12
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1. Ruang Publik
Pada bab I telah dibahas sedikit mengenai ruang publik, yang saat ini akan
kita tinjau kembali secara teoritis. Ruang publik (McCarthy, 2009 : 17) adalah
ruang dimana opini publik dapat dibentuk melalui diskusi tanpa kekangan dari
masalah-masalah kepentingan umum, dibebani fungsi kritik dan kontrol dalam
pengejewantahan teknologi ke dataran praktis. Pemikiran tentang ruang publik
datang pula dari Douglas Kellner, yang mengatakan :
“The principles of the public sphere involved an open discussion of all
issues of general concern in which discursive argumentation was employed
to ascertain general interests and the public good. The public sphere thus
presupposed freedoms of speech and assembly, a free press, and the right to
freely participate in political debate and decision-making”1.
Melalui tokoh pemikiran yang cukup sentral dalam ruang publik saat ini
adalah Jurgen Habermas dengan pemikiran teori kritis. Menurut Habermas ruang
publik adalah :
“Maka itu, ruang publik politis ‘tidak lain daripada hakikat kondisi-
kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan
aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara
dapat berlangsung” (Habermas,dalam Hardiman, 2009 :
134).
Jadi, keberadaan ruang publik adalah suatu ruang di mana opini dan aspirasi
dalam bentuk ide, kritik, argumentasi, pendapat, kemudian diolah dalam suatu
proses diskusif. Hasil dari berjalannya suatu ruang publik sendiri adalah untuk
1 Douglas Kellner, dalam makalah “Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention” : hal.5
13
tujuan adalah untuk kebaikan bersama dari anggota ruang publik itu sendiri.
Habermas lebih lanjut mengemukankan :
“ruang publik adalah jaringan manusia privat dalam pelbagai organisasi
masyarakat dapat selalu berperan sebagai pengeras suara (sounding board)
untuk menyuarakan kepentingan publik dalam pelbagai keputusan publik,
baik yang menyangkut politik maupun ekonomi”2.
Ruang publik sendiri tidak hanya menjadi arena diskusif yang membahas
berbagai hal terkait kepentingan dan kebaikan bersama dari anggotanya, tetapi
juga menjadi suatu corong dan sarana opini dan aspirasi yang kemudian dapat
ditindaklanjuti, khususnya untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan publik.
Penyuaraan aspirasi dan opini tersebut tidak hanya terbatas dalam bidang politik,
misalnya mengkritisi pemerintah, tetapi juga bahkan juga bahkan jauh ke dalam
semua aspek kehidupan masyarakat.
Memahami keberadaan ruang publik tidak hanya penting dari hasil ruang
publik itu sendiri. Proses internal dari berjalannya suatu ruang publik sendiri tidak
hanya penting bagi eksistensi suatu ruang publik dalam masyarakat, tetapi juga
penting dalam rangka pemeliharaan atau kontinuitas. Untuk dapat melihat lebih
dalam melihat lebih dalam lagi bagaimana suatu ruang publik secara teoritis
berjalan, habermas memiliki beberapa teori, di antara yang terpenting adalah teori
tindakan komunikatif yang lebih melihat inti dari hubungan interaksi, khususnya
komunikasi intersubjektif, dan teori diskurus yang lebih melihat bagaimana proses
interaksi dalam rangka mencapai suatu pemahaman bersama dan konsensus dapat
dicapai melalui proses diskursus.
2 Habermas, Between Facts and Norms : Contribution to a Discourse Theory of Law and Democracy, 1997, dalam ringkasan Disestasi Alexander Seran, Etika Diskursus Jurgen Habermas : Sumbangannya Bagi Pemahaman Undang‐Undang Dasar 1945 dan Hubungannya Dengan Pancasila, Universitas Indonesia : hal. 40
14
2.1.1. Teori Komunikasi
2.1.1.1. Tindakan Komunikatif
Teori ini bertitik tolak dari pandangan tentang bagaimana proses interaksi
antarmanusia. Habermas memiliki keyakinan bahwa tindakan antarmanusia atau
interaksi sosial tidak begitu saja terjadi dan muncul, melainkan karena pada
dasarnya hubungan antarmanusia adalah bersifat rasional. Sifat rasional ini
mendorong manusia untuk mengorientasikan diri pada pencapaian pemahaman
satu sama lain (Hardiman, 2009 : 34). Pemahaman yang rasional antarmanusia
inilah yang kemudian mendorong berbagai tindakan manusia di dalam kehidupan
sehari.
Proses untuk mencapai kesepahaman itu sendiri dapat tercapai melalui
proses komunikasi. Dengan menonjolkan interaksi yang komunikatif, manusia
dapat mencapai sutu kesepahaman dengan yang manusia lainnya.
