HUBUNGAN KOPING KELUARGA DENGAN TINGKAT
KEBERHASILAN PENGOBATAN TB PARU DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS BULU
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh :
Sugiyanti
NIM. ST 151084
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
STIKESKUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2017
HUBUNGAN KOPING KELUARGA DENGAN TINGKAT
KEBERHASILAN PENGOBATAN TB PARU DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS BULU
Sugiyanti1)
, Yeti Nurhayati2)
, Yunita Wulandari3)
1)
Mahasiswa S1 Keperawatan STIKES Kusuma Husada 2),3)
Dosen S1 Keperawatan STIKES Kusuma Husada
Abstrak
Berdasarkan laporan tahunan program pengendalian tuberkulosis Puskesmas
Bulu tahun 2013, angka penderita tuberkulosis 31 orang, yang terdiri dari 18
pasien tuberkulosis BTA (Batang Tahan Asam) positif, 7 pasien tuberkulosis BTA
(Batang Tahan Asam) negatif pemeriksaan rontgen positif, 3 pasien tuberkulosis
ekstra paru, 1 pasien tuberkulosis kasus kambuh, dan 1 pasien tuberkulosis anak.
Dari hasil pengamatan petugas program pengendalian program tuberkulosis masih
ditemukan adanya pasien yang mengambil obat tidak teratur. Selain itu masih ada
pasien yang terlambat dalam memeriksakan sputumnya pada bulan kedua, satu
bulan setelah akhir pengobatan dan pada saat akhir pengobatan. Koping keluarga
yang belum maksimal
Mengetahui hubungan koping keluarga dengan tingkat keberhasilan
pengobatan TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bulu. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian analitik. Pengambilan sampel penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling. Adapun sampel yang memenuhi kriteria
inklusi sebanyak 35 responden .
Koping keluarga pasien TB Paru di Wilayah Kerja puskesmas Bulu paling
banyak adalah koping adaptif yaitu sebanyak 26 responden (74%). Tingkat
keberhasilan pengobatan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Bulu paling
banyak adalah berhasil yaitu sebanyak 23 responden (77%). Ada hubungan
koping keluarga dengan tingkat keberhasilan pengobatan TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Bulu.
Kata Kunci : Koping Keluarga, Tingkat Keberhasilan, Pengobatan
Daftar Pustaka: 33 (2000-2016)
ii
STUDY PROGRAM OF NURSING
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2017
CORRELATION BETWEEN FAMILY COPING AND SUCCESS LEVEL OF
PULMONARY TUBERCULOSIS TREATMENT IN THE WORKING
AREA OF BULU PUBLIC HEATH CENTER
Sugiyanti1), Yeti Nurhayati
2), Yunita Wulandari
3)
1) Students S1 Nursing STIKES Kusuma Husada
2), 3) Lecturer S1 Nursing STIKES Kusuma Husada
Abstract
Based on the annual reports of tuberculosis control program at Bulu
public health center 2013, the number of tuberculosis patients was 31 people that
consisted of 18 patients with positive Acid-Fast Bacilli (AFB), 7 patients with
negative AFB and positive roentgen examination result, 3 patients with extra
pulmonary tuberculosis, 1 patient with tuberculosis relapse cases, and 1 patient
with tuberculosis in children. From the observation of tuberculosis control
program officer, there was still found the patients who took medication
irregularly. Besides, there were patients who were late in taking sputum
examination in the second month, one month after the end of treatment, and at the
end of treatment. Thus, the application of family coping was not maximal.
This research aims to determine the correlation between family coping and
success level of pulmonary tuberculosis treatment in the working area of Bulu
public heath center. This research was analytical research. The sampling
technique used in this research was purposive sampling technique. From the
sampling technique, the samples that achieved inclusion criteria were 35
respondents.
The result of this research showed that the most coping of pulmonary
tuberculosis patients' families in the working area of Bulu public health center
were adaptive coping, there were 26 respondents (74%). The most success level
of pulmonary tuberculosis treatment in the working area of Bulu public health
center were successful, there were 23 respondents (77%). Thus, it can be
concluded that there is correlation between family coping and success level of
pulmonary tuberculosis treatment in the working area of Bulu public heath
center.
Keywords : Family Coping, Success level , Treatment
Bibliography : 33 (2000-2016)
iii
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis menjadi
salah satu indikator penyakit menular
kronis dan pengendaliannya menjadi
perhatian dunia internasional. WHO
menetapkan tuberkulosis sebagai
masalah kedaruratan global (global
emergency) bagi kemanusiaan sejak
tahun 1993. Berdasarkan data dari
“World Health Statistic 2013” angka
prevalensi tuberkulosis per 100.000
penduduk di beberapa negara
ASEAN (Kemenkes RI, 2013).
Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tububerkulosis adalah
penyebab kematian ketiga setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit
saluran pernafasan yaitu 9,4%. Pada
hasil survey yang sama, angka
kesakitan tuberkulosis pada saat itu
adalah 800 per 100.000 penduduk
(Depkes RI, 2007).
