GAMBARAN DEMOGRAFI PENDERITA PENYAKIT PERLEMAKAN HATI NON ALKOHOLIK
DENGAN STATUS GIZI LEBIH DI RSUP FATMAWATI TAHUN 2013-2014
Laporan Penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
Disusun oleh:
Noor Shabrina
1112103000086
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015
! v!
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan pemilik
semesta alam, karena hanya dengan rahmat, hidayah dan ridho-NYA penulis dapat
menyelesaikan penelitian yang berjudul “GAMBARAN DEMOGRAFI
PENDERITA PENYAKIT PERLEMAKAN HATI NON ALKOHOLIK
DENGAN STATUS GIZI LEBIH DI RSUP FATMAWATI TAHUN 2013-2014”
ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian penelitian ini turut dibantu oleh
berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis ini menyampaikan rasa terima kasih yang tidak
terhingga kepada:
1. Dr. Arif Sumantri, SKM., M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Achmad Zaki, M.Epid, SpOT selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. dr. Femmy Nurul Akbar, SpPD-KGEH selaku dosen pembimbing 1 yang telah
banyak menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan dan
membimbing peneliti dari awal hingga akhir terselesaikannya penelitian ini.
4. dr. D. A. Woro Setyaningrum, M. Biomed selaku dosen pembimbing 2 yang
telah banyak menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan dan
membimbing peneliti dari awal hingga akhir terselesaikannya penelitian ini.
5. dr. Edi Mulyana, SpPD-KGEH selaku dosen penguji yang telah menyediakan
waktu dan tenaga untuk menguji, mengarahkan serta memberikan masukan
untuk penelitian ini.
6. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku dosen penguji yang telah menyediakan
waktu dan tenaga untuk menguji, mengarahkan serta memberikan masukan
untuk penelitian ini.
7. dr. Nouval Shahab, Sp.U, Ph.D, FICS, FACS selaku penanggung jawab riset
! vi!
Program Studi Pendidikan Dokter 2012.
8. Mahfudz Ali dan Yuni Prihatini selaku orang tua penulis yang telah tanpa lelah
memberikan dukungan baik moril maupun materiil serta kakak dan adik tercinta
Tetta Migota dan Omar Muhammad serta Noor Fadhillah yang selalu menjadi
motivasi demi terselesaikannya laporan penelitian ini.
9. Kawan-kawan seperjuangan riset Hylman Mahendra dan Nadya Magfira yang
sejak awal hingga akhir terselesaikannya penelitian ini selalu membantu ketika
sedang mengalami kebuntuan hingga mendapatkan pencerahan serta selalu
menemani dalam suka maupun duka.
10. Seluruh sahabat dan teman–teman Program Studi Pendidikan Dokter 2012
termasuk didalamnya teman-teman CSSMORA seperjuangan serta seluruh staf
pengajar Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan penelitian ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ciputat, 29 September 2015
Noor Shabrina
! vii!
ABSTRAK
Noor Shabrina. Program Studi Pendidikan Dokter. Gambaran Demografi Penderita Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik dengan Status Gizi Lebih di RSUP Fatmawati Tahun 2013-2014. Latar Belakang: Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik (PPHNA) merupakan penyakit hati kronik pada penderita yang tidak mengkonsumsi alkohol dan menjadi masalah kesehatan diberbagai negera. PPHNA melibatkan sindroma metabolik sebagai faktor resiko utamanya termasuk obesitas. Jumlah kasus PPHNA meningkat pada pasien dengan obesitas sebesar 60-80%. Tujuan penelitian ini mengetahui gambaran kejadian penyakit perlemakan hati non alkoholik dengan Status Gizi Lebih. Metode: Penelitian menggunakan metode observasional dengan pendekatan cross sectional deskriptif, data diperoleh dari rekam medis pasien yang terdiagnosa PPHNA dengan status gizi lebih di RSUP Fatmawati secara total sampling dengan jumlah sampel sebesar 50 sampel. Hasil: Frekuensi pasien PPHNA yang memiliki status gizi lebih di RSUP Fatmawati tahun 2013-2014 adalah 71,42%. Berdasarkan IMT didapatkan overweight 26%, obesitas I 52% dan obesitas II 22%. Berdasarkan jenis kelamin terbanyak pada perempuan 54%, kelompok usia terbanyak >45-55 tahun 44%, riwayat pendidikan terbanyak pada perguruan tinggi 48% dan pekerjaan tertinggi ibu rumah tangga 32%. Kata kunci : Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik, Status Gizi Lebih.
ABSTRACT
Noor Shabrina. Medical Education Program. Dermograpic Characteristic of Patient Non Alcoholic Fatty Liver Disease with Overnutrition in General Hospital Center Fatmawati from 2013 to 2014. Background: Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) is a chronic liver disease in patients who do not consume alcohol and become an important health issue in many countries. NAFLD involving the metabolic syndrome as the main risk factors, including obesity. NAFLD number of cases increased in obese patients by 60-80%. The aim of the study to find the incidence description of non alcoholic fatty liver disease with risk factors of obesity. Methods: The study used observational method with cross sectional descriptive, the data obtained from the medical records of patients diagnosed with NAFLD with overnutrition in general hospital centers Fatmawati through total sampling with a sample size of 50 samples. Result: The frequency of NAFLD patients who overnutrition in Fatmawati Hospital in 2013-2014 was 71.42%. Based on the BMI obtained overweight 26%, obesity I 52% and obesity II 22%. Based on the sex highest in women 54%, age group the largest >45-55 years 44%, education history most in college education 48% and the highest job in housewives 32%. Keywords : Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD), Overnutrition.
! viii!
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ........................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................. iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ............................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................ xiv
BAB 1: PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Masalah Penelitian ........................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum .................................................................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 3
1.4.1 Manfaat Penelitian bagi Penelitian .................................... 3
1.4.2 Manfaat Penelitian bagi Perguruan Tinggi ........................ 4
1.4.3 Manfaat Penelitian bagi RSUP Fatmawati ......................... 4
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 5
2.1 Penyakit perlemakan hati non alkoholik ...................................... 5
2.1.1 Definisi .............................................................................. 5
2.1.2 Epidemiologi ..................................................................... 7
2.1.3 Faktor Resiko .................................................................... 8
2.1.4 Patogenesis ........................................................................ 9
2.1.5 Diagnosis ........................................................................... 17
2.1.6 Perjalanan penyakit ........................................................... 23
! ix!
2.1.7 Prognosis dan Komplikasi ................................................. 23
2.1.8 Tata Laksana ..................................................................... 24
2.2 Obesitas ...................................................................................... 25
2.2.1 Definisi .............................................................................. 25
2.2.2 Epidemiologi ..................................................................... 25
2.2.3 Patogenesis ........................................................................ 26
2.2.4 Diagnosis ........................................................................... 31
2.2.5 Prognosis dan Komplikasi ................................................. 32
2.2.6 Tatalaksana ........................................................................ 33
2.3 Penyakit Perlemakan hati non alkoholik dan Obesitas ................ 36
2.4 Kerangka Teori ............................................................................ 40
2.5 Kerangka Konsep ......................................................................... 42
BAB 3 : METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 43
3.1 Desain Penelitian ......................................................................... 43
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 43
3.3 Populasi dan Sample .................................................................... 43
3.4 Jumlah Sample ............................................................................. 44
3.5 Kriteria Sample ............................................................................ 44
3.6 Cara Kerja .................................................................................... 44
3.7 Alur Penelitian ............................................................................. 45
3.8 Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 45
3.9 Etika Penelitian ............................................................................ 45
3.10 Definisi Operasional .................................................................. 46
BAB 4 : HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 49
4.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian di RSUP Fatmawati
Jakarta ................................................................................................ 49
4.2 Keterbatasan Penelitian .............................................................. 58
BAB 5 : PENUTUP ......................................................................................... 55
5.1 Simpulan ...................................................................................... 55
5.2 Saran ............................................................................................ 55
! x!
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 57
LAMPIRAN .................................................................................................... 62
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ....................................................................... 69
! xi!
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Daftar Tabel Tabel 2.1 Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik dan Definisi Terkait ... 5
Tabel 2.2 Penyebab Utama pada Steatosis Hepatik Sekunder …………….. 6
Tabel 2.3 Prevalensi Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik pada Populasi
Resiko Tinggi Di Regional Asia Pasifik ………………………… 8
Tabel 2.4 Kondisi dan Faktor Resiko Terkait dengan Perlemakan Hati …... 8
Tabel 2.5 Kriteria Eksklusi Perlemakan Hati Non Alkoholik …………….. 18
Tabel 2.6 SHNA Sistem Skoring Berdasarkan Histologis ………………… 20
Tabel 2.7 Tes Diagnostik Untuk Penyakit Perlemakan Hati ……………… 21
Tabel 2.8 Prevalensi Perjalanan Perkembangan PPHNA Menjadi SHNA dan
Sirosis pada Berbagai Populasi yang Diteliti …………………. 24
Tabel 2.9 Hormon dan Adipokin yang Disekresikan oleh Jaringan Adiposa 28
Tabel 2.10 Contoh Neuropeptida yang Berpengaruh dalam Kebiasaan Makan 29
Tabel 2.11 Klasifikasi Berat Badan Berlebih dan Obesitas Berdasarkan IMT
Menurut Kriteria Asik Pasifik ………………………………... 32
Tabel 2.12 Klasifikasi Berat Badan Berlebih dan Obesitas Berdasarkan IMT
serta Lingkar Perut Menurut Kriteria Asik Pasifik ……………. 32
Tabel 2.13 Komplikasi yang Mungkin Terjadi Akibat Obesitas Diberbagai
Sistem …………………………………………………………. 33
Tabel 4.1 Gambaran Pasien PPHNA dengan Status Gizi Lebih Tahun 2013-2014
di RSUP Fatmawati Berdasarkan Karakterisitik Indeks Massa Tubuh
(IMT) ………………………………………………………... 50
Tabel 4.2 Gambaran Pasien PPHNA dengan Status Gizi Lebih Tahun
2013-2014 di RSUP Fatmawati Berdasarkan Jenis Kelamin dan
Umur …………………………………………………………. 51
Tabel 4.3 Gambaran Pasien PPHNA dengan Status Gizi Lebih
Tahun 2013-2014 di RSUP Fatmawati Berdasarkan Tingkat
Pendidikan dan Pekerjaan …………………………………. .. 53
! xii!
Daftar Gambar
Gambar 2.1 (a) Tradisional 2-hit hipotesis (b) Modifikasi 2-hit hipotesis…. 10
Gambar 2.1 (c) Third Hipotesis…………………………………………….. 11
Gambar 2.2 Mekanisme Akumulasi Lemak di Hepar………………………. 12
Gambar 2.3 Patogenesis SHNA serta Perkembangannya Menjadi Sirosis dari
Berbagai Mekanisme………………………………..………… 15
Gambar 2.4 Pendekatan Diagnosis Perlemakan Hati……………………… 22
Gambar 2.5 Perjalanan Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik……….. 23
Gambar 2.6 Kontrol Neuroendokrin dalam Asupan Makan; Leptin dan Insulin
Menurunkan Nafsu Makan dan Meningkatkan Rasa Kenyang… 27
Gambar 2.7 Metabolisme Lemak dihati……………………………………... 37
! xiii!
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal Penelitian dan Anggaran Penelitian
Lampiran 2. Surat Izin Penelitian dan Kajian Etika Penelitian
Lampiran 3. Hasil Analisis Data
Lampiran 4. Daftar Riwayat Hidup
! xiv!
DAFTAR ISTILAH
ALT : Alanine aminotransferase
Apo-b : Apolipoprotein B
AST : Aspartate aminotransferase
CT scan : Computerized tomography scan
DM : Diabetes mellitus
DNL : De novo lipogenesis
FFA : Free Fatty Acid
GD2PP : Gula darah 2 jam post prandial
GDP : Gula darah puasa
GGT : Gamma glutamyl transpeptidase
HDL : High density lipoprotein
HIV : Human immunodeficiency virus
IL : Interleukin
IMT : Indeks massa tubuh
LDL : Low density lipoprotein
MRI : Magnetic resonance imaging
MTP : Mikosomal transfer protein
NAFLD : Non alcoholic fatty liver disease
NASH : Non-alcoholic steatohepatitis
NFkβ : Nuklear factor kappa B
PHNA : Perlemakan hati non alkoholik
PPHNA : Penyakit perlemakan hati non alkoholik
ROS : Reactif oxygen species
SHNA : Steatohepatitis non alkoholik
TAG : Trigliserida
TNF-α : Tumor necrosis factor alpha
USG : Ultrasonografi
VLDL : Very low density lipoprotein
! 1!
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit perlemakan hati non alkoholik (PPHNA) atau non alcoholic fatty
liver disease (NAFLD) merupakan penyakit hati kronik yang terjadi pada
penderita yang tidak mengkonsumsi alkohol, yang melibatkan peran resistensi
insulin dan stres oksidatif dalam patogenesisnya serta dapat berakhir menjadi
sirosis.1 Spektrum dari perlemakan hati terbagi menjadi perlemakan hati non
alkoholik (PHNA) dan steatohepatitis non alkoholik (SHNA) yang hanya dapat
dibedakan secara histologis.2,3 Penyakit perlemakan hati non alkoholik merupakan
steatosis (perlemakan) tanpa inflamasi dari hepatosit, sedangkan SHNA adalah
steatosis disertai peradangan hepatosit dengan atau tanpa fibrosis.2
Prevalensi kejadian PPHNA di populasi umum dari berbagai negara
adalah 10-24%.4 Di Eropa, prevalensi PPHNA berdasarkan ultrasonografi adalah
20-30%, dan 16% diantara kejadian tersebut terjadi pada orang tanpa risiko
sindroma metabolik.3 Di Inggris kasus penyakit hati kronik 39% nya adalah
PPHNA, menjadikan perlemakan hati sebagai penyebab utama kejadian penyakit
hati kronik di negara barat.3 Untuk Asia berdasarkan yang diteliti, 18-28% angka
prevalensi di Asia timur serta 10% untuk Asia selatan.4,5 Penyakit perlemakan hati
non alkoholik di Indonesia didapatkan dari sebuah penelitian di pinggiran kota
Jakarta yaitu 30,6% dan insidensi terbanyak pada usia pertengahan yaitu 37,2%.6
Prevalensi perlemakan hati meningkat sejalan dengan peningkatan umur,
dengan insidensi tertinggi laki-laki usia 40 sampai dengan 65 tahun.3 Namun
penyebab utama peningkatan prevalensi perlemakan hati adalah faktor metabolik
seperti obesitas, diabetes melitus tipe II (DM II), dislipidemia dan hipertensi
arterial.2,3 Dari faktor metabolik tersebut obesitas dan DM II memiliki angka
kejadian paling tinggi pada penderita PPHNA, yaitu obesitas sebanyak 60-80%
dan sebanyak 60% DM II.4,5 Namun obesitas dalam berbagai derajat, sering kali
dikatakan sebagai satu-satunya kondisi yang paling sering ditemukan pada pasien
PPHNA.4,7 Oleh karena itu penurunan berat badan pada pasien PPHNA saat ini
menjadi fokus penelitian.7
! 2!