“tindakan komunikatif adalah interpretasi yang diperantarai secara
linguistik yang di dalamnya semua partisipan ingin mencapai suatu tujuan-
tujuan ilokusioner, dengan tindakan komunikasi sebagai perantaranya” (Habermas, 2009 : 362)
Melalui tindakan komunikatif antarmanusia tidak hanya kesepahaman yang akan
muncul, tetapi juga menjadi suatu suatu sarana tindakan untuk mencapai tujuan
yang bersifat individu maupun bersama. Dalam tindakan melakukan tindakan
komunikatif terjadi suatu pertemuan rasional dalam rangka kesepahaman bersama
antar manusia, yang dapat bermanfaat secara individu maupun bersama bagi
partisipan tindakan komunikatif itu sendiri.
Pada tindakan komunikatif dalam interaksi manusia di dalam sistem
masyarakat, hubungan antarmanusia tidak mencapai suatu kesepahaman begitu
saja. Kesepahaman itu dapat terjadi hanya dengan memposisikan diri dan
bertindak dalam sistem masyarakat. Manusia dapat memposisikan diri dalam
masyarakat dan mencapai suatu kesepahaman dengan manusia lain, menurut
15
habermas memerlukan arahan tertentu, yaitu rasio komunikatif. Arahan ini
melihat bahwa manusia yang melakukan tindakan komunikatif menyadari bahwa
dia berada dalam suatu sistem yang memproduksi simbol-simbol dalam berbagai
bentuk dalam tatanan masyarakat. Keadaan dari sistem itu pada akhirnya dapat
mempengaruhi komunikasi antarmanusia, dan simbol tersebut hanya dapat
dipahami dengan cara penafsiran yang juga melalui hubungan komunikatif antar
indidu.
“Rasio komunikatif tidak merujuk pada subjek yang menjaga dirinya dalam
berhubungan dengan objek melalui representasi tindakan, ataupun pada
sistem penjagaan-diri yang memisahkannya dari lingkungan, melainkan
pada suatu suatu tatanan dunia yang terstruktur secara simbolis yang
terbentuk dalam kegiatan menafsir para anggotanya dan hanya bisa
direproduksi melalui komunikasi. Dengan demikian rasio komunikatif tidak
sekedar melawan subjek dan sistem yang telah dibuat sebelumnya; namun,
dia juga ambil bagian dalam proses strukturisasi hal-hal yang
dipertahankan” (Habermas, 2009 : 489)
Konsekuensi dari keadaan suatu sistem itu sendiri menuntut manusia
melakukan penafsiran bersama atas simbol-simbol yang mereka gunakan dalam
tindakan komunikatif. Rasio komunikatif mencoba menuntun hubungan antar
manusia untuk mencapai suatu kespahaman bersama. Untuk dapat mencapai suatu
kesepahaman dari keadaan tersebut diperlukan suatu tindakan “pengambilalihan
perspektif” yang artinya turut mencoba mengandaikan suatu perspektif dari pihak
partner atau orang lain yang terlibat dalam tindakan komunikatif.
Tindakan komunikatif yang menggunakan pengambilalihan perspektif
tidak hanya memungkinkan terjadinya kesepahaman tetapi juga menjadi
pengantara untuk rasionalitas yang dimiliki dalam masing-masing manusia
partisipan tindakan komunikatif, yang kemudian kemudian dijadikan rasionalitas
bersama.
‘Konsep rasionalitas yang mengandung pengertian yang didasarkan pada
pengalaman inti yang bebas kendala, padu, dan menjembatani konsensus, di
mana berbagai partisipan yang terlibat melampaui pandangan subjektif
16
mereka dan meyakinkan diri mereka akan kesatuan dua objektif mereka dan
intersubjektivitas dunia-kehidupan mereka karena mereka telah memiliki
mutualis keyakinan yang berlandaskan kerasionalan” (Habermas, 2009 :
13).
Interaksi dalam tindakan komunikatif antarmanusia tidak hanya diwarnai oleh
suatu komunikasi yang tanpa paksaan. Habermas mengemukakan bahawa dalam
mecapai suatu kesepahaman, manusia juga dapat melakukan tindakan strategis
adalah suatu model tindakan yang berasal dari perluasan model tindakan
teleologis. Tindakan stratgeis menurut habermas adalah :
“..ketika perhitungan seorang agen tentang keberhasilannya masuk
antisipasi tentang keputusan-keputusan yang mungkin diambil setidaknya
oleh satu orang agen lain yang mempunya tujuan sama.....aktor
hendaknya memiliki dan mengkalkulasikan tujuan dari sudut
maksimalisasi keuntungan atau harapan akan keuntungan” (Habermas,
2009 : 108)
Dalam melakukan tindakan komunikatif, seorang manusia atau individu dengan
membawa rasionalitas dan juga harapan tertentu. Tindakan strategis adalah upaya
untuk mengantisipasi dan memenangkan suatu rasionalitas dan tujuan individu di
atas individu lain, sehingga kesepahaman yang terjadi bukan berdasarkan pada
rasionalitas tanpa paksaan, tetapi sudah mendapat suatu tekanan-tekanan dari
individu lain.