Tuberkulosis disebabkan infeksi
Mycobacterium tuberculose yang
menyerang paru-paru dan dapat pula
menyerang organ lainnya (Zulkani,
2011). Penyakit tuberkulosis dapat
disembuhkan dengan pengobatan
secara rutin, teratur dan memerlukan
waktu lama sehingga menyebabkan
penderita merasa jenuh dan bosan.
Pengobatan tuberkulosis dapat
berhasil jika dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain : faktor
status gizi, faktor imunitas, faktor
lingkungan, faktor sarana dan
prasarana. Sehingga, diperlukan
dukungan keluarga dalam bentuk
pengawas menelan obat (PMO) yang
akan membantu penderita selama
dalam pengobatan tuberkulosis dan
yang berperan penting sebagai PMO
adalah anggota keluarga (Kemenkes
RI, 2010).
Keluarga dianggap sekelompok
individu yang berhubungan erat
secara terus-menerus dan terjadi
interaksi satu sama lain, baik secara
perorangan maupun bersama-sama,
di dalam lingkungannya sendiri atau
masyarakat secara keseluruhan.
Keluarga sebagai kelompok yang
dapat menimbulkan, mencegah, dan
memperbaiki masalah kesehatan
yang terjadi dalam kelompoknya.
Keluarga bertugas memangku
tanggung jawab perawatan kesehatan
bagi anggota keluarga yang sakit,
akan mengalami tingkat ketegangan
fisik dan emosional (Yanti, 2011).
Kondisi sakit menjadikan penderita
1
dan keluarganya menjadi stress
situasional, dimana stress ini tidak
diharapkan oleh keluarga dan sering
disebut sebagai penyakit keluarga.
Keluarga berusaha mengatasi dan
beradaptasi terhadap situasi tersebut,
namun tidak semua keluarga
memiliki koping yang adaptif atau
kompeten (Ardian, 2013).
Arifah (2013) menyebutkan
bahwa koping merupakan cara yang
digunakan sebagai menyelesaikan
masalah, menyesuaikan diri dengan
perubahan dan respon terhadap
situasi yang mengancam. Mekanisme
koping ada 2 yaitu koping adaptif
dan koping maladaptif. Kemampuan
koping dipengaruhi oleh faktor
internal meliputi umur, kepribadian,
intelegensi, pendidikan, nilai,
kepercayaan, budaya, emosi dan
kognitif serta faktor eksternal,
meliputi suport sistem, lingkungan,
keadaan finansial penyakit (Stuart
dan Sundeen, 1998). Koping
keluarga adalah respon perilaku
positif keluarga dalam subtansinya
untuk memecahkan masalah atau
mengurangi stress yang diakibatkan
oleh suatu peristiwa tertentu.
Masalah TB paru di masyarakat
sangat komplek dan dianggap
sebagai penyakit yang menjijikkan,
dijauhi, baik anggota keluarga
maupun lingkungannya karena
bersifat menular, sehingga anggota
keluarga menyembunyikan penderita
TB paru karena malu dan bingung.
Penyakit ini harus mendapatkan
pengobatan secara teratur dan
berkesinambungan, jadi kepatuhan
penderita dan dukungan dari
keluarga sangat penting untuk
kesembuhan pasien (Lukman, 2002).
Hasil penelitian pengetahuan,
sikap dan perilaku yang merupakan
bagian dari survei prevalensi TB
2004 menemukan bahwa 96%
keluarga merawat keluarganya yang
menderita TB dan hanya sebanyak
13% menyembunyikan keluarganya
tersebut. Perilaku masyarakat dalam
keteraturan berobat masih rendah
seperti tidak meneruskan berobat
sebelum selesai masa pengobatan
karena merasa sembuh atau sudah
jenuh. Pengawas Menelan Obat
(PMO) masih belum melaksanakan
tugasnya dengan baik serta
keterlibatan keluarga masih belum
optimal (Kemenkes RI, 2012)
2
Berdasarkan laporan tahunan
program pengendalian tuberkulosis
Puskesmas Bulu Sukoharjo tahun
2013, angka penderita tuberkulosis
31 orang, yang terdiri dari 18 pasien
tuberkulosis BTA (Batang Tahan
Asam) positif, 7 pasien tuberkulosis
BTA (Batang Tahan Asam) negatif
pemeriksaan rontgen positif, 3 pasien
tuberkulosis ekstra paru, 1 pasien
tuberkulosis kasus kambuh, dan 1
pasien tuberkulosis anak. Pada tahun
2015 jumlah pasien penderita TB
Paru sebanyak 58 orang.
Hasil pengamatan petugas
Program Pengendalian Program
Tuberkulosis masih menemukan
pasien yang mengambil obat tidak
teratur. Selain itu masih ada pasien
yang terlambat dalam memeriksakan
sputumnya pada bulan kedua, satu
bulan setelah akhir pengobatan dan
pada saat akhir pengobatan. Koping
keluarga yang belum maksimal.
Memperhatikan hal tersebut di
atas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang
“Hubungan Koping Keluarga dengan
Tingkat Keberhasilan Pengobatan
TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bulu Sukoharjo”.
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan koping
keluarga dengan tingkat keberhasilan
pengobatan TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Bulu Sukoharjo.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik umur
dan tingkat pendidikan keluarga
pasien TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Bulu
Sukoharjo.
