.0% 69.0% 100.0%
kurang dari 20 tahun Count 526 2176 2702
% within
kategori_durasi_merokok 19.5% 80.5% 100.0%
tidak pernah merokok Count 5499 10298 15797
% within
kategori_durasi_merokok 34.8% 65.2% 100.0%
Total Count 7264 15232 22496
% within
kategori_durasi_merokok 32.3% 67.7% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 252.155a 2 .000
Likelihood Ratio 270.810 2 .000
Linear-by-Linear Association 68.004 1 .000
N of Valid Cases 22496
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
872.48.
Variables in the Equation
150
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a kategori_durasi_merokok 969302.569 2 .000
kategori_durasi_merokok(1) .686 .001 548667.953 1 .000 1.985 1.982 1.989
kategori_durasi_merokok(2) -.104 .001 32839.183 1 .000 .901 .900 .902
Constant .716 .001 1893402.862 1 .000 2.045
a. Variable(s) entered on step 1: kategori_durasi_merokok.
4. Jumlah rokok yang dihisap
kat_batang_rokok * status_TGT Crosstabulation
status_TGT
Total TGT Normal
kat_batang_
rokok
lebih dari 5 batang per hari Count 1255 3517 4772
% within kat_batang_rokok 26.3% 73.7% 100.0%
kurang dari 5 batang per hari Count 510 1417 1927
% within kat_batang_rokok 26.5% 73.5% 100.0%
tidak pernah merokok Count 5499 10298 15797
% within kat_batang_rokok 34.8% 65.2% 100.0%
Total Count 7264 15232 22496
% within kat_batang_rokok 32.3% 67.7% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 154.126a 2 .000
Likelihood Ratio 157.518 2 .000
Linear-by-Linear Association 141.096 1 .000
N of Valid Cases 22496
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
622.23.
151
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a kategori_batang_rokok 506353.828 2 .000
kategori_batang_rokok(1) .361 .001 66372.133 1 .000 1.435 1.431 1.439
kategori_batang_rokok(2) .347 .001 465544.865 1 .000 1.415 1.414 1.417
Constant .611 .000 6334045.739 1 .000 1.842
a. Variable(s) entered on step 1: kategori_batang_rokok.
5. Jenis rokok
Jenis rokok dengan TGT
$jenis_rokok*status_TGT Crosstabulation
status_TGT
Total TGT Normal
jenis rokoka a. Rokok kretek Count 1262 3459 4721
% within $jenis_rokok 26.7% 73.3%
b. Rokok putih Count 597 1904 2501
% within $jenis_rokok 23.9% 76.1%
c. Rokok linting Count 333 811 1144
% within $jenis_rokok 29.1% 70.9%
d. Cangklong/ cerutu Count 18 24 42
% within $jenis_rokok 42.9% 57.1%
Total Count 1765 4934 6699
Percentages and totals are based on respondents.
a. Dichotomy group tabulated at value 1.
status_TGT
TGT Normal
Count Column N %
Column
Responses % Count Column N %
Column
Responses %
152
jenis rokok a. Rokok kretek 1262 71.5% 57.1% 3459 70.1% 55.8%
b. Rokok putih 597 33.8% 27.0% 1904 38.6% 30.7%
c. Rokok linting 333 18.9% 15.1% 811 16.4% 13.1%
d. Cangklong/ cerutu 18 1.0% 0.8% 24 0.5% 0.4%
Total 1765 100.0% 100.0% 4934 100.0% 100.0%
Pearson Chi-Square Tests
status_TGT
jenis rokok Chi-square 25.191
df 4
Sig. .000*
Results are based on nonempty rows and columns in each
innermost subtable.