Untuk memahami tindakan komunikatif dengan konteks di atas, perlu
dipahami pula unsur dalam tindakan komunikatif itu sendiri, yaitu bahasa. Dalam
menggunakan bahasa untuk saling memahami, menurut Habermas ada tiga
kategori pernyataan yang digunakan yang disebut dengan sikap performatif, yaitu
pernyataan yang bersifat empiris-objektif, subjektif, dan normatif. Ketiga
pernyataan tersebut diistilahkan dengan dimensi kesahihan atau dengan istilah
17
Habermas adalah “dunia” (welten) karena mengacu pada bidang-bidang
pemahaman yang berbeda-beda (Hardiman, 2009 : 36).
Tindakan komunikatif adalah suatu upaya interaksi antarmanusia atau
intersbujektif untuk mencapai suatu konsensus. Suatu konsensus dapat dikatakan
rasional, hanya jika para partisipan komunikasi dalam tindakan komunikatif dapat
menyatakan sikap dan pendapatnya terhadap klaim-klaim kesahihan secara bebas
dan tanpa paksaan. Pada bagian ini, kemampuan individu dalam menyatakan
pendapat dan sikap, sekaligus mendengarkan pendapat dan sikap klaim kesahihan
individu lain akan menjadi suatu penentu dalam keputusan tiap partisipan untuk
“menerima atau menolak” (ja-odernein-stellungsnehme) klaim-klaim kebenaran
itu dalam rangka mencapai kesepahaman atau konsensus. Hal ini berarti, klaim-
klaim kesahihan itu harus serentak benar, tepat dan jujur sehingga pendengar
dapat mengambil sikapnya” (Hardiman, 2009 : 37)
Pada proses tindakan komunikatif di atas adalah suatu proses komunikasi
yang sifatnya reflektif. Namun tidak selalu proses komunikasi bersifat reflektif.
Dalam konteks tindakan komunikatif, terdapat pula komunikasi yang berlangsung
secara naif, dimana simbol-simbol dan klaim kesahihan yang diterima begitu saja
secara naif khususnya dalam praksis kehidupan sehari-hari. Jadi tindakan
komunikatif dapat berbentuk reflektif maupun naif.
2.1.1.1.1. Lebenswelt Atau Dunia Kehidupan
Pada pemikiran tentang tindakan komunikatif telah dijelaskan bahwa
manusia selalu berusah untuk melakukan interaksi secara komunikatif untuk
mencapai suatu kesepahaman atau konsensus. Habermas sendiri sendiri
menyadari bahwa tiap individu-individu partisipan dari tindakan komunikatif
memliki suatu latar belakang yang membangun rasionalitasnya, baik secara
indvidual maupun komunal (kelompok). Latar belakang ini kemudian meminjam
dari Edmund Husserl sebagai lebenswelt atau dunia-kehidupan.
Subjek yang bertindak secara komunikatif selalu sampai kepada
pemahaman akan cakrawala suatu dunia-kehidupan. Dunia kehidupan
18
mereka terbentuk dari keyakinan-keyakinan mereka yang kurang lebih
tersebar, tidak selalu problematis dan berlatar belakang. Latar belakang
dunia sosial ini berfungsi sebagai sumber-sumber definisi yang diyakini
oleh partisipannya sebagai sesuatu yang tidak bersifat problematis (Habermas, 2009 : 89).
Proses komunikatif yang terjadi dalam lebenswelt adalah proses komunikatif yang
diterima partisipan dalam praksis kehidupan sehari-hari. Proses dalam lebenswelt
ini kemudian apabila dikontekskan dengan tindakan komunikatif, akan lebih
menonjolkan komunikasi yang sifatnya naif.
“....para anggota masyarakat komunikasi memisahkan dunia subjektif dan
dunia sosial yang dimiliki bersama secara intersubjektif dengan dunia
subjektif individu dan kelompok (lain). Konsep dunia ini dan klaim
validitas yang terkait dengannya kemudian menjadi panggung formal yang
di atasnya orang-orang berakting (bertindak) secara komunikatif dalam
menggunakan konteks-konteks situasi problematis, yang menemukan
kesepakatannya, di dunia kedupan mereka, yang diyakini sebagai sesuatu
yang tidak problematis” (Habermas, 2009 : 89-90).
Keadaan komunikasi yang demikian membentuk rasionalitas pada partisipan
komunikasi bahwa kebanyakan klaim-klaim kesahihan yang dapat
dikomunikasikan secara reflektif, namun pada akhirnya dikomunikasikan dan
dipahami secara naif. Habermas melihat bahwa keadaan ini sangat berlaku pada
masyarakat tradisional di mana banyak klaim-klaim kesahihan yang diterima
secara naif bahkan sudah terinsititusi di dalam masyarakat.