2. Mendiskripsikan koping
keluarga di Wilayah Kerja
Puskesmas Bulu
3. Mendiskripsikan tingkat
keberhasilan pengobatan TB
Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bulu Sukoharjo.
4. Menganalisis hubungan koping
keluarga dengan tingkat
keberhasilan pengobatan TB
paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bulu Sukoharjo.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
jenis penelitian kuantitatif analitik.
Penelitian analitik adalah penelitian
yang tidak hanya mendiskripsikan
saja tetapi sudah menganalisis
hubungan antar variabel (Saryono,
3
2010). Rnacangan penelitian yaitu
retrospektif adalah suatu rancangan
penelitian dengan melihat ke
belakang dari suatu kejadian yang
berhubungan dengan kejadian yang
diteliti (Hidayat, 2008).
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh keluarga pasien TB
Paru di Wilayah Kerja puskesmas
Bulu. Jumlah populasi dalam
penelitian ini adalah 38 orang.
Sampel yang diperoleh dari
perhitungan besar sampel dengan
rumus Slovin sebesar 35 sampel
yaitu keluarga pasien TB Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Bulu.
Teknik pengambilan sampel yaitu
purposive sampling adalah teknik
penentuan atau pengambilan sampel
dengan pertimbangan tertentu
berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi yang telah di tentukan.
Pengambilan sampel yang
diambil dengan kriteria inklusi,
diantaranya : 1) Keluarga pasien
yang tinggal satu rumah dengan
pasien, 2) Keluarga pasien yang
dapat membaca dan menulis, 3)
Pasien yang masuk data pengobatan
di puskesmas dan 4) Pasien yang
selesai pengobatan 6 bulan. Adapun
kriteria eksklusinya yaitu pasien TB
Paru dengan usia bawah tiga tahun
(batita).
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
Wilayah Kerja Puskesmas Bulu pada
bulan Juli-Februari 2017.
Variabel Penelitian dan Definisi
Operasional
Variabel bebas (independen)
dalam penelitian ini yaitu koping
keluarga. Koping keluarga dalam
penelitian ini adalah mekanisme
untuk mengatasi perubahan yang
dihadapi atau beban pada keluarga
pasien TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bulu Sukoharjo. Alat
ukur yang digunakan yaitu kuesioner
dengan skala ordinal dan dengan
kategori adaptif (jika nilai mean ≥
mean) dan maladaptif (jika
nilai<mean). Variabel terikat
(dependen) dalam penelitian ini yaitu
tingkat keberhasilan pengobatan TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Bulu Sukoharjo. Definisi operasional
dari tingkat keberhasilan pengobatan
TB Paru yaitu ketercapaian proses
pengobatan tuberkulosis yang
ditandai dengan tidak munculnya
4
tanda dan gejala tuberkulosis dan
pemeriksaan laboratorium. Alat ukur
yang digunakan yaitu dokumen TB
01 dan checklist. Skala pengukuran
yang digunakan adalah ordinal
dengan pengkatagorian berhasil (jika
data puskesmas menunjukkan
pengobatan tuntas yaitu pengobatan
selesai 6 bulan dengan hasil akhir
negatif) dan kategori tidak berhasil
(jika data puskesmas menunjukkan
hasil yang tidak tuntas dalam
pengobatan yaitu pengobatan tidak
selesai 6 bulan atau selesai
pengobatan 6 bulan tetapi hasil akhir
positif (Widoyono, 2008).
Alat Penelitian dan Cara
Pengumpulan Data
Alat penelitian yang digunakan
untuk mengukur koping keluarga
yaitu kuesoiner sejumlah 22
pertanyaan dengan 3 (tiga) sub
variabel. Sub varibel (1) mengenai
respon keluarga terhadap penyakit
TB Paru, respon simpati dan empati
sejumlah 7 soal yaitu 3 soal
favorauble (2,4,5) dan 4 soal
unfavorable (1,3,6,7). Sub varibel (2)
mengenai respon keluarga menolak
terhadap kenyataan sejumlah 2 soal
yaitu 1 soal favorauble (8) dan 1 soal
unfavorable (9). Sub varibel (3)
mengenai respon kooperatif dan non
kooperatif terhadap pengobatan ada
13 soal yaitu 12 soal favorauble
(10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,21,2)
dan 2 soal unfavorable (16,20). Alat
untuk mengukur tingkat keberhasilan
pengobatan TB Paru di Wilayah
Kerja puskesmas Bulu adalah
checklist dan dokumen TB 01.
Cara pengumpulan data melalui
beberapa tahap, diantaranya : 1)
Peneliti mendatangi keluarga pasien
TB Paru, 2) Peneliti memberikan
surat permohonan menjadi responden
supaya responden bersedia
membantu pelaksanaan penelitian, 3)
Jika responden bersedia membantu
pelaksanaan penelitian maka
responden diminta menandatangani
informed consent, 4) Peneliti
menjelaskan maksud pertanyaan dan
memberi kesempatan pada keluarga
pasien TB Paru untuk bertanya
tentang hal-hal yang tidak
dimengerti, 5) Peneliti memberikan
kuesioner tentang koping keluarga
pasien TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bulu Sukoharjo dan 6)
Melakukan pengukuran tingkat
keberhasilan pengobatan TB Paru.
