FENOMENA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA)
PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta untuk
Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Disusun oleh :
MARSHELLENA DEVINTA
08413244004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
MOTTO
“Lepaskan masa lalu tanpa penyesalan namun jadikan pelajaran,
MOTTO
“Lepaskan masa lalu tanpa penyesalan namun jadikan pelajaran, Hadapi hari ini dengan tegar dan percaya diri,
Siapkan masa depan dengan rencana yang matang tanpa ada rasa khawatir” (Hary Tanoesoedibjo
“Ada dua cara untuk menghadapi kesulitan, mengubah kesulitan itu atau mengubah diri sendiri untuk menghadapinya”
(Phyllis Bottome)
“Jangan patah semangat walau apapun yang terjadi, karena jika kita menyerah maka habislah sudah”
(Tom)
“Seringkali, pekerjaan terlihat sangatlah sulit untuk dilakukan. Mengeluhlah karena itu manusiawi, hanya saja jangan nyaman dengannya”
(Doni Hermawan)
“We shall not cease from exploration And the end of all exploring
Will be to arrive where we started And know the place for the first time”
(T.S. Elliot)
“Jangan terlalu larut dalam kesedihanmu, karena jika kamu terlalu larut dalam kesedihanmu sesungguhnya kamu hanya akan bersedih sendirian”
(Penulis)
PERSEMBAHAN
Puji syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang atas segala rahmat yang telah diberikan-Nya, sehingga skripsi ini
akhirnya dapat terselesaikan.
Dengan penuh ketulusan dan rasa hormat, kupersembahkan skripsi ini kepada
kedua orang tua ku, Bapak Agus Waryanto dan Ibuku Siti Lungwiati tercinta,
terimakasih atas doa tulus yang tidak pernah padam menyertai langkahku,
dukungan yang tidak pernah berhenti, kasih sayang dan cinta kasih yang tidak
pernah surut dalam membimbingku serta nasihat untuk meluruskan jalanku akan
selalu menjadi motivasi dalam menggapai cita.
Kubingkiskan untuk Adikku satu-satunya Dinda Imaniska dan keponakan
pertamaku Banu Mahardika yang memberikan semangat dalam warna-warni
hidupku. Terimakasih karena canda, tawa, tangis, amarah, kebersamaan dan
senyum tulus kalianlah yang memompa niatku untuk terus menjadi lebih baik.
Semoga semua cita-cita kita tercapai. Aamiin.
Karya ini juga kubingkiskan untuk Doni Hermawan, seseorang yang mengisi hati
serta hariku dengan ketulusan, kesabaran dan kebahagiaan. Terimakasih telah
hadir, memberikan motivasi dalam menjalani hidupku dan tidak bosan selalu
memberikanku semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
Untuk teman-teman angkatanku Pendidikan Sosiologi 2008, terimakasih atas
masa kebersamaan yang telah kalian berikan. Kini saya datang meyusul kalian
untuk berjuang menggapai cita-cita karena ternyata perjalanan memang masih
panjang membentang.
KATA PENGANTAR
Assalamu „alaikum wr.wb.,
Puji syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, hidayah dan inayah-NYA. Shalawat serta salam kepada Nabi
Muhammad SAW, yang menjadi suri tauladan sepanjang jaman. Hanya atas
petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan
Di Yogyakarta” sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana
pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan hingga terselesaikannya
skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama, bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan tidak mengurangi rasa
hormat penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A, selaku Rektor Universitas
Negeri Yogyakarta yang berkenan memberi kesempatan bagi saya untuk
menimba ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta beserta fasilitas yang telah
disediakan.
2. Bapak Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin untuk penelitian.
3. Bapak Grendi Hendrastomo, S. Sos., MA., MM., selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta
yang telah memberikan izin serta mengesahkan skripsi ini untuk memenuhi
sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana (Strata-1).
4. Ibu Poerwanti Hadi Pratiwi, M. Si., selaku Ketua Penguji yang telah berkenan
meluangkan waktunya untuk memberikan kritik yang membangun, masukan
berharga dan mengujikan untuk kesempurnaan skripsi ini.
5. Ibu V Indah Sri Pinasti, M.Si., selaku Dosen Narasumber dan Penguji Utama
yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik,
masukan berharga dan mengujikan untuk kesempurnaan skripsi ini.
6. Ibu Nur Hidayah, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
meluangkan waktu memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis
mulai tahap awal hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.
7. Bapak Grendi Hendrastomo, MM., MA., selaku Dosen Pembimbing II yang
telah banyak meluangkan waktu memberikan bimbingan, arahan dan saran
kepada penulis mulai tahap awal hingga terselesaikannya penyusunan skripsi
ini.
8. Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Jurusan Pendidikan Sosiologi Prodi
Pendidikan Sosiologi yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang bermanfaat bagi penulis selama berkuliah di Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
9. Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan
izin penelitian sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik.
10. Walikota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan izin
penelitian sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik.
11. Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian serta
memberikan data-data mahasiswa perantau di Yogyakarta tahun akademik
2015 sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik dan lancar.
12. Para mahasiswa perantauan di Yogyakarta yang telah banyak memberikan
informasi sehingga dapat terlaksana penelitian dan tersusunnya skripsi
dengan baik dan lancar.
13. Kedua orang tuaku tercinta yang tidak pernah berhenti selalu mengejar janji
terselesaikannya skripsi ini dalam suasana apapun, sehingga pada akhirnya
saya dapat menyelesaikan skripsi ini jua.
14. Sahabat seperjuanganku di Pendidikan Sosiologi Non-Reguler 2008, Nia
Budi Lestari dan Pri Rohmawati yang telah banyak membantu memberikan
bantuan, dukungan serta semangat, terimakasih untuk semuanya.
15. Teman-teman Kost Mbak Kondang-Mbak Mull Gejayan CC XII/ 87a
Soropadan, Mbak Funny, Ganita, Afrilia, Watik, Mbak Ina, Mbak Vicha,
Mbak Nana, Mbak Intan dan semua yang selalu memotivasi saya
menyelesaikan skripsi.
16. Teman-teman parkiran Gedung Kampus Fakultas Ilmu Sosial Mas Adit dan
Mas Galih yang membantu mencarikan narasumber Program Kerja sama
Daerah.
17. Teman-teman Jurusan Pendidikan Sosiologi angkatan 2008 yang telah
memberikan masa kebersamaan selama menempuh masa akademik yang
tidak pernah akan terlupakan.
FENOMENA CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA)
PADA MAHASISWA PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Disusun oleh:
MARSHELLENA DEVINTA
08413244004
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Untuk mendeskripsikan penyebab yang
melatarbelakangi proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di
Yogyakarta, (2) Untuk mendeskripsikan dampak culture shock pada mahasiswa
perantauan di Yogyakarta.
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif deskriptif. Sumber data yang diperoleh melalui kata-kata dan tindakan,
sumber tertulis serta foto. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Subjek dalam
penelitian ini adalah delapan orang informan mahasiswa perantau dari luar Jawa
yang terdiri dari empat orang informan mahasiswa perantau semester awal dan
empat orang informan mahasiswa perantau semester lanjut. Teknik pemilihan
informan yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Teknik validitas data
menggunakan teknik triangulasi sumber. Teknik analisis data menggunakan
model analisis interaktif yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab yang melatarbelakangi
proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta terbagi
atas penyebab internal dan eksternal. Culture shock yang terjadi pada setiap
individu memiliki gejala dan reaksi dalam bentuk stress mental maupun fisik yang
berbeda-beda mengenai sejauhmana culture shock mempengaruhi kehidupannya.
Pengalaman culture shock bersifat normal terjadi pada mahasiswa perantauan
yang memulai kehidupannya di daerah baru dengan situasi dan kondisi budaya
yang berbeda dengan daerah asalnya. Empat fase dalam culture shock yaitu fase
optimistik (fase pertama), masalah kultural (fase kedua), fase recovery (fase
ketiga) dan fase penyesuaian (fase terakhir). Dampak culture shock pada
mahasiswa perantauan di Yogyakarta terdapat pada fase terakhir dalam culture
shock yang ditunjukkan dengan adanya tindakan adaptasi budaya yang
diaplikasikan oleh mahasiswa perantauan di Yogyakarta sebagai tempat rantauan.
Kata Kunci: Mahasiswa Perantauan, Culture Shock, Adaptasi Budaya
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
MOTTO ........................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 7
C. Batasan Masalah ................................................................................... 7
D. Rumusan Masalah ................................................................................. 8
E. Tujuan Penelitian .................................................................................. 8
F. Manfaat Penelitian ................................................................................ 8
BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR........................... 12
A. Kajian Pustaka ....................................................................................... 12
1. Culture Shock .................................................................................. 12
a. Pengertian Culture Shock…....................................................... 12
b. Penyebab Culture Shock…....................................................... 12
c. Gejala Culture Shock................................................................. 13
d. Fase Terjadinya Culture Shock.................................................. 15
2. Adaptasi…………………………………………………………... 17
3. Sosialisasi…………………………………………………………. 19
a. Pengertian Sosialisasi…………………………………………. 19
b. Tujuan Sosialisasi…………………………………………….. 20
4. Komunikasi Bahasa……………………………………………….. 22
5. Budaya dan Masyarakat…………………………………………... 23
6. Mahasiswa........................................................................................ 25
7. Perantau dan Merantau………......................................................... 25
a. Pengertian Perantau.................................................................... 25
b. Pengertian Merantau..........................................................…… 26
B. Penelitian yang Relevan……………………………………….……… 27
C. Kerangka Pikir…………………………………………………...…… 31
BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................... 34
A. Lokasi dan Subyek Penelitian……………………………………...…. 34
B. Waktu Penelitian ................................................................................... 34
C. Metode Penelitian ................................................................................. 34
D. Sumber Data Penelitian.......................................................................... 36
1. Sumber Data Primer ........................................................................ 36
2. Sumber Data Sekunder .................................................................... 37
E. Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 38
1. Pengumpulan Data dengan Observasi…………………………...... 38
2. Pengumpulan Data dengan Wawancara…………………………... 39
3. Pengumpulan Data dengan Dokumentasi………………………… 40
F. Teknik Pengambilan Sampel…………………………………………. 41
G. Validitas Data…………………………………………………………. 44
H. Teknik Analisa Data…………………………………………………... 46
1. Pengumpulan Data……………………………………………… 46
2. Reduksi Data……………………………………………………… 47
3. Penyajian Data……………………………………………………. 48
4. Penarikan Kesimpulan……………………………………………. 49
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…........................... 51
A. Deskripsi Data…………………………………………...…………..... 51
1. Deskripsi Umum D.I. Yogyakarta ……………...…...…………… 51
a. Karakter Sosial Budaya Yogyakarta…………………………… 55
b. Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta…………………………. 58
2. Deskripsi Umum Informan Penelitian………………….………… 62
B. Analisa dan Pembahasan. ……………………………………..……… 68
1. Penyebab yang Melatarbelakangi Proses Terjadinya Culture
Shock Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta……………….
68
2. Dampak Culture Shock………………………………………........ 103
C. Pokok-Pokok Temuan……………………………………………........ 113
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 116
A. Kesimpulan ........................................................................................... 116
B. Saran ...................................................................................................... 118
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 122
LAMPIRAN ..................................................................................................... 125
DAFTAR BAGAN
1. Kerangka Pikir.................................................................................... 33
2. Komponen-komponen Analisis data Miles dan Huberman………… 50
DAFTAR TABEL
1. Gejala dan Reaksi Culture Shock Pedersen………………………………… 15
2. Jumlah Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta Berdasarkan Asal
Daerah tahun Ajaran 2015……………..………………………………..
60
3. Perbedaan Culture Shock Yang Dialami Oleh Mahasiswa Perantauan
Di Yogyakarta…………………………………………………………...
108
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Pedoman Observasi...................................................................................... 125
2. Pedoman Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Awal
Perkuliahan...................................................................................................
126
3. Pedoman Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Tengah
Perkuliahan...................................................................................................
129
4. Hasil Observasi............................................................................................ 132
5. Hasil Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Awal
Perkuliahan...................................................................................................
135
6. Hasil Wawancara dengan Mahasiswa Perantauan Semester Tengah
Perkuliahan..............................................................................................….
176
7. Tabel Koding................................................................................................ 227
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagian besar mahasiswa identik dengan perantau, lokasi universitas
yang tersebar di kota-kota besar Indonesia dengan tingkat kualitas berbeda-
beda memunculkan pandangan berbeda pada masing-masing calon
mahasiswa dalam menentukan pilihan universitas. Bercampurnya
mahasiswa dengan identitas budaya yang berbeda-beda dalam suatu daerah
bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh
tingginya tingkat gerak sosial geografis oleh seorang individu atau
kelompok individu di atas kemajemukan budaya, suku bangsa, agama,
bahasa, adat istiadat dan sebagainya yang terdapat di Indonesia, sehingga
sangat memungkinkan terjadinya kontak budaya diantara penduduk
Indonesia. Mengingat beragamnya budaya menimbulkan perbedaan budaya
yang ada antara satu budaya dengan budaya lainnya di tanah air Indonesia,
maka tidak heran jika potensi terjadinya kekagetan budaya di antara para
individu perantau yang tinggal di suatu daerah baru juga akan semakin
besar. Dalam konteks tersebut secara umum kekagetan budaya terjadi akibat
ketidaksiapan individu menghadapi perbedaan budaya yang dikenal dengan
istilah culture shock (gegar budaya), yang ditunjukkan pada tahap awal
kehidupannya di tempat rantauan ia akan mengalami suatu problem
ketidaknyamanan terhadap lingkungan barunya yang kemudian akan
berpengaruh baik secara fisik maupun emosional sebagai reaksi ketika
berpindah dan hidup dengan lingkungan baru terutama yang memiliki
kondisi budaya berbeda. Ketika nilai-nilai budaya baru tersebut terasa
berbeda dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki, sebagai dampaknya
individu pasti akan merasa sangat terganggu karenanya. Budaya yang baru
dapat berpotensi menimbulkan tekanan, karena memahami dan menerima
nilai-nilai budaya lain bukanlah hal yang instan serta menjadi sesuatu hal
yang tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan mudah.
Konsep culture shock (gegar budaya) pertama kali diperkenalkan oleh
antropologis bernama Oberg pada tahun 1960 untuk menggambarkan respon
yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang
dialami oleh individu-individu yang hidup dalam suatu lingkungan budaya
yang baru (dikutip dari Dayakisni, 2012: 265).
Yogyakarta adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa yang
juga merupakan salah satu kota tujuan pendidikan yang banyak menarik
minat para perantau untuk datang dan melanjutkan pendidikan ke berbagai
perguruan tinggi yang terdapat di kota Yogyakarta. Hal ini ditinjau dari
hampir setiap tahunnya puluhan universitas yang tersebar di wilayah
Yogyakarta dipenuhi oleh para pelajar yang berasal dari luar kota, luar
propinsi atau bahkan luar negeri dengan motif tujuan yang sama yaitu untuk
menuntut ilmu dan meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, baik
jenjang diploma maupun jenjang sarjana dari S1, S2, hingga S3. Semakin
banyak mahasiswa perantau yang datang untuk menuntut ilmu di
Yogyakarta menyebabkan dinamika pelajar yang juga semakin tinggi karena
di sanalah pertemuan emosional kolektif putera puteri Indonesia dari Sabang
hingga Merauke diatas “Bhineka Tunggal Ika” yang diwujudkan dengan niat
menuntut ilmu diberbagai perguruan tinggi Yogyakarta. Para pelajar
rantauan inilah awal mula terbentuknya keanekaragaman budaya dan
memunculkan nuansa multikultural yang ada di kota Yogyakarta baik di
lingkungan tempat-tempat perguruan tinggi hingga lingkungan tempat
tinggal sementara (seperti kos) para mahasiswa perantau tersebut. Sehingga
tidak heran jika di lingkungan sosial kampus terlebih di kota Yogyakarta
yang dikenal sebagai kota pelajar miniaturnya Indonesia ini akan kita temui
sejumlah mahasiswa yang memiliki latar belakang budaya berbeda dengan
karakternya masing-masing yang mencerminkan kekhasan budaya dari mana
individu itu berasal.
Selain kota pelajar, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya yang
kental dengan budaya Jawa dan masyarakatnya yang menjunjung tinggi adat
istiadat Jawa dalam tata perilaku mereka sehari-hari berupa tata krama,
unggah-ungguh, nilai-norma, misalnya saja dari segi bahasa, sebagian besar
masyarakat Yogyakarta menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-
hari yang terkenal sopan, halus serta bernada rendah. Sedangkan mahasiswa-
mahasiswa perantau yang memilih berkuliah di Yogyakarta memiliki
karakteristik sosial budaya yang tentu saja berbeda dengan kondisi sosial
budaya kota Yogyakarta. Sehingga kondisi multikultural yang ada diantara
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa maupun dengan penduduk
pribumi sebagai tuan rumah baik itu adalah teman kuliah, dosen, maupun
warga kampung daerah tempat tinggal kosnya, ini tentunya dapat
menimbulkan reaksi psikis berupa kekagetan budaya yang biasanya diikuti
dengan munculnya hal-hal tidak menyenangkan yang disebabkan oleh
perbedaan-perbedaan sosial budaya diantara mereka yang dipertemukan
dalam satu tempat yang sama yaitu Yogyakarta.
Budaya merupakan alat perekat dalam suatu komunitas (Tilaar, 2004:
82). Pada hakekatnnya hal inilah yang menjadi salah satu wahana efektif
bagi masyarakat dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan berbagai
individu yang berbeda budaya untuk saling mengenal satu sama lain. Akan
tetapi hal tersebut tidak dapat begitu saja berlaku pada mahasiswa perantau
yang baru memasuki tahap awal kehidupannya di Yogyakarta sebagai
tempat rantauan. Berada di lingkungan baru yang asing menghadapkan
mahasiswa perantau pada suatu permasalahan sosial-psikologis yang harus
mereka lalui terlebih dahulu sebagai proses adaptasi terhadap tempat
rantauan, karena suasana multikultural diantara mahasiswa perantau di
Yogyakarta, serta kondisi sosial budaya penduduk pribumi Yogyakarta
sebagai tuan rumah di tempat rantauan ternyata dapat menimbulkan
kekagetan budaya (culture shock) yang terjadi akibat ketidaksiapan individu
perantau yang berpindah dari suatu budaya asal kebudaya baru dengan
segala perbedaan yang ada didalamnya.
Adanya perbedaan latarbelakang budaya beserta karakter diantara
mahasiswa perantau dengan individu-individu tuan rumah tersebut tentunya
akan melahirkan perbedaan-perbedaan dalam beberapa hal kehidupan,
perbedaan-perbedaan tersebut dapat berpotensi sebagai modal budaya jika
mengarah pada persatuan (intergrasi) atau asosiatif, jika terjalin suatu
hubungan dan kerja sama yang baik antara mahasiswa perantauan dari suatu
daerah tertentu dengan teman kampus sesama mahasiswa yang berstatus
pribumi Yogyakarta maupun antara mahasiswa perantauan dengan
masyarakat pribumi Yogyakarta. Namun fenomena culture shock yang
dialami oleh mahasiswa perantauan yang baru memasuki tahap awal
kehidupannya dilingkungan baru sebagai reaksi menemukan perbedaan
tersebut dapat juga berpotensi menjadi sumber kekacauan, seperti enggan
melakukan interaksi, prasangka negatif, dan keraguan berinteraksi antar
budaya yang rentan akan suatu tindakan stereotip (pencitraan yang buruk)
terhadap kebudayaan baru hingga timbulnya paham etnosentris pada diri
individu mahasiswa perantau dengan memandang rendah budaya tuan rumah
di tempat rantauanya, perpecahan (disintegrasi) atau disasosiatif dan
mengarah pada pertentangan atau konflik apabila proses sosialisasi dari
adaptasi budaya tidak berjalan lancar.
Dapat dikatakan bahwa dari culture shock yang dialami oleh mahasiswa
perantauan bahkan dapat menimbulkan masalah sosial akibat adanya
perbedaan kebudayaan antara mahasiswa perantauan dengan teman kampus
sesama mahasiswa yang berstatus pribumi Yogyakarta maupun antara
mahasiswa perantauan dengan masyarakat pribumi Yogyakarta dan akan
menjadi negatif menyangkut kerugian fisik, psikologis serta sosial jika
culture shock (gegar budaya) tidak teratasi. Kesuksesan bersosialisasi dari
adaptasi budaya yang akan individu lakukan terhadap lingkungan sosio-
kultural barunya ini merupakan tantangan atau permasalahan tersendiri
dalam mengusahakan penyesuaian diri yang baik terhadap lingkungan
barunya. Tidak jarang pada bulan-bulan pertamanya sebagai proses dari
gegar budaya mahasiswa perantauan ini akan rentan merasa gagal
menyesuaikan diri, jenuh, tidak nyaman dengan keadaan di tempat rantauan,
akibatnya mereka mengalami gegar budaya, kepanikan, kecemasan,
hilangnya rasa percaya diri, daya tahan tubuh mengurang sehingga mudah
terserang penyakit ringan seperti flu, demam dan diare, bahkan stres hingga
depresi yang akhirnya menimbulkan rasa ingin selalu cepat pulang
kekampung halamannya yang dapat mengganggu konsentrasi berkuliah
sebagai tujuan utamanya merantau.
Dari uraian-uraian diatas, fenomena culture shock (gegar budaya) yang
terjadi pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta ternyata sangat menarik
untuk diamati dan diteliti lebih intensif guna mendapatkan suatu temuan
sosial yang bermanfaat. Tulisan ini bertujuan untuk dapat memberikan
gambaran tentang fenomena culture shock mengenai penyebab yang
melatarbelakangi, gejala hingga reaksi dan dampak culture shock yang
terjadi pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. Peneliti berharap melalui
tulisan ini pembaca dapat memetik manfaat untuk membantu diri sendiri
ataupun orang lain agar terhindar dari culture shock, ataupun mampu
mengatasi culture shock saat berada di lingkungan budaya yang berbeda.
Selain itu, tulisan ini juga merupakan usaha untuk menambahkan minimnya
literatur mengenai fenomena culture shock di Indonesia. Bila
memungkinkan tulisan ini juga diharapkan dapat membuka minat dan
wawasan bagi pembacanya untuk membahas permasalahan mengenai
fenomena culture shock atas peluang-peluang riset yang mungkin akan
dilakukan di masa mendatang.
B. Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat
diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :
a. Sebagian besar mahasiswa identik dengan perantau.
b. Adanya perbedaan latarbelakang budaya diantara para mahasiswa
perantauan dengan penduduk asli Yogyakarta.
c. Pengalaman lintas budaya menghadapkan mahasiswa perantau pada
fenomena culture shock yang akan dialaminya di tanah rantauan.
d. Fenomena culture shock menimbulkan masalah psikis yang
mengganggu bagi mahasiswa perantau asal luar Jawa di Yogyakarta.
e. Adanya penyebab yang melatarbelakangi terjadinya gegar budaya pada
mahasiswa perantau asal luar Jawa di Yogyakarta.
f. Bagi mahasiswa perantau culture shock harus segera diatasi untuk
membiasakan diri terhadap segala perbedaan sosial budaya sebagai
pengalaman lintas budaya.
2. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dalam hal ini
permasalahan yang dikaji perlu dibatasi. Pembatasan masalah dilakukan
agar fokus penelitian menjadi jelas dan tidak terlalu luas, oleh karenanya
untuk mempersempit area bahasan dalam penelitian ini maka peneliti
membatasi kajian pada fenomena culture shock (gegar budaya) pada
mahasiswa perantauan di Yogyakarta.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka rumusan masalah pada
penelitian ini yaitu :
1. Apakah penyebab yang melatarbelakangi proses terjadinya culture shock
pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta?
2. Bagaimana dampak culture shock pada mahasiswa perantauan di
Yogyakarta?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin
dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu :
1. Untuk mendeskripsikan penyebab yang melatarbelakangi proses
terjadinya culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta.
2. Untuk mendeskripsikan dampak culture shock pada mahasiswa
perantauan di Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
yang berarti dan kontribusi serta wawasan baru bagi pengembangan
ilmu pengetahuan sebagai hasil karya ilmiah mengenai fenomena
culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di
Yogyakarta.
b. Dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya atau berguna
untuk menambah informasi yang berhubungan dengan fenomena
culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di
Yogyakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah koleksi bacaan
sehinga dapat digunakan sebagai sarana dalam menambah wawasan
yang lebih luas.
b. Bagi Pembaca
Diharapkan dapat memberikan tambahan informasi untuk
mengetahui permasalahan dan fenomena yang terjadi yaitu fenomena
culture shock (gegar budaya) pada mahasiswa perantauan di
Yogyakarta.
c. Bagi Mahasiswa
1) Penelitian ini dapat dijadikan panduan atau bahan bacaan oleh
mahasiswa baru yang akan berpindah dari lingkungan sekolah
menengah ke lingkungan perguruan tinggi.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
referensi, informasi dan menambah wawasan mahasiswa
mengenai fenomena culture shock (gegar budaya) pada
mahasiswa perantauan di Yogyakarta untuk diteliti lebih lanjut.
d. Bagi Peneliti
1) Penelitian ini dilaksanakan untuk menyelesaikan studi guna
mendapatkan gelar Sarjana (S1) pada program studi Pendidikan
Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengukur kemampuan
peneliti dalam menemukan suatu fenomena atau permasalahan
sosial yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat serta
menganalisisnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Culture Shock
a. Pengertian Culture Shock
Culture shock atau dalam bahasa Indonesia berarti gegar budaya,
istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan dan perasaan
seseorang dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya baru
yang berbeda.
Konsep culture shock diperkenalkan oleh Oberg (1960)
untuk menggambarkan respon yang mendalam dari depresi,
frustasi dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang
hidup dalam suatu lingkungan budaya baru yang berbeda.
Sementara Furnham dan Bochner (1970) mengatakan bahwa
culture shock adalah ketika seseorang tidak mengenal
kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru maka ia tidak
dapat menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-
aturan yang berlaku di lingkungan baru tersebut (dikutip dari
Dayakisni, 2012: 265).
b. Penyebab Culture Shock
Melalui konsep culture shock diperkenalkan oleh Oberg
(1960) yang kemudian disempurnakan oleh Furnham dan
Bochner (1970) menunjukkan bahwa culture shock terjadi
biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab
berikut ini, yaitu:
1) Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya.
Padahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari
seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh
(gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan
yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana
sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
2) Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang
disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan.
Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan
ini.
3) Krisis identitas dengan pergi keluar daerahnya seseorang
akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya
(dikutip dari Dayakisni, 2012: 265).
Culture shock dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda
mengenai individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke
daerah lainnya dalam negerinya sendiri (intra-national) dan individu
yang berpindah ke negeri lain untuk periode waktu lama (Dayakisni,
2012: 266).
Oberg lebih lanjut menjelaskan bahwa hal-hal tersebut benar
dipicu oleh kecemasan yang timbul akibat hilangnya tanda dan
lambang hubungan sosial yang selama ini familiar dikenalnya dalam
interaksi sosial, seperti petunjuk-petunjuk dalam bentuk kata-kata,
isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-
norma yang individu peroleh sepanjang perjalanan hidup sejak
individu tersebut lahir (Mulyana, 2006:175).
Ketika individu perantau memasuki suatu lingkungan budaya baru
yang asing, semua atau hampir semua petunjuk-petunjuk ini menjadi
samar atau bahkan lenyap, yang dapat di gambarkan individu ini
bagaikan ikan yang keluar dari air. Meskipun individu tersebut
berpikiran luas dan beritikad baik, individu tetap akan kehilangan
pegangan, kemudian individu mengalami frustasi dengan gejala
maupun reaksi yang hampir sama diderita oleh individu yang
terjangkit gegar budaya. Pertama-tama individu akan menolak
lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan hingga penyesalan
diri. Lingkungan di kampung halaman sekarang terasa menjadi
demikian penting. Semua kesulitan dan masalah yang dihadapi
menjadi tekanan dan hanya hal-hal menyenangkan dikampung
halamanlah yang diingat menjadi sangat dirindukan. Bagi individu
perantau hanya pulang ke kampung halamannya yang akan
membawanya kepada realitas.
c. Gejala-Gejala dan Reaksi Culture Shock (Gegar Budaya)
Secara umum, banyak definisi awal memfokuskan gegar budaya
sebagai sindrom, keadaan rekatif dari patologi atau defisit spesifik:
individu pindah ke lingkungan baru yang asing, kemudian
mengembangkan gejala psikologis negatif dan beberapa gejala gegar
budaya ini adalah buang air kecil, minum, makan serta tidur yang
berlebih-lebihan; perasaan tidak berdaya lalu keinginan untuk terus
bergantung pada individu-individu sebudayanya; marah/ mudah
tersinggung karena hal-hal sepele; reaksi yang berlebih-lebihan
terhadap penyakit-penyakit sepele; hingga akhirnya, keinginan yang
memuncak untuk pulang ke kampung halaman (Mulyana, 2006:175).
Gegar budaya banyak menyebabkan gangguan-gangguan
emosional, seperti depresi dan kecemasan yang dialami oleh pendatang
baru. Pada tahap awal penyesuaian kebudayan baru, individu
pendatang akan mengalami masa terombang-ambing antara rasa marah
dan depresi. Gegar budaya sebagai pengalaman belajar yang mencakup
akuisisi dan pengembangan keterampilan, aturan, dan peran yang
dibutuhkan dalam setting kultur yang baru. Gegar budaya juga sebagai
hilangnya control seseorang saat ia berinteraksi dengan orang lain
dengan kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol umumnya memang
menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu merupakan
gangguan psikologis (Mulyana, 2006:176).
Harry Triandis, seorang psikolog terkenal memandang gegar
budaya sebagai hilangnya kontrol seseorang saat ia berinteraksi dengan
orang lain dari kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol umumnya
memang menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak selalu
merupakan gangguan psikologis (Shiraev dan Levy, 2012: 443).
Pedersen mengemukakan dalam salah satu teori gegar
budaya melihat gegar ini sebagai penyesuaian awal
kelingkungan baru atau asing yang diasosiasikan dengan
perkembangan individu, pendidikan, dan bahkan pertumbuhan
personal. Secara singkat bahwa segala bentuk stress mental
maupun fisik yang dialami individu pendatang selama berada
di lokasi asing disebut sebagai gejala culture shock, akan tetapi
gejala culture shock yang terjadi pada setiap individu memiliki
tingkatan atau kadar yang berbeda mengenai sejauhmana
culture shock mempengaruhi kehidupannya. Ada beberapa
gejala dan reaksi yang biasanya ditunjukkan individu saat
mengalami culture shock dapat dilihat dari tabel berikut
(Shiraev dan Levy, 2012: 444):
Gejala Gegar Budaya Deskripsi Reaksi Gegar
Budaya
1) Gegar budaya sebagai
nostalgia. Orang merasa rindu
keluarga, kawan, dan
pengalaman lain yang
familiar.
2) Gegar budaya sebagai
disorientasi dan
hilangnya kontrol.
Hilangnya hal-hal yang
familiar tentang perilaku
orang lain. Disorientasi
menimbulkan kecemasan,
depresi, dan merasa putus
asa.
3) Gegar budaya sebagai
ketidakpuasan atas
hambatan bahasa.
Kurangnya komunikasi atau
sulitnya komunikasi bisa
menimbulkan frustasi dan
perasaan terasing.
4) Gegar budaya sebagai
hilangnya kebiasaan dan
gaya hidup.
Individu tidak mampu
melakukan banyak aktifitas
yang sebelumnya ia nikmati
: ini menyebabkan
kecemasan dan perasaan
kehilangan.
5) Gegar budaya sebagai
anggapan adanya
perbedaan.
Perbedaan antara budaya
baru dengan budaya
kampung halaman biasanya
dilebih-lebihkan dan sulit
diterima.
6) Gegar budaya sebagai
anggapan adanya
perbedaan nilai.
Perbedaan ini biasanya
dilebih-lebihkan: nilai-nilai
baru tampaknya sulit
diterima.
Tabel 1. Gejala dan reaksi culture shock (Pedersen dikutip dari
Shiraev dan Levy, 2012: 444)
d. Fase-fase Culture Shock (Gegar Budaya)
Samovar menyatakan bahwa orang biasanya melewati
empat tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat
digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U –
Curve.
1) Fase optimistik, fase pertama yang digambarkan berada
pada bagian kiri atas dari kurva U. Fase ini berisi
kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euforia sebagai
antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.
2) Masalah kultural, fase kedua di mana masalah dengan
lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena
kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru,
dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa
kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis
dalam culture shock. Orang menjadi bingung dan
tercengang dengan sekitarnya, dan dapat menjadi
frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan,
mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak
kompeten.
3) Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti
mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara
bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam
caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan
peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi
dan tidak terlalu menekan.
1) Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U,
orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya
seperti nilai-nilai, adab khusus, pola komunikasi,
keyakinan, dan lain-lain (Samovar, Richard dan Edwin,
2010: 169).
Mahasiswa perantau yang notabene telah terbiasa menjalankan dan
mengembangkan budayanya dalam kehidupan sehari-hari di daerah asalnya
masing-masing, mereka akan saling berinteraksi satu sama lain setiap harinya
dengan orang-orang yang mayoritas memiliki kebudayaan sama dan hidup
bersama dalam satu daerah dalam kurun waktu yang lama. Keseluruhan cara
hidup tersebut termasuk nilai-nilai, kepercayaan, standar estetika, ekspresi,
linguistik/ bahasa, pola berpikir, nilai-norma, tata perilaku dan gaya
komunikasi yang kesemuanya cara yang terjalin secara terus menerus
mengiringi kelangsungan hidup masyarakat dalam kelompok lingkungan fisik
beserta lingkungan sosial suatu kebudayaannya.
Akibatnya mahasiswa-mahasiswa perantauan tersebut terpelihara dan
terbiasa dengan kebudayaan mereka sendiri, hingga tanpa disadari kemudian
membentuk karakter dan menjadi ciri khas yang melekat pada diri masing-
masing individu sejak ia lahir. Sehingga ketika mereka bermigrasi atau
merantau secara tiba-tiba untuk kepentingan pendidikan berkuliah di
Yogyakarta, memasuki budaya Yogyakarta yang berbeda dengan budaya asal
sama saja dengan menghadapkan mahasiswa perantauan dengan situasi-situasi
yang berpotensi menimbulkan keterkejutan, ketidaknyamanan serta
kecemasan temporer tidak beralasan dalam diri individu yang berakibat pada
terguncangnya konsep diri dan identitas budaya. Kondisi ini dapat
menyebabkan sebagian besar mahasiswa perantauan mengalami gangguan
mental dan fisik, setidaknya untuk jangka waktu tertentu.
2. Adaptasi (Penyesuaian Diri)
Para mahasiswa perantau yang berkuliah di universitas-universitas yang
tersebar di Yogyakarta secara tidak langsung dituntut untuk bisa berusaha
menyesuaikan diri di lingkungan rantauannya yaitu Yogyakarta.
Dalam kamus sosiologi menjelaskan beberapa pengertian
adaptasi.
a. Adaptation
1) Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
2) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk
kepentingan lingkungan dan sistem
3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi
yang berubah
4) Penyesuaian dari kelompok terhadap lingkungan
5) Penyesuaian pribadi terhadap lingkungan
6) Penyesuaian biologis atau budaya sebagai hasil seleksi
alamiah.
b. Adaptation, communal
Proses penyesuaian dengan lingkungan yang terjadi sebagai
akibat tidak langsung dari pengorganisasian penduduk.
c. Adaptation, external
Penyesuaian diri dari struktur sosial terhadap lingkungan
sosial.
d. Adaptation, genetic
Penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, sebagai akibat
genotype.
e. Adaptation, individual
Penyesuaian pribadi terhadap lingkungan sebagai akibat
langsung dari usaha pribadi, dan yang secara tidak langsung
merupakan akibat kegiatan penduduk yang terorganisasikan.
f. Adaptation, social
Hubungan antara suatu kelompok atau lembaga dengan
lingkungan fisik yang mendukung eksistensi kelompok atau
lembaga tersebut (Soerjono Soekanto, 1985:9).
Ward dan Kennedy (dikutip dari Dakyakisni, 2012:270)
melakukan pendekatan melalui dua bentuk adaptasi. Pertama yaitu,
Adaptasi sosiokultural, yang menunjukkan kemampuan untuk
melakukan negosiasi interaksi dengan anggota-anggota budaya tuan
rumah yang baru. Kedua yaitu, Adaptasi psikologis dipengaruhi oleh
pusat kendali internal, beberapa perubahan kehidupan, kontak dengan
teman sebangsa yang lebih banyak untuk mendapatkan dukungan
sosial, dan kesulitan lebih rendah dalam pengelolaan kontak sosial
sehari-hari. Sedangkan adaptasi sosiokultural meningkat dengan
adanya tingkat perbedaan yang lebih rendah antara budaya tuan
rumah dengan pendatang, interaksi yang lebih banyak dengan tuan
rumah, ekstroversi dan tingkat gangguan mood yang lebih rendah.
Mahasiswa perantauan yang memasuki suatu situasi baru, selain menjadi
mahasiswa juga harus menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Proses
adaptasi akan dialami oleh setiap mahasiswa etnik pendatang. Dengan memasuki
suatu kebudayaan baru yang tidak familiar, secara tidak langsung mereka juga
dituntut berusaha untuk menyesuaikan bahkan mulai menerima sebagian budaya
dari etnik budaya setempat melalui proses adaptasi. Mahasiswa perantauan dalam
mengatasi fenomena culture shock di Yogyakarta salah satunya ialah dengan
adaptasi (penyesuaian diri) dengan Yogyakarta yang kini sebagai lingkungan
barunya baik lingkungan fisik dan lingkungan sosial budaya. Adaptasi berperan
penting sebagai cara mengatasi stress, membatasi terjadinya stress, mengurangi
atau menetralisasi pengaruhnya.
3. Sosialisasi
a. Pengertian sosialisasi
Pengertian sosialisasi menurut Peter Berger adalah suatu proses
dimana seorang individu belajar menjadi seorang anggota yang
berpartisipasi dalam masyarakat (Idianto, 2004:115). Menurut David
Goslin, sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk
memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan norma agar ia
berpartisipasi sebagai seorang anggota dalam kelompok masyarakatnya
(Ihromi, 1990: 30).
Secara sederhana sosialisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses
seumur hidup yang berkenaan dengan bagaimana individu berpikir
mempelajari cara-cara hidup, nilai-norma sosial yang terdapat dalam suatu
kelompok agar ia dapat menyesuaikan diri dan mampu berkembang
menjadi pribadi yang dapat diterima, berperan serta berfungsi dalam
kelompoknya tersebut.
Setelah memahami pengertian sosialisasi menurut beberapa ahli
diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sosialisasi adalah proses yang
dilalui oleh setiap individu dalam belajar tentang semua kebiasaan yang
dimiliki oleh setiap manusia. Batasan mengenai sosialisasi yaitu proses
dimana individu tersebut mempelajari kebiasaan sikap, ide-ide, pola-pola
nilai dan tingkah laku di dalam masyarakat dimana individu tersebut
hidup.
b. Tujuan sosialisasi
Tujuan pokok adanya sosialisasi bukan semata-mata agar kaidah-
kaidah dan nilai-nilai diketahui dan dimengerti. Tujuan akhir dari
sosialisasi adalah agar manusia bersikap dan bertindak sesuai dengan
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku serta agar yang bersangkutan
menghargainya (Soerjono Soekanto, 1990:442).
Sosialisasi sebagai proses sosial mempunyai tujuan sebagai
berikut:
1) Memberikan keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan untuk melangsungkan kehidupan seseorang
kelak ditengah-tengah masyarakat tempat dia menjadi salah
satu anggotanya,
2) Menambah kemampuan berkomunikasi secara efektif dan
efisien serta mengembangkan kemampuannya untuk
membaca, menulis, dan bercerita,
3) Membantu pengendalian fungsi-fungsi organik yang
dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat,
4) Membiasakan individu dengan nilai-nilai dan kepercayaan
pokok yang ada pada masyarakat (Idianto, 2004: 115).
Proses sosialisasi dan kesetiaan sosial akan berjalan secara simultan
dan terjadi satu sama lain. Pengalaman serta pengaruh dari individu lain
dapat mengubah seseorang individu menjadi pribadi sosial. Beberapa
kasus menunjukkan bahwa individu yang mengalami isolasi sosial tidak
dapat berkembang sebagai pribadi sosial yang normal. Proses sosial
manusia berupa sifat ketergantungan antara individu satu dengan yang lain
dan sifat manusia untuk mempelajari barbagai macam bentuk tingkah laku
(Koentjaraningrat, 1980: 243).
Proses belajar sosial merupakan proses yang berlangsung sepanjang
hidup, yang berawal sejak individu dilahirkan hingga mati. Dalam proses
ini, individu mendapatkan pengawasan, pembatasan/ hambatan dari
individu lain atau masyarakat. Tetapi individu juga mendapatkan
bimbingan, dorongan, stimulasi serta motivasi dari individu lain atau
masyarakat. Jadi dalam suatu proses sosialisasi, individu bersikap reseptif
dan kreatif terhadap pengaruh invidu lain atas masyarakatnya
(Koentjaraningrat, 1980: 247).
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dijabarkan
mengenai batasan dari definisi sosialisasi, antara lain:
1) Sosialisasi ditempuh oleh seorang individu melalui
proses belajar untuk memahami, menghayati,
menyesuaikan dan melaksanakan tindakan sosial yang
sesuai dengan pola perilaku masyarakatnya,
2) Sosisalisasi ditempuh seorang individu secara bertahap
dan berkesinambungan sejak ia dilahirkan hingga ia
berakhir hayatnya,
3) Sosialisasi erat sekali kaitannya dengan enkulturasi
atau proses pembudayaan, yaitu proses belajar seorang
individu untuk belajar, mengenal, menghayati,
menyesuaikan alam pikiran serta sikap terhadap sistem
adat, norma, bahasa, seni, agama, serta semua peraturan
yang mengatur hidup seorang individu dalam
lingkungan kebudayaan masyarakatnya
(Koentjaraningrat, 1980: 249).
Teori sosialisasi menjadi salah satu konsep khusus terhadap terjadinya
dinamika sosial yang sangat dibutuhkan untuk menganalisa secara ilmiah
gejala-gejala serta kejadian-kejadian sosial budaya pada mahasiswa
perantauan di Yogyakarta sebagai proses-proses pergeseran masyarakat
dan kebudayaan. Hal ini dikaitkan dalam culture shock disebabkan meski
perbedaan budaya menjadi suatu kendala tersendiri bagi mahasiswa
perantauan, namun tanpa disadari proses belajar kebudayaan akan
tertuntun sendirinya secara alamiah dan tidak dapat dihindari sebagai
naluri sosial oleh berjalannya waktu disamping usaha individu untuk tetap
bertahan di tempat rantauan demi tujuan utamanya melanjutkan
pendidikan. Pada dasarnya mahasiswa perantauan tetap saja seorang
makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan
satu sama lainnya untuk melangsungkan hidupnya di Yogyakarta.
4. Komunikasi Bahasa
Luwig Wittgenstein mengatakan bahwa manusia akan mengikuti aturan-
aturan dalam mengerjakan sesuatu melalui bahasa seperti memberikan dan
mentaati perintah, bertanya dan menjawab pertanyaan, serta menjelaskan
kejadian. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan oleh manusia untuk
bekomunikasi dan memulai interaksi satu dengan yang lainnya (Stephen,
Littlejohn dan Foss, 2012: 67).
Robert Gales menciptakan sebuah teori terpadu yang bertujuan
menjelaskan jenis pesan yang manusia tukar dalam kelompok bahwa
bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk tindakan, karena
kebutuhan sosial membutuhkan orang lain untuk saling bekerja sama
dengan tindakannya sehingga bahasa membentuk suatu prilaku
dalam kelompok yang setiap individu dapat memperlihatkan sikap
positif atau gabungan dengan (1) menjadi ramah; (2) mendramatisasi
suka berbicara; atau (3) menyetujui. Sebaliknya mereka juga dapat
menunjukkan sikap negatif atau sikap campur aduk dengan (1)
penolakan; (2) memperlihatkan ketegangan; atau (3) menjadi tidak
ramah. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap individu dapat
(1) menanyakan informasi; (2) menanyakan opini; (3) meminta
saran; (4) memberi saran; (5) memeberi opini; dan (6) memberi
informasi (Stephen, Littlejohn dan Foss, 2012:326).
5. Budaya dan Masyarakat
Menurut E. B Taylor dalam bukunya “Primitive Culture”, bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang ada di dalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai
anggota dari masyarakat (Koentjaraningrat, 1980: 195).
Menurut C. Kluckhohn dan W. H. Kelly, kebudayaan adalah pola untuk
hidup yang tercipta dalam sejarah, yang explisit, implisit, rasional, irasional
yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman-pedoman yang potensial
bagi tingkah laku manusia. Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi
menyatakan kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat,
jadi dengan demikian kebudayaan adalah hasil budi daya manusia, sehingga
kebudayaan tersebut dapat dipelajari (Soerjono Soekanto, 2006: 150-151).
Kroeber membedakan dua aspek dalam kebudayaan yakni
kebudayaan nilai (Value cultur) dan kebudayaan realistis (reality
culture). Kebudayaan nilai bersumber pada kreativitas manusia,
sedangkan kebudayaan realitas berhubungan dengan usaha manusia
dalam mempertahankan hidup dan penggarapan lingkungan dengan
ekonomi dan teknologi. Menurut Krober, kebudayaan nilai bersifat
sekunder artinya perkembangan kebudayaan nilai tergantung pada
perkembangan kebudayaan realitas. Tuntutan-tuntutan yang ada pada
kebudayaan realitas dapat terpenuhi maka kebudayaan nilai
berkembang (Rahyono, 2009: 45).
Koentjaraningrat dalam pengantar ilmu antropologi menjelaskan bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan sistem dan gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar (dikutip Rahyono, 2009: 45).
Budaya memiliki ciri-ciri (Dedi Mulyana, 2006:23) yaitu:
a. Budaya bukan bawaan, tetapi dipelajari.
b. Budaya dapat disampaikan dari orang ke orang, dari
kelompok ke kelompok dan dari generasi ke generasi.
c. Budaya berdasarkan simbol.
d. Budaya bersifat dinamis, suatu sistem yang terusberubah
sepanjang waktu.
e. Budaya bersifat selektif, mempresentasikan pola-pola perilaku
pengalaman manusia yang jumlahnya terbatas.
f. Berbagai unsur budaya saling berkaitan.
g. Etnosentrik (menganggap budaya sendiri sebagai yang
terbaik atau standar untuk menilai budaya lain).
Istilah sosial (social) pada ilmu-ilmu sosial menunjuk pada objeknya,
yaitu masyarakat merupakan sekelompok individu yang mempunyai
hubungan, memiliki kepentingan bersama, memiliki budaya dan dipelajari
dalam ilmu sosiologi meliputi masyarakat, perilaku masyarakat,serta perilaku
sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya.
Mengkaji masyarakat perlu memahami proses sosial yang ada dalam
masyarakat, karena pengetahuan tentang proses-proses sosial dapat digunakan
untuk memperoleh pengertian mengenai segi dinamis dari masyarakat atau
gerak masyarakat yakni bentuk umum proses sosial yaitu interaksi sosial
(Soerjono Soekanto, 2006: 55). Masyarakat pasti akan mengadakan interaksi
dalam suatu sistem kapasitas atau identitas sosial serta memainkan peran.
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antar orang-perorangan, antar kelompok sosial,
maupun antar orang perorangan dengan kelompok manusia.Kelompok sosial
adalah sekumpulan individu yang mengadakan hubungan secara berulang-
ulang dalam perangkat hubungan identitas yang bertalian. Melihat masyarakat
sebagai suatu sistem hubungan identitas dan kelompok, akan terlukis sebagai
sistem sosial.
6. Mahasiswa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah mereka yang
sedang belajar di perguruan tinggi dengan usia yang berkisar antara 19 sampai
28 tahun, yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari
tahap remaja ke tahap dewasa (Poerwadarminta, 2005:375). Mahasiswa adalah
seorang individu yang sedang menuntut ilmu, terdaftar sebagai murid di
perguruan tinggi negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat
dengan perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi untuk
belajar menempuh jenjang pendidikan tingkat lanjut. Mahasiswa dinilai
memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan
kerencanaan dalam bertindak. Mahasiswa memiliki tuntutan peran penting
untuk mampu berpikir kritis, bertindak dengan cepat dan tepat merupakan
prinsip yang saling melengkapi (Dwi Siswoyo, 2007: 21).
7. Perantau dan Merantau
a. Perantau
Perantau adalah orang yang meninggalkan kampung halaman atau
tanah kelahiran untuk pergi merantau ke kota, wilayah atau bahkan
negeri lain dalan kurun waktu tertentu (Kato Tsuyushi, 2005: 13).
b. Pengertian Merantau
Menurut Kato Tsuyushi istilah merantau berarti meninggalkan
kampung halaman atau tanah kelahiran. Keluar dari kampung sendiri
untuk pergi ke kota lain dalan kurun waktu tertentu sudah disebut
sebagai merantau. Permulaan merantau bertujuan untuk mencari
penghidupan. Sekarang ini untuk melanjutkan pendidikan ke negeri lain
juga disebut dengan pergi merantau (Kato Tsuyushi, 2005: 13).
Menurut Mochtar Naim ada berbagai alasan mengapa
mereka melanjutkan studi diluar daerah, antara lain
memeperluas wawasan, memperoleh pendidikan yang lebih
baik, memperoleh pengalaman baru, mengharapkan tingkat
kehidupan yang lebih baik, memperoleh pengalaman baru dan
mengharapkan penghidupan yang lebih baik. Mochtar Naim
mendefinisikan merantau adalah tipe khusus dari migrasi
dengan konotasi budaya tersendiri yang mengandung enam
unsur pokok yaitu:
1) Meninggalkan kampung halaman.
2) Dengan kemauan sendiri.
3) Untuk jangka waktu lama atau tidak.
4) Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau
mencari pengalaman.
5) Biasanya dengan maksud kembali pulang.
6) Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya (Mochtar
Naim, 1984:2).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian
merantau adalah bentuk perpindahan tempat tinggal seseorang ke daerah
lain dengan kemauan sendiri, dan jangka waktu tertentu dengan tujuan
mencari penghidupan yang lebih baik yang telah melembaga di
masyarakat, biasanya untuk kembali pulang. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa seseorang disebut merantau apabila ia pergi keluar daerah
budayanya dan individu tersebut tidak lagi berkomunikasi dan
berinteraksi hanya dengan kaum kerabat atau anggota kelompok
etnisnya, melainkan juga dengan orang yang latar belakang etnis dan
kulturnya berbeda-beda. Berbicara tentang merantau kita juga
membicarakan tentang mobilitas penduduk.
Mobilitas penduduk mempunyai pengertian pergerakan
penduduk dari satu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk
dari ada tidaknya niatan untuk menetap di daerah tujuan,
mobilitas penduduk dapat pula dibagi menjadi dua, yaitu
mobilitas penduduk permanen dan mobilitas non-permanen.
Mobilitas penduduk permanen adalah gerak penduduk yang
melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan
niatan menetap. Sebaliknya mobilitas penduduk non-
permanen adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah
asal menuju ke wilayah tujuan dengan tidak ada niatan
menetap didaerah tujuan (Mantra, 2003: 172).
Berdasarkan pengertian diatas, sesuai dengan judul penelitian
fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan, maka merantau
merupakan bentuk mobilitas penduduk non-permanen.
B. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian kuantitatif yang pernah dilakukan oleh Yulian Susanti dari
Program Magister Psikologi UGM pada tahun 2012 dalam tesisnya yang
berjudul “Dukungan Teman Sebaya Sebagai Mediator Hubungan Antara
Culture Shock Dengan Prestasi Belajar”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui peran dukungan teman sebaya sebagai mediator hubungan
antara culture shock dengan prestasi belajar pada mahasiswa di salah satu
Universitas swasta di Yogyakarta kriteria subyek penelitian adalah
mahasiswa tahun pertama yang berasal dari luar pulau Jawa, tinggal di
kos dan tidak tinggal dengan keluarga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan teman sebaya dapat
menjadi mediator antara culture shock dan prestasi belajar. Mahasiswa
mengalami tekanan dan kecemasan akibat dari ketidak mampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan budaya yang baru akan
membutuhkan dukungan dari orang-orang yang ada disekitarnya yaitu
dukungan teman sebaya. Teman sebaya memainkan peran sangat penting
dalam penyesuaian terhadap lingkungan baru.
Kelompok sebaya merupakan konteks sosial yang berkembang lewat
keberfungsian kolektif para anggotanya berdasarkan norma dan nilai
kelompok. Seringnya bertemu, melakukan kegiatan bersama, dan adanya
keterkaitan afektif antar pribadi para anggota kelompok membuat
kelompok teman sebaya menjadi pengaruh sosialisasi yang kuat dalam
lingkungan instansi pendidikan. Koneksi dan jejaring sosial dengan teman
sebaya yang terbentuk dan terbina bisa menjadi sumber utama dukungan
sosial bagi remaja di dalam mengatasi tekanan emosional dan kesulitan
penyesuaian diri yang sedang individu alami. Selain memberikan pengaruh
kust dalam hal gaya dan sosialisasi remaja, juga memberikan rasa nyaman
sehingga mampu mengurangi ketegangan akibat ketidakmampuan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan barunya. Kemudian dukungan
teman sebaya ini dapat menjadi mediator antara culture shock dengan
prestasi belajar karena salah satu yang menyebabkan timbulnya kecemasan
adalah faktor lingkungan sosial yang kemudian memunculkan perasaan
tegang, namun dengan mediasi oleh faktor sosial berupa dukungan dari
teman sebaya maka kecemasan yang dialami individu dapat diminimalisir.
Adanya dukungan sosial dari teman sebaya membuat individu merasa
memiliki teman yang memperhatikan, menghargai, serta perasaan senasib
sepenanggungan sehingga menimbulkan rasa kepemilikan dan harga diri
yang lebih baik. Dukungan teman sebaya memiliki hubungan positif
terhadap prestasi belajar, semakin tinggi dukungan teman sebaya yang
diperoleh mahasiswa maka prestasi yang diperoleh semakin baik.
2. Penelitian kualitatif yang pernah dilakukan oleh Fransiska Ani Dewanti
dari Program Magister Psikologi UGM pada tahun 2008 dalam tesisnya
yang berjudul “Pengalaman Culture Shock Pada Anak Buah Kapal (ABK)
Pemula Di Kapal Pesiar Internasional”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pemaknaan pengalaman culture shock oleh para ABK pemula
dan bagaimana mereka memaknai kerja setelah melalui masa culture
shock dalam proses penyesuaian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman culture shock
merupakan pengalaman penyesuaian yang didalamnya terjadi dinamika
psikolois yang muncul dalam diri individu sebagai bentuk respon
terhadap situasi baru yang harus dihadapi. Dinamika psikologis ABK
pemula terhadap pengalaman culture shock merupakan interaksi antara
elemen-elemen di dalamnya baik itu elemen yang mencetuskan respon
terhadap penyesuaian yang harus dihadapi, maupun elemen yang menjadi
faktor anti yang bersifat mereduksi respon negatif terhadap penyesuaian
yang harus dihadapi.
Ketika faktor anti dapat memberikan pengaruh yang lebih besar
dibandingkan faktor pendorong dan pencetus, maka dampak pengalaman
culture shock yang timbul dapat diminimalisir. Dinamika psikologis
tersebut menghasilkan suatu pemaknaan ABK pemula terhadap
pengalaman culture shock yaitu sebagai suatu proses yang harus dijalani,
sebagai suatu kebanggaan karena mampu menghadapi proses yang berat
tersebut, sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan, menyedihkan,
dan sekaligus melegakan, serta adanya penghargaan dari lingkungan
terhadap hasil kerja yang dicapainya. Pemaknaan tersebut membatu ABK
pemula dalam memaknai kerja mereka di kapal pesiar internasional
secara menyeluruh. ABK pemula yang memaknai pekerjaannya sebagai
upaya mencari materi memandang pekerjaan sebgai suatu mata
pencaharian baik untuk memenuhi kebutuhan saat ini maupun di masa
mendatang.
ABK pemula yang memaknai pekerjaannya sebagai sarana untuk mencari
modal usaha di masa mendatang melatih kedewasaan sebagai batu
loncatan dan sebagai bentuk harga diri memandang pekerjaan mereka
sebagai karir dimana pekerjaan tersebut merupakan salah satu cara untuk
menstimulasi kebutuhan mereka untuk bersaing atau meningkatkan
prestise dan kepuasan. ABK pemula yang memaknai pekerjaannya bahwa
meskipun pekerjaannya dianggap sepele tapi besar manfaatnya bagi orang
lain memandang pekerjaannya sebagai sumber dari fulfillment atau
keutuhan. Ia memandang pekerjaannya sebagai suatu panggilan dan
memaknainya sebagai suatu bentuk kontribusi mereka pada lingkkungan
sosial.
Dari penelitian relevan di atas, telah digunakan sebagai bahan
pembanding sekaligus referensi bagi penelitian yang akan peneliti lakukan
dengan fokus penelitian yang sama yaitu tentang fenomena culture shock.
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir dibuat untuk mempermudah proses penelitian karena
mencakup tujuan dari penelitian itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan di
Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu bentuk miniatur dari
Negara Indonesia, karena di dalamnya terdapat berbagai kebudayaan dari
provinsi yang ada di nusantara Indonesia yang di wakili oleh berbagai pelajar
dan mahasiswa yang datang hendak meneruskan studi ke jenjang pendidikan
perguruan tinggi yang banyak tersedia di kota ini. Mahasiswa perantauan asal
luar Jawa sebagai pendatang baru yang berasal dari luar daerah Yogyakarta,
dituntut untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru, masyarakat
yang baru dan perubahan dalam lingkungan fisik, biologis, budaya dan
psikologis.
Perubahan dalam lingkungan fisik seperti lingkungan tempat tinggal.