Dalam hal ini bukan berarti kemampuan reflektif partisipan, yang berada
dalam lebenswelt, menjadi terabaikan. Komunikasi yang naif terjadi hanya pada
kelompok masyarakat yang memiliki sosiokultural yang sama. Masyarakat sendiri
tidak terisolir atau terpisah dari masyarakat lain di luarnya, dalam konteks
interaksi, sehingga memungkinkan adanya pertemuan-pertemuan antara
masyarakat yang berbeda sosiokultural. Pada titik inilah kemudian lebenswelt
yang satu kemudian bertemu dengan lebenswelt yang lain, yang memungkinkan
terjadinya tindakan komunikatif, dalam rangka mencapai pemahaman bersama.
19
2.1.1.2. Etika diskursus
2.1.1.2.1. Diskursus
Pada hamparan teoritis sebelumnya dijelaskan bahwa bahwa tindakan
komunikatif antarmanusia bersifat rasional, dan rasionalitas tersebut terbangun
dari lebenswelt yang melingkupi komunikasi sehari-hari partisipan komunikasi.
Untuk melihat lebih dalam lagi bagaimana konsensus atau kesepahaman tercapai,
Habermas mengemukakan satu teori lagi yang tidak terlepas dari lebenswelt dan
tindakan komunikatif, yaitu diskursus.
Diskursus adalah suatu bentuk tindakan komunikatif yang lebih mengarah
pada komunikasi yang reflektif. Lebih dari itu, diskursus menawarkan suatu
konsensus diperlukannya komunikasi yang tinggi tingkatannya atas sesuatu yang
diproblematisasikan. Keadaan komunikasi ini lebih mendorong para partisipannya
untuk mengeluarkan klaim-klaim kesahihan dan kemudian mengujinya untuk
mendapatkan kesepahaman atau konsensus bersama3. Diskursus dalam tindakan
komunikatif tidak hanya sekedar suatu komunikasi reflektif, di mana klaim-kalim
kesahihan di ungkapkan dan kemudian tergantung pada kemampuan reflektif
partisipan untuk setuju atau tidak hingga mencapai kesepahaman atau konsensus.
Dalam diskursus dituntut tingkat reflektif lebih tinggi, dengan melakukan
pengujian-pengujian klaim kesahihan.
Untuk menjalankan diskursus, dimana komunikasi refektif tingkat tinggi
diperlukan, maka secara otomatis akan memberikan beberapa dampak pada proses
komunikasi dalam diskursus itu sendiri. Pada diskursus, lebenswelt yang menjadi
latar belakang partisipan diskursus, akan berubah menjadi latar depan, karena
partisipan menggunakan rasionalitas yang mereka miliki. Lebih lanjut lagi,
3 F. Budi Hardiman : Etika Politik Habermas, hal.6. (makalah disampaikan dalam Seri Kuliah Filsafat “etika Politik” di Komunitas Salihara, Sabtu 20 November 2010, untuk sesi “Jurgen Habermas tentang Etika Politik).
20
pertemuan antar lebenswelt dari para partisipan akan menyebabkan hanya
sepenggal lebenswelt yang akan mereka bawa dalam diskursus. Pada proses
diskursus seolah meninggalkan lebenswelt mereka untuk menyelesaikan masalah
yang mereka ambil lebenswelt mereka secara rasional. Dengan kata lain mereka
mencoba untuk meninggalkan kepentingan partikular, untuk mencoba untuk
mengarahkan diri pada kepentingan bersama
Pada proses komunikasi reflektif, pendapat dan pernyataan menjadi unsur
yang diperlukan untuk mencapai suatu kesepahaman. Dalam diskursus, terdapat
penambah unsur, yaitu kritik. Unsur pernyataan dan pendapat kemudian diperluan
menjadi konsep argumentasi. Konsep ini menyangkut apakah klaim-klaim
kesahihan dapat diuniversalkan atau terkait pada konteks tertentu. Klaim-klaim
kesahihan dalam diskurus mengarah pada dua hal, yang pertama klaim-klaim
kesahihan yang kontroversial dapat diuniversalkan. Yang kedua, klaim-klaim
kesahihan yang bersifat evaluatif dan ekspresional (kritik) tetap terikat pada
konteks tertentu. Keterikatan dengan konters tersebut membuat kritik bukan
sebagai suatu ciri, tetapi sudah melekat di dalam diskursus itu sendiri (Hardiman,
2009 : 45). Jadi habermas tidak hanya mengemukakan konsep argumentasi yang
dapat memberikan pengujian kepada klaim-klaim kesahihan yang dapat
diuniversalkan. Argumentasi di dalam diskursus juga memberikan pengujian
kepada klaim-klaim kesahinan yang sifatnya kontekstual, sesuai dengan
problematikan yang hendak diselesaikan di dalam diskursus.
