HUBUNGAN KOMPETENSI SOSIAL DENGAN RESILIENSI
SISWA YANG MENGALAMI KONFLIK ANTAR KAMPUNG
PADA SMP NEGERI 03 SAPARUA
Oleh:
CHRISELDA AUSTRIN MAITIMU
80 2011 084
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi
Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana
Psikologi
Programa Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
HUBUNGAN KOMPETENSI SOSIAL DENGAN RESILIENSI
SISWA YANG MENGALAMI KONFLIK ANTAR KAMPUNG
PADA SMP NEGERI 03 SAPARUA
Chriselda Austrin Maitimu
Heru Astikasari S Murti
Programa Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
ABSTRAK
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk
mengetahui signifikansi hubungan antara Kompetensi sosial dengan Resiliensi siswa
yang mengalami konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua. Sebanyak 62
orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel
insidental sampling. Metode penelitian yang dipakai dalam pengumpulan data
dengan metode skala, yaitu skala Kompetensi sosial dengan Resiliensi. Teknik
analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment. Dari hasil analisa
data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,005 dengan 0,484 (p > 0,05) yang berarti tidak
ada hubungan antara Kompetensi sosial dengan Resiliensi siswa yang mengalami
konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua.
Kata Kunci : Kompetensi sosial, Resiliensi
ABSTRACT
This research is a correlational study which aimed to determine the
significance of the correlation between social competence with the resilience of
students who experience conflict at SMP Negeri 03 Saparua. There are 62 students
were taken as samples using incidental sampling technique. Research methods used
in the data collection was scale, method using scales of social competence with the
resilience. Data analysis technique used was product moment of correlation
technique. Analysis of data obtained from the coefficient of correlation was (r) 0,005
with 0,484 (p > 0,05), which which means that there is no relationship between.
Keywords : Social competence, Resiliene
1
PENDAHULUAN
Memasuki masa pasca-konflik sesungguhnya daerah-daerah pasca-konflik di Indonesia
masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan perdamaian yang bersumber bukan hanya
dari belum teratasinya masalah-masalah konflik di masa lalu tetapi juga masih rentannya
kondisi perdamaian yang disebabkan belum efektif dan majunya pembangunan perdamaian
karena, masih lemahnya kelembagaan sosial-politik dan penyelenggaraan pemerintahan dalam
mengatasi berbagai potensi konflik terpendam. Membangun kembali masyarakat pasca-konflik
membutuhkan pendekatan dan strategi pembangunan perdamaian pasca-konflik secara khusus,
bukan hanya untuk mencegah agar konflik tidakkembali muncul ke permukaan tetapi juga
untuk mengkonsolidasikan perdamaian menuju tercapainya pembangunan dan perdamaian
berkelanjutan (Trijono, 2009).
Salah satu daerah yang sering terjadi konflik adalah pada bagian timur Indonesia yaitu
Maluku. Konflik yang terjadi di Maluku bukan hanya terjadi antar agama, namun juga terjadi
antar Desa. Konflik antar Desa yang sering terjadi di Maluku biasanya dipicu oleh masalah
sengketa perbatasan wilayah tanah adat, masalah anak muda dan lain sebagainya. Konflik yang
terjadi di Maluku memang masih rentan terjadi karena luka kerusuhan lama belum sepenuhnya
sembuh. Sehingga sejak ditanda tanganinya perjanjian Malino sudah berkali-kali terjadi konflik
di Maluku yang memakan korban jiwa (Manuputty dkk, 2014).
Saparua adalah salah satu pulau yang terletak di Provinsi Maluku.Masyarakat di pulau ini
juga merasakan situasi konflik yang serius ketika terjadi "konflik Maluku".Saat ini pulau
tersebut adalah salah satu pulau yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku
Tengah. Saparua terdiri atas 16 negeri (desa) dengan 3 negeri beragama Islam, serta 13 negeri
lainnya mayoritas beragama Kristen (Kolopaking dkk, 2007). Di pulau Saparua sering muncul
konflik antar desa yang bertetangga, salah satunya adalah konflik Desa Haria dan Desa
2
Porto.Konflik kekerasan yang melibatkan Desa Porto dan Desa Haria belum sepenuhnya
tuntas. Bahkan, konflik kekerasan yang bermula dari saling klaim batas desa dan kepemilikan
air “sumur raja” inisudah terjadi bertahun-tahun lamanya sampai dengan saat ini belum
terselesaikan pangkal penyelesaiannya, sehingga setiap ada permasalahan kecil akan dapat
membuat menjadi masalah besar jika tidak ditangani dengan baik dan cepat serta optimal.
Seringnya terjadi permasalahan kecil seperti perkelahian antar pemuda bisa berujung pada
perkelahian antar kampung yang telah menyebabkan korban jiwa dan materi yang tidak sedikit
sehingga telah membuat para Pejabat Pemerintah, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh
Masyarakat, Tokoh Adat, para Raja dan Aparat Keamanan, berbagai upaya perdamaian telah
dilakukan bersama secara optimal, mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, dan Kabupaten,
bahkan sampai Provinsi, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan karena masih ada
oknum masyarakat yang sengaja menciptakan instabilitas di kedua Negeri tersebut
(http://www.tni.mil.id/view-49996-seminar-konsep-penyelesaian-konflik-porto-haria.html).
Konflik kekerasan yang terjadi ini tidak hanya melibatkan antar warga akan tetapi sudah
melibatkan antar pelajar dari kedua desa yang mengakibatkan pengaruh yang negatif bagi para
pelajar di sekolah (Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Mei 2013).