Perubahan dalam hal biologis antara lain meliputi makanan yang bergizi,
tingkatan kebersihan, perubahan suhu, dan perbedaan iklim. Perubahan dalam
hal budaya antara lain perubahan cara bicara seperti bahasa daerah, kebiasaan,
ekspresi atau gerak tubuh, rasa masakan, adat, dan nilai norma yang berlaku.
Sedangkan perubahan psikologis yaitu proses yang harus dihadapi karena
berpisahnya individu dengan orang tua, sanak saudara dan teman-teman di
daerah asal oleh jarak geografis. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan
culture shock (gegar budaya) yang dapat menghambat mahasiswa perantau
untuk mampu menempatkan dirinya di dalam lingkungan budaya masyarakat
yang baru di tempat rantauan.
Individu sebagai makhluk sosial, dituntut untuk mampu mengatasi
masalah perbedaan budaya yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan
Culture Shock (Gegar Budaya)
Mahasiswa Perantau asal Luar Pulau Jawa
Budaya Yogyakarta
Penyebab
Reaksi
Gejala
Dampak
Berkuliah di universitas
Yogyakarta
lingkungan sosial dan mampu menyelaraskan diri sesuai dengan norma yang
berlaku baik di lingkungan tempat tinggal sementara (kos) maupun di
lingkungan kampus universitasnya. Penyesuaian diri terhadap lingkungan baru
yang berbeda budaya ini kemudian mengarahkan mahasiswa perantau tersebut
untuk mampu bersosialisasi serta terdorong melakukan adaptasi budaya yang
terlebih dahulu melalui berbagai bentuk fenomena sosial, salah satunya yang
akan peneliti bahas secara khusus berupa fenomena culture shock yang pada
prosesnya akan tetap menghantarkan mahasiswa perantau terhadap
pembelajaran kebudayaan yang berlaku di lingkungan baru sebagai tempat
rantauan dimana ia tinggal sekarang yaitu Yogyakarta.
Bagan 1. Kerangka Pikir
Menciptakan sosialisasi baru sebagai hasil adaptasi budaya di Yogyakarta
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian tentang “Fenomena Culture Shock Pada Mahasiswa Perantauan
di Yogyakarta” dilaksanakan di Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor hingga reaksi atau gejala yang melatarbelakangi terjadinya
culture shock serta akibat yang ditimbulkan terhadap mahasiswa perantauan di
Yogyakarta.
B. Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian tentang fenomena culture shock (gegar budaya) pada
mahasiswa perantauan di Yogyakarta ini dilaksanakan dalam kurun waktu
kurang lebih pada bulan September 2013 sampai dengan selesai, terhitung
sejak pemilihan judul dan pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan
laporan penelitian sebagai hasil dari penelitian.
C. Metode Penelitian
Suatu penelitian, diperlukan adanya pendekatan penelitian. Pendekatan
dalam penelitian yang berjudul Fenomena Culture Shock (Gegar Budaya)
Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta ini menggunakan metode
penelitian kualitatif yaitu pengamatan, wawancara dan penelaah dokumen.
Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis, kata-kata lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara utuh dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus
yang alamiah (Moleong, 2006: 4).
Pembangunan dan pengembangan teori sosial khususnya sosiologi dapat
dibentuk dari empiris melalui berbagai fenomena atau kasus yang diteliti.
Dengan demikian teori yang dihasilkan mendapatkan pijakan yang kuat pada
realitas, bersifat kontektsual dan historis. Pada penelitian kualitatif ini, peneliti
menyajikan hasil penelitian secara kualitatif deskriptif yaitu data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka, misalnya data dari
naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, arsip dan dokumen
resmi lainnya.
Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau
obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak
sebagaimana adanya (Hadari Nawari, 2007:67). Pemikiran dalam metode ini
tidak sekedar melihat gejala atau fakta-fakta, tetapi perlu dikembangkan
dengan mengemukakan hubungannya satu sama lain di dalam aspek-aspek
yang diselidiki serta memberikan penafsiran yang akurat terhadap fakta-fakta
yang ditemukan.
Penelitian deskriptif bukan saja memberikan gambaran tentang fenomena
tetapi juga menerangkan hubungan, membuat prediksi, serta mendapatkan
makna dari fenomena yang dikaji. Data yang disajikan dalam penelitian ini
berupa data deskriptif yang berupa kata-kata, gambar dan bukan berupa
angka-angka. Laporan penelitian ini berupa kutipan-kutipan yang diperoleh
dari observasi langsung, catatan lapangan, wawancara langsung, foto, buku,
jurnal dan internet yang tentunya relevan dengan mahasiswa perantauan di
Yogyakarta.
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian secara bertahap,
agar data yang diambil merupakan data lengkap dan benar. Peneliti juga akan
terjun langsung ke lapangan guna memperoleh data yang sesuai dengan hasil
wawancara dan data yang diperoleh dari para informan, kemudian
dideskripsikan dengan menggunakan kata-kata sehingga mudah untuk
dimengerti. Peneliti juga akan mengambil gambar pada saat pelaksanaan
wawancara sebagai arsip/dokumen-dokumen yang dianggap penting untuk
mempertegas hasil penelitian. Peneliti mempelajari juga dari buku-buku serta
berbagai tulisan-tulisan mengenai culture shock (gegar budaya).
D. Sumber Data Penelitian
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, bahasa dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan yang mendukung seperti dokumen,
foto dan lain-lain (Moleong,2007:157). Tindakan orang-orang yang
diamati/diwawancarai merupakan sumber data utama yang dicatat melalui
catatan tertulis maupun melalui perekam video/audio tape. Data dari informan
yang digunakan atau diperlukan dalam penelitian, dikaji dari sumber data
penelitian antara lain sebagai berikut:
1. Sumber Data Primer
Data primer diperoleh langsung dari subjek penelitian yang diambil,
dikumpulkan atau diperoleh langsung oleh peneliti kepada sumbernya
tanpa ada perantara dengan cara menggali sumber asli secara langsung
melalui responden. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan subjek
atau informan dan pengamatan langsung di lapangan. Data atau informasi
tersebut dilakukan dengan metode wawancara. Berkaitan dengan hal
tersebut, pada penelitian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan
tindakan sumber data tertulis.
Sumber data primer pada penelitian ini, peneliti mengambil data
secara langsung melalui observasi dan wawancara dengan beberapa
informan mahasiswa perantauan dari luar Jawa yang sedang menempuh
kuliah semester awal di universitas-universitas Yogyakarta sebagai
informan lapangan penelitian ini. Serta diperkuat oleh data dan informasi
dari beberapa informan mahasiswa perantauan dari luar Jawa yang sedang
menempuh kuliah semester lanjut di universitas-universitas Yogyakarta.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data kedua di luar kata dan
tindakan yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya, namun
data ini tidak diabaikan dan memiliki kedudukan penting yang mampu
memberikan tambahan serta penguatan terhadap data penelitian. Sumber
data sekunder biasanya diperoleh dari mengumpulkan referensi dan kajian
kepustakaan dan dokumen dari kegiatan objek penelitian yang sedang
dilaksanakan. Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari sumber
tertulis, majalah, surat kabar, jurnal, internet dan hasil penelitian yang
relevan dengan fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan di
Yogyakarta. Data sekunder juga dapat berupa data statistik mengenai
jumlah mahasiswa perantauan di Yogyakarta yang akan diteliti.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan suatu cara memperoleh data-data
yang diperlukan dalam penelitian.Teknik pengumpulan data yang digunakan
oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data dengan Observasi
Observasi merupakan aktivitas penelitian dalam rangka
mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah penelitian melalui
proses pengamatan langsung di lapangan. Peneliti berada ditempat itu,
untuk mendapatkan bukti-bukti yang valid dalam laporan yang akan
diajukan. Menurut Sanafiah Faisal (dikutip dari Sugiyono, 2007: 266)
mengklasifikasikan observasi menjadi beberapa bagian yaitu, observasi
partisipasi (participant observation), observasi secara terang-terangan dan
tersamar (overt observation and covert observation) dan observasi yang
tak terstruktur (unstructured observation).
Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian overt observation and
covert observation dengan jenis observasi non partisipasi atau pengamatan
secara langsung terhadap suatu fenomena yang dikaji. Dalam observasi
non partisipasi ini, pengamat berada diluar subjek yang diamati dan tidak
ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian
pengamat akan lebih mudah mengamati kemunculan tingkah laku yang
diharapkan (Irawan Suhartanto, 2002:69).
Dalam penelitian ini peneliti mengamati secara langsung fenomena
culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta. Peneliti
melakukan observasi dalam tiga tahap, tahap pertama observasi dilakukan
untuk mengetahui kemampuan penyesuaian diri hingga bentuk sosialisasi
mahasiswa perantau di Yogyakarta akibat fenomena culture shock. Tahap
kedua observasi dilakukan untuk mengetahui komunikasi yang terjadi di
lingkungan tempat tinggal sementara (kos) baik terhadap masyarakat
sekitar kos maupun sesama penghuni kos lainnya. Tahap ketiga observasi
dilakukan untuk mengetahui interaksi pertemanan antar mahasiswa yang
terjadi di lingkungan kampus.
2. Pengumpulan Data dengan Wawancara
Wawancara dimaksudkan untuk mengkontruksi mengenai orang,
kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain.
Wawancara atau interview merupakan percakapan denganmaksud tertentu.
Percakapan dilakukan oleh kedua pihak yaitu pewawancara yang
mengajukan pertanyaan atau sebagai pihak penanya, dan terwawancara
yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh pihak
penanya.
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan wawancara semi terstruktur dan tidak terstruktur.
Wawancara semi terstruktur memiliki pedoman wawancara namun apabila
sudah terjun ke lapangan akan berkembang sesuai dengan kondisi
lapangan. Sedangkan wawancara tidak terstruktur, yaitu peniliti tidak
terikat waktu dan biasanya informan karena memiliki sifat khas.
Pelaksanaan ini mengalir seperti percakapan sehari-hari (Moleong, 2007:
190-191).
Metode wawancara sering digunakan untuk mendapatkan informasi
dari orang atau masyarakat. Wawancara merupakan cara utama yang
digunakan dalam penelitian ini jika seseorang ingin mendapatkan data-
data atau keterangan secara lisan dari seorang informan. Wawancara
dilakukan dengan membuat pedoman wawancara yang relevan dengan
permasalahan yang kemudian digunakan untuk tanya jawab. Sebelum
melakukan wawancara, peneliti harus menyiapkan instrumen wawancara
terlebih dahulu. Didalam pedoman wawancara ini berisi sejumlah
pertanyaan yang wajib ditanya atau direspon oleh responden. Isi
pertanyaan tersebut meliputi fakta, realita, data, konsep, pendapat, persepsi
yang berkenaan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian.
Teknik wawancara menjadi cara yang digunakan jika seseorang ingin
mendapatkan data-data atau keterangan secara lisan dari seorang
responden. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara dengan
berusaha menggali data, informasi dan keterangan dari subjek yang
diperlukan, yaitu para mahasiswa perantauan di Yogyakarta.
3. Teknik Pengumpulan Data dengan Dokumentasi
Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan
menghimpun data dan menganalisis dokumen-dokumen baik dokumen
tertulis, dokumen visual berupa foto dan gambar, maupun data yang
terdapat dalam media elektronik. Teknik kegiatan pengumpulan data
khusus berupa pengumpulan data, pengolahan, penemuan kembali dan
penyebaran dokumen dengan sumber yang dapat diperinci dengan jalan
melihat, mencatat, dan mengabadikan dalam gambar untuk memperoleh
informasi atau gambaran mengenai objek yang diteliti. Dokumen yang
dihimpun dan dipilih sesuai dengan tujuan penelitian sebagai sumber data
yang dimanfaatkan untuk menguji data. Sebagai sesuatu yang tertulis,
tercetak atau terekam yang dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan.
Hal ini dilakukan dengan cara mengkaji sumber-sumber tertulis yang
berkaitan dengan pokok bahasan permasalahan. Dokumentasi untuk
penelitian yang dilakukan dengan mengambil gambar secara langsung
keadaan informan pada saat wawancara berlangsung, dan mencari
dokumen yang berkaitan dengan data fisik yang peneliti peroleh berupa
data jumlah mahasiswa perantauan di Yogyakarta pertahun ajaran
berdasarkan asal yang diperoleh dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikumpulkan selama
penelitian sebagai bahan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara dalam penelitian kualitatif.
F. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling merupakan cara yang digunakan dalam pengambilan
sampel penelitian. Maksud dari sampling dalam penelitian kualitatif adalah
untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber untuk
merinci kekhususan yang ada ke dalam konteks yang unik dan juga untuk
menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang
muncul (Moleong, 2006: 165). Pengambilan informan dilakukan secara
purposive yaitu berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian dan
pada umumnya informan berjumlah kecil tetapi sebanyak mungkin menjaring
informasi untuk tujuan penelitian dan tetap dalam batasan masalah penelitian.
Purposive sampling adalah teknik pengumpulan subyek berdasarkan ciri-
ciri atau sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan
ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui
sebelumnya. Sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek
bukan didasarkan atas srata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya
tujuan tertentu. Teknik ini biasanya didasarkan pada pertimbangan alasan
keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak dapat mengambil sampel
yang besar dan jauh.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menggunakan purposive
sampling adalah sebagai berikut.
1. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau
karakteristik tertentu yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.
2. Subyek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subyek
yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi.
3. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi
pendahuluan (Suharsimi Arikunto, 2010:128).
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa perantau yang sedang
berkuliah di Yogyakarta. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini
dilakukan dengan teknik purposive sampling. Pengambilan sampel ini
dilakukan berdasarkan adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh peneliti.
Subjek yang diambil merupakan subjek yang memiliki banyak kemiripan, atau
ciri umum dari populasi. Pertimbangan dalam penentuan sampel adalah
Peneliti menetapkan beberapa informan mahasiswa perantau yang sedang
berkuliah di universitas-universitas Yogyakarta.
Peneliti telah memilih informan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan
peneliti dengan karakteristik sebagai berikut:
a. Mahasiswa laki-laki atau perempuan usia sekitar 18-22 tahun (remaja-
dewasa),
b. Berkuliah di universitas-universitas yang terdapat Yogyakarta,
c. Mahasiswa perantauan yang berasal dari luar pulau Jawa, hal ini
disebabkan karena peneliti beranggapan bahwa propinsi di luar pulau Jawa
memiliki perbedaan kebudayaan, yang sangat mencolok dan kurangnya
pemahaman mengenai kehidupan multikultural sehingga semua hal ini
yang dapat memicu terjadinya gegar budaya.
d. Belum pernah memiliki pengalaman tinggal di Yogyakarta sebelum
akhirnya datang ke Yogyakarta untuk berkuliah di universitas-universitas
Yogyakarta,
e. Sejak awal masuk kuliah tinggal di sekitar kampus (hanya tinggal di kos,
tidak tinggal di rumah saudara yang berada di Yogyakarta).
G. Validitas Data
Validitas data atau keabsahan data pada penelitian kualitatif (Moleong,
2004:178), pemeriksaan terhadap keabsahan data selain digunakan untuk
menyanggah balik ada yang dituduhkan terhadap penelitian kualitatif yang
mengatakan tidak ilmiah, juga merupakan sebagai unsur yang tidak dipisahkan
dari tubuh pengetahuan penelitian kualitatif ini diperiksa dengan metode
triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain diluar data untuk kepentingan pengecekan data atau sebagai
pembanding terhadap data itu.
Triangulation menurut Patton dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:
1. Triangulasi Sumber, yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam metode kualitatif. Data yang diperoleh berupa wawancara
yang dilakukan lebih dari satu kali dalam periode waktu tertentu.
2. Triangulasi Metode, yaitu dengan menggunakan dua strategi; (a)
pengecekan terhadap derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian
dengan beberapa teknik pengumpulan data, (b) pengecekan derajat
kepercayaan beberapa sumber dengan metode yang sama.
3. Triangulasi Peneliti, yakni dengan memanfaatkan peneliti atau pengamat
lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan.
Pengambilan data dilakukan oleh beberapa orang.
4. Triangulasi Teori, yakni melakukan penelitian tentang topik yang sama
dan datanya dianalisa dengan menggunakan beberapa perspektif teori yang
berbeda (dikutip dari Moleong, 2004:178-179):.
Dalam penelitian ini variasi teknik yang digunakan adalah triangulasi
sumber. Hal ini dilakukan karena pengambilan data dalam penelitian ini
membandingkan data observasi dengan hasil wawancara terhadap informan,
membandingkan perspektif subjek dengan pendapat orang lain yang menjadi
sumber data pendukung, serta membandingkan hasil wawancara dengan isi
suatu dokumen yang berkaitan. Teknik triangulasi dengan sumber berarti
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan atau informasi
untuk menguji keabsahan data yang diperoleh, diharapkan data yang
terkumpul dalam seluruh rangkaian proses pengumpulan data merupakan data-
data yang valid dan dapat dianalisa dengan baik.
Teknik triangulasi dalam penelitian ini dilakukan dengan
membandingkan informasi yang peneliti peroleh dari masing-masing sampel.
Peneliti akan memeriksa keabsahan data dengan cara melakukan kembali
wawancara kepada informan lain yang paham akan permasalah yang berkaitan
dengan culture shock (gegar budaya) pada Mahasiswa perantauan di
Yogyakarta. Wawancara dengan informan lain ini dilakukan tanpa
sepengetahuan informan sebelumnya.
Teknik triangulasi dalam penelitian ini yaitu informasi dari mahasiswa
perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang menempuh semester awal
dibandingkan dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sedang
berkuliah semester lanjut di Perguruan Tinggi Yogyakarta, kemudian apabila
terjadi ketidakcocokan atau kurang relevan dibandingkan lagi dengan data
hasil observasi yang dilakukan peneliti hingga diperoleh informasi yang
mendukung data sehingga dapat diambil suatu hasil akhir. Sesuai dengan
prinsip penelitian kualitatif, yaitu pencarian informasi jika sudah menemui
sampai titik jenuh maka dapat ditarik kesimpulan hasil. Kemudian untuk
memperkuat validitas data yaitu dengan cara membandingkan data berupa
informasi yang berasal dari dokumentasi, gambar dan sumber internet.
H. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses pengumpulan data secara sistematis
untuk mempermudah peneliti dalam memperoleh kesimpulan. Analisis data
menurut Bogdan yaitu proses mencari dan menyusun secara sistematik data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain
sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain (Sugiyono,2009:334).
Proses analisis data dilakukan melalui 4 tahap kegiatan yang terjadi
secara bersama-sama yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data,
penarikan kesimpulan/ verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:15-21) yakni:
1. Pengumpulan data
Data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi
yang kemudian dituliskan dalam catatan lapangan yang berisi tentang apa
yang dilihat, didengar, disaksikan, dialami dan juga temuan tentang apa
yang dijumpai selama penelitian yang kemudian ditulis dalam catatan
lapangan, memanfaatkan dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto
dan lain sebagainya.
Penelitian tentang fenomena culture shock pada mahasiswa
perantauan di Yogyakarta dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu tahap
wawancara kepada mahasiswa perantau di universitas-universitas
Yogyakarta yang kemudian dicatat serta diambil bagian-bagian yang
dianggap relevan dengan pokok permasalahan. Tahap kedua adalah
melakukan aktivitas browsing untuk mencari informasi umum tentang
culture shock pada mahasiswa perantauan. Tahap berikutnya dilakukan
dokumentasi data berupa foto-foto.
2. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung
terus menerus selama penelitian di lapangan. Selama pengumpulan data
reduksi selanjutnya membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema,
membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo. Reduksi data/
proses transformasi ini berlanjut terus sesudah peneliti lapangan, sampai
laporan akhir lengkap tersusun. Reduksi data bertujuan untuk memberi
gambaran dan mempertajam hasil dari pengamatan yang sekaligus untuk
mempermudah kembali pencarian data yang diperoleh.
Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membuat
coding hasil wawancara dengan tujuan menyeleksi data. Pemberian kode
dalam hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa informan
dikumpulkan menjadi satu. Kemudian data setiap kode yang telah
dikumpulkan tersebut dianalisis sesuai dengan masalah yang dikaji. Selain
itu, juga membuat ringkasan hasil wawancara tentang fenomena culture
shock pada mahasiswa perantauan dan membuang bagian-bagian yang
tidak penting sehingga dihasilkan gambaran yang fokus pokok penelitian
dan untuk memperkuat data peneliti membandingkan data hasil
wawancara dengan data yang berasal dari dokumentasi, gambar, serta
sumber internet.
3. Penyajian data
Setelah data direduksi, langkah berikutnya adalah penyajian data.
Penyajian data cenderung mengarah pada penyederhanaan data kompleks
kedalam kesatuan bentuk yang sederhana dan selektif sehingga mudah
dipahami. Penyajian data merupakan rangkaian kalimat yang disusun
secara logis dan sistematis sehingga mudah dipahami. Kemampuan
manusia sangat terbatas dalam menghadapi catatan lapangan yang bias,
jadi mencapai ribuan halaman. Oleh karena itu diperlukan sajian data yang
jelas dan sistematis dalam membantu peneliti menyelesaikan
pekerjaannya. Penyajian data dibatasi sebagai sekumpulan informasi yang
tersusun dan memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan.
Setelah proses transformasi data, selanjutnya yang telah dilakukan
adalah menyusun data dalam satuan-satuan. Satuan-satuan tersebut
kemudian dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Kategorisasi
termasuk di dalamnya terdapat pemeriksaan keabsahan data melalui
triangulasi sumber. Melalui penyajian data akan dipahami apa saja yang
telah terjadi, apa yang harus dilakukan, dan apa lebih lanjut lagi
mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari
penyajian data tersebut. Langkah yang ketiga ini, peneliti menyusun
informasi-informasi tentang mahasiswa perantauan yang memberikan
kemungkinan penarikan kesimpulan tentang fenomena culture shock di
Yogyakarta. Penyajian data dalam penelitian ini mengacu pada rumusan
masalah yang ada pada BAB I.
4. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan proses untuk merangkum data-data
yang telah direduksi ataupun telah disajikan peneliti berusaha
menyimpulkan data hasil penelitian, serta menganalisis data dan membuat
kesimpulan. Kesimpulan yang ditarik segera diverifikasikan dengan cara
melihat dan mempertanyakan pemahaman yang lebih tepat, dilakukan
dengan mengdiskusikannya. Hal tersebut dilakukan agar data yang
diperoleh dan penafsiran terhadap data tersebut memiliki validitas
sehingga kesimpulan yang ditarik menjadi kokoh. Kesimpulan dalam
penelitian ini berupa deskripsi dari objek yang pada awalnya belum jelas,
sehingga terlihat hubungan sebab akibat yang terkait dengan penelitian
atau jawaban dari masalah penelitian ini yaitu tentang fenomena culture
shock pada mahasiswa perantauan. Dalam penarikan kesimpulan tentunya
peneliti sudah merasa terpenuhi akan data yang sesuai dengan
permasalahan yang sedang ia teliti sebagai langkah akhir dalam pembuatan
suatu laporan.
Model analisis data yang dipergunakan dalam penelitian tentang
fenomena culture shock pada mahasiswa perantauan di Yogyakarta ini
adalah model analisis interaktif dari Miles dan Huberman. Adapun siklus
dari keseluruhan proses analisis data Miles dan Huberman tersebut
digambarkan pada skema berikut (Miles dan Huberman, 1992:20).
Bagan 2. Komponen-komponen Analisis data
Sajian Data Pengumpulan Data
Verifikasi/
Penarikan
Kesimpulan
Reduksi
Data
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Deskripsi Umum D.I. Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 33
provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian
tengah. Berdasarkan informasi dari Badan Pertanahan Nasional, D.I.
Yogyakarta tercatat memiliki luas 3.185,80 km² atau 0,17 persen dari
luas Indonesia (1.860.359,67 km²), merupakan provinsi terkecil setelah
Provinsi DKI Jakarta (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka,
2014: 3). D.I. Yogyakarta secara administratif terbagi menjadi lima
daerah tingkat II yaitu; Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman,
Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten
Kulonprogo (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 7).
Kualitas pendidikan yang memadai sangatlah diperlukan oleh
penduduk untuk meningkatkan kualitas hidup. Tingginya permintaan
jasa pendidikan menuntut tersedianya penyelenggara pendidikan yang
makin bermutu sejalan dengan visi Daerah Istimewa Yogyakarta pada
tahun 2025 sebagai Pusat Pendidikan, Pusat Budaya, dan Daerah
Tujuan Wisata Terkemuka di Asia Tenggara dalam Lingkungan
Masyarakat yang Maju, Mandiri, dan Sejahtera (BPS Provinsi D.I.
Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 106). Secara nasional, pendidikan
diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta.
Pada tahun 2013/2014 untuk jenjang Perguruan Tinggi tercatat
pada jenjang perguruan tinggi negeri (PTN), D.I. Yogyakarta memiliki
10 perguruan tinggi negeri, dengan jumlah mahasiswa keseluruhan
sebanyak 110.437orang dan jumlah dosen sebanyak 4.828 orang.
Adapun perguruan tinggi swasta (PTS) tercatat sebanyak 107, dengan
rincian sebanyak 18 universitas, 37 sekolah tinggi, 4 institut, 41
akademi dan 7 politeknik. Didalamnya tergabung mahasiswa sebanyak
74.165 orang yang diasuh oleh 5.539 orang dosen tetap (BPS Provinsi
D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 107).
Bermunculannya berbagai instansi pendidikan tinggi baik negeri
hingga swasta yang tersedia di propinsi DIY dengan misi pendidikan
berkualitas, berdaya saing, yang didukung oleh sumber daya
pendidikan yang handal ini pun menambah dampak besarnya arus
mahasiswa yang datang dari hampir seluruh penjuru daerah di
Indonesia untuk merantau ke Yogyakarta dengan tujuan melanjutkan
pendidikan, sehingga tidak akan berlebihan bila Yogyakarta sering
disebut sebagai kota miniatur Indonesia.
Berdasarkan informasi dari hasil proyeksi penduduk dari SP2010,
jumlah penduduk DIY tahun 2013 tercatat 3.594.854 jiwa. Menurut
daerah, persentase penduduk kota mencapai 66,09 persen dan
penduduk desa mencapai 33,91 persen. Dengan luas wilayah 3.185,80
km², kepadatan penduduk di DIY tercatat 1.128 jiwa per km2. D.I.
Yogyakarta termasuk ke dalam kota dengan laju pertumbuhan
penduduk yang rendah di Indonesia, namun bukan berarti kota ini
terlepas dari permasalahan kependudukan. Tingginya angka para
perantau yang datang dari berbagai wilayah untuk menempuh
pendidikan di Yogyakarta menjadi salah satu hal penyebab utama pada
tingginya kepadatan penduduk yang hanya memusat pada lokasi-lokasi
tertentu, khususnya pada lingkungan sekitar daerah sentra pendidikan
di Yogyakarta seperti daerah perguruan tinggi baik negeri maupun
swasta, terlebih pada saat musim awal tahun ajaran baru (BPS Provinsi
D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 63).
Hal ini tidak terlepas dari sejarah pendidikan berdirinya salah satu
Perguruan Tinggi Islam tertua di Indonesia pada tanggal 08 Juli 1945
yang kemudian menjadi UII, serta konsep pendidikan pada “National
Onderwijs Institut Taman Siswa” yang didirikan oleh Ki Hajar
Dewantara pada tanggal 03 Juli 1992 di Yogyakarta. Di sinilah
keunggulan Yogyakarta sebagai Kota Pelajar yang kemudian berubah
sebutan menjadi Kota Pendidikan karena dari Yogyakarta inilah
kemudian lahir hari pendidikan Nasional yang mengambil hari lahir Ki
Hajar Dewantara, Sang Pendiri Tamansiswa inilah yang kemudian
menjadikan Yogyakarta sejak dulu santar dikenal oleh masyarakat luas
di seluruh Indonesia sebagai kota pelajar, dengan nuansa akademik
yang menonjol, kota yang maju dalam dunia ilmu pendidikan dan
banyak menarik minat para pelajar hingga mahasiswa perantau untuk
datang kemudian menetap sementara waktu selama menuntut ilmu di
Yogyakarta begitu terus dari dahulu hingga saat ini (Budi Wibowo,
2015:8).
Lingkungan hidup merupakan sejumlah benda dan kondisi yang
ada dalam ruangan yang kita tempati, serta mempengaruhi kehidupan
kita. Semua saling berinteraksi dengan lingkungan hidup dan
sebaliknya individu juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya
(Ihromi, 1990:69). Oleh karena itu mau tidak mau dalam kehidupan
kesehariannya manusia senantiasa bergantung pada lingkungannya,
termasuk lingkungan sosial dan budaya. Mahasiswa maupun pelajar
perantau mereka tinggal di Yogyakarta dengan tujuan utama dalam hal
pendidikan yang bersifat sementara waktu menciptakan fenomena
mobilitas penduduk yang cukup tinggi.
Mobilitas penduduk mempunyai pengertian pergerakan penduduk
dari satu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk dari ada tidaknya
niatan untuk menetap di daerah tujuan, mobilitas penduduk dapat pula
dibagi menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk permanen dan mobilitas
non-permanen. Mobilitas penduduk permanen adalah gerak penduduk
yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah tujuan dengan
niatan menetap. Sebaliknya mobilitas penduduk non-permanen adalah
gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah
tujuan dengan tidak ada niatan menetap didaerah tujuan (Mantra, 2003:
172). Sehingga para mahasiswa pendatang atau perantau ini termasuk
dalam mobilitas penduduk non-permanen yang biasanya tidak banyak
terikat dengan hak dan kewajiban atas aturan yang ada dilingkungan
tempat yang mereka tinggali, atau bersifat longgar.
Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta
yang didapat dari sumber proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035,
yaitu; Kulonprogo 403.203, Bantul 947.066, Gunungkidul 700.192,
Sleman 1.141.684, Kotamadya Yogyakarta 402.709. Penduduk asli
D.I. Yogyakarta pada dasarnya telah mempunyai hak dan kewajiban
terhadap tempat tinggalnya (tanah-bangunan milik pribadi), serta hak
dan kewajiban terhadap masyarakat sekitar mereka (bertetangga,
sosialisasi, perasaan berkelompok), sehingga kecenderungan untuk
melakukan perpindahan pun bisa dikatakan minim bahkan tidak ada
sama sekali (BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 70).
a. Karakter Sosial Budaya Yogyakarta
Menurut E. B Taylor dalam bukunya “Primitive Culture” , bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang ada di dalamnya
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat
manusia sebagai anggota dari masyarakat yang dialihkan dari generasi
ke generasi berikutnya melalui proses belajar (Koentjaraningrat, 1980:
195). D.I. Yogyakarta merupakan suatu wilayah otonomi provinsi
yang memiliki keistimewaan tersendiri. Masyarakat Yogyakarta
mempunyai beberapa karakteristik yang membedakan dengan
masyarakat dari daerah lain. Di antara karakteristik sosial dari
masyarakat Yogyakarta yang menonjol adalah sikap berbudaya yang
tinggi, menunjang nilai-nilai budaya, norma-norma sosial serta moral
kehidupan berbudaya yang terkandung dalam adat istiadat Jawa dan
hingga saat ini masih melekat mengiringi perkembangan sosial
masyarakatnya. Meskipun perkembangan jaman yang semakin modern
dan keadaan kota yang semakin didominasi mayoritas oleh para
pendatang perantauan, tidak lantas membuat masyarakat Yogyakarta
luput untuk tetap menghormati serta memelihara nilai-nilai luhur sosial
dan budaya yang dimilikinya. Nilai-nilai sosial budaya sebagai orang
jawa masih tetap ada dan terpelihara sampai sekarang dalam mengatur
jalannya kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut tampak dari perilaku
dan tindakan mereka sehari-hari yang amat terasa nilai paguyubannya
serta tradisi yang rutin dilakukan oleh kraton setiap tahunnya. Interaksi
antara sesama warga masyarakat Yogyakarta di warnai dengan suasana
yang penuh kekeluargaan dan kebersamaan. Hubungan dan kedekatan
antar warga cukup baik dan saling menghargai atau tepo seliro satu
sama lainnya.
Luwig Wittgenstein mengatakan bahwa manusia akan mengikuti
aturan-aturan dalam mengerjakan sesuatu melalui bahasa seperti
memberikan dan mentaati perintah, bertanya dan menjawab
pertanyaan, serta menjelaskan kejadian. Bahasa adalah salah satu alat
yang digunakan oleh manusia untuk bekomunikasi dan memulai
interaksi satu dengan yang lainnya (Stephen, Littlejohn andFoss,
2012: 67).
Begitu pula dengan masyarakat Yogyakarta, dalam kesehariannya
dalam berkomunikasi mereka menggunakan bahasa Jawa. Dalam
menggunakan bahasa Jawa ada beberapa hal yang diperhatikan oleh
warga pribumi Yogyakarta, yaitu: siapa yang menjadi lawan bicara dan
jenis tingkatan bahasa jawa yang kemudian akan digunakan. Jika
berhadapan dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati,
bahasa yang digunakan ialah bahasa Jawa krama alus/ inggil, namun
apabila berhadapan dengan teman sebaya atau dibawah umurnya maka
bahasa yang akan digunakan adalah bahasa Jawa ngoko yang biasa
dipergunakan oleh orang Jawa pada umumnya yang sangat familiar di
dengar.
Budaya masyarakat D.I. Yogyakarta dengan tutur kata yang
lembut, sopan dan ramah merupakan salah satu bukti terjaganya
kelestarian budaya kota Yogyakarta. Akan tetapi hak ini tidak lantas
membuat suatu dominasi tertentu terhadap pihak lainnya mengenai
adanya perbedaan komposisi penduduk antara pribumi dengan
perantau di Yogyakarta. Warga lokal Yogyakarta memiliki sikap
fleksibel dalam usaha menerima dan beradaptasi dengan pendatang
yang memiliki perbedaan latar belakang budaya.
Dengan adanya percampuran tersebut tercipta suatu hubungan
toleransi budaya dan nuansa khas multikultural di kota Yogyakarta.
Penduduk lokal senantiasa bergerak mengikuti perkembangan jaman
tanpa melalaikan identitas sejatinya sebagai pribumi Yogyakarta yang
berbudaya hal ini terlihat dari pola kehidupan masyarakatnya yang
masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan,
unggah-ungguh, nilai norma dan adat istiadat Yogyakarta sebagai
orang Jawa. Dipihak lain, warga Yogyakarta juga tidak
mengesampingkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi setelah
banyaknya pendatang yang tinggal untuk merantau di Yogyakarta,
antara lain: sikap toleransi, menghargai dalam pergaulan dan
penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, terutama bagi
pendatang luar Jawa yang tidak paham bahasa Jawa.
b. Mahasiswa perantauan di Yogyakarta
Menurut Kato Tsuyushi istilah merantau berarti meninggalkan
kampung halaman atau tanah kelahiran. Keluar dari kampung sendiri
untuk pergi ke kota lain dalan kurun waktu tertentu sudah disebut
sebagai merantau. Permulaan merantau bertujuan untuk mencari
penghidupan yang lebih baik. Sekarang ini untuk melanjutkan
pendidikan ke negeri lain juga disebut dengan pergi merantau (Kato
Tsuyushi, 2005:13).
Para mahasiswa perantau yang berasal dari berbagai daerah
propinsi di Indonesia yang memilih merantau ke Yogyakarta karena
tertarik akan kualitas pendidikan yang tersedia di Yogyakarta ini
datang hanya dengan tujuan utama dalam hal pendidikan. Para
mahasiswa perantau tersebut tergolong sebagai penduduk musiman
tinggal di Yogyakarta dan bersifat sementara waktu. Secara tidak
langsung hal ini berdampak pada suatu keadaan yang akhirnya
menimbulkan suatu fenomena mobilitas penduduk di Indonesia yang
cukup tinggi pada kota-kota besar tertentu yang dianggap oleh
masyarakat umum merupakan tempat yang memiliki daya tarik sebagai
pusat pendidikan. Fenomena mobilitas penduduk musiman dengan
kepentingan pendidikan seperti ini pastinya hanya akan berlangsung
dalam kurun waktu tertentu atau sementara waktu demi keperluan
menimba ilmu, bukan untuk migrasi yang menetap secara permanen.
Tingginya daya tarik yang mampu di berikan oleh Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta yang sejak duhulu santar dikenal oleh
khalayak umum dari sabang hingga merauke masyarakat luas di
seluruh Indonesia sebagai kota pelajar, dengan nuansa akademik yang
menonjol, kota yang maju dalam dunia ilmu pendidikan dan banyak
menyedot minat para pelajar hingga mahasiswa perantau untuk datang
kemudian menetap sementara waktu selama menuntut ilmu di
Yogyakarta hingga saat ini di kuatkan dengan tabel jumlah mahasiswa
di Perguruan Tinggi Yogyakarta tahun 2015 yang didapat dari Dinas
Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai pengukur secara nyata yang tertulis dalam data
sekunder yang diperoleh peneliti untuk menjadi salah satu data resmi
seperti tabel dibawah ini.
Jumlah Mahasiswa Di Perguruan Tinggi Yogyakarta 2015
No. Asal Daerah Jumlah
1 DKI 9.141
2 Jawa Barat 14.886
3 Jawa Tengah 82.331
4 DIY 99.610
5 Jawa Timur 9.415
6 NAD 2.889
7 Sumatera Utara 17.832
8 Sumatera Barat 3.882
9 Riau 14.221
10 Jambi 4.114
11 Sumatera Selatan 7.993
12 Lampung 7.116
13 Kalimantan Barat 5.821
14 Kalimantan Tengah 3.882
15 Kalimantan Selatan 3.225
16 Kalimantan Timur-Kalimantan Utara 8.221
17 Sulawesi Utara 2.110
18 Sulawesi Tengah 2.577
19 Sulawesi Selatan 7.322
20 Sulawesi Tenggara 2.241
21 Sulawesi Barat 6.541
22 Maluku 1.447
23 Bali 2.792
24 NTB 4.472
25 NTT 13.822
26 Papua 7.889
27 Bengkulu 3.221
28 Banten 1.221
29 Maluku utara 1.227
30 Bangkabelitung 2.551
31 Gorontalo 1.261
32 Papua Barat 4.221
33 Kepuluan Riau 3.354
34 Luar Negeri 4.882
Jumlah Kumulatif 394.117
Tabel 2. Jumlah Mahasiswa Di Perguruan Tinggi Yogyakarta 2015
Sumber: Data Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga
Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam Angka 2015
Dari tabel jumlah mahasiswa di Yogyakarta berdasarkan asal daerah dari
sumber data Dikpora Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2015 diatas
menunjukkan besarnya jumlah mahasiswa perantau yang datang ke
Yogyakarta terdiri dari berbagai daerah luar D.I. Yogyakarta, provinsi-
propinsi di luar pulau Jawa hingga luar Negeri sebesar 294.507. Mahasiswa-
mahasiswa perantau tersebut datang dengan tujuan utama yang sama yaitu
demi menempuh pendidikan tingkat lanjut yang berkualitas, menambah
pengalaman, mampu berkembang secara luas dan melatih kemandirian diri di
tengah kentalnya budaya etnis Jawa yang menonjol sebagai identitas budaya
Yogyakarta. Tidak terelakkan jika hal ini kemudian memicu tingginya
fenomena culture shock yang disebabkan oleh perbedaan karakteristik budaya
diatas kemajemukan latarbelakang budaya yang dimiliki oleh para mahasiswa
perantau dengan keadaan sosial budaya yang ada di Yogyakarta.
Kedatangan mahasiswa-mahasiswa perantau ini kemudian mendorong
munculnya suatu keadaan dimana identitas kebudayaan, etnis/ suku, bahasa
akan terasa begitu heterogen, hal ini disebabkan oleh masuknya budaya-
budaya luar Yogyakarta yang terbawa oleh setiap mahasiswa perantau
kedalam D.I.Yogyakarta sedangkan jika dilihat dari tabel data Dikpora tahun
2015 mahasiswa pribumi lokal asli D.I. Yogyakarta sendiri sebesar 99.610
yang tersebar di PTN maupun PTS yang terdapat di Yogyakarta, hal ini
memberikan kemungkinan bahwa disetiap perguruan tinggi di D.I.Yogyakarta
baik PTN maupun PTS akan terdapat mahasiswa pribumi Yogyakarta.
Kenyataan lain datang dari data Badan Pusat Statistik Provinsi D.I.
Yogyakarta dalam angka 2014 menunjukkan dosen pengajar menurut jenis
PTN memiliki jumlah total 4.828 dan Jumlah dosen pengajar menurut Jenis
PTS di D.I.Yogyakarta memiliki jumlah total 6.379 (BPS Provinsi D.I.
Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 131 dan 177) kesemuanya merupakan
penduduk pribumi lokal D.I. Yogyakarta sebagai tuan rumah yang memiliki
ciri khas dari identitas kearifan budayanya.
2. Deskripsi Umum Informan Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa perantauan yang
berasal dari luar pulau Jawa yang berkuliah di universitas-universitas yang
terdapat di Yogyakarta. Mahasiswa perantauan yang berasal dari luar
pulau Jawa yang didapat terbagi dalam dua katagori yaitu mahasiswa
perantauan asal luar jawa yang sedang menempuh semester awal dan
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa yang sudah menjalani
beberapa semester (semester lanjut) berkuliah di Perguruan Tinggi
Yogyakarta. Dalam penelitian untuk mendapatkan data-data dan informasi,
peneliti melakukan wawancara dengan informan atau responden yang
sengaja dipilih oleh peniliti untuk menjadi sampel yang bisa mewakili
populasi yang ada.
Menurut peneliti mahasiswa perantauan asal luar jawa yang sedang
menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta
bahwa sebagai individu pendatang mereka akan mulai mengalami tahap
awal fenomena culture shock dimana muncul perasaan asing terhadap
tempat baru atau tempat rantauan, tidak nyaman dengan segala kondisi
lingkungan baru dan tidak mudah menyesuaikan diri dalam kehidupan
sehari-hari terhadap lingkungan tempat tinggal mereka yang baru di
Yogyakarta, hal ini yang kemudian akan berpengaruh dengan hasil
penelitian yang didapat. Informan-informan yang didapat dari katagori
mahasiswa perantauan yang baru saja memasuki semester awal
perkuliahan berasal dari beberapa daerah di luar pulau Jawa, seperti
Padang, Mamuju (Sulawesi Barat), Papua Barat dan Papua Pegunungan
Wamina.
Sedangkan untuk mahasiswa perantauan yang sudah menjalani
beberapa semester (semester lanjut), mereka ialah individu pendatang yang
telah melalui fenomena culture shock dan telah menemukan cara dimana
individu mulai dapat menerima dan menyesuaikan diri terhadap situasi-
situasi di kehidupan sehari-hari dengan lingkungan tempat tinggal mereka
yang baru di Yogyakarta. Informan-informan yang didapat dari katagori
mahasiswa perantauan yang sudah menjalani beberapa semester (semester
lanjut) berasal dari beberapa daerah di luar pulau Jawa, yaitu Pematang
Siantar, Bedugul Bali, dan Kalimantan Utara Kabupaten Malinau.
Penelitian ini mengambil informan sebanyak 8 orang yang terdiri dari 4
orang mahasiswa perantauan asal luar jawa yang sedang menempuh
semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi Yogyakarta dan 4 orang
informan mahasiswa perantauan dari luar jawa yang sudah menjalani
beberapa semester (semester lanjut) berkuliah di Yogyakarta.
Deskripsi umum informan mahasiswa perantauan asal luar jawa yang
sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi
Yogyakarta tersebut antara lain sebagai berikut:
1. SC (Perempuan, 18 tahun)
SC adalah salah seorang mahasiswi perantau yang berasal dari
Padang. SC datang ke Jogja sekitar bulan september 2013. SC baru
saja memasuki semester awal perkuliahan di Universitas Gajah Mada.
SC tidak memiliki saudara di Yogyakarta. SC sengaja memilih tempat
kos yang dekat dengan kampusnya, kini ia bertempat tinggal di daerah
Karang Bendo Yogyakarta. SC masih tergolong sebagai mahasiswi
baru dan belum terlalu lama tinggal di Jogja. SC memiliki sifat yang
sedikit tertutup, sosok yang pendiam serta pemalu, sehingga karena
sifatnya tersebut membuatnya enggan untuk memulai interaksi dengan
orang-orang baru atau teman-teman barunya kecuali jika mereka yang
memulai berinteraksi dengannya maka ia akan menanggapinya.
2. WLLY (Perempuan, 17 tahun)
WLLY adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Mamuju
Sulawesi Barat. WLLY datang ke Jogja sekitar bulan Agustus 2013.
WLLY baru saja memasuki semester awal perkuliahan di Universitas
Islam Indonesia. WLLY tidak memiliki saudara di Yogyakarta, WLLY
sengaja memilih tempat kos yang dekat dengan kampusnya, WLLY
bertempat tinggal di daerah Seturan. Sama seperti SC, WLLY pun
mengaku bahwa ia merupakan sosok yang sedikit tertutup, pendiam
dan pemalu. WLLY mengakui dengan sifatnya tersebut membuatnya
enggan untuk memulai interaksi dengan orang-orang baru atau teman-
teman barunya kecuali jika mereka yang memulai berinteraksi
dengannya maka ia akan menanggapinya. Dalam sosoknya yang
pendiam, ia mengamati bagaimana karakter teman-teman barunya di
lingkungan barunya ini.
3. MNDL ( Pria, 18 tahun)
MNDL adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Papua Barat.
MNDL datang ke Jogja sekitar bulan Juli tanggal 15 tahun 2015.
MNDL baru saja memasuki semester awal perkuliahan di Universitas
Negeri Yogyakarta. MNDL merupakan mahasiswa dari jalur program
kerjasama daerah yang antara dinas pendidikan di daerahnya dengan
Universitas Negeri Yogyakarta. MNDL memiliki merupakan sosok
yang pendiam, sehingga karena sifatnya tersebut membuatnya enggan
untuk memulai interaksi dengan orang-orang baru atau teman-teman
barunya kecuali jika mereka yang memulai berinteraksi dengannya
maka ia akan memberikan respon baik untuk menanggapinya.
4. SN (Pria, 18 tahun)
SN adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Papua,
Pegunungan Wamena. SN datang ke Jogja sekitar pertengahan tahun
ini, tepatnya tanggal 07 bulan delapan 2015. SN baru saja memasuki
semester awal perkuliahan di Universitas Negeri Yogyakarta. SN
merupakan mahasiswa dari jalur program kerjasama daerah yang
antara dinas pendidikan di daerahnya dengan Universitas Negeri
Yogyakarta.
Deskripsi umum informan mahasiswa perantauan dari luar jawa
yang sudah menjalani beberapa semester (semester lanjut) berada di
Yogyakarta adalah sebagai berikut:
5. ADTY (Pria, 21 tahun)
ADTY adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Pematang
Siantar Sumatera Utara dengan etnis Simalungun-Batak. ADTY datang
ke Jogja sekitar bulan April 2011. ADTY sudah menjalani beberapa
semester perkuliahan di Universitas Pembangunan Nasional. ADTY
sengaja memilih tempat kos yang dekat dengan kampusnya, di daerah
Nologaten Selokan Mataram Yogyakarta. ADTY merupakan
mahasiswa semester lanjut dan sudah beberapa tahun tinggal di Jogja.
ADTY mengatakan bahwa suasana perbedaan budaya yang begitu
terasa di Jogja membuatnya enggan untuk mengawali perkenalan
dengan teman-teman barunya dan menjalin pertemanan di Jogja karena
rasa canggung akan perbedaan kebudayaan yang ada diantara mereka.
ADTY mengakui bahwa pada awal kehidupannya di Jogja ia jarang
berinteraksi dengan teman-teman barunya dikampus maupun di
lingkungan kos kecuali hanya untuk sekedar bertanya hal sekedarnya.
ADTY adalah sosok yang sedikit individual, sehingga karena sifatnya
tersebut membuatnya tidak mudah untuk memulai interaksi dengan
teman-teman barunya kecuali jika teman-teman barunya itu yang
memulai berinteraksi dengannya, itupun ia hanya menanggapinya
dengan datar.
6. KMG (Pria, 20 tahun)
KMG adalah mahasiswa perantau beragama hindu yang berasal
dari Bedugul Bali. KMG datang ke Jogja sekitar bulan April 2011.
KMG sudah menjalani beberapa semester perkuliahan di STIE YKPN.
Meskipun KMG memiliki saudara di Banguntapan Yogyakarta, KMG
tetap lebih memilih untuk kos. KMG kos di daerah Maguwoharjo
Yogyakarta, tempat ini terbilang jauh dari kampus, namun KMG
memilih tempat kos didaerah tersebut karena merupakan kos khusus
yang dihuni oleh orang-orang beragama Hindu dan mayoritas berasal
dari daerah yang sama dengannya. KMG merupakan mahasiswa
semester lanjut dan sudah beberapa tahun tinggal di Jogja.
7. UI (Perempuan, 20 tahun)
UI adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Kabupaten
Malinau, Kalimantan Utara. UI datang ke Jogja sekitar september
2012. UI telah memasuki beberapa semester perkuliahan di Universitas
Negeri Yogyakarta. UI merupakan mahasiswa dari jalur program
kerjasama daerah yang antara dinas pendidikan di daerahnya dengan
Universitas Negeri Yogyakarta. UI memiliki sifat yang sedikit tertutup,
sosok yang pendiam serta pemalu namun mampu memberikan respon
baik bagi yang baik kepadanya.
8. ERN (Perempuan, 20 tahun)
ERN adalah mahasiswa perantau yang berasal dari Kabupaten
Malinau, Kalimantan Utara. ERN datang ke Jogja sekitar 31 Agustus
2012. ERN telah memasuki beberapa semester perkuliahan di
Universitas Negeri Yogyakarta. ERN merupakan mahasiswa dari jalur
program kerjasama daerah yang antara dinas pendidikan di daerahnya
dengan Universitas Negeri Yogyakarta.
B. Analisis dan Pembahasan
1. Penyebab Yang Melatarbelakangi Proses Terjadinya Culture Shock
Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta
Dalam penelitian ini, konsep mahasiswa perantauan menggunakan
definisi Mochtar Naim, ia menyebutkan merantau merupakan tipe khusus
dari migrasi dengan konotasi budaya tersendiri yaitu seorang individu yang
datang dari luar daerah, meninggalkan kampung halaman atau tanah
kelahiran untuk pergi merantau ke kota, wilayah atau bahkan luar negeri,
dengan kemauan sendiri, dalam kurun waktu tertentu/untuk jangka waktu
lama atau tidak biasanya dengan maksud kembali pulang, dan dengan tujuan
melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Berbagai alasan
mengapa mereka melanjutkan studi diluar daerah, antara lain memperluas
wawasan, memperoleh pendidikan yang lebih baik, memperoleh
pengalaman baru dan mengharapkan tingkat kehidupan yang lebih baik
(Mochtar Naim, 1984: 2).
Menjadi hal umum bahwa para pelajar di berbagai provinsi di luar
pulau Jawa banyak yang lebih memilih perguruan tinggi di pulau Jawa untuk
meneruskan pendidikan tingginya. Hingga akhirnya kumpulan pelajar
tersebut memusat di beberapa kota besar di Indonesia untuk satu tujuan yang
sama yaitu berkuliah melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi
setelah selesai menempuh pendidikan di bangku sekolah menengah atas.
Selain banyaknya perguruan tinggi, kualitas perguruan tinggi di pulau Jawa
dinilai lebih baik dibandingkan perguruan tinggi di luar pulau Jawa.
Beberapa daerah yang menjadi pilihan bagi pelajar dari berbagai daerah di
Indonesia untuk meneruskan studi ke tingkat pendidikan perguruan tinggi
yaitu kota Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Semarang, Solo, Malang
dan Surabaya. Daerah-daerah tersebut dikenal memiliki sarana dan
prasarana perkuliahan lengkap, didukung dengan tempat yang kondusif
dalam proses belajar mengajar dan mampu menghasilkan daya saing prestasi
tinggi antar universitas. Seperti pada pernyataan dari informan SC
mahasiswa perantau asal luar jawa mengenai alasannya menjadi perantau
sebagai berikut:
“Keinginan sendiri lalu didukung oleh orang tua, agar aku bisa mandiri,
mampu berkembang lalu tahu dunia luar. Lagi pula orang-orang
didaerah kami menganggap kalau kualitas perguruan tinggi di pulau
Jawa itu lebih baik dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa. Jadi
orang tua semakin antusias agar aku merantau ke Jawa demi prospek
kedepannya yang penuh peluang begitu kak” (Berdasarkan hasil
wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13
November 2013 pukul 14.00 WIB).
Sama halnya dengan keadaan kota Yogyakarta yang sudah sejak lama
dikenal sebagai kota dengan nuansa akademik yang menonjol, kota yang
berjamur dan berkembang pesat berbagai lembaga pendidikan yang maju
dalam dunia ilmu pendidikan sehingga banyak menarik minat para pelajar
hingga mahasiswa perantau untuk datang kemudian menetap sementara
waktu selama menuntut ilmu di Yogyakarta begitu terus dari dahulu hingga
saat ini. Wajar jika Yogyakarta telah banyak menyedot minat pelajar dari
seluruh Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat perguruan
tinggi berkualitas yang banyak terdapat di Yogyakarta.
Yogyakarta sebagai kota pelajar didukung oleh pemerintah daerah
D.I.Yogyakarta dengan di dirikannya perpustakaan sebagai salah satu sarana
mendapatkan informasi pada tahun 2013 tercatat sebanyak 3.408 unit.
Sebagian besar merupakan perpustakaan sekolah yaitu 85,45%, sedangkan
perpustakaan desa 12,85%, perpustakaan umum 0,18%, perpustakaan
keliling 0,56% dan perpustakaan internet sebesar 0,97% (BPS Provinsi D.I.
Yogyakarta, Dalam Angka, 2014: 110). Selain sebagai kota pendidikan,
Yogyakarta dikenal dengan kota bersejarah, kota wisata juga merupakan
kota besar dengan sarana prasarana dan fasilitas kota bervariasi yang
kesemuanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya.
Sehingga dapat dibayangkan tingginya daya tarik yang mampu diberikan
untuk menyedot minat para pendatang dengan tujuannya masing-masing,
baik dari pendatang yang sekedar berkunjung ketempat-tempat wisata di
Yogyakarta hingga pendatang untuk merantau ke Yogyakarta.
Hal ini diperkuat dengan sumber data sekunder yang peneliti
dapatkan dari majalah campusmagz mengenai beberapa alasan
mengapa Wilayah D.I.Yogyakarta, dengan Perguruan Tinggi
Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta di Daerah Istimewa
Yogyakarta yang tersebar baik di kota hingga ke beberapa
kabupaten di DIY seperti Sleman, Bantul, Gunung Kidul
semuanya tidak surut dari minat mahasiswa perantau untuk
meneruskan pendidikannya sehingga Yogyakarta layak disebut
sebagai kota pendidikan dengan julukan surganya pelajar
mengenyam pendidikan kejenjang perguruan tinggi yaitu:
a. Aman dan nyaman. Jika dibandingkan dengan kota-kota besar
yang juga merupakan kota pendidikan lainnya seperti Jakarta
serta bandung, tingkat kriminalitas atau tindak kejahatan di
Yogyakarta jauh lebih minim dan terkendali. Sehingga kota
Yogyakarta terbilang cukup mampu menciptakan rasa tenang
dan nyaman bagi para mahasiswa perantau yang datang
melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi yang banyak
terdapat di Yogyakarta (Majalah campusmagz no.36, edisi
april 2014: 38).
b. Biaya hidup murah. Indekos yang tersedia di Yogyakarta harga
semanya sangat bervariatif dari yang paling murah sampai
yang paling mahal tergantung tipe dan fasilitasnya. Harga
makanan dan kebutuhan mahasiswa lainnya juga terbilang
murah, sesuai dengan kantong mahasiswa.
c. Akses transportasi mudah. Di Yogyakarta dapat dengan mudah
berpergian dengan angkutan umum yang tersedia dari fasilitas
kota bus transyogya, bus PPD, bus antar kota antar provinsi,
kereta api listrik, hingga taxi, ojek motor, becak, delman dan
lain-lain.
d. Asrama mahasiswa. Yogyakarta menjalin kerjasama dengan
berbagai pemerintah daerah lain baik tingkat kabupaten, kota,
maupun propinsi untuk secara resmi mendirikan asrama
mahasiswa di Yogyakarta yang bertujuan untuk memudahkan
mahasiswa perantauan di Yogyakarta yang ingin bergabung
dengan orang-orang dari daerah sendiri dapat mengakses
asrama mahasiswa yang banyak terdapat di Yogyakarta.
e. Akses kuliner variatif. Di Yogyakarta banyak terdapat penjaja
makanan dari berbagai harga, jenis, dan fasilitas yang dapat
disesuaikan dengan selera serta kondisi keuangan. Warung
burjo, angkringan, warteg, rumah makan Padang, cafe, resto
sampai kedai makan franchise pun ada di Yogyakarta.
f. Komunitas kreatif. Komunitas-komunitas kreatif hadir
meramaikan kota Yogyakarta seperti komunitas pecinta
sepeda, pecinta binatang, pecinta olahraga ekstrim dan
berbagai komunitas lain yang dapat di akses secara khusus di
kampus masing-masing atau diluar kampus seperti di tempat
umum (Majalah campusmagz no.36, edisi april 2014: 39).
g. Acara-acara menarik. Di Yogyakarta sering di gelar berbagai
pameran seni, pertunjukan teater, konser musik, performing
arts, dan sebagaianya. Ada acara yang bersifat rutin di gelar
setiap setahun sekali, ada acara yang hanya incidental.
Kawasan malioboro dan alun-alun merupakan tempat favorit
para penggelar acara karena kawasan ini memang titik wisata
paling ramai di Yogyakarta.
h. Akses pergaulan yang luas. Di Yogyakarta tidak hanya
menemukan mahasiswa-mahasiswa perantau dari segala
penjuru Indonesia saja, tetapi juga dari luar negeri. Orang-
orang asing dari negeri tetangga ini juga tercatat sebagai
mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.
