fakultas psikologi universitas kristen satya ......menurut schneiders (1964) teradapat hubungan...

35
PENYESUAIAN DIRI DAN KESEPIAN PADA CALON BIKSU OLEH NUGRAHA PUTRA WARIHKENCANA 802011121 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program StudiPsikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2018

Upload: others

Post on 16-Mar-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

PENYESUAIAN DIRI DAN KESEPIAN PADA CALON BIKSU

OLEH

NUGRAHA PUTRA WARIHKENCANA

802011121

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari

Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program StudiPsikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2018

Page 2: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka
Page 3: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka
Page 4: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka
Page 5: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka
Page 6: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka
Page 7: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

PENYESUAIAN DIRI DAN KESEPIAN PADA CALON BIKSU

NUGRAHA PUTRA WARIHKENCANA

KRISMI D. AMBARWATI

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2018

Page 8: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

i

Abstrak

Seorang calon biksu diharuskan tinggal di wihara dan meninggalkan tempat

tinggal sebelumnya. Perubahan tempat tinggal akan memicu proses penyesuaian

diri. Penyesuaian diri adalah variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi

suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan. Salah satu hambatan yang

terjadi adalah kesepian. Kesepian merupakan pengalaman yang tidak

menyenangkan yang terjadi karena seorang individu merasa terpisah atau

sendirian serta tidak memiliki banyak hubungan sosial dan disaat bersamaan

individu tersebut memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan secara

interpersonal dengan orang lain. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagimana

penyesuaian diri dan kesepian pada calon biksu. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif yang melibatkan 2 orang calon biksu yang sudah lebih dari 2

bulan menjadi calon biksu yang terdiri dari 2 orang perempuan. Hasil penelitian

ini, kedua partisipan memiliki keinginan untuk menjalin hubungan sosial di

lingkungan wihara namun hubungan sosial kedua partisipan tidak mencukupi

karena perubahan lingkungan fisik dan sosial. Kedua partisispan dapat dengan

baik melakukan penyesuaian dengan lingkungan (baik fisik maupun sosial).

Kedua partisipan mengatasi perasaan kesepian mereka dengan melakukan

kegiatan keagamaan serta peningkatan aktivitas.

Kata kunci: penyesuaian diri, kesepian, calon biksu, hubungan sosial,

wihara

Page 9: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

ii

Abstract

Death of significant others caused grief for someone. Loss of significant others in

their adolescent engenders deep feelings, and may change their lives. This

research aimed to describe the grief which were experienced by teenagers who

were losing their significant others. This study uses qualitative methods to two

participants. The result showed that the participants responded grief differently

which were influnced by some factors; emotional bonding, gender, and social

environment. In addition, the effect of losing significant others were influenced by

3 sequences: 1)The relationship with significant others before they died which

illustrates closeness with significant others. 2)The participants experienced the

time when the significant others were dying related to how emotional aspects

occur, the way participants are to deal with the perceived negative emotions, how

participants express grief, and how participants reject the death of significant

others. 3)The changes happened to the participants after the significant others

died is a change that occurs in the life of participants both to themselves and the

environment. Grief can give positive and negative impacts, it depended how they

dealed with that feeling (grief).

Keywords : Grief, Dead, Significant Others

Page 10: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

1

PENDAHULUAN

Indonesia terkenal memiliki berbagai kebudayaan dan kepercayaan. Selain

itu terdapat juga berbagai agama yang dianut oleh penduduknya. Diantaranya

terdapat agama Buddha, yang merupakan salah satu agama tertua yang ada di

dunia. Buddha dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI daring, 2015) adalah

agama yang diajarkan oleh Sidharta Gautama atau orang yang telah mencapai

kesempurnaan dalam Buddhisme. Agama Buddha dikenal sejak abad ke-6 sampai

ke-4 sebelum masehi. Agama ini dikenal berasal dari daerah di India dan

didasarkan pada ajaran Shidarta Gautama yang disebut sebagai sang Buddha

(berarti “yang telah sadar” dalam bahasa Sanskerta). Agama Buddha percaya

bahwa manusia dapat terlepas dari penderitaan dengan melakukan meditasi dan

dengan menjalani gaya hidup yang telah diajarkan oleh Buddha sendiri. Tujuan

akhir dalam agama Buddha adalah mendapatkan pencerahan sejati dan mencapai

nirwana. Nirwana dipercaya dapat dicapai dengan menghapuskan semua

keserakahan, kebencian, dan ketidaktahuan pada seseorang.

Menurut Jotalankara (2013) terdapat 3 prinsip dasar dalam agama Buddha

yaitu dharma, reinkarnasi, dan karma. Dharma merupakan ajaran seorang Buddha

mengenai cara membebaskan diri dari penderitaan dengan cara bermeditasi serta

menjalani gaya hidup yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. Reinkarnasi adalah

proses kelahiran kembali dimana seorang individu yang telah mati akan hidup

kembali dalam bentuk yang lain (bisa dalam wujud manusia, hewan, atau bentuk

makhluk lainnya). Sedangkan karma adalah segala hasil dari tindakan yang kita

lakukan, bila seorang individu melakukan perbuatan yang baik maka akan

mendapat karma yang baik begitu pula sebaliknya, setiap perbuatan buruk maka

akan mendatangkan karma yang buruk.

Page 11: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

1

Page 12: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

2

Dalam agama Buddha terdapat istilah seperti biksu/biksuni, wihara, dan

perumahtangga. Biksu Buddha adalah individu yang mendalami kegiatan agama

dalam agama Buddha, sedangkan dalam KBBI Daring (2015) biksu adalah petapa

atau pendeta dalam agama Buddha. Para biksu ini melakukan kegiatan keagamaan

di wihara, dengan tujuan mendapat pencerahan sejati dengan melakukan kegiatan

meditasi dan berbagai kegiatan lain para biksu ini menjalani sehari-hari di wihara.

Terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui seseorang sebelum seseorang dapat

dikatakan sebagai biksu (biksuni untuk perempuan).

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan pada bulan Oktober

2015 dengan salah satu biksuni yang berada di Ampel, Jawa Tengah, tahap

pertama adalah perumahtangga merupakan para pemeluk agama Buddha dan

merupakan orang biasa dengan 5 aturan utama atau pancasila. Perumahtangga

yang ingin mengabdikan diri untuk belajar mengenai Buddha lebih lanjut akan

menjalani tingkatan yang disebut dengan anagarika (untuk laki-laki) atau

anagarini (untuk perempuan). Anagarika maupun anagarini adalah tahapan

pelatihan awal, para anagarini maupun anagarika diwajibkan untuk tinggal di

sekitar wihara. Tahap ini berlangsung dalam waktu yang relatif singkat, yaitu

sekitar 2 minggu. Para anagarika dan anagarini tidak diperbolehkan untuk

meninggalkan wihara lebih dari beberapa hari. Seorang anagarika atau anagarini

akan tetap tinggal di wihara sampai mereka ditahbiskan menjadi seorang

sramanera (laki-laki) dan srameneri (perempuan). Sramanera/sramaneri

merupakan calon biksu, mereka mengenakan jubah yang sama dengan para biksu

(jubah cokelat). Para calon biksu ini memiliki lebih dari 300 aturan yang harus

dipatuhi. Mereka memiliki kegiatan sebagai pembimbing umat dan melakukan

ceramah dalam acara-acara keagamaan. Untuk ditahbiskan ke tahap selanjutnya,

Page 13: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

3

menjadi seorang biksu/biksuni, seorang sramanera/sramaneri akan dibimbing oleh

seorang guru. Keputusan untuk penasbihan ada di tangan gurunya serta waktu

penahbisan akan berbeda-beda tergantung kesiapan sramanera/sramaneri tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan pada bulan Oktober

2015 dengan salah satu biksuni yang berada di Ampel, Jawa Tengah, seorang

perumahtangga yang lalu menjadi sramanera/sramaneri akan mengalami

perubahan lingkungan tempat tinggal. Seorang perumahtangga yang tinggal

bersama keluarganya, saat menjadi seorang sramanera/sramaneri harus

meninggalkan keluarganya dan bahkan tidak dapat bertemu dengan keluarganya

setiap waktu. Seorang sramanera/sramaneri tidak diperkenankan meninggalkan

area wihara yang ia tinggali melebihi 5 hari. sramanera/sramaneri tidak

diperkenankan untuk terlalu sering pulang ke rumahnya.

Perubahan tempat tinggal akan memicu proses penyesuaian diri terhadap

lingkungan baru. Sramanera dan sramaneri yang tinggal di wihara melakukan

penyesuaian diri terhadap tempat tinggalnya yang baru. Penyesuaian diri atau self-

adjustment adalah variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu

hambatan dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan (Chaplin, 2004). Sedangkan

menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri merupakan sebuah proses, yang

melibatkan baik respon mental dan perilaku; yang mana seorang individu

berusaha untuk mengatasi dengan baik kebutuhan dari dalam, ketegangan,

frustrasi, dan konflik, dan untuk menyebabkan sebuah derajat harmoni antara

tuntutan dari dalam dan yang dikenakan padanya oleh dunia objektif dimana

individu tersebut tinggal.

Page 14: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

4

Menurut Schneiders (1964 dalam Ali & Asrori, 2004) ada lima faktor yang

memengaruhi proses penyesuaian diri pada remaja, diantaranya yaitu kondisi fisik

(hereditas /keturunan, sistem utama tubuh, dan kesehatan fisik), kepribadian

(modifiability, self regulation, self realization, dan intelegensi), proses belajar

(belajar, pengalaman, latihan, dan determinasi diri), lingkungan (keluarga,

sekolah, masyarakat), agama serta budaya. Penyesuaian diri yang normal dapat

dilihat dari beberapa aspek, yaitu: (1) Mampu mengontrol emosionalitas yang

berlebihan. (2) Mampu mengatasi mekanisme psikologis. (3) Mampu mengatasi

perasaan frustrasi pribadi. (4) Kemampuan untuk belajar. (5) Kemampuan

memanfaatkan pengalaman. (6) Memiliki sikap yang realistis dan obyektif.

Seorang akan melakukan penyesuaian diri secara sadar maupun tidak pada

lingkungan baru. Penyesuaian dengan suhu, cuaca, pemandangan (secara fisik),

dan penyesuaian pada individu lain, serta proses sosial yang berada di lingkungan

baru akan dilakukan oleh para sramanera/sramaneri. Menurut Gunarsa (Sobur,

2003) bentuk penyesuaian diri dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu

adaptive dan adjustive. Bentuk penyesuaian diri adaptive ini lebih bersifat fisik,

artinya perubahan-perubahan dalam proses fisik untuk menyesuaikan diri

terhadap keadaan lingkungan. Pengertian luas mengenai proses penyesuaian itu

terbentuk sesuai dengan hubungan individu dengan lingkungan sosialnya, yang

dituntut dari individu, tidak hanya mengubah kelakuannya dalam menghadapi

kebutuhan-kebutuhan dirinya dari dalam dan keadaan di luar, dalam lingkungan

tempat ia hidup, tetapi ia juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan

adanya orang lain dan macam-macam kegiatan mereka. Orang yang ingin menjadi

anggota dari suatu kelompok, ia berada dalam posisi dituntut untuk menyesuaikan

diri dengan kelompok itu. Sedangkan bentuk penyesuaian yang lain, adjustive,

Page 15: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

5

yang tersangkut kehidupan psikis. Dengan adanya keterkaitan antara kehidupan

psikis dan penyesuaian adjustive maka penyesuaian ini berhubungan juga dengan

tingkah laku. Tingkah laku manusia sebagian besar dilatar belakangi oleh hal-hal

psikis ini, kecuali tingkah laku tertentu dalam bentuk gerakan-gerakan yang sudah

menjadi kebiasaan atau gerakan-gerakan refleks. Penyesuaian ini merupakan

penyesuaian diri tingkah laku terhadap lingkungan yang dalam lingkungan yang

dimaksud terdapat aturan-aturan atau norma-norma.

Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental

dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka akan

berdampak pada penyesuaian diri yang baik, begitu pula sebaliknya, keasehatan

mental yang buruk maka akan berdampak pada penyesuaian diri yang buruk.

Kurangnya percaya diri, perasaan tidak aman, ketidakcukupan pemahaman diri,

dan hubungan sosial yang tidak memuaskan merupakan contoh dari kesehatan

mental yang buruk.

Tinggal di lingkungan wihara maka akan membatasi seorang

sramanera/sramaneri untuk berhubungan dengan dunia luar, individu yang

tinggal/bekerja di lingkungan yang terisolasi secara fisik menjadi lebih rentan

terhadap kesepian. Dalam penelitian lain yang terkait dengan kesepian yaitu

Loneliness in the Workplace (Wright, 2005) dikatakan bahwa kesepian tidak

terjadi oleh karena faktor karakteristik kepribadian individu saja, namun faktor

lingkungan tempat bekerja juga dapat memengaruhi hal tersebut. Dalam penelitian

ini, lingkungan wihara adalah lingkungan yang dapat berpengaruh pada kesepian.

Terdapat beberapa teori mengenai kesepian atau loneliness. Menurut

Peplau dan Perlman, (1982) kesepian adalah pengalaman tidak menyenangkan

yang terjadi ketika jaringan hubungan sosial seseorang tidak mencukupi baik

Page 16: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

6

secara kuantitas maupun kualitas. Sedangkan menurut De Jong Gierveld, (1987)

kesepian adalah sebuah situasi dimana jumlah hubungan yang eksis lebih kecil

dari jumlah yang dianggap diinginkan atau diterima, begitu juga situasi dimana

mendekati satu keinginan yang belum terwujud.

Kesepian tidak sertamerta terjadi begitu saja, terdapat hal yang menyebabkan

atau memicu kesepian itu muncul. Menurut Perlman dan Peplau (1982) kejadian

pemicu kesepian dibedakan menjadi dua jenis yaitu perubahan pada hubungan

sosial yang sebenarnya dan perubahan dalam hasrat seseorang akan hubungan

sosial. Perubahan pada hubungan sosial yang sebenarnya pada seorang individu

sering ditemui pada kehidupan sehari-hari. Perubahan ini menyebabkan suatu

hubungan jatuh hingga di bawah level optimal suatu hubungan. Kesepian

dipengaruhi tidak hanya oleh kehadiran dan ketidakhadiran suatu hubungan,

tetapi juga oleh aspek kualitatif dari hubungan sosial. Karena itu, menurunnya

kepuasan terhadap suatu hubungan memicu terjadinya kesepian. Suatu hubungan

sosial yang tidak memuaskan merupakan salah satu contoh mental yang tidak

sehat dan akan memengaruhi proses penyesuaian diri.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bogaerts, Vanheule, dan Desmet

(2006) menyatakan bahwa seorang individu dewasa muda lebih mudah terkena

perasaan kesepian emosional, dikarenakan perubahan perkembangan pada

kelekatan kelompok dan perubahan konsekuen dari hubungan orangtua-anak. Para

sramanera/sramaneri diharuskan berpisah dengan orangtuanya untuk mengikuti

kegiatan-kegiatan di wihara. Terdapat perubahan hubungan antara

sramanera/sramaneri tersebut dengan kedua orangtuanya. Pada masa awal

perubahan tersebut, para sramanera/sramaneri lebih rentan mengalami kesepian

seperti penelitian Bogaerts,Vanheule, dan Desmet (2006). Kesepian tidak terasa

Page 17: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

7

sama bagi setiap orang. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Rubenstein dkk.,

(1979) terdapat empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang kesepian,

yaitu keputusasaan (desperation), kejenuhan yang tidak tertahankan (impatient

boredom), pencelaan diri (self-deprecation) dan depresi (depression).

Berdasarkan fakta-fakta diatas bahwa perubahan lingkungan sosial yang

signifikan pada sramanera/sramaneri maka kesepian menjadi salah satu masalah

untuk dihadapi oleh sramanera/sramaneri sebagai upaya dari melakukan

penyusaian diri pada lingkungan sosial di wihara. Peneliti ingin melihat

bagaimana penyesuaian diri serta kesepian yang terdapat pada

sramanera/sramaneri di lingkungan wihara.

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan

wawancara dan observasi. Pengambilan data dilakukan di Wihara tempat

kediaman partisipan. Penelitian ini menggunakan desain fenomenologis dimana

penelitian ini mencoba menjelaskan makna dari kesepian dari calon biksu/biksuni.

2. Partisipan

Dengan berdasarkan pada kebutuhan penelitan, peneliti menggunakan metode

purposive sampling untuk menentukan partisipan. Metode purposive

samplingmerupakan metode pengambilan sampel dimana peneliti memilih sendiri

kriteria partispan. Kriteria dari partisipan tersebut adalah: merupakan calon

biksu/biksuni selama lebih dari 2 bulan dan tinggal di wihara/tinggal terpisah dari

Page 18: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

8

keluarga. Metode ini dipilih karena dirasa sesuai dengan karakteristik dan tujuan

penelitian. Terdapat 2 partisipan dalam penelitian ini yang terdiri dari 2

perempuan yang masing-masing berumur 20 tahun dan 18 tahun. Kedua partisipan

merupakan sramaneri yang tinggal di Wihara Veluvana, Ampel, Kec. Boyolali,

Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kedua partisipan sudah menjadi seorang

sramaneri selama lebih dari 2 bulan.

Partisipan pertama (P1) adalah seorang perempuan berusia 20 tahun yang

berasal dari Temanggung, Jawa Tengah. Sebelumnya tinggal bersama dengan

keluarganya yang beranggotakan ibu, kakak, kakek, dan neneknya, sedang

ayahnya sedang bekerja di Lampung. P1 sudah menjadi seorang sramaneri selama

lebih dari 2 tahun. P1 menjadi sramaneri bersama-sama dengan teman-temannya.

Sebelum menjadi sramaneri, P1 menjalani tahap anagarini bersama teman-

temannya di Temanggung.

Partisipan kedua (P2) adalah seorang perempuan berusia 18 tahun yang

berasal dari Tuntang, Jawa Tengah. Sebelumnya P2 tinggal bersama

keluarganya,yang beranggotakan kedua orangtuanya dan kakak-kakaknya. P2

menjadi sramaneri selama lebih dari 2 bulan. P2 tidak menjalani tahap anagarini

sebelum menjadi sramaneri.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan observasi.

Wawancara menurut Moleong (2013) wawancara adalah percakapan dengan

maksud tertentu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman

wawancara (interview guide) yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitan yaitu

untuk mengetahui makna kesepian dari sramaneri. Selain menggunakan

Page 19: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

9

wawancara, peneliti juga menggunakan metode observasi untuk melengkapi

pengumpulan data yang dilakukan.

HASIL PENELITAN

Terdapat beberapa tema besar dari hasil wawancara mengenai penyesuaian

diri dan kesepian pada sramaneri. Tema besar tersebut adalah: hubungan sosial

sebelum menjadi sramaneri, hubungan sosial setelah menjadi sramaneri, dinamika

penyesuaian diri, dan pengalaman kesepian pada partisipan.

1. Hubungan sosial sebelum menjadi sramaneri

Sebelum menjadi seorang sramaneri P1 cenderung lebih dekat dengan

teman-temannya daripada dengan keluarganya, P1 lebih sering menghabiskan

waktunya bersama teman-temannya seperti mengikuti berbagai kegiatan sekolah

bersama-sama dan menjadi sramaneri bersama. Seperti kutipan berikut:

“Kami berempat sangat dekat ya, karna dulu waktu SMK itu kita serang

sering mengadakan kegiatan bareng, ikut pelatihan-pelatihan bareng, menjadi

pengurus di SMK juga bareng, seperti itu” (P1W1)

Sedangkan sebelum menjadi seorang sramaneri, P2 tinggal bersama

seluruh keluarganya yang beranggotakan kedua orangtuanya dan kakak-kakaknya.

2. Hubungan sosial sesudah menjadi sramaneri

Sedangkan setelah menjadi sramaneri hubungan sosial P1 berubah, yang

dulu dekat dengan teman-temannya sekarang sudah agak renggang karena 3 dari 4

orang temannya sudah lepas jubah/berhenti menjadi seorang sramaneri. P1 merasa

memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang yang berada di wihara seperti

kutipan berikut:

Page 20: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

10

“Kalau hubungan dengan orang-orang di wihara sangat baik, karena disini

kita bekerjasama satu sama lain saling membantu kalau ada kegiatan

misalnya seperti acara kita juga saling membantu.” (P1W1)

Setelah menjadi seorang sramaneri, P1 merasa terjadi perubahan pada

kehidupannya, seperti pernyataan P1 berikut:

“Jadi kalau dulu sebelum jadi Sramaneri kan lebih aktif diluar, tidak sering

kumpul keluarga, tapi lebih memiliki banyak kegiatan-kegiatan yang

sosialisasi di luar atau sosialisasi di masyarakat seperti itu. Nah kalau,

sedangkan kalau disini kan kita berlatih untuk diri sendiri jadi lebih sering

berada di wihara.” (P1W1)

Dari perubahan tersebut P1 mengalami rasa kangen karena tinggal terpisah

dari keluarga dan teman-temannya. Seorang sramaneri memiliki kurang lebih 10

aturan dan 75 sekia salah satunya adalah aturan mengenai larangan tinggal lebih

dari tiga hari di luar wihara, dikarenakan adanya aturan-aturan yang membatasi

tersebut P1 tidak memiliki cukup waktu untuk dihabiskan dengan keluarganya

menurut pernyataan berikut:

“3 hari itu bisa tidur di rumah bersama keluarganya, kalau melebihi itu kan

mendapatkan sangsi seperti itu, nah dari situ lah merasa kangen, kenapa

kita cuma punya waktu 3 hari seperti itu, padahal kita pengen dekat

dengan keluarga.”(P1W1)

Sedangkan setelah menjadi seorang sramaneri P2 sempat merasa terasing

karena tinggal ditempat yang baru, seperti ungkapan berikut:

“Iya pasti, kalo setiap kita pindah tempat tinggal kan pasti ada rasa

diasingkan dari mereka-mereka yang sudah ada dis- pasti ada rasa asing.” (P2W1)

Saat tinggal di wihara, P2 harus berhubungan dengan senior-seniornya, P2

merupakan salah seorang sramaneri yang paling muda di wihara tersebut. Berikut

kutipan P2:

“Ya kalo disini kan gimana ya, hubunganya juga kan, kita kan kalo di-

seorang samana kan pasti ada yang senior junior jadi hubungan kektika

kita bertemu dengan yang senior kita memberikan salam, kita biasanya

kalo ada bante-bante yang senior itu para Sramaneri muda langsung

Page 21: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

11

namaskara, namaskara itu langsung bersujud pada mereka, terus nanti

biasanya bante-bante itu memberikan wejangan, gimana kamu gini gini

gini, seperti itu” (P2W1)

Selain berhubungan sosial di wihara, P1 dan P2 merupakan seorang

mahasiswi yang sedang berkuliah di jurusan ilmu agama Buddha, mereka cukup

dekat dengan teman mahasiswa lainnya selayaknya teman kuliah biasa. Berikut

kutipannya:

“Eh, kan kalo kita kan sama-sama mahasiswa ya jadinya kalo mereka

ngobrol itu biasanya ya seperti temen biasa gitu, tapi kalo ada sudah ada

dilingkungan di dalam Wihara kita pasti sudah berubah, anu he eh,

berubah seperti itu, mereka juga memberikan rasa hormat kepada kami

yang berjubah, kalo diluar lingkungan wihara kami juga seperti temen

biasa, soalnya kita kan sesama mahasiswa ngobrol kan paling juga cuma

tugas atau apa gitu, kepentingan lainnya.”(P2W1)

Baik P1 dan P2 merasakan perubahan hubungan sosial karena berpindah

tempat tinggal, yang sebelumnya tinggal dengan keluarganya sekarang harus

tinggal di lingkungan wihara. P1 dan P2 merasa adanya penerimaan dari

lingkungannya yang baru seperti pernyataan P1 berikut:

“Justru pertama ketika kali saya menjadi Sramaneri, karena ada kan dulu

saya pentahbisannya tidak disini tapi saya pentahbisan di Jepara bersama

teman-teman saya, setelah datang kesini mereka langsung terima secara

terbuka.”(P1W1)

Sejalan dengan P1, P2 merasakan hal yang sama, berikut pernyataannya:

“kalo diajak ngobrol itu ya malah seneng, kan berarti kita diperhatikan

sama mereka, kan kita sudah diajak ngobrol kita kan berani membalas

obrolan mereka jadi kita itu ternyata disini nggak, nggak apa ya, dianggep

gitu lho nggak diasingkan, jadi mereka it- kita dan mereka cuman butuh

proses untuk menjalin komunikasi yang baik gitu.”(P2W1)

Selain hal tersebut P1 juga merasa nyaman setelah menjadi sramaneri,

adanya penerimaan dari lingkungan meningkatkan kepercayaan dirinya. P1

merasa lebih dihormati ketika berbicara didepan publik seperti pernyataan berikut:

Page 22: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

12

“Saya rasa jauh lebih nyaman ketika kita menjadi Sramaneri, karena kan

kalau jadi Sramaneri itu kalau kita berada di masyarakat itu mereka lebih

menghormati, lebih memiliki ya rasa hormat seperti itu.”(P1W1)

3. Dinamika Penyesuaian Diri

a. Masa Awal Penyesuaian Diri

Pada masa awal P2 menjalani kehidupan di wihara P2 merasa bahwa dia

terasing dari lingkungan barunya, seperti kutipan berikut ini:

“Iya pasti, kalo setiap kita pindah tempat tinggal kan pasti ada rasa

diasingkan dari mereka-mereka yang sudah ada dis- pasti ada rasa asing.” (P2W1)

Sedangkan P2 memiliki kepribadian yang pemalu terutama pada saat harus

bicara didepan umum, berikut pernyataannya:

“Ya kadang karena kita masih awal ya, kalo berhadapan dengan umat itu

masih ada rasa takut rasa cemas gitu nanti takut salah atau apa gitu…” (P2W1)

Ketika merasa terasing P2 cenderung diam dan tidak berusaha untuk

memulai proses komunikasi, seperti kutipan berikut:

“Diam, karena kalo kita mau bicara itu rasanya berat, takut.” (P2W1)

Sedangkan P1 tidak merasa perasaan terasing ketika masa awal tinggal di

wihara. Berikut kutipan dari P1:

“Justru pertama ketika kali saya menjadi Sramaneri, karena ada kan dulu

saya pentahbisannya tidak disini tapi saya pentahbisan di Jepara bersama

teman-teman saya, setelah datang kesini mereka langsung terima secara

terbuka, seperti itu.” (P1W1)

b. Proses Penyesuaian Diri

Page 23: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

13

Ketika tinggal di wihara kedua partisipan memiliki keharusan untuk

menaati peraturan-peraturan yang ada di wihara. Kedua sramaneri ini memiliki

banyak aturan seperti yang dikemukakan P1 berikut:

“ya kadang, kan kita kan memiliki beberapa aturan, kalau untuk Sramaneri

itu ada 8 sekia sama, eh 10 aturan sama 75 sekia, kalau untuk menjadi

Bikkhuni kan kita mempunyai aturan 300an lebih.” (P1W1)

Selain memiliki aturan-aturan tersebut, kedua partisipan harus

menyesuaikan diri dengan kehidupan perkuliahan. Selain berlatih menjadi seorang

sramaneri, kedua partisipan juga merupakan mahasiswa aktif di Sekolah Tinggi

Ilmu Agama Buddha (STIAB) yang berada pada kompleks yang sama dengan

wihara mereka, berikut pernyataan P2:

“Ya prosesnya kan kita kan kalo disini kan sambil belajar atau sambil

kuliah jadinya kita harus bisa menyesuaikan diri antara kita dilingkungan

wihara atau dilingkungan teman-teman di kampus jadinya kalau di wihara

kita harus bisa menjadi samana atau pabajita kemudian kalau

dilingkungan mahasiswa kita juga harus bisa menempatkan diri bagaimana

caranya menjadi seorang mahasiswi seperti itu.” (P2W1)

Setelah beberapa waktu P2 merasa bahwa adanya penerimaan pada dirinya

dilingkungan wihara tersebut. P2 merasa senang dengan adanya penerimaan

tersebut seperti yang P2 ungkapkan pada pernyataan berikut:

“kalo diajak ngobrol itu ya malah seneng, kan berarti kita diperhatikan

sama mereka, kan kita sudah diajak ngobrol kita kan berani membalas

obrolan mereka jadi kita itu ternyata disini nggak, nggak apa ya, dianggep

gitu lho nggak diasingkan, jadi mereka it- kita dan mereka cuman butuh

proses untuk menjalin komunikasi yang baik gitu.” (P2W1)

P2 sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di wihara dan dapat menjalin

hubungan baik dengan lingkungan tempat tinggalnya. Berikut pernyataannya:

“Tidak, sudah biasa, terbiasa tinggal disini, dan juga terbiasa dengan orang

yang ada disini, jadinya sudah bisa mulai, apa ya, berhubungan baik

dengan mereka gitu, sudah nggak kaya dulu lagi.” (P2W1)

Page 24: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

14

Hal ini juga terlihat dari respon orangtua P2 yang diungkapkan pada

pernyataan berikut:

Ya lebih tenang gitu, wong kata orang tua saya juga seperti ini „kok

sekarang kamu lebih gendutan, atau apa gitu, mungkin pikiran kamu

mungkin lebih tenang‟.

4. Pengalaman Kesepian pada Partisipan

a. Pengertian dan Penyebab Kesepian

Menurut P1, kesepian terjadi dikarenakan diri terlarut dalam kesenangan

sehingga lupa pada diri sendiri maka akan timbul kesepian, berikut kutipannya:

“kita terlalu larut dalam kesenangan seperti itu, kita, misalnya kita sedang

rame-rame terus kita terlalu larut dalam kesenangan itu dan pada saat itu

kita lupa pada diri kita sendiri itu menbuat merasa kesepian. Karena saat

kita tidak menyadari diri kita sendiri, eh, diri kita sendiri saja kita tidak

menyadarinya, bagaimana dengan hal-hal yang diluar diri kita.” (P1W1)

P1 dan P2 mengalami perasaan rindu pada keluarganya karena kurangnya

kesempatan untuk bertemu dan jarangnya komunikasi antara partisipan dengan

keluarganya, berikut pernyataan P2:

“Ya pasti perasaanya ya kan, biasanya dirumah bareng keluarga, sekarang

sendiri nggak ada keluarga, biasanya sakit gini gini gini dikerokin atau

apa, ya sekarang kalau sakit ya paling sama temen atau apa gitu, jadi ada

rasa kangen.”(P2W1)

P1 pun merasakan hal yang serupa, P1 merasa bahwa aturan yang

membatasi pertemuan dengan keluarganya menjadikannya merasa kurang

nyaman, karena P1 masih ingin dekat dengan keluarganya. Berikut ini kutipan

dari penyataannya:

“3 hari itu bisa tidur di rumah bersama keluarganya, kalau melebihi itu kan

mendapatkan sangsi seperti itu, nah dari situ lah merasa kangen, kenapa

kita cuma punya waktu 3 hari seperti itu, padahal kita pengen dekat

dengan keluarga” (P1W1)

Page 25: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

15

P2 selain menjadi seorang sramaneri juga memiliki tugas sebagai seorang

mahasiswi, disela-sela kesibukan wihara tersebut P2 memiliki banyak tugas kuliah

yang menyebabkan renggangnya proses komunikasi antara P2 dengan teman-

temannya. Kondsi ini dirasa P2 sebagai kondisi penyebab kesepian.Berikut

pernyataan dari P2:

“Ya, kan kadang kan kalo, namanya juga manusia biasa ya, kan punya,

punya perasaan yang beda-beda, kalo lagi pada galau, maksudnya galau

bukan dalam artian cinta atau apa bukan seperti itu, tapi galau dengan

tugas masing-masing atau apa, pasti mereka- kami, kami itu pasti diam,

diam nggak saling nyapa gitu jadi pada waktu itu ketika kita nggak saling

nyapa itu rasanya sepi banget kok kaya nggak ada orang ya gitu.”(P2W1)

P2 cenderung tidak melakukan sesuatu dengan kondisi tersebut. P2 merasa

bahwa bila ia kondisi tersebut akan berubah bila ia diam.

b. Manifestasi Kesepian

Manifestasi adalah perwujudan dari kesepian yang terjadi, P1 merasakan

kejenuhan ketika P1 yang biasanya memiliki rutinitas seperti bersembahyang,

kuliah, dan mengerjakan tugas tiba-tiba menjadi tidak memiliki kegiatan, berikut

pernyataannya:

“merasa jenuhnya kalau kita tidak punya kerjaan, jadi makanya kalau

disini itu kita membuat apa- jadwal, jadwal-jadwal tertentu, misalnya kita

latihan yamkeng bareng, atau latihan baca barta yang bener bareng seperti

itu, biasanya kalau malam, kalau malam itu kan habis chanting itu kan

nanti belajar, nah setelah saat itu, kadang kita kan, kadang ada rasa malas,

malas belajar, disitu merasa jenuh sekali.”(P1W1)

c. Koping Kesepian

Ketika kejenuhan tersebut datang, P1 biasanya hanya bermalas-malasan

dan tidur, hal senada diungkapkan oleh P2, P2 merasa aneh ketika mendadak tidak

Page 26: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

16

memiliki kegiatan. Ketika tidak memiliki kegiatan, P2 merasa bingung mau

melakukan apa , berikut kutipan dari P2:

“Anehnya itu, kok lho sekarang mau ngapain ya? Kan bingung kan

biasanya tugas ini selesai tugasi ini, terus kalo nggak ada tugas itu bingung

mau ngapain, nggak ada tugas bingung besok gimana-gimana yo, tapi

sekali ada tugas kan numpuk, bingung biasanya kalo nggak ada tugas mau

ngapain.”(P2W1)

Ketika rasa jenuh itu muncul, P2 lebih sering melakukan hobinya yaitu

menulis atau membaca berikut penyataannya:

“kalo saya itu paling baca-baca apa gitu, sesuka hati sih kadang itu, baca

kek nulis, atau apa gitu.” (P2W1)

PEMBAHASAN

Sramaneri atau calon biksu adalah penganut agama Buddha yang

menjalani pelatihan untuk menjadi seorang biksu/biksuni. Seorang sramaneri

harus tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya.

Perubahan tempat tinggal ini memicu partisipan untuk melakukan penyesuaian

diri. Pada masa awal tinggal di wihara, P2 merasa bahwa ia kurang nyaman

karena tidak adanya proses komunikasi yang terjalin dengan baik. P2 sendiri tidak

berani untuk mulai berkomunikasi. Setelah beberapa waktu anggota lingkungan

baru (lingkungan wihara) menjalin proses komunikasi dengan P2, hal ini

menjadikan P2 merasa bahwa ia diterima dilingkungan tersebut. Seiring

berjalannya waktu P2 dapat menjalin hubungan sosial yang baik dengan

lingkungannya, hal ini sesuai dengan pernyataan Chaplin (2004) mengenai

penyesuaian diri/self adjustment. Menurut Chaplin (2004) penyesuaian diri

merupakan variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan

dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan. P2 memiliki kebutuhan untuk menjalin

Page 27: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

17

hubungan sosial dengan lingkungannya namun terhambat karena faktor

kepribadian P2 yang cenderung tertutup dan pemalu pada lingkungan baru.

Seiring berjalannya waktu P2 berani untuk melakukan komunikasi dengan

lingkungannya, hal ini merupakan proses untuk mengatasi hambatan (berupa sifat

P2 yang pemalu) untuk memenuhi kebutuhan (berupa hubungan sosial dengan

lingkungan baru).

Menurut Schneiders (1964), kepribadian berperan pada proses

penyesuaian diri. Faktor kepribadian dalam penyesuaian diri terdiri atas

modifiability (keinginan untuk berubah), self regulation (regulasi diri), self

realization (realisasi diri), dan intelegensi. P2 memiliki keinginan untuk berubah

dari seorang individu yang memiliki sifat pemalu menjadi individu yang dapat

menjalin komunikasi dengan orang lain. Salah satu tugas kedua partisipan sebagai

sramaneri merupakan mengisi kegiatan keagamaan seperti melakukan ceramah

didepan umat. P2 masih memiliki ketakutan untuk berbicara didepan umum,

namun karena P2 sudah terbiasa melakukan proses komunikasi dengan orang

yang berada di lingkungan wihara maka hal tersebut (berceramah) dapat

diatasinya dengan baik. Sedangkan P1 tidak merasakan hal yang sama dengan P2.

P1 menjadikan hasil belajar dan latihan sebagai bekal untuk melakukan ceramah

didepan umat. Hal ini juga merupakan proses penyesuaian diri yang dikemukakan

Schneiders (1964) yaitu proses belajar.

Dengan banyaknya aturan-aturan yang harus dipenuhi kedua partispan

harus menyesuaikan kehidupan mereka dengan aturan-aturan tersebut. Mereka

tidak menjalani kehidupan seperti umat perumahtangga pada umumnya. Selama

proses penyesuaian diri ini kedua partisipan menghadapi beberapa masalah.

Page 28: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

18

Kedua partisipan mengalami sedikit kendala untuk berhubungan dengan keluarga

yang ditinggalkan.

Menjadi seorang sramaneri berarti harus tinggal jauh dengan keluarga dan

membatasi diri dengan kehidupan duniawi. Hal tersebut dapat memunculkan

perasaan kesepian. Kesepian dapat dialami oleh setiap orang, kesepian adalah

pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi ketika jaringan hubungan sosial

seseorang tidak mencukupi baik secara kuantitas maupun kualitas (Peplau &

Perlman, 1982), hal ini senada dengan yang dirasakan kedua partisipan. Keduanya

memiliki keinginan untuk menjalin hubungan sosial di lingkungan baru (wihara)

namun hubungan sosial kedua partisipan tidak mencukupi. P2 merasa kesepian

ketika lingkungan sekitarnya mendadak tidak saling bertegur sapa dan tidak saling

bicara dikarenakan padatnya kegiatan masing-masing. P2 memiliki perasaan

untuk menjalin hubungan sosial namun dikarenakan kondisi yang ada tidak

memungkinkan bagi P2 dan lingkungannya untuk berkomunikasi. Sedangkan P1,

merasa merindukan keluarga dan teman-temannya. P1 merasa bahwa waktu yang

diberikan untuk bertemu dengan keluarganya sangatlah kurang. P1 juga merasa

bahwa ia merindukan masa-masa sebelum menjadi Sramaneri.

Kesepian terjadi karena dua hal, yaitu: perubahan pada hubungan sosial

yang sebenarnya dan perubahan dalam hasrat seseorang akan hubungan sosial

(Peplau & Perlman, 1982). Kedua partisipan mengalami transisi perubahan

hubungan sosial nyata dengan bergantinya tempat tinggal serta terjadi perubahan

hubungan sosial dengan tempat tinggal yang sebelumnya (keluarga dan teman

dekat). P2 mengalami perubahan hubungan sosial dengan berpindahnya hubungan

tempat tinggal, yang sebelumnya tinggal bersama individu yang dekat dengannya

Page 29: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

19

sekarang harus tinggal dilingkungan baru dan jauh dari orang-orang terdekatnya.

Selain mengalami perubahan hubungan sosial, P2 juga mengalami perubahan

dalam hasrat akan hubungan sosial. P2 ingin menjalin hubungan sosial dengan

lingkungan barunya (wihara). P2 yang ingin menyesuaikan diri dengan

lingkungan barunya ingin menjalin hubungan sosial dengan mereka yang tinggal

di lingkungan wihara. Pada masa awal tinggal di wihara hal ini dirasa sulit. P2

tidak berani untuk berkomunikasi dengan lingkungan barunya. Ketika diajak

berkomunikasi, P2 merasa senang karena ia merasa diperhatikan. P1 juga

merasakan perubahan pada hubungan sosial. P1 merasakan perubahan hubungan

sosial lebih lama dibandingkan P2, P1 sudah mengalami perubahan ini selama 2

tahun sehingga sudah lebih terbiasa dibandingkan P2. P1 dapat berkomunikasi

dan menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan tempat tinggalnya yang

sekarang karena sudah terbiasa. Namun P1 masih memiliki keinginan untuk

berhubungan sosial dengan keluarga dan teman-temannya.

Menurut Weiss, 1973, (dalam Peplau dan Perlman, 1982) terdapat 2 tipe

kesepian, yaitu kesepian emosional (emotional loneliness) dan kesepian sosial

(social loneliness). Kedua partisipan mengalami kesepian dengan jenis yang

berbeda. P1 mengalami kesepian emosional, dengan kurangnya keterhubungan

secara intim, hal ini diperlihatkan dengan pernyataan P1 yang merasa bahwa ia

merindukan keluarga dan teman-temannya. Kesepian emosional merupakan

kesepian yang timbul dari figur kasih sayang yang intim (dalam Perlman &

Peplau, 1981), Sedangkan P2 mengalami kedua jenis kesepian, P2 mengalami

kesepian sosial ketika masa awal tinggal di lingkungan baru. P2 belum terbiasa

dengan lingkungan tempat tinggalnya yang baru dan P2 juga merasa malu untuk

memulai berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Kesepian sosial sendiri adalah

Page 30: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

20

kesepian yang terjadi ketika kurangnya keterhubungan sosial atau perasaan

tergabung dalam sebuah komunitas (dalam Perlman & Peplau, 1981).Selain itu,

P2 merindukan kehadiran keluarganya, hal ini merupakan perwujudan dari

kesepian emosional. P2 merasa bahwa ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk

bertemu dengan keluarganya.

Kesepian seorang individu dapat termanifestasikan dalam berbagai wujud

seperti afektif, motivasional dan behavioral (Peplau & Perlman, 1982). Ketika

mengalami kesepian, P1 memanifestasikannya dengan menyiapkan kegiatan-

kegiatan yang bermanfaat. Kesepian ini menjadi faktor pendorong yang

memotivasi P1 untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang dapat

menghilangkan kesepiannya. Selain secara motivasional, kedua partisipan

memanifestasikan kesepiannya secara afektif. Kedua partisipan memunculkan

perasaan lain berupa perasaan bosan atau jenuh ketika mengalami kesepian.

Perasaan jenuh ini muncul ketika kedua partisipan yang sebelumnya

memiliki aktifitas tiba-tiba tidak memiliki kegiatan sama sekali. Kedua partisipan

yang disibukkan dengan tugas kuliah dan kegiatan sramanerinya sehari-hari

mendadak tidak memiliki tugas, ketika hal ini terjadi P2 menjadi canggung dan

bingung akan melakukan kegiatan apa untuk mengisi kekosongan ini, sedangkan

P1 cenderung bermalas-malasan dan tidak ingin melakukan aktifitas. Perasaan

bosan dan jenuh ini disebut dengan kejenuhan yang tidak tertahankan (impatient

boredom). Menurut Rubenstein dkk. (dalam Perlman & Peplau, 1982) kejenuhan

yang tidak tertahankan (impatient boredom) adalah perasaan yang

merepresentasikan perasaan kesepian yang lebih lembut, yaitu perasaan yang

mungkin dirasakan individu ketika mereka tanpa diharapkan sendirian di akhir

Page 31: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

21

pekan atau ketika mereka terjebak di ruangan hotel yang membosankan. Saat

mengalami hal ini individu cenderung merasa tidak sabar, marah, serta tidak

mampu berkonsentrasi. P1 lebih tenang ketika perasaan jenuh ini datang, ia dapat

melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk mengatasi rasa jenuh

tersebut, sedangkan P2 cenderung sulit berkonsentrasi untuk melakukan kegiatan

yang dapat mengisi waktu luang ini.

Ketika kesepian ini datang kedua partisipan memiliki cara yang berbeda

untuk mengatasinya. P1 cenderung melakukan kegiatan lain seperti bermeditasi

atau mempersiapkan materi untuk kegiatan keagamaan. Sedangkan P2 cenderung

diam dan melakukan hobinya seperti menulis atau membaca buku didalam kamar.

Kedua cara koping terhadap kesepian ini senada dengan hasil penelitian Rokach

dan Brook (1998). P1 melakukan strategi koping kesepian dengan melakukan

kegiatan keagaaman (religion and faith) berupa bermeditasi dan mengikuti

ceramah serta strategi koping dengan melakukan peningkatan aktifitas (increased

activity) dimana P1 melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengatasi kesepiannya.

P2 melakukan strategi yang sama yaitu ia melakukan kegiatan-kegiatan (menulis

dan membaca) untuk mengatasi kesepiannya.

KESIMPULAN

Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam melakukan proses penyesuaian

diri kedua partisipan mengalami beberapa kendala. Kedua partisipan diharuskan

untuk hidup terpisah dengan keluarga dan memenuhi aturan-aturan yang ada. Pada

masa awal tinggal di wihara P2 mengalami kesepian sosial (social loneliness)

yang dialaminya kala awal dirinya tinggal di lingkungan baru (wihara). Selain itu

kedua partisipan mengalami jenis kesepian yang sama yaitu kesepian emosional

Page 32: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

22

(emotional loneliness). Kedua partisipan sama-sama mengalami kesepian yang

dikarenakan kurangnya figur kasih sayang yang intim, dalam hal ini adalah

kehadiran keluarga dan teman terdekat. Ketika kesepian ini terjadi keduanya

mengalami perasaan lain berupa kejenuhan/kebosanan. Perasaan ini merupakan

perwujudan dari kesepian yang dialami oleh kedua partisipan. Kedua partisipan

merespon perasaan bosan ini dengan respon yang berbeda, P1 merespon dengan

kegiatan yang positif sedang P2 cenderung diam dan melakukan kegiatan di

kamar. Hal ini merupakan respon dari kondisi dari lingkungan (tidak ada proses

komunikasi). P2 merasa dengan diam maka kondisi tersebut akan segera berakhir.

Kedua partisipan memiliki cara untuk menghadapi kesepian yang mereka alami.

Keduanya melakukan peningkatan aktifitas (increased activity) berupa melakukan

berbagai kegiatan atau melakukan hobi.

SARAN

Dari hasil penelitian disarankan bagi para calon biksuni untuk tetap

berkomunikasi seperti berubungan melalui telefon atau jejaring sosial dengan

keluarga yang ditinggalkan, selain itu juga disarankan untuk mengisi waktu luang

dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat seperti melakukan meditasi atau

mempersiapkan materi kuliah dan bersosialisasi dengan lingkungan untuk

membantu menyesuaiakan dengan lingkungan baru. Dengan mengisi waktu

kosong dengan kegiatan tersebut dapat mengurangi perasaan kesepian yang

dirasakan. Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk mengambil lebih banyak

partisipan. Selain itu disarankan untuk mengambil partisipan calon biksu dan

dapat dibandingkan dengan kesepian yang dialami oleh calon biksuni. Selain itu

Page 33: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

23

masih banyak topik yang dapat diteliti mengenai calon biksu, seperti kesendirian,

makna hidup, dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Bogaerts, S., Vanheule, S., & Desmet, M., (2006). Feeling of subjective emotional

loneliness: an exploration of attachment. Social Behavior and Personality,

34(7), 797-812.

Page 34: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

24

Cacioppo, J.T., Fowler, J.H., & Christakis, N. A. (2009). Alone in the Crowd: The

Structure and Spread of Loneliness in a Large Social Network. J Pers Soc

Psychol, 96(6), 977-991.

Chaplin, J. P. (1981). Kamus Lengkap Psikologi (Kartini Kartono Trans.). Jakarta:

PT. RajaGrafindo Persada. (Original work published 1968)

De Jong Gierveld, J., Van Tilburg, T., & Dykstra, P. A. (2006). Loneliness and

social isolation. In A. Vangelisti & D. Perlman (Eds.), Canbridge handbook

of personal relationship. Cambridge: Cambridge University Press, 485-499.

Jotalankara, U. (2003). Ajaran-ajaran dasar Buddhisme. Yayasan Prasadha

Jinarakkhita Buddhust Institute.

Moleong, L. J. (2013).Metodologi penelitian kualitatif (cetakan ke-31). Bandung.

PT Remaja Rosdakarya.

Perlman, D., & Peplau, L. A. (1979). Blueprint for a social psychological theory

of loneliness. In M. Cook & G. Wilson (Eds.), Love and attraction (pp. 99-

108). Oxford, England: Pergamon.

Perlman, D., & Peplau, L. A. (1981). Toward a social psychology of loneliness. In

S. Duck & R. Gilmour (Eds.), Personal relationships in disorder (pp. 31-

56). London: Academic Press.

Perlman, D., & Peplau, L. A. (1982). Perspectives on loneliness. In L. A. Peplau

& D. Perlman (Eds.), Loneliness: a sourcebook of current theory, research,

and therapy (pp. 1-18). New York: A Wiley Interscience Publication.

Pritaningrum, M., & Hendriani, W. (2013). Penyesuaian Diri Remaja yang

Tinggal di Pondok pesantren Modern Nurul Izzah Gresik Pada Tahun

Pertama. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial 1, 141-150.

Page 35: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA ......Menurut Schneiders (1964) teradapat hubungan antara kesehatan mental dengan penyesuaian diri. Dengan kesehatan mental yang baik maka

25

Rokach, A. (1999). Cultural background and coping with loneliness. The Journal

of Psychology, 133,217

Rokach, A., & Brock, H. (1998). Coping with Loneliness. The Journal of

Psychology 132(1),107-127.

Rubinstein, C., Shaver, P., & Peplau, L. A. (1979). Loneliness. Human Nature 2,

58-65.

Schneider,A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. Newyork:

Rinehart & Winston

Wright, L. S. (2005). Loneliness in workplace. Tesis. Doctor of Philosophy in

Psychology at the University of Centerbury.