Download - HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH ALNISA
HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB
MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL-SUNNAH
(Analisis Komentar dan Pemahaman Ja’far Subhani tentang Hadis-hadis Nikah Mut’ah)
Ceceng Mumu Muhajirin
Penerbit YPM
2018
ii
Judul buku : HADIS-HADIS SUNNI DALAM KITAB MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL-SUNNAH
(Analisis Komentar dan Pemahaman Ja’far Subhani tentang Hadis-hadis Nikah Mut’ah)
Penulis Ceceng Mumu Muhajirin
Layout
Juna Excel
ISBN 978-602-5576-15-7
xviii + 190 hlm .; ukuran buku 20,5 x 14,5 cm © Hak Cipta Ceceng Mumu Muhajirin, Juli 2018
Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim. Dilarang mengkopi sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit. Young Progressive Muslim Jl. Talas II Pondok Cabe Ilir Pamulang Rt.05 Rw.01 Tangerang Selatan 15418
iii
MOTTO
قال اإلمام العمريطي:
رفع اعتقاده حسب الفتي اذ
ينتفع لم يعتقد لم من وكل
Seseorang itu akan diangkat derajatnya
sesuai kadar keyakinannya, siapa yang tidak
yakin terhadap sesuatu, ia tidak akan dapat
mengambil manfaatnya
Keberkahan hidup itu ada pada
HALAL, ORANG TUA, DAN GURU
Perhatikan dan renungkan kebaikan serta perhatian orang
tua, keluarga, para guru, teman, dan “orang-orang
sekitarmu”
iv
Karya ini aku pesembahkan kepada:
Istriku Arini Gina Aza & Putri pertamaku Naffa Karima Nuroin (10 bulan)
Kedua Orang Tua
Hidupku ada, karena hidupmu ada. Banyak hal yang telah engkau korbankan untuk hidupku, tenaga, pikiran, waktu, dan materi, dalam suka maupun duka. Semoga
hal-hal tersebut menjadi pahala agung dan muliah di sisi Allah S.W.T. Amin.
Kakakku dan adikku tercinta
Kakak-kakaku (Teteh Enung, Teteh Dede, Teteh Yayi, Aa Cecep), yang selalu memberi dukungan moral dan material selama pencarian ilmu ini. Semoga rumah
tangga kalian tetap dalam bingkai yang penuh dengan hiasan cinta, kasih sayang, dan sejahtera. Dan untuk Adik-adikku (Salman Alfarisi dan Muhammad Tafrij
Muwahhid). Semoga kalian menjadi teman seperjuangan di masa yang akan datang. Amin.
Almamaterku
Fakultas Ushuluddin Tafsir Hadis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kehadiranmu di
hatiku sejak tahun 2014 telah banyak mempengaruhi pemikiranku. Semoga ilmu dan pengalaman yang kau
berikan bermanfaat dan barakah. Amin.
DDII BAZNAS Melalui program beasiswa KSU (Kaderisasi Seribu
Ulama), DDII dan BAZNAS telah menjadi sponsor atas kelancara perkuliahan magister ini. Semoga program ini
menjadi amal jariyah bagi seluruh jajaran staf dan kepengurusan DDII dan BAZNAS serta para MUZAKKI.
Aamiin.
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA
Penulisan Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai
dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Surat
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158 Th. 1987 dan
Nomor 0543b/U/1987 tentang Transliterasi Arab-Latin.
1. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab dalam transliterasi latin
(bahasa Indonesia) dilambangkan dengan huruf, sebagian
dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi dilambangkan
dengan huruf dan tanda sekaligus.
Berikut ini daftar huruf Arab dan transliterasinya dalam
huruf Latin:
Huruf
Arab
Nama Huruf latin Nama
alif Tidak ا
dilambangkan
Tidak
dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Tsa Ts Te dan Es ث
Jim J Je ج
Ha H Ha (dengan garis ح
di bawah)
Kha Kh Ka dan Ha خ
Dal D De د
Zal DZ Ze dan de ذ
Ra R Er ر
Za Z Zet ز
vi
Sin S Es س
Syin Sy Es dan Ye ش
Shad Sh Es dan Ha ص
Dhad Dh De dan Ha ض
Tha Th Te dan Ha ط
Zha Zh Zet dan Ha ظ
Ain „ Koma terbalik (di„ ع
atas)
Ghain Gh Ge dan Ha غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Ki ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
Ha H Ha ه
Hamzah ' Apostrof ء
Ya Y Ye ي
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti halnya vokal bahasa indonesia,
terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal
rangkap atau diftong.
a. Vokal tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa
tanda atau harakat ditransliterasikan sebagai berikut:
vii
Tanda Nama Huruf
Latin
Nama
---- ---- Fathah A A
---- ---- Kasrah I I
---- ---- Dhammah U U
b. Vokal Rangkap
Vocal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa
gabungan antara harakat dan huruf ditransliterasikan
sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf
Latin
Nama
ي ---- ---- Fathah
dan Ya
Ai A dan I
و ---- ---- Fathah
dan Wau
Au A dan U
3. Maddah
Maddah atau vocal panjang yang lambangnya berupa
harakat dan huruf ditransliterasikan sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf
Latin
Nama
Fathah dan ا ---- ---
alif
 A dan
garis di
atas
Kasrah dan ي --- ----
ya
Î I dan
garis di
atas
Dhammah و ---- ----
dan wau
Û U dan
garis di
atas
viii
4. Ta Marbuthah
Transliterasi untuk huruf ta marbuthah adalah sebagai
berikut:
a. Jika ta marbuthah itu hidup atau mendapat harakat
fathah, kasrah atau dhammah, maka transliterasinya
adalah “t”.
b. Jika ta marbuthah itu mati atau mendapat harakat
sukun, maka transliterasinya adalah “h”.
c. Jika pada kata yang terakhir dengan ta marbuthah
diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang “al”
dan bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbuthah
itu ditransliterasikan dengan “h”.
5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda, maka dalam
transliterasi latin (Indonesia) dilambangkan dengan huruf,
yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda
syaddah itu (dobel huruf)
6. Kata sandang
Kata sandang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan
huruf yaitu “ال” (Alif dan Lam), baik kata sandang tersebut
diikuti oleh huruf syamsiah maupun diikuti oleh huruf
qamariah, seperti kata “al-syamsu” atau “al-qamaru”
7. Hamzah
Huruf Hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kalimat
dilambangkan dengan apostrof ('). Namun, jika huruf
hamzah terletak di awal kalimat (kata), maka ia
dilambangkan dengan huruf alif.
ix
8. Penulisan kata
Pada dasarnya, setiap kata, baik fi‟il maupun isim, ditulis
secara terpisah. Hanya kata-kata tertentu yang
penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan
dengan kata lain, karena ada huruf atau harakat yang
dihilangkan, seperti kalimat “Bismillāh al-Rahmān al-
Rahīm”.
x
xi
KATA PENGANTAR
Alhamdu lilla>hi rabb al-‘a>lami>n, dengan qudrah dan
iradah-Nya, Allah s.w.t menggerakkan diri yang lemah ini
untuk menyelesaikan penelitian yang cukup berliku-liku.
Dengan rahma>n dan rahi>m-Nya, segala hambatan dan
kesulitan, bisa dilalui dengan mental kesiapan dan
kesanggupan yang Engkau berikan. Shalawat dan salam
semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Panutan semua
makhluk, yang senantiasa menegakan kebenaran dan kejujuran
yaitu Nabi Muhammad SAW.
Tema yang penulis teliti adalah Hadis-hadis Sunni dalam
Kitab Mut’ah Al-Nisa<’ Fi< Al-Kita<b Wa Al-Sunnah. Pada
dasarnya penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan
guna memperoleh gelar Magister Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Akan tetapi tidak hanya itu, semoga tulisan ini
menjadi langkah awal bagi penulis untuk memperoleh
mentalitas keilmuan baru dalam wilayah al-dira>sah al-isla>miyyah.A<mi>n.
Penelitian ini merupakan penelitian lintas madzhab yang
sudah penulis niatkan sejak waktu yang cukup lama. Sejak
pertama kali mengenal kajian hadis dan ilmu hadis madzhab
Syi’ah, penulis langsung tertarik untuk mengkaji lebih
mendalam lagi. Nikah Mut’ah adalah salah satu topik yang
sangat populer di masyarakat baik Sunni atau pun Syi’ah. Gari
pembeda antara keduanya, Sunni memandang bahwa ajaran
nikah mut’ah sudah final tentang penghapusannya. Sedangkan
Syi’ah tidak mengakui tentang penghapusan hukum nikah
tersebut. Bahkan penolakan terhadap penghapusan tersebut
direkonstruksi dengan menggunakan hadis-hadis Sunni. Oleh
karena, penelitian ini pada dasarnya adalah klarifikasi dan
sekaligus menguji validitas pemahaman dan komentar ulama
xii
Syi’ah kontemporer, Ja’far Subhani, terhadap hadis-hadis
Sunni tentang nikah Mut’ah.
Dalam proses penyusunan karya ini, peneliti banyak
mendapatkan bantuan, bimbingan, motivasi, saran dan arahan
dari berbagai pihak, oleh karena itu peneliti mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin beserta Pembantu Dekan.
3. Dr. Atiyatul Ulya, M.A., selaku Ketua Program Studi
Magister Hadis Fakultas Ushuluddin.
4. Maulana, M.Ag. selaku sekretaris Progam Studi Magister
Fakultas Ushuluddin.
5. Toto, S.Th.I, selaku Pegawai Tata Usaha Fakultas
Ushuluddin.
6. Dr. Sahabuddin, Lc., MA., selaku Dosen Pembimbing,
yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan, dorongan, semangat, dan inspirasi sejak awal
penyusunan hingga selesainya karya ini di tengah
kesibukannya.
7. Guru-guru kami, para dosen Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyampaikan
ilmu-ilmunya serta karyawan Fakultas Ushuluddin yang
telah memfasilitasi dan memperlancar proses perkuliahan.
8. Ibu dan Bapak, serta kerabat-kerabat yang selalu
mengiringi do’a dalam perjalanan hidup ini.
9. DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesi) dan BAZNAS
(Badan Amil Zakat Nasional) tahun 2014 yang telah
bekerja sama atas terselenggaranya program beasiswa
KSU (Kaderisasi Seribu Ulama) dan menjadi sponsor
penulis sampai program studi magister selesai.
10. Teman-teman angkatan 2014 Mahasiswa Magister
Fakultas Ushuluddin. Kita adalah generasi penerus nilai-
xiii
nilai agama dan bangsa. Semoga 15 tahun ke depan kita
mampu membangun peradaban mulia yang bermanfaat
bagi masyarakat sekitar. A>mi>n. . . Walaupun karya ini telah selesai dalam pengerjaannya,
namun masukan dan saran dari semua pihak senantiasa penulis
harapkan. Karena penulis menyadari karya ini masih ada
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Semoga karya tulis
ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua, dan mampu
memberikan sumbangsih bagi dunia intelektual, khususnya
dunia Tafsir Hadis. A>mi>n. Tangerang Selatan, 19 Februari 2018
Penulis
Ceceng Mumu Muhajirin
xiv
xv
DAFTAR ISI
Halaman Judul -- i
Halaman Motto -- 3
Halaman Persembahan -- vi
Pedoman Transliterasi Arab-Latin -- v
Kata Pengantar -- xi
Daftar Isi -- xv
BAB I. PENDAHULUAN -- 1
A. Latar Belakang Masalah --1
B. Pembatasan Masalah -- 8
C. Perumusan Masalah -- 12
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian -- 12
E. Tinjauan Pustaka -- 13
F. Metode Penelitian -- 17
G. Sistematika Penulisan -- 20
BAB II. OTENTISITAS HADIS DALAM KAJIAN SUNNI
DAN SYI’AH -- 23
A. Konsep Hadis Menurut Sunni dan Syiah -- 23
1. Konsep Hadis Menurut Sunni -- 23
2. Konsep Hadis Menurut Syiah -- 25
B. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni dan
Syiah -- 28
1. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni -28
2. Sejarah Kodifikasi Versi Syiah -- 32
C. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Sunni
dan Syiah -- 36
1. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut
Sunni -- 37
xvi
2. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut
Syiah -- 39
D. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas
Periwayat Menurut Sunni dan Syiah -- 40
1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas
Periwayat Menurut Sunni -- 40
2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan
Kuantitas Periwayat Menurut Syiah -- 42
E. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas
Periwayat Menurut Sunni dan Syiah -- 43
1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas
Periwayat Menurut Sunni -- 43
2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas
Periwayat Menurut Syiah -- 47
F. Perbedaan Sunni dan Syiah tentang Standarisasi
Kesahihan Hadis -- 51
BAB III. RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN HADIS
JA’FAR SUBHANI } -- 57
A. Biografi dan Perlawatan Ilmiah -- 57
B. Konsep Nikah Mut’ah dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah -- 65
1. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah -- 65
2. Pemikiran Ja’far Subhani tentang Nikah
Mut’ah -- 67
C. Pemikiran Hadis Ja’far Subhani -- 72
1. Kedudukan Sunnah -- 72
2. Pencetus Ilmu Dirayah --74
3. Hadis Mutawatir dan Ahad -- 75
4. Klasifikasi Hadis Ahad -- 80
5. Periwayat Maqbu>l -- 83
6. Istilah-istilah Hadis Syiah -- 85
7. Nasikh Mansukh -- 90
xvii
8. Keadilan Sahabat -- 91
D. Pemetaan Pemikiran Ja’far Subhani – 97
BAB IV. VALIDITAS PEMIKIRAN JA’FAR SUBHANI
TENTANG HADIS-HADIS NIKAH MUT’AH DALAM
KITAB MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA AL-SUNNAH -- 99
A. Nikah Mut’ah di Awal Islam -- 99
B. Riwayat Tafsiriyyah Surat Al-Nisa’ 24 -- 104
1. Makna istimta>’ -- 112
2. Tafsir Al-Nisa’ Ayat 24 -- 118
3. Legalisasi Nikah Mut’ah Oleh Para Sahabat dan
Tabi’in -- 127
4. Legalisasi Nikah Mut’ah Oleh Ibnu Umar -- 132
C. Keberatan Ali bin Abi Thalib atas Fatwa Umar
bin Khattab -- 135
D. Hadis-hadis Dhoif tentang Penghapusan Nikah
Mut’ah -- 149
1. Hadis mi>ra>s| Riwayat Ibnu Mas’ud -- 150
2. Hadis Khaibar Riwayat Ali bin Abi
Thalib -- 154
3. Hadis Penghapusan Nikah Mut’ah; naskh al-qur’a>n bi al-qur’a>n -- 159
E. Kontradiksi Waktu Pengharaman Nikah
Mut’ah -- 166
BAB V. PENUTUP -- 175
A. Kesimpulan -- 175
B. Saran-saran -- 182
DAFTAR PUSTAKA -- 183
Biodata Penulis
xviii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis dalam perspektif Sunni dan Syi’ah pada
dasarnya mengandung arti catatan biografi yang berasal dari
figur sentral dan diriwayatkan melalaui jalur periwayatan
terpercaya. Sebagaimana dalam tradisi Sunni, hadis dalam
tradisi Syi’ah, merupakan asosiasi dari dua sistem konstruktif,
yaitu sanad (aspek wuru>d) dan matan (aspek d}ila>lah). Dalam
tradisi ilmiah Sunni dan Syi’ah, sanad dan matan hadis adalah
dua aspek penting yang harus diteliti dalam rangka klarifikasi
dan verifikasi tentang validitas dan originalitas sebuah hadis.
Untuk melakukan kerja ilmiah tersebut, baik Sunni
atau pun Syi’ah masing-masing menggunakan pisau analisis
dengan pendekatakan Ilmu Riwayah1 dan Ilmu Dirayah. Kedua
ilmu ini masing-masing diakui oleh Sunni dan Syi’ah sebagai
sebuah produk asli yang diwariskan oleh ulama-ulama mereka
sebelumnya. Terlepas dari perdebatan2 tentang siapa pertama
1 Imam Suyuti (w. 911 h.) dalam pendahuluan kitab Tadri>b al-Ra>wi>,
mengutip pendapat Al-Akfani (w. 794 h.) bahwa yang dimaksud dengan
Ilmu Riwayah adalah ilmu yang membahas cara meriwayatkan sabda,
perbuatan Nabi saw, serta tentang periwayatannya, pemeliharaannya, dan
penguraian lafazh-lafazhnya. Sedangkan Ilmu Dirayah adalah ilmu yang
membahas hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya,
hukum-hukumnya, tentang rawinya, serta syarat-syarat rawinya, dan yang
berkaitan dengannya. Lihat Tadri>b al-Ra>wi, Juz 1, (Beirut: Maktabah Al-
Kaitsar, 1415 H), h. 25
2Hasan Shadr (w. 1354 h.), dalam kitabnya, Ta’si>s al-Syi>’ah,
menjelaskan bahwa pencetus ilmu dirayah dari kalangan Syiah adalah al-Ha>kim Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdillah al-Ha>fiz{ al-Naisa>b>u>ri> (w.
405 h.), yang terkenal dengan sebutan Imam Hakim. Dalam penulisan
2
kali yang mencetuskan ilmu riwayah dan ilmu dirayah, pada
umumnya dua kelompok Islam ini menggunakan term-term
konseptual ilmu hadis yang sama, termasuk ilmu turunan Ilmu
Hadis seperti ‘Ilm Rija>l al-H}adi>s|, ‘Ilm Na>sikh Mansu>kh Hadis,
Ilm Jarh wa Ta’dil, Ilmu Asbabul Wurud Hadis, dan lain
sebagainya. Melihat perkembangan Ilmu Hadis Sunni dan
Syi’ah, kitab-kitab ilmu hadis secara implisit ingin
menyuarakan pada dunia akademik bahwa teori-teori Ilmu
Hadis yang ditawarkan bukan sekedar plagiasi atau rekayasa,
tetapi merupakan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh
para ulama terdahulu.
naman`ya, Hasan al-Shadr mencantumkan al-ima>miy al-Syi>’iy. Ini
menandakan bahwa ulama Syiah seperti Hasan Shadr mengklaim bahwa
Imam Hakim termasuk salah satu ulama hadis Syiah. Hasan Shadr
menegaskan bahwa ulama besar seperti Ibnu Taimiyyah dan al-Dzahabi
menyatakan kesyiahan Imam Hakim. Hal ini sebagaimana dijelaskan al-
Dzahabi dalam Taz|kirah Al-H}uffa>z} ketika memaparkan riwayat hidup
Imam Hakim. Lihat dalam Hasan al-Shadr, Ta’si>s al-Syi>’ah, (Irak: Dar al-
Kutub al-‘Iraqiyyah, 1901), h.294. Sedangkan menurut Ja’far Subhani,
ulama Syiah yang pertama kali mencetuskan Ilmu Dirayah adalah
Jamaluddin Ahmad bin Musa bin Ja’far bin Thawus (w.673 h.), yang
terkenal dengan sebutan Ibnu Thawus. Tentang kesyiahan Imam Hakim,
Ja’far Subhani berpendapat bahwa Imam Hakim hanya sebagai syi>’iyyun bi al-ma’na> al-‘a>m (seorang syiah ima>miy dalam berarti umum). Dikatakan
syiah karena Imam Hakim termasuk ulama yang benci terhadap musuh-
musuh Ali dan pecinta ahubait. Lihat Ja’far Subhani, Us}u>l al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi ‘Ilm al-D}ira<yah, (Beirut: Dar Jawwad al-A’immah, 2012), h.
10.
Sedangkan dalam karya-karya Ahusunah dipaparkan ada dua nama
yang dianggap pencetus ilmu dirayah. Yaitu Hakim Naisaburi (w. 405 h.)
dengan karyanya Ma’rifah Ulu>m al-H}adi>s| dan Abu Muhammad al-Hasan
Ramahurmuzi (w. 360 h.) dengan karyanya al-Muh}addis| al-Fa>s}il bayn al-Ra>wi> wa al-Wa>’iz}. Namun karena dilihat dari tahun wafatnya, mayoritas
ulama hadis memilih Ramahurmuzi sebagai pencetus ilmu dirayah.
3
Ilmu Hadis Sunni dan Ilmu Hadis Syi’ah, pada
dasarnya memiliki tujuan yang sama terkait penyelesaian
problematika kajian hadis, yaitu aspek wuru>d dan aspek
d}ila>lah.3 Tetapi masing-masing memiliki corak perbedaan
yang signifikan. Ketika berbicara tentang definisi hadis S}ah}i>h}, hadis D}a’i>f, atau periwayat s|iqah, maka masing-masing
memiliki stressing makna yang berbeda dan tentunya
memiliki implikasi yang berbeda pula. Sehingga pernyataan-
pernyataan keagamaan tentang satu masalah jarang sekali
berada dalam kesepakatan. Ini merupakan konsistensi atas
penerapan doktri Syi’ah, yaitu ima>mah yang terformulasi
dalam kajian hadis.
Dalam bidang keagamaan, Ilmu Hadis adalah salah
satu disiplin ilmu yang dimiliki Syi’ah dan sarat dengan
konsep ima>mah. Secara tegas ulama Syi’ah mensyaratkan
hadis harus perkataan, perbuatan, dan penetapan yang
disandarkan kepada seorang imam yang ma’s}u>m. Dalam
definis hadis Syi’ah, ima>mah dan ke-ma’s}u>m-an seorang
periwayat sangat dipertimbangkan. Ketika tidak sampai
kepada seorang periwayat yang ma’s}u>m maka secara tegas
Ilmu Hadis Syi’ah menyatakan bahwa itu tidak termasuk
hadis. Tetapi konsep ke-ma’s}u>m-an dan ima>mah seorang
periwayat tidak mutlak pada imam dua belas. Ketika
mendefinisikan hadis s}ah}i>h} dan hadis h}asan kata kunci yang
digunakan adalah ima>miyy, bukan ima>m4. Dua istilah,
3 Pembagian dua problematika kajian hadis ini, penulis dapatkan
dari Dr. Atiyatul ‘Ulya, MA saat menyampaikan perkuliahan Pemikiran
Hadis Kontemporer di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4 Ja’far Subhani, Us}u>l al-H}adi >s| wa Ah}ka>muh fi ‘Ilm al-D}ira<yah,
(Beirut: Dar Jawwad al-A’immah, 2012), h. 52.
4
ima>miyy dan ima>m memiliki stressing pemaknaan yang
signifikan. Ketika yang digunakan dalam definisi hadis s}ah}i>h} adalah istilah ima>m maka perbendaharan hadis Syi’ah akan
banyak yang tidak memenuhi kriteria. Sehingga banyak
periwayatan yang tertolak. Karena itu istiah ima>miy secara
tidak langsung memperluas akseptabilitas periwayatan yang
tidak hanya bersandar pada seorang imam, tetapi juga
bersandar pada periwayatan seorang periwayat yang meyakini
keimaman imam dua belas.
Sama dengan ulama Sunni, ada dua macam hadis
yang memiliki kualitas terpercaya dan kuat untuk dijadikan
h{ujjah dalam istinba>t} hukum. Yaitu hadis s}ah}i>h} dan hadis
h}asan. Di dalam dua hadis ini, secara tegas, ketersambungan
kepada seorang imam atau periwayat ima>miy menjadi syarat
mutlak. Dalam Ilmu Hadis Sunni, yang menjadi garis pembeda
hadis s}ah}i>h} dan hadis h}asan adalah kualitas akurasi5 hafalan
dan kredibelitas seorang periwayat6. Sedangkan menurut Ilmu
5 Pada dasarnya ahi hadis awal sampai abad ketiga hijriyyah tidak
secara eksplisit mendefinisikan hadis-hadis yang dapat dianggap shohih.
Mereka hanya menetapkan kriterian-kriteria informasi yang diperoleh,
misalnya : periwayatan hadis tidak diterima kecuali kalau diriwayatkan
oleh orang-orang s}iqah, riwayat orang yang sering berdusta dan mengikuti
hawa nafsunya dan tidak memahami secara benar apa yang diriwayatkan
adalah tertolak, kita harus memperhatikan tingkah laku personal dan
ibadah yang meriwayatkan hadis, riwayat orang yang kesaksiannya ditolak
akan, maka riwayatnyapun tidak diterima. Lihat dalam Kamarudin Amin,
Metode Kritik Hadis, (Jakarta Selatan: Hikmah, 2009), h. 16.
6Dalam tradisi Sunni, kriteria hadis s}ah}i>h} tidak mempertimbangkan
ketokohan, sebagaimana dalam tradisi Syiah. Ulama-ulama Sunni secara
objektif pure mendasarkan ke-s{ah}i>h}an hadis pada kualitas integrits
personalnya. Bahkan tidak mempertimbangkan status madzhab, Ahusunah,
Syiah, atau Mu’tazilah, bahkan Khowarij. Imam Nawawi sebagaimana
dalam kitab Tadri>b al-Rawi, mensyaratkan hadis shohih sebagai berikut:
5
Hadis Syi’ah, yang menjadi pertimbangannya adalah legal
formal tentang ‘ada>lah seorang periwayat. Jika periwayat
tersebut adalah seorang ima>miy, tetapi tidak ada dalil tentang
‘ada>lah-nya maka hadis seperti itu disebut hadis h}asan. Dari
sini bisa disimpulkan bahwa untuk level hadis yang akan
dijadikan argumen dalam istinba>t} hukum, Ilmu Hadis Syi’ah
secara ketat mensyaratkan ima>miy bagi seorang periwayat
hadis, baik ada bukti dalil atau tidak tentang ‘ada>lah-nya. Hal
ini sebagaimana dijelaskan oleh salah satu pemikir hadis
Syi’ah kontemporer bernama A<ya>tullah al-Uz}ma> al-Syaikh, Ja’far Subhani dalam salah satu karyanya, Us}u>l al-H}adi>s| wa ah{ka>muhu> fi> ‘Ilm al-Dira>yah.
Ja’far Subhani, walaupun cukup tegas dalam
membumikan konsep ima>mah dalam kajian ilmu hadis-sebagaimana dalam karyanya- tetapi dia juga inklusif
terhadap riwayat-riwayat Sunni. Dalam kajian hadis, Ja’far
Subhani adalah salah satu ulama hadis yang banyak mengutip
hadis-hadis Sunni dalam karya-karyanya. Salah satunya adalah
kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah. Dalam
karyanya tersebut Ja’far Subhani mengutip hadis-hadis
riwayat al-Bukha>ri, Muslim, al-Tirmiz|i>, Ah}mad ibn H}anbal dan lainnya.
7
Ja’far Subhani adalah ulama Syi’ah Is|na> ‘Asyariyyah
kontemporer yang hidup di abad ke-21. Dia senantiasa
mendakwahkan ajaran-ajaran Syi’ah ‘Asyariyyah, termasuk
ajaran nikah mut’ah di dalamnya. Sebagaimana ulama
اهو و ل م دهاتص ن ابطين بالعدولس يرمنالض ل شذوذ غ لة عو
Lihat Suyuti Tadrib al-Ra>wi> fi Syarh} Taqri>b al-Nawa>wi>, (Beirut:
Darul Fikr, 1988), h. 63.
7 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah, (Qum:
Muassasah Imam Shodiq, 1423 H), h. 47-51.
6
pendahulunya, Ja’far Subhani, secara konsisten berpandangan
bahwa nikah mut’ah adalah ajaran yang absah dan tidak
pernah terjadi penghapusan hukum tentang legalitasnya. Kitab
Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah bukti konkrit
yang menghimpun pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani
tentang kontinuitas legalitas nikah mut’ah. Dalam kitab
tersebut, Ja’far Subhani melakukan konstruksi legalitas nikah
mut’ah dengan menggunakan hadis-hadis Sunni. Padahal
seluruh ulama Sunni telah menyatakan-berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadis-bahwa praktek nikah mut’ah, status hukumnya
telah dihapus dan diharamkan sampai hari kiamat.
Menurut penulis, buku Mut’ah al-Nisa> fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah buku yang memuat dialektika dua pemikiran
maz|hab Islam, yaitu Sunni dan Syi’ah. Disebut sebagai kitab
dialektis karena sang penulis, Ja’far Subhani, adalah seorang
ulama besar bermadzhab Syi’ah yang membela dan mengakui
legalitas nikah mut’ah dengan menggunakan dalil-dalil hadis
yang dikutip dari kitab-kitab ulama Sunni. Seorang pembaca,
interpreter, atau komentator bermadzhab Syi’ah sangat
menarik dan penting dikaji ketika membaca hadis-hadis Sunni.
Nikah mut’ah adalah salah satu wacana yang banyak
dibicarakan oleh berbagai kalangan dan madzhab. Sunni dan
Syi’ah adalah dua madzhab besar yang memberi perhatian
khusus tentang persoalan ini. Secara umum dua madzhab
Islam tersebut tidak bertemu pada satu pendapat yang sama
tentang status hukumnya. Sunni merupakan madzhab yang
mewakili tentang keharaman nikah mut’ah. Sedangkan Syi’ah
tampil sebagai kelompok yang membolehkannya. Wacana ini
menjadi lebih intensif lagi ketika sebagian penganut Sunni
yang menyamakan nikah mut’ah dengan perzinahan. Padahal
ulama-ulama Sunni yang mengharamkan nikah mut’ah tidak
sampai menyatakan demikian. Menurut Quraish Shihab
pandangan seperti ini dilatarbelakangi dengan adanya praktek
mut’ah yang tidak mengindahkan syarat-syarat yang telah
7
ditetapkan oleh ulama yang membolehkannya.8 Dalam hal ini
Ja’far Subhani salah satu pemikir hadis yang melakukan kajian
nikah mut’ah dengan pendekatan hadis Nabi. Dengan
mengutip hadis-hadis Sunni, Ja’far Subhani kembali
memperkuat pandangan madzhabnya tentang hukum nikah
mut’ah.
Berangakat dari teori ‚kesadaran keterpengaruhan
sejarah‛ (Historically Effected Consciousness ), maka sikap
Ja’far Subhani diasumsikan terpengaruh dengan pemikiran
madzhabnya. Selain itu, dengan latar belakang keilmuan dan
doktri maz|hab-nya, sikapnya terhadap hadis-hadis sunni
tersebut akan menuai ragam pandangan. Sebagian akan
menilai Ja’far Subhani hanya mencari dan memunculkan titik
kelemahan-kelamahan yang terdapat pada riwayat-riwayat
Sunni. Meskipun bagi sebagian lainnya pengutipan Ja’far
tersebut dinilai sebagai dialog akademik dan pemikiran hadis
dalam rangka mengembangkan objektifitas dalam membaca
dan menilai sebuah riwayat9. Oleh karena itu menurut penulis,
penting melakuan penelitian terhadap sikap ilmiah Ja’far
Subhani tersebut.
8 Quraish Shihab, Perempuan, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h.
207-208
9Dalam setiap pendahuluan kitab-kitab yang ditulisnya, Ja’far
Subhani sering mengungkapkan:
اف ق د لن او ذهفيح ةه اس ر لسل ةالد س ه اانالمت ح طر لين اول ةع الب حثط كون انعسي, ت سيل ة ةوحيدلت و لم قريبالك ت يو افيالخط ذ قله اف الخل ف,الح رفيخل ف ال يس فيه وه ج ين وجب حتيواصولهالد ست اء ي د اء الع غض الب ا,و إنم اخل ف هو و ويفيم ل يههللاصلير ع سلم .و
Lihat pendahuluan kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah, (Qum: Muassasah Imam Shodiq, 1423 H), h. 4
8
Berdasarkan data-data teoritis di atas penulis
memiliki alasan objektif terkait pentingnya penelitian hadis-
hadis Sunni dalam karya Ja’far Subhani tersebut. Pertama,
sampai saat ini Syi’ah berikut simbol, gagasan, dan ajarannya
masih dipandang sebelah mata termasuk oleh sebagaian
masyarakat Indonesia. Syi’ah memperoleh justifikasi general
sebagai kelompok sesat sehingga apa pun yang keluar dari
Syi’ah menjadi hal yang harus ditolak. Kedua, justifikasi yang
dilontarkan kepada Syi’ah pada dasarnya berawal dari
pandangan seseorang terhadap gejolak konflik Sunni-Syi’ah
zaman klasik, tanpa mempertimbangakan adanya pergeseran
pemikiran di kalangan Syi’ah sendiri. Sehingga penelitian
terhadap karya original ulama Syi’ah penting untuk dilakukan,
dalam rangka klarifikasi dan memahami pemikiran hadis
Syi’ah secara objektif. Ketiga, Ja’far Subhani adalah tokoh
representatif ulama Syi’ah kontemporer yang banyak
merespons wacana-wacana yang tengah membumi dengan
pendekatan hadis Nabi. Dengan hadirnya di era kontemporer
ini, penting dijadikan rujukan terkait perkembangan kajian
hadis Syi’ah kontemporer. Keempat, Ja’far Subhani lahir dan
hidup pada kondisi hermeneutik yang kental dengan doktrin-
doktrin Syi’ah Imamiyyah, sehingga aktifitas keilmuan yang
sampai melintas ke pengutipan-pengutipan riwayat Sunni akan
menjadi topik menarik. Karena di satu sisi, Ja’far Subhani
konsisten dalam membumikan kaidah-kaidah ilmu hadis
Syi’ah, tetapi di sisi lain banyak mengutip hadis-hadis Sunni.
Selain itu, sikap akademis seperti ini akan memperlihatkan
objektifitas atau subjektifitas Ja’far Subhani dalam
mengapresiasi hadis-hadis Sunni.
B. Pembatasan Masalah
Ja’far Subhani melakukan konstruksi argumentasi
pemikirannya tentang nikah mut’ah dengan pendekatan ayat-
ayat Al-Qur’an dan Hadis baik riwayat sunni atau Syi’ah.
9
Adapun penelitian ini fokus pada objek primer yaitu hadis-
hadis sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah. Peneliti juga menjadikan hadis-hadis riwayat Syi’ah
sebagai objek sekunder guna mempertajam analisis dan
sebagai data pelengkap dalam membantu pengambilan
kesimpulan. Selanjutnya, penelitian ini akan mengarah pada
analisis kajian sanad dan matan beserta analisis terhadap
komentar-komentar yang dilakukan Ja’far Subhani terhadap
riwayat-riwayat sunni dan kemudian didialogkan dengan
komentar-komentar ulama sunni sebagai data pembanding.
Sunni yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
firqah isla>miyyah yang dikenal dengan sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah.
10 Dialah kelompok yang mempunyai pengikut
10 Istilah ini tidak dikenal di zaman Nabi saw mau pun di masa
khulafa>’ al-Ra>syidi>n. Bahkan tidak dikenal di zaman Bani Umayyah (41 –
133 H/ 611 – 750 M). Istilah ini untuk pertama kali dipakai pada
pemerintahan Abu> Ja’far Al-Mans{u>r (137 – 159 H/ 754 – 775 M) dan
kholifah Harun Al-Rasyid (170 – 194 H/ 785 – 809 M), keduanya adalah
dari dinasti Abbasiyyah (750 – 1258 M). Istilah ini semakin tampak ke
permukaan pada zaman pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun (198 – 218 H/
813 – 833 M). Pada zamannya, Al-Ma’mun menjadikan Mu’tazilah, aliran
yang mendasarkan ajaran Islam pada Al-Qur’an dan akal sebagai madzhab
resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar
mengikuti paham ini terutama yang berkaitan kemakhukan Al-Qur’an.
Untuk itu Al-Ma’mun melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah
terhadap para pejabat dan para ulama. Materi pokok yang diujikan adalah
masalah Al-Qur’an. Ketika itu mayoritas umat mempunyai kepercayaan
bahwa Al-Qur’an adalah qodim . Salah seorang yang kuat dan gigih
mempertahankan paham ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal (164 – 241
H). Penggunaan istilah ini makin populer setelah munculnya Abu Hasan
Al-‘Asy’ari (260 – 324 H/ 873 – 935 H) dan Abu Mansur Al-Maturidi (w.
944 M) yang melahiran aliran ‘Asy’ariyyah dan Maturidiyyah di bidang
teologi. Dalam hubungan ini Ah al-Sunnah wa al-jama>’ah dibedakan dari
Mu’tazilah, Qodariyyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran lain. (‚Sunni‛,
10
terbanyak di dunia Islam di banding pengikut-pengikut
madzhab lain. Madzhab ini didefinisikan sebagai madzhab
yang berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dan
mengikuti jama>’ah. Jama>’ah di sini maksudnya adalah
mayoritas kalangan sahabat baik masalah akidah atau pun
hukum agama Islam.11
Istilah ‚hadis Sunni‛ dan ‚hadis Syi’ah‛ pada dasarnya
tidak pernah digunakan dalam karya ulama klasik dalam kitab
hadis atau pun ilmu hadis, baik di kalangan Sunni atau pun
Syi’ah. Dua istilah ini muncul dari pengamatan dan penelitian
atas dinamika wacana ilmu hadis,12
khususnya di kalangan
Syi’ah yang memasukan konsep ima>mah atau ima>mi dalam
kajian ilmu hadis. Munculnya dua istilah ini merupakan
kesimpulan dari konstruksi epistimologi hadis Sunni dan
Syi’ah. Epistimologi tersebut bisa dilihat dari tiga poin pokok,
yaitu sumber hadis, hakikat hadis, dan verifikasi otentisitas
hadis. Sehingga yang dimaksud hadis-hadis Sunni dalam
penelitian ini adalah hadis-hadis yang bersumber dari Nabi
saw dan yang perawinya tidak disyaratkan harus periwayat
yang bermadzhab khusus seperti bermadzhab Syi’ah, Sunni,
dalam Ensiklopedi Islam , vol. IV, h. 298 - 299) baca juga Harun Nasution,
Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press 1986), h. 62 – 65
11‚Sunni‛, dalam Ensiklopedi Islam , vol. IV, h. 298
12 Beberapa penulis yang secara komprehensif mengkaji
epistimologi hadis Sunni dan Syiah adalah Ali Ahmad Salus dengan
karyanya Ensiklopedi Sunnah-Syiah yang memaparkan perbandingan dari
sudut hadis dan fikih, Quraish Shihab dalam karyanya Syiah Sunni
mungkinkah bergandengan tangan? yang memaparkan perbandingan dari
sudut teologi dan fikih. Selain itu ada Fadhullah Muhammad Said yang
melakukan penelitian hadis-hadis Ahusunnah dalam tafsir Al-Mizan karya Thabathaba’i.
11
atau pun Khawarij. Tetapi yang ditekankan adalah
persambungan sanad, memiliki kredibilitas yang baik,
terhindar dari syaz| dan ‘illat.13 Hal ini berbeda dengan
epistimologi Syi’ah. Dalam tradisi Syi’ah hadis yang dijadikan
h}ujjah adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi saw dan
Imam Dua Belas. Dalam hal ini Imam Dua Belas sejajar
dengan Nabi saw. Selain itu, perawi hadis dalam tradisi Syi’ah
sangat dipertimbangkan ke-ima>mahan-nya. Berkaitan dengan
epistimolgi tersebut, penulis memposisikan hadis-hadis yang
terdapat dalam kutub al-tis’ah adalah hadis-hadis Sunni. Hal
ini karena secara epistimologi perawi-perawi yang terdapat
pada kitab tersebut tidak mensyaratkan rawi seorang Syi’ah
atau pun madzhab lainnya.
Adapun hadis yang dimaksud pada penelitian ini tidak
terbatas pada riwayat yang disandarkan kepada Nabi saw.
tetapi termasuk juga riwayat yang disandarkan kepada sahabat
dan tabi’in. Hal ini menyesuaikan dengan data-data yang
terdapat dalam objek penelitian ini.
Pengarang kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah Ja’far Subhani, adalah tokoh Syi’ah Ima>miyyah
kontemporer. Sehingga Syi’ah dalam penelitian ini fokus
kepada Syi’ah Ima>miyyah atau Syi’ah Isna> ‘Asyariyyah atau
Ja’fariyyah. Yaitu kelompok yang mempercayai adanya dua
belas imam14
yang seluruhnya adalah keturunan sahabat Ali
13 ‘Ajaz Khatib, Us}u>luhu wa Mus}t}ala>h}uhu, (Beirut Dar al-Fikr,
1989), h. 250.
14 Kedua belas imam tersebut adalah Ali bin Abi Thalib (23 SH – 40
H), Muhammad Hasan bin Ali (2 – 50 H), Husein bin Ali (3 – 61 H), Ali
bin Husein ( Zainal ‘Abidin) (38 – 50 H), Abu Ja’far bin Ali (57 – 114 H),
Abdullah Ja’far bin Muhammad (83 – 148 H), Abu Ibrahim Musa bin Ja’far
( 128 – 183 H), Hasan Ali bin Musa (148 – 203 H) , Ja’far Muhammad bin
Ali (195 – 220 H), Abu Hasan Ali bin Muhammad (212 – 254 H),
12
bin Abi Thalib dan Fatimah Al-Zahra, putri Rasulullh saw.
Kelompok ini adalah kelompok mayoritas dari tiga kelompok
besar Syi’ah (Ghula>h, Isma>’iliyyah, dan Zaidiyyah),15
dan
menjadi kelompok terbesar kedua di dunia Islam setelah Sunni
yang masih ada sampai sekarang.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah
utama yang akan dijawab pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pandangan ilmiah Ja’far Subhani tentang
hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah ?
2. Bagaimana validitas pemikiran-pemikiran Ja’far
Subhani tentang hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk
memenuhi persyaratan memperoleh gelar magister bidang
hadis. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk memberikan
kesadaran akademis kepada para pembaca bahwa setiap
penilaian atas sebuah pemikiran, pendapat, dan pandangan
seseorang harus didasari dengan keilmuan.
Muhammad Hasan bin Ali (232 H – 260 H), dan Abu Qasim al-Mahdi (255
H - ) lalu menghilang sebelum dewasa dan akan muncul kembali sebagai
Imam Mahdi yang dinantikan. Lihat Sunnah Syiah Bergandengan Tangan
Munakinkah? (Tangerang: Lentera Hati, 2014), h. 127.
15 Quraisy Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan
Mungkinkah? (Tangerang: Lentera Hati, 2014), h. 83.
13
Adapun manfaat penelitan ini adalah:
1. Di bidang akademik penelitian ini akan memperkaya
informasi perkembangan mutakhir tentang dinamika
kajian hadis di kalangan madzhab Syi’ah.
2. Pada ranah wacana keagamaan, penelitian ini secara
tidak langsung menjelaskan konstruksi argumen konsep
nikah mut’ah dalam madzhab Syi’ah yang berbeda
dengan ajaran nikah mut’ah dalam madzhab Sunni.
3. Pada ranah pergejolakan pemikiran Syi’ah-Sunni,
penilitian ini secara tidak langsung mengarahkan elemen
masyarakat untuk tidak mengambil sikap taqli>d buta
dalam justifikasi general dan berhati-hati dalam
memberi stigma negatif.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian dan penelitian pemikiran Syi’ah, pada dasarnya
sudah banyak dilakukan oleh para peneliti baik yang
bermadzhab Sunni atau pun Syi’ah sendiri. Sedangkan
penelitian khusus tentang hadis-hadis Sunni yang terdapat
dalam karya-karya ulama Syi’ah masih sangat sedikit. Di
bawah ini adalah beberapa penelitian yang berkaitan dengan
kajian pemikiran hadis Syi’ah.
Hadis-hadis Ahlusunah dalam Tafsir Al-Mi>za>n, oleh
Fadhlullah Muhammad Said. Hasil penelitian ini merupakan
disertasi Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah.
Dalam disertasi tersebut Fadhlullah melakukan kritik sumber
dengan fokus pada hadis-hadis Ahlusunah dalam bab rawa>’i> tafsir karya Muhammad Thabathbai. Sedangkan penelitian
yang penulis lakukan posisinya adalah untuk melihat dinamika
hadis-hadis Sunni dalam pemikiran tokoh lainnya yang hidup
lebih belakangan dari era Thabathabai. Selain itu, penelitian
14
penulis juga akan membuktikan kesimpulan Fadhlullah16
tentang dinamika diskursus hadis Syi’ah pada tokoh yang beda
dan lahir di era yang beda. Sehingga pada ranah kesimpulan
tentang diskursus pemikiran hadis Syi’ah kontemporer bisa
dilihat dari dua tokoh yang sama pemikir hadis dan
representatif di kalangan Syi’ah Imam Dua Belas. Hal ini
untuk menghindari penilaian general terhadap kalangan
Syi’ah.
Konsep Hadis Shahih menurut Sunni dan Syi’i. Oleh
Fadhlullah Muhammad Said. Penelitan ini merupakan tesis
Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tesis
ini fokus pada analisis konsep hadis Syi’ah Imam Dual belas
secara umum, tidak fokus pada satu tokoh. Dalam penelitian
tingkat magister ini, Fadhlullah juga melakukan komparasi
tentang unsur-unsur autentisitas periwayat hadis Sunni dan
Syi’i. Rumusan-rumusan masalah yang dijawab Fadhlullah
adalah seputar persemaan dan perbedaan seputar kriteria hadis
S}ah}i>h}, konsep keS}ah}i>h}an suatu hadis, pandangan Sunni dan
Syi’i tentang para sahabat, penetapan kualitas rijal dan
periwayat hadis dan implikasi dari perbedaan perbedaan
tersebut dalam memahami sunnah Rasulullah saw.17
Periwayat Khawarij dalam Literatur Hadis Sunni, merupakan hasil penelitian Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah.
16 Fadhullah berkesimpulan bahwa differensiasi hadis Ahusunah dan
Syiah tidak hanya terletak pada sanad tetapi terjadi juga pada substandi
hadis, tertutama yang berkaitan dengan ideologis. Lihat Fadhullah
Muhammad Said, ‚Hadis-hadis Ahusunah dalam Tafsir Al-Mizan,‛
(Disertasi S3 Studi Pemikiran Islam, UIN Syarif Hidayatullah, 2011 ), h.
xx dan 353.
17 Lihat Fadhullah Muhammad Said, ‚Konsep Hadis Shohih
menurut Sunni dan Syi’i,‛ (Tesis S2 Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah, 2004 ), h. 19.
15
Tentunya tesis ini sangat berbeda, karena objeknya adalah
periwayat-periwayat khawarij. Tesis ini berkesimpulan bahwa
semakin tinggi komitmen periwayat terhadap sunnah Nabi
maka semakin dapat menetralisir bias ideologinya.
Konsekuensinya persamaan dan perbedaan ideologi tidak
dapat dijadikan sebagai alasan penolakan sebuah hadis.18
Sunnah Syi’ah Mungkinkah Bergandengan Tangan ?. buku ini memaparkan kajian atas konsep ajaran dan pemikiran
dalam madzhab Sunnah dan Syi’ah. Buku karya Quraish
Syihab ini mengkaji secara kritis ajaran dan pemikiran
madzhab Syi’ah dan sekte-sekte di dalamnya. Kemudian lebih
mengkrucut pada Syi’ah Imam Dua Belas. Karya ini pada
dasarnya mengajak para pembaca yang bermadzhab Sunni
melintas dan memahami ajaran dan pemikiran Syi’ah dan
sebaliknya. Dalam paparannya karya ini menampilkan ragam
perbedaan dan persamaan seputar rukun iman dan rukun islam,
imamaha, sikap terhadap para sahabat, raj’ah, bada’, dan
taqiyyah, perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’. Walaupun buku ini secara komprehensif mengkaji pemikiran
Syi’ah tetapi belum detail berbicara masalah nikah mut’ah dan
tidak ada kajian mendetail tentang kajian hadis-hadis terkait.19
Mengenal dan Mewaspadai Peyimpangan Syi’ah di Indonesia. Pada dasarnya buku ini adalah buku panduan lama
Majilis Ulama Indonesia yang ditulis oleh empat orang
penulis. Buku ini pada umumya menampilkan sikap MUI
dalam justifikasi pemikiran Syi’ah, khususnya yang ada di
18 Lihat Ahmad Ubaydi, ‚Periwayat Khawari j dalam Literatur
Sunni‛(Tesis S2 Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h.