Dalam proses pembelajaran di sekolah tentunya setiap siswa memiliki daya serap yang
berbeda. Tekanan yang terjadi dalam kehidupan merupakan proses yang tidak terkecuali
dialami oleh semua individu, salah satunya adalah tekanan akibat konflik, namun yang
membedakan antara individu yang satu dengan lainnya adalah pada keberhasilan individu yang
dalam beradaptasi dengan tekanan-tekanan yang ada. Bagi individu yang mampu beradaptasi
dengan baik, mereka akan menghasilkan performa-performa positif dalam hidupnya,
sebaliknya bagi individu yang kurang mampu beradaptasi mereka akan tetap berada dalam
kondisi tidak menyenangkan tersebut. Istilah lain yang menggambarkan kualitas pribadi yang
3
memungkinkan individu dan komunitasnya untuk tumbuh walaupun berada dalam
ketidakberuntungan disebut resiliensi (Connor;2006).
Connor& Davidson 2003 (dalam Ekasari & Bayani 2009) menyebutkan resiliensi
merupakan kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan.Resiliensi
memiliki sumber-sumber dalam pembentukan resiliensi itu sendiri. Menurut Grotberg (dalam
Desmita 2006) ada tiga sumber dari resiliensi, yaitu I have (aku punya), I am (Aku ini), I can
(Aku dapat), dan ketiga sumber ini mempengaruhi satu sama lain atau bisa dikatakan saling
menopang dalam membentuk resiliensi yang baik. Siswa yang resilien adalah mereka yang
mampu menunjukan performa tinggi dan tetap termotivasi dalam belajar maupun dalm
berkompetensi secara sosial meskipun terdapat berbagai hal yang menekankan dan
menurunkan resiko akan menurunnya performa mereka.
Faktor resiliensi terdiri faktor resiko dan faktor protektif. Dengan adanya faktor resiko,
maka akan timbul apa yang disebut sebagai faktor protektif. Faktor resiko meliputi faktor
prenatal yang berkaitan dengan penanganan kesehatan, dan faktor yang berasal dari lingkungan
seperti kemiskinan,wilayah konflik, bencana alam atau perceraian (Rickel dan Becker, 1997
dalam Berns 2007). Faktor protektif internal meliputi self esteem dan self efficacy. Siswa yang
memiliki resiliensi yang tinggi berkorelasi dengan meningkatnya self efficacy
(keyakinan/ketangguhan diri) sedangkan resiliensi yang rendah juga akan menurunkan self
esteem (harga diri) siswa. Pengetahuan tentang resiliensi bisa menginformasikan intervensi
yang bertujuan untuk meningkatkan hasil yang lebih positif pada siswa karena tercapai
keseimbangan antara resiko dan faktor protektif yang diketahui berimbas pada kesehatan
mental siswa.
Martin dan Marsh (2006) mengatakan bahwa resiliensi meningkatkan kemungkinan anak
untuk sukses disekolah dan berbagai aspek lain dalam hidup mereka meskipun terdapat
4
rintangan atau kejadian yang tidak menyenangkan. Namun setiap individu memiliki kondisi
yang berbeda untuk mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif dengan
menghasilkan performa-performa positif dalam hidupnya, salah satunya adalah memiliki
prestasi yang baik di sekolah.
Sekolah merupakan lingkungan di mana anak tidak hanya memperoleh pelajaran
akademik, tetapi merupakan tempat mereka memperoleh pengalaman interaksi sosial dan
emosional dengan orang dewasa dan teman sebayanya, yang memungkinkannya memupuk
harga diri dan mengembangkan kompetensi sosialnya. Pengalaman ini sangat penting untuk
meningkatkan prospek keberhasilannya di kemudian hari dalam membina hubungan sosial,
karir, dan pencapaian cita-cita pribadinya (Paavola, 1995). Weissberg (dalam Goleman, 2000)
berpendapat bahwa individu yang kompeten secara sosial mempunyai pengendalian hati yang
baik, terampil dalam menyelesaikan masalah, mempunyai keterlibatan yang intens dengan
teman sebaya, memiliki efektivitas dan popularitas antar pribadi, terampil dalam mengatasi
masalah antar pribadi, terampil dalam mengatasi kecemasan dan terampil dalam menyelesaikan
konflik.
Menurut Braumind (dalam Rydell, et al.,1997) kompetensi sosial merupakan mood positif
yang menetap, harga diri, physical fitness, tanggung jawab sosial yang mencakup kemampuan
untuk berinteraksi dengan orang lain, perilaku menolong teman sebaya, kematangan moral,
cognitive agency yang mencakup kognisi sosial, orientasi terhadap prestasi, internal locus of
controlyang mencakup sikap egalitarian terhadap orang dewasa, sikap kepemimpinan terhadap
teman sebaya, dan perilaku yang berorientasi pada tujuan. Rydell, et al. (1997) mengemukakan
aspek kompetensi sosial adalah aspek prosocial orientation (perilaku sosial) dan
socialinitiative(inisiatif sosial)
5
Hasil Penelitian Brooks(2006) mengatakan bahwa sekolah dapat memperkuat resiliensi
dengan mengembangkan kompetensi sosial, karena kompetensi sosial sering dipandang sebagai
faktor pelindung. Banyak kurikulum yang tersedia untuk mengembangkan keterampilan yang
membangun kompetensi sosial terutama dalam memecahkan masalah, pengambilan keputusan,
ketegasan, berkomunikasi secara efektif, mengelola emosi, konflik resolusi, menolak tekanan
teman sebaya, dan mengembangkan hubungan personal.Jadi ada hubungan yang signifikan
antara kompetensi sosial dengan resiliensi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Destalya
(2013) Terdapat 10 remaja tunanetra (18,18%) yang memiliki kompetensi sosial yang tinggi,
38 orang (69,09%) berada pada kategori sedang dan 7 orang (12,73%) memiliki kompetensi
sosial yang rendah; 3) terdapat 10 remaja tunanetra (18,18%) yang memiliki resiliensi yang
tinggi, 40 orang (69,09%) berada pada kategori sedang dan 8 (12,73%) memiliki resiliensi
yang rendah; 4) Adanya pengaruh yang signifikan antara kompetensi sosial terhadap resiliensi
remaja tunanetra.Remaja tunantera yang memiliki kompetensi sosial dan resiliensi yang tinggi
dikarenakan remaja tunanetra tersebut ketika menghadapi situasi yang sulit tetap menjaga
hubungan yang positif dengan orang lain bahkan mereka mampu untuk terus melihat sisi positif
dari hal yang mereka alami. Sedangkan pada remaja tunantera dengan kompetensi sosial dan
resiliensi yang rendah, mereka cenderung mudah terpengaruh dengan situasi hatinya, sehingga
mereka cenderung menarik diri dari lingkungannya.
