DINASTI POLITIK: PERSFEKTIF TEORI POLITIK
‘ASHABIYYAH IBNU KHALDUN (STUDI KASUS
PEMERINTAH PROVINSI BANTEN
PERIODE 2007-2014)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Guna Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S. H.)
Oleh
Anwar Saputra NIM: 1111045200011
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
No Arab Latin No Arab Latin
ṭ ط Tidak dilambangkan 16 ا 1
ẓ ظ B 17 ة 2
‘ ع T 18 ت 3
G غ ṡ 19 ث 4
F ف J 20 ج 5
Q ق ḥ 21 ح 6
K ك Kh 22 خ 7
L ل D 23 د 8
M م Ż 24 ذ 9
N ن R 25 ز 10
W و Z 26 ش 11
H ه S 27 س 12
‘ ء Sy 28 ش 13
Y ي ṣ 29 ص 14
ḍ ض 15
2. Vokal Pendek
- --- = a تـت kataba ك
- --- = i سئ ل su’ila
- yażhabu ي ر ى ت = --
v
3. Vokal Panjang
a. Fatḥah + alif, ditulis ā (a dengan garis di atas)
ditulis jāhiliyyah جبىليو
b. Fatḥah + alif layyinah, ditulis ā (a dengan garis di atas)
ditulis yas’ā يسعى
c. Kasrah + yā’ sukun, ditulis ī (i dengan garis di atas)
ditulis majīd مجيد
d. Ḍammah + wāu sukun, ditulid ū (u dengan garis di atas)
ditulis Furūḍ فسوض
4. Diftong
أ ي = ai يف ك = kaifa
أ و = au ول ح = ḥaula
5. Kata Sandang (ال)
Kata sandang dilambangkan dengan ‘al-’, baik dikuti huruf syamsiyyah
maupun qamariyyah.
6. Tasydid (- —(
Syiddah atau tasydid dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi
syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syiddah
tersebut terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf al-
syamsiyyah. Misalnya, kata ة سوز tidak ditulis aḍ-ḍarūratu melainkan ditulis الض
al-ḍarūratu.
7. Tā’ Marbūṭah
vi
a. Bila berdiri sendiri atau dirangkai dengan kalimat lain yang menjadi na‘at
atau sifat, maka ditulis h. Contoh: الجبمعة الأسلامية ditulis al-Jāmi‘ah al-
Islāmiyyah.
Catatan: ketentuan ini tidak berlaku terhadap kata-kata serapan bahasa
Indonesia dari bahasa Arab seperti zakat, salat, dan sebagainya, kecuali
dikehendaki lafal aslinya.
b. Bila diharakati karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t. Contoh:
.ditulis ni‘mat Allāhنعمةالله
8. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut
penulisannya. Contoh: ذوي الفسوض żawī al-furūḍ, أىل سنة ahl al-sunnah.
9. Singkatan
swt., = subḥanahu wa ta‘ālā
saw., = ṣallā Allāh ‘alaih wa salam
as., = ‘alaih al-salām
ra., = raḍiya Allāh ‘anh
QS. = al-Qur’an Surat
M = Masehi
H = Hijriyah
w. = Wafat
h. = Halaman
v = Volume
vii
ABSTRAK
Anwar Saputra, NIM: 1111045200011, Dinasti Politik: Persfektif Teori Politik
‘Ashabiyyah Ibnu Khaldun (Studi Kasus Pemerintah Provinsi Banten Periode
2007-2014), Konsentrasi Siyasah Syari’ah Program Jinayah Siyasah Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penelitian ini dilakukan pada obyek tatakelola dan praktik kekuasaan
pemerintahan gubernur provinsi di Banten, dengan tujuan untuk mengetahui dan
menjelaskan bagaimana praktik dinasti politik atau politik kekerabatan di Provinsi
Banten pada era kepemimpinan Gubernur Ratu Atut Chosiyah yang mengalami
siklus ploriferasi (persebaran, pertumbuhan) dan kekuatan kekuasaannya di
masyarakat. Sejak terbentuk menjadi Provinsi yang mandiri, terpisah dari Jawa
Barat, kehidupan politik di Banten ditandai dengan menguatnya gejala dinasti
politik atau politik kekerabatan, baik pada tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode
pengumpulan sumber data primer dan sekunder seperti data/informasi, studi
pustaka, dan dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik dinasti politik atau politik
kekerabatan di era Ratu Atut Chosiyah di Banten memperlihatkan adanya gejala
proliferasi (persebaran, pertumbuhan), bukan saja pada ranah kekuasaaan
eksekutif dan legislatif, seperti pada arena bisnis, sosial-budaya, pendidikan, dan
keormasan. Dinasti politik merupakan kekuasaan yang dipegang secara turun
temurun dalam satu garis keturunan atau kerabat dekat. Hal ini ditandai dengan
tersebarnya jejaring kekuasaan melalui fitrah politik pendahulunya dengan cara
penunjukkan anak, istri, paman, dan semacamnya untuk menduduki pos-pos
strategis dalam partai (lembaga) politik. Kota seperti Gorontalo, Musi Banyuasin,
Lampung, Kota Batu merupakan calon-calon Dinasti pada pemilihan Gubernur
tahun 2017. Cara kekeluargaan biasanya dilakukan agar sanak famili tersebut bisa
dengan mudah meraih jabatan publik, baik sebagai Walikota, Gubernur, Bupati
maupun sebagai anggota perwakilan rakyat (DPRD). Dinasti politik dapat dilihat
dari struktur politik yang ada.
Kata kunci : Dinasti, Kerabat, Proliferasi.
Pembimbing : Dr. H. Rumadi. M. Ag.
Daftar Pustaka : 1945 s.d. 2015
viii
حيم حمن الر بسم الله الر
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang telah melimpahkan
kemampuan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjalankan tugas-tugas
kekhalifahan di bumi dan atas semua yang telah dilimpahkan kepada umat
manusia secara umum dan penulis secara khusus. Shalawat beserta salam tak
luput kepada pembawa risalah-Nya Nabi Muhammad SAW, para keluarga,
sahabat, dan mereka semua yang telah berjuang untuk menegakkan kalimat tauhid
di muka bumi ini dan membimbing umat manusia sehingga dapat menjalani
kehidupan yang lebih baik di dunia dan kebaikan hidup di akhirat.
Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan Karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adanya bimbingan, kritikan dan masukan
yang sangat berarti diperlukan penulis untuk dapat lebih menyempurnakan dan
memperbaiki agar penyajian skripsi ini lebih sempurna.
Dalam perjalanan penulisan skripsi ini, satu hal yang menjadikan sebuah
kebanggaan bagi penulis adalah mengikuti perkuliahan di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta khususnya Fakultas Syari'ah dan Hukum. Di dalam
perjalanan ini begitu banyak pengalaman serta pengetahuan baru yang penulis
dapatkan, baik sifatnya menyenangkan maupun yang mengharukan, karena
dengan melewati itu semua maka kepribadian dan kedewasaan dalam bersikap
bisa penulis dapatkan.
ix
Menyelesaikan skripsi ini tentu banyak rintangan dan halangan yang
penulis hadapi. Butuh extra kerja keras untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis
faham bahwa dalam mengerjakan skripsi bukan perkara yang mudah karena butuh
ketelitian dan kemauan yang tinggi. Tetapi bersyukur alhamdulillah, semua itu
bisa diatasi berkat motivasi dan dorongan yang diberikan oleh semua pihak yang
membantu dan memberikan dukungan tiada henti kepada penulis. Semoga Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu mengasihi dan
menyayangi kalian, dimana kalian berada. Rasa terima kasih ingin penulis
sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para wakil Dekan yang telah
membimbing penulis dalam menjalani perkuliahan.
2. Ibu Dra. Hj. Maskufa, MA, Ketua Program Studi Siyasah Syar’iah yang telah
memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis
selama penulis mengikuti perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Sekretaris Program Studi Siyasah Syar’iyah yang
telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan
berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaik-
baiknya.
4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA, dosen Penasehat Akademik yang
telah memberikan arahan, bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti
perkuliahan dan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga skripsi
x
dapat diseminarkan dengan baik.
5. Bapak Dr. Rumadi, M. Ag, dosen pembimbing yang sangat penulis hormati,
dengan sangat sabar dan keikhlasan beliau membimbing penulis, memberikan
banyak ilmu dan waktunya kepada penulis sehingga banyak hal baru yang
penulis dapatkan selama bimbingan bersama beliau dan menyelesaikan skripsi
ini dengan sebaik-baiknya.
6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah membimbing penulis dan memberikan ilmunya selama masa
kuliah.
7. Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari bahan dan literatur
selama masa kuliah.
8. Keluarga penulis, teristimewa ayahanda bapak. H. Asnawi (alm) dan ibunda
tercinta Sayati yang senantiasa tiada henti mendoakan penulis, memberikan
limpahan kasih sayang, kesabaran, dukungan serta motivasi baik moral
maupun materil kepada penulis. Tak lupa untuk kakak-kakak penulis tercinta,
Winarsih, Zainal Abidin, Titi Maryati dan Saipul Anwar, terima kasih untuk
segala doa yang kalian berikan, semoga Allah SWT selalu melimpahkan kasih
sayang-Nya dan keberkahan untuk kalian.
9. Ratnasari Ayi yang sama-sama sedang berjuang dalam meraih mimpi dan juga
untuk keluarganya, yang selalu memberikan doa dan dukungannya selama
penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Mumtaz Ibadurrahman Cipondoh Kota
xi
Tangerang, Kyai H. Drs. Ahmad Ikhsan, beserta guru-guru yang berada di
Pesantren tidak lupa ta’dzim dan hormat penulis, terima kasih atas doa dan
ilmu yang sangat berguna bagi penulis dalam membentuk kepribadian yang
lebih baik lagi.
11. Sahabat tercinta Yasir, Deni (Jawir), Indra (Abo), Widi Pramono (Cimeng),
M. Soleh, Adam Husen, Ryan Erlangga, Reza F.H, Bambang M.K, Bpk.
Abdul Rojak, Bpk. Suryadi (Ambon), Hary (Amoy), Tomi (Adon), Mukhlis
(Monon), Jul Saputra, Adisty Rozak. Terima kasih atas kebersamaan, bantuan,
dan keseruan yang penulis banggakan selama bersama kalian.
12. Teman-teman seperjuangan SS angkatan 2011, Andi, Hera, Lisna, Merry,
Tiwa, Arista, Tomi, Uti, Dwi, Anwar, Fajar, Devi, Fifit, Gilang, Mun'im, Rezi
dan Buya. Dan tidak lupa juga untuk teman-teman dari jurusan Pidana Islam
angkatan 2011.
13. Teman-teman KKN (Kuliah Kerja Nyata) Slapajang Kecamatan Cisoka
Kabupaten Tangerang, kelompok SABIT 142 2014. Untuk Aam, Fadhlan,
Ipoy, Irvan, Januar, Mas Hans, Mas Husen, Husni, Nafis, Nita, Anet, Ayi,
Eces, Kiki, Sebulan bersama kalian adalah sesuatu yang sangat berkesan.
Terima kasih semua atas perhatian dan dukungannya. Dan tak lupa kepada
warga kp. Slapajang Kecamatan Cisoka khususnya Bapak Lurah Eden, Ibu
Lurah Yuli, Bapak Naya, dan Bapak Guru. Terima kasih untuk segala doa dan
dukungannya.
14. Semua pihak yang sudah membantu, penulis berdo’a semoga kebaikan dan
ketulusan yang telah diberikan oleh berbagai pihak di balas oleh Allah SWT.
xii
Penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat untuk para pembaca umumnya
dan penulis khususnya.