2.1.1.2.2. Diskursus Praktis
Dalam menjalankan proses diskursus itu sendiri, habermas mengatakan
perlu adanya suatu media bagi diskurus itu sendiri untuk dapat melakukan
pengujian-pengujian terhadap klaim kebenaran.
“Media tempat kita dapat menguji secara hipotesis apakah suatu tindakan
dapat justifikasi dengan netral, terlepas dari apakah media itu diakui secara
21
aktual atau tidak, adalah diskursus praktis, inilah bentuk argumentasi di
mana klaim ketepatan norma ditematisasikan” (Habermas, 2009, 24)
Media yang dimaksud dapat memberikan justifikasi dengan netral adalah suatu
media yang dapat menjamin bahwa setiap setiap partisipan dalam tindakan
komunikatifnya, benar-benar mencoba untuk mengemukankan dan menguji
klaim-klaim kesahihan dalam kerangka mencapai konsensus yang dapat
menjawab problematisasi bersama. Media ini kemudian memiliki prosedur-
prosedur di dalamnya saat melakukan tindakan komunikatif. Dengan demikian
diskursus praktis kemudian diarahkan pada diskursus di mana para anggota
mempersoalkan klaim ketepatan dari norma yang mengatur tindakan mereka.
Pada diskursus yang diuji bukanlah ketepatan atau kebenaran dari klaim-
klaim kesahihan yang ada. Diskursus praktis adalah pengujian pada ketepatan
klaim-klaim kesahihan yang terkait dengan norma-norma atau pengaturan
tindakan intersubjektif. Dalam diskursus praktis sangat diutamakan bagaimana
membahas dan menyelesaikan berbagai problematisasi yang terkait dengan
tindakan, aturan, pengambilan sikap, dan semua hal yang terkait interaksi, baik
secara individu maupun bersama bagi para partisipan.
2.1.1.2.2.1 Prosedur komunikasi
Diskursus praktis adalah suatu bentuk komunikasi dengan tingkat reflektif
yang tinggi dalam mencapai konsensus bersama. Dalam diskursus praktis juga
klaim-klaim kesahihan yang terkait dengan norma-norma tindakan diujikan.
Pengujian itu sendiri tidak berjalan dengan begitu saja, dimana para peserta
melakukan pengujian atas dasar sekehendak hati. Dalam tindakan komunikatif
yang mencapai bentuk diskursus, diperlukan suatu pemahaman timbal balik untuk
mencapai konsensus. Untuk proses tersebut diperlukan suatu prosedur dimana
melalui prosedur tersebut kesepahaman atau konsesus bersama dapat dicapai.
Untuk mencapai suatu konsensus yang legitim tentang norma-norma
tindakan bersama diperlukan prasyarat-prasayarat tertentu, yaitu idealisasi yang
22
kemudian diikuti oleh prosedur komunikasi yang digunakan di dalam suatu
diskursus praktis. Idealisasi adalah suatu proses mengandaikan suatu keadaan
komunikasi yang ideal di dalam diskursus praktis. Idealisasi tidak hanya sampai
pada pengandaian keadaan yang ideal, tetapi sampai pada pengandaian itu sendiri
menjadi suatu aturan-aturan di mana keadaan ideal diatur dalam suatu aturan-
aturan komunikasi ideal (Hardiman, 2009 : 48). Pengandaian yang di maksud
tentunya bukanlah suatu pengandaian yang dilakukan secara otonom oleh
subjektif dan kemudian berlaku. Pengandaian tersebut dilakukan secara
intersubjektif yang kemudian di praksiskan dalam suatu prosedur komunikasi
(diskursus) secara intersubjektif pula.
Dalam argumennya terkait prosedur komunikasi, Habermas mengikuti
saran dari Robert Alexy dan merumuskan prosedur komunikasi sebagai berikut :
“(...1) Semua subjek yang mampu berbicara dan bertindak boleh ikut serta
dalam diskursus. (...2) a. Setiap peserta boleh mempermasalahkan tiap
pendapat. b. Setiap peserta boleh mengajukan pendapat apapun di dalam
diskursus. c. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-
keinginan, dan kebutuhan-kebutuhannya. (...3) Tak seorang pembicarapun
boleh dihalangi untuk melaksanakan hak-haknya yang tercantum dalam
(...1) dan (...2)” (Habermas, dalam Hardiman, 2009 : 48)”
Apabila coba untuk dirumuskan lebih pada lagi, dapat dikatakan bahwa diskursus
praktis haruslah bersifat inklusif, egaliter, dan bebas dominasi atau paksaan. Hal
ini sangat penting untuk menjaga kenetralan dalam menguji klaim-klaim
kesahihan dan mencapai konsensus yang diterima secara intersubjektif.