5
Uji validitas pada 20 orang
dengan rumus pearson product
moment dengan taraf signifikan 5%,
maka diperoleh nilai r tabel sebesar
0,396. Uji validitas pada bulan
September 2016, pada 20 keluarga
pasien TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Tawangsari. Hasil uji
bahwa dari 22 soal, soal no 3 dan 6
dinyatakan tidak valid (nilai r hitung
< r tabel). Jadi, hanya 20 soal yang
diikutsertakan dalam penelitian dan
sudah terwakili pada item pertanyaan
yang valid. Uji reliabilitas dengan
rumus alfa cronbach dengan nilai r
tabel sebesar 0,6 (Sugiyono, 2010).
Hasil uji reliabilitas yang telah
dilakukan, maka semua kuesioner
dinyatakan reliabel.
Hipotesis
1. H0: tidak ada hubungan koping
keluarga dengan tingkat
keberhasilan pengobatan TB
paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bulu.
2. Ha: ada hubungan koping
keluarga dengan tingkat
keberhasilan pengobatan TB
paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bulu.
Teknik Pengolahan dan Analisa
Data
Teknik pengolahan data dalam
penelitian ini melalui beberapa tahap,
yaitu 1) Editing yaitu memastikan
kembali bahwa tiap-tiap kuesioner
apakah sudah dijawab lengkap, 2)
Coding yaitu memberikan kode-kode
angka pada alat penelitian untuk
memudahkan dalam analisa data dan
3) Tabulating yaitu setelah semua
data selesai di edit dan dilakukan
pengkodean, selanjutnya dilakukan
tabulasi data (memasukkan data)
agar dapat dianalisis. Tabulasi data
dilakukan dengan memasukkan data
ke dalam program komputer.
Analisa univariat adalah analisis
terhadap tiap variabel untuk melihat
distribusi frekuensi pada variabel
bebas dan variabel terikat. Analisis
bivariat adalah analisis untuk
mengetahui hubungan antara dua
variabel yaitu koping keluarga
dengan tingkat keberhasilan
pengobatan TB Paru. Analisa
bivariat yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu uji koefisien
kontingensi yang berfungsi untuk
menguji korelasi dua variabel dengan
skala data nominal (Dahlan, 2012).
6
Etika Penelitian
Etika penelitian dalam penelitian
ini meliputi: 1) Informed consent,
bentuk persetujuan antara peneliti
dengan responden yang diberikan
sebelum penelitian yang bertujuan
agar subjek mengerti maksud, tujuan
dan dampak penelitian. 2) Anonimity
(tanpa nama), etika keperawatan
yang memberikan jaminan dalam
penggunaan subjek penelitian dengan
cara tidak mencantumkan nama
responden pada lembar alat ukur dan
hanya menuliskan kode pada hasil
yang akan disajikan dan 3)
Confidentiality (kerahasiaan),
memberikan jaminan kerahasiaan
hasil penelitian, baik informasi
maupun masalah-masalah lainnya.
Semua informasi yang telah
dikumpulkan dijamin kerahasiaannya
oleh peneliti. Hanya kelompok data
tertentu yang akan dilaporkan pada
hasil penelitian.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden berdasar
Umur
Karakteristik responden
berdasarkan umur dari 35 responden
dapat dilihat pada tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur
No Umur F %
1 25-35tahun 12 34
2 35-45 tahun 10 29
3 45-55 tahun 10 29
4 >55tahun 3 8
Jumlah 35 100
Sumber : data primer diolah 2016
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar
responden berada pada umur 25-35
tahun sebanyak 12 responden (34%).
Hal ini didukung oleh Hayati 2016
dalam penelitiannya yang berjudul
“Hubungan Kinerja Pengawas
Menelan Obat dengan Kesembuhan
Tuberkulosis di UPT Puskesmas
Arcamanik Kota Bandung”
didapatkan hasil bahwa PMO
didalam penelitian ini sebagian besar
(54%) berumur 26-45 tahun atau usia
produktif.
Umur merupakan salah satu
faktor yang dapat menggambarkan
kematangan seseorang, baik
kematangan fisik, psikis dan sosial.
Hal senada juga disampaikan Wawan
dan Dewi (2010) bahwa, semakin
cukup umur, tingkat kematangan dan
kekuatan seseorang akan lebih
matang dalam berfikir dan bekerja.
7
Koping adalah respons yang
positif, sesuai dengan masalah,
afektif, persepsi, dan respon perilaku
yang digunakan keluarga dan
subsistemnya untuk memecahkan
suatu masalah atau mengurangi stres
yang diakibatkan oleh masalah atau
peristiwa (Saragih, 2010). Widayat
(2006) juga menyebutkan bahwa
perubahan perilaku/peran dapat
disebabkan oleh proses pendewasaan
melalui pengalaman umur, individu
yang bersangkutan telah melakukan
adaptasi terhadap lingkungan. Hal
senada juga disampaikan Handayani
(2000) bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi koping adalah faktor
umur. Umur yang masih muda
mudah mengalami peningkatan stress
dibandingkan usia dewasa. Struktur
psikologis individu yang komplek
dan sumber koping yang berubah
sesuai dengan tingkat usianya akan
menghasilkan reaksi yang berbeda
dalam menghadapi situasi yang
menekan/dalam menghadapi stress.