Jakarta, 20 Oktober 2017
Penulis
Anwar Saputra
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
LEMBARAN PERNYATAAN ................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. ii
PENGESAHAN TIM PENGUJi ................................................................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. iv
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viiii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii
BAB 1: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................. 9
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 10
D. Manfaat Penulisan ....................................................................... 10
E. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 11
F. Metodologi Penelitian .................................................................. 12
G. Sistematika Penyusun ................................................................. 12
BAB II: SEKILAS TENTANG IBNU KHALDUN DAN
MUKADDIMAH
A. Kehidupan Ibnu Khaldun ........................................................... 14
B. Teori Politik ‘Ashabiyyah Ibnu Khaldun .................................. 16
BAB III: BANTEN DAN DINASTI POLITIK PASCA REFORMASI
A. Otonomi Daerah Pasca Reformasi ............................................. 29
1. Otonomi Daerah dan Pilkada .................................................... 30
2. Pilkada dan Munculnya Dinasti Politik ................................... 32
B. Dinamika Politik Provinsi Banten ............................................. 38
1. Sejarah Politik Provinsi Banten ................................................ 41
2. Anatomi Dinasti Politik Banten 2007-2014 .............................. 45
BAB IV: DINASTI POLITIK BANTEN DALAM
PERSFEKTIF IBNU KHALDUN
1. Dinasti Politik Banten dalam Persfektif Ibnu Khaldun ......... 47
2. Strategi Membangun Dinasti Politik ........................................ 60
xiv
BAB V: PENUTUP
1. Kesimpulan ............................................................................ 68
2. Saran ....................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 71
LAMPIRAN .................................................................................................. 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Budaya politik Indonesia memiliki karakteristik yang menarik. Budaya
politik kawulo adalah salah satu wujud keunikan tersebut. Budaya politik kawulo
menempatkan posisi perilaku politik dengan berdinasti politik sebagai strategi
pengekalan kekuasaan. Dinasti politik menampilkan kekuatan status quo melalui
familinya.
Politik dinasti atau politik kekerabatan menunjukkan bahwa kerabat dekat
atau keluarga merupakan alat yang sangat tepat untuk membentuk kekuasaan yang
kuat. Bahkan kekuatan politik itu bukan hanya sekedar fenomena politik belaka.
Tetapi sudah menjadi budaya politik di Indonesia yang sudah semakin menjamur
di berbagai daerah. Konsepsinya adalah perilaku politik, strategi, orientasi politik,
kemudian menjadi budaya politik masyaarakat Indonesia1.
Bukti terkini ialah dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur Banten
2017-2022 Wahidin Halim dan Andika Hazrumy yang nota bene merupakan anak
kandung Ratu Atut Chosiyah Gubernur Banten dua periode 2004-2014. Kali ini
1Suyadi, “Bentuk dan Karakter Politik Dinasti di Indonesia” (Skripsi S 1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Yogyakarta, 2014), h. 1.
2
Andhika merupakan yang palingb mutakhir dari keluarga Atut yang menjadi
pejabat di Provinsi Banten. Sebelumnya Atut sendiri lah yang menjabat sebagai
Gubernur Banten setelah di tahun 2014 di tahan karena kasus sengketa Pilkada
Lebak,
Selain itu, ada sekitar 57 kepala daerah atau wakil kepala daerah,
mempunyai hubungan keluarga atau kerabat pejabat lain. Mereka tersebar di 15
daerah Provinsi, seperti: Provinsi Lampung, Banten Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Sumateraa Barat, Jawa Barat, Jawa tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan
Maluku2.
Berkaca dari fakta diatas, bisa dilihat dari analisa politik modern,
kemunculan dinasti politik di akibatkan oleh adanya kemandulan demokrasi.
Sebab, hal ini yang kemudian secara struktural mengakibatkan keserakahan
terhadap jabatan dan justru menutup ruang demokrasi, dan memunculkan
kekuasaan etnis di daerah. Dari etnisitas inilah dinasti tumbuh , sementara etika
politik rendah karena kaderisasi partai politik dan pendidkan dalam berpolitik
tidak berjalan dengan baik.
Namun demikian, jalan menuju demokrasi tidaklah selalu mudah
diwujudkan. Fenomena semacam itu pula yang terjadi di Indonesia pasca
runtuhnya rezim otoritarian Orde baru. Transisi dari rezim non-demokratik yang
sentralistik menuju pemerintahan dan kehidupan politik yang sungguh-sungguh
demokrasi terbukti tidak mudah dilalui. Berbagai hambatan dan distorsi mewarnai
2Suyadi, “Bentuk dan Karakter Politik Dinasti di Indonesia” (Skripsi S 1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Yogyakarta, 2014), h. 2.
3
lanskap kehidupan politik dan agenda konsolidasi demokrasi di Indonesia. Salah
satu hambatan yang paling bermasalah sekaligus merupakan distorsi dalam
kerangka domokrasi dan penataan kehidupan politik yang lebih baik itu adalah
munculnya fenomena dinasti politik di berbagai daerah3.
Kemunculan dinasti politik di Banten tidak terlepas dari sosok Chasan
Sochib sebagai salah satu tokoh pembentukan Provinsi Banten yang paling
berpengaruh. Chasan Sochib membangun pondasi awal dinasti politik di Banten
dengan topangan tiga sumberdaya, yakni (1) sumber daya finansial yang
diperolehnya dari akses ekslusif terhadap proyek-proyek pemerintah, (2) sarana
koersif (kekerasan) yang dilakukan oleh para jawara yang diikatnya melalui
tradisi patronase, dan (3) control terhadap partai politik, dalam hal ini partai
Golkar yang sejak era orde baru telah didominasinya bersama anggota keluarga
Salah satu teori yang Ibnu Khaldun gambarkan di dalam bukunya yaitu
teori politik „ashabiyyah. Menurutnya „ashabiyyah (solidaritas sosial) adalah hasil
dari sampingan agresi yang tak terbatas pada bangsa Arab saja tetapi juga pada
Yahudi, Siria, Yunani, dan Romawi. Dia hidup dikalangan orang-orang nomad
dan mengamati transisi (terutama melalui agresi dan penyerbuan) dari badawa
(nomadisme) dan hadarah (peradaban atau hidup menetap). Perselisihan antara
kaum Nomad dengan masyarakat yang hidup menetap mengakibatkan jatuh
bangunnya siklus dinasti-dinasti yang juga merupakan proses dialektis yang setiap
tahapan baru muncul dari kontradiksi yang berkonflik pada tahap sebelumnya.
Perubahan dinasti ini terjadi karena hubungan dialektis yang kompleks antara
3Jurnal. Agus Sutisna, “Gejala Proliferasi Dinasti Politik di Banten Era Kepemimpinan
Gubernur Ratu Atut Chosiyah”, artikel di akses pada 19 Oktober 2017 dari
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI.
4
dasar ekonomi masyarakat dan faktor tertentu seperti „ashabiyyah. Lebih lanjut
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan
kekuasaan, maka seorang pemimpin harus mempunyai solidaritas kelompok yang
kuat. Tanpa solidaritas kelompok, seorang pemimpin akan sulit memperoleh
legitimasi dan tidak akan dapat bertahan memimpin kelompok tersebut4. Karena
itu, Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa kuat atau lemahnya suatu Negara
(dinasti) sangat tergantung pada perasaan solidaritas kelompok ini.Semakin tinggi
„ashabiyyah, maka semakin kuat pula dinasti tersebut. Sebaliknya, bila
„ashabiyyah sudah melemah, maka dinasti atau Negara itupun mengalami
kelemahan.
Lebih jauh penulis akan sedikit memaparkan ulasan mengenai UU No. 8
Tahun 2011 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota serta
hubungannya dengan dinasti politik dimana keduanya sangat berkaitan satu sama
lain. Undang-Undang Pilkada tesebut justru menimbulkan masalah baru bagi
rakyat ketika mereka dihadapi kekuasaan oligarki berupa dinasti politik di
berbagai daerah. Lalu Apa hubungan Undang-
Undang tersebut dengan teori politik Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa
“kekuasaan itu tergantung terhadap solidaritas kelompok”. Ibnu Khaldun
menyandarkan „ashabiyyah itu pada keluarga atau kumpulan yang menyamainya.
4Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa
Klasik hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2013), h. 49.
5
„Ashabiyyah inilah katanya asal-usul dari kekuasaan dan kewibawaan dalam
masyarakat padang pasir5.
Undang-Undang Pilkada merupakan hasil dari jatuhnya pemerintahan orde
lama kemudian muncul otonomi daerah. Otonomi daerah di Indonesia lahir di
tengah gejolak sosial yang sangat masif ditahun 1999. Gejolak sosial tersebut
didahului oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia disekitar tahun 1997.
Gejolak sosial yang melanda Negara Indonesia disekitar tahun 1997 kemudian
melahirkan gejolak politik yang puncaknya ditandai dengan berakhirnya
pemerintahan orde lama yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun di
Indonesia. Setelah runtuhnya pemerintahan orde lama di tahun 1998, mencuat
sejumlah permasalahan terkait dengan sistem ketatanegaraan dan tuntutan daerah-
daerah yang selama ini telah memberikan kontribusi yang besar dengan kekayaan
alam yang dimilikinya. Wacana otonomi daerah kemudian bergulir sebagai
konsepsi alternatif untuk menjawab permasalahan sosial dan ketatanegaraan di
Indonesia yang dianggap telah usang dan perlu diganti. Inilah yang menjadi latar
belakang otonomi daerah di Indonesia6.
Dibalik itu semua ternyata ada banyak faktor yang menjadi latar belakang
otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah tersebut dapat dilihat secara
internal dan eksternal. Latar belakang otonomi di Indonesia berdasarkan beberapa
referensi dapat dilihat dari dua aspek internal, yakni kondisi yang terdapat dalam
5Osman Baliby, Ibnu Khaldun “Tentang Masyarakat dan Negara” (Jakarta: Tanpa
penerbit, 1965), h. 44.
6Siska Agustina, “ Latar Belakang Otonomi Daerah di Indonesia”, artikel diakses pada
17 Januari 2017 dari http://www.academia.edu/4728435/latar_Belakang_Otonomi_Daerah
6
Negara Indonesia yang mendorong penerapan otonomi daerah di Indonesia dan
aspek eksternal yakni faktor dari luar Negara Indonesia yang mendorong dan
mempercepat implementasi otonomi daerah di Indonesia. Latar belakang otonomi
daerah secara internal timbul sebagai tuntutan atas buruknya pelaksanaan mesin
pemerintahan yang dilaksanakan secara sentralistik. Selain latar belakang otonomi
daerah secara internal sebagaimana maksud diatas, ternyata terdapat juga faktor
eksternal yang menjadi salah satu pemicu lahirnya otonomi daerah di Indonesia
yakni adanya keinginan modal asing untuk memasifkan investasinya di Indonesia.
Permasalahan dalam otonomi daerah di Indonesia sejak diberlakukannya
UU No 32 tahun 1999 yang kemudian disusul dengan UU No. 32 tahun 2004
mengenai pemerintahan daerah yang secara substansial memberikan otonomi
kepada Daerah Provinsi dan Kabupaten serta pemerintah kota suatu kewenangan
serta otonomi yang lebih luas dibandingkan dengan daerah sebelumnya. Ada
beberapa hal yang menandai adanya otonomi daerah di Indonesia misalnya:
diserahkannya berbagai urusan kepada daerah, pemilihan kepala daerah secara
langsung, semakin banyak munculnya daerah baru hasil dari pemekaran daerah,
dan lahirnya beberapa partai lokal. Untuk kalimat kedua mengenai pemilihan
kepala daerah secara langsung atau dalam hal ini pemilihan kepala daerah atau
dapat disingkat (PILKADA). Penulis mengutip Undang-undang tentang Pilkada
Pasal satu ayat (1) yang berbunyi:
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati
SertaWalikota dan Wakil Walikota Yang Selanjutnya Disebut Pemilihan
Adalah Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat di Wilayah Provinsi dan
7
Kabupaten/Kota Untuk Memilih Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati,
serta Walikota dan Wakil Walikota Secara Langsung dan Demokratis7
Dengan berakhirnya orde lama dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto
dan terbentuknya otonomi daerah yang membuat daerah-daerah seperti
Kabupaten, Provinsi hingga Kota dapat dengan leluasa membuat aturan-aturan
berupa Undang-Undang dalam upaya menstabilisasi daerah-daerah kecil pasca
reformasi.