Di Amerika Serikat dan negara berkembang pada 10-15 tahun terakhir
kejadian PPHNA semakin meningkat karena terdapat pula peningkatan faktor
metabolik terutama obesitas yang terjadi pada semua golongan umur.4 Prevalensi
peningkatan angka kejadian obesitas di dunia yaitu dari tahun 1980 hingga 2013
adalah 28,8% menjadi 36,9 untuk laki-laki, serta 29,8% menjadi 38% untuk
perempuan.8 Sedangkan di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2013,
prevalensi nasional status gizi lebih pada dewasa lebih dari 18 tahun yaitu 13,5%
untuk overweight dan 15,4% untuk obesitas, serta menurut jenis kelamin 19,7%
untuk laki-laki terdapat peningkatan jika dibandingkan 2010 sebesar 7,8% dan
32,9% untuk perempuan yang asalnya pada tahun 2010 sebesar 15,5%. Presentase
obesitas berdasarkan provinsi terendah yaitu Nusa tenggara timur (6,2%) dan
tertinggi Sulawesi utara (24%), sedangkan DKI Jakarta menduduki posisi ketiga
sebagai provinsi dengan angka kejadian tertinggi obesitas di Indonesia.9 Di
Indonesia kecenderungan peningkatan angka kejadian obesitas dari tahun 2007,
2010 hingga 2013 berdasarkan data Riskesdas tahun 2014 namun belum terdapat
data yang pasti mengenai prevalensi peningkatan obesitas tersebut.9 Menurut
WHO di tahun 2015 akan terdapat peningkatan yang lebih signifikan untuk angka
kejadian obesitas, hal tersebut menyebabkan obesitas menjadi salah satu dari
sepuluh masalah kesehatan di dunia. Faktor metabolik berhubungan erat dengan kejadian perlemakan hati
disebabkan oleh peningkatan kadar dari trigliserida dan LDL yang mampu berdiri
sendiri atau berkombinasi.4,10 Mekanisme secara pasti belum diketahui, namun
patogenesis yang dipahami saat ini adalah resisten insulin dan obesitas viseral
mempengaruhi masuknya asam lemak bebas ke hepar, yang mengakibatkan
peningkatan sintesis trigliserida dan penurunan ekspor trigliserida. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya steatosis (akumulasi lemak) hati tanpa inflamasi. Pada
tahap ini, dikatakan bahwa pasien memiliki kondisi perlemakan hati yang relatif
ringan.7,11 Hingga saat ini perlemakan hati penting untuk menjadi pembahasan
karena prevalensi kejadian PPHNA ini terus meningkat dan berpotensi untuk
berkembang menjadi sirosis hati dan hepatoma.12
Di Indonesia sendiri belum ada data yang menunjukan secara pasti angka
! 3!
kejadian perlemakan hati pada populasi umum khususnya di Jakarta, terutama
pada pasien dengan status gizi lebih. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui
gambaran demografi penderita penyakit perlemakan hati non alkoholik dengan
status gizi lebih di RSUP Fatmawat sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan
untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap pasien dengan status gizi lebih yang
dapat menjadi faktor risiko kejadian PPHNA.
1.2 Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian ini, permasalahan yang dibahas adalah
bagaimanakah gambaran demografi penderita penyakit perlemakan hati non
alkoholik dengan status gizi lebih?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran demografi kejadian penyakit perlemakan
hati non alkoholik dengan status gizi lebih.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui gambaran penyakit perlemakan hati non alkoholik di
poliklinik rawat bangsal ataupun rawat jalan bagian penyakit dalam
di RSUP Fatmawati tahun 2013-2014, berdasarkan:
a. Kategori status gizi lebih
b. Karakteristik dermografis
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Penelitian bagi Peneliti
1.4.1.1 Menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana kedokteran di FKIK UIN Syarief
Hidayatullah Jakarta.
! 4!
1.4.1.2 Menjadi salah satu bentuk perwujudan penelitian
dalam melaksanakan kewajiban mahasiswa Tri
Dharma Perguruan Tinggi.
1.4.2 Manfaat penelitian bagi Perguruan Tinggi
1.4.2.1 Menambah referensi penelitian di FKIK UIN Syraief
Hidayatullah Jakarta di bidang kedokteran.
1.4.2.2 Menjadi dasar untuk melakukan penelitian lebih
lanjut mengenai penyakit perlemakan hati non
alkoholik di masa depan.
1.4.3 Manfaat bagi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta
1.4.3.1 Menjadi dasar untuk peningkatan kewaspadaan
terhadap kejadian penyakit perlemakan hati non
alkoholik pada pasien yang memiliki status gizi
lebih.
1.4.3.2 Menjadi dasar untuk data gambaran secara
dermografis dari penyakit perlemakan hati non
alkoholik
! 5!
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit perlemakan hati non alkoholik (PPHNA) atau Non alkoholik fatty
liver disease (NAFLD)
2.1.1 Definisi
Penyakit perlemakan hati non alkoholik (PPHNA) adalah akumulasi lipid
di dalam hepatosit yang melebihi 5% dari berat hati tanpa adanya asupan etanol
yang berlebihan (secara konvensional didefinisikan 20g/hari) dan tanpa penyebab
penyakit hati lain.1 Perlemakan hati non alkoholik menjadi istilah yang sering
digunakan mengacu kepada spektrum luas dari kerusakan hati, dimulai dari
gangguan hati yang ditandai oleh mikrovascular lemak hati saja disebut dengan
steatosis sederhana atau bisa disertai dengan tanda-tanda cedera hepatosit,
infiltrasi sel radang campuran, dan variabel fibrosis hati yang di sebut dengan
steatohepatitis non alkoholik (SHNA).14,15 Steatohepatitis non alkoholik dapat
menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler.14 Dalam tabel 2.1 dijelaskan
mengenai definisi terkait dengan PPHNA.
Tabel 2.1 Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik dan Definisi Terkait2
Penyakit Definisi Nonalcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD)
Mencakup seluruh spektrum penyakit perlemakan hati pada individu tanpa konsumsi alkohol, mulai dari perlemakan hati sederhana hingga steatohepatitis dan sirosis.
Nonalcoholic Fatty Liver (NAFL)
Keadaan steatosis hati tanpa adanya bukti cedera hepatoseluler dalam bentuk pembengkakan hepatosit atau fibrosis, dan memiliki resiko sirosis dan kegagalan hati yang minimal.
Nonalcoholic steatohepatitis (NASH)
Keadaan steatosis hati dan peradangan dengan cedera hepatosit (pembengkakan) dengan atau tanpa fibrosis, hal ini dapat berkembang menjadi sirosis, gagal hati, dan kanker hati namun masih jarang.
! 6!
Sirosis NASH
Keadaan sirosis yang dibuktikan dari hasil histologis dengan keadaan sebelumnya steatosis atau steatohepatitis.
Sirosis kriptogenik
Keadaan sirosis tanpa etiologi yang jelas, pasien dengan sirosis kriptogenik sangat berhubungan erat dengan faktor resiko metabolik.
NAFLD Activity Score (NAS)
Skor yang digunakan untuk mengukur perubahan hsitologi hati pada pasien dengan perlemakan hati dalam uji klinis, komposisi yang mampu ditimbang yaitu skor steatosis, peradangan dan pembengkakan.
Berdasarkan penyebab PPHNA dapat disebabkan oleh makro atau
mikrovascular dijelaskan dalam tabel 2.2.
Tabel 2.2 Penyebab Utama pada Steatosis Hepatik Sekunder16
Macrovascular steatosis Microvascular steatosis Konsumsi alkohol yang
berlebihan Hepatitis C Penyakit Wilson Kelaparan Nutrisi parenteral Lipodistrofi Abetaliprproteinemia Obat-obatan (seperti : amiodarone, methotrexate, tamoxifen, kortikosteroid)
Sindrom reye Penyakit perlemakan hepar karena kehamilan Obat-obatan (valproate, obat anti retroviral) Sindrom HELLP Inborn errors of metabolism (contoh; defisiensi LCAT, kolesterol ester storage disease, penyakit wolman)
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit perlemakan hati non alkoholik (PPHNA) terjadi di seluruh dunia,
prevalensi global yaitu 10-24% dari seluruh populasi. Angka prevalensi yang
berbeda-beda dari tiap negara sesuai dengan letak geografis dan gaya hidup.22
Penyakit ini mengenai semua grup ras dan etnik; Afrika Amerika memiliki
prevalensi lebih rendah dibandingkan Hispanic Eropa.19,22 Prevalensi PPHNA di
! 7!
berbagai negara, yaitu negara barat 15-30% khususnya 25% di Amerika dan 30%
di Italia, lalu regio Asia Pasifik untuk Jepang 9-10%, China 5-24%, India 5-28%,
Malaysia 15-17% dan Indonesia 30%.17,18,19
Penyakit perlemakan hati non alkoholik telah terbukti menjadi penyebab
peningkatan aminotransferase dalam 42-90% kasus tanpa gejala klinis lainnya
serta mengeksklusi penyebab penyakit hati lainnya.20 Hubungan antara PPHNA
dengan obesitas, dislipidemia dan diabetes melitus pun telah dibuktikan di
berbagai penelitian.17 Walaupun obesitas bukan merupakan faktor resiko yang
didiagnosis melalui USG, namun pasien dengan PPHNA dilaporkan memiliki
tingkat lemak tubuh, BMI, lingkar pinggang dan panggul yang lebih tinggi dari
kontrol.17
Prevalensi PPHNA meningkat signifikan dari 57,5% menjadi 74% pada
individu dengan obesitas.20 Di Amerika Serikat diperkirakan PPHNA
mempengaruhi lebih dari dua pertiga dari populasi individu dengan obesitas,
sedangkan untuk SHNA ditemukan 19%.20 Selanjutnya sepertiga dari penduduk di
AS menderita diabetes melitus juga terdiagnosis terkena PPHNA.20 Untuk
prevalensi populasi risiko tinggi ini di regio asia pasifik juga memiliki angka yang
cukup tinggi terdapat dalam tabel 2.3.21 Sangat dimungkinkan bahwa terjadi
peningkatan prevalensi PPHNA di negara maju dan berkembang sejalan dengan
lonjakan angka kejadian obesitas dan diabetes yang telah terjadi bahkan pada
semua kelompok umur.20
Tabel 2.3 Prevalensi Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik pada Populasi
Resiko Tinggi Di Regional Asia Pasifik21
Negara Diabetes (%) Obesitas (%) Dislipidemia (%) Japan 40-50% 50-80% 42-58% China 35% 70-80% 57% Korea 35% 10-50% 26-35% India 30-90% 15-20% belum terdapat
laporan Indonesia ~52% ~47% ~56%
! 8!
2.1.3 Faktor Risiko
Dalam tabel 2.4 disebutkan berbagai kondisi dan faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian PPHNA. Tabel 2.4 Kondisi dan Faktor Resiko Terkait dengan Perlemakan Hati18,20,22,23
Kondisi Faktor resiko Resistensi Insulin Didapat
Obesitas Diabetes Melitus Dislipidemia Disfungsi Hypothalamic Pituitary
Genetik/ Inborn errors of metabolism
Abetalipoproteinemia Penyakit Weber–Christian Galaktosemia Limb lipodystrophy Penyakit penyimpan glikogen tipe 1 Penyakit Wilson Tyrosinemia Defisiensi carnitine sistemik Sindrom Refsum
Nutrisi/intestinal Operasi
Jejunoileal bypass Gastroplasty untuk obesitas morbid Biliopancreatic diversion Extensive small bowel resection
Nutrisi total parenteral Penurunan berat badan cepat Kelaparan dan cachexia Malnutrisi kalori protein: marasmus dan kwashiorkor Inflammatory bowel disease Jejunal diverticulosis with bacterial overgrowth
! 9!
Obat dan Toksin
Amiodarone Methotrexate Tamoxifen/estrogens sintetik Glukokortikoid Analog nukleosida Calcium channel blockers Perhexiline maleate Phosphorus Organic solvents Petrochemicals Dimethylformamide Rapeseed oil
Umur
Pucak insidensi pada 20-65 tahun, namun juga terjadi pada anak <10 tahun
Gaya hidup Kurang berolahraga
Etnik
Resiko tertinggi pada Hispanik dan Asia serta rendah pada Afrika dan Amerika
Faktor lain
Hepatitis B/C Wanita dengan sindrom polikista ovarium
2.1.4 Patogenesis
Teori kejadian PPHNA didasari oleh '2 hit hipotesis' pada gambar 2.1.a.
'First hit' berupa akumulasi trigliserida di hepatik disebut dengan steatosis,
sedangkan peningkatan kerentanan hati untuk mengalami cedera dimediasi oleh
'second hit' seperti sitokin inflamasi atau adipokin, disfungsi dari mitokondria dan
stres oksidatif yang dapat menyebabkan steatohepatitis atau fibrosis. Namun,
peningkatan asam lemak bebas juga berperan secara langsung terhadap kejadian
cedera hati, menyebabkan modifikasi teori ini pada gambar 2.1.b. 18
! 10!
Pada kejadian obesitas dan resistensi insulin terjadi peningkatan masukan
asam lemak bebas ke hati. Asam lemak bebas ini mengalami β-oksidasi atau
esterifikasi dengan gliserol membentuk trigliserida yang mengakibatkan
penumpukan lemak di hati. Namun sekarang telah dibuktikan bahwa substansi
dari asam lemak bebas secara langsung dapat menyebabkan efek toksik dengan
cara meningkatkan stres oksidatif dan aktivasi jalur inflamasi. Oleh karena itu
akumulasi trigliserida di hati dianggap sebagai mekanisme perlindungan terhadap
efek toksik dari asam lemak bebas yang tidak teresterifikasi.18
Gambar 2.1. (a) Tradisional 2-hit Hipotesis (b) Modifikasi 2-hit Hipotesis18
! 11!
Selanjutnya terdapat komponen tambahan mengenai 'third hit' yaitu
mencerminkan regenerasi hepatosit yang tidak adekuat dalam gambar 2.1.c. Pada
hati yang normal, kematian sel menstimulasi replikasi hepatosit yang matur
menggantikan sel-sel yang mati dan menyusun kembali fungsi jaringan normal.