Hampel (2005) juga menyebutkan
bahwa umur berpengaruh terhadap
koping Semakin muda umur strategi
koping belum berkembang. Semakin
umur meningkat koping yang
dimiliki semakin adaptif.
Dengan melihat data diatas
peneliti menyimpulkan bahwa umur
responden berpengaruh terhadap
koping keluarga yang berpengaruh
terhadap tingkat keberhasilan
pengobatan TB Paru. Umur yang
masih muda mudah mengalami
peningkatan stress dibandingkan usia
dewasa. Umur berpengaruh terhadap
koping, semakin muda umur strategi
koping belum berkembang. Semakin
umur meningkat koping yang
dimiliki semakin adaptif.
Karakteristik Responden
berdasarkan Tingkat Pendidikan
Karakteristik responden
berdasarkan tingkat pendidikan dari
35 responden dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat
Pendidikan Responden
No Tingkat Pendidikan F %
1 SD 11 32
2 SMA 19 54
3 Perguruan Tinggi 5 14
Jumlah 35 100
Sumber : data primer diolah 2016
Berdasarkan tabel 2 dapat
diketahui sebagian besar responden
mempunyai jenjang pendidikan SMA
8
sebanyak 19 responden (54%). Hal
ini tidak sesuai dengan penelitian
Kurnianingsih (2015) dengan judul
“Hubungan Peran Keluarga dengan
Tingkat Kesembuhan pada Penderita
TB Paru di Balai Pengobatan
Penyakit Paru-Paru Unit Minggiran
Yogya”, bahwa pendidikan SD 30%,
SLTP 25%, SLTA 12,5%, Perguruan
Tinggi 32,5%. Tingkat pendidikan
terbanyak yaitu perguruan tinggi
sebanyak 13 orang (32,5%).
Koping adalah respon yang
positif, sesuai dengan masalah,
afektif, persepsi, dan respon perilaku
yang digunakan keluarga dan
subsistemnya untuk memecahkan
suatu masalah atau mengurangi stres
yang diakibatkan oleh masalah atau
peristiwa (Saragih, 2010). Menurut
Notoatmojo (2007) menyebutkan
bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi perilaku seseorang
adalah tingkat pengetahuan dan
tingkat pendidikan mempengaruhi
pengetahuan seseorang. Pendidikan
merupakan upaya untuk memberikan
pengetahuan sehingga terjadi
perubahan. Semakin tinggi tingkat
pendidikannya semakin tinggi pula
tingkat pengetahuannya. Pernyataan
ini sesuai dengan Widayat (2006)
bahwa ada hubungan pengetahuan
dengan praktik/perilaku petugas
dalam penemuan suspek TBC.
Hasil penelitian Zubaedah
(2013) menunjukkan bahwa variabel
tingkat pendidikan merupakan faktor
risiko kesembuhan penyakit TB Paru
dengan nilai OR = 8,333 yang berarti
kesembuhan penyakit TB Paru pada
responden dengan tingkat pendidikan
rendah 8,333 kali untuk tidak
sembuh dibandingkan dengan
kesembuhan TB Paru pada
responden dengan tingkat pendidikan
tinggi. Semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, maka semakin
baik penerimaan informasi tentang
pengobatan dan penyakitnya
sehingga akan semakin tuntas proses
pengobatan dan penyembuhannya.
Berdasarkan data diatas peneliti
menyimpulkan bahwa tingkat
pendidikan mempengaruhi tingkat
keberhasilan pengobatan TB Paru.
Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, maka semakin baik
penerimaan informasi tentang
pengobatan dan penyakitnya
sehingga akan semakin tuntas proses
pengobatan dan penyembuhannya.
9
Koping Keluarga Pasien TB Paru
Koping keluarga pasien TB Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Bulu
dari 35 responden dapat lihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 3. Koping Keluarga Pasien TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Bulu
No Pengetahuan F %
1 Adaptif 26 74 2 Maladaptif 9 26
Jumlah 35 100
Sumber : data primer diolah 2016
Tabel 3 menunjukkan koping
keluarga pasien TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Bulu terbanyak
yaitu responden berada pada koping
adaptif yaitu sebanyak 26 responden
(74%). Hal tersebut senada dengan
penelitian Pratiwi (2013) bahwa dari
58 responden mayoritas pasien DM
yang memiliki mekanisme koping
positif / adaptif yaitu sebanyak 52
responden (89,7%), dan responden
memiliki mekanisme koping
negatif/maladaptif yaitu sebanyak 6
responden (10,3%).
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Lukman tahun
2007 tentang strategi koping
keluarga dalam menghadapi masalah
kesehatan TB paru di Bandung,
memperoleh hasil penelitian bahwa
koping keluarga yang digunakan
responden dari total 150 responden
didapatkan hasil 82 orang (54,67%)
menggunakan koping adaptif dan 68
orang (45,33%) menggunakan
koping maladaptive dan terdapat
perbedaan bermakna antara koping
keluarga pada kelompok yang
mendapat bantuan dan yang tidak
mendapat bantuan pengobatan.
