-
DISKRIMINASI TERHADAP WARGA KETURUNAN MIGRAN AFRIKA UTARA DI PERANCIS
ERA JACQUES CHIRAC
Oleh :
Fuad Nur Cholis
HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perancis adalah negara maju yang cukup berpengaruh di dunia internasional, baik dalam hal ekonomi,
politik, militer, maupun dalam masalah hak asasi manusia. Masalah hak asasi manusia telah diakui
Perancis sebagai hal yang harus dijunjung tinggi. Hal ini tertuang dalam slogan Perancis yang berbunyi
Egalite, Freternite, Liberte yang berarti kesetaraan, persaudaraan, dan kebebasan. Selain itu, Perancis juga
memiliki konvensi tersendiri tentang hak asasi manusia yang tertuang dalam The Declaration of Right
1789, yang mengatur tentang kesetaraan semua warga Perancis. Pedoman-pedoman tersebut telah
menjanjikan perlakuan dan perlindungan yang setara terhadap semua orang yang tinggal di Perancis.
Dengan keadaan seperti ini, wajar saja kalau Perancis merupakan negara yang telah menjadi tujuan utama
orang-orang asing, baik untuk mencari perlindungan (suaka), ataupun mencari kemakmuran dengan
menjadi tenaga kerja asing (immigrant worker), ditambah lagi status Perancis sebagai salah satu negara
industri maju di dunia yang sangat menjanjikan kemakmuran bagi orang-orang yang bisa bekerja disana.
Kedatangan orang-orang asing ke Perancis, yang selanjutnya disebut sebagai kaum migran ini terjadi
dalam jangka waktu yang panjang sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Immigran yang datang ke
Perancis berasal dari berbagai negara, baik dari Eropa (Polandia, Italia, Spanyol, Portugal), dari benua
Afrika, terutama Afrika Utara (Maroko, Aljazair, Tunisia) maupun dari Asia (Vietnam), dan daerah
koloni yang lain seperti Karibia, Reunion Island dan dari negara lain. Negara-negara tersebut sebagian
-
besar merupakan mantan koloni Perancis. Di antara negara-negara asal itu, imigran dari Eropa Selatan
merupakan pendatang yang jumlahnya paling banyak.
Tetapi pendatang yang terlihat paling menonjol di Parancis adalah Afrika Utara, dengan perbedaan warna
kulit, Bahasa, budaya, dan agama. Selain itu. perlakuan berbeda pada bidang pendidikan, hukum, maupun
ekonomi banyak sekali ditemukan pada golongan ini. Untuk itulah tulisan ini hanya akan memfokuskan
diri pada diskriminasi terhadap warga Perancis keturunan migran (Afrika Utara). Perlakuan berbeda
(diskriminasi), tidak banyak ditemukan pada migran yang berasal dari Eropa, mungkin karena mereka
memiliki banyak kesamaan dengan warga Perancis asli. Sedangkan warga yang berasal dari Afrika Utara
terlihat sangat berbeda, baik dari fisik (orang Afrika Utara sebagian besar adalah orang Arab) agama
(mayoritas beragama Islam), dan dengan kebudayaan yang sangat berbeda. Hal ini semakin mempejelas
garis batas antara kaum migran (Afrika Utara) dengan warga negara asli Perancis, dan warga migran yang
lain.
Kedatangan orang-orang Afrika Utara ke Perancis, tidak terlepas dari sejarah kolonial negara itu. Seperti
kita tahu daerah itu dulunya merupakan daerah jajahan Perancis (Aljazair), dan daerah protektorat
(Maroko dan Tunisia). Adanya ikatan sejarah (sebagai mantan panjajah dan jajahan), membuat warga
Afrika Utara merasa lebih dekat dengan Perancis, dibandingkan dengan negara barat lainnya. Jadi ketika
orang-orang Afrika Utara harus pergi ke negara lain untuk mencari pekerjaan ataupun alasan lainnya,
maka mereka cenderung memilih Perancis sebagai negara tujuanya.
Arus migrasi dari Afrika Utara sebagian besar terjadi pada pasca Perang Dunia II, terutama sekitar tahun
1960-an. Hal ini terkait dengan mulai berakhimya kekuasaan Perancis di wilayah itu. Banyak negara yang
mendapatkan kedaulatannya sendiri pasca dekade itu. Selama Perancis berkuasa di Afrika Utara, banyak
warga pribumi (terutama di Aljazair) yang memihak dan bekerja untuk Perancis. Kalangan ini disebut
dengan nama harkish. Golongan ini sangat dibenci oleh orang-orang Aljazair dan dianggap sebagai
pengkhianat bangsa. Maka ketika Negara Aljazair mencapai kemerdekaan, kelompok tersebut menjadi
musuh utama kaum yang pro kemerdekaan. Golongan harkish tidak punya pilihan lain, selain
meninggalkan negaranya dan mencari tempat tinggal di negara lain. Karena selama ini mereka telah
begitu dekat dengan orang-orang Perancis, maka mereka memilih untuk pergi ke negara mantan penjajah
mereka, yaitu Negara Perancis yang maju. Ini merupakan salah satu alasan orang-orang Aljazair
bermigrasi ke Perancis. Sedangkan alasan yang lain adalah masalah ekonomi yang sangat buruk di Afrika
Utara pasca kemerdekaan mereka. Kondisi perekonomian negara-negara tersebut kacau balau. Hal ini
sangat wajar karena mereka adalah negara-negara baru, tanpa dasar ekonomi yang kuat. Hancurnya
perekonomian, tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan, menyebabkan mereka mencari alternatif
lain, yaitu dengan mencari pekerjaan di negara lain, salah satunya di Perancis, yang merupakan negara
industri maju. Ini adalah alasan yang lain bagi orang-orang Afrika Utara untuk bermigrasi ke Perancis.