Namun stres oksidatif merupakan patogenesis utama dalam kejadian perlemakan
hati, dengan menghambat replikasi dari hepatosit yang matur yang menghasilkan
perluasan sel progenitor hati (sel oval). 18
Pada kejadian cedera hati kronik, perkembangan fibrosis atau sirosis
bergantung dengan kemampuan regenerasi hepatosit, dan oleh karena itu kematian
sel dengan gangguan proliferasi hepatosit progenitor diusulkan sebagai 'third hit'
di dalam patogenesis PPHNA.18
I. Akumulasi Lemak (steatosis)
Perlemakan hati non alkoholik (PPHNA) dideskripsikan sebagai
akumulasi trigliserida, yang terbentuk dari esterifikasi asam lemak bebas dan
gliserol dalam hepatosit. Asam lemak bebas muncul dalam hati dari tiga sumber
yang berbeda, lipolisis yaitu hidrolisis asam lemak bebas dan gliserol dari
trigliserida dalam jaringan adiposa, sumber makanan, dan de novo lipogenesis
Gambar 2.1. (c) Third Hipotesis18
! 12!
(DNL). Sebaliknya asam lemak bebas dapat digunakan melalui b-oksidasi,
reesterifikasi untuk trigliserida dan penyimpanan sebagai droplet lipid, dan di
ekspor sebagai VLDL (very low density lipoprotein). Oleh karena akumulasi
lemak dapat terjadi akibat peningkatan sintesis lemak, dan atau penurunan
oksidasi lemak, seperti tampak pada gambar 2.2.18
Trigliserida bisa diekspor dari hati dalam bentuk VLDL, yang dibentuk
dari penggabungan trigliserida dalam apolipoprotein B (apoB) oleh mikrosomal
transfer protein (MTP). Perubahan yang meyimpang dari sintesis dan sekresi MTP
atau apoB dianggap sebagai patogenesis yang berperan dalam PPHNA karena
mengarah kepada penurunan kapasitas dalam ekspor lemak.18
II. Resistensi Insulin
Pada individu yang normal, pengikatan insulin dengan reseptor
menyebabkan fosforilasi beberapa substrat termasuk insulin reseptor substrat
(IRS) -1,-2,-3 dan -4 yang menyebarkan sinyal insulin. Stimulasi insulin dari IRS
-1 dan -2 menyebabkan aktivasi dari fosfoinostida-3 kinase (PI3) intrasel dan jalur
AKT/PKB (protein kinase B), yang sangat erat terlibat dalam mediasi efek
metabolik insulin. Aktivasi dari AKT/PKB menyebabkan translokasi transporter
glukosa (GLUT4), yang mengandung vesikel dengan membran plasma sehingga
memudahkan penyerapan glukosa. Selain itu ekspresi gen lipogenik meningkat,
Gambar 2.2 Mekanisme Akumulasi Lemak di Hepar18
! 13!
terjadi bersamaan dengan penurunan dalam ekspresi gen glukoneogenik melalui
regulasi forkhead (FOXO) aktivitas faktor transkripsi.18
Insulin memiliki kemampuan untuk menekan lipolisis dalam jaringan
adiposa, namun dalam situasi resistensi insulin, seperti perlemakan hati
penekanan ini terganggu sehingga mengakibatkan peningkatan pemasukan asam
lemak bebas dari jaringan adiposa. Kondisi hiperinsulinemia berkaitan dengan
resistensi insulin menyebabkan peningkatan regulasi faktor transkripsi strerol
regulator element binding protein 1-c (SREBP-1c) yang merupakan kunci dari
transkripsi pengatur gen yang terlibat dalam DNL dan penghambatan β-oksidasi
dari asam lemak bebas yang menyebabkan semakin meningkatnya akumulasi
lemak dihati.18
Banyak kelainan yang terjadi pada perlemakan hati yang mengganggu
kaskade sinyal insulin, sehingga berkontribusi dalam restensi insulin, termasuk
asam lemak bebas, tumor nekrosis faktor-alfa (TNF-a), nuklear factor kappa B
(NF-kB), ceramide, jun N-terminal kinase 1 (JNK1), SOCS (suppressors of
cytokine signalling) dan sitokrom CYP2E1. Peningkatan metabolit lemak seperti
diasilgliserol (DAG) terlibat dalam protein kinase Ce (PKCe) yang mengganggu
sinyal insulin melalui penghambatan aktivitas dan modullasi IRS-2 fosforilasi. 18
III. Inflamasi/stetatohepatitis
1) Sitokin Inflamasi dan Asam lemak bebas
Kejadian steatosis erat kaitannya dengan peradangan hati kronis, yang
dimediasi oleh aktivasi jalur sinyal Ikk-b/NF-kB. Pada steatosis diet tinggi lemak,
terjadi melalui aktivitas NF-kB yang berkaitan degan peningkatan ekspresi sitokin
inflmasi di hati seperti TNF-a, interleukin- 6 (IL-6), interleukin 1-beta (IL-1b),
dan aktivasi sel kuppfer. Penghambatan NF-kB di hati mencegah diet tinggi lemak
menginduksi ekspresi gen inflamasi, sedangkan diet tinggi lemak yang diinduksi
oleh hiperglikemia dan resistensi insulin dapat dihasilkan dari ekpresi berlebihan
Ikk-b di hepatosit. 18
Jalur Ikk-b/NF-kB di hepatosit dapat diaktivasi secara langsung oleh asam
lemak bebas, mejelaskan mekanisme lebih lanjut bagaimana obesitas sentral
dengan peningkatan masukan asam lemak bebas dapat berkontribusi untuk
peradangan. Selain itu, perubahan asam lemak bebas menjadi triglserida di hati
! 14!
berfungsi sebagai pelindung untuk mencegah toksisitas lipoprotein secara
langsung di hati. Penghambatan DGAT2 yaitu enzim yang mengkatalis langkah
terakhir dalam sintesis trigliserida, mengakibatkan peningkatan steatosis hati dan
resistensi insulin namun sudah mengarah ke cedera dan fibrosis.18
2) Adipokin
Jaringan adiposa bukan hanya sebagai tempat penyimpanan energi tapi
juga merupakan organ endokrin yang aktif mengeluarkan sekret. Leptin adalah
hormon berukuran 16kDa yang diproduksi oleh adiposit matur yang bertindak
dalam pengaturan pemasukan dan pengeluaran energi, regulasi kekebalan tubuh,
dan peradangan serta fibrinogenesis. Kadar leptin yang tinggi dapat diamati pada
pasien obesitas dengan PPHNA, yang umumnya dianggap sebagai bagian dari
resistensi leptin. Hal ini membuktikan bahwa leptin kemungkinan memiliki peran
dalam patogenesis PPHNA.18
Berbeda dengan leptin, sekresi dan kadar adiponektin dalam sirkulasi
berbanding terbalik dengan kadar lemak tubuh dan berkurang pada pasien dengan
PPHNA. Adiponektin memiliki efek berlawanan terhadap TNF-a, yang dengan
sendirinya menekan produksi adiponektin. Pentingnya adiponektin pada PPHNA
diperkuat oleh penelitian yang menunjukan bahwa kadar serum adiponektin dapat
membantu membedakan SHNA dan dengan steatosis sederhana. Komponen
jaringan adiposa lainnya dapat ditemukan lebih dalam perlemakan hati termasuk
TNF-a, IL-6, angiotensinogen dan resistin, yang semuanya itu menentang efek
lipogenik dari insulin, namun perannya dalam patogenesis PPHNA masih harus
ditentukan gambar 2.3.18
! 15!
3) Stres oksidatif dan disfungsi mitokondria
Peran stres oksidatif dan disfungsi mitokondria pada SHNA cukup jelas,
derajat lebih besar dari stres oksidatif mengakibatkan pula keparahan lebih lanjut
dari penyakit. β-oksidasi dalam hati yang normal terjadi di dalam mitokondria,
tetapi dalam konteks perlemakan hati proses ini dapat menjadi akibat peningkatan
beban asam lemak bebas, sehingga menimbulkan reactive oxygen species (ROS).
ROS menginduksi stres oksidatif dengan mengaktivasi jalur inflamasi dan
kerusakan mitokondria. Struktur mitokondria yang tidak normal dan penurunan
aktivitas mitokondria rantai pernapasan telah diamati pada individu dengan
SHNA. Sumber potensial dari ROS diamati pula pada individu dengan SHNA
merupakan akibat dari peningkatan ekspresi dan aktivasi dari asam lemak
mikrosomal hati oksidari enzim sitokrom P450 2E1. Yang penting, transgenik
over ekspresi aktivitas CYP2E1 dikaitkan dengan stress oksidatif, resistensi
insulin dan akumulasi lemak dihati.18
4) Stres retikulum endoplasmik dan pertumbuhan bakteri berlebih
Mekanisme lain yang terlibat dalam patogenesis SHNA adalah stres
retikulum endoplasmik dan usus yang diturunkan endotoxinaemia. Tekanan
terhadap retikulum endoplasmik disebabkan oleh berbagai tekanan biologis,
termasuk di dalamnya hiperinsulinemia dan hiperlipidemia yang dapat
Gambar 2.3 Patogenesis SHNA serta Perkembangannya Menjadi Sirosis dari Berbagai Mekanisme18
! 16!
mengaktivasi berbagai jalur yang mengarah ke dalam resistensi insulin,
peradangan, apoptosis dan disfungsi mitokondria. Bukti lain juga menunjukan
bahwa pertumbuhan bakeri berperan dalam patogenesis SHNA. Pertumbuhan
bakteri yang berlebihan menyebabkan produksi etanol dan pelepasan
lipopolisakarida, yang keduanya dapat mengaktifkan produksi TNF-a pada sel
kuppfer dan dengan demikian menyebabkan peradangan hati. Pada usus halus
pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan peningkatan permeabilitas usus lebih
sering ditemukan pada pasien NASH. Hal ini membuktikan terjadinya NASH dan
fibrosis hati sebagai komplikasi operasi bypass jejunoileal.18
5) Glukokortikoid
Glukokortikoid baik yang berasal dari dalam atau luar tubuh diketahui
sebagai penyebab PPHNA. Pasien dengan cushing syndrom, dengan tingkat
glukokortikoid yang tinggi mengembangkan karakteristik fenotip metabolik
seperti obesitas sental, resistensi insulin dan diabetes. Proporsi yang signifikan
dari pasien tersebut juga mengembangkan steatosis hati. Mekanisme glukortikoid
dalam kejadian akumulasi lemak di hati meliputi penghambaan asam lemak b-
oksidasi dan promosi hepatosit DNL. Namun kebanyakan pasien perlemakan hati
memiliki kadar kortisol dalam jumlah normal disirkulasi, menunjukan bahwa
mekanisme jaringan secara spesifik mendorong disfungsi metabolik.18
6) Predisposisi genetik
Meskipun PPHNA umumnya terjadi pada pasien dengan obesitas dan
resistensi insulin, namun hanya sebagian kecil dari pasien PPHNA yang
berkembang menjadi SHNA dan sirosis menunjukan terjadinya interaksi antara
predisposisi genetik dan faktor lingkungan. Polimorfisme gen yang berhubungan
dengan metabolisme lipid, resistensi insulin, stres oksidatif, sitokin atau adipokin
dan fibrogenesis mungkin semua berperan peningkatan kerentanan terhadap
kejadian SHNA. Beberapa penelitian pada SHNA telah mengidentifikasi
polimorfisme di angiotensinogen dan gen TGF-b1 berhubungan dengan fibrosis
hati pada pasien obesitas. Selain itu, single nukleotida polimorfisme dalam
angiotensin II reseptor tipe 1 berhubungan dengan peningkatan risiko perlemakan
hati dan perlemakan hati terkait fibrosis. Untuk gen-gen lain masih diperlukan
! 17!
penelitian lebih lanjut yang kelak berguna bukan hanya dalam patogenesis
melainkan target terapi.18
2.1.5 Diagnosis
i. Gejala
Seperti penyakit hati kronis lainnya, kebanyakan dari pasien PPHNA pada
48-100%nya adalah asimtomatik.24 Perlemakan hati sering kali ditemukan secara
kebetulan pada saat pemeriksaan kesehatan berkala, ditemukan hasil pemeriksaan
laboratorium atau pencitraan hati yang abnormal. Gejala-gejala yang muncul
biasanya tidak spesifik, namun gejala yang paling sering ditemukan seperti nyeri
pada kuadran atas kanan perut, kelelahan dan malaise. Sedangkan untuk gejala
yang jarang ditemukan seperti pruritus, anoreksia dan mual dapat pula terjadi.
Selanjutnya gejala yang muncul pada keadaan perlemakan hati yang telah
berlanjut ke sirosis yang masih terkompensasi dapat ditemukan ikterus,
perdarahan gastrointestinal, dan kebingungan (ensefalopati).20
ii. Tanda
Tidak terdapat tanda patognomonik dari penyakit perlemakan hati non
alkoholik. Obesitas merupakan kelainan yang umum terjadi pada pemeriksaan
fisik terjadi pada 30-100% pasien dan hepatomegali dilaporkan pula pada 75%
pasien dalam berbagai penelitian. Prevalensi hepatomegali meningkat jika dinilai
berdasarkan USG. Kemudian splenomegali tercatat pada 25% pasien, sedangakan
stigmata hipertensi portal lebih jarang terjadi. Dari berbagai stigmata, spider nevi
dan palmar eritema yang paling umum terjadi. 20
iii. Temuan Laboratorium
Peningkatan ringan sampai sedang serum aminotransferase (ALT dan
AST) adalah satu-satunya temuan laboratorium yang paling umum ditemukan
pada pasien perlemakan hati. Tidak terdapat hubungan antara tingginya
peningkatan serum aminotransferase dengan keparahan histologis dari peradangan
atau fibrosis hati. Tidak seperti pada pasien PPHNA yang diindusi alkohol,
peningkatan serum aminotransferase tidak proporsional digambarkan dengan
tingkat AST relatif terhadap tingkat ALT, sedangkan pasien dengan PPHNA
! 18!
biasanya memiliki rasio kurang dari 1 AST / ALT. Rasio AST / ALT cenderung
meningkat dengan terjadinya perkembangan ke arah sirosis, sehingga kehilangan
akurasi diagnostik. Serum alkali fosfatase juga mengalami sedikit peningkatan
pada sepertiga dari pasien. Hiperbilirubinemia, hipoalbuminemia, dan waktu
protrombin yang memanjang juga tercacat jarang serta umumnya terjadi pasien
yang sampai ke tahap gagal hati. Tingginya angka profil lipid dan konsentrasi
glukosa umumnya ditemukan pada 25-75% kasus. Sebagian kecil dari pasien
memiliki antibodi antinuclear (ANA) positif dengan titer rendah (≤1: 320).20
Peran besi dalam patogenesis PPHNA masih kontroversial begitu pula
dengan peningkatan zat besi dihubungkan dengan tingkat keparahan fibrosis.