Dengan mengubah dari tingkat
koping individu menjadi koping
keluarga, koping menjadi lebih
kompleks serta strategi koping
keluarga akan berkembang dan
berubah dari waktu ke waktu,
sebagai respon terhadap tuntutan
atau stressor yang dialami. Dalam
koping keluarga dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu kesehatan
fisik, keyakinan/ pandangan positif,
kemampuan, memecahkan masalah,
keterampilan sosial,dukungan sosial
dan materi.
Saragih (2010) menyebutkan
bahwa koping adalah respons yang
positif, sesuai dengan masalah,
afektif, persepsi, dan respon perilaku
yang digunakan keluarga dan
subsistemnya untuk memecahkan
10
suatu masalah atau mengurangi stres
yang diakibatkan oleh masalah atau
peristiwa. Sedangkan peranan
keluarga terutama koping keluarga
sangat penting karena pihak keluarga
yang penuh pengertian dan
kooperatif dengan pihak perawatan
dan memberikan dorongan moril
penuh kepada penderita, akan banyak
membantu dalam penatalaksanaan
pengobatan TB paru. Pengobatan
yang membutuhkan waktu yang lama
membuat pasien menjadi jenuh
sehingga pasien membutuhkan
keluarga dalam mendampingi pasien
selama menjalani pengobatan.
Dengan melihat data di atas
peneliti menyimpulkan bahwa
koping keluarga yang adaptif
mempengaruhi tingkat keberhasilan
pengobatan TB Paru. Keluarga yang
penuh pengertian dan kooperatif
dengan pihak perawatan dan
memberikan dorongan moril penuh
kepada penderita, akan banyak
membantu dalam penatalaksanaan
pengobatan TB paru. Adapun koping
keluarga yang maldaptif akan
menghambat keberhasilan
pengobatan TB Paru.
Tingkat Keberhasilan Pengobatan
TB Paru
Data mengenai tingkat
keberhasilan pengobatan TB Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Bulu dari
35 responden, sebagi beikut:
Tabel 4. Tingkat Keberhasilan
Pengobatan TB Paru
No Tingkat Keberhasilan
Pengobatan TB Paru F %
1 Berhasil 27 77
2 Tidak berhasil 8 23
Jumlah 35 100
Sumber : data primer diolah 2016
Berdasarkan tabel 4 dapat
diketahui bahwa tingkat keberhasilan
pengobatan TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Bulu Sukoharjo
sebagian besar berhasil yaitu
sebanyak 23 responden (77%). Hasil
ini sesuai dengan penelitian Puri
(2010) terdapat 70% responden
sembuh/berhasil dan 30% gagal/tidak
berhasil dari sejumlah 50 responden.
Pasien TB paru dengan kinerja PMO
baik lebih besar kemungkinan untuk
dapat sembuh dengan pengawasan
oleh PMO, angka putus berobat
cenderung lebih rendah sehingga
penderita TB paru memperoleh
kesembuhan total. Kesembuhan
pasien TB paru dapat dicapai dengan
adanya PMO yang memantau dan
11
mengingatkan penderita TB paru
untuk meminum obat secara teratur.
PMO sangat penting mendampingi
penderita agar pengobatan optimal.
Kegagalan dapat terjadi pada
pasien TB paru dengan kinerja PMO
baik karena terdapat faktor lain yang
dapat mempengaruhi, yaitu faktor
pasien dan faktor lingkungan.
Penyakit TB berkaitan dengan faktor
perilaku pasien dan lingkungan.
Faktor lingkungan, sanitasi dan
higiene (keberadaan kuman) dan
proses timbul serta penularannya.
Faktor perilaku dimulai dari perilaku
hidup sehat (makan makanan yang
bergizi dan seimbang, istirahat
cukup, olahraga teratur, hindari
rokok, alkohol, hindari stress,
kepatuhan untuk minum obat dan
pemeriksaan rutin untuk memantau
perkembangan pengobatan serta efek
samping) (Puri, 2010).
Penelitian yang dilakukan
Tirtana (2011) menunjukkan bahwa
proporsi keberhasilan pengobatan
lebih kecil dibandingkan
pengobatannya. Pada penelitian ini
keberhasilan pengobatan sebesar
40% dan kegagalannya 60%, jadi
proporsi keberhasilan pengobatan
lebih rendah dibandingkan kegagalan
pengobatan. Hal ini disebabkan oleh
adanya resistensi obat. Pongoh
(2015) menyebutkan bahwa masih
banyak kasus TB Paru yang tidak
berhasil karena belum tertangani
dengan maksimal. Berbagai fakor
penyebabnya antara lain buruknya
keteraturan penderita berobat, akses
diagnosis, pengobatan yang masih
terbatas dan tingkat pengetahuan
masyarakat yang masih rendah.
Tirtana (2015) menyebutkan
bahwa tantangan dalam pengobatan
TB di dunia dan Indonesia, antara
lain kegagalan pengobatan, putus
pengobatan, pengobatan yang tidak
benar yang mengakibatkan terjadinya
kemungkinan resistensi primer
kuman TB terhadap obat anti TB
atau Multi Drug Resistance (MDR).