Bertolak belakang dari hasil-hasil penelitian sebelumnya menurut Hartuti & Frieda (2009)
dalam penelitiannya mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kompetensi
sosial dengan resiliensi.Kompetensi sosial mencangkup kerjasama komunikasi dan empati
(Benard, 2004).Anak-anak yang memiliki kompetensi sosial akanmembangun hubungan yang
positif dengan orang dewasa dan teman sebaya, membantu ikatan mereka dengan keluarga
mereka, sekolah, dan masyarakat walaupun mereka memiliki resiliensi yang rendah. Selain itu
6
juga dalam penelitian Cove dkk. (2005) menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara
kompetensi sosial dengan resiliensi, karena anak yang hidup dalam keluarga yang memiliki
pendapatan yang sangat rendah dan mereka hidup dalam masyarakat di mana mereka harus
menghadapi setiap hari dengan bahaya perdagangan narkoba dan kejahatan kekerasan, mereka
tetap bersekolah dan dalam aktivitasnya di sekolah, anak-anak ini memiliki self efficacy dan
kompetensi sosial yang tinggi.
Fenomena yang di dapati penulis pada SMP Negeri 03 Saparua sepertinya
mengindikasikan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kompetensi sosial dengan
resiliensi.Hal ini berdasarkan pada hasil wawancara oleh Kepala Sekolah dan salah satu guru
pada SMP Negeri 03 (Wawancara dilakukan pada 09 Juli 2014), yang mengatakan bahwa
setiap siswa dari kelas VII sampai kelas IX mempunyai hubungan sosial dilingkungan sekolah
sangat kurang baik akibat konflik yang terjadi antara kedua Negri yang bertetangga yaitu
Negeri Haria dan Negri Porto. Pemerintah Provinsi Maluku dan Dinas Pendidikan perlu
memberikan perhatian yang serius kepada lembaga pendidikan yang ada di daerah ini.
Pasalnya, aktivitas belajar mengajar di daerah ini sangat terganggu pasca konflik yang sering
terjadi dari kedua negri tersebut. Hingga sekolah mengalami kesulitan dalam melakukan proses
belajar mengajar akibat dari konflik yang terjadi. Banyak siswa yang mengalami trauma dan
tidak mau ke sekolah sehingga sekolah semakin mengalami kekurangan siswanya karena
banyak yang tidak masuk lantaran dihantui dengan rasa khawatir dan takut. Selain itu para
siswa mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan guru maupun dengan teman sebaya
meraka. Kesulitan dalam bersosialisasi akanmempengaruhi keterampilan sosial anak, hal ini
dilihat dari kepercayaan diri dan pengendalian diri siswa yang kurang sehingga pada kegiatan
ekstrakulikuler seperti pramuka, olahraga, dan kesenian siswa yang ikut tergolong sangat
sedikit akibat konflik yang terjadi. Dengan demikian hal yang harus dicapai dari bersosialisasi
7
adalah untuk menciptakan siswa yang kompeten secara sosial.Selain itu berdasarkan hasil
observasi pada beberapa kelas di SMP Negeri 03 Saparua, adanya kesesuaian antara
wawancara dengan kepala sekolah dan realita di lapangan.
Melihat hasil penelitian dan fenomena yang ada, maka penulis ingin melakukan penelitian
lebih lanjut mengenai hubungan antara Kompetensi sosial dengan Resiliensi siswa yang
mengalami konflik antar kampung. Alasan penulis memilih judul ini ialah, karena dalam
penelitian sebelumnya para peneliti hanya meneliti mengenai kompetensi sosial sebagai faktor
pelindung didalam resiliensi, sehingga penulis ingin meneliti secara langsung hubungan antara
kompetensi sosial dengan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung. Penulis juga
memilih SMP Negeri 03 Saparua sebagai tempat penelitian, karena dimana SMP ini berada
tepat diantar kedua Negeri yang selalu terjadi Konflik.Selain itu, pertimbangan teknis seperti
akses yang cukup mudah antara penulis dengan pihak sekolah.
Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan sebelumnya maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adakah hubungan yang signifikan antara Kompetensi sosial
dengan Resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua
?.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Kompetensi sosial dengan
Resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampong pada SMP Negeri 03 Saparua.
TINJAUAN PUSTAKA
Resiliensi
Menurut Connor& Davidson (2003) resiliensi merupakan kualitas seseorang dalam hal
kemampuan untuk menghadapi penderitaan. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Commor & Davidson (2003) disebutkan lima aspek tentang resiliensi yang menjelaskan
tentang resiliensi siswa yang mengalami konflik, yaitu:
8
1. Kompetensi pribadi, standar yang tinggi dan keuletan. Memperlihatkan bahwa seseorang
merasa sebagai orang yang mampu mencapai tujuan dalam situasi kemunduran atau
kegagalan.