Berdasarkan pada rumusan prosedur komunikasi Habermas di atas, Budi
hardiman membuat suatu asumsi tentang prosedur komunikasi yang tersembunyi4
(Hardiman, 2009 : 48-49). Yang pertama keikutsertaan didalam sebuah diskursus
hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara
konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut. Kedua,
4 Asumsi ini telah dipaparkan pada bab I, Latar Belakang Masalah
23
kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam diskursus hanya dapat terwujud,
jika setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak
memihak dan memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom
yang tulus, bertanggungjawab dan sejajar dan tidak menganggap ini hanya
sebagai saran belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum
yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan
tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat tanpa
“paksaan”, tak memaksa dari argumen yang lebih baik
2.1.2.3. Prinsip Universalitas dan Prinsis Etika Diskursus
Dalam suatu diskursus, tentunya akan selalu ada harapan dari tiap
partisipan bahwa kepentingannya akan terwujud. Adalah sangat wajar ketika
setiap subjek memiliki kepentingan dan membawanya ke dalam suatu diskursus.
Partisipan mungkin saja melakukan diskursus dalam rangka pemenuhan
kepentingan pribadi. Lalu bagaimana apabila hal ini terjadi dalam proses
diskursus?
Menurut Habermas hal seperti itu sangat wajar terjadi. Diskursus tidak
menutup diri pada kepentingan pribadi, karena kepentingan bukanlah sesuatu
yang sifatnya statis, melainkan dinamis. Kepentingan terbentuk melalui proses
intersubjektif dan ketika dicoba untuk dikomunikasi, khususnya melalui
diskursus, kepentingan subjektif yang satu akan berbenturan dengan kepentingan
subjektif yang lain. Benturan ini akan menimbulkan konfrontasi ini terjadi dalam
cakupan pengujian-pengujian klaim-klaim kesahihan, dan justru keadaan inilah
yang akan membentuk suatu konsensus terkait kepentingan bersama secara
intersubjektif (Hardiman, 2009 : Hal.50-51). Adanya suatu benturan kepentingan
dalam suatu pengujian klaim-klaim kebenaran akan memaksakan setiap subjektif
partisipan untuk mengambil suatu jalan tengah di mana kepentingan mereka dapat
24
tercapai, namun tanpa mengabaikan kepentingan subjektif partisipan lainnya.
Dapat dikatakan keadaan ini lebih tampak pada keadaan win-win solution.
Proses menguji dan merumuskan suatu norma yang berasal dari klaim-
klaim kesahihan dalam diskursus praktis sendiri, belum tentu semua orang dapat
termasuk dalam cakupan norma itu dapat hadir dan mengikuti diskursus. Untuk
keadaan yang demikian, Habermas merumuskan suatu prinsip etika diskursus.
“bahwa setiap norma yang sahih kiranya akan mendapat persetujuan dari
semua orang yang bersangkutan dengannya, seandainya orang-orang ini
dapat ikutserta di dalam sebuah diskursus praktis” (Habermas, dalam
Hardiman, 2009 : 51)
Dari rumusan tersebut berarti bahwa norma-norma yang sahih dituntut harus
sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang diuniversalkan. Norma dari hasil
diskursus harus bisa diterima bhkan oleh subjektif-subjektif yang tidak ikut hadir
dalam diskursus, namun berada dalam cakupan norma tersebut. Untuk itu, para
partisipan di dalam diskursus dituntut untuk mengandaikan suatu bentuk klaim-
klaim kesahihan yang digunakan untuk membuat konsensus, yang bisa diterima
semua orang yang terkait dengan konsensus itu sendiri. Dalam prinsip ini
tersembuyi suatu prinsip yang disebut prinsip universalitas atau prinsip “U”.
Prinsip universalitas tidak lain adalah aturan argumentasi sendiri, yang ada
dalam proses berjalannya diskursus praktis.
“Setiap Norma yang sahih harus memenuhi memenuhi prasayarat bahwa
efek-efek samping yang barangkali terjadi karena kepatuhan umum untuk
pemenuhan kepentingan setiap individu dapat diterima tanpa paksaan oleh
semua orang yang bersangkutan dengan norma itu” (Habermas, dalam
Hardiman, 2009 : 52)
Jadi, untuk menjamin bahwa norma-norma dari hasil konsensus diskursus praktis
haruslah melewati atau memenuhi prasyarat diskursus praktis sendiri. Prasyarat
25
itu antara lain sudah di jelaskan, yaitu adanya idealisasi dan prosedur komunikasi.
Dengan pemenuhan prasayarat dalam diskursus maka norma yang hasilkan
dipatuhi oleh semua pihak yang terkait.