Data si atas disimpulkan oleh
peneliti bahwa bahwa masih banyak
kasus TB Paru yang tidak berhasil
disembuhkan karena banyak faktor
yang mempengaruhi, yaitu kinerja
PMO, faktor lingkungan, sanitasi dan
higiene (keberadaan kuman), proses
timbul serta penularannya, faktor
perilaku yang dimulai dari perilaku
hidup sehat (makan makanan yang
12
bergizi dan seimbang, istirahat
cukup, olahraga teratur, hindari
rokok, alkohol, stress, kepatuhan
untuk minum obat dan pemeriksaan
rutin untuk memantau perkembangan
pengobatan serta efek samping).
Hubungan Koping Keluarga
dengan Tingkat Keberhasilan
Pengobatan TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Bulu
Analisa yang dilakukan untuk
mengetahui jawaban dari hipotesa
penelitian adalah analisis koefisien
kontingensi yaitu hubungan koping
keluarga dengan tingkat keberhasilan
pengobatan TB paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Bulu, dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 5. Hubungan Koping Keluarga
dengan Tingkat Keberhasilan
Pengobatan TB Paru
Jenis Koping
Tingkat Keberhasilan
Pengobatan TB Paru
Berhasil Tidak
Berhasil
f f
Adaptif 26 0
Maladaptif 1 8
Jumlah 27 8
Nilai p value 0,000
Nilai r 0,679
Sumber : data primer diolah 2016
Hasil uji koefisien kontingensi
diperoleh angka significancy 0.00
(nilai p<0.05) artinya Ho ditolak dan
Ha diterima. Jadi, ada hubungan
koping keluarga dengan tingkat
keberhasilan pengobatan TB paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Bulu
Sukoharjo. Nilai r hitung sebesar
0,679 artunya adanya hubungan yang
kuat antara hubungan koping
keluarga dengan tingkat keberhasilan
pengobatan TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Bulu Sukoharjo.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Kurnianingsih
(2015) yang berjudul “Hubungan
Peran Keluarga dengan Tingkat
Kesembuhan pada Penderita TB Paru
di Balai Pengobatan Penyakit Paru-
paru di Unit Minggiran Yogyakarta”
didapatkan hasil bahwa ada
hubungan yang signifikan antara
peran keluarga dengan tingkat
kesembuhan pada penderita TB Paru
di Balai Pengobatan Penyakit Paru-
Paru Unit Minggiran Yogyakarta.
Hasil penelitian didukung hasil
tabulasi silang bahwa sebagian besar
responden memperoleh peran
keluarga dalam kategori baik dengan
tingkat kesembuhan dalam kategori
cepat (82,5%). Hal ini dikarenakan
penderita merasa dihargai, dicintai,
dibutuhkan, dan diperhatikan oleh
13
keluarga sehingga menjadi sumber
kekuatan dan dukungan bagi
penderita untuk sembuh apalagi
ditunjang dengan pengobatan yang
baik dan teratur sehingga sebagian
besar responden sembuh dengan
cepat karena dukungan sosial yang
baik dari keluarga. Hal sejalan
dengan teori Triyanto (2010) bahwa
keluarga harus memberikan koping
yang positif agar anggota keluarga
yang mengalami stres dapat
melakukan koping adaptif. Jika stres
dapat dikendalikan melalui koping
yang adaptif, maka modulasi sistem
imun menjadi lebih baik sehingga
tingkat kesembuhan semakin besar.
Stres yang lama dan berkepanjangan
akan berdampak pada penurunan
sistem imun sehingga memperburuk
kondisi pasien.
Dengan melihat data di atas
peneliti menyimpulkan bahwa
koping keluarga mempengaruhi
tingkat keberhasilan pengobatan TB
paru. Keluarga yang mempunyai
koping adaptif akan memberikan
dukungan untuk kesembuhan pasien
TB Paru, jika pasien TB Paru
mengalami stres dapat pula
melakukan koping adaptif. Bila
kondisi stres dapat dikendalikan
melalui koping yang adaptif, maka
modulasi sistem imun menjadi lebih
baik sehingga tingkat kesembuhan
semakin besar. Stres yang lama dan
berkepanjangan berdampak pada
penurunan sistem imun sehingga
memperburuk kondisi pasien.
D. KESIMPULAN
1. Karakteristik responden
berdasarkan umur dan tingkat
pendidikan dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar responden
berada pada umur 25-35 tahun
sebanyak 12 responden (34%)
dan sebagian besar responden
mempunyai jenjang pendidikan
SMA sebanyak 19 responden
(54%).
2. Koping keluarga pasien TB Paru
di Wilayah Kerja puskesmas
Bulu paling banyak adalah
koping adaptif yaitu sebanyak
26 responden (74%).
3. Tingkat keberhasilan
pengobatan TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Bulu paling
banyak adalah berhasil yaitu
sebanyak 23 responden (77%).
14
4. Hasil uji koefisien kontingensi
diperoleh angka significancy
0.00 (nilai p<0.05) maka
berdasarkan nilai statistik
tersebut dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan koping
keluarga dengan tingkat
keberhasilan pengobatan TB
paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bulu. r hitung
sebesar 0,679 menunjukkan
bahwa adanya hubungan yang
kuat antara hubungan koping
keluarga dengan tingkat
keberhasilan pengobatan TB
paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bulu.