Sehingga terdapat banyak kesempatan untuk melebarkan
sayap pergaulan dengan menjalin hubungan baik dengan
orang-orang yang sama-sama memiliki status mahasiswa
perantauan dari berbagai daerah di Indonesia bahkan luar
negeri.
i. High Quality Campus. Dari seratus lebih kampus yang
tersebar di Yogyakarta terbukti menelurkan generasi-generasi
yang berprestasi dan mampu bersaing secara kualitas dengan
lulusan dari kampus luar daerah Yogyakarta lainnya.
j. Pariwisata yang variatif. Yogyakarta merupakan daerah wisata
kedua setelah Bali yang sangat ramai dikunjungi oleh
wisatawan baik domestic maupun mancanegara. Yogyakarta
memiliki berbagai obyek wisata baik alam maupun buatan,
dari pantai, gunung merapi, dataran tinggi, sungai, goa, dan
tebing, candi, museum kraton dan lain-lain (Majalah
campusmagz no.36, edisi april 2014: 40).
Hal tersebut sama seperti pada pernyataan yang peneliti peroleh dari
informan mahasiswa perantauan mengenai alasan mengapa mereka
memilih untuk merantau ke Yogyakarta:
“...Yogyakarta memang sudah lama dikenal sebagai kota pelajar
dengan banyak pilihan universitas dan jurusan yang tersedia, tidak
hanya itu kualitas perguruan tingginya jauh lebih baik dibanding
perguruan tinggi didaerahku. Biaya hidup di Jogja juga lebih
terjangkau dari kota-kota pendidikan lain seperti kota Bogor,
Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan Jakarta…” (Berdasarkan
hasil wawancara dengan KMG, informan asal Bedugul Bali pada
tanggal 23 November 2013 pukul 10.00 WIB).
Sehingga menjadi fenomena wajar jika Yogyakarta terlihat sebagai
daerah yang multietnik, tingginya tingkat karakteristik sosial budaya di
Yogyakarta ini disebabkan oleh arus datang budaya asing yang ikut
terbawa masuk oleh individu perantau ke dalam Yogyakarta. Terkadang
mereka datang merantau secara berkelompok dengan orang-orang satu
daerah yang saling mengenal, banyak juga yang datang hanya seorang diri
ke Yogyakarta, bahkan tidak sedikit ada mereka datang menghimpun
kelompok pertemanan mahasiswa daerah khusus tertentu baik secara resmi
maupun yang hanya sekedar mengelompok tanpa dikoordinir secara resmi
di Yogyakarta.
Mahasiswa perantauan sendiri peneliti menyimpulkan sebagai yaitu
seorang mahasiswa yang berasal dari lingkungan yang secara budaya
berbeda dengan daerah tempat rantauan. Mereka datang dengan tujuan
berkuliah, menetap dalam kurun waktu tertentu/untuk jangka waktu lama
atau tidak yang biasanya dengan maksud kembali pulang dan dengan satu
hal yang menjadi motivasi utama yaitu untuk menyelesaikan studinya di
perguruan tinggi yang terdapat di lingkungan barunya tersebut.
Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut gegar budaya,
adalah istilah untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang
dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial budaya yang berbeda.
Kalervo Oberg mendefinisikan culture shock sebagai penyakit kecemasan
yang diderita oleh individu dalam usaha menyesuaikan diri terhadap
lingkungan baru yang berbeda dengan budaya asal, dipicu oleh kecemasan
yang timbul akibat hilangnya tanda dan simbol hubungan sosial yang
selama ini familiar dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama terjadi
ketika individu tersebut hidup di luar lingkungan kulturnya dan tinggal
dalam budaya baru dalam jangka waktu yang relatif lama (dikutip dari
Mulyana dan Rahman, 2006: 174).
Sebagai makhluk sosial mereka dituntut untuk mampu menyesuaikan
diri terhadap lingkungan sekitarnya yang baru. Dalam lingkungan yang
baru tersebut akan memungkinkan terdapatnya tuntutan-tuntutan untuk
dapat mampu memahami budaya yang berlaku, dan respon yang mereka
berikan tidak selalu dapat langsung menunjukkan hasil yang dikehendaki
dikarenakan adanya perbedaan bahasa, adat-istiadat, tata cara dalam
berhubungan atau berkomunikasi, yang kesemuanya memerlukan proses
dalam mempelajari suatu hal baru yang kemudian akan dipahami dan
diterapkan oleh individu perantau dalam kehidupan sehari-harinya
ditempat rantauan. Hal inilah yang menimbulkan gegar budaya bagi
mahasiswa perantau, menghasilkan sejumlah reaksi yang berpotensi
mengakibatkan masalah yang mengganggu pada diri Individu perantau.
Paling tidak gegar budaya dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman,
lelah hingga putus asa. Hal ini seperti yang disebutkan oleh informan
mahasiswa perantauan asal luar jawa semester awal dari hasil wawancara
sebagai berikut:
“…Sangat menyakitkan bagi aku karena orang-orang Yogyakarta
tidak mengerti aku, orang-orang disini memandang aku dengan
tatapan yang membuatku tak nyaman, itu tersirat dari mata lho kak
bagaimana cara mereka melihatku dengan tatapan yang aneh yang
otomatis membuatku kesal, risih, benci, dan akhirnya malas untuk
berinteraksi dengan orang-orang yang ada di lingkungan baru ini, buat
apa capek-capek memahami mereka kalau mereka saja tidak bisa
menghargai perbedaan pada diri aku. Jangan mentang-mentang ini
tanah merekalah.” (Berdasarkan hasil wawancara dengan SC,
informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00
WIB)
Dari hasil wawancara dan pengamatan yang peneliti lakukan terhadap
informan mahasiswa perantauan di Yogyakarta, peneliti menyimpulkan
mahasiswa yang mengalami gegar budaya paling besar dialami oleh
mahasiswa perantau yang masih berkatagori sebagai mahasiswa baru,
dimana mereka berada diantara transisi budaya yang berbeda, serta
dituntut untuk segera beradaptasi dengan lingkungan baru. Sedangkan bagi
sebagian besar mahasiswa rantauan, untuk mengatasi masalah transisi
budaya dengan baik mereka membutuhkan beberapa waktu dalam proses
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebudayaan baru yang
ditemuinya saat ini baru kemudian mereka dapat hidup normal terbebas
dari ketidaknyamanan baik secara fisik maupun psikis. Hanya saja tingkat
gegar budaya ini bebeda-beda tergantung seberapa jauh perbedaan antara
budaya asal yang dimilikinya terhadap kebudayaan yang berlaku di
lingkungan baru yang ia datangi. Seperti pada hasil wawancara dengan
beberapa orang informan mahasiswa perantauan asal luar Jawa semester
awal antara lain sebagai berikut:
“Sepertinya aku terlalu angkuh sok berani memutuskan untuk
merantau ke Jogja sendirian jauh dari keluargaku hanya demi
pendidikan yang berkualitas, tapi ya bagaimana lagi mau tidak mau
bisa tidak bisa aku harus benar-benar mempertanggungjawabkan
keputusanku merantau. Karena sebelumnya aku tidak pernah punya
pengalaman merantau dan ini kali pertamaku, mungkin wajar kalau
aku tidak bisa segera menyesuaikan diri dengan segala perbedaan
dengan orang-orang sekitar dilingkungan baruku disini. Bahkan untuk
saat ini aku belum memiliki teman yang cocok, paling ya cuma
sebatas kenal biasa kalau yang benar-benar dekat dan mengerti
bagaimana aku masih belum ada. Setiap kali akan memulai mencoba
membaur itu selalu saja timbul perasaan cemas, canggung, dengan
orang-orang lokal alhasil maju mundur dan amannya milih untuk
nutup diri. Di Jogja aku menjadi sedikit pendiam, bukan karena aku
berprilaku sombong tapi aku sering bingung, kurang percaya diri saat
hendak memulai pembicaraan dengan orang-orang sekitarku, rasa
malu, takut dan ragu bercampur menjadi satu...”(Berdasarkan hasil
wawancara dengan WLLY, informan perempuan asal Mamuju,
Sulawesi Barat pada tanggal 27 November 2013 pukul 14.00 WIB)
“…karena masih ditemani bapak ibu jadi aku tenang-tenang saja nah
setelah mereka nak balik ke Padang langsung ya masuk babak baru
nusuk sedihnya! Disini benar-benar sendiri kesepian ditengah kota
besar, merasa benar-benar berada ditempat asing, tersesat! rasanya
campur aduk jadi satu susah jelasinnya. Mendadak melankolis sama
kenyataan kalau inilah yang namanya merantau jauh dari rumah, dari
keluarga, dari apapun itu ya mungkin karena masih baru-baru saja
tinggal di Jogja jadi masih belum terima kenyataan” (Berdasarkan
hasil wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal 13
November 2013 pukul 14.00 WIB)
Pengalaman culture shock (gegar budaya) ini sebenarnya merupakan
hal wajar dialami oleh individu ketika sedang berada di dalam daerah
dengan lingkungan baru yang secara budaya berbeda dari lingkungan
asalnya. Aspek-aspek yang terdiri dari ketegangan, perasaan kehilangan,
tidak menyukai perbedaan, perasaan tidak berdaya berada jauh dari budaya
asal, adanya kebingungan terhadap peran, perasaan, identitas diri, nilai
yang dianut dan tidak mudah membaur atau berinteraksi hingga penolakan
terhadap hubungan sosial orang-orang yang ada dilingkungan baru, dapat
mengakibatkan individu merasa tertekan.
Mahasiswa perantau yang mengalami culture shock akan merasakan
tahap kecemasan akan hal-hal baru yang belum pernah ia jumpai selama
ini, hal ini terkait dengan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan
asing, hanya saja tingkat gangguan yang dialami oleh individu tersebut
berbeda antara satu individu dengan individu yang lain, tergantung dari
seberapa jauh penyebab culture shock dapat mempengaruhi diri individu
tersebut.
Culture shock terjadi biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari
tiga penyebab berikut ini, yaitu:
4) Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues
adalah bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan
bagian-bagian tubuh (gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-
kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana
sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
5) Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari
yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan perbedaan
bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan ini.
6) Krisis identitas dengan pergi keluar daerahnya seseorang akan kembali
mengevaluasi gambaran tentang dirinya (dikutip dari Dayakisni, 2012:
265).
Berdasarkan hasil dari wawancara dengan delapan orang informan
mahasiswa perantau di Yogyakarta maka peneliti menemukan penyebab
culture shock serta gejala dan reaksi culture shock pada mahasiswa
perantauan yaitu sebagai berikut:
a) Penyebab Internal,
Psikologis yang menunjukkan kemampuan intrapsikis untuk
menghadapi lingkungan baru yang di kehendaki. Hal ini di kehendaki oleh
pusat kendali internal (Dayakisni, 2012: 270). Adanya pengaruh
intrapersonal dalam diri individu, diantaranya keterampilan
berkomunikasi, pengalaman dalam setting lintas budaya, kemampuan
bersosialisasi dan ciri karakter individu (toleransi atau kemandirian berada
jauh dari keluarga sebagai orang-orang penting dalam hidupnya yang
berperan dalam sistem dukungan dan pengawasan). Seperti pada hasil
wawancara dari WLLY informan mahasiswa perantauan asal luar pulau
Jawa yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan
Tinggi Yogyakarta yang menunjukkan penyebab internal pembentuk
culture shock yaitu sebagai berikut:
“Yang membuat stress itu jarak, karena jarak membuatku merasa
kehilangan orang-orang yang telah ku kenal sebelumnya, sedih berada
di lingkungan yang tidak kukenali ini, terlebih jauh dari orang tua itu
sangat menyiksa dan sering membuatku gampang menangis, bahkan
bisa sampai jatuh sakit saat tidak terbendung lagi rasa rinduku.
Sekarang amat terasa sekali kalau ternyata jauh dari orang tua itu
sangat berat, dampaknya hingga membuat moodku berantakan, apa-
apa jadi malas, tidak ada yang menyemangati. Saat rasa itu mulai
datang dan tak terbendung, aku akan lebih memilih untuk menyendiri
di kamar kosku bahkan bisa sampai nafsu makanku hilang kadang
juga bisa sampai jatuh sakit karena tak terbendung rasa rinduku
dengan rumah kampung halaman terlebih dengan keluargaku. Disini
apa-apa harus mengurus sendiri, saat sakit pun harus pintar merawat
diri sendiri pergi berobat sendiri itu sangat memilukan kak, semua
itulah yang membuatku merasa tertekan karena jarak. Aku merasa
sebatang kara disini ditempat asing ini.”(Berdasarkan hasil
wawancara dengan WLLY, informan perempuan asal Mamuju,
Sulawesi Barat pada tanggal 27 November 2013 pukul 14.00 WIB)
Dan hasil wawancara dari ADTY informan mahasiswa perantauan
asal luar pulau Jawa yang telah menempuh semester lanjut berkuliah di
Perguruan Tinggi Yogyakarta yang menunjukkan penyebab internal
pembentuk culture shock yaitu sebagai berikut:
“…diawal datang itu butuh waktu untuk rileks, tidak dipungkiri ya
walau aku cowok tapi perasaan gerogi, gugup, tidak percaya diri
karena berada ditempat asing, merasa sendiri tidak ada kelompok
teman-teman yang biasanya bersamaku itu ada. Aku merasa
kehilangan jati diri selama berada di lingkungan baru ini, tidak ada
orang tua hanya ada pacar itupun berbeda jurusan denganku, disini
aku kehilangan semuanya ya walau tidak secara langsung tapi aku
kehilangan sosok orang-orang yang lama kukenal sebelumnya orang-
orang yang familiar dikampung halaman. Ini hal-hal yang tidak
kuperhitungkan saat memutuskan untuk merantau, tapi kalau aku
tidak merantau bagaimana pacarku kasian dia jika tanpaku menjalani
semua ini sendiri di sini bisa gila dia nanti. Semua ini berat dan
beratnya tidak seperti yang kami berdua bayangkan saat memutuskan
untuk merantau, dari yang kami kira mudah ternyata tidak semudah
perkiraan”(Berdasarkan hasil wawancara dengan ADTY informan
pria asal Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 19
November 2013 pukul 12.00 WIB)
Dari hasil wawancara yang peneliti peroleh menunjukkan bahwa
pengaruh intrapersonal dalam diri individu, seperti keterampilan
berkomunikasi, pengalaman dalam setting lintas budaya, kemampuan
bersosialisasi dan ciri karakter individu (toleransi atau kemandirian berada
jauh dari keluarga sebagai orang-orang penting dalam hidupnya yang
berperan dalam sistem dukungan dan pengawasan) benar berpengaruh
pada besar-kecil terjadinya penyebab culture shock pada diri individu.
Peneliti menyimpulkan bahwa pada umumnya individu yang belum
pernah melakukan pengalaman lintas budaya dan kurangnya informasi
faktual tetang lingkungan dan lokasi tempat rantauan akan lebih mudah
mengalami gegar budaya, yang dikarenakan individu tersebut belum cukup
siap mempersiapkan strategi terhadap semua hal mengenai seperti
pemahaman lintas budaya pada dirinya di tempat rantauan sebagai
lingkungan barunya yang kemudian dapat menjalar pada masalah
ketidaknyamanan secara luas dan lebih kompleks (mood).
b) Penyebab Eksternal,
Adanya variasi sosiokultural yaitu kemampuan yang berhubungan
dengan tingkat perbedaan budaya yang mempengaruhi tinggi rendahnya
transisi antara budaya asal ke budaya baru ( Dayakisni, 2012: 270). Gegar
budaya terjadi lebih cepat jika budaya tersebut semakin berbeda, hal ini
meliputi perbedaan sosial, budaya, adat istiadat, agama, iklim, rasa
makanan, bahasa, gerak tubuh/ ekspresi tubuh hingga mimik wajah, cara
berpakaian/ gaya hidup, teknologi, pendidikan, aturan-aturan dan norma
sosial dalam masyarakat serta perbedaan perilaku warga tuan rumah.
Seperti pada hasil wawancara dari delapan orang informan
mahasiswa perantauan yang menunjukkan penyebab eksternal pembentuk
culture shock yaitu sebagai berikut:
(1) Pola, jenis, rasa dan porsi makan
Salah satu perbedaan terbesar antara pendatang dengan tuan
rumah yang biasanya menjadi masalah bagi individu pendatang
itu ialah makanan. Pola, jenis, rasa dan porsi makan seseorang
sangat berkaitan erat dengan kultur dimana ia tinggal dan telah
melekat pada diri individu. Oleh karenanya, ketika individu
berada di daerah tuan rumah dengan pola, jenis, rasa dan porsi
makan yang berbeda, ia akan mengalami kekagetan dan frustasi
yang mengarah pada terjadinya culture shock,
“…disini khasnya manis dan sama sekali tidak pedas
sedangkan selera lidah cenderung pedas asin. Buruknya lagi
disini warung-warung makan rasanya sama saja semuanya
dominan manis sepertinya mereka memasak tanpa cabai
namun memasukkan gula ke setiap masakannya ya heran
betul sama orang sini makanan manis seperti itu mereka bisa
suka. Repot pilih-pilih makanan sampai akhirnya kalau
makan larinya ke warung makan Padang atau burjo makan
mie instan buatan sunda yang amazing rasanya kalau tidak ya
sedia ganjalan perut dikamar itu roti kan kalau roti rasanya
dimana-mana sama saja atau hunting kemana-mana sampai
ketempat mahal pun jadilah tak mengapa sekalian hunting
jalan-jalan sama pacar. ”(Berdasarkan hasil wawancara
dengan ADTY, informan asal Pematang Siantar pada tanggal
19 November 2013 pukul 12.00 WIB)
“Waktu awal langsung kaget dengan rasa manis masakan
Jogja sampai kehilangan selera makan dan sempat kurus
setengah tahunan kalau tidak salah itu penyebab vitalnya ya
karena malas makan dimana-mana rasa masakannya sama
saja terlalu manis. Yang akhirnya karena masalah perbedaan
selera lidah itulah sehingga membuatku jadi lebih kuat
merokok dan ngopinya…”(Berdasarkan hasil wawancara
dengan KMG, informan asal Bedugul Bali pada tanggal 23
November 2013 pukul 10.00 WIB)
“Menu masakan susah untuk menyesuaikan karena sini
khasnya manis sedangkan lidahku tidak terbiasa dengan
masakan manis, kalau makan larinya ke warung makan
Padang, makan roti, membuat roti tawar selai, nyemil snack-
snack, kalau tidak yaa buat mie instan sendiri, atau kalau pas
ada temannya yang mengajak nyari makan bareng ya hunting
warung makan yang sambalnya ekstra pedas, sekalian wisata
kuliner segala tempat kami coba sampai habis referensi
tempat makan terus kebanyakan makan ditempat JunkFood
berkelas internasional seperti PH, starbucks, J.Co, KFC,
Dunkin donuts yang sebenarnya menguras kantong dan
akhirnya tidak bisa keseringan hang out ditempat-tempat
mahal seperti itu karena membuatku selalu kehabisan uang
bulanan. Cuma ya itu tadi pola makanku berantakan jadinya
sering malas mau makan, ini saja aku kurusan turun berapa
kilogram sendiri gara-gara pilih-pilih makanan, jadi susah
makan. Akhirnya kesini-kesininya harus bisa paksa sedikit-
sedikit tidak pilih-pilih makan meski setiap kali memaksa
makan selalu mual sampai muntah pula, masih berusaha ya
untuk tidak pilih-pilih makan lagi cuma ya carinya tetap
ketempat makan yang rasanya lumayan bisa cocok di lidahlah
sedih kalau makan tapi tak bisa kuhabiskan karena tidak
selera.”(Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan
asal Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00
WIB)
Penyebab eksternal pembentuk culture shock yang peneliti
dapatkan dan terbesar karena rata-rata semua informan paling
keluhkan berupa perbedaan rasa masakan yang dirasakan oleh
mahasiswa perantauan asal luar pulau jawa,
(2) Bahasa
Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa
perbedaan bahasa yang dirasakan oleh mahasiswa perantauan
asal luar pulau Jawa,
“Cuma masihlah aku heran orang disini yang asli Jogja itu
senang sekali berbahasa Jawa kepada siapapun. Dari para
penjualnya, tukang parkir, teman kampusku yang asli Jogja
pun begitu sama saja mereka memang sih kalau disini tanah
milik mereka tapi harusnya jangan sengaja lupa kalau disini
juga banyak pendatang yang campur-campur asal
daerahnya, bukannya kenapa tapi aku cuma bisa bengong
kalau diajak mereka mengobrol pakai bahasa Jawa,
meskipun mereka jelas tahu aku pakai bahasa Indonesia
itulah yang membuatku merasa tidak nyaman setiap harinya
ketika berinteraksi dengan mereka yang egois. Aku sudah
loh mencoba memahami mereka dengan tidak mengajak
mereka bicara dengan bahasa minang yang pastinya tidak
mereka pahami… tapi tidak kan? Justru mereka yang masih
saja cuek dan tetap berbahasa Jawa memangnya mereka
pikir aku tahu paham gitu artinya.” (Berdasarkan hasil
wawancara dengan SC, informan asal Padang pada tanggal
13 November 2013 pukul 14.00 WIB)
Bahasa merupakan cerminan dari sebuah kebudayaan yang
beradab. Bahasa tidak bisa dianggap mudah dengan sebelah
mata dewasa ini. Individu yang mengalami kekagetan terhadap
budaya baru sering kali dihubungkan dengan masalah bahasa
sebagai salah satu penghambat yang cukup besar ketika menetap
ditempat yang baru. Tidak menguasai atau bahkan tidak
mengerti sama sekali bahasa merupakan suatu hal yang wajar
yang menyebabkan timbulnya culture shock.
(3) Adat Istiadat
Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa
perbedaan adat istiadat yang dirasakan oleh mahasiswa
perantauan asal luar pulau Jawa,
“Kalau di papua itu jika di jalan bertemu dengan orang
yang kita kenal maka kita hanya akan menyapa dengan
melambaikan tangan, tersenyum dan berkata hai atau
bersalaman, kalau di Jogja itu saya kaget karena berbeda
mereka menyapanya itu menunduk-nunduk sambil
tersenyum dan berkata menggo saya bingung, saya masih
sering membalas mereka dengan melambaikan tangan saja
sudah dan tersenyum menjawab iya, wah itu saya belum
bisa ikuti kebiasaan disini yang menunduk–menunduk
seperti itu tadi, saya merasa aneh.”(Berdasarkan hasil
wawancara dengan MNDL, informan asal Papua Barat
pada tanggal 16 November 2015 pukul 10.25 WIB)
Merujuk pada tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh
masyarakat di setiap daerah yang notebene memiliki ciri khas
kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Adannya suatu
tuntutan bagi individu perantau untuk mampu beradaptasi
dengan adat istiadat di daerahnya yang baru sebagai bentuk
menghargai di lingkungan tuan rumah dan cara agar mampu
untuk membaur. Namun sayangnya, beradaptasi dengan adat
istiadat yang baru bukanlah hal yang mudah bagi seorang
pendatang, maka individu cenderung mengalami kekagetan
budaya terutama dalam hal adat istiadat tersebut.
(4) Gerak tubuh/ ekspresi mimik wajah
Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa
perbedaan gerak tubuh/ ekspresi mimik wajah yang dirasakan
oleh mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa,
“…Sudah aku tidak paham bahasa jawa aku juga masih
belum pintar membaca isyarat, dan mimik wajah orang
Jogja jadi masalah kuadrat takut kalau-kalau nanti salah
dalam mengartikannya malah timbul ketersinggungan atau
apalah.” (Berdasarkan hasil wawancara dengan WLLY,
informan asal Mamuju pada tanggal 13 November 2013
pukul 14.00 WIB)
(5) Pendidikan
Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa
perbedaan pendidikan yang dirasakan oleh mahasiswa
perantauan asal luar pulau Jawa,
“Iya ada saya merasa terlambat dari mereka yang orang
Jawa, mereka pandai presentasi di depan kelas tapi saya
tidak karena di Papua tidak di ajarkan seperti itu. Kami di
SMA Papua hanya datang kesekolah, belajar, terima materi
pelajaran, baca, tulis, mengerjakan tugas soal-soal di buku
sudah begitu saja, dan itu tugasnya biasa saja tapi berbeda
dengan kuliah, kalau di perkuliahan tugas itu banyak sekali
tugas tiada henti, intensitasnya lebih tinggi dibandingkan
waktu di SMA dulu dan kalau kuiah ada banyak tugas yang
harus di prsentasikan di depan kelas kita membaca,
menjelaskan hasilnya lalu tanya jawab pertanyaan teman-
teman serta dosen itu saya masih kacau. Di SMA tidak ada
presentasi kalau tugas saja saya bisa mengerjakan, ini saya
kaget, saya bingung, harus banyak berlatih. Ya saya
terkesan dengan teman-teman yang lain mereka langsung
mampu tapi saya belum. Saya banyak belajar dari mereka
bagaimana caranya agar bisa, saya juga diajari oleh dosen
mereka memahami saya kalau kita pendidikan memang
masih lebih jauh, lebih bawah dari yang di luar Papua.”
(Berdasarkan hasil wawancara dengan SN, informan asal
Papua, Pegunungan Wamena pada tanggal 03 Desember
2015 pukul 13.00 WIB)
Seiring berjalannya waktu bertambahnya jaman,
perkembangan pendidikan pun semakin melaju pesat.
Perkembangan pendidikan yang semakin mutakhir ini
menyebabkan masyarakat harus selalu ingin berusaha untuk
mengikuti perkembangan pendidikan agar mampu bersaing di
dunia global. Pendidikan juga merupakan hal penting dalam
mempengaruhi timbulnya masalah culture shock atau gegar
budaya. Individu perantau merasa gelisah, cemas atau bahkan
takut tidak bisa mengikuti perkembangan pendidikan di tempat
tinggal barunya sehingga individu cenderung merasakan kurang
percaya diri. Individu perantau disini dituntut untuk berpikir
keras bagaimana caranya untuk dapat mengikuti perkembangan
pendidikan serta mampu mengaplikasikannya dikehidupannya.
(6) Pergaulan
Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa
perbedaan pergaulan yang dirasakan oleh mahasiswa perantauan
di tempat yang baru asal luar pulau Jawa,
“…punya kelompok teman-teman sendiri ya walau tidak
murni dari daerahku tapi setidaknya kami satu pulau yang
samalah ada yang dari Lampung, Padang, Riau, Jambi
macam-macamlah awalnya cuma kenal sama satu orang
saja lama-lama bertambahlah link kami karena waktu ya
tidak sengaja bertemu di gereja kita berkenalan ada juga
yang dikenalkan lalu kami saling mengenalkan satu sama
lain kan dan akhirnya sekarang teman-teman sumateraku
banyak. Itu berkat tetap cari teman yang satu pulau jadinya
seru, tidak mainstream, ”(Berdasarkan hasil wawancara
dengan ADTY, informan asal Pematang Siantar pada
tanggal 19 November 2013 pukul 12.00 WIB)
“Walau dosen selalu menganjurkan biar yang Kalimantan
seperti kami berlima lainnya untuk membaur, mendekatkan
diri dengan yang Jawa tapi yang Jawa juga sama kami
masih aneh saja tidak welcome jadi kalau sama teman
sekelas memang kenal tapi cuma sebatas kenal biasa, hafal
sama wajahnya tahu namanya ya sudah gitu saja tidak lebih
tidak sampai dekat yang akrab bahkan itu sampai sekarang
aku sudah semester 7, ada yang baik mau welcome sama
aku tapi jarang malah bisa di hitung pakai jari tangan jadi
mau apa-apa aku terbiasa sendiri tidak gabung mereka yang
sekelas paling cuma yang sama-sama program kerjasama
saja, yang sama-sama Kalimantan saja aku punya intensitas
yang lebih di banding dengan yang Jawa kalau nongkrong
juga banyak sama yang sama-sama Kalimantan kan tidak
enak ya kalau sama yang Kalimantan tidak gabung tidak
dekat, masalahnya kami senasib kan”( Berdasarkan hasil
wawancara dengan UI, informan asal Malinau, Kalimantan
Utara pada tanggal 18 November 2015 pukul 11.00 WIB)
Ketakutan ini menjadikan individu merasa canggung dalam
menghadapi situasi yang baru, tempat tinggal yang baru dan
suasana yang baru. Akibat ketidak pahaman mengenai pergaulan
ini, individu juga akan merasa terasing dengan orang-orang
disekelilingnya yang dirasa baru baginya. Pada keadaan seperti
ini berpotensi timbulnya suatu pandangan yang mengarahkan
individu untuk cenderung memilih berinteraksi menurut
kelompok dengan identitas kebudayaan yang sama sebagai
solusi yang paling tepat bagi individu perantau untuk
menghindari dari perbedaan adat istiadat, kebiasaan, tingkah
laku yang umumnya terjadi dimasyarakat di lingkungan yang
baru. Dengan cara tersebut individu perantau berharap dapat
lebih merasa nyaman yang setidaknya sama seperti saat di
kampung halamannya.
(7) Geografis
Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa
perbedaan lingkungan secara fisik, misalnya perbedaan cuaca,
iklim, perbedaan letak wilayah yang dirasakan oleh mahasiswa
perantauan asal luar pulau Jawa,
“...Cuacanya Jogja itu ekstrim, terlebih cuaca di Jogja itu
sangat berbeda dengan daerah asalku sehingga waktu
pertama di Jogja dulu badan saya ini kaget lalu sering sakit
radang tenggorokan atau batuk, Yogyakarta kan teriknya
terasa menyengat sekali di kulit sampai harus rajin-rajin
pakai handbody kalau tidak ingin kulit menjadi hitam, perih
dan kering, lalu kemaraunya disini terasa lebih lama benar-
benar tanpa ada hujan walau gerimis sekalipun itu, musim
kemarau kemarin benar-benar terasa sangat panas
menyengat....” (Berdasarkan hasil wawancara dengan SC,
informan asal Padang pada tanggal 13 November 2013
pukul 14.00 WIB)
Penyebab geografis ini berkaitan erat dengan kondisi fisik
lingkungan maka hal ini dapat berpengaruh secara langsung
terhadap kondisi fisik individu yaitu kondisi kesehatan yang
cenderung menurun ketika individu tersebut tinggal di suatu
tempat tinggal yang baru, yang tentunya jauh berbeda dengan
tempat tinggal semula sebagai proses penyesuaian secara fisik.
(8) Agama
Penyebab eksternal pembentuk culture shock berupa perbedaan
agama yang dirasakan oleh mahasiswa perantauan asal luar
pulau Jawa,
“…Kenapa aku serius mencari kos yang sesuai dengan
agama dan suku budayaku itu karena menurutku orang-
orang Yogyakarta yang mayoritas muhammadiyah tidak
mengerti nilai-nilai budaya aku jadi agar terhindar dari
perselisihan masalah budaya, etnik dan suku bangsa aku
memilih untuk mencari kos yang khusus bali saja agar aku
leluasa dalam menjalankan ibadahku sehari-harinya. Kan
kami orang hindu kalau bersembahyang pasti menggunakan
dupa, bunga dan lain sebagainya takutnya kalau aku kos di
sembarang tempat yang biasa mereka akan memberikan
peraturan ini itu karena terganggu kan bisa saja itu terjadi,
sudah aku terganggu mereka juga terganggu jadi sama-
sama terganggu maka baiknya antisipasi dengan carilah kos
yang homogen kalau tidak ada perbedaan kan
meminimalisir terjadinya masalah.” (Berdasarkan hasil
wawancara dengan KMG, informan asal Bedugul, Bali
pada tanggal 23 November 2013 pukul 10.00 WIB)
Agama dianggap sebagai salah satu penghambat individu
dalam usahanya menyesuaikan di tempat tinggal yang baru,
namun dengan kadar yang sangatlah kecil. Individu mengalami
ketakutan tersendiri terhadap agama yang menjadi perbedaan
yang sangat rentan dan tidak bisa disatukan dengan mudahnya.
Ketika individu mulai menyadari akan kenyataan dari ruang lingkup
yang berbeda, beberapa masalah ketidaknyamanan ini mulai berkembang,
individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan yang belum
pernah dihadapi sebelumnya dan akhirnya hal inilah yang dapat memicu
persoalan-persoalan lintas budaya dan munculnya suatu krisis diri. Individu
menemukan dirinya dalam situasi kekecewaan atau penolakan dari budaya
baru sebagai hasil dari ketidak sesuaian antara harapan dan kenyataan, yang
menurut penulis berdasarkan hasil pemaparan diatas mengenai penyebab
internal maupun eksternal terjadinya culture shock sesuai dengan pendapat
Furnham dan Bochner yang mengatakan bahwa culture shock ialah ketika
seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan dari budaya tuan rumah
karena adanya perbedaan dengan dari mana individu perantauan tersebut
berasal sehingga individu mulai merasa bingung, cemas dan heran dengan
lingkungan yang barunya maka ia tidak dapat menampilkan perilaku yang
sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan baru tersebut. Hal
ini kemudian berpengaruh pada kesulitan dalam beradaptasi dan
berkomunikasi yang muncul kepermukaan.
c) Gejala dan Reaksi Culture Shock
Budaya atau kebiasaan yang berbeda dapat menimbulkan
ketidaknyamanan bagi individu dalam hidupnya sebagai akibat
perubahan besar yang dialami individu yang biasanya ia tidak siap
menghadapi perubahan tersebut. Merujuk pada banyaknya tuntutan
penyesuaian yang dialami individu pada level kognitif, perilaku,
emosional, sosial dan fisiologis yang dapat memicu gejala-gejala
gangguan mental yang diawali dengan timbulnya perasaan
kebingungan pada diri individu yang disertai dengan sikap tidak
terorganisasi, menarik diri dari pergaulan dengan warga setempat,
cenderung menghabiskan waktu seorang diri atau hanya nyaman
bergaul dengan orang-orang yang memiliki kultur yang sama
dengannya.
Harry Triandis, seorang psikolog terkenal memandang gegar
budaya sebagai hilangnya kontrol seseorang saat ia berinteraksi
dengan orang lain dari kultur yang berbeda. Kehilangan kontrol
umumnya memang menyebabkan kesulitan penyesuaian tetapi tidak
selalu merupakan gangguan psikologis (Shiraev dan Levy, 2012:
443). Pedersen mengemukakan dalam salah satu teori gegar budaya
melihat gegar ini sebagai penyesuaian awal kelingkungan baru atau
asing yang diasosiasikan dengan perkembangan individu, pendidikan,
dan bahkan pertumbuhan personal. Secara singkat bahwa segala
bentuk stress mental maupun fisik yang dialami individu pendatang
selama berada di lokasi asing disebut sebagai gejala culture shock,
akan tetapi gejala culture shock yang terjadi pada setiap individu
memiliki tingkatan atau kadar yang berbeda mengenai sejauhmana
culture shock mempengaruhi kehidupannya. Ada beberapa gejala
membentuk reaksi yang biasanya ditunjukkan individu saat
mengalami culture shock (Shiraev dan Levy, 2012: 444) yaitu:
(1) Gejala gegar budaya sebagai nostalgia. Reaksi yang biasanya
ditunjukkan individu yakni merasa rindu keluarga, kawan dan
pengalaman lain yang familiar.
(2) Gejala gegar budaya sebagai disorientasi dan hilangnya kontrol.
Reaksi yang biasanya ditunjukkan yakni hilangnya hal-hal yang
familiar tentang perilaku orang lain. Disorientasi menimbulkan
kecemasan, depresi, dan merasa putus asa.
(3) Gejala gegar budaya sebagai ketidakpuasan atas hambatan
bahasa. Reaksi yang biasanya ditunjukkan yakni kurangnya
komunikasi atau sulitnya komunikasi bisa menimbulkan frustasi
dan perasaan terasing.
(4) Gejala gegar budaya sebagai hilangnya kebiasaan dan gaya
hidup. Reaksi yang biasanya ditunjukkan yakni individu tidak
mampu melakukan banyak aktifitas yang sebelumnya ia nikmati :
ini menyebabkan kecemasan dan perasaan kehilangan.
(5) Gejala gegar budaya sebagai anggapan adanya perbedaan. Reaksi
yang biasanya ditunjukkan yakni perbedaan antara budaya baru
dengan budaya kampung halaman biasanya dilebih-lebihkan dan
sulit diterima.
(6) Gejala gegar budaya sebagai anggapan adanya perbedaan nilai.
Reaksi yang biasanya ditunjukkan yakni perbedaan ini biasanya
dilebih-lebihkan: nilai-nilai baru tampaknya sulit diterima.
Pada diri individu mahasiswa perantau yang mengalami culture
shock dapat kita lihat gejala membentuk reaksi yang ditunjukkan
mengarah pada bentuk stress mental maupun fisik selama berada di
lokasi asing sebagai penyesuaian awal kelingkungan baru atau asing
yang diasosiasikan dengan perkembangan individu, pendidikan, dan
bahkan pertumbuhan personal sesuai dengan pandangan Harry
Triandis pada setiap point yang telah disebutkan diatas yaitu:
(a) Orang merasa rindu keluarga, kawan, dan pengalaman lain yang
familiar.
Kerinduan yang teramat besar terhadap keluarga, teman,
kerabat, suasana/ keadaan lingkungan kampung halaman,
serta hal-hal yang biasa ia jumpai di tempat individu tersebut
berasal (homesick).
Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan
mahasiswa perantauan asal luar Jawa semester awal sebagai
berikut:
“jauh dari orang tua itu saat ini sebenarnya terasa masih
sangat menyiksa dan sering membuatku mudah
menangis atau menyendiri saat tidak terbendung lagi
rasa rinduku. Jauh dari kampung halaman membuatku
kurang percaya diri memulai pembicaraan dengan orang
baru, belum lagi setiap bangun pagi pasti muncul
perasaan seperti belum terbiasa kaget ini bukan kamarku
aku dimana apa ya kak semacam belum bisa menerima
tidak memiliki rasa memiliki sama lingkungan baruku
yang sekarang ini, merasa kurang minder dan kurang
bebas mengekspresikan diri di lingkungan baru ini juga,
yang semua itu pada intinya mengacu pada perasaan
sedih karena berada di lingkungan yang tidak biasa...”
(Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal
Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00
WIB)
(b) Hilangnya hal-hal yang familiar tentang perilaku orang lain.
Disorientasi menimbulkan kecemasan, depresi, dan merasa putus
asa.
Merasakan kehilangan tanda-tanda yang biasa individu kenal
dikehidupan sehari-hari seperti gerakan bagian-bagian tubuh
(gestures), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang
dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya
bertindak dalam situasi-situasi tertentu.
Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester lanjut
sebagai berikut:
“…masih awal belum tahu apa-apa entah gimana
adatnya, bahasanya juga gerak tubuh isyarat-isyarat yang
menghormati bagaimana yang tidak bagaimana, benar-
benar masih bingung mau bagaimana mau seperti apa di
sini kan wajar bukan? karena kan adatnya memang
berbeda dengan tempat asalku kalau tempatku kan
memang cuek-cuek orangnya nah kalau di Jogja ternyata
di tuntut ramah kalau tidak di bilang sombong, kaku,
inilah itulah…”(Berdasarkan hasil wawancara dengan
UI, informan asal Malinau, Kalimantan Utara pada
tanggal 18 November 2015 pukul 11.00 WIB)
Perasaan kesepian/ merasa sendirian, tidak nyaman,
kecemasan, sedih, melankolis, disorientasi, rapuh tidak
berdaya, keletihan, merasa diri lemah, tidak mudah untuk
berinteraksi dengan orang lain, mudah lupa namun sering
mengingat masa lalu dan penyesalan atau bahkan sebaliknya
yaitu timbul adanya perubahan temperamen, kemarahan,
mudah tersinggung, kesulitan tidur, frustasi hingga depresi.
Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal
yang menggambarkan dari beberapa pernyataan diatas yaitu
sebagai berikut:
“…Di Jogja masih merasa kaku ya kan karena adatnya
memang berbeda dengan tempat asalku, masih merasa
aneh dengan kebiasaan di daerah baruku sekarang,
terlebih disini sendirian tidak kenal baik dengan warga
sekitar tempat tinggal atau kosku ini. Jauh dari bapak ibu
kakak itu rasanya membuatku kesepian dan sering
bingung harus bagaimana dengan segala hal yang masih
asing dimataku, kalau ada mereka kan ada yang memberi
semangat, ada yang menemani, berlindung, bermanja ya
mungkin karena belum pernah merantau seperti ini, jadi
belum memiliki banyak pengalaman tentang
penyesuaian lingkungan, yang tadinya terbiasa dengan
segala kegiatan dan keadaan rumah, sekarang harus jauh
dari kebiasaan-kebiasaan itu. (Berdasarkan hasil
wawancara dengan WLLY, informan asal Mamuju,
Sulawesi Barat pada tanggal 27 November 2013 pukul
14.00 WIB)
Perasaan pesimis, tidak mampu bersaing atau memecahkan
masalah sederhana akibat kehilangan rasa kepercayaan diri,
kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri
yang selama ini diyakininya. Misalnya; sebelumnya individu
tersebut meyakini bahwa dirinya adalah orang yang memiliki
rasa percaya diri dan bebas mengekspresikan diri di
daerahnya namun ketika berada di daerah baru kini ia merasa
telah kehilangan jati diri, aneh atau tidak menarik.
Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal
sebagai berikut:
“…terasa berat ya memulai dari awal namanya juga
mencoba mengenal budaya baru di lingkungan yang
masih asing, dengan orang-orang yang belum benar-
benar kukenal, apalagi orang-orang disini berbeda latar
belakang budayanya denganku jadi untuk saat ini aku
masih susah berbaur. Perasaan ragu, takut itu selalu
mucul ya setiap akan berinteraksi atau ketika akan
memulai beradaptasi dengan lingkungan baru, ditambah
bingung bagaimana memulai perkenalan dan memulai
pembicaraan dengan teman baru” (Berdasarkan hasil
wawancara dengan SC, informan asal Padang pada
tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB)
(c) Kurangnya komunikasi atau sulitnya komunikasi bisa
menimbulkan frustasi dan perasaan terasing.
Timbul perasaan sensitif atau prasangka yang berlebihan
pada diri individu perantau akibat masalah perbedaan bahasa
daerah asal dengan bahasa di daerah baru dan perbedaan cara
bicara.
Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal
sebagai berikut:
“…dalam keseharian sering sekali mendengar mereka
aktif berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa
kesesama mereka yang suku Jawa, walau aku bukan
lawan bicara mereka tapi aku mendengarnya merasa
aneh, penasaran apa yang sedang seru mereka bahas, nah
jangan-jangan mereka sedang membahas kejelekanku
siapa yang tahu kan kalau dibalik sikap dan tuturkata
lembut tersimpan kebusukan, bukannya apa tapi berjaga-
jaga itu perlu apalagi disini aku sendiri tidak akrab
dengan siapa-siapa di tanah orang pula…”(Berdasarkan
hasil wawancara dengan WLLY, informan asal Mamuju,
Sulawesi Barat pada tanggal 27 November 2013 pukul
14.00 WIB)
(d) Individu tidak mampu melakukan banyak aktifitas yang
sebelumnya ia nikmati : ini menyebabkan kecemasan dan
perasaan kehilangan.
Perasaan kehilangan dan letih karena harus selalu
menggunakan bahasa umum sehingga merindukan bahasa
daerahnya yang biasa individu gunakan tanpa ada hambatan
masalah pehamanan bahasa saat masih di kampung
halamannya dalam aktivitasnya berkomunikasi dengan
keluarga dan teman.
Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal
sebagai berikut:
“…bahasa disini berbeda, karena di tanah Jawa jadi aku
harus berbahasa Indonesia terus setiap hari 24 jam full
jika berkomunikasi dengan orang lain yang jelas berbeda
budaya gini tapi lama-lama juga capek ya rindu bahasa
daerah yang lebih mudah di ucapkan bukan bahasa
Indonesia tidak mudah di ucapkan tapi berbahasa
Indonesia saja mereka masih bilang tidak mereka
mengerti kan kesal juga rasanya…”(Berdasarkan hasil
wawancara dengan EN, informan asal Malinau,
Kalimantan Utara pada tanggal 19 November 2015
pukul 11.00 WIB)
(e) Perbedaan antara budaya baru dengan budaya kampung halaman
biasanya dilebih-lebihkan dan sulit diterima.
Selalu membandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur
asal secara berlebihan dan perasaan bergantung pada orang-
orang lain dari daerah atau negara asal yang sama dengannya.
Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa sebagai berikut:
“lebih nyaman berinteraksi dengan teman-teman kosku
yang juga sama-sama dari Bali sehingga tahun pertama
di Jogja kebanyakan kuhabiskan dengan mereka, main-
main berkeliling wisata Jogja ya itu ramai-ramai dengan
mereka, kalau nongkrong kebanyakan ya di kos itu lebih
seru ya aku sangat nyaman berinteraksi dengan teman
yang sedaerah denganku. Jadi hanya saat di kos saja
yang membuatku merasa tidak asing berada di
Yogyakarta, karena bagiku kos adalah wilayah Bali
kecilku dan aku bisa menjadi diri aku sesungguhnya dari
pada harus tegang, canggung, susah-susah menyesuaikan
diri dengan orang yang berbeda budayanya denganku…”
(Berdasarkan hasil wawancara dengan KMG, informan
asal Bedugul, Bali pada tanggal 23 November 2013
pukul 10.00 WIB)
Menjadi lebih khawatir tentang kesehatan. Pada orang-orang
yang datang dari suatu daerah biasanya menjadi lebih sensitif
terhadap masalah kebersihan di tempat yang baru. Perasaan
bahwa apa yang baru dan asing adalah “kotor” berkaitan
dengan air minum, makanan, peralatan makan dan
perlengkapan tidur; khawatir akan kebersihan dari penduduk
setempat.
Seperti pada hasil wawancara dari beberapa informan
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa sebagai berikut:
“…Jogja cuacanya panas membuatku sering mengalami
radang tenggorokan karena suka coba-coba jajan ini itu
yang mungkin penjaja makanannya pakai pemanis
buatan berlebihan, tidak bersih atau apa kurang paham
ya aku, dulu aku memang benar-benar butuh proses
untuk bisa menyesuaikan diri di lingkungan yang baru.”
(Berdasarkan hasil wawancara dengan UI, informan asal
Malinau, Kalimantan Utara pada tanggal 18 November
2015 pukul 11.00 WIB)
“…jarak tempat antar rumah itu dekat-dekat sekali,
kotor, kumuh menjijikkan banyak tikus berkeliaran
karena padat perumahan penduduk disini, beda dengan
kampung halamanku yang jarak antar rumah itu jauh dan
setiap rumah memiliki halaman yang luas. Lalu Jogja itu
kota yang ramai, panas, kering, gerah, Jogja padat
kendaraan jadi disini terasa sekali polusi udaranya,
berdebu pula kalau disini harus wajib pakai masker kalau
tidak mau rusak paru-parunya.”(Berdasarkan hasil
wawancara dengan WLLY, informan asal Mamuju,
Sulawesi Barat pada tanggal 27 November 2013 pukul
14.00 WIB)
Menderita rasa sakit di berbagai area tubuh, muncul berbagai
iritasi disebabkan alergi, serta gangguan-gangguan kesehatan
lainnya, seperti diare, maag, sakit kepala, hingga demam.
Seperti pada hasil wawancara dari beberapa orang informan
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa sebagai berikut:
“…Sering mudah lelah, tenaga terporsir mungkin karena
tegang tidak rileks, sering kembung, masuk angin, yang
lain mudah terkena flu, sariawan, masalah gangguan
pencernaan dulu sering sekali sembelit, daya tahan itu
menurun ya mungkin karena tidak dirumah sendiri ya
jadi tidak ada yang merawat kalau dirumah kan ada ibu
jadi apa-apa sudah tersedia. ”(Berdasarkan hasil
wawancara dengan ADTY, informan asal Pematang
Siantar pada tanggal 19 November 2013 pukul 12.00
WIB)
“…Yogyakarta itu lebih panas ya dari Bedugul, musim
panasnya berlangsung cukup lama, kalau di sana musim
kemarau pun masih ada hujan turun juga tapi kalau disini
memang benar-benar terasa panasnya, jadi awal dulu
sering sekali ganti kulit, kulitnya mengelupas seperti itu,
kulit jadi kasar bersisik yang dulunya di Bedugul aku
tidak menggunakan handbody, disini jadinya harus pakai
itu biar tidak perih karena kasar kulitnya. Terus mudah
dehidrasi juga ya disini sampai aku sering bawa bekal air
minum dari kos agar dikampus tidak harus bolak balik
kekantin hanya untuk sekedar membeli air minum. Panas
dan udara keringnya jogja itu selain membuatku
dehidrasi juga ngefek juga kepanas dalam, sariawan,
gangguan pencernaan mudah buang air kecil, kulit
kepala juga mudah berketombe karena gerah dan
berdebu. Apalagi Jogja itu termasuk tinggi ya polusi
udaranya karena jumlah kendaraan di Jogja yang padat.
Terlebih untuk daerah sleman perkembangan kotanya
pesat banyak bangunan raksasa dibangun disana sini
menimbulkan debu semakin menyesakkan pernafasan
yang akhirnya sering membuat alergi debuku mudah
kambuh dan semua itu tidak terelakkan membuatku
sedikit terganggu…”(Berdasarkan hasil wawancara
dengan KMG, informan asal Bedugul Bali pada tanggal
23 November 2013 pukul 10.00 WIB)
“Dulu karena masih merasa tidak nyaman dengan semua
hal di Jogja, mungkin pengaruh pikiran yang mindsetnya
sudah jelek duluan jadi ya suka mengait-ngaitkan dengan
homesick jadi pernah karena terlalu rindu rumah ingin
sekali lekas pulang ke kampung halaman yang teramat
parah akhirnya aku terkena demam tinggi menggigil
sampai masuk rumah sakit RSCC, terus kesininya sering
sakit kepala migrenlah, maaglah…” (Berdasarkan hasil
wawancara dengan UI, informan asal Malinau,
Kalimantan Utara pada tanggal 18 November 2015
pukul 11.00 WIB)
(f) Perbedaan ini biasanya dilebih-lebihkan: nilai-nilai baru
tampaknya sulit diterima.
Munculnya pemikiran dan pandangan buruk terhadap budaya
baru di lingkungan baru atas apa yang individu tersebut lihat
dan rasakan, meski sebenarnya tidak semua penduduk lokal
di daerah rantauannya dapat dikatakan buruk.
Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal
sebagai berikut:
“…Ternyata Jogja sama saja dengan daerah-daerah
lainnya ya walau terkenal ramah, nada bicara yang
lembut, menjunjung tatakrama tapi tetap saja tuh ada
yang wataknya keras, sikapnya seenaknya, seperti
preman penguasa, kalau tertawa memekakkan telinga
jadi tak menjamin ya walau mungkin hanya minoritas
yang seperti itu. Aku juga sering merasa terganggu
dengan cara candaan orang Jawa ya, atau cara mereka
memperhatikan penampilan serta logat bicaraku yang
terdengar asing bagi mereka, padahal logat bicara
mereka sendiri aneh bagiku hanya tidak kutampakkan
reaksiku, mungkin disini aku merasa menjadi lebih
mudah tersinggung jika ada yang menyinggung masalah
budayaku walau untuk sekedar iseng-iseng
humor”(Berdasarkan hasil wawancara dengan WLLY,
informan asal Mamuju, Sulawesi Barat pada tanggal 27
November 2013 pukul 14.00 WIB)
Timbul rasa takut dibohongi oleh orang lain yang akan
berbuat curang padanya karena ketidaktahuannya, dirampok
atau dilukai yang berlebihan oleh orang-orang asing yang ia
temui di daerah baru terhadapnya dan mencegah kontak
dengan orang yang terasa berbeda kultur.
Seperti pada hasil wawancara dari salah seorang informan
mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa semester awal
sebagai berikut:
“…Aku memang tidak ingin asal dekat dengan orang-
orang baru, kan tidak tahu bagaimana dia, asal-usulnya,
latar belakangnya juga, takutnya kalau salah berteman
aku sama dianya terlanjur longgar taunya nanti akan
mengundang masalah tersendiri untukk kan repotu,
seperti misalnya jika aku asal berteman dengan orang
yang ternyata kleptomania saat aku teledor bisa saja
mengundang kesempatan bagi dia untuk mencuri
barangku yang menurut dia menarik. Kita kan ya tidak
tahu sejarah gimana-gimananya orang baru.”
(Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal
Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00
WIB)
Bagi para mahasiswa perantau khususnya, berbagai gangguan dari efek
culture shock yang mereka alami di tempat rantauan menimbulkan banyak
persoalan-persoalan perasaan ketidaknyamanan emosional meliputi
ketidaknyamanan fisik sebagai reaksi yang diderita individu perantau ketika
mereka datang ke daerah lain atau suatu lingkungan dengan kondisi sosial
budaya yang berbeda dengan tempat asal mereka. Cara hidup yang dipakai
oleh mahasiswa perantauan di tempat yang sebelumnya menjadi kurang
efektif digunakan di Yogyakarta karena bukan hanya budaya dan norma-
norma masyarakat yang berbeda, tetapi juga karena iklim, makanan, gaya
hidup, bahkan teknologi pun menjadi berbeda dari tempat asalnya dengan
tempat yang kini didatanginya.
Apabila individu tersebut tidak segera menemukan hal yang mampu
membuatnya merasa nyaman selama berada di Yogyakarta maka akan
datang hal berkelanjutan seperti kehilangan selera humor yang disebabkan
oleh perasaan sensitif/ mudah tersinggung yang nantinya dapat
mempengaruhi output dari perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari
yang berhubungan dengan kemampuan bersosialisasi terhadap masyarakat
sekitar lingkungan jangkauan aktivitasnya, kehilangan selera makan
(mengalami perilaku makan dan minum yang kompulsif), kehilangan
semangat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari yang disebabkan oleh
perasaan rindu kampung halaman/ home sick, perubahan pola tidur, kurang
energi dan kesulitan untuk berkonsentrasi dalam pekerjaannya.
Dalam keadaan yang tidak nyaman ini, individu tersebut terancam tidak
dapat menjalani kehidupan sebagai seorang perantau secara maksimal, hal
ini terkait dengan kemampuan menyesuaikan diri dalam proses adaptasi
sosial yang merupakan beban tersendiri bagi individu perantau dan efek
yang paling kuat dalam pengalaman lintas budaya yang akan diperoleh.
Dalam penelitian ini bahwa fenomena culture shock dialami oleh individu-
individu yang berasal dari kebudayaan yang berbeda dari generasi ke
generasi berikutnya dengan beberapa tanda-tanda culture shock yang
diketahui diantaranya adalah: (i) Merasa sedih dan sendiri/ terasingkan, (ii)
Temperamen cepat berubah, merasa sering goyah dan tidak berdaya, (iii)
Terkadang disertai masalah kesehatan, seperti demam, flu, diare, (iv) Sering
merasa mudah marah, kesal, dan enggan berinteraksi dengan masyarakat
sekitar, (v) Mengait-ngaitkan dengan kebudayaan di tempat asal dan bahkan
menganggap kebudayaan asal lebih baik dari budaya lain, (vi) Merasa
kehilangan identitas/ ciri-ciri pribadi sebelumnya, (vii) Bingung Berusaha
keras menyerap dan memahami semua kebiasaan yang ada ditempat
barunya, (xi ) Menjadi kurang percaya diri, (xii) Membentuk suatu stereotip
(Pencitraan yang buruk) terhadap kebudayaan baru. Penyebab, gejala dan
reaksi yang mendorong bagaimana munculnya culture shock juga akan
sangat spesifik tergantung pada dari daerah mana individu perantau tersebut
berasal, seberapa jauh jarak asal daerahnya dengan daerah rantauannya dan
pada tahun atau masa seperti apa, akan sangat bervariasi.
2. Dampak Culture Shock Pada Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta
Bentuk-bentuk permasalahan di atas merupakan kondisi seseorang yang
mengalami culture shock ketika berpindah ke lingkungan dengan budaya baru.
Seorang individu perantau mungkin mengalami lebih dari satu dari masalah
tersebut di atas bahkan mungkin dapat mengalami ke semua bentuk
permasalahan akibat culture shock di atas.
Mengenai keempat fase culture shock yang dikemukakan Samovar pada
kajian pustaka sebelumnya yakni fase optimistik (fase pertama), masalah
kultural (fase kedua), fase recovery (fase ketiga) dan fase penyesuaian (fase
terakhir). Hal tersebut sesuai seperti hasil pengamatan yang peneliti lakukan
terhadap ke delapan orang informan asal luar pulau Jawa bahwa dalam
kehidupan mereka di Yogyakarta ketika di awal bulan-bulan pertama
kehidupannya sebagai perantau, sebelumnya ia akan terlebih dahulu
mengalami masa perasaan terisolasi dari budayanya yang lama dalam kurun
waktu tertentu. Proses disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar
adanya berbagai perbedaan antara budaya lama dan budaya baru yang diikuti
dengan penolakan terhadap budaya baru inilah masa culture shock atau
gegar budaya inilah fase ke dua culture shock mengenai masalah
kebudayaan.