Namun hasil penelitan menunjukan pada pasien SHNA memiliki temuan
kelebihan zat besi, kemudian dijelaskan peningkatan kejenuhan transferin (dalam
6-11%) dan kadar serum feritin (kira-kira 50%), dan indeks besi hati secara
konsisten <1,9.20
Kejadian PPHNA sangat mungkin terjadi bila penyebab lain dari penyakit
hati sudah di singkirkan. Seperti pada pasien dengan peningkatan ALT tanpa
sebab yang jelas, memiliki kemungkinan terkena perlemakan hati jika gambaran
hasil pencitraan sesuai.20 Oleh karena itu sangat penting untuk menyingkirkan
penyebab sekunder perlemakan hati sehingga diagnosis primer dapat
ditegakkan.20
Tabel 2.5 Kriteria Eksklusi Perlemakan Hati Non Alkoholik25
Kriteria Eksklusi Perlemakan Hati Penjelasan 1. Konsumsi Alkohol Wanita > dari 60 gr/hari atau 420
gr/minggu Laki-laki > 40 gr/hari atau 280 gr/minggu
2.Peningkatan ALT oleh penyebab lain
Pasien dengan riwayat penyakit sistemik yang diketahui menyebabkan perlemakan hati Pasien yang sedang diterapi dengan obat yang dapat meningkatkan ALT dan GGT, termasuk juga obat herbal
3. Penyakit Hati Lain Hepatitis B dan C Penyakit yang jarang terjadi seperti,
! 19!
autoimun, penyakit celiac, gangguan genetik seperti penyakit wilson dan defisiensi alfa-1-antitrypsin Kanker hati Infeksi hepatobilier Penyakit saluran empedu
iv. Pencitraan
Penyakit perlemakan hati non alkoholik harus dicurigai pada mereka yang
memiliki faktor risiko sindroma metabolik seperti obesitas, diabetes tipe 2, dan
dislipidemia.20 Selanjutnya diagnosis dari perlemakan hati bisa dilakukan dengan
beberapa teknik pencitraan non invasif seperti CT scan dan MRI namun sejauh ini
USG yang paling sering digunakan.20,26 Ultrasonografi (USG) memiliki tingkat
sensitivitas 80% dan spesifisitas 99%.17 USG dapat pula digunakan untuk
menentukan derajat keparahan dari steatosis.17 Namun inflamasi dan fibrosis
hanya dapat didiagnosis dengan biopsi hati, suatu tindakan yang invasif.17
Penyakit perlemakan hati non alkoholik dapat didiagnosis oleh terdapatnya
setidaknya dua dari tiga gambaran abnormal pada USG abdomen, termasuk
diantaranya secara difus echotextur hyperechoic (bright liver), peningkatan
echotextur hati dibandingkan dengan ginjal atau limpa, pembuluh darah yang
kabur, dan sinyal yang tertimbun dalam USG.22,25
Pada CT scan gambaran yang terlihat adalah kepadatan parenkim yang
rendah akibat infiltrasi lemak hati. Pada perbandingan langsung antara CT scan
dan USG, USG terbukti lebih sensitif dalam mendeteksi perubahan lemak. Namun
bila perubahan lemak patchy atau fokal, CT scan dan MRI mendeteksi lebih baik
dibandingkan dengan USG. Pencitraan ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi
peradangan hati, fibrosis, atau sirosis. Keadaan ini hanya dapat didiagnosis
dengan biopsi hati yang termasuk kedalam suatu tindakan invasif untuk
SHNA.17,20
v. Histologi Hati
Biopsi hati adalah satu-satunya metode yang paling akurat dalam
mendiagnosis PPHNA dan NASH serta menentukan tingkat keparahan kerusakan
! 20!
hati dan prognosis jangka panjang. Pegambilan keputusan untuk melalukan biopsi
hati dalam praktek klinis harus ditentukan pada gambar 2.4.20 Tidak terdapat
perbedaan hasil baik dari laboratorium, pencitraan, atau gambaran histologi yang
secara pasti membedakan perlemakan hati non alkoholik dan perlemakan hati
yang diinduksi alkohol atau steatohepatitis kecuali berdasarkan tidak adanya
riwayat konsumsi alkohol.18
Terdapat dua lesi yang terkait dengan perlemakan hati : (i) steatosis yang
didominasi macrovesicular tunggal atau (ii) steatosis didominasi macrovesicular
dan jumlah yang bervariasi dari sitologi bengkak (ballooning) dan nekrosis spotty,
tersebar mixed neutrofil-limfositik peradangan, inti glikogen, hialin mallory, dan
fibrosis perisinusoidal (SHNA). Semua fitur dari steatohepatitis tidak seluruhnya
terdapat dalam gambaran histologis steatohepatitis pada kenyataannya. Untuk
tingkat keparahan steatosis dinilai berdasarkan keterlibatan parenkim.20 Perbedaan
setiap tes diagnostik tercantum dalam Tabel 2.7.22
Tabel 2.6 SHNA Sistem Skoring Berdasarkan Histologis22
Derajat aktivitas SHNA, grade = total skor : S+L+B (range 0-8) Steatosis S skor Inflamasi
Lobular L skor Pembengkakan
(balloning) hepatosit
B skor
<5% 0 None 0 None 0 5-33% 1 <2 1 Sedikit sel yang
bengkak 1
34-66% 2 2-4 2 Banyak sel yang bengkak
2
>66% 2 >4 3 SHNA fibrosis stage Stage None 0 Ringan, zona 3 fibrosis perisinusoidal 1a Sedang, zona 3 fibrosis perisinusoidal 1b Fibrosis portal/periportal saja 1c Zona 3 fibrosis perisinusoidal dan portal/periportal
2
Bridging fibrosis 3 Sirosis 4
Sumber : Kleiner et al. Hepatology 2005;41:1313-21 [35].
! 21!
Tabel 2.7 Tes Diagnostik Untuk Penyakit Perlemakan Hati22
Tes Sensitivitas Spesifisitas Penanda
Histologis,
biopsi hati
Gold standar Tidak dapat
membedakan
SHNA
dengan SHA
Dapat dijumpai perbedaan
yang signifikan antar klinisi
dalam membaca sampel
yang sama; dibutuhkan
hepatophatologist yang
berpengalaman dalam
menentukan diagnosis
Enzim hati Rendah Rendah AST/ALT biasanya <1,0;
nilainya dapat normal
Pencitraan
USG Terbatas Terbatas Tidak sensitive terkecuali
bila steatosis telah mencapai
>33%; bergantung operator
MRI, MRS,
CT scan ±
contrast
enhancement
Hasilnya dapat beragam dan
tidak dapat dipastikan (not
well verified)
Tes nya mahal, tidak mudah
dijumpai, tidak dapat
membedakan steatosis dan
fibrosis atau SHNA dengan
SHA atau keparahan
penyakit, dan 0tidak
sensitive bila steatosis
<33%
! 22!
Gambar 2.4 Pendekatan Diagnosis Perlemakan Hati20
! 23!
2.1.6 Perjalanan penyakit
Gambar 2.5 Perjalanan Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik22,27,28,29
2.1.7 Prognosis dan Komplikasi
Perlemakan hati non alkoholik bisa berkembang mendekati stadium akhir
dimulai dengan SHNA, sirosis, gagal hati dan hepatoma. Biopsi hati dapat
menunjukan keparahan penyakit namun hanya peradangan atau nekrosis, bukan
fibrosis yang digunakan untuk memprediksi prognosis penyakit. Faktor yang
mempercepat perkembangan ke fibrosis diantaranya adalah umur > 45-50 tahun,
IMT > 28-30kg/m2, derajat dari resistensi insulin, diabetes dan hipertensi. Pada
kejadian perlemakan hati disertai dengan hepatitis C atau HIV dapat
memperburuk prognosis dan menurunkan respon terhadap pemberian terapi.
Gagal hati, perdarahan varises esofagus, sepsis, hepatoma, penyakit jantung
merupakan penyebab kematian pada pasien sirosis SHNA. 22
! 24!
Tabel 2.8 Prevalensi Perjalanan Perkembangan PPHNA Menjadi SHNA dan
Sirosis pada Berbagai Populasi yang Diteliti22
Populasi yang Diteliti Prevalensi Perkembangan Penyakit
PPHNA !SHNA
Populasi Umum 10-20%
Tanpa peradangan atau fibrosis 5%
Resiko Tinggi, Obesitas berat 37%
PPHNA !Sirosis
Steatosis sederhana 0-4% selama 10-20 tahun
2.1.8 Tata Laksana
Pasien perlemakan hati (steatosis) tanpa peradangan memiliki prognosis
yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan yang mengalami peradangan dan
target utama dalam tata laksana pasien ini adalah memperlambat perkembangan
penyakit hati serta mencegah kejadian penyakit hati terkait.2,23 Pengobatan yang
direkomendasikan terhadap pasien ini terutama modifikasi gaya hidup dan
penurunan berat badan. Oleh karena sebagain besar pasien PPHNA menderita
obesitas, resistensi insulin dan penyakit kardiovascular secara bersamaan
penurunan berat badan sekitar 10% telah disarankan oleh Asosiasi
Gastroenterologi Amerika. Namun belum terdapat data hubungan antara efek
penurunan berat badan jangka pada penyakit hati seperti sirosis atau komplikasi
lainnya.26
Secara farmakologi obat yang digunakan diantara : Obat penurun berat
badan (orlistat dan sibutramin), Antioksidan karena perannya dalam stress
oksidatif (vitamin C dan E), Ursodeoxycholic acid (UDCA) yang berperan dalam
penurunan porsi asam empedu hodrofobik yang juga berperan dalam stress
oksidatif, Metformin untuk pengobatan dm tipe 2 namun belum didapatkan bukti
efek dari penggunaannya, Tiazolidinedion generasi kedua (pioglitazone dan
rosiglitazone) dinyatakan lebih efektif jika dikombinasi dengan vit.E, Obat
penurun lemak (statin atau fibrat) namun belum pula didapatkan kesimpulan
! 25!
efektivitas penggunaanya, Adiponektin sintesis.26 Pada tahap akhir transplantasi
hati kemungkinan menjadi alternatif bagi pasien dengan gagal hati stadium akhir,
namun perlemakan hati dapat kembali muncul atau berkembang setelah proses
transplantasi hati.23
2.2 Obesitas
2.2.1 Definisi
Obesitas adalah ketidakseimbangan energi dengan pengeluaran energi dan
asupan energi yang melebihi, serta didefinisikan sebagai indeks massa tubuh
(IMT) > 25 menurut kriteria asia pasifik. Peningkatan massa lemak tubuh juga
dinyatakan dalam kelainan metabolik yang meningkat selama dua dekade terakhir
secara signifikan. Obesitas menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
seluruh dunia, serta menjadi faktor resiko untuk berbagai penyakit diantaranya
hipertensi, stroke, penyakit hepatobilier, perlemakan hati dan lainnya.1
Penyebab dari obesitas adalah multifaktorial, seperti herediter (gen), pola
makan (asupan energi), aktivitas fisik termasuk diantaranya adalah kurang
berolahraga, gangguan hormonal (cushing, hipotiroid, cedera hipotalamus),
budaya, status sosial ekonomi.1,13
2.2.2 Epidemiologi
Sekitar 1,2 miliar orang didunia memiliki kelebihan berat badan
(overweight) dan 300 juta dari mereka terkena obesitas. Menurut WHO obesitas
merupakan satu dari 10 resiko masalah kesehatan yang paling dapat dicegah. Di
Amerika Serikat setidaknya 300.000 kematian setiap tahun terjadi akibat obesitas,
namun dikaitkan dengan penyakit lainnya seperti hipertensi, obesitas,
hiperkolesterolemia dan penyakit hati. Prevalensi angka kejadian obesitas di
Eropa dan negara maju lainnya yaitu 15-20% dari populasi. Hsil penelitian
melaporkan bahwa angka obesitas juga terjadi peningkatan di regio Asia Pasifik
yang dikaitkan pula dengan meningkatnya angka kejadian dm tipe 2.30 Prevalensi
peningkatan angka kejadian obesitas di dunia yaitu dari tahun 1980 hingga 2013
adalah 28,8% menjadi 36,9 untuk laki-laki, serta 29,8% menjadi 38% untuk
! 26!
perempuan.8
Sedangkan di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2007,
prevalensi nasional obesitas sentral pada penduduk umur ≥15 tahun adalah 18,8%,
serta menurut jenis kelamin 13,9 untuk laki-laki dan 23,8 untuk perempuan. Data
nasional ini juga mejelaskan masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun
adalah 12,6% kurus, dan 21,7% gabungan kategori berat badan lebih dan obese,
yang bisa juga disebut obesitas. Presentase obesitas berdasarkan provinsi DKI
Jakarta sendiri yaitu 15%, menduduki 3 provinsi dengan angka kejadian tertinggi
di Indonesia. Prevalensi tertinggi untuk obesitas adalah di Provinsi Sulawesi Utara
37,1%, dan yang terendah adalah 13,0 persen di provinsi Nusa Tenggara Timur.9
2.2.3 Patogenesis
Melibatkan interaksi antara sitokin, hormon dan neurotransmiter. Adiposit
mensekresikan sejumlah hormon dan sitokin yang dikenal sebagai "adipokin"
dalam Tabel 2.9. Adipokin berperan dalam pengaturan asupan makanan,
penyimpanan lipid dan metabolisme, sensitivitas insulin, sistem alternatif
komplemen, homeostasis vaskular, regulasi tekanan darah, angiogenesis,
inflamasi, respon imun, reproduksi wanita dan regulasi metabolisme energi.
