Download - Epidemiologi
Epidemiologi
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di dunia,
terutama di negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan
Amerika Selatan. Salah satu klasifikasi dari gizi buruk adalah marasmik-kwashiorkor. Di
seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta orang yang menderita gizi buruk pada tahun
2000–2002, dan 815 juta diantaranya hidup di negara berkembang.
Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di bawah umur 5 tahun (balita).
Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan laporan
propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita mengalami gizi buruk dan data Susenas
(Survei Sosial dan Ekonomi Nasional) tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi
buruk sebesar 8,8%. Pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di
beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan
Nusa Tenggara Barat.1,2
Untuk Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan riskesdas 2010, angka kejadian gizi
kurang pada balita sebesar 14.4% dan buruk sebanyak 5.5% dengan indikator berat badan
per umur. Sebagai perbandingan berdasarkan laporan yang ada dalam profil kesehatan Kota
Palembang tahun 2007 dijelaskan bahwa angka gizi buruk tahun 2007 adalah 1,4% menurun
bila dibanding tahun 2006 yaitu 2,21%, angka KEP total tahun 2007 adalah 15% meningkat
dibanding tahun 2006 yaitu 12,9%, sedangkan gizi lebih tahun 2007 adalah 2,8% menurun
dibanding dengan tahun 2006 yaitu 4% dan balita yang gizi baik tahun 2007 adalah 82,12%
bila dibanding tahun 2006 terdapat penurunan dimana tahun 2006 berjumlah 84%. Pada
tahun 2008 dari 144 ribu balita dikota Palembang, 400 diantaranya mengalami kurang gizi
atau berada dibawah garis merah dalam Kartu Menuju Sehat hasil pantauan di 889
posyandu aktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk Kota Palembang, angka kurang gizi
pada balita juga masih tegolong tinggi.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis
(marasmus, kwashiorkor, marasmus kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi
seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), tuberculosis (TB), serta penyakit
infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54% angka kesakitan pada balita
disebabkan karena gizi buruk, 19% diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5%
malaria, dan 32% penyebab lainnya.4
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini dapat
dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4% pada tahun
2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal
anak gizi buruk masih relatif besar.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi provinsi NTB
untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan dengan target pencapaian
program perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20% dan target MDG untuk NTB sebesar 24,8%
berada di atas nasional yang 18,5% maka NTB belum melampaui target nasional 2015
sebesar 20%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa prevalensi gizi buruk
NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011). Sedangkan menurut data hasil pemantauan status
gizi (PSG) tahun 2009 tahun 2009 prevalensi gizi buruk di NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010
turun menjadi 4,77. 1
Daftar pustaka