Transcript
Page 1: Dua Sayap Yang Terpisah

Dua Sayap yang Terpisah

“Ckrik..!” suara kamera serta kilatannya mengambil gambar dua bidadari

kecil. Kejadian yang mungkin tidak begitu spesial bagi orang lain, tapi bagiku itu

spesial. Walaupun aku belum mengerti. Mungkin sama sekali belum paham. Aku

tahu dan memahaminya setelah aku beranjak besar, sedikit mengerti saat

memandangi sebuah foto. Disitu ada aku dan seorang lagi yang menggendongku,

dengan penuh kasih sayang. Umurnya sekitar sembilan tahun waktu itu. Dia

memakai baju merah dan celana pendek berwarna hijau muda. Rambutnya diberi

hiasan sebuah bando putih yang manis. Sedangkan aku, yang sepertinya belum

genap satu tahun, memakai baju putih dan topi putih pula. Aku tenang-tenang

saja dalam dekapannya.

Sekarang aku pun menyadari. Ya..!! dia lah saudara perempuanku, yang

sampai saat ini menjadi saudaraku satu-satunya. Usia kami terpaut cukup jauh.

Kami hidup bersama di keluarga yang sederhana, tidak memiliki materi yang

berlebihan tapi punya cara sendiri untuk mendapatkan kebahagiaan. Kami berdua

bahagia dilahirkan di lingkup keluarga kami yang seperti ini. Setiap hari kami

berbaur satu sama lain. Tak ada satu celah kecil pun yang dapat memisahkan

kami. Begitu pikirku dulu, saat aku belum mengerti banyak hal.

Iven Ika Pratiwi, sebuah nama yang tidak begitu bagus, tapi akan selalu ku

ingat seumur hidupku. Orang tuaku yang memberikannya. Begitu juga dengan

nama Yopy Novela Pensha. Aku bangga dengan nama ini.

Hari Minggu pagi yang cerah. Matahari menerobos dinginnya pagi dan

mengganti nya dengan kehangatan. Orang tuaku sudah berangkat bekerja.

Mencari nafkah untuk kami berdua. Berbeda dengan orang lain pada umumnya,

hari Minggu adalah hari libur untuk beristirahat. Tapi orang tuaku justru

sebaliknya. Pekerjaan mereka wiraswasta, hari Minggu bahkan hari yang

ditunggu- tunggu untuk lebih giat mencari uang.

Sedangkan aku dan Iven..

Page 2: Dua Sayap Yang Terpisah

“Dek, ngelap kaca gih. Mumpung libur”.

“Huff.. kenapa si, tiap hari libur, ada aja yang dikerjain. Butuh istirahat juga

neeh”. suara hati ku menggerutu tanpa ku nyatakan dengan perkataan. Dengan

wajah murung seperti orang yang baru terkena musibah, aku menghampirinya.

Dia memberi petunjuk untuk mengerjakan apa yang ia perintahkan tadi. Akhirnya

aku melakukannya juga.

Setelah hampir selesai..

“Dek,dek.. ini kok belum bersih si. Gimana lah, ngelapnya nggak bener”.

Aku kesal dengan perkataannya barusan. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa,

seakan-akan dialah penguasa. Dia lebih tua dariku, jadi aku harus selalu menuruti

apa yang dia katakan.

“Yaudalah, udah. Mandi sana”. Aku bergegas meninggalkannya. Tak tahan

lagi aku disitu.

Aku langsug mandi seperti yang diperintahkan. Lagi lagi, urusan mandi pun

masih harus berdasarkan perintah. Selesai mandi, seperti biasa aku menikmati

sajian televisi hari libur. Biasanya, acara televisi Minggu pagi membuatku betah

berlama-lama di depan layar berwarna yang bergerak itu. Sampai-sampai tak ku

sadari, matahari tidak lagi condong ke timur, aku segera makan siang bersama

Iven. Kejadian tadi pagi sudah luput dari ingatan, tak lagi ku persoalkan. Kami

kembali akrab dengan canda tawa disela-sela makan siang ini. Beginilah kami,

mungkin memang tak bisa dihindari untuk saling memaafkan walaupun tidak

secara langsung.