Pada fase ke dua, masa dimana seorang individu perantau yang
mengidap culture shock menjadi rentan akan dampak negatif dari culture
shock seperti membentuk suatu stereotip (pencitraan yang buruk) terhadap
kebudayaan baru hingga timbulnya paham etnosentris pada diri individu
mahasiswa perantau dengan memandang rendah budaya tuan rumah di
tempat rantauanya. Persoalan-persoalan yang nyata ini menimbulkan
perasaan agresif seperti mudah tersinggung dan marah pada keadaan budaya
yang ada di daerah barunya karena dianggap asing yang akhirnya mereka
mencoba mengatisipasinya dengan cara berpaling kepada teman-teman
sedaerah dengannya yang dianggap akan lebih familiar dan dapat
memberikan kenyamanan ketika berkomunikasi dengan cara pandang yang
sama. Seringkali muncul pendewaan terhadap budaya asal, menganggap
budaya asalnya adalah budaya yang paling baik dan mengkritik budaya
barunya sebagai budaya yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan dan
aneh atau mungkin sebaliknya merasa dipandang aneh oleh pihak mayoritas
yang disini merupakan tuan rumah rantauan. Kondisi mengkritik budaya
baru ini bisa termanifestasi rasa kesal terhadap budaya baru, menunda-nunda
untuk mempelajari bahasa yang terdapat di daerah barunya atau menolak
terlibat dengan orang-orang di baru tersebut dan juga muncul stereotip -
stereotip (pencitraan yang buruk) tentang orang-orang dari budaya baru
yang bisa menghalangi interaksi yang efektif dengan orang-orang yang ada
di tempat yang baru dan bukan sedaerah dengannya. Seperti pada hasil
wawancara pada informan mahasiswa perantauan seperti berikut ini:
“…Ya memang tidak dipungkiri kalau lebih santai untuk berteman
dengan orang yang berasal dari daerah yang sama mudah dipahami,
kami sama-sama perantau sama-sama dari sumatera kalau pas lagi
kumpul bareng, ngerumpi bisa lepas bahas terang-terangan mengolok-
ngolok mereka- mereka yang menyebalkan sesuka hati kami ibarat
menahan muntah nah ini adalah waktu untuk memuntahkan semuanya
sampai merasa puas dan lega, mau bagaimanapun memandang budaya
kami dikampung halaman itu jauh lebih baik daripada budaya baru yang
kami hadapi sekarang dalam tanda kutip Yogyakarta dan segala
isinya...”(Berdasarkan hasil wawancara dengan SC, informan asal
Padang pada tanggal 13 November 2013 pukul 14.00 WIB)
Namun demikian, oleh berjalannya waktu dan tingkat kebutuhan serta
kodrat alami manusia yang merupakan makhluk sosial, secara alami hal ini
akan diikuti oleh proses integrasi dari budaya baru yang akan
menghantarkan individu pada perasaan luluh, naiknya tingkat toleransi pada
diri yang ditandai dengan timbulnya perasaan tertarik untuk dapat
memahami arti bahasa setempat, yang kemudian dapat berlanjut pada
keadaan menegosiasikan kebutuhannya sehingga tumbuh perasaan otonomi
dalam dirinya. Hingga akhirnya ia hampir mencapai kemandirian, dimana ia
mulai menciptakan makna dari berbagai situasinya dan perbedaan yang ada
akhirnya berangsur dinikmati dan bertahap mulai diterima oleh diri individu
tersebut inilah fase recovery atau fase ketiga culture shock.
Apabila krisis diri telah mulai teratasi dengan baik, maka individu akan
bersedia untuk belajar budaya baru, memahami berbagai perbedaan norma
dan nilai-nilai antara budaya asli yang melekat pada dirinya dengan budaya
baru yang saat ini dimasukinya yaitu adaptasi. Hingga akhirnya ia mulai
menemukan arah untuk perilakunya dan bisa memandang peristiwa-
peristiwa di tempat barunya dengan rasa humor karena individu mulai
mengerti dari budaya barunya yang mencakup nilai-nilai, pola komunikasi,
kenyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Dimana individu telah mulai
menemukan rasa makanan yang lebih cocok dengan lidah dan perutnya,
serta mengatasi iklim yang berbeda, timbul perasaan puas, mandiri,
menikmati pada diri individu yang bersangkutan sehingga ia mulai nyaman
dan dapat berfungsi dengan baik secara efektif di lingkungan barunya
tersebut inilah fase penyesuaian fase terakhir culture shock.
Individu perantau tersebut akan tiba pada titik dimana ia menyadari
bahwa budaya barunya tidak lebih baik atau lebih buruk antara satu dengan
yang lainnya, karena sekarang muncul pemikiran jika pada setiap budaya
memiliki ciri berbeda yang berbeda pula dalam menangani setiap masalah
dalam kehidupannya. Individu juga dapat menyadari bahwa budaya barunya
memiliki banyak hal baik maupun hal buruk yang dapat berpotensi untuk
mempengaruhi diri individu selama ia berada di tempat baru tersebut, agar ia
tahu harus bagaimana menyikapinya dengan tepat sebagai pengalaman
hidupnya. Pada masa ini akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang
telah dipelajarinya dari budaya baru dengan hal-hal lama yang selama ini dia
miliki sehingga muncul perasaan menentukan, memiliki dan menetapkan
sebagai tahap dalam proses pencarian jati diri dalam diri individu. Ini
memungkinkan munculnya definisi baru mengenai dirinya sendiri. Biasanya
pada saat seperti ini individu telah matang dalam pengalaman lintas
budayanya dan memiliki kemampuan untuk hidup dalam budaya barunya
yang berbeda dengan budaya asalnya inilah dampak positif dari culture
shock. Seperti pada hasil wawancara pada informan mahasiswa perantauan
asal luar pulau Jawa semester lanjut yang telah lama melewati masa culture
shock seperti berikut ini:
“Dulu iya canggung ya tapi sekarang sudah baik kok, aku kenal lalu
akrab sama temen-temen kampus itu kalau tidak salah semester 2 atau
semester 3 an, karena 1 semester sendiri aku merasa belum butuh teman
ya…sampai akhirnya sosialisasi sama temen-temen jadi terabaikan dan
terlambat, malas memulai perkenalan dengan orang-orang baru, takut
ini takut itu namanya juga merasa asing dilingkungan baru jadi perasaan
negative dengan mereka itu gampang muncul. Sekarang setelah aku
mulai berinteraksi, mau berkomunikasi dengan orang lokal itu sedikit
banyak muncul pemahaman akan hal-hal yang dulunya aku tidak tahu
sekarang jadi oh begitu ya ternyata jadi ini semua masalah toleransi,
menghargai perbedaan, tidak semua orang jawa itu freak. Orang Jawa
pada dasarnya sama seperti kami di Sumatera ada yang tahu sopan
santun ada yang tidak, ada yang seenaknya ada yang tidak dan yang
selama ini aku pikir jika ia berbahasa Jawa maka ia adalah orang lokal
Jogja ternyata salah…setiap kota atau daerah memiliki perbedaannya
masing-masing entah itu kelebihannya maupun kekurangannya…”
(Berdasarkan hasil wawancara dengan ADTY, informan asal Pematang
Siantar pada tanggal 19 November 2013 pukul 12.00 WIB)
Dengan beradaptasi atau meyesuaikan diri dengan budaya di
Yogyakarta, mahasiswa perantau akan dapat merasa nyaman tinggal di
Yogyakarta dan permasalahan culture shock yang terjadi terselesaikan.
Sehingga untuk terjalinnya komunikasi yang efektif dan lancar kita harus
menerima serta menyesuaikan diri dengan budaya tempat dimana seorang
individu kini berada. Sikap menghargai dan menerima segala keanekaan/
keheterogenan budaya yang ada akan mempermudah usaha dalam
beradaptasi dengan budaya yang baru. Hal ini akan memperlancar
komunikasi yang terjadi diantara individu pendatang dan individu tuan
rumah menjadi lebih nyaman.
Dibawah ini merupakan tabel perbedaan culture shock yang dialami oleh
mahasiswa perantauan asal luar Jawa antara mahasiswa semester awal
perkuliahan dengan mahasiswa semester lanjut perkuliahan di Yogyakarta
yang peneliti dapat kerucutkan sebagai pembanding yang dapat diperhatikan
bagaimana fase culture shock menjangkit seorang individu perantau di
daerah baru atau asing sebagai tempat rantauannya yaitu sebagai berikut:
Mahasiswa Perantauan Semester Awal Perkuliahan Mahasiswa Perantauan Semester Lanjut
Perkuliahan
1. Baru menjalani bulan awal berada di Yogyakarta
sebagai mahasiswa perantau, Telah melewati lebih dari satu semester
tinggal di Yogyakarta sebagai mahasiswa
perantauan,
2. Masih mengalami tahap awal culture shock, akan
tetapi gejala culture shock yang terjadi pada
setiap individu memiliki tingkatan atau kadar
yang berbeda sejauhmana culture shock
mempengaruhi kehidupannya di tempat rantauan,
Hampir menyelesaikan tahap awal culture
shock dengan cara masing-masing yang
individu temukan dalam menghadapi
ketegangan karena adanya usaha
beradaptasi secara psikis maupun sosial,
3. Bagi sebagian individu perantauan efek culture
shock menghadapkan individu dalam kondisi
ketidaknyamanan serta kebingungan akibat
berpindah hidup ke lingkungan baru/ daerah
rantauan dan menimbulkan berbagai hal
kemungkinan reaksi penolakan terhadap orang-
orang asing sekitar dan kultur di daerah baru
hingga dapat menyebabkan individu tersebut
menjadi pribadi yang tertutup, atau jika mereka
menemukan orang yang sedaerah asalnya di
tempat rantauan maka mereka akan cenderung
bergantung dengan orang-orang tersebut. Meski
begitu,hal-hal tersebut tidak membuat mereka
melalaikan tanggung jawab pribadi yang sejak
awal merupakan tujuan utama mereka pergi
merantau,
Perasaan tidak berdaya mencakup
perasaan bingung, frustasi, ketergantungan
dengan orang-orang sedaerah di tempat
rantauan dan bayang-bayang tidak mampu
menyesuaikan diri terhadap lingkungan
baru semakin terkikis seiring berjalannya
waktu, walau diawal mereka menghadapi
berbagai reaksi culture shock sebagai
permasalahan pengalaman lintas budaya
yang tidak terelakkan namun lambat laun
menjadi terbiasa dengan perbedaan yang
ada disekitarnya. Jika mereka belum
benar-benar dapat menerima perbedaan
setidaknya akan timbul perasaan
tertantang untuk dapat menyesuaikan diri
dengan baik di tempat rantauan,
4. Bagi beberapa individu perantau dengan perasaan
yang masih belum stabil maka culture shock akan
mudah mempengaruhi pengalaman lintas budaya
di bulan-bulan awal perkuliahan karena pada saat
ini mereka sedang sibuk dan terhanyut pada
perasaan ketidaknyamanan akan berbagai hal
perbedaan yang ada di lingkungan baru baik
reaksi penolakan, pesimis akan tetap bertahan
pada situasi yang mengganggu yang secara
bersamaan dihadapkan pada rasa tanggungjawab
akan niat awal mereka untuk merantau yaitu
kesuksesan akademik dan pendidikan berkualitas.
Jika di awal bulan-bulan culture shock
mereka lebih terbawa oleh kesibukan
pelarian ke hal-hal yang berbau streotip
budaya maka pada masa ini mereka mulai
sadar pada tujuan awal mereka merantau
yaitu demi keberhasilan akademik
perkuliahan, mereka akan dihadapkan
pada keadaan membutuhkan teman-teman
baru sebagai suatu kesatuan informasi
yang didesak oleh kepentingan kesuksesan
akademik.
Tabel 3. Perbedaan Culture Shock Yang Dialami Oleh
Mahasiswa Perantauan Di Yogyakarta
Dari tabel perbedaan culture shock yang dialami oleh mahasiswa
perantauan di yogyakarta yang terdiri mahasiswa baru semester awal
perkuliahan dan mahasiswa tengah semester lanjut diatas menunjukkan
bahwa mahasiswa baru memiliki peluang mengalami culture shock karena
pada mahasiswa perantau semester awal yang baru saja melakukan tahap
awal pengalaman lintas budaya atau melakukan mobilitas penduduk yang
kita kenal dengan istilah bermigrasi atau merantau secara tiba-tiba untuk
kepentingan pendidikan berkuliah di Yogyakarta.
Ketika seorang individu mahasiswa perantau dengan latar belakang
budaya yang berbeda memasuki budaya Yogyakarta yang jelas berbeda
dengan budaya asalnya sama saja dengan menghadapkan individu tersebut
dengan situasi-situasi yang berpotensi menimbulkan keterkejutan,
ketidaknyamanan serta kecemasan temporer tidak beralasan dalam diri
individu yang berakibat pada terguncangnya konsep diri dan identitas
budaya. Kondisi ini dapat menyebabkan sebagian besar mahasiswa
perantauan semester awal mengalami gangguan mental dan fisik.
Mahasiswa perantau yang sebelum merantau selalu terbiasa
menjalankan dan mengembangkan budayanya dalam kehidupan sehari-hari
di daerah asalnya masing-masing, saling berinteraksi satu sama lain setiap
harinya dengan orang-orang yang mayoritas memiliki kebudayaan sama dan
hidup bersama dalam satu daerah dalam kurun waktu yang lama. Maka
keseluruhan cara hidup tersebut termasuk nilai-nilai, kepercayaan, standar
estetika, ekspresi, linguistik/ bahasa, pola berpikir, nilai-norma, tata
perilaku, gaya komunikasi yang kesemuanya terjalin secara terus menerus
mengiringi kelangsungan hidup masyarakat dalam kelompok lingkungan
fisik beserta lingkungan sosial suatu kebudayaannya, hingga tanpa disadari
kemudian membentuk karakter dan menjadi ciri khas yang melekat pada diri
masing-masing individu sejak ia lahir. Akibatnya mahasiswa-mahasiswa
perantauan semester awal tersebut masih terpelihara dan terbiasa dengan
kebudayaan mereka sendiri.
Bertemu dengan seseorang yang berasal dari kebudayaan lain baik
secara kebetulan atau disengaja secara langsung akan menghadapkan pada
suatu kenyataan perbedaan seperti bahasa, tingkah laku atau gerakan tubuh,
ekspresi mimik wajah, yang kesemuanya sangat berbeda dengan bahasa
yang selama ini familiar untuk didengar, tingkah laku atau gerakan tubuh
serta ekspresi mimik wajah yang selama ini dikenal atau dilakukan.
Berdasarkan pengamatan ternyata dalam peristiwa tersebut, dapat
diketahui bahwa dalam benak individu perantau tersirat jika “ada banyak
yang salah, tidak sesuai dan berbeda” sehingga menimbulkan perasaan tidak
nyaman, walaupun kadang-kadang mereka sebenarnya tidak tahu secara
pasti mengapa mereka dapat merasa demikian. Terbiasa dengan kebudayaan
sendiri membuat kebanyakan orang menjadi tidak sadar akan hakekat
subbudayanya dan mudah mengkonsumsi bahwa, apa yang ada atau terjadi
adalah memang seharusnya akan tetap selalu demikian meski sebenarnya
kebudayaan atau subbudaya dari unit sosial apapun selalu berubah dengan
berjalannya waktu. Inilah masa culture shock yang harus dihadapi oleh
mahasiswa perantauan semester awal setidaknya hanya berlangsung untuk
jangka waktu tertentu
Mahasiswa semester lanjut yang telah melalui masa culture shock
melalui proses waktu akan menemukan dirinya dalam keadaan dapat menilai
serta mampu membedakan hal yang positif dan negatif secara seimbang.
Mereka mulai sadar bahwa sebagai mahasiswa perantau yang memasuki
Yogyakarta dengan suatu situasi baru yang menghadapkannya pada
kenyataan segala perbedaan yang ada diantaranya dengan lingkungan
barunya, selain menjadi mahasiswa ia juga harus menyesuaikan diri dengan
budaya masyarakat setempat.
Proses adaptasi secara alami akan dialami oleh setiap mahasiswa etnik
pendatang sebagai seorang individu perantau. Dengan memasuki suatu
kebudayaan baru yang tidak familiar, meski pada awalnya terasa tidak
menyenangkan, muncul ketidakpuasan, ketidaksabaran, ketidaknyamanan,
kegelisahan, bahkan kesulitan untuk berkomunikasi akibat segalanya yang
terasa asing. Untuk mengatasi rasa ini ada beberapa cara yang ditempuh.
Hingga timbul cara melawan yaitu dengan mengejek, memandang rendah
dan bertindak secara etnosentrik, namun kesemua ini akan mereda seiring
berjalannya waktu oleh hakekat kebutuhan utama manusia sebagai makhluk
sosial yang tidak akan terlepas dari interaksi sosial setiap harinya dan
semakin mendesak individu perantau mengadakan penyaringan serta
pelenturan untuk menyesuaikan bahkan mulai menerima sebagian budaya
dari etnik budaya setempat melalui proses adaptasi yang pastinya
membutuhkan waktu melalui proses belajar.
Adaptasi budaya akan berlangsung baik jika seorang perantau tersebut
memiliki kepekaan kultural. Kepekaan ini dapat diasah melalui kemauan
untuk berpikir dalam pola pikir mereka. Kepekaan budaya ini merupakan
modal yang amat besar dalam membangun toleransi, rasa pengertian yang
akan tercipta antara perantau dengan budaya masyarakat setempat.
Singkatnya culture shock yang terjadi pada setiap individu perantauan
berbeda-beda mengenai sejauh mana culture shock mempengaruhi hidupnya.
Pada mahasiswa semester lanjut yang telah melewati lebih dari satu
tahun tinggal di tempat rantauan banyak mengalami perubahan sebagai
penyesuaian diri yang individu temukan dalam menghadapi ketegangan
karena adanya usaha beradaptasi secara psikis maupun sosiologis dan pada
masa ini culture shock telah beralih menjadi pengalaman lintas budaya.
Dari data yang peneliti kumpulkan dan pengamatan yang peneliti
lakukan terhadap kedelapan informan mahasiswa perantauan asal luar Jawa,
maka peneliti menemukan hasil bahwa individu perantau pasti akan
mengalami culture shock dibulan-bulan pertama kedatangannya sebagai fase
awal dari culture shock, seiring berjalannya waktu kebutuhan serta tuntutan
keadaan akan memaksa individu tersebut melakukan perubahan pada cara
pandangnya selama ini sekaligus yang akan menghadapkannya pada fase
recovery (fase ketiga) yang kemudian diikuti dengan fase penyesuaian diri
atau fase terakhir dalam culture shock sehingga gegar budaya yang individu
alami dipastikan akan mulai berangsur teratasi secara maksimal sampai satu
tahun pertama kehidupannya dilingkungan daerah yang baru sebagai
dampak pada mahasiswa perantau dalam mempelajari banyak hal tentang
kebudayaan baru di luar kebudayaannya yang di tunjukkan dengan
kemampuan adaptasi budaya yang dilakukan oleh individu perantau tersebut
gunakan dan diaplikasikan dalam kehidupannya di lingkungan barunya kini.
Mengenai seberapa lama atau tidaknya culture shock dialami oleh seorang
individu perantau peneliti beranggapan hal tersebut tergantung dengan
sejauh mana seorang individu perantau mampu menyadari akan pentingnya
sikap menghargai dan menerima segala keanekaragaman/ keheterogenan
budaya yang ada. Hal ini berarti, jika ingin hidup nyaman dan berhasil di
lingkungan yang baru maka mau tidak mau individu perantau tersebut harus
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru saat ini, sesuai dengan pepatah
tua yang mengatakan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Untuk
mendapatkan hasil merantau yang baik dan lancar maka usaha yang efektif
dilakukan adalah menciptakan sikap menghargai dan memahami serta
menerima budaya orang lain. Terlebih, kita akan tinggal sementara waktu di
budaya itu.
C. Pokok-pokok Temuan
Pokok-pokok temuan yang didapat oleh peneliti dalam penelitian yang
telah dilakukan tentang fenomena culture shock (gegar budaya) pada
mahasiswa perantauan di Yogyakarta antara lain, sebagai berikut:
1. Kebanyakan pelajar dari luar propinsi Jawa memilih melanjutkan studi ke
Jawa karena mereka menilai kualitas perguruan tinggi di pulau Jawa lebih
baik dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa.
2. Yogyakarta sejak dahulu dikenal sebagai kota pelajar atau kota pendidikan
serta memiliki suasana yang sangat mendukung dalam proses
pembelajaran sehingga menarik minat para pelajar untuk menjadi
mahasiswa perantauan di Yogyakarta.
3. Semua mahasiswa perantauan yang diteliti tinggal seorang diri ditempat
rantauan tanpa ditemani orang tua, mereka memiliki tanggungjawab yang
besar terhadap diri mereka sendiri di tempat rantauan.
4. Penyebab internal yang menyebabkan culture shock mahasiswa perantauan
yaitu kemampuan berdasarkan kematangan secara psikis yang dimiliki
pada diri individu untuk dapat hidup mandiri,
5. Penyebab eksternal yang merupakan masalah utama pemicu terjadinya
culture shock mahasiswa perantauan adalah perbedaan sosial budaya.
6. Penyebab internal dan eksternal saling memberikan pengaruh yang besar
pada diri individu perantauan yang melatarbelakangi terjadinya culture
shock.
7. Culture shock memiliki gejala dalam bentuk kecemasan akibat
ketidaknyamanan psikis maupun fisik yang akan dialami individu
pendatang selama berada di daerah rantauan/ daerah asing akan tetapi
reaksi culture shock yang terjadi pada setiap individu memiliki berbeda-
beda mengenai sejauhmana culture shock mempengaruhi kehidupannya.
8. Adaptasi budaya akan berlangsung baik jika seseorang individu memiliki
kepekaan budaya. Kepekaan budaya dapat diasah melalui kemauan untuk
berpikir positif dalam pola pikir individu. Kepekaan budaya ini merupakan
modal yang amat besar dalam membangun toleransi atau rasa saling
pengertian dan menghormati serta sikap keterbukaan ditengah-tengah
situasi perpedaan yang ada.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan pada delapan orang
informan mahasiswa perantauan asal luar Jawa yang terdiri atas mahasiswa
perantauan semester awal perkuliahan serta mahasiswa perantauan semester
lanjut dan berkuliah di Yogyakarta, menunjukkan bahwa masa culture shock
akan dialami oleh setiap mahasiswa perantauan yang baru memasuki tahap
semester awal perkuliahan, hanya saja culture shock yang terjadi pada setiap
individu berbeda-beda mengenai sejauh mana culture shock mempengaruhi
hidupnya. Dalam penelitian ini peneliti setuju dengan pendapat samovar
bahwa individu akan mengalami culture shock saat satu minggu pertama
kedatangannya dan akan teratasi sampai satu tahun pertama. Mahasiswa baru
memiliki peluang mengalami tahap culture shock yaitu tahap optimistik
hingga tahap crisis culture dan mahasiswa semester lanjut yang sudah lebih
lama tinggal di Yogyakarta telah melalui tahap yang lebih jauh baik tahap
recovery hingga tahap penyesuaian integration.
Dari hasil yang peneliti kumpulkan menyatakan bahwa culture shock
yang dialami informan mahasiswa perantau ternyata tidak benar-benar
menimbulkan rasa putus asa permanen dalam menyelesaikan akademiknya.
Berbagai rasa ketidaknyamanan akibat perbedaan lingkungan sosial budaya
yang dialami oleh mahasiswa perantau di Yogyakarta akan terkikis dengan
sendirinya oleh berjalannya waktu. Kondisi individu yang setiap harinya
selalu berada di tengah orang-orang berbeda karakter budaya didukung dengan
padatnya aktivitas perkuliahan lambat laun menghadapkan individu pada
proses pembauran dengan individu lainnya sebagai dorongan kebutuhan
berinteraksi dan kembali pada kodrat bahwa individu merupakan makhluk
sosial yang saling membutuhkan satu sama lain dalam pengumpulan informasi
guna mencapai keberhasilan tujuannya.
Seorang individu perantau penderita culture shock yang mulai
melakukan interaksi dengan orang-orang baru disekitar budaya baru akan
mendorong terjadinya analisa yang diarahkan kepada diri sendiri yang
memungkinkan individu untuk menemukan wawasan baru yang dalam dari
aspek psikis mengenai dirinya sendiri. Struktur baru ini akan semakin tampak
melalui pengalaman emosional saat berinteraksi dengan budaya baru. Dalam
hal ini, pengalaman interaksi dengan budaya baru tidak selamanya negatif,
namun sebaliknya akan mendorong individu untuk mengenali dirinya secara
lebih dalam agar mampu menjadikan dirinya lebih fleksibel untuk
menyesuaikan diri dengan budaya baru. Proses penemuan makna baru yang
disebabkan oleh pengaruh budaya baru akan berlangsung secara alami dan
menghantarkan individu pada penyesuaian diri dengan lingkungan baru.
Pengalaman culture shock bersifat normal terjadi pada mahasiswa perantauan
yang memulai kehidupannya di daerah baru dengan situasi dan kondisi
lingkungan sosial budaya yang berbeda dengan daerah asalnya. Tingkat
keberhasilan dalam mengatasi masalah culture shock sangatlah bergantung
dengan usaha dan kesungguhan dari masing-masing individu dalam
memegang teguh tujuan awal merantau.
Sehingga berdasarkan hasil penelitian mengenai “Fenomena Culture
Shock (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta” dapat
disimpulkan bahwa jalan keluar atau solusi dari culture shock yang baiknya
dilakukan oleh mahasiswa perantau adalah dengan beradaptasi, yaitu sikap mau
menerima dan memahami budaya di Yogyakarta. Dengan beradaptasi atau
menyesuaikan diri dengan budaya di Yogyakarta, mahasiswa pendatang atau
perantau dapat menciptakan perasaan lebih nyaman tinggal di Yogyakarta dan
permasalahan ketegangan akibat perbedaan budaya yang terjadi dapat
terselesaikan. Selain itu, terjalinnya suatu komunikasi yang efektif dan lancar
hanya akan terjadi jika individu mau menerima dan menyesuaikan diri dengan
budaya tempat kita berada. Menghargai dan menerima segala keanekaan/
keheterogenan budaya yang ada mempermudah usaha dalam beradaptasi dengan
budaya yang baru dan akan menghasilkan suatu komunikasi yang berlangsung
secara nyaman ditengah perbedaan budaya.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian tentang fenomena culture
shock (gegar budaya) mahasiswa perantauan di Yogyakarta, peneliti memberi
saran untuk mengatasi culture shock dengan baik sebagai berikut:
1. Bagi jurusan Sosiologi
Memberikan gambaran mengenai fenomena culture shock dalam
membantu mahasiswa perantauan beradaptasi dengan lingkungan budaya
baru.
2. Bagi mahasiswa jurusan Sosiologi
Ditinjau dari hasil penelitian, penulis menyarankan kepada mahasiswa
jurusan sosiologi hendaknya selalu berpikir positif mengenai masalah
kultural yakni perbedaan budaya. Terus mengasah kemampuan diri yang
dimiliki (proaktif) agar menjadi mahasiswa yang mandiri, adaptive dan
mampu menghargai serta menerima segala keanekaragaman/
keheterogenan budaya yang ada.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan guna menambah wawasan
dasar bagi peneliti selanjutnya untuk lebih menyempurnakannya dan perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut secara lebih mendalam sesuai dengan
kajian sosiologi mengingat culture shock (gegar budaya) lebih cenderung
pada gambaran keadaan dan perasaan psikis individu yang mengarah pada
ilmu psikologi, agar diperoleh hasil penelitian sosiologi yang tepat serta
lebih maksimal dari penelitian ini. Penulis berharap, akan makin banyak
lagi penelitian yang berkaitan dengan fenomena culture shock (gegar
budaya) pada mahasiswa perantau di Yogyakarta.
4. Bagi calon mahasiswa perantau
a) Sebelum berangkat ke daerah baru yang akan dimasukinya sebaiknya
terlebih dahulu mencari informasi pada sumber yang terpercaya
tentang keadaan, situasi sosial dan budaya yang ada di daerah
tersebut. Hal ini akan membantu individu untuk lebih familiar dengan
daerah yang akan dimasukinya dan memunculkan gambaran akan
lingkungan barunya.
b) Memiliki tujuan merantau yang jelas. Selalu menjaga prioritas utama,
berjuang dan berdoa akan membantu individu mengatasi culture
shock. Tingkat keberhasilan akademik sangat bergantung dengan
konsentrasi, usaha serta kesungguhan dari masing-masing individu
dalam memegang teguh tujuan awal merantau.
c) Kesiapan diri merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi
sebelum individu memutuskan untuk memulai hidup di daerah
rantauan, terlebih jika seorang individu memang belum pernah
mengenal secara nyata bagaimana kondisi sosial budaya yang ada di
daerah rantauan tersebut. Kesiapan diri sangat diperlukan sebagai
bekal yang menentukan keberhasilan penyesuaian diri yang baik
dalam menghadapi banyak hal perbedaan ketika mulai hidup dalam
suatu daerah baru dengan budaya.
d) Memiliki kepekaan budaya, kepekaan budaya dapat diasah melalui
kemauan untuk berpikir positif dalam pola pikir individu. Kepekaan
budaya ini merupakan modal yang amat besar dalam membangun
toleransi atau rasa saling pengertian dan menghormati serta sikap
keterbukaan ditengah-tengah situasi perpedaan yang ada.
e) Menghargai budaya yang ada di tempat rantauan, bersikap terbuka
dengan menerima lingkungan sosial budaya yang baru disekitarnya,
menciptakan interaksi yang efektif dan meluaskan jaringan
pertemanan yang baru baik di lingkungan perkuliahan maupun
lingkungan tempat tinggal akan membantu menumbuhkan perasaan
nyaman pada diri individu sehingga dapat meminimalisir kecemasan
yang berkelanjutan yang disebabkan oleh efek culture shock.
DAFTAR PUSTAKA
Dayakisni, Tri. (2012). Psikologi lintas budaya. Malang : UMM Press.
Dwi Siswoyo. (2007). Ilmu pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Hadari Nawawi. (2007). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Idianto. (2004). Sosiologi SMA. Jakarta: Erlangga
Ihromi. T.O. (1990). Pokok-pokok antropologi budaya. Jakarta : Gramedia
Irawan Suhartono. (2002). Metode penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosda
Karya
Kato Tsuyushi. (2005). Adat Minangkabau & Merantau. Jakarta: Balai
Pustaka
Koentjaraningrat. (1980). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Larry A. Samovar, Richard. L. Porter & Edwin. R. Mcdaniel. (2010). Komunikasi
Lintas Budaya. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika
Lexy. J. Moleong. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Lexy. J. Moleong. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda Karya
Lexy. J. Moleong. (2007). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Mantra (2003). Pengantar Ilmu Demografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Milles, Matthew B. and A. Michael Huberman. (1992). Analisis Data
Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Mulyana, D, Rahman, J. (2006). Komunikasi antar budaya panduan
berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. 7th Ed. Bandung:
Rosda Karya
Mochtar Naim. (1984). Merantau pola migrasi suku Minangkabau.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Poerwadarminta. (2005). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Rahyono, F.X. (2009). Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra
Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Soekanto, Soerjono. (2006). Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. (1985). Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers
Sugiyono. (2009). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. (2007). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Suharsimi Arikunto. (2010). Proses Penelitian Suatu Pendekatan Praktikan.
Jakarta: Rineka Cipta
Shiraev. Eric B, David A. Levy. (2012). Psikologi Lintas Kultural Pemikiran
Kritis dan Terapan Modern (Edisi Keempat). Jakarta: Prenada Media
Group
Stephen W. Littlejohn and Karen A. Foss. (2012). Teori Komunikasi Edisi 9.
Jakarta: Penerbit Salemba Humanika
Tilaar. H. A. R. (2004). Multikulturalisme: tantangan-tantangan global masa
depan dalam transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Grasindo
Fransiska Ani Dewanti. (2008). Pengalaman Culture Shock Pada Anak Buah
Kapal (ABK) Pemula Di Kapal Pesiar Internasional. Tesis. Yogyakarta:
Program Magister Psikologi UGM
Yulian Susanti. (2012). Dukungan Teman Sebaya Sebagai Mediator
Hubungan Antara Culture Shock Dengan Prestasi Belajar. Tesis.
Yogyakarta: Program Magister Psikologi UGM
Jogja Kota, tersedia pada: http://www.jogjakota.go.id/index/extra.detail/22.
Diakses pada tanggal 30 November 2013
Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Angka, (2014). Kerjasama dengan BAPPEDA
Provinsi D.I.Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta
Tabel Jumlah Mahasiswa Di Perguruan Tinggi Yogyakarta Dalam Angka,
(2015). Sumber Data Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan
Olahraga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Budi Wibowo. (2015). Katalog Pameran Arsip Menyusuri Potret Pasang
Surutnya Kelembagaan, Menelusuri Dinamika Masyarakat Yogyakarta
Untuk Membangun Indonesia. Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
DIY. Siti Hinggil, Alun-alun Utara, Yogyakarta. 12-27 Desember.
Halaman 8.
Majalah Campusmagz no.36, edisi april 2014 Halaman 38-40
Lampiran 1
PEDOMAN OBSERVASI
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
No. Aspek yang diamati Keterangan
1. Lokasi observasi
2. Waktu observasi
3. Nama Perguruan Tinggi Yogyakarta tempat
mahasiswa perantau tersebut berkuliah
4. Asal daerah mahasiswa perantau tersebut
5. Hal yang melatarbelakangi individu untuk
merantau
6. Penyebab yang melatarbelakangi proses
terjadinya culture shock pada mahasiswa
perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
7. Gejala hingga reaksi Culture shock yang
dialami mahasiswa perantauan asal luar Jawa
di Yogyakarta
8. Dampak yang ditimbulkan culture shock pada
mahasiswa perantauan asal luar Jawa di
Yogyakarta
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Tanggal wawancara :
Waktu :
Lokasi wawancara :
A. Identitas Informan
Nama :
Jenis kelamin :
Umur :
Agama :
Asal daerah :
Suku/ etnis :
Bahasa daerah :
Universitas :
Mahasiswa semester :
B. Daftar wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi
Yogyakarta
1. Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan
anda merantau ke Yogyakarta?
2. Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan
motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah
anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/
propinsi lain?
3. Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan merantau? Lalu apakah
anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau
tersebut?
4. Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah datang mengunjungi
Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda?
Lalu bagaimanakah perasaan anda saat sudah berada di tempat
perantauan? Merasa kagetkah?
5. Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda
bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja?
6. Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota
Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
7. Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang
anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di
Yogyakarta?
8. Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan
kampus anda pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan?
9. Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan
tempat tinggal (kos) anda?
10. Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian belajar yang
anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan
Yogyakarta)?
11. Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama
berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)?
12. Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya orang-orang pribumi
Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda
merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda?
13. Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering
membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan
daerah asal dari tempat anda sendiri?
14. Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat segera
mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda
merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda?
15. Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan awal di tempat
rantauan?
16. Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas Yogyakarta apakah
anda menemukan kendala di tempat rantauan?
17. Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di Yogyakarta, apakah
anda menemukan kendala di tempat perantauan?
18. Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan dengan keluarga anda
di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung
halaman? Apakah anda sering merasa home sick atau mudah rindu
kampung halaman?
19. Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang membuat anda
stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta?
20. Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi
terhadap masyarakat pribumi Yogyakarta lalu bagaimana anda
mengatasinya?
21. Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan
masyarakat pribumi Yogyakarta?
22. Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat pribumi
Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama
menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di
tempat rantauan (Yogyakarta)?
23. Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-teman baru di
Yogyakarta? Apakah ada kendala?
24. Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan
daerah rantauan? Apakah anda merasa yakin dapat menyesuaikan diri
dengan di tempat rantauan tersebut?
Lampiran 3
PEDOMAN WAWANCARA
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Tanggal wawancara :
Waktu :
Lokasi wawancara :
A. Identitas Informan
Nama :
Jenis kelamin :
Umur :
Agama :
Asal daerah :
Suku/ etnis :
Bahasa daerah :
Universitas :
Mahasiswa semester :
B. Daftar wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang menempuh semester lanjut berkuliah di Perguruan Tinggi
Yogyakarta
1. Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah dan sejak kapan
anda merantau ke Yogyakarta?
2. Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta? Apa alasan dan
motivasi anda memilih menjadi seorang mahasiswa perantauan? Apakah
anda sebelumnya pernah memiliki pengalaman merantau kedaerah/
propinsi lain?
3. Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan merantau? Lalu apakah
anda sudah memperkirakan bagaimana tempat yang akan anda rantau
tersebut?
4. Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah datang mengunjungi
Yogyakarta atau memiliki bayangan bagaimana lingkungan baru anda?
Lalu bagaimanakah perasaan anda saat sudah berada di tempat
perantauan? Merasa kagetkah?
5. Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh untuk akhirnya anda
bisa masuk dan di terima di Perguruan Tinggi Jogja?
6. Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat perantauan kota
Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
7. Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu bahasa apa yang
anda gunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang baru di
Yogyakarta?
8. Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan
kampus anda pada saat anda memasuki semester awal perkuliahan?
9. Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di lingkungan
tempat tinggal (kos) anda?
10. Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian belajar yang
anda temukan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan
Yogyakarta)?
11. Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda rasakan selama
berada di lingkungan baru (kota rantauan Yogyakarta)?
12. Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya orang-orang pribumi
Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di Yogyakarta? Apakah anda
merasakan adanya perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda?
13. Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah anda sering
membandingkan lingkungan baru di Yogyakarta tempat rantauan dengan
daerah asal dari tempat anda sendiri?
14. Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat segera
mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru anda? Apakah anda
merasa nyaman dengan lingkungan rantauan anda?
15. Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan awal di tempat
rantauan?
16. Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas Yogyakarta apakah
anda menemukan kendala di tempat rantauan?
17. Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di Yogyakarta, apakah
anda menemukan kendala di tempat perantauan?
18. Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan dengan keluarga anda
di kampung halaman? Tiap berapa bulan anda pulang kekampung
halaman? Apakah anda sering merasa home sick atau mudah rindu
kampung halaman?
19. Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang membuat anda
stress pada bulan-bulan awal di Yogyakarta?
20. Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda yang merupakan
masyarakat pribumi Yogyakarta?
21. Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi
terhadap masyarakat pribumi Yogyakarta lalu bagaimana anda
mengatasinya?
22. Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat pribumi
Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk bersama-sama
menghadapi persoalan penyesuaian diri pada saat awal kedatangan anda di
tempat rantauan (Yogyakarta)?
23. Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-teman baru di
Yogyakarta? Apakah ada kendala?
24. Apakah anda mengalami berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan
lingkungan rantauan anda? Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri
dengan di tempat rantauan tersebut?
25. Bagaimana sikap dan pandangan anda tentang berbagai masalah
kemampuan beradaptasi dalam berusaha mengurangi pengaruh culture
shock pada diri anda selama ini?
Lampiran 4
HASIL OBSERVASI
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
No. Aspek yang diamati Keterangan
1. Lokasi observasi Di lingkungan kampus masing-masing informan yang
terdiri 8 orang informan mahasiswa perantauan asal
luar Jawa:
SC : Gedung Perpustakaan Pusat UGM
WLLY : Perpustakaan Jurusan FE UII
MNDL : Teras Gedung Dekanat FIS
SN : Halaman parkir Fakultas Ilmu Sosial
UNY
ADTY : Gedung Auditorium UPN
KMG : Gedung Rektorat STIE YKPN
UI : Halaman Fakultas Ilmu Sosial UNY
ERN : Halaman Parkir Fakultas Ilmu Sosial
UNY
2. Waktu observasi SC :13 November 2013
WLLY :27 November 2013
MNDL :16 November 2015
SN :03 Desember 2015
ADTY :19 November 2013
KMG :23 November 2013
UI :18 November 2015
ERN :19 November 2015
3. Nama Perguruan
Tinggi Yogyakarta
tempat mahasiswa
perantau tersebut
berkuliah
SC : UGM
WLLY : UII
MNDL : UNY
SN : UNY
ADTY : UPN
KMG : STIE YKPN
UI : UNY
ERN : UNY
4. Asal daerah, suku
dan bahasa daerah
mahasiswa perantau
tersebut,
SC : Padang, Minang/ Melayu, Minang
WLLY : Mamuju, Sulawesi Barat, Mandar
MNDL : Papua Barat, Papua
SN : Papua, Pegunungan Wamena, Hupla,
Nayak
ADTY : Pematang Siantar, Sumatera Utara,
Simalungun, Batak
KMG : Begudul Bali, Bali
UI : Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara,
Dayak, Dayak Kenyah Lepoke
ERN : Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara,
Dayak, Dayak Lundayeh
4. Hal yang
melatarbelakangi
individu untuk
merantau
Hal yang melatarbelakangi individu untuk merantau
rata-rata sama yaitu agar lebih berkembang,
menambah pengalaman dan banyak perguruan tinggi
di Yogyakarta serta pemahaman bahwa kualitas
perguruan tinggi di pulau Jawa dinilai lebih baik
dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa pada
umumnya menjadi latar belakang terjadinya
fenomena merantau saat ini
6. Penyebab yang
melatarbelakangi
proses terjadinya
culture shock pada
mahasiswa
perantauan asal luar
Jawa di Yogyakarta
a) Penyebab Internal, Adanya pengaruh
intrapersonal dalam diri individu, diantaranya
keterampilan berkomunikasi, pengalaman dalam
setting lintas budaya, kemampuan bersosialisasi
dan ciri karakter individu (toleransi atau
kemandirian berada jauh dari keluarga sebagai
orang-orang penting dalam hidupnya yang
berperan dalam sistem dukungan dan
pengawasan).
b) Penyebab Eksternal, Gegar budaya terjadi lebih
cepat jika tingkat perbedaan budaya budaya
tersebut semakin tinggi, hal ini meliputi
perbedaan sosial, budaya, adat istiadat, agama,
iklim, rasa makanan, bahasa, gerak tubuh/
ekspresi tubuh hingga mimik wajah, cara
berpakaian/ gaya hidup, teknologi, pendidikan,
aturan-aturan dan norma sosial dalam masyarakat
serta perbedaan perilaku warga tuan rumah.
7. Gejala hingga reaksi
Culture shock yang
dialami mahasiswa
perantauan asal luar
Jawa di Yogyakarta
Segala bentuk stress mental maupun fisik yang
dialami individu pendatang selama berada di lokasi
asing sebagai hilangnya kontrol seseorang saat ia
berinteraksi dengan orang lain dari kultur yang
berbeda yang menyebabkan kesulitan penyesuaian.
8. Dampak yang
ditimbulkan culture
shock pada
mahasiswa
perantauan asal luar
Jawa di Yogyakarta
Setelah melalui masa culture shock maka individu
perantau akan tiba pada titik dimana ia menyadari
bahwa budaya barunya tidak lebih baik atau lebih
buruk antara satu dengan yang lainnya, karena mulai
muncul pemikiran jika pada setiap budaya memiliki
ciri berbeda yang berbeda pula dalam menangani
setiap masalah dalam kehidupannya. Individu juga
mulai menyadari bahwa kultur barunya memiliki
banyak hal baik maupun hal buruk yang dapat
berpotensi untuk mempengaruhi diri individu selama
ia berada di tempat baru tersebut, agar ia tahu harus
bagaimana menyikapinya dengan tepat sebagai
pengalaman hidupnya. Pada masa ini akan terjadi
proses integrasi dari hal-hal baru yang telah
dipelajarinya dari kultur baru dengan hal-hal lama
yang selama ini dia miliki sehingga muncul perasaan
menentukan, memiliki dan menetapkan sebagai tahap
dalam proses pencarian jati diri dalam diri individu.
Ini memungkinkan munculnya definisi baru
mengenai dirinya sendiri. Biasanya pada saat seperti
ini individu telah matang dalam penglaman lintas
budayanya dan memiliki kemampuan untuk hidup
dalam budaya barunya yang berbeda dengan budaya
asalnya.
Lampiran 5
HASIL WAWANCARA
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Informan 1
Tanggal wawancara : 13 November 2013
Waktu : 14.00 WIB
Lokasi wawancara : Gedung Perpustakaan Pusat UGM
Keadaan informan
C. Identitas Informan
Nama : SC
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 18 Tahun
Agama : Islam
Asal daerah : Padang
Suku/ etnis :Minang/ Melayu
Jenis bahasa daerah :Minang
Universitas : UGM
Mahasiswa semester : 1
D. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi
Yogyakarta.
25. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah
dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta?
Informan :Padang, sukunya minang atau melayu, bahasa daerahnya
pun minang datangnya kejogja sekitar september 2013
kemarin.
26. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta?
Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang
mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah
memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain?
Informan :Karena tujuan utamanya memang ingin kuliah di UGM,
UGM juga terkenal sebagai universitas tertua di Indonesia,
Comment [CS1]: Asl
Comment [CS2]: Sk etnk
Comment [CS3]: Bhs Daerh
pastinya Jogja menjadi kota yang ramai akan perantau
yang sama sepertiku yang bertujuan menempuh jenjang
pendidikan perguruan tinggi, itu berarti akan banyak
perasaan senasib sepertiku, berjuang demi pendidikan. Aku
memang niat banget bisa masuk ke UGM. Berhubung UGM
memang adanya hanya di Jogja jadi mau tidak mau sejak
awal sudah bertekad untuk menjadi perantau ke Jogja yang
notabene Jawa budayanya demi berkuliah ke UGM.
Lagipula didaerahku itu sudah lumayan banyak dan
kebanyak yang merantau, merantaunya itu ya ke Pulau
Jawa. Ada yang ke UI, ITB, bahkan sepupuku saja ada
yang kuliah ke Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur
itu kan lebih jauh dari saya merantaunya. Belum pernah
merantau ya jadi ini kali pertamanya aku membuat
perjalanan perantauan dihidupku, tapi tekad sudah bulat
jalan sajalah. Coba-coba cari pengalaman baru, resikonya
pikir belakangan.
27. Peneliti :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan
merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan
bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut?
Informan :Keinginan sendiri lalu didukung oleh orang tua, agar
aku bisa mandiri, berkembang lalu tahu dunia luar. Lagi
pula orang-orang didaerah kami menganggap kalau
kualitas perguruan tinggi di pulau Jawa itu lebih baik
dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa. Jadi
orang tua semakin antusias agar aku merantau ke Jawa
demi prospek kedepannya yang penuh peluang begitu kak.
Karena belum pernah ke Jogja sebelumnya, jadi aku tidak
memperkirakan bagaimana Jogja. Yaa mungkin aku tahu
Jogja hanya dari Tv atau internet. Waktu itu gara-gara
ingin sekali kuliah di UGM yang menjadi satu-satunya
alasan dan membuatku sangat bersemangat untuk
merantau ke Jogja.
28. Peneliti :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah
datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan
bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah
perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan?
Merasa kagetkah?
Comment [CS4]: Alsn
Comment [CS5]: Alsn
Informan :Belum pernah kesini juga mengenal Jogja juga belum jadi
ini pure baru yang pertama kalinya buat aku, cuma waktu
pas pertama jatuh cinta dengan UGM itu bayangannya
kalau daya saing masuk universitas Jogja pasti tinggi. Yang
aku persiapkan dari rumah itu hanya fokus belajar demi
lolos ujian masuk UGM, kalau persiapan hidup di Jogja
kan bisa sambil jalan saja bagaimana nantinya.
alhamdulillah, ternyata lolos keterima di universitas
harapan juga, sisanya jadi tantangan tersendiri untukku
mampu atau tidak menyesuaikan diri di Jogja lalu sanggup
atau tidak aku untuk mendapatkan prestasi akademik dan
menjadi sarjana lulusan terbaik, ambisiku cuma buat
kesuksesan akademik, lekas lulus wisuda, kembali kerumah,
lalu cari pekerjaan. Jadi waktu itu perasaannya campur-
campur, bahagianya karena aku lolos seleksi ujian masuk
UGM dan akhirnya terwujud juga impian merantau demi
UGM terus kan karena masih ditemani bapak ibu jadi aku
tenang-tenang saja nah setelah mereka nak balik padang
langsung ya masuk babak baru nusuk sedihnya! Disini
benar-benar sendiri kesepian ditengah kota besar, merasa
benar-benar berada ditempat asing tersesat tapi itu
settinganku sendiri rasanya campur aduk jadi satu susah
jelasinnya. Mendadak melankolis sama kenyataan kalau
inilah yang namanya merantau jauh dari rumah, dari
keluarga, dari apapun itu.
29. Peneliti :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh
untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan
Tinggi Jogja?
Informan :Waktu itu saya ikut jalur SMPTN. Benar-benar full rasa
cemas bukan kepalang waktu itu karena aku tahu berapa
banyak calon mahasiswa yang berminat untuk masuk
UGM, dari jumlah peserta yang ada saja membuatku harus
super serius giat belajar agar mampu bersaing dan tembus
seleksi masuk perguruan tinggi negeri, sampai sembahyang
malam pun aku gencarkan demi masuk UGM.
30. Peneliti :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat
perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
Informan :Kos, waktu itu stay dulu di hotel, kami bagi tugas aku
fokus ngurus ini itunya masuk UGM dari daftar-ujian-
Comment [CS6]: Intr
pemberkasan, bapak ibu yang bagian mencarikan kos jadi
aku tidak tahu menahu ya tahu-tahunya mereka carikan kos
yang dekat sama kampus dengan segala pertimbangan
mereka tapi memang intinya sengaja cari kos yang dekat
sama kampus biar aku jalannya tidak terlalu jauh.
31. Peneliti :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu
bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi
dengan orang-orang baru di Yogyakarta?
Informan :Kalau bahasa yang dipakai di keluarga itu bahasa minang
karena keluargaku memang asli padang, sama teman-
teman juga kebanyakan bahasa minang ya mungkin karena
faktor berada di tanah Padang sih menurutku. Nah sejak
disini aku tidak mau gegabah ya kak, nanti malah dikira
sok-sokan perantau tidak tahu diri apa gimana, dari yang
biasanya yang kupakai dalam keseharianku 60%
berbahasa minang ini beralih 90% bahasa Indonesia kan
bahasa persatuan ya jadi aku disini sadar untuk
menggunakan bahasa Indonesia yang efesien jika
berkomunikasi dengan orang-orang baru. Hanya saja aku
merasa tidak nyaman berkomunikasi dengan orang-orang
Jogja yang mereka masih saja menggunakan bahasa Jawa
dalam berkomunikasi dengan aku, masalahnya aku tidak
mengerti bahasa yang dipakai oleh orang-orang di
lingkungan baruku ini, aku belum mengenal bahasa Jawa
sebelumnya jadi mana kutahulah apa artinya, itulah yang
membuat aku merasa canggung ketika bertemu dengan
orang-orang lokal yang kurang peka perbedaan (orang
Yogyakarta) pasti nanti aku akan diajaknya bicara bahasa
Jawa kan itu buat jadi malas rasanya kesal.
32. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki
semester awal perkuliahan?
Informan :Sampai sejauh ini ya mungkin karena masih baru-baru
saja tinggal di Jogja jadi terasa berat ya memulai dari
awal namanya juga mencoba mengenal budaya baru di
lingkungan yang masih asing, dengan orang-orang yang
belum benar-benar kukenal, apalagi orang-orang disini
berbeda latar belakang budayanya denganku jadi untuk
saat ini aku masih susah berbaur. Perasaan ragu, takut itu
Comment [CS7]: Bhs Daerh
Comment [CS8]: Ekstnl
selalu mucul ya setiap akan berinteraksi atau ketika akan
memulai beradaptasi dengan lingkungan baru, ditambah
bingung bagaimana memulai perkenalan dan memulai
pembicaraan dengan teman baru, perbedaan budaya
sedikit membuatku merasa kesulitan berkomunikasi dengan
orang di daerah baru. Untungnya waktu ospek kemarin
kebetulan aku bisa dapat beberapa kenalan teman-teman
baru walau kami berbeda kelas namun satu jurusan dan
sepertinya kami bisa menjadi teman yang lumayan akrab
karena kami sama-sama dari Sumatera merasa dialek kami
tidak terlalu jauh berbeda membuat kami merasa ada
kecocokan, kami sudah sering jalan bareng sampai shoping
bareng juga akhir-akhir ini. Kalau dengan teman-teman
baru di kelas justru aku masih merasa canggung, dikelas
paling aku hanya melakukan aktivitas keperluanku saja
tanpa banyak bercakap hal-hal lain diluar dari tanya-tanya
mengenai pembahasan materi yang susah dimengerti.
Pokoknya berhati-hati saja tidak boleh sembarangan, takut
akan keamanan diri karena perbedaan latar belakang
budaya gimana kalau aku salah mendapat kenalan teman
baru, atau mungkin tanpa disadari bisa saja perilaku dan
bahasaku tidak sengaja menyinggung perasaan orang yang
lalu akhirnya menimbulkan masalah yang mengganggu
konsentrasi berkuliah. Aku tidak mau mengambil resiko
yang akhirnya menyusahkanku jadi lebih baik aku disini
biasa-biasa saja, tidak banyak teman juga tidak masalah
bagiku yang penting tujuanku tercapai.
33. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan tempat tinggal (kos) anda?
Informan :Kalau dengan penghuni kos kamar lain itu ya biasa saja,
kenal pun hanya sebagian saja sama beberapa yang
kamarnya berdekatan dengan kamarku itupun yang
sekiranya bersahabat yang orangnya ramah yang ngajak
kenalan duluan ke aku, yang kamarnya jauh-jauh paling
cuma hafal wajah penghuni kamarnya saja, namanya
siapa itu aku tidak tahu. Sama penghuni kamar kos yang
aku kenal kalau kebetulan bertemu dijalan ya
komunikasinya sebatas basa-basi saling bertegur sapa,
atau kalau lagi nonton televisi kebetulan bareng sama
Comment [CS9]: Gjl &Rea
Comment [CS10]: Gjl &Rea
penghuni kos lain yang juga nonton acara televisi diruang
nonton ya kalau aku diajak ngobrol ya ngobrol, kalau
tidak diajak ngobrol ya aku diam saja. Aku itu kaku
orangnya, tidak pintar mencari bahan pembicaraan, lebih
senang jadi pendengar saja. Lagipula di kos aku lebih
sering menyendiri menghabiskan waktu dikamar, untuk
istirahat, belajar dan lain-lain, kalau keluar kamar paling
untuk nonton televisi saat bosan itupun jarang. Aku
memang tidak ingin asal dekat dengan orang-orang baru,
kan tidak tahu bagaimana dia, asal-usulnya, latar
belakangnya juga, takutnya kalau salah berteman aku
sama dianya terlanjur longgar taunya nanti akan
mengundang masalah tersendiri untukk kan repotu,
seperti misalnya jika aku asal berteman dengan orang
yang ternyata kleptomania saat aku teledor bisa saja
mengundang kesempatan bagi dia untuk mencuri
barangku yang menurut dia menarik. Kita kan ya tidak
tahu sejarah gimana-gimananya orang baru.
34. Peneliti :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian
belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan
baru (kota rantauan Yogyakarta)?
Informan :Karena kuliahku masih awal, lagi susah-susahnya, masih
merupakan tahap penjajakan materi, pengenalan sistem
perkuliahan dan banyak praktikumnya jadi sejauh ini seisi
kelas termasuk aku sama-sama kebakaran jenggot
menghadapi persoalan penyesuaian belajar karena kan
wajarlah kalau masih bingung kaget pula kan dengan
sistem belajar di perkuliahan yang jelas sangat berbeda
dengan sistem belajar saat masih duduk dibangku SMA.
Walau kami sekelas tidak saling akrab namun akhirnya
kami dapat menyingkirkannya demi kebutuhan serta
kelancaran prestasi akademik perkuliahan hingga
sendirinya kami mampu berperan aktif dan mandiri, yaa
hanya dengan bermodal mau untuk bertanya dengan teman
satu sama lain, sedikit menyingkirkan gengsi pada diri
guna mendapatkan pemahaman dari hasil bertukar pikiran
dengan teman-teman satu kelas. Kalau di luar kelas amat
sangat kebetulan itu dengan teman-teman baru yang aku
kenal saat ospek itu kan kami lumayan sangat dekat ya
Comment [CS11]: Gjl &Rea
Comment [CS12]: Ekstrnl
walau beda kelas tapi kami satu jurusan jadi materi kami
sama hanya mungkin berbeda dosen saja, kami sama-sama
menghadapi bersama dengan belajar kelompok, bertukar
pikiran, berbagi pemahaman, saling mengajak mencari
buku-buku sumber bersama saat ada tugas dari usaha
mencari buku penunjang keperpus pusat, perpus fakultas
sampai hunting kepasar buku murah. Insyaallah pasti bisa
aku lewati masalah pembelajaran ini, hais ini juga baru
mid semester, aku yakin aku pasti bisa, karena masuk UGM
saja aku bisa, maka melanjutkan perjuanganku aku juga
harus bisa dengan baik. Tujuan utamaku merantau bukan
untuk hal lain kecuali berkuliah jadi pikiranku tidak boleh
bercabang harus fokus disatu hal yaitu prestasi akademik,
aamiin.
35. Peneliti :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda
rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan
Yogyakarta) ?
Informan :Aku agak gimana di sini karena kebiasaan logatnya
Padang yang notabene melayu tapi intonasi tinggi jadi tiap
kelepasan suka pakai bahasa atau logat Padang nah tiba-
tiba teman-teman kampus melihat aku aneh lalu ngejek
bilang “uni nasi padangnya seporsi ya!” lalu mereka
tertawa terbahak-bahak jadikan aku bahan olokan nah
kalau sudah begitu malulah aku. Jadi sebenarnya wajar
kenapa orang kami berintonasi tinggi atau keras itu karena
rumah kami memang jaraknya jauh bertanah lapang jadi
terbiasalah kami bernada tinggi sehari-harinya. Beda
situasinya dengan disini yang jarak tempat antar rumah
itu dekat-dekat sekali, padat perumahan penduduk. Itulah
yang kadang membuat aku merasa tidak diterima oleh
orang-orang lokal di budaya yang baru ini. Sangat
menyakitkan bagi aku karena orang-orang Yogyakarta
tidak mengerti nilai-nilai budaya saya. Seakan orang-
orang di lingkungan baru memandang aneh terhadap nilai-
nilai budaya aku, bahkan itu tersirat dari mata lho kak
bagaimana cara mereka melihatku dengan tatapan aneh.
Membuatku marah, benci, dan enggan untuk berinteraksi
dengan orang-orang yang ada di lingkungan baru saya ini.
36. Peneliti :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya
Comment [CS13]: Ekstrnl
Comment [CS14]: Gjl &Rea
orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama
tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya
perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda?