231
19Quraisy Shihab, Sunnah Syiah Mungkinkah Bergandengan Tangan
? . (Tangerang: Lentera Hati, ), h. 252-253
16
Indonesia. Syi’ah dalam buku ini diposisikan sebagai madzhab
yang harus dijauhi oleh umat Islam, tidak ada upaya taqrib al-maz|a>hib. Akhir buku ini memaparkan fatwa-fatwa MUI
terkait kesesatan Syi’ah. Tetapi obejek penyesatannya lebih
cendrung pada madzhab Syi’ah Rafidhoh. Buku ini juga
sedikit menyinggung masalah nikah mut’ah. Tetapi
pembahasannya hasa sebatas respons wacana dan tidak
melakukan kritik dalil (hadis) yang menjadi landasan
kebolehan nikah mut’ah.20
Syi’ah Menurut Syi’ah. Buku ini ditulis oleh tim Ahli
Bait Indonesia sebagai respons wacana terhadap buku
‚Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di
Indonesia‛ yang dierbitkan oleh MUI. Karya Ahli Bait
Indonesia ini mencoba menjawab segala bentuk justifikasi
negatif terhadap pengikut Syi’ah. Mulai dari masalah akidah,
fikih, Al-Quran, hadis dan lainnya. Dalam sebagian
pembahasannya buku ini menyinggung dan mengklarifikasi
hakikat nikah mut’ah. Buku ini menegaskan bahwa nikah
mut’ah bukan praktek asal kawin tetapi harus mengikuti tata
krama tersendiri. Buku ini mencoba memaparkan beberapa
hadis dalam rangka memperkuat sahnya nikah mut’ah. Tetapi
pemaparan tersebut belum masuk pada ranah kritik hadis.21
Sunni-Syi’ah Satu Kitab. Ini adalah merupakan buku
ringkasan disertasi yang ditulis oleh Muhaimin Zein. Dalam
buku ini yang menjadi kajian pokoknya adalah menelaah ulang
riwayat-riwayat yang menginformasikan terjadi tahrif dalam
Al-Quran yang riwayat-riwayat tersebut menjadi bahan bakar
20Ma’ruf Amin, dkk., Mengenal dan Mewaspadai Peyimpangan
Syiah di Indonesia, (Jakarta: Al-Qolam, 2013), h.55-103
21Tim Ahubait Indonesia, Syiah menurut Syiah, (Jakarta Selatan:
DPP Ahubait Indonesia, 2014), h. 166-170
17
terjadinya konflik Syi’ah Sunni. Buku ini berkesimpulan
bahwa riwayat tahrif dalam Al-Quran yang beredar di
masyarakat pada dasarnya berasal dari riwayat lemah, kalau
pun itu S}ah}i>h} hanyalah bentuk penafsiran, qira’ah, dan doa. 22
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini
adalah metode analisis-verifikatif (pemeriksaan pernyataan),
yaitu sebuah upaya mendeskripsikan kritik Ja’far Subhani
terhadap hadis-hadis Sunni, dan kemudian melakukan analisis
secara kritis serta melakukan verifikasi atas kritik Ja’far
Subhani tersebut. Dengan menggunakan metode pemeriksaan
pernyataan tersebut penulis akan menguji validitas kritiknya
dengan bersandar pada sumber-sumber yang menjadi acuan
Ja’far Subhani. Selain itu, dalam penelitian, penulis akan
melakukan kritik terhadap pernyataan, pandangan, dan
penilaian Ja’far Subhani, yang tentunya dengan disertai sikap
menjunjung tinggi objektifitas ilmiah.
Adapun data-data yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primernya
adalah buku Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah karya
Ja’far Subhani. Buku tersebut membahas legalitas nikah
mut’ah dalam perspektif Al-Quran dan Hadis. Sedangkan data
sekundernya adalah seluruh buku, kitab, atau karya-karya
ilmiah lainnya yang berkaitan langsung dengan penelitan, baik
karya-karya Ja’far Subhani atau pun karya-karya ulama
lainnya.
Langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, melakukan
22 Muhaimin Zen, Sunni-Syiah Satu Kitab Suci, ( Jakarta: Nurul
Huda, 2013), h. 214-218
18
inventarisasi dan menyeleksi data, yaitu hadis-hadis Sunni
yang terdapat dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah. Kedua, melakukan analisis data melalui metode
deskriptif, yaitu dengan melakukan analisis data. Ketiga, data-
data hasil inventarisasi, seleksi, dan analisis, kemudian
diverifikasi melalui sumber-sumber yang menjadi acuan Ja’far
Subhani dan sumber-sumber yang berkaitan lainnya.
Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan interpretatif23
yang
validitasnya diukur dengan dua teori. Yaitu teori kritik hadis
yang dirumuskan oleh Mus{t}afa> Al-A’z}ami> dan teori kebenaran
yang dirumuskan oleh Abdul Mustaqim.24
Dalam kitab Manhaj al-Naqd ‘ind al-Muh}addis|i>n,
Mus{t}afa> Al-A’z}ami> merumuskan empat langkah25
dalam
upaya penyeleksian hadis26
. Yaitu:
1. Mengumpulkan seluruh riwayat-riwayat terkait ( عم ج
ة لكاف صواأل )
2. Validasi keaslian teks ( صوصةالن ح إثباتص )
23 Interpretasi tidak hanya dimaknai penafsiran tetapi mencakup
pandangan, pemberian kesan, pandangan teoritis seseorang terhadap
sesuatu.
24 Dalam penerapannya, peneliti menggunakan empat langkah teori
kritik hadis dan tiga teori kebenaran di atas dengan cara proporsional,
menyesuaikan data-data yang penulis teliti dalam naskah penelitian.
25
Mus{t}afa> A’zhami, Manhj al-Naqd ‘ind al-Muh}addis|i>n, (Riyadh:
Maktabah Al-Kautsar, 1990), h. 95-100.
26Pada dasarnya langka-langkah dirumuskan ketika Mus{t}afa>
A’zhami > menilai bahwa kritik yang dilakukan para ulama hadis dan para
ahi sejarah ada persamaan. Namun kritik yang dilakukan oleh para ulama
hadis lebih unggul dan lebih mendetail.
19
3. Menganalisis redaksi untuk mencari makna teks dan
maksud autornya ( كمنمعنياأللفاظحق النصوصللت تحليل
فؤل رادالم ومنم )
4. Kritik eksternal, yaitu menganalisis aspek
kredibilitas periwayat hadis ( النق ح ر م الس لة ل د لمعرفة بي
هت دال قالراويوع د ص )
Adapun teori kebanaran yang dirumuskan Abdul
Mustaqim adalah teori kebenaran koherensi, korespondensi,
dan pragmatisme. Teori-teori tersebut pada dasarnya
gabungan teori kebenaran filsafat ilmu yang dikembangakan
oleh Bob Hale, Crispin Wright, dan Harold H. Tusi.
Berdasarkan rumusan Abdul Mustaqim, sebuah interpretasi
atau pandangan akan dinilai valid atau benar jika sesuai
dengan teori kebenaran27
koherensi, korespondesi, dan
pragmatisme. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.Teori kebenaran koherensi
Teori ini mengatakan bahwa sebuah interpretasi atau
penafsiran dianggap benar jika dia sesuai dengan pernyataan-
pernyataan (proposisi) sebelumn\ya dan secara konsisten
menerapkan metodologi yang digunakannya. Dengan kata lain,
jika dalam sebuah kritik atau interpretasi terdapat konsistensi
berpikir maka kritik atau interpretasi tersebut dikatakan benar
secara koherensi.28
2. Teori kebenaran korespondensi
Menurut teori ini, sebuah kritik atau interpretasi
dikatakan benar apabila dia berkorespondens, cocok, dan
sesuai dengan fakta ilmiah yang ada di lapangan. Sebuah kritik
27Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer,
(Yogyakarta: Lkis, 2010), h. 83\
28
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 83
20
atau interpretasi disebut benar jika sesuai dengan teori-teori
keilmuan atau bukti yang ada.29
3. Teori kebenaran pragmatisme
Menurut teori kebenaran pragmatisme, sebuah kritik
atau interpretasi diakatakan benar jika dia secara praktis
mampu memberikan solusi praksis bagi problem sosial yang
muncul. Dengan kata lain dia tidak diukur dengan teori atau
penafsiran lainnya, tapi diukur sejau mana bisa memberikan
solusi atas problem yang dihadapi manusia sekarang ini secara
universal.30
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hasil penelitian ini akan ditulis
dalam bentuk lima bab yang masing-masing saling berkaitan.
Dari setiap bab-bab tersebut akan dipaparkan dalam bentuk
sub-bab guna menampilkan data secara sistemik dan mudah
dipahami alur dinamika hasil penelitiannya.
Bab pertama adalah bab pendahuluan. Pada bab ini
dipaparkan latar belakang penilitian, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini
merupakan tahap awal dalam melakukan penelitian dengan
tujuan utamanya adalah memaparkan permasalahan akademik
yang dijawab dengan pendekatan yang telah ditentukan.
Bab kedua adalah pembahasan tentang riwayat hidup
Ja’far Subhani dan pembahasan kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah. Pembahasan ini untuk menginformasikan
kepada para pembaca tentang pemetaan kehidupan sosial dan
kehidupan ilmiah ulama Syi’ah kontemporer tersebut.
29
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer , h. 83
30
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 83
21
Bab ketiga akan membahas produk pemikiran Ja’far
Subhani yang berkaitan ilmu hadis, guna untuk melihat
pemetaan pemikiran Ja’far Subahani yang merupakan
representasi dari ulama besar Syi’ah kontemporer.
Bab keempat merupakan pembahasan inti dalam
penelitian ini. Sebagaimana judul penelitan, bab ini akan
menganalisis dan memverifikasi pemikiran hadis Ja’far
Subhani terhadap hadis-hadis Sunni yang berkaitan dengan
nikah mut’ah. Pemikiran Ja’far Subhani yang akan dianalisis
pada bab ini adalah tentang nikah mut’ah pada awal Islam,
riwa>yah tafsi>riyyah nikah mut’ah, legalisasi nikah mut’ah oleh
para sahabat dan tabi’in, keberatan Ali bin Abi Thalib atas
fatwa Umar bin Khattab, hadis-hadis lemah tentang
penghapusan nikah mut’ah, naskh dalam nikah mut’ah, dan
kontradiksi yang terjadi seputar hadis-hadis nikah mut’ah.
Bab kelima adalah bagian penutup penelitian. Pada bab
ini memuat pemaparan kesimpulan yang berisi jawaban-
jawaban atas rumusan masalah penelitian yang telah
dirumuskan pada bab pendahuluan. Kemudian bab ini diakhiri
dengan saran-saran guna memberikan informasi akan
pentingnya pengembangan dan penelitian lanjutan yang
berkaitan dengan pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-
hadis Sunni.
22
23
BAB II
OTENSITAS HADIS DALAM KAJIAN SUNNI DAN
SYI’AH
A. Konsep Hadis Menurut Sunni dan Syi’ah
1. Konsep Hadis Menurut Sunni
Secara etimologi, hadis bermakna baru (al-jadi>d).
Sedangkan secara terminologi, hadis menurut ‘Abd al-Haq Al-Dihlawi:
س ج صطالحافثذانذ أهى اع طهك انذذث
1رمششفعه سهىعههللاصهىانجلل عهى
Seseungguhnya makna hadis menurut istilah mayoritas ulama hadis adalah setiap ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi saw. Berdasarkan definisi di atas, hadis menurut Sunni
berpusat pada satu sumber utama yaitu Nabi saw. Nabi saw
adalah sumber tunggal sumber ajaran hidup yang terdiri dari
Perkataan, perbuatan, sifat, dan penetapan. ‘Ajjaj Khatib dan
Abbas Mutawali Hamdah menambahkan bahwa setiap perjalan
hidup Nabi baik yang terjadi sebelum dan sesudah
pengangkatannya menjadi rasul juga termasuk hadis Nabi
saw.2 Adapun sahabat dan tabi’in, walau pun dalam
perkembangan ilmu hadis ada istilah khusus untuk menyebut
1‘Abdul Haq Al-Dihlawi, Muqaddimah fi> Us}u>l al-H}adi>s|, (Beirut:
Darul Basyai’i Islamiyyah, 1986), h. 33.
2 Miftahul Asrar dan Imam Masbukin, ‚Membedah‛ Hadis Nabi
saw, (Jawa Timur: Jaya Star Nine, 2015), h. 7.
24
perkataan, perbuatan, dan pernyataannya tetapi mereka tidak
menjadi sumber utama. Karena keberadaan Nabi di tengah
umat adalah bersifat wah}yi> dan membawa risa>lah sama>wi> yang berbeda dengan para sahabat atau pun orang-orang
setelahanya. Posisi mereka hanya sebagai penggati (baca:
khalifah) dan pewaris risalah samawi tersebut. Sebagai
pengaruhnya adalah ketika ada kontradiksi hadis nabi dan
hadis para pewarisnya, maka hadis Nabi saw lah yang menjadi
utama.
Dalam diskursus ilmu hadis, ada satu kata yang
memiliki makna mirip dengan hadis, yaitu sunnah. Baik ulama
terdahulu atau pun ulama modern, mereka berbeda pendapat
dalam hal ini. Sebagian mereka ada yang menyamakan bahwa
sunnah adalah sinonim dari kata hadis. Sebagian lagi
berpendapat bahwa sunnah dan hadis adalah dua kata yang
berbeda makna. Yang pertama kali menggunakan kata sunnah
dan kata hadis dalam makna yang berbeda adalah
Abdurrahman bin Mahdi. Ibnu Mahdi pernah berkomentar
bahwa ‚Sufya>n al-S|auri> ima<m fi al-h}adi>s| wa lais bi ima<m fi al-sunnah3 (Sufyan Sauri adalah imam dalam bidang hadis tapi tidak dalam sunnah)‛. Kendatipun sunnah dan hadis banyak
digunakan dalam makna yang berbeda, tetapi mayoritas ulama
hadis bersepakat bahwa hadis dan sunnah adalah dua kata
sinonim.
Adapun menurut para pemikir hadis modern hadis
didefinisikan sebagai berikut: menurut Nurkholis Majid hadis
adalah laporan tentang aktifitas Nabi saw. Menurut Fazlur
Rahman hadis adalah sunnah-sunnah yang terkonsep.
Sedangkan menurut Syahrur hadis adalah kehidupan Nabi
3 Muhammad Thahir Al-Jawwabi, Juhu>d al-Muh}addis|in fi Naqd
Matn al-H|adi>s| al-Nabawi, (Tunisia:Yayasan Abdul Karim Abdullah, 1986),
h. 66.
25
sebagai seorang Rasul dan manusia biasa dalam kehidupan
nyata.4
Dari beberapa definisi di atas, disimpulkan bahwa
hadis menurut ulama dan pemikir hadis Sunni memiliki
sumber tunggal yaitu Nabi Muhammad saw.
2. Konsep Hadis Menurut Syi’ah
Menurut Hasan Shadr, ulama Syi’ah kalangan
ushululiyyin yang hidup abad 14 h., hadis menurut etimologi
adalah mut}laq al-kalam, ucapan. Sedangkan menurut istilah
adalah:
5ارمشش افعه انعصو كلل ذ الو ك Ucapan yang menceritakan tentang ucapan, perbuatan dan pengakuan imam yang maksum. Penyebutkan kata ma’sum (Arab: al-ma’s}u>m) dalam
definisi hadis versi Syi’ah di atas tersebut, dimaksudkan
adalah orang-orangyang bebas dari perbuatan-perbuatan yang
mengandung dosa, baik dosa kecil dan maupun dosa besar.
Golongan Syi’ah secara umum dan khususnya Syi’ah
Imamiyah berkeyakinan bahwa mereka semua
maksum.6Dalam pandangan Syi’ah, tidak mungkin nabi
berwasiat kecuali untuk orang yang sama ma’sumnya dengan
dirinya, sama dengan para nabi-nabi. Kalau tidak maksum,
4 Miftahul Asrar dan Imam Masbukin, ‚Membedah‛ Hadis Nabi
saw, h. 12-13.
5 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy,
t.th.), h. 81.
6Rabi>’ bin Mah{mu>d al-Su’u>d, Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna>
‘Asyariyyah Fi> al-Mi>za>n al-Isla>m (al-Qa>hirah: Maktabah Ibn Taimyah,
1414 H.), h. 183.
26
tentu mereka tidak ada bedanya dengan manusia pada
umumnya yang bisa berbuat kesalahan-kesalahan yang
mengandung dosa. Sebagai perbandingannya, Sunni
berkeyakinan hanya para nabi-nabi yang maksum. Oleh kerena
itu, mereka tidak membeda-bedakan antara ‘Ali> ibin Abi> Ta>lib
dengan Sahabat yang lain, karena mereka semua adalah
sahabat-sahabat nabi.7
Adapun Imam Ma’sum atau Ahlu Bait yang dimaksud
di atas, diyakini oleh Syi’ah ada dua belas orang, ‘Ali> bin Abi> T{a>lib dan anak keturunannya, mereka memiliki akidah
mewajibkan pengikutnya menerima segala yang diperintah dan
menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh Imam Maksum.8
Adapun Imam Maksum tersebutialah;(1) ‘Ali > bin Abi> T{a>lib, (2) al-H{asan bin ‘Ali >, (3) al-H{usayn bin ‘Ali >, (4) Zayna al-‘A<bidi>n ‘Ali > bin al-H{usayn, (5) Muh{ammad bin ‘Ali > al-Ba>qir, (6) Ja’far bin Muh {ammad al-Sa>diq, (7) Musa> bin Ja’far al-Ka>d{im, (8) ‘Ali > bin Musa> al-Rida>, (9) Muh{ammad bin ‘Ali > al-Jawa>d, (10) ‘Ali > bin Muh{ammad al-Ha>di>, (11) al-H{asan bin ‘Ali > al-‘Askari >, dan (12) Muh{ammad bin al-H{asan al-Mahdi>.9 Dua belas imam ini juga disebut sebagai Ahli Bait oleh orang-
orang Syi’ah.10
7S{a>lih{ al-Warda>ni>, ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi>’ah: al-
Taqa>rub wa al-Taba>’ud (Beiru>t: al-Gadi>r, t.t.), h. 166.
8Rabi>’ bin Mah{mu>d al-Su’u>d, Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna>
‘Asyariyyah..., h. 183.
9Ih{sa>n Ilay al-Zahi>r, al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh
(al-Riyad: Dar al-Salam, 1995), h. 269.
10Muhammad Tijani As-Samawi, Mazhab Alternatif:
Perbandingan Syiah-Sunnah. Penterjemah, Hasan Musawa (Cianjur: Titian
Cahaya, 2005), h. 25.
27
Syi’ah mengakui bahwa segala sesuatu yang datang
dari Imam Ma’sum atau Ahlu Bait11
juga dapat disebut hadis.
Paham ini didasari oleh dua faktor. Pertama, karena ada
perintah dari nabi, sebagaimana sabdanya:‚Wahai Manusia,
sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang jika
kalian mengikutinya, maka kalian tidak akan sesat selama-
lamanya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan
keluargaku‛.12Kedua, karena kedudukan mereka sama dengan
nabi, kakeknya, maka pernyataan para imam Ahlu Bait sama
dengan sabda nabi, karena sejatinya mereka merupakan
penerus ajaran-ajaran kakeknya, Nabi Muhammad s.a.w.13
11Pengertian dari Ahlu Bait (Ahl al-Bayt) secara bahasa adalah
pemilik rumah atau anak keturuanan. Namun dalam pengertian secara
istilah ialah keluarga atau keturunan Nabi Muhammad s.a.w. Penyebutan
Ahlu Bait bisa dipahami dalam tiga macam aspek; (1) memiliki hubungan
darah karena keturunan nabi, ini disebut sebagai hubungan darah atau
hanya fisik; (2) memiliki hubungan jiwa dan ruh dengan nabi, berarti belum
tentu keturanan nabi; (3) kombinasi dari dua hubungan yang disebut
sebelumnya, yaitu memiliki hubungan darah dan jiwa dan ruh dengan nabi.
Lebih tepatnya, yang dimaksud dengan Ahlu Bait adalah orang-orang yang
memiliki hubungan fisik dan rohani dengan nabi. Lihat dalam penjelasan,
Sayid Muhammad Radawi, Imamah dan Wilayah dalam Ajaran Ahlu Bait As. Penterjemah. A. Kamil (Kuwait: Mua’ssisah ‘Asr al-Zuhur, 2007), h.
81.
12Teks arab dari hadis tersebut ialah: ‚ فيكمماإنيتركت هاالناس ياأي
تضل لن به أخذتم بيتيإن أهل عترتي هللا كتاب وا ‛, yang artinya: ‚Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah
kalian sesuatu yang jika kalian berpegang kepadanya, maka kalian tidak
akan pernah sesat, yaitu; kitabullah dan sanak saudara ahli baitku.‛Hadis
ini bisa dicek dalam, Imam al-Tirmi>z}i, Sunan al-Tirmi>z{i>, no.hadis 3718,
Bab, Mana>qib Ahl Bayt al-Nabi> Salla> Alla>h pada CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah, 1991 edisi 1.2.
13Nasir Makarim Syirazi, Inilah Akidah Syi’ah (Kuwait
Mu’assasah Asr al-Zuhur, 2009), h. 55-56.
28
Namun di balik perbedaan pendapat mengenai batasan
definisi hadis tersebut, Sunni dan Syi’ah dalam masalah
makna atau pengertian hadis (al-h}adi>s) dan khabar (al-khabar) ada kemiripan, bahwa ada yang mengartikan dua kata tersebut
sinonim (al-mura>dif), artinya dua lafaz dipakai pada satu
makna yang sama. Namun sebagian ulama ada yang
membedakannya, tetapi penyebutan khabar diperuntukkan
sesuatu yang datangnya bukan dari nabi, namun ada pula yang
mengkhususkan pemakaian kata khabar oleh para ulama usul
fiqih, meskipun maknanya sama dengan hadis.14
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
perbedaan yang paling mendasar antara Sunni dan Syi’ah
dalam membatasi cakupan pengertian hadis adalah terletak
pada sumber dari hadis tersebut, lebih khususnya lagi tentang
penyisipan eksistensi‚imam yang maksum‛ sebagai sumber
hadis. Bagi kalangan Sunni, segala sesuatu yang datangnya
dari Imam Maksum tidak dapat disebut hadis, karena hadis
menurut mereka hanya segala sesuatu yang datang atau
disandarkan kepada nabi. Namun menurut Syi’ah, selain
sesuatu yang datangnya dari nabi, dari para Imam Maksum
juga dapat disebut hadis, karena mereka adalah penerus ajaran-
ajaran nabi, dan pangkat mereka sama dengan nabi.
B. Sejarah Kodifikasi Hadis Perspektif Sunni dan Syi’ah
1. Sejarah Kodifikasi Hadis Menurut Sunni
Sub bab ini berjudul ‚Sejarah Kodifikasi Hadis‛. Sebagai
penegasan dari redaksi tersebut, penulis berpandangan perlu
memperjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah kodifikasi
atau dalam bahasa Arab disebut dengan al-tadwi>n, yaitu
14Lihat dan bandingkn antara, Mah{mu>d al-T{ah{h{a>n, Taysi>r
Mus}t}alah} al-H}adi>s, h. 17 dan Ja’far al-Subh{a>ni>. Us}u>l al-H{adi>s} wa Ah{ka>muh Fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h. 19.
29
memiliki pengertian; sebuah catatan atau tulisan yang
kemudian dikumpulkan di dalam satu mushaf (buku).15
Sub bab
ini secara fokus akan menyoroti kodifikasi hadis menurut
Sunni dan Syi’ah, sebagaimana berikut:
Dalam kajian Sunni, Bustamin dan M. Isa H.A. Salam,
menjelaskan di dalam buku ‚Metodologi Kritik Hadis‛ bahwa ada dua versi riwayat hadis yang kandungannya terkesan
bertentangan tentang penulisan hadis pada masa
nabi.16Pertama, adanya riwayat yang menjelaskan tentang
diperintahkannya penulisan hadis. Adapun redaksi hadis
perintah tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
Ah{mad, berikut ini:
ز ت "... انز ي اك ف ف س ب ث ذ ج ي ش خ ك ي د "ئ ل‚...Tulislah, dan demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar ucapanku kecuali kebenaran.‛17
Kemudian yang kedua ada riwayat hadis yang
menjelaskan larangan penulisan hadis. Hadis tersebut
diriwayatkan oleh Imam Muslim, berikut teks Arab dan
terjemahannya dari hadis tersebut:
15Muh{ammad bin Mat{ar al-Zahrani>,Tadwi>n al-Sunnah al-
Nabawiyyah Nasy’at}uhu wa T{atawwuruhu min Qarn al-Awwal Ila> Niha>yah al-Qarn al-Ta>si’ al-Hijr (Saudi: Da>r al-Hijrah Li Nasyr wa al-Tawzi>’,
1996), h. 74.
16Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis
(Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 17-18.
17Lihat dalam, ImamAh}amd,Musnad Ah{mad, no. hadis,6221, Bab,
Musnad ‘Abd Alla>h bin ‘Amr bin al-’A<s{ Rad{iya Alla>h Ta’ala> ‘Anhuma>, pada CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah, 1991
edisi 1.2.
30
ال ز ج ىر ك ع ي ز ت ىك ش ع غ آ ان م ش ذ ف ه
ا ث ذ د ى ل ع ج ش د ي ة ز ه ىك بو ل بل -ع
ج س ذا-ل بل أ د ز ع أ ي ف ه ز ج ذ م ع ي انبس ي ‚...Janganlah kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain al-Qur'an hendaklah dihapus, dan ceritakanlah dariku dan tidak ada dosa. Barangsiapa berdusta atas (nama) ku, Hammam berkata: Aku kira ia (Zaid) berkata: dengan sengaja, maka henkdaklah menyiapkan tempatnya dari neraka.‛18
Faktor yang paling mendasar dari larangan penulisan
hadis adalah dikuatirkannya hadis-hadis bercampur aduk
dengan al-Qur’an. karena pada masa itu, al-Qur’an
diperintahkan untuk ditulis. Terlepas dari dua riwayat di atas,
setidak ada dua paham ulama menyikapi dua riwayat yang
secara harfiah berlawanan; (1)riwayat pelarangan terhadap
sahabat menulis hadis adalah riwayat yang lebih dipegang
oleh oleh sahabat daripada hadis perintah; (2)kekuatan hafalan
mereka masih kuat sehingga sangat memungkinkan
meriwayatkan hadis secara lisan tidak akan mengalami
kesalahan.
Masih dalam pendapat Bustamin dan M. Isa H.A.
Salam, pada masa nabi hidup, penulisan al-Qur’an sedang
dalam proses sehingga jika hadis juga diperbolehkan ditulis
dikhawatirkan akan bercampur aduk. Untuk mewanti-wanti
hal ini, maka dilarang menulis hadis. Selain itu,konteks lawan
bicara ketika nabi menyabdakan larangan dan perintah hadis
berbeda. Hadis tentang larangan tersebut lebih awal dari
perintah, sekitar awal tahun hijriah dan sedangkan hadis
18Lihat dalam, Imam Muslim,S|ah{i>h{ Muslim, no. hadis,5326, Bab,
al-Tas\abbut Fi> al-H{adi>s\ wa H{ukm Kita>bat al-‘Ilm, pada CD-ROM,
Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah,1991 edisi 1.2.
31
perintah pada masa ketujuh hijriah. Hal ini bisa diketahui dari
rawi hadis tersebut; hadis larangan tersebut diriwayatkan oleh
Abu Said al-Khudri dan hadis perintah diriwayatkan oleh Abu
Hurairah yang diketahui masuk Islam stelah Fath{ al-Makkah(tahun 8 H).
19
Menanggapi dua riwayat penulisan hadis di atas,
sebenarnya melalui dua riwayat hadis tersebut sudah jelas
memberikan petunjuk bahwa kodifikasi hadis telah
berlangsung pada masa nabi. Tentu ada alasan ketika nabi
melarang sahabat menulis hadis, bisa jadi nabi tahu kalau di
antara mereka ada yang menulis hadis, tidak mungkin
melarang kecuali nabi sudah tahu, atau bisa sebaliknya,
riwayat perintah hadis ditujukan kepada beberapa orang
khusus, dan sedangkan riwayat larangan ditujukan kepada
banyak orang dari sahabat-sahabatnya.Pelajaran yang dapat
dipetik adalah bahwa dua riwayat yang terkesan bertolak
belakang tentang perintah/larangan penulisan hadis
menunjukkan dekianlah bentuk penulisan hadis pada masa
nabi. Namun penulisanpada masa itu tentunya tanpa ada
sanad-sanad. Selain itu, penulisan pada masa itu masih dalam
bentuk tulisan-tulisan pribadi yang ada pada sahabat-sahabat
tertentu dan tidak dipublikasikan ke publik.
Sedangkan menurut ‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, kalau
diperincikan lebih detail lagi mengenai penulisan hadis
sebenarnya bisa dikembalikan kepada tiga masa. Pertama, marh{alah al-jam’i, ialah masa pengumpulan hadis. Ulama yang
mengisi masa itu adalah seperti Imam Ma>lik, beliau
mengumpulkan hadis dari Ahli Hijaz, Ibn Jarij di Makkah, al-
Awza’i di Syam, Sufyan al-Sawri di Kufah, Hamad bin Abi
Sulayman di Basrah, dan lain-lain. Ulama-ulama tersebut
19Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, h.
17-18.
32
diyakini sebagai kelompok ulama yang hidup dalam satu masa,
tetapi tidak diketahui di antara mereka siapa yang lebih
dahulu melakukan pengumpulan hadis-hadis;(2) marh{alah al-masa>nid, ialah masa pengumpulan hadis dengan disertakan
sanad-sanadnya. Sanad menjadi penting disertakan dengan
matan hadis untuk memberikan indikasi atau untuk membantu
pelacakan siapa saja yang menyampaikan hadis tersebut
hingga sampai kepada nabi;(3) marh{alah al-sih{h{ah, yaitu masa
klasifikasi hadis berdasarkan hadis-hadis yang s}ah}i>h}. Adapun
orang yang pertama kali menyusun hadis berdasarkan
kesahihannya dan memisahkannya dengan hadis-hadis yang
tidak memenuhi syarat sahih adalah Imam al-Bukha>ri>.20
Menurut Saifuddin, peneliti kodifikasi hadis
kontemporer, menegaskan bahwa masa puncak kodifikasi
hadis Sunni adalah pada masa atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n. Kitab-
kitab hadis Sunni mulai muncul pada masa atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n tersebut adalah S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (w. 256 h.), S}ah}i>h} Muslim (w. 261 h.), Sunan Abi< Da>wud (w. 276 h.), Ja>mi’ al-Tirmiz|i> (w. 279 h.), Sunan al-Nasa>’i> (w.303 h.), dan Sunan Ibn Majah (w. 273 h.). Selain itu, masih ada kitab-kitab hadis
lainnya seperti kitab musnad Ah}mad ibn Hanbal (w. 241 h.), Munad Ish}a>q ibn Rah}awaih (w. 237 h.), Musnad ‘Abd al-H}umaid (w. 249 h.), dan musnad-musnad lainnya.
21
2. Sejarah Kodifikasi Hadis Versi Syi’ah
Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad menegaskan,
sesungguhnya ulama berselisih paham kapan kodifikasi hadis
dimulai sehingga sampai kepada masa kita ini. Menurutnya,
20‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\ (Beirut: Markaz al-Gadir,
2009), h. 69-71.
21 Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 157.
33
sebagian ulama mengatakan diperkenalkan pertama kali pada
masa ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z. Beliau menulis hadis dari
ulama-ulama yang ada di Madinah karena khawatir akan
hilangnya hadis atau adanya perubahan-perubahan terhadap
hadis yang sudah ada.22
Namun dalam penjelasan yang lain, Syi’ah
berkeyakinan―mereka secara tidak langsung tidak sependapat
dengan adanya riwayat hadis yang melarang sahabat menulis
hadis, sebagaimana dikemukakan oleh ulama Sunni di atas
tersebut―bahwa sesungguhnya para sahabat sudah memiliki
semangat yang cukup intensif kepada hadis-hadis pada masa
hidup nabi. Oleh karena itu, mereka selalu menulis hadis yang
diperoleh langsung dari nabi.23
Salah satu buktinya, Imam ‘Ali>
adalah salah satu sahabat di antara beberapa sahabat yang
intens menulis hadis-hadis nabi. Bahkan ‘Ali> adalah sesosok
sahabat nabi yang memiliki banyak karya dan termasuk di
antara karya tersebut adalah kumpulan tulisan hadis-hadis.24
Jika ditelisik priodesasinya, penulis menemukan ada
dua pendapat terkait versi priode tentang kodifikasi hadis. Pertama, menurut‘Abd al-Ha>di al-Fad{l terbagi menjadi dua
priode; (1) disebut dengan tahap pengumpulan kecil (marh{alah al-majmu>’ah al-s}agi>rah) dan tahap yang kedua dikenal dengan
sebutan pengumpulan besar (marh{alah al-majmu>’ah al-kabi>rah). Adapun yang dimaksud dengan priode yang pertama
ialah periwayatan hadis yang ditulis oleh rawi pada masa nabi
22Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad,Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Inda al-Syi>’ah
al-Ima>miyyah(T.tp.: Nasyr Hastami> Nama>, 2010), h. 35-38.
23‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\ (Beirut: Markaz al-Gadir,
2009), h. 71.
24Muh{ammad ‘Ali> Mahdavirad,Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Inda al-Syi>’ah
al-Ima>miyyah, h. 235.
34
atau sahabat. Seorang perawi melihat dan mendapatkan hadis
langsung dari nabi, atau rawi tidak bertemu langsung tetapi
mendapatkan hadis tersebut dari imam. Pada priode ini, hadis
masih berserakan dan tersebar dimana-mana, belum
dikodifikasikan dalam satu buku, masih dimiliki oleh individu
rawi-rawi yang menulisnya, dan tidak disertakan dengan
sanad-sanadnya; (2)ialah kelanjutan dan penyempurnaan dari
tahap yang pertama. Pada tahap ini, penulisan hadis ditulis
lengkap ke dalam kitab-kitab besar dengan disertakan
penyebutan sanad yang lengkap sampai kepada nabi atau
Imam Maksum, dan membuat klasifikasi bab-bab hadis yang
disesuaikan dengan tema-tema khusus, sehingga hadis yang
dipaparkan tersusun secara tematis sesuai dengan kontensnya.
Pada tahap yang kedua inilah kemudian dikenal dengan empat
kitab sahih di kalangan Syi’ah, yaitu al-Ka>fi, Man La> Yahdarah al-Faqi>h, al-Tah{dzi>’b, dan al-Istibs}a>r.25
Empat kitab hadis Syi’ah tersebut tidak disebut
sebagai kitab hadis sahih, sebagaimana dalam kitab-kitab
hadis Sunni, misalnya karya imam Bukhari yang kemudian
disebut dengan kitab ‚Sahih Bukhari‛, tetapi penekanan
penyebutan istilah sahih adalah pada mata rantai rawi-
rawinya, bukan pada kitabnya meskipun kemudian secara
otomatis juga kepada kitab-kitabnya. Alasannya adalah karena
yang dimaksud dengan sahih dalam ilmu hadis versi Syi’ah
adalah perawinya terdiri dari Imam Maksum dan yang adil.
Sedangkan hadis-hadis yang termuat di dalam empat kitab
Syi’ah yang muktabar tersebut ada yang terdiri dari hadis
sahih, hadis hasan dan hadis muwassaq.26
25‘Abd al-Ha>di al-Fad{l, Usu>l al-H{adi>s\, h. 77-82.
26‘Abd al-Rah{ma>n Abd Alla>h al-Zar’i, Rija>l al-Syi>’ah Fi> al-Mi>za>n
(Kuwait: Da>r al-Arqm, 1983), h. 22-24.
35
Sedangkan versi yang kedua, menurut S{a>lih{ al-Warda>ni >ada tiga priode; (1)para sahabat menulis hadis yang diperoleh
langsung dari Imam‘Ali>. Di antara sahabat yang terkenal
banyak mendapatkan riwayat hadis tersebut ialah Ibn ‘Abba >s, Salma>n al-Fa>risi>, Abu> Z|arr al-Gifa>ri>, dan Abu> Ra>fi’;(2) pada
masa ta>bi’i >n dan ta>bi’ihim. Pada masa kedua ini, kelompok
Syi’ah semakin banyak sehingga mereka pun banyak mengutip
hadis dari orang yang tidak diketahui dari siapa, karena
saking banyaknya perawi-perawi hadis dari Syi’ah. (3)Imam
Abu> H{ani>fah, Imam Ma>lik, dan Imam Al-Sya>fi’i> semuanya
mengambil hadis dari Ja’far al-S{a>diq yang notabe seorang
Syi’ah. Bahkan salah satu guru Imam al-Bukha>ri> pun dari
golongan Syi’ah.27
Dari beberapa pendapat tersebut, ulama Syi’ah
memiliki keyakinan penuh bahwa ‘Ali bin Abi Talib lah orang
pertama yang mengumpulkan hadis-hadis nabi. Mereka
berkeyakinan bahwa beliau memiliki sekumpulan tulisan-
tulisan yang diramu dari ucapan-ucapan yang didekte langsung
dari nabi kepadanya atau beliau menulisnya ketika beliau
memberikan sebuah khutbah atau menulis perbuatan-
perbuatannya yang diamati.28
Adapun puncak kodifikasi kitab hadis syi’ah adalah
pada masa paska atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n yaitu sekitar abad
keempat hijriyyah. Adapun kitab hadis syi’ah yang muncul
pada masa ini adalah al-Ka>fi karya al-Kulaini> (w. 329 h.), Man la> Yah}d}uruh al-Faqi>h karya Ibn Babawaih (w.381 h.), Tahz\i>b
27S{a>lih{ al-Warda>ni>, ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi’ah..., h.
107-108.
28Lihat dalam kitab,Ah}mad H{a>ris Suh}aymi>, Tawsi>q al-Sunnah
Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah(T.tp.:Da>r al-Sala>m, 2003), h.181.
36
al-Ah}ka>m dan al-Istibs}a>r karya Al-T}u>siy (w. 460 h.), dan Nahj al-Bala>gah karya al-Syari>f al-Rad}liy (w. 406 h.)
29
Kesimpulannya, pada masa nabi sudah ada beberapa
sahabat yang menulis apa-apa yang disampaikan oleh nabi
kepada mereka. ‘Ali> adalah salah satu sahabat yang diyakini
oleh Sunni sebagai salah satu sahabat yang memiliki catatan-
catatan hadis nabi, dan juga diyakini oleh Syi’ah sebagai
Imam yang Maksum memiliki banyak karya yang salah satu di
antaranya adalah koleksi hadis-hadis nabi. Dalam hal ini, dua
golongan tersebut memiliki kesamaan pendapat.
C. Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad Menurut Sunni dan
Syi’ah
Sanad adalah mata rantai orang-orang yang
meriwayatkan hadis dari rawi satu kepada rawi yang lain
sehingga sampai kepada nabi.30
Terkadang, dalam
menyampaikan sebuah hadis nabi berhadapan dengan sahabat
yang jumlah beraneka ragam, mulai dari yang berjumlahnya
sedikit, satu dan sampai tiga lebih dari seorang sahabat, serta
terkadang menyampaikan hadis kepada jumlah sahabat yang
banyak. Oleh karena itu sudah barang tentu, informasi yang
didapat dari jumlah yang relatif sangat banyak lebih
meyakinkan apabila dibandingkan dengan informasi yang
dibawa oleh segelintir orang saja. Hadis yang diriwayatkan
oleh banyak orang kemudian disebut dengan hadis al-Mutawa>tirdan yang hanya diriwayatkan oleh beberapa orang
dengan jumlah yang mudah teridentifikasi disebut dengan
29
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, h.
164.
30Muh}ammad bin Muh}ammad Abu> Syuhbah, al-Wasi>t} Fi> ‘Ulu>m wa
Mus}t}alah} al-H{adi>s \(T.tp.: T.p. t.t.), h. 18.
37
hadis Ah{ad.Lalu kemudian, jika ditinjau dari jumlah sanad
tersebut, dalam kajian ilmu-ilmu hadis baik versi ulama Sunni
dan maupun ulama Syi’ah ditemukan titik kemiripan di
samping juga perbedaan yang cukup mendasar, berikut ini
penjelasannya:
1. Hadis Mutawa>tir dan Ah}a>d Menurut Sunni
Definisi hadis mutawatir telah banyak dirumuskan oleh
para ulama, namun tidak ada perbedaan dalam substansinya.
Abdullah bin Sirajuddin menyimpulkan bahwa hadis
mutawatir adalah:
س ي ج ب ر ذجهغد ثذث ععجع ا مانعبدح ذ ا
انكزة إ راط عه ط ثشش ى ك ازبئىيسزذ ا
31اانسبع :انشؤخ انذس
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang diterima dari sekelompok orang yang mustahil mereka bersepakat untuk berbohong atas Nabi saw dan diriwayatkan secara indrawi, yaitu dengan indra penghilatan dan pendengaran Dari definis di atas, syarat hadis mutawatir ada empat.
Pertama, diriwayatkan oleh banyak periwayat. Kedua, jumlah
periwayat tersebut mustahil melakukan sepakat untuk
berbohong. Ketiga, diriwayatkan oleh banyak periwayat di
setiap tabaqahnya. Keempat, diriwayatkan dengan panca
indra, yaitu pendengaran dan penglihatan.
Hadis mutawatir terbagi dua model. Pertama
mutawatir lafz{iy. Yaitu hadis mutawatir yang disepakat
redaksi – walau pun sepakat secara hukum- dan maknanya.
Contohnya adalah hadis (man kaz|z|ab ‘alayy muta’ammdan).
31
Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b:
Maktabah Darul Falah, 2009), h.. 98.
38
Kedua mutawatir ma’nawiy. Yaitu hadis yang terjadi
perbedaan di kalangan para periwayat hadis tentang lafal dan
maknanya. Contohnya adalah hadis tentang mengangkat
tangan (arab: raf’ al-yad) dalam berdoa. Hadis-hadis tentang
mengangkat tangan ketika berdoa berjumalah kurang lebih 100
riwayat dan diriwayatkan dalam peristiwa-peristiwa yang
berbeda.32
Hadis mutawatir memiliki kedudukan sebagai ilmu
dhoruri, suatu informasi yang tidak bisa ditolak tentang
keberadaannya. Hadis-hadis yang diriwayatkan secara
mutawatir berarti diyakinkan benar berasal dari Nabi saw.
Sedangkan hadis ahad sebagaimana penjelasan Ibnu
Hajar adalah:
ج ش ذ خ خ فاناد يب:انهغ ص ش ذ ش خ ف،اد
الح ع ن ى يب:الصط زار ش ش شط ج ان33
Hadis ahad menurut bahasa adalah sesuatu yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis adalah hadi yang tidak memenuhi persyaratan hadis mutawar. Menurut Ibnu Hajar, hadis ahad terbagi menjadi dua
bagian. Pertama yang maqbu>l, yaitu periwayatannya diterima
dan ada keharusan mengamalkannya. Kedua mardu>d, yaitu
periwayatannya ditolak dan tidak perlu mengamalkannya.
32
Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b:
Maktabah Darul Falah, 2009), h.. 99.
33Ibnu Hajar, Nuzhah al-Naz}ar fi Tawd}i>h} Nukhbah al-fikar,
(Riyadh: Makatabh Al-Malak, 2001), h.. 54.
39
2. Hadis Mutawatir dan Ahad Menurut Syi’ah
Hadis Mutawa>tir dalam kajian paham Syi’ah ada
banyak ragamnya. Namun definisi tersebut pada dasarnya
memiliki makna yang sama. Menurut Hasan Shadr, hadis
mutawatir adalah:
راطإىإي ا ذ د فكمطجمخ سالسه فبثهغذ
34ش زار عهانكزةف
Hadis mutawatir adalah hadis yang jika rantai periwayatannya mencapai batas jumlah yang dipercaya tidak sepakat berbohong. Berdasarkan definisi di atas, konsep hadis mutawatir
menurut syi’ah sama sebagaimana definisi ulama Sunni
sebelumnya. Hanya saja dalam definis syi’ah tidak disisipkan
perihal keharusan diriwayatkan dengan panca indra,
pendengaran atau penglihatan. Sebagaimana pandangan ulama
Sunni, menurut Hasan Shadr hadis mutawatir juga terbagi dua.
Yaitu lafz}iy dan ma’nawiy. Hasan Shadr juga mencontohkan
bahwa di antara hadis mutawatir yang disepakati oleh seluruh
ulama adalah hadis man kaz\z\ab ‘alayya. Sedangkan hadis
mutawatir menurut madzhab syi’ah adalah hadis Ghadir Khum
dan hadis al-manzilah (kedudukan Ali).35
Sedangkan hadis ahad menurut Hasan Shadar,
sebagaimana mengutip ulama terdahulunya adalah:
36شد ث اك ار س ذ هل شساء انزار دذغ جه بنى ي
34
Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy,
t.th.), h. 99
35 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 100
36 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 279
40
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah periwayat hadisnya tidak mencapai pada batas mutawatir. Baik periwayatnya berjumlah sedikit atau pun banyak.
Adapun kedudukan hadis ahad dalam pendapat Hasan
ada yang bersifat ma’lu>m al-s}idqi (kebenarannya bersifat
pasti), ma’lu>m al-kaz|ib (kebohongannya bersifat pasti),
maz}nu>n al-sidq (kebernarnnya bersifat dugaan), maz|nu>n al-kaz|ib (kebohongannya bersifat dugaan). Secara umum, hadis
ahad, sebagaimana dalam tradisi Sunni, para ulama Syi’ah
mengamalkan informasi yang terkandung di dalamnya.37
D. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas Periwayat
Menurut Sunni dan Syi’ah
1. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas
Periwayat Menurut Sunni
Abdullah Sirajuddin, sebagaimana ulama lainnya,
melakukan klasifikasi hadis ke dua bagian. Pertama populer
dengan istilah jihah ta’addud al-ra>wi> (aspek kuantitas atau
jumlah periwayat hadis). Kedua jihah s}ifa>t al-asa>ni>d (aspek
kualitas sanad hadis).38
Dari aspek kuantitas, hadis terbadi
menjadi tiga macam. Yaitu hadis masyhu>r, hadis ‘azi >z, dan
hadis gari>b.
37
Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 100.
38 Abdullah Sirajuddin, Syarh} al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyyah, (H.b:
Maktabah Darul Falah, 2009), h. 36.