6. Rokok kretek
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for kretek (iya / tidak) .773 .772 .774
For cohort status_TGT = TGT .838 .837 .839
For cohort status_TGT = Normal 1.084 1.084 1.085
N of Valid Cases 101994770
7. Rokok putih
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for putih (iya / tidak) .647 .646 .648
For cohort status_TGT = TGT .735 .735 .736
For cohort status_TGT = Normal 1.137 1.137 1.137
N of Valid Cases 101994771
153
8. Rokok linting
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for linting (iya / tidak) .818 .816 .820
For cohort status_TGT = TGT .871 .869 .872
For cohort status_TGT = Normal 1.065 1.064 1.065
N of Valid Cases 101994769
9. Rokok cangklong
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for cangklong (iya / tidak) 1.289 1.276 1.303
For cohort status_TGT = TGT 1.177 1.169 1.184
For cohort status_TGT = Normal .912 .909 .916
N of Valid Cases 101994769
10. Umur
kategori_umur * status_TGT Crosstabulation
status_TGT
Total TGT Normal
kategori_umur lebih dari sama dengan 45
tahun
Count 3664 5752 9416
% within kategori_umur 38.9% 61.1% 100.0%
kurang dari 45 tahun Count 3600 9480 13080
% within kategori_umur 27.5% 72.5% 100.0%
Total Count 7264 15232 22496
% within kategori_umur 32.3% 67.7% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
154
Pearson Chi-Square 324.833a 1 .000
Continuity Correctionb 324.312 1 .000
Likelihood Ratio 322.884 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 324.819 1 .000
N of Valid Cases 22496
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3040.44.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for kategori_umur (lebih dari sama dengan
45 tahun / kurang dari 45 tahun)
1.735 1.734 1.737
For cohort status_TGT = TGT 1.439 1.439 1.440
For cohort status_TGT = Normal .829 .829 .830
N of Valid Cases 101994770
11. Jenis kelamin
jenis_kelamin * status_TGT Crosstabulation
status_TGT
Total TGT Normal
jenis_kelamin laki-laki Count 2234 6351 8585
% within jenis_kelamin 26.0% 74.0% 100.0%
perempuan Count 5030 8881 13911
% within jenis_kelamin 36.2% 63.8% 100.0%
Total Count 7264 15232 22496
% within jenis_kelamin 32.3% 67.7% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
155
Pearson Chi-Square 249.477a 1 .000
Continuity Correctionb 249.014 1 .000
Likelihood Ratio 253.683 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 249.466 1 .000
N of Valid Cases 22496
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2772.11.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for jenis_kelamin (laki-laki / perempuan) .625 .624 .625
For cohort status_TGT = TGT .724 .724 .725
For cohort status_TGT = Normal 1.160 1.160 1.160
N of Valid Cases 101994769
12. Konsumsi kopi
kat_konsumsi_kopi * status_TGT Crosstabulation
status_TGT
Total TGT Normal
kat_konsumsi_kopi konsumsi kopi Count 4151 9156 13307
% within kat_konsumsi_kopi 31.2% 68.8% 100.0%
tidak konsumsi kopi Count 3113 6076 9189
% within kat_konsumsi_kopi 33.9% 66.1% 100.0%
Total Count 7264 15232 22496
% within kat_konsumsi_kopi 32.3% 67.7% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 17.901a 1 .000
Continuity Correctionb 17.778 1 .000
Likelihood Ratio 17.858 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
156
Linear-by-Linear Association 17.900 1 .000
N of Valid Cases 22496
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2967.15.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for kategori_konsumsi_kopi (konsumsi
kopi / tidak konsumsi kopi)
.907 .906 .908
For cohort status_TGT = TGT .937 .937 .938
For cohort status_TGT = Normal 1.033 1.033 1.033
N of Valid Cases 101994770
157
LAMPIRAN 5
Uji Confounding