2. Percaya pada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap afek negatif dan kuat/tegar dalam
menghadapi stres Hal tersebut berhubungan dengan ketenangan , cepat melakukan coping
terhadap stress, berpikir secara hati-hati dan tetap fokus sekalipun sedang dalam
menghadapi masalah.
3. Menerima perubahan secara positif dan dapat membuat hubungan yang aman (secure)
dengan orang lain Hal ini berhubungan dengan kemampuan beradaptasi atau mampu
beradaptasi jika menghadapai perubahan.
4. Kontrol diri dalam mencapai tujuan dan bagaimana meminta atau mendapatkan bantuan
dari orang lain .
5. Pengaruh spiritual, yaitu yakin pada Tuhan atau nasib.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Ibeagha dkk, 2004 (dalam Masdianah 2010) mengatakan Seorang anak dapat disebut
sebagai anak yang resilien apabila mereka memenuhi kriteria yang diperlukan.Kriteria pertama
adalah terdapatnya sebuah keadaan yang merupakan ancaman atau sifatnya berbahaya bagi
individu tersebut.Keadaan demikian disebut juga sebagai faktor resiko.Kedua, kualitas
penyesuaian individu terhadap keadaan tersebut sesuai dengan tahap perkembangannya dimana
hal ini juga dikenal sebagai faktor protektif .
Faktor Resiko
Faktor resiko dalam Berns (2007) didefinisikan sebagai keadaan yang membahayakan.
Mash dan Wolfe (2005)mengemukakan definisi serupa mengenai faktor resiko yaitu variabel
yang berkemungkinan memberikan dampak negatif dari kejadian yang dialami individu.
9
Individu yang berada dalam keadaan beresiko rentan terhadap hasil perkembangan yang negatif
seperti dikeluarkan dari sekolah, penggunaan obat-obatan terlarang, kehamilan di masa remaja
bahkan terlibat dalam kasus bunuh diri. Faktor resiko yang melibatkan siswa dapat
diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu faktor genetik seperti kemunduran mental, faktor
prenatal seperti masalah kesehatan saat berada dalam kandungan, faktor prenatal yang
berkaitan dengan penanganan kesehatan, dan faktor yang berasal dari lingkungan seperti
kemiskinan,wilayah konflik, bencana alam atau perceraian (Rickel dan Becker, 1997 dalam
Berns 2007).
Faktor Protektif
Faktor protektif adalah hal-hal yang membantu individu bertahan dari dampak yang
diakibatkan oleh tekanan yang diterima, membantu mengatasi keadaan tidak menyenangkan
tersebut dan mampu menyesuaikan diri dalam keadaan mengancam tersebut (Ibeaghadkk,
2004).Sejalan dengan definisi tersebut dikatakan pula bahwa faktor protektif adalah keadaan
yang mengurangi dampak dari stres dini dan cenderung memprediksi hasil positif dari keadaan
tidak menyenangkan (Masten dan Coatsworth dalam Papalia, 2004) Faktor protektif berasal
dari dua sumber yaitu internal dan eksternal.Faktor protektif internal meliputi self esteem dan
self efficacy dimana adalah asset atau faktor protektif yang secara konstan muncul dalam
pembahasan mengenai karakteristik siswa yang resilien dan meliputi kompetensi sosial,
kemampuan memecahkan masalah, aktif dalam pembelajaran, otonomi dan kesadaran akan
tujuan dan masa depan. Hal ini sering disebut juga sebagai kekuatan pribadi dan merupakan
manifestasi dari resiliensi itu sendiri.Faktor-faktor ini pasti dimiliki setiap siswa namun dalam
derajat yang berbeda-beda (Chavkin dan Gonzales, 2000).Sementara faktor eksternal adalah
faktor yang mendukung timbulnya resiliensi siswa dari luar diri mereka. Faktor protektif
10
eksternal dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori besar yaitu keluarga, sekolah dan
lingkungan sehari-hari.
Kompetensi Sosial
Vaughn dan Waters (dalam Sroufe dkk, 1996) Kompetensi sosial adalah kemampuan
anak untuk mengajak maupun merespon teman- temannya dengan perasaan positif, tertarik
untuk berteman dengan teman-temannya serta diperhatikan dengan baik oleh mereka, dapat
memimpin dan juga mengikuti, mempertahankan sikap memberi dan menerima dalam
berinteraksi dengan temannya. Rydell, et al., (1997) mengemukakan aspek kompetensi sosial
adalah
1. Aspek prosocial orientation (perilaku prososial) yang terdiri dari:
a. Kedermawanan (generosity) yaitu, kesediaan untuk memberikan sukarela sebagian
barang miliknya kepada orang yang membutuhkan.
b. Empati (emphaty) yaitu, kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan
emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang
lain.
c. Memahami orang lain (understanding of others) yaitu, memiliki rasa simpati terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh orang lain dan keinginan untuk membantu meskipun
hanya untuk menghibur.
d. Penanganan konflik (conflict handling) yaitu, Usaha manusia untuk meredakan
pertikaian atau konflik yang terjadi. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling
menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama.
e. suka menolong (helpfulness) yaitu, kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang
berada dalam kesulitan.
11
2. Aspek social initiative (inisiatif sosial) yang terdiri dari:
a. Aktif untuk melakukan inisiatif dalam situasi sosial
b. Withdrawal behavior (perilaku menarik diri) dari situasi tertentu.