E. SARAN
1. Bagi keluarga pasien TB Paru
Keluarga pasien hendaknya
mempunyai koping yang adaptif
sehingga keluarga memberikan
dukungan untuk kesembuhan
pasien TB Paru.
2. Bagi puskesmas Bulu
Pihak puskesmas Bulu
hendaknya mengadakan
supervisi wasor secara periodik
dan memberikan reward kepada
petugas kesehatan yang aktif
dalam sosialisasi tentang
penyakit TB Paru khususnya
tentang koping/dukungan
keluarga yang mempengaruhi
tingkat kesembuhan pasien TB
Paru.
3. Bagi dinas kesehatan
Pihak dinas kesehatan
hendaknya lebih memperhatikan
penyakit TB Paru dengan
mengadakan pelatihan tentang
penyakit TBC secara periodik
supaya semua tenaga kesehatan
mempunyai pengetahuan dan
kemampuan yang mencukupi
dalam melakukan sosialisasi
penyakit TB Paru kepada
masyarakat.
4. Peneliti Selanjutnya
Penelitian selanjutnya
hendaknya mengadakan
penelitian dengan responden
yang lebih banyak dan cakupan
Wilayah Kerja yang lebih luas
dari penelitian ini serta dapat
mengembanngkan penelitian
tentang hubungan koping
keluarga dengan tingkat
keberhasilan pengobatan TB
paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Bulu.
15
F. DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, S. 2012. Statistik untuk
Kedokteran dan Kesehatan.
Salemba Medika. Jakarta.
Armiyati dan Desi A. 2014. “Faktor
yang Berkorelasi terhadap
Mekanisme Koping Pasien CKD
yang menjalani Hemodialisis di
RSUD Kota Semarang”. Skripsi.
Tidak diterbitkan. Program Studi
S1 Keperawatan. Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Dewi dan Wawan. 2014 . Teori &
Pengukuran Pengetahuan,
Sikap, dan Perilaku Manusia.
Nuha Medika. Yogyakarta.
Dewi, P. 2010 . Virologi mengenal
virus, Penyakit dan
Pencegahannya. Nuha Medika.
Yogyakarta.
Hampel P and Frans P.2005. Age and
Gender Effects on Coping in
Children and Adolescents.
Journal of Youth and
Adolescence, Vol. 34, No. 2,
April 2005, pp. 73–83.
Hidayat, A. 2007. Metode Penelitian
Kebidanan dan Tekhnik Analisis
Data. Salemba Medika. Jakarta.
Kemenkes R.I. 2012 (a), Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi
Tuberkulosis. Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan,
Jakarta.
Kemenkes R.I. 2012(b). Jejaring
Program Pengendalian
Tuberkulosis. Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan,
Jakarta.
Kemenkes R.I. 2012(c). Komunikasi,
Informasi dan Edukasi
Tuberkulosis. Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan,
Jakarta.
Kemenkes R.I. 2012 (c). Monitoring
dan Evaluasi Program
Pengendalian Tuberkulosis.
Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Jakarta.
Kemenkes R.I. 2012 (d). Program
Pengendalian Tuberkulosis.
Direktorat Jendral Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Jakarta.
Kurnianungsih, Tatik. 2015.
Hubungan Peran Keluarga
dengan Tingkat Kesembuhan
pada Penderita TB Paru di Balai
Pengobatan Penyakit Paru-paru
Unit Minggiran Yogyakarta.
Skripsi. Tidak diterbitkan.
Program Studi Ilmu
Keperawatan Stikes Asyiyah
Yogyakarta.
Notoatmodjo, S. 2010 (a). Ilmu
Perilaku Kesehatan. Jakarta :
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2010 (b).
Metodologi Penelitian
Kesehatan (edisi revisi). Jakarta:
Rineka Cipta.
Puri, N. 2010. “Hubungan Kinerja
Pengawas Minum Obat (PMO)
dengan Kesembuhan Pasien TB
Paru Kasus Baru Strategi
DOTS”. Skripsi. Tidak
diterbitkan. Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret.
Saragih, R. 2010. “Peranan
Dukungan Keluarga dan Koping
Pasien dengan Penyakit Kanker
terhadap Pengobatan
Kemoterapi di RB Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan”. Skripsi. Fakultas Ilmu
Keperawatan. Universitas
Dharma Agung.
Saryono dan Setiawan, A. 2010.
Metodelogi Penelitian
Kebidanan D III, D IV, S1 dan
S2. Muhamedika. Yogyakarta.
Suwandi, dkk. 2014. “Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan
Angka Kesembuhan dan Angka
Penemuan Kasus Tuberkulosis
di Kota Semarang Tahun 2014”.
Artikel Ilmiah. Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
http://eprints.dinus.ac.id/6659/1/
jurnal_13746.pdf. Diakses
tanggal 7 Januari 2014.
Tirtana, Bertin. 2011. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi
Keberhasilan Pengobatan pada
Pasien Tuberkulosis Paru
dengan Resistensi Obat
Tuberkulosis di Wilayah Jawa
Tengah. Skripsi. Tidak
diterbitkan. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis
Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan &
Pemberantasan.Erlangga.
Semarang.
Zulkani, Akhsin. 2008. Parasitologi.
Muhamedika. Yogyakarta.
17