41
Tentang hadis masyhu>r, al-Suyu>t}i> menjelaskan
bahwa:
ي ثأكثش يذصسح قش ط ن يبانشس اث نى,
ارشدذجهغ ,انز دثزنكس 39نض
Hadis Masyhu>r adalah hadis yang memiliki jalan-jalan periwayatan lebih dari dua, tetapi jalan periwayatan tersebut tidak sampai pada batas mutawatir. Disebut masyhu>r karena dengan jelas bisa diketahui keberadaannya. Tentang hadis ‘azi>z, Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>
memberikan definisi yaitu:
سانثالثخأاثبساعافشديبانعضض
كفمذيئخانثالثخأالثزعرنكثعذ
40انغشتعفشديشساعضضاانذذث
Hadis ‘azi>z adalah hadis yang periwayatnya berjumlah dua atau tiga walaupun setelahnya diriwayatkan oleh seratus periwayat. Terkadang ada sebuah hadis ‘azi>z sekaligus masyhu>r tetapi juga disebut gharib karena diriwayatkan oleh periwayat gharib di t}abaqah lainnya.
39
Al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi>, jld. 2, (Beirut: Maktabah Al-Kaus|ar,
1415 h.) h. 632.
40Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa’id al-Tah}di>s| min Funu>n Mus}t}alah}
al-H}adi>s|, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2004), h. 183.
42
Adapun hadis ghari>b menurut Jama>l al-Di>n al-Qa>simi> adalah
سابي شت انغ غش ش فهىثشاز يفشداسا
أ 41ئسبد أ ز ي فثضبدح فشد ا
Hadis ghari>b adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang periwayat yang menyendiri dalam periwayatannya, dan periwayat lainnya juga tidak meriwayatkan, atau menyendiri dalam hal memberi tambahan dalam matan dan sanad.
2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kuantitas
Periwayat Menurut Syi’ah
Hasan Shadr membagai hadis berdasarkan kuantitas
periwayat hadis kepada empat jenis. Yaitu mustafidh,
masyhur, aziz, dan gharib.
Tentang hadis Mustafidh Hasan Shadr menjelaskan:
42ض ف ز س ف ثالثخ ي ذ ص أ خ ج ر ش ي مفك ه م فا
Maka jika diriwayatkan oleh lebih dari tiga periwayat di setiap tabaqah maka itu adalah hadis mustafidh.
Tentang hadis masyhur:
فمبدافثعض ج انط فكمعثالثخ انشاح صاد ئ ب
43انشس
41
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Qawa’id al-Tah}di>s| min Funu>n Mus}t}alah}
al-H}adi>s|, h. 184.
42Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, (t.kot.: Mu’min Quraisy,
t.th.), h. 158.
43Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 158.
43
Dan jika periwayat lebih lebih dari tiga di setiap tabaqah atau sebagiannya maka itu adalah hadis masyhur.
Hadis Gari>b adalah:
س فشد يبا ضبدح ث ا 44ذ اانسز فان
Hadis yang periwayatnya menyendiri baik dalam rantai periwayatan atau pun dalam matannya.
Adapun hadis ‘aziz adalah:
ااث يبس يع ش انذذث ع ج عكمي اثالثخ ب
45ط ج ض ذانز ع ن
Hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga periwayat dari setiap yang mengumpulkan hadis dan meriwayatkan darinya atas pertimbangan ‘ada>lah dan dabtnya.
E. Klasifikasi Hadis Ah}a>d Berdasarkan Kualitas Hadis
Menurut Sunni dan Syi’ah
1. Klasifikasi Hadis Ah{a>d Berdasarkan Kualitas Hadis
Menurut Sunni
Sunni membagi hadis Ah{adkepada tiga macam bagian.
Yakni, hadis sahih, hasam dan da’if. Dari ketiga macam
tersebut, dua yang pertama disebut dapat diterima sebagai
hujjah atau argumentasi atau disebut dengan al-Khabar al-Maqbu>l, dan sedangkan hadis Da’if masih diperdebatkan oleh
banyak kalangan ulama, tetapi pendapat mayoritas yang
dipegang oleh mereka adalah tertolaknya sebagai hujjah
44
Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 160.
45 Hasan Shadr, Niha>yah al-Dira>yah, h. 164.
44
kecuali dalamfada>’il al-a’ma>l (keutamaan amal). Ia disebut
dengan al-Khabar al-Mardu>d.46Berikut tentang tiga pembagian
hadis Ah{adtersebut sebagaimana berikut:
a. Hadis S{ah{i>h} adalah:
ذخ انصذث انذ بأي انذذثف: م ص ز انزي،ذ س ان
ب،ز ي ئنىبثظ انضلذ انع ع انضبثظلذ انع م م ث بد ئس
.العهي لا،ر شبكل47
Adapun hadis s}ah}i>h} adalah hadis musnad yang sanadnya bersambung dikutip dari rawi yang adil dan d}abit}} sampai kepada seluruh tingkatannya dan tidak syaz} serta tidak ada illatnya.
Melalui definisi tersebut, maka bisa disimpulkan
bahwa syarat hadis Sahih ada empat macam. Pertama, sanadnya bersambung. Kedua, perawinya bersifat adil. Artinya, rawi tersebut adalah sesosok orang yang taat
melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-
larangan Allah s.w.t. Ketiga, selain harus memiliki sifat
adil juga harus dabit. Dabit disini yang dimaksud adalah
kualitas ingatannya dari apa-apa yang dihafalkannya.
Bisa juga dabit ini disebut dengan cerdas, baik cerdas
dalam hafalan dan maupun tulisan. Keempat, matan
hadisnya tidak mengandung syaz. Yaitu, riwayat yang
dibawanya tidak bertentangan dengan riwayat lain yang
dibawa oleh orang-orang yang lebih berkualitas
kesiqahannya, atau tidak bertentangan dengan dalil lain
yang lebih argumentati. Karena apabila bertentangan
dengan apa yang diriwayatkan oleh orang-orang
46Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 44-77.
47Ibnu S}ala>h, ‘Ulu>m al-H}adi>s|, (Beirut: Darul Fikr, t.th. ), h. 11.
45
berkualitas dan bersambung sanadnya sehingga hadis itu
dapat dikatakan shahih sanadnya, kalau kandungan
hadisnya (matannya) ternyata syadz, maka hadis itu
menjadi tidak Sahih.Kelima, matanya tidak mengandung
illat. Maksudnya, tidak cacat, seperti, tidak ada
pengelabuhan dengan cara menyambung sanad hadis
yang sebenarnya memang tidak bersambung, atau
mengatasnamakan dari nabi, padahal sebenarnya bukan
berasal dari nabi. Kesimpulannya, ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yaitu sanadnya harus bersambung, adil
dan memiliki kualitas ingatan yang tajam, dan matannya
tidak mengalami syaz dan illat. Perlu dikatahui, bahwa para ulama hadis juga
membagi hadis Sahih pada dua bagian, yaitu S|a>h{i>h{ li Z|a>tihi> dan S|a>h{i>h{ li Gairihi>, perbedaan antara keduanya
terletak pada segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada
S|a>h{i>h{ li Z|a>tihi> ingatan perawinya sempurba, sedang
pada S|a>h{i>h{ li gayrihi, ingatan perawinya kurang
sempurna. S|a>h{i>h{ li Gayrihi tidak lain merupakan bentuk
dari hadis H{asan li Z|a>tihi,―sebab tidak memenuhi
secara sempurna syarat-syarat suatu hadis dapat diterima
kehujjaanya―karena predikat keshahihannya diraih
melalui sanad pendukung yang lain. Para ulama hadis
ulama fiqih dan usul fiqih sepakat menjadikan hadis ini
sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.48
b. Hadis H}asan
Definisi dari hadis Hasan terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Namun demikian, definisi
yang banyak dipilih adalah:
48Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 64.
46
عضجط فصمسذثممانعذلانزيخ رايب
49خ هلع ر زش غش ئنىيزبي ه ث ي
Hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan dari orang yang adil, kurang sedikit kedabitannya, tidak ada keganjilan dan illatnya.
Perlu dicatat, bahwa status kualitas Hadis hasan
tepat di bawah hadis sahih. Kriterianya pun hampir sama
dengan hadis Hasan. Hanya saja, perbedaanya terletak
pada sisi kedhabitan rawinya, baik ingatan atau daya
hafalannya kurang sempurna, tidak sebagaimana dalam
hadis Sahih. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh
perawinya harus sempurna, sedangkan dalam hadis
hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding
dengan hadits shahih.50
Sebagaimana hadis Sahih, hadis Hasan juga
masih terbagi menjadi dua macam pembagian, yaitu
disebut dengan H}asan li Z|a>tihi dan H{asan li Gayrihi. Yang dimaksud dengan H}asan li Z|a>tihiadalah hadis yang
dengan sendirinya telah memenuhi syarat hadis Hasan.
Adapun yang dimaksud denganH{asan li Gayrihiyaitu
hadis Da’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih
dari satu), dan sebab-sebab keda’ifannya bukan karena
perawinya fasik atau pendusta.51
c. Hadis D}a’i>f
49
Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 58.
50Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amazon, 2010)h.
159.
51Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 64-66.
47
ط ش ش ي ط ش ش ذ م ف ث س انذ فخ ص ع ج بنى ي 52
Yaitu hadis yang tidak terkumpul di dalamnya sifat hadis hasan, karena tidak ada satu pun syarat dari syarat-syaratnya yang tidak terpenuhi. Jika hadis dhaif adalah hadis yang tidak
memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadis Hasan
dan Sahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (gayr muttasil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabit,
terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz)
dan terjadinya cacat yang tersembunyi (illat) pada sanad
atau matan.53
2. Klasifikasi Hadis Ahad Berdasarkan Kualitas Hadis
Menurut Syi’ah
Di atas telah penulis paparkan penjelasan tentang
kualitas hadisAh}ad perspektif Sunni dan klasifikasinya, maka
sebagai perbadingannya, penulis di sini akan memaparkan
klasifikasi menurut Syi’ah. Menurut Abu> al-Fad{l H{a>fidaya>n al-Ba>bali> dalam karyanya, Risa>lah Fi Dira>yah al-H{adi>s\:, menjelaskan bahwa hadisAh{ad menurut kelompok Syi’ah
terbagi menjadi empat tingkatan, yaitu hadis Sahih, Hasan,
Muwassaq, dan Da’if. Tiga awal tersebut dapat diamalkan
atau dijadikan hujjah, karena kualitas sanadnya kuat.
Sedangkan yang disebut belakangan, hadis Daif tertolak
karena lemahnya kualitas sanadanya. Empat tingkatan ini pada
hakikatnya tidak lepas memperhatikan dua komponen; atas
sanad (eksternal) dan matan (internal).54
52
Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n,Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s}, h. 73.
53Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 164.
54Abu> al-Fad{l H{a>fidaya>n al-Ba>balayi>,Risa>lah Fi Dira>yah al-H{adi>s\
(Da>r al-H{adi>s\ Li T{aba>h’ah wa al-Nasyr, 2000), juz. 1, h. 125.
48
Sementara itu, sebab-sebab pembagian hadis menjadi
empat macam tersebut ada banyak alasan, namun sebab yang
paling mendasar di antara beberapa sebab itu adalah antara
lain; karena rentang masa kemunculan hadis sudah sangat
jauh maka perlu membuat klasifikasi istilah sahih dengan yang
tidak; bercampurnya riwayat-riwayat hadis dari yang
muktabarah dengan yang tidak; dan kesamarannya riwayat-
riwayat yang diulang-ulang; ulama-ulama kontemporer
membutuhkan kaidah-kaidah yang menjelaskan perbedaan
antara hadis yang sahih dengan yang tidak. Adapun peletak
pertama yang membuat klasifikasi hadis menjadi empat
macam ada beberapa perbedaan ulama, ada yang mengatakan
adalah Jama>l al-Di>n Ah}mad bin Mu>sa> bin Ja’far bin T {a>wu>s (w.
664). Namun ada pula yang mengatakan adalah muridnya,
yaitu al-‘Alla>mah al-H{asan bin Yu>suf al-Halli. Meskipun
masih diperselisihkan siapa peletak pertama, tetapi yang jelas
klasifikasi hadis tersebut dikenal pada Abad ke tujuh.55
Empat macam atau tingkatan hadis menurut Syi’ah
tersebut di atas sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
a. Hadis S}ah}i>h} ialah
صمسذ رايب‚ عيثهبي لاإلي انعذ م م ث و ص ع ئنىان
,‛انطجمبدجعف 56
hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang.
55Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\
‘Inda al-Ima>miyyah (Lebanon: Da>r al-Ra>fid}i>n, 2013), h. 92-96.
56 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\
, h. 92-96.
49
b. Hadis H}asan ialah:
عهعذانزص غش ي ذح ي ثايبي سذ صم رايب‚
انجبليسجبل جأفثعضعبيعك شار فجعي
57خذانص‛,
Hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang terpuji dari tetapi tidak ada nash yang jelas tentang ‘ada>lahnya, dan periwayat tersebut ada di semua atau sebagian tabaqahnya.
c. Hadis al-Muwas|s|aq atau juga bisa disebut dengan al-Qawiy, ialah
د ‚ ميعث األصذبةعهىر صي فطشم خم يب
,‛فع عهىض مثبل ز نىش مذر ع سبد ف 58
hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dengan orang yang dinyatakan siqah oleh para pengikut Syi’ah imamiyah, namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu kelompok yang berbeda dengan imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah dalam semua atau sebagian periwayat, sedangkan lainnya termasuk periwayat yang sahih.
Ulama yang memperbolehkan mengamalkan hadis
Ah{ad secara paten juga memperbolehkan mengamalkan hadis
Sahih selagi tidak ada syadz dan bertentangan dengan al-
Qur’an. Namun eksistensi dari pengamalan hadis Hasan dan
57
Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-
H{adi>s\, h. 92-96.
58 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-
H{adi>s\, h. 92-96.
50
hadis al-Muwassaq terjadi perbedaan pendapat antara ulama.
Menurut Abu> al-Fad{l H{afiz\iya>n al-Ba>buli>dalam
karyanya,Risa>lah Fi> Diraya>h al-H{adi>s|,ada ulama yang
mengamalkan hadis Hasan secara mutlak, tetapi ada pula yang
menolaknya secara mutlak, dan yang lain ulama yang lain
memisahkan keduanya. Begitu pula hadis al-Muwassaq, ada
ulama yang memperlakukannya sebagaimana hadis Hasan.59
d. Hadis D}a’i>f, ialah
ج يبل ‚ ,‛انثالثخ دذ أ شط عفش ز60
Hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas.
Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat
sebab fasik, atau orang yang tidak diketahui kondisinya,
atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti orang yang
memalsukan hadis.
Adapun hadis-hadis Daif hukumnya bukan
berarti tidak dapat diamalkan. Akan tetapi status hadis
tersebut dapat disejajarkan dengan hadis Sahih apabila
hadis tersebut populer dan sesuai dengan ajaran-ajaran
Syi’ah. Misalnya tentang masalah haji, di dalamnya
tidak hanya dibahas masalah manasik haji keBayt Alla>h,
melainkan memasukkan hal-hal lain seperti ziarah ke
makam Nabi Muh{ammad dan para imam mereka.61
59Abu> al-Fad}l H}afiz\iya>n al-Ba>buli>, Risa>lah Fi> Diraya>h al-H}adi>s\,
juz. 1, h. 126.
60 Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\
‘Inda al-Ima>miyyah .....h. 92-96.
61Abu> al-Fad}l H}afiz\iya>n al-Ba>buli>, Risa>lah Fi> Diraya>h al-H}adi>s\,
juz. 1, h. 126.
51
Di kalangan ulama syi’ah sendiri, pada dasarnya
klasifikasi hadis berdasarkan kualitasnya menjadi s}ah}i>h},
h}asan, muwas|s|aq, dan d}a’i>f adalah hal yang bersifat
kontroversial. Sebagaimana penjelasan-penjelasan di
atas, Hasan Shadr adalah salah satu ulama yang
berpendapat tentang adanya klasifikasi hadis. Dalam
pandangan ulama syi’ah lainnya, tidak ada pembagian
hadis menjadi empat bagian sebagaimana penjelasan di
atas. Pendapat ini diperjuangkan oleh ulama syi’ah salah
satunya bernama Yusuf Al-Bahrani yang meninggal pada
tahun 1186 h. Dalam kitabnya, dengan tegas dia
menyatakan bahwa pembagian istilah hadis menjadi
empat nama adalah pendapat yang batil.62
Tidak ada
pembagian hadis tersebut dikembangkan oleh ulama
syi’ah dari kalangan akhba>riyyun. Sedangkan yang
setuju dengan pembagian hadis berasal dari kalangan
ushulilyyun, seperti Hasan Shadr.
F. Perbedaan Sunni dan Syi’ah tentang Standarisasi
Kesahihan Hadis
Pada hakikatnya sub-bab ini merupakan kelanjutan dari
penjelasan yang lalu. Hanya saja keterangan yang akan
dibahas di dalam sub bab ini lebih menelisik rincian-rincian
dari standar kesahihan hadis baik yang ditinjau dari kajian
golongan Sunni dan maupun menurut Syi’ah. Sejauh
pembacaan penulis, selain ditemukan ada beberapa perbedaan
juga ternyata ada beberapa aspek kemiripan di antara kedua
golongan Islam tersebut. Dalam konteks kali ini,kemiripannya
adalah bahwa dua golongan tersebut sama-sama
mengharuskan sanad dari sebuah hadis bersambung (ittis}a>l al-
62
Yusuf Al-Bahrani, al-H}ada>’iq al-Nad}irah, (Beirut: Darul Kutub
Islamiyyah, 1985) h.. 65.
52
sanad), Sunni mengharuskan bersambung sampai kepada nabi.
Namun menurut Syi’ah mengharuskan bersambung kepada
nabi atau imam yang maksum, selain itu, dua golongan
tersebut sama-sama mengharuskan seorang rawi memiliki sifat
adil dan d}abt}. Sedangkan perbedaanya, Sunni mengharuskan
sebuah hadis terhindar dari sya>z\ dan ‘illat, tetapi Syi’ah tidak
memasukkan keduanya ke dalam standarisasi kesahihan hadis,
karena keduanya sudah terkandung di dalam pengertian adil.
Penjelasannya sebagaimana berikut ini:
1. Ketersambungan sanad (ittis}a>l al-sanad). Ulama Sunni tidak sama dalam memahami apa yang
dimaksud dengan bersambungnya sanad, ada yang mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan bersambung sanad adalah
apabila periwayat satu dengan periwayat berikutnya betul-
betul serah-terima hadis (tah}aqquq al-liqa>’). Menurut Imam
Suyuti, Imam Al-Bukha>ri mensyaratkan nyatanya pertemuan
antara periwayat hadis dengan gurunya (al-sima>’ wa al-liqa>’) dan tidak mencukupkan sezaman (al-mu’a>s}arah) dan
pertemuan yang sifatnya masih dugaan (imka>n al-liqa>’)63
Jika di atas adalah kajian standar kesahihan sanad
menurut golongan Sunni, namun standar periwayatan hadis
s}ah}i>h} dari golongan Syi’ah, mengharuskan dari kalangan imam
yang maksum. Posisi ‘Ali> dan Imam Ma’sum sama dengan
Nabi Muh{ammad s.a.w.64
Dengan kata lain, para ulama Syi’ah
dalam kajian sanad telah memberikan kriteria-kriteria sebagai
63
Al-Suyuti, Tadri>b al-Ra>wi>, jld. I, (Beirut: Al-Kautsar, 1415 h.),
h.. 69.
64Muh{ammad Jawa>d Ka>d}im, al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\
..., h. 97.Lihat juga dalam keterangan, Muhamad Abu> Zahra>’, al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 425-
426.
53
periwayat hadis. Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi
sebagai seorang rawi agar periwayatannya dapat diterima,
yaitu; sanadnya bersambung kepada imam yang imam
maksumtanpa ada keterputusan di dalamnya,seluruh tingkatan
dari seluruh perawi hadis harus dari kalangan Syi’ah
Imamiyah, dan yang terkahirperawinya bersifat adil.65
Dalam standar kesahihan sebuah hadis, ulama-ulama
Syi’ah menilai periwayat selain Ja’fariyah sebagai orang fasik,
sehingga riwayatnya dinyatakan lemah atau daifyang tidak
boleh diterima, begitu juga tidak diterima riwayat dari selain
Ja’fariyah kecuali orang yang dinyatakan siqah oleh mereka.
Atas dasar penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa mereka
menolak hadis-hadis Sahih dari tiga khulafa al-Rasyidin (Abu
Bakar, Umar, dan Usman) dan sahabat yang lain, tabiin, serta
para imam ahli hadis dan fuqaha. Alasan logisnya, karena
riwayat-riwayat sahih yang di dalam sanadnya terdapat para
sahabat senior dan para imam yang amanah, tetapi tidak
percaya dengan akidah dua belas imam, maka riwayat-riwayat
tersebut dinyatakan daif oleh Syi’ah.
Ah}mad H{a>ris Suhaymi> dalam karyanya; Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah, menjelaskan bahwa
kajian Syi’ah tentang sanad, ketersambungan dan
keterputusannya, pada hakikatnya bertaqlid atau mengikuti
65Abu> Zahrah mengutip pendapat Syaikh H}asan Zaynuddi>n dalam
kitabnya Ma’a>lim al-Di>n, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis
sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung dengan yang ma’s}u>m, diriwayatkan oleh periwayat yang adildan kedabitannya pada seluruh
tingkatannya. Lihat Muhamad Abu> Zahra>’, al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu (Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 425-426.
54
kepada kajian ulama Sunni.66
Hanya saja Syi’ah tidak
mengambil periwayatan sebuah hadis dari kalangan sahabat
pada umumnya, karena mereka memiliki kriteria khusus siapa
yang berhak disebut dengan sahabat. Oleh karena itu, tidak
semua orang yang dianggap sahabat oleh kalangan ulama
Sunni adalah sahabat oleh kalangan Syi’ah.67
Namun demikian,
sanad Syi’ah Imamiyah lebih sahih dari pada sanad Sunni.
Karena mereka tidak mengambil sebuah riwayat kecuali dari
orang s|iqah yang diambil dari imam-imam mereka yang
langsung bersambung kepada kakeknya, nabi, dari Malaikat
Jibril yang datangnya dari Allah s.w.t.68
2. Kualitas intelektual rawi (d}abt} al-ruwa>h). Tidak ada perbedaan antara ulama Sunni dan Syi’ah
mengenai arti dari d}abt} al-ruwa>h. Mereka sama-sama
mengartikannya dengan rawi yang memiliki kekuatan
hafalannya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan
saja sesuai kehendaknya sendiri, atau arti yang lain ialah
seorang rawimampu memahami pembicaraan sebagaimana
mestinya, dan seketika itu dia langsung hafal (ingat) dengan
apa yang didenger dan mampu menyampaikannya sesuai dan
sangat persis dengan yang didengarkan itu.69
Adapun
66Ah}mad H{a>ris Suhaymi,Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-
Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah (T.tp.: Da>r al-Sala>m, 2003), h. 180.
67S|a>lih} al-Wirda>ni>, ‘Aqa>’id al-Sunnah wa ‘Aqa>’id al-Syi>’ah, h.
110.
68Ah}mad H{a>ris Suhaimi,Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-
Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah..., h. 181.
69Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis..., h.140.
Bandingkan dengan, ‘Abd Alla>h al-Ma>miqa>ti>, Miqba>s al-Hida>yah Fi> ‘Ilm al-Dira>yah (T.tp.: Naka>risy, 2000), h. 334-335.
55
menentukan kualitas ke-d}abt}-an seorang rawi, setidaknya bisa
diketahui dari; (1) didapat dari kesaksian atau penjelasan
ulama; (2) berdasarkan kesesuain riwayatnya dengan riwayat
orang lain yang memiliki ke-d}abt}-an maksimal; (3) kalau
hanya mengalami satu kesalahan, maka bisa disebut sebagai
rawi yang dabit. Akan tetapi tidak disebut sebagai rawi dabit
apabila selalu mengalami kesalahan.70
3. Periwayat yang adil (‘adalah al-ruwa>h).
Maksud adil pada syarat periwayat yang ketiga ini
masih menyisakan perselisihan pendapat ulama Sunni. Ada
yang memberi makna adil dengan beragama Islam, balig,
berakal, takwa, memelihara muru’ah, teguh dalam beragama,
tidak berbuat dosa besar, misalnya syirik, tidak berbuat dosa
kecil, tidak berbuat bid’ah, maksiat. Pada intinya, dua
golongan ini memahami ‘adl dengan ketaatan seorang
periwayat terhadap ajaran-ajaran agama Islam.
4. Tentang persyaratan sya>z| dan ‘illah
Kelompok Sunni sebagaimana dalam definis hadis
sah}i>h-}nya, meletakan persyarat dua terakhir ini dengan jelas
dan menjadi pertimbangan penting dalam seleksi periwayatan
hadis. Sedangkan dalam kajian Syi’ah dua persyaratan terakhir
tidak tertulis dalam definisi hadis s}ah}i>h}-nya.
70
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis..., h. 142.
56
57
BAB III
RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN HADIS JA’FAR
SUBHANI
A. Biografi dan Perlawatan Ilmiah1
Ja’far Subhani adalah seorang pemuka agama yang
selama bertahun-tahun mengajar dan mendidik murid-murid,
menyampaikan tuntunan-tuntunan agama dalam bentuk tabli>g,
meneliti, menulis, dan juga menerjemahkan buku-buku ilmiah.
Semua itu hanyalah contoh kegiatan dan pengabdian yang
berharga dari pemikir besar Islam, ulama kontemporer, faqi>h
yang juga pakar di bidang Us}u>l al-Fiqh, mufassir yang juga
ahli di bidang Ilmu Rijal, teolog yang juga sastrawan, dan
filsuf yang juga sejarawan ini. Selanjutnya kita coba
menengok sedikit dari riwayat hidup dia.
Aya>tulla>h Ja’far Subhani lahir pada tanggal 28 bulan
Syawal tahun 1347 hijriah. Dia dilahirkan di kota Tabriz
dalam keluarga yang terhormat dan terkenal dengan ilmu,
takwa dan kemuliaan. Kedua orang tuanya adalah seorang
yang zuhud dan terkemuka, yaitu Aya>tulla>h Muhammad
Husein Subhani Khiyabani. Dia adalah salah satu ulama dari
1 Sejauh penelusuran, penulis tidak menemukan buku atau kitab
khusus yang menjelaskan perjalanan hidup Ja’far Subhani secara lengkap.
Oleh karena itu, sementara penulis mengacu pada tulisan yang tersebar di
internet. Lihat Nasiruddin Anshari Qummi,
‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november
2017.
58
kota Tabriz yang aktif mengajar, menulis, memberi petunjuk
kepada masyarakat dan mendidik murid-murid lebih dari lima
puluh tahun lamanya.
Setelah menyelesaikan sekolah dasar, Ja’far Subhani
mempelajari teks-teks sastra persia di sekolah Mirza Mahmud
Fadhil putra Fadhil Maroghi yang merupakan salah satu murid
Syekh Anshari. Di sana dia mempelejarai buku-buku seperti
Gulestan, Bustan, Ta>ri>kh al-Mu’jam, Nis}ab al-S}ibya>n, Abwa>b al-Jina>n dan lain sebagainya. Kemudian pada usianya yang ke
empat belas tahun (tepatnya pada tahun 1361 h.) dia
melanjutkan pendidikannya di Madrasah Ilmiah Thalibiah dan
menyelesaikan ilmu-ilmu pengantar dan tingkat-tingkat tinggi
atau yang biasa dikenal dengan sutuh. Dia belajar ilmu sastra
dari Syekh Hasan Nahwi dan Syekh Ali Kbar Nahwi, dan dia
belajar kitab Mut}awwal, Mantiq Manz}umah, dan Syarh{ al-Lum’ah dari Mirza Muhammad Ali Mudaris Khiyabani penulis
buku Raih>anah al-Adab (1373 h). Jenjang ini berlanjut selama
lima tahun, yakni sampai tahun 1365 h.2
Di tengah kegiatan belajar dan mengajar serta diskusi,
Ja’far Subhani juga rajin mengarang, di antara karya tulis pada
periode itu –yakni ketika dia masih berusia tujuh belas tahun.
adalah dua buku yaitu Mi’yar al-Fikr, buku tentang logika dan
Muhaz|z>ab al-Bala>gah, buku tentang Ilmu Ma’a>ni, Baya>n dan Badi >’.3
2Nasiruddin Anshari Qummi,
‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november
2017.
3Nasiruddin Anshari Qummi,
‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november
2017.
59
Pergolakan di Azarbaijan dan munculnya kelompok
demokrat yang dipimpin oleh Pisyehwar dan Ghulam serta
pembentukan pemerintah yang tergantung kepada Uni Soviet
menyempitkan ruang kegiatan belajar dan mengajar di sana,
itulah sebabnya terpaksa Ja’far Subhani mencari ganti
lingkungan pendidikan, dan akhirnya dia pergi menuju Hauzah
Ilmiah Qom. Kemudian, dia memasuki kota Qom, kemudian
dia menyempurnakan pendidikan tingkat-tingkat tinggi yang
tidak sempat dia tuntaskan di Tabriz. Dia mempelajari sisa
buku Fara>’id} al-Us}u>l dari Aya>tulla>h Haj Mirza Muhammad
Mujahidi Tabrizi (1327-1379 h.) dan Haj Mirza Ahmad Kafi
(1318-1412 h.), di samping itu dia juga mempelajari buku
Kifa>yah al-Us}u>l dari Aya>tulla>h Uzma Gulpaigani (1414 h.).4
Setelah menyelesaikan tingkat-tingkat tinggi
pendidikan pada tahun 1369 h. Ja’far Subhani memulai
pelajaran-pelajaran kha>rij al-fiqh (kajian fiqih tingkat tinggi)
dan Us}ul al-Fiqh kepada Aya>tulla>h Uzma Bruwjurdi (1292-
1380 h.) yang mengajarkan kitab al-sholah dan Aya>tulla>h Haj
Sayid Muhammad Hujjat Kuhkamari (1301-1372 hq.) yang
pada waktu itu mengajarkan kitab al-bai’. Aya>tulla>h
Bruwjurdi memperkenalkan murid-muridnya dengan pendapat-
pendapat ulama terdahulu, fatwa-fatwa Ahli Sunnah,
penelitian sanad hadis, pemahaman makna hadis, dan kajian-
kajian tentang akar permasalahan. Adapun Aya>tulla>h Hujjah,
selain pelajaran-pelajaran yang dia sampaikan dia memiliki
keistimewaan tersendiri di dalam hal klasifikasi pembahasan
dan juga penyimpulan. Selain itu dia juga belajar kepada
Aya>tulla>h al-Uz}ma> Imam Khomaini (1320-1409 h.) yang pada
4 Nasiruddin Anshari Qummi,
‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november
2017.
60
waktu itu mengajarkan Us}ul al-Fiqh bab istis}ha>b. Ja’far
Subhani menghadiri pelajaran Us}ul al-Fiqh Imam Khomaini
sampai akhir periode pertama dan sejak awal dia sudah berniat
untuk mencatat semua pelajaran itu serta membukukannya.
Pelajaran ini berlangsung selama tujuh tahun. Pada tahun itu
pula catatan-catatan Ja’far Subhani tentang pelajaran ushul
fikih Imam Khomaini dicetak.
Di samping belajar ilmu fikih dan Us}ul al-Fiqh, Ja’far
Subhani juga rajin mempelajari filsafat, teologi dan tafsir al-
Qur’an. Sejak usia remaja, dia giat sekali mempelajari ilmu-
ilmu akal dan dia menghormati sekali tokoh-tokoh pemikir,
guru-guru logika dan ilmu akal. Itulah sebabnya di kota Tabriz
dia mendatangi Aya>tulla>h Haj Sayid Muhammad Bad Kubeh’i
(1390 h.) dan belajar buku Syarh Qowa’id al-Aqo’id darinya.
Setelah itu, dia menyempurnakan pelajaran-pelajaran itu
dengan duduk di bangku pelajaran logika dan filsafat
Aya>tulla>h Allamah Sayid Muhammad Husein Thaba’ Thaba’i
(1402 h.). Dia juga belajar Syarh} Manz}u>mah dan Asfa>r Arba’ah kepada Alla>mah Thaba’ Thaba’i, selain itu dia juga
rutin menghadiri acara malam kamis dan malam jum’at
bersama Allamah yang diisi dengan kajian kritis terhadap
filsafat materialisme, dan buku ‚Ushule Falsafeh wa Rawesye Realisme‛ yang ditulis oleh Syahid Mut}ahhari> adalah hasil
dari pertemuan-pertemuan itu. Kemudian berdasarkan
permintaan Aya>tulla>h Thaba’ Thaba’i, Ja’far Subhani
menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa arab, dan jilid
pertamanya dicetak dengan rekomendasi langsung dari
Allamah.5
5Nasiruddin Anshari Qummi,
‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november
2017.
61
Aya>tulla>h Ja’far Subhani sudah mulai mengajar ilmu-
ilmu pengantar ketika dia masih dalam proses belajar –pada
tahun 1362 h. kemudian dia datang ke Hauzah Ilmiah Qom
pada usia 18 tahun dan tetap rutin mengajar, tak lama
kemudian dia pun mulai mengajar tingkat-tingkat tinggi.
Selama hampir tujuh tahun dia mengajarkan kitab Mut}awwal, berkali-kali dia mengajarkan kitab Ma’alim dan Lum’ah, tujuh
kali kitab Fara>’id} karya Syekh Anshari –selama 21 tahun–,
berkali-kali kitab Maka>sib dan Kifa>yah, dan lima kali dia telah
mengajarkan kitab Syarh} Manz}u>mah –selama 10 tahun–.
Kemudian pada tahun 1394 h. dia diminta oleh para murid dan
dimotivasi oleh para ulama untuk membuka pelajaran kha>rij al-fiqh dan Us}ul al-Fiqh, dan \pelajaran kha>rij tersebut masih
berlanjut sampai sekarang. Adapun pelajaran kha>rij Us}u>l al-Fiqh terhitung sebagai pelajaran yang sangat penting dan
salah satu keistimewaannya adalah setiap hari pelajaran itu
dicatat dan dicetak di bawah pantauan dia. Murid yang hadir
di pelajaran kha>rij dia berjumlah lebih dari enam ratus orang.6
Sampai saat ini, Aya>tulla>h Ja’far Subhani telah
menyelesaikan pengajaran kha>rij ushul fikih sebanyak tiga
kali, setiap kalinya menghabiskan waktu selama enam tahun,
dan sekarang dia sedang mengajarkannya untuk kali yang
keempat. Banyak sekali catatan hasil pelajaran kha>rij dia, dan
salah satu catatan yang lengkap dari pelajaran kha>rij Us}u>l fiqh
dia adalah bernama al-Mahs}u>l fi ‘Ilm al-Us}u>l yang dicetak di
dalam empat jilid. Di samping itu, selama dua puluh tahun dia
teratur mengajarkan kha>rij al-Fiqh, dan berbagai pembahasan
telah dia sampaikan, seperti bab zakat, h{udu>d, diyah, qadha>’,
6Nasiruddin Anshari Qummi,
‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november
2017.
62
mud}a>rabah (dua kali), makasib muh}arramah, khiyara>t, irs|, thala>q, nika>h, dan khumus. Dan banyak sekali dari murid-
muridnya yang mencatat rapi pelajaran dia bahkan
sebagiannya sudah tercetak. Selain itu juga, selama bertahun-
tahun Aya>tulla>h Ja’far Subhani mengajarkan kitab Asfa>r Arba’ah kepada murid-muridnya, bahkan di antara murid-
muridnya sekarang sudah menjadi guru filsafat bagi yang lain.
Tidak cukup hanya mengajarkan fiqh, Usu>l al-Fiqh dan
filsafat, dia juga telah lama mengajarkan akidah, teologi, ilmu
rijal, dirayah, sejarah islam, syi’ahlogi, al-Milal wa al-Nih}al, tafsir dan sastra. Bisa dikatakan, di tiap-tiap ilmu itu dia telah
meninggalkan karya yang banyak dan berharga untuk dapat
digunakan oleh masyarakat Islam selanjutnya.7
Sejak majalah Maktabe Islom dirintis, tanggung jawab
rubrik tafsir Al-Qur’an dipikul oleh Aya>tulla>h Ja’far Subhani.
Sudah bertahun-tahun lamanya dia menggeluti terjemahan
sekaligus penafsiran al-Qur’an, di antaranya adalah surat al-Taubah, al-Ra’du, al-Furqa>n, Luqma>n, al-H}ujura>t, al-H}adi>d, al-S}aff, dan surat al-Muna>fiqu>n. Pada kelanjutannya, dia
sampai kepada sebuah kesimpulan tentang pentingnya tafsir
tematis Al-Qur’an, dia yakin bahwa Al-Qur’an telah
membahas berbagai tema dan bukan pada satu tempat saja
melainkan di berbagai tempat yang terpisah, ayat-ayat tentang
satu tema tidak berkumpul di satu tempat, bahkan betapa
banyak ayat-ayat tentang satu tema yang tersebar di beberapa
surat, maka sudah barang tentu untuk sampai kepada
pandangan dan kesimpulan yang universal dari ayat-ayat Al-
Qur’an tentang tema tertentu harus dilakukan pengumpulan
7Nasiruddin Anshari Qummi,
‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november
2017.
63
ayat-ayat yang bersangkutan dan kemudian ayat-ayat itu
diperhatikan secara majemuk serta terkadang juga perlu pada
pencerahan dari sabda-sabda para manusia suci as. Kendatipun
demikian, perlu diingat bahwa ulama pertama yang membuka
pintu ke arah tafsir tematis Al-Qur’an adalah ‘Alla>mah
Majlisi>. Di dalam kitabnya, yaitu Bih}a>r al-Anwa>r mengumpulkan ayat-ayat yang terkait dengan tiap-tiap bab,
kemudian dia melakukan penafsiran yang singkat terhadap
ayat-ayat itu.
Dalam hal ini, Aya>tulla>h Ja’far Subhani memfokuskan
kajian dan penafsiran terhadap ayat-ayat tentang akidah Islam,
kegiatan dia ini akhirnya menghasilkan sebuah buku tafsir
yang luar biasa bernama Mafa>hi>m al-Qur’a>n dalam tujuh jilid,
dan buku tafsir ini mendapatkan perhargaan dari berbagai
ulama dunia Islam sejak pertama dicetak dan disebarkan. Tak
lama kemudian, Aya>tulla>h Subhani juga merasakan kebutuhan
masyarakat berbahasa persia kepada tafsir semacam ini, itulah
sebabnya dia segera menuliskan tafsir tematis al-Qur’an ke
dalam bahasa persia dan buku ini berhasil dicetak dan
diterbitkan dengan nama Mansyure Jowide Qur’on yang
sekarang sudah mencapai empat belas jilid.8
Aya>tulla>h Ja’far Subhani, yang sudah mulai menulis
sejak dia berusia delapan belas tahun dan selama 48 tahun
berkecimpung di dalam penelitian, sangat merasakan besarnya
nilai hasil-hasil penelitian yang bersumber pada referensi-
referensi yang otentik, karena itu dia senantiasa berpikir dan
berkeinginan untuk mendirikan lembaga khusus bagi para
peneliti dan penulis agar mereka dapat merujuk kepada
8Nasiruddin Anshari Qummi,
‚AyatullahJa’farSubhani,‛SadeqinWebsite,
http://www.sadeqin.net/ml/daneshvaran.php?mod=4&id=6, , 01 november
2017.
64
khazanah perpustakaan secara langsung dan tanpa melalui
prosedur yang rumit serta dapat dengan tenang meneliti dan
menulis tanpa harus memikirkan masalah yang lain.
Kemenangan revolusi Islam Iran membuka peluang dan
kesempatan terwujudnya cita-cita itu, dan berkat tekad
Aya>tulla>h Ja’far Subhani yang bulat serta usaha dia yang keras
dan juga bantuan dari sejumlah orang yang baik maka Yayasan
Pendidikan Dan Penelitian Imam Shadiq as. berhasil didirikan
pada tahun 1359 h. dan diresmikan pada hari raya Ghadir
Khum.
Selain karya-karya yang telah disebutkan di atas,
masih banyak karya-karya Ja’far Subhani lainnya. Penulis
menemukan lebih dari delapan kitab hasil karya Ja’far Subahni
untuk berbagai disiplin ilmu. Yaitu9 Ahl al-Bait; Sima>tuhum
wa H}uququhum fi> Al-Qur’a>n, Mausu’ah Ah}a>di>s| Ami>r al-Mu’mini>n, Mut’ah al-Nisa> fi> Kita>b wa al-Sunnah, Nail al-Witr min Qa>’idah La> D}arara wa La> D}ira>r, Mut’ah al-Hajj fi D}au al-Kita>b wa al-Sunnah, Irsya>d al-‘Uqu>l ila> Mabah}is| al-Us}u>l, Niz}am al-H}ukm fi> al-Isla>m, niz}a>m al-Qad}a>’ wa al-Syari>’ah fi> al-Isla>m, Naz{ariyyah al-Kasb fi> ‘Af’a>l al-‘Iba>d, Mafa>him al-Qur’a>n, al-Milal wa al-Nihal, al-Ila>hiyyah, al-Ins}af fi Masa>’il Da>ma fi>ha> al-Khila>f, al-Az|a>n Tasyri>’an wa Fus}u>lan ‘Ala> D}au’ al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Maz|a>hib al-Isla>miyyah, al-Wahha>biyyah bain al-Maba>ni< al-fikriyyah wa al-Nata>’ij al-‘Amaliyyah, al-Wahha>biyyah fi> al-Mi>za>n, al-Wud}u>’ ‘Ala> D}au’ al-Kita<b wa al-Sunnah, al-Was}iyyah lil Wa>ris}, al-Mutakallim wa al-S}ifa>t al-Khabariyyah, al-Mah}s}u>l fi> ‘Ilm al-Us}u>l, al-Ira>dah al-Ila>hiyyah, al-Muslim Yaris| al-Ka>fir Du>na al-‘Aks, al-Isla>m wa Mutat}a>liba>t al-‘As{r, al-Asma> al-S|ala>s|ah, al-Isyha>d
9 Nama-nama kitab Ja’far Subhani ini, penulis dapatkan dari
kitabnya yang langsung yang hampir semuanya dalam bentuk PDF.
65
‘Ala > al-T}ala>q, al-Aqsa>m fi< al-Qur’a>n, al-I’tis}a>m bi> al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Ift}a>r fi al-Safar, al-Bulu>g| Haqi>qatuhu>, al-Tauh}i>d wa al-Syirk, al-Tawassul, al-Bida>’, al-Tah}si>n wa al-Taqbi>h}, al-Bid’ah Mafhu>muha>, al-Basmalah, al-Khumus, al-Jam’ bain al-S}ala>tain, al-H}aya>h al-Barzakhiyyah, al-H}ujjah al-Gharra>’, al-H}adi>s} al-Nabawi bain al-Riawa>yah, al-T}ala>q al-Mu’allaq, al-S}aum fi> al-Syari>’ah, al-Salafiyyah Ta>ri>khan wa Mafhu>man, al-Suju>d ‘Ala> al-Ard}, al-Ziya>rah fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Si>rah al-Nabawiyyah, al-Syafa>’ah fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Qabd} bain al-Kita>b wa al-Sunnah, al-Qasr fi> al-S}ala>h, al’Aul fi> al-Fara>id}, Taz|kirah al-A’ya>n, Buh}us| Qur’a>niyyah fi al-Tauh}i>d wa al-Syirk, Ru’yah al-H}ila>l, Risa>lah H}aul Ru’yah Alla<h, S}ala>h al-Tara>wi>h} bain al-Sunnah wa al-Bid’ah, S}iya>nah al-As|a>r al-Isla>miyyah, Kulliyya>t fi> ‘Ilm al-Rija>l, ‘Ada>lah al-S}ah}abah bain al-‘At}ifah wa al-Burh}a>n, ‘Is}mah al-Anbiya>’ d fi> al-Qur’a>, dan Us{ul al-H}adi>s
B. Konsep Nikah Mut’ah dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-
Kita>b wa al-Sunnah 1. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah
Selain konsep ima>mah, nikah mut’ah adalah ajaran
yang dimiliki secara khusus oleh kelompok syi’ah. Tentang
konsep nikah mut’ah, para ulama syi’ah sangat intens
melakukan deskripsi dan narasi terkait syarat, rukun, dan yang
membatalkan akad mut’ah. Semua itu tertulis dalam karya-
karya mereka. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah
adalah salah satu dari sekian banyak kitab yang menjelaskan
nikah mut’ah. Kitab ini hadir ke tengah masyarakat dalam
rangka melestarikan dan menyebarkan pemahaman mereka
tentang nikah mut’ah kepada para generasi mudanya.
Penyebaran dan pelestarian tersebut bukan sebagai bentuk
yang lepas dari dalil-dalil hukum. Mereka meyakini pelestarian
nikah mut’ah adalah satu bentuk pengabdian terhadap ilmu
66
pengtehuan dan menyampaikan ajaran yang yang legal dalam
pandangan mereka.
Berdasarkan pembacaan penulis terhadap muqaddimah
dan kata pengantar Ja’far Subhani yang tertulis di dalam kitab
Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah dan kitab-kitab
lainnya, penulis berkesimpulan bahwa karya-karyanya ditulis
tidak lepas dari konteks gejal sosial keagamaan yang
dialaminya. Ada beberapa point yang penulis temukan terkait
motivasi Ja’far Subhani menulis karya-karyanya. Pertama,
Ja’far Subhani tengah melakukan respons ilmiah terhadap
wacana-wacana yang muncul. Kedua, respons-respons ilmiah
tersebut tidak lain untuk melestarikan ajaran-ajaran maz|hab
yang diyakininya dan melakukan kritik terhadap pemikiran-
pemikiran yang tidak sejalan dengan pemikiran maz|habnya.
Ketiga, respons-respons tersebut sebagian besar ditujukan
kepada pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan
maz|habnya, terutama kelompok wahabi dan sunni. Sampai
saat ini, gejolak politik anatara negara Arab Saudi dan Iran
belum sempurna menjalin keselarasan bahkan beberapa tahun
yang lalu hubungan kedua negera arab itu sempat memanas
kembali. Keempat, dalam beberapa kitab, dia juga tengah
merespons dan melakukan kritik terhadap pemikiran-
pemikiran ulama sunni termasuk dalam kajian hadis dan ilmu
hadis. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah adalah
salah satu bukti otentik akan motivasi Ja’far Subhani dalam
kepenulisannya.
Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah, menurut penulis adalah kitab yang memaparkan konstruksi
ajaran dan konsep nikah mut’ah dengan pendekatan Al-Quran
dan Hadis. Sebagian besar dalil-dalil yang muncul adalah
hadis-hadis dari kitab-kitab sunni. Kitab-kitab sunni yang
menjadi rujukan Ja’far Subhani adalah kitab tafsir dan kitab
hadis. Yaitu al-Durr al-Mans|u>r karya Al-Suyuti, Mafa>tih} al-Ghaib, karya Fakhruddin Al-Razi, Tafsi>r al-Thabari karya Ibnu
67
Jarir Al-T}abari, S}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Musnad Imam Ah}mad, Sunan al-Tirmiz|i>, Sunan Al-Da>rimi>, Mushannaf ‘Abdur Razza>q, dan lainnya.