Dinamika Hubungan Antara Kompetensi Sosial dengan Resiliensi
Linquanti (dalam Howard 1999) memberikan definisi resiliensi sebagai kualitas dalam diri
anak yang walaupun dihadapkan dengan kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan dalam
hidup tidak mengalami kegagalan dalam hal kehidupan akademisnya.Resiliensi sangat penting
pada diri individu. Pada situasi-situasi tertentu saat kemalangan tidak dapat dihindari,
seseorang yang memiliki resiliensi dapat mengatasi berbagai permasalahan kehidupan dengan
cara mereka. Mereka akan mampu mengambil keputusan dalam kondisi yang sulit secara cepat.
Keberadaan resiliensi akan mengubah permasalahan menjadi sebuah tantangan, kegagalan
menjadi kesuksesan, ketidakberdayaan menjadi kekuatan, korban menjadi penyintas, dan
membuat penyintas terus bertumbuh. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa resiliensi
adalah kunci sukses dalam pekerjaan dan kepuasan hidup. Resiliensi akan mempengaruhi
penampilan seseorang di sekolah, di tempat kerja, kesehatan fisik maupun mental, dan kualitas
hubungannya dengan orang lain. ( Reivich, 2002).
Mendukung pernyataan tersebut, Nears (dalam Masdianah, 2010) dalam penelitiannya
juga menyebutkan bahwa anak yang tidak dapat mengatasi tantangan yang ada dengan efektif
akan lebih tidak menyenangi sekolah dan lebih jarang berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah.
Ada banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi resiliensi siswa yaitu faktor internal dan
eksternal.Salah satu faktor internal yang dibahas dalam penelitian ini adalah adalah kompetensi
sosial.
Menurut Peterson & Leigh (Gullota dkk, 1990) kompetensi sosial adalah kemampuan,
kecakapan, atau ketrampilan individu dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan dan
12
memberi pengaruh pada orang lain demi mencapai tujuan dalam konteks sosial tertentu yang
disesuaikan dengan budaya, lingkungan, situasi yang dihadapi serta nilai yang dianut oleh
individu.Kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam kompetensi sosial dapat diperoleh
melalui proses belajar disekolah sebab proses belajar di sekolah tidak hanya berkaitan dengan
perkembangan intelektual saja (kognitif), tetapi juga perkembangan sosial dan emosional
(Atwater, 1992).
Selain itu, mengembangkan kompetensi sosial merupakan salah satau strategi sekolah
untuk memperkuat resiliensi. Kompetensi sosial sering dipandang sebagai faktor aprotective,
karena salah satu cara membangun resiliensi adalah dengan mengembangkan kompetensi sosial
anak disekolah (dalam Brooks 2006). Berbagai literatur tentang resiko danresiliensi
menyebutkan bahwa sekolah merupakan lingkungan kritis bagi siswauntuk mengembangkan
kapasitas untuk keluar dari adversitas, menyesuaikandiri dengan tekanan-tekanan, dan
menghadapi problem-problem, sertamengembangkan berbagai kompetensi sosial, akademik
dan vokasional yangdiperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (Henderson dan
Millstein dalam Desmita, 2006).Upaya tersebut melengkapi peran sekolah dalam membangun
kompetensi akademik dan berkontribusi untuk mempersiapkan siswa yang berkompeten dan
memiliki prestasi yang baik untuk masa depan (Konsorsium untuk Promosi Sekolah Berbasis
Kompetensi Sosial. 1994). Dengan demikian untuk mengembangkan kompetensi sosial harus
menyediakan konteks lingkungan dan dukungan yang penting untuk pengembangan resiliensi
(Pianta & Walsh, 1998).Ini dapat dilakukan dengan memasukkan keterlibatan orang tua dan
memperkuat keterampilan yang diinginkan anak dalam kegiatan-kegiatan disekolah {Learning
Pertama Alliance.2001).
Dalam penelitian Penelitian Fontana & Cillesen (dalam Denham & Queenan, 2003) juga
mengungkapkan hal yang sama yaitu, bahwa individu yang mempunyai kompetensi sosial yang
13
tinggi lebih disukai oleh orang tua dan guru-guru di sekolah, mereka pada umumnya mampu
mengatasi masalah dengan baik, mempertahankan hubungan sosialnya dengan teman sebaya
dan mampu mengelola konflik dengan orang lain. Sebaliknya jika individu memiliki
kompetensi sosial yang rendah maka mereka akan sulit mengatasi masalah, hubungan sosial
dengan guru dan teman sebayanya akan rendah dan tidak mampu mengelolah setiap tantangan,
tekanan-tekanan, dan konflik yang terjadi.
Adam (dalam Tentrawati, 1989) juga mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki
kompetensi sosial yang tinggi mampu menghadapi kondisi-kondisi yang penuh dengan
ketegangan dan mampu menarik serta mempertahankan dukungan sosialnya terhadap orang
lain. Ini dapat dikatakan bahwa saat individu mampu mengembangkan kompetensi sosialnya
berati resiliensinya semakin kuat.Hasil Penelitian Brooks (2006) mengatakan bahwa sekolah
dapat memperkuat resiliensi dengan mengembangkan kompetensi sosial, karena kompetensi
sosial sering dipandang sebagai faktor pelindung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kompetensi sosial memilikihubungan yang positif dengan resiliensi siswa.
Hipotesis
Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara
kompetensi sosial dengan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung pada SMP
Negeri 03 Saparua.
14
METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Kompetensi sosial sedangkan Variabel terikat
dalam penelitian ini adalah adalah Resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan siswa SMP Negeri 03 Saparuayang
berjumlah 380 siswa. Dimana jumlah siswa kelas VII berjumlah 132 siswa, kelas VIII
berjumlah 128 siswa, dan kelas IX berjumlah 120 siswa
Menurut Sugiyono (2012) sampel merupakan sebagian dari jumlah karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut. Teknik sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah insidental sampling. Untuk penentuan kelas mana saja yang menjadi sampel, penulis
memberikan hak kepada pihak sekolah untuk menentukannya.