Pada pembahasan kali ini, penulis memaparkan bagaimana keadaan politik
di Indonesia khususnya pemerintahan di Provinsi Banten dimana para pemimpin
yang berkuasa masih dari kalangan keluarga, yaitu pemerintahannya Ratu Atut
Chosiyah. Apa latar belakang yang menjadikan keluarga Atut tersebut berjaya
dalam memerintah provinsi Banten, pengaruh apa saja yang sudah dilakukan
keluarga Atut sehingga begitu berjaya memegang tampuk kekuasaan di Banten.
Apakah ada unsur-unsur yang menyebabkan banyak pendapat bahwa apa yang
saat itu dibangun Ratu Atut merupakan dinasti politik yang justru menutup ruang
demokrasi.
Dengan demikian penulis merasa tertarik untuk menulis riset tentang
dinasti politik, dimana persoalan seperti ini masih tabu untuk dibahas, padahal
jika ditelaah lebih dalam dinasti-dinasti terdahulu seperti Umayyah, Utsmaniyyah,
Abbassiyyah dll sudah muncul dan berkuasa lebih dulu dengan waktu yang sangat
lama. Dalam hal ini penulis menelaah dinasti politik yang sudah terjadi di Banten,
7Lihat UU No. 15 tentang Penyelenggaraan Pemilu Pasal Satu Ayat (1)
8
berawal dari kepemimpinan Ratu Atut Chosiyah, hingga ditahan karena kasus
korupsi sengketa Pilkada kabupaten Lebak serta kasus pengadaan alat kesehatan
pada 2013 lalu yang menjeratnya, sebelumnya adik Atut sendiri Tubagus Chaeri
Wardana sudah terlebih dahulu dinyatakan sebagai tersangka dalam dugaan suap
yang dilakukan terhadap mantan ketua MK Akil Mochtar. Wawan sendiri tidak
memiliki jabatan resmi dalam pemerintahan tetapi disebut-sebut mempunyai
kewenangan besar dalam menetapkan proyeksi fisik di berbagai tempat di Banten.
Di lain kasusnya tersebut ternyata Ratu Atut beserta keluarga besarnya sudah
menduduki jabatan pemerintahan di Banten.
Bagi Alim Bathoro fenomena seperti ini merupakan dampak dari
diberlakukannya otonomi untuk tiap daerah, dan pencalonan di lembaga legislatif
sehingga memungkinkan adanya politik kekeluargaan. Penulis mengutip
ungkapan Alim Bathoro dalam riset atau makalahnya, ia berpendapat bahwa:
“Setelah melewati sepuluh tahun demokrasi Indonesia berjalan, ternyata
demokrasi di Indonesia mengalami ujian dengan munculnya fenomena
political dynasty. Hal itu dimulai dengan munculnya clientlilism dalam
pencalonan anggota legislatif dalam pencalonan kepala daerah, dan isu
yang belakangan muncul adalah clientilism dalam suksesi kepemimpinan
Nasional. Sementara itu di daerah seperti Provinsi Banten misalnya, jejak-
jejaknya lebih kentara. Ratu Atut Chosiyah Gubernur Banten 2007-2012
misalnya, keluarga besarnya memiliki setidaknya 9 orang yang memimpin
di masing-masing kerajaannya”8.
8Bathoro Alim, “Perangkap Dinasti Politik Dalam Konsolidasi Demokrasi” (Jakarta:
Tim Pengelola Jurnal Perbatasan Fisip Umrah), h. 2. artikel diakses pada 17 Januari 2017 dari
http://riset.umrah.ac.id/wp-content/uploads/2013/10/PERANGKAP-DINASTI-POLITIKDALAM-
KONSOLIDASI-DEMOKRASI
9
Memang terasa kental sekali kepemimpinan yang dibangun oleh Atut di
Banten dan sangat berindikasi bahwa hal tersebut merupakan dinasti politik dan
baru disadari setelah Ratu Atut sendiri tesandung kasus korupsi yang
menimpanya. Sistem demokrasi yang selama ini menjadi ideologi Negara,
ternyata malah menimbulkan masalah baru yang justru menutup ruang aspirasi
rakyat.
Gandung Ismanto sebagai pengamat politik dari Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa Banten berpendapat bahwa kekuasaan oligarki politik di Provinsi
Banten justru menutup ruang demokrasi.Ruang demokrasi menjadi tertutup justru
di instrumen demokrasi itu sendiri. Kalau kita telusuri sejak pilkada pertama tahun
2005 sampai sekarang, sesungguhnya kekuasaan berpindah diantara mereka saja,
dan benar-benar menutup ruang demokrasi masyarakat sipil9.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan diatas, maka
sebagai rumusan masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dinasti politik menurut teori „ashabiyyah Ibnu Khaldun?
2. Bagaimana dinasti politik terjadi di Banten?
3. Bagaimana dinasti politik di Banten ditinjau dari teori „ashabiyyah
Ibnu Khaldun?
9Jerome Wirawan, “Keluarga Ratu Atut Berjaya di Banten”. Banten, 2015. Artikel di
akses pada 17 Januari 2017 dari http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151210
10
C. Batasan Masalah
Dalam hal ini penulis membatasi bahasan dalam skripsi. Penulis hanya
menjelaskan latar belakang dan faktor-faktor apa saja yang mendukung terjadinya
dinasti politik di Banten. Periode yang menjadi fokus penulis yakni dari periode
2007-2014.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini merupakan kelanjutan atau jawaban dari apa yang
telah dikemukakan di dalam identifikasi masalah. Dengan demikian tujuan
penelitian merupakan hal yang penting dalam suatu penelitian. Bertolak dari
definisi tersebut dan permasalahan diatas maka, penelitian ini mempunyai tujuan
untuk beberapa hal yang berkaitan dengan analisis efektifitas dinasti politik yang
terjadi di Provinsi Banten yaitu:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor timbulnya dinasti politik.
2. Untuk melestarikan atau mencegah dinasti politik yang sudah ada.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Dapat memberikan informasi pada pendidikan ilmu politik mengenai
kejadian dinasti politik apakah boleh diterapkan atau tidak.
b. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka ilmu politik
umumnya, perkembangan dinasti politik khususnya apakah boleh
diterapkan atau tidak.
11
c. Memberi wacana bagi pengembang ilmu politik khusunya dalam
fenomena dinasti politik.
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dijadikan bahan pertimbangan bagi
pihak yang berkepentingan dalam memecahkan masalah serupa.
b. Bagi penulis untuk melatih kemampuan analisa penulis dalam
penerpan teoritis dengan tugas riset dilapangan.
c. Bagi para pengadilan dan para Hakim agar dapat memberiputusan
yang sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
F. Studi Pustaka
Dari hasil pengetahuan penulis, ada beberapa kajian pustaka yang terkait
diantaranya sebuah buku yang berjudul Mukaddimah Ibnu Khaldun oleh Ibnu
Khaldun. Buku kedua yaitu Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga
Indonesia Kontemporer ,oleh Muhammad Ikbal dan Amin Husain Nasution. Buku
ketiga yakni Ibnu Khaldun: Tentang Masyarakat dan Negara oleh Osman Baliby.
Kemudian Filsafat Islam Tentang Sejarah, Pilihan Dari Muqaddimah Ibn
Khaldun Dari Tunis 1332-1406 oleh Charles Issawi, skripsi yang berjudul
Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Khaldun oleh Asep
Sholahuddin dan skripsi Suyadi, “Bentuk dan Karakter Politik Dinasti di
Indonesia” (Skripsi S 1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Yogyakarta).
12
Perbedaan tulisan ini dengan sumber karya sebelumnya yakni dari segi
pengambilan kasus,dan metodologi penelitian yang digunakan, serta teori yang
penulis gunakan.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode
pengumpulan data/informasi, studi pustaka, dan dokumen. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa praktik dinasti politik atau politik kekerabatan di era Ratu
Atut Chosiyah di Banten memperlihatkan adanya gejala proliferasi (persebaran,
pertumbuhan), bukan saja pada ranah kekuasaaan eksekutif dan legislatif, seperti
pada arena bisnis, sosial-budaya, pendidikan, dan keormasan.
A. Data primer dimulai dengan memperoleh langsung dari sumbernya dan
dicatat sebagai bahan objek penelitian berupa data tertulis, dan
observasi.
B. Data sekunder merupakan tahap lanjutan dari data primer berupa
dokumentasi.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini memberikan gambaran yang lebih jelah
mengenai hal yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu
menguraikan isi penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab:
13
BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas tentang Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Studi
Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika penulisan.
BAB II DINASTI POLITIK DALAM PERSFEKTIF TEORI POLITIK
„ASHABIYYAH IBNU KHALDUN. Bab ini membahas tentang sejarah, teori,
pengertian dan unsur-unsur dinasti politik menurut teori politik „Ashabiyyah Ibnu
Khaldun .
BAB III BANTEN DAN DINASTI POLITIK PASCA REFORMASI. Bab
ini membahas otonomi daerah pasca reformasi, kemudian dibentuk dan
diberlakukannya otonomi daerah dan sistem pemilukada secara langsung oleh
rakyat, hingga munculnya fenomena dinasti politik di provinsi Banten .
BAB IV DINASTI POLITIK DI BANTEN DALAM PERSFEKTIF IBNU
KHALDUN. Bab ini membahas cikal bakal terjadinya dinasti politik di Banten
dan latar belakang dinasti politik persfektif teori „ashabiyyah Ibnu Khaldun.
BAB V PENUTUP. Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran dari
penulis. Isi kesimpulan merupakan jawaban dari rumusan masalah, sedangkan
saran merupakan pemikiran sehat, jelas dan tegas dari penulis.
14
BAB II
DINASTI POLITIK PERSFEKTIF TEORI POLITIK
‘ASHABIYYAH IBNU KHALDUN
1. Biografi Ibnu Khaldun
Abu Zaid Abdul-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun Wali al-Din al-
Tunisi al-Hadramain, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H (7 Mei
1332 M). Ia di didik oleh keluarga yang terkemuka dalam bidang ilmu
pengetahuan maupun politik. Para kakeknya Banu Khaldun yang tertua yaitu
Khaldun bin al-Khattab, pindah ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke 8, dengan
demikian dia menyaksikan pertumbuhan serta kemunduran kekuasaan Islam di
Spanyol, kemudian mereka berangkat ke Maroko menjelang kejatuhan Sevelle
pada tahun 1248 M.
Afrika Utara merupakan tanah air Ibnu Khaldun, pada abad ke-14 telah
muncul tanda-tanda kemandegan pemikiran dan kekacauan politik mulai terlihat.
Kekuasaan muslim Arab telah jatuh sehingga banyak Negara bagian melepaskan
diri dari pemerintah pusat. Pertentangan, intrik, perpecahan dan kericuhan meluas
dalam kehidupan politik dan setiap orang berusaha meraih kekuasaan1.
1Fuad Ali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka
Firdaus. 1989), h. 9.
15
Di dalam lingkungan seperti inilah Ibnu Khaldun memperoleh pendidikan
agama, bahasa, puisi, logika, dan filsafat. Pendidikan yang diperoleh dari gurunya
dan mendalami ilmu-ilmu tersebut hingga ia menjadi cendekiawan muslim
terbesar di abad pertengahan.
Dalam perjalanannya Ibnu Khaldun telah mengabdi kepada pemerintah
yang satu ke yang lain, dan Ibnu Khaldun mulai merasa lelah dalam petualangan
politiknya. Ketika Abu Hamu memintanya agar mencari dukungan dari para suku
lebih banyak, dia memanfaatkan kesempatan ini dengan meninggalkan politik
dengan meminta bantuan kepada Banu Arif. Itulah masa dia menulis buku
Muqaddimah yang terkenal itu.