Walaupun kitab Mut’ah al-Nisa>’ fI al-Kita>b wa al-Sunnah adalah kitab yang tengah merespons pemikiran-pemikiran
ulama sunni, tetapi Ja’far Subhani juga meyakini dan
menyadari bahwa nikah mut’ah adalah bagian dari masalah
khilafiyyah, bukan masalah pokok agama yang mengharuskan
antara pengkajinya berselisih dan bermusuhan serta saling
menghitamkan satu sama lain. Dalam hal ini, Ja’far Subhani
juga mengutip surat Ali ‘Imra >n ayat 103 yang menjelaskan
tentang kewajiban setiap umat muslim untu tidak berselisih
dan menjunjung tinggi persatuan.10
Dari sini, penulis menilai
bahwa Ja’far Subahni memperlihatkan sikap inklusif dan
menerima bentuk perbedaan pendapat dan pemikiran. Kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, yang
memuat 130 halaman, secara garis besar membahas tiga
pembahasan pokok. Yaitu nikah mut’ah dalam Al-Quran,
nikah mut’ah dalam sunnah, dan nikah mut’ah dalam tafsir-
tafsir rasional (bi al-ra’y). Ayat Al-Quran yang menjadi fokus
pembahasan adalah ayat surat Al-Nisa ayat 24 yang diyakini
sebagai ayat memberikan legalitas ajaran nikah mut’ah.
Sedangkan hadis-hadis yang dikutip adalah hadis-hadis sunni
dan hadis-hadis syi’ah. Adapun tafsir-tafsir bi al-ra’y menjadi
bukti penguat akan rasionalitas nikah mut’ah.
2. Pemikiran Ja’far Subhani tentang Nikah Mut’ah
Islam -sebagai pembawa syariat ilahiyyah terakhir,
disampaikan oleh nabi terakhir, dan melalui kitab terakhir,
yaitu Al-Quran-telah mempersiapkan solusi-solusi kemanusian
dalam rangka menyelesaikan permasalahan-permasalahan.
10
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 4.
68
Termasuk dalam masalah-masalah kebutuhan biolgis manusia,
Islam sejak abad ke-14 yang lalu telah memberikan solusi
demi terjaganya kehormatan manusia, yaitu dengan mawarkan
ajaran nikah. Dengan akad nikah, dua manusia menjadi
memiliki hak dan kewajiban satu sama lainnya. Dengan
memenuhi hak dan kewajiban masing-masing tersebut
diharapkan dari kelompok terkeceil yang menjadi bagian dari
masyarakat tersebut lahir kehidupan yang menciptakan
keharmonisan. Dalam ajaran syi’ah dan yang disampaikan
Ja’far Subhani, untuk merespons kebutuhan biologis manusia
ada dua solusi. Pertama nikah mut’ah yang disebut sebagai
nika>h} mu’aqqat. Kedua, nikah ghoir mu’aqqat, atau nika>h} da>’im, akad pernikahan yang diakui oleh semua maz|hab. Pada
sub-bahasan ini, penulis akan memaparkan konsep nikah
mut’ah yang tertulis dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah.
Berdasarkan pendapat Ja’far Subhani nikah mut’ah
adalah:
ذالميكن نفسهاإةالكاملة ر الح المرأة ويج نتز ع بارة ع الزوج بين بين و نسب مانع ها رضاع من اواو
ةبمهر ي ذلكمنالموانعالشرع ةاوغير اوعد احصان أمسمي انتهيمسم جل الي فاذا واالتفاق بالرضا ي
طالق منغير نمنه األجلتبي 11
Adalah menikahi wanita merdeka dengan syarat tidak ada hal yang mencegahnya, seperti nasab, sesusuan, bersaumi, masih dalam iddah, dan yang lainnya, dengan mahar yang telah ditentukan, atas dasar suka dan rela
11
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, (Qum:
Mu’assasah Imam Shodiq, 2002), h. 16.
69
serta sepakat sampai batas waktu yang telah ditentukan. Jika batas waktu sudah selesai maka mereka berpisah tanpa ada ucapan t}ala>k. Berdasarkan definisi di atas, secara sederhana nikah
mut’ah juga memiliki rukun yang harus dilaksanakan oleh para
pelaksananya. Rukun nikah mut’ah, sebagaimana penuturan
Ja’far Subhani ada empat. Pertama, s}i>gah akad baik ijab atau
qabul. Seperti saya nikahi kamu, saya mengawini kamu, atau
saya bermut’ah padamu. Kedua, al-muh}ill. Yaitu ada laki-
laki dan wanita yang siap nikah mut’ah. Dalam
persyaratannya, wanita-wanita yang semahram dengan wanita
yang dinikahinya haram untuk dinikahi sebagaimana dalam
nikah da>’im. Termasuk menikahi bibi bersama keponakannya.
Kecuali ada perizinan dari bibinya. Ketiga, mahar. Syarat-
syarat mahar sama sebagaimana dalam nikah da>’im. Yaitu
dimiliki, diketahi dan terukur. Keempat, al-ajal, batas waktu.
Jika tidak ditentukan batas waktu, maka menurut sebagian
pendapat akadnya menjadi batal. Tetapi menurut sebagian lain
akadnya berubah menjadi akad nikah da>’im.12
Pada dasarnya ketentuan-ketentuan praktek nikah
mut’ah banyak persamaannya dengan praktek nikah da>’im. Namun ada beberapa perbedaan. Ketentuan-ketentuan praktek
nika mut’ah adalah sebagai berikut13
:
1. Pernikahan nikah mut’ah melahirkan hubungan
kekeluargaan.
2. Anak kandung istri tidak bisa dinikahi jika telah
berhubungan intim dengan ibunya.
12
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 19.
13 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 20.
70
3. Tidak ada talak. Talak terjadi secara langsung
setelah habisnya batas waktu.
4. Tidak saling mewarisi, kecuali ada kesepakatan
sebelum akad
5. Iddah dua kali haid bagi wanita masih haid
6. Iddah empat pulu lima hari bagi wanita tidak haid
lagi
7. Iddah empat bulan dan sepuluh hari bagi wanita
yang ditinggal mati
8. Tidak ada iddah jika tidak pernah melakukan
hubungan intim bagi yang habis batas waktunya
9. Boleh melakukan ‘azl tanpa meminta izin
Dari beberapa ketentuan di atas, Ja’far Subhani menilai
bahwa semua itu adalah isyarat bahwa nikah mut’ah sama
dengan nikah da>’im yang merupakan pernikahan yang haqiqi.14
Ada hal yang mendasar dari pemikiran Ja’far Subhani
perihal diperlukannya praktek nikah mut’ah di zaman
sekarang. Menurutnya, nikah mut’ah itu seperti dawa>’ wa lais bi t}a’a>m, ‘ila>j li d}aru>riyya>t maqt}iyyah yuh}awwil du>n intisya>r al-fasa>d fi> al-mujtama’ al-isla>miyy15 (nikah mut’ah itu obat
bukan makanan pokok, sebuah pengobatan karena kondisi
membutuhkan pengobatan dengan tujuan supaya tidak
menyebarnya kerusakan moral di masyarakat). Selain itu,
Ja’far Subhani juga mencoba menghadirkan perkembangan
sosial masyarakat yang lebih menekankan akan perlunya
dilakukan praktek poligami. Menurutnya, kondisi yang
dialami oleh para generasi muda zaman sekarang berbeda jauh
dengan yang sebelumnya. Salah satunya di kalangan para
pelajar atau pencari ilmu.
14
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 20.
15Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 9.
71
Dulu, para pencari ilmu sudah mapan dalam perlawatan
mencari ilmu di usia delapan belasa atau dua puluh tahun dan
telah memperoleh ilmu yang banyak dengan berbagai macam
disiplin ilmu. Kemudian di usia tersebut mereka telah siap
untuk membentuk rumah tangga. Mereka tidak perlu
menunggu lama untuk menjalin hubungan pernikahan kecuali
mereka yang meninggal di pertengahan mencari ilmu.
Sekarang kondosinya berbeda. Di usia delapan belas atau
sekitar dua puluh tahunan, justru mereka baru memulai
perlawatan mencari ilmu. Bahkan setelah mereka lulus dari
bangku perkuliahan, mereka masih memerlukan waktu yang
cukup lama untuk mempersiapkan diri membangun rumah
tangga, yaitu mencari mata pencaharian sebagai bekal di
pernikahannya. Sehingga di usia tiga puluhan atau kurang
mereka belum mapan dan belum mampu mempersiapkan
tempat tinggal untuk keluarga kecilnya. Oleh karena, di
periode ini ada jarak waktu yang cukup lama. Yaitu antara
usia kelulusan sampai menuju pernikahan sekitar sepuluh
tahun an. Ini adalah fakta yang terjadi di masyarakat sekarang
dan tidak bisa dihindari.
Menurut Ja’far Subhani, sebagaimana mengutip
pendapat filosof William Russel, kondisi seperti jika dibiarkan
bisa memunculkan rusaknya keturuan dengan menyebarnya
prostitusi yang disebabkan oleh tidak adanya solusi dalam
menyikapi pergaulan bebasa antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Russel, maka harus ada solusi untuk mencegahnya.
Dalam istilah Russel, solusinya disebut pernikahan tanpa anak,
dengan cara melakukan pencegahan-pencegahan kehamilan.
Menurut Ja’far Subhani solusi seperti ini mungkin saja bisa
dilakukan, tetapi masih relatif menyulitkan. Karena jika kedua
pasangan melahirkan seorang anak, maka dia adalah anak yang
72
secara hukum. Menurut Ja’far Subhani solusinya telah
disampai oleh ajaran Islam empat belas abad yang lalu.16
C. Pemikiran Hadis Ja’far Subhani
1. Kedudukan Sunnah
Berdasarkan penjelasan Ja’far Subhani, sunnah
menurut etimologi adalah al-t}ari>qah, jalan. Sedangkan
menurut terminologi ilmu hadis, sunah diartikan sebagai
perkara yang lahir dari Nabi saw yaitu terdari dari ucapan,
perbuatan, penetapan. Sunah merupukan sumber hukum kedua
setelah Al-Quran, baik yang diriwayatkan secara lafz{i> atau
ma’nawi>. Sunah tersebut merupakan pemberian ilahi>yyah,
khusus bagi umat Nabi saw. Sehingga atas kekuasanNya,
mereka memberikan perhatian besar terhadap sunah-sunah
yang lahir Nabi saw. Dari waktu ke waktu, mereka
meriwayatkan dan menyebarkan sunah nubuwwah tersebut
dan menjadikanny sebagai sumber dasar keyakinan dan
ajaran-ajaran agama.17
Sunah sebagai sebuah sumber aturan yang keluar dari
seorang Rasul, keterkaitannya dengan Al-Quran adalah
menjelaskan perkara-perkara yang masih bersifat global dalam
Al-Quran. Al-Quran dan sunah adalah dua sumber ajaran Islam
yang tidak bisa terpisahkan. Sehingga seluruh umat Islam
bersepakat mengakui kedudukan Al-Quran dan sunah sebagai
sebuah sumber mendasar dalam menjalankan kehidupan.
Bahkan, sebagaimana penuturan Ja’far Subhani, para Ahlu
Bait berpandangan bahwa sunah tidak hanya menjadi pedoman
hidup, Tetapi segala sesuatu di dunia ini terkandung dalam Al-
16
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 13
17 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 8
73
Quran dan sunah. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh
Imam Baqir bahwa Allah swt tidak meninggalkan sesuatu pun
yang dibutuhkan manusia kecuali Allah swt
mempersiapkannya dalam Al-Quran dan Sunah. Begitu juga
dengan pernyataan Imam Shodiq yang menyatakan bahwa
tidaklah segala sesuatu yang ada di dunia ini kecuali
seluruhnya terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah.18
Sunah, keterkaitannya dengan Al-Quran, selain
menjelaskan yang masih bersifat global, dia juga memberikan
batasan bagi ayat mutlak, takhs}i>s} bagi yang ‘amm, bahkan
sunah berfungsi sebagai penjelas aspek teologis dalam Al-
Quran. Kedudukan serta fungsi yang terkonstruksi dalam
perkatan, perbuatan, dan penetepan, tersebut secara lafz}iyyah
berasal dari lisan Nabi saw, tetapi secara substantif, semuanya
berasal dari wahyu ilahi. Sehingga Al-Quran dan Sunah secara
substantif, kedudukannya setara yaitu sama-sama melalui
proses hasil pewahyuan. Sebagai contoh adalah ibadah sholat,
puasa, zakat, dan sebagainya, seluruhnya tidak akan bisa
dipahami oleh masyarakat kecuali dengan penjelasan dari
seorang utusan ilahi, yaitu Nabi saw. Sehingga di sinilah titik
persamaan Al-Quran dan Sunah.19
Oleh karena itu, Sunah
adalah sumber syariat yang sangat mendasar sebagaimana Al-
Quran. Dalam hal ini, memahami ajaran agama tidak cukup
hanya kembali kepada Al-Quran saja, tanpa mengkaji Sunah.
Dalam pandangan Ibnu Hazm, seseorang yang mencukupkan
18
Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-
Dira>yah, (Beirut: Imam Shadiq, 2000), h. 9.
19 Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-
Dira>yah, h. 10.
74
Al-Quran dalam memahani ajaran agam Islam dihukumi kafir
atas dasar konsensus para ulama.20
2. Pencetus Ilmu Dirayah
Ilmu hadis, sebagai sebuah disiplin ilmu, memiliki
kaidah-kaidah teoritis yang menjadi bukti metodis
epistimologinya. Kaidah-kaidah tersebut diformulasikan untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berkaitan
seputar hadis, baik dalam lingkup sanad atau pun matannya.
Kaidah-kaidah tersebut terhimpun dalam salah satu bagian
ilmu hadis, yaitu ilmu hadis dirayah. Ilmu hadis dirayah adalah
ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah atau pun teori-
teori yang berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan-
permasalah, baik dalam aspek sanad atau pun matan.
Pentingnya keberadaan ilmu hadis dirayah, maka para ulama
telah memberikan perhatian besar melalui karya-karyanya
dalam mengembangkan ilmu hadis ini. Baik ulama Syi’ah atau
pun ulama Sunni sama-sama mengembangkan disiplin ilmu
hadis ini. Masing-masing kelompok memiliki pencetus ilmu
dirayah.
Dalam kajian ilmu hadis Sunni, ada dua nama yang
sering disebut sebagai pencetus ilmu dirayah. Yaitu
Ramahurmudzi (w.360 h.) dengan karyanya al-Muh}addis| al-Fa>s}il wa al-Wa’i> dan Hakim Naisaburi (w.304 h.) dengan
karyanya Ma’rifah ‘Ulu>m al-H}adi>s|.21 Sedangkan dalam kajian
ilmu hadis Syi’ah, menurut Ja’far Subhani, pencetus ilmu
dirayah adalah Jamaluddin Ibnu Tawus (w. 673 h.), Al-Hilli
(w. 726h.), Ibnu Dawud Al-Hilli (w. 707 h.) seorang ulama
20
Ja’far Subhani, al-H}adi<s|| al-Nabawiyy bain al-Riwayah wa al-
Dira>yah, h. 11.
21Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, (Jakarta Selatan:
Mizan Publika, 2009), h. 11
75
hadis yang mencetuskan istilah-istilah baru tentang
pembagian hadis dalam maz|hab Imamiyyah. Selain itu, Ja’far
Subhani juga menampilkan pendapat Hasan Shadr tentang
pencetus ilmu dirayah. Menurut Hasan Shadr, pencetus ilmu
dirayah adalah Hakim Naisaburi, penulis kitab al-Mustadrak ‘ala> S}ah}i>h{ain, sebagaimana juga diakui oleh para ulama sunni.
Berdasarkan pendapat Ja’far Subhani dan Hasan Shadr,
maka ulama-ulama Syi’ah sendiri terjadi perbedaan pendapat
tentang pencetus ilmu dirayah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani
memberikan penjelasan terkait pandangan Hasan Shadr yang
menyatakan bahwa pencetus ilmu dirayah di kalangan Syi’ah
adalah Hakim Naisaburi. Menurut Ja’far Subhani, jika
keberadaan Hakim Naisaburi diakui Hasan Shadr sebagai
seorang ulama kalangan syi’ah imamiyyah, maka dalam hal
ini, Hakim Naisaburi adalah seorang syi’ah bedasarkan definisi
yang luas, syi>’iy ‘a>m, dengan indikator bahwa Hakim
Naisabaru salah satu ulama yang membenci orang-orang yang
melakukan penistaan terhadap sahabat Ali bin Abi Thalib dan
mencintai ahlu bait. Selain itu, indikator lainnya adalah
Hakim Naisaburi juga pernah menulis kitab tentang
keistimewahan-keistimewahan Fatimah Al-Zahrah.22
3. Hadis Mutawa>tir dan Ah}a>d
Menurut Ja’far Subhani khabar memiliki lima
klasifikasi. Pertama, khabar yang diketahui validitasnya secara
pasti. Kedua khabar yang diketahui validitasnya secara tidak
pasti. Ketiga, khabar yang diketahui ketidak benarannya
secara pasti. Keempat khabar yang diketahui ketidak
benarannya secara tidak pasti. Kelima, khabar yang validitas
dan ketidak benarannya masih bersifat dugaan.
22
Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, h. 9-10.
76
Dalam hal ini, hadis Mutawa>tir termasuk klasifikasi
khabar yang validitasnya sudah diketahui. Menurut Ja’far
Subhani, suatu hadis bisa disebut Mutawa>tir jika:
همعليؤ نمعهتواط ؤم اي د ح قة ب هفيكلط ل سالس فانبلغت 23الكذب
Apabila rantai periwayatan di setiap tabaqah mencapai jumlah yang mustahil untuk berbohong
Tentang syarat khabar mutawa>tir, penulis menilai
bahwa Ja’far Subhani banyak mengutip pendapat Abu> H}a>mid Al-Gaza>liy yang tertulis dalam kitab Al-Mustas|fa>. Di sini,
Ja’far Subhani tidak hanya mengutip tetapi juga memberikan
komentar dan kritik pendapat yang dinilai tidak berkesesuaian
dengan pemikirannya. Syarat-syarat khabar Mutawa>tir
menurut Abu> H}a>mid Al-Gaza>liy24 adalah:
Pertama, khabar yang diriwayatkan pasti akan
kebenaran informasinya, bersifat ilmiy, bukan zanniy atau
prasangka. Maka jika penduduk kota Baghdad
menginformasikan tentang seekor burung dan mereka masih
berprasangka bahwa itu adalah seekor merpati, atau tentang
seseorang yang mereka duga adalah bernama Zaid, maka hal
ini tidak diperoleh ilmu yang pasti bahwa yang terbang itu
adalah merpati atau orang itu adalah Zaid.
Kedua, khabar yang diriwayatkan adalah bersifat pasti,
d}aru>ri>, dan bersandar pada indera, bukan pada akal. Maka jika
penduduk Baghdad menginformasikan tentang fenomena
23
Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, h. 24
24Lihat Abu Hamid Gaza>li>, al-Mustas{fa>, jld. 2, (t.kot.: t.pen.t.th.),
h. 138-141
77
alam atau tentang kebenaran sebagian para nabi maka
informasi seperti ini tidak disebut sebagai ilmu pasti.
Ketiga, karakteristik-karakteristik di atas dan jumlah
periwayat yang mustahil bohong harus ada di setiap t}abaqah. Maka jika periwayatan diriwayatkan dari t{abaqah ke t}abaqah
yang di antaranya tidak memenuhi syarat periwayatan di atas,
maka periwayatan tersebut tidak disebut sebagai informasi
yang pasti, tetapi masih bersifat dugaan.
Keempat, periwayat-periwayat khabar tersebut
mencapai pada kesempurnaan jumlah. Maksud kesempurnaan
di sini adalah jumlah sempurna yang melahirkan sebuah
kesepakatan mustahil untuk menyembunyikan kebenaran.
Terhadap syarat-syarat hadis Mutawa>tir di atas, Ja’far
Subhani memberikan komentar singkat. Contohnya, untuk
persyaratan tentang kesempurnaan jumlah, Ja’far Subhani
memberikan komentar:
نال اليهقو ضاف اني ب ج بلي كاف انهغبر رفت وقدع
25"همعليالكذبد نتعم "يؤمنمعهم
Dan aku telah mengetahui bahwa syarat tersebut tidak cukup, harus ditambahkan pendapat kita yaitu terbebas dari unsur kesengajaan untuk berbuat bohong. Tentang syarat harus terpenuhinya syarat jumlah dan
syarat ilmu pasti di setiap t}abaqah, Ja’far Subhani
memberikan komentar:
حص إ اذا اال لالتوات نه ولكنوص و رفيالطبقة للي,
بالقرينةفوف ح الواحدالم بخبر المتواتر ناذلكالخبر لي ا
25
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,
h. 31.
78
ب للعل فيدة الم قالتواتراليتحق الحاجة مفحصلالعلم
26الثانية فيالطبقة
Jika syarat Mutawa>tir sudah terpenuhi di t{abaqah pertama, tetapi informasi tersebut sampai kepada kita dengan cara periwayatan khabar Ah}a>d yang diyakini membawa ilmu pasti maka telah mencapai pada derajat ilmu pasti dan tidak harus terpenuhi syarat Mutawa>tir di t}abaqah setelahnya. Dari beberapa komentar Ja’far Subhani tentang syarat
hadis Mutawa>tir yang disampaikan oleh Abu Hamid Gazali,
penulis berkesimpulan bahwa syarat hadis Mutawa>tir baik
menurut Ja’far Subhani atau pun Abu Hamid Gazali adalah
sama. Perbedaannya hanya bersifat interpretatif yang tidak
merubah substansi syarat hadis Mutawa>tir.
Selain itu, Ja’far Subhani juga memberikan tanggapan
atas pemikiran Abu Hamid Gazali tentang syarat hadis
Mutawa>tir yang cacat. Dalam kitabnya, al-Mus}tasfa>, Abu
Hamid Gazali mencantumkan syarat hadis Mutawa>tir cacat,
salah satunya adalah keharusan adanya periwayat-periwayat
ma’s}u>m di setiap t}abaqah. Menurut Abu Hamid Gazali, syarat
tersebut merupakan syarat hadis Mutawa>tir yang disampaikan
oleh kelompok syi’ah Rafidhah27
. Dalam hal ini, Ja’far
Subhani memberikan sanggahan:
تقو إ و نه الشيعة علي ك ي ل ل أ ب ت سفي هذار ث هم منولوش فإر الشرط, شرط طوه بعض نما فيح ه ةي ج هم
26
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,
h. 31.
27 Lihat Abu Hamid Gaza>li>, al-Mustas{fa>, jld. 2, (t.kot.:
t.pen..t.th.), h. 160.
79
فت اإل علي نظرية جماع الكتابمستنبطة وي من28والسنة
Sesungguhnya dia telah mengada-ada atas nama Syi’ah, sebenarnya syarat keharusan adanya periwayat ma’s}u>m tidak ada dalam kitab-kitab mereka. Jika ada, maka syarat tersebut adalah yang disampaikan oleh sebagian mereka dalam kehujahan ijma>’ atas fatwa masalah khilafiyyah yang merupakan hasil istinbat dari Al-Quran dan Hadis. Sejauh pembacaan penulis, yang mensyaratkan
periwayat ma’s}u>m dalam hadis Mutawa>tir adalah adalah Ibnu
Rawandi yang meninggal pada tahun 911 m. hal ini
disampaikan oleh salah satu ulama Syi’ah, Al’alla>mah Al-H}illi>, dalam kitabnya Niha>yah al-Wus}u>l. al-H}illi> berpendapat
bahwa yang mensyaratkan periwayat ma’s}u>m dalam hadis
Mutawa>tir adalah Ibnu Rawandi. Tetapi, menurut Al-H}illi>, pendapat ini adalah pendapat yang salah.
29
Tentang Ibnu Rawandi, ‘Abdurrahman Badawi telah
menjelaskan secara khusus tentang biografi, pemikiran, kritik-
kritik atas karya-karyanya. Menurut Abdurrahman Badawi,
Ibnu Rawandi adalah puncak maz|hab ilh}a>diyyah, ateisme
dalam Islam. Menurutnya, Ibnu Rawandi pernah melakukan
kritik pemikiran terhadap maz|hab mu’tazilah melalui
28
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,
h. 33.
29Al-H}illi>, Niha>yah al-Wus}u>l ila> ‘ilm al-Us}u>l, jld. 3, (Qum:
Yayasan Imam Sodiq, 1427 h.), hm. 326.
80
karnyanya, Fad}ih}ah al-Mu’tazilah, dengan menggunakan sudut
pandang pemikiran maz|hab Syi’ah Ra>fid}ah.30
Berdasarkan verifikasi di atas, penulis berkesimpulan
bahwa ulama syi’ah tidak mensyaratkan periwayat ma’s}u>m dalam hadis Mutawa>tir. Adapun Ibnu Rawandi, hanya
menggunaka sudut pandang syi’ah Ra>fid}ah dalam menentukan
syarat periwayat ma’s}u>m. 4. Klasifikasih Hadis Ah}a>d
Dalam perkembangan ilmu hadis di kalangan Sunni,
hadis pada awalnya ada dua jenis. Yaitu s}ah}i>h} dan d}a’i>f.
Setelah itu Imam Turmudzi memperkenalkan satu tambahan
jenis hadis yaitu hadis hasan. Di masa Imam Turmudzi, hadis
menjadi tiga bagian, s}ah}i>h}, hasan, dan d}a’i>f.31
Dalam kajian ilmu hadis Syi’ah, hadis Ah}a>d terbagai
menjadi empat jenis. Yaitu shahih, hasan, muwas|s|aq, dan
hadis d}a’i>f.32
Hadis S}ah}i>h} adalah:
مامي لالعدلاإلنق صومب ع هاليالم د سن صل ماات
33وذ ذ ش تراه واناع بقات عالط ي م لهفيج ث عنم
Hadis yang sanad periwayatannya bersambung dan sampai ke seseorang yang ma’shum, diriwayatkan oleh
30
Abdurrahman Badawi, Min Ta>ri>kh al-Ilh}a>d fi> al-Isla>m, (Cairo:
Siina, 1993), h. 89.
31Subhi Shalih, ‘Ulu>m al-H}adi>s| wa Mus}t}ala>h}uh, (Beirut: Darul
Ilmi, 1995), h. 141.
32 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,
h. 50
33 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,
h. 50
81
periwayat-periwayat pengikut maz|hab syi’ah imamiyyah di setiap t}abaqah dan terbebas dari sya>z|
Hadis Hasan adalah:
ضةعار الم دوحب م ماميم صلسندهكذالكبإماات
غي م مقبول ذم نص ن عدالت ر ي ه علي م ج عفي
34فةرجالالصحيحص يب باق ال ن همعكو ب رات م
Hadis yang sanad periwayatannya bersambung dan sampai ke seseorang ma’shum dan diriwayatkan oleh periwayat bermaz|hab imamiyyah yang bersifat terpuji dan tidak ada bukti tentang cacat dan kredibilitasnya, ada di setiap t}abaqah
Hadis Muwas|s|aq adalah:
يقهصحابعليتوثمادخلفيطريقهمننصاأل35معفسادعقيدتهولميشتملباقيهعليضعف
Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat bukan pengikut maz|hab syi’ah ima>miyyah tetapi terbukti sebagai periwayat terpercaya.
Hadis D}a’i>f
مااليجتمعشروطاحدالثالثة
Hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis-hadis di atas; tidak bersambung ke ma’shum, tidak bermaz|hab imamiyyah, bukan periwayat yang ‘adl dan terpercaya.
34
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.
52.
35 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,
h. 54.
82
Empat jenis hadis di atas, menurut Ja’far Subhani bisa
diterima. Terutama tiga hadis pertama, s}ah}i>h}, hasan, dan
muwassaq. Adapun terhadap hadis d}a’i>f Ja’far Subhani
berpendapat:
ي ح جو وال لنا األفالض ذ ز جميع اذ حاديثعيففيت ب ر القرائ ما هناك ص ن حصل ور ق د علي ي ب ه دؤي ما
36هبعضابعض
Tidak boleh membuang hadis d}a’i>f di semua hadis yang ada. Karena terkadang dia memilik banyak indikator yang bisa dijadikan bukti tentang kebenarannya. Bahkan terkadang hadis-hadis d}a’i>f itu saling memperkuat sebagian yang lainnya. Berdasarkan pernyataan Ja’far Subhani di atas, jelas
bahwa sikap terhadap sebuah hadis d}a’i>f sama sebagaimana
para ulama sunni. Dalam kajan hadis sunni, Hadis d}a’i>f bisa
diterima dengan syarat kelemahannya tidak patal, berkaitan
dengan keutamaan beribadah yaitu tarhi>b wa targhi>b, tidak
diyakinkan sebagai sabda Nabi saw, memiliki dasar hukum
dari hadis s}ah}i>h}, memberi penjelasan akan ked}a’i>fannya, tidak
menggunakan formulasi jazm yang mengisyaratkan bahwa
Nabi saw benar-benar pernah bersabda, tetapi menggunakan
ungkapan tamrid}, seperti ruwiya, qi>la, dan lain-lain.
Selain itu, definisi empat hadis di atas, secara tidak
langsung memperlihatkan bahwa pertimbangan kualitas
sebuah hadis yang pertama adalah kebermaz|haban. Walaupun
kualifikasi seorang periwayat belum jelas, tetapi jika sudah
dipastikan bahwa dia seorang bermaz|hab imamiyyah yang
36
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,
(Beirut: Daur Al-A’immah, 2012), h. 61.
83
terpuji maka periwayatannya bisa diterima dan lebih
diutamakan.
5. Periwayat Maqbu>l Wacana hadis maqbu>l dan hadis mardu>d merupakan
salah satu wacana penting dalam ilmu hadis. Dalam kitabnya,
Ja’far Subhani menjelaskan mengungkapkan hadis maqbu>l
dengan man tuqbal riwa>ya>tuh. Menurut Ja’far Subhani, syarat-
syarat periwayat yang bisa diterima periwayatannya ada
lima37
:
1. Islam
Dengan persyaratan ini ulama Syi’ah tidak menerima
periwayatan dari orang kafir seperti Yahudi, Nasrani,
Khawarij, Syi’ah Ghulat, Mujassimah. Sedangkan kafir
dzimmi, periwayatannya bisa diterima, khusus dalam
permasalahan wasiat.
2. Baligh
Periwayat-periwayat yang meriwayatkan hadis, maka
periwayatannya tidak bisa diterima jika usianya tidak
mencapai baligh. Sedangkan yang sudah tamyi>z terjadi
perbedaan pendapat. Akan tetapi, menurut Ja’far Subhani
pendapat yang adalah tidak diterimanya periwayat yang baru
mencapai tamyi>z.
3. Berakal
Sebagaimana menurut ulama Suni, periwayatan seseorang
yang tidak berakal maka tidak bisa diterima. Terutama orang
yang tidak berakal sejak lahirnya.
4. Ima>miy Dalam kajian ilmu hadis konsep ima>mi> menjadi
pembahasan penting dan menjadi titik pembeda antara Ilmu
37
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,
h. 132.
84
Hadis Syi’ah dan Ilmu Hadis Sunni. Keberadaan syarat ima>mi> adalah sebagai sebuah fakta konsistensinya maz|hab Syi’ah
dalam menerapkan konsep ima>mahnya dalam semua aspek
kehidupan dan ilmu pengetahuan. Ima>miyy di sini tidak berarti
harus kedua belas imam, tetapi seseorang yang meyakini akan
keimaman seorang imam yang ada di zamannya. Menurut
Ja’fa Subhani, seandainya imam dua belas harus ada di setipa
t}abaqah, maka akan ada banyak hadis sohih yang tertolak.38
Jadi dalam kajian hadis Syi’ah, keberadaan seorang
ima>miyy membawa pengaruh positif akan kualitas sebuah
hadis. ketika dalam rantai periwayatan tidak ada ada seorang
ima>miyy maka kualitas hadisnya akan menjadi lebih rendah
atau dinilai tidak sohih.
5. ‘Ada>lah
Tentang persyaratan ‘adalah bagi seorang periwayat
hadis tidak ada perbedaan yang signifikan antara ulama Sunni
dan Syi’ah. ‘adalah adalah suatu karakater yang secara
konsisten menajaga ketaqwaan, meninggalkan dosa besar,
tidak kembali melakukan dosa kecil, dan menjaga kehormatan
diri. Adapun kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh
anggota badan maka tidak mempengaruhi terhadap kualitas
‘adalahnya.
6. D}abt} Dalam wacana ilmu hadis Sunni populer dengan nama
al-d}abt| fi> s}adr dan d}abt} fi> al-kita>b. Begitu juga dalam tradisi
Syi’ah. D}abt} adalah tingkat akurasi hafalan atau tulisa hadis
yang diriwayatkan oleh seorang periwayat hadis. seorang
periwayat hadis, baik hafala atau pun tulisan hadisnya
diharuskan memiliki akurasi yang baik. Jika tidak demikian,
38
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,
h. 51.
85
maka akan berpengaruh terhadap kualitas periwayatannya.
Dalam pembahasan syarat yang satu ini, seorang periwayat
yang mengalami atau memiliki cacat mata, atau ummiy tidak
menjadi penghalang keabsahan periwayatan. Bahkan tidak
disyaratkan harus menguasai suatu disiplin ilmu, seperti ilmu
fikih, ilmu hadis, atau pun tidak ada keharusan harus laki-laki
atau pun perempuan.39
6. Istilah-istilah Hadis Syi’ah
Selain pembagian hadis menjadi empat macam, yaitu
hadis sohih, hasan, muwassaq, dan d}a’i>f, nama-nama hadis
syi’ah terbagi menjadi dua kelompok. 40
Pertama kelompok
hadis yang menghimpun empat hadis di atas. Ini disebut
musytarak. Kedua kelompok hadis yang khusus untuk hadis-
hadis d}a’i>f. Ini disebut dengan mukhtas|. Hadis-hadis yang
termasuk pada kelompok musytarak adalah musnad, muttas|il, marfu>’, mu’an’an, mu’allaq, mufrad, mudraj, masyhu>r, ghari>b, muttafaq ‘alaih, mus}ah}h{af, ‘ali>, syaz|, musalsal, mazi>d, mukhtalif, nasikh-mansu>kh, maqbu>l, mu’tabar, muka>tab, muh}kam, mutasya>bih, musytabih, maqlu>b, musyatarak, mu’talif, mudabbaj, riwa<yah al-aqra>n, riwa>yah al-aka>bir ‘an al-as}agir, sa>biq-la>h}iq, mat}ru>h}, matru>k, nas}, musykil, z}a>hir, mujmal, dan mubayyan. Sedangkan nama-nama hadis mukhtas} adalah mawqu>f , maqtu>’, munqat}i’, mu’d}al, mud}mar, mursal, mu’allal, mudallas, mudt{}arib, maqlu>b, muhmal, majhu>l, dan
maud}u>’. 41
39
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.
51.
40 Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,
h. 65-120.
41Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.
65-120.
86
Dalam hal ini, penulis akan menjelaskan dengan
ringkas definisi hadis-hadis di atas berdasarkan definisi yang
dijelaskan oleh Ja’far Subhani.
Hadis-hadis musytarak.42
Hadis musnad adalah hadis
yang sanadnya bersambung sampai ke sumber yang ma’shum,
baik Nabi saw atau pun para imam. Hadis muttas}il adalah
lebih umum dari pada musnad. Jika musnad bersambung ke
sumber yang ma’shum baik nabi atau pun para imam (marfu>’) atau hanya bersambung ke para sahabatnya (mauqu>f). Hadis
marfu>’ adalah hadis yang disandarkan kepada yang ma’shum,
baik nabi atau pun salah satu imam, berupa ucapan, perbuatan,
penetapan, baik bersamung atau pun yang terputus. Hadis
mu’an’an adalah hadis yang di dalam sanadnya terdapat ‘an ... ‘an ...hadis mu’an’an pada dasarnya termasuk hadis
periwayatannya dinilai bersambung dengan syarat adanya
dugaan dan kemungkinan yang kuat proses pertemuan antara
guru dan murid dan terbebas dari sikap tadli>s. Hadis mu’allaq adalah hadis yang gugur sanad pertamanya, satu atau pun
lebih. Hadis mufrad adalah hadis yang tidak diriwayatkan
kecuali oleh satu periwayat saja, atau satu kelompok saja, atau
satu penduduk kota saja. Hadis mudraj adalah hadis yang
terdapat kata atau kalimat yang disisipkan oleh periwayat
hadis sehingga sisipan tersbut dianggap bagian dari hadis.
Hadis masyhu>r adalah hadis yang periwayatannya populer di
kalangan ahli hadis, ahli tafsir, ahli fikih, dan ahli tasawuf.
Jika periwayatan populer di selainnya maka merupakan hadis
d}a’i>f. Hadis ghari>b adalah hadis yang dalam periwayatannya
ada seorang periwayat yang menyendiri baik dalam sanad,
matan, atau dalam sanad dan matannya. Hadis muttafaq ‘alaih
42
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.
65-120.
87
adalah hadis yang disepakati oleh dua periwayat atau lebih.
Hadis mus}ah}h}af adalah hadis yang dalam sanad atau dan
matannya terjadi perubahan dalam cara baca atau perubahan
huruf (muh}arraf). 43Hadis ‘ali> adalah hadis yang perantara
periwayatannya lebih sedikit dan bersambung ke sumber yang
ma’shum. Semakin dekat zaman periwayatan kepada sumber
yang ma’shum maka sanad hadis tersebut semakin tinggi
kualitas sanadnya. Hadis sya>z| adalah hadis yang diriwayatkan
oleh periwayat s|iqah tetapi menyalahi periwayatan yang lebih
populer. Hadis musalsal adalah hadis yang sanadnya
menggambarkan cara periwayat dalam meriwayatkan hadis
kepada murid-muridnya dengan mengikuti cara periwayat
sebelumnya. Hadis musalsal pada dasarnya tidak menentukan
diterima atau ditolaknya sebuah hadis, tetapi lebih mengarah
kepada seni dalam meriwayatkan hadis. Hadis maz|i>d adalah
hadis yang mengandung unsur tambahan dari periwayat hadis
baik dalam sanad atau pun dalam matan. Adanya hadis
mukhtalif adalah ketika ada dua hadis yang saling
bertentangan. Pertentangan tersebut baik bersifat
pertentangan yang nyata yang tidak bisa lagi melalui jalan
kompromi atau pertentangan yang masih bisa dikompromikan.
Hadis na>sikh mansu>kh adalah menghapus hukum yang
muncul terdahulu dengan dalil sejenisnya dengan syarat
seandainya yang menghapus tersebut tidak ada maka legalitas
hukumnya tetap berlaku. Hadis maqbu>l adalah hadis yang
diterima dan diamalkan. Hadis mu’tabar adalah hadis yang
diamalkan oleh banyak orang dan sah dijadikan dalil dalam
beristinbat hukum. Hadis muka>tib adalah hadis yang
menceritakan tentang karya-karya imam ma’shum, baik yang
berkaitan penjelasan-penjelasan suatu hukum atau menjawab
43
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.
65-120.
88
atas permasalahan-permasalah. Hadis muh}kam adalah hadis
yang maksudnya bisa diketahui secara jelas dari tekstual
redaksinya. Sedangkan hadis mutasya>bih adalah hadis yang
mengandung unsur makna yang tidak kuat. Hadis musytabih
adalah hadis yang mengandung kesamaran dalam benak
periwayat bukan dalam tulisannya. Hadis musytarak adalah
hadis yang salah satu periwayatnya tidak jelas antara seorang
yang s|iqah atau tidak. Hadis mudabbaj adalah hadis yang
didalamnya ada periwayat-periwayat yang berdekatan dalam
hal umur, sanada, atau pertemuan dalam mencari ilmu
kemudian periwayat-periwayat tersebut saling meriwayatkan.
Hadis aka>bir ‘ala> al-s}agha>’ir adalah sebuah hadis yang
didalamnya terjadi periwayat senior meriwayatkan hadis dari
periwayat yang masih junior, atau periwayat sahabat
meriwayatkan hadis dari periwayat tabi’in. Hadis sa>biq la>h}iq
adalah hadis ketika ada dua periwayat yang bersama-sama
meriwayatkan hadis dari guru yang sama, kemudian salah satu
periwayat tersebut meninggal. Hadis mat}ru>h} adalah hadis yang
berselisih dengan dalil qat}’iyy dan tidak bisa ditakwilkan lagi.
Hadis matru>k adalah hadis yang di antara periwayatnya ada
yang dinilai bohong dan hadisnya tidak diketahui kecual dari
jalur periwayatannya. Hadis musytarak adalah hadis yang
banyak mengandung kata-kata rumit yang tidak bisa dipahami
kecuali oleh para ahli. Hadis nas} adalah hadis yang maknanya
jelas yang memiliki makna satu.
Hadis-hadis mukhtas}.44 Hadis mauqu>f ada dua macam.
Pertama mauqu>f mutlq, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh
sahabat-sahabat nabi atau sahabat-sahabat para imam. Kedua
mauqu>f muqayyad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang-
44
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.
65-120.
89
orang yang bukan dari kalangan sahabat nabi dan bukan dari
kalangan sahabat para imam. 45
Hadis maqtu>’adalah hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat dari sahabatnya nabi dan para
imam. Hadis munqat}i’ adalah hadis yang tidak bersambung
sampai kepada para imam ma’shum karena gugurnya satu
periwayat atau lebih. Hadis mu’d}al adalah hadis yang gugur
dua periwayat atau lebih dalam sanad periwayatannya. Hadis
mu’allaq adalah hadis yang gugur sanad pertamanya, satu
periwayat atau lebih. Hadis Mud}mar adalah perkataan
sahabat-sahabat imam ma’s}u>m ‚aku bertanya kepadanya, dia
berkata atau menjawab‛ dengan menyembunyikan nama
imamnya dengan tujuan taqiyyah. Hadis ini merupakan hadis
yang dimiliki secara khusus oleh kelompok Syi’ah. Hadis
mursal adalah hadis yang diriwayatkan seorang periwayat
diterima dari imam yang ma’shum namu pada dasarnya
periwayat tersebut tidak bertemu dengan imam tersebut.
Hadis mu’allal adalah hadis yang di dalam sanad atau
matannya terdapat cacat yang samar dan sulit mendeteksinya
kecuali oleh para ahli hadis. Hadis mudallas memiliki tiga
definisi. Pertama, seorang periwayat menyatakan bahwa dia
telah meriwayatkan hadis dari guru periwayatan yang sezaman
dan pernah bertemu tetapi pada dasarnya dia tidak pernah
mendapatkan hadis dari gurunya tersebut. Kedua, seorang
periwayat hadis menggugurkan guru periwayatannya yang
dinilai lemah dengan tujuannya supaya sanadnya dinilai baik.
Ketiga, seorang periwayat hadis menyamarkan nama guru
periwayatannya dengan nama kunyah atau nama lain dari
gurunya yang tidak populer. Definisi ini dikenal dengan nama
tadli>s al-syuyukh. Hadis mud}t}arib adalah hadis yang dalam
matan dan sanadnya terjadi perselisihan. Hadis muhmal
45
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.
65-120.
90
adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat periwayat yang
tertulis dalam kitab-kitab rijal tetapi belum ada kesepakatan
tenang kualitasnya, terpuji atau tercela. Hadis majhu>l adalah
hadis yang di dalam sanadnya terdapat periwayat yang
figurnya tidak dikenal oleh ahli hadis. Hadis maud}u>’ adalah
hadis bohong, hadis yang dibuat-buat dan merupakan hadis
yang paling rendah derajatnya.
Dari sekian nama-nama hadis dalam kajian ilmu hadis
syi’ah, pada umumnya ulama Syi’ah menggunakan istilah
yang sama dengan ulama Sunni. Yang menjadi titik perbedaan
adalah mempertimbangkan kema’shuman para imam untuk
sumber periwayatan. Jika dalam hadis Sunni, sumber utama
periwayatan hadis adalah Nabi saw. Sedangan Syi’ah tidak
hanya berpusat pada Nabi saw, tetapi juga para imam
ma’shum. Selain itu itu ulama Syi’ah juga memiliki istilah
khusus yang berkaitan langsung dengan ajarannya, yaitu hadis
mud}mar sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. 7. Naskh Mansu>kh
Nasikh mansukh adalah sebuah metode yang
digunakan ketika terjadi kontradiksi dua dalil yang sudah
tidak bisa dikompromikan. Kedua dalil tersebut adalah benar-
benar saling bertentangan bukan karena ragam interpretasi.
Implikasi dari sebuah nasikh mansukh adalah ketetapan
legalitas hukum yang disampaikan oleh dalil terakhir dan
hilangnya legalitas hukum yang disampaikan oleh dalil
terdahulunya.
Menurut Ja’far Subhani naskh adalah:
46كانثابتال اله لو هعليوجه مثل دليل ب مالسابق ك الح ع ف ر
46
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah, h.
88
91
Menghapus hukum yang muncul terdahulu dengan dalil sejenisnya dengan syarat seandainya yang menghapus tersebut tidak ada maka legalitas hukumnya tetap berlaku. Tentang penghapusan antara ayat Al Qur’an dan hadis
Nabi saw, Ja’far Subhani sependapat dengan kesepakatan
ulama bahwasannya penghapusan terjadi antara Al-Qur’an
dengan Al-Quran, Al-Qur;an dengan khabar Ah}a>d. Ja’far
Subhani juga mengakui adanya perbedaan pandangan tentang
penghapusan Al-Qur’an dengan hadis Ah}a>d. walau pun tidak
memperlihatkan pandanganya dalam karya tersebut, tapi
penulis berkesemipulan bahwa Ja’far Subhani sepakat demgan
ulama yang berpendapat bahwa dalil-dalil yang berdifat
zhonni tidak bisa menghapus dalil yang bersifat qat’i> . Jafar Subhani juga menambahkan bahwa untuk
mengetahui keberadaan nasikh mansukh adalah Ada nash
langsung dari saw seperti hadis, periwayatan sahabat, data
sejarah, dan ijma.
Dalam pandangan Ja’far Subhani, keberedaan imam
dua belas dalam hal ini adalah sebagai kasyif, celah pembuka
yang menghubungkan nashk yang disabdakan nabi.
Fungsingnya untuk menyampaikan yang disampaikan oleh
Nabi saw kepada umatnya melalui perantara imam dua belas
karena telah terputusnya zaman nubuwwah.47
8. Keadilan Sahabat
Sahabat adalah orang yang pertama kali mendengar
perkataan, melihat perilaku, dan menyaksikan penetapan-
penetapan Nabi saw tentang sebuah aturan hidup bersosial dan
beragama. Sahabat juga menjadi saksi hidup akan perjalanan
47
Ja’far Subhani, Us}ul al-H}adi>s| wa Ah}ka>muh fi> ‘Ilm al-Dira>yah,
h. 88.
92
kehidupan Nabi saw sejak berada di tengah masyarakat Arab
sampai akhir hayatnya. Keberadaannya sangat penting karena
menjadi pernyambung pesan-pesan kenabiannya. Sehingga
para ulama memberikan ruang khusus dalam mengkaji
keberadaannya sebagai periwayat hadis setelah Nabi saw.