Prinsi “U” sendiri adalah suatu saringan akan kepentingan, antara
kepentingan yang dapat di universalkan dan kepentingan yang partikular. Yang di
maksud dengan kepentingan yang dapat diuniversalkan adalah persoalan yang
terkait dengan moral dan kepentingan yang partikular adalah persoalan yang
terkait dengan peroalan etis. Menurut habermas, kepentingan yang etis harus
mengalah pada kepentingan moral. Hal ini dikarenakan kepentingan etis adalah
kepentingan yang memihak dan berdasarkan sejarah kehidupan individu sehingga
tidak bersifat universal dan sulit diterima secara intersubjektif dalam rangka
diskursus praktis. Sedangkan moral bersifat tidak memihak, netral, dan universal,
sehingga bisa diterima secara intersubjektif dalam proses diskursus (Hardiman,
2009 : 52).
2.2 Ruang publik Dalam Ranah Demokrasi
Pada pemaparan sudah di jelaskan secara teoritis mengenai ruang publik.
Lalu bagaimana hubungan antara ruang publik dan demokrasi? Ruang publik
adalah suatu sarana, yang di mana terhadap jaringan-jaringan dan hubungan
intersubjektif yang berusaha mencapai suatu kesepahaman atau konsensus secara
diskursif. Demokrasi sendiri adalah suatu sistem yang mengutamaka kesertaan
tiap orang yang ada di dalamnya terkait berbagai hal khususnya dalam
mengeluarkan pendapat, yang disebut “logika persaman”(Dahl, 2001 : 12).
Kata demokrasi sendiri adalah kata yang berasal dari bahasa Yunani yang
berarti demos dan kratos yang berarti, demos adalah rakyat dan kratos adalah
adalah pemerintahan (Dahl, 2001 : hal.14). Dapat diartikan bahwa demokrasi
adalah pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Pemerintah dibentuk untuk
memenuhi kepentingan dan kebutuhan dari rakyat itu sendiri, sehingga orientasi
26
dari kekuasaan, bukanlah penguasa, namun masyarakat sendirilah yang menjadi
orientasi kekuasaan.
Konsekuensi dari demokrasi sendiri adalah terdapat permasalahan,
bagaimana menjalankan suatu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat
sendiri. Permasalahan yang muncul dalam pertanyaan tersebut diatasi dengan cara
pembuatan keputusan bersama secara koletif. David Beetham dan Kevin Boyle
(dalam Dwiyatmi, 2010 : 242) berpendapat bahwa demokrasi adalah salah satu
cara dalam membuat keputusan kolektif. Keputusan kolektif adalah keputusan
yang menyangkut kepentingan bersama.
Melihat dari pengertian dari demokrasi di atas, menunjukan bahwa demokrasi
dan ruang publik, pada prinsipnya mengutamakan konsensus. Lalu bagaimana
proses mencapai konsensus, dalam mencapai keputusan bersama pada sistem
demokrasi? Dahl mengemukakan bahwa ada lima (5) standar dalam demokrasi.
1. Partisipasi efektif : sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh suatu asosiasi,
seluruh anggota harus mempunya kesempatan yang sama dan efektif untuk
membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota lainnya sebagaimana
seharusnya kebijakan itu dibuat.
2. Persamaan suara : ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang
kebijaksanaan itu, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan
efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung sama.
3. Pemahaman yang cerah : dalam batas yang rasional setiap anggota harus
mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-
kebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin.
4. Pengawasan agenda : setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif
untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahan yang dibahas dalam agenda.
Jadi proses demokrasi yang dibutuhkan oleh ketiga kriteria sebelumnya tidak
pernah tertutup. Berbagai kebijakan asosiasi tersebut selalu terbuka untuk dapat
diubah oleh para anggotanya, jika mereka menginginkannya begitu.
27
5. Pencakupan orang dewasa : semua, atau paling tidak sebagian besar, orang
dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan
penuh yang ditunjukan oleh empat kriteria sebelumnya (Dahl, 2001 : 52-53).
Pada gambaran di atas diberikan suatu standar pada pelaksanaan demokrasi
pada suatu asosiasi atau organisasi. Memang standar tersebut lebih dicocokan
pada demokrasi pada tingkatan hubungan antara rakyat dan negara, tetapi tidak
menutup kemungkinan standar tersebut diberlakukan pada asosiasi atau organisasi
masyarakat yang tingkatnya lebih kecil, yang berada dalam lingkup negara
demokratis sendiri. Dahl (Dahl, 2001 : 119) menjelaskan bahwa warga negara
memiliki otonomi asosiasional. Artinya dalam usaha untuk mencapai hak-hak
yang beranekaragam warga negara berhak untuk membentuk perkumpulan atau
organisasi, termasuk partai politik atau kelompok kepentingan yang bebas.