Setelah kami habiskan makan siang, dan perut terasa penuh. Kami terbaring

lemas didepan televisi, di sebuah karpet yang tidak terlalu lebar. Akhirnya masing-

masing telah berada di alam mimpi.

Page 3: Dua Sayap Yang Terpisah

Hari sudah sore. Kami telah bangun dari istirahat siang ini. Menyapu

halaman dan menyapu rumah adalah tugas rutin kami di sore hari. Iven menyapu

rumah, dan aku menyapu halaman. Setelah semua selesai aku dan dia mandi.

Menjelang malam, saatnya untuk belajar. Dan malam telah larut, aku yang masih

anak-anak sudah digiring ke kamar oleh ibuku sejak tadi. Mungkin Iven masih

sibuk dengan pekerjaannya, tapi dia sudah masuk ke kamar nya.

Pagi ini, aku sudah siap berangkat ke sekolah. Dengan menggunakan

sepeda kesayangan ku, aku melaju menuju sekolah. Aku bisa mengendarai sepeda

ini berkat Iven, dia mengajari ku di sekitar masjid di dekat rumah kami. Sampai

saat ini aku berani menggunakannya sendiri ke sekolah. Memang tidak terlalu

jauh. Tapi betapa menyenangkannya mengayuh sepeda melewati persawahan

dengan menghirup udara pagi yang segar. Iven sudah berangkat sejak tadi.

Sekolahnya cukup jauh. Harus menaiki kendaraan umum untuk sampai disana.

Maka dari itu, dia bergegas setiap hari Senin, karena seperti biasa sekolahnya

melakukan upacara bendera. Aku jarang melihatnya berangkat sekolah, karena

setiap dia pergi aku belum ada di alam sadarku, masih menikmati kehidupan

bunga tidur yang menurutku cukup mengasyikkan.

Siang hari kami kembali ada dirumah. Makan, istirahat, mngerjakan tugas

jika ada. Begitulah aktivitas kami sehari-hari.

“ Pen !! Sholat dulu kamu ! ngapain dikamar terus daritadi ?! “

Aku dan mama kaget mendengar suara yang cukup keras. Tidak seperti biasa, saat

maghrib suasana rumah selalu hening. Tapi kali ini, papa seperti sedang

meluapkan amarahnya. Saat aku dan mama melihat ke sumber suara, Iven sudah

menangis dengan kepala menunduk dan mencoba melindungi tubuhnya.

“ Pa ! Udah..! Kasian.. “ pintaku pada papa. Aku tak peduli jika aku ikut

terkena pukulan papa saat itu. Aku tak ingin Iven menerima amarah papa

sendirian. Sebelumnya aku memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku

hanya diam melihat Iven dipukul dan dicaci oleh papa. Tapi setelah itu, aku tidak

Page 4: Dua Sayap Yang Terpisah

tahan melihatnya. Mama sudah mencoba melarangku. Aku tetap maju mendekat.

Akhirnya amarah papa mereda.

Aku masih melihat Iven menangis. Tidak tega melihatnya. Walaupun aku yang

saat itu tergolong masih kecil, tapi entah kenapa, aku seperti ikut merasakan hal

yang sama seperti dirinya.

Lalu ku tinggalkan dia sendiri. Aku belum berani bicara dengannya.

Layaknya anak kecil lain. Aku kembali seperti biasa, seperti tak ada hal apapun

terjadi.

Hari minggu kembali kami jumpai. Saat itulah kami lebih sering bermain

bersama. Iven selalu saja ‘jail’ saat aku sedang diam. Sehingga kami sering

berkejar-kejaran di dalam rumah. Pernah suatu saat, dia mengejarku sampai

keluar menuju jalan. Kami saling balas-membalas. Tak ada salah satu dari kami

yang mau mengalah. Walaupun sudah mereda, Iven atau aku kembali

memulainya. Sampai-sampai mama dan papa memarahi kami berdua. Tapi tetap

saja, kami melanjutkan kenakalan kami itu. Hehe

Sebentar lagi Iven akan mengadakan studytour bersama teman-temannya di

sekolah. Aku tidak tahu, dia akan pergi kemana. Aku hanya memesan oleh-oleh

padanya.