Seluruh sahabat, dalam pandangan ulama Sunni, adalah ‘udul, yang berpengaruh bahwa sahabat tidak perlu pengkajian lagi
tentang periwayatannya, tidak boleh melakukan celaan
kepadanya, dan semua periwayatannya diterima. Argumentasi
keadilan sahabat tersebut berdasar kepada ayat-ayat suci Al-
Quran, hadis, dan ijma’ ulama.
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama Sunni, bagi
ulama Syi’ah, termasuk Ja’far Subhani, bahwa keadilan
sahabat tidak merata untuk semua sahabat. Dalam pandangan
Ja’far Subhani argumentasi-argumentasi tentang keadlian
sahabat banyak mengandung tendensi dan subjektifitas. Dalam
hal ini, Ja’far Subhani menulis buku yang berjudul ‚’Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n‛ . Judul tersebut
menjelaskan bahwa ada dua perspektif dalam menyikapi
keadilan sahabat. Ada yang memandang dengan subjektifitas
dan ada juga yang objektif berdasarkan dalil-dalil, baik Al-
Quran atau pun sunnah. Penulis berasumsi bahwa pendapat
keadilan sahabat menurut mayoritas ulama Sunni dinilai Ja’far
Subhani sebagai pemikiran subjektif, tidak objektif atas
realitas yang terjadi di kalangan sahabat.
Ja’far Subhani menilai bahwa hidup bersahabat dengan
Nabi saw dapat melahirkan pengaruh terhadap kejiwaan para
sahabatnya. Hal ini karena Nabi saw adalah seseorang yang
diberi cahaya ilahiyyah sehingga bisa memancarka hal-hal
positif kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Akan
tetapi, menurut Ja’far Subhani, cahaya ilahiyyah tersebut
diterima oleh para sahabat dengan cara berbeda, berdasarkan
kadar kemampuannya. Ada yang mencapai pada puncak
kesempurnaan ada juga yang tidak. Perbedaan hasil yang
93
diperoleh dari persahabatan tersebut terjadi dengan tiga faktor.
Yaitu usia, kesiapan jiwa dalam menerima cahaya ilahiyyah,
dan perbedaan waktu kebersamaan serta persahabatan dengan
Nabi saw.48
Menurut Ja’far Subhani, seseorang yang baru mencapai
usia muda, hati dan jiwanya seperti tanah yang subur yang
dapat tumbuh di atasnya tanaman apa saja. Artinya sahabat-
sahabat yang baru mencapai usia ini lebih mudah dalam
menerima cahaya ilahiyyah dari Nabi saw. Berbeda dengan
orang yang sudah sempurna jiwa dan pemikirannya, pengaruh
cahaya ilahiyyah terhadap jiwa dan alam fikirnya jauh lebih
sulit diterima. Selain usia, perbedaan kesiapan para sahabat
dalam menerima hidayah ilahiyyah berbeda-beda. Hal ini
berpengaruh kepada hasil yang didapatkan oleh para sahabat
terkait pengaruh yang dipancarkan oleh cahaya ilahiyyah dari
Nabi saw. Seperti halnya orang yang tengah mencari ilmu
pengetahuan, hasil yang didapatkan relatif berbeda sesuai
dengan kesiapan mentalnya ketika mencari ilmu. Selain itu,
waktu persahabat dan kebersamaan para sahabat dengan nabi
juga tidak sama. Dalam hal ini, Ja’far Subhani menjelaskan
bahwa sebagian sahabat ada yang bersama nabi sejak
permulaan kerasulan, setelah kerasulan dan sebelum hijrah,
ada yang masuk islam setelah hijrah, selama sebulan, setahun,
beberapa hari, dan ada yang bersama nabi beberapa waktu
saja. Menurut Ja’far Subhani, realitas ini menjadi faktor yang
memperkuat bahwa variasi waktu kebersamaan dan
persahabatan para sahabat dengan Nabi saw mempengaruhi
48
Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n,
(Qum: Yayasan Imam Shodiq, 1424 H.), h. 15.
94
akan kualitas keimanan, ketakwaan, keutamaan, dan kemulian
para sahabat.49
Menurut Ja’far Subhani, para sahabat memiliki sifat
sebagaimana manusia biasa, tidak seperti malaikat yang selalu
benar dalam perbuatan-perbuatannya. Dia melakukan yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, sebagaimana
para tabi’in dan atba’ tabi’in setelahnya. Maka larangan atau
pengharaman melakukan kritik secara objektif kepada mereka
adalah sesuatu yang tidak wajar.50
Ja’far Subhani menilai bahwa ulama-ulama Sunni telah
bersikap berlebihan dalam memberi penilaitan posistif
terhadapa para sahabat, terutama tentang keadilan sahabat. Di
antara sikap berlebihan tersebut adalah:
Pertama, menyatakan adanya sunnah sahabat,
sebagaimana adanya sunnah nabi. Dalam hal ini, Ja’far
Subhani merespons pandangan ‘Ajaj Khatib yang mengatakan
bahwa istilah sunnah juga sah disandarkan kepada para
sahabat. dalam arti para sahabat memiliki sunnah-sunnah yang
bisa menjadi hujjah dan sah untuk diikuti. Tentang adanya
sunnah sahabat tersebut didasarkan pada hadis yang
menjelaskan bahwa nabi pernah memerintahkan untuk
mengikuti sunnah-sunnahnya dan sunnah-sunnah para
khalifah. Selain itu juga berdasar pada pada hadis yang
menjelaskan bahwa hanya ada satu kelompok yang akan
masuk surga yaitu ma> ana> ‘alaih wa as|h}a>bih, yaitu mereka
yang mengikutiku dan sahabat-sahabatku. Sunnah-sunnah
yang telah dibuat oleh para sahabat tersebut di antaranya
adalah had minum khamr, kodifikasi Al-Quran atas usulan
49
Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-
Burha>n, h. 16.
50 Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-
Burha>n, h. 18.
95
sahabat Umar bin Khattab, menseragamkan bacaan Al-Quran
dengan satu dialek, dan sebagainya. Selain itu, Ja’far Subahni
juga memberikan respons terhadap pandangan Abu Zahrah
yang mengatakan bahwa para imam maz|hab telah menjadikan
fatwa sahabat sebagai dasar hukum walaupun mereka berbeda
dalam metode penerapannya. Misalnya, Al-Syafi’i menilai
bahwa fatwa sahabat itu bersifat ijtihad. Tetapi ijtihad para
sahaba lebih baik dari pada ijtihadnya sendiri. Sedangkan
Maliki menjadikan fatwa-fatwa sahabat sebagai bagian dari
sunnah. Al-Suyu>t}i> juga memberikan pandangan bahwa
sunnah-sunah sahabat adalah bagian dari agama.51
Penulis
menilah bahwa menurut pandangan Ja’far Subhani tentang
sikap tiga ulama di atas adalah sikap yang berlebihan dalam
memposisikan sahabat nabi. Secara tidak langsung, tiga ulama
tersebut menilai bahwa para sahabat memiliki hak untuk
membuat syari’at dan menentukan hukum. Sedangkan Al-
Quran sendiri menyatakan bahwa yang berhak atas semua itu
adalah Allah swt.
Kedua, menghindari diri mengkritik sahabat. dalam hal
ini, Ja’far Subhani menyebutkan ulama besar, yaitu Ah}mad ibn Hanbal dan Asy’ari >. Menurut Ah}mad ibn Hanbal sebaik-
baiknya umat setelah wafat Nabi saw adalah Abu Bakar, Umar
bin Khattab, Usman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib
kemudian sahabat-sahabat nabi setelah khulafaur rasyidun.
Maka seseorang tidak boleh menyebutkan sesuatu kejelakan
mereka dan tidak boleh mencelanya. Barang siapa yang
melakukan demikian, maka seorang pemimpin berkewajiban
untuk mendidiknya dan memberinya sanksi serta memintanya
untuk bertaubat atas sikapnya tersebut. Jika masih tidal
51
Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-
Burha>n, h. 44.
96
bertaubat maka berhak menjilidnya sampai mau bertaubat.
Sedangkan menurut Al-‘Asy’ari bahwa ada sepuluh sahabat
yang disaksikan langsung Nabi saw sebagai ahli surga.
Kemudian sahabat-sahabat nabi selainnya yang tidak
membutuhkan lagi kritik. Penulis menilai sikap-sikap ulama di
atas, dalam pandanngan Ja’far Subhani, adalah sikap yang
berlebihan. Bahkan Ja’far Subhani menilai bahwa pernytaan-
pernyataan ulama di atas bertentangan dengan Al-Quran dan
Hadis.52
Ketiga, pernyataan sunah itu hakim bagi Al-Quran
dengan maksud bahwa Al-Quran itu membutuhkan sunnah.
Ja’far Subhani menyebutkan bahwa pandanngan tersebut
merupakan pernyataan Al-Darimi dalam kitabnya. Tentang
hal, Ja’far Subhani menilai bahwa pernyataan yang ditulis Al-Da>rimi> tidak tepat. Seharusnya adalah sunah membutuhkan
Al-Quran bukan sebaliknya.53
Keempat, riiwayat-riwayat sahabat adalah hujjah tanpa
terkecuali. Di antara sikap berlebihan terhadap sahabat adalah
berkesimpulan bahwa setiap riwayat sahabat adalah hujjah
tanpa terkecuali. Hal ini jelas berlebihan karena derajat
kualitas setiap sahabat adalah berbeda. Di antara mereka ada
yang belum kokoh imannya, munafik, dan ada juga yang fasik
ketika turunnya Al-Quran. 54
52
Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-
Burha>n, h. 50.
53Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n,
h. 53.
54Ja’far Subhani, Ada>lah al-S}ah}a>bah bain al-‘A<t}ifah wa al-Burha>n,
h. 57.
97
Selain menilai adanya berlebihan dalam bersikap
terhadap sahabat, Ja’far Subhani juga menilai bahwa Al-Quran
sendiri membuktikan bahwa sahabat melakukan perbuatan-
perbuatan yang tidak sesuai dengan keadilan sahabat. Pertama,
mengabaikan perintah nabi saw di saat perang Uhud. Kedua,
meninggalkan Nabi saw ketika berkhutbah. Ketiga, berkhianat
dengan melakukan nikah sirri. Keempat, penghianatan pada
saat perang Badar oleh sebagian sahabat. Kelima, melakukan
perbuatan fasik dengan membohongi Nabi dan para sahabat.
Keenam, berselisih tentang masalah domba sampai saling
bermusuhan. Ketujuh, adanya orang-orang munafik yang
menyelinap di antara para sahabat.
D. Pemetaan Pemikiran Ja’far Subhani
Berdasarkan kajian biografi, pemikiran, dan karya-
karyanya, penulis memposisikan Ja’far Subhani sebagai
seorang ulama syi’ah produktif, banyak mencurahkan sebagian
banyak waktunya untuk dunia akademik. Mengikuti alur
pemikirannya, Ja’far Subhani adalah seorang ulama besar
syi’ah yang termasuk pada kelompok us}u>liyyu>n. Kelompok
ushuliyyun adalah nama kelompok ulama syi’ah yang
mengembangkan nalar-nalar ijtihad dengan paradigma ajaran
syi’ah ima>miyyah. Dalam kajian ilmu hadis, alur pemikirannya
searah dengan ulama sebelumnya seperti Hasan Shadr.
Kelompok ulama ini, dalam perkembangannya, bersifat lebih
inklusif terhadap kajian hadis dan fikih. Buktinya adalah
mereka sudah banyak mengutip hadis-hadis atau pendapat
ulama fikih dari kelompok Sunni.
98
99
BAB IV
VALIDITAS KOMENTAR DAN PEMAHAMAN JA’FAR
SUBHANI TENTANG HADIS-HADIS NIKAH MUT’AH
DALAM KITAB MUT’AH AL-NISA<’ FI< AL-KITA<B WA
AL-SUNNAH
A. Nikah Mut’ah di Awal Islam
Nikah mut’ah adalah salah satu bentuk pernikahan
yang umum dipraktekan oleh bangsa Arab sebelum
kedatangan Islam. Setelah Islam datang, nikah mut’ah masih
dipraktekan oleh sebagian masyarakat Arab. Dalam hal ini,
ahli sejarah, ulama Sunni, dan Syiah berpendapat bahwa
praktek nikah mut’ah masih dilakukan oleh segenap
masyarakat bahkan para sahabat Nabi saw. Tentang hal ini,
Ja’far Subhani berpendapat bahwa mut’ah adalah jenis
praktek nikah yang populer di awal kedatangan Islam.
Pendapat ini sesuai dengan pandangan ulama besar seperti
Yah{ya> ibn Syaraf al-Nawawiy, dalam kitab Al-Minha>j fi> Syarh} S}ah}i>h} Muslim.
1 Quraish Shihab menegaskan bahwa
seluruh ulama baik dari kalangan Sunni atau pun Syiah
bersepakat bahwa nikah mut’ah pernah dibenarkan oleh
Rasulullah dan dipraktekan oleh sebagian sahabat2. Adapun
Ja’far Subhani mendasarkan pendapatnya pada riwayat Ibn Abi> H}a>tim dari Ibn Abba>s: yaitu:
1Yah{ya> ibn Syaraf al-Nawawiy, Al-Minha>j fi Syarh} S{ah{i>h} Muslim, (Riyadh: Baitul Afkar, t.th.) h. 871
2 Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai Seks dari Nikah
Mut’ah sampai Nikah Sunnah, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 213
100
ساءمتعةكانت لفالن جلكاناإلسالم،أو قدمالر سالبلدة، عتهلهصلحمنمعهل بحفظصلحوالضجمتاعه، تزو رىماقدرإلىالمرأةف ه فرغأن منعتهلهوتصلحمتاعهلهفتنظرحاجته، 3ض
Diriwayatkan oleh Ibn Abi> H}a>tim dari Ibn ‘Abba>s, ia berkata : nikah mut’ah itu terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri dimana ia tidak disertai orang yang bisa mengurusi urusannya dan yang bisa menajaga barang-barangnya, lalu ia mengawini seorang wanita sampai selesai segala urusan dan kebutuhannya. Lalu wanita itu memelihara barangnya dan melayani urusannya
Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu contoh
praktek mut’ah yang terjadi pada awal Islam adalah praktek
mut’ah yang dilakukan oleh seorang musafir yang tidak
ditemani oleh rekan, keluarga, dan bahkan istrinya.
Sebagaimana pemahaman Ja’far Subhani terhadap hadis
tersebut, hal ini memang menjadi fakta bahwa praktek nikah
mut’ah sudah menjadi hal umum di kalangan masyarakat Arab
awal Islam. Huruf fa>’ dalam kata fatazawaju al-mar’ah
menunjukan bahwa tindakannya mengambil cara nikah mut’ah
adalah tindakan spontanitas yang tidak membutuhkan
pertimbangan yang cukup lama. Karena memang nikah mut’ah
sudah menjadi salah satu budaya masyarakat Arab pada saat
itu. Tetapi Ja’far Subhani juga mengakui bahwa Nikah Mut’ah
yang dipraktekan pada awal Islam tidak lepas dari konteksnya
3 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, (Qum:
Muassasah Imam Shodiq, 2002), h. 22
101
pada saat itu. Dalam Istilah Ja’far Subhani nikah mut’ah
dilakukan dalam z{uru>f kha>s} (kondisi-kondisi tertentu) dan
gha>yah ‘uqala >’iyyah (tujuan-tujuan kemanusiaan).4 Di sini
Ja’far Subhani juga menegaskan bahwa praktek nikah yang
didengungkan oleh kalangan Syiah pada dasarnya tidak
sekedar menghalalkan, tetapi memiliki tujuan kemanusiaan
demi tercapainya suatu kemaslahatan.
Sebagaimana dalam footnote yang terdapat pada kitab
Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah karya Ja’far Subhani, penulis menemukan bahwa Ja’far Subhani mengutip
hadis riwayat Ibn Abi> H}a>tim dari kitab tafsir al-Durr al-Mans\u>r karya Jala>luddin Al-Suyu>t}i> (w.911 h.). Berdasarkan
\cetakan Mesir tahun 2003 riwayat tersebut terdapat pada juz 4
halaman 327 5. Jala>luddin Al-Suyu>t}i> meletakan riwayat
tersebut ketika memberikan penafsiran terhadap ayat فما ayat ke-24 surat Al-Nisa’. Pada dasarnya, Jala>luddin استمتعتمبهAl-Suyu>t}i> tidak hanya menampilkan riwayat Ibn Abi> H}a>tim ketika menafsirkan ayat فمااستمتعتمبه. Penulis menemukan ada sekitar 32 riwayat yang terdiri dari hadis marfu>’ dan hadis
mauqu>f yang ditampilkan Jala>luddin Al-Suyu>t}i> ketika
menafsirkan ayat tersebut.6
Setelah melakukan komparasi riwayat Ibn Abi> H}a>tim
yang ada dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah tersebut dengan riwayat yang ada dalam tafsir karya
Jala>luddin Al-Suyu>t}i>, penulis menemukan adanya perbedaan
4 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 24
5Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r,
Juz 4, (Kairo: Al-Muhandisin, 2003), h. 327
6 Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r,
h. 327-335
102
redaksi antara Ja’far Subhani dan Jala>luddin Al-Suyu>t}i>. Perbedaan tersebut bukan merupakan variasi riwayat, tetapi
terletak pada penampilan matan yang tidak sempurna. Ini
terjadi dalam riwayat yang dikutip oleh Ja’far Subhani dalam
kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi al-Kita>b wa al-Sunnah.7 Riwayat Ibn Abi> H}a>tim dalam kitab tafsir al-Durr al-
Mans|u>r adalah sebagai berikut:
وأخشج ات أت داذى ػ يرؼح كاد : "قال ػثاط، ات
ل ف ء انغا اإلعالو، أو جم كا ظ انثهذج، قذو انش يؼه ن
ؼره نه صهخ ي ج يراػه، تذفظ صهخ وال ض فرضو
شأج فشؽ أه شي يا قذس إن ان ظش داجره، ي نه فر
ؼره، نه هخ وذص يراػه ض ا: " قىل وكا رؼرى ف ته اعر
ه " غخرها" ي ش يذص غ " يغافذ وكا
جم، تذ اإلدصا غك انش ".شاء ير وطهق شاء ير
8
Ibn H}a<tim telah meriwayatkan melalui jalur Ibn ‘Abba>s bahwa dia berkata; nikah mut’ah itu terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri dimana ia tidak disertai orang yang bisa mengurusi urusannya dan yang bisa menajaga barang-barangnya, lalu ia mengawini seorang wanita sampai selesai segala urusan dan kebutuhannya. Lalu wanita itu memelihara
7 Pada tahapan selanjutnya, nama kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-
Kita>b wa al-Sunnah karya Ja’far Subhani, akan ditulis dengan ringkas
menjadi Mut’ah al-Nisa>’
8 Jalaluddin Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-
Ma’s}u>r, Jld. 4, h. 327
103
barangnya dan melayani urusannya dan Ibn ‘Abba>s membaca ayat ‚fa ma> istamta’tum bihi> minhunn ila> ajal musamma>‛, ayat tersebut telah terhapus oleh ayat ‚muh}s}ini<n ghair musa>fihi>n‛ dan maksud kata al-ih{s{a>n adalah seorang laki-laki bisa mempertahankan dan menceraikan istrinya kapan saja.
Berdasarkan kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r, riwayat
yang dikutip Jala>luddin Al-Suyu>t}i> tersebut bisa ditemukan
langsung dalam kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m Musnadan ‘an Rasulillah wa al-S}aha>bah wa al-Ta>bi’i>n karya Ibn Abi> H}a>tim (w.327 h.) pada urutan riwayat ke 5130 .
9 Setelah melakukan komparasi riwayat Ibn Abi> H}a>tim
yang terdapat dalam kitab Mut’ah al-Nisa> karya Ja’far
Subhani dan kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r karya Jala>luddin Al-Suyu>t}i>, penulis menilai bahwa Ja’far Subhani tidak
menampilakan riwayat secara utuh. Secara naratif, riwayat
Ibn Abi> H}a>tim yang terdapat dalam tafsir al-Durr al-Mans|u>r menginformasikan dua informasi penting. Pertama,
menginformasikan praktek nikah mut’ah. Kedua, di penggalan
matan terakhir tersebut, riwayat Ibn ‘Abba>s juga
menginformasikan bahwa legalisasi nikah mut’ah telah
dihapus oleh ayat Al-Qur’an lainnya. Dari sini bisa
disimpulkan bahwa sahabat Ibn ‘Abba>s mengakui adanya
penghapusan dalam hukum nikah mut’ah.
Berdasarkan riwayat yang dikutip dalam kitab Mut’ah al-Nisa>, informasi kedua, tentang penghapusan hukum nikah
mut’ah–sebagaimana yang terdapat dalam tafsir Jala>luddin Al-
9Lihat Ibnu Abi Hatim, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Riyadh:
Nazzar Al-Baz, 1997), h. 919
104
Suyu>t}i>– tidak termuat dalam kutipan Ja’far Subhani. Riwayat-
riwayat yang dikutip Ja’far Subhani tersebut hanya sebatas
menginformasikan praktek nikah mut’ah di awal Islam.
Ungkapan Ibn ‘Abba>s tentang penghapusan nikah mut’ah
tidak diinformasikan. Tidak adanya redaksi penghapusan
tersebut masih bersifat belum jelas, karena Ja’far Subhani
tidak banyak menampilkan pandangannya terhadap hadis
tersebut. Pertama, apakah motif tidak menampilkan redaksi
penghapusan tersebut hanya sebatas ingin menjelaskan secara
historis tentang praktek mut’ah, sehingga cukup hanya
menampilkan penggalan pertama saja. Kedua, atau sebagai
bentuk sikap responsif Ja’far Subhani atas ketidak-setujuan
adannya penghapusan legalitas nikah mut’ah. Tetapi, penulis
menilai bahwa motif Ja’far Subhani adalah yang kedua, tidak
setuju atas keberadaan penghapusan praktek nikah mut’ah.
Karena ketika Ja’far Subhani menerima riwayat Ibn Abi> H}a>tim ini sebagai hadis yang meriwayatkan historikal nikah
mut’ah berarti secara tidak langsung Ja’far Subhani menerima
ke-s}ah}i>h}-an hadis tersebut. Jika hadis tersebut dinilai s}a>h}i>h} maka redaksi penghapusan nikah mut’ah pun harus diakui
sebagai informasi yang valid.
Selain melakukan kritik redaksional, penulis juga
mencoba menganilisis sanad periwayatan riwayat Ibnu Abi
Hatim dari aspek kualitasnya. Analisis kualitas riwayat ini
bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kualitas riwayat
yang dikutip oleh Ja’far Subhani. Karena kitab rujukan yang
digunakan Ja’far Subhani yaitu kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r memuat 32 riwayat. Selain itu, karena kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r tidak memuat sanad secara utuh, penulis langsung
merujuk kepada karya Ibn Abi> H}a>tim sendiri yaitu Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, untuk mendapatkan sanad yang sempurna.
Berikut adalah sanad sempurna yang terdapat dalam kitab
tersebut:
105
ثنا ،سعد أبوحد مان،بنإسحاقثنااألشج عنسلدة،بنموسى دسمعت:قالعب ،كعب بنمحم القرظ10،عباس ابنعن
Berdasarkan rantai periwayatan di atas, riwayat Ibn ‘Abba>s di atas diriwayatkan oleh Ibn Abi> H}a>tim dari Abu> Sa’i>d al-Asyajj, dari Ish}a>q ibn Sulaima>n, dari Mu>sa> ibn ‘Ubaidah dari Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}iyy dari Ibn al-‘Abba>s.
Periwayat Abu> Sa’i>d al-Asyajj. Dalam kitab T}abaqa>t al-H}uffaz} dijelaskan nama lengkap Abu Sa’i>d al-Asyajj adalah
Abu Sa’i>d al-Asyajj ‘Abdillah Sa’i<d ibn H}as}i>n al-Kindiyy al-Ku>fiyy al-h}a>fiz}. Beliau merupakan salah satu imam di
zamannya yang berguru kepada ‘Abd al-Salam ibn H}arb, Abu Kha>lid al-Ah}mar, Al-Mah}a>ribiyy, Hasyi>m, dan Khalq. Adapun
para ulama yang berguru kepadanya adalah enam imam
mashur (Al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Tirmiz|i>, Al-Nasa>’i>, dan Ibn Ma>jah), Abu Zur’ah, Ibn Abi al-Dunya>, dan Khalq. Abu Hatim menilai Abu Sa’i>d al-Asyajj sebagai
periwayat yang s|iqah dan S}adu>q serta imam di zamannya. Abu
Sa’i>d al-Asyajj , menurut Abu Hatim, wafat pada tahun 257 h.
Beliau salah seorang periwayat hadis yang berada pada
t}abaqah kedelapan.11
Periwayat Ish}a>q ibn Sulaima>n. Beliau memiliki nama
lengkap Ish}a>q ibn Sulaima>n al-Ra>zi>. Sebagaimana penisbatan
10
Ibnu Abi Hatim, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, h. 919
11Jalaluddin Suyuti, T}abaqa>t al-H}uffaz}, (Beirut: Darul Kutub Al-
‘Ilmiyyah, 1983), h. 222
106
namanya, beliau lahir di kota Ray, Iran. Menurut Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Ish}a>\q ibn Sulaima>n merupakan salah satu periwayat
yang s|iqah dan termasuk di antara wali abda>l serta memiliki
sifat wara’. Beliau wafat pada tahun 200 h, dan merupakan
periwayat hadis t}abaqah ketujuh.12
Periwayat Mu>sa> ibn ‘Ubaidah. Nama lengkapnya
adalah Mu>sa> ibn ‘Ubaidah ibn Nasyi>t }. Beliau juga memiki
nama kunyah Abu> ‘Abd al-‘Azi>z. Menurut Ibnu Hibban, beliau
wafat pada tahun 153 h. Beliau adalah salah seorang periwayat
hadis yang ahli dalam beribadah tetapi dalam ranah
periwayatan hadis banyak mendapatkan pandangan negatif
dari para kritikus hadis. Menurut Ibnu Hibban beliau memiliki
tingkat hafalan yang lemah dan pernah meriwayatkan hadis-
hadis munkar. Dalam hal ini termasuk Yah}ya> Ma’i’in benilai
bahwa Mu>sa> ibn ‘Ubaidah adalah periwayat yang d}a’i>f.13
Periwayat, Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}iyy. Nama
lengkapnya adalah Muhammad ibn Ka’b al-Quraz}i> ibn Sali>m ibn Asad al-Quraz|i> Abu> H}amzah. Beliau berguru kepada beberapa orang sahabat, seperti ‘Abbas ibn ‘Abd al-Mut}a>lib, ‘Ali> ibn Abi> T}a>lib, Abu> al-Darda>’, Ibn Mas’u>d, dan ‘Amr ibn ‘A<s.} Menurut Ya’qub ibn Abi> Syaibah, Muhammad ibn Ka’b
lahir di akhir khilafah sahabat Ali> ibn Abi> T}a>lib, dan
meninggal pada tahun 17 hijriyyah. Tetapi menurut penuturan
al-Tirmiz|i>, Qutaibah menginformasikan bahwa Muh}ammad ibn Ka’b tersebut hidup di zaman Nabi saw. Muhammad ibn Ka’b, sebagaimana penuturan Ibnu Hibban, dia merupakan
12
Jalaluddin Suyuti, T}abaqa>t al-H}uffaz}, h.155
13Ibnu Hibban, al-Majru>h}i>n min al-Muh}addis|i>n, jld. 2, (Riyadh:
Darus Samai’i, 2000), h. 241
107
ulama yang berasal dari kota Madinah dan mejadi ulama yang
terkenal di zamannya.14
Kelima adalah Ibn ‘Abba>s adalah salah satu sahabat
yang sekaligus menjadi sepupu Nabi saw. Dari pamannya
‘Abbas. Di antara keistimewahan sahabat Ibnu ‘Abbas adalah
mendapatkan do’a langsung dari Nabi saw. ‚alla>humma ‘allimhu al-h}ikmah‛ dalam riwayat lain ‚allahumma faqqihhu fi al-di>n wa ‘allimhu al-ta’wi>l‛. Dengan do’a khusus dari nabi
tersebut Ibnu ‘Abbas memperoleh sebutan h}abr al-‘arab,
karena keluasan ilmunya, khususnya dalam menafsirkan Al-
Qur’an. Raja Jirjir dari Afrika adalah yang pertama kali
memberinya gelar tersebut. Menurut Ibn H}ajar Al-‘Asqalani, dengan mengutip pendapat Al-Wa>qidi>, Ibnu Abba>s tengah
berusia 13 tahun ketika Nabi saw wafat.15
Setelah menganalisis riwayat-riwayat di atas, penulis
memiliki beberapa catatan. Riwayat Ibn Abi> H}a>tim yang
dikutip Ja’far Subhani tidak ditampilkan dengan paparan yang
sempurna sebagaimana yang tertulis dalam kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r, kitab yang menjadi rujukan Ja’far Subhani sendiri.
Dari kutipan yang tidak sempurna tersebut informasi yang
disampaikan hanya tentang praktek nikah mut’ah yang
dilakukan oleh seseorang di zaman Nabi saw. Padahal pada
penggalan hadis berikutnya (sebagaimana yang tertulis dalam
kitab al-Durr al-Mans|u>r ) menjelaskan terjadinya penghapusan
praktek mut’ah yaitu ayat fa ma> istamta’tum bihi> ila> jal musamma> dihapus oleh ayat muh}s}ini>n ghoir musa>fihi>n.
14Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, Jld. 9, (India: Majlis
Da’irah Ilmiyyah, 1908), h. 420
15Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, h. 121-122
108
Penulis berpendapat apapun motif Ja’far Subhani tentang
pengutipan yang tidak sempurna tersebut (hanya sebatas
pemaparan data historis saja atau bentuk responsif akan
ketidaksetujuan adanya naskh dalam nikah mut’ah)
pengutipan semacam ini tetap harus ditampilkan secara
sempurna. Dan perlu dicatat kalimat ila> ajal musamma>
menurut mayoritas ulama adalah variasi qira>’ah 16
bukan ayat
Al-Qur’an, yang dimungkinkan adalah salah satu bentuk
penafsiran salah seorang sahabat. Kedua, jika
mempertimbangkan analisis para periwayat hadis riwayat Ibnu
Hatim tersebut, ada satu periwayat bernama Musa> ibn ‘Ubaidah yang mendapatkan penilaian negatif dari beberapa
kritikus hadis. Sehingga dari sisi sanad hadis riwayat Ibnu
Hatim tersebut berstatus d}a’i >f. Salah seorang ulama hadis
yang berkomentar tentang hadis ini adalah Ibn H}ajar Al-‘Asqala >ni>. Dalam kitab Fath} al-Ba>ri>, Ibnu Hajar berpendapat bahwa sanad hadis ini adalah d}a’i>f. Bahkan menurutnya, hadis
ini adalah hadis sya>z| karena berselisih dengan ‘illah
kebolehan mut’ah pada hadis yang s}ah}i>h}, yaitu riwayat Abu> Jamrah dan Isma>’iliy yang menjelaskan bahwa ‘illah legalitas
nikah mut’ah adalah kondisi darurat, seperti ketika berperang
dan sedikitnya perempuan. Dalam riwayat lain dijelaskan
bahwa legalitas nikah mut’ah seperti halnya legalitas
memakan bangkai pada kondisi tertentu. Artinya Nabi saw
melegalkannya hanya dalam kondisi-kondisi darurat.17
16 Muhammad bin Umar Bazmul, Disertasi Doktor: ‚Al-Qira>’ah
wa As|aruha> fi> Al-Tafsi>r ‛, (Arab Saudi: Ummul Qura, 1413 h.), h. 428
17Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld. 11, (Riyadh: Daar Al-
Thoyyibah, 2005), h. 425
109
Berdasarkan analisis di atas, riwayat tentang praktek
nikah mut’ah pada awal Islam, jelas diterima oleh Ja’far
Subhani sebagai landasan awal untuk legalisasi nikah mut’ah.
Penerimaan terhadap riwayat tersebut memperlihatkan bahwa
Ja’far Subhani telah menilai s}ah}i>h} riwayat tersebut. Akan
tetapi, berdasarkan analisis penulis di atas, pemikiran Ja’far
Subhani tersebut tidak bisa dinilai sebagai sebuah pemikiran
yang valid. Karena Ja’far Subhani tidak menampilkan riwayat
Ibn Abi> H}a>tim secara sempurna sebagaimana yang tertulis
dalam kitab al-Durr al-Mans|u>r. Hal ini bisa menjadi sebuah
masalah akademik karena bagian teks yang tidak ditampilkan
memiliki kandungan makna penting. Yaitu tentang
penghapusan nikah mut’ah.
Berdasarkan teori kritik sanad Must}afa> Al-A’z}ami> riwayat yang ditampilkan Ja’far Subhani adalah tidak sama
dengan redaksi aslinya yang terdapat dalam kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r. Dalam hal ini, penulis menilai bahwa Ja’far
Subhai belum melakukan validasi keaslian teks sebagaimana
yang tertulis dalam sumber primernya.
Adapun berdasarkan pada teori kebenaran, pemikiran
Ja’far Subhani tentang riwayat Ibn Abi> H{a>>tim tidak
koresponden. Karena data atau riwayat yang ditampilkan tidak
sesuai dengan fakta yang ada di sumber aslinya, yaitu kitab
tafsir al-Durr al-Mans|u>r.
B. Riwayat Tafsi>riyyah Surat Al-Nisa: 24
Sebagaimana pandangan mayoritas, ulama syi’ah juga
menjadikan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ sebagai sumber dan
110
dalil hukum. Namun mereka menolak keberadaan qiyas.18
Dalam hal ini ulama syi’ah seperti Ja’far Subhani juga
mendasarkan legalitas nikah mut’ah pada Al-Qu’ran. Dengan
metodologi penafsirannya, Ja’far Subhani sebagaimana ulama
syi’ah terdahulunya mendasarkan legalitas nikah mut’ah
terhadap surat Al-Nisa ayat 24. Ayat tersebut menjadi ayat
utama yang dipahami sebagai ayat yang menegaskan hukum
halal nikah mut’ah. Di ayat ke 24 tersebut, ada penggalan
ayat yang menjadi penafsiran fokus Ja’far Subhani dan ulama
terdahulunya. Yaitu kalimat fama> istamta’tum bihi> minhunna. Penggalan ayat tersebut dipahami sebagai ayat
yang tengah membicarakan legalitas nikah mut’ah.
Untuk mengarah kepada kesimpulan penafsiran
tersebut, terlebih dahulu Ja’far Subhani mencari korelasi
antara ayat 23, 24, dan 25 dari surat Al-Nisa. Menurut Ja’far
Subhani tiga ayat tersebut secara bersamaan memaparkan
perkara yang haram dan yang halal tentang masalah wanita.
Ayat 23 dan awal ayat 24 tengah membicarakan wanita-
wanita yang haram untuk dinikahi dengan pengecualian para
perempuan budak muslim. Sedangkan ayat ke 25 secara
khusus memaparkan legalitas nikah budak wanita muslim.
Selanjutnya, menurut Ja’far Subhani ada empat penggalan
ayat tersisa. Yaitu, wa uh}illa lakum ma> wara>’a z|a>likum, an
18 Qiyas dalam pandangan Syi’ah Imamiyah tidak bernilai hujjah
dan orang yang mengikuti metode qiyas berarti mengikuti teori Iblis,
karena Iblis yang pertama kali mempergunakan qiyas tatkala ia tidak mau
sujud kepada Adamh. Hal ini karena Iblis mengqiyaskan penciptaan dirinya
dari api yang lebih mulia dibandingkan dengan penciptaan Adam dari tanah
yang dipandang lebih rendah. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh al-
Maz|a>hib al-Isla>miyyah, (Beirut: Darul Fikr al-‘Arabi, th.th), h. 538
111
tabtaghu> bi amwa>likum , muhs}ini>na ghoir musa>fih}i>na, dan fama> istamta’tum bihi> minhunna.19
Penggalan ayat pertama, wa uh}illa lakum ma> wara>’a z|a>likum, maksudnya adalah halalnya menikahi wanita wanita
selain yang telah disebutkan. Sedangkan penggalan ayat
kedua, an tabtaghu> bi amwa>likum, maksudnya adalah
menjelaskan jalan yang disyari’atkan dalam menikahi wanita
yang tidak disebutkan di ayat 23, awal ayat 24, dan ayat 25
dengan cara memberikan sebagian hartanya. Menurut Ja\’far
Subhani, sampai penggalan ayat tersebut maka ada beberapa
solusi untuk menerapakan jalan yang disyari’atkan tersebut.
Yaitu nikah dengan memberi mahar, menikahi budak
perempuan, atau prostitusi. Kemudian di penggalan ayat
keempat, muhs}ini>na ghoir musa>fih}i>n. Dengan penggalan ayat
tersebut maka solusi dengan cara prostitusi pasti sudah
tertolak dan terlarang. Maka yang tersisa adalah menikahi
wanita merdeka dan menikahi budak wanita. Pada penggalan
ayat terakhir, fama> istamta’tum bihi> minhunn, secara langsung
menegasikan pernikahan budak wanita, karena sudah
dijelaskan pada ayat ke 25. Dari penggalan ayat keempat
berarti yang dimaksud dengan wa uh}illa lakum ma> wara>’a z|a>likum adalah menikahi wanita-wanita merdeka. Tetapi
menurut Ja’far Subhani, menikahi wanita merdeka tersebut
ada di antara dua pilihan yaitu nika>h} da>’im dan nika>h} mu’aqqat (nikah mut’ah). Dalam hal ini, Ja’far Subhani dan
ulama syi’ah lainnya memahami penggalan ayat fama> istamta’tum bihi> minhunn adalah nikah mut’ah. Ada beberapa
indikator yang menjadi dasar penafsiran tersebut. Pertama,
makna istimta’ (fama> istamta’tum ) pada saat turunnya ayat
19
Lihat Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah,
h.29-31
112
adalah al-‘aqd, akad pernikahan bukan menikmati dan
bersenggama dengan perempuan. Kedua, jika tidak dimaknai
mut’ah, tetapi dimaknai al-nika>h} al-da>’im maka akan nampak
adanya pengulangan. Dan jika dimaknai pemberian mahar
setelah istimta>’ maka terjadi juga hal pengulangan, karena
sudah dijelaskan di ayat sebelumnya. Ketiga, beberapa sahabat
menafsirkan kata istimta>’ dengan nikah mut’ah. Keempat,
adanya pernyataan sahabat tentang kehalalan nikah mut’ah.
Selain itu Ja’far Subhani menyatakan bahwa ayat fa ma> istamta’tum bihi> minhunna adalah ayat nikah mut’ah dan
tidak pernah terjadi penghapusan. Dalam sub bab ini, penulis
memfokuskan pada indikator ketiga dan keempat.20
1. Makna Istimta>’ Ja’far Subhani berpendapat bahwa Istimta>’ dalam surat
Al-Nisa ayat 24 bermakna nikah mut’ah atau akad nikah
mut’ah. Pendapatnya tersebut berdasar pada riwayat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h:
جاتش أخشج يغهى ف صذذه ػثذ ت رغ كا قىل للا غر
تانقثضح ش ي قق انر سعىل ػهذ ػه األاو وانذ - للا
ش ه ػ ه در تكش وأت -وعهى ػهه للا صه ف ػ
شو شأ ػ ث ت .دش 21
Diriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h bahwa kami dahulu melakukan nikah mut’ah selama beberapa hari dengan mahar beberapa genggam kurma dan tepung pada masa Rasulullah dan Abu Bakar sampai Umar melarang nikah mut’ah dalam kasus ‘Amr ibn H}urais|.
20 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 29-31
21 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 32
113
Dalam kitab S}ah}i>h} Muslim22, riwayat Ja>bir ibn
‘Abdilla>h diriwayatkan oleh Muhammad ibn Ra>fi’ dari’Abd al-Razza>q dari Ibn Juraij dari Abu> al-Zubair dari sahabat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h.23
Periwayat Muh}ammad ibn Ra>fi’. Muh}ammad ibn Ra>fi’ adalah periwayat hadis yang lahir pada tahun 170-an h. dan
meninggal pada tahun 245 h. Muh}ammad ibn Ra>fi’ dalam
periwayatan hadis berguru kepada ‘Abd al-Razza>q, Sufya>n ibn ‘Uyainah, ‘Abdullah ibn Idri>s, Abu> ‘Aliyy al-H}anafi> dan
periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan periwayat yang
berguru kepada Muh}ammad ibn Ra>fi’ di antaranya al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, al-Nasa>’i>, al-Tirmi>z|i> dan periwayat-
periwayat lainnya. Muh}ammad ibn Ra>fi’ dalam pandangan
Muslim dan al-Nasa>’i> adalah seorang periwayat yang s|iqah
dan ma’mu>n.24
Periwayat ‘Abd al-Razza>q. Abd al-Razza>q nama
lengkapnya adalah Abd al-Razza>q al-Hamma>m. Abd al-Razza>q
22
Tentang hadis Jabir di atas, tidak terjadi perbedaan redaksi
matan hadis baik yang tertulis dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ atau pun dalam
kitab S}ah}ih} Muslimh. Redaksi dalam kitab S}ah}i>h} Muslim adalah sebagai
berikut:
ثنى دحد ثنارافع بنمحم اقعبدحد ز ج ابنأخبرناالر رأبوأخبرنىجر ب سمعتقالالزقولللاعبدبنجابر ا ققالتمرمنبالقبضةمتعنستكن اموالد -للارسولعهدعلىاألث بنعمروشؤنفىعمرعنهنهىحتىبكر وأبى-وسلمعلهللاصلى حر
Lihat Muslim ib\n Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim, (Riyadh: Baitul Afkar
Dauliyyah, 1998), h. 551
23 Muslim ib\n Hajja>j, S}ah}i>h} Muslim, h. 551
24 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, (Libanon:
Darul Afkar Dauliyyah, 2004), h. 3247
114
adalah periwayat hadis yang lahir pada tahun 126 h. dan
meninggal pada tahun 211 h. Abd al-Razza>q, dalam
periwayatan mengambil hadis dari Ibn Juraij, Hisya>m ibn H}isa>n, ‘Ikri>mah ibn ‘Amma>r dan periwayat-periwayat lainnya.
Sedangkan para periwayat yang mengambil hadis dari Abd al-Razza>q adalah Muh}ammad ibn Ra>fi>, Ah}mad ibn H}anbal, ‘Ali> al-Madini>, dan periwayat-periwayat lainnya. Abd al-Razza>q, dalam pandangan ulama kritikus hadis seperti Ah}mad al-‘Ajal dan Ya’qub ibn Sya>’i> adalah seorang periwayat s|iqah. Ah}mad al-‘Ajal menambahkan bahwa Abd al-Razza>q seorang
periwayat hadis penganut madzhab syi’ah.25
Periwayat Ibn Juraij. Ibn Juraij memiliki nama lengkap
‘\Abd al-Malik ibn ‘Abd al-‘Azi>z, ibn Juraij al-Makki>, seorang
ulama besar dari kota Makkah yang wafat pada tahun 149 h.
Dalam periwayatan hadis, Ibn Juraij meriwayatkan hadis dari
‘At}a>’ ibn Abi> Rabba>h}, T}a>wu>s, Ibn Abi> Mali>kah, S}afiyyah bint Syaibah, dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan
periwayat hadis yang meriwayatkan dari Ibn Juraij adalah al-Awza>’i>, al-Lais|, ‘I<sa> ibn Yu>nus, Waki>’, Wali>d ibn Muslim, dan
periwayat-periwayat lainnya. Ibn Juraij, menurut ulama
seperti ‘Abd al-Razza>q, adalah seorang ulama yang memiliki
rasa takut kepada Allah swt. Sedangkan menurut Ah}mad ibn H}anbal, Ibn Juraij adalah seorang yang memiliki kualitas
sholat terbaik. Adapun menurut penulis Sair A’la>m al-Nubala>’, Syams al-Di>n al-Z|ahabi>, Ibn Juraij merupakan
periwayat s|iqah tetapi melakukan tadli>s .26
Periwayat Abu> al-Zubair. Abu> al-Zubair, nama
lengkapnya adalah Muh}ammad ibn Muslim ibn Tadrus Abu> al-Zubair. Abu> al-Zubair lahir tahun 42 h. dan meninggal pada
25Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2264
26 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2571
115
tahun 126 h. Abu> al-Zubair, dalam periwayatan hadis
meriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h, Ibn ‘Abba>s, Ibn ‘Umar, Ibn ‘Umar, ‘Abdullah ibn ‘Amr, dan periwayat-
periwayat lainnya. Sedangkan periwayat yang meriwayatkan
hadis dari Abu> al-Zubair adalah Ibn Juraij, al-Zuhri>, ‘Isma>’i>l ibn Umayyah, ‘Ubaidilla<h ibn ‘Umar, ‘At}a>’ ibn Abi> Rabba>h}, al-A’masy, H}ajja>j ibn Abi> ‘Usma>n, dan periwayat-periwayat
lainnya. Tentang periwayatan hadis, al-Bukha>ri> dan Abu> H}a>tim al-Ra>zi> menilai Abu> al-Zubair lam yuhtajj bi>h, tidak
bisa dijadikan hujjah hadisnya. Selain itu Ibn H}ajar dan al-Z|ahabi> menilai bahwa Abu> al-Zubair seorang mudallis. 27
Periwayat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h. Ja>bir ibn ‘Abdilla>h
adalah seorang periwayat hadis dari kalangan sahabat yang
meninggal pada tahun 78 h. Dalam periwayatan hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah
saw dan sejumlah sahabat. Di antaranya ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b, ‘Aliyy ibn Abi> T}a>lib, Mu’a>z| ibn Jabal, dan sahabat lainnya.
Sedangkan periwayat yang meriwayatkan hadis dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h adalah Abu> al-Zubair, Ibn al-Musayyab, Muja>hid, ‘Amr ibn Di>na>r, T}a>wu>s, dan periwayat-periwayat lainnya.
28
Dari pemaparan biografi periwayat-periwayat hadis di
atas, penulis berkesimpulan bahwa hadis tersebut
diriwayatkan secara ittis}a>l dari periwayat pertama sampai
periwayat terakhir. Walaupun ada periwayat yang diklaim
sebagai periwayat syi’ah yaitu ‘Abd al-Razza>q al-Hamma>m, tetapi periwayatannya diterima oleh para kritikus hadis.
Sehingga hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h ini sah dinilai sebagai hadis
s}ah{ih}.
27 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 3698
28 Syams al-Di>n Al-Dzahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4683
116
Selain Ja’far Subhani, ulama sunni juga memposisikan
hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dalam konteks nikah mut’ah.