Fuad Ali dan Ali Wardi mengutip ungkapan Ibnu Khaldun dalam bukunya
sebagai berikut:
Begitu saya meninggalkan urusan rakyat, untuk hidup di pengasingan …
saya merasa cocok dengan Awlad Arif; dan mereka menyambut baik
kedatangan saya dengan memberi kehormatan. Saya tinggal bersama
mereka; dan mereka menjemput keluarga dan anak saya di Tilimsan.
Mereka menjanjikan pada saat yang sama untuk mewakili sultan. Inilah
kesempatan yang sangat baik bagi saya untuk menyelesaikan tugas yang
dipercayakan kepada saya; dan kenyataannya mereka dapat mambujuk
Sultan dan menerima alasan saya. Kemudian saya menetap sekeluarga di
Qal‟at Ibn Salamah, sebuah pesanggrahan di daerah Banu Tujin yang
diperoleh dari Sultan dengan Duwawidah di daerah kekuasaan feudal.
Saya menetap disana selama 4 tahun, sama sekali bebas dari kesibukan
dan gangguan urusan rakyat; dan disanalah saya mulai menulis karya saya
(sejarah umum). Dalam pengasingan ini pula saya menulis Muqaddimat:
suatu karya asli yang saya rancang dan susun dari hasil penelitian yang
serius. Di Qal‟at Ibn Salamah, saya menempati sebuah kamar pribadi yang
16
luas dan menyenangkan yang telah dibangun oleh Abu Bakar Bin Arif.
Selama saya tinggal bersama di rumah tersebut, saya sama sekali
melupakan kerajaan Maghrib dan Tilimisan dan tidak memikirkan hal lain
kecuali pekerjaan yang sedang saya tekuni2.
2. Teori Politik ‘Ashabiyyah Ibnu Khaldun
Muqaddimah Ibnu Khaldun merupakan karya yang ia tulis berdasarkan
pengalamannya yang kaya dan pemikiran yang realistis. Karya tersebut sepertinya
menjadi sebuah pedoman politik yang sangat penting sampai sekarang, dimana
setiap golongan yang mengalami konflik dapat menemukan sesuatu didalamnya
untuk mencapai tujuan suatu golongan. Buku tersebut merupakan karya yang
dapat di lihat dari perspektif yang berbeda melalui pengarang sendiri, yaitu dari
sudut pandang yang tidak dikenal oleh Ibnu Khaldun sendiri.
Secara etimologis „Ashabiyah berasal dari kata ashaba yang berarti
mengikat. Secara fungsional „ashabiyah menunjuk pada ikatan budaya yang dapat
digunakan untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Selain itu, „Ashabiyah juga
juga bisa dipahami sebagai solidaritas sosial, dengan tekanan pada kesadaran,
kepaduan, dan persatuan kelompok. Bisa dikatakan „ashabiyah dapat menentukan
kemenangan dan keberlangsungan hidup bangsa, dinasti, atau kerajaan. Tanpa di
barengi solidaritas sosial, maka keberlangsungan dan eksistensi suatu Negara itu
2Fuad Ali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka
Firdaus. 1989), h. 9.
17
akan sulit terwujud, dan sebaliknya Negara tersebut berada dalam dampak
disintegrasi dan menuju pada kehancuran3.
Konsep „ashabiyah adalah bukti ketelitian Ibnu Khaldun dalam menganilisis
isi politik dan Negara. „Ashabiyah adalah kunci awal lahir dan terbentuknya
sebuah Negara. Jika unsur „ashabiyah suatu Negara sudah aktif, maka Negara itu
berada dalam ancaman keruntuhan. Oleh karena itu „ashabiyah ini tidak bisa
disangkal keberadaannya, dan pun teori „ashabiyyah ini menjadi inspirasi bagi
pergerakan politik kontemporer.
„Ashabiyyah (solidaritas sosial) adalah hasil dari sampingan agresi, yang
tak terbatas pada bangsa Arab saja tetapi juga meliputi pada bangsa
Yahudi, Siria, Yunani, dan Romawi. Dia hidup dikalangan orang-orang
nomad dan mengamati transisi (terutama melalui agresi dan penyerbuan)
dari badawa (nomadisme) dan hadarah (peradaban atau hidup menetap).
Perselisihan antara kaum Nomad dan dengan masyarakat yang hidup
menetap mengakibatkan jatuh bangunnya siklus dinasti-dinasti yang juga
merupakan proses dialektis yang setiap tahapan baru muncul dari
kontradiksi yang berkonflik pada tahap sebelumnya. Perubahan dinasti ini
terjadi karena hubungan dialektis yang kompleks antara dasar ekonomi
masyarakat dan faktor tertentu seperti „ashabiyyah. Lebih lanjut Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan
kekuasaan, maka seorang pemimpin harus mempunyai solidaritas
kelompok yang kuat. Tanpa solidaritas kelompok, seorang pemimpin akan
sulit memperoleh legitimasi dan tidak akan dapat bertahan memimpin
kelompok tersebut. Karena itu, Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa kuat
3Taufiq Hidayatillah, “Ibnu Khaldun, Konsep Ashabiyah Dan Teori Siklus
Pemerintahan”, artikel diakses pada 19 Oktober 2017 dari
https://archivehidayatillah.wordpress.com/2012/01/28/ibnu-khaldun-konsep-ashabiyah-dan-teori-
siklus-pemerintahan/
18
atau lemahnya suatu Negara (dinasti) sangat tergantung pada perasaan
solidaritas kelompok ini. Semakin tinggi „ashabiyyah, maka semakin kuat
pula dinasti tersebut. Sebaliknya, bila „ashabiyyah sudah melemah, maka
dinasti atau Negara itu pun mengalami kelemahan4.
Dalam bukunya Ibnu Khaldun berpendapat bahwa „ashabiyyah ini timbul
karena faktor-faktor pertalian darah atau pertalian kaum dan rasa cinta seseorang
terhadap nasab dan golongannya. Hal ini akan menimbulkan perasaan senasib dan
sepenanggungan serta melahirkan kerja sama dalam berbagai bidang.
ن و أ الك ال رحذ إرش لب يا في عي بط نسل ت يب ر ق ىال ويذ ل ع ة ر ع لن اأ ه تل صن هو لف يل فل
ماح ر ال له أ و 5.
Ibnu Khaldun membagi istilah „ashabiyah menjadi dua macam pengertian.
1. „Ashabiyah berlaku positif dengan menunjuk pada konsep persaudaraan.
Dalam sejarah peradaban Islam konsep ini membentuk solidaritas sosial
masyarakat Islam untuk saling bekerjasama megesampingkan kepentingan
pribadi, dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Semangat ini kemudian
mendorong terciptanya keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang
sangat dahsyat menopang kebangkitan dan kemajuan peradaban
2. „Ashabiyah tindakan negatif, yaitu terhadap kesetiaan dan fanatisme
membuta yang tidak dibangun pada aspek. Pengertian yang kedua inilah
4Fuad Ali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam ( Jakarta: Pustaka
Firdaus. 1989), h. 9.
5 , (المكتبة أ لتجا ر ية لشا ر ع محمد علي بمصرإ بن خلد و نو, مقدمة, )مطبعة مصطفي محمد, صا حب
.٨٢١ص.
19
yang tidak dikehendaki dalam sistem pemerintahan Islam, karena akan
mengaburkan nilai-nilai yang diusung dalam prinsip-prinsip agama6.
Adapun tugas „ashabiyah dalam kehidupan kemasyarakatan menurut Ibnu
Khaldun sangat dominan. „Ashabiyahlah yang telah menjadi motor dari kekuasaan
karena itu dapat dikatakan yang menjadi penggerak utama dari sejarah manusia
adalah „ashabiyah. Ibnu Khaldun berpandangan tujuan „ashabiyah adalah untuk
mewujudkan al-mulk, karena „ashabiyah mampu memberikan perlindungan ,
menumbuhkan rasa aman, dan tentram bersama. Dengan kata lain bahwa tujuan
dari „ashabiyah adalah superioritas (at-taghlalul al-mulk). Dalam kehidupan
bernegara Ibnu Khaldun melihat terdapat dua kekuatan dominan yang membentuk
nasib sebuah Negara. Keuatan pertama adalah kekuatan primitif dan utama yang
oleh Ibnu Khaldun disebut dengan „ashabiyah, atau elemen-elemen pengikat
masyarakat, solidaritas sosial atau perasaan kelompok yang mampu menyatukan
masyarakat, sebuah Negara, maupun kerajaan, dan kelompok yang lebih luas.
„Ashabiyah menjelaskan tentang ikatan sosial budaya yang dapat dipakai
untuk mengukur kekuatan kelompok sosial. Ibnu Khaldun juga berpendapat
bahwa, sebuah Negara atau kelompok sosial yang unsur „ashabiyah atau
solidaritasnya kuat akan mampu membuat dominasi untuk menguasai suatu
daerah, sebaliknya, apabila unsur „ashabiyahnya melemah maka suatu kelompok
sosial tersebut akan diambang kehancuran
6Taufiq Hidayatillah, “Ibnu Khaldun, Konsep Ashabiyah Dan Teori Siklus
Pemerintahan”, artikel diakses pada 19 Oktober 2017 dari
https://archivehidayatillah.wordpress.com/2012/01/28/ibnu-khaldun-konsep-ashabiyah-dan-teori-
siklus-pemerintahan/
20
„Ashabiyyah juga melahirkan persatuan dan pergaulan diantara mereka,
dengan „ashabiyyah ini penguasa akan memilih orang-orang yang memiliki
hubungan dengan penguasa ke dalam jajaran pemerintahannya. Penulis mengutip
beberapa pendapat Ibnu Khaldun mengenai dinasti politik diantaranya:
a. Solidaritas sosial hanyalah di dapati pada golongan-golongan yang
mempunyai ikatan pertalian darah atau pertalian lain yang mempunyai arti
yang sama
Hal ini disebabkan karena pertalian darah mempunyai kekuatan mengikat
pada kebanyakan umat manusia, yang membuat mereka memiliki rasa satu
sama lain baik pada tiap penderitaan yang menimpa kaummya maupun
rasa peduli satu sama lain. Mereka membenci penindasan terhadap
kaumnya, dan dorongan untuk menolak penderitaan yang mungkin
menimpa kaumnya, semua itu merupakan kodrat yang telah tertanam pada
diri suatu kaum. Apabila tingkat kekeluargaan antara kedua orang yang
bantu-membantu itu dekat sekali, maka jelaslah bahwa ikatan darah sesuai
dengan buktinya, yang membawa kepada solidaritas yang sesungguhnya.
Apabila tingkat kekeluargaan itu jauh, maka ikatan darah itu semakin
lemah, tetapi sebagai gantinya timbullah perasaan kefamilian yang
didasarkan kepada pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan.
Meski demikian, setiap orang hanya ingin membantu orang lain karena
khawatir akan kehinaan yang mungkin timbul apabila gagal dalam
kewajibannya menjaga nama baik persaudaraan.
21
b. Kerajaan dan dinasti hanya bisa ditegakkan atas bantuan dan solidaritas
yang banyak
Selanjutnya bahwa kemenangan atau menghindari kekalahan ada di pihak
yang mempunyai solidaritas lebih kuat dan kebanyakan anggota-
anggotanya lebih sanggup berjuang dan bersedia mati guna kepentingan
bersama. Kedudukan sebagai raja adalah suatu kedudukan yang terhormat
dan ditamaki oleh siapapun, sehingga memberikan penguasa memegang
kendali terhadap kedudukan dan segala kekayaan duniawi, serta kepuasan
lahir dan batin. Karena itu kekuasaan menjadi sasaran perebutan dan
jarang sekali di lepaskan dengan suka rela, sebaliknya selalu
dipertahankan dengan segala cara. Perebutan membawa kepada
perjuangan dan peperanganbahkan dengan pertumpahan darah sekalipun
sehingga perebutan seperti kekuasaan maupun singgasana-singgasana
kerajaan, yang semua itu tidak bisa terjadi kalau tidak dengan solidaritas
sosial yang telah dikemukakan oleh Ibnu Khaldun jauh 7.
c. Diantara keluarga kerajaan bisa mendapatkan dinasti yang dapat
melepaskan solidaritas sosial
Sebab solidaritas sosial (orang-orang dari keluarga kerajaan) merasa
bahwa sama-sama menanggung dan boleh memiliki serta merasakan
kemenangan atas bangsa-bangsa dan generasi-generasi yang pernah
ditaklukkan; dan penduduk yang berada ditempat yang jauh dan telah
memberikan dukungan kekuatan, boleh jadi tetap tunduk dan patuh kepada
7Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah: Pilihan Dari Karangan Muqaddimah
Ibn Khaldun Dari Tunis 1332-1406 (Jakarta: Tintamas 1976), h. 141.