Informan :Sebenarnya mungkin budayanya Jogja sendiri mudah
dipahami ya mengingat orang-orang Jawa banyak yang
sudah menyebar kemana-mana bahkan di Padang juga
banyak perantau dari Jawa, nah bedanya dengan di sini
orang Jawa yang merantau di Padang itu aktif berbahasa
Indonesiaan sehingga dari awal merantau mereka itulah
yang aku garis bawahi sebagai bayanganku jika bertemu
dengan orang-orang lokal disini, yang penting disini aku
sopan, berusaha tahu tatakrama, tidak ikut campur urusan
orang lain itu saja sudah cukup sebagai modal
menyesuaikan diri bermasyarakat dengan baik disini walau
dalam kondisi yang berbeda dari daerah asalku tapi aku
tidak mau ambil pusing. Sayangnya teori hanya sekedar
teori. Cuma masihlah aku heran orang disini yang asli
Jogja itu senang sekali berbahasa Jawa kepada siapapun.
Dari para penjualnya, tukang parkir, teman kampusku
yang asli Jogja pun begitu sama saja mereka kadang lupa
kalau disini memang tempat milik mereka tapi
pendatangnya kan banyak campur-campur asal daerahnya,
bukannya kenapa tapi aku cuma bisa bengong kalau diajak
mereka mengobrol pakai bahasa Jawa, meskipun aku
menjawabnya dengan bahasa Indonesia itulah yang
membuatku merasa tidak nyaman setiap harinya ketika
berinteraksi dengan mereka yang egois. Aku sudah loh
mencoba memahami mereka dengan tidak mengajak
mereka bicara dengan bahasa minang yang pastinya tidak
mereka pahami… tapi tidak kan? Justru mereka yang
masih saja cuek dan tetap berbahasa Jawa memangnya
mereka pikir aku tahu paham gitu artinya.
37. Peneliti :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah
anda sering membandingkan lingkungan baru di
Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat
anda sendiri?
Informan :Iya sering, suka malas ya kalau masalah selera masakan.
Nah jogja itu terkenal gudegnya. Tahu kan gudeg itu apa?
Gudeg itu kan sayur nangka yang manisnya luar biasa
Comment [CS15]: Ekstrnl
ternyata tidak cuma gudeg yang rasanya manis tapi
masakan lain-lain pun manis rasanya itu berbeda sama
rasa masakan khas kami yang pedas kental dengan rempah.
Sebenarnya tertarik untuk mencoba tapi sayangnya
memang tidak berjodoh dengan rasa manis setiap kali
mencoba rasanya ingin muntah. Akhirnya susuah move on
dari rumah makan padang, makanan cepat saji fast food,
mie instan, roti dan cemilan snack-snack. Mempunyai
masalah dengan pola makan selama beradaptasi di
lingkungan baru ini membuat nafsu makanku berkurang
membuat stres! baru berapa lama di sini saja sudah
membuat berat badanku menurun.
38. Peneliti :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat
segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru
anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan
rantauan anda?
Informan :Aku masih sering merasa kesepian sih, masih sering
merasa asing belum terbiasa. Masih banyak menarik diri
orang lain (tertutup) karena sering merasa tidak dihargai
oleh orang di lingkungan baru. Masih malas buat
mengkondisikan secara paten, kadang suka merasa berat
harus menghilangkan kebiasaan yang sudah tahunan
melekat hanya untuk menyesuaikan diri, ya dibawa
mengalir saja karena aku baru juga kan disini agar tidak
begitu stress, sepertinya sepele tapi kok berat jalaninya.
Umm, gimana ya Jogja itu kota yang ramai, berisik, panas,
gerah, Jogja padat penduduk, padat kendaraan jadi disini
terasa sekali sesaknya kalau masalah kenyamanan sih tetap
menyenangkan kampung halamanku. Lagipula kan tidak
mudah langsung sigap sama perubahan. Mungkin aku
masih butuh waktu sebagai proses untuk membiasakan diri
saja sih.
39. Peneliti :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan
awal di tempat rantauan?
Informan :Cuacanya Jogja itu ekstrim, terlebih cuaca di Jogja itu
sangat berbeda dengan daerah asalku sehingga waktu
pertama di Jogja dulu badan saya ini kaget lalu sering
sakit radang tenggorokan atau batuk, Yogyakarta kan
teriknya terasa menyengat sekali di kulit sampai harus
Comment [CS16]: Ekstrnl
Comment [CS17]: Gjl &Rea
rajin-rajin pakai handbody kalau tidak ingin kulit menjadi
hitam, perih dan kering, lalu kemaraunya disini terasa
lebih lama benar-benar tanpa ada hujan walau gerimis
sekalipun itu, musim kemarau kemarin benar-benar terasa
sangat panas menyengat. Padatnya kendaraan bermotor di
Jogja menyebabkan polusi udara menjadi tinggi yang
mengharuskanku pakai masker ketika sedang berada di
perjalanan. Disini aku sering mengalami alergi flu tiap
bangun pagi, kembung/ mual setiap setelah makan selama
berada di lingkungan baru ini, yang sebelumnya tidak
pernah mengalaminya. Lalu ini sepertinya mulai masuk
musim penghujan, menurutku juga sedikit ekstrim, hujan
lebat, angin kencang dan banyak petir benar-benar
membuatku takut, apalagi Jogja dikenal dengan sering
adanya gempa bumi, belum lagi isunya merapi akan erupsi
kembali seperti tahun 2010 kemarin jadi semakin
menambah rasa was-was.
40. Peneliti :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas
Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat
rantauan?
Informan :Menu masakan susah untuk menyesuaikan karena sini
khasnya manis sedangkan lidahku tidak terbiasa dengan
masakan manis, kalau makan larinya ke warung makan
Padang, makan roti, membuat roti tawar selai, nyemil
snack-snack, kalau tidak yaa buat mie instan sendiri, atau
kalau pas ada temannya yang mengajak nyari makan
bareng ya hunting warung makan yang sambalnya ekstra
pedas, sekalian wisata kuliner segala tempat kami coba
sampai habis referensi tempat makan terus kebanyakan
makan ditempat JunkFood berkelas internasional seperti
PH, starbucks, J.Co, KFC, Dunkin donuts yang sebenarnya
menguras kantong dan akhirnya tidak bisa keseringan
nongkrong ditempat-tempat mahal seperti itu karena
membuatku selalu kehabisan uang bulanan. Cuma ya itu
tadi pola makanku berantakan jadinya sering malas mau
makan, ini saja aku kurusan turun berapa kilo sendiri
gara-gara pilih-pilih makanan, jadi susah makan.
Akhirnya kesini-kesininya harus bisa paksa sedikit-sedikit
tidak pilih-pilih makan meski setiap kali memaksa makan
Comment [CS18]: Ekstrnl
selalu mual sampai muntah pula, masih berusaha ya
untuk tidak pilih-pilih makan lagi cuma ya carinya tetep
ketempat makan yang rasanya lumayan bisa cocok di
lidahlah sedih kalau makan tapi tak bisa kuhabiskan
karena tidak selera.
41. Peneliti :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat
perantauan?
Informan :Pola tidur berantakan sekarang mau tidak mau susah tidur
cepat, tidak tenang, masih merasa kalau ini bukan kamarku
sendiri dan memang tidak sedang tidur dirumah, masih
mudah menangis karena jauh dari keluarga. Kadang
siasati kalau tidak bisa tidur ku alihkan untuk
menyelesaikan tugas kuliah, kalau banyak tugas kan
memang harus aku nyicil, belum lagi aku juga harus
belajar dulu untuk materi kuliah yang susah dipahami jadi
ya akhirnya tidurnya semakin sampai larut malam.
42. Peneliti :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan
dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa
bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda
sering merasa home sick atau mudah rindu kampung
halaman?
Informan :Komunikasi lancar justru malah hampir setiap hari
telfon untuk cerita banyak hal ke mama, dari yang hal
tidak penting sampai keluhan merajuk menangis minta
ditengok juga. Gara-gara tugas banyak jadi rindu sama
mama, kalau dirumah setiap aku banyak tugas pasti
ditemani mama. Kalau sakit mama yang merawat,
rasanya ingin sering pulang tapi mengingat ongkos PP
yang tidak sedikit membuatku terjepit pada situasi yang
menyebalkan karena harus bersabar dan mengurungkan
keinginanku mudikku yang menggebu-gebu. Selalu sangat
ingin pulang ke rumah, bertemu keluarga dan teman-
teman di Padang tapi semua itu harus menunggu sampai
liburan panjang tiba.
43. Peneliti :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang
membuat anda stress pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta?
Informan :Jarak mungkin, karena jauh dari orang tua itu saat ini
Comment [CS19]: Ekstrnl
Comment [CS20]: Estrnl
Comment [CS21]: Gjl &Rea
sebenarnya terasa masih sangat menyiksa dan sering
membuatku mudah menangis atau menyendiri saat tidak
terbendung lagi rasa rinduku. Jauh dari kampung
halaman membuatku kurang percaya diri memulai
pembicaraan dengan orang baru, belum lagi setiap
bangun pagi pasti muncul perasaan seperti belum terbiasa
kaget ini bukan kamarku aku dimana apa ya kak semacam
belum bisa menerima tidak memiliki rasa memiliki sama
lingkungan baruku yang sekarang ini, merasa kurang
minder dan kurang bebas mengekspresikan diri di
lingkungan baru ini juga, yang semua itu pada intinya
mengacu pada perasaan sedih karena berada di
lingkungan yang tidak biasa.
44. Peneliti :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan
mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi
Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya?
Informan :Hmm kendala di daerah rantauan mengenai sosialisasi ya
untuk tahap awal paling akan aku simpan sendiri kalau
sudah terasa keterlaluan, menyesakkan didada dan sangat
mengganggu baru cerita ke orang tua biar perasaanku bisa
lebih lega itu saja sih kan uneg-uneg itu jika dilepaskan dia
akan sangat membantu. Nah beda ya sama teman-teman
dekatku yang sudah aku bilang tadi yang kami sama-sama
perantau sama-sama dari sumatera kalau pas lagi kumpul
bareng, ngerumpi mereka bisa lepas, bahas terang-
terangan mengolok-ngolok mereka mereka yang
menyebalkan sesuka hati kami ibarat menahan muntah nah
ini adalah waktu untuk memuntahkan semuanya sampai
merasa puas dan lega, mau bagaimanapun memandang
budaya kami dikampung halaman itu jauh lebih baik
daripada budaya baru yang kami hadapi sekarang dalam
tanda kutip Yogyakarta dan segala isinya kalau sudah
begitu aku jelas tidak ikut-ikutan karena terlalu frontal ya
memang kebebasan bicara dan menilai tapi cukup tidak
untu dibesar-besarkan ya mungkin karena aku anaknya
kaku, lebih banyak diam, lebih senang sebagai pendengar
dan menilai mengumpat dalam hati itu lebih aman jadi
tidak terlalu banyak bicara yang tidak penting dan tidak
ikut campur urusan orang ya apalagi disni asing jadi bukan
Comment [CS22]: Intr
Comment [CS23]: Gjl &Rea
porsiku untuk melibatkan diri pada hal-hal yang dirasa
dapat menimbulkan masalah atau dapat mengganggu
konsentrasi kuliah tapi selama disini aku dominan merasa
benar-benar kehilangan jati diri aku yang sudah kubentuk
selama ini dan itu diam-diam menyakitkan bagi aku. Ya
paling sembari menjalani hari sebagai rantauan juga
selalu ingat untuk berusaha jaga sikap, jaga etika sebagai
pendatang, ikuti aturan yang berlaku, berusaha bersikap
biasa saja agar tidak menjadikan hal yang tidak penting
sebagai beban pikiran.
45. Peneliti :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda
yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta?
Informan :Aku sering merasa terganggu dengan cara candaan orang
lokal Jogja ya mungkin disini aku merasa menjadi lebih
sentimen apabila ada yang menyinggung budaya ku walau
untuk sekedar humor belaka, tapi dibalik itu nada orang
lokal Jogja yang halus ya kadang malah aku merasa
karakterku yang kaku bisa nih membuat mereka tergangu,
aku juga belum bisa memahami ekspresi wajah dan bahasa
Jogja, karena terkadang antara ekspresi wajah dengan
perkataan sering kali berbeda terlebih karena perbedaan
latarbelakang budaya yang ada diantara kami. Ya memang
tidak dipungkiri kalau lebih santai untuk berteman dengan
orang yang berasal dari daerah yang sama mudah
dipahami, disini apa-apa sedikit-sedikit harus dipelajari
untuk menyesuaikan. Membuatku merasa kehilangan
orang-orang yang telah kukenal sebelumnya yang bisa
menerima apa adanya aku tanpa harus pencitraan segala.
46. Peneliti :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat
pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk
bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada
saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta)
?
Informan :Karena kuliahku masih awal, lagi susah-susahnya
menyesuaikan diri secara kilat, masih merupakan tahap
penjajakan lingkungan baru, pengenalan akan banyak hal
baru, budaya baru, kebiasaan baru, system baru, nilai,
norma, tata tertib baru jadi sejauh ini masih benar-benar
kebakaran jenggot menghadapi persoalan penyesuaian diri
Comment [CS24]: Ekstrnl
karena aku amat sangat bingung dengan situasi kondisi
sosial budaya yang sangat berbeda dengan sistem saat aku
masih di kampung halaman. Walau kami sekelas kami
masih cenderung mengelompok, masing-masing seakan
tidak saling peduli. Mungkin mereka sepertiku ya karena
aku sendiri saja masih memandang budaya asli aku lebih
baik daripada budaya Jogja yang aku hadapi sekarang bisa
saja mereka berpikir sebaliknya kalau budaya Jogja lebih
baik dari budayaku.
47. Peneliti :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-
teman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala?
Informan :Untuk saat ini biasa saja mungkin karena masih awal
jadi belum nampak bagaimana aslinya teman-teman
baruku dikelas. Mungkin mereka sama sepertiku masih
malu-malu, jaga jarak, jaga sikap, lebih banyak menahan
diri, menahan emosional demi menghimpun teman yang
cocok dengan karakter masing-masing dan kemudian
membentuk kelompok pertemanan tersendiri. Dikelas aku
termasuk sebagai pihak netral yang tidak condong dengan
salah satu dari mereka, mungkin karena aku pendiam dan
biasa saja menanggapi mereka. Ada beberapa teman orang
lokal yang kritis bertanya tentang daerahku namun aku
terlalu pasif bertukar informasi yang berkaitan dengan
budaya ya, akan percuma jika aku susah payah
menjelasnya tapinya mereka tidak mau benar-benar
menghargai. Rugilah kita capek bicara jelasin panjang
lebar kalau cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri
doang. Tujuanku merantau hanya satu yaitu berkuliah, aku
tidak ingin terlalu banyak terlibat pada hal-hal pertemanan
yang rumit,banyak menyita waktu dan bisa saja
mengalihkan konsentrasi berkuliahku.
48. Peneliti :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan
ketidaknyamanan dengan daerah rantauan? Apakah anda
merasa yakin dapat menyesuaikan diri dengan di tempat
rantauan tersebut?
Informan :Iya pasti itu, ini saja baru sampai di mid semester tapi
rasanya sudah begitu sangat lama berada disini seperti
berabad-abad ya mau bagaimana lagi keputusanku sih
yang memilih untuk merantau ke Jogja mau bagaimanapun
Comment [CS25]: Gjl &Rea
Comment [CS26]: Gjl &Rea
aku harus bertanggung jawab dong! Harus yakin aku pasti
bisa lalui ini semua, karena masuk UGM saja aku bisa,
maka masalah menyesuaikan diri pun aku juga harus bisa
tangani dengan baik, tidak mungkin kan mau menghindar
terus menerus. Inget kalau tujuan utamaku merantau bukan
untuk hal lain kecuali berkuliah jadi pikiranku tidak boleh
bercabang harus fokus disatu hal yaitu prestasi akademik.
Untuk sampai detik ini aku mungkin masih memberikan
jarak sama lingkungan baru disekitarku tapi tetap pada
kodratnya bahwa aku adalah seorang makhluk sosial yang
pasti akan butuh orang-orang yang ada disekelilingku,
cepat atau lambat tapi pasti aku akan terdesak kebutuhan
untuk berinteraksi lalu akhirnya bersosialisasi sama
sekeliling terus juga disini posisinya aku itu tamu, berada
disuatu daerah tuan rumah yang memiliki sistem norma
aturan dan nilai yang berlaku pula, maka jika aku ingin
tidak ada masalah ya sebaiknya aku harus mengikuti dan
mempelajari sistem masyarakat yang dipakai disini yaah
harusnya memang dibuat fleksibel saja dan kuncinya sama-
sama welcome, sama-sama sadar diri tapi itu baru teori,
prakteknya nunggu ilham datang semua kan butuh proses.
Comment [CS27]: Kemungkinan Hsl Adpt
HASIL WAWANCARA
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Informan 2
Tanggal wawancara : 27 November 2013
Waktu : 14.00 WIB
Lokasi wawancara : Perpustakaan Jurusan FE UII
Keadaan informan
A. Identitas Informan
Nama : WLLY
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 17 tahun
Agama : Islam
Asal daerah : Mamuju, Sulawesi Barat
Suku/ etnis : Mandar
Jenis bahasa daerah : Mandar
Universitas : UII
Mahasiswa semester : 1
B. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi
Yogyakarta.
1. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah
dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta?
Informan :Dari Mamuju, Sulawesi Barat, Mandar bahasanya ya
Mandar. Sejak Agustus 2013 lalu..
2. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta?
Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang
mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah
memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain?
Informan :Ya kan dimana-mana semua orang tahu kalau Jogja
sangat terkenal sebagai Kota pendidikan dengan kualitas
perguruan tinggi yang tidak diragukan lagi, banyak
Comment [CS28]: Asl
Comment [CS29]: Sk/ etnk
Comment [CS30]: Bhs Daerh
jurusan yang ditawarkan tersedia disana, selain itu jauh
lebih baik dibanding perguruan tinggi yang ada
didaerahku. Biaya hidup di Jogja juga kata banyak orang
lumayan serba pas terjangkau di kantong menengah
kebawah ya dibandingkan dengan kota-kota besar lain
seperti kota Bogor, Bandung, Semarang, Malang, dan
Jakarta terutama. Dan akhirnya karena stimulus dari kata
orang yang di kaitkan dengan ini itu seperti demi kualitas
pendidikan juga di dukung dengan biaya kehidupan yang
sesuai dengan kemampuan penghasilan orang tua jadi
terpilihlah Jogja. Jawa yang sudah dinilai oleh masyarakat
umum sebagai Propinsi dengan kualitas pendidikan yang
diakui jauh lebih baik dibandingkan luar Jawa menjadi
motivasi utama dalam memutuskan diri menjadi mahasiswa
perantau, lalu kemudian tujuan pendukung lain biar aku
mandiri, tahu dunia luar, menjadi pribadi yang kuat dan
berkembang semakin membulatkan tekat merantau. Belum
pernah ini kali pertama aku untuk mencoba pengalaman
merantau tapi kupikir tidak perlu takut ya lagipula
fenomena merantau demi pendidikan berkualitas sepertiku
ini kan sudah bukan hal baru lagi, pastinya di Jogja akan
banyak orang-orang dengan nasib sama sepertiku
merantau demi pendidikan itu artinya aku tidak sendiri.
Siapkan tekad bulat saja jadi modal, selebihnya serahkan
pada proses waktu.
3. Peneliti :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan
merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan
bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut?
Informan :Kalau aku merantau itu keinginan sendiri, sebelumnya
juga sudah kupikir dengan segala pertimbangan kuatku
sebagai alasan merantau, walau orang tua pertamanya
menentang tidak mendukung karena aku anak perempuan,
kata mereka Jawa itu jauh dan mereka mencemaskanku.
Tapi setelah aku memberi mereka penjelasan akhirnya
mereka memberikanku izin. Kalau memperkirakan
bagaimana-bagaimananya Jogja karena ini kan pertama
kalinya aku ke Jogja jadi sejak awal kedatanganku disini ya
benar-benar tidak tahu sama sekali bagaimana Jogja.
4. Peneliti :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah
Comment [CS31]: Alsn
datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan
bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah
perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan?
Merasa kagetkah?
Informan :Datang langsung sih belum, cuma aku tahu Jogja itu dari
searching internet dari berita di Televisi, atau pas
menonton sinetron juga kadang lokasi shootingnya ka nada
yang di Jogja, selebihnya bayanganku tentang Jogja simple
kalau Jogja itu merupakan kota pusat budaya Jawa, adat
istiadat Jawa, dan bahasa Jawa. Karena waktu awal
sebelum datang ke Jogja anggapanku semua hal di Jogja
itu pasti berkaitan dengan apapun yang berbau ke Jawaan,
dari logat bahasa, orang-orangnya juga semuanya pasti
bakal Jogja paten.
5. Peneliti :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh
untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan
Tinggi Jogja?
Informan :Awalnya ikut SNMPTN tapi aku tuju ke UGM dan UNY
sayangnya tidak beruntung. Sudah malas jadinya kecewa,
sedih, untungnya waktu berangkat ke Jogja itu aku bawa
foto copy nilai raport yang sudah di legalisir dan ternyata
benar itu terpakai, sebelum berangjat ke Jogja salah satu
guruku menyarankanku membawa bekal raportku untuk
cadangan keberuntungan, sekedar mendaftar ke universitas
swasta terbaik di Jogja dan menyarankan ke UII beliau
mengatakan inshAllah bisa, karena nilai-nilainya bagus
jadi waktu itu aku coba-coba bertaruh keberuntungan
mendaftar ke UII pakai jalur masuk yang melalui nilai
raport saja seperti saran guruku tersebut, kan lumayan
tidak usah repot-repot ikut test segala dan Alhamdulillah
berjodoh untuk berkuliah di Jogja aku diterima padahal
aku benar-benar pasrah saja mau bagaimana nasibku,
kalau gagal ya sudahlah kembali saja ke Sulawesi tapi
ternyata tidak.
6. Peneliti :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat
perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
Informan :Disini aku ngekos karena memang disini tidak ada
saudara, jangankan saudara bahkan teman seperjuangan
dari daerah asalku pun sampai saat ini belum kutemukan.
Sedih sih, ini benar-benar tempat asing buatku tapi ya tadi
mencoba menguatkan diri sendiri berusaha masukkan
sugesti kalau Jogja itu kota yang ramai oleh perantau
dengan tujuan yang sama sepertiku yaitu untuk
menyelesaikan jenjang pendidikan perguruan tinggi. Di
lingkungan kos pun penghuni kamar lainnya juga berasal
dari berbagai daerah dan berstatus mahasiswa itu berarti
banyak perasaan perantau yang senasib sepertiku,
berjuang demi pendidikan, aku harus semangat seperti
yang lain.
7. Peneliti :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu
bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi
dengan orang-orang baru di Yogyakarta?
Informan :Bahasa Mandar ya karena memang kita orang asli
Mandar. Jadi orang kami di Mamuju sama seperti Jogja ya
kalau orang asli Jogja kan dalam kesehariannya pasti akan
berbahasa Jawa jika berkomunikasi dengan sanak saudara,
keluarga maupun teman sepermainan. Kami pun di
Mamuju dalam kesehariannya berbahasa Mandar baik
dengan keluarga, tetangga dan teman tapi hanya yang
sesama suku. Disini jelas berbahasa Indonesia lah
pastinya, tidak mungkin kan kalau aku tetap menggunakan
bahasa mamuju diJogja, kecuali kalau memang disini ada
perantau yang juga dari daerah asal yang sama denganku,
kalau memang bertemu kenal dekat secara alami kami pasti
akan berkomunikasi dengan mereka dengan bahasa
daerah. Sayangnya sampai saat ini belum kutemukan itu
masalahnya hahaha.
8. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki
semester awal perkuliahan?
Informan : Sepertinya aku terlalu angkuh sok berani memutuskan
untuk merantau ke Jogja sendirian jauh dari keluargaku
hanya demi pendidikan yang berkualitas, tapi ya
bagaimana lagi mau tidak mau bisa tidak bisa aku harus
benar-benar mempertanggungjawabkan keputusanku
merantau. Karena sebelumnya aku tidak pernah punya
pengalaman merantau dan ini kali pertamaku, mungkin
wajar kalau aku tidak bisa segera menyesuaikan diri
Comment [CS32]: Bhs Daerh
dengan segala perbedaan dengan orang-orang sekitar
dilingkungan baruku disini. Bahkan untuk saat ini aku
belum memiliki teman yang cocok, paling ya cuma sebatas
kenal biasa kalau yang benar-benar dekat dan mengerti
bagaimana aku masih belum ada. Setiap kali akan
memulai mencoba membaur itu selalu saja timbul
perasaan cemas, canggung, dengan orang-orang lokal
alhasil maju mundur dan amannya milih untuk nutup diri.
Di Jogja aku menjadi sedikit pendiam, bukan karena aku
berprilaku sombong tapi aku sering bingung, kurang pede
saat hendak memulai pembicaraan dengan orang-orang
sekitarku, rasa malu, takut dan ragu bercampur menjadi
satu. Aku bisa mempunyai beberapa kenalan teman
kampus pun karena mereka yang berbaik hati mengajakku
berkenalan terlebih dahulu, lalu mengajak belajar
kelompok, cari sumber referensi tugas keperpustakaan,
mengajak untuk beli buku tambahan ke toko buku tapi aku
masih kaku jaga sikap juga jaga diri takutnya ada niat
lain tersembunyi dibalik kebaikan seseorang kan kita tidak
bisa pastikan ya apa yang ada didalam hati dan pikiran
orang.
9. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan tempat tinggal (kos) anda?
Informan :Sama saja ya aku itu memang sering bingung saat
hendak memulai pembicaraan dengan orang-orang baru
di sekitarku, lagipula aku tidak pandai mencari bahan
pembicaraan, selama ini kebanyakan mereka yang
mengajakku berkenalan atau mengobrol terlebih dahulu.
Aku orangnya sedikit pemalu dan tertutup ya, kalau di kos
juga aku jarang berinteraksi dengan penghuni kamar kos
lainnya, hanya sebatas basa-basi bertegur sapa dan jika
diajak mengobrol baru aku akan merespon. Aku lebih
banyak menghabiskan waktu dengan menyendiri dikamar
menghibur diri sendiri, mengistirahatkan badan yang
lelah seharian di kampus, entah baca-baca buku,
mengerjakan tugas, menyalin hasil catatan di kelas hasil
kuliah hari itu dan lain sebagainya yang penting apa-apa
ku alihkan ke prioritas utama yaitu kesuksesan akademik.
10. Peneliti :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian
Comment [CS33]: Gjl & Rea
Comment [CS34]: Gjl &Rea
belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan
baru (kota rantauan Yogyakarta)?
Informan :Sebelum UTS kemarin itu aku memang mengalami
kesulitan penyesuaian belajar yang membuatku bingung,
sistem belajar di perkuliahan sangat berbeda dengan
sistem belajar saat aku masih duduk dibangku SMA.
Lagipula disini aku dituntut untuk mandiri jadi segala
sesuatunya aku lakukan sendiri,aku mensiasatinya dengan
menulis jadwal secara lengkap, menulis apa saja tugas
perminggunya dan semua itu sengaja aku tempel di dinding
kamar untuk mengingatkan dan mendisiplinkan diri. Setiap
hari selalu berusaha mencari bahan-bahan materi melalui
perpustakaan jurusan bahkan sampai ke perpustakaan
pusat, kadang juga ke warnet atau area wifi untuk mencari
bahan secara on line. Yah, intinya aku berusaha sendiri,
tidak terlalu mengaharapkan bantuan dari orang lain, lagi
pula belum tentu teman kita benar-benar membantu kan.
Disela lelah aku selalu berusaha kupikir ini baru mid
semester awal di awal perkuliahanku kan, jadi aku harus
yakin aku pasti bisa, karena akulah yang memilih untuk
meneruskan pendidikanku sampai ke Jawa begini maka aku
harus melanjutkan perjuanganku dengan maksimal dan
membuat orang tuaku bangga atas kerja kerasku.
Harapannya aku bisa segera lulus kuliah tepat waktu dan
cum laude.
11. Peneliti :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda
rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan
Yogyakarta) ?
Informan :Ada, kesenjangan di bahasa jelas dalam keseharian sering
sekali mendengar mereka aktif berkomunikasi
menggunakan bahasa Jawa kesesama mereka yang suku
Jawa, walau aku bukan lawan bicara mereka tapi aku
mendengarnya merasa aneh, penasaran apa yang sedang
seru mereka bahas, nah jangan-jangan mereka sedang
membahas kejelekanku siapa yang tahu kan kalau dibalik
sikap dan tuturkata lembut tersimpan kebusukan, bukannya
apa tapi berjaga-jaga itu perlu apalagi disini aku sendiri
tidak akrab dengan siapa-siapa di tanah orang pula.
Namanya juga Jawa dengan Sulawesi jelas berbeda
Comment [CS35]: Ekstrnl
Comment [CS36]: Ekstrnl
daerah, berbeda bahasa, berbeda pula cara bicaranya
bagiku ya disitulah perbedanya. Ya walau kita tahu bahasa
Jawa itu hampir sudah menusantara kan ya sebenarnya
karena mereka banyak merantau kemana-mana, nah
setelah disini baru benar-benar tahu secara langsung
sehingga wajarlah kalau aku masih sering kurang paham
maksud/ artinya kalau lawan bicara menggunakan bahasa
Jawa, nada bicaranya juga berbeda sekali dengan nada
bicara orang-orang didaerah asalku yang tinggi seakan
berteriak jadi sering merasa kesal karena menurutku
mereka kalau bicara kurang jelas, mungkin karena di
Sulawesi terbiasa mendengar nada bicara yang tinggi.
Pokoknya jauh berbeda dengan tempatku sana yang
cenderung tegas. Jogja itu kota yang komplit ya. Kota
besar, kota Budaya yang banyak tempat-tempat bersejarah
disini seperti Istana kepresidenan RI, monumen Jogja
kembali dan Benteng Vredeburg, Kraton sebagai istana
kesultanan yang masih melangsungkan kegiatan tradisi
secara rutin diselenggarakan setiap tahunnya seperti kirab
budaya, sekaten, dan lain sebagainya yang di dukung
penuh dari antusias warganya. Jadi tradisi dan budaya
Jawa kota ini menurutku hidup, masih sangat kental dan
dilestarikan sehingga terasa sekali nilai-nilai history disini
membuatku merasa kagum, takjub tapi juga merasa benar-
benar sedang berada jauh-jauh sekali dengan daerah
asalku tak bisa lagi kuberbagi dengan keluarga dan
saudara, hanya bisa sebatas berbagi cerita saja tidak lah
mereka dapat melihat langsung, takut ku dikira hanya
bersombong diri karena sudah jauh ke Jogja menghabiskan
dana hanya untuk berkuliah mengejar cita.
12. Peneliti :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya
orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama
tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya
perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda?
Informan :Di Jogja masih merasa kaku ya kan karena adatnya
memang berbeda dengan tempat asalku, masih merasa
aneh dengan kebiasaan di daerah baruku sekarang,
terlebih disini sendirian tidak kenal baik dengan warga
sekitar tempat tinggal atau kosku ini. Jauh dari bapak ibu
Comment [CS37]: Gjl &Rea
kakak itu rasanya membuatku kesepian dan sering bingung
harus bagaimana dengan segala hal yang masih asing
dimataku, kalau ada mereka kan ada yang memberi
semangat, ada yang menemani, berlindung, bermanja ya
mungkin karena belum pernah merantau seperti ini, jadi
belum memiliki banyak pengalaman tentang penyesuaian
lingkungan, yang tadinya terbiasa dengan segala kegiatan
dan keadaan rumah, sekarang harus jauh dari kebiasaan-
kebiasaan itu. Perbedaan yang mencolok ya kalau
dikampus diam-diam aku senang mengamati teman kampus
satu kelas yang orang pribumi Jogja itu sepertinya mereka
tipe yang bersahabat ya karena dari cara mereka berbicara
saja dengan nada suara yang lembut, jadi kedengaran
ramah dan mudah merapuh. Berbeda dengan daerahku
disana meski nada kami tidak selembut Jogja tapi kami
tetap ramah, kelantangan suara ditempat kami
menandakan bahwa kami memiliki jiwa yang bersemangat
dan tidak menyembunyikan rahasia ya mungkin berbeda
budaya berbeda juga pemahaman. Entahlah bagaimana
nanti jadinya akan seperti apa, aku masih belum tahu
selain jalani dulu saja apa yang ada semampunya ya paling
yang penting disini bermodalkan kesopanan, jaga sikap,
tahu tata etika, mengikuti aturan yang berlaku
dilingkungan sekitarku itu saja sudah cukup untuk
memahami adat Jogja dengan aman.
13. Peneliti :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah
anda sering membandingkan lingkungan baru di
Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat
anda sendiri?
Informan :Kalau lingkungan ya paling terasa ya disini itu terasa
sempit mungkin karena aku tinggal di daerah kotanya
Jogja di daerah sentral pendidikan sehingga jarak tempat
antar rumah itu dekat-dekat sekali, kotor, kumuh
menjijikkan banyak tikus berkeliaran karena padat
perumahan penduduk disini, beda dengan kampung
halamanku yang jarak antar rumah itu jauh dan setiap
rumah memiliki halaman yang luas. Lalu Jogja itu kota
yang ramai, panas, kering, gerah, Jogja padat kendaraan
jadi disini terasa sekali polusi udaranya, berdebu pula
Comment [CS38]: Ekstrnl
kalau disini harus wajib pakai masker kalau tidak mau
rusak paru-parunya. Tapi untuk fasilitas kota ya khususnya,
banyak sekolah sampai universitas-universitas unggulan,
yang didukung dengan tersedianya banyak perpustakan
pusat baik di setiap universitas-universitas tersebut,
perpustakaan daerah juga tidak ketinggalan selalu ramai
pengunjung, banyak toko buku dari toko-toko buku dengan
harga miring seperti pasar buku murah Shoping sampai
toko buku besar seperti Gramedia, Togamas, dan banyak
lagi toko-toko buku lainnya yang mudah ditemukan
tersebar di Jogja. Terlebih saat butuh browsing mencari
bahan atau referensi tugas yang tidak ditemukan di buku,
tersedia jaringan via selular internet yang luas dan fasilitas
warnet juga banyak ditemukan dimana-mana dengan
tarifnya yang murah serta tempatnya nyaman, intinya Jogja
sangat kondusif dan nyaman untuk belajar yang menjawab
alasan predikat yang disandang oleh kota Jogja sebagai
kota pelajar.
14. Peneliti :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat
segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru
anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan
rantauan anda?
Informan :Untuk saat ini karena aku baru beberapa bulan di Jogja
jadi belum bisa langsung mengkondisikan, masih sering
merasa kesepian, merasa asing, merasa aneh, yang jelas
aku butuh waktu sebagai proses membiasakan dengan
semua ini, mungkin karena aku belum pernah merantau
seperti ini, jadi belum memiliki banyak pengalaman tentang
penyesauaian lingkungan, yang tadinya aku terbiasa
dengan segala kegiatan dan keadaan rumah, sekarang
harus jauh dari kebiasaan-kebiasaan itu. Kalau dirumah
apa-apa ada yang membantu menyiapkan sekarang serba
dilakukan sendiri dan itu melelahkan tapi ya aku sadar
disini aku sebagai tamu maka aku yang harus
menyesuaikan diri dan menghargai aturan Jogja sebagai
tuan rumah, sebisa mungkin di buat santai saja sih dibuat
nyaman biar betah. Karena aku harus ingat tujuan
utamaku untuk kuliah jadi ya tidak apa bersusah-susah
dahulu selama kuliah yang penting tujuan utama tercapai
Comment [CS39]: Gjl &Rea
dengan baik, lulus tepat waktu agar lekas pula hengkang
dari tempat ini.
15. Peneliti :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan
awal di tempat rantauan?
Informan : Cuacanya Jogja itu ekstrim musim panas yang panjang
jarang sekali hujan bahkan gerimis sekalipun tak ada jadi
musim kemaraunya benar-benar tanpa ampun, terasa
sangat panas, kering dan polusi udara sering membuatku
batuk-batuk tersedak debu. Lalu ini baru saja mulai
masuk musim penghujan namun juga terasa ekstrim dalam
sehari pasti ada hujan lebat hingga membuatku demam
panas tinggi, sudah memakai jas hujan namun tetap saja
basah kuyup kedinginan kalau sudah sakit begitu terasa
sekali derita merantaunya. Hujan disini kacau ya
derasnya sampai membuat jalan-jalan tertentu banjir dan
beraliran deras mendadak menjadi sungai sesaat hingga
hujan mereda, anginnya pun kencang merubuhkan
batang-batang pohon dijalan, belum lagi banyak petir itu
membuatku takut, apalagi Jogja sering ada gempa bumi
yang membuat jadi semakin was-was dan tidak nyaman
berada disini.
16. Peneliti :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan apakah
anda menemukan kendala di tempat perantauan?
Informan :Iya kendala sekali ya karena itu akhirnya aku mempunyai
masalah dengan pola makan selama beradaptasi di
lingkungan baruku ini nafsu makanku berkurang karena
stres rasa masakan Jogja yang jauh berbeda sama selera
lidahku, terlalu manis dan tidak pedas sama sekali,
sedangkan aku itu orangnya penggila pedas. Dari awal
datang sampai saat ini masih pilih-pilih makanan karena
susah makan, keseringan makan ke rumah makan Padang,
atau buat mie rebus dengan tambahan cabe-cabe serta saos
sendiri, sampai lama-kelamaan rasanya bosan sekali.
Akhirnya berusaha masak sendiri menggunakan dapur
bersama untuk memasak tapi perasaanku aneh, karena
setelah memasak lalu ku bawa kekamar kuhabiskan sendiri
kadang aku menangis sambil mengunyah makanan karena
rindu ingin makan bersama berkumpul bersama lagi
Comment [CS40]: Gjl &Rea
Comment [CS41]: Ekstrnl
dengan keluargaku tidak makan sendiri dikamar seperti ini
menyakitkan rasanya.
17. Peneliti :Mengenai pola tidur apakah anda menemukan kendala di
tempat perantauan?
Informan :Tergantung kalau banyak tugas ya mau tidak mau
menyicil sampai larut malam, kalau dibandingkan dengan
pola tidur saat masih di rumah dulu memang jadi sedikit
berantakan yaa karena kan intensitas tugas yang tinggi
membuat harus banyak begadang, tuntutan kebutuhannya
sudah berbeda. Sering sekali kudengar lewat telpon ibuku
memarahiku karena tak pandai mengatur waktu. Kalau
sedang akhir pekan tidak ada tugas atau tugasku sudah
kuselesaikan itu berarti saatnya untuk menonton koleksi
film-film yang ku dapat dari rental film atau copy di
warnet. Belum lagi saat rindu rumah yang benar-benar
membuatku aku susah tidur kuminta ibu segera
menelponku dan mengobrol hingga akhirnya aku tertidur
itu sangatlah membantu untuk mengalihkan kesepianku
setidaknya suaranya masih terdengar dekat ditelingaku.
18. Peneliti :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan
dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa
bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda
sering merasa home sick atau mudah rindu kampung
halaman?
Informan :Dulu waktu masih satu rumah sama keluarga itu malah
komunikasinya biasa saja terus pas sudah merantau gini
jadi hampir tiap malam jika tak tertahankan kesepianku
aku sangat suka menelepon mereka untuk pengantar
tidurku karena rindu. Ibu sering takut aku kenapa-kenapa
jadi sering sekali telepon aku. Intinya disini jadi lebih
banyak ngobrol semenjak aku merantau. Kemarin juga
habis mudik kok, pas libur lebaran Idhul Fitri. Kalau mau
jujur aku sebenarnya ingin sering-sering mudik karena
rindu sekali sama bapak, ibu, rumah dan teman-temanku
disana. Tapi aku juga tidak bisa sering mudik mengingat
tugas masih banyak-banyaknya, jadwal masih padat-
padatnya, ongkos mudik juga mahal. Yaa paling libur
lebaran atau libur semester genap saja aku baru bisa
mudik.
Comment [CS42]: Ekstnl
Comment [CS43]: Ekstrnl
19. Peneliti :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang
membuat anda stress pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta?
Informan :Yang membuat stress itu jarak, karena jarak membuatku
merasa kehilangan orang-orang yang telah ku kenal
sebelumnya, sedih berada di lingkungan yang tidak
familiar yang tidak kukenali ini, terlebih jauh dari orang
tua itu sangat menyiksa dan sering membuatku gampang
menangis, bahkan bisa sampai jatuh sakit saat tidak
terbendung lagi rasa rinduku. Sekarang amat terasa sekali
kalau ternyata jauh dari orang tua itu sangat berat,
dampaknya hingga membuat moodku berantakan, apa-apa
jadi malas, tidak ada yang menyemangati. Saat rasa itu
mulai datang dan tak terbendung, saya sengaja menyendiri
di kamar kosku bahkan tidak nafsu makan sampai jatuh
sakit karena tak terbendungnya rasa rinduku dengan
rumah kampung halaman terlebih keluargaku. Disini apa-
apa harus mengurus sendiri, saat sakit pun harus pintar
merawat diri sendiri pergi berobat sendiri itu sangat
memilukan kak, semua itulah yang membuatku merasa
tertekan karena jarak. Aku merasa sebatang kara disini
ditempat asing dengan mayoritas etnis Jawa membuatku
minder karena latar belakang budayaku yang berbeda,
kasarnya aku disini itu numpang ditanah orang Jawa jadi
bagaimana bisa aku memiliki rasa memiliki terhadap
lingkungan disini ya ngefeknya jadi kurang percaya diri
dan kurang bebas mengekspresikan diri. Selama disini aku
merasa kehilangan diri aku yang dulu.
20. Peneliti :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan
mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi
Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya?
Informan :Masalah sosialisasi terhadap masyarakat lokal secara
luas sih sejauh ini masih pada bahasa, terus terang aku
tidak mengerti bahasa Jawa yang dipakai oleh orang-
orang di lingkungan Jogja ini karena aku belum pernah
mengenal ataupun datang ke Jogja lalu tahu bahasa Jawa
sebelumnya, akupun merasa tidak nyaman jika ada orang
lokal yang tetap mengajakku berkomunikasi menggunakan
bahasa Jawa dalam keseharian ku disini, meskipun ia tahu
Comment [CS45]: Gjl & Rea
kalau aku selalu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Sudah aku tidak paham bahasa jawa aku juga masih belum
pintar membaca isyarat, dan mimik wajah orang Jogja jadi
masalah kuadrat takut kalau-kalau nanti salah dalam
mengartikannya malah timbul ketersinggungan atau
apalah. Kalau mengalami kendala untuk saat ini semua
kusimpan sendiri saja, yaa karena aku juga tidak ingin
terlalu banyak bicara apalagi aku belum mengenal dengan
dekat orang-orang disekitarku. Untuk saat ini aku kurang
tertarik ya untuk bertukar informasi yang berkaitan dengan
budayaku walau terkadang ada teman pribumi Jogja yang
suka sombong berbangga diri akan eksotiknya Jogja
mereka belum tahu saja kalau Mamuju seperti apa dan
bagaimana. Ah tapi sudahlah tidak penting melayani hal-
hal yang dirasa dapat menimbulkan masalah lalu akhirnya
dapat mengganggu konsentrasi kuliah.
21. Peneliti :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda
yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta?
Informan :Ternyata Jogja sama saja dengan daerah-daerah lainnya
ya walau terkenal ramah, nada bicara yang lembut,
menjunjung tatakrama tapi tetap saja tuh ada yang
wataknya keras, sikapnya seenaknya, seperti preman
penguasa, kalau tertawa memekakkan telinga jadi tak
menjamin ya walau mungkin hanya minoritas yang seperti
itu. Aku juga sering merasa terganggu dengan cara
candaan orang Jawa ya, atau cara mereka memperhatikan
penampilan serta logat bicaraku yang terdengar asing bagi
mereka, padahal logat bicara mereka sendiri aneh bagiku
hanya tidak kutampakkan reaksiku, mungkin disini aku
merasa menjadi lebih mudah tersinggung jika ada yang
menyinggung masalah budayaku walau untuk sekedar
iseng-iseng humor.
22. Peneliti :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat
pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk
bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada
saat awal kedatangan anda di tempat rantauan
(Yogyakarta)?
Informan :Mungkin karena ini hitungannya masih bulan-bulan awal
kali ya, jadi lagi sama-sama ngerasain susah-susahnya
Comment [CS46]: Ekstrnl
Comment [CS47]: Gjl & Rea
menyesuaikan diri secara kilat, kalau aku masih
merupakan tahap penjajakan lingkungan baru, pengenalan
akan banyak hal baru, baik budaya baru, kebiasaan baru,
sistem baru, nilai, norma peraturan, tata tertib baru dan
sejauh ini masih benar-benar kebakaran jenggot
menghadapi persoalan penyesuaian diri karena bingung
dengan situasi kondisi sosial budaya yang sangat berbeda
dengan sistem saat aku masih di kampung halaman. Kalau
teman kampus yang pribumi juga menurut pengamatanku
mereka juga masih ada beberapa yang masih segan, ada
yang cuek, ada yang sering menyapaku, ada yang diam,
ada pula yang suka iseng macam-macam ya. Lagipula
dikelas pecah-pecah ya ada yang menyendiri seperti aku
ini, masih cenderung mengelompok, masing-masing seakan
tidak saling peduli, masih flat ya masih ngurusin diri
sendiri masing-masing ya sepertinya. Mungkin mereka
sepertiku ya karena aku sendiri saja masih memandang
budaya asli aku lebih baik daripada budaya Jogja yang aku
hadapi sekarang bisa saja mereka berpikir sebaliknya
kalau budaya Jogja lebih baik dari budayaku lalu mereka
enggan atau bagaimana ya tidak tahu.
23. Peneliti :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-
teman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala?
Informan :Untuk saat ini aku anggap masih normal biasa saja
mungkin karena masih awal semester jadi belum kelihatan
bagaimana sifat aslinya teman-teman baruku dikelas.
Mungkin saja mereka sama sepertiku masih malu-malu,
jaga jarak, jaga sikap, lebih banyak menahan diri,
menahan emosi demi menghimpun teman yang cocok
dengan karakter masing-masing dan kemudian membentuk
kelompok pertemanan tersendiri. Dikelas aku termasuk
penyendiri ya aku tidak terlalu peduli dengan salah satu
dari mereka, jadi biasa saja menanggapi mereka. Ada
beberapa teman orang lokal ada yang mengajakku
mengobrol dia tertarik dan berani untuk bertanya padaku
tentang daerahku namun aku terlalu malas untuk bertukar
informasi yang berkaitan dengan budaya ya, akan
percuma jika aku susah payah menjelasnya namun mereka
tidak mau benar-benar menghargai. Lagipula aku tidak
Comment [CS48]: Gjl & Rea
ingin terlalu banyak terlibat pada hal-hal yang namanya
pertemanan, itu pasti akan rumit,banyak menyita waktu
dan bisa saja mengalihkan konsentrasi berkuliahku.
Memulai suatu hal yang baru dari awal itu tidaklah mudah
terlebih ini dengan hal-hal yang semuanya nyaris berbeda
pasti akan dua kali susahnya.
24. Peneliti :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan
ketidaknyamanan dengan daerah rantauan? Apakah anda
merasa yakin dapat menyesuaikan diri dengan di tempat
rantauan tersebut?
Informan :Iya sudah jelas pasti itu, ini saja rasanya sudah begitu
sangat lama berada disini seperti sudah seribu tahun
lamanya dan liburan rasanya seperti kilat begitu saja
berlalu ah menyebalkan sekali tapi ya mau bagaimana lagi
keputusanku untuk merantau, karena akulah yang memilih
untuk merantau ke Jogja mau bagaimanapun aku harus
selesaikan sampai finish, orang tuaku pun menuntut agar
aku dewasa dalam mempertanggungjawabkan keputusanku.
Walau sulit tapi berusaha ya tanam sugesti pada diri kalau
aku harus yakin pasti bisa lalui ini semua, menyesuaikan
diri dengan baik, jalani kehidupan merantau dengan baik,
tidak mungkin akan seperti ini terus hidup dalam
ketegangan ketidaknyamanan terus menerus. Mau sekuat
apapun aku untuk hidup sendiri tiada berkawan tetap saja
aku pasti akan membutuhkan orang-orang yang ada
disekelilingku entah untuk ku mintai pertolongan, untuk ku
ajak mengobrol dan lain sebagainya, harusnya memang
dibuat fleksibel saja jika sama-sama bisa terbuka, sama-
sama sadar diri, tidak emosional sebenarnya aku akan
luluh juga, semua kan butuh proses yang masalahnya itu
entah kapan siapa yang tahu. Yah intinya dibuat senyaman-
nyaman saja, kan niat awalnya memang untuk tambah
pengalaman pisah jauh dari orang tua, yang mengambil
keputusan merantau juga aku sendiri, jadi aku harus
tanggungjawab, belajar dewasa, memaksa menanamkan
rasa nyaman dalam diri agar tidak memberikan celah
untuk merajuk minta pulang saja karena menyerah,
berusaha tidak bermanja-manja walau aku sendiri
sebenarnya orang yang sedikit manja. Kata orang tua pun
Comment [CS49]: Gjl & Rea
Comment [CS50]: Kemungkinan Hsl Adpts
aku harus ingat biaya yang sudah mereka keluarkan untuk
aku merantau ini jadi aku harus kuat.
HASIL WAWANCARA
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Informan 3
Tanggal wawancara : 16 November 2015
Waktu : 10.25 WIB
Lokasi wawancara : Teras Gedung Dekanat FIS
Keadaan informan
A. Identitas Informan
Nama : MNDL
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 18 tahun
Agama : Kristen
Asal daerah : Papua Barat
Suku/ etnis : Papua
Jenis bahasa daerah : Papua
Universitas : UNY
Mahasiswa semester : 1
B. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi
Yogyakarta.
1. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah
dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta?
Informan :Papua Barat, suku papua bahasa kami orang papua.
Sekitar bulan Juli tanggal 15 tahun 2015.
2. Peneliti : Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta?
Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang
mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah
memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain?
Informan :Sebenarnya Jogja itu pilihan satu-satunya yang di
tawarkan jadi saya tidak bisa memilih, nasib baik masih
bisa berkuliah begini kan dibiayai pemerintah daerah.
Yang pasti ingin mandiri, berkembang, menambah
wawasan agar lebih luas dengan pengalaman dari
Comment [CS51]: Asl
Comment [CS52]: Sk/ entk
Comment [CS53]: Bhs Daerh
Comment [CS54]: Alsn
merantau dan yang pasti demi masa depanku sendiri
karena masa depan sayalah yang menentukan akan seperti
apa entah akan sukses atau malah merugi.
3. Peneliti :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan
merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan
bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut?
Informan :Itu 100% kenginan sendiri lalu orang tua dan keluarga
sangat mendukung. Belum, karena memang belum pernah
ke Jogja sebelumnya lagi pula sudah punya tekad besar
jadi apapun yang akan terjadi di Jogja saya harus siap
hadapi demi masa depan.
4. Peneliti :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah
datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan
bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah
perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan?
Merasa kagetkah?
Informan :Sebelumnya waktu tahu saya lolos test program dikti itu
saya pernah lihat ditelevisi tentang bagaimana Jogja jadi
saya piker itu saja sudah cukup. Perasaan sampai di Jogja
itu senang karena jauh-jauh dari Papua, perjuanganku
untuk kuliah akhirnya tercapai, waktu sudah masuk UNY
itu kaget, ternyata banyak pendatang dari penjuru
Indonesia, fasilitas kota juga memadai, banyak tempat-
tempat wisata yang menarik, saya bisa mencoba datang
untuk sekedar refreshing ketika pikiran sedang berat.
Apalagi disini apa-apa harganya jauh lebih murah
dibandingkan di Papua saya disini jadi bisa hidup lebih
mewah dari di Papua. Harga nasi ayam itu jika di Papua
Rp 75.000 di Jogja hanya Rp.20.000 itu masih ada
kembalian uang. Aku senang sekali.
5. Peneliti :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh
untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan
Tinggi Jogja?
Informan :Puji Tuhan aku bisa masuk dan ikut mewakili Papua Barat
dengan teman 7 orang untuk berkuliah dari jalur
kerjasama daerah namanya Firmasidikti dari Dirjen Dikti
pusat daerah Papua.
6. Peneliti :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat
perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
Informan :Di Jogja sebenarnya aku tahu ada asrama Papua, tapi
kalau di asrama saya pikir malah tidak enak, walau sama-
sama dari Papua tapi kami punya kepentingan yang
berbeda mereka banyak membuang waktu untuk banyak
berkumpul yang kita tahu mereka banyak suka mabuk
minuman keras, berisik, saya akan susah belajar belum lagi
jika mereka rayu bujuk saya ikut serta berkumpul dan
minum jadi saya lebih memilih untuk sendiri saja ngekos
agar lebih nyaman, dapat konsentrasi untuk belajar fokus,
sehingga tujuan awal tidak dipengaruhi hal-hal yang bisa
membuatku lupa dengan misi kuliah ke Jogja. Tapi walau
begitu saya tetap ikut himpunan jika ada acara resmi
seperti perkumpulan dan jika saya ada waktu aku akan ikut
hadir.
7. Peneliti :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu
bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi
dengan orang-orang baru di Yogyakarta?
Informan :Bahasa sehari-hari dengan orang tua dan saudara-
saudara saat dirumah, dengan teman di sekolah yang kami
pakai bahasa Papua. Kalau disini menggunakan bahasa
yang umum yaitu bahasa Indonesia.
8. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki
semester awal perkuliahan?
Informan :Saya tahu jika Papua dengan Jogja itu berbeda banyak
hal, saya tidak mau ada masalah terjadi untuk saya jadi
saya selalu berusaha tenang di kelas, saya jauh dari rumah
jauh dari Papua dari bapak serta saudara tidak tahu siapa-
siapa disini sendiri, bicara lewat telepon pun tiada guna
sudah, sekarang saya memang pendiam, saya piker itu
akan lebih baik akan tetapi kalau diajak orang lain untuk
berkenalan ya saya pasti akan merespon dengan baik, jika
diajak ngobrol ya saya akan ngobrol. Saya percaya kalau
diri sudah berusaha baik balasannya juga pasti akan baik
pula, orang jadinya menghargai kita itu saja.
9. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan tempat tinggal (kos) anda?
Informan :Sama teman-teman kos juga sama saja ya seperti yang
saya lakukan di kampus, walau memang saya pendiam
Comment [CS55]: Bhs daerh
Comment [CS56]: Intrnl
akan tetapi kalau diajak untuk berkenalan ya saya pasti
akan merespon dengan baik, jika diajak ngobrol ya saya
akan ngobrol. Saya selalu berusaha ingat kalau diri sudah
berusaha baik balasannya juga pasti akan baik pula, orang
lain akan menghargai kita itu saja.
10. Peneliti :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian
belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan
baru (kota rantauan Yogyakarta)?
Informan :Itu jelas sangat-sangat kendala, karena kami berbeda
pendidikannya antara Jawa dengan Papua. Kalau di Jogja
luar biasa semangat belajarnya, mahasiswanya semangat,
ada kelompok belajar membuat makalah lalu presentasi,
banyak sekali tugas yang diberikan, kalau di Papua hanya
belajar saja tidak banyak tugas, atau kelompok belajar
untuk membuat tugas makalah belum lagi banyak yang
namanya presentasi. Jika presentasi di depan kelas begitu
kalau lihat teman lain yang dari Jawa mereka itu mudah
sekali ya menjawab pertanyaan yang diajukan dan lancar
ya menjelaskan hasil makalahnya tanpa banyak membaca.
Saya ini yang dari Papua kalau di depan kelas untuk
presentasi masih banyak tidak lancar seperti teman yang
lain yang dari tanah Jawa. Jadi memang yang tanah Jawa
atau Jogja itu lebih pintar, lebih berani dalam presentasi
mereka sangat pintar berkata dari pada saya karena itu
saya masih sering merasa mudah tidak percaya diri. Jadi
setiap akan menerima materi saya selalu berusaha
membaca ulang yang akan di jelaskan oleh dosen,
berusaha memahami lebih dulu, kalau jam jeda seperti ini
saya selalu coba ke perpus membaca buku-buku materi,
kadang saya juga banyak beli buku ke toko buku untuk saya
baca pahami, tapi kalau masalah hal-hal lisan macam
presentasi sampai sekarang aku masih belum bisa percaya
diri kalau sudah di depan kelas itu minder lupa yang mau
di sampaikan tadi apa. Tapi sudah tidak apa saya jauh-
jauh dari Papua untuk maju terus maka saya akan
berusaha lagi dan lagi jangan mudah menyerah.
11. Peneliti :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda
rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan
Yogyakarta) ?
Comment [CS57]: Ekstrnl
Informan :Ada, untuk perbedaan antara Jogja dengan di Papua itu
logat bicaranya. Masalahku disini itu yang membuat cukup
kaget itu orang-orang disini semua senang berbahasa
Jawa, kalau di Papua itu di saat di kelas kami selalu pakai
bahasa umum bahasa Indonesia kalau di Jogja di kelaspun
mereka masih berbahasa Jawa, terkadang dosen juga
senang berbahasa Jawa, jadi saya kaget kenapa bisa
seperti ini kalau di Papua berbahasa umum, sama teman
juga berbahasa umum, kami walau sama-sama orang
papua bukan lalu menggunakan bahasa daerah dimanapun
kami berada, bahasa daerah hanya di gunakan di rumah
saja jika diluar rumah tidak lagi di gunakan bahasa daerah
itu. Berbeda dengan di Jogja, saya tidak paham bahasa
Jawa jadi sering bingung jika mereka mengajakku
berbicara, intinya saya tidak tahu bahasa Jawa yang
dipakai orang asli suku Jawa untuk berkomunikasi begitu,
lalu kalau cari kos atau kontrakan di Jogja ternyata agak
susah karena banyak yang tidak menerima orang Timur
seperti aku ini jadi orang Timur banyak yang memusat di
Seturan dan Babarsari saja karena hanya di daerah-
daerah sana sajalah yang mau menerima orang Timur
seperti aku ini, sedang aku disini tidak ada kendaraan jika
harus kekampus UNY kan jauh jadi kemarin aku sangat
berusaha sekali untuk dapat kos dekat kampus saja
akhirnya Puji Tuhan aku bisa dapat hanya saja tempatnya
tidak nyaman sekali tapi dari pada tidak maka tidak
mengapa.