Misalnya Ibn H}ajar ‘Asqalani> mengutip hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dalam kitab Fath} al-Ba>ri> untuk memperkuat bukti
tentang bolehnya pemberian mahar kepada seorang perempuan
yang dinikahi berupa cincin yang terbuat dari besi. Secara
tersirat, Ibnu Hajar mengakui bahwa konteks hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h adalah nikah mut’ah. Dan ditegaskan dengan
kutipan riwayat al-Baihaqi bahwa yang dilarang oleh sahabat Umar adalah nikah mut’ahnya bukan standar ukuran
maharnya. Komentar ulama tentang hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h memperkuat pernyataan Ja’far Subhani bahwa istimta>’ dalam
hadis tersebut dipahami dalam konteks nikah mut’ah, dan
Ja’far Subhani memahami kata istimta>’ dengan akad nikah
mut’ah.29
Berdasarkan komentar ulama-ulama di atas, baik
kalangan Syi’ah atau pun kalangan Sunni, memposisikan hadis
Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dalam konteks yang sama yaitu nikah
mut’ah. Perbedaannya, ulama Sunni tidak mengamalkan hadis
tersebut. Abu al-Faraj ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn al-Jawzi>
29 Ja’far Subhani memperkuat argumentasinya dengan hadis
Khuwailah bint H}aki>m :
اببنعمرعلىدخلتحكم بنتخولةأن:عروةعن رضىالخط ربعةإن:فقالتعنهللاةبن رضىعمرفخرجمنهفحملتمولدة بامرأة استمتعأم جرعنهللا :فقالفزعاهرداءمتكنتولوالمتعةهذه .لرجمتهفهتقد
Diriwayatkan dari ‘Urwah ibn al-Zubair bahwa Khawlah bint H}aki>m menemui Umar ibn al-Khat}t}a>b dan berkata sesungguhnya Rabi>’ah ibn Umayyah telah bermut’ah dengan seorang wanita sehingga hamilh. Kemudian Umar ibn al-Khat}t}a>b keluar dalam keadaan gemetar dan berkata inilah mut’ah jika aku bertemu dengannya pasti aku akan merajamnyah.
117
memasukan hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h pada deretan hadis
musykil dan memberikan ta’wil terhadap hadis tersebut.
Menurut Ibn al-Jawzi> larangan yang terkandung dalam hadis
Ja>bir ibn ‘Abdilla>h belum merata ke seluruh sahabat sejak
adanya perizinan dari Rasulullah saw. Sehingga sampai masa
kepemimpinan Abu Bakar nikah mut’ah masih dipraktekan
oleh beberapa masyarakat pada saat itu.30
Jauh sebelumnya,
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menegaskan bahwa informasi
larangan nikah mut’ah tidak sampai kepada sahabat Ja>bir ibn ‘Abdilla>h dan kepada semua tabi’in yang meriwayatkan hadis
darinya.31
Pada dasarnya hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h diletakkan
pengarangnya dalam Kita>b al-Nika>h}, bab nika>h al-mut’ah annahu> ubi>h}a s|umma nusikha s|umma ubi>h}a s|umma nusikha wa istaqarra tah}ri>muhu ila yaum al-qiya>mah. Penamaan bab
tersebut menginformasikan bahwa penulis kitab tersebut
mengakui terjadinya penghapusan dalam nikah mut’ah.
Tetapi, Ja’far Subhani tidak mempertimbangkan hal ini.
Walau pun demikian, Ja’far Subhani tetap berkesimpulan
bahwa hadis Ja>bir ibn ‘Abdilla>h tengah membicarakan nikah
mut’ah dan menjadi argumentasi tentang keberlangsungan
legalitas nikah mut’ah.
Berdasarkan analisis di atas, pemikiran Ja’far Subhani
tentang hadis Ja>bir ibn ‘Abdillah (menjadikan makna istimta>’ sebagai praktek mut’ah), bersifat valid dalam arti kutipan
hadisnya sama dengan yang dikutip dalam S}ah}i>h} Muslim.
Selain itu hadis yang dikutipnya memiliki periwayat-
periwayat yang terpercaya. Artinya selain valid, pemikiran
30 Lihat Ibn al-Jauzi>, Kasyf al-Musykil, Jld. 3, (Riyadh: Darul
Wathon, 1997), h. 90-91
31 Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld. 11, h. 169
118
Ja’far Subhani tentang hal ini bersifat koresponden yaitu
sesuai dengan data dan fakta ilmiah. Akan tetapi, di sini,
Ja’far Subhani tidak mengakomodasi pendapat Ibn H}ajar al-‘Asqalani> yang menyatakan bahwa pada saat itu larangan
nikah mut’ah belum sampai kepada sahabat Ja>bir ibn ‘Abdillah. Sehingga dalam hal ini, Ja’far Subhani terlihat tidak
memiliki informasi yang sempurna tentang Ja>bir ibn ‘Abdillah dalam masalah nikah mut’ah.
2. Tafsir Al-Nisa ayat 24
Surat Al-Nisa ayat 24 adalah dalil argumentatif
tentang legalitas nikah mut’ah yang dipegang oleh ulama
Syi’ah, termasuk Ja’far Subhani. Surat Al-diposisikan sebagai
ayat multitafsir. Pemaknaannya adalah tentang nikah mut’ah.
Dalam hal ini, Ja’far Subhani mengutip riwayat-riwayat tafsir
untuk mempertegas maksud ayat fa ma istamta’tum bihi> minhunna. Di antara riwayat tafsir yang menjadi argumentasi
J\a’far Subhani adalah riwayat Ibnu ‘Abbas:
وصحرجوأخ طالحاكم من نضرةرحه أب عن قعباس ابن اس:قال متعتمفما به أجل نتم إلى هن
هاكذلك!فقالابنعباس:رإقان.فقلت:م ىمسم32كذلكهاللازلألنوللا
Diriwayatkan oleh Hakim dalam kitabnya melalui jalan periwayatan sahabat Abu> Nad}rah bahwa Ibnu ‘Abbas membaca fama> istamta’tum bihi> minhunna ila> ajal musamma>. Kemudian Abu> Nad}rah bertanya apakah seperti demikan membacanya? Ibnu ‘Abbas menjawab. Benar sekali Allah menurunkannya seperti itu.
32 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 39
119
Riwayat ini, secara literal, jelas bahwa kata ajal musamma> adalah bagian dari ayat 24 surat Al-Nisa. Riwayat
ini, oleh Ja’far Subhani dikutip dari kitab tafsir al-Durr al-Mans|u>r. Berdasarkan kitab tafsir tersebut, riwayat Ibnu
‘Abbas juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibn al-Anba>ri> dalam kitab al-Mas}a>h{if. 33
sedangkan dalam kitabnya, Ja’far
Subhani hanya menginformasikan dari H{a>kim saja.
Dalam kitab al-Mustadrak karya H{a>kim34, riwayat Ibn
‘Abbas tersebut diriwayatkan dari Abu> Zakariya> al-‘Anba<ri> dariMuh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m dari Ish}a>q ibn Ibra>hi>m dari
al-Nad}ar ibn Syami>l dari Syu’bah dari Abu> Salmah, dan dari
Abu Nad}rah.35
Periwayat, Abu> Zaka>riyya> al-‘Anbari>. Abu> Zaka>riyya> al-‘Anbari adalah periwayat yang memiliki nama lengkap
33 Lihat Jalal al-Di>n Al-Suyuti, al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi
al-Ma’s}u>r, Juz 4, (Kairo: Al-Muhandisin, 2003), h\. 328
34 Tidak ada perbedaan redaksi tentang riwayat Ibn ‘Abba>s
tersebut, baik dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ karya Ja’far Subhani atau pun
dalam kitab Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}ainih. Redaksi
dalam kitabal-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini adalah sebagai berikut:
،إبراهمبنإسحاقثنا،السالمعبدبنمحمدثنا،العنبريزكراأبوأخبرناقول،نضرةأباسمعت:قال،مسلمةأبوثنا،شعبةأنبؤ،شملبنالنضرأنبؤ ،عنهماللارضعباسابنعلىقرأت: فآتوهنهننمبهتمتعتماسامف)«ىمسملجأإلىمنهنبهاستمتعتمفما:»عباسابنقالفرضةهنروجأ
للاهالزنألوللا:»عباسابنفقال.hكذلكهارإقنما:فقلت:نضرةأبوقال
«جاهرخولممسلمشرطعلىصحححدثهذا«»كذلك
Lihat Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini, Jld. II,
(Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiyyah, 2002), h. 334
35 Ha>kim Naisa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini, h. 334
120
Yah}ya> ibn Muh}ammad ibn ‘Abdulla>h ibn Muh}ammad al’Anbari> dan populer dengan sebutan nama yah}ya> ibn Muh}ammad al-‘Anbari>. Abu> Zaka>riyya> lahir pada tahun 268 h.
Dan wafat pada tahun 344 h. Dalam periwayatan hadis Abu> Zaka>riyya meriwayatkan hadis dari Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m al-Naisa>bu>ri>, Muh}ammad ibn ‘Amr ibn al-Nad}ar, Nas}r ibn ‘Aliyy, Yu>suf ibn Mu>sa>, Ibra>hi>m ibn Ish}a>q ibn Yu>suf al-‘Naisa>bu>ri> dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para
periwayat hadis yang meriwayatkan hadis dari Abu> Zaka>riyya adalah Ah}mad ibn H}usain al-Naisa>bu>ri>, Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H}anbal, H}asan ibn Muh{ammad, Z}afr ibn Muh}ammad ibn Ah}mad, Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h ibn H}amdawih} dari periwayat-periwayat lainnya. Abu> Zaka>riyya dalam pandangan para kritikus hadis memperoleh penilaian-
penilaian positif. Abu> Bakr al-Baih}a>qi> memberikan penilaian
‘a>lim, adi>b, dan mutqin. Abu> Abdillah al-Naisa>bu>ri> menilainya
seorang periwayat yang ‘adl, dan selain periwayat hadis Abu> Zaka>riyya juga seorang ahli tafsir. Sedangkan menurut al-Z|ahabi>, Abu> Zaka>riyya adalah periwayat yang s|iqah.36
Periwayat Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m. Periwayat
Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m memiliki nama lengkap
Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m ibn Basyar. Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m wafat tahun 286 h. Dalam periwayatan hadis
Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m menyampaikan hadis dari
Ish}a>q ibn Ibra>hi>m ibn H}abi>b, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m ibn ‘Abbad, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m Mukhi>di, H{usain ibn ‘Aliyy ibn Yazi>d dan
periwayat lainnya. Sedangkan di antara periwayat hadis yang
meriyatkan hadis Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m adalah Yah}ya> ibn Muh}ammad ibn ‘Abdilla>h al-‘Anbari>, Yu>suf ibn Ya’qu>b, Muh}ammad ibn Ya’qu>b, Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Umar,
36Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4196
121
Muh}ammad ibn Ja’far ibn Muh}ammad dan periwayat lainnya.
Tentang penilaian ulama terhadap Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m, penulis baru menemukan penilaian dari al-Z|ahabi>. Menurut al-Z|ahabi> , Muh}ammad ibn ‘Abd al-Sala>m adalah
seorang periwayat yang s|iqah¸ ahli berpuasa, ahli bangun
tengah malam, dan seorang ulama rabbaniyy. 37
Periwayat al-Nad}r ibn Syumail. al-Nad}r ibn Syumail memiliki nama lengkap al-Nad}r ibn Syumail ibn Yazi>d. al-Nad}r ibn Syumail. Populer dengan sebutan nama al-Nad}r ibn Syumail al-Ma>zini>. al-Nad}r ibn Syumail lahir pada tahun 123
h. dan meninggal pada tahun 203 h. Dalam periwayatan hadis
al-Nad}r ibn Syumail berguru kepada Syu’bah ibn al-H}ajja>j ibn al-Warad, S}a>lih ibn Abi> al-Akhd}ar, Syadda>d ibn Sa’i>d ibn Ma>lik, Sulaima>n ibn Muh}ammad ibn Ibra>hi>m, Zaid ibn Muh}ammad ibn Zaid, dan periwayat-periwayat lainnya.
Sedangkan periwayat yang mengambil hadis dari al-Nad}r ibn Syumail adalah Ish}a>q ibn Ibra>hi>m al-Naisa>bu>ri>, Ish}a>q ibn Ibra>hi>m al-Bagda>di>, Ibn Mazi>d, H{a>ris| ibn Suraij, H{asan ibn Bakr, H}asan ibn ‘Abdillah. Tentang kualitas periwayatan al-Nad}r ibn Syumail, mayoritas para kritikus hadis menilainya
positif. Para kritikus hadis seperti Abu> H}a>tim al-Ra<zi>, Ibn Abi> H{a>tim al-Ra>zi>, Ibn H{ajar, danYah{ya> ibn Ma’i>n menilai al-Nad}r ibn Syumail sebagai periwayat hadis s|iqah.38
Periwayat Syu’bah. Syu’bah, dalam periwayatan hadis
memiliki nama lengkap Syu’bah ibn al-H}ajja>j ibn al-Ward dan
populer dengan sebutan nama Syu’bah al-H}ajja>j al-‘Ataki>. Syu’bah, dalam periwayatan hadis Syu’bah berguru kepada
Abu> Salamah, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>, Aswad ibn
37Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h.3491
38Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4091
122
Qais, Asy’as ibn Abd al-Malik, Azraq ibn Qais, Ayyub ibn Kaisa>n, Ibra>him ibn ‘A<mir dan periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para periwayat yang meriwayatkan hadis dari
Syu’bah adalah al-Nad}ar ibn Syumail, ibn Kharasah, Nas}r ibn ‘Aliyy, Ha>syim ibn al-Qa>sim, Muh}ammad ibn Ja’far, Hisya>m ibn ‘Abd al-Ma>lik, Hila>l ibn Faya>d}, Waki>’ ibn al-Jarra>h}, Ya>sir ibn H{amma>d, Yah}ya> ibn Ra>syid dan para periwayat lainnya.
Syu’bah adalah di antara periwayat hadis yang banyak
memperoleh penilaian positif dari para kritikus hadis. Ibnu
Hajar memberikan penilaian terhadap Syu’bah sebagai
periwayat s|iqah, h}a>fiz}, mutqin. Sedangkan Muh}ammad ibn Idri>s al-Sya>fi’iyy pernah memberi pernyataan law la>h ma> ‘arafa
al-h}adi>s| fi> al-‘iraq, jika tida Syu’bah maka hadis tidak akan
dikenal di kota Iraq. Sufya>n al-S|auri> menilainya sebagai ami>r al-mu’mini>n fi> al-h}adi>s|. Bahkan Yah}ya> ibn Ma’i>n menilai
Syu’bah sebagai ima>m al-muttaqi>n.39 Periwayat Abu> Salamah. Abu> Salamah memiliki
nama lengkap ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Auf. Abu> Salamah lahir pada tahun 22 h. dan meninggal pada tahun 94
h. Dalam periwayatan hadis Abu> Salamah meriwayatkan hadis
dari Munz|ir ibn Ma>lik, yang terkenal dengan nama Abu> al-Nad}ar, Na>fi’ ibn Jubair, Fa>t}imah ibn Muh}ammad ibn ‘Abdillah, ‘Amr ibn al-‘As}, ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azi>z, dan
periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan para periwayat yang
meriwayatkan hadis Abu> Salamah adalah Syu’bah al-H{ajja>j, Abu> Ibra>hi>m, Ah}mad ibn ‘Abdillah ibn H}amdawih, Ayu>b ibn Kaisa>n, Ibra>hi>m ibn ‘Abd al-Rah}ma>n ibn ‘Auf, H}asan ibn Yazi>d ibn Faraokh, dan para periwayat-periwayat lainnya.
Pada umumnya para kritikus hadis seperti Ibn H}ajar, dan
Yah}ya> ibn Ma’i>n menilai bahwa periwayat Abu> Salamah
39Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h.1980
123
adalah periwayat s|iqah. Bahkan al-Z|ahabi pernah menyatakan
bahwa ada empat periwayat yang mendapat gelar buh}u>r, lautan ilmu, yaitu ‘Urwah, Ibn al-Musayyab, ‘Ubaidillah, dan
Abu> Salamah.40
Periwayat Abu> Nad}rah. Nama lengkap Abu> Nad}rah adalah Munz|ir ibn Ma>lik ibn Qat}’ah. Abu> Nad}rah meninggal
pada tahun 108 h. Abu> Nad}rah adalah seorang periwayat dari
kalangan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari para sahabat
seperti Anas ibn Ma>lik, Bila>l ibn Rabbah, Hasan ibn ‘Aliyy, Samurah ibn Jundab, Abu> Hurairah, dan sahabat-sahabat
lainnya. Sedangkan para periwayat yang meriwayatkan hadis
dari Abu> Nad}rah adalah Abdullah ibn ‘Abd al-Rah}ma>n yang
populer dengan nama Abu> Salamah, Ibra>hi>m ibn Isma>’i>l, Idri>s ibn Yazi>d, Bakr ibn ‘Amr, Ja’far ibn Iya>s, Ha>tim ibn Abi> Nas}r, dan periwayat-periwayat lainnya. Para kritikus hadis seperti Abu> Zur’ah al-Ra>zi>, Ibn Hajar, dan Yah}ya> ibn Ma’i>n menilai
bahwa Abu> Nad}rah merupakan periwayat hadis s}iqah. Sedangkan Ah}mad ibn H}anbal pernah menyatakan ma> ‘alimtu illa> khoir, tidak ada informasi-informasi terkait Ah}mad ibn H}anbal kecuali kebaikan.
41
Berdasarkan pemaparan periwayat-periwayat di atas,
penulis berkesimpulan bahwa riwayat Ibnu ‘Abbas tersebut
diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang sudah memenuhi
syarat periwayatan yang s}ah}i>h}. Dalam arti tentang fama> istamta’tum bihi> minhunna ila< ajal musamma> sah disandarkan
kepada sahabat Ibnu ‘Abbas. Sehingga jelas bahwa riwayat
tersebut menginformasikan tentang konteks surat Al-Nisa ayat
24. Dalam hal ini Ja’far Subhani juga memperkuat
40Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 287
41Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 529
124
argumentasinya dengan mengutip riwayat Qatadah yang
menginformasikan bahwa sahabat Ubay bin Ka’ab juga
menambahkan kalimat ila> ajal musamma>.42
Penulis menilai bahwa Ja’far Subhani dalam menarik
kesimpulan, hanya fokus di dua riwayat tersebut. Padahal
dalam kitab al-Durr al-Mans|u>r, Suyuti memaparkan 32
riwayat yang berkaitan dengan nikah mut’ah. Tentang
riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Ibnu ‘Abbas, Abu> ‘Abdilla>h Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, dalam kitab Mafa>tih} al-Ghaib,
berkesimpulan secara garis besar ada tiga riwayat yang
disandarkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas.43
1. Ibn ‘Abba>s membolehkan nikah mut’ah secara mutlak:
اسعبابنتسؤل:عمارةقال،قةلالمطباحةباإللالقوالمتعةنع قالكاح؟نأمهفاحأس: والفاح سال:
،تعالىقالكمامتعةه:قاله؟ماف:قلت،نكاح هل:قلت،ضةحهاعدتنعمقالة؟دعلهاهل:قلت
القال؟وارثانت .44
Pendapat Ibn ‘Abba>s yang membolehkan secara
mutlak. ‘Ima>rah berkata: aku bertanya kepada Ibnu ‘Abba>s tentag mut’ah, apakah mut’ah itu prostitusi atau nikah? Ibn ‘Abba>s menjawab dia itu bukan prostitusi dan bukan nikah. Itulah mut’ah. Sebagaimana firman Allah swt. Apakah dia memilki ‘iddah? Ibn ‘Abbas menjawab: ya. ‘iddahnya adalah
42 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 39
43 Lihat Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, jld
5, (Kairoh.: Darul Hadis, 2012), h. 273
44Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273
125
satu kali haid. Apakah mut’ah saling mewarisi? Ibn ‘Abba>s menjawab: tidak.
2. Ibn ‘Abba>s membolehkan mut’ah dalam keadaan
darurat:
الناسلم ذأن األشكا ابنعارروا فتا اسفعبفباحتهاإبمللاإنماأفتتهلالمتعةقالابنعباس:قات
اإل لكنعلى ، قلتطالق ت إنها كمارطضملللح:45مالخنزرلهتحلالمتةوالدمولح
Sesungguhnya manusia ketika menyebutkan sya’ir-sya’ir tentang fatwa Ibn ‘Abba>s dalam masalah mut’ah yang membolehkan mut’ah secara mutlak Ibnu ‘Abba>s berkomentar: semoga Allah memerangi mereka. Sesungguhnya aku tidak berfatwa kebolehan nikah mut’ah. Tetapi aku berfatwa bahwa mut’ah itu bagi orang yang darurat sebagaimana bolehnya memakan bangkai, darah, dan daging anjing bagi yang mengalami darurat.
3. Ibn ‘Abba>s bertaubat dari fatwanya:
ىعطاءالخرسانو.ربؤنهاصارتمنسوخةرأنهأق} منهن به استمتعتم فما { : عنابنعباسفقوله
منسوخةقالصارت اآلة هاهذه ؤ { تعالى: بقوله
{]الطالق: تهن لعد 1النبىإذاطلقتمالنساءفطلقوهنلكوباتهمإنأللدموته:انع[ورويأضاأنهقال
ةعتلفالمونقم
Sesungguhnya Ibn ‘Abba>s menyatakan bahwa hukum mut’ah itu dihapus. Diriwayatkan dari ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>, dari Ibn ‘Abba>s bahwa ayat fa ma>
45
Abu> ‘Abdillah Fakhruddin al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273
126
istamta’tum bihi> minhunn telah dihapus oleh ayat ya> ayyuha> al-nabiyy iz|a> t}allaqtum al-nisa>’ fat}alliqu>hunn li’iddatihinn (Al-T}ala<q: 1). Dan diriw\ayatkan juga bahwa ketika mendekati ajalnya, Ibn ‘Abba>s berkata: ‚ ya Allah, aku bertaubat kepada-Mu dari pendapatku tentang mut’ah. Dalam hal ini, berarti al-Ra>zi> memaparkan secara utuh
pemikiran sahabat Ibnu ‘Abbas tentang nikah mut’ah.
Sedangkan Ja’far Subhani tidak menampilkannya secara utuh.
Jika ditinjau dari perspektif Ilmu Qira’ah, Ibnu
Taimiyyah dalam kitabnya Minha>j al-Sunnah menjelaskan
bahwa kalimat ila> ajal musamma> tidak termasuk qira’ah
mutawatir dan tidak ada bedanya dengan khabar ahad tidak
ada di mushaf Usmani.46
Al-Syinqithi, dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa riwayat-riwayat yang disandarkan kepada
Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Sa’id bin Jubair tidak bisa
menjadi sandaran bahwa itu adalah bagian dari ayat Al-
Qur’an. Karena adanya konsesus sahabat yang menyepakati
bahwa itu tidak termasuk dalam ayat Al-Qur’an.47
Jika pun
bisa dijadikan argumen nikah mut’ah maka argumentasinya
bersifat ah}a>d. Sedangkan dalam kesepakatan ulama yang
bersifat ahad tidak bisa diunggulkan dari yang mutawatir.
Berdasarkan analisi di atas, penulis menilai bahwa
pemikiran Ja’far Subhani tentang riwayat Ibn ‘Abba>s yang
menyisipkan ila> ajal musamma>, adalah bersifat valid dan
koheren. Karena data yang disampaikan sesuai dengan sumber
46 Lihat Ibnu Taimiyyah, Miha>j al-Sunnah, jld. 4, (t.kot. th.cet.,
1987 ) h. 187-188
47 Al-Syinqithi, Ad}wa>’ al-Baya>n, jld. I, (Jeddah: Daarul ‘Ilmi
Fawaid, t.t. ), h. 381
127
primernya. Tetapi, dalam hal ini Ja’far Subhani tidak berupaya
mengumpulkan terlebih dahulu riwayat-riwayat nikah mut’ah
lainnya yang disandarkan kepada sahabat Ibn ‘Abba>s. Hal ini
penting dilakukan demi menjada keaslian pemikiran Ibn ‘Abba>s tentang mut’ah. Menurut teori kritik hadis Mus}t}afa> Al-A’z}ami>, sikap Ja’far Subhani tersebut tidak memenuhi
langkah jam’ al-us}u>l ka>ffah (mengumpulkan terlebih dahulu
riwayat-riwayat secara menyeluruh). 3. Legalisasi Nikah Mut’ah oleh Para Sahabat dan Tabi’in
Ja’far subhani menilai bahwa yang masih menjadi
perselisihan di kalangan ulama adalah keberlangsungan
legalisasi nikah mut’ah yang didasarkan kepada penghapusan
nikah mut’ah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani berpendapat
bahwa nikah mut’ah adalah praktek nikah yang sah dan tidak
terjadi adanya penghapusan. Menurut Ja’far Subhani solusi
yang tepat atas perselisihan ini adalah kembali kepada sumber
yang paling utama, yaitu ayat Al-Qur’an sendiri dan hadis
Nabi saw. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, surat Al-Nisa
ayat 24 adalah ayat tunggal yang dijadikan dasar legal nikah
mut’ah oleh Ja’far Subhani. Selain makna kata istimta>’ dan
makna ila> ajal musamma> yang dinilai memperkuat pendapat
Ja’far Subhani tentang nikah mut’ah, ada beberapa nama
sahabat dan tabi’in yang dianggap telah melegalkan nikah
mut’ah setelah wafatnya Nabi saw. Dalam hal ini, Ja’far
Subhani mengutip pendapat Ibn Hazm yang menyebutkan
nama-nama sahabat dan tabi’in yang dinilai pernah
menyuarakan legalnya nikah mut’ah. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani
48 menyatakan:
48
Tidak ada perbedaan redaksi pernyataan Ibn Hazm yang dikutip
dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ dengan kitab al-Muh}alla>
128
االنو بؤؤت بحن قالوا من لسماء المتعة لمة ان وفتواه بمصدر فصرحوا ابنحزم ذكرهم وقد م.
جوزوال ل(قال:ح)الم إلىالنكاحوهوالمتعةنكاح
هللاصلىللارسولعهدعلىحالالوكانأجل علصلىللارسوللسانعلىتعالىللانسخهامثوسلمهللا انسخاوسلمعل ومإلىبات امة، ثبتوقدالق
هللاصلىللارسولبعدتحللهاعلى وسلمعللفمنجماعة حابةمنمنهمعنهمللارضىالس الصقبكرأبىبنتأسماءعنهمللارضى د وجابر.الص
ة:عباس وابن.مسعود وابن.للاعبدبن أبىبنومعاو
، ان ثبنوعمروسف مةوسل.الخدرىسعدوابو.حرةابناءومعبد للاعبدبنجابرورواهخلف،بنأمحابةجمععن ةالص هللاصلىللارسولمد علة .وسلم خالفةآخرقربإلىوعمر .بكر أبىومد
، رالابنعناباحتهافواختلفعمر ب علىوعن.ز
إذاأنكرهاانماانهالخطاببنعمروعن.توقف فهاشهدلم ها ن،ومنبشهادةوأباحهافقطعدالنعل عدل
ابعن ر بنوسعدوعطاءطاوسالت فقهاءوسائر.جبة 4950مك
49
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 43-
45
50 Tidak ada perbedaan redaksi pernyataan Ibn Hazm yang dikutip
dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ dengan kitab al-Muh}alla>h. Lihat Ibn Hazm, Al-Muh}alla>, Jld. 9, (Mesir: Al-Muniriyyah, 1351 H.), h. 519-520.
129
Dan sekarang kami akan menyebutkan nama-nama yang berpendapat kehalalan nikah mut’ah. Dan walaupun tidak jelas tentang referensi fatwa-fatwanya, tetapi Ibn Hazm telah menyebutkan mereka dalam kitabnya al-Muh}alla>: Dan nikah mut’ah itu tidak boleh dilakukan. Yaitu nikah sampai batas tertentu. Nikah tersebut halal di zaman Nabi saw. Kemdian Allah menghapusnya melalui lisan Rasul-Nya secara mutlak sampai hari kiyamat. Dan sekelompok sahabat telah menetapkan kehalalannya setelah zaman Rasulullah saw di antaranya Asma>’bint Abi> Bakr, Ja>bir ibn ‘Abdilla>h, Ibn Mas’u>d, Ibn ‘Abba>s, Mu’a>wiyah ibn Abi> S}afya>n, ‘Amr ibn H}ari>s|, Abu> Sa’i>d al-Khudri>, Salmah ibn Umayyah, dan Ma’bad anak-anaknya Umayyah ibn Khalaf. Dan Ja>bir ibn ‘Abdilla>h meriwayatkan dari sekelompok sahabat pada zaman Rasulullah saw, zaman Abu> Bakr, Umar dan sampai kepada akhir kekuasaan Umar. Dan telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan nikah mut’ah dalam riwayat Ibn al-Zubair, dan ditangguhkannya dalam riwayat Ali ibn T}a>lib. Adapun dalam riwayat Umar, Umar menolak nikah mut’ah jika tidak didatangkan dua saksi dan menerimanya jika ada dua saksi yang ‘a>dil. Dan dari kalangan tabi’in adalah T}a>wu>s,‘At}a>’, Sa’i>d ibn Jubair, dan segenap ulama fikih Makkah. Dalam kitab Al-Muh}alla>, Ibn Hazm, sebagaimana
simpulan Ja’far Subhani, menyebutkan sederatan sahabat dan
tabi’in yang pernah melegalkan nikah mut’ah. Bahkan dalam
hal ini, Ibn Hazm menilai bahwa data tersebut dinilai valid.
Ibn Hazm ketika memaparkan pandangannya tersebut
menggunakan ungkapan wa qad s|abata. Tetapi, jika melihat
sub judul dan membaca pandangan Ibn Hazm dengan
130
sempurna maka akan ditemukan bahwa Ibnu Hazm termasuk
kalangan ulama yang mengakui adanya informasi valid
tentang penghapusan praktek nikah mut’ah. Sebelum
menyebutkan nama-nama sahabat dan tabi’in tersebut, Ibnu
Hazm menyatakan bahwa nikah mut’ah adalah perkara yang
tidak diperbolehkan. Nikah mut’ah pernah dihalalkan tetapi
kemudian Nabi saw mengaharamkannya sampai hari kiamat.
Dari pemaparan pandangan Ibn Hazm tersebut ada
dua fakta yang disampaikan. Pertama, tenta\ng pengharaman
nikah mut’ah oleh Nabi saw langsung. Kedua, legalisasi nikah
mut’ah setelah wafatnya Nabi saw oleh beberapa para sahabat
dan tabi’in. Tetapi hanya fakta kedua yang diterima oleh
Ja’far Subhani. Ada beberapa riwayat yang menjadi dasar
Ja’far Subhani dalam mempertahankan pandangannya, tentang
legalisasi nikah mut’ah oleh sahabat setelah zaman Nabi saw.
Di antaranya adalah:
اقفمصنفالحافظأخرج ز هبهذااإلسنادعنجابرقال"قدمعمروعبدالرفاعترف، عمروحبلى،فسؤله فؤتىبها بموالة الكوفةفاستمتع ث ابنحر
51قالفذلكحننهىعنهاعمر
Dalam kitabnya, ‘Abd al-Razza>q meriwayatkan dari Ja>bir ibn ‘Abdilla>h, dia berkata ‘Amr ibn H}urais| datang di Kufah, kemudian dia melakukan nikah mut’ah dengan seorang budak dan ‘Amr membawa budak tersebut sudah dalam keadaan hamil. Kemudian Umar bertanya kepadanya dan ‘Amr mengakuinya. Ja>bir ibn ‘Abdilla>h berkata itu terjadi ketika Umar bin Khattab melarang nikah mut’ah.
51 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 113
131
Riwayat yang menjadi penguat pendapat Ja’far
Subhani di atas, dikutip dari Fath} al-Ba>ri>, karya Ibn H}ajar Al-‘Asqala >ni>. Riwayat tersebut, pada dasarnya tidak berdiri
sendiri sebagai sebuah argumentasi. Riwayat tersebut, dalam
Fath} al-Ba>ri>, tengah menceritakan kisah praktek nikah mut’ah
yang dilakukan oleh ‘Amr ibn H}urais|. Berdasarkan riwayat,
praktek nikah mut’ah yang dilakukan oleh ‘Amr ibn H}urais |
tersebut bertepatan dengan larangan nikah mut’ah oleh
sahabat Umar bin Khattab. Berbeda dengan Ja’far Subhani,
Ibnu Hajar menegaskan bahwa yang melarang praktek nikah
mut’ah pada saat itu adalah Umar bin Khattab. Tetapi,
fatwanya tersebut bukan hasil ijtihad atau kebijakannya
sendiri, melainkan sesuai dengan larangan Nabi saw. Dalam
hal ini, Ibnu Hajar mengutip beberapa riwayat yang
menjelaskan bahwa tidak ada lagi perizinan nikah mut’ah
setelah adanya larangan langsung dari Nabi saw. Adapun sikap
Jabir bin Abdullah, tentang menghalalkan nikah mut’ah,
beserta sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan darinya adalah
faktor tidak sampainya larangan nikah mut’ah kepada
mereka.52
Dan penting untuk diketahui bahwa kasus ‘Amr ibn H}urais| tersebut konteksnya adalah ranah hukum perbudakan.
Dalam hadis dijelaskan bahwa wanita hamil tersebut adalah
seorang budak bukan wanita merdeka. Jika hadis ini dijadikan
sebagai landasan legalitas nikah mut’ah maka terjadi
inkonsistensi pemikiran yang dilakukan Ja’far Subhani.
Karena pada pembahasan sebelumnya, Ja’far Subhani
menegaskan bahwa salah satu syarat nikah mut’ah adalah
status wanitanya adalah merdeka bukan budak.
52 Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri<, jld. 10, h. 169
132
Berdasarkan analisis di atas, Ja’far Subhani berarti
tidak menampilkan pemikiran Ibn H}azm secara sempurna.
Maksudna, pemikiran yang disampaikan tidak sempurna
sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Muh}alla>, karya Ibn Hazm. Maka pemikiran Ja’far Subhani tentang legalisasi
nikah mut’ah oleh segenap sahabat dan tabi’in tidak bisa
disebut sebagai pemikiran yang valid. Selain itu, Ja’far
Subhani juga tidak konsisten dalam melakukan konstruksi
legalitas nikah mut’ah. Dalam hal ini, ada dua pemikiran yang
tidak koheren. Yaitu menerima hadis ‘Amr ibn H}urais| yang
konteksnya adalah perbudakan dan keharusan wanita merdeka
dalam praktek nikah mut’ah. Sehingga penulis menilai bahwa
pemikiran Ja’far Subhani tidak valid karena tidak sesuai
dengan teori kebenaran koherensi. 4. Legalisasi Nikah Mut’ah oleh Ibnu Umar
Ja’far Subhani adalah salah satu ulama syiah yang
berpegang teguh pada pendapatnya tentang kontinuitas
kehalalan nikah mut’ah. Pandangannya tersebut berdasar pada
beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa segenap para
sahabat telah berpendapat halal tentang nikah mut’ah. Di
antara sahabat yang menjadi dasar pendapatnya adalah sahabat
Ibnu Umar. Riwayatnya adalah sebagai berikut:
عمرعنبنؤلاالشامسنأهلمالجنرأذيخرجالترمأاأباكقدنهىعنهامإناللفقالالشحفقالهالمتعة
هاعننهىعنهاوصقدكانأبإنعمرأرأتنبالافقأأم سلم و للاصلىللاعله نرسول أب أمبتر أم رع
53؟للاصلىللاعلهوسلمرسول
53 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 49
133
Al-Tirmiz|i> telah meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari Syam bertanya kepada Ibnu Umar tentang mut’ah. Ibnu Umar menjawab mut’ah itu halal. Laki-laki tersebut bertanya lagi, bukankah ayahmu telah melarang mut’ah. Ibnu Umar menjawab, bagaimana menurutmu jika ayahku mengharamkan mut’ah sedangkan Nabi saw melakukannya. Apakah kita akan mengikuti perintah ayahku atau mengikuti perintah Nabi saw.?
Riwayat yang dikutip Ja’far Subhani, secara literal,
jawaban-jawaban Ibnu Umar atas pertanyaan seorang laki-laki
menginformasikan bahwa pertama Nabi saw telah melakukan
mut’ah. Kedua, Nabi saw juga memerintahkan praktek
mut’ah. Berdasarkan keterangan footnote dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ hadis yang dikutip Ja’far Subhani tersebut bersumber
dari kitab Sunan al-Tirmiz|i>. Adapun versi lengkap menurut
kitab Sunan al-Tirmizi> adalah:
ثنا د بنعبدحد عقوبأخبرنحم سعد بنإبراهمبنثنا سانبنصالحعنأبحد سالمأنهاب شابنعنكثهللاعبدبن هحد امأهلمنرجالسمعأن سؤلوهوالش متععنعمربنللاعبد عبدفقالالحجإلىبالعمرةالتعمربنللا فقالحالل ه ام عنهانهىقدأباكإنالش
تعمربنللاعبدفقال عنهانهىأبكانإنأرأصلىللارسولوصنعها هللا بعأبأأمروسلمعل أمنت
صلىللارسولأمر هللا جلقالفوسلمعل أمربلالرصلىللارسول هللا للارسولصنعهالقدفقالوسلمعلصلى هللا 54وسلمعل
54 Al-Tirmiz|i>, Sunan al-Tirmiz|i>, jld. 2, (Beirut: Darul Gharb
Islami, 1996), h. 175
134
Diriwayatkan dari ‘Abd ibn H}umaid, dari Ya’qub ibn Ibra>hi>m, dari ayahnya, dari S}a>lih} ibn Kaysa>n, dari Ibn Syiha>b, dari Sa>lim ibn ‘Abdullah, dia berkata bahwa dia mendengar laki-laki dari Syam bertanya kepada sahabat Ibnu Umar tentang haji tamattu’. Ibnu Umar menjawab itu halal. Laki-laki tersebut bertanya lagi, bukankah ayahmu telah melarangnay?. Ibnu Umar menjawab, bagaimana menurutmu jika ayahku mengharamkannya sedangkan Nabi saw melakukannya. Apakah kita akan mengikuti perintah ayahku atau mengikuti perintah Nabi saw.? Laki-laki itu menjawab: tentu perintah Nabi saw yang diikuti. Karena telah nyata bahwa Nabi saw pun melakukannya.
Setelah melakukan komparasi dua riwayat di atas,
versi kitab Mut’ah al-Nisa>’ dan versi kitab Sunan al-Tirmiz|i>, penulis menemukan perbedaan redaksi yang signifakan.
Perbedaan tersebut, menurut penulis, akan melahirkan
simpulan yang sangat berbeda sekali. Perbedaan tersebut
terdapat pada objek materi yang dipertanyakan seorang laki-
laki dari Syam. Berdasar pada kutipan Ja’fa Subhani objek
materi yang dipertanyakan oleh laki-laki tersebut adalah nikah
mut’ah. Kata yang ditampilkan adalah al-mut’ah. Selain
itu,penulis menilai bahwa hadis yang tengah dikutip Ja’fa
Subhani tersebut, konteksnya dalam rangka memperkuat
pemikirannya bahwa praktek nikah mut’ah masih berstatus
halal sebagaimana jawaban Ibnu Umar.
Adapun objek materi yang dipertanyakan laki-laki
dari Syam dalam kitab Sunan Tirmidzi adalah,’an al-tamattu’ bi al-‘umrah ila> al-h}ajj, deretan kata tersebut populer diartikan
sebagai haji tamattu’. Selain itu al-Tirmiz|i> juga meletakan
hadis ini dalam bab haji tamattu’, kitab al-h}ajj. Sehingga jelas
konteks hadis yang dikutip Ja’fa Subhani adalah haji tamatu
135
bukan praktek nikah mut’ah. Dari satu riwayat di atas,
penulis berkesimpulan bahwa Ibnu Umar tidak menghalalkan
praktek nikah mut’ah karena konteksnya adalah haji tamattu’. Berdasarkan analisis data di atas, penulis
berkesimpulan bahwa Ja’far telah melakukan falsifikasi data
dengan cara merubah redaksi aslinya yaitu al-tamattu’ dirubah
menjadi al-mut’ah. Sehingga berdasarkan teori kritik hadis
pemikiran Ja’far Subhani tidak terkonstruksi dengan data-data
yang valid atau dalam istilah Mus}t}afa> Al-A’z}ami> tidak
melakaukan validasi data, is|ba>t al-nus}us| al-s|ah}i>h}ah. Selain itu,
penulis juga menilai bahwa pemikiran Ja’far Subhani tentang
legalisisai sahabat Ibnu Umar tidak koresponden, tidak sesuai
dengan data-data faktual yang ada di sumber primernya, yaitu
kitab Sunan al- Tirmiz|i>.
C. Keberatan Ali bin Thalib atas Fatwa Umar bin Khattab
Pada awal pembahasan kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far
Subhani memposisikan nikah mut’ah sebagai obat dan solusi
dalam mencegah menyebarnya kerusakan moral terutama yang
di kalangan laki-laki yang belum mampu melaksanakan nikah
da>’im. Ja’far Subhani nikah mut’ah merupakan salah satu
praktek yang diajarkan oleh agama dan menjadi sebuah ajaran
mulia yang memiliki misi menjaga kehormatan manusia.
Dalam pembacaan Ja’far Subhani, sahabat Ali bin Abi Tholib
sangat keberatan atas sikap sahabat Umar bin Khattab yang
mengeluarkan sebuah fatwa larangan nikah mut’ah. Keberatan
sahabat Ali bin Abi Thalib tersebut diriwayatkan dalam
riwayat sebagai berikut:
ناالازمرعنالمتعةلمهعالنلو 55اوشقةشق
55 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 10
136
Ali berkata ‚kalau Umar tidak melarang mut’ah maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka‛.
Terhadap hadis di atas, Ja’far Subhani tidak
mencantumkan rantai periwayatan kecuali nama sahabat Ali
bin Abi Thalib. Selama penulusuran kitab Mut’ah al-Nisa>’, penulis tidak menemukan sumber-sumber yang menjadi
rujukan hadis tersebut, baik dari karya ulama sunni atau pun
karya ulama syiah. Sumber-sumber rujukan hadis tersebut,
penulis temukan dari kitab al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m ,
karya Murtadho ‘Askari, ulama besar syiah yang meninggal
pada tahun 2007. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa hadis
tentang keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib di atas, banyak
ditemukan di kitab-kitab ulama sunni. Kitab-kitab tersebut
adalah tafsir al-Naisa>bu>ri>, Mafa>tih} al-Ghaib, al-Durr al-Mans|u>r, al-Qut}ubi>, kitab Bida>yah al-Mujtahid, dan .56
Dalam kitab tafsir Mafa>tih} al-Ghaib, al-Ra>zi> mengutip
riwayat yang menjelaskan keberatan sahabat Ali tentang sikap
sahabat ‘Umar ibn Khat}t{a>b57
. Pengutipan tersebut dilakukan
al-Ra>zi> ketika menafsirkan ayat fa ma> istamta’tum bihi> min hunn. Ketika menafsirkan ayat tersebut, al-Ra>zi> bersikap
inklusif, tidak hanya menampilkan pendapat kelompok Sunni
tapi juga pendapat kelompok Syiah. Menurut al-Ra>zi>, ayat fa ma> istamta’tum bihi> min hunn, berdasarkan penafsiran para
ulama, memiliki dua penafsiran. Pertama, ayat tersebut
ditafsirkan dalam konteks pernikahan da>’im. Ayat ini
menjelaskan tentang kewajiban bagi seorang suami yang telah
56 Murtadha ‘Askari, al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m, (Beirut:
t.pen. t.t. ), h. 34-35
57 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 273
137
menikmati anggota tubuh istri dengan bersetubuh atau pun
lainnya. Kedua, ayat ini ditafsirkan dalam konteks nikah
mut’ah. Al-Ra>zi> berpendapat bahwa para ulama bersepakat
tentang kebolehan nikah mut’ah pada awal kedatangan Islam.
Namun berbeda pendapat tentang keberadaan penghapusan
nikah mut’ah. Dalam hal ini, al-Ra>zi> mengatakan bahwa
pendapat mayoritas adalah telah terjadinya penghapusan dalan
nikah mut’ah.58
Masih menurut al-Ra>zi>. Ada sebagian kelompok yang
menyatkan bahwa praktek nikah mut’ah masih dibolehkan.
Pendapat ini berdasarkan pada tiga riwayat. Yaitu riwayat Ibn ‘Abba>s, riwayat ‘Imra>n ibn H}us}ain, dan riwayat Ali bin Abi
Thalib, yang menjadi pembahasan fokus pada sub-bab ini.59
Riwayat Ibnu ‘Abbas. Al-Ra>zi> berkesimpulan ada ada
tiga riwayat yang dinisbatkan kepada sahbat Ibnu ‘Abbas.
Pertama, riwayat yang menjelaskan jawaban-jawaban sahabat
Ibnu ‘Abbas terhadap pertanyaan seorang tabi’in bernama
‘Uma>rah. Ibnu ‘Abbas menjawab dan menjelaskan bahwa
nikah mut’ah itu bukan akad nikah, bukan prostitusi, memiliki
masa ‘iddah, dan tidak saling mewarisi. Kedua, riwayat yang
menceritakan tentang syair yang dibuat oleh segenap orang
sebagai sebuah respons terhadap fatwa Ibnu ‘Abbas dalam
masalah mut’ah. Kemudia Ibnu ‘Abbas meresponsnya dengan
tegas dan melakukan pembelaan bahwa dirinya tidak pernah
mengeluarkan fatwa tentang pembolehan nikah mut’ah secara
mutlak. Fatwanya adalah diperbolehkan nikah mut’ah dalam
kondisi darurat sebagaimana diperbolehkannya memakan
daging babi dan anjing. Ketiga, riwayat yang
menginformasikan tentang pernyataan Ibnu ‘Abbas bahwa
58 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 272-273
59 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h.. 273
138
praktek mut’ah telah dihapus dengan ayat ya> ayyuha> al-nabiyy iz|a> t}allaqtum al-nisa>’, surat Al-T}alaq ayat 1.. Bahkan dalam
riwayat lain, ketika mendekati ajalnya, Ibnu ‘Abbas
menyatakan dirinya bertaubat atas pandangannya tentang
mut’ah.
Simpulan dari ketiga riwayat tersebut, yang dipaparkan
al-Ra>zi> dalam tafsirnya, menunjukan bahwa sahabat Ibnu
‘Abbas salah satu sahabat yang tidak setuju akan praktek
nikah mut’ah.
Selain riwayat Ibnu ‘Abbas, yang menjadi dasar nikah
mut’ah (yang dikutip al-Ra>zi>) adalah riwayat ‘Imran ibn H}us}ain. Riwayat ‘Imran ibn H}us}ain tersebut menjelaskan
tentang turunnya ayat mut’ah dan tidak ada ayat yang
menghapusnya. Selain itu riwayat ini menginformasikan
bahwa Nabi saw tidak pernah melarang praktek mut’ah
tersebut. Karena al-Ra>zi> tidak memberikan komentar atau pun
takhrij terhadap riwayat ini, penulis dalam hal ini melakukan
verifikasi tentang riwayat ‘Imran ibn H}us}ain tersebut. Dalam
S}ah}i>h} al-Bukha>ri,> riwayat tersebut termuat dalam kitab Haji,
bab Tamattu’. Ibnu Hajar Asqalani, yang mensyarah kitab
hadis tersebut, menghubungkan riwayat tersebut dengan
masalah haji tamattu’ bukan nikah mut’ah.
Riwayat terakhir yang menjadi dasar nikah mut’ah
adalah riwayat sahabat Ali bin Abi Thalib. Yaitu tentang
keberatan sahabat Ali akan fatwa dari sahbat Umar bin
Khattab. Akan tetapi dalam hal ini, al-Ra>zi>, setelah
memaparkan dalil yang dijadikan dasar oleh kelompok yang
membolehkan nikah mut’ah, menampilkan satu riwayat lagi
yang menjelaskan ketidaksetujuan sahabat Ali terhdap fatwa
sahabat Ibnu ‘Abbas yang berfatwa bolehnya nikah mut’ah.