Akumulasi lemak viseral menyebab disfungsi adiposit yang menghasilkan
perubahan dalam regulasi dan interaksi hormon serta sitokin yang berkontribusi
terhadap penyebab dan komplikasi obesitas.1
Pengatuan nafsu makan dan kenyang terjadi melalui regulasi
neuroendokrin untuk kebiasaan makan, metabolisme energi, dan massa lemak
tubuh. Rangkaian ini kompleks dan diatur oleh rangkaian dinamis molekul sinyal
dari periferal yang bekerja pada kontrol central termasuk batang otak,
hipotalamus, dan sistem saraf otonom. Ketidakseimbangan sistem ini biasanya
berhubungan dengan asupan kalori yang berlebihan yang erat kaitannya dengan
peningkatan berat badan dan obesitas.1
Nukleus arkuatus (ARC) di hipotalamus memiliki dua set neuron dengan
efek yang berlawanan yang saling berinteraksi untuk mengatur dan
menyeimbangkan asupan makanan dan metabolisme energi. Satu set neuron
menghasilkan neuropeptida Y (NPY) dan agouti-related protein (AGRP) yang
! 27!
merangsang man dan menurunkan metabolisme (anabolik). Set neuron lainnya
mensitesis pro-opiomelanocortin (POMC) produksi peptida dan kokain serta
amphetamine regulated transcripsi (CART), yang selanjutnya dikenal dengan
neuron POMC/CART. Mereka menghambat makan dan meningkatkan
metabolisme (katabolik). Kedua set neuron tersebut mengaktifkan neuron orde
kedua di hipotalamus yang meningkat atau menurunkan nafsu makan serta
metabolisme energi dalam gambar 2.6.1
Gambar 2.6 Kontrol Neuroendokrin dalam Asupan Makan; Leptin dan Insulin
Menurunkan Nafsu Makan dan Meningkatkan Rasa Kenyang1
Molekul yang merangsang makan disebut dengan orexins yaitu hipocretins
dari hipotalamus, termasuk kedalam peptida yang berfungsi sebagai
neurotransmiter untuk merangsang makan. Sedangkan molekul yang menghambat
makan disebut dengan anorexins lihat tabel 2.10. Efek periferal jalur sinyal
tersebut ditransmisikan melalui sistem saraf dan endokrin otonom utuk mengatur
! 28!
nafsu makan, asupan makanan, dan metabolisme energi. 1
Tabel 2.9 Hormon dan Adipokin yang Disekresikan oleh Jaringan Adiposa1 Hormon / Adipokin " Leptin -Kenyang (penekan nafsu makan/kelaparan) dan regulasi kebiasaan makan di hipotalamus -Sympathoaktivasi -Insulin Sensitizing -Berperan dalam reproduksi, angiogenesis, respon imun, kontrol tekanan darah dan osteogenesis " Adiponektin -Insulin Sensitizing -Anti-Inflamasi -Anti-atherogenik " Resistin -Meningkatkan resistensi insulin dan kadar glukosa darah -Menghambat diferensiasi adiposit dan berfungsi sebagai feedback regulasi adipogenesis " Vistatin (dari lemak viseral) " Vaspin - Insulin Sensitizing Regulator Metabolisme Lipoprotein Lipoprotein lipase Apolipoprotein E Cholesterol ester transfer protein Sitokin Inflamasi Tumor necrosis factor-alpha Interleukins (IL-6, IL-8, IL-10) Plasminogen activator inhibitor-1 Monocyte chemoattractant protein-1 Hormon dan sitokin lain Estrogen Angiotensinogen Faktor jaringan Transforming growth factor-beta Insulin-like growth factor Nitric oxide synthase Acylation stimulating protein Adipophilin AdipoQ Monobutyrin Agouti protein
! 29!
Tabel 2.10 Contoh Neuropeptida yang Berpengaruh dalam Kebiasaan Makan1
Orexins (Stimulasi nafsu makan) Neuropeptide Y (NPY) Melanin-concentrating hormone (MCH) Agouti-related protein (AGRP) Ghrelin Galanin Orexins A and B Peptide YY (PYY) Cortisol Anorexins (Penghambat nafsu makan) Leptin Insulin Cholecystokinin (CCK) Corticotropin-releasing hormone (CRF) Urocortin (a CRF satiety signaling hormone) Cocaine- and amphetamine-regulated transcript (CART) Alpha-melanocyte-stimulating hormone (α-MSH) Bombesin Serotonin Calcitonin
Banyak hormon yang berbeda dalam mengendalikan nafsu makan,
kenyang, dan berat badan. Sumber hormon tersebut dari perut seperti ghrelin, dari
usus peptida YY, cholecystokinin (CCK) dan glukagon like peptida (GLP-1), dari
pankreas insulin, dan dari jaringan adiposa leptin adiponektin dan resistin.
Hormon tersebut beradar dalam darah dengan konstentrasi sebanding dengan
massa lemak tubuh, dan bertindak sebagai sinyal perifer ke nukleus arkuatus di
hipotalamus dimana terjadi pengaturan nafsu makan (asupan makanan) dan
metabolisme (pengeluaran) diatur. 1
Leptin dan insulin biasanya mengurangi nafsu makan dengan menghambat
neuron NPY/AGRP sirkuit anabolik dan merangsang neuron POMC/CART sirkuit
katabolik lihat gambar 2.6. Ghrelin, CCK, dan hormon lainnya merangsang nafsu
makan dengan aktivasi NPY/AGRP. Sedangkan peptida YY (PYY) menghambat
neuron ini dan mengurangi nafsu makan. Hormon lainnya dapat dilihat pada tabel
2.9. Kejadian obesitas sering dikaitkan dengan peningkatan kadar leptin, insulin,
ghrelin dan PYY dalam sirkulasi plasma. Interaksi hormon ini pada tingkat
hipotalamus dapat menjadi faktor penting pada massa lemak yang berlebihan.
! 30!
Reseptor leptin dalam hipotalamus berfungsi mengatur rasa kenyang dan berat
badan. Kadar leptin yang rendah pada saat berpuasa biasanya merangsang asupan
makanan dan mengurangi pengeluaran energi, sedangkan tingkat leptin yang
tinggi menghambat asupan makanan dan meningkatkan pengeluaran energi.1
Sekresi leptin meningkat seiring dengan peningkatan adiposit dalam
ukuran dan jumlah atau disebut dengan hiperleptinemia. Tingginya kadar leptin
pada obesitas tidak efektif lagi dalam menghambat asupan makanan dan
meningkatkan pengeluaran energi keadaan ini dikenal dengan resistensi leptin.
Resistensi leptin ini mengganggu sinyal pusat kenyang dihipotalamus dan
memerintahkan makan berlebihan sehingga terjadi peningkatan berat badan.
Penyebab dari resistensi leptin tidak diketahui secara pasti, namun diduga
berkaitan dengan defect dalam transportasi leptin, ketidakmampuan leptin
menyebrangi sawar darah otak, perubahan dalam efek permisif leptin pada
urocortin (molekul sinyal kenyang), atau defek pada reseptor leptin.
Hiperleptinemia juga merangsang sistem saraf simpatis, peradangan kronik, stress
oksidatif, hipertrofi ventrikel dan dapat berkontribusi dalam patogenesis
hipertensi, aterosklerosis dan penyakit kardiovascular terkait obesitas.1
Ghrelin diproduksi oleh lambung pada saat kelaparan dan merangsang
asupan makanan dan menyebabkan perubahan metabolik yang mengarah ke
peningkatan berat badan dan massa lemak tubuh. Ghrelin juga merangsang
pelepasan hormon pertumbuhan (GH) dari sel-sel hipofisis anterior, pelepasan
asam lambung, motilitas lambung, dan mempengaruhi fungsi pankreas. Leptin
dan ghrelin saling melengkapi, namun sinyal antagonis mencerminkan perubahan
akut dan kronis dalam keseimbangan energi efek yang dimediasi oleh hipotalamus
neuropeptida, seperti NPY dan AGRP. Ghrelin plasma menurun pada obesitas,
dan perannya dalam memberikan kontribusi terhadap obesitas belum
didefinisikan. Leptin dapat mengatur kadar ghrelin.1
Adiponektin mempunyai sifat meningkatkan kepekaan insulin dan kadar
plasma menurun dengan obesitas viseral, berkontribusi dalam resistensi insulin,
penyakit kardiovascular dan sindroma metabolik. Penderita obesitas, terutama
mereka dengan perluasan jaringan adiposa viseral memiliki peningkatan risiko
untuk penyakit arteri koroner akibat dyslipidemia, hipertensi, dan faktor-faktor
! 31!
yang mendorong trombosis dan peradangan. Penurunan kadar adiponektin
berhubungan dengan peningkatan tanda peradangan, seperti IL-6 dan TNF-α.
Adiponektin mampu berfungsi sebagai protein plasma anti-inflamasi dan anti
aterogenik dan memiliki peran penting dalam remodeling vaskuler yang artinya
menjadi terbatas pada individu dengan obesitas. 1
Obesitas dikaitkan dengan resistensi insulin, yang merupakan predisposisi
individu terkena dm tipe 2. Resistensi insulin mungkin berhubungan dengan
sebuah defek reseptor insulin atau post reseptor dikaitkan efek perubahan dalam
fungsi transporter glukosa. Kelebihan insulin mungkin juga merupakan respon
terhadap masukan kalori yang berlebihan. Terjadi peningkatan signifikan kadar
resistin pada pasien obesitas yang dianggap memiliki efek antagonis aksi insulin
dan mediator dari inflamasi. 1
2.2.4 Diagnosis
Obesitas berkaitan bukan hanya dengan berat badan namun juga distribusi
lemak dalam tubuh. Dapat dikenali seperti wajah membulat, pipi tembam, dagu
rangkap, leher yang relatif pendek, payudara membesar, dada membusung, kedua
tungkai membentuk huruf X, dan pada anak laki-laki penis tampak kecil. Banyak
cara yang digunakan untuk mengukur akumulasi lemak dalam tubuh, diantaranya
dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT) dan dengan mengukur lingkar
perut. Namun cara yang paling banyak diguakan adalah dengan menggunakan
IMT, dengan rumus :
Kemudian hasilnya dilihat dalam tabel 2.11 menurut kriteria Asia-Pasifik,
sedangkan berdasarkan penghitungan lingkar perut WHO menganjurkan
sebaiknya diukur di pertengahan pada batas bawah iga dan krista iliaka, dengan
menggunakan ukuran pita secara horizontal pada saat akhir ekspirasi dengan
kedua tungkai dilebarkan 20-30 cm. Pasien diminta untuk tidak menahan perutnya
hasilnya dapat dilihat dalam tabel 2.12.13
! 32!
Tabel 2.11 Klasifikasi Berat Badan Berlebih dan Obesitas Berdasarkan IMT
Menurut Kriteria Asik Pasifik13
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Underweight < 18,5
Normal 18,5-22,9
Overweight ≥23,0-24,9
Obesitas I ≥25,0-29,9
Obesitas II ≥30,0
Tabel 2.12 Klasifikasi Berat Badan Berlebih dan Obesitas Berdasarkan IMT serta Lingkar Perut Menurut Kriteria Asik Pasifik13
Resiko Ko-Morbiditas Lingkar Perut
Klasifikasi IMT (kg/m2)
<90 cm (laki-laki) ≥90 cm (laki-laki)
<80 cm (perempuan) ≥80 cm (perempuan) Underweight <18,5
Rendah (namun risiko
meningkat pada masalah klinis lain)
Sedang
Normal 18,5-22,9
Sedang Meningkat
Overweight ≥23,0
Berisiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat Obes I ≥25,0-29,9 Moderat Berat
Obes II
≥30,0
Berat Sangat Berat
2.2.5 Prognosis dan Komplikasi
Peningkatan lemak viseral sangat berhubungan erat dengan sindroma
metabolik (hipertrigliserida, penurunan HDL, peningkatan LDL, hipertensi dan
resistensi insulin) kemudian menjadi faktor resiko terhadap kejadian jantung iskemik
dan dm tipe 2. Dapat pula berkembang menjadi osteoartritis oleh karena stress
! 33!
mekanis akibat ketidakmampuan menahan beban terutama pinggul dan lutut yang
kemudian menyebabkan inflamasi dan berakhir pada erosi kartilago. Obesitas juga
menjadi faktor resiko untuk terjadinya kanker, namun mekanisme secara pasti belum
diketahui namun sampai saat ini diduga salah satunya akibat stress oksidatif dan
sistem nuklear faktor kappa beta namun masih menjadi bahan evaluasi. Komplikasi
yang dapat terjadi pada seluruh sistem dapat dilihat dalam tabel 2.13.1
Tabel 2.13 Komplikasi yang Mungkin Terjadi Akibat Obesitas Diberbagai
Sistem13,30
2.2.6 Tata Laksana
Modifikasi perilaku adalah pendekatan ini menjadi strategi utama dalam
standar pengobatan obesitas, namun bila cara ini tidak berhasil dilanjutkan dengan
terapi lainnya seperti penggunaan obat. Intervensi perilaku ini biasanya dibuat
oleh seorang psikolog, terapis perilaku, ahli gizi atau olahragawan guna
mendorong individu untuk membuat pilihan gaya hidup sehat dengan memasukan
Sistem Komplikasi yang terjadi
Saraf (Psikososial) Judge di lingkungan sosial serta diskriminasi Gastrointestinal
Kolelitiasis, pankreatitis, hernia abdomen, GERD, penyakit hati.
Metabolik Endokrin Sindroma metabolik, resistensi insulin, toleransi glukosa terganggu, DM tipe II, dyslipidemia.
Kardiovascular Hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, aritmia, cor pulmonale, stroke iskemik, thrombosis vena dalam, emboli paru.
Respirasi Abnormalitas fungsi paru, obstructive sleep apnea, sindrom hipoventilasi obesitas
Muskuloskeletal Osteoarthritis, gout arthritis, low back pain Genikologi Gangguan menstruasi, infertilitas, Poliksitik ovary
sindrom. Genitourinaria Inkontinensia Urin Ophtalmologi Katarak Neurologi Hipertensi intrakranial idiopatik (pseudotumor cerebri) Kanker Esophagus, colon,rektum, empedu, prostat, payudara,
uterus, cervix, ginjal, endometrium.
! 34!
peningkatan aktivitas fisik dan modifikasi kebiasaan makan terutama. Kegiatan ini
harus selalu berada dibawah kontrol/ pengawasan dan apabila perubahan ini dapat
terjadi walaupun kecil dianggap baik karena diharapkan mampu bertahap. Pada
obesitas cara ini juga dapat dikombinasikan dengan pengobatan kognitif perilaku,
dijelaskan bahwa dengan penurunan berat badan mampu menurunkan stigma
sosial yang terjadi tentang kelebihan berat badan, meningkatkan kepercayaam diri
dan mengurangi ketidakpuasan atas postur tubuh sendiri.30
Selanjutnya modifikasi dalam hal asupan makanan, dirancang untuk
membuat perubahan pola makan yang termasuk didalamnya adalah sarapan,
ukuran porsi makan yang terkontrol, penghentian minuman tinggi kalori dan
makanan ringan, penurunan frekuensi makan diluar. Selain itu terdapat pula
intervensi makanan, dijelaskan dalam guideline American Heart Association
(AHA) :
1. Jumlah asupan lemak harus kurang dari 30% energi
2. Asupan lemak jenuh harus kurang dari 10% dari total energi
3. Asupan lemak tak jenuh ganda sebaiknya tidak lebih dari 10% dari total energi
4. Asupan lemak tak jenuh tunggal harus membuat sisa asupan lemak total, sekitar
10% sampai 15% dari total energi
5. Asupan kolesterol sebaiknya tidak lebih dari 300 mg /hari
6. Asupan Natrium sebaiknya tidak lebih dari 3000 mg (3 g) per hari
AHA dalam pedoman dietnya juga merekomendasikan pilihan makanan
sebagai berikut :
1. Tidak lebih dari 5-8 sendok teh lemak dan minyak per hari, termasuk lemak
yang digunakan dalam memasak
2. Enam ons atau kurang untuk daging tidak berlemak, ikan, atau unggas tanpa
kulit
3. Tidak lebih dari tiga atau empat kuning telur per minggu
4. Dua sampai empat porsi susu tanpa lemak atau rendah lemak dan produk
olahan susu per hari
5. Lima atau lebih porsi buah dan sayuran per hari
Cara lain yang digunakan dengan aktivitas fisik terutama olahraga.