22
keluarga tersebut. Apabila ada orang yang melepaskan diri dan
meninggalkan singgasana kekuasaan dan pusat kejayaannya, kemudian
ikut serta dengan penduduk yang berada diluar kerajaannya, lalu para
penduduk mengangkat dan mendukung pemerintahan dan membantunya8.
Mereka menjaga agar negaranya didirikan di atas dasar-dasar yang kuat
dan kokoh. Mereka mengharap agar dapat memperkuat diri pada (hak-hak)
keluarganya dan mengambil kekuasaan dari sanak keluarganya. Mereka
tidak serta merta ingin ikut campur di dalam pemerintahannya,
sebagaimana mereka sendiri tunduk kepada solidaritas sosialnya, dan
sebagai suatu ketaatan atas bentuk superioritas material yang kokoh pada
dirinya dan pada rakyatnya. Mereka percaya, sebagaimana kepercayaan
mereka terhadap agama, bahwa mereka harus tunduk kepada dia dan
rakyatnya. Dan apabila mereka ikut campur dalam pemerintahannya atau
hendak memerintah tanpa dia, maka dipastikan solidaritas dan kerajaan
tersebut akan hancur dengan sendirinya.
d. Solidaritas adalah dasar kedaulatan
Tujuan selanjutnya dari solidaritas adalah kedaulatan. Hal ini karena
solidaritas itulah yang membuat orang berusaha bersatu untuk memperoleh
tujuan yang sama, mempertahankan diri, serta dapat mengalahkan musuh
bersama. Orang-orang yang mempunyai solidaritas sosial itulah yang
menjadi pelindung rakyat yang tinggal dikerajaan –kerajaan di seluruh
pelosok Negara itu. Negara yang mempunyai banyak suku dan orang-
8Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus.
1986), h. 191.
23
orang yang mempunyai semangat dan solidaritas, maka Negara itu akan
lebih kuat dan lebih banyak punya kerajaan dan daerah kekuasaan yang
jauh lebih luas9.
e. Tahap-tahap terbentuknya dinasti
Ibnu Khaldun juga memberikan beberapa tahapan mengenai terbentuknya
suatu dinasti. Karena menurutnya suatu dinasti berkembang melalui tahap
yang berbeda, dan mengalami kondisi-kondisi yang khas untuk tahap
tertentu, sebab ciri bawaan itu merupakan hasil alami dari situasi khas
yang mereka temukan10
.
Menurut Ibnu Khaldun kondisi dinasti biasanya tidak lebih dari lima
tahap: Pertama ialah tahap suksesi, penggulingan seluruh oposisi, dan penguasaan
kedaulatan dari dinasti sebelumnya. Pada tahap ini yang memimpin Negara
menjadi model bagi rakyatnya. Baik mengenai cara memperoleh kehormatan,
mengumpulkan pajak, mempertahankan hak milik, maupun mempersiapkan
penjagaan militer. Di dalam menetapkan dan menentukan keputusan dia tidak
sendirian, melainkan mengikut sertakan bawahannya; dan itulah solidaritas yang
memberikan kekuasaan kepada dinasti, dan memiliki ketahanan yang lama.
Kedua adalah tahap penguasa itu mulai bertindak sewenang-wenang
terhadap rakyatnya sendiri dalam menetapkan keputusan tanpa mengikut sertakan
9Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah: Pilihan Dari Karangan Muqaddimah Ibn
Khaldun Dari Tunis 1332-1406 (Jakarta: Tintamas. 1976), h. 147-148.
10
Ibnu Khaldun, “Muqaddimah” Penerjemah Ahmadie Thoha (Pustaka Firdaus, Jakarta:
1986), h. 214.
24
bawahan, bahkan mengacuhkan mereka agar tidak turut campur dan ambil bagian
dalam urusan pemerintahan. Pada tahap ini, orang yang menjadi pemimpin
senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut, yaitu orang-orang yang
berada dibawah perlindungannya, serta penganutnya dalam jumlah yang sangat
banyak, untuk membungkam pendapat dan aspirasi. Penguasa tersebut menutup
pintu bagi mereka yang ingin turut campur dalam urusannya. Akibatnya, seluruh
kekuasaan berada ditangan keluarganya.
Ketiga adalah tahap senang sentosa, ketika buah kedaulatan telah
dinikmati: keinginan harta, menciptakan hal-hal bersejarah, serta popularitas.
Segala perhatian raja tercurah pada usaha mengumpulkan pajak, mengatur uang
belanja, pemasukan dan pengeluaran, mendirikan bangunan-bangunan besar,
konstruksi-konstruksi kokoh, kota-kota luas, dan monumen-monumen kekuasaan;
memberikan hadiah kepada orang-orang asing dan pemuka-pemuka suku yang
disegani; serta memberikan anugerah kepada rakyatnya sendiri. Tambahnya lagi,
dia mengabulkan permohonan yang diajukan oleh para pengikutnya, baik berupa
uang maupun kedudukan. Sebab biasanya pada tahap ini mereka dapat bebas
mengaspirasikan pendapatnya. Mereka membangun kekuatan dan mempersiapkan
segala sesuatu bagi calon penggantinya jika kelak pergantian kekuasaan sudah di
depan mata.
Keempat adalah tahap kepuasan hati, tentram, damai, dan sejahtera. Pada
tahap ini sang raja merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun oleh
para pendahulunya. Hidup damai dan tentram dengan seluruh sahabat
sepemerintahan, meneruskan tradisi para pendahulunya, semua tradisi dan
25
kebiasaan itu diikuti persis seperti adanya, dan dengan sangat berhati-hati ia
berpendapat bahwa keluar dari tradisi yang sudah berlaku berarti suatu
malapetaka bagi dirinya sendiri, dan bahkan mereka lebih tahu tentang apa yang
baik untuk memelihara keagungan.
Kelima adalah tahap boros dan hidup berlebihan. Pada tahap ini pemegang
tampuk pemerintahan menjadi perusak bagi kebaikan yang telah dikumpulkan
oleh para pendahulunya. Ia hanya mengikuti hawa nafsu, kesenangan, menghibur
diri bersama kaumnya, dan mempertontonkan kedermawanannya kepada orang-
orang sipil. Dia juga mengambil bawahannya yang tidak memiliki pengalaman
untuk dipercayai melakukan tugas-tugas penting. Padahal mereka tidak mampu
memikul beban seberat itu, dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan. Sang
raja merusak orang-orang besar yang dicintai rakyat dan para pendukung
pendahulunya11
.
Dalam hal ini selain poin diatas, Munawir Syadzali menyimpulkan
pandangan Ibnu Khaldun tentang solidaritas kelompok sebagai berikut:
a. Adanya solidaritas kelompok merupakan suatu keharusan bagi
bangunnya suatu dinasti yang kuat dan besar.
b. Seorang kepala Negara, agar mampu secara efektif mengendalikan
ketertiban Negara dan melindunginya dari gangguan dan ancaman,
harus memiliki wibawa yang besar dan kekuatan fisik.
11
Ibnu Khaldun, “Muqaddimah” Penerjemah Ahmadie Thoha (Pustaka Firdaus,Jakarta,
1986), h. 214.
26
c. Negara hanya akan mampu bertahan dalam solidaritas kelompok
apabila ditopang oleh agama12
.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa solidaritas kelompok dapat
membentuk pengikut dalam berpolitik dan membentuk kekuasaan. Sangat penting
peranannya, karena ketika seorang ingin menyatukan usaha untuk tujuan yang
sama maka dibutuhkan banyak paksaan dan masa yang banyak, maka solidaritas
merupakan awal dari terbentuknya sebuah usaha berdirinya kekuasaan. Akan
tetapi apabila solidaritas telah terbentuk lewat kedudukan raja yang telah berdiri
sebelumnya dan diwarisi oleh satu keturunan demi satu keturunan atau oleh satu
dinasti demi satu dinasti, maka orang akan lupa keadaan yang asal, mereka yang
memerintah mendapat kewibawaan pimpinan dan rakyat tunduk kepada mereka,
hampir-hampir tunduk kepada ajaran-ajaran agama, serta berjuang untuk mereka
sebagai berjuang untuk agama sendiri.
Sebagai contoh dinasti politik yang terjadi di Banten merupakan bentuk
dari kuatnya solidaritas sosial yang ada. Dinasti politik keluarga Gubernur Banten
Ratu Atut Chosiyah memang sudah terbentuk sejak lama. Bahkan keluarga Ratu
Atut sudah membangun dinasti politiknya sejak orde baru. Jika ayah dari Ratu
Atut yakni Tubagus Chasan Sochib memang telah membangun jaringannya sejak
tahun 1960. Pada tahun 1960 Chasan Sochib merangkul seluruh jawara yang ada
di Banten dan para jawara Banten ini lantas berkumpul dan diakomodasi oleh
12
Munawwir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (UI-
Press: Jakarta, 1993), h. 105.
27
keluarga Atut. Setelah dijaga dan dirangkul para jawara-jawara di Banten tersebut
membentuk organisasi-organisasi yang saat ini sudah menjadi besar.
Organisasi-organisasi itulah yang menjadi kekuatan Chasan Sochib hingga
saat ini. Bahkan dengan jaringan organisasi itu keluarga Atut mendapat intensif
politik lewat jaringan tersebut. Jawara itu muncul dan jadi organisasi kemudian
dirangkul oleh almarhum ayahnya Atut. Untuk itu, jika banyak para jawara yang
dimiliki oleh keluarga Atut sebagai pemimpin hal ini menjadi sebuah hal yang
wajar. Sebab, jaringan politik yang sudah dibangun oleh keluarga Atut tersebut
sudah berlangsung sejak lama.
Keberadaan calon kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan ini
dijuluki sejumlah pihak sebagai dinasti politik. Menanggapi hubungan
kekerabatan dalam politik di Banten, Ratu Tatu Chasanah menyebut hal itu telah
dipatahkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi, yang menganulir Pasal 7 huruf r
UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota13
.
Pasal tersebut mensyaratkan bahwa calon kepala daerah tidak memiliki
konflik kepentingan dengan petahana. Dalam penjelasan yang di maksud sebagai
„konflik kepentingan‟ adalah sang calon berhubungan darah hingga ipar dan
menantu dengan pemimpin daerah, misalnya Bupati atau Gubernur. Jika memang
keluarga Ratu Atut terlihat mendominasi, itu akibat dari demokrasi. Karena semua
punya hak dan peluang.
13
Jerome Wirawan, “Keluarga Ratu Atut Berjaya di Banten”. 2015, Artikel di akses pada
17 Januari 2017 dari http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151210_indonesia
28
Demikianlah sekelumit penejelasan dinasti politik menurut Ibnu Khaldun
dan latar belakang dinasti politik yang terjadi di Banten. Dengan berakhirnya
orde lama dan terbentuknya otonomi daerah, yang membuat tiap daerah baik
Kota, Kabupaten maupun Provinsi dapat mengatur urusan pemerintahannya
sendiri-sendiri, akan tetapi efek otonomi daerah sendiri justru menimbulkan
permasalahan baru dengan munculnya fenomena dinasti politik di berbagai daerah
dan para pejabat yang memerintah kurang memaksimalkan kinerja kekeluargaan
tersebut.