Dalam hal ini, sahabat Ali berargumentasi dengan hadis
larangan Nabi saw tentang nikah mut’ah dan memakan daging
himar ahliyyah. Dengan mengutip hadis tersebut,
139
memperlihatkan bahwa al-Ra>zi> ingin menyampaikan bahwa
sahabat Ali sendiri pada dasarnya menolak praktek mut’ah.
Pada kesempatan yang lain, al-Ra>zi> juga memapar
argumentasi-argumentasi kelompok, baik yang mengharamkan
atau yang menghalalkan nikah mut’ah. Setelah memaparkan
argumentasi-argumentasi kelompok yang menghalalkan nikah
mut’ah, al-Ra>zi> memberikan komentar dan penolakan
argumentasi yang diawali dengan ungkapan wa al-jawa>b ‘an al-wajh al-awwal. 60
Dengan melakukan verifikasi riwayat tentang
keberatan sahabat Ali akan fatwa sahabat Umar dalam tafsir
al-Ra>zi>, penulis berkesimpulan bahwa riwayat tersebut hanya
sebatas data informatif yang tengah menjelaskan dalil-dalil
atau riwayat-riwayat yang dijadikan dasar oleh kelompok yang
membolehkan nikah mut’ah. Keberadaan riwayat tersebut
tidak memperlihatkan dan tidak dijadikan sebagai data
argumentatif pemikiran al-Ra>zi > tentang nikah mut’ah. Dan
penulis berkesimpulan, dari penafsiran al-Ra>zi> tentang ayat fa ma> istamta’tum bihi< min hunn, al-Ra>zi> salah satu ulama tafsir
yang tidak setuju atas praktek nikah mut’ah.
Dalam kitab Bida>ya>h al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd,
riwayat yang semakna dengan riwayat keberatan sahabat Ali
atas fatwa sahabat Umar terdapat pada kitab Nikah, bab al-Ankih}ah} al-Manhiy ‘anha> al-Syar’iy, akad-akad nikah yang
diharamkan. Tetapi yang meriwayatkan hadis tersebut adalah
sahabat Ibnu ‘Abbas. Dalam bab ini, Ibnu Rusyd membahas
empat macam nikah. Yaitu nikah Syigha>r, Mut’ah, Muh}allil, dan haramnya lamaran terhadap perempuan yang ada dalam
lamaran orang lain. Dalam pembahasan nikah mut’ah, Ibnu
Rusyd menyatakan bahwa keharaman nikah mut’ah
60 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Ghaib, h. 276-277
140
diinformasikan dengan riwayat-riwayat mutawatir. Tetapi
walaupun mutawatir, para ulama berbeda pendapat tentang
waktu diharamkannya nikah mut’ah. Waktu-waktu
diharamkannya tersebut adalah pada saat di Khoibar, Fathu
Mekkah, Tabuk, Haji Wada’, ‘Umroh Qodho, dan pada tahun
Authos. Menurut Ibnu Rusyd mayoritas para sahabat dan para
ulama dari berbagai penjuru kota sepakat atas keharaman
nikah mut’ah. Bahkan di akhir pembahasan, Ibnu Rusyd
menyatakan bahwa akad-akad nikah yang disebutkan di atas,
termasuk nikah mut’ah, adalah akad nikah yang fa>sid karena
ada dalil yang mengharamkannya.61
Selain berpendapat tentang keharaman nikah mut’ah,
Ibnu Rusyd juga mengakui bahwa ada riwayat yang
dinisbatkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas tentang kehalalan
praktek nikah mut’ah. Di sinilah, penulis kitab Bida>yah al-
Mujtahid mengutip riwayat yang semakan dengan riwayat
sahabat Ali. Dalam riwayat ini sahabat Ibnu ‘Abbas juga
merasa keberatan atas fatwa sahabat Umar bin Khattab.
Bahkan Ibnu ‘Abbas menambahkan bahwa nikah mut’ah
adalah bentuk rahmat Allah swt yang dianugerahkan kepada
umat Nabi Muhammad saw.62
Dari pemaparan Ibnu Rusyd tentang nikah mut’ah,
penulis berpendapat bahwa Ibnu Rusyd jelas termasuk
kelompok ulama yang tidak mengakui kehalalan nikah mut’ah.
Keberadaan riwayat Ibnu ‘Abbas yang semakna dengan
riwayat Ali hanya sebagai data informatif bukan data
argumentatif pendapat Ibnu Rusyd. Akan tetapi, Ibnu Rusyd
61 Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, jld. 3, (Cairo: Maktabab Ibnu
Taimiyyah, 1415 H.), h. 111-112.
62 Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, h. 111
141
tidak memberikan komentar dan kritik terhadap riwayat-
riwayat tersebut.
Setiap permasalahan-permasalahan yang berkaitan
dengan hadis, hal yang paling penting adalah melakukan
kajian sanad dan verifikasi periwayat-periwayat yang
meriwayatkan hadis tersebut. Karena Ja’far Subhani tidak
menghadirkan sanad yang lengkap di hadis sahabat Ali bin Abi
Thalib, peneliti berusaha mencari sanad lengkap tersebut,
berangkat dari informasi yang terdapat dalam kitab al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m,
63 karya Murtadho ‘Askari.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab tersebut, hadis sahabat
Ali bin Abi Thalib ada juga di kitab Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q dan tafsir al-T|abari>. Dalam kitab-kitab tersebut penulis
menemukan rantai periwayatan yang sempurna.
Dalam kitab Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q hadis sahabat
Ali bin Abi Thalib memiliki sanad berikut:
64ةوفاقالبالكلعقأندأصننمرجوأخبرجبناقال
Dari kutipan sanad di atas, ada tiga periwayat yang
menjadi guru periwayatan ‘Abd al-Razza>q. Yaitu Ibnu Juraij,
man us{addiq, dan Ali bin Abi Thalib. Tentang biografi Ibnu
Juraij penulis telah menjelaskan pada pembahasan
sebelumnya. Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib adalah
seorang sahabat yang diakui kredibilitasnya baik oleh
kalangan sunni atau pun syiah. Sehingga peneliti dalam
pembahasan ini tidak mengkajinya. Di sini penulis fokus pada
periwayat yang menjadi guru periwayatan Ibnu Juraij. Yaitu
63 Murtadha ‘Askari, al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m, h. 34-35
64 ‘Abd al-Razza>q, Mus}annaf, jld. 7, (Pakistan: Majlis Ilmi, 1983),
h. 500
142
man us{addiq, orang yang aku akui kebenarannya. Di sini Ibnu
Juraij tidak menyebutkan nama periwayatnya langsung.
Padahal periwayat tersebut dianggap cukup kredibel oleh Ibnu
Juraij dalam periwayatan hadis. Dalam diskursus hadis
periwayat seperti ini disebut sebagai periwayat mubham.
Tentang hadis mubham, Ibnu Hajar Asqalani
berpendapat bahwa hadis yang periwayatnya tidak disebutkan
dengan jelas merupakah salah satu hadis yang tidak bisa
diterima, dengan alasan karena syarat utama diterimanya
suatu hadis periwayatnya harus memiliki kredibilitas yang
baik. Menurut Ibnu Hajar, bagaimana akan diketahui
kredibilitasnya jika namanya saja tidak diketahui. Ibnu Hajar
menambahkan bahwa walaupun periwayat hadis tersebut
dimubhamkan dengan menggunakan ungkapan ta’di>l, seperti
akhbarani> s|iqah, hadisnya tetapi tidak bisa diterima. Karena,
menurut Ibnu Hajar, bisa jadi periwayat mubham tersebut
dinilai kredibel oleh satu periwayat tapi tidak oleh periwayat
lain.65
Dalam proses verifikasi, selain pendapat ulama sunni,
peneliti juga melakukan verifikasi pendapat ulama syiah
tentang hadis mubham. Berdasarkan konfirmasi peneliti
terhadap beberapa kitab ilmu hadis karya ulama syiah, penulis
tidak menemukan terminologi hadis mubham dalam sub-bab
yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Tetapi dalam sub-
bab kitab-kitab tersebut ulama syiah menulis sub-bab dengan
ungkapan iz|a> qa>l s|iqah h}addas|ani> s|iqah (jika seorang
periwayat s|iqah berkata telah meriwayatkan kepadaku seorang
periwayat s|iqah) atau iz|a> qa>l ‘adl h}addas|ani> ‘adl (jika seorang
periwayat ‘adl berkata telah meriwayatkan kepadaku seorang
65 Ibnu Hajar ‘Asqalani, Nuzhah al-Naz}r, (Kairo: Daarul Ma’sur,
2011), h. 116
143
periwayat ‘adl). Ungkapan-ungkapan seperti itu, dalam kajian
ilmu hadis sunni masuk di pembahasan hadis mubham.
Di sini peneliti akan menampilkan dua pendapat ulama
syiah yang berkaitan dengan hadis mubham.
Pertama, pendapat Zainuddin Al-‘Amiliy (w. 911 h.),
yang dikenal dengan sebutan al-Syahi>d al-S|a>ni> :
هاذتوارلبمكفالعذلفكلمة قثثنةحدقذاقالالثإهقدعنده,وغرهثقةنووازكجله,تمهوتسنتعندمالب66عندهلوعلمبهبماهوجارحهحرعلجلعاط
Jika seorang periwayat s|iqah, berkata telah meriwayatkan kepadaku seorang periwayat s|iqah maka hal itu tidak cukup menjadi dasar untuk mengamalkan hadis yang diriwayatkannya. Karena pada dasarnya dalam periwayatan seorang periwayat harus diketahui dan disebutkan namanya. Karena jika tidak jelas seperti ini ada kemungkinan dia siqah menurut sebagian dan cacat menurut yang lainnya lagi.
Kedua, pendapat ‘Abd al-Razza>q ibn ‘Aliy Rid}a> al-Hamda>ni> (w. 1338 h.). dalam kitabnya dia berpendapat:
بهفاءتكقرباالفاألل نعدثحدالنداوالعلداذاقالالعاشبناء العتعل راط الردالة اوف تعذي االطمع العر
تعسضعارعلما او وعدمه ره مع به كانمإاالكتفاء 67.ضعارعلالمالعاالط
66 Zainuddin Al-‘Amili, al-Bida>yah fi> ‘Ilm al-Dira>yah, (Qum: Al-
Mufid, 1421 H.), h. 45
67 ‘Abd al-Razza>q al-Hamda>ni>, al-Waji>zah fi> ‘Ilm Dira>yah al-H}adi>s|, dalam Abu> al-Fad}l H}a>fizya>n al-Ba>bali>, Rasa>’il fi ‘Ilm Dira>yah, jld.
2, (Qum: Daarul Hadis, 1424 H.), h. 565
144
Jika seorang periwayat ‘adl atau dua periwayat ‘adl berkata, telah meriwayatkan kepadaku seorang periwayat yang ‘adl, maka pendapat yang lebih dekat adalah sah mengamalkan riwayat tersebut, karena terpenuhinya syarat ‘adl pada periwayat tersebut dan sulitnya mengidentifikasi keberadaannya. Tetapi jika masih memungkinkan untuk identifakasi maka periwayatan seperti ini tidak sah jika ada yang menyelesihinya.
Dari dua pendapat ulama syiah di atas bisa ada
informasi bahwa ada perbedaan pendapat tentang hadis
mubham. Pendapat yang menerima hadis mubham berdasar
pada alasan bahwa sulitnya mengidentifikasi identitas
periwayat tersebut. Tetapi jika masih memungkinkan untuk
identifikasi dan ada penilaian yang meyelesihinya maka
riwayat seperti ini tidak bisa diterima. Oleh karena itu, oleh
ulama syiah lainnya seperti Hasan Shadr Al-Kazhimi (w. 1354
h.) riwayat seperti ini tidak dikategorikan hadis hasan apalagi
hadis s}ah}i>h>.68 Dari pendapat-pendapat di atas, hadis tentang
keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib terhadap fatwa sahabat
Umar bin Khottab yang termuat dalam kitab Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q adalah jenis hadis mubham. Karena dalam rantai
periwayatannya ada periwayat yang tidak disebutkan
namanya. Menurut ulama hadis sunni jenis hadis seperti ini
tidak bisa diterima. Begitu juga dengan ulama-ulama syiah.
Walau pun ada perbedaan pendapat, tapi status hadis tersebut
tidak sampai derajat hasan dan s}ah}i>h.
Selain Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q, hadis tentang
keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib, sanad lengkapnya bisa
68 Hasan Shadr Al-Kazhimi, Niha>yah al-Dira>yah, (T.Kot:
Maktabah Mu’min Quraisy, th.), h. 422
145
ditelusuri dalam tafsir al-T}abari> karya Ibnu Jarir Al-T}abari>. Hadis tersebut dalam kitab tafsir al-T}abari > diriwayatkan oleh
Muh}ammad ibn al-Mus|anna, dari Muhammad ibn Ja’far, dari
Syu’bah, dari al-H}akam, dan dari ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib. Pertama, Muh}ammad ibn al-Mus|anna. Muh}ammad ibn
al-Mus|anna memiliki nama lengkap Muh}ammad ibn al-Mus|annaibn ‘Ubaid ibn Qais dan memiliki nama kunyah Abu> Mu>sa> al-Bas}ri>. Muh}ammad ibn al-Mus|anna lahir pada tahun
167 h. dan meninggal pada tahun 252 h. Dalam periwayatan
hadis Muh}ammad ibn al-Mus|anna berguru kepada Muhammad ibn Ja’far, Sufya>n ibn ‘Uyainah, ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Mahdi> dan lain sebagainya. Adapun para periwayat hadis yang
meriwayatkan hadis dari Muh}ammad ibn al-Mus|anna adalah
Abu> Ha>tim al-Ra>zi>, Abu> Zur’ah al-Ra>zi>, Ja’far ibn Muh}ammad al-Farya>bi> dan periwayat-periwayat lainnya. Dalam
periwayatan hadis Muh}ammad ibn al-Mus|anna banyak
mendapatkan penilaian positif dari para kritikus hadis.
Menurut Ahmad bin Muh}ammad ibn al-Mus|anna adalah
seorang periwayat s|iqah. Sedangkan menurut Muh}ammad ibn
Yahya al-Naisa>bu>ri> Muh}ammad ibn al-Mus|anna adalah
periwayat yang riwayat-riwayatnya bisa dijadikan dasar
argumentasi.
Kedua, Muh}ammad ibn Ja’far. Muh}ammad ibn Ja’far memiliki nama lengkap Muh}ammad ibn Ja’far al-Haz|l dan
memiliki nama kunyah Abu> ‘Abdillah al-Bis}ri>. Muh}ammad ibn Ja’far meninggal pada tahun 193 h. dalam periwayatan hadis
Muh}ammad ibn Ja’far berguru kepada Syu’bah ibn H}ajja>j, yang sekaligus menjadi ayah angkatnya, Sufya>n al-S|auri>, ‘Abd al-Malik ibn Juraij, dan periwayat-periwayat lainnya.
Adapun periwayat hadis yang meriwayatkan hadis dari
Muh}ammad ibn Ja’far adalah Muh}ammad ibn al-Mus|anna>, Ah}mad ibn Hanbal, Ish}a>q ibn Ra>hawih, dan periwayat-
periwayat lainnya. Dalam periwayatan hadis Muh}ammad ibn Ja’far mendapatkan penilaian positif dari para kritikus hadis.
146
Abu H}a>tim al-Ra>zi> menilai bahwa riwayat-riwayat yang
disandarkan kepada Syu’bah melalui jalur Muh}ammad ibn Ja’far dari lebih dipercaya. Senada dengan Abu H}a>tim al-Ra>zi>, Ibn al-Muba>rak memberi pandangan bahwa jika terjadi
perselisihan tentang riwayat Syu’bah, maka merujuklah
kepada kitab Muh}ammad ibn Ja’far. Ketiga, Syu’bah ibn Hajja>j. Tentang biografi Syu’bah
ibn Hajja>j telah penulis jelaskan pada pembahasan
sebelumnya.
Keempat al-H}akam ibn ‘Utaibah. Pembahasan biografi
al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah pembahasan yang cukup rumit
di kalangan para kritikus hadis. Pasalnya, nama al-H}akam ibn ‘Utaibah menuai ragam interpretasi. Perdebatan tentang
biografi al-H}akam ibn ‘Utaibah bertitik dua nama ulama Islam
yang muncul di era tabi’in, yaitu al-H}akam ibn ‘Utaibah dengan nama kunyah Abu> Muh}ammad al-Kindi> dan al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s. Selain hudup di era yang sama, kedua
ulama tersebut juga berasal dari negara yang sama yaitu
Kufah.69
Menurut penuturan Ibnu Hajar ‘Asqalani, Al-Bukha>ri>, Al-Kalbiy, dan ahl al-nasab bersepakat bahwa dua
nama di atas adalah merupakan nama untuk satu orang
ulama.70
Sedangkan menurut Ibn al-Jauzi>, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s berbeda dengan al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>>. al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s bukan seorang
periwayat hadis, tetapi seorang qa>d}i. Dan ini menjadi salah
satu ketidak-akuratan Imam Bukhori dalam menjelaskan
biografi al-H}akam ibn ‘Utaibah.
69Ibn H>}ajar al-Asqala>ni<, Taqri>b al-Tahz|i>b, h. 263
70 Ibn H>ajar al-‘Asqalani>, Lisa>n al-Mi>za>n, Jld. 3, (Beirut: Daarul
Basya’ir, 2002), h. 249
147
Dalam hal ini, peneliti cukup kesulitan dalam
melakukan tarji>h pendapat tentang biografi al-H}akam ibn ‘Utaibah. Di sini penulis mencoba berhipotesis. Jika yang
dimaksud al-H}akam ibn ‘Utaibah pada hadis keberatan
sahabat Ali bin Abi Thalib tersebut adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s, maka jelas bahwa riwayat ini terputus
dari rantai periwayatan. Pasalnya, al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s, sebagaimana penuturan al-Z|ahabi>, tidak
meriwayatkan satu hadis pun.71
al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s adalah seorang qad}i> di kota Kufah menggantikan qad}i< sebelumnya yaitu Ibn al-Asywa’.72
al-H}akam ibn ‘Utaibah, jika yang dimaksud adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah seorang ulama besar yang terlibat dalan
periwayatan hadis, berarti dia adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah
al-Kindi>>, yang memiliki nama kunyah Abu> Muh}ammad al-Ku>fi>y.Abu> Muh}ammad al-Ku>fi>y lahir pada tahun 50 h. dan
meninggal pada tahun 115 h. Dalam periwayatan hadis al-H}akam ibn ‘Utaibah berguru kepada ‘Aliy ibn H}usain ibn ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib, Ibra>hi>m al-Nakha>’i>, Abu> Ja’far Muh}ammad ibn ‘Aliy ibn H}usain ibn ‘Aliy ibn Abi> T}a>lib, Mus}’ab ibn Sa’d ibn Abi> Waqqa>s}, dan periwayat-periwayat
lainnya. Sedangkan para periwayat hadis yang meriwayatkan
hadis dari al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah Syu’bah ibn H}ajja>j, Aba>n ibn S}a>lih}, H}ajja>j ibn Di>na>r, dan periwayat-periwayat
lainnya. Dalam periwayatan hadis, al-H}akam ibn ‘Utaibah banyak mendapatkan penilaian positif dari para kritikus hadis.
Menurut Yah}ya> ibn Ma’i>n periwayat al-H}akam ibn ‘Utaibah
71 Al-Z|ahabi>, al-Ka>syif, (Jeddah: Daarul Qiblah, 1992), h. 345
72 Waki>’, Akhba>r al-Qud}a>h, Jld. 3, (Beirut: ‘Alamul Kutub, t.th ),
h. 22-23
148
adalah periwayat yang s|iqah. Sedangkan menurut Ah}mad ibn ‘Abdilla>h al-‘Ajali>, al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah periwayat
yang s|iqah dan s|abat. Begitu juga menurut Ibnu Hajar dalam,
sebagaimana mengutip pendapat al-Nasa>’i>, bahwa al-H}akam ibn ‘Utaibah adalah seorang periwayat s|iqah. Tetapi Ibnu
Hajar juga mengutip pendapat Ibn Sa’d bahwa periwayat al-H}akam ibn ‘Utaibah terkadang melakukan tadli>s.73
Jika al-H}akam ibn ‘Utaibah melakukan tadli<s , berarti tadli<s tersebut
dilakukan atas nama sahabat Ali bin Abi Thalib. Karena
sebagaimana dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, hadis tentang
keberatan sahabat Ali akan fatwa sahabat Umar bin Khatab,
riwayatnya disandarkan kepada sahabat Ali bin Abi Thalib.74
Berangkat dari penuturan Ibn Sa’d yang dikutip oleh
Ibnu Hajar tentang tadli>s al-H}akam ibn ‘Utaibah, penulis
mencoba melakukan komparasi biografi Ali bin Abi Thalib
dan al-H}akam ibn ‘Utaibah. Menurut penuturan ‘Abd al-Malik
ibn H}usain, seorang ahli sejarah, Ali bin Abi Thalib meninggal
pada tahun 40 h. Sedangkan al-H}akam ibn ‘Utaibah sebagaimana telah dijelaskan, lahir pada tahun 50 h. Artinya
ada jarak waktu lima tahun di antara dua periwayat hadis
tersebutyang tidak memungkan terjadi pertemuan atau berada
di satu zaman. Di beberapa kitab biografi periwayat hadis,
nama Ali bin Abi Thalib tidak ada dalam urutan nama-nama
guru periwayatan al-H}akam ibn ‘Utaibah. Sejauh penelusuran
penulis, tidak ada kitab biografi periwayat hadis yang
mencantumkan nama sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai guru
periwayatan hadis, kecuali nama cucunya sendiri, yaitu Ali bin
Husain bin Ali yang dikenal dengan sebutan Zain al-‘Abidi>n.
73 Ibnu Hajar, Tahz|i>b al-Tahz|i>b, Jld. 1, h. 467
74 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 10
149
Dari estimasi data-data di atas, penulis menyimpulkan
bahwa hadis yang menjelaskan keberatan sahabat Ali bin Abi
Thalib terhadap fatwa sahabat Umar bin Khattab terjadi
keterputusan rantai periwayatan. Dalam arti, hadis tersebut
bukan pernyataan sahabat Ali bin Abi Thalib sebagaimana
penilaian Ja’far Subhani dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’. Sehingga dalam hal ini, Ja’far Subhani menerima hadis yang
sanadnya tidak bersambung kepada sahabat Ali bin Abi
Thalib. Maka, menurut teori kritik hadis Mus}t}afa> Al-A’z }ami>, Ja’far Subhani tidak melakukan langkah kritik periwayat-
periwayat hadis, al-naqd al-salabi> li ma’rifah ‘ada>lah al-ruwa>h. Selain itu, pemikiran Ja’far Subhani tentang keberatan sahabat
Ali bin Abi Thalib atas fatwa Umar bin Khattab tidak bisa
disebut sebagai pemikiran yang valid. Karena pemikirannya
tentang hal ini, tidak sesuai dengan teori ilmiah yaitu ilmu
jarh} wa ta’di>l, sehingga belum memenuhi persyaratan teori
kebenaran korespondensi.
D. Hadis-hadis D}a’i>f tentang Penghapusan Nikah Mut’ah
Pembahasan yang menjadi titik sentral perdebatan
legalitas nikah mut’ah adalah keberadaan penghapusan
(naskh). Menurut ulama Sunni, telah terjadi penghapusan
hukum dalam legalitas nikah mut’ah. Sedangkan menurut
ulama Syiah, praktek nikah mut’ah masih diperbolehkan
dalam kasus-kasus tertentu. Dalam hal ini, menurut Ja’far
Subhani, penghapusan nikah mut’ah tidak pernah terjadi,
kecuali diinformasikan oleh riwayat-riwayat yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Berkaitan dengan hal ini, Ja’far
Subhani, dalam kitabnya, Mut’ah al-Nisa>’, menilai adanya
hadis-hadis dho’if dalam kajian nikah mut’ah terutama dalam
masalah penghapusan legalitas hukumnya.
Hadis-hadis yang dinilai tidak s}ah}i>h} dan tidak
argumentatif dalam penghapusan legalitas nikah mut’ah
adalah hadis Mira>s|, hadis Khoibar, dan hadis pengahpusan
150
ayat mut’ah. Hadis Mira>s| adalah hadis riwayat Ibnu Mas’ud
yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah tertolak legalitasnya
dengan t|ala>q nikah, mi>ra>s|, dan nafaqah. Hadis Khoibar adalah
hadis yang menjelaskan larangan Nabi saw tentang nikah
mut’ah dan memakan daging keledai kampung yang
disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Terakhir adalah
hadis yang menjelaskan terjadinya penghapusan ayat mut’ah
dengan ayat t\ala>q, mira>s\, ‘iddah, dan nafaqah.75
1. Hadis Mira>s| Riwayat Ibnu Mas’ud
Hadis yang dinilai tidak argumentatif dan tidak valid
oleh Ja’far Subhani adalah:
قالالمدللابنمسعود عنعب هاخسنعةمنسوخة ت:76اثرةوالمدداقوالعالقوالصالط
Dari Ibnu Mas’ud dia berkata bahwa mut’ah dihapus. Yang menghapusnya adalah t}ala>q, s{ada>q, ‘iddah, dan mira>s|. Sebagaimana keterangan dalam kitab Mut’ah al-Nisa<’,
hadis tersebut terdapat pada kitab hadis Sunan al-Baih|a>qi>, Ibn al-Munz|ir, dan Mus}annaf ‘Abd al-Razza>q
Riwayat al-Baihaqi>:
عنللاعبدصحابأعنمكالحنعةؤطرابناجالحجالقالطهاخسنةوخسنمعةتالمقالمسعودبنللاعبد
77راثوالمةدوالعداقوالص
75 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 85-
90
76Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 87
77 Al-Baihaqi>, al-Sunan al-Kubra>, jld. 7, (Beirut: Darul Kutub
Ilmiyyah, 2003), h. 339
151
Al-H}ajja>j ibn Art}a’ah, dari al-H}akam, dari sahabat-sahabat Abdullah, dari Abdullah ibn Mas’u>d. Dia berkata mutlah itu terhapus. Dihapus oleh talak, sida>q, ‘iddah, mi>ra>s|. Riwayat ‘Abd al-Razza>q:
قالرامعمثدحرجالتعوسماقالرزبدعقالأبااعمسأنهماأرطاةبناجوالحجثعشاألأخبرنخسنقالأنهعلعنثارالحعنحدثإسحاقخسوندقة صلكالزكاةونسختم وصلكرمضانغرعتوسمقالوالمراثوالعدةالطالقالمتعةتخسونقالعلعنمحمدعنثدحالحجاج
ح بذكلةحلضا78
‘Abd al-Razza>q berkata bahwa aku mendengar seorang laki-laki meriwayatkan kepada Ma’mar, telah memberitakan kepadaku Asy’as| dan al-H}ajja>j ibn Art}a’ah, mereka berdua mendengar Abu> Ish}a>q meriwayatkan kepada al-H}a>ris|, dari Ali bahwa Ali berkata puasa Ramd}an menghapus segala puasa, zakat menghapus segala bentuk sadaqah, dan mut’ah terhapus oleh hukum ‘iddah, t}alaq, dan mi>ra>s|.
78
‘Abd al-Razza>q, Mus}annaf, jld. 7, (Pakistan: Majlis Ilmi, 1983),
h. 505
152
Dua riwayat di atas, pada dasarnya memiliki makna
yang sama. Yaitu terhapus legalitas nikah mut’ah. Kembali ke periwayatan al-Baih}a>qi>\, hadis ini
diriwayatkan melalui jalur periwayatan al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah
dari H}akam dari sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud. Dalam sanad
Baih}a>qi> lainnya, periwayat H}akam langusng meriwayatkan
dari sahabat Ibnu Mas’ud, tidak meriwayatkan melalui
sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud. Oleh karena itu, maka penting
untuk menjelaskan biografi perwayat-periwayat hadis
tersebut.
Pertama al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah. al-H}ajja>j ibn Art}a’ah memiliki nama kunyah Abu> Art}a’ah. Menurut Imam Nawawi,
al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah adalah seorang atba>’ al-ta>bi’i>n yang
berguru kepada al-Zuhri>, Qatadah, al-Sya’bi’, dan lain
sebagainya. al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah meninggal pada tahun 149 h.
Para kritikus hadis seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah,
dan Yahya bin Ma’in menilai al-H}ajja>j ibn Art}a>’ah sebagai
periwayat lemah dan suka melakukan tadli>s.79
Kedua periwayat al-H}akam. Menurut periwayatan
Baih}aqi>, al-H}akam di sini maksudnya adalah al-H}akam ibn ‘Utaibah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya al-H}akam ibn ‘Utaibah dalam dunia periwayatan hadis tidak terlepas dari
dua nama yaitu al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>> dan al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s\. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa dalam perwayatan hadis, kedua periwayat
ini tidak bisa diterima periwayatannya. Karena al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Kindi>> dinilai tidak pernah hidup sewaktu dengan
para sahabat senior.al-H}akam ibn ‘Utaibah sebagaimana telah
dijelaskan, lahir pada tahun 50 h. sedangakan sahabat Ibnu
79Syamsuddin al-Z|ahabi>, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 1530
153
Mas’ud meninggal pada tahun 32 h80
. Artinya ada jarak waktu
18 tahun di antara dua periwayat hadis tersebut yang tidak
memungkinkan terjadi pertemuan atau berada di satu waktu.
Adapun al-H}akam ibn ‘Utaibah al-Nahha>s\ adalah seorang
hakim yang tidak berkecimpung di dunia periwayatan hadis.
Dari hasil kajian sanad di atas, penulis dalam hal ini
sepakat dengan Ja’far Subhani bahwa hadis mi>ra>s| yang
menginformasikan penghapusan nikah mut’ah adalah riwayat
d}a’i >f dan tidak bisa diterima sebagaimana berdasar pada
standar ilmu hadis. Terlebih, para ulama telah membentuk
sebuah budaya yang positif dalam menerima hadis. Selektif
dalam menerima hadis-hadis hukum, terutama yang berkaitan
halal-haram, dan mempermudah dalam menerima hadis-hadis
keutaman ibadah.
Sampai di sini, penulis telah menemukan dua
periwayatan hadis yang di dalamnya terdapat periwayat al-H}akam ibn ‘Utaibah dengan penilaian berbeda terhadap hadis
periwayatannya. Sehingga dalam hal ini, penulis menilai telah
terjadi sikap inkonsistensi dalam penilaian hadis oleh Ja’far
Subhani. Berdasarkan teori kritik sanad, Ja’far Subhani tidak
teliti dalam menilai sebuah hadis sehingga terjadi
inkonsistensi dalam penilaian hadis. Hadis keberatan sahabat
Ali bin Abi Thalib atas fatwa sahabat Umar bin Khattab
diterima oleh Ja’far Subhani. Padahal dalam riwayat tersebut
terdapat periwayat hadis al-H}akam ibn ‘Utaibah. Sehingga
dalam kasus ini, pemikiran Ja’far Subhani tidak sesuai dengan
teori kebenaran koherensi. Karena ada pemikiran yang tidak
konsisten.
80
Sholahuddin Al-S}afadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t, jld. 17, (Beirut:
Dar Ihya Turas|, 2000), h. 326
154
2. Hadis Khaibar Riwayat Ali bin Abi Thalib
Selanjutnya, hadis yang dinilai dho’if oleh Ja’far
Subhani adalah hadis yang menjelaskan larangan atau
penghapusan legalitas nikah mut’ah pada hari Khoibar. Hadis
Khoibar yang dikutip dan ditanggapi Ja’far Subhani adalah:
عنع للاصلىللاعلهوسولبنأبطالبأنرلن مهسلم عن ومعةتى أبخالنساء وعن ومحللكر81ةسراإلنمالح
Dari sahabat Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah saw melarang nikah mut’ah pada hari Khoibar dan juga melarang makan daging keledai kampung.
Hadis di atas, sebagai mana penuturan Ja’far Subhani
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bab nikah mut’ah.82
Berdasarkan riwayat Imam Muslim, hadis tersebut
diriwayatkan oleh Yahya bin Yahya, dari Malik dari Syihab
Al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan, dari Muhammad bin Ali,
dari Ali bin Abi Thalib.
Periwayat Yah}ya> ibn Yah}ya>. Yah}ya> ibn Yah}ya memiliki nama kunyah Abu> Zaka>riya> al-Tami>mi>. Yah}ya> ibn Yah}ya lahir pada tahun 142 h. dan meninggal pada tahun 226
h. dalam periwayatan hadis Yah}ya> ibn Yah}ya berguru kepada
Ma>lik ibn Anas, Kas|i>r ibn Sali>m, Muslim ibn Kha>lid, dan
periwayat-periwayat lainnya. Sedangkan yang meriwayatkan
hadis kepadanya adalah Imam Al-Bukha>ri>, Imam Muslim,
Muh}ammad ibn al-Ra>fi’ al-Qusyairi>, dan periwayat-periwayat
lainnya. Yah}ya> ibn Yah}ya mendapatkan penilaian-penilaian
81 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
82Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
155
positif dari para kritikus hadis. Di antaranya al-Nasa>’i> yang
menilai bahwa Yah}ya> ibn Yah}ya adalah seorang periwayat
s|iqah.83
Periwayat-periwayat setelahnya adalah para imam
dalam bidang hadis yang kredibilatasnya sudah tidak
dipermasalahkan. Sehingga di sini penulis mencukupkan
penelitian pada periwayat Yah}ya> ibn Yah}ya saja.
Jika mempertimbangkan kualitas periwayat-periwayat
hadis, hadis khaibar memiliki sanad yang kuat dan diterima
oleh semua kritikus hadis. Dalam hal ini, Ja’far Subhani, tidak
mempertimbangkan kualitas sanad tersebut. Dalam kitabnya,
Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani tidak memberikan uraian
argumentasi tentang validitas hadis ini. Ja’far Subhani
mencukupkan diri dengan penilaian bahwa hadis khaibar ini
statusnya adalah bohong atas nama sahabat Ali bin Abi
Thalib.84
Dalam kajian hadis Sunni, hadis khaibar mendapatkan
perhatian yang cukup intens. Tidak sedikit para kritikus hadis
memberikan kritik terhadap hadis tersebut, terutama kritik
pada aspek matannya. Permasalahan yang menjadi titik
sentralnya adalah perbedaan pandangan tentang kedudukan
yaum khaibar atau zaman khaibar sebagai keterangan waktu
untuk larangan memakan daging keledai, atau keterangan
waktu untuk larangan nikah mut’ah, atau keterangan waktu
untuk larangan keduanya.
83 Syamsuddin Al-Z|ahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 4213
84 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
156
Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat di atas, bahwa
Nabi saw telah melarang nikah mut’ah dan makan daging
keledai di saat perang Khaibar. Hadis yang diriwayatkan oleh
para imam hadis, seperti Imam Muslim dan Imam Bukhari ini,
banyak menuai respons para kritikus hadis.
Secara tekstual hadis di atas menjelaskan bahwa
keterangan waktu yaum khaibar adalah keterangan waktu
untuk larangan nikah mut’ah. Tetapi menurut pendapat yang
dikutip al-Baih}aqi> bahwa Sufya>n ibn ‘Uyainah menilai bahwa
keterangan waktu tersebut adalah keterangan waktu untuk
larangan makan daging keledai, bukan keterangan waktu
untuk larangan nikah mut’ah. Pandangan ini merujuk kepada
hadis riwayat Imam Bukhari.85
Tetapi dalam riwayat Sufya>n bin ‘Uyainah lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab
S}ah}i>h} Muslim dijelaskan bahwa secara tekstual keterangan
waktu tersebut berkaitan dengan larangan nikah mut’ah.
Bahkan menurut riwayat Imam Muslim, dalam riwayat lain,
sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari
Zuhri, Rasulullah bersabda secara tegas tentang larangan nikah
mut’ah pada saat Khaibar. Tetapi dalam riwayat lainnya,
Sufyan bin ‘Uyainah juga meriwayatkan dari Zuhri bahwa
Rasulullah saw melarang makan daging keledai pada saat
Khaibar, dan nikah mut’ah setelahnya.86
Sejauh penelitian, penulis belum menemukan tarji>h al-dala’il tentang pemaknaan yang lebih tepat untuk hadis ini,
kecuali pandangan Ibn ‘Abd al-Barr yang menyatakan bahwa
mayoritas orang berpendapat bahwa keterangan waktu yaum
85Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, jld. 10, h. 165
86Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165
157
khaibar adalah keterangan waktu untuk larangan makan
daging keledai, bukan keterangan waktu untuk larangan nikah
mut’ah. Selain itu, Ibnu Hajar mengutip pendapat al-Suhaili>
yang mengatakan bahwa laranagan nikah mut’ah di perang
Khoibar tidak diketahui oleh para ahli sejarah dan ahli
periwayatan. Menurut perselisihan dalam hal ini, faktornya
adalah terjadi taqdi>m wa ta’khi>r dalam riwayat Zuhri. Selain
itu, Ibnu Hajar mengutip pendapat Ibn al-Qayyim yang
menegaskan bahwa para sahabat tidak pernah melakukan
mut’ah dengan para wanita yahudi. Atas dasar ini, menurut
Ibn al-Qayyim, maka larangan belum pernah terjadi pada
perang Khoibar. Kecuali praktek mut’ah yang dilakukan oleh
orang-orang dari suku Aus dan Khazraj sebelum Islam
datang.87
Dari pemaparan Ibn al-Qayyim yang dikutip dalam
Fath} al-Ba>ri>, penulis berpendapat bahwa pada saat perang
Khoibar belum ada larangan nikah mut’ah. Jadi keterangan
waktu yaum khaibar adalah keterangan waktu untuk larangan
makan daging keledai.
Kembali kepada penilaian Ja’far Subhani tentang
kelemahan hadis khaibar. Di sini penulis mencoba
memaparkan perbedaan pandangan antara penulis dengan
Ja’far Subhani. Ja’far Subhani menilai bahwa hadis khaibar
yang diriwayatkan sahabat Ali bin Abi Thalib adalah riwayat
bohong.88
Bohong atas nama sahabat Ali. Dengan alasan
bahwa sahabat Ali telah memperlihatkan ketidak-setujuannya
atas penghapusan nikah mut’ah sebagai dalam riwayat tentang
87
Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165
88 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
158
keberatan sahabat Ali atas fatwa sahabat Umar bin Khattab.
Kedua Ja’far Subhani berpendapat sebagaimana pendapat
penulis, bahwa di perang Khaibar belum terjadi larangan nikah
mut’ah. Dengan dua alasan ini, Ja’far Subhani menolak hadis
Khaibar yang diriwayatkan sahabat Ali bin Abi Thalib.
Sedikit berbeda dengan pandangan Ja’far Subhani,
penulis menilai bahwa hadis Khaibar dengan kualitas sanad
yang kuat tidak bisa ditolak. Karena sudah jelas periwayat-
periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut adalah periwayat
s}iqah dan sebagian besar adalah imam dalam periwayatan
hadis, seperti Ibnu Syihab, Malik, dan Muslim. Selain itu tidak
ada yang mempermasalahkan sanad hadis tersebut.
Selanjutnya tentang perbedaan para ulama tentang keterangan
waktu yaum khaibar adalah perbedaan riwa>yah bi al-ma’na> yang masih diakui dan diterima perbedaannya. Terlebih lagi,
ada pendapat yang menguatkan bahwa ahli sejarah dan ahli
periwayatan telah menyatakan bahwa di perang khoibar belum
ada larangan nikah mut’ah. Jadi, dalam hal ini penulis tetap
menerima hadis khoibar dengan ragam periwayatannya.89
Berdasarkan analisis pemikiran Ja’far Subhani di atas,
di sini penulis menilai bahwa Ja’far Subhani melakukan
fabrikasi, menilai sebuah hadis lemah bahkan bohong atas
nama Ali bin Abi Thalib, tetapi tidak ada dasar yang
membuktikannya. Sehingga penulis menilai bahwa pemikiran
Ja’far Subhani keluar dari etika teori-teori kritik hadis dan
juga tidak sesuai dengan teori kebenaran korespondensi karena
penilainnya tentang hadis tidak berdasar pada teori-teori ilmu
hadis.
89
Ibnu Hajar, Fath{ al-Ba>ri>, h. 165
159
3. Hadis penghapusan nikah mut’ah; naskh al-qur’a>n bi al-qur’a>n
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa telah
terjadi penghapusan ayat nikah mut’ah, fa> ma> istamta’tum bihi> dengan ayat fa t}alliqu>hunn li ‘iddatihinn. Salah satu
riwayatnya disandarkan kepada sahabat Ibnu ‘Abbas. Dalam
hal ini Ja’far Subhani menolak periwayatan tersebut dengan
alasan bahwa sahabat Ibnu ‘Abbas adalah murid sahabat Ali
bin Abi Thalib yang dipastikan lebih paham tentang maksud
ayat-ayat Al-Qur’an dari sekedar ayat mut’ah dihapus dengan
ayat t}ala>q dan ‘iddah, karena praktek nikah mut’ah sendiri ada
‘iddahnya.90
Riwayat yang disandarkan kepada sahabat Ibnu
‘Abbas tersebut adalah:
هننمبهمتعتتمهعزوجلفمااساسفقولنعبعنابفرضةأجورنهفؤتو نسختهن إذاقال النب أها ا ها91هنتعدقوهنلفطللنساءقتماطل
Dari sahabat Ibnu ‘Abbas tentang ayat fa ma> istamta’tum bihi> minhunn, menurut sahabat Ibnu ‘Abbas dihapus oleh ayat ya> ayyuha> al-nabiyy iz|a> t}allaqtum al-nisa>’ fa t}alliqu>hunn li’iddatihinn.
Periwayat Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j. Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j periwayat yang
meninggal pada tahun 275 h. dan memiliki nama kunyah Abu> Bakr al-Marwaz|i> . Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j dalam
90
Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
91Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah., h. 88
160
periwayatan hadis berguru kepada Ah}mad ibn H}anbal, Ha>ru>n ibn Ma’ru>f, Suraij ibn Yu>nus, dan periwayat-periwayat
lainnya. Sedangkan periwayat yang meriwayatkan hadis dari
Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j adalah Muh}ammad ibn ‘I<sa> al-Wali>d, Abu> H}a>mid Ah}mad, dan periwayat-periwayat
lainnya. Menurut al-Z}ahabi> , Ah}mad ibn Muh}ammad ibn al-H}ajja>j adalah seorang ima>m, ahli hadis, dan sahabat Ah}mad ibn H}anbal yang wara’. 92
Periwayat Yah}ya> ibn Sulaima>n. Yah}ya> ibn Sulaima>n memiliki nama kunyah Abu> Sa’i>d al-Ju’fi>. Yah}ya> ibn Sulaima>n meninggal pada tahun 237 h. Yah}ya> ibn Sulaima>n , dalam periwayatan hadis berguru kepada al-Da>ra>wardi> dan
yang berguru kepadanya adalah Imam Bukhori dan Hasan bin
Sufyan. Menurut al-Nasa>’i> , Yah}ya> ibn Sulaima>n adalah
periwayat yang tidak s|iqah.93
Periwayat ‘Aliyy ibn Ha>syim. ‘Aliyy ibn Ha>syim, menurut al-Z|ahabi> adalah seorang pengikut syiah yang
memiliki nama kunyah Ibn al-Bari>d dan meninggal pada tahun
183 h. Menurut Ibnu Ma’in dan Ali Madini, ‘Aliyy ibn Ha>syim adalah seorang periwayat s|iqah.
94
Periwayat ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni meninggal pada tahun 155 h. dan memiliki
nama kunyah Abu> Mas’u>d. ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni
92Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 915
93 Syamsuddin Al-Dimasqi, al-Ka>syif fi> Ma’rifah man lahu>
riwa>yah fi> al-Kutub al-Sittah, jld. 2, (Jeddah: Muassasah Ulumul Qur’an,
1992), h. 367
94 Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2876
161
meriwayatkan hadis dari ayahnya sendiri, yaitu ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. Periwayat hadis yang mereiwayatkan hadis
dari‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni adalah Muh}ammad ibn Syu’aib, Wali>d ibn Muslim, dan periwayat-periwayat lainnya.
Menurut Abu> H}a>tim al-Ra>zi>, ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni, periwayat yang hadisnya tidak kuat dan tidak bisa dijadikan
argumen.95
Periwayat ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. ‘At}a>’ al-Khurasa>ni, nama lengkapnya adalah Ibn Abi> Muslim. Lahir pada tahun 50
h. dan meninggal pada tahun 135 h. ‘At}a>’ al-Khurasa>ni, dalam
periwayatan hadis berguru kepada sahabat Abu Darda’, Ibnu
‘Abbas, Mughirah bin Syu’bah dan periwayat-periwayat
lainnya. Sedangkan periwayat yang meriwayatkan hadis dari
‘At}a>’ al-Khurasa>ni adalah Ma’mar, Syu’bah, Malik, dan
periwayat-periwayat lainnya. Dalam penilaian para kritikus
hadis, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni mendapatkan penilaian berbeda.
Menurut Ibnu’ Ma’in, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni> adalah seorang yang
s|iqah. Tetapi menurut Daruquthni, ‘At}a>’ al-Khurasa>ni tidak
bertemu dengan sahabat Ibnu ‘Abbas dalam arti telah
melakukan tadli>s dalam periwayatan hadis.96
Periwayat Ibn ‘Abba>s.97
95 Abu Hatim, al-Jarh} wa al-Ta’di>l, jld. 6, (Beirut: Darul Kutub,
1952), h. 162
96Syamsuddin Al-Dzahabi, Sair A’la>m al-Nubala>’, h. 2689
97 Penulis mencukupkan tanpa penelitian tentang biografi dan
pandangan kritikus hadis tentang sahabat Ibnu ‘Abbash. Karena baik ulama
Suni atau pun ulama Syiah, masing-masing merespons positif terhadap
sosok Ibnu ‘Abbash.
162
Berdasarkan data biografi dan penilaian para kritikus
hadis terhadap perwiayat-periwayat hadis di atas, penulis
menilai bahwa riwayat di atas memiliki rantai periwayatan
yang tidak kuat. Selain ada periwayat yang melalukan tadli>s,
juga ada periwayat lain yang tidak dijadikan sandaran
periwayatannya, yaitu ‘Usma>n ibn ‘At}a>’ al-Khurasa>ni>. Tetapi
penulis masih menemukan riwayat kuat yang semakna dengan
hadis ini. Yaitu hadis riwayat Ibnu Hibban.