Apabila upaya penurunan berat badan diatas dirasa belum berhasil upaya lain
! 35!
yang dilakukan adalah dengan suplemen penurunan berat badan. Terdapat banyak
sekali suplemen yang dijual dipasarkan namun yang paling populer dan efektif
adalah ephedra dan kafein. Walupun belakangan ini ephedra dilarang
penggunaannya namun hasil penelitian menunjukan bukti yang efektif
penggunaan ephedra bersama kafein serta dijelaskan pada orang dewasa muda
dengan kelebihan berat badan tidak terdapat efek samping yang terlihat dalam
klinis akibat suplemen tersebut. Suplemen lain yang tidak populer namun
memiliki efek terhdap penurunan berat badan adalah kalsium dan ekstrak teh
hijau. Kalsium telah terbukti menekan metabolisme lemak selama periode asupan
kalori tinggi dan meningkatkan metabolisme lemak selama pembatasan kalori,
lalu untuk ekstrak teh hijau berperan dalam meningkatkan pengeluaran energi dan
merangsang thermogenesis jaringan adiposit coklat.30
Terapi menggunakan obat menjadi pertimbangan pada pasien obesitas
dengan IMT > 30 atau > 27 dengan faktor resiko dan telah mengalami kegagalan
dalam program diet, olahraga dan terapi perilaku. Sibutramin adalah agen yang
tidak menstimulasi sekresi serotonin, yag berarti mempengaruhi pemasukan
makanan oleh karena peningkatan aktivitas noradrenergik dan serotonin di saraf
pusat. Dalam sebuah penelitian selama satu tahun sibutramin dikonsumsi 10 mg
setiap hari dan hasilnya dapat menurunkan 4,8kg. Terdapat obat lain seperti
orlistat bekerja sebagai penghambat gastrointestinal lipase. menyebabkan
penurunan aktivitas enzim di usus.30
Pilihan terakhir dalam penatalaksanaan obesitas dengan terapi bedan yaitu
operasi bariatrik. Menjadi pilihan bagi pasien dengan IMT > 40 atau 35 s/d 40
namun dengan faktor resiko penyakit tinggi atau memiliki kondisi fisik yang
mengganggu gaya hidup terkait dengan obesitas. Terdapat dua prosedur dalam
operasi salah satunya vertikal banded gastroplasty dimana dibuat kantong kecil
terbatas disekitar kurvaktura minor lambung, yang kedua dengan bypass lambung
dimana dibuat kantong lambung proksimal berbentuk Y dari usus halus. Namun
diperlukan pengawasan seumur hidup setelah dilakukan terapi bedah ini. Terdapat
pula komplikasi setelah operasi bariatrik ini diantaranya adalah emboli paru, gagal
pernafasan, kebocoran pencernaan akibat robeknya jahitan, obstruksi stomal atau
stenosis, dan perdarahan. Resiko kematian setelah operasi ini antara 1%dan 2%,
! 36!
tetapi meningkat signifikan pada pasien dengan insufisiensi pernapasan akibat
obesitas.30
2.3 Penyakit Perlemakan hati non alkoholik dan Obesitas
Pada metabolisme lipid normal, setelah makan trigliserida (TAG) diangkut
ke hati dari usus melalui kilomikron, selain itu sintesis trigliserida hati dari asam
lemak bebas dan gliserol terjadi dibawah pengaruh insulin dalam keadaan
postprandial. TAG disekresikan ke dalam darah sebagai lipoprotein densitas
sangat rendah (VLDL) yang tersimpan dalam jaringan adiposa sebagai TAG
reesterifikasi atau dimetabolisme menjadi asam lemak digunakan sebagai sumber
energi. TAG yang berlebihan dalam hati dapat disimpan sebagai tetesan (droplet)
lemak dalam hepatosit dalam gambar 2.7. Sumber asam lemak untuk
pembentukan TAG hati yaitu dari plasma atau asam lemak non-esterifikasi
(NEFA) atau asam lemak bebas yang baru disintesis dalam hati melalui de novo
lipogenesis (DNL). Dalam keadaan postprandial energi (ATP) berlebih, kelebihan
glukosa digunakan sebagai substrat asam lemak. Glukosa melalui konversi
menjadi piruvat memasuki siklus kreb mitokondria. Sitrat terbentuk dalam sikus
kreb bergerak menuju sitosol dan dikonversi menjadi asetil-koA dengan ATP
sitrat lipase. Asetil-koA karboksil-1 (ACC-1) enzim kemudian mengubah asetil
koA menjadi malonil koA, yang digunakan oleh asam lemak sintase untuk
membentuk rantai panjang asam lemak yang berbeda dalam sitosol.31
Penyerapan asam lemak dihati dari sumber NEFA tidak diatur dan sebagai
hasilnya masuk secara langsung berkaitan dengan konsentrasi asam lemak bebas
plasma. Diet pada zaman modern seperti saat ini menyebabkan akumulasi lemak
di hepatosit dengan masukan TAG, asam lemak (sumber NEFA meningkat), serta
glukosa (sebagai substrat DNL) lebih banyak dari makanan. Peningkatan kadar
insulin setelah makan mendukung semua jalur akumulasi lemak dihati. Oksidasi
asam lemak terjadi di mitokondria, peroksisom dan mikrosom. Dengan
pembagian sebagai berikut : asam lemak rantai pendek dan sedang hanya
dioksidasi dimitokondria, sedangkan rantai panjang dan sangat panjang
diperpendek oleh extramitokondrial yaitu peroksisom dan mikrosom sebagai
! 37!
oksidasi pertama dan kemudian enzim mitokondria untuk proses lengkapnya.31
Masuknya asam lemak ke dalam mitokondria dibatasi sebagai langkah
oksidasi. Asam lemak harus diaktifkan oleh lemak asil koA sintase untuk lemak
asil koA dalam sitoplasma. Pengangkutan lemak asil koA ke dalam mitokondria
dibantu oleh intermediation of carnitine acyltransferaseI (CPT-1) yaitu enzim
yang berada diluar membran mitokondria.31
Gambar 2.7 Metabolisme Lemak dihati. Semua step distimulasi oleh insulin,
insulin menekan sekresi dari VLDL dan B-oksidasi dari asam lemak. Pada
keadaan hiperinsulinemia dimana terjadi resistensi insulin menyebabkan
akumulasi TAG di hati.31
Terdapat tiga mediator molekul metabolisme lipid yang penting yaitu :
Sterol regulatory element-binding protein (SREBP1-c), carbohydrate response
element-binding protein (ChREBP) dan peroxisome proliferative activated
receptor (PPAR-γ). Insulin bekerja pada SREBP1-c pada membran sel hepatosit,
yang diaktifkan sebagian besar oleh gen yang teribat dalam DNL. SREBP1-c juga
mengaktifkan ACC-2, sebuah isoform dari ACC yang menghasilkan malonil-CoA
pada membran mitokondria. Kenaikan malonil-CoA menurunkan b-oksidasi
karena menghambat CPT-1 pada konsentrasi yang lebih tinggi dan karenanya
mengarah kepada pembentukan asam lemak.31
Hiperglikemia juga bisa menstimulasi lipogenesis langsung dengan
mengaktifkan ChREBP, yang menginduksi ekpresi gen liver-type pyruvate kinase
! 38!
(L-PK) yaitu enzim kunci dalam regulasi glikolisis. L-PK mengkatalis konversi
phosphoenolpyruvate (PEP) menjadi piruvat yang kemudian memasuki siklus
kreb menghasilkan sitrat. Sitrat merupakan sumber utama asetil-KoA yang
digunakan untuk mensitesis asam lemak. Oleh karena hiperglikemia menstimulasi
glikolisis dan lipogenesis, sehingga memfasilitasi konvergensi glukosa menjadi
asam lemak pada kondisi kelebihan energi.31
Pada keadaan resistensi insulin, kondisi dimana dibutuhkan kadar insulin
yang lebih tinggi dari biasanya agar mencapai respon metabolik normal, kadar
insulin yang normal gagal untuk mempertahankan respon metabolik normal.
Resistensi insulin hepatik dimanifestasikan dengan produksi glukosa hepatik yang
terkendali akibat gangguan sintesis glikogen dan kegagalan insulin untuk
menekan glukoneogenesis, keadaan resistensi insulin ini bisa juga disebebkan
oleh penumpukan lemak di hepatosit sendiri. Metabolisme dan mekanisme yang
menjelaskan hubungan antara resitensi insulin dan PPHNA belum sepenuhnya
diketahui, namun keadaan PPHNA dapat diperberat misalnya dengan obesitas,
dm, dan lipoatrofi.31
Jaringan adiposa dan obesitas, sekitar 60-85% dari berat jaringan adiposa
putih adalah lipid, dengan 90-99% menjadi TAG. Terdapat pula sejumlah kecil
dari asam lemak bebas, digliserida, kolesterol dan fosfolipid. Asam lemak
dikonversi menjadi TAG dalam adiposit pada keadaan kelebihan kalori dan
dikeluarkan kembali sebagai NEFA ke sirkulasi pada keadaan kekurangan kalori
seperti saat puasa, kelaparan dan olahraga. Jaringan adiposa pada orang dewasa
dibagi menjadi dua jenis, bergantung kepada lokasi yaitu subkutan dan viseral
(intraperitoneal; omentum dan mesenterika). Adipositas viseral lebih kaut
berkorelasi dengan PPHNA.31
Peran jaringan adiposa dalam kejadian PPHNA, kelebihan jaringan
adiposa menjadi predisposisi terhadap berkembangnya kejadian resistensi insulin
berdasarkan faktor yang disekresikannya. Lebih dari 100 faktor yang disekresikan
telah diidentifikasi. Salah satunya adipokines, protein aktif yang disekresikan oleh
stroma jaringan adiposa. Selain itu adiposit juga mensekresikan asam lemak,
sitokin, kolesterol, hormon steroid dan prostaglandin. Sekresi dari seluruh faktor
kecuali adiponektin meningkat pada peningkaan jaringan adiposa pada orang
! 39!
dengan obesitas. Berbagai penjelasan mengenai peningkatan adipokines pada
orang dengan obesitas adalah akibat peningkatan massa, peradangan kronik
dengan infiltrat jaringan adiposa oleh makrofag, hipoksia, stress retikulum
endoplasma dan stress oksidatif. Peningkatan ini bersifat reversibel dan menurun
dengan penurunan berat badan.31
Dari prespektif anatomi adiposit viseral menjadi sumber penting untuk
asam lemak. Asam lemak meningkat pada serum pasien dengan obesitas dan dm.
Seperti juga hormon protein asam lemak bebas juga dianggap sebagai molekul
sinyal kuat, yang menyempurnakan pengiriman asam lemak dari jaringan adiposa
viseral yang membesar ke hati. Asam lemak merangsang glukoneogenesis hepatik
dan sintesis TAG. Adipositokin memiliki efek luas pada asupan makanan,
pengeluaran energi dan metabolisme. Asam lemak dilepaskan dari jaringan
adiposa memiliki berbagai efek sistemik termasuk induksi resitensi insulin perifer,
dalam miosit asam lemak bersaing dengan glukosa untuk masuk menyebabkan
deplesi ATP, berkurangnya GLUT-4 dan mengurangi sintesis glikogen otot.31
Untuk leptin adalah adipokine pertama yang dijelaskan, dikode oleh "ob"
gen terutama disintesis dan dilepaskan ke sirkulasi oleh adiposit matang dalam
menanggapi perubahan dalam massa lemak tubuh dan status gizi. Dalam
hipotalamus, leptin merangsang jalur anorexigenic dan mengurangi asupan
makanan. Tingkat leptin yan tinggi disirkulasi pada pasien obesitas sebanding
dengan IMT, dan menurun secara cepat pada puasa atau pembatasan energi serta
jumlah leptin yang rendah bertindak sebagai sinyal keseimbangan energi negatif.
Leptin bertindak sebagai insulin sensitizing hormon dan mengurangi kadar lemak
miosit, hepatosit dan β sel pankreas. Dalam otot sensitasi insulin dicapai melalui
penghambatan sintesis malonil-coA, yang meningkatkan transportasi asam lemak
ke dalam mitokondria. Leptin langsung merangsang adenosine monophosphate
kinase (AMPK) yang mengaktifkan ATP memproduksi jalur katabolik seperti b-
oksidasi, glikolisis, dan menghambat ATP digunakan untuk jalur anabolik.31
Pada pasien PPHNA yang obesitas, kadar leptin tinggi secara langsung
berkorelasi dengan keparahan penyakit, dalam hal ini yang dijelaskan adalah
konsep resistensi leptin. Alasan secara pasti untuk konsep ini belum sepenuhi
dipahami, kemungkinann defects pada sinyal leptin atau transport melewati sawar
! 40!
darah otak. Dalam sebuah penelitian menggunakan model hewan, dijelaskan
bahwa leptin merupakan faktor fibrogenik. Dimediasi oleh transforming growth
factor (TGF)-β atau mungkin melibatkan aktivasi langsung hepatic stellate cells
(HSC). HSC pada saat aktivasi menghasilkan leptin, yang selanjutnya merangsang
fibrogenesis.31
Adiponektin berkorelasi terbalik dengan IMT, IL-6 dan TNF-a berpotensi
menghambat ekspresi adiponektin dan tingginya sitokin dalam obesitas dan
PPHNA menjelaskan hubungan antara keduanya. Penurunan kadar adiponektin
bertepatan dengan terjadinya resistensi insulin dan peningkatan kandungan lemak
hati. Sifat insulin sensitizing pada adiponektin disebabkan oleh kemampuannya
mengaktivasi AMPK dihepatosit, miosit dan lokal adiposit. Pada gilirannya hal itu
meningkatkan oksidasi asam lemak hepatik dengan inaktivasi ACC-1 dan liposisis
di jaringan adiposa. Adiponektin juga memiliki efek anti-inflamasi dan
menghambat produksi lokal TNF-a dan IFN. Tingkat adiponectin yang rendah
kemungkinan mempengaruhi nekrosis sel hati dan berkorelasi dengan keparahan
SHNA serta kelainan enzim hati.31
2.4 Kerangka Teori
Kerangka teori dibuat berdasarkan tinjauan pustaka. Obesitas mampu
memicu peningkatan sintesis lemak dalam hati dan peningkatan distribusi
lemak ke dalam hati. Ketidakseimbangan ini mampu menyebabkan
akumulasi lemak dalam bentuk trigliserida di dalam hepatosit yang
kemudian mengakibatkan timbulnya perlemakan hati non alkoholik atau
steatosis.