Kehadiran orang-orang Afrika Utara ke Perancis, sebenarnya tidak terlalu diharapkan oleh pihak Perancis,
karena mereka lebih menyukai imigran dari Eropa. Tetapi Perancis tidak punya pilihan lain karena waktu
itu migran Eropa yang datang tidak terlalu banyak, sedangkan Perancis sangat membutuhkan tenaga kerja
murah dalam jumlah yang sangat banyak, untuk rekonstruksi ekonomi pasca perang. Pada awalnya
imigran yang datang ke Perancis hanya bersifat sementara, setelah mendapatkan cukup banyak uang
mereka pulang ke negara asalnya. Tetapi pada periode selanjutnya orientasi mereka berubah, imigran
-
yang datang tidak lagi hanya bersifat sementara, tetapi justru berniat menetap di Perancis. Hal tersebut
diwujudkan dengan pengajuan ijin tinggal permanent, yang bisa diperbarui yaitu selama 10 tahun
(residence permits / carte de residence), yang sekaligus memberi ijin kerja dalam bidang apa saja di
semua wilayah Perancis. Hal ini lebih menguntungkan dari pada ijin jangka pendek (Temporary Permits /
Carte Temporaire) yang hanya berlaku selama satu tahun dan memberikan akses yang terbatas pada
lapangan kerja. "Residence permits (carte de residence) are valid for ten years and give an automatic right
to work (all jobs in all regions in France) .........Temporaty permits (carte temporaire) are valid for one
year and give limited access to employment to certain categories of applicants". Selain itu pemerintah
Perancis juga mengeluarkan kebijakan family reunification atau pengumpulan keluarga. Jadi para
migran berhak membawa dan berkumpul dengan keluarganya di Perancis. Dengan keadaan seperti ini
wajar saja kalau jumlah migran di Perancis sangat besar.
Warga keturunan migran Afrika Utara tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan warga Perancis
yang lain, baik oleh pernerintah Perancis ataupun oleh masyarakat Perancis sendiri. Warga Perancis
sendiri juga tidak menyukai warga Afrika Utara. Bahkan menurut survey nasional tahun 1996, warga
Arika Utara adalah yang paling tidak disukai. Hasil survey tersebut menyatakan sebanyak 129 responden
menyatakan ketidaksukaannya pada orang Afrika Utara, 39 responden menyatakan tidak suka pada orang
kulit hitam, dan 13 responden tidak menyukai orang portugis. Hal yang tidak jauh berbeda juga
diungkapkan oleh warga Afrika Utara. berdasarkan hasil Generation Survey tahun 2001 tentang korban
diskriminasi, terlihat warga Afrika Utara menjadi korban utama tindakan diskriminasi. Tercatat 32 %
warga Afrika Utara merasa menjadi korban diskriminasi, 27 % orang kulit hitam, dan 10 % Eropa
Selatan. Perlakuan yang berbeda ini (diskriminasi) terjadi dalam banyak hal, yang sangat terlihat adalah
dalam bidang ekonomi. Sangat sulit bagi warga keturunan migran untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak seperti warga Perancis yang asli, meskipun mereka memiliki tingkat kualitas yang sama. Seorang
warga keturunan migran yang memiliki tingkat pendidikan yang sama dengan seorang warga Perancis
yang asli, akan mendapatkan kesempatan kerja yang berbeda. Bahkan dalam sebuah penelitian yang
dilakukan oleh SOS Racism yang bekerjasama dengan Universitas Sorborne. Paris, Perancis, dengan
rnengirimkan surat lamaran pekerjaan yang berisi cv fiktif, didapati bahwa seseorang dengan nama yang
berbau Islam atau Afrika Utara seperti zeiyd bena, atau yang tempat tinggalnya di daerah banlieu,
pinggiran kota, maka mereka mendapatkan surat panggilan lima kali lebih sedikit daripada mereka yang
bernama Pierre atau nama-nama Perancis dan Eropa lainnya.
Diskriminasi ini tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi, tetapi juga ketika berhadapan dengan polisi.
Para pemuda keturunan migran Afrika Utara seringkali berhadapan dengan polisi sebanyak lebih dan 10
kali sehari, hal ini terjadi karena tingginya kecurigaan polisi dan masyarakat Perancis terhadap warga
keturunan migran. Tentu saja hal ini menyebabkan ketidaknyamanan bagi warga keturunan migran,
karena mereka merasa ditolak dan tidak diterima oleh Perancis. Hal ini sudah berlangsung lama seperti
yang dikatakan oleh Richard Beirstein dalam bukunya The Fragile Glory, bahwa " there have always
,been foreigners in France, and the French have always had ways of distrusting them, excluding them,
making them uncomfortable . Hanya saja keadaan memaksa mereka untuk tetap berada di sana, karena
sejak awal mereka sudah tidak memiliki pilihan lain, selain tetap tinggal di Perancis dan berusaha
mengubah nasib mereka sebisa mungkin.
Diskriminasi telah menjadi fenomena sosial yang akut di Perancis, dan orang Afrika Utara menjadi
kelompok utama yang berhadapan dengan masalah ini.