وروىسالمعنعبدللابنعمرأنعمربنالخطاببالرجال صعدالمنبرفحمدللاوأثنىعله،وقال:ماالمتعةوقدنهىرسولللاصلىللاعله نكحونهذهإالرجمتهبالحجارة، رجالنكحها وسلمعنها؟،الأجد
وقال:هدمالمتعةالنكاحوالطالقوالعدةوالمراث
Salim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umar, dia berkata bahwa Umar bin Khattab menaiki minbar kemudian memuji Allah swt dan Ibnu Umar bertanya kepada Umar bin Khattab:‛bagaimana pendapatmu tentang para lelaki yang melakukan nikah mut’ah sedangkan Nabi saw telah melarangnya?‛Umar bin Khattab menjawab:‛aku akan tidak menemukan laki-laki yang melakukan nikah mut’ah kecual aku rajam dengan batu‛ kemudian Umar bin Khattab berkata:‛telah membinasakan mut’ah, yaitu nikah, tolak, iddah, dan pembagian waris‛
Selain itu, dalam pandangan Ibn H}ajar, hadis riwayat
Ibn ‘Umar di atas memiliki sya>hid yang kuat, yaitu riwayat
Abu> Hurairah.98
Al-Syauka>ni>, dalam Nail al-Aut}a>r, juga
sependapat dengan Ibnu Hajar. Dia berpendapat bahwa hadis
98Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri>, jld. 10, h. 169
163
tersebut termasuk hadis hasan. Menurutnya, keberadaan
periwayat Mu’ammal ibn Isma>’i>l yang dinilai lemah oleh
Bukhari tidak dapat menurunkan derajat hasan menjadi da’i>f. Karena hadis tersebut memiliki syawa>hid dalam riwayat
lainnya.99
Di antara syawa>hid hadis di atas adalah hadis Aisyah,
istri Nabi saw:
ىظ ح وهة ػ ثا ات دذ ا عه قال ذ ت
ثا ذ ودذ أد ثا صانخ ت ثغح دذ ثا ػ ىظ دذ ػ ات
ػشوج قال أخثش شهاب ش ت ت انض صوج ػائشح أ
ه وعهى أخثشذه انث ػه صه للا انجاههح ف انكاح أ
ذاء أستؼح ػه كا ها فكاح أ انىو اناط كاح ي
جم خطة جم إن انش ثى فصذقها اتره أو ونره انش
كذها ش آخ وكاح جم كا طهشخ إرا اليشأذه قىل انش
ثها ي إن أسعه ط ه فاعرثضؼ فال وؼرضنها ي
ها وال صوجها غ در أتذا هها رث د جم رنك ي انش
ه ذغرثضغ انز ذ فإرا ي هها ث إرا صوجها أصاتها د
ا أدة انىنذ جاتح ف سغثح رنك فؼم وإ هزا فكا
غ آخش وكاح االعرثضاع كاح انكاح هظ جر يا انش
انؼششج دو شأج ػه فذخهى فإرا صثها ههى ك ان
هد ها ويش ووضؼد د تؼذ نال ػه هها ذضغ أ د
هى أسعهد هى سجم غرطغ فهى إن ي رغ أ در
ؼىا ذها جر انز ػشفرى قذ نهى ذقىل ػ كا يشكى أ ي
99
Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Aut}a>r, (Beirut: Baitul Afkar,
2004), h\. 1202
164
ا اتك فهى ونذخ وقذ فال ذغ ه أدثد ي تاع
غرطغ ال ونذها ته فهذق رغ أ جم ته وكاح انش
اتغ غ انش انكثش اناط جر شأج ػه فذخهى رغ ال ان ذ
جاءها ي انثغاا وه ك صث ػه سااخ أتىاته
ا ذكى ػه ف دخم أساده ه هد فإرا ػه د إدذاه
هها ووضؼد ؼىا د أنذقىا ثى انقافح نهى ودػىا نها ج
تانز ذهاون ته فانراط شو رغ ال اته ودػ رنك ي
ا ذ تؼث فه صه يذ ه للا كاح هذو تانذق وعهى ػه
100انىو اناط كاح إال كهه انجاههح
Diriwayatkan dari Ah}mad ibn S}a>lih}, dari ‘Anbasah, dari Yu>nus, dari Ibn Syiha>b, dia berkata bahwa ‘Urwah ibn al-Zubair telah memeberitakan kepadaku bahwa ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad saw memberitakan kepada ‘Urwah ibn al-Zubair bahwa:
Sesungguhnya nikah di zaman jahiliyya ada empat macam. Di antara nikah model masyarakat sekarang, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada walinya kemudian membayar mahar dan menikahinya. Bentuk pernikahan yang lain adalah seorang laki-laki berkata kata kepada istrinya: ‚pergilah ke si fulan, kemudian minta untuk digaulinya dan suaminya menjauhinya dan tidak menyentuhnya sehingg istrinya tersebut jelas telah mengandung janin hasil dari hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, kemudian suaminya tersebut melanjutkan hubungannya jika suami tersebut
100
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, jld. 5, (Beirut: Dar Ibnu Kas|ir,
th. ), h. 1970
165
menginginkannya. Hal ini betujuan untuk mendapatkan keturunan anak yang cerdas. Nikah seperti ini disebut nikah istibd}a>’. Kemudian, ada juga praktek nikah yang dilakukan oleh sejumlah laki-laki, kurang dari sepuluhan, dan mereka melakukan hubungan badan dengan satu wanita. Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anak, setelah beberapa hari,wanita tersebut memanggil mereka dan tidak ada seorang pun di antara yang menolak panggilan tersebut sehingga mereka pun berkumpul di rumah wanita tersebut. Kemudian wanita tersebut berkata kepada laki-laki tadi: ‚sungguh kalian telah mengetahui urusan kalian, sedangkan aku sekarang telah melahirkan dan anak ini adalah anakmu wahai fulan‛. Kemudian wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itu pun tidak boleh menolaknya. Terakhir, praktek nikah yang dilakukan para laki-laki yang melakukan hubungan badan dengan seorang wanita yang tidak akan menolak setiap ajakan laki-laki tersebut yang mendatanginya, karena mereka adalah para pelacur yang memasang bendera-bendera di muka pintu mereka sebagai tanda siapa yang menginginkannya maka diperbolehkan masuk. Kemudian jika wanita itu hamil dan melahirkan, maka para laki-laki itu berkumpul di tempat tadi, dan mereka pun mendatangkan ahli firasat, kemudian dihubungkanlah anak tersebut dengan ayahnya atas anggapan ahli firasat tersebut. Maka anak itu pun diakuinya, dan dipanggil sebagai anaknya, dan laki-laki yang terpilih tidak boleh menolaknya. Kemudian setelah Allah mengutus Nabi Muhammad saw sebagai Rasul dengan jalan yang benar, beliau menghapus semua praktek nikah jahiliyyah tersebut kecuali nikah sebagaimana yang berjalan sekarang ini.
166
Setelah melakukan verifikasi terhadap kitab-kitab
ulama Sunni, penulis menilai bahwa riwayat Ibn ‘Abba>s tentang penghapusan ayat mut’ah dengan ayat ‘iddah
memiliki kualitas lemah, sebagaimana telah dijelaskan dalam
pembahasan sanad periwayatannya. Tetapi selain hadis ini
ternyata masih ada beberapa hadis yang memiliki kualitas
yang kuat yang menjelaskan bahwa nikah mut’ah telah
dihapus dengan nikah, t}alaq, ‘iddah, dan pembagian waris.
Sehingga hasil dari verifikasi ini penulis berkesimpulan bahwa
Ja’far Subhani belum melakukan verifikasi riwayat-riwayat
secara sempurna. Dalam istilah Mus}t}afa> al-A’z}ami>, langkah
mengumpulkan data secara sempurna (jam’ al-us}u>l ka>ffah)
tidak dilakukan oleh Ja’far Subhani. Sehingga kesimpulannya
tidak korespondens dengan data-data yang ada.
E. Kontradiksi Riwayat Waktu Pengharaman Nikah Mut’ah
Ibn H}ajar Al-‘Asqala>ni> berpendapat ada enam waktu
yang tersirat dalam riwayat-riwayat pengharaman nikah
mut’ah. Yaitu Khaibar, ‘Umrah al-Qad}a>’, Fath} Makkah,
Aut}a>s, Tabuk, Haji Wada’.101
Ja’far Subhani dalam karyanya
Mut’ah al-Nisa>’, menyebutkan lebih ringkas waktu-waktu
pengharaman nikah mut’ah menjadi empat. Yaitu Khaibar102
,
Tanah Hawazin atau tahun Aut}a>s, tanah Mekkah atau Fath}
Makkah. Dalam hal ini, Ja’far Subhani berpendapat bahwa
telah terjadi kontradiksi dan kekacauan riwayat-riwayat
(idt}ira>b) yang menjelaskan pengharaman nikah mut’ah di
101 Ibnu Hajar, Fath} al-Ba>ri>, jld. 10, h. 166
102 Tentang pengharaman di Khaibar sudah dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya
167
waktu-waktu tersebut. Riwayat-riwayat yang dinilai
kontradiktif adalah:
1. Riwayat pengharaman di Khoibar. Dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani mengutip riwayat Ali bin Abi
Thalib:
رسولللاصلىللاعلهوأنلبنأبطالب عنعن مسلم عن تهى النساء خوعة أكم وعن لبر ومحل103سةراإلنمالح
Dari sahabat Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah saw melarang nikah mut’ah pada hari Khoibar dan juga melarang makan daging keledai kampung.
2. Riwayat pengharaman di tanah Hawazin. Dalam kitab
Mut’ah al-Nisa>’, Ja’far Subhani mengutip riwayat Iya>s ibn Salamah:
إ قاللاسبنسعن أبه عن صرسولللارخ مةمأوطاسفالمتعةثالثاثصلىللاعلهوسلمعام
104هىعنهان
103 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 89
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukha>ri> dalam kitabnya, bab
‚perang Khoibar‛ Tidak ada perbedaan redaksi antara kitab Mut’ah al-Nisa>’ dengan kitab S}ah}i>h{ al-Bukha>ri>h.
104 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 93
Hadis ini terdapat pada kitab S}ah}i>h} Muslim pada bab Nika>h} al-Mut’ah dengan redaksi yang samah.
168
Dari Iya>s ibn Salamah, dari ayahnya, berkata bahwa Nabi saw memberi keringanan nikah mut’ah pada tahun Aut}a>s selama tiga hari kemudian melarangnya.
3. Riwayat pengaharaman di Fath} Makkah. Dalam kitab
Mut’ah al-Nisa >’, Ja’far Subhani mengutip riwayat
Sabrah
زامعرسولللاصلىرةأنأباهغعبنسببعنالرعشرةنابهاخمسفؤقم : مكةقالللاعلهوسلمفتح
نلنارسولللاصلىللا)ثالثنبنللةووم(فؤذالنساءفخرجت فمتعة ورجلعلهوسلم منأنا
ول فضل قوم عله الج قرب ف وهو منمالالد استمتعت-قال-الان-مامة أخرجثم فلم منها
105مهارسولللاصلىللاعلهوسلمحتىحر
Dari al-Rabi>’ibn Saburah, berkata bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah saw pada Fath} Makkah dan kami bertinggal di Mekkah selama 15 hari. Kemudian Rasulullah mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah. Saya bersama seorang laki-laki dari kelompoku keluar. Dia memiliki keistimewahan dalam hal rupa tetapi tidak istimewa dalam penampilan. Sab\rah berkata: saya melakukan nikah mut’ah dan tidak keluar dari kota Makkah sampai Rasulullah mengharamkannya.
105 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah., h. 94
Hadis ini terdapat pada kitab S}ah}i>h} Muslim pada bab Nika>h} al-Mut’ah dengan redaksi yang samah.
169
Dalam tiga riwayat di atas, menurut Ja’far Subhani
telah terjadi kontradiksi bahkan terjadi kekacauan riwayat
(id}t}ira>b). Penulis menilai, letak kontradiksinya adalah
terjadinya proses pengharaman nikah mut’ah di beberapa
tempat dan waktu yang berbeda. Sebagaimana pandangan
Ja’far Subhani yang mempertanyakan proses pengharaman
tersebut bahwa, menurutnya, riwayat-riwayat ini tidak
mungkin untuk dilakukan kompromi. Pengharaman di Khoibar
terjadi sekitar tahun ke-7 h. Sedangkan pengharaman di
Hawazin, tahun Aut}a>s, dan pengharaman di Mekkah, Fath} Makkah,terjadi pada tahun ke-8 h. Menurut Ja’far Subhani,
perbedaan-perbedaan seperti ini tidak bisa dikompromikan106
dan akan melahirkan keraguan tentang pengharaman bagi para
pembaca.107
Selain menilainya sebagai riwayat yang kontradiktif,
Ja’far Subhani lebih cendrung terhadap data sejarah, dengan
melihat pemaparan-pemaparan kitab-kitab sejarah, terutama
kitab sejarah Ibnu Hisyam. Hasil pembacaan terhadap data
sejarah Ibnu Hisyam tersebut, Ja’far Subhani berkesimpulan
bahwa tidak ada pernyataan pengharaman langsung dari
Rasulullah saw yang berkaitan dengan nikah mut’ah.108
Sebagaimana ulama-ulama Sunni, Ja’far Subhani juga
menitik-beratkan riwayat pengharaman nikah mut’ah pada dua
riwayat. Yaitu riwayat Khaibar dan riwayat Fath} Makkah.
Tentang riwayat khaibar, yang menjelaskan
pengharaman nikah mut’ah, baik Ja’far Subhani atau pun Ibnu
Hajar mengambil sikap yang sama bahwa di Khoibar tidak
106Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 95
107Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 103
108Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 96
170
terjadi pengharaman nikah mut’ah. Karena berdasarkan pada
penelitian sejarah bahwa di Khoibar para sahabat tidak pernah
melakukan nikah mut’ah dengan kecuali orang-orang Yahudi
yang telah bersosial dengan kelompok Aus dan Khazraj
sebelum Islam. Pada saat itu belum ada wanita-wanita muslim.
Menurut Ibnu Hisyam, Nabi saw hanya melarang empat hal
pada saat di Khoibar. Yaitu makan daging keledai piaraan,
menggauli tawanan-tawana yang hamil, makan daging
binatang buas, dan menjual daging domba sampai ada
pembagian.109
Ulama-ulama Sunni pun berpendapat bahwa larangan-
larangan yang terkandung dalam riwayat Khoibar khusus pada
larangan makan daging himar. Adapun dua larangan Nabi saw
yang disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib kepada
sahabat Ibnu ‘Abbas adalah sebuah penegasan karena pada
saat itu Ibnu ‘Abbas menghalalkan nikah mut’ah dan makan
daging himar, padahal Nabi saw melarangnya.110
Adapun larangan di Fath} Makkah, Ibn H}ajar dan Ja’far
Subhani memberikan pandangan yang berbeda. Ibnu Hajar
berpendapat bahwa waktu pengharaman nikah mut’ah adalah
pada saat Fath} Makkah yang diharamkan Nabi saw sampai
hari kiyamat. Riwayat nikah mut’ah ketika ‘Umrah al-Qad}a>’
adalah riwayat lemah, karena di dalam sanad periwayatannya
terdapat periwayat Hasan yang dinilai banyak melakukan irsa>l. Riwayat nikah mut’ah dalam perang Tabuk, (hadam al-mut’ah al-nika>h} ), tidak dengan jelaskan menjelaskan adanya praktek
mut’ah pada saat itu, tetapi sebagai respons terhadap praktek
mut’ah di zaman terdahulu dan menjadi pesan bahwa praktek
109 Ibnu Hisyam, al-Si>rah al-Nabawiyyah, jld. 3, (Beirut: Daarul
Kitab Arabi, 1990) h. 279-280
110 Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld\. 10, h. 165
171
nikah mut’ah bukan yang disyari’atkan dalam Islam. Adapun
riwayat nikah mut’ah dalam Haji Wada’, menurut Ibnu Hajar
telah terjadi ikhtila>f dalam riwayatnya, sehingga yang paling
benar tentang pengharaman nikah mut’ah adalah di saat Fath} Makkah.111
Tentang pengaharaman nikah mut’ah di Fath{ Makkah,
Ja’far Subhani berbeda pendapat dengan Ibnu Hajar.
Sebagaimana pandangannya tentang pengharaman di Khaibar,
Ja’far Subhani berpendapat bahwa tidak pernah terjadi
pengharaman di nikah mut’ah di Fath} Makkah. Ja’far Subhani
mendasarkan pendapatnya pada informasi dari ahli sejarah.
Menurut Ja’far Subhani berdasarkan informasi dari ahli sejarah
tidak ditemukan tentang pengaharaman atau penghalalan
nikah mut’ah. Pendapat Ja’far Subahni tersebut merupakan
hasil pembacaannya terhadap pidato Nabi saw pada saat Fath} Makkah, yang dikutip dari kitab sejarah Ibnu Hisyam.
112
Secara literal apa yang disimpulkan Ja’far Subhani
adalah benar bahwa dalam pidato Fath} Makkah kutipan dari
Si>rah Ibn Hisya>m tidak ada pengharaman atau pun
penghalalan nikah mut’ah. Tetapi beberapa ahli sejarah sepertiAbu> Qa>sim Al-Suhaili>,113
Ibn Kas|i>r,114 dan Ibn Qayyim115
111 Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri>, Jld\. 10, h. 167
112 Ja’far Subhani, Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah, h. 98
113Abu Qasim Al-Suhaili, al-Raud} al-Unuf, jld. 4, (Beirut: Darul
Kutub Ilmiyyah, 2009), h. 75
114 Ibnu Katsir, al-Si>rah al-Nabawiyyah, jld. 3, (Beirut: Darul
Ma’rifah, 1876), h. 336
115 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Za>d al-Ma’a>d, jld. 3, (Beirut: Al-
Risalah, 1998), h. 304
172
menegaskan bahwa informasi yang paling jelas tentang
pengharaman nikah mut’ah adalah pada saat Fath} Makkah
yang diharamkan sampai hari kiyamat. Para ahli sejarah
tersebut mendasarkan pendapatnya atas hadis Ibn Numair riwayat sahabat Rabi’ bin Sabrah.
116 Hadis tersebut pada
dasarnya berada setelah beberapa hadis dengan hadis yang
sama, yaitu riwayat sahabat Rabi’ bin Sabrah. Bahkan satu
hadis setelahnya yang semakna dengan hadis tersebut
menjelaskan bahwa pengaharaman nikah mut’ah yang
terkandung dalam riwayat Rabi’ bin Sabrah disampaikan Nabi
saw ketika berada di rukun hajar aswad dan pintu ka’bah.117
116 Hadisnya adalah:
ثنىا ثناعبدالعززبنعمرحد ثناأبىحد حد ر بننم دبنعبدللا ثنامحم بعحد لر هكانمعرسولللا ثهأن أباهحد أن »فقال-صلىللاعلهوسلم-بنسبرةالجهنى
ا ذلك م قدحر للا هاالناسإنىقدكنتأذنتلكمفىاالستمتاعمنالنساءوإن أتموهن آت ا مم تؤخذوا وال سبله خل فل شىء منهن عنده كان فمن امة الق وم إلى
ئاش
\Muh}ammad ibn ‘Abdillah meriwayatkan dari ayahnya, dari ‘Abd al-‘Azi>z ibn ‘Umar, dari al-Rabi>’ ibn Sabrah al-Juhanni>, bahwa ayahnya meriwayatkan kepada al-Rabi> ibn Sabrah al-Juhanni> sendiri, bahwa ayahnya pernah bersama Rasulullah saw dan beliau bersabd: ‚ wahai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian untuk bermut’ah dan Allah swt telah mengharamkan itu samapai hari kiyamath. Maka barang siapa yang masih terikat dengan pernikahan tersebut bebaskanlah wainita itu dari perbuatan tersebuth. Dan janganlah mengambil lagi sesuatu yang telah diberikan kepada merekah.
117 Hadisnya adalah:
بنعمر العزز مانعنعبد بنسل ثناعبدة حد بة أبوبكربنأبىش ثناه وحدترسو بهذااإلسنادقالرأ كنوالباب-صلىللاعلهوسلم-لللا نالر قائماب
ر قولبمثلحدثابننم .وهو
173
Berdasarkan analisis data di atas, penulis menilai
bahwa pemikiran Ja’far Subhani tentang adanya kontradiksi
riwayat pengharaman nikah mut’ah dan tidak pengharaman
pada saat Fath} Makkah adalah kesimpulan yang terkonstruksi
oleh analisis yang tidak sempurna dan terkesan tergesa-gesa
dalam menyimpulkan. Sehingga informasi yang disampaikan
belum sesuai dengan data-data secara keseluruhan. Sebuah
proses pengumpulan data secara menyeluruhv(jam’ al-us}u>l ka>ffah) adalah sebuah langkah yang penting dilakukan supaya
hasilnya korespondens dengan data dan fakta yang ada.
Telah meriwayatkan kepada kami, Abu> Bakr ibn Abi> Syaibah, dari ‘Abdah ibn Sulaima>n, dari ‘Abd al-‘Aziz ibn ‘Umar, dengan sanad yang ini, dia berkata: ‚aku melihat Rasulullah saw berdiri di antara rukun dan pintu Ka’bah, beliau bersabda sebagaimana yang ada dalam riwayat Ibn Numairh.
174
175
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis pemikiran Ja’far Subhani
tentang hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, penulis berkesimpulan bahwa:
1. Pandangan-pandangan ilmiah Ja’far Subhani terhadap
hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah menjadikan hadis-hadis tersebut
sebagai dalil konstruktif legalitas nikah mut’ah. Ja’far
Subhani menilai bahwa beberapa hadis yang terdapat
dalam kitab-kitab Sunni juga menginformasikan tentang
legalitas nikah mut’ah. Penilaiannya tersebut dilakukan
dengan cara inventarisasi hadis-hadis yang dinilai
mendukung terhadap pemikirannya tentang legalitas
nikah mut’ah. Hadis-hadis Sunni yang diterima oleh Ja’far
Subhani, pada umumnya, bukan hasil analisis teori ilmu
hadis, terutama Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l, melainkan
berdasar pada interpretasi. Ini terbukti, ketika Ja’far
Subhani menilai sebuah hadis atau berkomentar tentang
seorang periwayat hadis, tidak disertai dengan analisis
pendekatan kritik hadis terutama Ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l.
2. Dengan menggunakan teori kritik hadis Mus}t}afa> al-A’z}ami> dan teori kebenaran Abdul Mustaqim, penulis
menilai bahwa pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-
hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah adalah tidak valid, dengan alasan sebagai
berikut:
a. Pemikiran Ja’far Subhani tentang hadis-hadis Sunni
dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah
berdasarkan teori ‚kesadaran keterpengaruhan oleh
176
sejarah (Historically Effected Consciousness)‛, telah
terpengaruh oleh faktor geo-politik, budaya, dan
kehidupan keagamannya. Yaitu mempertahankan
ajaran-ajaran doktrinal madzhab Syiah. Walaupun
dalam proses konstruksi kritiknya tidak
mengedepankan ideologi ima>mah-nya. Hal ini
terbukti ketika Ja’far Subhani mengomentari hadis
riwayat Ibnu ‘Abbas, ka>nat al-mut’ah fi> awwal al-islam. Dalam sanad riwayat tersebut tidak ditemukan
periwayat-periwayat bermadzhab syiah. Selain itu
riwayat Jabir bin ‘Abdullah, kunna> nastamti’ bi al-qabd}ah. Riwayat ini juga diterima oleh Ja’far
Subhani. Dalam riwayat tersebut terdapat periwayat
bermadzhab syiah yaitu ‘Abdurrazza>q. b. Pemikiran-pemikiran Ja’far Subhani bersifat
Subjektif. Pemikiran-pemikiran tersebut terkonstruksi
oleh pengutipan atau pembacaan serta analisis yang
tidak sempurna baik dalam satu hadis atau pemikiran
ulama Sunni, pengutipan hadis atau riwayat d}a’i>f, merubah redaksi matan hadis, dan inkonsistensi
dalam penilaian hadis.
c. Tentang pengutipan dan analisis yang tidak
sempurna, ini terjadi ketika Ja’far Subhani mengutip
dan berkomentar riwayat Ibnu’Abbas tentang praktek
mut’ah pada awal Islam, ka>nat al-mut’ah fi> awwal al-Isla>m. Dalam riwayat Ibnu Abbas tersebut ada
informasi tentang penghapusan ayat mut’ah di akhir
matannya, dan Ja’far Subhani tidak
mencantumkannya. Selanjutnya, pengutipan yang
tidak utuh terjadi ketika Ja’far Subhani mengutip dan
berkomentar tentang riwayat Ibnu Abbas, yaitu yang
menjelaskan bacaan fama> istamta’tum bihi> minhun ila> ajal musamma>. Dalam hal ini, Ja’far Subhani tidak
membaca secara utuh riwayat-riwayat yang
177
disandarkan kepada sahabat Ibnu Abbas. Padahal
dalam hal ini ada tiga riwayat yang disandarkan
kepada Ibnu Abbas. Yaitu: pertama, riwayat yang
menginformaskan bahwa Ibnu ‘Abbas secara mutlak
membolehkan nikah mut’ah. Kedua, Ibnu ‘Abbas
membolehkan nikah mut’ah tetapi dalam kondisi
darurat sebagaimana diperbolehkannya makan dagin
anjing dan babi. Ketiga, riwayat yang
menginformasikan bahwa sahabat Ibnu ‘Abbas
mengakui telah terjadinya penghapusan nikah mut’ah
dan bertaubat dari fatwa nikah mut’ah yang pernah
dihalalkannya. Selain itu, Ja’far Subhani juga tidak
menyampaikan utuh pemikiran salah satu ulama
Sunni yaitu Ibnu Hazm, sebagaimana yang dikutip
Ja’far Subhani dalam kitab Al-Muh}alla>. Dengan
mengutip dari kitab tersebut, Ja’far Subhani
berkesimpulan bahwa ada sederetan sahabat dan
tabi’in yang mengakui legalitas nikah mut’ah. pada
jika membuka kitab al-Muh}alla>, secara jelas Ibnu
Hazm termasum ulama yang menolak legalitas nikah
mut’ah. Di awal pembahasan nikah mut’ah telah
mengaskan bahwa nikah mut’ah termasuk yang
dilarang. Tentang hal ini sudah dijelaskan secara
terperinci oleh Ibnu Hajar bahwa munculnya dari
kalangan sahabat dan tabi’in yang melegalkan nikah
mut’ah karena disebabkan belum meratanya ke
penjuruh kota dan desa tentang pengharaman nikah
mut’ah.
Selain itu, ada satu riwayat lagi yang penulis
simpulkan bahwa Ja’far Subhani tidak utuh dalam
menganalisis pandangan-pandagan ulama. Yaitu
ketika mengatakan bahwa riwayat pengharaman
nikah mut’ah pada perang Fathu Makkah adalah
lemah tidak berasal. Dalam hal ini, Ja’far Subhani
178
berpandangan bahwa berdasarkan kitab-kitab sejarah
yang terkenal, seperti Si>rah Ibnu Hisyam, dalam kitab
tersebut, menurut Ja’far Subhani, tidak tertulis
penghapusan nikah mut’ah di saat pembebasan kota
Makkah. Tetapi beberapa ahli sejarah seperti Abu
Qasim Al-Suhaili, Ibnu Katsir, dan Ibnu Al-Qayyim
menegaskan bahwa informasi yang paling jelas
tentang pengharaman nikah mut’ah adalah pada saat
Fath} Makkah yang diharamkan sampai hari kiyamat.
Para ahli sejarah tersebut mendasarkan pendapatnya
atas hadis Ibnu Numair riwayat sahabat Rabi’ bin
Sabrah. Hadis tersebut pada dasarnya berada setelah
beberapa hadis dengan hadis yang sama, yaitu riwayat
sahabat Rabi’ bin Sabrah. Bahkan satu hadis
setelahnya yang semakna dengan hadis tersebut
menjelaskan bahwa pengaharaman nikah mut’ah yang
terkandung dalam riwayat Rabi’ bin Sabrah
disampaikan Nabi saw ketika berada di rukun hajar
aswad dan pintu ka’bah.
Akan tetapi tentang pengharaman nikah mut’ah
di Khoibar penulis sepakat dengan Ja’far Subhani
bahwa di Khoibar belum terjadi pengharaman nikah
mut’ah secara abadi. Pengharaman pada saat Khoibar
fokus pada pengharaman memakan daging keledai.
Pengharaman dalam arti proses penghapusan nikah
mut’ah belum terjadi di Khoibar. Karena di Khoibar
pada saat itu belum terjadi praktek mut’ah kecuali
yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi Khoibar
bukan umat muslim.
d. Tentang pengutipan riwayat d}a’i>f, sikap ilmiah Ja’far
Subhani ini dilakukan pada saat mengutip riwayat
Ibnu Abbas tentang praktek nikah mut’ah di awal
Islam, ka>nat al-mut’ah fi> awwal al-Isla>m. Riwayat
tersebut selain dikutip tidak sempurna oleh Ja’far
179
Subhani, juga dinilai hadis syadz oleh Ibnu Hajar dan
menurut ahli kritikus hadis dalam rantai
periwayatannya terdapat periwayat yang suka
meriwayatkan hadis munkar, yaitu Mu>sa> ibn Ubaidilla>h. Selain riwayat Ibnu Abbas, Jafar Subhani
juga mengutip hadis d}a’i>f yaitu riwayat yang
menjelaskan keberatan sahabat Ali bin Abi Thalib
atas fatwa haram nikah mut’ah oleh sahabat Umar bin
Khattab, lau la> naha> ‘Umar ‘an al-mut’ah ma> zana> illa< saqiy. Dalam rantai periwayatan hadis tersebut
terdapat nama Hakam bin ‘Utaibah. Terlepas dari
perdebatan tentang nama lengkap Hakam bin
‘Utaibah baik Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindi> atau
Hakam bin ‘Utaibah Al-Nahhas tidak memiliki
pengaruh dalam merubah derajat kelemahan hadis
tersebut. Dua nama Hakam tersebut lahir di waktu
dan zaman yang sama yaitu sekitar tahun 50 h.
Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib meninggal
pada tahun 40 h.
e. Merubah redaksi hadis. Tentang merubah redaksi
hadis, penulis temukan dalam kutipan Ja’far Subhani
terhadap riwayat Ibnu Umar yang tengah menjelaskan
tentang pertanyaan yang diberika oleh penduduk
Syam kepadanya. Riwayat ini dikutip Ja’far Subhani
dari kitab Sunan Tirmidzi. Dalam kutipan Ja’far
Subhani redaksi yang tertulis adalah kata al-mut’ah. sedangkan dalam kitab Sunan Tirmidzi redaksinya
adalah al-tamattu’ bukan al-mut’ah. Selain itu, dalam
kitab karya Imam Tirmidzi tersebut tertulis secara
jelas bahwa hadis riwayat sahabat Ibnu Umar tersebut
terletak pada kitab haji bab haji tamattu’. Dari sini
penulis berkesimpulan bahwa Ja’far Subhani telah
merubah redaksi hadis yang terdapat dalam kitab
Sunan Tirmidzi, kitab haji bab tamattu’.
180
f. Inkonsistensi dalam menilai hadis. Inkonsistensi
Ja’far Subhani, penulis temukan ketika merespons
dua riwayat yang diriwayatkan memalui periwayat
yang sama yaitu Hakam bin Utaibah. Riwayat-
riwayat tersebut adalah riwayat tentang keberatan
sahabat Ali akan fatwa haram sahabat Umar bin
Khattab, lau la> naha> ‘umar..., dan riwayat yang
menjelaskan penghapusan nikah mut’ah dengan talak,
nafakah, pembagian warisan, dan iddah. Terhadap
riwayata sahabat Ali bin Abi Thalib, Ja’far Subhani
menerimanya. Sedangakan terhadap riwayat sahabat
Ibnu Mas’ud menolaknya. Padahal dalam rantai
periwayatan dua hadis tersebut ada periwayat yang
melakukan tadli>s yaitu Hakam bin Utaibah yang
berdasarkan data kitab-kitab Rijal Hadis tidak pernah
bertemu dengan dua sahabat Rasulullah tersebut.
g. Diukur dengan teori kebenaran koherensi, pemikiran
Ja’far Subhani terhadap hadis-hadis Sunni dalam
kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah bersifat tidak koheren, tidak konsisten. Penulis
menemukan proposisi-proposisi yang berkaitan
dengan argumentasi legalitas nikah mut’ahnya terjadi
inkonsistensi. Yaitu menerima hadis d}a’i>f di satu ke
sempatan dan menolak di kesempatan yang lain
dengan periwayat hadis yang sama lemahnya, yaitu
periwayat yang bernama Hakam bin Utaibah. Walau
pun inkonsistensi ini tidak terbukti dan tidak tertulis
langsung dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah.
h. Diukur dengan teori kebenaran korespondensi, secara
umum kritik-kritik Ja’far Subhani tidak bersifat
koresponden, banyak keluar dari teori-teori ilmu
hadis. Yaitu terkonstruksi atas pengutipan atau
pembacaan serta analisis yang tidak sempurna baik
181
dalam satu hadis atau pemikiran ulama Sunni,
pengutipan hadis atau riwayat yang d}a’i>f, merubah
redaksi matan hadis, dan tidak sesuai dengan teori
ilmu hadis maz|hab Syi’ah sendiri.
i. Diukur dengan teori pragamatis, kritik Ja’far Subhani
terhadap hadis-hadis Sunni dalam kitab Mut’ah al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah secara pragmatis
memang memiliki misa dalam rangka
memperjuangkan bahwa nikah mut’ah merupakan
solusi dan obat atas problematika yang ditemukan
oleh Ja’far Subhani. Salah satunya menghindarkan
pergaulan bebas atau prostitusi bagi kaum remaja
yang masih mempersiapkan diri untuk membangun
rumah tangga namun belum siap secara finansial,
terutama mempersiapkan tempat tinggal. Akan tetapi
penulis melihat bahwa misi pragmatis ini belum
diakui secara universal oleh seluruh umat Islam,
perihal mempertimbangkan hal yang lebih
madharatnya. Terlebih lagi, fakta di lapangan, bahwa
praktek mut’ah di kawasan negara Iran sendiri langka
dilakukan oleh para penganut madzha syiah. Artinya
masyarakat Iran seakan ada sesuatu yang
dipertimbangkan jika ingin melakukan praktek
mut’ah. Jika ini benar-benar solusi dalam rangka
menjaga kehormatan, maka telah banyak dilakukan
dan banyak dipraktekan oleh masyarakat setempat.
Jumlah peminat atau pelaku terhadap sebuah solusi
menentukan akan relevansi solusi tersebut. Jika sudah
banyak yang melakukan itu artinya tawaran ajaran
kemanusiaan tersebut sudah bersifat solutif. jika
masih sedikit atau bahkan langka orang yang
melakukannya berati tawaran kemanusiaan tersebut
konsepnya masih dipertanyakan.
182
B. Saran-saran
Setelah melakukan penelitian terhadap salah satu karya
ulama Syiah Is|na> ‘Asyariyyah kontemporer ini, penulis
menganjurkan kepada para akademisi untuk senantiasa
bersifat objektif dalam membaca literatur. Objektif di sini
dalam arti berdasar pada teori-teori ilmiah. Sikap seperti ini
tidak lain kecuali demi menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Karena jika sebuah penelitian sudah tercampuri dengan
fanatisme kelompok akan menutup cahaya-cahaya kebenaran.
Dalam penelitian ini, penulis sudah berusaha untuk
menjalankan sikap ilmiah di atas. Ja’far Subhani banyak
menulis buku yang membahas isu-isu kontemporer dengan
pendekatan Al-Quran dan Hadis. Sebagaimana kitab Mut’ah
al-Nisa>’ fi> al-Kita>b wa al-Sunnah, Ja’far Subhani menjadikan
hadis-hadis Sunni sebagai argumentasi untuk merekonstruksi
pemikirannya. Sehingga penelitian lintas madzhab seperti ini
perlu dilestarikan demi menjunjung tinggi kejujuran ilmiah.
Berdasar kepada kesimpulan penelitian, penulis
meyaikini bahwa praktek nikah mut’ah adalah praktek
pernikahan yang syari’atnya sudah dihapus dan diharamkan
selamanya. Untuk itu, secara pribadi penulis menghimbau
kepada masyarakat untuk membangun kehidupan rumah
tangga dengan akad yang sah, akad yang tidak ada batasan
waktu dalam membangun rumah tangga. Karenabsalah satu
prinsip dalam berumah tangga adalah melestarikan keturunan
yang baik dan menjaga keutuhan berkeluarga.
183
DAFTAR PUSTAKA
‘Ali> Mahdavirad, Muhammad. Tadwi>n al-H{adi>s\ ‘Ind al-Syi>’ah al-Ima>miyyah. t.tp.: Nasyr Hastami> Nama>,
2010.
‘Askari, Murtadho. al-Zawa>j al-Mu’aqqat fi> al-Isla>m. Beirut.
t.pen, t.th.
Abdullah al-Zar’i, Abdurrahman. Rija>l al-Syi>’ah Fi> al-Mi>za>n. Kuwait. Da>r al-Arqa>m, 1983.
Abi Hatim, Ibnu. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Riyadh: Nazzar
Al-Baz, 1997.
Abu Zahrah, Muhammad. Ta>ri>kh al-Maz|a>hib al-Isla>miyyah. Beirut. Darul Fikr al-‘Arabi, t.th.
Abu> Sya’bah, Muh}ammad bin Muh}ammad al-Wasi>t} Fi> ‘Ulu>m wa Mus}t}alah} al-H{adi>s \.T.tp.: T.p., t.t.
Abu> Zahra>’, Muhamaad. al-Ima>m al-S}a>diq H}aya>tuhu wa ‘As}ruhu wa Fiqhuhu. Beiru>t. Da>r al-Fikr, t.th.
Abu> Zahrah, Muhammad. Us{u>l al-Fiqh. Mesir: Da>r al-Fikr al-
‘Arabi>, 1958.
Ah}mad H{a>ris Suh}aymi>, Tawsi>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp.:Da>r al-Sala>m,
2003.
Al-‘Amili, Zainuddin. al-Bida>yah fi> ‘Ilm al-Dira>yah. Qum.
Al-Mufid, 1421 H.
Baihaqi. al-Sunan al-Kubra>. Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah,
2003.
BazRmul, Muhammad Ibnu. Disertasi Doktor: ‚Al-Qira>’ah wa As|aruha> fi> Al-Tafsi>r ‛. Arab Saudi: Ummul
Qura, 1413 h.
Bustamin dan M. Isa H.A. Salam. Metodologi Kritik Hadis .Jakarta: Rajawali Press, 2004.
184
CD-ROM, Mawsu>’ah al-H{adi>s\ al-Syari>f al-Kutub al-Tis’ah,1991.
Al-Dihlawi, Abdul Haq. Muqaddimah fi> Us}u>l al-H}adi>s|. Beirut: Darul Basya’ir Islamiyyah, 1986.
Al-Dimasqi, Syamsyddin. al-Ka>syif fi> Ma’rifah man lahu> riwa>yah fi> al-Kutub al-Sittah. Jeddah.Muassasah
Ulumul Qur’an, 1992.
Al-Dzahabi, Syamsuddin. Sair A’la>m al-Nubala>’. Libanon.
Darul Afkar Dauliyyah, 2004.
Al-Ha>di al-Fad{l, Abd. Usu>l al-H{adi>s\. Beirut. Markaz al-
Gadir, 2009.
H>}ajar al-Asqala>ni<, Ibnu. Taqri>b al-Tahz|i>b. t.kot.: Daarul
‘Ashimah, 1420 H.
Tahz|i>b al-Tahz|i>b. India: Majlis Da’irah Ilmiyyah, 1908.
al-Is}a>bah fi ma’rifah al-Sah}a>bah. Beirut: Dar Al-Kutub,
1995.
Lisa>n al-Mi>za>n. Beirut: Daarul Basya’ir, 2002. Nuzhah al-Naz}r. Cairo: Daarul Ma’sur, 2011.
Fath} al-Ba>ri>. Bairut: Darul Fikr, 2012.
H{a>ris Suhaymi, Ahmad.Taws}i>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp. Da>r al-Sala>m,
2003.
Hatim, Abu. al-Jarh} wa al-Ta’di>l. Beirut: Darul Kutub, 1952.
Hazm, Ibnu. Al-Muh}alla>. Mesir: Al-Muniriyyah, 1351 H.
Hibban, Ibnu. al-Majru>h}i>n min al-Muh}addis|i>n. Riyadh: Darus
Samai’i, 2000.
Hisyam, Ibnu. al-Si>rah al-Nabawiyyah. Beirut: Daarul Kitab
Arabi, 1990.
Ibn Hazm. Al-Muh}alla>. Mesir. Al-Muniriyyah, 1351 H.
Ibn Mu>sa> Ibn Ayyu>b al-Burha>n al-Abnasi>, Ibrahim. al-Syazza al-Fayah} min ‘Ulum Ibn al-S|ala>h{. Riya>d}: al-
Maktabah al-Rasyd, 1998.
185
Ibnu Hajjaj, Muslim. S}ah}i>h} Muslim. Riyadh. Baitul Afkar
Dauliyyah, 1998.
Ibnu Mat{ar al-Zahrani, Muhammad>. Tadwi>n al-Sunnah al-Nabawiyyah Nasy’at}uhu wa T{atawwuruhu min Qarn al-Awwal Ila> Niha>yah al-Qarn al-Ta>si’ al-Hijr . Saudi: Da>r al-Hijrah Li Nasyr wa al-Tawzi>\,
1996.
Ibrahi>m Ibn Mu>sa> Ibn Ayyu>b al-Burha>n al-Abnasi>, al-Syazza al-Fayah} min ‘Ulum Ibn al-S|ala>h{ .Riyad}: al-
Maktabah al-Rasyd, 1998.
Ih{sa>n Ilay al-Zahi>r, al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh (al-Riyad: Dar al-Salam, 1995.
Ilahy al-Zahi>r, Ihsan. al-Syi>’ah wa al-Tasyayyu’: Firaq wa Ta>ri>kh. al-Riyad: Dar al-Salam, 1995.
Ismail, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.
Al-Jauzi>, Ibn. Kasyf al-Musykil. Riyadh: Darul Wathon,
1997.
Jawa>d Ka>d}im, Muhammad. al-Manhaj al-Ga’i> Fi> Tash}i>h} al-H{adi>s\ ‘Inda al-Ima>miyyah Lebanon: Da>r al-
Ra>fid}i>n, 2013.
Katsir, Ibnu. al-Si>rah al-Nabawiyyah. Beirut: Darul Ma’rifah,
1876.
Khan, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta. Amazon, 2010.
Al-Ma>mqa>ti>, Abdullah. Miqba>s al-Hida>yah Fi> ‘Ilm al-Dira>yah, t.th.
Muhammad Tijani, As-Samawi, Mazhab Alternatif: Perbandingan Syiah-Sunnah. Penterjemah, Hasan
Musawa. Cianjur: Titian Cahaya 2005.
Naisaburi, Hakim. al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}aini. Beirut:
Darul Kutub ‘Ilmiyyah, 2002.
Al-Nawawi. Al-Minha>j fi Syarh} S{ah{i>h} Muslim. Riyadh:
Baitul Afkar, t.th.
186
Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu. Za>d al-Ma’a>d. Beirut: Al-
Risalah, 1998.
Al-Ra>zi>, Fakhr al-Di>n. Mafa>tih} al-Ghaib. Cairo: Daarul
Hadis, 2012.
Al-Razza>q, Abd. Mus}annaf. Pakistan: Majlis Ilmi, 1983.
Rusyd, Ibnu. Bida>yah al-Mujtahid. Cairo: Maktabah Ibnu
Taimiyyah, 1415 H.
Al-Salus, Ali Ahmad. Ensiklopedi Sunnah-Syiah. Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih . Jakarta. Pustaka
Kausar, 1997.
Shadr Al-Kazhimi, Hasan. Niha>yah al-Dira>yah. t.kot.:
Maktabah Mu’min Quraisy, t.th. Shihab, Quraish. Perempuan. Jakarta. Lentera Hati, 2013.
Shalahuddin Al-Shofadi, al-Wa>fi> bi al-Wafaya>t. Beirut. Dar
Ihya Turas|, 2000.
Shalah, Ibnu. Muqaddimah Ibn al-S}ala>h{. Beirut: Darul Fikr,
t.th.
Subh{ani, Ja’far. Mut’ah al-Nisa>’ fi al-kita>b wa al Sunnah.
Qum: Mu’assasah Imam Shodiq, 2002.
Us}u>l al-H{adi>s} wa Ah{ka>muh Fi> ‘Ilm al-Dira>yah. Beirut: Da>r
Jawa>d al-Aimmah, 2012.
Suh}aymi>, Ahmad Haris. Tawsi>q al-Sunnah Bayna al-Syi>’ah al-Ima>miyah wa Ahl al-Sunnah Fi> Ah}ka>m al-Ima>mah wa Nika>h} al-Mut’ah. t.tp.:Da>r al-Sala>m,
2003.
Al-Su’u>d, Rabi>’ bin Mah{mu>d. Al-Syi>’ah al-Ima>miyah al-Isna> ‘Asyariyyah Fi> al-Mi>za>n al-Isla>m .Cairo:
Maktabah Ibn Taimyah. 1414 H.
Al-Suyuti, Jalaluddin. al-Durr al-Mans}u>r fi al-Tafsi>r bi al-Ma’s}u>r. Kairo: Al-Muhandisin, 2003.
Al-Suyuti, Jalaluddin. T}abaqa>t al-H}uffaz}. Beirut: Darul
Kutub Al-‘Ilmiyyah 1983.
Al-Syaukani, Muhammad. Nail al-Aut}a>r. Beirut: Baitul
Afkar, 2004.
187
Al-Syinqithi. Ad}wa>’ al-Baya>n. Jeddah. Daarul ‘Ilmi Fawaid,
th.
Syirazi, Nasir Makarim. Inilah Akidah Syi’ah .Kuwait:
Mu’assasah Asr al-Zuhur, 2009.
Al-T}ah}h}a>n, Mahmud. Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s .Riya>d{:
Makatabah al-Ma’a>rif Li Nasyr wa al-Tawzi>’,
2010.
Taimiyyah, Ibnu. Miha>j al-Sunnah. t.kot.: t.cet, 1987.
Tijani As-Samawi, Muhammad. Mazhab Alternatif: Perbandingan Syiah-Sunnah. Penterjemah, Hasan
Musawa. Cianjur: Titian Cahaya, 2005.
Tirmidzi, al-Ja>mi’ al-Kabi>r. Beirut: Darul Gharb Islami,
1996.
Waki>’. Akhba>r al-Qud}a>h. Beirut: ‘Alamul Kutub, t.th.t.
Al-Warda>ni>, S{a>lih{. ‘Aqa>id al-Sunnah wa ‘Aqa>id al-Syi>’ah: al-Taqa>rub wa al-Taba>’ud. Beiru>t: al-Gadi>r, t.t.
Al-Z|ahabi>, Syamsuddin. al-Ka>syif. Jeddah: Daarul Qiblah,
1992.
188
Biodata Penulis
Penulis, bernama Ceceng Muhajir, pernah
melakukan perlawatan ilmu di Pondok
Pesantren Al-Istiqamah Tasikmalaya, Pondok
Modern Miftahul Hidayah Tasikmalaya,
Pondok Pesantren Aji Mahasiswa Al-Muhsin
Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (S1) melalui
Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) PD Pontren
Kementrian Agama RI dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(S2) melalui program Kaderisai Seribu Ulama DDII-BAZNAS.
Kegiatan sehari-hari penulis adalah dosen Ulumul Qur’an dan
Usul Fikh di STAINU Tasikmalaya (2012-2013), dosen PAI di
PKN STAN Jakarta dan guru madrasah di MTs Miftah
Assa’adah. Penulis tengah dikaruniai istri, Arini Gina Aza dan
satu putri, Naffa Karima Nuroin (9 bulan).