Alat Ukur Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu skala Kompetensi Sosial dan skala Resiliensi
siswa. Skala kompetensi sosial menggunakan skala SCI (Social CompetenceInventory) yang
disusun oleh Rydell at al., (1997) terdiri atas 2 aspek yaitu, aspek prosocial orientation dan
aspek social initiative.Sedangkan skala resiliensi menggunakan skala CD-RISC (Connor
Davidson ResilienceScale) yang disusun oleh Connor & Davidson (2003) yang terdiri dari 5
aspek, yaitu: kompetensi personal, percaya pada diri sendiri, menerima perubahan secara
positif , kontrol diri, pengaruh spiritual.
Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan sakala pengukuran
psikologi, yang terdiri dari 2 skala, yaitu skala kompetensi sosialdan skala resiliensi.Item dalam
15
skala-skala tersebut dikelompokkan dalam pernyataan favorable dan unfavorable dengan
menggunakan 4 alternatif jawaban dari skala Likert yang telah dimodifikasi yaitu, Sangat
Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS).Keseluruhan data
diperoleh dari skala psikologi yang telah dibagikan kepada subjek.
Analisis Data
Teknik yang digunakan untuk menguji hubungan antara kedua variabel penelitian adalah
korelasi Product Moment dari Pearson. Dalam penelitian ini, analisis data akan dilakukan
dengan bantuan program khusus komputer statistik yaitu SPSS version 17.0 for windows.
HASIL PENELITIAN
Hasil Seleksi Item dan Reliabilitas Alat Ukur
1. Kompetensi Sosial
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala kompetensi
sosialyang terdiri dari 25 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 7 item dengan koefisien
korelasi item totalnya bergerak antara 0,310-0,606.
Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik
koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada skala kompetensi
sosialsebesar 0,862.Hal ini berarti skala kompetensi sosial reliabel.
2. Resiliensi
Perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala resiliensi yang terdiri dari 27 item,
diperoleh 23 item yang valid dengan koefisien korelasi item total bergerak antara 0,265-
0,560, dan koefisien Alpha pada skala resiliensi sebesar 0,831 yang artinya skala tersebut
reliabel.
16
Uji Deskriptif Statistika
1. Variabel Kompetensi Sosial
Tabel Kategorisasi Pengukuran Skala Kompetensi Sosial
No Interval Kategori Mean N Persentase
1 61,2 ≤ x ≤ 72 Sangat
Tinggi
68,18 48 77,41%
2 50,4 ≤ x < 61,2 Tinggi 10 16,13%
3 39,6 ≤ x < 50,4 Sedang 2 3,23%
4 28,8 ≤ x < 39,6 Rendah 2 3,23%
5 18 ≤ x < 28,8 Sangat
Rendah
0 0%
Jumlah 62 100%
SD = 11,557, 829 Min = 300 Max = 69
Keterangan: x = kompetensi social
Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa 48 siswa memiliki skor sosial yang
berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 77,41%, 10 siswa memiliki skor
kompetensi sosial yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 16,13%, 2 siswa
memiliki skor kompetensi sosial yang berada pada kategori sedang dengan persentase
3,23%, 2 siswa memiliki skor kompetensi sosial yang berada pada kategori rendah dengan
persentase 3,23%, dan tidak siswa yang memiliki skor kompetensi sosial yang sangat
rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan rata-rata sebesar 68,18 dapat dikatakan bahwa
rata-rata kompetensi social siswa berada pada kategori sangat tinggi. Skor yang diperoleh
subjek bergerak dari skor minimum sebesar 30 sampai dengan skor maksimum sebesar 89
dengan standard deviasi 11,557.
17
2. Variabel Resiliensi
Tabel Kategorisasi Pengukuran Skala Resiliensi
No Interval Kategori Mean N Persentase
1 78,2 ≤ x ≤ 92 Sangat
Tinggi
25 40,32%
2 64,4 ≤ x < 78,2 Tinggi 78,08 35 56,45%
3 50,6 ≤ x < 64,4 Sedang 2 3,23%
4 36,8 ≤ x < 50,6 Rendah 0 0%
5 23 ≤ x < 36,8 Sangat
Rendah
0 0%
Jumlah 62 100%
SD = 7,205 Min = 62 Max = 92
Keterangan: x = Resiliensi
Berdasarkan tabel 4.5 di atas, dapat dilihat bahwa 25 siswa yang memiliki skor
resiliensi yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 40,32%, 35 siswa
memiliki skor resiliensi yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 56,45%, 2
siswa memiliki skor resiliensi yang berada pada kategori sedang dengan persentase 3,23%,
dan tidak ada siswa yang memiliki skor kecurangan akademik yang berada pada kategori
rendah dan sangat rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan rata-rata sebesar 78,08, dapat
dikatakan bahwa rata-rata resiliensi berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh
subjek bergerak dari skor minimum sebesar 62 sampai dengan skor maksimum sebesar 92
dengan standard deviasi 7,205.
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas. Uji normalitas
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
18
Uji Normalitas
Pada skala Kompetensi sosial diperoleh hasil skor sebesar 0,666 dengan probabilitas (p)
atau signifikansi sebesar 0,767 (p>0,05). Sedangkan pada skor resiliensi memiliki nilai K-
S-Z sebesar 0,895 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,400.Dengan
demikian kedua variabel memiliki distribusi yang normal.