12. Peneliti :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya
orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama
tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya
perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda?
Informan :Kalau di papua itu jika di jalan bertemu dengan orang
yang kita kenal maka kita hanya akan menyapa dengan
melambaikan tangan, tersenyum dan berkata hai atau
bersalaman, kalau di Jogja itu saya kaget karena berbeda
mereka menyapanya itu menunduk-nunduk sambil
tersenyum dan berkata menggo saya bingung, saya masih
sering membalas mereka dengan melambaikan tangan saja
sudah dan tersenyum menjawab iya, wah itu saya belum
Comment [CS58]: Ekstrnl
bisa ikuti kebiasaan disini yang menunduk–menunduk
seperti itu tadi, saya merasa aneh. Jadi untuk saat ini masih
belum bisa benar-benar memahami adat Jogja karena juga
baru beberapa bulan saya disini, masih harus adaptasi.
Saya jalani saja dulu dan tidak saya jadikan beban pikiran
untuk harus sama dengan mereka yang penting saya
nyaman dan fokus dengan tujuan awal yang membuatku
harus berada disini. Masalah kebiasaan lama-lama juga
saya pasti akan bisa mengikuti. Perbedaannya itu kalau
Jogja kan kota pelajar yaa disini banyak perantaunya yang
membuat jadi majemuk, banyak suku dan budaya dari
mahasiswa pendatang dengan karakteristik yang berbeda-
beda dari daerah-daerah di nusantara, namun banyaknya
pendatang itu tidak lalu membuat perselisihan antar beda
suku atau bahkan yang asli Jogja tersingkir seperti itu,
justru di sini harmonis.
13. Peneliti :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah
anda sering membandingkan lingkungan baru di
Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat
anda sendiri?
Informan :Jogja mungkin kota yang tidak terlalu besar tapi disini
tersedia fasilitas perpustakaan dari perpustakaan kampus
sendiri saja sudah sangat besar lalu perpustakaan daerah
juga tersedia, banyak toko-toko buku, pameran buku
hingga bedah buku pun banyak terselenggara disini,
bervariasinya fasilitas, baik sarana maupun prasarananya
yang bervariasi macamnya dan memadai terus Jogja itu
tempatnya selalu ramai terus dari pagi, siang, sore, malam,
ke pagi lagi tetap ramai jadi tidak perlu takut jika ada
kegiatan yang hingga larut. Kalau mau kemana-mana
letak-letaknya tidak jauh-jauh disini juga transportasi
umum tersedia,butuh angkutan kota ada transJogja, mau
yang 24 jam juga ada, disini aman sentosa tidak ada
perampokan apalagi perang antar suku. Jogja juga jelas
dikenal sebagai kota surganya pelajar, biaya hidup disini
terjangkau, harganya murah-murah dari pada di Papua,
saya sangat senang.
14. Peneliti :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat
Comment [CS59]: Ekstrnl
segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru
anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan
rantauan anda?
Informan :Karena disini saya masih awal, jadi saya juga masih
belum benar-benar bisa segera mengkondisikan bagaimana
lingkungan baruku yang sekarang, pada dasarnya saya
orangnya tidak terlalu memusingkan hal-hal justru saya
jadikan tantangan untuk saya hadapi, jadi dibawa santai
saja, lama-kelamaan juga saya pasti akan terbiasa,
lagipula semua butuh proses dan waktu, yang penting disini
saya tidak membuat masalah saja. Ikut aturan tidak lantas
seenaknya, semua tetap saya pertimbangkan sebelum saya
lakukan. Saya saja tidak ingin di ganggu maka saya jangan
mengganggu siapapun bahkan lingkungan sekitarku ini.
15. Peneliti :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan
awal di tempat rantauan?
Informan :Kondisi kesehatan selama saya datang di Jogja hingga
saat ini sudah beberapa bulan itu Puji Tuhan sekali saya
tidak mengalami masalah kesehatan apa-apa, saya baik-
baik saja di sini.
16. Peneliti :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas
Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat
rantauan?
Informan :Kebiasaan di Papua itu rasa makananannya banyak
menggunakan rempah,enak, ada pedas, waktu sampai di
Jogja saya sebenarnya kaget tapi tidak masalah itu bisa
diatasi. Yang terpenting biaya makan di Jogja itu lebih
murah, lagipula disini ada banyak pilihan tempat makan,
dengan banyak pilihan rasa makan yang bervariasi
sehingga masalah makan di sini jadi tidak perlu terlalu
dipikirkan.
17. Peneliti :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat
perantauan?
Informan :Pola tidur juga Puji Tuhan sekali saya tidak mengalami
masalah apa-apa, pola tidur saya baik-baik saja di sini
paling hanya sebelum tidur saya harus banyak membaca
buku mengenai materi agar saya bisa mengimbangi dan
mengejar ketertinggalan.
Comment [CS60]: Ekstrnl
18. Peneliti :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan
dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa
bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda
sering merasa home sick atau mudah rindu kampung
halaman?
Informan :Kalau komunikasi saya selalu menghubungi orang rumah
melalui sms atau telpon, kalau tidak saya yang telpon maka
mereka yang telpon. Untuk saat ini homesick karena jarak
sehingga menimbulkan rindu rumah itu pasti, apa lagi pas
kalau saya sedang tidak enak badan karena disini tidak ada
yang mengurus dan merawatku, tidak ada yang
menyiapkan makan sehingga walau sedang sakit, semua
harus diurus sendiri, periksa ke dokter ya harus berangkat
sendiri disitu saya merasa disini memang sendiri dan harus
mandiri tidak boleh merepotkan orang lain. Kalau pulang
kampung ya nantinya hanya pas liburan semester genap
saja atau hari besar seperti natal saja mungkin, tapi nanti
bisa juga menyesuaikan.
19. Peneliti :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang
membuat anda stress pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta?
Informan :Sampai saat ini belum ada, ya saya tidak berharap ada
kendala yang tidak baik untuk saya. Semua orang pasti
berharap hidupnya baik-baik saja begitu juga saya. Semua
hal macam perbedaan budaya yang ada tidak terlalu saya
ambil pusing cukup hormati, perhatikan baiknya seperti
apa dan pelajari, intinya jalani secara alami saja sudah.
Hal yang perlu saya ingat itu, saya disini adalah pendatang
dengan kepentingan menyelesaikan kuliah lalu segera
kembali ke Papua bersama keluarga saya.jadi segala yang
terjadi baik itu perbedaan apapun itu harus saya terima,
kenyataannya memang seperti itu.
20. Peneliti :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan
mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi
Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya?
Informan :Tetap berusaha memberi kesan yang baik saja sudah pada
mereka, jika mereka baik kepada saya maka tidak ada
alasan untuk saya bermusuhan dengan mereka begitu. Jadi
begini saya itu memang susah mencari tempat tinggal
Comment [CS61]: Ekstrnl
sementara macam mengontrak seperti itu karena mungkin
orang Timur Leste atau Papua yang berkulit hitam seperti
saya ini dulu ada yang pernah membuat masalah dengan
orang Jogja nah lalu berita itu di sebarkan ke orang-orang
Jogja pemilik tempat tinggal sementara lainnya sehingga
mereka menganggap semua orang Timur Leste atau Papua
yang berkulit hitam itu sama saja padahal kan tidak semua.
Saya selalu berusaha menjelaskan tapi ada yang mau
dengar ada yang tidak begitulah.
21. Peneliti :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda
yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta?
Informan :Untuk saat ini Puji Tuhan belum ada masalah ya sama
mereka paling hanya masalah perbedaan bahasa daerah
ya, aku tidak paham mereka bicara apa jika sedang
menggunakan bahasa Jawanya itu dengan saya. Lalu kalau
memang saya sedang serius menanyakan materi atau tugas
terkadang saya meminta tolong agar mereka menggunakan
bahasa Indonesia saja saat menjelaskan ke saya. Lalu
kadang juga suka mereka tegur saya karena kata mereka
lafalnya tidak jelas karena saya sering berbicara dengan
cepat, intonasiku juga terlalu tinggi mengagetkan mereka,
ya tak mengapa memang saya akui perbedaan yang ada di
antara kami itu sangat jelas, mereka jika berkata suaranya
lirih berbeda denganku yang seperti ini.
22. Peneliti :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat
pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk
bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada
saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta)
?
Informan :Apa ya, terkadang ada pemikiran kalau saya ingin sekali
minta tolong les privat sama mereka yang suku Jawa untuk
mengajariku bahasa Jawa sedikit-sedikit agar saya sedikit
bisa membaur. Kadang saya juga suka memberanikan diri
bertanya dengan mereka mengenai budaya Jogja secara
umum saja tidak perlu detail mereka mau bercerita pada
saya.
23. Peneliti :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-
teman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala?
Comment [CS62]: Gjl & rea
Comment [CS63]: Ekstrnl
Informan :Tidak ada kendala, semua baik-baik saja dan semoga akan
terus baik-baik saja. Dibuat fleksibel saja ya asal disini
saya tahu posisi saya apa, saya tidak membuat masalah
dengan mereka,mereka juga pasti tidak akan membuat
masalah pada saya, tetap jaga diri, jaga perkataan dan
sikap agar tidak menyinggung orang lain sebenarnya
perbedaan itu memang rentan perselisihan dan sebabnya
adalah karena kita suka asal, sembarangan berkata dan
bersikap angkuh. Tergantung bagaimana cara pikir kita
saja. Kita juga harus bisa pintar membaca lawan bicara
kita seperti apa dia orang yang bagaimana.
24. Peneliti :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan
ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda?
Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di
tempat rantauan tersebut?
Informan :Malah saya nyaman berada disini, karena apa-apa lebih
murah dari Papua jadi saya bisa menikmati fasilitas yang
ditawarkan oleh Jogja sebagai kota besar Jogja yang
menurut saya menarik. Untuk saat ini belum benar-benar
serius untuk masalah segera menyesuaikan ya, walau saya
tahu sedang dalam fase penjajakan tapi semua akan saya
jalani dengan baik.
HASIL WAWANCARA
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Informan 4
Tanggal wawancara : 03 Desember 2015
Waktu : 13.00 WIB
Lokasi wawancara : Halaman parkir Fakultas Ilmu Sosial UNY
Keadaan informan
1. Identitas Informan
Nama : SN
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 18 Tahun
Agama : Kristen
Asal daerah : Papua, Pegunungan Wamena
Suku/ etnis : Hupla
Jenis bahasa daerah : Nayak
Universitas : Universitas Negeri Yogyakarta
Mahasiswa semester : 1
2. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang menempuh semester awal berkuliah di Perguruan Tinggi
Yogyakarta.
a. Peneliti : Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah
dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta?
Informan :Papua, Pegunungan Wamena Hupla. Jenis bahasa daerah
saya itu Nayak. Sekitar pertengahan tahun ini, tepatnya
tanggal 07 bulan delapan 2015.
b. Peneliti : Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta?
Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang
mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah
memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain?
Informan :Mengapa Jogja karena saya ikut program farmasi dikti
memang harus keluar Papua, harus merantau seperti ini.
Lagipula tidak apa karena disini biaya hidup di Jogja lebih
terjangkau dari pada di Papua begitu. Ya karena setelah
Comment [CS64]: Asl
Comment [CS65]: Sk/ etnk
Comment [CS66]: Bhs Daerh
Comment [CS67]: Alsn
saya lulus SMA saya tidak segera melanjutkan untuk
berkuliah seperti teman-teman seangkatan saya yang lain,
mereka sudah berangkat berkuliah ke jaya pura, tapi bapak
saya bilang saya harus menunggu bapak terima gaji dulu
baru saya bisa berangkat mendaftar kuliah. Jadi waktu itu
saya narik ojek, saya bawa ke pangkalan lalu disitu saya
bertemu dengan adik kelas saya dia kelas dua, dia bilang
dia tahu informasi penerimaan mahasiswa di luar Papua
yang di kabarkan di SMA N 01 saya itu lalu saya jalan,
daftar, ikut test di provinsi Papua, kita test dengan 500
orang yang di terima hanya 22 orang. Puji Tuhan saya
masuk di dalamnya. Belum ini kali pertamaku merantau.
3. Peneliti :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan
merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan
bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut?
Informan :Jadi setelah saya coba cek ke SMA saya mengenai
informasi dari teman saya itu saya segera pulang, saya
beritahu bapak, saya minta ijin kepada bapak saya dulu.
Bapak bilang sana segera daftar dan banyak belajar agar
lulus masuk seleksi, dari pada bapak yang bayar lebih baik
pemerintah yang membayar kuliahmu, itu kesempatan baik
sekali. Bapak setuju, mama setuju, mereka mendoakan saya
lulus, saya mendaftar, ikut test dan saya lulus sehingga bisa
sampai disini. Dukungan orang tua, sama keinginan sendiri
biar saya tahu dunia luar sana, punya pengalaman, dan
saya bisa memiliki wawasan luas biar lebih berkembang itu
dengan merantau. Belum, paling cuma tahu kalau Jogja itu
tempat yang penuh dengan etnik suku Jawa itu saja.
4. Peneliti :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah
datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan
bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah
perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan?
Merasa kagetkah?
Informan :Belum pernah, karena Jogja itu jauh dari Papua untuk
perjalanan panjang itu butuh dana yang tidaklah sedikit.
Dulu hanya tahu dari televisi mengenai seperti apa itu
Jogja. Saat menuju Jogja perasaanku sangat bosan, di
perjalanan itu delapan jam ya saya naik pesawat terbang
dari Papua ternyata memang jauh jaraknya, sempat kaget
karena sejauh mata memandang itu benar-benar asing, hei
aku tidak mengenali siapapun disini, takut jika tersesat
atau di tipu orang jahat disini tapi senang karena sudah
datang dengan selamat ditanah Jogja. Hanya saja setiba
saya di Jogja tidak ada yang menjemput saya seperti yang
di informasikan oleh orang farmasi dikti Papua. Saya
terlantar di bandara sampai jam 06 sudah mau gelap,
Pemerintah hanya beri saya tiket, uang jalan saja. Saya
sudah coba telfon mereka tapi mereka tidak menjawab
telfon saya. Untung saya segera telfon balik ke Papua
tanya bapak saya, lalu akhirnya bapak beri jalan ada
kenalan bapak yang membantu saya mencari tempat
tinggal jika tidak entah akan bagaimana jadinya dan
akhirnya saya bisa tinggal di asrama Papua wamena.
5. Peneliti :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh
untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan
Tinggi Jogja?
Informan :Farmasi Dikti Papua. Seperti yang saya katakan tadi
setelah saya lulus SMA saya tidak segera melanjutkan
untuk berkuliah seperti teman-teman seangkatan saya yang
lain, mereka sudah berangkat berkuliah ke jaya pura, tapi
bapak saya bilang saya harus menunggu bapak terima gaji
dulu baru saya bisa berangkat mendaftar kuliah. Jadi
waktu itu saya narik ojek, saya bawa ke pangkalan lalu
disitu saya bertemu dengan adik kelas saya dia kelas dua,
dia bilang dia tahu informasi penerimaan mahasiswa di
luar Papua yang di kabarkan di SMA N 01 saya itu lalu
saya jalan, daftar, ikut test di provinsi Papua, kita test
dengan 500 orang yang di terima hanya 22 orang. Puji
Tuhan saya masuk di dalamnya.
6. Peneliti :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat
perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
Informan :Saya disini sejak awal dulu saya tinggal di asrama Papua.
Karena kalau di Papua itu gratis. Biaya dari kabupaten
Papua sampai saat ini belum cair jadi dana semakin
terbatas.
7. Peneliti :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu
bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi
dengan orang-orang baru di Yogyakarta?
Comment [CS68]: Gjl & rea
Informan :Kalau di Papua sana yang kugunakan dalam
berkomunikasi sehari-hari dengan teman, saat diluar
rumah saya menggunakan bahasa Indonesia karena bahasa
umum itu bahasa Indonesia semua orang tahu. Bahasa
daerah saya hanya digunakan dirumah saja dengan
keluarga. Kalau di Jogja saya kembali menggunakan
bahasa Indonesia tapi ternyata bahasa Indonesia yang
biasa saya pakai di Papua dengan di sini itu berbeda ya.
Banyak teman kelas bilang bahasa saya kurang jelas, itu
awalnya saya bingung dimana yang tidak jelasnya ternyata
sekarang saya sedikit paham.
8. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki
semester awal perkuliahan?
Informan :Saya tidak pernah membedakan teman walau dari kulit
saja kami tampak berbeda, saya selalu mempunyai
keinginan yang mengharuskan saya untuk memiliki teman
yang banyak. Pertama kali masuk kelas itu tanggal 02 saya
langsung mengajak berkenalan dengan orang-orang yang
ada di kelas saya, membaur dengan mereka,
memperhatikan bagaimana mereka, untuk awal saya
banyak mengalami kesulitan dan nampak banyak diam
karena saya harus mempelajari bagaimana mereka dulu
tapi memang begitu kan caranya agar mudah dapat teman
baru disini, saya tidak boleh menjadi seseorang yang asal
dalam berkata atau berperilaku ya. Sama teman kelas
syukur Puji Tuhan sudah kenal semua seisi kelas bahkan
dengan kakak tingkat juga saya dikenal ya biar nyaman
mudah kedepannya. Baik ya anak-anak yang asli Jogja itu
ternyata orangnya ramah-ramah tapi permasalahanku ya
mereka kadang suka lupa mengajakku bicara bahasa Jawa,
sayangnya aku tidak paham bahasa Jawa jadi tidak tahu
maksud mereka. Terus waktu masuk lingkungan kampus
saya baru sadar kalau tenyata di kampusku banyak
mahasiswa yang sama-sama perantauan sepertiku dan itu
dari sabang sampai merauke dari aceh sampai papua ada
disini jadi terasa sekali multietniknya dan karakternya
disini.
9. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
Comment [CS69]: Ekstrnl
lingkungan tempat tinggal (kos) anda?
Informan :Dengan anak-anak asrama kami baik-baik saja ya. Kami
sama-sama dari Papua, jadi ada perasaan senasib di
antara kami. Sekamar itu kami ber 4 kadang sampai ber 5
orang tapi di dalam kamar itu kami ada kamar mandi
sendiri. Pertama kali di asrama itu saya memperkenalkan
diri sebagai penghuni kamar baru, itu agar mereka yang
baru saja melihatku tidak curiga atau bingung terhadapku.
Kan kalau ada apa-apa saya juga bisa minta bantuan
terhadap mereka namanya satu atap kan begitu. Cuma
sayangnya saya kurang suka dengan kebiasaan mereka
yang senang minum, mereka ada beli minuman mengajak
saya ikut tapi saya bilang aduh maaf saya tidak bisa, saya
menghindari minum-minuman keras karena adik bapak
saya meninggal sebab over dosis minuman alkohol, bapak
saya larang saya untuk meminum seperti itu, saya sendiri
juga tidak tertarik, paling saya hanya merokok seperti ini
tapi kalau bapak saya tahu bahaya, pasti dia akan marah
dan memarahi saya. Saya di asrama juga memasak sendiri
disana di sediakan dapur untuk kami memasak.
10. Peneliti :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian
belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan
baru (kota rantauan Yogyakarta)?
Informan :Iya ada saya merasa terlambat dari mereka yang orang
Jawa, mereka pandai presentasi di depan kelas tapi saya
tidak karena di Papua tidak di ajarkan seperti itu. Kami di
SMA Papua hanya datang kesekolah, belajar, terima
materi pelajaran, baca, tulis, mengerjakan tugas soal-soal
di buku sudah begitu saja, dan itu tugasnya biasa saja tapi
berbeda dengan kuliah, kalau di perkuliahan tugas itu
banyak sekali tugas tiada henti, intensitasnya lebih tinggi
dibandingkan waktu di SMA dulu dan kalau kuiah ada
banyak tugas yang harus di prsentasikan di depan kelas
kita membaca, menjelaskan hasilnya lalu tanya jawab
pertanyaan teman-teman serta dosen itu saya masih kacau.
Di SMA tidak ada presentasi kalau tugas saja saya bisa
mengerjakan, ini saya kaget, saya bingung, harus banyak
berlatih. Ya saya terkesan dengan teman-teman yang lain
mereka langsung mampu tapi saya belum. Saya banyak
Comment [CS70]: Ekstrnl
belajar dari mereka bagaimana caranya agar bisa, saya
juga diajari oleh dosen mereka memahami saya. Kita
pendidikan memang masih lebih jauh, lebih bawah dari
yang di luar Papua.
11. Peneliti :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda
rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan
Yogyakarta) ?
Informan :Kesenjangan budaya itu bahasa ya, berbeda bahasa
kadang menyulitkanku saat berkomunikasi dengan yang
suku Jawa atau dengan orang pribumi Jogja. Saya lihat
mereka, disini mereka banyak menggunakan bahasa Jawa
jadi jika mereka ajak saya bicara pakai bahasa Jawa saya
diam, saya diam-diam saja sebab saya tidak mengerti,
kecuali mereka bicara bahasa Indonesia itu saya baru bisa
mengerti. Jika ada dosen berbahasa Jawa saat memberi
materi saya diam-diam saja nanti saat selesai mata
kuliahnya berakhir saya baru tanya pada ketua kelas atau
dengan teman-teman sebenarnya materinya seperti apa.
Saya banyak ketinggalan sebenarnya. Ibu bapak pedagang,
tukang foto copy juga kadang masih tidak peduli dan tetap
menggunakan bahasa Jawa saat melayani pembeli macam
saya yang kulit hitam seperti ini. Sebenarnya tidak
mengapa hanya saja saya bingung apalah artinya bahasa
Jawa.
12. Peneliti :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya
orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama
tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya
perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda?
Informan :Ayah ibuku berpesan agar saya disini tahu diri sebagai
tamu haruslah tahu diri, berlaku baik, bertutur kata baik,
dan berperilaku sopan jadi itu yang kujadikan pedoman
saat tinggal disini. Senang ya orang Jogja itu ramah dan
senang menyapa, seperti teman saya disini ini setiap kali
bertemu saat akan kekelas entah pulang kuliah mereka
selalu menyapa dengan ramah dan itu membuat suasana di
antara kami tidak kaku. Saya pun merasa diperhatikan
walau hanya dari sapaan mereka. Hanya saja kalau di
Papua cara kami menyapa itu dengan melambaikan
tangan, jika disini berbeda jadi kalau bertemu dijalan
Comment [CS71]: Ekstrnl
mereka menundukkan badan dan tersenyum. Saya belum
bisa sesuaikan membalasnya masih saha dengan
melambaikan tangan. Saya belum sesuaikan tapi teman
malah yang sesuaikan saya.
13. Peneliti :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah
anda sering membandingkan lingkungan baru di
Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat
anda sendiri?
Informan :Berbeda di intonasi suara ya kalau ditempatku sana
cerderung lebih cepat ya, kalau di Jogja suaranya lirih dan
lembut, kadang saya sering tidak dengar sering bertanya
ulang kepada mereka. Sempat salah paham ya saat
mengartikan maksud mereka dan memang perlu berhati-
hati dalam berkata jika disini agar tidak menimbulkan
masalah yang tidak diharapkan. Saya kaget karena biaya
hidup disini sangat murah, nasi ayam di Papua itu di atas
Rp 50.000, harga motor matic Rp. 25juta, handphone,
harga semen disana saja bisa Rp.800- 1juta, semua disana
pakai kayu untuk membangun rumah karena cuaca disana
berbeda, jika membangun menggunakan semen bisa
menimbulkan malaria karena dingin. Tapi di Jogja ini
semua rumah menggunakan semen, tidak ada rumah kayu
jarang sekali disini tapi Puji Tuhan saya disini tidak
pernah sekalipun sakit malaria walau bangunan asrama
saya menggunakan semen. Disini rumah sangat dekat, di
jalan ada banyak sekali warung makan, banyak kendaraan
umum, ada transjogja saya selalu pakai transjogja untuk
berangkat atau pulangdari kampus menuju ke asrama
papua itu murah hanya Rp.3.500 saja, kalau malam ada
taxi yang 24 jam mereka bisa layani, ada ojek motor, ada
gojek yang bisa di telpon ya sedang marak sekali itu
sepertinya, lalu disni ada rental motor mahasiswa banyak
sekali layanan yang diberikan disini saya suka sekali tapi
karena dana pemerintah wamina tidak turun hingga saat
ini saya tidak bisa apa-apa ecuali mencoba berhemat.
Bapak hanya kerja sebagai PLN, kami juga 3 bersaudara,
ibu rumah tangga saja jadi saya harus menjadi anak yang
mengerti harus bagaimana.
14. Peneliti :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat
Comment [CS72]: Ekstrnl
Comment [CS73]: Ekstrnl
segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru
anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan
rantauan anda?
Informan :Puji Tuhan saya sangat nyaman karena saya paham saya
di beri kesempatan besar oleh Tuhan dapat kuliah seperti
ini yang di biayai pemerintah meski saya harus merantau
keluar Papua yang bukan untuk waktu sehari dua hari saja
tapi disini sampai kuliahku selesai jadi saya harus terima
semua yang ada di sini, susah, senang, saya harus hadapi.
Kalau mengkondisikan saya perlu banyak belajar, saya
baru beberapa bulan disin mungkin setahun dua tahun saya
baru bisa, perlahan-lahan juga akan dapat mengkondisikan
dengan baik. Yang penting disini saya tetap fokus
konsentrasi utama hanya untuk berkuliah, lulus tepat waktu
dan tidak melakukan kegiatan tidak penting aneh-aneh
menghambur-hamburkan uang maupun waktu yang dapat
membuat masa kuliahku membengkak atau molor itu saja.
15. Peneliti :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan
awal di tempat rantauan?
Informan :Kondisi waktu pertama aku datang di Jogja itu musim
kemarau, panasnya sekali. Pertama disini kalau di asrama
pakaian saya buka terus, dalam satu hari saya bisa mandi
sampai 3 kali belum lagi malam saya sering mandi tengah
malam karena ampun panas sekali sampai teman kamar itu
tegur saya kenapa saya mandi sering nanti saya sakit tapi
saya tidak sakit. Selama di Jogja saya baik-baik saja tidak
ada sakit semoga saya akan selalu begini ya selalu sehat.
Saya tidak mau sakit, sakit itu merepotkan dan mahal.
16. Peneliti :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas
Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat
rantauan?
Informan :Nah ini masalah utamaku, walau harga makanan di Jogja
jauh lebih murah dari Papua, tapi saya ini senang
makanan pedas sedang saya kaget makanan di Jogja semua
kenapa serba manis tidak pedas sama sekali. Jadi saya
lebih sering memasak saja agar lebih hemat juga saya
memasak nasi dan mie rebus dengan saos atau bubuk cabai
begitu agar terasa pedas. Jika memasak sendiri saya bisa
atur rasanya akan jadi seperti apa.
Comment [CS74]: Ekstrnl
Comment [CS75]: Ekstrnl
17. Peneliti :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat
perantauan?
Informan :Pola tidur baik-baik saja seperti di rumah, tapi disini saya
sering sekali tidur jam 1 malam untuk menghabiskan
membaca buku materi pelajaran. Saya senang membaca
agar saya tidak terlambat dari teman-teman yang lainnya.
18. Peneliti :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan
dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa
bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda
sering merasa home sick atau mudah rindu kampung
halaman?
Informan :Komunikasi kami baik-baik saja, bapak sering sekali
menelfonku karena dia merindukanku. Rindu rumah itu
pasti, saya sangat rindu masakan ibuku, bapakku serta
adik-adikku, rindu suasanya rumah dan teman-temanku
disana. Kalau pulang saya hanya akan menunggu libur
panjang saja ya karena mengingat jarak dan biaya pulang
kampung itu yang tidak sedikit serta membosankan
lagipula bapak suruh saya tidak banyak-banyak pulang dia
ingin saya fokus saja kuliah sudah.
19. Peneliti :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang
membuat anda stress pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta?
Informan :Awalnya sampai di Jogja karena saya terlantar langsung
saya sempat berpikir banyak juga sempat ragu bagaimana
nasib saya nanti karena saya belum pernah merantau di
luar Papua bagaimana nanti memposisikan diri diantara
perbedaan budaya yang ada dengan teman-teman kelas
saya, apakah saya akan diterima atau tidak dengan
lingkunganku di Jogja. Tapi saya berusaha untuk tetap
tenang, ingat dengan tugas utama yang membuat saya ada
disini, perjuangan yang telah peroleh untuk bisa berada
disini, paling utama saya bercerita tentang perasaanku
yang sempat serba bingung disini kepada bapak di Papua
melalui telfon dan mereka selalu mengajariku harus
bagaimana serta menenangkanku, memberikanku motivasi,
mengingatkanku untuk selalu beribadah ke gereja, baik
dengan orang lain, tidak boleh keras dengan siapa saja.
Comment [CS76]: Gjl & Rea
Comment [CS77]: Intrnl
Perlahan-lahan saya singkirkan perasaan bingung itu dan
memulai semua dari awal di tempat asing ini dan syukurlah
Puji Tuhan semua dapat kuatasi meski menjalaninya berat
penuh tantangan karena selalu muncul rasa tidak percaya
diri yang menghalang-halangi langkah untuk sukses.
20. Peneliti :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan
mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi
Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya?
Informan :Jangan ada kendala ya. Sejauh ini saya senang sharing
sama teman kampus yang asli Jogja kami bertukar
pendapat, meminta saran mereka baiknya saya harus
seperti apa dalam memposisikan diri di tengah masyarakat
Jogja. Untungnya mereka baik dan mau membantuku
mengatasi masalah sosialisasi terhadap lingkungan baruku
ini kata mereka saya harus terlihat ramah senang menyapa
mereka, karena orang Jawa senang sekali di sapa jadi saya
ikuti saja.
21. Peneliti :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda
yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta?
Informan :Tidak ada ya paling ya itu tadi mereka suka menegurku
karena bahasa indonesiaku kadang kurang jelas bagi
mereka, mungkin karena terlalu cepat atau bagaimana
saya jurang paham juga sebenarnya maksud mereka
bagaimana tapi tidak mengapa bagi saya.
22. Peneliti :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat
pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk
bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada
saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta)
?
Informan :Membantu sekali karena senang banyak bertanya dengan
mereka tadi juga saya sudah jelaskan kalau sejauh ini saya
senang sharing sama teman kampus yang asli Jogja tukar
pendapat, minta saran entah dalam hal dalam
memposisikan diri di tengah masyarakat Jogja atau
bagaimana menyesuaikan diri dengan mereka. Untungnya
mereka mau membantuku mengatasi masalah sosialisasi
terhadap lingkungan baruku ini. Mereka juga senang
mengajari saya untuk berlatih presentasi di depan kelas,
karena saya belum terbiasa seperti itu di Papua tidak ada.
23. Peneliti :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-
teman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala?
Informan :Hubungan kami baik-baik saja, syukur hingga saat ini
tidak ada kendala. Saya dekat dengan teman kelas dan
kakak tingkat saya kami sering nongkrong berkumpul untuk
meroko mengobrol bersama, atau minum kopi di warung.
Saya berusaha sebisa mungkin tidak membuat masalah,
tidak mengganggu, ikut campur mengusik, bersikap dan
berkata yang dapat menyinggung perasaan orang lain,
terlebih saya berada di tanah orang jadi saya harus bisa
membawa diri, menyadari jika jauh dari kampung halaman
maka tidak ada yang bisa menolongku kecuali diriku
sendiri.
24. Peneliti :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan
ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda?
Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di
tempat rantauan tersebut?
Informan :Ketidaknyamanan pasti ada tapi harus ditepis jauh agar
tidak mengganggu jalannya kegiatan perkuliahan yang
menjadi alasanku pergi merantau sejauh ini dari Papua.
Kalau menyesuaikan diri tidak bisa mudah itu butuh proses
dan belajar mungkin setahun atau dua tahun lagi saya
akan terbiasa dan malah bisa jawa sedikit lebih baik agar
memudahkan dalam berkomunikasi, paham maksud dosen
atau teman bahkan orang lain di sekitar saya yang saya
temui di sini. Jadi saya masih banyak belajar dan sedikit
perlahan pasti bisa menyesuaikan diri disini. Ini saja saya
sudah mulai banyak memperhatikan teman-teman untuk
belajar bahasa Jawa dari memperhatikan teman-teman
kelasku yang asli Jogja coba-coba tapi ternyata susah tapi
saya yakin suatu saat nanti saya pasti bisa kok.
Comment [CS78]: Kemungkinan Hsl Adpt
Lampiran 6
HASIL WAWANCARA
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Informan 5
Tanggal wawancara : 19 November 2013
Waktu : 12.00 WIB
Lokasi wawancara : Gedung Auditorium UPN
Keadaan informan
A. Identitas Informan
Nama : ADTY
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 21 tahun
Agama : Katolik
Asal daerah : Pematang Siantar, Sumatera Utara
Suku/ etnis : Simalungun
Jenis bahasa daerah : Batak
Universitas : UPN
Mahasiswa semester : 5
B. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang berkuliah semester lanjut di Perguruan Tinggi Yogyakarta.
49. Peneliti : Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah
dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta?
Informan :Aku dari Pematang Siantar, Sumatera Utara, Simalungun,
Batak. Sepertinya waktu itu aku datang ke Yogyakarta
sekitar
bulan April 2011.
50. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta?
Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang
mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah
memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain?
Informan :Kalau kenapa merantau itu karena Yogyakarta kota besar,
kota pelajar banyak universitas berkualitas, kota wisata,
Comment [CS79]: Asl
Comment [CS80]: Sk etnk
Comment [CS81]: Bhs Daerh
lalu yang terpenting biaya hidupnya tidak terlalu tinggi,
terus pacar juga milih kuliah ke Yogya. Jadi ya sudah aku
milih ngikut merantau ke Yogyakarta bareng pacar. Alasan
yang utama tambah-tambah pengalaman agar aku bisa jadi
lebih berkembang, tahu mana-mana tidak hanya di siantar
saja merantau juga membuat aku belajar hidup mandiri
berusaha tidak terlalu tergantung sama orang rumah, terus
juga pacar memang mau merantau ke Jogja, kuliah ke
Jawa. Ya sudah akhirnya pas komplitnya jadilah sudah
tekad bulat buatku pergi merantau ke Yogyakarta istimewa
ini. Kalau pengalaman pergi merantau selama ini belum
pernah, belum. Inilah pegalaman rantauan pertamaku
Yogyakarta istimewa. Merantaunya juga tidak
direncanakan, orang tua tuntut aku haruslah kuliah tapi
mereka membebaskan aku pilih kuliah dimana saja
kebetulan pacar yang punya tekad pilihannya Jogja aku
ikut sajalah sudah akhirnya.
51. Peneliti :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan
merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan
bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut?
Informan :Keinginan sendiri ya pastinya walau cuma ikut-ikutan
pacar tapi orang tua tidak ikut campur yang memaksa aku
merantau kemana atau bagaimana, orang tua dukung-
dukung saja, bagi mereka yang penting setelah lulus SMA
aku harus lanjut kuliah, terus dari akunya sendiri juga
punya niat buat jalanin kuliahnya sampai selesai. Selama
ini sama sekali belum tapi walau belum pernah ke
Yogyakarta gambaran bagaimana Yogyakarta kan mudah
bisa cari tahu dari Tv, majalah, internet kalau tidak ya
tanya sama yang sudah pernah ke Jogja tapi itu kan tidak
cool laki-laki tidak butuh pakai bertanya-tanya untuk apa
itu? Yang jelas aku tahu kalau Jogja itu selain kota pelajar
Jogja juga merupakan kota budaya, ada kraton yang masih
aktif beroperasi dan berkuasa didalamnya sudah pasti
masyarakatnya menjunjung tinggi adat istiadat Jawa
dengan baik , diberita-berita hal itu kan sering muncul.
52. Peneliti :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah
datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan
bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah
Comment [CS82]: Alsn
Comment [CS83]: Intrnl
perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan?
Merasa kagetkah?
Informan :Belum ada, tapi kan Yogyakarta itu kota besar yang sering
muncul di televisi entah acara sinetron FTV atau berita
wisata budaya jadi dari itu saja sudah cukup membuatku
merasa mengenal jogja dan dapat membayangkan kalau
Jogja itu kota besar terkenal yang menarik bagi wisatawan
datang dari berbagai daerah untuk berwisata disini dan
kalau begitu Jogja itu kota ramai pasti juga kota berisik
seperti kota-kota besar lain pada umumnya, seru tapi pasti
macet jalanannya jadi waktu sampai di Yogyakarta itu aku
hanya mengguman “Oh jadi ini rupa Yogyakarta yang dulu
aku cuma tahu dari Tv atau internet sekarang aku sendiri
ada di Yogyakarta, so welcome to Yogyakarta”. Hanya saja
sekilas muncul perasaan asing, aku tidak mengenal satu
orangpun kecuali pacar, aku tak paham bahasa mereka,
aku kehilangan orang-orang yang telah aku kenal sejak
lama sebelumnya di siantar, semua keadaan kini telah
berubah. Aku menyesatkan diri ditempat yang tak kukenal
sebelumnya.
53. Peneliti :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh
untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan
Tinggi Jogja?
Informan :Aku masuk UPN itu dulu lewat test, mengerjakan soal-soal
ujian masuk secara komputerisasi
54. Peneliti :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat
perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
Informan :Disini aku kos sendiri. Semua aku yang mempersiapkan
secara instan, tidak ada yang membantu. Mencari tempat
kos yang dekat dengan area kampus itu lewat internet jadi
malam sebelum beli tiket pesawat tujuan Jogja aku amat
sibuk hunting browsing info kos yang diunggah di internet
dan untungnya dapat kemudian hubungi contact personnya
transfer uang muka selesai sudah. Itupun aku juga yang
mencarikan kos pacarku.
55. Peneliti :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu
bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi
dengan orang-orang baru di Yogyakarta?
Comment [CS84]: Ekstrnl
Informan :Aku ini orang batak kak. Siantar itu banyak orang batak
jadi jangankan dirumah sehari-haripun berbahasa batak
terus kami kecuali sekolah, kegereja, acara formal
tentunya. Aku tahu Jogja bukanlah Siantar jadi jelas
berbeda daerah, dan bahasa itu tergantung dengan siapa
lawan bicaranya, jelas pula kalau di sini bahasa yang
digunakan bukan bahasa batak tapi bahasa persatuan
bahasa Indonesia. Hanya saja aku kurang nyaman
berkomunikasi dengan orang-orang sini, ada dari mereka
yang masih menggunakan bahasa Jawa dalam
berkomunikasi dengan aku, tidak apa-apa jika aku paham
masalahnya aku tidak mengerti bahasa mereka jadi mana
kutahu apalah arti dan maksudnya aku tampak bodoh
dibuatnya! Heran aku, kupikir dengan berbahasa Indonesia
bisa membuat mereka peka kalau aku bukan orang Jogja
apalah logatku tidak nampak batak kan freak! Itulah yang
membuat tidak nyaman berkomunikasi jika diajak orang
lokal berbicara menggunakan bahasa Jawa dalam
keseharian aku di lingkungan baruku ini, meskipun aku
menjawabnya tetap dengan bahasa Indonesia itulah
susahnya perbedaan budaya, bahasanya saja sudah buat
pusing kepala.
56. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan kampus anda, pada saat anda memasuki
semester awal perkuliahan?
Informan :Kalau pas awal dulu dari ospek sampai kuliah semester 1
itu belum punya banyak kenalan, mungkin karena baru-
baru saja tinggal di Jogja jadi terasa malas ya memulai
dari awal apalagi mencoba mengenal budaya baru di
lingkungan yang masih asing, dengan orang-orang asing
yang masa sekali tidak kukenal, belum lagi aku tidak
mengerti bahasa yang dipakai oleh orang-orang disini
akibat perbedaan latar belakang budaya denganku jadi
kupikir wajar kalau saat itu aku masih susah berbaur
banyak menutup diri, pasif, jaga jarak dari orang-orang
baru itu biar-biarlah orang kata aku sombong,
kuterimalah. Karena jujur sajalah memilih diam, tidak
bergaul dengan mereka kupilih sebagai jalan keluar ya
karena untuk menutupi rasa tidak percaya diri aku saat
Comment [CS85]: Bhs Daerh
Comment [CS86]: Ekstrnl
memulai pembicaraan berinteraksi atau ketika akan
memulai beradaptasi dengan lingkungan baru, nanti kalau
aku sudah terlanjur sok pendekatan dengan mereka
ternyata tidak diterima sama orang-orang lokal disini
bagaimana nasib aku. Waktu itu kupikir buat apa aku
pusing-pusing memulai pertemanan baru dengan orang
asing yang aku tidak paham bagaimana mereka, kalau
jam jeda kuliah lebih baik aku bersama pacarku saja yang
jelas kami berasal dari daerah yang sama, dia juga kasian
disini cuma punya aku jadi kami sama-sama saling
bergantung satu sama lain. Perbedaan budaya ini
membuatku merasa kesulitan berkomunikasi, sehingga
membatasi diri untuk kenal atau paling cuma tahu dengan
teman kampus itu beberapa saja, masalah tugas kuliah ya
asal saja numpang tanya sama teman satu kelas yang
wajahnya lumayan bersahabat, yang cara bicaranya
kedengaran ramah. Jadi kalau ingat jaman semester awal
itu kalau ada tugas kelompok ya masih pada kaku,
canggung-canggungan walaupun dari proses
mengerjakan sampai presentasikannya itu bersama-sama
tapi itu masih pecah masih ego-egoan belum bisa
membaur, mungkin karena masih awal jadi semua ya
sama saja sepertiku masih pada cupu, malu-malu, gengsi-
gengsian. Dulu juga pernah ilfeel dengan orang Jawa ya
yang ternyata mereka kadang senang bercandaan ala
Jawa yang menurutku cara itu sangat dan terlalu
berlebihan ya, aku tidak bisa menerima itu. Mereka
arogan seperti preman mungkin karena ini tanah mereka
jadi mereka merasa berkuasa, membuat aku merasa tidak
dihargai oleh orang di lingkungan baru ini.
57. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan tempat tinggal (kos) anda?
Informan :Karena ke Yogyakarta cuma berdua sama pacar jadi
pertama disini belum tahu mana-mana belum kenal siapa-
siapa, cari alamat kos keliling-keliling Jogja juga nyarinya
berdua sama pacar, apa-apa sama pacar walau memang
kita kosnya masing-masing tapi masih satu universitas
hanya berbeda jurusan saja, di kos juga sama penghuni
sebelah kamar paling cuma sebatas tahu gitu saja sampai
Comment [CS87]: Gjl &Rea
Comment [CS88]: Intrnl
Comment [CS89]: Gjl &Rea
sekitar 1 semester tanpa deket sama teman kelas, lama-
lama itu bosan dengan keadaan seperti itu yang monoton,
karena tidak bersosialisasi, tidak berinterasi dengan
tetangga kamar kos makin terasa sepinya dan aku mulai
berpikir tidak bisa kalau begini terus nih, mau tidak mau
aku memang harus memulai perkenalan dengan siapa-
siapa untuk mengubah suasana agar punya teman, coba-
coba dari berkenalan sama satu orang tetangga kos yang
sekiranya punya logat yang sama sepertiku yang sumatera-
sumatera gimana kan aku paham sama ciri khas kami
paling ya tidak berbeda jauh tetaplah utamakan untuk
selalu mencari orang yang berasal dari daerah yang sama
dengan aku kalau pahit-pahitnya tidak dapat apa boleh
buat orang lokalpun terpaksa jadilah sudah tak mengapa.
Aku begitu kan karena tidak mau salah cari kenalan terus
malah garing, tak nyambung, kaku tidak meyenangkan
malah jadi tambah malas kan. Untungnya untuk saat ini
aku sudah berhasil kenal dengan tetangga kos dia dari
Bengkulu nah sekarang teman cari makan sudah tidak
100% dengan pacarku terus. Sekarang malah punya
kelompok teman-teman sendiri ya walau tidak murni dari
daerahku tapi setidaknya kami satu pulau yang samalah
ada yang dari Lampung, Padang, Riau, Jambi macam-
macamlah awalnya cuma kenal sama satu orang saja lama-
lama bertambahlah link kami karena waktu ya tidak
sengaja bertemu di gereja kita berkenalan ada juga yang
dikenalkan lalu kami saling mengenalkan satu sama lain
kan dan akhirnya sekarang teman-teman sumateraku
banyak. Itu berkat tetap cari teman yang satu pulau jadinya
seru, tidak mainstream, orang Jogja kadang suaranya
halus-halus ya takutnya logat aku kasar suara aku yang
tinggi ini membuat mereka ilfeel atau parah-parahnya
melukai mereka karena aku juga tabiatnya keras
berbanding terbaliklah rasanya.
58. Peneliti :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian
belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan
baru (kota rantauan Yogyakarta)?
Informan :Iya dulu benar-benar kaget ya kalau di SMA guru
berhalangan hadir mungkin hanya karena sakit atau ada
Comment [CS90]: Ekstrnl
keperluan yang tidak akan lama tidak seperti di
perkuliahan dosen banyak tidak hadir mendadak karena
harus keluar kota, atau malah keluar negeri yang memakan
waktu berhari-hari dan gantinya adalah tugas yang
teramat menggunung yang di kelola oleh ketua kelas setiap
harinya untuk dikumpulkan tepat pada waktu yang di
tentukan, belum lagi aku merasa minder dengan teman
yang lain yang ku rasa mereka sangat mudah menerima
materi, memahami, dan menyerap materi yang diberikan
sehingga mereka tanpak begitu ringan mengikuti
pembelajaran dan mengerjakan tugas dari dosen, itu
sangat berpengaruh untukku membuatku kurang percaya
dengan hasil kerjaanku sendiri jadi setiap selesai
mengerjakan tugas semalam suntuk besok paginya aku
buru-buru cari teman untuk menyocokkan jika ada yang
beda aku akan banyak tanya ke dia kukejar terus dari mana
hasilnya dia bisa dapat segitu cuma lama-kelamaan aku
pasrah saja karena lelah dengan tugas. Aku juga kesal
dengan sistem pembelajaran di perkuliahan sebenarnya
memang baik setelah diberikan materi maka dosen
memberikan tugas sebagai praktik langsung sejauh mana
mahasiswa mampu memahami materi yang telah diberikan
cuma ya kalau satu makul saja sudah ada tugas dan makul
lain juga ada tugas yang ada tugas itu selalu mengalir
tiada jeda membuat mahasiswa kebanjiran tugas endingnya
mahasiswa kebingungan, kerepotan dan endingnya
mahasiswa yang pas-pasan macam aku ini jadi malas, dan
jurus terakhirnya mengandalkan teman untuk
mengerjakannya
59. Peneliti :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda
rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan
Yogyakarta)?
Informan :Yogyakarta itu adat Jawanya kental, kalau bicara dengan
orang pribumi, bahasa yang mereka pakai sudah pasti
bahasa Jawa, terus nada bicaranya lembut sampai nyaris
tak terdengar malah. Dulu aku sempat stres juga, serasa
jadi orang tuli sampai mesti tanya berkali-kali baru jelas.
Kupikir mereka belum makan jadi tidak punya tenaga untuk
berbicara lantang yang jelas didengar ternyata tidak
Comment [CS91]: Ekstrnl
memang begitulah mereka. Aku ada pengalaman besar di
semester awal dulu sempat jadi kesalahpahaman antara
aku dengan salah satu teman kelas yang pribumi asli Jogja
dia itu cewek jadi gara-garanya karena aku masih
kebiasaan kan intonasiku yang kasar belum bisa langsung
menyesuaikan sama dia yang tuan rumah, mungkin aku
merasa itu biasa saja ternyata dia salah mengerti dia kaget
katanya saya membentaknya lalu menangislah dia, aku
langsung panik lalu minta maaf secepatnya menjelaskan
kalau bukan itu maksudku.
60. Peneliti :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya
orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama
tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya
perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda?
Informan :Ya awalnya aku memang sempat tidak paham terhadap
adat istiadat orang Jogja yang begitu kompleks bermacam-
macam ada yang terlalu ramah dan itu membuatku berpikir
jelek tentang mereka, mereka itu memang ramah atau mau
tahu urusan orang contohnya saja tuan rumah kos aku tiap
aku mau keluar kos kebetulan bertemu dia di gerbang dia
selalu dan pasti akan bertanya kepadaku mau pergi mas?
Atau mau kemana mas? Itu aku awalnya biasa saja lama-
lama risih dengarnya kok mau tahu saja urusan orang.
Diluar itu aku tetap berusaha memahami adat istiadat
budaya di Yogyakarta secara umum saja seperti berusaha
sopan, jaga sikap, ikut aturan, tidak terlibat urusan orang
lain, itu saja sudah titik aman walau dalam hati wah kok
begini kok begitu, malas, tidak rela dan sebagainya tapi
kita kan harus mengcover itu agar orang lain tidak tahu,
mau bagaimana pun aku harus ingat kalau aku disini tamu
jadi tidak bisa berbuat berperilaku seenaknya, ya berusaha
sadar diri saja, kalau masalah perbedaan kebiasaan
budaya antara sini dengan tempat asalku ya itu memang
pasti membingungkan cuma ya sudah mau bagaimana lagi
lama-lama juga paling akan bisa terbiasa, gampangannya
tidak terlalu dipikirkan mengalir saja. Bukan
menggampangkan hal yang harusnya memang aku
khawatirkan sih apalagi aku pendatang harus tau etika
pendatang apa saja. Kalau dipikir-pikir itu tambah-tambah
Comment [CS92]: Ekstrnl
Comment [CS93]: Ekstrnl
Comment [CS94]: Hsl Adpt
pengalaman bukan? Bedanya kalau disini kan tanah Jawa
jadi semua-semuanya ya Jawa asli, bahasanya diantara
kami berbeda, karakter orangnya diantara kami juga beda
pokoknya semuanya berbeda jelas itu mencolok kalau kami
berbeda.
61. Peneliti :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah
anda sering membandingkan lingkungan baru di
Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat
anda sendiri?
Informan :Yang jelas budaya ya itu beda sama sumatera, logatnya,
intonasinya, karakter orangnya, cuacanya disini panas,
kering sekali ditenggorokan sampai mudah dehidrasi berat
aku rasanya, debunya ampun Tuhan, jarang ada pohon,
kebun, rumah-rumah saling menempel, macet, jauhlah
tidak seperti di daerahku sana dipematang siantar, lebih
nyaman daerah sendiri dibandingkan sini. Belum lagi yang
membuat stress berat itu rasa makanannya, apa-apaan
masakan disini rasanya manis seperti kolak saja mual aku
dibuatnya. Bagaimana bisa tertelan kalau rasanya sudah
membuat perut menjadi mual. Susah betul mencari menu
yang cocok dengan lidah kami kalau tidak kerumah makan
padang atau rumah makan khusus yang punya menu
daerah sumatera. Walau mahal untuk kantong mahasiswa
tak mengapalah asal perut kami terisi tidak kurus karena
masalah mulut. Tapi dibalik itu fasilitas sarana-prasarana
kota Jogja memang jauh lebih bervariasi macamnya,
tempatnya memang ramai akan pengunjung persis seperti
berita di televisi, obyek wisatanya banyak, banyak hal baru
disini yang bisa dicoba untuk tambah pengalaman dan
cerita untuk dibagi dikampung halaman agar tidak kuper.
62. Peneliti :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat
segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru
anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan
rantauan anda?
Informan :Di awal kedatanganku aku merasa bisa santai mau seperti
apa kondisi lingkungan baruku di Jogja yang penting disini
aku tidak sendiri kan ada pacarku yang sama budayanya,
jadi tidak benar-benar seakan tersesat ditempat asing,
kalau apa-apa aku hadapi berdua sama dia. Hanya
Comment [CS95]: Ekstrnl
memang diawal datang itu butuh waktu untuk rileks, tidak
dipungkiri ya walau aku cowok tapi perasaan gerogi,
gugup, tidak percaya diri karena berada ditempat asing,
merasa sendiri tidak ada kelompok teman-teman yang
biasa bersamaku itu ada. Aku merasa benar-benar telah
kehilangan jati diri selama berada di lingkungan baru ini,
tidak ada orang tua hanya ada pacar itupun berbeda
jurusan denganku, disini aku kehilangan semuanya ya
walau tidak secara langsung tapi aku kehilangan sosok
orang-orang yang telah lama kukenal sebelumnya orang-
orang yang familiar dikampung halaman. Ini hal-hal yang
tidak kuperhitungkan saat memutuskan untuk merantau,
tapi kalau aku tidak merantau bagaimana pacarku kasian
dia jika tanpaku menjalani semua ini sendiri di sini bisa
gila dia nanti. Semua ini berat dan beratnya tidak seperti
yang kami berdua bayangkan saat memutuskan untuk
merantau, dari yang kami kira mudah ternyata tidak
semudah perkiraan. Masalah membiasakan diri dengan
budaya Jogja itu perlahan lahan ya sedikit-sedikit
berusaha menyesuaikan, disini kan merantau, bertamu
ditempat orang jadi harus berusaha tau bagaimana aturan
mainnyalah. Tujuan awal kan merantau gunanya memang
biar mandiri jadi ya hadapi dengan senyuman dan
berusaha adaptasi saja, kalah jumlah jangan bertingkah
konyol disini itu kalau tidak mau cari masalah. Sekarang
hasilnya juga aku bisa-bisa saja kan melewati berapa
semester walau memang jatuh bangun, rumit dan
menyebalkan. Dari awal dulu aku sudah berusaha untuk
semangat ya, apalagi kan disini berdua jadi saling
menyemangati memberikan motivasi. Aku tidak boleh
banyak mengeluh ya karena memberikan contoh untuk
pacar, apa jadinya jika pacar tidak semangat tidak nyaman
dan akupun demikian yang ada bisa-bisa kami balik
kekampung dan entah kembali ke Jogja atau tidak. Mau
bagaimanapu tetap berbeda ya baik budaya, suasana, dan
apapun itu antara tempat perantauan dengan kampung
halaman sendiri. Hal itu benar-benar berpengaruh dengan
masalah kenyamanan.
63. Peneliti :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan
Comment [CS96]: Intrnl
awal di tempat rantauan?
Informan :Sering mudah lelah, tenaga terporsir mungkin karena
tegang tidak rileks, sering kembung, masuk angin, yang
lain mudah terkena flu, sariawan, masalah gangguan
pencernaan dulu sering sekali sembelit, daya tahan itu
menurun ya mungkin karena tidak dirumah sendiri ya jadi
tidak ada yang merawat kalau dirumah kan ada ibu jadi
apa-apa sudah tersedia.
64. Peneliti :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas
Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat
rantauan?
Informan :Karena sering menonton wisata kuliner jadi kalau soal
rasa masakan Jogja aku sedikit punya bayangan
bagaimana makanannya, masakan khasnya Yogyakarta
saja gudeg dan itu sudah terkenal sebagai masakan yang
memiliki rasa manis nah karena disini khasnya manis dan
sama sekali tidak pedas sedangkan selera lidah cenderung
pedas asin. Buruknya lagi disini warung-warung makan
rasanya sama saja semuanya dominan manis sepertinya
mereka memasak tanpa cabai namun memasukkan gula ke
setiap masakannya ya heran betul sama orang sini
makanan manis seperti itu mereka bisa suka. Repot pilih-
pilih makanan sampai akhirnya kalau makan larinya ke
warung makan Padang atau burjo makan mie instan
buatan sunda yang amazing rasanya kalau tidak ya sedia
ganjalan perut dikamar itu roti kan kalau roti rasanya
dimana-mana sama saja atau hunting kemana-mana
sampai ketempat mahal pun jadilah tak mengapa sekalian
hunting jalan-jalan sama pacar. Nah untungnya kalau
sekarang sudah bisa membiasakan lidah untuk nyesuaikan
masakan sini. Bosan kan kalau terus-terusan makan ke
warung makan Padang, ke burjo terus, kalau harus hunting
terus juga malas jalan makan jauh-jauh.
65. Peneliti :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat
perantauan?
Informan :Waktu awal semester dulu aku insomnia, entah kenapa
jadi susah tidur. Padahal kalau dirumah paling malam aku
tidur jam 10 karena paginya harus sekolah tidak boleh
Comment [CS97]: Ekstrnl
Comment [CS98]: Ekstrnl
terlambat. Disini walau mahasiswa kan jam kuliah tetap
ada yang pagi juga tapi entah kenapa susah aku
memanagenya. Aku tidur pasti larut kadang kalau sudah
susah tidur kupakai untuk mengerjakan tugas, baca-baca
hasil catatan dikampus tadi nah kalau sudah untuk
membaca barulah rasa kantuk datang dan tidurlah aku,
begitu terus sampai sekitar semester awal kuliah, tapi
hasilnya IPK disemester awalku diatas 3,5.
66. Peneliti :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan
dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa
bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda
sering merasa home sick atau mudah rindu kampung
halaman?
Informan :Komunikasi sampai detik ini lancar-lancar saja kok,
selancar uang bulanan. Dari dulu sampai sekarang kalau
pulang yaa cuma pas liburan saja karena memang
menunggu libur yang benar-benar panjang, karena
mengingat ongkos PP mudik yang tidak murah sehingga
tidak bisa menyianyiakan besarnya dana mudik yang
keluar. Homesick itu pasti ya tidak dia anak kuat, tegar,
mandiri, anak manja, anak rumahan sama saja pasti akan
merasakan homesick, sangat ingin pulang, mendadak
melankolis, rindu dengan suasana rumah, teman-teman
dikampung halaman, rindu dengan masakan rumah, rindu
dengan kamar, bahkan hal kecil pun dapat kurindukan.
Kupikir wajar sekali itu terjadi pada kami perantau.
Kenyataan memang tidak selalu mudah utnuk dijalani.
67. Peneliti :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang
membuat anda stress pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta?