Menilik gambaran demokrasi di atas dan membandingkannya dengan
ruang publik dapat diambil kesimpulan bahwa keduanya memusatkan suatu
pengambilan keputusan yang bedasarkan pada kolektifitas yang komunikatif.
Lebih dari itu, demokrasi membuka kesempatan terciptanya ruang publik yang
kuat melalui otonomi asosiasional, dan kebebasan berpendapat untuk membuka,
menanggapi, menyetujui dan menolak, suatu masalah problematik kehidupan
bersama secara diskursif.
Kesempatan bagi terciptanya ruang publik dalam ranah demokrasi
umumnya diwujudkan dalam suatu bentuk pengambilan keputusan bersama yang
disebut dengan musyawarah. Musyawarah ini tidak hanya di aplikasi pada
tingkatan negara (pemerintahan), tetapi juga berlaku sampai organisasi/asosiasi
yang ada di dalam masyarakat. Dalam musyawarah dituntut adanya pemenuhan
standar-standar demokrasi, dan keadaan inilah yang dapat memberikan peluang
bagi ruang publik, karena dibutuhkan suatu kesepahaman atau konsensus bersama
yang di peroleh secara diskursif.
28
2.3 Lembaga Adat Dayak Sebagai Ruang Publik Sudah dijelaskan bahwa sistem demokrasi ternyata mendukung terciptanya
ruang publik yang diskursif. Sistem demokrasi tidak hanya memberikan
kesempatan yang besar dan kebebasan bagi warga negara untuk bersuara dan
berpendapat, namun sampai memberikan kesempatan pada warga negara untuk
berasosiasi dan berorganisasi dalam rangka kepentingan politik ataupun
kepentingan bebas. Pada tingkatan inilah kemudian, ruang publik yang diskursif
memiliki peluang untuk muncul.
Berangkat dari otonomi asosional yang dimiliki warga negara,
memungkinkan masyarakat mengorganisir diri dalam berbagai bentuk organisasi
dan asosiasi. Salah satu bentuknya adalah masyarakat dayak yang
mengorganisasikan diri dalam lembaga-lembaga adat Dayak5. lembaga Adat
adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara
wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam
suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta
kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk
mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang
berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku6
Lembaga adat Dayak merupakan suatu usaha masyarakat Dayak untuk
mengembangkan diri dalam berbagai hal, mulai dari pendidikan, ekonomi,
kebudayaan, bahkan menjadi suatu corong bagi aspirasi dan opini masyarakat adat
Dayak.
Di sini dapat dilihat bahwa lembaga adat Dayak bukanlah suatu lembaga
tertutup akan opini dan aspirasi yang berbentuk pendapat, argumen, bahkan kritik.
apabila kita mencoba untuk melakukan penyesuaian dengan teori komunikasi
pada bab ini, maka kita dapat melihat ini adalah sautu kesempatan untuk
melakukan tematisasi problematika. Opini dan aspirasi yang berkaitan dengan
5 Untuk sejarah dan bagaimana terbentuknya lembaga-lembaga Adat Dayak dapat diliat pada BAB I Latar Belakang Masalah.
6 PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENATAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN, Bab I, pasal 1, ayat 15.
29
masalah bersama dalam kehidupan masyarakat adat Dayak, di mana apabila dirasa
penting dapat diangkat dalam musyawarah adat yang pesertanya adalah
masyarakat adat, yang dikonvokatori oleh lembaga adat.
Pada musyawarah sendiri peranan dari lembaga adat sebagai media ruang
publik sangatlah penting. Lembaga adat dalam mengadakan suatu musyawarah
adat harus memperhatikan tidak hanya terbatas seberapa banyak yang datang,
problematika apa yang diangkat. Lembaga adat perlu pula memperhatikan
bagaimana menjamin standar demokrasi dapat berjalan dengan baik. Lebih dari
itu, dalam konteks ruang publik, lembaga adat bahkan harus dapat melihat
bagaimana suatu diskursus praktis dapat terjamin dengan adanya suatu prosedur
komunikasi. Dengan pemenuhan syarat dan standar tersebut maka kemungkinan
untuk dapat menciptakan suatu konsensus atau kesepahaman yang diakui (legitim)
dan dipatuhi secara bersama pula, akan lebih besar.
2.4 Kerangka Pikir
Gambar 1
Lebenswelt (Dunia‐Kehidupan)
Lembaga‐Lembaga Adat Dayak Masyarakat Adat Dayak
Problematika (Aspirasi, opini, issu,
info, dll)
Tematisasi Probelmatika
Musyawarah(ruang publik Dikursif)
‐ Diskursus praktis • Prosedur komunikasi
‐ Prinsip Universalitas ‐ Standar demokra
Konsensus (Penolakan FPI di
Kalimantan Tengah)
Ket : Garis putus : Lembaga Adat Dayak yang menjadi Pelaksana sekaligus peserta dari ruang publik
30
31