PENYESUAIAN DIRI DAN KESEPIAN PADA CALON BIKSU
OLEH
NUGRAHA PUTRA WARIHKENCANA
802011121
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program StudiPsikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
PENYESUAIAN DIRI DAN KESEPIAN PADA CALON BIKSU
NUGRAHA PUTRA WARIHKENCANA
KRISMI D. AMBARWATI
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018
i
Abstrak
Seorang calon biksu diharuskan tinggal di wihara dan meninggalkan tempat
tinggal sebelumnya. Perubahan tempat tinggal akan memicu proses penyesuaian
diri. Penyesuaian diri adalah variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi
suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan. Salah satu hambatan yang
terjadi adalah kesepian. Kesepian merupakan pengalaman yang tidak
menyenangkan yang terjadi karena seorang individu merasa terpisah atau
sendirian serta tidak memiliki banyak hubungan sosial dan disaat bersamaan
individu tersebut memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan secara
interpersonal dengan orang lain. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagimana
penyesuaian diri dan kesepian pada calon biksu. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif yang melibatkan 2 orang calon biksu yang sudah lebih dari 2
bulan menjadi calon biksu yang terdiri dari 2 orang perempuan. Hasil penelitian
ini, kedua partisipan memiliki keinginan untuk menjalin hubungan sosial di
lingkungan wihara namun hubungan sosial kedua partisipan tidak mencukupi
karena perubahan lingkungan fisik dan sosial. Kedua partisispan dapat dengan
baik melakukan penyesuaian dengan lingkungan (baik fisik maupun sosial).
Kedua partisipan mengatasi perasaan kesepian mereka dengan melakukan
kegiatan keagamaan serta peningkatan aktivitas.
Kata kunci: penyesuaian diri, kesepian, calon biksu, hubungan sosial,
wihara
ii
Abstract
Death of significant others caused grief for someone. Loss of significant others in
their adolescent engenders deep feelings, and may change their lives. This
research aimed to describe the grief which were experienced by teenagers who
were losing their significant others. This study uses qualitative methods to two
participants. The result showed that the participants responded grief differently
which were influnced by some factors; emotional bonding, gender, and social
environment. In addition, the effect of losing significant others were influenced by
3 sequences: 1)The relationship with significant others before they died which
illustrates closeness with significant others. 2)The participants experienced the
time when the significant others were dying related to how emotional aspects
occur, the way participants are to deal with the perceived negative emotions, how
participants express grief, and how participants reject the death of significant
others. 3)The changes happened to the participants after the significant others
died is a change that occurs in the life of participants both to themselves and the
environment. Grief can give positive and negative impacts, it depended how they
dealed with that feeling (grief).
Keywords : Grief, Dead, Significant Others
1
PENDAHULUAN
Indonesia terkenal memiliki berbagai kebudayaan dan kepercayaan. Selain
itu terdapat juga berbagai agama yang dianut oleh penduduknya. Diantaranya
terdapat agama Buddha, yang merupakan salah satu agama tertua yang ada di
dunia. Buddha dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI daring, 2015) adalah
agama yang diajarkan oleh Sidharta Gautama atau orang yang telah mencapai
kesempurnaan dalam Buddhisme. Agama Buddha dikenal sejak abad ke-6 sampai
ke-4 sebelum masehi. Agama ini dikenal berasal dari daerah di India dan
didasarkan pada ajaran Shidarta Gautama yang disebut sebagai sang Buddha
(berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta). Agama Buddha percaya
bahwa manusia dapat terlepas dari penderitaan dengan melakukan meditasi dan
dengan menjalani gaya hidup yang telah diajarkan oleh Buddha sendiri. Tujuan
akhir dalam agama Buddha adalah mendapatkan pencerahan sejati dan mencapai
nirwana. Nirwana dipercaya dapat dicapai dengan menghapuskan semua
keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan pada seseorang.
Menurut Jotalankara (2013) terdapat 3 prinsip dasar dalam agama Buddha
yaitu dharma, reinkarnasi, dan karma. Dharma merupakan ajaran seorang Buddha
mengenai cara membebaskan diri dari penderitaan dengan cara bermeditasi serta
menjalani gaya hidup yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Reinkarnasi adalah
proses kelahiran kembali dimana seorang individu yang telah mati akan hidup
kembali dalam bentuk yang lain (bisa dalam wujud manusia, hewan, atau bentuk
makhluk lainnya). Sedangkan karma adalah segala hasil dari tindakan yang kita
lakukan, bila seorang individu melakukan perbuatan yang baik maka akan
mendapat karma yang baik begitu pula sebaliknya, setiap perbuatan buruk maka
akan mendatangkan karma yang buruk.
1
2
Dalam agama Buddha terdapat istilah seperti biksu/biksuni, wihara, dan
perumahtangga. Biksu Buddha adalah individu yang mendalami kegiatan agama
dalam agama Buddha, sedangkan dalam KBBI Daring (2015) biksu adalah petapa
atau pendeta dalam agama Buddha. Para biksu ini melakukan kegiatan keagamaan
di wihara, dengan tujuan mendapat pencerahan sejati dengan melakukan kegiatan
meditasi dan berbagai kegiatan lain para biksu ini menjalani sehari-hari di wihara.
Terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui seseorang sebelum seseorang dapat
dikatakan sebagai biksu (biksuni untuk perempuan).