! 41!
! 42!
2.5 Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perlemakan hati non
alkoholik dengan status gizi lebih. Kondisi peningkatan kadar lemak
terutama dari makanan pada obesitas merupakan salah satu mekanisme
yang memicu timbulnya akumulasi lemak dalam hati, penelitian ini
terfokus pada faktor resiko obesitas dan tidak membedakan steatosis
sederhana dengan steatohepatitis pada perlemakan hati non-alkoholik.
Penyakit perlemakan hati
non alkoholik (PPHNA)!Status gizi lebih!
! 43!
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian observasional dengan
pendekatan cross-sectional untuk mengetahui gambaran demografi penderita PPHNA
dengan status gizi lebih di RSUP Fatmawati.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP Fatmawati. Data diambil dari rekam medik
pasien perlemakan hati dengan status gizi lebih dalam 4 bulan yaitu pada bulan April
hingga Juli 2015.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah pasien PPHNA dengan status
gizi lebih.
3.3.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien PPHNA dengan
status gizi lebih yang datang berobat ke RSUP Fatmawati pada tahun
2013-2014.
3.3.3 Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah Pasien PPHNA dengan status gizi
lebih yang dipilih dengan metode total sampling dan memenuhi
kriteria sampel.
! 44!
3.4 Jumlah Sampel
Semua anggota populasi digunakan sebagai sampel penelitian.
3.5 Kriteria Sampel
Kriteria Inklusi:
Data rekam medis pada pasien dengan kriteria :
• Telah terdiagnosis penyakit perlemakan hati non-alkoholik oleh dokter RSUP
Fatmawati yang tertera di rekam medis.
• Memenuhi kriteria status gizi lebih menurut kriteria Asia Pasifik berdasarkan
IMT atau telah terdiagnosis overweight atau obesitas oleh dokter RSUP
Fatmawati yang tertera di rekam medis.
• Usia ≥ 18 s/d 75 tahun.
3.6 Cara Kerja
! 45!
3.7 Alur Penelitian
3.8 Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah mendapatkan data dasar dari proses
pengolahan data lalu data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik serta
dihitung presentasenya.
3.9 Etika Penelitian
Telah dilakukan uji etik oleh komite etik RSUP Fatmawati.
! 46!
3.10 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Skala ukur
1. Status gizi
lebih
Pada hasil pemeriksaan
antropometri didapat
IMT (kg/m2) ≥ 23
menurut kriteria Asia
Pasifik, dibagi menjadi
3 tipe :
• Overweight
(≥23,0-24,9)
• Obesitas tipe I
(≥25,0-29,9)
• Obesitas tipe II
(≥ 30)
Rekam
medis
Baca sesuai
yang tertulis
di rekam
medis
[Berat
badan (kg)]/
[Tinggi
Badan (m)]2
dilihat pada
rekam
medis pada
saat pasien
didiagnosis
Numerik
2. Jenis Kelamin Jenis kelamin pasien
yang tercatat pada data
rekam medis,
dikategorikan menjadi:
• Laki-laki
• Perempuan
Rekam
medis
Baca sesuai
yang tertulis
di rekam
medis
Nominal
3. Umur Lama hidup pasien
dihitung dari saat lahir
sampai ulang tahun
terakhir saat pencacatan
rekam medis,
dikategorikan menjadi:
Rekam
medis
Baca sesuai
yang tertulis
di rekam
medis
Nominal
! 47!
• >18-25
• >25-35
• >35-45
• >45-55
• >55-65
• >65-75
4. Tingkat
Pendidikan
Tingkat pendidikan
terakhir pasien yang
tercatat pada data rekam
medis, dikategorikan
menjadi:
• Tidak sekolah
• Tidak tamat SD/
tamat SD
• Tamat SMP
• Tamat SMA
• Perguruan tinggi
Rekam
medis
Baca sesuai
yang tertulis
di rekam
medis
Nominal
5. Riwayat
Pekerjaan
Pekerjaan pasien yang
tercatat pada data rekam
medis, dikategorikan
menjadi:
• Tidak bekerja
• PNS/ABRI
• Karyawan
swasta
• Wiraswasta
• Petani
• Pedagang
Rekam
medis
Baca sesuai
yang tertulis
di rekam
medis
Nominal
! 48!
• Pensiun
• Lain-lain
! 49!
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian di RSUP Fatmawati Jakarta
Selama periode penelitian didapatkan populasi penderita PPHNA yang
berobat ke RSUP Fatmawati dalam kurun waktu 2 tahun yaitu 2013-2014 sebanyak
70 orang. Dari populasi tersebut didapatkan kasus PPHNA dengan status gizi lebih
sebanyak 50 orang. Hal ini berarti bahwa frekuensi kejadian status gizi lebih dengan
PPHNA adalah 71,42%.
Hal ini sesuai dengan penelitian American Gastroenterological Association
(2002) bahwa angka kejadian PPHNA pada subjek dengan obesitas meningkat
menjadi 70-80% yang awalnya pada orang normal sebesar 10-15%.32 Obesitas
dibuktikan sebagai abnormalitas temuan fisik yang paling sering ditemukan pada
pasien PPHNA, kemudian dijelaskan dalam studi cross sectional yang dilakukan
oleh Sass dkk (2005) juga mendukung angka temuan kejadian PPHNA dengan
obesitas yakni sebesar 30-100%.33 Menurut Fabbrini dkk (2013) penyebab dari
tingginya angka kejadian obesitas dan PPHNA tersebut ialah rata-rata pelepasan FFA
ke dalam sirkulasi sistemik yang berbanding lurus dengan massa lemak tubuh baik
pada laki-laki maupun perempuan, karena itu orang dengan obesitas berpotensi
melepaskan FFA lebih banyak dibandingkan dengan orang normal. Selain itu
ekspresi dari gen hepatic lipase dan hepatic lipoprotein lipase lebih tinggi pada orang
obesitas dengan PPHNA menunjukan bahwa pelepasan FFA dalam proses lipolisis
trigliserida di sirkulasi berperan dalam akumulasi FFA di hepatoseluler (steatosis).34
Gambaran pasien PPHNA dengan status gizi lebih tahun 2013-2014 di RSUP
Fatmawati berdasarkan karakterisitik indeks massa tubuh (IMT) dapat dilihat pada
tabel 4.1.
! 50!
Tabel 4.1 Gambaran Pasien PPHNA dengan Status Gizi Lebih Tahun 2013-
2014 di RSUP Fatmawati Berdasarkan Karakterisitik Indeks Massa Tubuh (IMT)
Variable Jumlah(n=50) Angka Proporsi (%)
Obesitas
Overweight (≥23,0-24,9) 13 26
Obesitas I (≥25,0-29,9) 26 52
Obesitas II (≥30,0) 11 22
Pada penelitian ini IMT dari 50 subjek PPHNA dengan staus gizi lebih adalah
berkisar 23,01-37,11 kg/m2. Berdasarkan karakteristik IMT (tabel 4.1) jumlah pasien
PPHNA dengan obesitas yang berobat ke RSUP Fatmawati tahun 2013-2014
terbanyak dijumpai pada subjek dengan obesitas I 26 orang (52%), selanjutnya
overweight 13 orang (26%), dan obesitas II 11 orang (22%).
Hasil ini sesuai dengan penelitian Fabbrini dkk (2013) bahwa angka kejadian
PPHNA tertinggi pada subjek dengan obesitas I lebih tinggi yaitu 65% jika
dibandingkan dengan subjek dengan obesitas II yakni sebesar 20%.34 Dalam
penelitian di Iran oleh Amirkalali (2014) juga dijelaskan bahwa pada pasien PPHNA
yang memiliki IMT <25 sebesar 28,9%, selanjutnya terbanyak pada IMT ≥25,0-29,9
yaitu 36,7% dan 34,3% untuk IMT ≥30,0.35 Selain itu penelitian di India oleh
Agrawal (2009) menyebutkan pula pasien PPHNA dengan obesitas tertinggi
didapatkan pada obesitas I sebesar 60,5% sedangkan untuk overweight 5,% dan
obesitas II sebesar 27,4%.36 Serupa dengan hasil penelitian ini yaitu tertinggi pada
obesitas I. Hingga saat ini belum ditemukan pembahasan mengapa kejadian tertinggi
pada obesitas I, sedangkan dalam teori disebutkan bahwa peningkatan kejadian
PPHNA terjadi seiring dengan peningkatan indeks massa tubuh.34 Selain itu di Iran,
India dan pada penelitian ini ditemukan pola yang sama yaitu tertinggi pada obesitas I
yang berarti ras atau etnik tidak terlalu mempengaruhi namun butuh ditinjau dari grup
etnik lain.
Gambaran pasien PPHNA dengan status gizi lebih pada tahun 2013-2014 di
RSUP Fatmawati berdasarkan jenis kelamin dan umur dapat dilihat dalam tabel 4.2
! 51!
Tabel 4.2 Gambaran Pasien PPHNA dengan Status Gizi Lebih Tahun 2013-
2014 di RSUP Fatmawati Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur
Berdasarkan jenis kelamin (tabel 4.2) jumlah pasien PPHNA dengan status
gizi lebih yang berobat ke RSUP Fatmawati tahun 2013-2014 didapatkan yang
berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingan dengan laki-laki yakni 27
orang (54%) berbanding 23 orang (46%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan oleh National Health and
Nutrition Examination Survey III (NHANES III) dalam penelitian Pan JJ (2014)
menunjukan bahwa hasil penelitian PPHNA secara kohort oleh Younossi dkk37
bahwa perempuan memiliki frekuensi yang lebih tinggi.38 Dalam penelitian di Iran
oleh Amirkalali (2014) juga dijelaskan bahwa perempuan memiliki angka kejadian
PPHNA yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki walaupun perbedaan angka
tersebut tidak terlalu signifikan yaitu 45,8% dan 42,2%. Hal ini dipengaruhi oleh
faktor resiko sindroma metabolik yang juga lebih tinggi pada perempuan dengan
PPHNA yaitu 42,2% dibandingkan dengan laki-laki 20%.35
Menurut penelitian Lazo dkk (2008) peningkatan kejadian PPHNA pada
wanita yaitu pada usia pre dan post menopause.39 Pernyataan tersebut dijelaskan
Variable Jumlah(n=50) Angka Proporsi (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 23 46
Perempuan 27 54
Kelompok Umur
>18-25 2 4
>25-35 2 4
>35-45 4 8
>45-55 22 44
>55-65 12 24
>65-75 8 16
! 52!
dalam penelitian di Jepang oleh Hamaguchi dkk (2012) bahwa pada wanita pre dan
post menopause terjadi penurunan kadar estrogen yang mempengaruhi deposisi lemak
ke bagian sentral yang awalnya dideposisikan ke regio gluteofemoral, kemudian
reseptor estrogen di hepar memediasi kerja estrogen di hepar yang berperan dalan
penyakit PPHNA.40 Data yang dikeluarkam RISKESDAS (2013) menunjukan bahwa
obesitas pada perempuan lebih tinggi frekuensi kejadiannya dibanding laki-laki yaitu
32,9% dan 19,7%. Prevalensi ini jika dibandingkan dengan data tahun 2007 serta
2010 memiliki kecenderungan peningkatan pada setiap tahunnya dengan tren yang
sama.9 Berarti obesitas pada perempuan memang lebih tinggi kejadiannya jika
dibandingkan dengan laki-laki baik pada populasi umum maupun PPHNA.
Berdasarkan umur (tabel 4.2) jumlah pasien PPHNA dengan status gizi lebih
yang berobat ke RSUP Fatmawati tahun 2013-2014 didapatkan usia terendah 18
tahun dan usia tertinggi 72 tahun dengan rata-rata usia 52,1 tahun. Pasien PPHNA
dengan status gizi lebih terbanyak didapatkan pada kategori umur >45-55 tahun.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di Eropa oleh Ratziu (2009)
bahwa angka kejadian tertinggi PPHNA terutama pada umur 45-60 tahun yaitu 44%.3
Hal ini juga sesuai dengan data yang dikeluarkan RISKESDAS (2007) bahwa angka
prevalensi obesitas meningkat hingga kejadian tertinggi didapatkan pada umur 45-54
tahun lalu selanjutnya berangsur menurun.41 Berarti di Eropa, Indonesia dan pada
penelitian ini menunjukan tren yang sama yaitu usia >45-55 tahun.
Gambaran pasien PPHNA dengan status gizi lebih pada tahun 2013-2014 di
RSUP Fatmawati berdasarkan tingkat pendidikan dan riwayat pekerjaan dapat dilihat
dalam tabel 4.3
Berdasarkan tingkat pendidikan (tabel 4.3) jumlah pasien PPHNA dengan
status gizi lebih yang! berobat ke RSUP Fatmawati tahun 2013-2014 terbanyak
dijumpai pada subjek dengan tingkat pendidikan terakhir diperguruan tinggi yaitu
sebanyak 24 orang (48%). Terjadi peningkatan angka kejadian seiring dengan
peningkatan pendidikan yaitu 2, 8, 8, 34, 48 untuk tingkat pendidikan tidak sekolah,
tidak tamat/tamat SD, tamat SMP, tamat SMA dan perguruan tinggi.
!
! 53!
Tabel 4.3 Gambaran Pasien PPHNA dengan Status gizi lebih Tahun 2013-
2014 di RSUP Fatmawati Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan!
Variabel Jumlah (n=50) Angka Proporsi (%)
Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah 1 2
Tidak tamat SD/ tamat SD 4 8
Tamat SMP 4 8
Tamat SMA 17 34
Perguruan tinggi 24 48
Pekerjaan
Ibu rumah tangga 16 32
PNS/ABRI 12 24
Karyawan swasta 8 16
Wiraswasta - -
Petani - -
Pedagang - -
Pensiun 9 18
Lain-lain 5 10
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di Beijing oleh Li G dkk (2013)
bahwa prevalensi PPHNA meningkat pada kelompok pasien dengan tingkat
pendidikan perguruan tinggi sebesar 76,1%. Angka tersebut memperkuat pernyataan
bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi tingginya angka kejadian PPHNA.