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a status_merokok 61671.142 2 .000
status_merokok(1) 1.356 .019 5011.999 1 .000 3.882 3.739 4.030
status_merokok(2) 1.064 .019 3081.602 1 .000 2.898 2.791 3.009
usia_mulai_merokok 32473.848 1 .000
usia_mulai_merokok(1) .169 .001 32473.848 1 .000 1.184 1.182 1.186
kategori_durasi_merokok 181289.502 2 .000
kategori_durasi_merokok(1) .428 .001 176041.449 1 .000 1.534 1.531 1.537
kategori_durasi_merokok(2) 1.597 .019 6980.481 1 .000 4.940 4.759 5.129
kategori_batang_rokok 1103.793 1 .000
kategori_batang_rokok(1) .049 .001 1103.793 1 .000 1.051 1.048 1.054
kretek .035 .001 866.181 1 .000 1.036 1.033 1.038
putih -.024 .001 471.433 1 .000 .976 .974 .978
linting -.096 .001 5852.502 1 .000 .909 .907 .911
cangklong .524 .006 9064.289 1 .000 1.689 1.671 1.707
kategori_umur .514 .000 1276845.034 1 .000 1.672 1.671 1.674
jenis_kelamin -.523 .001 556724.069 1 .000 .593 .592 .594
kategori_konsumsi_kopi -.003 .000 41.738 1 .000 .997 .996 .998
Constant -1.265 .020 3980.224 1 .000 .282
a. Variable(s) entered on step 1: status_merokok, usia_mulai_merokok, kategori_durasi_merokok, kategori_batang_rokok, kretek, putih, linting, cangklong,
kategori_umur, jenis_kelamin, kategori_konsumsi_kopi.
Perbedaan Exp(B) setelah umur dikeluarkan
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a status_merokok 137792.228 2 .000
158
status_merokok(1) 1.469 .019 5857.742 1 .000 4.345 4.185 4.512
status_merokok(2) 1.028 .019 2866.511 1 .000 2.796 2.693 2.903
usia_mulai_merokok 82413.136 1 .000
usia_mulai_merokok(1) .267 .001 82413.136 1 .000 1.306 1.303 1.308
kategori_durasi_merokok 594216.351 2 .000
kategori_durasi_merokok(1) .746 .001 587411.699 1 .000 2.108 2.104 2.112
kategori_durasi_merokok(2) 1.920 .019 10048.104 1 .000 6.823 6.571 7.084
kategori_batang_rokok 1732.581 1 .000
kategori_batang_rokok(1) .062 .001 1732.581 1 .000 1.064 1.061 1.067
kretek .037 .001 957.062 1 .000 1.038 1.035 1.040
putih -.069 .001 3775.272 1 .000 .933 .931 .935
linting -.045 .001 1311.947 1 .000 .956 .954 .958
cangklong .528 .005 9364.842 1 .000 1.696 1.678 1.714
jenis_kelamin -.513 .001 539850.172 1 .000 .599 .598 .600
kategori_konsumsi_kopi .011 .000 584.219 1 .000 1.011 1.010 1.012
Constant -1.317 .020 4301.940 1 .000 .268
a. Variable(s) entered on step 1: status_merokok, usia_mulai_merokok, kategori_durasi_merokok, kategori_batang_rokok, kretek, putih, linting, cangklong,
jenis_kelamin, kategori_konsumsi_kopi.
Perbedaan Exp(B) setelah konsumsi kopi dikeluarkan
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a status_merokok 62327.671 2 .000
status_merokok(1) 1.357 .019 5015.280 1 .000 3.884 3.740 4.032
status_merokok(2) 1.064 .019 3080.430 1 .000 2.898 2.791 3.009
usia_mulai_merokok 32467.999 1 .000
usia_mulai_merokok(1) .169 .001 32467.999 1 .000 1.184 1.182 1.186
kategori_durasi_merokok 181389.570 2 .000
kategori_durasi_merokok(1) .428 .001 176144.724 1 .000 1.534 1.531 1.537
kategori_durasi_merokok(2) 1.597 .019 6978.775 1 .000 4.940 4.758 5.128
kategori_batang_rokok 1102.915 1 .000
kategori_batang_rokok(1) .049 .001 1102.915 1 .000 1.051 1.048 1.054
159
kretek .035 .001 859.170 1 .000 1.036 1.033 1.038
putih -.024 .001 474.388 1 .000 .976 .974 .978
linting -.096 .001 5851.679 1 .000 .909 .907 .911
cangklong .524 .006 9051.561 1 .000 1.688 1.670 1.706
kategori_umur .514 .000 1277421.417 1 .000 1.672 1.670 1.673
jenis_kelamin -.523 .001 558570.647 1 .000 .593 .592 .593
Constant -1.266 .020 3982.832 1 .000 .282
a. Variable(s) entered on step 1: status_merokok, usia_mulai_merokok, kategori_durasi_merokok, kategori_batang_rokok, kretek, putih, linting, cangklong,
kategori_umur, jenis_kelamin.