Informan :Pengalaman sosial budaya yang membuat stress itu
namanya merantau itu kan mau tidak mau menjalankan
aturan yang berlaku disini ya ditempat kos, daerah kos aku
itu daerah pemukiman yang padat, yang ada jam
siskamlingnya, ada plang jalan sesuai jam malam,
kebayang kan bagaimana sifat penduduknya tu mereka itu
kejawen. aku itu tipe orang yang cuek tapi disini dituntut
peka dengan lingkungan sekitar. Yang biasanya malas-
malasan untuk bertegur sapa disini karena bapak kosku
Comment [CS99]: Gjl & Rea
Comment [CS100]: Ekstrnl
orang Jogja yang ramah dan punya hoby nyapa ya mau
tidak mau balas sapaannya, balas senyum pula, mungkin
karakter orang Jogja itu suka basa-basi. Apa ya mungkin
karena perbedaan budaya kadang suka jengkel sih pas
awal dulu kalau mengajak mereka bicara lalu menyelipkan
candaan yang biasa aku lakukan dengan teman-teman
disiantar itu juga aku lakukan agar obrolan aku dengan
orang sini bisa hangat eh ternyata mereka tidak nyambung,
garing. Kesini-kesini aku yang mulai sadar kenapa mereka
tidak nyambung ya karena mereka pun tidak paham dengan
maksud arah candaanku, dan itu berarti memang aku pun
salah.
68. Peneliti :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda
yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta?
Informan :Waktu awal dulu itu ya karena belum bisa menerima
karakter orang-orang disekitar baik dilingkungan kampus
maupun kos yang sering buat aku merasa kurang nyaman
yang cenderung kearah jengkel keorang-orang pribumi ya,
yang kadang mereka itu masih kebiasaan berbahasa Jawa
kesemua orang tanpa pandang bulu padahal jelas-jelas aku
bukan orang Jawa jadi aku tidak paham artinya, kalau
menurutku itu ya menyebalkan harusnya kan mereka
bisalah bedakan mana perantau mana bukan, kadang
pernah ada salah paham dengan mereka tapi tidak dalam
waktu lama, yaa semua itu mungkin karena aku masih
sensitif belum terbiasa dengan kemajemukan karakteristik
budaya dilingkungan baruku saja sih. Aku juga sering
bingung saat hendak memulai pembicaraan dengan teman-
teman yang jelas perbedaan karakternya diantara kami,
kikuk mau bagaimana mengawali pembicaraannya.
69. Peneliti :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan
mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi
Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya?
Informan :Jika ada kendala ya pasti karena masalah perbedaan,
perbedaan latar belakang budaya, perbedaan bahasa,
perbedaan ekspresi wajah, isyarat, perbedaan iklim cuaca,
masakan apapun itu semua begitu kompleks dan berkaitan
dengan respon balik dari individu perantau yaitu aku. Itu
berat tapi ya dihadapi, yang selama bisa diatasi ya segera
Comment [CS101]: Gjl & Rea
Comment [CS102]: Hsl Adpts
Comment [CS103]: Gjl & Rea
Comment [CS104]: Ekstrnl
selesaikan dengan baik, yang penting tidak mengganggu
pikiran dan kuliah saja. Dulu pas awal masalah sosialisasi
ya berkutat pada masalah mencari link pertemanan entah
itu dikampus entah di kos. Dulu aku berpikir kalau
berteman dengan orang Jawa yang asli Jogja itu pasti ribet
ya karena mereka karakternya berbeda denganku, aku
malas untuk memahami mereka yang unik itu akhirnya
memberikan jarak dengan mereka dan berusaha mencari
kenalan orang perantau yang sama sepertiku namun
ternyata anggapanku itu salah. Penyesalan itu adanya
dibelakang.
70. Peneliti :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat
pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda
untuk bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian
diri pada saat awal kedatangan anda di tempat rantauan
(Yogyakarta) ?
Informan :Kalau awal sih tidak ya karena kami masih cupu-cupunya,
malu-malu, masih gengsi-gengsian, jaga image, sama-sama
kurang nyaman satu sama lain, canggung, cemas, tegang,
grogi jadi itu menimbulkan jarak diantara kami kami
berinteraksi juga pas perlu penting saja ya seputar
menanyakan tugas, ruangan kuliah, jam kuliah selebihnya
kaku. Mungkin aku yang terkesan tidak mengungkapkan
diri terlalu banyak kepada orang lain, aku juga tidak
pernah membaur dengan salah satu diantara mereka
membuat mereka secara langsung sadar kalau aku tidak
mau terlalu banyak berinteraksi diluar kepentingan
perkuliahan, mereka jadi segan sama aku, menegur pun
hanya sekedar basa-basi. Bukan kenapa-kenapa tapi aku
bingung dan tidak nyaman ketika akan berinteraksi terlebih
itu dihadapkan pada konteks berbedaan budaya pula kan,
sehingga aku enggan untuk berinteraksi dengan orang-
orang yang ada di lingkungan baru
71. Peneliti :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-
teman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala?
Informan :Dulu iya canggung ya tapi sekarang sudah baik kok, aku
kenal lalu akrab sama temen-temen kampus itu kalau tidak
salah semester 2 atau semester 3 an, karena 1 semester
sendiri aku merasa belum butuh teman ya kalau mau apa-
Comment [CS105]: Gjl & Rea
apa cuma sama pacarku, keperpus cari buku, baca buku,
buat tugas, kekantin pun berdua, kami tinggal
menyesuaikan jam kuliah untuk bertemu ya sudah gitu terus
ya sampai akhirnya sosialisasi sama temen-temen jadi
terabaikan dan terlambat, malas memulai perkenalan
dengan orang-orang baru, takut ini takut itu namanya juga
merasa asing dilingkungan baru jadi perasaan negative
dengan mereka itu gampang muncul. Sekarang setelah aku
mulai berinteraksi, mau berkomunikasi dengan orang lokal
itu sedikit banyak muncul pemahaman akan hal-hal yang
dulunya aku tidak tahu sekarang jadi oh begitu ya ternyata
jadi ini semua masalah toleransi, menghargai perbedaan,
tidak semua orang jawa itu freak. Orang Jawa pada
dasarnya sama seperti kami di Sumatera ada yang tahu
sopan santun ada yang tidak, ada yang seenaknya ada yang
tidak dan yang selama ini aku pikir jika ia berbahasa Jawa
maka ia adalah orang lokal Jogja ternyata salah. Di Jawa
walau bahasanya sama-sama Jawa tapi setiap kota atau
daerah memiliki perbedaannya masing-masing entah itu
kelebihannya maupun kekurangannya. Kalau umumnya
yang benar-benar asli orang lokal Jogja itu malah
cenderung tinggi nilai toleransi, sopan santun, tutur kata
halus dan mau menghargai itu yang membedakan orang
Jawa sama orang Jogja, tidak semua orang Jawa itu orang
Jogja lho ternyata. Nah pusing kan tapi yang paling pusing
itu bahasanya, bahasa yang pribumi pakai itu kan bahasa
Jawa, itu disini ternyata ada variasinya kalau bahasa jawa
yang biasa dipakai untuk kalangan usia sepantaran beda
lagi sama bahasa Jawa yang dipakai kalau mereka yang
orang Jawa usia muda sedang berkomunikasi dengan
orang-orang tua dan itu rumit sekali aku angkat tangan
tidak paham artinya, mereka ngejek ngolok-ngolok parah
aku saja lah pakai bahasa itu berani bertaruh aku paling
cuma pasrah karena tidak paham paling kubalas mereka
dengan bahasa batak yang mereka tidak tahu artinya
sekarang jatuhnya dibuat becanda ya lucu-lucuan karena
urusan akademik saja sudah berat jadi buat apa seperti
anak kecil yang mempermasalahkan masalah kecil tentang
perbedaan, kasian Ir. Soekarno menangislah ia dalam
Comment [CS106]: Gjl & Rea
kubur nanti susah-susah menyatukan Indonesia tapi
generasinya malah saling pecah. Kalau boleh berbangga
sekarang aku tahulah sedikit bahasa jawa dan bisa-bisaan
bicara bahasa Jawa tapi hanya bahasa Jawa yg kasar koko
apa ya namanya kalau tidak salah. Terus selain pribumi
Jogja yang unik, mereka mau mengajarkan aku budaya
mereka yang membuatku mengurangi pandangan burukku
selama ini dengan mereka.
72. Peneliti :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan
ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda?
Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di
tempat rantauan tersebut?
Informan :Waktu awal kuliah semester 1 dulu aku masih susah payah
untuk sosialisasi, jadi penyesuaian diri ya dijalani secara
alami ya karena itu butuh proses, aku juga tidak mau
terlalu tegang memaksakan diri untuk langsung bisa
adaptasi dengan daerah baru. Pastinya juga tidak cuma
aku yang bingung menyesuaikan diri dengan lingkungan
baru dengan suasana pertemanan yang berbeda di
perguruan tinggi yang serba didik untuk mampu berpikir
secara luas dan tanggap dengan masalah sosial yang
terjadi lingkungan sekitar, anak sekelas yang perantau juga
pastinya sama sepertiku kami mengalami masalah ganda
menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal kos
yang berbeda suasana dengan rumah dikampung halaman
belum lagi harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
pertemanan dikampus dengan perbedaan budaya yang
melekat antara kami dengan pribumi daerah rantauan. Jadi
mungkin wajar jika ada mahasiswa perantau yang masih
membawa budayanya dan kelepasan masih menerapkan
budayanya di tanah Jogja bukan arogan tapi memang
mental setiap orang itu berbeda satu sama lainnya meski
kami sama-sama mahasiswa perantauan butuh waktu. Tapi
itu dulu setelah jalan semester 2 ya lumayanlah bisa saling
melunak, mau untuk saling menyesuaikan, mau saling
menghargai tidak kaget-kagetan seperti jaman awal
semester malah saling ejek-ejekan berpikir perbedaan ada
untuk dibesar-besarkan sekarang sudah mulai bisa tukar
pikiran sama teman-teman lokal dan itu membantu
Comment [CS107]: Hsl Adpts
memperbaiki penyesuaian diri kearah yang lebih baik lagi
ya diatas kemajemukan budaya. Apa ya yang jelas tenyata
benar merantau itu membantu sangat sangat membantu
proses pendewasaan dan memantapkan jati diri karena
berkat merantau aku dapat pengalaman positif yang
bermanfaat berjalannya waktu merantau itu mengarahkan
aku untuk tahu sopan, nada bicara juga tidak seperti dulu
yang intonasi tinggi, kalau lagi mengobrol dengan orang
lokal jadi bisa santai aku bisa menyisipkan bahasa Jawa
sedikit-sedikit walau belum lancar setidaknya sekarang aku
tahu arti bahasa Jawa walau tidak banyak, tau tata krama,
yang kesemua itu karena terbawa dengan teman-teman
yang pribumi. Walau awalnya memang gengsi tapi
kelamaan mau tidak mau aku memang harus bisa merubah
kebiasaan di daerah asalku seperti mengurangi berbicara
dengan nada tinggi menjadi sedikit lembut, lalu kalau di
jalan bertemu dengan bapak atau ibu kosku yang cerewet
suka basa-basi bertanta, kebetulan mereka juga sudah
sangat berumur dan orang Jogja asli, ya harus timbale
balik ramah menyapa mereka tidak asal lewat begitu saja,
kalau tidak alhasil dulu pernah diceramahin, diomong-
omongin tidak baik juga dibilang tidak tau sopan santun
dsb, awalnya ya sangat kesal sekali kenapa harus
menyesuaikan sama lingkungan baru segala seakan
memaksa sekarang baru sadar kalau semua ada
manfaatnya buatku
73. Peneliti :Bagaimana sikap dan pandangan anda tentang
berbagai masalah kemampuan beradaptasi dalam berusaha
mengurangi pengaruh culture shock pada diri anda selama
ini?
Informan :Apa ya dibuat nyantai saja sih nanti juga lama-lama juga
akan terbiasa sendiri menerima perbedaan yang ada disini.
Seperti sekarang ini aku sudah lebih dari setahun tinggal
di Jogja, buktinya ya sudah tidak kaget, sama teman kelas
sekarang bisa jadi kenal semua, kalau dulu kan apa-apa
maunya sama yang sedaerah, kalaupun sama teman
kampus pun pilih yang sekiranya cocok dengan karakterku
tapi sekarang bisa ngobrol bareng, tidak pilih-pilih lagi. Di
kos juga sudah biasa saja, dengan budaya disini atau
Comment [CS108]: Hsl Adpts
orang-orang asing disekitarku sekarang sudah terasa biasa
justru malah sedikit banyak mempelajari, mengikuti dan
lumayan terbawa dengan kebiasaan baru disini. Intinya
sudah nyaman sama semua-semua disini, kalau boros buat
makan atau nongkrong sudah tidak parah seperti awal-
awal dulu terus masalah rutinitas mudik sekarang jadi
lebih santai, malah kalau sudah di rumah ingin segera
kembali di Jogja. Di kampung itu sepi tidak ada tempat-
tempat hiburan. Pokoknya sekarang jadi kebalikannya.
Yang jelas dari diri kitanya juga harus mau ya mencoba
tidak batasi diri untuk bergaul dengan teman yang pribumi,
jauhkan pemikiran tentang budaya siapa yang lebih baik
diantara kita itu akan semakin membuat diri semakin
terlihat bodoh menyikapi perbedaan.
HASIL WAWANCARA
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Informan 6
Tanggal wawancara : 23 November 2013
Waktu : 10.00 WIB
Lokasi wawancara : Gedung Rektorat STIE YKPN
Keadaan informan
A. Identitas Informan
Nama : KMG
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 20 Tahun
Agama : Hindu
Asal daerah : Bedugul Bali
Suku/ etnis : Bali
Jenis bahasa daerah : Bali
Universitas : STIE YKPN
Mahasiswa semester : 5
B. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang berkuliah semester lanjut di Perguruan Tinggi Yogyakarta.
1. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah
dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta?
Informan :Asal daerah Bedugul Bali Suku Bali bahasa daerah ya
Bali. 2011 sekitar bulan April
2. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta?
Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang
mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah
memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain?
Informan :Ya karena Yogyakarta memang sudah lama dikenal
sebagai kota pelajar dengan banyak pilihan universitas dan
jurusan yang tersedia, tidak hanya itu kualitas perguruan
tingginya jauh lebih baik dibanding perguruan tinggi
didaerahku. Biaya hidup di Jogja juga lebih terjangkau
dari kota-kota pendidikan lain seperti kota Bogor,
Comment [CS109]: Asl
Comment [CS110]: Sk Etnk
Comment [CS111]: Bhs Daerh
Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan Jakarta. Lagi
pula kebetulan disini ada om di Banguntapan jadi kalau
misalnya disini aku kenapa-kenapa ada yang tolongin.
Juga karena memang ingin bisa lebih berkembang, tahu
mana-mana, tambah-tambah pengalaman luas. Yang pasti
selain disini terdapat banyak perguruan tinggi, kualitas
perguruan tinggi di pulau Jawa dinilai lebih baik
dibanding perguruan tinggi di luar pulau Jawa.
Pengalaman belum pernah jadi ini kali pertama aku
merantau seumur hidupku, lagipula merantau itu fenomena
biasa yang lumayan banyak dilakukan di Indonesia,
merantau keluar daerah yang tujuannya untuk berkuliah
ada juga yang merantau untuk bekerja jadi waktu itu aku
berpikir kalau walaupun ini pengalaman pertama merantau
buat aku, aku tidak perlu takut karena pasti ditempat
rantauanku nanti akan ada orang-orang yang senasib
denganku yang sama-sama perantauan.
3. Peneliti :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan
merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan
bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut?
Informan :Keinginan sendiri, orang tua hanya memberi dukungan
dan motivasi saja karena mereka paham niatku sejak lulus
SMA untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, kalau untuk merantau mereka memberiku pilihan
penuh ditanganku. Ya walau pernah ke Jogja tapi kalau
memperkirakan seperti apa situasi dan keadaan di Jogja itu
belum, yang kutahu hanya Jogja itu pasti suatu daerah
yang akan Jawa sekali dan aku pun tidak paham bahasa
mereka tapi yang perlu aku akui adalah Jawa itu budaya
yang terkenal buktinya orang Jawa banyak yang merantau
menyebar kepenjuru nusantara.
4. Peneliti :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah
datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan
bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah
perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan?
Merasa kagetkah?
Informan :Dulu sekeluarga pernah berkunjung ke Jogja itu pun kami
tidak lama di Jogja, jadi bukan yang memang bisa kesana-
sini main-main berwisata keliling kota Yogyakarta karena
Comment [CS112]: Alsn
Comment [CS113]: Alsn
kami ke Jogja untuk acara nikahan om yang terlibat cinlok
dengan teman kuliahnya lalu menikah dengan orang asli
Jogja dan menyaksikan acara nikahan om yang
menggunakan adat Jawa saja aku sudah bisa menilai
setidaknya ada gambaran kalau Jogja itu berada di Pulau
Jawa yang sudah pasti lingkungan baruku akan kental
dengan nuansa adat budaya Jawa selain itu Jogja adalah
kota besar dengan banyak pilihan perguruan tinggi
berkualitas. Kalau perasaan sudah sampai disini itu
senang, karena awalnya sempat takut tidak lulus seleksi
masuk STIE YKPN karena tetap ya Yogyakarta itu kan kota
pelajar yang jelas menarik perhatian para calon
mahasiswa perantau lain buat berkuliah disini, hal itu kan
pasti memicu tingginya tingkat daya saing masuk
perguruan tinggi di Yogyakarta. Kagetnya itu meski
Yogyakarta sudah menjadi kota yang maju, kota yang
multicultural karena efek pendatang yang beragam dari
penjuru nusantara bahkan turis asing pun juga datang
kemari namun kenyataannya masyarakat Jogja masih tetap
melestarikan budayanya ya dari bahasa, tatakrama, moral,
nilai, guyup rukun, lalu suasana adat yang kental masih
terpelihara dengan baik dan memusat di kraton Yogyakarta
yang terselenggaranya di dukung penuh oleh antusias
masyarakatnya jika ada buat aku itu hal yang keren!
Jarang-jarang kan apalagi ini jaman berkembang sedang
maju-majunya peradaban teknologi dan gaya hidup serba
hedonism yang membuat orang-orang ingin nampak
modern lalu mereka latah bergaya kebarat-baratanlah,
lupa adatlah, lupa jati dirilah.
5. Peneliti :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh
untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan
Tinggi Jogja?
Informan :Waktu itu aku tidak pakai ujian macam seleksi test aku
masuk itu langsung saja tanpa basa-basipakai nilai raport
SMA, terdiri dari hasil nilai kelas X,XI dan XII lagi pula
nilaiku selama SMA termasuk bagus setidaknya tidak ada
angka di bawah 7. Lumayan untuk di banggakanlah.
6. Peneliti : Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat
perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
Informan :Walaupun disini ada om tapi aku lebih memilih kos
soalnya jadi lebih santai, beruntung aku mendapatkan
informasi dari internet ya browsing cari informasi kosnya
orang Hindu-Bali di Jogja lalu catat contact personnya,
ternyata benar aku mendapatkan kos dengan para
penghuni kos yang beragama sama sepertiku Hindu dan
rata-rata berasal dari daerah yang sama denganku ya
walaupun saat pertama kali datang di kos itu aku sendiri
belum mengenal satupun dari mereka sebelumnya, tapi
sejak awal mereka sangat welcome denganku dan itu
membuat aku nyaman berada disini, terlebih dengan
mereka membuat suasananya seperti masih sedang berada
di Bali, menjalankan ibadah sehari-harikupun aku jadi
lebih nyaman. Kenapa aku serius mencari kos yang sesuai
dengan agama dan suku budayaku ya itu karena menurutku
orang-orang Yogyakarta yang mayoritas muhammadiyah
tidak mengerti nilai-nilai budaya aku jadi agar terhindar
dari perselisihan masalah budaya, etnik dan suku bangsa
aku memilih untuk mencari kos yang khusus bali saja agar
leluasa dalam menjalankan ibadah sehari-harinya. Kan
kami orang hindu kalau bersembahyang pasti
menggunakan dupa, bunga dan lain sebagainya takutnya
kalau aku kos di sembarang tempat yang biasa mereka
akan memberikan peraturan ini itu karena terganggu kan
bisa saja itu terjadi, sudah aku terganggu mereka juga
terganggu jadi sama-sama terganggu maka baiknya
antisipasi dengan carilah kos yang homogen kalau tidak
ada perbedaan kan meminimalisir terjadinya masalah.
7. Peneliti :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu
bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi
dengan orang-orang baru di Yogyakarta?
Informan :Karena berada ditanah bali dan kami sekeluarga besar
memang orang bali asli pribumi bali jadi bahasa yang
dipakai di keluarga itu ya bahasa bali. Kalau bahasa yang
dipakai disini agar tidak dikira gila itu pakai bahasa
Indonesia, berbahasa sebenarnya fleksibel tergantung
siapa lawan bicaranya saja, terutama saat di kampus yang
aku gunakan jelas bahasa Indonesia ya gampangannya
akal sehat dan logika dipakai, kan siapa yang akan paham
Comment [CS114]: Ekstrnl
Comment [CS115]: Gjl & Rea
Comment [CS116]: Bhs Daerh
maksud pembicaraanku kalau aku tetap menggunakan
bahasa Bali? Siapalah yang tahu artinya aku bicara apa
kecuali jika aku bicara dengan sesama orang Bali. Beda
keadaannya jika lawan bicaranya anak-anak kosku yang
asalnya memang sama sepertiku dari Bali. Jadi selama di
Jogja aku masih bisa berkomunikasi menggunakan bahasa
Bali tapi itu baru bisa aktif aku pergunakan ya hanya saat
di kos saja diantara kami yang paham dan kami memang
sama-sama dari satu daerah, itulah yang membuat aku
merasa tidak kesepian didaerah rantauan ini bahkan hanya
dengan mereka aku tidak merasa kehilangan jati diri
selama berada di lingkungan baru ini.
8. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan kampus anda pada saat anda memasuki
semester awal perkuliahan?
Informan :Untuk awal semester aku terlambat beradaptasi dengan
teman baru dikampusku yang didominasi akan perbedaan
suku budayanya, karena aku lebih nyaman berinteraksi
dengan teman-teman kosku yang juga sama-sama dari Bali
sehingga tahun pertama di Jogja kebanyakan kuhabiskan
dengan mereka, main-main berkeliling wisata Jogja ya itu
ramai-ramai dengan mereka, kalau nongkrong kebanyakan
ya di kos itu lebih seru ya aku sangat nyaman berinteraksi
dengan teman yang sedaerah denganku. Jadi hanya saat di
kos saja yang membuatku merasa tidak asing berada di
Yogyakarta, karena bagiku kos adalah wilayah Bali kecilku
dan aku bisa menjadi diri aku sesungguhnya dari pada
harus tegang, canggung, susah-susah menyesuaikan diri
dengan orang yang berbeda budayanya denganku. Jadi
saat itu hubunganku dikampus monoton, canggung, grogi
kurang percaya diri memulai pembicaraan dengan orang
baru, tidak tahu akan bagaimana menentukan sikap,
bingung akan bicara apa, memulai dari mana, aku pasif
dan tertutup terhadap mereka.
9. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan tempat tinggal (kos) anda?
Informan :Teman kosku itu 2 in 1 ya selain teman kos juga mereka
merupakan teman-teman sesuku, seagama jadi mau apa-
apa aku lebih senang untuk melakukan banyak hal dengan
Comment [CS117]: Ekstrnl
mereka. Meskipun berada di lingkungan baru tapi kalau
kumpul dengan teman yang berasal dari daerah yang
sama itu rasanya lebih percaya diri dan bebas
mengekspresikan diri, ketergantunganku dengan mereka
juga tinggi hingga timbul rasa memiliki dan keterikatan
diantara kami karena kami dari tempat yang sama,
mempunyai nasib merantau yang sama sehingga diantara
kami timbul perasaan saling membutuhkan, saling
menjaga, lagipula kalau dekat dengan mereka rasanya
familiar seperti sedang berada dirumah sendiri.
10. Peneliti :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian
belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan
baru (kota rantauan Yogyakarta)?
Informan :Ada, sangat-sangat ada ya. Kalau di SMA kan tugasnya
biasa saja, ya memang ada tugas yang di berikan pada
siswa tapi beda dengan kuliah, kalau di perkuliahan tugas
itu banyak sekali, intensitasnya lebih tinggi dibandingkan
waktu di SMA dulu. Dulu itu aku masih sangat ingat, kalau
menumpuknya tugas-tugas membuat aku benar-benar
kerepotan mengerjakannya bahkan sampai tidak tidur
untuk mengerjakan tugas yang tidak pernah putus selalu
tugas dan tugas setiap harinya, kalau mnejelang UTS dan
US juga membuatku tidur larut untuk belajar, membaca
ulang materi, memahami, menghapal rumus, karena juga
kan lebih susah materinya dari pada waktu di SMA dulu
apa lagi di kelas aku tidak dekat dengan siapa-siapa jadi
tidak ada yang bisa aku andalkan kecuali diri sendiri.
11. Peneliti :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda
rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan
Yogyakarta) ?
Informan :Iya ada, bahasa orang Jogja asli itu lebih halus dalam
penekanan nada bicaranya, dan itu sangat berbeda dengan
kebiasaan tempat asalku yang dari logatnya saja memiliki
penekanan nada bicara, bernada tinggi dan berintonasi
cepat bahkan saat kami yang orang Bali ini sedang
menggunakan bahasa Indonesia pun akan tetap tampak
logat Bali kami, yang seharusnya bagi orang awam akan
sangat mudah menebak dari mana asal budaya kami.
Hanya saja mungkin karena ini tanah kelahiran
Comment [CS118]: Ekstrnl
Comment [CS119]: Ekstrnl
masyarakat Jogja jadi mereka terbiasa menggunakan
bahasa daerah mereka hingga lupa kalau Jogja juga
merupakan kota pelajar yang notabene tidak hanya orang
pribumi saja yang tinggal di Jogja tapi ada juga perantau
seperti aku ini, sayangnya sebagian besar dari mereka
masih kurang memperhatikan perbedaan budaya yang ada
di Jogja. Dalam keseharianku sering sekali menemukan
situasi dimana aku diajak berbicara oleh orang Jogja
namun mereka menggunakan bahasa Jawa, jelas ini
membuatku tidak nyaman meskipun aku tidak paham
maksud pembicaraan mereka aku tetap menjawabnya
dengan bahasa Indonesia. Pada saat itu aku belum
mengenal bahasa Jawa sebelumnya sehingga aku tidak
mengerti bahasa yang dipakai oleh orang-orang di
lingkungan baruku ini.
12. Peneliti :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya
orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama
tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya
perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda?
Informan :Awal di Jogja jelas aku tidak bisa langsung bisa paham
dengan adat istiadat budaya Jogja meskipun begitu akupun
mengamati, menilai, membaca adat yang dipakai secara
umum di Jogja. Memang kubuat santai tidak harus
memahami secara serius adat budaya Jogja, aku ambil
garis besar secara umum saja, salah satunya paling
dengan tetangga rumah kos yang pribumi Yogya saja ya
berusaha untuk tidak segan menyapa mereka jika kebetulan
berpapasan dijalan, lagipula mereka orang yang lebih tua
mereka juga ramah mudah merespon balik. Jalani saja
jangan dijadikan beban pikiran yang penting aku nyaman
dikos, masalah adat istiadat Jogja tidak terlalu dipikirkan
yang jelas disini tidak membuat masalah, tidak melanggar
aturan yang berlaku, mengenal waktu, tidak gaduh yang
berlebihan. Kalau merasakan adanya perbedaan yang
mencolok iya ada tapi itu cuma diawal-awal tahun saja
karena masih pertama jadi masih belum terbiasa dengan
perbedaan antara daerah asal dengan teman-teman
Yogyakarta karena merasa masih merasa asing baik
dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosial jadi
Comment [CS120]: Ekstrnl
Comment [CS121]: Ekstrnl
masih merasa aneh saja, juga masih sulit memahami
ekspresi wajah dan bahasa teman-teman. Sebenarnya di
Bali memang juga banyak perantau-perantau dari Jawa,
yang tujuannya berwisata maupun untuk bekerja, namun
tidak begitu tampak aku pun kurang mengamati mereka
secara jelas lagipula kalau berwisata kan hanya sebentar
saja di Bali. Nah kalau perantau asal Jawa mereka ke Bali
biasanya untuk bekerja dan mereka di Bali bermukimnya
pun hidupnya tidak menyebar mereka hidupnya
mengelompok bersama orang Jawa lainnya, setelah datang
di Jogja barulah aku merasakan suasana budaya yang
berbeda dan mencolok disini.
13. Peneliti :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah
anda sering membandingkan lingkungan baru di
Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat
anda sendiri?
Informan :Kalau dari lingkungan fisik bedanya dengan bali itu cuaca
ya kalau di bedugul itu daerah pegunungan jadi cuacanya
dingin, sejuk kalau di Jogja panas udaranya kering,
beruntung di bedugul itu tidak padat pemukiman jadi
tempatnya juga tenang tidak berisik oleh hirukpikuk kota.
Kalau disini pemukiman penduduknya juga sama seperti di
Bali bedanya kalau di Bali memusatnya di tempat-tempat
wisata terkenal, kalau di Jogja memusat di Kota dan
memusat didaerah universitas jadi hanya tempat-tempat
tertentu saja yang padat pemukiman penduduk seperti
didaerah kosku juga karena itu dekat dengan daerah
kampus jadi menurutku cukup berdempetan ya jaraknya
antara satu rumah dengan yang lain dan aku merasa
kurang nyaman sebenarnya karena terbiasa suasana di
bedugul yang luas. Kalau lingkungan sosial kembali lagi ya
ini tanah Jogja yang isinya orang-orang suku Jawa bahkan
ada kraton berdiri di Jogja yang jelas merupakan simbol
kekuasaan istana Jawa jadi dari logat, tatakrama, karakter,
bahasa, nilai, norma yang berlaku semua hal disini pekat
akan budaya Jawa bahkan rasa dari masakan pun khas
Jawa sekali ya yang rasanya serba manis sama seperti
gudeg yang menjadi mascot oleh-oleh khas Jogja.
14. Peneliti :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat
Comment [CS122]: Gjl & Rea
Comment [CS123]: Gjl & Rea
segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru
anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan
rantauan anda?
Informan :Awal kedatanganku di Jogja karena aku sangat nyaman
dengan teman-teman kos yang sesuku yang membuatku
sangat terhibur, aku merasa bisa santai mau seperti apa
kondisi lingkungan baruku di Jogja yang penting disini aku
tidak sendiri kan ada teman-teman satu kos yang sama
budayanya, jadi tidak benar-benar seakan tersesat
ditempat asing, kalau apa-apa aku bisa hadapi bersama-
sama dengan mereka, minta bantuan mereka, sehingga
tidak terlalu memusingkan masalah mengkondisikan,
adaptasi, sosialisasi, interaksi, komunikasi dengan orang-
orang pribumi Jogja maupun masalah lingkungan sosial di
Jogja. Selain itu dulu aku terlalu sibuk dengan jadwal
kuliah semester awal yang masih padat, belum lagi aku
harus banyak membiasakan dengan sistem pembelajaran
perguruan tinggi yang jauh berbeda dengan sistem
pembelajaran di sekolah jaman SMA jadi sebisa mungkin
aku harus bisa mengikuti kegiatan perkuliahan dengan
sebaik-baiknya karena tujuan merantauku memang untuk
berkuliah bukan untuk yang lainnya diluar konteks itu.
15. Peneliti :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan
awal di tempat rantauan?
Informan :Untuk kondisi kesehatan hanya kaget dengan iklim panas
Yogyakarta itu lebih panas ya dari Bedugul, musim
panasnya berlangsung cukup lama, kalau di sana musim
kemarau pun masih ada hujan turun juga tapi kalau disini
memang benar-benar terasa panasnya, jadi awal dulu
sering sekali ganti kulit, kulitnya mengelupas seperti itu,
kulit jadi kasar bersisik yang dulunya di Bedugul aku tidak
menggunakan handbody, disini jadinya harus pakai itu biar
tidak perih karena kasar kulitnya. Terus mudah dehidrasi
juga ya disini sampai aku sering bawa bekal air minum
dari kos agar dikampus tidak harus bolak balik kekantin
hanya untuk sekedar membeli air minum. Panas dan udara
keringnya jogja itu selain membuatku dehidrasi juga ngefek
juga kepanas dalam, sariawan, gangguan pencernaan
mudah buang air kecil, kulit kepala juga mudah
Comment [CS124]: Ekstrnl
berketombe karena gerah dan berdebu. Apalagi Jogja itu
termasuk tinggi ya polusi udaranya karena jumlah
kendaraan di Jogja yang padat. Terlebih untuk daerah
sleman perkembangan kotanya pesat banyak bangunan
raksasa dibangun disana sini menimbulkan debu semakin
menyesakkan pernafasan yang akhirnya sering membuat
alergi debuku mudah kambuh dan semua itu tidak
terelakkan membuatku sedikit terganggu.
16. Peneliti :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas
Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat
rantauan?
Informan :Waktu awal langsung kaget dengan rasa manis masakan
Jogja sampai kehilangan selera makan dan sempat kurus
setengah tahunan kalau tidak salah itu penyebab vitalnya
ya karena malas makan dimana-mana rasa masakannya
sama saja terlalu manis. Yang akhirnya karena masalah
perbedaan selera lidah itulah sehingga membuatku jadi
lebih kuat merokok dan ngopinya, tetapi kesini-kesininya
lama kelamaan kalau lapar ya disiasati, dapur bersama di
pergunakan dengan sebaik-baiknya, masak ala-ala cowok
biarpun hasilnya berantakan tidak enak rasanya yang
penting buatan sendiri jadi bisa disesuaikan seleranya.
17. Peneliti :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat
perantauan?
Informan :Dari dulu itu, malam biasa untuk mengerjakan tugas
kuliah, kalau tidak ada tugas kuliah baru aku bisa ikut
gabung anak-anak kos untuk nongkrong yang itu entah
nobar bola, main futsal, lalu kalau pagi hari sabtu dan
mingggu atau hari libur tidak kuliah ya biasanya aku
nobatkan sebagai hari untuk tidur sepuasnya. Kadang juga
anak-anak merencanakan membuat acara main kewisata
Jogja atau entah yang hanya sekedar seru-seruan main
kartu, catur, plastation dikamar salah satu teman kos yang
kadang sering seharian penuh sampai pagi, jadi pola
tidurnya disini berantakan karena tidak ada yang
mengawasi, kalau dirumah ka nada ibu yang selalu cerewet
mengatur agar aku disiplin.
18. Peneliti : Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan
Comment [CS125]: Ekstrnl
Comment [CS126]: Ekstrnal
Comment [CS127]: Ekstrnl
dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa
bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda
sering merasa home sick atau mudah rindu kampung
halaman?
Informan :Tetap lancar kok, kami lumayan sering saling melepon
untuk menanyakan kabar maupun memberi kabar terutama
dengan ibu. Dari semester awal sampai sekarang hanya
menungggu liburan kuliah atau hari besar saja mengingat
ongkos balik mudik yang tidak sedikit dan tempat asal yang
jauh. Homesicknya ya karena disini tidak ada yang
mengawasi, semua aku yang manage mulai dari bangun
pagi aktivitas kampus, aktivitas dikos, pola makan hingga
malam lalu tidur kembali. Dirumah kan yang biasa ngomel
masalah tidur, makan, kesehatan, kebersihan, semua itu
urusan ibu, jauh dari rumah pun seakan jauh dari orang
yang berisik demi kepentinganku disitulah yang sering
membuatku merasa kesepian jauh dari keluarga.
Merindukan sosok yang selalu memerhatikanku dengan
cemas.
19. Peneliti :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang
membuat anda stress pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta?
Informan :Pengalaman apa ya aku ini kan sebenarnya tipe yang
tenang ya kalau orang cuek denganku maka akupun akan
cuek tapi jika orang berusaha menyapaku maka tidak
mungkin aku akan diam tak membalas sapaannya nah
disini itu orang Jogja ramah-ramah ya, bertemu dijalan
pun mereka pasti akan berusaha bertegur sapa, melempar
senyuman dengan gayanya yang khas malu-malu nada
lirih, awalnya sempat tidak paham kalau sering ditegur
sapa teman sekelas yang asli Jogja waktu dijalan yang
membuat mereka berpikir kalau aku karakter yang
sombong padahal ya tidak demikian, itupun aku tahunya
waktu sudah masuk semester ke dua mereka cerita sama
aku mengeluhkan sikapku yang dingin setelah sudah mulai
bisa akrab. Kaget dengarnya lalu mencoba flashback ingat-
ingat apa iya dulu aku begitu. Yang buat aku benar-benar
stress itu malah rasa masakannya, sampai jadi tertekan
sendiri. Konsumsi mie yang tidak baik untuk pencernaan,
Comment [CS128]: Ekstrnl
kopi dan merokok aktif selama 2 semester membuatku
menderita masalah pencernaan. Lalu timbul perasaan jera,
bosan dan masalah perut kupikir tidak bisa hanya tinggal
diam tapi saat berusaha mencoba menelan masakan
Yogyakarta yang walaupun sudah berusaha keras paksa
ternyata tetap tidak tahan akhirnya muntah. Sehingga
kuputusan untuk masak sendiri mempergunakan dapur kos
dengan sebaik-baiknya lagipula malah lebih irit ya. Menu
andalanku telur dadar, kentang goreng, nasi goring karena
baru bisa itu masaknya tapi pas dilidah.
20. Peneliti :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda
yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta?
Informan :Waktu awal dulu itu belum bisa menerima karakter
sebagian orang-orang disekitar baik dilingkungan kampus
maupun kos yang sering buat aku merasa jengkel sendiri
karena terganggu dan tidak nyaman jika mereka
mengajakku berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa
dalam keseharianku meskipun aku menjawabnya dengan
bahasa Indonesia tapi seakan mereka tidak peka terhadap
perbedaan budaya. Hingga aku sempat berpikir kalau
hanya orang Jawa yang berpendidikan tinggi sajalah
yang memahami dan menghargaiku dengan menggunakan
bahasa Indonesia saat berkomunikasi denganku, ya
mungkin karena aku belum terbiasa dengan kemajemukan
karakteristik budaya dilingkungan baruku saja, kadang
pernah ada salah paham dengan mereka tapi tidak dalam
waktu lama. Aku juga sering bingung saat hendak
memulai pembicaraan dengan teman-teman yang jelas
perbedaan karakternya diantara kami, yang lucunya lagi
kalau orang Jogja itu kan lambat-lambat gerakannya ya,
suara mereka juga halus seakan tidak bertenaga ternyata
itu karakter mereka kadang suka heran memperhatikan
ekspresi mereka.
21. Peneliti : Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan
mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi
Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya?
Informan :Iya sempat ada kendala dulu ya dikampus karena aku
memang sedikit membatasi ya untuk berinteraksi dengan
orang baru ternyata itu membuat imageku dilingkungan
Comment [CS129]: Ekstrnl
Comment [CS130]: Gjl & Rea
Comment [CS131]: Gjl & Rea
kampus dikenal dengan karakter yang dingin walau aku
pun sudah berusaha untuk memberikan respon yang
menurutku sudah baik entah kepada orang-orang yang
menyapaku atau mengajakku mengobrol awalnya aku
mengacuhkan permasalahan itu namun lama kelamaan
tuntutan perkuliahan dengan SKS yang semakin padat
memaksaku untuk membaur dengan teman kelas disitulah
aku mulai melakukan pendekatan dengan mereka (tean
kampus) melunakkan ego, menerima perbedaan,
menghargai dan tidak menyinggung perasaan mereka
walau pada kenyataannya aku masih kurang nyaman. Akan
tetapi aku bisa merasa terdapat perubahan sikap setelah
terbiasa di tempat rantauan yang signifikan kini aku jadi
lebih tahu sopan santun, tata krama, sedikit demi sedikit
mulai mengerti bahasa jawa, nada bicara juga sudah tidak
tinggi karena pengaruh beberapa teman kampus yang
memang asli dari Jogja.
22. Peneliti :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat
pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk
bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada
saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta)
?
Informan :Untuk awal dulu aku masih lebih memilih untuk
berinteraksi dengan teman yang sedaerah denganku
akhirnya aku jadi terlalu asik berkumpul dengan teman
sesuku dikos dibanding dengan teman kampus. Dengan
teman kampus justru malah tidak akrab, hanya sebatas
kenal saja, tegur sapa biasa saja, mau mengobrol tanya-
tanya juga tidak nyaman yang penting aku tidak pasang
wajah sombong kalau ada yang mengajak ngobrol ya
ditanggapi. Mungkin sikapku yang terlihat individual
membuat mereka segan, walaupun sebenarnya dibalik
diamku aku menyembunyikan rasa tidak percaya diri,
gugup dan tegang yang berlebihan karena perasaan asing,
tetap ada perasaan ingin membaur namun selalu timbul
rasa canggung dan ragu setiap akan memulai berinteraksi
dengan mereka. Beruntung sekarang keadaan sudah jauh
berbeda karena kebutuhan akademik yang semakin
berjalan hingga masuk semester kelima itu tidak sebentar
Comment [CS132]: Hsl Adpts
Comment [CS133]: Intrnl
sudah banyak perjalanan dan waktu yang membuat kami
mulai mengenal satu sama lain yang awalnya aku pikir
mereka menyusahkan sekarang jadi saling menerima saling
menyesuaikan diri.
23. Peneliti :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-
teman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala?
Informan :Waktu masih semester awal masih ragu untuk membaur
dengan teman-teman baru berbeda budaya. banyak
menarik diri dari hal-hal yang membuatku berinteraksi
dengan mereka kecuali untuk kepentingan akademik. Aku
selalu mengandalkan teman-teman kos yang merupakan
orang yang berasal dari daerah yang sama denganku,
karena hanya dengan mereka aku tidak kehilangan jati diri
selama berada di lingkungan baru ini dan menutupi
perasaan kehilangan orang-orang yang telah aku kenal
sebelumnya di Bedugul. Ya tapi itu sudah lama berlalu,
hubunganku dengan teman baru yang merupakan orang
local Jogja yang semula kaku sekarang sudah membaik,
aku sudah mulai kenal lalu akrab sama temen-temen
kampus itu kalau tidak salah semester 2 atau semester 3 an,
karena 1 semester sendiri aku merasa belum butuh teman
ya kalau mau apa-apa cuma sama teman-teman kosku,
kekampus hanya fokus hanya untuk kepentingan akademik
ya sudah gitu terus ya sampai akhirnya sosialisasi dengan
teman jadi terisolasi, tercipta jarak dan terlambat, malas
memulai perkenalan dengan orang-orang baru, takut akan
banyak hal ini itu semua itu karena perasaan asing
dilingkungan baru menimbulkan perasaan negative
thinking tentang mereka dan dulu itu yang selalu
menghantui setiap akan membaur. Sekarang setelah aku
bisa mulai berkenalan lebih dekat, tidak hanya menilai tapi
juga mau untuk ikut membaur, bertoleransi, berinteraksi,
mau berkomunikasi dengan orang lokal itu sedikit banyak
muncul pemahaman tersendiri buat aku akan hal-hal yang
dulunya aku tidak tahu sekarang jadi tahu. Bahkan bahasa
Jawa pun akhirnya mulai aku pelajari untuk mengerti
artinya walau tidak banyak setidaknya aku mulai terbiasa
jika ada orang lokal yang tetap mengejakku berkomunikasi
menggunakan bahasa Jawa. Mereka juga mau untuk
Comment [CS134]: Intrnl
mengajarkan aku budaya mereka yang membuatku
mengurangi pandangan burukku selama ini dengan
mereka.
24. Peneliti :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan
ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda?
Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di
tempat rantauan tersebut?
Informan :Dari awal dulu aku sudah semangat sekali disini ya 100%
mungkin karena tinggal di kos dengan suasana yang
menyenangkan seakan kampung halaman sendiri seakan-
akan tidak sedang merantau jadinya tidak sejadi tidak
terlalu kentara perbedaan yang ada, kalau sudah nyaman
dengan suasana tempat istirahat itu seterusnya mendukung
terciptanya mood yang bagus kan.Yang pasti dulu aku
memang tidak nyaman jika berbaur dengan yang jelas
berbeda budayanya denganku hingga memilih untuk
mencari kos dengan budaya dan daerah yang sama
denganku, ya walau tidak semua hal yang berbeda
membuatku tidak nyaman dengan Jogja tapi kebanyakan
aku merasa canggung jika berhadapan dengan mereka mau
bahas apa juga aku tidak tahu jadi banyak diamnya. Tapi
sekarang lama-kelamaan karena faktor keadaan kebutuhan
akademik mau tidak mau harus membuat kami aktif
berinteraksi agar tidak ketinggalan informasi seputar
akademik yang semakin rumit dan sumber informasinya
juga tidak banyak tahu sendirilah system kuliah itu kita
yang aktif mengejar nilai serta dosen beda dengan jaman
SMA yang masih dibimbing guru dan itu akhirnya
membuatku bisa menerima berada diantara mereka dan
aku juga jadi mulai nyaman dengan mereka. Ternyata seru,
tidak semua hal dari perbedaan itu menyebalkan,
tergantung bagaimana sudut pandang kita. Perubahanku
sekarang itu jadi sering menyelipkan bahasa Jawa sedikit-
sedikit saat berkomunikasi dengan mereka ya walau belum
lancar tapi itu untuk kebiasaan baik agar perbedaan
diantara kami tidak begitu jelas terlihat sebagai modal
agar mudah berteman. Sekarang jadi lebih banyak punya
teman ya tidak pilih-pilih seperti dulu lagi. Jadi lebih
banyak yang buat aku sadar diri akan perbedaan tapi tidak
Comment [CS135]: Hsl Adpts
Comment [CS136]: Ekstrnl
Comment [CS137]: Hsl Adpts
menyesalah namanya juga pengalaman hidup jadikan
pelajaran yang sangatlah berharga.
25. Peneliti :Bagaimana sikap dan pandangan anda tentang
berbagai masalah kemampuan beradaptasi dalam berusaha
mengurangi pengaruh culture shock pada diri anda selama
ini?
Informan :Sikap dan pandangan dibuat simple aja sih ya kak. Kalau
kitanya mau welcome terbuka dengan orang-orang di
sekitar, mau sadar diri kalau disini kita itu perantau cuma
numpang jadi akan muncul sendiri tata etikanya tidak bisa
terus-terusan seenaknya sendiri ditanah rantauan lagi pula
beradaptasi itu proses alami kok cepat atau lambat pasti
akan menyingkirkan hal-hal ketidaknyamanan tentang
semua perbedaan disini.
Comment [CS138]: Hsl Adpts
HASIL WAWANCARA
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Informan 7
Tanggal wawancara : 18 November 2015
Waktu : 11.00 WIB
Lokasi wawancara : Halaman Fakultas Ilmu Sosial UNY
A. Identitas Informan
Nama : UI
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Agama : Kristen
Asal daerah : Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara
Suku/ etnis : Dayak
Jenis bahasa daerah : Dayak Kenyah Lepoke
Universitas : Universitas Negeri Yogyakarta
Mahasiswa semester : 7
B. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang berkuliah semester lanjut di Perguruan Tinggi Yogyakarta.
1. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah
dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta?
Informan :Dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Suku Dayak
tapi di Kalimantan itu Dayak banyak macamnya. Kalau
bahasa itu Dayak Kenyah Lepoke. Sekitar September 2012
lalu kalau tidak salah.
2. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta?
Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang
mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah
memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain?
Informan :Tidak memilih tapi karena program kerja sama kabupaten
Malinau dengan UNY jadi ya memang di tujukan ke Jogja
mau bagaimana lagi.Yaa gara-gara ikut program kerja
sama kabupaten Malinau dengan UNY jadi mau tidak mau
jadinya melanjutkan kuliah ke Jawa. Lagipula orang tua
Comment [CS139]: Asl
Comment [CS140]: Sk Etnk
Comment [CS141]: Bhs Daerh
Comment [CS142]: Alsn
dan kakak bilang kalau kualitas perguruan tinggi di pulau
Jawa itu lebih baik dibanding perguruan tinggi di luar
pulau Jawa termasuk Kalimantan ya mereka berpikir ini
jadi pengalaman baik untukku.
3. Peneliti :Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan
merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan
bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut?
Informan :Yang jelas keinginan kakak dan orang tua. Soalnya setelah
lulus SMA juga aku diharuskan untuk meneruskan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaa sudah aku
menurut, menjalankan perintah sajalah. Kalau
memperkirakan belum ada karena memang tidak ada niat
ke Jogja jadi benar-benar di luar dugaan, yaa paling cuma
dari kata teman saja sama searching internet cari artikel
tentang Jogja, bagaimana Jogja, walau aku sendiri kan
memang belum pernah ke Jogja. Awalnya memang ragu,
nolak banget juga soalnya pesimis ya aku takut,
masalahnya selama ini belum pernah punya pengalaman
kesuatu tempat yang jauh dari rumah, jauh dari orang tua,
dari kakak-kakakku, tinggal sendirian tanpa mereka, malas
juga karena aku harus berpisah dengan teman-teman dekat
di Kalimantan, tapi tuntutan orang tua memaksa agar aku
tetap semangat melanjutkan pendidikan ikut program
pemda kabupaten malinau tadi kan akhirnya aku harus ke
tempat yang jauh walau aku tahu Jogja punya potensi
akademik yang lebih dari Kalimantan oke baiklah aku
terima, mau bagaimana lagi ya demi masa depan, hitung-
hitung sembari menyenangkan hati orang tua dan kakak
kan.
4. Peneliti :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah
datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan
bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah
perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan?
Merasa kagetkah?
Informan :Memang belum pernah ke Jogja tapi aku sempat tanya-
tanya, cari tahu informasi dari cerita teman atau searching
internet, biar aku tahu kan jadi sedikit banyak aku dapat
bayangan gambaran tentang bagaimana Jogja. Iya dulu itu
langsung wow speechless, berhubung aku belum pernah
Comment [CS143]: Alsn
Comment [CS144]: Intrnl
keluar daerah sampai sejauh ini jadi shock sendiri kalau
ternyata Jogja itu jauh juga. Mana terasa asing sekali,
tidak ada keluarga disini juga jauh dari kakak, memang sih
kesini kan aku ber lima sama yang lain dengan anak-anak
program kerjasama kabupaten malinau lainnya tapi sama
mereka juga baru kenal tetap saja rasanya disini aku
seperti anak hilang, sebatangkara benar-benar tidak tahu
mana-mana di Kota besar ini, rasanya ingin segera
kembali ke rumah saja terus batal merantau kalau bisa.
Wah pokoknya kaget bangetlah semua disini itu kan beda
dari bahasa,budaya, rasa masakan juga aneh beda sama
yang biasanya di Kalimantan.
5. Peneliti :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh
untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan
Tinggi Jogja?
Informan :Jalur kerja sama daerah Kabupaten Malinau dengan UNY
angkatan 2012, disini juga ada ikatan kerjasama
mahasiswa Malinau. Teman-teman beri info tentang
program kerja sama daerah Kabupaten Malinau, kakak
juga sangat mendorong agar aku ikuti. Tapi dari diri
sendiri aku tidak mau sebenarnya, jadi ikut tes ujian
program kerja sama itu terpaksa, tidak ada persiapan
belajar yang sungguh-sungguh, karena memang dari awal
tidak ada niat untuk merantau terlalu jauh sampai harus ke
Jawa yang jelas jauh dari Kalimantan belum lagi harus
jauh dari kakak dari orang tua teman juga sama sekali
tidak ada keluarga tapi Puji Tuhan kasih rejeki aku malah
lolos.
6. Peneliti :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat
perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
Informan :Disini aku ngekos. Masalahnya asrama itu kan gratis jadi
hanya khususkan untuk yang program kesehatan saja.
Kalau yang seperti kami yang pendidikan malah
dibebaskan untuk ngekos karena sudah diberi biaya hidup
yang ditanggung sama daerah kami Kabupaten Malinau.
Jadi tak apalah kos sendiri sekalian biar bisa sekalian
belajar hidup mandiri. Yaa walaupun sebenarnya disini
ada beberapa orang anak cewek yang juga dari program
Comment [CS145]: Intrnl
Comment [CS146]: Intrnl
kerja sama yang sama-sama Kalimantannya tapi aku tipe
orang yang tidak mau merepotkan orang lain sih.
7. Peneliti :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu
bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi
dengan orang-orang baru di Yogyakarta?
Informan :Kalau dengan keluarga bahasa dayak ya namanya itu
bahasa dialek dayak kenyah lepoke yang dipakai. Kalau
disini fleksibel saja sih kalau bicara dengan orang-orang
baru yang asing buatku bahasa Indonesia yang pastinya
aku gunakan untuk berkomunikasi dengan mereka. Kalau
sama teman seangkatan ka nada lima orang yang sama-
sama dari program kerjasama daerah Kalimantan utara
walau memang sama-sama dayak tapi kan dayak banyak
macemnya itu beda-beda aku tetap berbahasa Indonesia
sama mereka. Ya paling kalau pas telpon kakak dan orang
tua saja terkhusus aku pasti dengan bangga mengeluarkan
bahasa asli daerahku itu hahaha untuk mengobati rasa
rindu sih capek juga disini berbahasa Indonesia terus
24jam.
8. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan kampus anda, pada saat anda memasuki
semester awal perkuliahan?
Informan :Lumayan bisa cepat akrab kok soalnya waktu awal-awal
di Jogja dulu itu pas ospek aku beruntung banget ya bisa
kebetulan dapat kenalan seorang kakak panitia ospek yang
baik yang ternyata bisa langsung saling nyambung kami
saling klop, cocok sama karakterku, padahal kami beda
daerah dia itu asli Jogja tapi aku nyaman sama dia. Dia
kakak tingkat dari jurusan IPS, dialah yang suka kasih
support, dukungan motivasi setiap kali aku merasa tidak
sanggup dan menyerah merantau ke Jogja. Tapi sayangnya
cuma sampai kemarin pas dia akhirnya lulus kuliah saja
kesininya jadi tak bisa cengeng lagi karena dikampus
sudah tidak bisa bertemu dia lagi dia sekarang juga dia
sudah menikah padahal selama ini bertemannya ya cuma
sama dia saja kalau buat dekat jadi seperti temen
akrabnya, pertama-pertamanya kuliah itu tiap pulang
kuliah atau pas libur suka janjian mau kemana-mana ya
sama dia, mengeluh juga sama dia itulah awal kuliah dulu
Comment [CS147]: Bhs Daerh
Comment [CS148]: Gjl & Rea
saking dekatnya sama dia akhirnya membuatku kurang
tertarik berteman dengan teman-teman sekelasku yang lain
karena rasanya dengan teman sekelas itu malah beda kaya
kita yang Kalimantan di minoritaskan. Waktu awal dulu
tidak dekat karena sama-sama tidak kenal satu sama lain,
anak-anak sekelas itu betul-betul jaim-jaiman, diam-
diaman, gengsi-gengsian ya karena belum kenal saja
mungkin. Bahkan waktu awal masuk kuliah itu malah ingin
sekali segera pulang kembali ke Kalimantan saja karena
benar-benar tidak betah disini selalu kepikiran untuk
menyerah ingin pulang saja, tapi teman yang kakak kelas
dari IPS itulah yang memberi semangat, motivasi, dia yang
besarin hati aku, ngelarang aku yang sudah mau nekat
pulang kampung. Walau dosen selalu menganjurkan biar
yang Kalimantan seperti kami berlima lainnya untuk
membaur mendekatkan diri dengan yang Jawa tapi yang
Jawa juga sama kami masih aneh saja tidak welcome jadi
kalau sama teman sekelas memang kenal tapi cuma sebatas
kenal biasa, hafal sama wajahnya tahu namanya ya sudah
gitu saja tidak lebih tidak sampai dekat yang akrab bahkan
itu sampai sekarang aku sudah semester 7, ada yang baik
mau welcome sama kau tapi jarang malah bisa di hitung
jadi mau apa-apa aku terbiasa sendiri tidak gabung mereka
yang sekelas paling cuma yang sama-sama program
kerjasama pemda Kalimantan saja punya intensitas yang
lebih di banding dengan yang Jawa kalau nongkrong juga
banyak sama yang sama-sama Kalimantan kan tidak enak
ya kalau sama yang Kalimantan tidak gabung tidak dekat.
9. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan tempat tinggal (kos) anda?
Informan :Dulu memang belum terbiasa apa-apa sendiri. Kalau
dirumah kan selalu ramai ada bapak, ibu, kakak-kakakku
nah kalau disini sangat berubah drastis jadi sepi sekali.
Aku tidak tahan rasanya, jadi terhantui rasa rindu dengan
mereka. Akhirnya awal aku disini keseringan menyendiri.
Awalnya dengan penghuni kamar kosku lainnya aku kurang
kenal jelas ya karena jarang berinteraksi dan
berkomunikasi dengan mereka, jika kenal hanya sebatas
hafal sama wajahnya saja tanpa tau nama serta identitas
Comment [CS149]: Ekstrnl
yang lain sebagainya. Lama kelamaan yang lain yang
mendekatkan ke aku yang mengajak kenalan duluan malah
mereka terus kupikir wah mereka malah yang welcome
sama aku padahal mereka orang Jawa lho, di kos aku
sendiri yang Kalimantan tapi karena mereka baik aku
akhirnya juga mengakrabkan diri sama mereka. Aku diam
diri apa itu mengurung diri di kamar kos paling kalau pas
lagi bad mood karena rindu rumah dengan teramat sangat
dan tidak terbendung sehingga aku memfungsikan kamar
kosku untuk menyendiri menjauhkan diri dari teman
lainnya kan ya malu juga agar mereka tidak terkena imbas
moodku yang sedang berantakan, di dalam kamar itu aku
biasanya sambil telpon kakak atau orang tua sambil
menangis habis-habisan ya cuma itu cara untuk
melampiaskannya kadang juga dengan menonton film di
laptop sambil makan es krim kesukaanku. Kalau aku sudah
kembali normal dan rasa galauku sudah lewat ya baru bisa
keluar kamar dengan normal kembali membaur dengan
penghuni kos lainnya teman-teman kos juga sudah hapal
kok kalau aku diam dikamar berarti aku lagi galau, ingin
sendiri mereka ternyata bisa mengerti dan memberikan
waktu privasi untukku. Sama teman kos itu malah lebih
dekat dari pada sama teman kelas. Kalau nongkrong-
nongkrong, ada rejeki lebih shoping ya sama mereka yang
teman kos.