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan pada bulan Oktober
2015 dengan salah satu biksuni yang berada di Ampel, Jawa Tengah, tahap
pertama adalah perumahtangga merupakan para pemeluk agama Buddha dan
merupakan orang biasa dengan 5 aturan utama atau pancasila. Perumahtangga
yang ingin mengabdikan diri untuk belajar mengenai Buddha lebih lanjut akan
menjalani tingkatan yang disebut dengan anagarika (untuk laki-laki) atau
anagarini (untuk perempuan). Anagarika maupun anagarini adalah tahapan
pelatihan awal, para anagarini maupun anagarika diwajibkan untuk tinggal di
sekitar wihara. Tahap ini berlangsung dalam waktu yang relatif singkat, yaitu
sekitar 2 minggu. Para anagarika dan anagarini tidak diperbolehkan untuk
meninggalkan wihara lebih dari beberapa hari. Seorang anagarika atau anagarini
akan tetap tinggal di wihara sampai mereka ditahbiskan menjadi seorang
sramanera (laki-laki) dan srameneri (perempuan). Sramanera/sramaneri
merupakan calon biksu, mereka mengenakan jubah yang sama dengan para biksu
(jubah cokelat). Para calon biksu ini memiliki lebih dari 300 aturan yang harus
dipatuhi. Mereka memiliki kegiatan sebagai pembimbing umat dan melakukan
ceramah dalam acara-acara keagamaan. Untuk ditahbiskan ke tahap selanjutnya,
3
menjadi seorang biksu/biksuni, seorang sramanera/sramaneri akan dibimbing oleh
seorang guru. Keputusan untuk penasbihan ada di tangan gurunya serta waktu
penahbisan akan berbeda-beda tergantung kesiapan sramanera/sramaneri tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan pada bulan Oktober
2015 dengan salah satu biksuni yang berada di Ampel, Jawa Tengah, seorang
perumahtangga yang lalu menjadi sramanera/sramaneri akan mengalami
perubahan lingkungan tempat tinggal. Seorang perumahtangga yang tinggal
bersama keluarganya, saat menjadi seorang sramanera/sramaneri harus
meninggalkan keluarganya dan bahkan tidak dapat bertemu dengan keluarganya
setiap waktu. Seorang sramanera/sramaneri tidak diperkenankan meninggalkan
area wihara yang ia tinggali melebihi 5 hari. sramanera/sramaneri tidak
diperkenankan untuk terlalu sering pulang ke rumahnya.
Perubahan tempat tinggal akan memicu proses penyesuaian diri terhadap
lingkungan baru. Sramanera dan sramaneri yang tinggal di wihara melakukan
penyesuaian diri terhadap tempat tinggalnya yang baru. Penyesuaian diri atau self-
adjustment adalah variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu
hambatan dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan (Chaplin, 2004). Sedangkan
menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri merupakan sebuah proses, yang
melibatkan baik respon mental dan perilaku; yang mana seorang individu
berusaha untuk mengatasi dengan baik kebutuhan dari dalam, ketegangan,
frustrasi, dan konflik, dan untuk menyebabkan sebuah derajat harmoni antara
tuntutan dari dalam dan yang dikenakan padanya oleh dunia objektif dimana
individu tersebut tinggal.
4
Menurut Schneiders (1964 dalam Ali & Asrori, 2004) ada lima faktor yang
memengaruhi proses penyesuaian diri pada remaja, diantaranya yaitu kondisi fisik
(hereditas /keturunan, sistem utama tubuh, dan kesehatan fisik), kepribadian
(modifiability, self regulation, self realization, dan intelegensi), proses belajar
(belajar, pengalaman, latihan, dan determinasi diri), lingkungan (keluarga,
sekolah, masyarakat), agama serta budaya. Penyesuaian diri yang normal dapat
dilihat dari beberapa aspek, yaitu: (1) Mampu mengontrol emosionalitas yang
berlebihan. (2) Mampu mengatasi mekanisme psikologis. (3) Mampu mengatasi
perasaan frustrasi pribadi. (4) Kemampuan untuk belajar. (5) Kemampuan
memanfaatkan pengalaman. (6) Memiliki sikap yang realistis dan obyektif.
Seorang akan melakukan penyesuaian diri secara sadar maupun tidak pada
lingkungan baru. Penyesuaian dengan suhu, cuaca, pemandangan (secara fisik),
dan penyesuaian pada individu lain, serta proses sosial yang berada di lingkungan
baru akan dilakukan oleh para sramanera/sramaneri. Menurut Gunarsa (Sobur,
2003) bentuk penyesuaian diri dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu
adaptive dan adjustive. Bentuk penyesuaian diri adaptive ini lebih bersifat fisik,
artinya perubahan-perubahan dalam proses fisik untuk menyesuaikan diri
terhadap keadaan lingkungan. Pengertian luas mengenai proses penyesuaian itu
terbentuk sesuai dengan hubungan individu dengan lingkungan sosialnya, yang
dituntut dari individu, tidak hanya mengubah kelakuannya dalam menghadapi
kebutuhan-kebutuhan dirinya dari dalam dan keadaan di luar, dalam lingkungan
tempat ia hidup, tetapi ia juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan
adanya orang lain dan macam-macam kegiatan mereka. Orang yang ingin menjadi
anggota dari suatu kelompok, ia berada dalam posisi dituntut untuk menyesuaikan
diri dengan kelompok itu. Sedangkan bentuk penyesuaian yang lain, adjustive,
5
yang tersangkut kehidupan psikis. Dengan adanya keterkaitan antara kehidupan
psikis dan penyesuaian adjustive maka penyesuaian ini berhubungan juga dengan
tingkah laku. Tingkah laku manusia sebagian besar dilatar belakangi oleh hal-hal
psikis ini, kecuali tingkah laku tertentu dalam bentuk gerakan-gerakan yang sudah
menjadi kebiasaan atau gerakan-gerakan refleks. Penyesuaian ini merupakan
penyesuaian diri tingkah laku terhadap lingkungan yang dalam lingkungan yang
dimaksud terdapat aturan-aturan atau norma-norma.
Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental
dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka akan
berdampak pada penyesuaian diri yang baik, begitu pula sebaliknya, keasehatan
mental yang buruk maka akan berdampak pada penyesuaian diri yang buruk.
Kurangnya percaya diri, perasaan tidak aman, ketidakcukupan pemahaman diri,
dan hubungan sosial yang tidak memuaskan merupakan contoh dari kesehatan
mental yang buruk.
Tinggal di lingkungan wihara maka akan membatasi seorang
sramanera/sramaneri untuk berhubungan dengan dunia luar, individu yang
tinggal/bekerja di lingkungan yang terisolasi secara fisik menjadi lebih rentan
terhadap kesepian. Dalam penelitian lain yang terkait dengan kesepian yaitu
Loneliness in the Workplace (Wright, 2005) dikatakan bahwa kesepian tidak
terjadi oleh karena faktor karakteristik kepribadian individu saja, namun faktor
lingkungan tempat bekerja juga dapat memengaruhi hal tersebut. Dalam penelitian
ini, lingkungan wihara adalah lingkungan yang dapat berpengaruh pada kesepian.
Terdapat beberapa teori mengenai kesepian atau loneliness. Menurut
Peplau dan Perlman, (1982) kesepian adalah pengalaman tidak menyenangkan
yang terjadi ketika jaringan hubungan sosial seseorang tidak mencukupi baik
6
secara kuantitas maupun kualitas. Sedangkan menurut De Jong Gierveld, (1987)
kesepian adalah sebuah situasi dimana jumlah hubungan yang eksis lebih kecil
dari jumlah yang dianggap diinginkan atau diterima, begitu juga situasi dimana
mendekati satu keinginan yang belum terwujud.
Kesepian tidak sertamerta terjadi begitu saja, terdapat hal yang menyebabkan
atau memicu kesepian itu muncul. Menurut Perlman dan Peplau (1982) kejadian
pemicu kesepian dibedakan menjadi dua jenis yaitu perubahan pada hubungan
sosial yang sebenarnya dan perubahan dalam hasrat seseorang akan hubungan
sosial. Perubahan pada hubungan sosial yang sebenarnya pada seorang individu
sering ditemui pada kehidupan sehari-hari. Perubahan ini menyebabkan suatu
hubungan jatuh hingga di bawah level optimal suatu hubungan. Kesepian
dipengaruhi tidak hanya oleh kehadiran dan ketidakhadiran suatu hubungan,
tetapi juga oleh aspek kualitatif dari hubungan sosial. Karena itu, menurunnya
kepuasan terhadap suatu hubungan memicu terjadinya kesepian. Suatu hubungan
sosial yang tidak memuaskan merupakan salah satu contoh mental yang tidak
sehat dan akan memengaruhi proses penyesuaian diri.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bogaerts, Vanheule, dan Desmet
(2006) menyatakan bahwa seorang individu dewasa muda lebih mudah terkena
perasaan kesepian emosional, dikarenakan perubahan perkembangan pada
kelekatan kelompok dan perubahan konsekuen dari hubungan orangtua-anak. Para
sramanera/sramaneri diharuskan berpisah dengan orangtuanya untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan di wihara. Terdapat perubahan hubungan antara
sramanera/sramaneri tersebut dengan kedua orangtuanya. Pada masa awal
perubahan tersebut, para sramanera/sramaneri lebih rentan mengalami kesepian
seperti penelitian Bogaerts,Vanheule, dan Desmet (2006). Kesepian tidak terasa
7
sama bagi setiap orang. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Rubenstein dkk.,
(1979) terdapat empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang kesepian,
yaitu keputusasaan (desperation), kejenuhan yang tidak tertahankan (impatient
boredom), pencelaan diri (self-deprecation) dan depresi (depression).
Berdasarkan fakta-fakta diatas bahwa perubahan lingkungan sosial yang
signifikan pada sramanera/sramaneri maka kesepian menjadi salah satu masalah
untuk dihadapi oleh sramanera/sramaneri sebagai upaya dari melakukan
penyusaian diri pada lingkungan sosial di wihara. Peneliti ingin melihat
bagaimana penyesuaian diri serta kesepian yang terdapat pada
sramanera/sramaneri di lingkungan wihara.
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan
wawancara dan observasi. Pengambilan data dilakukan di Wihara tempat
kediaman partisipan. Penelitian ini menggunakan desain fenomenologis dimana
penelitian ini mencoba menjelaskan makna dari kesepian dari calon biksu/biksuni.
2. Partisipan
Dengan berdasarkan pada kebutuhan penelitan, peneliti menggunakan metode
purposive sampling untuk menentukan partisipan. Metode purposive
samplingmerupakan metode pengambilan sampel dimana peneliti memilih sendiri
kriteria partispan. Kriteria dari partisipan tersebut adalah: merupakan calon
biksu/biksuni selama lebih dari 2 bulan dan tinggal di wihara/tinggal terpisah dari
8
keluarga. Metode ini dipilih karena dirasa sesuai dengan karakteristik dan tujuan
penelitian. Terdapat 2 partisipan dalam penelitian ini yang terdiri dari 2
perempuan yang masing-masing berumur 20 tahun dan 18 tahun. Kedua partisipan
merupakan sramaneri yang tinggal di Wihara Veluvana, Ampel, Kec. Boyolali,
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kedua partisipan sudah menjadi seorang
sramaneri selama lebih dari 2 bulan.
Partisipan pertama (P1) adalah seorang perempuan berusia 20 tahun yang
berasal dari Temanggung, Jawa Tengah. Sebelumnya tinggal bersama dengan
keluarganya yang beranggotakan ibu, kakak, kakek, dan neneknya, sedang
ayahnya sedang bekerja di Lampung. P1 sudah menjadi seorang sramaneri selama
lebih dari 2 tahun. P1 menjadi sramaneri bersama-sama dengan teman-temannya.
Sebelum menjadi sramaneri, P1 menjalani tahap anagarini bersama teman-
temannya di Temanggung.
Partisipan kedua (P2) adalah seorang perempuan berusia 18 tahun yang
berasal dari Tuntang, Jawa Tengah. Sebelumnya P2 tinggal bersama
keluarganya,yang beranggotakan kedua orangtuanya dan kakak-kakaknya. P2
menjadi sramaneri selama lebih dari 2 bulan. P2 tidak menjalani tahap anagarini
sebelum menjadi sramaneri.
3. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan observasi.
Wawancara menurut Moleong (2013) wawancara adalah percakapan dengan
maksud tertentu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara (interview guide) yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitan yaitu
untuk mengetahui makna kesepian dari sramaneri. Selain menggunakan
9
wawancara, peneliti juga menggunakan metode observasi untuk melengkapi
pengumpulan data yang dilakukan.
HASIL PENELITAN
Terdapat beberapa tema besar dari hasil wawancara mengenai penyesuaian
diri dan kesepian pada sramaneri. Tema besar tersebut adalah: hubungan sosial
sebelum menjadi sramaneri, hubungan sosial setelah menjadi sramaneri, dinamika
penyesuaian diri, dan pengalaman kesepian pada partisipan.
1. Hubungan sosial sebelum menjadi sramaneri
Sebelum menjadi seorang sramaneri P1 cenderung lebih dekat dengan
teman-temannya daripada dengan keluarganya, P1 lebih sering menghabiskan
waktunya bersama teman-temannya seperti mengikuti berbagai kegiatan sekolah
bersama-sama dan menjadi sramaneri bersama. Seperti kutipan berikut:
“Kami berempat sangat dekat ya, karna dulu waktu SMK itu kita serang
sering mengadakan kegiatan bareng, ikut pelatihan-pelatihan bareng, menjadi
pengurus di SMK juga bareng, seperti itu” (P1W1)
Sedangkan sebelum menjadi seorang sramaneri, P2 tinggal bersama
seluruh keluarganya yang beranggotakan kedua orangtuanya dan kakak-kakaknya.
2. Hubungan sosial sesudah menjadi sramaneri
Sedangkan setelah menjadi sramaneri hubungan sosial P1 berubah, yang
dulu dekat dengan teman-temannya sekarang sudah agak renggang karena 3 dari 4
orang temannya sudah lepas jubah/berhenti menjadi seorang sramaneri. P1 merasa
memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang yang berada di wihara seperti
kutipan berikut:
10
“Kalau hubungan dengan orang-orang di wihara sangat baik, karena disini
kita bekerjasama satu sama lain saling membantu kalau ada kegiatan
misalnya seperti acara kita juga saling membantu.” (P1W1)
Setelah menjadi seorang sramaneri, P1 merasa terjadi perubahan pada
kehidupannya, seperti pernyataan P1 berikut:
“Jadi kalau dulu sebelum jadi Sramaneri kan lebih aktif diluar, tidak sering
kumpul keluarga, tapi lebih memiliki banyak kegiatan-kegiatan yang
sosialisasi di luar atau sosialisasi di masyarakat seperti itu. Nah kalau,
sedangkan kalau disini kan kita berlatih untuk diri sendiri jadi lebih sering
berada di wihara.” (P1W1)
Dari perubahan tersebut P1 mengalami rasa kangen karena tinggal terpisah
dari keluarga dan teman-temannya. Seorang sramaneri memiliki kurang lebih 10
aturan dan 75 sekia salah satunya adalah aturan mengenai larangan tinggal lebih
dari tiga hari di luar wihara, dikarenakan adanya aturan-aturan yang membatasi
tersebut P1 tidak memiliki cukup waktu untuk dihabiskan dengan keluarganya
menurut pernyataan berikut:
“3 hari itu bisa tidur di rumah bersama keluarganya, kalau melebihi itu kan
mendapatkan sangsi seperti itu, nah dari situ lah merasa kangen, kenapa
kita cuma punya waktu 3 hari seperti itu, padahal kita pengen dekat
dengan keluarga.”(P1W1)
Sedangkan setelah menjadi seorang sramaneri P2 sempat merasa terasing
karena tinggal ditempat yang baru, seperti ungkapan berikut:
“Iya pasti, kalo setiap kita pindah tempat tinggal kan pasti ada rasa
diasingkan dari mereka-mereka yang sudah ada dis- pasti ada rasa asing.” (P2W1)
Saat tinggal di wihara, P2 harus berhubungan dengan senior-seniornya, P2
merupakan salah seorang sramaneri yang paling muda di wihara tersebut. Berikut
kutipan P2:
“Ya kalo disini kan gimana ya, hubunganya juga kan, kita kan kalo di-
seorang samana kan pasti ada yang senior junior jadi hubungan kektika
kita bertemu dengan yang senior kita memberikan salam, kita biasanya
kalo ada bante-bante yang senior itu para Sramaneri muda langsung
11
namaskara, namaskara itu langsung bersujud pada mereka, terus nanti
biasanya bante-bante itu memberikan wejangan, gimana kamu gini gini
gini, seperti itu” (P2W1)
Selain berhubungan sosial di wihara, P1 dan P2 merupakan seorang
mahasiswi yang sedang berkuliah di jurusan ilmu agama Buddha, mereka cukup
dekat dengan teman mahasiswa lainnya selayaknya teman kuliah biasa. Berikut
kutipannya:
“Eh, kan kalo kita kan sama-sama mahasiswa ya jadinya kalo mereka
ngobrol itu biasanya ya seperti temen biasa gitu, tapi kalo ada sudah ada
dilingkungan di dalam Wihara kita pasti sudah berubah, anu he eh,
berubah seperti itu, mereka juga memberikan rasa hormat kepada kami
yang berjubah, kalo diluar lingkungan wihara kami juga seperti temen
biasa, soalnya kita kan sesama mahasiswa ngobrol kan paling juga cuma
tugas atau apa gitu, kepentingan lainnya.”(P2W1)
Baik P1 dan P2 merasakan perubahan hubungan sosial karena berpindah
tempat tinggal, yang sebelumnya tinggal dengan keluarganya sekarang harus
tinggal di lingkungan wihara. P1 dan P2 merasa adanya penerimaan dari
lingkungannya yang baru seperti pernyataan P1 berikut:
“Justru pertama ketika kali saya menjadi Sramaneri, karena ada kan dulu
saya pentahbisannya tidak disini tapi saya pentahbisan di Jepara bersama
teman-teman saya, setelah datang kesini mereka langsung terima secara
terbuka.”(P1W1)
Sejalan dengan P1, P2 merasakan hal yang sama, berikut pernyataannya:
“kalo diajak ngobrol itu ya malah seneng, kan berarti kita diperhatikan
sama mereka, kan kita sudah diajak ngobrol kita kan berani membalas
obrolan mereka jadi kita itu ternyata disini nggak, nggak apa ya, dianggep
gitu lho nggak diasingkan, jadi mereka it- kita dan mereka cuman butuh
proses untuk menjalin komunikasi yang baik gitu.”(P2W1)
Selain hal tersebut P1 juga merasa nyaman setelah menjadi sramaneri,
adanya penerimaan dari lingkungan meningkatkan kepercayaan dirinya. P1
merasa lebih dihormati ketika berbicara didepan publik seperti pernyataan berikut:
12
“Saya rasa jauh lebih nyaman ketika kita menjadi Sramaneri, karena kan
kalau jadi Sramaneri itu kalau kita berada di masyarakat itu mereka lebih
menghormati, lebih memiliki ya rasa hormat seperti itu.”(P1W1)
3. Dinamika Penyesuaian Diri
a. Masa Awal Penyesuaian Diri
Pada masa awal P2 menjalani kehidupan di wihara P2 merasa bahwa dia
terasing dari lingkungan barunya, seperti kutipan berikut ini:
“Iya pasti, kalo setiap kita pindah tempat tinggal kan pasti ada rasa
diasingkan dari mereka-mereka yang sudah ada dis- pasti ada rasa asing.” (P2W1)
Sedangkan P2 memiliki kepribadian yang pemalu terutama pada saat harus
bicara didepan umum, berikut pernyataannya:
“Ya kadang karena kita masih awal ya, kalo berhadapan dengan umat itu
masih ada rasa takut rasa cemas gitu nanti takut salah atau apa gitu…” (P2W1)
Ketika merasa terasing P2 cenderung diam dan tidak berusaha untuk
memulai proses komunikasi, seperti kutipan berikut:
“Diam, karena kalo kita mau bicara itu rasanya berat, takut.” (P2W1)
Sedangkan P1 tidak merasa perasaan terasing ketika masa awal tinggal di
wihara. Berikut kutipan dari P1:
“Justru pertama ketika kali saya menjadi Sramaneri, karena ada kan dulu
saya pentahbisannya tidak disini tapi saya pentahbisan di Jepara bersama
teman-teman saya, setelah datang kesini mereka langsung terima secara
terbuka, seperti itu.” (P1W1)
b. Proses Penyesuaian Diri
13
Ketika tinggal di wihara kedua partisipan memiliki keharusan untuk
menaati peraturan-peraturan yang ada di wihara. Kedua sramaneri ini memiliki
banyak aturan seperti yang dikemukakan P1 berikut:
“ya kadang, kan kita kan memiliki beberapa aturan, kalau untuk Sramaneri
itu ada 8 sekia sama, eh 10 aturan sama 75 sekia, kalau untuk menjadi
Bikkhuni kan kita mempunyai aturan 300an lebih.” (P1W1)
Selain memiliki aturan-aturan tersebut, kedua partisipan harus
menyesuaikan diri dengan kehidupan perkuliahan. Selain berlatih menjadi seorang
sramaneri, kedua partisipan juga merupakan mahasiswa aktif di Sekolah Tinggi
Ilmu Agama Buddha (STIAB) yang berada pada kompleks yang sama dengan
wihara mereka, berikut pernyataan P2:
“Ya prosesnya kan kita kan kalo disini kan sambil belajar atau sambil
kuliah jadinya kita harus bisa menyesuaikan diri antara kita dilingkungan
wihara atau dilingkungan teman-teman di kampus jadinya kalau di wihara
kita harus bisa menjadi samana atau pabajita kemudian kalau
dilingkungan mahasiswa kita juga harus bisa menempatkan diri bagaimana
caranya menjadi seorang mahasiswi seperti itu.” (P2W1)
Setelah beberapa waktu P2 merasa bahwa adanya penerimaan pada dirinya
dilingkungan wihara tersebut. P2 merasa senang dengan adanya penerimaan
tersebut seperti yang P2 ungkapkan pada pernyataan berikut:
“kalo diajak ngobrol itu ya malah seneng, kan berarti kita diperhatikan
sama mereka, kan kita sudah diajak ngobrol kita kan berani membalas
obrolan mereka jadi kita itu ternyata disini nggak, nggak apa ya, dianggep
gitu lho nggak diasingkan, jadi mereka it- kita dan mereka cuman butuh
proses untuk menjalin komunikasi yang baik gitu.” (P2W1)
P2 sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di wihara dan dapat menjalin
hubungan baik dengan lingkungan tempat tinggalnya. Berikut pernyataannya:
“Tidak, sudah biasa, terbiasa tinggal disini, dan juga terbiasa dengan orang
yang ada disini, jadinya sudah bisa mulai, apa ya, berhubungan baik
dengan mereka gitu, sudah nggak kaya dulu lagi.” (P2W1)
14
Hal ini juga terlihat dari respon orangtua P2 yang diungkapkan pada
pernyataan berikut:
Ya lebih tenang gitu, wong kata orang tua saya juga seperti ini „kok
sekarang kamu lebih gendutan, atau apa gitu, mungkin pikiran kamu
mungkin lebih tenang‟.
4. Pengalaman Kesepian pada Partisipan
a. Pengertian dan Penyebab Kesepian
Menurut P1, kesepian terjadi dikarenakan diri terlarut dalam kesenangan
sehingga lupa pada diri sendiri maka akan timbul kesepian, berikut kutipannya:
“kita terlalu larut dalam kesenangan seperti itu, kita, misalnya kita sedang
rame-rame terus kita terlalu larut dalam kesenangan itu dan pada saat itu
kita lupa pada diri kita sendiri itu menbuat merasa kesepian. Karena saat
kita tidak menyadari diri kita sendiri, eh, diri kita sendiri saja kita tidak
menyadarinya, bagaimana dengan hal-hal yang diluar diri kita.” (P1W1)
P1 dan P2 mengalami perasaan rindu pada keluarganya karena kurangnya
kesempatan untuk bertemu dan jarangnya komunikasi antara partisipan dengan
keluarganya, berikut pernyataan P2:
“Ya pasti perasaanya ya kan, biasanya dirumah bareng keluarga, sekarang
sendiri nggak ada keluarga, biasanya sakit gini gini gini dikerokin atau
apa, ya sekarang kalau sakit ya paling sama temen atau apa gitu, jadi ada
rasa kangen.”(P2W1)
P1 pun merasakan hal yang serupa, P1 merasa bahwa aturan yang
membatasi pertemuan dengan keluarganya menjadikannya merasa kurang
nyaman, karena P1 masih ingin dekat dengan keluarganya. Berikut ini kutipan
dari penyataannya:
“3 hari itu bisa tidur di rumah bersama keluarganya, kalau melebihi itu kan
mendapatkan sangsi seperti itu, nah dari situ lah merasa kangen, kenapa
kita cuma punya waktu 3 hari seperti itu, padahal kita pengen dekat
dengan keluarga” (P1W1)
15
P2 selain menjadi seorang sramaneri juga memiliki tugas sebagai seorang
mahasiswi, disela-sela kesibukan wihara tersebut P2 memiliki banyak tugas kuliah
yang menyebabkan renggangnya proses komunikasi antara P2 dengan teman-
temannya. Kondsi ini dirasa P2 sebagai kondisi penyebab kesepian.Berikut
pernyataan dari P2:
“Ya, kan kadang kan kalo, namanya juga manusia biasa ya, kan punya,
punya perasaan yang beda-beda, kalo lagi pada galau, maksudnya galau
bukan dalam artian cinta atau apa bukan seperti itu, tapi galau dengan
tugas masing-masing atau apa, pasti mereka- kami, kami itu pasti diam,
diam nggak saling nyapa gitu jadi pada waktu itu ketika kita nggak saling
nyapa itu rasanya sepi banget kok kaya nggak ada orang ya gitu.”(P2W1)
P2 cenderung tidak melakukan sesuatu dengan kondisi tersebut. P2 merasa
bahwa bila ia kondisi tersebut akan berubah bila ia diam.
b. Manifestasi Kesepian
Manifestasi adalah perwujudan dari kesepian yang terjadi, P1 merasakan
kejenuhan ketika P1 yang biasanya memiliki rutinitas seperti bersembahyang,
kuliah, dan mengerjakan tugas tiba-tiba menjadi tidak memiliki kegiatan, berikut
pernyataannya:
“merasa jenuhnya kalau kita tidak punya kerjaan, jadi makanya kalau
disini itu kita membuat apa- jadwal, jadwal-jadwal tertentu, misalnya kita
latihan yamkeng bareng, atau latihan baca barta yang bener bareng seperti
itu, biasanya kalau malam, kalau malam itu kan habis chanting itu kan
nanti belajar, nah setelah saat itu, kadang kita kan, kadang ada rasa malas,
malas belajar, disitu merasa jenuh sekali.”(P1W1)
c. Koping Kesepian
Ketika kejenuhan tersebut datang, P1 biasanya hanya bermalas-malasan
dan tidur, hal senada diungkapkan oleh P2, P2 merasa aneh ketika mendadak tidak
16
memiliki kegiatan. Ketika tidak memiliki kegiatan, P2 merasa bingung mau
melakukan apa , berikut kutipan dari P2:
“Anehnya itu, kok lho sekarang mau ngapain ya? Kan bingung kan
biasanya tugas ini selesai tugasi ini, terus kalo nggak ada tugas itu bingung
mau ngapain, nggak ada tugas bingung besok gimana-gimana yo, tapi
sekali ada tugas kan numpuk, bingung biasanya kalo nggak ada tugas mau
ngapain.”(P2W1)
Ketika rasa jenuh itu muncul, P2 lebih sering melakukan hobinya yaitu
menulis atau membaca berikut penyataannya:
“kalo saya itu paling baca-baca apa gitu, sesuka hati sih kadang itu, baca
kek nulis, atau apa gitu.” (P2W1)
PEMBAHASAN
Sramaneri atau calon biksu adalah penganut agama Buddha yang
menjalani pelatihan untuk menjadi seorang biksu/biksuni. Seorang sramaneri
harus tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya.
Perubahan tempat tinggal ini memicu partisipan untuk melakukan penyesuaian
diri. Pada masa awal tinggal di wihara, P2 merasa bahwa ia kurang nyaman
karena tidak adanya proses komunikasi yang terjalin dengan baik. P2 sendiri tidak
berani untuk mulai berkomunikasi. Setelah beberapa waktu anggota lingkungan
baru (lingkungan wihara) menjalin proses komunikasi dengan P2, hal ini
menjadikan P2 merasa bahwa ia diterima dilingkungan tersebut. Seiring
berjalannya waktu P2 dapat menjalin hubungan sosial yang baik dengan
lingkungannya, hal ini sesuai dengan pernyataan Chaplin (2004) mengenai
penyesuaian diri/self adjustment. Menurut Chaplin (2004) penyesuaian diri
merupakan variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan
dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan. P2 memiliki kebutuhan untuk menjalin
17
hubungan sosial dengan lingkungannya namun terhambat karena faktor
kepribadian P2 yang cenderung tertutup dan pemalu pada lingkungan baru.
Seiring berjalannya waktu P2 berani untuk melakukan komunikasi dengan
lingkungannya, hal ini merupakan proses untuk mengatasi hambatan (berupa sifat
P2 yang pemalu) untuk memenuhi kebutuhan (berupa hubungan sosial dengan
lingkungan baru).
Menurut Schneiders (1964), kepribadian berperan pada proses
penyesuaian diri. Faktor kepribadian dalam penyesuaian diri terdiri atas
modifiability (keinginan untuk berubah), self regulation (regulasi diri), self
realization (realisasi diri), dan intelegensi. P2 memiliki keinginan untuk berubah
dari seorang individu yang memiliki sifat pemalu menjadi individu yang dapat
menjalin komunikasi dengan orang lain. Salah satu tugas kedua partisipan sebagai
sramaneri merupakan mengisi kegiatan keagamaan seperti melakukan ceramah
didepan umat. P2 masih memiliki ketakutan untuk berbicara didepan umum,
namun karena P2 sudah terbiasa melakukan proses komunikasi dengan orang
yang berada di lingkungan wihara maka hal tersebut (berceramah) dapat
diatasinya dengan baik. Sedangkan P1 tidak merasakan hal yang sama dengan P2.
P1 menjadikan hasil belajar dan latihan sebagai bekal untuk melakukan ceramah
didepan umat. Hal ini juga merupakan proses penyesuaian diri yang dikemukakan
Schneiders (1964) yaitu proses belajar.
Dengan banyaknya aturan-aturan yang harus dipenuhi kedua partispan
harus menyesuaikan kehidupan mereka dengan aturan-aturan tersebut. Mereka
tidak menjalani kehidupan seperti umat perumahtangga pada umumnya. Selama
proses penyesuaian diri ini kedua partisipan menghadapi beberapa masalah.
18
Kedua partisipan mengalami sedikit kendala untuk berhubungan dengan keluarga
yang ditinggalkan.
Menjadi seorang sramaneri berarti harus tinggal jauh dengan keluarga dan
membatasi diri dengan kehidupan duniawi. Hal tersebut dapat memunculkan
perasaan kesepian. Kesepian dapat dialami oleh setiap orang, kesepian adalah
pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi ketika jaringan hubungan sosial
seseorang tidak mencukupi baik secara kuantitas maupun kualitas (Peplau &
Perlman, 1982), hal ini senada dengan yang dirasakan kedua partisipan. Keduanya
memiliki keinginan untuk menjalin hubungan sosial di lingkungan baru (wihara)
namun hubungan sosial kedua partisipan tidak mencukupi. P2 merasa kesepian
ketika lingkungan sekitarnya mendadak tidak saling bertegur sapa dan tidak saling
bicara dikarenakan padatnya kegiatan masing-masing. P2 memiliki perasaan
untuk menjalin hubungan sosial namun dikarenakan kondisi yang ada tidak
memungkinkan bagi P2 dan lingkungannya untuk berkomunikasi. Sedangkan P1,
merasa merindukan keluarga dan teman-temannya. P1 merasa bahwa waktu yang
diberikan untuk bertemu dengan keluarganya sangatlah kurang. P1 juga merasa
bahwa ia merindukan masa-masa sebelum menjadi Sramaneri.
Kesepian terjadi karena dua hal, yaitu: perubahan pada hubungan sosial
yang sebenarnya dan perubahan dalam hasrat seseorang akan hubungan sosial
(Peplau & Perlman, 1982). Kedua partisipan mengalami transisi perubahan
hubungan sosial nyata dengan bergantinya tempat tinggal serta terjadi perubahan
hubungan sosial dengan tempat tinggal yang sebelumnya (keluarga dan teman
dekat). P2 mengalami perubahan hubungan sosial dengan berpindahnya hubungan
tempat tinggal, yang sebelumnya tinggal bersama individu yang dekat dengannya
19
sekarang harus tinggal dilingkungan baru dan jauh dari orang-orang terdekatnya.
Selain mengalami perubahan hubungan sosial, P2 juga mengalami perubahan
dalam hasrat akan hubungan sosial. P2 ingin menjalin hubungan sosial dengan
lingkungan barunya (wihara). P2 yang ingin menyesuaikan diri dengan
lingkungan barunya ingin menjalin hubungan sosial dengan mereka yang tinggal
di lingkungan wihara. Pada masa awal tinggal di wihara hal ini dirasa sulit. P2
tidak berani untuk berkomunikasi dengan lingkungan barunya. Ketika diajak
berkomunikasi, P2 merasa senang karena ia merasa diperhatikan. P1 juga
merasakan perubahan pada hubungan sosial. P1 merasakan perubahan hubungan
sosial lebih lama dibandingkan P2, P1 sudah mengalami perubahan ini selama 2
tahun sehingga sudah lebih terbiasa dibandingkan P2. P1 dapat berkomunikasi
dan menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan tempat tinggalnya yang
sekarang karena sudah terbiasa. Namun P1 masih memiliki keinginan untuk
berhubungan sosial dengan keluarga dan teman-temannya.
Menurut Weiss, 1973, (dalam Peplau dan Perlman, 1982) terdapat 2 tipe
kesepian, yaitu kesepian emosional (emotional loneliness) dan kesepian sosial
(social loneliness). Kedua partisipan mengalami kesepian dengan jenis yang
berbeda. P1 mengalami kesepian emosional, dengan kurangnya keterhubungan
secara intim, hal ini diperlihatkan dengan pernyataan P1 yang merasa bahwa ia
merindukan keluarga dan teman-temannya. Kesepian emosional merupakan
kesepian yang timbul dari figur kasih sayang yang intim (dalam Perlman &
Peplau, 1981), Sedangkan P2 mengalami kedua jenis kesepian, P2 mengalami
kesepian sosial ketika masa awal tinggal di lingkungan baru. P2 belum terbiasa
dengan lingkungan tempat tinggalnya yang baru dan P2 juga merasa malu untuk
memulai berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Kesepian sosial sendiri adalah
20
kesepian yang terjadi ketika kurangnya keterhubungan sosial atau perasaan
tergabung dalam sebuah komunitas (dalam Perlman & Peplau, 1981).Selain itu,
P2 merindukan kehadiran keluarganya, hal ini merupakan perwujudan dari
kesepian emosional. P2 merasa bahwa ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk
bertemu dengan keluarganya.
Kesepian seorang individu dapat termanifestasikan dalam berbagai wujud
seperti afektif, motivasional dan behavioral (Peplau & Perlman, 1982). Ketika
mengalami kesepian, P1 memanifestasikannya dengan menyiapkan kegiatan-
kegiatan yang bermanfaat. Kesepian ini menjadi faktor pendorong yang
memotivasi P1 untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang dapat
menghilangkan kesepiannya. Selain secara motivasional, kedua partisipan
memanifestasikan kesepiannya secara afektif. Kedua partisipan memunculkan
perasaan lain berupa perasaan bosan atau jenuh ketika mengalami kesepian.
Perasaan jenuh ini muncul ketika kedua partisipan yang sebelumnya
memiliki aktifitas tiba-tiba tidak memiliki kegiatan sama sekali. Kedua partisipan
yang disibukkan dengan tugas kuliah dan kegiatan sramanerinya sehari-hari
mendadak tidak memiliki tugas, ketika hal ini terjadi P2 menjadi canggung dan
bingung akan melakukan kegiatan apa untuk mengisi kekosongan ini, sedangkan
P1 cenderung bermalas-malasan dan tidak ingin melakukan aktifitas. Perasaan
bosan dan jenuh ini disebut dengan kejenuhan yang tidak tertahankan (impatient
boredom). Menurut Rubenstein dkk. (dalam Perlman & Peplau, 1982) kejenuhan
yang tidak tertahankan (impatient boredom) adalah perasaan yang
merepresentasikan perasaan kesepian yang lebih lembut, yaitu perasaan yang
mungkin dirasakan individu ketika mereka tanpa diharapkan sendirian di akhir
21
pekan atau ketika mereka terjebak di ruangan hotel yang membosankan. Saat
mengalami hal ini individu cenderung merasa tidak sabar, marah, serta tidak
mampu berkonsentrasi. P1 lebih tenang ketika perasaan jenuh ini datang, ia dapat
melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk mengatasi rasa jenuh
tersebut, sedangkan P2 cenderung sulit berkonsentrasi untuk melakukan kegiatan
yang dapat mengisi waktu luang ini.