Uji Linearitas
Hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,1008 dengan signifikansi = 0,493
(p>0,05) yang menunjukkan hubungan antara kompetensi sosial dengan resiliensi adalah
linear.
Uji Korelasi
Dari perhitungan uji korelasi antara variabel bebas dan terikat, dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel Hasil Uji Korelasi antara Kompetensi Sosial dengan Resiliensi
Correlations
Kompetensi Sosial Resiliensi
Kompetensi Sosial Pearson Correlation 1 .005
Sig. (1-tailed) .484
N 62 62
Resiliensi Pearson Correlation .005 1
Sig. (1-tailed) .484
N 62 62
Hasil koefisien korelasi antara kompetensi sosial dengan resiliensi, sebesar 0,005
dengan signifikansi = 0,484 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara kompetensi sosial dengan resiliensi yang mengalami konflik antar kampung pada
SMP Negeri 03 Saparua.
19
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara kompetensi sosial dengan resiliensi
siswa yang mengalami konflik antar kampung pada siswa SMP Negeri 03 Saparua,
didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara kompetensi sosial dengan resiliensi
siswa yang mengalami konflik antar kampung pada siswa SMP Negeri 03 Saparua.
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara kompetensi
sosial dengan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung sebesar 0,484 (p >
0.05). Temuan ini bertolak belakang dengan penelitian Brooks (2006) yang mengatakan
bahwa sekolah dapat memperkuat resiliensi dengan mengembangkan kompetensi sosial,
karena kompetensi sosial sering dipandang sebagai faktor pelindung.
Selain itu, hasil ini juga bertolak belakang dengan penelitian yang mendukung penulis
yaitu penelitian Nisel dan Griebel (2005) yang mengatakan bahwa resiliensi telah
mengidentifikasi faktor-faktor pelindung yang bekerja sebagai penyeimbang salah satunya
adalah kompetensi sosial, yang membantu anak-anak tidak hanya untuk bertahan, tetapi
untuk mencapai keberhasilan dan berkembang lebih lanjut sesuai dengan usia, sehingga
mengubah gangguan biografi menjadi perkembangan. Pada tingkat individu, anak dapat
didukung dengan mengajar dan memperkuat kompetensi yang relevan yang diperlukan
untuk mengatasi ketegangan yang terjadi. Kompetensi sosial adalah cara untuk dapat
memecahkan masalah dan mengembangkan strategi agar dapat menangani konflik secara
konstruktif.
Hal ini sejalan dengan penelitian Hartuti & Frieda (2009) yang mengatakan bahwa
kompetensi sosial yang tinggi oleh anak akan membangun hubungan yang positif dengan
teman sebaya maupun orang dewasa, membantu ikatan mereka dengan keluarga mereka,
sekolah, dam masyarakat walaupun mereka memiliki resiliensi yang rendah.
20
Menurut Masten & Coatsworth (dalam Kärkkäinen, dkk 2009) kualitas atau kompetensi
seseorang belum tentu menentukan resiliensinya tinggi atau rendah. Dengan kata lain
walaupun kompetensi sosial seseorang itu tinggi tetapi belum tentu dia adalah seorang yang
resilien. Dalam penelitian ini tidak ada hubungan kompetensi sosial dan resiliensi siswa
yang mengalami konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua, hal ini dikarenakan
konflik yang terjadi antara Desa Haria dan Desa Porto ini masih terus berkepanjangan dan
belum menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi konflik tersebut, sehingga walaupun
resiliensi para siswa itu tergolong tinggi namun, saat konflik itu kembali terjadi maka akan
berdampak pada resiliensi para siswa yaitu resiliensi mereka akan kembali menurun. Mereka
akan kembali merasa trauma dan ketakutan sehingga aktifitas belajar para siswa disekolah
akan terganggu. Dengan kata lain, walaupun kompetensi sosial para siswa itu sangat tinggi
akan tetapi tidak berpengaruh terhadap resiliensi selama konflik yang terjadi itu belum
terselesaikan.
Dengan demikian dapat diketahui dengan tidak adanya hubungan antara kompetensi
sosial dengan resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung, membawa implikasi
terhadap bagaimana semua komponen sekolah mulai dari kepala sekolah, guru-guru, dan
peserta didik untuk ikut aktif mengembangkan resiliensi pada setiap siswa, didukung juga
dengan peran orang tua agar dapat bekerja sama dengan pihak sekolah. Sekalipun
lingkungan di luar sekolah tidak kondusif dikarenakan terjadi konflik antara Desa Haria dan
Desa Porto.
21
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel kompetensi sosial dengan
resiliensi siswa yang mengalami konflik antar kampung pada SMP Negeri 03 Saparua.
Saran
Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung dilapangan serta
melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis ajukan:
1. Bagi sunjek penelitian
Hendaknya para subjek lebih aktif di sekolah, dan belajar secara optimal sehingga akan
mencapai kesuksesan walaupun di lingkungan yang tidak kondusif.
2. Bagi Sekolah
Karakteristik sekolah yang dapat meningkatkan resiliensi siswanya adalah model
komunitas atau lingkungan sekolah yang mendukung, termasuk elemen-elemen yang
secara aktif melindungi anak-anak dari kesulitan. Intinya adalah sekolah bisa
menciptakan suasana yang harmonis agar siswanya merasa tidak ada perbedaan satu
sama lain sehingga siswa dapat mengikuti proses belajar mengajar dengan baik dan
meningkatkan prestasi mereka.
3. Bagi Orang tua
Disarankan kepada para orang tua untuk dapat terus memberikan dukungan bagi anak
agar mereka terus belajar dengan baik dan optimal walaupun di lingkungan tempat
tinggal mereka masih tidak kondusif.