10. Peneliti :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian
belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan
baru (kota rantauan Yogyakarta)?
Informan :Itu jelas kaget, kan memang ya beda pendidikannya antara
Jawa sama Kalimantan. Pas di dalam kelas itu pernah ada
dosen yang berkata walau kalian dari program kerja sama
tapi belum tentu kalian murni hasil seleksi test bisa saja
kalian itu lolos karena kerabat orang pemda yang sengaja
di rekrut, kalian itu belum tentu mampu. Mendengar itu
seketika aku langsung ingin menangis, beliau seperti
memandang kami sebelah mata dari yang lainnya dengan
kata-kata yang menurutku tajam. Pulang dari kuliah itu
langsunglah aku lapor telpon ke kakakku sambil nangis
merajuk minta pulang kampung saja sudahlah balik saja
Comment [CS150]: Ekstrnl
tapi kakak masih memberikan semangat menyuruh agar
aku tahan banting dari cobaan. Padahal masalahnya
karena salah satu teman dari Kalimantan yang bermasalah
tapi kami semua yang terkena imbasnya. Tapi kita akui
memang yang asli Jogja itu lebih pintar, lebih berani
dalam presentasi mereka cakap berkata dari pada kami
yang mudah minder.
11. Peneliti :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda
rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan
Yogyakarta)?
Informan :Iya ada, kalau nada bicara orang asli Jogja itu lembut
berbeda dengan daerah asalku nada bicaranya tinggi atau
keras jadi belum terbiasa sekali kalau sedang
berkomunikasi dengan teman-teman baru yang asli Jogja
karena kurang terdengar jelas apa yang mereka sedang
bicarakan dan membuatku harus bertanya ulang.
Yogyakarta itu adat Jawanya kental, mungkin karena
sebagai daerah kesultanan keraton jadi adat dan tradisinya
benar-benar masih terjaga, terus orangnya kalem-kalem,
ramah-ramah, sopan-sopan, sederhana, berbeda dengan
daerahku yang cuek-cuek, acuh tak acuh. Sayangnya disini
banyak teman yang orang Jawa acap kali mengajak
mengobrol menggunakan bahasa Jawa padahal jelas aku
tidak bisa, tidak paham pula apalah artinya tapi mereka
tetap saja lupa kadang harus diingatkan kalau aku tidak
mengerti bahasa mereka ketika mereka menggunakan
bahasa Jawa kepadaku, dosen juga masih banyak yang
senang berbahasa Jawa kadang kami pun memberanikan
diri untuk mengingatkan kepada dosen kalau maaf kami
yang dari luar pulau Jawa tidak tahu artinya. Lalu Jogja
itu juga ramai akan banyaknya orang-orang perantau
khususnya mahasiswa rantauan seperti aku gini yang
akhirnya mendominasi budaya di Jogja. Semoga Jogja
tetap Jogja yang istimewa ya tidak luntur keasliannya
karena banyaknya para pendatang yang multikultural.
12. Peneliti :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya
orang-orang
Comment [CS151]: Ekstrnl
Comment [CS152]: Ekstrnl
pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama tinggal di
Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya perbedaan
yang mencolok dengan daerah asal anda?
Informan :Waktu masih beberapa bulan di Jogja aku masih merasa
aneh ya karena kan adatnya memang berbeda dengan
tempat asalku kalau tempatku kan mereka memang cuek-
cuek nah kalau di Jogja banyak teman yang senang
menyapa saat bertemu dijalan sambil tersenyum dan
menundukkan badan, awalnya masih ngerasa aneh dengan
kebiasaan di daerah baruku disini sempat di komen
katanya aku sombong padahal kan tidak begitu aku cuma
belum tahu dan belum terbiasa saja. Dikos juga gitu aku
disini sendirian tidak kenal dengan warga kampung sekitar
tempat tinggal kosku jadi kalau keluar masuk rumah kos ya
biasa saja ternyata aku harus menyapa warga sekitarku
dengan tersenyum atau basa-basi agar mereka memberikan
respon baik untukku. Jauh dari bapak, ibu, kakak, itu
rasanya membuatku kesepian dan sering bingung harus
bagaimana dengan segala hal yang masih asing dimataku,
kalau ada mereka kan aku ada yang nuntun aku harus
bagaimana-bagaimana, menyemangatin aku, nemenin aku,
berlindung, bermanja, merawat istilahnya kalau ada
mereka aku bisa lebih pede mau ngapa-ngapain gitu. Yang
terlintas di pikiranku waktu awal dulu cuma ingin segera
pulang kampung saja terus-terusan sama pasrah sama
keadaan bagaimana nanti jadinya akan seperti apa yang
penting jalani dulu saja apa yang ada dihadapanku
semampuku.
13. Peneliti :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah
anda sering membandingkan lingkungan baru di
Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat
anda sendiri?
Informan :Disini itu kan Jogja, jadi yang pertama jelas berbeda
adatnya, jelas berbeda seperti apa orang-orangnya, disini
terasa sekali kalau orang asli Jogja itu ramah-ramah sekali
ya, senang sekali untuk saling tegur sapa dengan ciri khas
Jogja seperti sopan, sederhana, nada suaranya rendah,
menundukkan kepala sambil tersenyum itu tadi setiap kali
dijalan bertemu dengan orang tua, mereka tahu
Comment [CS153]: Ekstrnl
Comment [CS154]: Ekstrnl
menempatkan diri bagaimana mereka berperilaku saat
berhadapan dengan orang yang lebih tua atau orang yang
dihormati/ disegani. Kalau di daerah asalku itu justru cuek,
acuh tak acuh biasa saja, sopan dengan orang tua tapi
yang biasa saja. Terus Jogja itu kota yang komplit ya
banyak sekali teman dengan suku bangsa dari ujung barat
hingga ujung timur mereka ada disini menuntut ilmu tapi
aman tidak ada konflik, itu yang aku suka tempatnya
terkendali tidak ada pemetak-petakan. Kota besar, kota
Budaya yang banyak tempat-tempat bersejarah disini
seperti Istana kepresidenan RI, monumen Jogja kembali
dan Benteng Vredeburg, Kraton sebagai istana kesultanan
yang masih melangsungkan kegiatan tradisi secara rutin
diselenggarakan setiap tahunnya bersama masyarakat
Jogja dan kesemua itu seru, menurutku keren terasa sekali
nilai-nilai history disini. Selain itu Jogja juga daerah yang
kaya akan wisata alam. Pokoknya Jogja asik buat jalan.
Yang pasti Jogja itu kota yang jauh lebih maju dan modern
kalau dibandingkan dengan tempat asalku, Jogja kota
besar dengan fasilitas kota yang sangat beragam sesuai
dengan kehidupan yang modern, didukung dengan fasilitas
transportasi kota yang memadai seperti transJogja, ada
taxi car 24 jam nonstop, taxi motor, ada bandara
Adisucipto, dua terminal bus dan stasiun kereta yang
letaknya mudah dijangkau dan sangat memudahkan
mobilitas warganya.
14. Peneliti :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat
segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru
anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan
rantauan anda?
Informan :Mengkondisikan kan butuh waktu, butuh proses ya jadi
untuk awal dulu benar-benar berat tidak bisa langsung
mengkondisikan. Aku perlu belajar memperhatikan,
mengamati gimana-gimananya lingkungan sini dulu.
Apalagi masalah nyaman aku masih sering merasa
kesepian, masih merasa asing sama lingkungan baruku,
masih besar sekali rasa menyerahnya untuk kembali saja
kekampung halaman tapi ya mungkin karena awal yang
namanya pertama kan jadi kaget soalnya aku belum pernah
Comment [CS155]: Ekstrnl
merantau super jauh seperti ini sebelumnya, jadi belum
memiliki pengalaman tentang penyesauaian lingkungan,
yang tadinya aku terbiasa dengan segala kegiatan, suasana
keadaan rumah, sekarang harus jauh dari kebiasaan-
kebiasaan itu. Kalau dirumah apa-apa ada yang nyiapkan
sekarang serba dilakukan sendiri dan itu membuat aku
kerasa banget sepinya. Makannya aku lebih senang curhat
sama teman yang kakak tingkat jurusan IPS tadi itu untuk
mengurangi rasa sedih rindu rumah.
15. Peneliti :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan
awal di tempat rantauan?
Informan :Dulu karena masih merasa tidak nyaman dengan semua
hal di Jogja, mungkin pengaruh pikiran yang mindsetnya
sudah jelek duluan jadi ya suka mengait-ngaitkan dengan
homesick jadi pernah karena terlalu rindu rumah ingin
sekali lekas pulang ke kampung halaman yang teramat
parah akhirnya aku terkena demam tinggi menggigil
sampai masuk rumah sakit RSCC, sakit kepalalah,
maaglah. Jogja cuacanya panas membuatku sering
mengalami radang tenggorokan karena suka coba-coba
jajan yang mungkin penjaja makanannya pakai pemanis
buatan berlebihan, tidak bersih atau apa kurang paham ya
aku, dulu aku memang benar-benar butuh proses untuk
bisa menyesuaikan diri di lingkungan yang baru.
16. Peneliti :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas
Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat
rantauan?
Informan :Iya amat sangat jadi kendala, karena memang tidak cocok
dengan masakan jogja, lebih tepatnya karena tidak terbiasa
jadi aku harus sengaja hunting cari tempat makan yang
rasa pedasnya menonjol ya kadang masih sering makan
masakan Padang yang ternyata malah lebih bisa diterima
sama lidah daripada masakan Jogja yang manis, kalau
bosan ya keburjo pesan mie instan, nasi telor, nasi sarden,
hunting penyetan yang sambalnya pedas asin kalau malas
kemana-mana ya beli roti atau cemilan untuk dimakan
dikamar. Sering sih nyobain wisata kuliner Jogja bareng
teman Kalimantan itu ketempat makan masakan nusantara
ketempat-tempat JunkFood, tempat-tempat makan yang
Comment [CS156]: Intrnl
Comment [CS157]: Gjl & Rea
rada mahal yang berakibat boros di hunting makanan tapi
tak mengapalah masalahnya sampai sekarang memang
tidak bisa terima rasa manis.
17. Peneliti :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat
perantauan?
Informan :Iya karena waktu awal dulu sering merasa tertekan sekali
karena rindu rumah setiap mau tidur jadi kepikiran orang-
orang di rumah, ke inget suasana rumahku, suasana
kamarku disana lalu akibatnya jadi susah tidur cepatlah,
menangislah ujung-ujungnya harus telpon rumah dulu
menangis, merajuk, curhat sebagai penghantar tidur yang
kadang sampai ketiduran.
18. Peneliti :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan
dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa
bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda
sering merasa home sick atau mudah rindu kampung
halaman?
Informan :Komunikasi amat sangat lancar sekali ya Puji Tuhan
sampai sekarang masih teramat sering telponan. Kalau
sudah telfonan aku selalu merengek ingin pulang, rindu
masakannya, rindu segalanya. Iya, sangat homesick.
Mungkin karena aku anak terakhir yang sangat manja, aku
sering sekali rindu rumah. Kalau rumahku dekat mungkin
aku akan pulang setiap akhir pekan. Tapi berhubung jarak
yang teramat jauh dan ongkos pulang yang tidak sedikit
membuatku tidak bisa merajuk egois kepada mereka.
Liburan semester genap cuma setahun sekali saja yang
pasti buat aku untuk pulang kampung karena liburnya kan
yang paling lumayan lama. Aku pulang lagi masih
menunggu libur semester genap tahun depan. Rasa rinduku
akan kubendung hingga saat itu tiba.
19. Peneliti :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang
membuat anda stress pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta?
Informan :Pengalaman sosial budaya di Yogyakarta sendiri sih biasa
saja ya cuma belum bisa mengatur perasaan melancholic
homesick saja. Tidak nyaman karena jarak. Dulu terbiasa
dekat setiap hari bertemu kebetulan aku juga tipe anak
Comment [CS158]: Ekstrnl
Comment [CS159]: Gjl & Rea
Comment [CS160]: Gjl & Rea
rumahan yang jarang ngeluyur jadi peka sekali sama
suasana rumah tapi sekarang amat terasa sekali kalau jauh
dari orang tua itu sangat menyiksa dampaknya hingga
membuat moodku berantakan, apa-apa jadi malas, tidak
ada yang menyemangati terus aku juga jadi gampang
menangis. Saat rasa homesick itu mulai datang dan tak
terbendung, aku jadi tidak nafsu makan sampai kadang
jatuh sakit karena beratnya rasa rinduku dengan rumah
kampung halaman terlebih keluargaku, mudah emosi, bad
mood menguasai pikiranku.
20. Peneliti :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda
yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta?
Informan :Dari awal kedatanganku di Jogja sama sekali ya tidak ada
masalah dengan teman-teman baru disini yang asli Jogja
yang penting akunya juga sopan tidak membuat masalah,
jaga sikap, jaga perkataan dan menghargai yang lain harus
selalu ingatlah kalau di sini itu aku cuma tamu bukan tanah
kelahirannya jadi jagan macam-macam di tempat orang.
Menurutku baik-baik saja aku anggap welcome-welcome
saja kok, sopan, ramah, bersahabat, sederhana, suaranya
lembut, paling ya cuma pernah susah membedakan ya
masalahnya Jogja kan etnis Jawa terus Jawa kan luas
walau sama-sama etnis Jawa tapi ternyata ciri karakternya
beda nah kalau Jogja cenderung lebih tenang pemalu
sederhana penampilannya, sopan bicaranya dibanding
etnis Jawa lainnya tapi itu penilaianku sih. Sekarang aku
bisa bedakan kalau dulu belum bisa ya jadi kadang suka
menyamaratakan mereka asal dia berbahasa Jawa terus
aku anggap dia orang Jogja gitu ternyata salah. Terus
kebetulan dapat pacar orang asli Jogja juga dia suka
mengajarkan aku tatacara orang Jawa secara umum
seperti berbahasa Jawa dan sopan santun Jawa juga.
21. Peneliti :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan
mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi
Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya?
Informan :Dulu itu kendalanya karena beda budaya jadi beda juga
bahasa daerahnya, sering tiba-tiba ada yang mengajak
bicara pakai bahasa Jawa entah sama ibu-ibu penjual
makanan, atau bapak-bapak penjaja jajanan, tukang
Comment [CS161]: Gjl & Rea
parkir, tukang foto copy, teman, karyawan fakultas dan
dosen yang orang Jawa juga terus aku bilang maaf saya
bukan orang Jawa tidak paham bahasa Jawa gitu saja sih.
Ya untuk awal dulu memang mengganggu tapi lama-lama
paham kok wajarlah dibuat santai saja.
22. Peneliti :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat
pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk
bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada
saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta)
?
Informan :Ya ada, waktu awal dulu sampai di buatkan kamus kecil-
kecilan bahasa umum saja yang biasa dipakai. Yang
membuatkanku kamus itu teman kakak kelas panitia ospek
jurusan IPS yang tadi aku ceritakan sama dia aku diajari
bahasa Jawa sedikit-sedikit yang mudah-mudah saja sih
jadi kalau ada yang mengajak aku bicara bahasa Jawa
akunya bisa tahu artinya dikit-dikitlah tidak cuma bengong
seperti orang bodoh. Kalau sama teman kelas malah ada
jarak.
23. Peneliti :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-
teman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala?
Informan :Teman baru yang dikenal disini gitu maksudnya? Iya kan
diawal wawancara tadi aku sudah bilang langsung dapat
teman yang cocok terus akrab sampai akhirnya dia lulus
dan jadi lost contact karena dia kan sekarang sudah nikah
banyak urusannya jadi hubungan dengan teman baru di
Jogja yang berjalan dengan baik tinggal dengan teman-
teman kos yang orang Jawa itu tadi. Sama teman kos itu
akrab kok mereka baik sama aku, nongkrong kemana-mana
ya sama mereka, sampai les bahasa Jawa juga ya sama
mereka aku awalnya ada niat dari sendiri tanya sama
mereka duluan karena gemas kan keseringan diajak bicara
bahasa Jawa jadi kupikir aku harus bisa lah biar tidak ada
miss lagi pula penasaran kan pingin bisa juga biar paham
untungnya mereka baik ya mau gitu ajari padahal akunya
juga kan orangnya susah suka lupa-lupa terus tanya lagi
kalau lupa ya tanya lagi sampai lama-lama hapal dikit
diluar kepala Nah kalau dengan teman baru seperti teman
sekelas itu entah yang orang asli Jogja atau sama yang
Comment [CS162]: Ekstrnl
statusnya perantauan juga ya lain cerita paling ya teman
biasa tidak sampai akrab dekat gitu cuma kami tetep bisa
sapa-sapaan tidak yang musuhan. Kalau kendala waktu
awal dulu memang ada masalahnya yang namanya
memulai sesuatu dari awal apalagi asing kan memang
butuh proses, butuh pengenalan, butuh pendekatan, jadi
dulu masih yang jaim-jaiman, tapi lama-lama ya ngemix
juga kok bisa saling baur tergantung gimana kita, kalau
kitanya baik sama orang ya bakal dapat balasan baik juga
kok, gitu saja.
24. Peneliti :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan
ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda?
Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di
tempat rantauan tersebut?
Informan :Ketidaknyamanan itu karena semua-semuanya sangat
berbedakan sama yang biasanya, nah menghadapi yang
tidak biasanya itu pasti ada rasa kaget, ada perasaan tidak
bisa langsung terima kenyataan yang sedang dihadapi,
setiap hari mendengar bahasa yang beda, melihat orang-
orang yang asing, tempatnya asing, rasa masakan yang
asing, menghadapi suasana yang asing nah disitu ketidak
nyamanannya. Paling parah kita jauh sama orang tua,
keluarga, teman-teman dekat yang biasa isi keseharianku
di sana kan, suka berkhayal aku bakal lebih bahagia kalau
orang-orang terdekatku semuanya ada disini hahaha
ngimpi aku. Sekarang sudah reda ya, sudah bisa atasi
rindu yang selalu meluap-luap seperti jaman awal
merantau dulu, karena proses waktu kebutuhan akhirnya
sekarang sudah banyak temannya, sudah tidak tegang
kaku-kakuan seperti dulu. Sudah mulai pintar bahasa Jawa
berkat teman-teman kampus yang orang Jogja mereka mau
mengajarkan aku sampai bisa ya walau tidak semua tapi
biar didengar akrab ya sama mereka kan bakal makin seru
itu.
25. Peneliti :Bagaimana sikap dan pandangan anda tentang berbagai
masalah kemampuan beradaptasi dalam berusaha
mengurangi pengaruh culture shock pada diri anda selama
ini?
Comment [CS163]: Hsl Adpts
Informan :Sikap dan pandangan duh gimana ya, susah sih
masalahnya aku anak terakhir yang selalu nempel diketiak
orang tua dan kakak-kakakku jadi jauh dikit langsung down
susah langsung move on yang mandiri, tegar, dewasa
hadapi perbedaan lingkungan atau jarak dengan kampung
halaman yang jauh dimata gitu-gitu. Paling ya serahin
semua sama Tuhan, jangan lupa mengadu dengan Tuhan
minta di tegarkan, minta waktu yang akan memberimu
proses, jangan angkuh dengan orang baru disekitar kita,
tapi kita juga harus bisa menilai, pintar-pintar membaca
karakter orang lain untu berjaga-jaga tidak semua orang
asing yang kita temui itu baik walau kita sudah berusaha
baik dengan dia, kalau rindu orang tuamu segeralah
menelpon mereka menangispun tak masalah itu dapat
melegakan hati, lama kelamaan ketidak nyamanan kita
pasti kan berkurang. Ada waktu dimana kita untuk mellow
sok melancholic tapi tidak baik jika terlalu terhayut
berlebihan, harus ada batasan dan selalu berpikir positif
saja kita harus maju kedepan dan Puji Tuhan sekarang aku
sudah stabil fokus untuk segeralah menyelesaikan studyku
Comment [CS164]: Hsl Adpts
HASIL WAWANCARA
CULTURE SHOCK (GEGAR BUDAYA) PADA MAHASISWA
PERANTAUAN DI YOGYAKARTA
Informan 8
Tanggal wawancara : 19 November 2015
Waktu : 11.00 WIB
Lokasi wawancara : Halaman Parkir Fakultas Ilmu Sosial UNY
A. Identitas Informan
Nama : ERN
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Agama : Kristen
Asal daerah : Malinau, Kalimantan Utara
Suku/ etnis : Dayak
Jenis bahasa daerah : Dayak Lundayeh
Universitas : Universitas Negeri Yogyakarta
Mahasiswa semester : 7
B. Hasil wawancara dengan mahasiswa perantauan asal luar pulau Jawa
yang sedang berkuliah semester lanjut di Perguruan Tinggi Yogyakarta.
1. Peneliti :Berasal dari daerah mana, suku atau etnik, bahasa daerah
dan sejak kapan anda merantau ke Yogyakarta?
Informan : Asal daerah Malinau, Kalimantan Utara. Suku/ etnisnya
Dayak. Jenis bahasa daerahnya Dayak Lundayeh. Akhir 31
Agustus 2012 sepertinya ya aku agak lupa tepatnya.
2. Peneliti :Mengapa anda memilih untuk merantau ke Yogyakarta?
Apa alasan dan motivasi anda memilih menjadi seorang
mahasiswa perantauan? Apakah anda sebelumnya pernah
memiliki pengalaman merantau kedaerah/ propinsi lain?
Informan :Sebenarnya tidak ada rencana untuk menjadi seorang
perantau ya jadi gini waktu SMA aku juga sudah pikirkan
untuk tidak berkuliah karena mengingat dana, kuliah itu
butuh dana yang tidak sedikit jadi dulu setelah lulus SMA
aku sempat berhenti istirahat tapi untung aku dengar berita
kalau pemerintah daerahku Kalimantan Utara gelar
Comment [CS165]: Asl
Comment [CS166]: Sk Etnk
Comment [CS167]: Bhs Daerh
kerjasama dengan UNY itu harus melalui seleksi test jadi
ayah sangat senang dan antusias menyuruh aku ikut test
itu. Itupun Puji Tuhan aku sangat beruntung aku bisa lulus
test seleksi dari banyak sekali peserta yang ikut padahal
aku tidak ada persiapan sama sekali untuk menghadapi test
itu. Kenapa Jogja juga diluar rencana ya karena itu tadi
aku ikut program kerjasama daerah kebetulan tahun itu
kerjasamanya dengan UNY yaitu Jogja jadi baiklah yang
penting aku bisa kuliah tanpa memberatkan orang tua
masalah dana kan? Sekalian mencoba kota Jogja yang
mempunyai slogan Istimewa, waktu itu dengar-dengar kata
orang kalau disini tempatnya kondusif pas cocok sekali
untuk pelajar konsen belajar. Lagipula Jogja juga sudah
sejak lama dikenal oleh masyarakat luas sebagai Kota
pelajar berarti tidak diragukan lagi ya kualitas
pendidikannya disini. Butuh persiapan mental untuk kuliah
disini. Tidak ada, semua ini tanpa rencana ya. Aku tidak
ada pikiran mau kuliah jauh-jauh dari rumah seperti ini
apalagi sampai keluar dari pulau Kalimantan. Benar-benar
kejutan besar, tapi kau harus bersyukur pada Tuhan karena
di beri kesempatan besar lolos test seleksi diterima dalam
program kerjasama daerah seperti ini. Yang memberi
motivasi dan membesarkan hati itu ayah ya ayah selalu
bilang selain merantau demi pendidikan berkualitas aku
bisa sembari belajar hidup mandiri, bisa lebih
berkembang, bertambah pula wawasanku tentang dunia
luar. Ayah juga bilang agar aku menguatkan mental karena
kualitas pendidikan di pulau Jawa dinilai lebih baik
dibanding kualitas pendidikan di luar pulau Jawa, jadi aku
akan terpacu agar lebih giat lagi dalam berkuliah
mengejar prestasi agar sama setidaknya sejajarlah dengan
teman yang dari Jawa. Jadi kupikir positif saja ya selain
demi kuliah cari pengalaman di dunia luar yang jauh dari
keluarga gini aku juga dapat manfaat baik lain yang
berguna untuk diriku sebagai bekal. Belum pernah ada
pengalaman merantau ini benar-benar first, amat sangat
perdana bagi aku.
3. Peneliti : Siapakah yang mendorong anda untuk melakukan
Comment [CS168]: Alsn
Comment [CS169]: Intrnl
merantau? Lalu apakah anda sudah memperkirakan
bagaimana tempat yang akan anda rantau tersebut?
Informan :Keinginan sendiri ya coba-coba keberuntungan ikut daftar
test seleksi program daerah Kalimantan yang bekerja sama
dengan UNY dengan harapan besar dan amat sangat
didukung orang tua, mereka sangat berharap agar aku bisa
menjadi seorang yang sukses, tidak lupa tetap beribadah
disini. Apa ya waktu itu perasaanku campur aduk antara
senang lulus test seleksi dengan astaga aku harus merantau
jauh dari kampung halaman paling aku hanya
memperkirakan kalau Jogja itu penuh dengan etnis Jawa,
budaya, bahasa, adat, semua-semuanya serba Jawa gitu.
4. Peneliti :Sebelum anda merantau apakah anda sudah pernah
datang mengunjungi Yogyakarta atau memiliki bayangan
bagaimana lingkungan baru anda? Lalu bagaimanakah
perasaan anda saat sudah berada di tempat perantauan?
Merasa kagetkah?
Informan :Belum, aku memang sama sekali belum pernah ke
Yogyakarta waktu itu tahunya dari cerita saudara saja
sama lihat di Tv kalau Yogyakarta itu kota besar yang
terkenal dengan banyak julukan ada julukan kota budaya,
kota wisata, kota pelajar, kota ramai akan pendatang
dengan tujuan mereka masing-masing yang membawa
mereka kesini dan benar pas sudah disini berbaur dengan
orang-orangnya di Yogyakarta iya disini ternyata banyak
sekali mahasiswa perantau dari berbagai daerah kagetnya
itu waktu lihat perbedaan karakteristik masing-masing
daerah dari mereka. Perasaanku benar-benar campur aduk
antara senang karena beruntung aku bisa lulus test seleksi
dengan perasaan mau tidak mau ya harus terima kenyataan
aku harus merantau jauh dari kampung halaman begini,
repot.
5. Peneliti :Jalur penerimaan mahasiswa apa yang anda tempuh
untuk akhirnya anda bisa masuk dan di terima di Perguruan
Tinggi Jogja?
Informan :Jalur kerja sama daerah Kalimantan Utara Kabupaten
Malinau dengan UNY angkatan 2012, disini juga ada
ikatan kerjasama mahasiswa Malinau. Teman-teman beri
info tentang program kerja sama daerah Kabupaten
Malinau, kakak juga sangat mendorong agar aku ikuti.
Tapi dari diri sendiri aku tidak mau sebenarnya, jadi ikut
tes ujian program kerja sama itu terpaksa, tidak ada
persiapan belajar yang sungguh-sungguh, karena memang
dari awal tidak ada niat untuk merantau terlalu jauh
sampai harus ke Jawa yang jelas jauh dari Kalimantan
belum lagi harus jauh dari kakak dari orang tua teman
juga sama sekali tidak ada keluarga tapi Puji Tuhan kasih
rejeki aku malah lolos.
6. Peneliti :Dimana dan dengan siapa anda tinggal di tempat
perantauan kota Yogyakarta ini? Berikan alasannya?
Informan :Waktu awal kedatangan itu kos tapi karena ada
keterlambatan turun dana akhirnya aku pindah saja sudah
ke asrama biar aman. Di Jogja aku sendirian tidak ada
sanak saudara disini tidak ada yang bisa kumintai tolong,
jadi apa boleh buat benar-benar hidup merantau sebatang
kara di Jogja, tak mengapalah karena suatu saat nanti
semua itu akan teratasi.
7. Peneliti :Bahasa apa yang biasa di pakai dalam keluarga? Lalu
bahasa apa yang anda gunakan untuk berkomunikasi
dengan orang-orang baru di Yogyakarta?
Informan :Kalau dirumah bahasa yang di pakai bahasa dayak
lundayeh, kalau dengan teman di kampung yang dayaknya
sama sepertiku ya dayak lundayeh juga masalahnya dayak
itu ada banyak ya beda-beda. Kalau bahasa disini aku
pakai bahasa umum yang jelas-jelas semua orang
Indonesia tahu ya bahasa persatuan bahasa Indonesia,
tidak mungkin kan jika aku tetap berbahasa dayak disini
karena tidak akan ada seorangpun yang tahu arti
perkataanku. Iya jadi disini 24jam penuh harus berbahasa
Indonesia terus itupun masih saja di ejek yang lain yang
asli tanah Jawa katanya aneh dan terbalik entah apa yang
terbalik. Jadi saat disini bahasa dayak lundayeh aku
gunakan saat-saat tertentu saja ya kalau aku sedang
berkomunikasi dengan orang tua, saudara atau teman saja
barulah bahasa daerahku yang kugunakan sembari
mengingat masa-masa masih di sana bahasa sehari-hari
yang selalu dipakai dikampung dulu kan pastinya rindu
berat.
Comment [CS170]: Intrnl
Comment [CS171]: Bhs Daerh
Comment [CS172]: Ekstrnl
8. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan kampus anda, pada saat anda memasuki
semester awal perkuliahan?
Informan :Saat pertama perkuliahanku aku tidak segera mempunyai
banyak teman mungkin karena masalah latarbelakang yang
berbeda jadi butuh waktu untuk terbiasa menerima
perbedaan yang ada di sekitar, lagipula aku tipe orang
yang tidak banyak bicara, bukan cuek kalau ada yang
menyapa, mengajak bicara atau berkenalan baik-baik aku
pasti akan merespon dengan baik pula, dulu aku memang
menjaga jarak ya karena kurang percaya diri. Jadi di
kampus dari semester 1 aku lebih nyaman berinteraksi
sama yang sedaerah saja ya komunikasinya lebih gampang,
kalau sama yang Jawa malas karena sering tidak
nyambung hah apa hah apa terus kan bosan kalau terus-
terusan tidak nyambung seperti itu.
9. Peneliti :Bagaimana pergaulan anda dengan teman-teman baru di
lingkungan tempat tinggal (kos) anda?
Informan :Dari jaman masih pertama di Jogja, pertama kalinya aku
merasakan yang namanya hidup kos itu hubunganku
dengan tetangga kamar kos itu malah bisa dibilang lebih
intensif, lebih dekat ya mungkin karena kebetulan dapat
para tetangga kamar yang baik jadi interaksi diantara
penghuni kos lebih terbuka tidak hanya sekedar basa-basi,
sapa-sapa saja, mereka yang duluan mengajakku untuk
ngobrol, berkenalan, bercanda-canda padahal ada yang
asli Jawa juga tapi mereka paham bahasa Indonesiaku
tidak menganggapku aneh seperti teman di kelas, mereka
baik-baik ya sama aku jadi aku juga kasih respon baik
pula. Meski sekarang aku tinggal di asrama tapi aku sering
singgah ke kos ya menemui mereka masih sering
nongkrong bareng juga, seru-seru saja.
10. Peneliti :Apakah anda menemukan kendala mengenai penyesuaian
belajar yang anda temukan selama berada di lingkungan
baru (kota rantauan Yogyakarta)?
Informan :Itu jelas sangat-sangat kaget, kan memang ya beda
pendidikannya antara Jawa sama Kalimantan. Contohnya
begini ya kita kan sering ada makalah lalu presentasi di
depan kelas begitu kalau lihat teman lain yang dari Jawa
Comment [CS173]: Ekstrnl
mereka itu mudah sekali ya menjawab pertanyaan yang
diajukan dan lancar ya menjelaskan hasil makalahnya nah
kita ini yang dari Kalimantan kalau di depan kelas untuk
presentasi masih banyak tersendat apalah itu tidak lancar
seperti teman yang lain yang dari tanah Jawa. Jadi kita
akui memang yang tanah Jawa atau Jogja itu lebih pintar,
lebih berani dalam presentasi mereka cakap berkata dari
pada kami ini karena itu kami mudah minder. Jadi jurus
utamanya ya setiap akan menerima materi aku selalu
berusaha membaca ulang yang akan di jelaskan oleh dosen
berusaha memahami lebih dulu tapi kalau masalah lisan
sampai sekarang aku masih belum bisa percaya diri kalau
sudah di depan kelas itu minder lupa yang mau di
sampaikan tadi apa. Sampai ada teman yang mengucilkan
aku karena aku tidak pandai bicara saat presentasi, adalah
teman dari Jawa tapi bukan dari Jogja kalau teman yang
Jogja malah ramah.
11. Peneliti :Apakah terdapat kesenjangan kebudayaan yang anda
rasakan selama berada di lingkungan baru (kota rantauan
Yogyakarta)?
Informan :Kesenjangannya terjadi pada bahasa ya disini yang asli
tanah Jawa apa yang etnis Jawa maksudku mereka gencar
sekali berbahasa Jawa bahkan denganku yang jela-jelas
bukan orang Jawa mereka mengajakku berkomunikasi
menggunakan bahasa Jawa jadi aku hanya bisa mematung
dan pasang wajah bodoh karena tidak tahu maksud
pembicaraan mereka. Sekali aku bicara mereka malah
tertawa karena bahasaku yang kata mereka aneh. Jadi
ngobrol di kelas itu teman-teman yang etnis Jawa 99%
berbahasa Jawa yang selalu mereka gunakan, paling kalau
pas presentasi saja barulah mereka berbahasa Indonesia.
Bahkan ada sedikit konflik itu malah sama dosen sekitar
semester dua kalau tidak salah ya setiap beliau
menjelaskan materi sering sekali berbahasa Jawa akhirnya
aku coba beranikan diri untuk menegur karena dalam kelas
itu isinya tidak hanya etnis Jawa saja tapi ada kami
beberapa orang mahasiswa yang dari etnis berbeda aku
yang dari Kalimantan, atau yang lainlah luar pulau Jawa
Comment [CS174]: Ekstrnl
pun kan ya ada di dalam kelas itu beruntung beliau mau
mendengar kedepannya ada perubahan.
12. Peneliti :Bagaimana cara anda memahami adat istiadat budaya
orang-orang pribumi Yogyakarta saat bulan-bulan pertama
tinggal di Yogyakarta? Apakah anda merasakan adanya
perbedaan yang mencolok dengan daerah asal anda?
Informan :Dulu waktu pertama-pertama disini aku banyak
mengamati bagaimana keadaan lingkungan, bagaimana
memahami ekspresi wajah maupun bahasa teman di
Yogyakarta karena antara ekspresi wajah dengan
perkataan bisa saja salah dan menimbulkan salah
pengertian. Dulu juga agak susah ya karena harus
menyesuaikan nada bicara kan kalau di Kalimantan kami
bisa dibilang nadanya lebih kasar kalau dibandingkan
dengan Jogja yang bicaranya terlalu lembut sampai-
sampai kalau sedang mengobrol dengan teman yang asli
Jogja sering sekali aku seperti tuli saking tidak terbiasanya
mendengar lawan bicara yang bicaranya pelan seperti
mereka. Menyesuaikannya perlahan karena yang namanya
kebiasaan itu tidak bisa diubah dalam waktu sekejap. Yang
pasti karena disini aku adalah tamu jadi aku yang harus
mengikuti aturan Yogyakarta., menyesuaikan diri dalam
kondisi yang berbeda dengan segala kebiasaan dari
daerah asal.
13. Peneliti :Saat berada dibulan-bulan pertama perantauan apakah
anda sering membandingkan lingkungan baru di
Yogyakarta tempat rantauan dengan daerah asal dari tempat
anda sendiri?
Informan :Yang beda kebudayaan yaa. Kalau disini karena terasa
sekali majemuknya jadi terasa sekali perbedaan
karakteristiknya. Kalau di Kalimantan kan budayanya
mayoritas sama semua jadi interaksinya setiap hari hanya
dengan orang-orang yang sama, para pendatang dari Jawa
di Kalimantan saja mereka biasanya mengumpul tersendiri
disuatu kampung, kalau disini semua berbaur jadi satu
dengan tujuan yang sama yaitu sama-sama kuliah. Kalau
budaya asli tuan rumah memang terasa sekali, disini kan
yaa memang benar-benar Jawa jadi yang pribumi fasih
menggunakan bahasa Jawa dengan variasi yang berbeda-
Comment [CS175]: Gjl & Rea
Comment [CS176]: Gjl & Rea
beda pula, seperti bahasa Jawa yang biasa dipakai sama
teman-teman saat bicara ke temen itu beda lagi sama yang
dipakai teman-teman kalau sedang bicara dengan orang-
orang yang lebih tua ternyata ada lagi tingkatannya juga
bahasa Jawa itu tergantung dengan siapa lawan bicaranya,
terus orang Jawa pribumi Yogyakarta itu orangnya juga
lebih kalem-kalem, sopan, nada bicaranya lembut dari
pada Jawa yang lainnya dan orang-orangnya lebih
bersahabat.Jogja merupakan tempat dengan kebudayaan
Jawa yang sangat kental namun juga masih didominasi
dengan kebudayaan mahasiswa perantau dari berbagai
daerah yang datang merantau di Jogja dengan tujuan
berkuliah disini sehingga kemajemukan karakter diantara
para mahasiswa sangat terasa. Tidak hanya aku
mahasiswa perantau yang ada dikelasku, bahkan dari
sabang sampai merauke semua hampir ada di
universitasku. Hal inilah yang membuatku ragu bagaimana
untuk memulai perkenalan dengan mereka, untuk awal aku
hanya bisa bersikap tenang, berusaha untuk sopan,
menekan cara dan nada bicaraku untuk memberikan
penilaian baik terhadap diri diantara orang-orang yang
ada disekitarku sembari memperhatikan dan mempelajari
bagaimana karakter teman-teman baru satu kelas
perkuliahanku. Yogyakarta itu kota besar dengan fasilitas
sarana-prasarana kota yang bervariasi macamnya dan
memadai terus tempatnya ramai. Toko buku, perpustakan,
tempat ibadah semuanya komplit tersedia kalau mau
kemana-mana letak-letaknya tidak jauh-jauh gampang
dijangkau disediakan fasilitas transportasi kota yang
sangat memadai ada bus kota transJogja yang jelas
memudahkan orang-orang yang tidak memiliki kendaraan
pribadi, atau ada sewa motor, ada taxi 24 jam nonstop juga
ada taxi motor. Pokoknya di Yogyakarta memang kota yang
lebih maju, ide-idenya kreatif. Jaringan internet/warnet
dimana-mana. Banyak tempat-tempat bersejarah juga
disini jadi bisa lihat langsung seperti Istana kepresidenan
RI yang sempat berada Yogyakarta, monumen Jogja
kembali dan monumen serangan 11 maret Benteng
Vredeburg juga. Lalu keraton Yogyakarta juga sering
Comment [CS177]: Hsl Adpts
melangsungkan kegiatan tradisi yang rutin
diselenggarakan setiap tahunnya yang bisa disaksikan oleh
orang-orang umum seperti misalnya karnafal,
14. Peneliti :Sesampainya di tempat rantauan apakah anda dapat
segera mengkondisikan diri anda dengan lingkungan baru
anda? Apakah anda merasa nyaman dengan lingkungan
rantauan anda?
Informan :Paling yaa intonasi atau nada bicara yaa. Kalau aku yang
terbiasa di Kalimantan nadanya tinggi setelah disini
karena banyak teguran juga dari teman-teman jadi harus
sedikit menurunkan nada bicara agar terdengar lebih
lembut tidak terkesan kasar dan menimbulkan salah paham
jika bicara dengan teman-teman disini. Penyesuaian diri
itu butuh proses namun juga harus dijalani, yang pasti aku
sadar sebagai tamu maka aku harus menyesuaikan diri dan
menghargai aturan Jogja sebagai tuan rumah, sebisa
mungkin di buat santai saja dibuat nyaman biar betah.
Karena kan disini memang tujuannya untuk kuliah jadi ya
bersusah-susah dahulu selama kuliah yang penting tujuan
utama tercapai dengan baik, lulus tepat waktu sesuai
harapan ayah.
15. Peneliti :Bagaimana kondisi kesehatan anda pada bulan-bulan
awal di tempat rantauan?
Informan :Yogyakarta itu panas kering ya anginnya jadi awal dulu
sering sekali ganti kulit setiap pergantian musim, kulit jadi
kasar bersisik disini jadinya harus rajin-rajin pakai
pelembab kulit agar tidak perih karena kasar kulitnya. Tapi
lama kelamaan juga sudah mulai berkurang dan nyaris
berhenti, tidak sering ganti kulit seekstrim dulu. Kalau
yang lain ya masalah masakan sempat diare gara-gara
tidak cocok sama rasa masakan disini.
16. Peneliti :Mengenai pola makan, menu dan rasa masakan khas
Yogyakarta apakah anda menemukan kendala di tempat
rantauan?
Informan :Parah dulu malah sempat diare ya gara-gara rasa
masakan yang berbeda lidah dan perut ternyata tidak bisa
menerima. Menu masakan benar-benar butuh proses untuk
menyesuaikan karena disini khasnya manis buruknya lagi
disini warung-warung makan rasanya sama saja semuanya
Comment [CS178]: Ekstrnl
Comment [CS179]: Ekstrnl
Comment [CS180]: Gjl & Rea
dominan manis sepertinya mereka memasak tanpa cabai
namun membubuhkan gula ke setiap masakannya yaa meski
tidak semua warung seperti itu, untuk tempat-tempat makan
tertentu dengan standar harga diatas warung-warung
makan biasa menyediakan menu masakan dan rasa yang
tidak biasa, hanya saja niatku merantau ke Jogja bukan
untuk hidup boros alhasil untuk awal di Jogja dulu sempat
repot pilih-pilih makanan sampai akhirnya kalau makan
larinya ke warung makan Padang karena hampir sama
rasa khasnya seperti Kalimantan pedas asin, sampai
sempat ya beli mie satu kardus dengan rice cooker jadi
makan mie dengan nasi saja di dominasi dengan makan
roti kan kalau roti rasanya dimana-mana sama saja lalu
minumnya susu, kadang suka menahan makan karena
malas terus lama-lama menguruslah badanku disebabkan
pola makan tidak sehat dan sering terlambat makan. Lalu
sekarang puji Tuhan sudah bisa walaupun
menyesuaikannya sendiri butuh waktu lama.
17. Peneliti :Mengenai pola tidur anda pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta, apakah anda menemukan kendala di tempat
perantauan?
Informan :Karena kuliah itu tugasnya kadang sangat keterlaluan
sekali banyaknya dan tingkat kesusahannya melebihi waktu
masih di SMA sedangkan aku juga harus tetap belajar
mempelajari materinya yang susah, jadi yaa mau tidak mau
harus pintar-pintar membagi waktu antara belajar dengan
menyicil mengerjakan tugas dan mengharuskan untuk
mengulur jam tidur dan alhasil terbiasa tidur larut sampai
sekarang. Padahal waktu di SMA dulu aku tidak sampai
tidur larut-larut begini ya mungkin karena materinya yang
lebih mendalam lalu ilmunya lebih tinggi lagi membuatku
harus aktif tidak bisa bermalas-malasan mesti banyak
mengulang membaca materi juga kan agar tidak terlalu
tertinggal sama yang dari tanah Jawa lainnya.
18. Peneliti :Bagaimana komunikasi anda di tempat perantauan
dengan keluarga anda di kampung halaman? Tiap berapa
bulan anda pulang kekampung halaman? Apakah anda
sering merasa home sick atau mudah rindu kampung
halaman?
Comment [CS181]: Ekstrnl
Comment [CS182]: Gjl & Rea
Informan :Sama orang tua dari awal merantau sampai sekarang
tetap lancar komunikasinya saling tanya dan memberi
kabar, mereka pun tidak pernah absen selalu menyanyakan
tentang bagaimana jalannya kuliahku disini, mereka selalu
menunggu kabar baik tentang kemajuan IPK dan Puji
Tuhan mereka selalu puas atas prestasi yang sudah aku
usahakan karena mereka tahu batas kemampuanku, mereka
hanya berharap aku bisa membanggakan mereka dengan
segera wisuda sesuai target. Dari awal dulu hanya
menunggu setiap libur semester genap yang paling
lumayan lama liburnya biar qualitytime sama keluarga
juga semakin terasa, tidak pemborosan biaya perjalanan
pergi pulang kampung halaman yang tidak sedikit,
perjalanannya juga jauh malas dijalannya, aku pulangnya
paling pas itu saja sih sampai sekarang. Kalau homesick
itu amat pasti, bukannya manja atau bagaimana tapi jarak
Jogja-Kalimantan itu jauh dan itu nyata, terasa sekali saat
tiba di Jogja kalau disini tempat asing, bukan tanah
kelahiranku semuanya berbeda, disini aku sendiri tak ada
siapapun yang kukenal, tak ada keluarga disisi, tak ada
sahabat satupun untuk berbagi, wah rasanya sebatang kara
itu amazing kesepiannya. Belum lagi lihat kamar kos yang
tidak senyaman rumah, bahasa disini berbeda, karena di
tanah Jawa jadi aku harus berbahasa Indonesia terus
setiap hari 24 jam full jika berkomunikasi dengan orang
lain yang jelas berbeda budaya gini tapi lama-lama juga
capek ya rindu bahasa daerah yang lebih mudah di
ucapkan bukan bahasa Indonesia tidak mudah di ucapkan
tapi berbahasa Indonesia saja mereka masih bilang tidak
mereka mengerti kan kesal juga rasanya, rasa makanannya
juga aku tidak suka, disini aku harus memulai semua dari
awal pokoknya semuanya benar-benar paket komplit
special pengalaman merantau yang wow keren, dulu waktu
awal sering sekali terbesit keinginan untuk sudahlah
pulang saja itu sampai satu bulan lebih lho jadi badan aku
disini tapi pikiranku disana terus tapi aku ingat ambisi
ayahku karena ayahku yang sangat bersemangat aku ikut
dan lulus test program kerjasama daerah ini.
19. Peneliti :Adakah pengalaman sosial budaya di Yogyakarta yang
Comment [CS183]: Gjl & Rea
membuat anda stress pada bulan-bulan awal di
Yogyakarta?
Informan :Yang paling buat aku stress itu rasa masakannya, sampai
jadi tertekan sendiri. Konsumsi mie yang tidak baik untuk
pencernaan, roti cemilan yang tidak mengenyangkan, nasi
Padang yang sangat berminyak, berlemak dan tinggi
kolesterol, semua itu selalu kupikir aku takut gemuk yang
tidak sehat karena pola makan akhirnya selama 2 semester
membuatku menderita kehilangan selera makan, malas,
bosan. Sehingga timbul penyakit perut yang kudapat disini
ya itu maag. Puji Tuhan sekarang sudah bisa walaupun
menyesuaikannya sendiri butuh waktu lama dan tidak
mudah untukku
20. Peneliti :Pernahkah ada masalah dengan teman-teman baru anda
yang merupakan masyarakat pribumi Yogyakarta?
Informan :Masalah dengan teman-teman baru itu.. aku sempet
merasakan masa bingung mau bagaimana memulai
perkenalan dengan orang baru, takut salah, males ribet
jadi waktu awal dulu aku masih belum punya teman baru
atau malah cuma sebatas tahu siapa namanya saja kalau
sampai benar-benar mengenal dan banyak mengobrol itu
belum, apalagi tanggapannya teman-teman yang di kampus
itu memandang aku ini unik atau malah aneh mereka
komentar kalau cara bicaraku terbaliklah, suaraku
keraslah, nadanya kasarlah, mereka juga terlalu sering
berbahasa etnis Jawa mereka juga kan, jadi itu membuat
aku jadi ckckck.. wah kalau begini kan aku mau bagaimana
lho wajarlah kalau malas jadinya mau membaur itu. Nah
anehnya itu tidak sama dengan yang di lingkungan kos,
kalau di kos walau kami berbeda-beda latar budaya tapi
kami lebih seru bisa membaur kalau yang di kelas jaga
jarak malahan mungkin orang akan berpikir jika aku ini
merupakan orang yang kurang terbuka karena terkesan
pendiam padahal sebenarnya aku tidak seperti itu aku
hanya menunggu orang lain yang mengawali dulu ke aku
barulah aku menanggapi. Jogja itu kan memang tinggi
tingkat karakternya apalagi bagi mahasiswa sepertiku yang
selalu berkutat dengan perbedaan budaya namun berada
ditengah-tengah mereka tanpa disadari membuatku
Comment [CS184]: Gjl & Rea
Comment [CS185]: Intrnl
mengamati bagaimana-bagaimana orang-orang yang ada
disekitarku sehingga lama-kelamaan aku sedikit banyak
mulai belajar memahami karakter masing-masing orang
disekitar, ya siapa tahu suatu saat nanti ketika aku sudah
berani membaur dengan mereka aku bisa memperkirakan
harus bagaimana menentukan sikap bergaul.
21. Peneliti :Jika anda mengalami kendala di daerah rantauan
mengenai sosialisasi terhadap masyarakat pribumi
Yogyakarta lalu bagaimana anda mengatasinya?
Informan :Kalau yang di kelas sejak awal aku mau semua baik-baik
saja, semua harus kuawali dengan berhati-hati dalam
bersikap dalam berkata ya walau itu dalam arti menurutku
sih kan entah orang laian bagaimana menilai.. dan
akhirnya itu membuahkan hasil walaupun waktu awal dulu
aku memang pendiam, jarang komunikasi dengan orang
sekitar, apa-apa aku urus sendiri, tidak bergantung dengan
teman tapi kini aku mulai punya banyak teman ya walau
hanya sekedar teman bukan yang akrab seperti itu, kalau
yang intens ya tetap apa-apa diskusi sama yang sama-sama
Kalimantan sama mereka memang ku akui lebih nyaman
tapi setidaknya kalau sama yang etnik lain apa lagi sama
yang etnik Jawa aku bisa membawa diri dan sebisa
mungkin tidak ada masalah. Yang buat aku sangat jadi
pelajaran itu ya.. Yogyakarta kan sangat beragam dari
penjuru nusantara sabang sampai merauke nyaris
semuanya ada disini. Terkadang mereka yang pendatang
itu tidak bisa menyaring atau sadar diri kalau disini itu
bukan daerahnya. Ada banyak teman perantauan yang buat
aku heran dengan karakternya yang keras, seenaknya, mau
menangnya sendiri, tidak peka lingkungan sekitar.. yaa
mungkin karena dia dari daerah yang memang keras
sehingga membentuknya dengan karakter yang seperti itu
cuma yaa kan dia harusnya mawas diri kalau apa yang dia
lakukan itu banyak menyinggung teman-teman disekitarnya
yang berinteraksi dengannya itu sudah jadi contoh ya agar
aku tidak berlaku sama seperti dia. Karena aku saja yang
sama-sama hanya perantau yang notabene pendatang
merasa terganggu apa lagi yang lainnya?
22. Peneliti :Dengan teman kampus anda yang merupakan masyarakat
Comment [CS186]: Hsl Adpts
pribumi Yogyakarta apakah mereka membantu anda untuk
bersama-sama menghadapi persoalan penyesuaian diri pada
saat awal kedatangan anda di tempat rantauan (Yogyakarta)
?
Informan :Iya lumayanlah sedikit banyak mereka membantu, kan
kesal ya kalau keseringan di ajak bicara pakai bahasa
Jawa dan aku tidak tahu artinya. Pertamanya iseng hanya
dari memperhatikan, lalu belajar menirukan kata perkata
yang mudah ditirukan saja ya, gara-gara awalnya hanya
iseng berbicara berbahasa Jawa akhirnya sekarang jadi
bisa berbahasa Jawa walaupun hanya bisa-bisaan saja
yang gampang-gampang saja. Lama-lama karena semakin
penasaran akhirnya kuberanikan diri tanya langsung sama
teman-teman tapi sengaja aku minta bantuan sama yang
lokal asli Jogja, kan kalau sama yang asli Jogja mereka
lebih ramah tidak main-main apa maksudku itu mereka
benar-benar baiklah mau mengajarkan sedikit-sedikit
kepada aku, nada bicara juga di tuntun jadi lebih lembut,
lebih ramah, tahu tatakrama dari pada awal datang di
Jogja. Semua itu aku dapat karena merantau.
23. Peneliti :Ceritakan bagaimana hubungan anda dengan teman-
teman baru di Yogyakarta? Apakah ada kendala?
Informan :Sekarang sama teman kos jadi lebih seru sering
nongkrong bareng atau jalan kemana bareng walau kami
berbeda latar belakang, universitas dan jurusan tapi
mereka menghormatiku kami saling menghargai. Dengan
yang di kampus setidaknya tidak terlalu ada jarak, kalau
dulu kan nampak sekali jarak yang tercipta antara kami
sekarang jadi samar ya walau masih ada jarak tapi sudah
di minimalisir begitu. Kendala yang mainstream Puji
Tuhan tidak ada, yang penting kita tidak terlalu ambil
pusing saja sih sebenarnya kuncinya itu cuma satu di bawa
enjoy-happy. Iya dulu sempat galau pinginnya balik
kampung terus sekarang sudah slow seperti air mengalir.
24. Peneliti :Apakah anda mengalami berbagai permasalahan
ketidaknyamanan dengan lingkungan rantauan anda?
Apakah kini anda dapat menyesuaikan diri dengan di
tempat rantauan tersebut?
Comment [CS187]: Hsl Adpts
Comment [CS188]: Hsl Adpts
Informan :Berbagai permasalahan ketidaknyamanan dengan
lingkungan rantauan itu kalau pas awal dulu jelas ada
complicated banget malah seperti tempatnya asing, orang-
orangnya asing, karakternya beda, bahasanya beda, cara
bicaranya beda, masakannya beda, iklimnya beda, cara
pergaulannya beda dulu sempat galau pinginnya balik
kampung terus sekarang sudah slow seperti air mengalir.
25. Peneliti :Bagaimana sikap dan pandangan anda tentang berbagai
masalah kemampuan beradaptasi dalam berusaha
mengurangi pengaruh culture shock pada diri anda selama
ini?
Informan :Apa ya paling menurutku yang penting kita tidak terlalu
ambil pusing saja sih sebenarnya kuncinya itu cuma satu di
bawa enjoy-happy, slow seperti air mengalir. Santai saja
tidak usah terlalu pesimis, menyerah dengan kenyataan,
larut dalam kesepian karena jarak yang terlalu jauh
dengan kampung halaman. Apa lagi ya yang penting
banyak-banyak curhat saja sama orang tua dan Tuhan
Yesus, rutin ibadah ke gereja jika sedang parah galau-
galaunya banyak pikiran itu sangat-sangat bisa membantu
agar kita bisa lebih lega.
Comment [CS189]: Gjl &Rea
Lampiran 7
Tabel Koding
1. Asal daerah, suku, bahasa daerah mahasiswa perantauan dan alasan menjadi
mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
Kode Keterangan Penjelasan
Asl Asal daerah Dari mana asal daerah mahasiswa perantau di
Yogyakarta
Sk etnk Suku/ Etnik Suku/ etnik sebagai latar belakang dari mahasiswa
perantau di Yogyakarta
Bhs
daerh
Bahasa
daerah
Bahasa daerah sebagai latar belakang dari mahasiswa
perantau di Yogyakarta
Alsn Alasan
Merantau
Alasan menjadi mahasiswa perantauan di Yogyakarta
2. Penyebab dan bentuk culture shock berupa gejala hingga reaksi yang terjadi pada
mahasiswa perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
Kode Keterangan Penjelasan
Intrnl Internal Penyebab internal yang melatarbelakangi terjadinya
culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar
Jawa di Yogyakarta
Ekstrnl Eksternal Penyebab eksternal yang melatarbelakangi terjadinya
culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar
Jawa di Yogyakarta
Gjl &
Rea
Gejala dan
Reaksi
Gejala hingga reaksi yang terjadi pada mahasiswa
perantauan asal luar Jawa di Yogyakarta
3. Dampak dari culture shock pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di
Yogyakarta
Kode Keterangan Penjelasan
Hsl
adpt
Hasil adaptasi Hasil adaptasi sebagai dampak dari culture shock
pada mahasiswa perantauan asal luar Jawa di
Yogyakarta
Jumlah Mahasiswa Tahun Akademik 2015
NO. PROVINSI JUMLAH PERSENTASE (%)
1 DKI 9.141 2,5
2 JAWA BARAT 14.886 4,1
3 JAWA TENGAH 82.331 22,4
4 DIY 99.610 27,1
5 JAWA TIMUR 9.415 2,6
6 NAD 2.889 0,8
7 SUMATERA UTARA 17.832 4,9
8 SUMATERA BARAT 3.882 1,1
9 RIAU 14.221 3,9
10 JAMBI 4.114 1,1
11 SUMATERA SELATAN 7.993 2,2
12 LAMPUNG 7.116 1,9
13 KALIMANTAN BARAT 5.821 1,6
14 KALIMANTAN TENGAH 3.882 1,1
15 KALIMANTAN SELATAN 3.225 0,9
16 KALIMANTAN TIMUR-
KALIMANTAN UTARA
8.221
2,2
17 SULAWESI UTARA 2.110 0,6
18 SULAWESI TENGAH 2.577 0,6
19 SULAWESI SELATAN 7.322 2,0
20 SULAWESI TENGGARA 2.241 0,6
21 SULAWESI BARAT 6.541 1,7
22 MALUKU 1.447 0,4
23 BALI 2.792 0,8
24 NTB 4.472 1,2
25 NTT 13.822 3,8
26 PAPUA 7.889 2,1
27 BENGKULU 3.221 0,9
28 BANTEN 1.221 0,3
29 MALUKU UTARA 1.227 0,3
30 BANGKABELITUNG 2.551 0,7
31 GORONTALO 1.261 0,3
32 PAPUA BARAT 4.221 1,1
33 KEPULUAN RIAU 3.354 0,8
LUAR NEGERI 4.882 1,3
JUMLAH KUMULATIF 394.117 100,0