29
BAB III
BANTEN DAN DINASTI POLITIK PASCA REFORMASI
A. Otonomi Daerah Pasca Reformasi
Pemilihan tokoh atau pemimpin masyarakat atau organisasi tertentu sudah
dikenal secara luas di Indonesia. Jauh sebelum kemerdekaan di Indonesia telah
berdiri berbagai organisasi sosial dan politik, perkumpulan dan lembaga
masyarakat yang memilih kepengurusan atau kepemimpinan kolektif melalui
cara-cara yang demokratis. Salah satu cara yang umum dipakai dalam pemilihan
pengurus adalah melalui sistem formatur, yaitu memilih satu atau sejumlah orang
melalui rapat umum anggota. Formatur atau tim formatur ini selanjutnya memilih
orang-orang yang mereka lihat cocok untuk menduduki kepemimpinan organisasi
untuk masa tertentu seperti ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART). Pengurus yang terpilih seperti ini dipandang
kepengurusan yang sah karena dipilih secara Demokratis berdasarkan prinsip
musyawarah dan mufakat1.
1Rifyal Ka‟bah, Politik dan Hukum Dalam Al Qur’an. (Jakarta: Khairul Bayan. 2005), h.
53.
30
1. Otonomi Daerah Pasca Reformasi dan Pilkada
Pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah:
“Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Selanjutnya tentang pemerintah daerah dinyatakan prinsip otonomi daerah
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang
menjadiurusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran, serta prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat2.
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota merupakan perhelatan
demokrasi yang penting di tingkat daerah dan menjadi agenda Nasional yang
sangat penting seiring dengan semangat otonomi daerah yang mulai bergulir sejak
era reformasi. Karena itu, penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota yang berkualitas merupakan keinginan dan harapan kita semua, terutama
penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu dan seluruh jajaran masing-
masing.
2Bungaran Antonius Simanjuntak, Dampak Otonomi Daerah Di Indonesia: Merangkai
Sejarah Politik Pemerintahan Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), h. 5.
31
Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota, diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilu yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2011.
Dalam sejarah sistem perekrutan ataupun pemilihan kepala daerah sejak
Indonesia merdeka, kita sudah banyak mengeluarkan cukup banyak peraturan
yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah. Dari semua aturan yang telah
dibuat tersebut dapat dikelompokkan sesuai periode dan sistem penyelengaraan
pemilihannya. Periode dan sistem pemilihan tersebut dapat kita bedakan atas tiga,
yakni sebagai berikut:
1. Periode penunjukkan Gubernur oleh Presiden atas pengusulan
beberapa calon oleh DPRD Provinsi, sedangkan Bupati oleh Menteri
Dalam Negeri melalui pengusulan beberapa calon oleh DRPD
Kabupaten/Kota.
2. Pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota melalui pemilihan di DPRD
Provinsi Kabupaten/Kota.
3. Pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota secara langsung3.
Untuk lebih jelasnya periodisasi sistem pemilihan kepala daerah dapat
disampaikan bahwa setiap periode pemilihan kepala daerah selalu didahului
dengan terbitnya peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum
penyelenggaraannya. Dalam tatanan implementasi terdapat beberapa kali
3Rahmat Hollyson MZ & Sri Sundari: Pilkada: Penuh Euforia, Miskin Makna (Jakarta:
Bestari. 2015), h. 27.
32
perubahan peraturan yang mengatur hal tersebut. Apakah perubahan-perubahan
yang terjadi merupakan bentuk penyempurnaan dalam kepentingan bangsa dan
Negara? Dalam hal ini pemilihan kepala daerah atau pun adanya unsur
kepentingan-kepentingan pihak tertentu yang harus diakomodir dalam peraturan-
perundang-undangan tersebut. Untuk memastikan jawabannya tentu perlu
dilakukan kajian yang mendalam.
2. Pilkada dan Munculnya Dinasti Politik
Pemilukada diperkenalkan melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah daerah. Mekanisme ini dipilih sebagai langkah koreksional
pembentuk undang-undang terhadap mekanisme demokrasi perwakilan yang
diterapkan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999, dimana kepala daerah dan
wakil kepala daerah dipilh oleh DPRD. Para pembentuk undang-undang meyakini
bahwa praktik pemilukada dipercaya akan lebih mendekati makna demokratis
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 daripada dipilih
oleh DPRD4.
Pada tahun 2014, di DPR kembali terjadi tarik ulur yang sangat kuat
nuansa politiknya tentang pemilihan kepala daerah secara langsung atau sistem
pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Tarik menarik ini terjadi antara 2 (dua)
kubu besar yang menguasai Dewan yakni antara kubu koalisi Indonesia Hebat
(KIH) dengan kubu Koalisi Merah Putih (KMP). KIH mendukung pemilihan
melalui DPRD. Melalui sidang Paripurna DPR tanggal 26 september 2014 (dini
4Dodi Achmad, Demokrasi Lokal: Evaluasi Pemilukada di Indonesia (Jakarta: Konstitusi
Press. 2012), h. 7.
33
hari), maka diputuskan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan melalui
mekanisme pemilihan di DPRD.
Keputusan pemilihan kepala daerah melalui DPRD ini menimbulkan
gejolak dan mendapatkan penolakan hebat oleh banyak pihak, baik dari Presiden,
praktisi, akademisi dan lain sebagainya. Akhirnya melalui Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang, maka ditetapkan bahwa pemilihan kepala daerah
dilaksanakan secara langsung.
Kemudian Undang-Undang tersebut direvisi lagi menjadi Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-
Undang. Itulah sekelumit perjalanan penetapan undang-undang pemilihan kepala
daerah5.
Sebenarnya hal ini bukanlah perkara yang baru. Perdebatan panjang
tentang Pemilukada langsung atau tidak sudah terjadi sejak 2005 lalu, pasca
disahkannya UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah (PEMDA).
Pemerintah di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
5Rahmat Hollyson MZ & Sri Sundari.: PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna.
(Jakarta: Bestari. 2015), h. 148.
34
menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) NO 6/2005 yang mengatur tentang teknis
pelaksanaan Pilkada sebagai upaya operasional UU NO 32 Tahun 2004 tersebut6.
Lahirnya sebuah PP untuk mengoprasionalkan sebuah UU dalam konteks
hukum tata negara sesungguhnya sesuatu yang lazim dilakukan sejak orde baru
hingga kini. Akan tetapi, menjadi tidak lazim lahirnya PP khusus guna mengatur
soal Pilkada, karena dengan PP ini ada kesan yang cukup kuat bahwa
pemerintahan SBY hendak turut mengintervensi penyelenggara Pilkada. Padahal
hampir semua unsur penyelenggaraan Pilkada sama dengan Pemilu Legislatif
2004 dan Pilpres 2004 yang lalu, baik dalam hal struktur, infrastruktur, maupun
asas-asasnya. Yakni sama dengan hal penyelenggaraan, teknis, prosedural, tata
cara dan perlengkapan logistiknya, maupun asasnya yang langsung, umum, bebas
dan rahasia (luber). Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa Pilkada ini seolah-
olah di desain secara berbeda dengan pemilu Legislatif dan Pilpres?.
Cukup beralasan jika dikatakan pemerintah menyembunyikan motif politik
atas PP ini yakni; Pertama, hendak menempatkan Pilkada bukan bagian dari
pemilu, sehingga pengaturan teknisnya diatur oleh pemerintah melalui PP dan
penyelenggraannya “meminjam” KPUD yang telah terbentuk sebelumnya, bukan
membuat KPUD baru. Kedua, pengaturan Pilkada melalui UU Pemda PP Pilkada
ini mengesankan bahwa kita bukanlah Negara Kesatuan, melainkan Negara
federal, karena memiliki dua sistem pemilu, yakni (1) pemilu bersifat nasional
yang diselenggarakan KPU dan jajarannya hingga ke daerah, dan (2) Pilkada yang
6Agust Riewanto, Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Intropeksi Pemilu 2004 Menuju
Agenda Pemilu 2009 (Wonogiri: Lembaga Studi Agama dan Budaya. 2007), h. 185.
35
bersifat daerah diselenggarakan oleh KPUD tanpa melibatkan institusi KPU.
Padahal jika kita konsisten dengan bangunan Negara kesatuan, mestinya hanya
memiliki satu sistem pemilu, yakni Pemilu bersifat Nasional. Motif politik yang
ketiga adalah ketidakrelaan pemerintah melepaskan sebagian tugasnya, bahkan
mungkin sampai pada derajat tidak percaya pada institusi KPU, karena realitanya,
dalam UU No. 32/2004 dan PP ini, peran KPU dalam mengatur KPUD
ditiadakan, alias tidak berarti.
Banyak hal menarik yang terdapat dalam undang-undang nomor 8 tahun
2015, salah satu diantaranya adalah adanya persyaratan untuk calon kepala daerah
(Calon Gubernur, dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati, serta Calon Walikota dan Wakil Walikota) tidak mempunyai ikatan
keluarga dengan incumbent seperti yang disampaikan dalam pasal 7 huruf (r)
disebutkan bahwa tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana7.
Jika diamati secara seksama, maka pasal ini merupakan upaya untuk
mencegah timbulnya dinasti-dinasti politik di daerah. Pada saat ini dinasti politik
mulai bermunculan di beberapa daerah. Dinasti politik ini dimungkinkan muncul
karena tidak ada aturan yang mengatur dan membatasinya. Peraturan perundang-
undangan yang ada tidak mengatur hubungan kekeluargaan pasangan calon kepala
daerah dengan kepala daerah yang berkuasa sebelumnya (petahana). Aturan-
aturan yang ada lebih menitik beratkan pengaturan sistem pemilihan, persyaratan,
proses penyelenggara dan lain sebagainya.
7Rahmat Hollyson MZ & Sri Sundari.: PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna.
(Jakarta: Bestari. 2015), h. 149.
36
Berbicara tentang dinasti politik, apa yang dimaksud dengan dinasti politik
itu? Dinasti politik adalah kekuasaan yang diperoleh karena adanya hubungan
kekeluargaan. Sedangkan makna dinasti politik dalam bahasan ini terkait dengan
kekuasaan pemerintahan yang ada di daerah. Oleh karena itu dinasti politik dapat
diartikan sebagai kekuasaan pemerintah yang diperoleh baik dari pemilihan
melalui DPRD ataupun pemilihan langsung dengan dukungan dari kepala daerah
sebelumnya ataupun kepala daerah di wilayah sekitarnya baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang mempunyai hubungan kekeluargaan. Dukungan
yang sangat kuat ini mampu mempengaruhi dan meyakinkan masyarakat pemilih
bahwa calon yang mereka usung adalah calon yang terbaik, sehingga
memenangkan pemilihan. Sedangkan disisi lain kepala daerah terpilih masih
mempunyai hubungan keluarga yang kuat dengan petahana. Hubungan
kekeluargaan tersebut seperti istri, anak dan lain sebagainya8.
Dinasti adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena
mengandalkan darah dan keturunan dari hanya bebarapa orang. Oleh karena itu di
dalam dinasti tidak ada politik karena peran publik sama sekali tidak
dipertimbangkan. Dengan itu, dinasti juga menjadi musuh demokrasi karena
dalam demokrasi, rakyatlah yang memilih para pemimpinnya. Jadi, politik dinasti
adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan
tertentu (contohnya keluarga elite) untuk bertujuan mendapatkan atau
8Rahmat Hollyson MZ & Sri Sundari: PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna.
(Jakarta: Bestari. 2015), h. 149.
37
mempertahankan kekuasaan disuatu Negara. Kita dapat melihat beberapa bentuk
politik dinasti dalam sistem politik dunia.