Tak begitu lama dia pergi, sekitar satu minggu. Dia pulang dengan membawa

boneka kecil untukku, boneka ‘Winnie The Pooh’ yang imut. Aku sangat senang

dengan pemberiannya. Walaupun hanya sebuah boneka. Sejak saat itu, aku

menyukai boneka ‘Winnie The Pooh’.

Tak terasa waktu membawa ku ke masa remaja. Aku sekarang duduk di

sekolah menengah pertama. Iven melanjutkan pendidikannya dengan kuliah di

fakultas kesehatan jurusan Analis. Sekarang dia sudah tidak dirumah lagi, sejak

aku masih SD. Dia belajar hidup mandiri di rumah sementara nya, di dekat tempat

ia menimba ilmu lanjutan. Aku cukup kesepian jika tak ada dia. Iven hanya pulang

seminggu sekali, pada hari Sabtu. Kami tak sedekat dulu lagi. Aku sering merasa

rindu padanya…. Sangat rindu malah.

Page 5: Dua Sayap Yang Terpisah

Semakin beranjak dewasa diriku. Semakin banyak pula masalah yang ku alami.

Tapi untung saja masih bisa ku selesaikan sendiri. Saat SMP aku sangat menikmati

masa anak-anak menuju dewasa ku. Iven tidak terlalu tahu diriku yang sekarang.

Sebenarnya aku ingin bercerita banyak dengannya saat ia pulang. Tapi sepertinya

aku enggan, sangat eggan berbagi cerita dengan Iven. Selama kurang lebih empat

tahun, aku tak banyak berbaur dengannya. Jarak yang memisahkan kami

mempersulit untuk saling terbuka.

Aku akan segera lulus dari sekolah menengah pertama ini. Dan melanjutkan

ke sekolah menengah atas atau yang biasa disingkat SMA. Begitu juga dengan

Iven, dia sudah selesai dengan kuliah nya.

Setelah melewati ujian, dan aku dinyatakan lulus, aku mengikuti tes seleksi.

Akhirnya aku diterima di salah satu sekolah favorit disini. Iven ikut senang dengan

kebahagiaan ku.

Tak lama setelah itu, dia berencana untuk menikah. Aku pun bahagia dengan

berita ini. Tapi di sisi lain, hatiku meronta. Tak ingin kenyataan ini merenggut lagi

kebersamaan kami. Cukup hanya empat tahun aku tak merasakan

keberadaannya. Sempat aku berpikir untuk melarangnya, tapi aku tahu, itu gila!

dia harus melanjutkan kehidupannya.

Kini sangat terasa, aku membutuhkannya. Semenjak dia pergi dari rumah

ini untuk jangka waktu yang sangat lama, atau bahkan selamanya. Aku ingin

membagi cerita remaja ku yang penuh masalah dan kesenangan pada Iven.

Kadang aku merasa sangat tidak beruntung. Aku sering membayangkan, betapa

leganya aku jika dia ada disini dan bisa mendengarkan semua keluh kesahku

selama menjalani masa pubertas. Aku pun ingin mendengar nasihat-nasihat nya

lagi. Apalagi saat ini, memang sangat dibutuhkan seseorang yang bisa

menuntunku dan mengajariku bagaimana harus melangkah.

Aku butuh seseorang yang bisa memahami diriku, dan aku mau itu Iven. Tapi

sepertinya itu sulit, dan bisa jadi mustahil !

Page 6: Dua Sayap Yang Terpisah

Malam sudah begitu hening, sebentar lagi aku akan menghampiri gerbang

alam mimpiku. Tapi sesuatu membuatku terhenti dan membatalkan rencana

sebelumnya. Aku kembali teringat Iven, selalu… air mata yang hanya bisa

meluapkan segala rinduku padanya.

Sesekali aku mengusap kegalauan itu, tapi tak bisa. Aku ingin dia ada disini lagi…

ada disampingku. Andai dia tahu…

“Sayap.. tak berfungsi bila tak jadi satu,

Kehilangan satu sayap seperti kehilangan nyawa.

Dua sayap dapat terbang,

Tapi satu sayap, hidup seakan tak mampu…”


Top Related