22
4. Bagi Peneliti selanjutnya
Diharapkan bagi penelitian selanjutnya agar penelitian ini dikembangkan, sehingga
dapat diteliti variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi resiliensi. Dengan
demikian dapat ditemukan dan dibuktikan variabel apa saja yang dapat mempengaruhi
resiliensi.
23
DAFTARA PUSTAKA
Arwater, E. (1992). Andolesence (3rd
ed). New Jersey: Pretince Hall.
Azwar, S. (2012).Penyusunan skala psikologi.Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Brooks, Jean E. (2006) Strengthening Resilience in Children and Youths: Maximizing
Opportunities through the Schools. Jurnal Children and Schools, Volume 28, Number 2,
April 2006.
Connor, K.M. (2006).Assesment of Resilience inthe Aftermath of Trauma. J. Clin Psychiatry,67
(suppl 2), 46-49.
Cove, E dkk. (2005). Resilient Children: Literature Review and Evidence from the HOPE VI
Panel Study. New York, NY 10017. The Ford Foundation Community and Resource
Development
Denham, S.A., & Queenan, P. (2003).Preschool Emotional Competence. Journal of Child
Development, 74 (1): 238-256.
Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Cetakan kedua. Bandung: Rosda
Destalya.A M.P (2013) Pengaruh Kompetensi Sosial Terhadap Resiliensi Remaja Tunanetra
Bandung. ( Tesis) Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia
Ekasari. A. M.Psi, Bayani. I. S.Psi. (2009). “Attactment pada Ayah dan Penerimaan Peer-Group
dengan Resiliensi”. Jurnal Soul, Vol. 2, No.2, September 2009
Goleman, D. (2000). Kecerdasan emosi untuk mencapai prestasi, terjemahan. Jakarta;
Gramedia Pustaka Utama
Gullota, T. P ., Adams, G.R., & Montemayor, R (Series Volume 3).(1990). Developing social
competency in adolescence.California: Sage Publications, Inc.
Hadi, S. (2004).Metodologi research. Yogyakarta: Andi Ofset.
Hartuti & Frieda M. (2009).Pengaruh Faktor-Faktor Proktektif Internal dan Eksternal Pada
Resiliensi Akademis Siswa Penerima Bantuan Khusus Murid Miskin (BKMM) Di SMA
Negeri Di Depok. Jurnal Psikologi Indonesia2009, Vol VI, No. 2, 107-119, ISSN. 0853-
3098
Kärkkäinen, dkk (2009) Parents' perceptions of their child's resilience and competencies.
Journal of Psychology of Education, 2009. Vol. XXIV. n'3. 405-419
Kolopaking. L. M dkk (2007). Jejaring Sosial Dan Resolusi Konflik Masyarakaat Di Pedesaan
(Kasus di pulau Saparua Provinsi Maluku). Jurnal llmu Pertanian Indonesia, Desember
2007, Vol. 12
Learning First Alliance. (2001). Everj' child learning: Safeand supportive scliooh. Retrieved
June 30,2003, fromhttp://www.learningflrst.org
24
Martin, A.J., & Marsh, H.W. (2006).Academic resilience and its psychological and educational
correlates: A construct validity approach. Psychology in The School, 43 (3).
Manuputty dkk (2014).Carita Orang Basudara.Kisah-kisah Perdamaian dari Maluku.Jakarta :
Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM).
Masdianah, (2010). Hubungan antara resiliensi dengan prestasi belajar anak binaan Yayasan
Smart Ekselensia Indonesia (Skripsi) Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayattulah.
Niesel.R & Griebel.W (2005). Transition Competence And Resiliency In Eucational Institution.
International Journal of Transitions in Childhood, Vol.1, 2005
Paavola, J. C. et al. (1995). Health Services in the Schools: Building Interdisciplinary
Partnerships. Digest. Washington DC: American Psychological Association.
(Online).Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed390019.html. Pellegrini,
A. D. & Glickman, Carl D. (1991). Measuring Kindergartners'
Pianta, R. C, & Walsh. DJ- (1998).Applying theconstruct of resilience in schools: Cautions from
adevelopmental systenis perspective [Electronicversion]. School Psycholog]' Review, 21.
407-41
Pulungan. A. J. S & Tarmidi (2012). Gambaran Resiliensi Siswa SMA Yang Beresiko Putus
Sekolah Di Masyarakat Pesisir. Jurnal Psikologi, Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012
Reivich,K. & Shatte, A. 2002. The Resilience Factor. New York: Broadway Books
Rinaldi (2010).Resiliensi Pada Masyarakat Kota Padang Ditinjau Dari Jenis Kelamin.Jurnal
Psikologi Volume 3, No. 2, Juni 2010
Rydell, A.M,. & Hagekull, B., & Bohlin, G. (1997). Measurment of Two Social Competence
Aspect in Middle Childhood. Journal of Development Psychology, 33 (5): 824-833.
Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Mei 2013
Sroufe, L.A., dkk. (1996). Child development. New York : Mc Graww – Hill Inc.
Sugiyono. (2012). Metodologi penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta
Suryabrata, S. 2005. Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tentrawati, R. (1989). Hubungan antara Family Relationship dengan kompetensi Sosial Remaja
pada Siswa-siswa SMA BOPKRI II di Yogyakarta. Skripsi (Tidak Diterbitkan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Trijono, L. (2009). Pembangunan Perdamaian Pasca-Konflik di Indonesia:Kaitan perdamaian,
pembangunan dan demokrasi dalam pengembangan kelembagaan pasca-konflik. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 13, Nomor 1, Juli 2009 (4 - 0)ISSN 1410-4946.
(http://www.tni.mil.id/view-49996-seminar-konsep-penyelesaian-konflik-porto-haria.html).
25