Pertama, politik dinasti muncul dalam dimensi yang halus, berupa gejala
dinasti politik yang mendorong sanak keluarga elite-elite lama untuk terus
memegang kekuasaan di pemerintahan yang diturunkan secara demokratis oleh
pendahulu mereka. Pada gejala ini, penyesuaian terhadap etik demokrasi modern
dilakukan dengan mempersiapkan putra-putri yang bersangkutan dalam sistem
pendidikan & rekrutmen politik yang sedemikian dini. Jadi saat mereka muncul,
kemunculannya seolah-olah bukan diakibatkan oleh faktor darah dan keluarga,
melainkan oleh faktor-faktor kepolitikan yg lebih wajar dan rasional. Meskipun
terkadang gelar pendidikan mereka dapat dibeli dengan nama keluarga mereka.
Cara ini tentu masih ada di negara kita, bahkan masih dipraktikkan dalam negara-
negara demokratis seperti Amerika Serikat dan India.
Kedua, politik dinasti dapat tampil dalam bentuk yang lain, lebih vulgar &
identik dengan otoriterianisme. Ia muncul dari suatu sistem politik modern yang
sudah ada sebelumnya dan yang sudah dibekukan & dikondisikan sedemikian
rupa sehingga rakyat melalui wakilnya hanya bisa memilih anak/istri dari keluarga
yang sedang berkuasa. Dengan demikian, yang sebenarnya terjadi adalah politik
dinasti yang dipilih bukan secara sukarela oleh rakyat, tetapi secara represif9.
Hidupnya ruh dinasti politik bukanlah hanya sebatas isu atau isapan
jempol belaka. Jika kita perhatikan situasi di daerah-daerah yang menunjukkan
9Ivan Fauzan, “Buku Ajar III Bangsa, Budaya, dan Lingkungan Hidup di Indonesia”
(Jakarta: Balai Penerbit, tanpa tahun), h. 2. artikel diakses pada 17 Desember 2017 dari
https://id.scribd.com/mobile/doc/105224306/Definisi-Politik-Dinasti.
38
bahwa cukup banyak istri kepala daerah yang ikut bertarung menjadi pasangan
calon pada pemilihan kepala daerah. Sebut saja Aida Zulaikha Ismet Abdullah
yang mencalonkan diri menjadi Gubernur kepulauan Riau pada tahun 2010.
Tetapi akhirnya kalah dari pasangan Muhammad Sani dan Suryo Respationo.
Kemudian ada juga Walikota Probolinggo Rukmini. Rukmini merupakan istri dari
Buchori, Walikota 2008-2013. Pasangan Rukmini Buchori-Suhadak berhasil
menjadi Walikota/Wakil Walikota Probolinggo dengan memenangkan pemilihan
kepala daerah pada tahun 2013.
B. Dinamika Politik Provinsi Banten
Indonesia yang merupakan Negara maritim dan terlampau luas, serta
memiliki daerah-daerah kerap membuat raja-raja kecil muncul di berbagai
daerah. Dinasti politik dibangun kokoh oleh satu keluarga di wilayah tertentu,
seakan tak teramati, dan tersentuh oleh pemerintah pusat. Gubernur, Bupati,
sampai pemimpin DPRD dijabat oleh orang-orang yang menjalin kekerabatan bak
kerajaan didalam republik10
.
Dinamika politik lokal lazimnya tidak semata-mata ditentukan oleh
struktur politik dan peta politik formal seperti dihasilkan oleh pemilu dan Pilkada.
Dalam konteks Banten faktor pengaruh terpenting adalah kontrol politik yang
10
Christie Stefanie, Anggi Kusumadewi, “Riwayat Tanah Banten di Bawah Kaki Dinasti
Atut” ,artikel di akses pada 20 Januari 2017 dari
http//m.cnnindonesia.com/politik/20150709101059-32-65363/riwayat-tanah-banten-di-bawah-
kaki-dinasti-atut.
39
berada di tangan dinasti Haji Chasan Sochib beserta segenap keluarganya yang
menguasai politik dan bisnis di Banten11
.
Masalah muncul karena sistem seperti itu amat rawan. Siapa diawasi dan
mengawasi apabila pemimpin lembaga eksekutif dan legislatif disatu daerah
dipimpin oleh keluarga yang sama, bahkan dinasti yang di bangun merupakan
politik ke keluargaan di wilayah yang berbeda. Ketiadaan jaminan bahwa
lingkaran kekerabatan itu akan menjalankan roda pemerintahan daerah dengan
bersih, kompeten, dan berintegritas lantas membuat aturan baru disusun: calon
kepala daerah tidak boleh memiliki kepentingan dengan petahana-kepala daerah
yang sedang menjabat saat itu.
Konflik kepentingan yang di maksud ialah tidak memiliki hubungan darah
atau ikatan perkawinan ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana yang
merupakan ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu
sang calon kepala daerah, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Akan tetapi aturan tersebut dianulir oleh Mahkamah Konstitusi lantaran Pasal 7
huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota bertentangan dengan Pasal 28
J ayat (2) UUD 1945. Aturan tersebut dianulir oleh Mahkamah Konstitusi, karena
menurut MK praktik demikian yang bisa dibilang kebetulan dan berpotensi
11
Syamsuddin Haris, Partai Pemilu dan Parlemen : Era Reformasi (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. 2014), h. 262.
40
menyuburkan dinasti politik merupakan legal karena hal tersebut hak konstitusi
semua orang untuk dipilih12
.
Dinasti politik yang selama ini telah terpelihara di beberapa daerah dapat
kembali diteruskan. Salah satu contoh kuatnya politik dinasti di ujung pulau Jawa,
yakni Provinsi Banten yang berada dibawah „kaki‟ Mantan Gubernur Banten Ratu
Atut Chosiyah. Atut kini memang mendekam di dalam penjara menyusul
ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada
Desember 2013 atas dugaan suap kepada Mantan ketua MK Akil Mochtar dalam
penanganan sengketa Pilkada Lebak, Banten.
Fenomena korupsi dalam politik dinasti yang dilakukan gurita para dinasti
politik jelas akan menciptakan distorsi bagi perekonomian, termasuk kerangka
kebijakan serta hukumnya yang mengakibatkan sekelompok masyarakat tertentu
memiliki keuntungan lebih dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lain.
Ada dua hal yang memjadi pemicu utama potensi korupsi yang dilakukan
dinasti politik. Pertama, persoalan utama dari dinasti politik adalah soal
penguasaan sumber daya dan dampaknya dapat melemahkan check and balance
dalam pemerintahan. Persoalan tersebut membuat dinasti dekat dengan korupsi,
ditambah dengan kewenangan mereka untuk menjadikan posisinya sebagai alat
untuk mengakses sumber daya ekonomi. Kedua, pola yang terbangun dalam
dinasti politik saat ini membutuhkan dana besar untuk merawat kekuasaan dan
jaringan yang menjadi simpul-simpul politik lainnya.
12
Abraham Utama, 2015. MK Anulir Larangan Dinasti Politik di Pilkada, Artikel diakses
pada 20 Januari 2017 darihttps://www.cnnindonesia.com/politik/20150708143504-32-65195/mk-
anulir-larangan-politik-dinasti-di-pilkada
41
Penulis mengutip pendapat Ahmad Maulani dalam artikelnya di Koran
kompas hal 7 sebagai berikut:
Dari data yang dilansir Indonesia Corupption Watch (ICW), Pada Pilkada
serentak 2017 kali ini ada 12 calon kepala daerah di 11 daerah yang
berasal dari dinasti politik. Beberapa daerah tersebut antara lain, Banten;
Gorontalo; Musi Banyuasin; Barito Kuala; Pringsewu, Lampung; Kota
Batu; Landak, Kalbar; Lampung Barat; Kota Cimahi; Kabupaten Mesuji;
serta Maluku Tengah13
.
Dalam konteks provinsi Banten, arah, proses, dan akhirnya dinamika
politik yang dipimpin serta dikendalikan oleh dinasti keluarga almarhum Prof. Dr
(HC). H. Tubagus Chasan Sochib. Seperti diketahui, Chasan Sochib adalah ayah
kandung dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang terpilih dalam Pilkada
Banten pada 2007 silam dan kemudian terpilih kembali dalam Pilkada Banten
pada akhir 2011 berpasangan dengan Rano Karno. Sebelum menjadi Gubernur,
puteri Haji Chasan ini menjadi wakil Gubernur mendampingi Joko Munandar,
gubernur pertama Banten periode 2002-2007.
1. Sejarah Politik Provinsi Banten
Atut merupakan putri almarhum Haji Tubagus Hasan Sochib penguasa,
sesepuh, dan jawara yang merintis bisnisnya dari pedalaman Banten pada 1960-
an. Semua bermula ketika alm. Chasan menyuplai logistik bagi Komando Daerah
Militer VI Siliwangi, dan pada akhirnya mendapat banyak keistimewaan di
13
Achmad Maulani, “Dinasti Politik dan Banalitas Korupsi” (Kompas: 8 Februari 2017),
h. 7.
42
Kodam VI Siliwangi serta pemerintah Jawa Barat. Berkat jasa dan usahanya
dalam membantu logistik Chasan menjadi orang yang berpengaruh di Banten dan
mendapat banyak proyek besar pemerintah, hingga akhirnya mendirikan
perusahaan sendiri yang terutama bergerak dibidang konstruksi. Kamar dagang
dan industry (KADIN) di Banten serta sejumlah organisasi bisnis lainnya dia
kuasai secara bertahap dan sistematis dibantu dengan orang-orang terdekat dan
secara kekeluargaan14
.
Pasca reformasi, Chasan mendukung Banten lepas dari Jawa Barat,
menjadi Provinsi sendiri. Dia membantu gerakan pemekaran di Banten, setelah
Banten resmi menjadi Provinsi, Chasan mendorong keluarga besarnya, termasuk
Atut, aktif berpolitik. Atut menjadi Wakil Gubernur Banten pertama, Oktober
2000. Lima tahun kemudian Oktober 2005 Atut menggantikan Gubernur Bantun
Joko Munandar yang semula ia damping, sebagai pelaksana tugas Gubernur
Banten menyusul kasus korupsi yang menjerat Joko.
Atut resmi menjadi Gubernur Banten pada 2007 silam setelah memenangi
Pilkada. Setelah menjadi orang nomor satu di Banten, Atut pun memiliki cukup
ruang yang luas untuk memasukkan keluarganya ke dalam ranah politik, persis
seperti yang dilakukan sang ayah. Dinasti politik di “Kerajaan Banten” tidak
hanya sebatas perebutan kepala daerah di satu wilayah saja tetapi telah
menggurita hampir ke seluruh pelosok Banten. Puncak kekuasaan dipegang oleh
Ratu Atut sebagai Gubernur Banten. Kemudian juga ada Heryani (ibu tiri) Wakil
14
Christie Stefanie, Anggi Kusumadewi. “Riwayat Tanah Banten di Bawah Kaki Dinasti
Atut”, artikel diakses pada 20 Januari 2017 dari,
http//m.cnnindonesia.com/politik/20150709101059-32-65363/riwayat-tanah-banten-di-bawah-
kaki-dinasti-atut.
43
Bupati Pandeglang, Ratu Tatu Chasanah (adik kandung) Wakil Bupati Serang,
Tubagus Chaerul Jaman (adik tiri) Walikota Serang, adik ipar Atut Airin Rachmi
Walikota Tangsel. Sebagian lagi diantara masuk ke ranah legislatif seperti
anggota DPR, anggota DPD dan DPRD. Begitu besarnya kekuasaan yang mereka
miliki sehingga mereka mampu menguasai wilayah Banten15
.
Jika kita cermati seksama, aturan yang membatasi tentang ikatan keluarga
dalam pilkada ini ternyata tidak akan banyak berpengaruh terhadap dinasti politik
seperti yang terjadi di provinsi Banten. Regulasi dalam undang-undang pemilihan
kepala daerah yang terbaru hanya mengatur tentang jabatan kepala daerah untuk
daerah yang sama saja. Misalnya calon Bupati Kabupaten Serang dengan Bupati
Serang yang menjabat sebelumnya. Aturan baru ini tidak mengatur tentang kepala
daerah lain yang berdekatan ataupun kepala daerah Gubernur dan
Bupati/Walikota yang ada dalam wilayah kerjanya.