Prevalensi yang tinggi ini disebabkan oleh tingginya tekanan yang dimiliki pada
kelompok dengan pendidikan yang lebih tinggi sehingga stres yang ditimbulkan
menjadi lebih tinggi, selain itu ditambah dengan pola makan yang tidak teratur serta
kurangnya berolahraga.42 Data yang dikeluarkan RISKESDAS (2013) menunjukan
bahwa prevalensi obesitas tertinggi pada tingkat pendidikan terakhir perguruan tinggi
yaitu 25,9%. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berpotensi meningkatkan ke pola
! 54!
pendapatan sehingga pengeluaran rumah tangga perkapita meningkat hal tersebut
membuat terjadinya kecendrungan peningkatan asupan lemak.9
Berdasarkan pekerjaan (tabel 4.3) jumlah pasien PPHNA dengan status gizi
lebih yang berobat ke RSUP Fatmawati tahun 2013-2014 terbanyak dijumpai pada
subjek ibu rumah tangga yakni 16 orang (32%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di Beijing oleh Li G dkk (2013)
bahwa pekerjaan berkaitan dengan tingkat pendidikan.42 Pekerjaan yang berhubungan
dengan tingginya angka kejadian PPHNA adalah ibu rumah tangga.43 Kemungkinan
hal ini disebabkan oleh perilaku yang menetap atau kurangnya aktivitas sehingga
menjadi faktor risiko untuk sindroma metabolik lebih sering terjadi pada kelompok
dengan tingkat pendidikan yang tinggi.42,43 Pernyataan tersebut diperkuat oleh
penelitian di Inggris oleh Hallsworth (2014) yang menjelaskan bahwa pasien PPHNA
lebih sering terjadi pada orang yang memiliki tingkat aktivitas rendah yaitu sebesar
32%.43 Data RISKESDAS (2013) juga menyebutkan prevalensi obesitas terbesar
terjadi paling tinggi pada ibu rumah tangga yaitu 36,3%.9
Berarti pada penelitian ini berdasarkan tingkat pendidikan perguruan tinggi
memiliki angka kejadian paling tinggi bisa disebabkan oleh stres yang tinggi atau
pendapatan perkapita yang tinggi atau faktor lainnya. Serupa halnya dengan tingkat
pendidikan untuk pekerjaan tertinggi pada ibu rumah tangga hal ini juga menunjukan
pola yang sama di Inggris, Indonesia, dan pada penelitian ini.
4.2 Keterbatasan penelitian
Penggunaan data sekunder dalam penelitian ini menyebabkan sedikitnya
variabel yang dapat diteliti serta terdapat beberapa variabel yang tidak tertulis
lengkap pada rekam medis. Selain itu oleh karena penggunaan data sekunder
memungkinkan adanya variabel yang perancu yang tidak dapat dikontrol.
Keterbatasan waktu pengambilan data pada pada penelitian ini sehingga tidak
memungkinkan untuk melakukan pengambilan data dalam waktu yang lebih lama
menyebabkan keterbatasan dalam jumlah sampel.
! 55!
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
5.1.1 Pasien PPHNA dengan status gizi lebih di RSUP Fatmawati tahun
2013-2014 sebesar 71,42%.
5.1.2 Karakteristik pasien PPHNA dengan status gizi lebih pada penelitian
ini ialah:
a. Berdasarkan kategori status gizi lebih :
• Pasien overweight sebanyak 26%, Obesitas I sebanyak 52%,
Obesitas II sebanyak 22%.
b. Berdasarkan karakteristik demografis :
• Jenis kelamin terbanyak pada perempuan yaitu 54%
• Usia terbanyak pada >45-55 tahun yaitu 44%
• Pendidikan pasien terbanyak pada perguruan tinggi yaitu 48%
• Pekerjaan pasien terbanyak pada ibu rumah tangga yaitu 32%
5.2 Saran
5.2.1 Untuk penelitian selanjutnya :
• Perlu dilakukan penelitian serupa lebih mendalam untuk melihat
hubungan PPHNA dan status gizi lebih serta faktor resiko lainnya.
• Perlu dilakukan penelitian serupa dengan menggunakan data primer
sehingga data yang dibutuhkan lengkap dan tidak terdapat perancu.
! 56!
• Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di institusi lainnya dengan
jumlah sample yang lebih banyak sehingga dapat menggambarkan
prevalensi populasi.
5.2.2 Untuk RSUP Fatmawati
• Perlu dicurigai adanya kemungkinan PPHNA pada pasien obesitas
• Selalu dilakukan pencatatan berat badan dan tinggi badan pada
pasien PPHNA
! 57!
Daftar Pustaka
1. McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Rote NS. Pathophysiology; The
Biologic Basis for Disease in Adult and Children. 6th ed. USA: Elsevier, 2010.
2. Chalasani N, Younossi Z, Lavine JE, Diehl AM, Brunt EM, Cusi K, et al. The
Diagnosis and Management of Non-alcoholic Fatty Liver Disease: Practice
Guideline by the American Gastroenterological Association, American
Association for the Study of Liver Diseases, and American College of
Gastroenterology. AGA. 2012;142:1592–1609.
3. Ratziu V, Bellentani S, Cortez-Pinto H, Day C, Marchesini G. A position
statement on NAFLD/NASH based on the EASL 2009 special conference.
Journal of Hepatology. 2010;53:372–384.
4. Angulo P, Lindor KD. Quadrennial Review; Non-Alcoholic Fatty Liver Disease.
Journal of Gastroenterology and Hepatology. 2002;(17): 186-190.
5. Farrell, McCullough. Non-alcoholic Fatty Liver Disease. Singapore: Willey-
Blackwell, 2013.
6. Nurman A, Huang MA. Perlemakan hati non alkoholik. Universa Medicina.
2007; 26: 205-15.
7. Gill HK, Wu GY. Non-alcoholic fatty liver disease and the metabolic syndrome:
Effects of weight loss and a review of popular diets. Are low carbohydrate diets
the answer? . World J Gastroenterol. 2006 January 21; 12(3): 345-353.
8. Ng M, Fleming T, Robinson M, Thomson B, Graetz N, Margono C. Global,
regional, and national prevalence of overweight and obesity in children and
adults during 1980–2013: a systematic analysis for the Global Burden of Disease
Study 2013. Lancet. 2014 August 30; 384: 766–81.
9. RISKESDAS 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013.
10. Yeh MM, Brunt EM. Pathology of Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Am J Clin
Pathol 2007;128:837-847.
11. Bettermann K, Hohensee T, Haybaeck J. Revie; Steatosis and Steatohepatitis:
! 58!
Complex Disorders. Int. J. Mol. Sci. 2014;15:9924-9944.
12. Sulaiman, Akbar, Lesmana, Noer. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta:
Jayabadi, 2007.
13. Inoue S, Zimmet P. The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and Its
Treatment. Australia: Health Communications Australia, 2000.
14. Fan JG, Farrell GC. Review; Epidemiology of non-alcoholic fatty liver disease in
China. Journal of Hepatology. 2009; 50: 204–210.
15. Hsiao TJ, Chen JC, Wang JD. Paper; Insulin resistance and ferritin as major
determinants of nonalcoholic fatty liver disease in apparently healthy obese
patients. International Journal of Obesity . 2008; 28: 167–172 .
16. Chalasani N, Younossi Z, Lavine JE, Diehl AM, Brunt EM, Cusi K, et al. The
Diagnosis and Management of Non-alcoholic Fatty Liver Disease: Practice
Guideline by the American Association for the Study of Liver Diseases,
American College of Gastroenterology, and the American Gastroenterological
Association. Am J Gastroenterol. 2012; 107: 811–826.
17. Cheah WL, Lee PY, Chang CT, Mohamed HJ, Wong SL. Prevalence Of
Ultrasound Diagnosed Non- Alcoholic Fatty Liver Disease Among Rural
Indigenous Community Of Sarawak And Its Association With Biochemical And
Anthropometric Measures. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2013
March; 44: 309-317.
18. Dowman JK, Tomlinson JW, Newsome PN. Review; Pathogenesis of non-
alcoholic fatty liver disease. Q J Med . 2010; 103: 71-83.
19. Bellentani S, Marino M. Epidemiology and natural history of non-alcoholic fatty
liver disease (NAFLD). Annals of Hepatology. 2009; 8(1): S4-S8.
20. Sass DA, Chang P, Chopra KB. Nonalcoholic Fatty Liver Disease: A Clinical
Review. Digestive Diseases and Sciences. 2005 January; 50(1): 171-180.
21. Amarapurkar DN, Hashimoto E, Lesmana LA, Sollano JD, Chen PJ, and Goh
KL. How common is non-alcoholic fatty liver disease in the Asia– Pacific region
and are there local differences? J of Gastroenterol Hepatol. 2007;22:788–793.
22. World Gastroenterology Organisation. World gastroenterology organization
! 59!
global guideline; Non-Alcoholic Fatty Liver Disease and Non-Alcoholic
Steatohepatitis. USA: World Gastroenterology Organisation, 2012.
23. Porth CM, Matfin G. Pathophysiology Concepts of Altered Health States. 8th ed.
China: Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins, 2009.
24. Chitturi S, Farrell GC, George J. Review; Non-alcoholic steatohepatitis in the
Asia–Pacific region: Future shock?. Journal of Gastroenterology and
Hepatology. 2004; 19: 368-374.
25. Farrel GC, Chitturi S, Lau GK, Sollano JD. Guidelines for the assessment and
management of non-alcoholic fatty liver disease in the Asia–Pacific region:
Executive summary. Journal of Gastroenterology and Hepatology . 2007; 22:
775–777.
26. Schreuder TC, Verwer BJ, Nieuwkerk, Mulder CJ. Review; Nonalcoholic fatty
liver disease: An overview of current insights in pathogenesis, diagnosis and
treatment. World J Gastroenterol. 2008 April 28; 14(16): 2474-2486.
27. Abenavoli L, Milic N, Peta V, Alfieri F, Lorenzo AD, Bellentani S. WJG 20th
Anniversary Special Issues (12): Nonalcoholic fatty liver disease; Alimentary
regimen in non-alcoholic fatty liver disease: Mediterranean diet. World J
Gastroenterol. 2014 December 7; 20(45): 16831-16840.
28. Puspitasari E. Evidence Based Case Report; Manfaat Probiotik pada
Penatalaksanaan Penyakit Perlemakan Hati Non Alkoholik. Jakarta: FKUI. 2013.
Tesis.
29. Iser D, Ryan M. Fatty Liver Disease; A Practical Guidline for GPs. AFP. 2013
July;42(7):444-447. Available at http://www.racgp.org.au/afp/2013/july/fatty-
liver-disease/
30. Wilborn C, Beckham J, Campbell B, Harvey T, Galbreath M, Bountry PL, et al.
Obesity: Prevalence, Theories, Medical Consequences, Management, and
Research Directions. Journal of the International Society of Sports Nutrition.
2005; 2(2): 4-31.
31. Qureshi K, Abrams GA. Metabolic liver disease of obesity and role of adipose
tissue in the pathogenesis of nonalcoholic fatty liver disease. World J
! 60!
Gastroenterol. 2007 July 14; 13(26): 3540-3553.
32. AGA Technical Review on Nonalcoholic Fatty Liver Disease. Gastroenterology.
2002;123:1705–1725
33. Sass DA, Chang P, Chopra KB. Nonalcoholic Fatty Liver Disease: A Clinical
Review. Digestive Diseases and Sciences 2005; 50: 171-180.
34. Fabbrini E, Sullivan S, Klein S. Obesity and Nonalcoholic Fatty Liver Disease:
Biochemical, Metabolic and Clinical Implications. Hepatology. 2010 February;
51(2): 679–689.
35. Amirkalali B, Poustchi H, Keyvani H, et al. Prevalence of Non-Alcoholic Fatty
Liver Disease and Its Predictors in North of Iran. Iranian J Publ Health. 2014
September; 43(9): 1275-1283.
36. Rafique T, Zeba Z, Zinnat R, Ali L. Core Components of the Metabolic
Syndrome in Nonalcohlic Fatty Liver Disease. IOSR Journal of Biotechnology
and Biochemistry. 2015;1 (2): 21-25.
37. Younossi ZM, Stepanova M, Negro F, Hallaji S, Younossi Y, Lam B, Srishord
M. Nonalcoholic fatty liver disease in lean individuals in the United States.
Medicine (Balti- more) 2012; 91: 319-327.
38. Pan JJ, Fallon MB. Gender and racial differences in nonalcoholic fatty liver
disease. World J Hepatol. 2014 May 27; 6(5): 274-283.
39. Lazo M, Clark JM. The Epidemiology of Nonalcoholic Fatty Liver Disease: A
Global Perspective. Semin Liver Dis. 2008; 28(4): 339-350.
40. Hamaguchi M, Kojima T, Ohbora A, et al. Aging Is A Risk Factor Of
Nonalcoholic Fatty Liver Disease In Premenopausal Women. World J
Gastroenterol. 2012 January 21; 18(3): 237-243.
41. RISKESDAS 2007. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2008.
42. Li G, Cheng Z, Wang C, Liu A, He Y, Wang P. Prevalence Of And Risk Factors
For Non-Alcoholic Fatty Liver Disease In Community-Dwellers Of Beijing,
China. OA Evidence-Based Medicine. 2013 August 1; 1(1):10.
43. Hallsworth K, Thoma C, Moore S, Ploetz T, Anstee QM, Taylor R, et al. Non-
! 61!
alcoholic fatty liver disease is associated with higher levels of objectively
measured sedentary behaviour and lower levels of physical activity than matched
healthy controls. Frontline Gastroenterology. 2014 May 12; 0: 1-8.
! 62!
LAMPIRAN 1
a. Jadwal Penelitian
b. Anggaran Penelitian
No Keterangan Total Biaya (Rp)
1 Biaya ATK 1.000.000
2 Biaya Administratif 1.250.000
3 Biaya Pengambilan rekam
medis
500.000
4 Biaya tidak terduga 500.000
Total Biaya 3.250.000
No Kegiatan Bulan ke-
1 2 3 4 5 6
1 Proposal dan Pengajuan Izin √ √
2 Pelaksanaan Penelitian √ √
3 Analisis Data √
4 Penulisan Laporan √
5 Publikasi √
! 63!
LAMPIRAN 2
a. Surat Izin Penelitian dan Kajian Etika Penelitian
! 64!
! 65!
! 66!
LAMPIRAN 3
1. Hasil Analisis Data
a. Grafik Gambaran Kadar Trigliserida dan High Density Lipoprotein (HDL) pada
Pasien PPHNA dengan Obesitas
! 67!
b. Grafik Gambaran Kadar Gula Darah Puasa (GDP) dan Gula Darah Darah 2 Jam
Postprandial (GD2PP) pada Pasien PPHNA dengan Obesitas
! 68!
c. Grafik Gambaran Tipe Obesitas Pada Pasien PPHNA
! 69!
LAMPIRAN 4
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : Noor Shabrina
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Tangerang, 22 Desember 1994
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Perumahan Benda Baru, Jalan Bhayangkara Blok
E26, Pamulang, Tangerang Selatan
Nomor Telepon/HP : 085775222789
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
1) Tahun 2000 – 2006 : Sekolah Dasar Negeri Sarua 06
2) Tahun 2006 – 2009 : Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Pamulang
3) Tahun 2009 – 2012 : Madrasah Aliyah Al-Hamidiyah Depok
4) Tahun 2012 – sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta