Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) | 59
EPILEPSI KATAMENIAL
Yetty Octavia Hutahaeana
a Laboratorium Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Korespondensi: [email protected]
Abstrak Epilepsi adalah salah satu gangguan neurologis paling umum yang sangat terkait dengan cacat fisik dan mental dan juga konsekuensi psikologis yang berat. Epilepsi katamenial mengacu pada kejang yang terjadi pada menstruasi, ditandai dengan kejang yang mengelompok di sekitar waktu-waktu tertentu dalam siklus menstruasi. Hal ini sering ditemukan dalam kasus epilepsi refrakter dan diperkirakan mempengaruhi hingga 70% wanita penderita epilepsi. Mekanisme dasar epilepsi katamenial belum diketahui secara pasti. Fluktuasi siklik estrogen dan progesteron serum sangat berperan dalam meningkatkan kerentanan kejang. Estrogen diduga memiliki efek meningkatkan kerentanan timbulnya kejang, sedangkan progesteron memiliki efek sebaliknya yaitu mengurangi kejang. Pada siklus ovulasi normal, eksaserbasi kejang terjadi selama penurunan kadar progesteron (tipe pramenstruasi) atau lonjakan preovulasi estrogen tanpa disertai peningkatan progesteron (tipe periovulatory). Pada siklus anovulasi, peningkatan frekuensi kejang terjadi selama fase luteal karena penurunan progesteron serum yang mencerminkan kegagalan ovulasi. Penurunan progesteron lebih berperan dalam menstimulasi eksaserbasi kejang katamenial daripada peningkatan estrogen. Efek anti kejang progesteron terjadi oleh aktivitas metabolitnya yaitu allopregnanolon, yang merupakan modulator positif reseptor GABA. Ganaxolon adalah analog dari allopregnanolon, efektif dalam kasus dimana modulator reseptor GABA lainnya gagal untuk memberikan perlindungan terhadap resiko kejang seperti epilepsi katamenial dengan efek samping hormonal minimal. Kata kunci: epilepsi, katamenial, menstruasi, estrogen, progesteron, allopregnanolon
Abstract Epilepsy is one of the most common neurologic disorders, highly associated with physical and mental disability, and also severe psychological consequences. Catamenial epilepsy is a phrase derived from the Greek word catamenia, which refers to seizures occurring at menstruation, characterized by seizures that cluster around specific points in the menstrual cycle. It is often found within the refractory cases, affects up to 70% women with epilepsy. The basic mechanism of catamenial epilepsy has not been definitively identified. Cyclic fluctuations of serum estrogen and progesterone level play an important role in the increased seizure susceptibility. Generally, estrogens are found to be proconvulsant, whereas progesterone has the opposite effect and reduce seizures. In normal ovulatory cycles, exacerbation of seizures occurs during the progesterone withdrawal (perimenstrual type) or the preovulatory surge of estrogen unaccompanied by any increase in progesterone (periovulatory type). Whereas, in anovulatory cycles, seizures frequency increase during the luteal phase because the serum progesterone is decrease, reflecting a failure to ovulate. The decrease or “withdrawal” of progesterone is partly stimulates catamenial seizure exacerbation rather than the increase in estrogens. Evidence shows that the antiseizure effects of progesterone are due to its metabolite allopregnanolone, a potent positive modulator of GABAA receptors. Ganaxolone is an analogue of allopregnanolone, effective in cases while other receptor GABAA modulators failed to give protection againts seizures as in catamenial epilepsy, with minimal hormonal adverse effects. Keywords: epilepsy, catamenial, menstruation, estrogen, progesterone, allopregnanolone
60 | Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) ISSN 2443-0439
PENDAHULUAN
Epilepsi katamenial berasal dari bahasa
Yunani “katamenios” yang artinya “bulanan”.
Penelitian-penelitian mengenai epilepsi katamenial
melaporkan bahwa kebanyakan epilepsi
katamenial ditemukan pada kasus-kasus refrakter.
Epilepsi katamenial terjadi pada hampir sekitar
70% perempuan penderita epilepsi. Karakteristik
dari epilepsi katamenial adalah terjadi peningkatan
jumlah bangkitan pada suatu waktu yang spesifik
dalam siklus menstruasi, dapat terjadi pada saat
menjelang menstruasi, selama terjadinya
menstruasi, maupun pada saat terjadinya ovulasi.
Keadaan tersebut disebabkan oleh efek neuroaktif
dari hormon steroid dan variasi siklik level hormon
dalam serum. Hal demikian ini dapat terjadi pada
perempuan dengan epilepsi idiopatik maupun
simtomatik.1,2
Meskipun prevalensi epilepsi katamenial
tinggi, namun para klinisi sering kali kurang
memperhatikan laporan pasien epilepsi
perempuan tentang perburukan atau peningkatan
jumlah bangkitan terkait dengan siklus menstruasi.
Hal tersebut kemungkinan karena laporan pribadi
dari pasien (self-reporting) dianggap tidak dapat
dipercaya sebagai kriteria diagnostik, pilihan terapi
belum dikenal secara luas, dan adanya keyakinan
bahwa kondisi tersebut tidak memiliki dasar ilmiah
yang pasti.3
Mekanisme yang sebenarnya menjadi dasar
terjadinya epilepsi katamenial belum dipahami
secara jelas, diduga terkait dengan fakta bahwa
estrogen memiliki efek epileptogenik ringan dan
progesteron memiliki efek anti epileptogenik .
Hingga kini masih terdapat perbedaan pendapat
mengenai peran patogenesis hormonal terhadap
eksaserbasi katamenial pada bangkitan epilepsi.
Perubahan keseimbangan cairan selama masa
menstruasi juga diduga berperan dalam
mekanisme terjadinya epilepsi katamenial.4
Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk
mengurai secara rinci mengenai mekanisme dasar
epilepsi katamenial. Pemahaman yang benar dan
lebih mendalam mengenai mekanisme dasar
terjadinya epilepsi katamenial diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan para klinisi dalam
menangani kasus-kasus epilepsi katamenial.
Siklus Hormon Reproduktif Perempuan
Sistem reproduksi dalam tahun-tahun
reproduksi normal perempuan memiliki perubahan
siklik yang reguler. Perubahan tersebut ditandai
dengan perubahan ritmis bulanan dari kecepatan
sekresi hormon-hormon seksual perempuan dan
juga perubahan pada ovarium serta organ-organ
seksual. Hal tersebut dianggap sebagai persiapan
periodik untuk pembuahan dan kehamilan. Pada
manusia dan primata lainnya siklus tersebut
disebut menstruasi.5
Sistem hormon reproduktif perempuan terdiri
dari tiga hirarki yaitu: (1) hormon hipotalamus
yaitu gonadothropin releasing hormon (GnRH); (2)
hormon hipofisis anterior yaitu folicular stimulating
hormon (FSH) dan luteinezing hormon (LH); dan (3)
hormon ovarium yaitu estrogen dan progesteron.
Aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium mengatur
interaksi antara GnRH, gonadotropin hipofisis (LH
dan FSH) dan steroid yang dihasilkan gonad
(estrogen dan progesteron) melalui mekanisme
umpan balik. GnRH disintesis di hipotalamus regio
basal medial dan disekresi secara pulsatil,
menstimulasi sekresi pulsatil FSH dan LH pada
hipofisis anterior. Sekresi pulsatil ini penting dalam
perkembangan folikular normal yang nantinya akan
bertanggung jawab dalam fase luteal dari siklus
menstruasi. FSH dan LH mengatur produksi
Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) | 61
estrogen dan progesteron, yang kemudian akan
mempengaruhi pelepasan FSH dan LH melalui
mekanisme umpan balik terhadap sel-sel
hipofisis.5,6
Fungsi menstruasi normal tergantung pada
sekresi pulsatil GnRH dengan rentang amplitudo
dan frekuensi yang sempit. Durasi siklus menstruasi
dihitung mulai dari permulaan satu periode yaitu
hari pertama terjadi menstruasi sampai permulaan
periode berikutnya. Durasi siklus ini sangat
bervariasi tetapi angka rata-rata adalah 28 hari.
Ovulasi terjadi 14 hari sebelum onset menstruasi
periode berikutnya. Siklus juga dapat berlangsung
singkat yaitu 20 hari atau panjang yaitu hingga 40
hari pada perempuan normal, namun panjang
siklus yang abnormal kadang-kadang berhubungan
dengan keadaan menurunnya kesuburan.6,7
Hormon-hormon reproduksi tidak disekresikan
dalam jumlah konstan sepanjang siklus seksual
bulanan perempuan, tetapi disekresi dengan
kecepatan yang sangat berbeda selama berbagai
bagian yang berbeda dalam siklus tersebut
(gambar 1).
Keterangan: FSH = folicular stimulating hormon; LH = luteinezing hormon.
Gambar 1. Level hormon reproduksi selama siklus menstruasi normal.7
Sekresi abnormal FSH selama fase folikular
mengakibatkan terhambatnya perkembangan
folikel, diikuti formasi dan fungsi korpus luteum
yang inadekuat. Keadaan tersebut dikenal sebagai
fase luteal inadekuat. Korpus luteum pada fase
luteal inadekuat tidak efektif dalam memproduksi
progesteron, sedangkan fungsinya dalam
memproduksi estrogen tidak terganggu. Fase luteal
inadekuat terjadi pada lebih dari 25% perempuan
dalam usia reproduktif.6,7
Epilepsi Katamenial
Bangkitan adalah suatu keadaan gangguan
fungsi otak yang terjadi sesaat akibat
hipersinkronisasi cetusan neuron-neuron kortikal.
Manifestasi klinis suatu bangkitan tergantung pada
regio spesifik dan luasnya otak yang terlibat,
62 | Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) ISSN 2443-0439
meliputi gangguan fungsi motorik, kesadaran,
persepsi atau fungsi otonom. Epilepsi merupakan
suatu kondisi bangkitan tanpa provokasi yang
berulang sebanyak dua kali atau lebih dan
terjadinya bangkitan tersebut tidak dapat
diprediksi.8
Epilepsi katamenial adalah bangkitan epilepsi
yang terkait dengan siklus menstruasi yang
ditunjukkan dengan peningkatan frekuensi
bangkitan selama suatu fase tertentu dalam siklus
menstruasi.8,9 Herzog et al., mendefinisikan epilepsi
katamenial sebagai suatu keadaan peningkatan
frekuensi bangkitan sebanyak dua kali lipat atau
lebih selama fase tertentu dalam siklus menstruasi
pada perempuan penderita epilepsi.1
Penegakan diagnosis epilepsi katamenial
terutama didasarkan pada penilaian rekaman atau
catatan siklus menstruasi dan kejadian bangkitan
pada pasien secara individual. Catatan yang rinci
mengenai kejadian bangkitan dan siklus menstruasi
sangat penting untuk menegakkan diagnosis
epilepsi katamenial secara akurat.10
Mekanisme dasar
Berbagai kemungkinan yang berbeda
mengenai penyebab terjadinya epilepsi katamenial
telah dikemukakan, seperti fluktuasi level kadar
obat anti-epilepsi (OAE) dalam serum dan
keseimbangan cairan. Hal yang saat ini paling
diyakini sebagai penyebab terjadinya bangkitan
katamenial adalah faktor hormon seksual
perempuan. Terdapat bukti yang kuat bahwa
adanya perubahan siklik atau fluktuasi kadar
estrogen dan progesteron serum selama siklus
menstruasi merupakan dasar dari mekanisme
epilepsi katamenial.11
Keseimbangan cairan
Observasi dini mengenai hubungan antara
udem serebral dengan kejadian konvulsi
didasarkan pada serangkaian penelitian pada awal
abad ke-20 yang meneliti mengenai pengaruh
ingesti cairan terhadap kejadian bangkitan. Ingesti
cairan berlebihan dan aksi antidiuretik hormon
vasopresin memprovokasi bangkitan pada
perempuan penderita epilepsi. Keseimbangan
cairan negatif akibat restriksi cairan akan
memberikan efek yang berlawanan.12
Berdasarkan penemuan tersebut di atas,
diduga bahwa permeabilitas membran sel neuronal
pada penderita tidak efektif dan keseimbangan
cairan mendasari terjadinya epilepsi katamenial.
Namun demikian tidak ditemui perbedaan yang
bermakna dari berat badan, metabolisme natrium
atau cairan tubuh total antara perempuan dengan
bangkitan perimenstrual dan kontrol (perempuan
sehat) atau antara perempuan penderita epilepsi
dengan dan tanpa kecenderungan katamenial.6
Metabolisme obat anti-epilepsi (OAE)
Steroid gonadal (estrogen dan progesteron)
secara aktif dimetabolisme di hepar. Metabolisme
tersebut sebagian besar dilakukan oleh enzim
oksidase kelompok sitokrom P450. Sistem tersebut
juga aktif dalam metabolisme berbagai OAE. Obat-
obatan yang menstimulasi metabolisme hepatik
secara langsung dapat mempengaruhi kadar
steroid seksual endogen dalam serum dan
memberikan efek yang buruk.6
Obat-obat anti-epilepsi seperti fenitoin
mempengaruhi biosintesis steroid sehingga terjadi
peningkatan sintesis androgen (terutama estradiol)
akibat induksi enzim mikrosomal hepatik. Hasil
akhirnya adalah suatu penurunan level progesteron
sejalan dengan downstream androgen dan
estradiol. Hal ini menjadi rumit dengan adanya
Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) | 63
fakta bahwa level kadar fenitoin serum menurun
selama periode menstruasi, khususnya pada
epilepsi katamenial.11
Beberapa penelitian menemukan adanya
fluktuasi kadar OAE dalam serum selama siklus
menstruasi. Perempuan penderita epilepsi
katamenial yang diterapi dengan fenitoin saja atau
kombinasi fenitoin dan fenobarbital memiliki kadar
OAE serum lebih rendah meskipun telah
mengkonsumsi OAE dengan dosis yang lebih tinggi.
Kadar fenitoin dalam serum selama menstruasi
pada perempuan dengan bangkitan perimenstrual
secara bermakna lebih rendah dibanding
perempuan penderita epilepsi yang tidak terkait
menstruasi.6
Secara spesifik OAE dan hormon steroid
gonad dimetabolisme oleh sistem enzim
mikrosomal yang sama di dalam sel hepar. Selama
masa premenstrual terjadi penurunan sekresi
steroid gonad, sehingga dimungkinkan terjadi
peningkatan metabolisme OAE yang selanjutnya
mengakibatkan penurunan level OAE dalam serum.
Level OAE serum lebih rendah dan clearance lebih
besar selama periode menstruasi dibanding
periode peri-ovulatorik pada perempuan penderita
epilepsi katamenial.1
Pengaruh hormon progesteron dan estrogen
terhadap bangkitan
Hubungan antara perubahan siklik level kadar
hormon gonadal dengan peningkatan frekuensi
bangkitan selama periode tertentu dalam siklus
menstruasi pada perempuan penderita epilepsi
pertama kali dicetuskan oleh John Laidlaw pada
tahun 1956. Dari 9000 siklus menstruasi yang
diikuti pada 50 perempuan penderita epilepsi
selama 25 tahun, Laidlaw menemukan terjadi
peningkatan frekuensi bangkitan pada lebih kurang
45% siklus. Peningkatan frekuensi terjadi sesaat
sebelum menstruasi, saat menstruasi dan setelah
menstruasi, yaitu periode terjadinya penurunan
mendadak level progesteron serum. Penurunan
frekuensi bangkitan terjadi pada fase midluteal
yaitu saat kadar progesteron serum mencapai level
tertinggi. Berdasarkan data tersebut, Laidlaw
membuat hipotesis bahwa progesteron
menimbulkan aksi antikonvulsan.3,10
Hipotesis Laidlaw tersebut didukung oleh
penemuan Backstrom pada tahun 1976, yaitu
adanya korelasi negatif antara kadar progesteron
serum dengan frekuensi bangkitan. Peningkatan
frekuensi bangkitan nyata berhubungan dengan
penurunan mendadak kadar progesteron saat
menstruasi. Backstrom juga mengamati adanya
hubungan antara lonjakan kadar estrogen pre-
ovulatorik dengan peningkatan frekuensi bangkitan
pada pertengahan siklus menstruasi. Berdasarkan
data tersebut Backstrom menyimpulkan bahwa
estrogen mengaktivasi bangkitan.3
Estrogen dan progesteron dapat beraksi pada
sel-sel tertentu dalam otak, khususnya sel-sel di
daerah lobus temporal. Teori yang paling diyakini
saat ini adalah bahwa perubahan siklik level kadar
estrogen dan progesteron dalam sirkulasi sangat
berperan dalam terjadinya epilepsi katamenial.
Secara umum, estrogen bersifat prokonvulsan
sedangkan progesteron memberikan efek yang
bertolak belakang yaitu sebagai antikonvulsan dan
menurunkan kejadian bangkitan. Perubahan
aktivitas bangkitan juga dapat diamati selama
perubahan status reproduksi (misalnya saat
memasuki masa pubertas, selama kehamilan atau
setelah menopause).10
Lebih kurang 98% hormon estrogen dan
progesteron yang ada di sirkulasi terikat protein
plasma dan tidak aktif secara fungsional. Sisa fraksi
yang terdapat bebas dalam sirkulasi (tidak terikat
64 | Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) ISSN 2443-0439
protein) bersifat sangat lipofilik sehingga dapat
menembus sawar darah otak dan membran sel
neuronal. Hormon progesteron dan estrogen
mempengaruhi fungsi neuron-neuron serebral
melalui aksi genomik yaitu secara langsung
menyebabkan perubahan proses transkripsi dari
sintesis protein. Progesteron dan estrogen juga
dapat menyebabkan perubahan eksitabilitas
neuron dengan cepat melalui ikatan dengan
saluran ion yang diatur oleh neurotransmiter
seperti reseptor GABAA dan NMDA.13,14
Aksi prokonvulsan estrogen
Terdapat tiga bentuk aktif estrogen secara
biologis yaitu: (1) estradiol, yang dominan pada
perempuan dalam masa premenopause; (2) estriol,
suatu bentuk utama estrogen selama masa
kehamilan yang disintesis melalui proses
aromatisasi plasental dari androgen fetal dan juga
dibentuk di hepar melalui hidroksilasi estrone; dan
(3) estrone, yang ditemukan pada perempuan
setelah masa menopause dan sumber utamanya
adalah lemak subkutan. Karena itu, level estron
mungkin perlu diperhatikan pada perempuan
penderita epilepsi di masa menopause, terutama
yang mengalami obesitas.
Estradiol lebih mewakili estrogen ovarium
fisiologis dalam keadaan normal.10,11
Dikenal dua jenis reseptor nuklear estrogen
yaitu reseptor estrogen-α (ERα) dan reseptor
estrogen-β (ERβ). Kedua jenis reseptor tersebut
memiliki spesifitas ikatan ligand yang berbeda
sehingga respon yang dimediasi oleh ERα dan ERβ
memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap
estrogen. Distribusi ERα dan ERβ di berbagai
bagian tubuh memiliki perbedaan yang cukup
bermakna. Ekspresi ERα dan ERβ di otak cukup
tinggi terutama di bagian korteks, hipotalamus dan
hipokampus.11,15
Hormon estrogen yang masuk ke dalam
neuron akan berikatan dengan reseptor spesifiknya
di dalam sitoplasma yaitu reseptor nuklear (gambar
2). Kompleks hormon-reseptor yang terjadi
kemudian ditransport ke dalam nukleus, dimana ia
beraksi dengan DNA dan mengaktivasi gen-gen
tertentu. Oleh karena aktivitas tersebut, neuron-
neuron meningkatkan produksi protein spesifiknya
dan menyebabkan perubahan aktivitas neuron
lainnya. Aksi estrogen terhadap neuron ini dikenal
sebagai aksi genomik.16
Keterangan: ER = reseptor estrogen; PR = reseptor progesteron
PI3K = Phosphoinositide-3 kinase; PLC γ = phospholipase-C γ; MAPK = mitogen-activated protein kinase.
Gambar 2. Aksi reseptor estrogen dan progesteron pada neuron.11
Reseptor
membran
Protein
Reseptor
membran
Elemen respon
Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) | 65
Beberapa penelitian menunjukan bahwa
kebanyakan efek selular estrogen dimediasi oleh
aksi nuklear yaitu aksi genomik seperti yang telah
dijelaskan di atas. Aktivasi mekanisme genomik
membutuhkan masa latensi yang lebih panjang
(jam hingga hari). Aksi estrogen terhadap
eksitabilitas neuronal yang merupakan mekanisme
dengan onset cepat tidak dapat dijelaskan dengan
mekanisme aksi genomik ini. Penelitian terbaru
menduga bahwa terdapat tipe lain dari reseptor
estrogen yang terlibat dalam suatu aksi non-
genomik spesifik di luar nukleus yang terjadi dalam
masa latensi yang sangat singkat (milidetik hingga
menit). Konsep terakhir ini mengarah pada adanya
suatu ”reseptor membran” yang dapat
mengaktivasi sistem enzim secara cepat dan
menyebabkan perubahan aktivitas seluler (gambar
2). Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian yang
menunjukkan adanya respon seluler terhadap
estradiol yang secara farmokologis tidak dapat
dihambat oleh sediaan antagonis reseptor
nuklear.15,16
Estradiol memfasilitasi berbagai bentuk
induksi bangkitan dan terbukti menyebabkan
perburukan bangkitan pada perempuan penderita
epilepsi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
bangkitan fokal lebih sensitif terhadap estradiol
dibanding bangkitan yang diinduksi pemberian
obat konvulsan sistemik. Hal tersebut diduga
karena bangkitan fokal melibatkan lebih sedikit
regio otak sehingga heterogenitas aksi estradiol di
otak tidak terlalu menjadi masalah. Namun
penjelasan tersebut tidak sepenuhnya memuaskan,
pada model kindling dimana bangkitan fokal hanya
terjadi pada awal bangkitan dan selanjutnya akan
melibatkan regio otak yang multipel sebagai
bangkitan umum.11
Mayoritas penelitian mengenai efek estrogen
terhadap bangkitan menunjukkan bahwa estradiol
mempengaruhi eksitabilitas neuronal (misalnya
pembentukan potensial aksi dan/ atau fungsi
sinaptik), namun efek tersebut dapat terjadi
melalui beberapa jalur yang berbeda (lihat gambar
3). Sebagian besar bukti penelitian secara konsisten
menunjukkan kemampuan estradiol untuk
meningkatkan discharge neuronal melalui
penguatan transmisi glutamatergik dan penekanan
inhibisi GABA-ergik Untuk diskusi lebih rinci
mengenai bagaimana estradiol dapat
meningkatkan atau menurunkan eksitabilitas,
pembahasan akan difokuskan pada sel-sel
piramidal hipokampus di area kornu ammonis 1
(CA-1), karena area tersebut telah diteliti secara
luas.11,12
Salah satu aksi estradiol adalah menyebabkan
perubahan struktur sinaps yaitu meningkatkan
jumlah sinaps spina, densitas spina dan bentuk
spina. Hal tersebut menyebabkan peningkatan
transmisi sinaptik glutamatergik jika diasumsikan
bahwa lebih banyak sinaps spina berarti lebih
banyak sinaps yang memediasi depolarisasi
glutamatergik yaitu exitatory postsynaptic
potential (EPSP) yang lebih besar. Pada
kenyataannya hal ini tampak memegang peranan
penting.16
Estradiol juga dapat memperkuat aksi
glutamat pada reseptor glutamat ionotropik di area
CA-1 dan kebanyakan efek terjadi pada reseptor
NMDA. Penelitian oleh Foy et al., menemukan
bahwa pemberian 17β-estradiol mengakibatkan
peningkatan aktivitas reseptor NMDA sehingga
terjadi eksitasi neural yang tergantung pada dosis.
Pemberian 17β-estradiol dosis rendah
meningkatkan amplitudo EPSP, khususnya yang
diaktivasi oleh reseptor NMDA, sedangkan
66 | Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) ISSN 2443-0439
pemberian 17β-estradiol dosis tinggi menginduksi
aktivitas bangkitan di neuron hipokampus.
Perubahan eksitatorik ini cukup besar untuk dapat
menyebabkan peningkatan transmisi sinaptik
antara sel-sel di hipokampus.17
Gambar 3. Efek estradiol pada sel piramidal area CA-1 hipokampus.11
Penghambatan jalur transmisi GABA-ergik
oleh estradiol terjadi melalui penurunan efek GABA
terhadap reseptor GABA pada neuron piramidal
area CA-1. Prediksi efek disinhibisi pada sel
piramidal CA-1 ini kadang dapat tertutupi oleh sifat
inhibisi transmisi GABA-ergik oleh estradiol yang
hanya sesaat dan disertai oleh peningkatan durasi
arus postsinaptik inhibitorik. Estradiol juga
mengganggu repolarisasi potensial aksi melalui
penurunan AHP. Keseluruhan proses tersebut
secara bersama-sama akan menyebabkan
pembangkitan potensial aksi.10,11
Efek lain estradiol terhadap eksitabilitas
dimediasi oleh mekanisme tidak langsung dan satu
contoh yang relevan terhadap bangkitan adalah
regulasi estradiol terhadap neurotrofin yaitu brain-
derived neurothrophic factor (BDNF). Estrogen
memiliki elemen respon terhadap gen BDNF dan
BDNF mempotensiasi beberapa jalur glutamatergik
di hipokampus dan regio otak lainnya. Dengan
menggunakan model binatang epilepsi yang
berbeda, beberapa laboratorium telah
membuktikan bahwa BDNF mungkin bersifat
prokonvulsan. Oleh karena itu, lonjakan estradiol
selama periode periovulatori dapat menyebabkan
peningkatan sesaat frekuensi bangkitan, khususnya
bangkitan limbik karena lonjakan estradiol
menginduksi BDNF. BDNF selanjutnya tampak
menginduksi neuropeptid Y (NPY). NPY secara
konsisten memberikan efek antikonvulsan yang
cenderung disebabkan oleh aksi presinaptiknya
yang menekan pelepasan neurotransmiter di
hipokampus.11
Aksi antikonvulsan progesteron
Progesteron bukan merupakan satu-satunya
molekul yang berikatan dengan reseptor
progesteron. Terdapat sekelompok komponen
yang biasanya disebut sebagai progestin, meliputi
input
glutamatergik
gen target
gen target
SEL PIRAMIDAL
INTERNEURON
GLIA
Level GABA
Transmisi GABA-ergik
Neuropeptida
Sintesis steroid
Transporter
Presinaptik:
Pelepasan glutamat
Sintesis glutamat
Neuromodulator
Postsinaptik:
NMDA
Spina dendritik
Saluran ion
neuromodulator
Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) | 67
progesteron dan derivat-derivat progesteron.
Progesteron dan dihidroprogesteron yang
merupakan metabolit reduksi 5α-nya adalah
progestin alami yang berikatan dengan reseptor
nuklear progesteron, meskipun dihidroprogesteron
berikatan dengan afinitas yang lebih rendah.11
Progesteron selanjutnya akan dimetabolisme
menjadi suatu steroid neuroaktif (neurosteroid)
yaitu alopregnanolon yang merupakan modulator
kuat dari fungsi reseptor GABAA. Oleh karena itu,
progesteron juga memiliki peran melalui
konversinya menjadi alopregnanolon. Konversi
progesteron menjadi dihidroprogesteron bersifat
ireversibel, sedangkan reduksi dihidroprogesteron
menjadi alopregnanolon bersifat reversibel. Jadi
secara teori pemberian progesteron,
dihidroprogesteron atau alopregnanolon akan
menimbulkan aksi yang dimediasi oleh aktivasi
reseptor progestin maupun modulasi aktivitas
reseptor GABAA.11
Telah dikenal 2 jenis reseptor progesteron
yaitu PR-A dan PR-B yang diperkirakan berperan
sebagai faktor transkripsi nuklear, yang analog
dengan ER. Hanya ada satu gen untuk reseptor
progesteron. Kedua PR memiliki afinitas yang sama
terhadap progesteron namun berperan pada regio
otak yang berbeda. Reseptor membran untuk
progesteron juga ditemukan, yang analog dengan
reseptor membran untuk estrogen (gambar 2).
Rasio ekspresi PR-A:PR-B tidak konstan pada
berbagai regio otak, namun diregulasi oleh level
estradiol dalam sirkulasi. Hal tersebut memberikan
kemudahan untuk melihat bagaimana pengaruh
status reproduksi terhadap keseimbangan antara
aktivasi PR yang bersifat progesteron-dependent
dan ligand-dependent pada berbagai regio berbeda
di otak. Oleh karena itu, pengaruh aktivasi PR
terhadap eksitabilitas neuronal dapat bervariasi
menurut regio otak dan kondisi endokrin.11
Progesteron telah lama diketahui memiliki
efek antikonvulsan. Injeksi progesteron pada
hewan coba dalam penelitian laboratorium
menyebabkan terjadinya penurunan kerentanan
terhadap bangkitan atau perlambatan onset
bangkitan yang diinduksi oleh agen konvulsan.
Efikasi progesteron dalam mereduksi frekuensi dan
severitas bangkitan telah terbukti baik pada
penelitian yang menggunakan model binatang
maupun penelitian klinis pada manusia.18
Efek antikonvulsan progesteron oleh aktivitas
alopregnanolon terbukti melalui percobaan
binatang oleh Kokate et al. Pemberian finasteride
yaitu suatu agen inhibitor 5α-reduktase pada
binatang coba memblok tahap pertama konversi
progesteron menjadi alopregnanolon. Penelitian
tersebut melaporkan terjadinya peningkatan
frekuensi bangkitan pada binatang coba yang
mengalami withdrawal alopregnanolon dengan
kadar progesteron normal akibat pemberian
finasteride.19 Penelitian Frye et al., dengan subjek
tikus betina dengan perlakuan blok mutasi gen 5α-
reduktase menunjukkan hasil yang sama.20
Progestin sintetis seperti yang terdapat pada
obat kontrasepsi terbukti tidak memiliki efek
antikonvulsan. Perbedaan relatif efek kontrasepsi
dibanding progestin alami seperti progesteron
terhadap bangkitan kemungkinan disebabkan oleh
kemampuannya untuk dikonversikan menjadi
alopregnanolon.11
Serangkaian penelitian in vitro menunjukkan
bahwa alopregnanolon memperkuat aksi GABA
terhadap reseptor GABAA melalui suatu mekanisme
alosterik pada tempat ikatan spesifik neurosteroid.
Ekspresi reseptor GABAA yang sensitif terhadap
alopregnanolon tampaknya meluas dan nyata
68 | Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) ISSN 2443-0439
dalam berbagai kondisi atau bentuk eksperimen,
baik yang mengunakan kultur jaringan, sel-sel
terdisosiasi, irisan otak dan sebagainya. Penelitian-
penelitian tersebut secara konsisten menunjukkan
efek antikonvulsan kuat progesteron meskipun
menggunakan rancangan eksperimen yang
berbeda.11
Penelitian terakhir membuktikan bahwa
alopregnanolon memiliki tempat ikatan spesifik
dengan afinitas yang tinggi pada reseptor GABAA,
terpisah dari tempat ikatan GABA, benzodiasepin
dan barbiturat. Level kadar normal alopregnanolon
dalam keadaan fisiologis cukup untuk mengaktivasi
reseptor GABAA tersebut. Ikatan alopregnanolon
terhadap sisi neurosteroid pada reseptor GABAA
menyebabkan influks masif ion klorida ke dalam
neuron sehingga terjadi hiperpolarisasi yang diikuti
potensiasi neurotransmisi inhibitorik. Berdasarkan
bukti tersebut maka diduga bahwa withdrawal
level alopregnanolon yang terjadi mendadak pada
saat onset menstruasi dapat menurunkan efek
inhibisi dan memungkinkan terjadinya eksaserbasi
bangkitan.10
Progestin lain selain alopregnanolon, seperti
progesteron dan dihidroprogesteron, mungkin
memiliki aksi yang relevan dengan sensitivitas
bangkitan. Sebagai contoh, sebuah penelitian
menyatakan bahwa aktivasi PR oleh progesteron
dapat menurunkan eksitabilitas neuronal di
hipokampus, yang tidak tergantung pada formasi
alopregnanolon. Aksi yang dimediasi oleh PR dan
alopregnanolon diasumsikan tidak saling
berhubungan namun hal ini tidak ditemukan pada
semua kasus.21
Efek progestin yang dimediasi oleh PR cukup
penting karena efek tersebut mungkin diperkuat
bila kadar estradiol meningkat. Interaksi ini
diperkirakan karena adanya ketergantungan antara
sintesis ER dan PR. Estradiol menginduksi sintesis
PR. Kebalikannya, progestin berperan melalui
reseptor nuklearnya untuk menginhibisi fungsi ER.
Penemuan ini memberi kesan bahwa efek
progesteron tidak tergantung pada level estrogen
pada saat yang sama.22
Interaksi antara progesteron dan estradiol
memiliki implikasi terhadap penggunaan terapi
progesteron pada perempuan penderita epilepsi.
Pemberian progesteron dapat menimbulkan dua
efek yaitu aksi pada PR yang mungkin tergantung
pada level estradiol pada saat yang sama dan aksi
pada reseptor GABAA setelah progesteron
dikonversikan menjadi alopregnanolon. Aksi
progesteron melalui reseptor GABAA juga dapat
dipengaruhi oleh konsentrasi estradiol serum
karena estradiol menurunkan level GABA, sintesis
GABA dan meregulasi kemampuan reversal dari
reseptor GABAA dengan mengubah KCC2 yaitu
suatu ko-transporter K+/Cl¯. Jika hal tersebut
benar, pemberian progesteron selama periode
periovulatorik mungkin tidak sama efektifnya
dengan regimen yang memulai pemberian
progesteron pada akhir fase luteal yaitu saat kadar
estradiol serum rendah. Pemikiran ini dapat
membantu untuk menjelaskan mengapa
progesteron efektif apabila digunakan pada masa
selain dari periode periovulatorik dan tidak perlu
digunakan secara kontiniu.11
Kejadian peningkatan bangkitan yang terjadi
berkelompok di sekitar onset menstruasi
berhubungan dengan penurunan bermakna level
progesteron dalam sirkulasi dan peningkatan rasio
estrogen-progesteron. Terdapat bukti yang kuat
bahwa penurunan atau withdrawal level
progesteron lebih berperan dalam menstimulasi
eksaserbasi bangkitan katamenial dibanding
peningkatan level estrogen. Efek withdrawal ini
Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) | 69
sangat relevan dengan kondisi hormonal pada
epilepsi katamanial tipe perimenstrual.10
Kejadian withdrawal progesteron disertai oleh
perubahan ekspresi subunit reseptor GABAA.
Reseptor GABAA dalam keadaan normal
merupakan suatu kompleks heteromerik yang
terdiri dari berbagai subunit. Reseptor GABAA
dengan subunit δ memberikan efek inhibisi kuat.
Binatang transgenik yang miskin subunit δ atau
tikus normal yang diberi mRNA antisense terhadap
subunit δ menunjukkan penurunan latensi
bangkitan yang diinduksi oleh asam kainat dan
periode bangkitan yang lebih panjang.18
Penelitian pada tikus di laboratorium
menunjukkan bahwa terjadi perubahan ekspresi
subunit reseptor GABAA terkait dengan inhibisi kuat
selama siklus ovarian normal. Perubahan ini
selanjutnya akan mengubah sensitivitas reseptor
GABAA terhadap modulator seperti
alopregnanolon. Pada tikus percobaan di
laboratorium, ekspresi subunit δ relatif tinggi
selama periode peningkatan progesteron serum
pada siklus ovarian dan level rendah subunit δ
ditemukan pada masa dimana kadar progesteron
serum juga rendah. Pada tikus percobaan yang
sama, inhibisi kuat dan kecenderungan bangkitan
memiliki korelasi dengan level subunit δ. Ekspresi
subunit γ juga berbeda pada kedua waktu dalam
siklus yang diteliti tersebut. Mungkin terdapat
rangkaian kompleks dari perubahan reseptor GABA
yang tidak semata-mata melibatkan subunit δ.
Pentingnya subunit-subunit tipe lain menjadi
perhatian dengan adanya fakta bahwa inhibisi kuat
tidak hanya bergantung pada subunit δ. Subunit
lain yang memberikan kontribusi terhadap inhibisi
kuat adalah subunit α4, yang tampaknya
mengalami peningkatan regulasi pada model
binatang withdrawal progesteron. Data ini
memberikan suatu pandangan baru mengenai
mekanisme yang mendasari terjadinya perubahan
bangkitan selama siklus ovarian. Hal tersebut juga
memberikan masukan bahwa diperlukan informasi
yang lebih banyak untuk memperoleh pemahaman
yang komprehensif.18
Klasifikasi epilepsi katamenial
Epilepsi katamenial diklasifikasikan dalam 3
tipe berdasarkan variasi siklik level estradiol dan
progesteron serum terkait siklus menstruasi yang
dihubungkan dengan observasi klinis peningkatan
frekuensi bangkitan (gambar 4) yaitu: (1) tipe
perimenstrual; (2) tipe peri-ovulatorik; dan (3) tipe
anovulatorik atau fase luteal inadekuat. Tipe yang
paling banyak ditemukan dalam klinis adalah tipe
perimenstrual.1,10
Epilepsi katamenial tipe perimenstrual
Pada epilepsi katamenial tipe perimenstrual,
peningkatan frekuensi terjadi dalam periode tujuh
hari diantara waktu menstruasi yaitu sebelum,
selama atau sesudah onset menstruasi. Hubungan
antara periode perimenstrual ini dengan
peningkatan frekuensi bangkitan paling banyak
diterima dalam klinis karena merupakan pola yang
pertama kali dikenal dan paling banyak diteliti.10
Kemungkinan pengaruh retensi cairan pada
akhir fase luteal terhadap peningkatan frekuensi
bangkitan selama periode menstruasi sudah
menjadi pembahasan penting sejak penelitian-
penelitian klinis terdahulu. Hipotesis ini menjadi
menarik dengan ditemukannya bukti penelitian
terbaru bahwa pembengkakan neuron secara
bermakna menyebabkan peningkatan eksitabilitas
secara in vitro dan bangkitan secara in vivo.
Mekanisme ini menjadi penjelasan keberhasilan
terapi diuretik pada beberapa pasien epilepsi
(meskipun diuretik tidak digunakan secara luas
70 | Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) ISSN 2443-0439
sebagai terapi tunggal). Diuretik asetazolamide
memiliki efikasi pada perempuan penderita
epilepsi, namun hingga saat ini belum jelas apakah
efektivitas asetazolamide pada pasien-pasien
tersebut berkaitan secara spesifik dengan epilepsi
katamenial.
Eksaserbasi bangkitan selama masa
premenstrual juga berhubungan dengan
penurunan level obat anti-epilepsi (OAE) dalam
serum yang secara umum menurun selama
beberapa hari sebelum menstruasi. Keadaan
tersebut melibatkan mekanisme hepatik seperti
yang telah dijelaskan pada mekanisme dasar
epilepsi katamenial sebelumya.1
Keterangan: C1 = tipe perimenstrual; C2 = tipe peri-ovulatorik;
C3 = tipe anovulatorik atau luteal inadekuat
Gambar 4. Tiga tipe bangkitan epilepsi katamenial.1
Siklus normal
Siklus anovulatorik/ fase luteal inadekuat
Hari dalam siklus
C 2 C 1
C 3
Estrogen
Estrogen
Progesteron
Progesteron
Hari dalam siklus
Estrogen
Progesteron
Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) | 71
Epilepsi katamenial tipe peri-ovulatorik
Epilepsi katamenial tipe peri-ovulatorik
ditandai dengan peningkatan frekuensi bangkitan
selama periode peri-ovulatorik, yaitu sesaat
sebelum ovulasi. Selama periode tersebut, terjadi
lonjakan level estradiol (estradiol surge) tanpa
disertai peningkatan progesteron. Setelah lonjakan
tersebut level estradiol kemudian turun disertai
penurunan frekuensi bangkitan (gambar 4).1
Estradiol diduga berperan dalam
meningkatkan frekuensi bangkitan pada periode
peri-ovulatorik, namun terdapat beberapa alasan
untuk mempertanyakan hubungan linier antara
estradiol dan bangkitan karena terbatasnya bukti
bahwa respon terhadap dosis dari estradiol bersifat
linier. Selain itu, penelitian klinis terhadap
perempuan dengan epilepsi katamenial
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
bermakna antara level estradiol serum dan
frekuensi bangkitan. Beberapa peneliti bahkan
kesulitan untuk mendeteksi adanya peningkatan
frekuensi bangkitan selama periode peri-
ovulatorik. Beberapa perempuan dengan epilepsi
katamenial bahkan mengalami peningkatan
frekuensi bangkitan selama masa ovulasi, yaitu saat
kadar estrogen mulai turun. Pernyataan terakhir
sulit untuk dijelaskan jika hanya berdasar pada
level estradiol serum.11
Diduga bahwa kadar estradiol dan
progesteron secara bersama-sama bertanggung
jawab terhadap peningkatan frekuensi bangkitan
selama periode peri-ovulatorik. Rasio estradiol
serum terhadap progesteron serum (rasio E:P)
memiliki hubungan bermakna dengan pola
bangkitan pada penelitian dengan subjek 7 orang
pasien. Hal tersebut dapat menjelaskan kejadian
peningkatan bangkitan saat ovulasi (level estradiol
tinggi dan progesteron rendah, atau rasio E:P
tinggi), namun kurang dapat menjelaskan kejadian
bangkitan saat menstruasi (level estradiol dan
progesteron rendah, atau rasio E:P tidak tinggi).23
Penelitian-penelitian individual oleh
Backstrom mengenai rasio E:P bahkan tidak
memberikan penjelasan yang rinci mengenai
masing-masing kasus. Variabilitas dari tiap-tiap
pasien tampak nyata. Hal tersebut mungkin
disebabkan faktor-faktor yang tidak diperhitungkan
dalam penelitian seperti penyebab dan sindrom
yang berbeda, riwayat pasien, obat antikonvulsan
yang berbeda dan sebagainya. Diduga ada hipotesis
lain selain rasio E:P. Banyak perubahan yang dapat
terjadi di otak selama periode peri-ovulatorik dan
beberapa tidak secara langsung berhubungan
dengan estradiol atau progesteron. Sebagai
contoh, terjadi peningkatan level glukokortikoid
selama lonjakan LH-FSH saat ovulasi. Hormon-
hormon lain yang terkait dengan lonjakan estradiol
seperti LH dan FSH diperkirakan juga turut
berpengaruh terhadap ambang bangkitan.11
Beberapa gen target dari estrogen dapat
membantu dalam menjelaskan bangkitan peri-
ovulatorik. Salah satu contoh adalah gen BDNF.
Seperti yang telah digambarkan di atas, induksi
BDNF yang diikuti oleh NPY dapat menjelaskan
peningkatan sesaat frekuensi bangkitan (berkaitan
dengan BDNF) yang kemudian segera menurun
(berkaitan dengan NPY) selama periode peri-
ovulatorik. Permulaan fase luteal yang disertai
peningkatan progesteron serum dapat mengakhiri
perubahan pada BDNF. Hal ini dibuktikan dengan
turunnya level BDNF setelah pemberian
progesteron pada hewan coba tikus. Oleh karena
itu, level BDNF atau NPY dapat memprediksi
bangkitan lebih baik daripada rasio E:P. Estradiol
hanya menyebabkan perubahan pada eksitabilitas
72 | Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) ISSN 2443-0439
secara tidak langsung, sedangkan BDNF dan NPY
kemungkinan merupakan efektor primer.11
Epilepsi katamenial tipe anovulatorik
Herzog et al., mendefinisikan tipe ini sebagai
peningkatan frekuensi bangkitan selama siklus
anovulatorik. Hipotesis yang paling banyak
diterima untuk menjelaskan bangkitan yang
berkaitan dengan siklus anovulatorik adalah
insufisiensi kadar progesteron dan alopregnanolon
serum untuk mempertahankan aktivitas penting
reseptor GABAA di otak selama fase luteal.1
Pada perempuan dengan siklus anovulatorik,
level progesteron serum menurun selama fase
luteal yang menunjukkan terjadinya kegagalan
ovulasi (gambar 4). Perubahan fluktuasi atau level
kadar endokrin tersebut memberikan respon
bangkitan siklik yang berbeda. Manifestasi
bangkitan yang terjadi selama periode siklus
anovulatorik menjadi lebih difus dan tidak terkait
dengan waktu menstruasi.24 Dalam penelitian
prospektif oleh Bauer et al. terhadap 35 pasien
perempuan penderita epilepsi dengan siklus
ovulatorik dan anovulatorik dilaporkan bahwa
peningkatan frekuensi bangkitan saat menstruasi
hanya ditemukan pada siklus ovulatorik.25
Keadaan sebenarnya mungkin jauh lebih
kompleks, bukan hanya disebabkan oleh rumitnya
regulasi eksitabilitas GABA-ergik namun juga
karena penurunan level progesteron mungkin
bukan satu-satunya masalah yang terjadi selama
siklus anovulatorik. Sebagai contoh, mungkin
terdapat perubahan pada banyak aspek dari fungsi
neuroendokrin jika ovulasi tidak terjadi.11
Penatalaksanaan berdasarkan mekanisme
Obat-obat anti-epilepsi konvensional masih
merupakan modalitas utama dalam pengelolaan
epilepsi katamenial. Lebih kurang sepertiga wanita
penderita epilepsi mengkonsumsi lebih dari satu
jenis OAE sesuai dengan tipe epilepsinya. Meskipun
banyak jenis OAE yang digunakan sebagai terapi
epilepsi seperti yang dipaparkan pada tabel 1,
namun belum ada terapi yang spesifik untuk
epilepsi katamenial. Hal tersebut sebagian karena
bangkitan katamenial sering kali refrakter terhadap
OAE konvensional seperti valproat, fenitoin dan
diazepam. Banyak dari obat-abat tersebut
diresepkan sebagai terapi epilepsi katamenial
tanpa penelitian langsung mengenai efektivitasnya.
Penggunaan OAE tersebut hanya didasarkan pada
bukti empirik.10
Tabel 2 memaparkan berbagai jenis OAE yang
diteliti sebagai terapi epilepsi katamenial. Banyak
pasien yang menerima terapi tersebut sebagai
agen suplemen atau obat tambahan sebagai terapi
berkelanjutan maupun intermiten dalam
penanganan epilepsi katamenial. Penggunaan
sebagian besar OAE tersebut menjadi terbatas
karena terjadinya suatu toleransi (contohnya
benzodiasepin) dan/atau sering kali berhubungan
dengan kejadian efek samping yang tidak
diharapkan seperti sedasi, depresi, dan toksisitas
reproduksi. Pengobatan secara hormonal, seperti
medroxiprogesteron asetat atau progesteron alami
(tabel 1), seringkali sangat efektif namun dapat
menyebabkan efek samping hormonal dan
reproduktif yang tidak diharapkan.10
Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) | 73
Tabel 2. Terapi farmaka epilepsi katamenial.10
Jenis Obat Mekanisme Efikasi Keterbatasan
Asetazolamid Klobazam Medroksiprogesteron asetat Progesteron Ganaksolon
Inhibitor karbonik anhidrase Modulator reseptor GABAA Proses derivat progesteron Sintesis progesteron Modulator reseptor GABAA
Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi
Toleransi Sedasi atau depresi Disfungsi reproduksi Sedasi Penelitian pilot
Ganaksolon merupakan analog 3β-metil
sintetis dari alopregnanolon, merupakan
modulator alosterik positif yang kuat dari reseptor
GABAA dan agen antikonvulsan spektrum luas,
serta sangat sedikit menyebabkan samping
hormonal. Potensi antikonvulsan ganaksolon
diperkuat selama periode yang mengikuti kejadian
withdrawal neurosteroid pada tikus model epilepsi
katamenial, tidak seperti diasepam dan sodium
valproat justru menurun selama periode tersebut.
Ganaksolon sebagai terapi epilepsi katamenial
masih dalam pengembangan, namun peneliti-
peneliti berharap bahwa agen ini dapat menjadi
pilihan terapi spesifik untuk epilepsi
katamenial.26,27
SIMPULAN
Perubahan siklik kadar hormon gonadal yaitu
progesteron dan estrogen dalam serum merupakan
faktor yang paling berperan dalam mekanisme
dasar terjadinya epilepsi katamenial. Estrogen
bersifat prokonvulsan sedangkan progesteron
memberikan efek antikonvulsan.
Pada siklus ovulatorik, frekuensi bangkitan
meningkat saat terjadi withdrawal progesteron
sehingga kadar progesteron lebih rendah daripada
estrogen (tipe perimenstrual) dan saat terjadi
lonjakan kadar estrogen tanpa disertai peningkatan
kadar progesteron (tipe peri-ovulatorik). Pada
siklus anovulatorik, peningkatan frekuensi
bangkitan terjadi selama fase luteal karena level
progesteron tetap rendah akibat kegagalan ovulasi.
Penurunan level progesteron lebih berperan
dalam menstimulasi eksaserbasi bangkitan
katamenial dibanding peningkatan level estrogen.
Efek antikonvulsan progesteron terbukti terutama
dihasilkan oleh aktivitas senyawa metabolitnya
yaitu alopregnanolon yang merupakan modulator
alosterik positif yang kuat dari reseptor GABAA.
Ganaksolon merupakan analog 3β-metil
sintetis dari alopregnanolon. Ganaksolon terbukti
efektif pada kasus-kasus di mana modulator
reseptor GABAA lainnya gagal memberikan efek
proteksi terhadap bangkitan seperti yang terjadi
pada epilepsi katamenial dengan efek samping
hormonal yang sangat minimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Herzog, A.G., Klein, P., & Rand, B.J. Three patterns of catamenial epilepsy, Epilepsia, 1997; 38 (10): 1082-8.
2. Harsono. Karakteristik epilepsi pada perempuan, pendekatan manajemen berdasarkan perubahan-perubahan fisiologik. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, 2004.
3. Rogawski, M.A. Progesterone, neurosteroids, and the hormonal basis of catamenial epilepsi. Annals of Neurology, 2003; 53 (3): 288-91.
4. O’Brien, M.D., & Gilmour-White, S.K. Management of epilepsy in women. Postgrad Med Journal, 2005; 81: 278–85.
74 | Jurnal Kedokteran Mulawarman, 2018; 6(3) ISSN 2443-0439
5. Ganong, W.F. Gonad, perkembangan dan fungsi sistem reproduksi, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi ke-20,Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2002, p. 417-430.
6. Foldvary-Shcaefer, N., Harden, C., Herzog, A., Falcone, T. Hormones and seizures, Cleveland Clinic Journal of Medicine, 2004; 7 (S2): 11-18
7. Guyton, A.C., Hall, J.E. Fisiologi wanita sebelum kehamilan dan hormon-hormon wanita, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997, p. 1285-300.
8. Stafstrom, C.E. The pathophhysiology of epileptic seizures: a primer for pediatricians, Pediatrics in Review, 1998; 9: 324-51.
9. Hussain, Z., Qureshi, M.A., Hasan, K.Z., & Aziz, H. Influence of steroid hormones in woman with catamenial epilepsy. J Ayub Med Coll Abbottabad, 1997; 18 (3): 17-20.
10. Reddy, D.S. Pharmacotherapy of catamenial epilepsy, Indian Journal of Pharmacoll, 2005; 37: 288-93.
11. Scharfman, H.E., & MacLusky, N.J. The Influence of Gonadal Hormones on Neuronal Excitability, Seizures, and Epilepsy in the Female, Epilepsia, 2006; 47 (9): 1423–40.
12. Lim, L., Foldvary, N., Mascha, E., Lee, J. Acetazolamide in women with catamenial epilepsy, Epilepsia, 2001; 42 (6): 746-9.
13. Schipper,H.M. Sex hormones and the nervous system, In: Aminoff, M.J., editor, Neurology and General Medicine, 3rd edition, Hardback Churchill Livingstone, 2001, p. 365-81.
14. Stoffel-Wagner, B. Neurosteroid biosynthesis in the human brain and its clinical implications, Ann. N.Y. Acad. Sci., 2003; 1007: 64-78.
15. McEwen, B.S., Alves, S.E. Estrogen actions in central nervous system, Endocrine Reviews, 1999; 20 (3): 279-307.
16. Foy, M.R., Henderson,V.W., Berger, T.W., Thompson, R.F. Estrogen and neural plasticity, Current Directions in Psychological Science, 2000; 9 (5): 148-52.
17. Foy, M.R., Xu, J., Xie, X., Brinton, R.D. 17β-estradiol enhances NMDA receptor-mediated EPSPs and long-term potentiation. Journal of Neurophysiology, 1999; 81: 925-31.
18. Reddy, D.S., Kim, H., Rogawski, M.A. Neurosteroid withdrawal model of perimenstrual catamenial epilepsy, Epilepsia, 2001; 42 (3): 328-36.
19. Kokate, T.G., Banks, M.K., Magee, T. Finasteride, a 5α-reductase inhibitor, blocks the anticonvulsant activity of progesterone in mice, Journals of Pharmacol Exp Ther, 1999; 288: 679–84.
20. Frye, C.A., Rhodes, M.E., Walf, A., Harney, J., 2002. Progesterone reduces pentylenetetrazol-induced ictal activity of wild-type mice but not those deficient in type I 5α-reductase, Epilepsia, 2002; 43 (S5): 14-17.
21. Edwards, H.E., Epps, T., Carlen, P.L. Progestin receptors mediate progesterone suppression of epileptiform activity in tetanized hippocampal slices in vitro, Neuroscience, 2001; 101: 895–906.
22. Rune, G.M., Wehrenberg, U., Prange-Kiel, J. Estrogen upregulates estrogen receptor α and synaptophysin in slice cultures of rat hippocampus, Neuroscience, 2002; 113: 167–75.
23. Woolley, C.S. Estradiol facilitates kainic acid-induced, but not flurothyl-induced, behavioral seizure activity in adult female rats, Epeilepsia, 2000; 41 (5): 510-15.
24. Bauer, J. Interaction between hormones and epilepsy in female patients, Epilepsia, 2001; 42 (S3): 20-2.
25. Bauer, J., Burr, W., Elger, C.E. Seizure occurence during ovulatory and anovulatory cycles in patients with temporal lobe epilepsy: a prospective study, European Journal of Neurology, 1998; 43: 341-346.
26. Reddy, D.S., Rogawski, M.A.Enhanced anticonvulsant activity of neuroactive steroids in a rat model of catamenial epilepsy. J Pharmacol Exp Ther, 2000; 294: 909-15.
27. Reddy, D.S., Woodward, R. Ganaxolone: A prospective overview. Drugs Future, 2004; 29: 227-42.