Perbedaan Exp(B) setelah jenis kelamin dikeluarkan
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a status_merokok 73726.108 2 .000
status_merokok(1) 1.690 .019 7824.747 1 .000 5.420 5.221 5.627
status_merokok(2) 1.376 .019 5176.309 1 .000 3.958 3.813 4.109
usia_mulai_merokok 47106.951 1 .000
usia_mulai_merokok(1) .203 .001 47106.951 1 .000 1.225 1.222 1.227
kategori_durasi_merokok 176590.075 2 .000
kategori_durasi_merokok(1) .421 .001 171518.179 1 .000 1.523 1.520 1.526
kategori_durasi_merokok(2) 1.560 .019 6691.462 1 .000 4.760 4.585 4.941
kategori_batang_rokok 2751.971 1 .000
kategori_batang_rokok(1) .078 .001 2751.971 1 .000 1.081 1.078 1.084
kretek .014 .001 133.992 1 .000 1.014 1.012 1.016
putih -.036 .001 1003.380 1 .000 .965 .963 .967
linting -.116 .001 8627.393 1 .000 .890 .888 .893
cangklong .526 .005 9254.936 1 .000 1.693 1.675 1.711
kategori_umur .509 .000 1259906.266 1 .000 1.664 1.662 1.665
kategori_konsumsi_kopi -.021 .000 2176.639 1 .000 .979 .978 .980
Constant -1.624 .020 6592.348 1 .000 .197
a. Variable(s) entered on step 1: status_merokok, usia_mulai_merokok, kategori_durasi_merokok, kategori_batang_rokok, kretek, putih, linting, cangklong,
kategori_umur, kategori_konsumsi_kopi.
160
LAMPIRAN 6
Hasil Analisis Multivariat Hubungan Merokok dengan TGT setelah Dikontrol
Variabel Konfonding (Umur, Jenis Kelamin Dan Konsumsi Kopi)
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a status_merokok 61671.142 2 .000
status_merokok(1) 1.356 .019 5011.999 1 .000 3.882 3.739 4.030
status_merokok(2) 1.064 .019 3081.602 1 .000 2.898 2.791 3.009
usia_mulai_merokok 32473.848 1 .000
usia_mulai_merokok(1) .169 .001 32473.848 1 .000 1.184 1.182 1.186
kategori_durasi_merokok 181289.502 2 .000
kategori_durasi_merokok(1) .428 .001 176041.449 1 .000 1.534 1.531 1.537
kategori_durasi_merokok(2) 1.597 .019 6980.481 1 .000 4.940 4.759 5.129
kategori_batang_rokok 1103.793 1 .000
kategori_batang_rokok(1) .049 .001 1103.793 1 .000 1.051 1.048 1.054
kretek .035 .001 866.181 1 .000 1.036 1.033 1.038
putih -.024 .001 471.433 1 .000 .976 .974 .978
linting -.096 .001 5852.502 1 .000 .909 .907 .911
cangklong .524 .006 9064.289 1 .000 1.689 1.671 1.707
kategori_umur .514 .000 1276845.034 1 .000 1.672 1.671 1.674
jenis_kelamin -.523 .001 556724.069 1 .000 .593 .592 .594
kategori_konsumsi_kopi -.003 .000 41.738 1 .000 .997 .996 .998
Constant -1.265 .020 3980.224 1 .000 .282
a. Variable(s) entered on step 1: status_merokok, usia_mulai_merokok, kategori_durasi_merokok, kategori_batang_rokok, kretek, putih, linting, cangklong,
kategori_umur, jenis_kelamin, kategori_konsumsi_kopi.
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a usia_mulai_merokok 36124.642 2 .000
usia_mulai_merokok(1) 1.233 .019 4138.441 1 .000 3.431 3.305 3.563
161
usia_mulai_merokok(2) 1.064 .019 3081.602 1 .000 2.898 2.791 3.009
status_merokok 57393.125 1 .000
status_merokok(1) .292 .001 57393.125 1 .000 1.339 1.336 1.343
kategori_durasi_merokok 181289.502 2 .000
kategori_durasi_merokok(1) .428 .001 176041.449 1 .000 1.534 1.531 1.537
kategori_durasi_merokok(2) 1.597 .019 6980.481 1 .000 4.940 4.759 5.129
kategori_batang_rokok 1103.793 1 .000
kategori_batang_rokok(1) .049 .001 1103.793 1 .000 1.051 1.048 1.054
kretek .035 .001 866.181 1 .000 1.036 1.033 1.038
putih -.024 .001 471.433 1 .000 .976 .974 .978
linting -.096 .001 5852.502 1 .000 .909 .907 .911
cangklong .524 .006 9064.289 1 .000 1.689 1.671 1.707
kategori_umur .514 .000 1276845.034 1 .000 1.672 1.671 1.674
jenis_kelamin -.523 .001 556724.069 1 .000 .593 .592 .594
kategori_konsumsi_kopi -.003 .000 41.738 1 .000 .997 .996 .998
Constant -1.265 .020 3980.224 1 .000 .282
a. Variable(s) entered on step 1: usia_mulai_merokok, status_merokok, kategori_durasi_merokok, kategori_batang_rokok, kretek, putih, linting, cangklong,
kategori_umur, jenis_kelamin, kategori_konsumsi_kopi.
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step
1a
kategori_batang_rokok 4180.437 2 .000
kategori_batang_rokok(1) 1.113 .019 3353.326 1 .000 3.045 2.932 3.162
kategori_batang_rokok(2) 1.064 .019 3081.602 1 .000 2.898 2.791 3.009
status_merokok 57393.125 1 .000
status_merokok(1) .292 .001 57393.125 1 .000 1.339 1.336 1.343
usia_mulai_merokok 32473.848 1 .000
usia_mulai_merokok(1) .169 .001 32473.848 1 .000 1.184 1.182 1.186
kategori_durasi_merokok 181289.502 2 .000
kategori_durasi_merokok(1) .428 .001 176041.449 1 .000 1.534 1.531 1.537
kategori_durasi_merokok(2) 1.597 .019 6980.481 1 .000 4.940 4.759 5.129
kretek .035 .001 866.181 1 .000 1.036 1.033 1.038
162
putih -.024 .001 471.433 1 .000 .976 .974 .978
linting -.096 .001 5852.502 1 .000 .909 .907 .911
cangklong .524 .006 9064.289 1 .000 1.689 1.671 1.707
kategori_umur .514 .000 1276845.034 1 .000 1.672 1.671 1.674
jenis_kelamin -.523 .001 556724.069 1 .000 .593 .592 .594
kategori_konsumsi_kopi -.003 .000 41.738 1 .000 .997 .996 .998
Constant -1.265 .020 3980.224 1 .000 .282
a. Variable(s) entered on step 1: kategori_batang_rokok, status_merokok, usia_mulai_merokok, kategori_durasi_merokok, kretek, putih, linting, cangklong,
kategori_umur, jenis_kelamin, kategori_konsumsi_kopi.