Ketika kesepian ini datang kedua partisipan memiliki cara yang berbeda
untuk mengatasinya. P1 cenderung melakukan kegiatan lain seperti bermeditasi
atau mempersiapkan materi untuk kegiatan keagamaan. Sedangkan P2 cenderung
diam dan melakukan hobinya seperti menulis atau membaca buku didalam kamar.
Kedua cara koping terhadap kesepian ini senada dengan hasil penelitian Rokach
dan Brook (1998). P1 melakukan strategi koping kesepian dengan melakukan
kegiatan keagaaman (religion and faith) berupa bermeditasi dan mengikuti
ceramah serta strategi koping dengan melakukan peningkatan aktifitas (increased
activity) dimana P1 melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengatasi kesepiannya.
P2 melakukan strategi yang sama yaitu ia melakukan kegiatan-kegiatan (menulis
dan membaca) untuk mengatasi kesepiannya.
KESIMPULAN
Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam melakukan proses penyesuaian
diri kedua partisipan mengalami beberapa kendala. Kedua partisipan diharuskan
untuk hidup terpisah dengan keluarga dan memenuhi aturan-aturan yang ada. Pada
masa awal tinggal di wihara P2 mengalami kesepian sosial (social loneliness)
yang dialaminya kala awal dirinya tinggal di lingkungan baru (wihara). Selain itu
kedua partisipan mengalami jenis kesepian yang sama yaitu kesepian emosional
22
(emotional loneliness). Kedua partisipan sama-sama mengalami kesepian yang
dikarenakan kurangnya figur kasih sayang yang intim, dalam hal ini adalah
kehadiran keluarga dan teman terdekat. Ketika kesepian ini terjadi keduanya
mengalami perasaan lain berupa kejenuhan/kebosanan. Perasaan ini merupakan
perwujudan dari kesepian yang dialami oleh kedua partisipan. Kedua partisipan
merespon perasaan bosan ini dengan respon yang berbeda, P1 merespon dengan
kegiatan yang positif sedang P2 cenderung diam dan melakukan kegiatan di
kamar. Hal ini merupakan respon dari kondisi dari lingkungan (tidak ada proses
komunikasi). P2 merasa dengan diam maka kondisi tersebut akan segera berakhir.
Kedua partisipan memiliki cara untuk menghadapi kesepian yang mereka alami.
Keduanya melakukan peningkatan aktifitas (increased activity) berupa melakukan
berbagai kegiatan atau melakukan hobi.
SARAN
Dari hasil penelitian disarankan bagi para calon biksuni untuk tetap
berkomunikasi seperti berubungan melalui telefon atau jejaring sosial dengan
keluarga yang ditinggalkan, selain itu juga disarankan untuk mengisi waktu luang
dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat seperti melakukan meditasi atau
mempersiapkan materi kuliah dan bersosialisasi dengan lingkungan untuk
membantu menyesuaiakan dengan lingkungan baru. Dengan mengisi waktu
kosong dengan kegiatan tersebut dapat mengurangi perasaan kesepian yang
dirasakan. Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk mengambil lebih banyak
partisipan. Selain itu disarankan untuk mengambil partisipan calon biksu dan
dapat dibandingkan dengan kesepian yang dialami oleh calon biksuni. Selain itu
23
masih banyak topik yang dapat diteliti mengenai calon biksu, seperti kesendirian,
makna hidup, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Bogaerts, S., Vanheule, S., & Desmet, M., (2006). Feeling of subjective emotional
loneliness: an exploration of attachment. Social Behavior and Personality,
34(7), 797-812.
24
Cacioppo, J.T., Fowler, J.H., & Christakis, N. A. (2009). Alone in the Crowd: The
Structure and Spread of Loneliness in a Large Social Network. J Pers Soc
Psychol, 96(6), 977-991.
Chaplin, J. P. (1981). Kamus Lengkap Psikologi (Kartini Kartono Trans.). Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada. (Original work published 1968)
De Jong Gierveld, J., Van Tilburg, T., & Dykstra, P. A. (2006). Loneliness and
social isolation. In A. Vangelisti & D. Perlman (Eds.), Canbridge handbook
of personal relationship. Cambridge: Cambridge University Press, 485-499.
Jotalankara, U. (2003). Ajaran-ajaran dasar Buddhisme. Yayasan Prasadha
Jinarakkhita Buddhust Institute.
Moleong, L. J. (2013).Metodologi penelitian kualitatif (cetakan ke-31). Bandung.
PT Remaja Rosdakarya.
Perlman, D., & Peplau, L. A. (1979). Blueprint for a social psychological theory
of loneliness. In M. Cook & G. Wilson (Eds.), Love and attraction (pp. 99-
108). Oxford, England: Pergamon.
Perlman, D., & Peplau, L. A. (1981). Toward a social psychology of loneliness. In
S. Duck & R. Gilmour (Eds.), Personal relationships in disorder (pp. 31-
56). London: Academic Press.
Perlman, D., & Peplau, L. A. (1982). Perspectives on loneliness. In L. A. Peplau
& D. Perlman (Eds.), Loneliness: a sourcebook of current theory, research,
and therapy (pp. 1-18). New York: A Wiley Interscience Publication.
Pritaningrum, M., & Hendriani, W. (2013). Penyesuaian Diri Remaja yang
Tinggal di Pondok pesantren Modern Nurul Izzah Gresik Pada Tahun
Pertama. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial 1, 141-150.
25
Rokach, A. (1999). Cultural background and coping with loneliness. The Journal
of Psychology, 133,217
Rokach, A., & Brock, H. (1998). Coping with Loneliness. The Journal of
Psychology 132(1),107-127.
Rubinstein, C., Shaver, P., & Peplau, L. A. (1979). Loneliness. Human Nature 2,
58-65.
Schneider,A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. Newyork:
Rinehart & Winston
Wright, L. S. (2005). Loneliness in workplace. Tesis. Doctor of Philosophy in
Psychology at the University of Centerbury.