Dalam “Dinasti Politik Kerajaan Banten” jabatan kepala daerah yang
diperoleh keluarga besar Ratu Atut bukan kekuasaan pemerintahan pada wilayah
yang sama, tetapi kekuasaannya pada wilayah yang berbeda. Sebagai contoh
Gubernur Atut punya ikatan saudara dengan Walikota Tangsel, Walikota Serang,
dan seterusnya. Tidak ada larangan bagi keluarga Atut untuk menjadi calon kepala
daerah di kota Serang walau yang bersangkutan mempunyai ikatan keluarga
dengan Gubernur Banten Ratu Atut. Tetapi aturan hanya membatasi kesempatan
keluarga besar Ratu Atut untuk maju dalam pemilihan Gubernur Banten. Para
keluarga Atut yang merupakan Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota,
15
Rahmat Hollyson MZ & Sri Sundari PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna.
(Jakarta: Bestari. 2015), h. 151.
44
Anggota Legislatif dari keluarga Ratu Atut hanya akan terganjal oleh aturan
dalam pasal 7 r jika mengikuti pemilihan Gubernur Banten.
Pasal 7 huruf r menjelaskan bahwa salah satu persyaratan calon kepala
daerah adalah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Dalam
penjelasan disebutkan yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik dengan
petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/garis
keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, kebawah, kesamping, dengan petahan
yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kaka, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah
melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan. Aturan baru ini telah menutup
kesempatan keluarga kepala daerah untuk menggantikan jabatan petahana seperti
yang terjadi dalam sistem kerajaan.
Dominasi dan kontrol keluarga Chasan Sohib atas Banten sebenarnya
bukan semata-mata fenomena politik mutakhir. Haji Chasan telah mengendalikan
politik Banten bukan hanya setelah daerah ini menjadi provinsi sendiri yang
terpisah dari Jawa Barat, melainkan juga berlangsung sejak era sistem otoriter
Orde Baru. Kendali politik Haji Chasan atas Banten justru merupakan produk dan
warisan Orde Baru yang cenderung memanfaatkan tokoh dan penguasa lokal
seperti ulama dan tokoh adat untuk memenangkan Golkar dalam pemilu serta
melestarikan sistem otoriter16
.
Meskipun partai Golkar kalah dari partai Demokrat pada pemilu 2009 di
Banten, tidak berarti kontrol Haji Hasan atas politik Banten berkurang.
16
Syamsuddin Haris, Partai Pemilu dan Parlemen: Era Reformasi (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. 2014), h. 255-256.
45
Sebaliknya, melalui beragam bisnis keluarga yang dikendalikannya, serta melalui
politik formal yang dipimpin oleh Ratu Atut, pengaruh dan cengkraman dinasti
Haji Chasan atas politik dan ekonomi Banten justru semakin meluas dan berkibar.
Sudah menjadi rahasia publik di Banten, berbagai transaksi bisnis, termasuk
proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN dan APBD Banten, masih berada dalam
kendali Haji Chasan.
2. Anatomi Dinasti Politik Banten 2007-2014
Jaringan kekuasaan keluarga Haji Chasan dan Ratu Atut meliputi: Tb
Chaeri Wardhana alias Wawan (adik Atut), Hikmat Tomet (suami Atut), Tatu
Chasanah (adik Atut), Andhika Hazrumy (anak Atut), Ade Rossi Khaerunnisa
(isteri Andhika), Chaerul Jaman (adik tiri Atut), Lilis Karyawati (adik Atut), Airin
Rachmi Diani (menantu Haji Chasan, isteri Caeri Wardhana), Muhadi, Ratna
Komalasari, dan John Chaidir (suami Tatu Chasanah).
Jaringan kekuasaan keluarga Haji Chasan tidak semata-mata terbatas pada
bisnis dan ekonomi (melalui Kadin, Gapensi, Gapeksindo, dll), serta politik
(kepala daerah, anggota DPR, DPRD, dan DPD), melainkan juga menguasai
jaringan organisasi kemasyarakatan (Satkar, Ulama, Komando Pendekar, dll) dan
jaringan hukum, baik kepolisian dan kejaksaan maupun pengadilan di Banten.
Tidak mengherankan jika berbagai kasus dugaan korupsi yang melibatkan dinasti
Haji Chasan hampir selalu tidak ada tindak lanjutnya di lembaga peradilan.
Sebagai orang kuat local, jaringan kekuasaan Haji Chasan ditenggarai dapat
mengontrol proses peradilan sejak awal hingga terbitnya keputusan pengadilan.
46
Dalam situasi demikian, struktur politik formal yang dihasilkan Pemilu
2009 di Banten tidak banyak artinya. Meskipun Pemilu untuk memilih anggota
DPRD Banten dimenangkan oleh partai Demokrat, realitas politik tersebut sama
sekali tidak mengubah peta politik informal yang dikuasai oleh dinasti Haji
Chasan. Lebih jauh dari itu, partai-partai politik yang duduk di DPRD Banten
akhirnya hanya sekedar menjadi “boneka politik” dari keluarga Ratu Atut serta
ayahandanya Haji Chasan Sochib.
47
BAB IV
ANALISA DINASTI POLITIK DI BANTEN DALAM
PERSPEKTIF IBNU KHALDUN
1. Dinasti Politik Banten Dalam Persfektif Ibnu Khaldun
Gagasan Ibnu Khaldun tentang Negara yang dikaji melalui pendekatan
sosiologis diilustrasikan dengan sifat alamiah manusia yang senantiasa hidup
berkelompok, saling percaya diri, dan tidak mampu hidup sendiri tanpa
membutuhkan bantuan orang lain (zoon politicon. Begitu dari sifat alamiah itu
juga dibarengi adanya tujuan yang sama dari masing-masing manusia, maka
terbentuklah ashabiyah di antara mereka. Kesatuan sosial ini terbentuk sejak
mulai dari kelompok untuk kelompok manusia yang paling besar.
Dengan maraknya praktek dinasti politik di daerah dapat membuat orang
yang berkompeten memiliki kekuasaan, dan hal sebaliknya pun bisa terjadi,
dimana orang yang berkompeten menjadi tidak terpakai karena alasan bukan dari
keluarga. Di samping itu, cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena
pemimpin atau pejabat Negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan
tugas.
48
Fenomena dinasti politik yang terjadi di Negeri ini memang sudah lama
menjadi kasus yang tabu dan seringkali di perdebatkan. Alasannya adalah dinasti
politik bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di Negara kita Indonesia,
sebab, Negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki
yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan. Hal tersebut juga
berdampak pada masyarakat yang memiliki hak demokrasi dalam memilih dan di
pilih, kemudian hak nya tersebut dibatasi oleh sistem monarki tersebut.
Dinasti politik semestinya dilarang dengan tegas, karena jika makin
maraknya praktek ini di berbagai Pilkada dan pemilu Legislatif, maka proses
rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau terbatasi. Jika para
penguasa dinasti di sejumlah daerah bertambah besar pertumbuhannya, maka akan
kian marak juga praktek-praktek yang bisa merugikan Negeri ini, seperti
pencurian sumber daya alam dan lingkungan, pencurian sumber-sumber
pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.
Dalam hadits nabi dikatakan bahwa fenomena tersebut memang dilarang
jika digunakan untuk perbuatan yang dzalim. Penggunaan kata „ashabiyah atau
dalam hal ini politik kekerabatan identik dengan orang yang menolong kaumnya,
sementara mereka zalim1.
غ ق س أ ل ب ت ه اث ت ب ػ ؼ ت أ ال ق ت ب ص ؼ اان ي الله ل س ار ت ه ق ل ق ا اب أ ت ؼ اس أ
[.]راابدادى ه ىانظ ه ػ ك ي ق
1Al Fadhil, “Menyapu Debu-Debu „Ashabiyah”, artikel diakses pada 20 Oktober 2017
dari https://www.google.cp.id/amp/s/alfadhil.wordpress.com
49
Dari putri Watsilah bin al-Asqa‟, ia mendengar ayahnya berkata: aku berkata,
“Yaa Rasulallah, apa itu „ashabiyah?”. Rasul menjawab: “Engkau menolong
kaummu dalam kezaliman.” [HR. Abu Daud].
Maksudnya, siapa yang mengajak orang untuk berkumpul atas dasar
„ashabiyah, yaitu bahu membahu untuk menolong orang zalim.
Dalam hadits lain, terdapat larangan yang tegas bagi orang-orang yang
berperang di bawah bendera „Ummiyyah atau Immiyyah.
بب د ج ت ب ص ػ ػ د ت ػ تا ر ت ح ت م ت ق ى ه س ه ػ الله ىاه ص الله ال س ر ال ق ه ج ب ن أ الله دب ػ ػ
ج ت ه ت ق ف ت ب ص ػ ر ص أ [رايسهى].ت ه ا
Dari Jundabbin Abdullah al-Bajaliy, ia berkata: Rasulullahu „alaihi wa sallam
bersabda, “Barang siapa terbunuh karena membela kefanatikan yang meyeru
kepada kebangsaan atau mendukungnya, maka matinya seperti mati Jahiliyyah.”
[HR. Muslim]
Ummiyyah atau Immiyyah adalah bentuk kinâyah, yaitu larangan
berperang membela jamaah (kelompok) yang dihimpun dengan dasar yang tidak
jelas (majhûl), yang tidak diketahui apakah haq atau batil. Karena faktor tersebut
orang yang bukan berperang karena mmemenangkan agama, atau menjunjung
tinnggi kalimat Allah. Dengan demikian, jelas bahwa makna „ashabiyah disini
bersifat spesifik, yaitu ajakan untuk membela orang atau kelompok, tanpa melihat
apakah orang atau kelompok tersebut benar atau salah; juga bukan untuk membela
50
Islam, atau menjunjung tinggi kalimat Allah, melainkan karena amarah dan hawa
nafsu2.
Kemudian apakah ada korelasi terkait teori Ibnu Khaldun mengenai dinasti
politik yang terjadi di beberapa daerah khususnya di Banten. Dalam hal ini Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa suatu dinasti dapat terbentuk melalui ikatan darah.
Pertalian darah merupakan suatu ikatan yang dapat menimbulkan cinta atau
kekuatan pada kaum kerabat dan keluarga seseorang, membangkitkan kekuatan
suatu kaum agar ikatan tersebut tidak sampai dicela bahkan dapat bertahan dari
bencana yang dapat menimpa kaum tersebut. Jika hal-hal yang demikian tersebut
telah muncul dalam suatu kaum, maka akan timbul rasa solidaritas „ashabiyyah.
Maka dapat disimpulkan bahwa apa yang telah terjadi di Banten dengan teori
„ashabiyyah Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa solidaritas itu memiliki ikatan
darah, dan sepenanggungan benar dan terkait satu samalain.
Alasan yang dibutuhkannya „ashabiyah tersebut, karena pertama, teori
tentang berdirinya Negara berkenan kaitannya dengan kesukuan. Keadaan suatu
suku dapat dilihat dari faktor psikologis masyarakat tidak dapat dibentuk Negara
tanpa dukungan perasaan persatuan dan solidaritas yang kuat. Kedua, proses
pembentukan Negara itu harus melalui perjuangan yang keras dan berat. Bila
imamah tidak mampu menundukkan lawan sendiri, maka akan kalah dan Negara
tersebut hancur dengan sendirinya. Oleh karena itu, dibutuhkan kekuatan yang
besar untuk mewujudkannya.
2Al Fadhil, “Menyapu Debu-Debu „Ashabiyah”, artikel diakses pada 20 Oktober 2017
dari https://www.google.cp.id/amp/s/alfadhil.wordpress.com
51
Dengan demikian, solodaritas yang kuat ini memberikan efek yang dapat
mempengaruhi keeksistensian sebuah Negara. Kemudian dalam pembuatan
„ashabiyah demikianlah, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa agama memiliki peran
penting dalam pembentukan dan persatuan tersebut. Menurutnya, semangat
persatuan rakyat yang dibentuk melalui peran agama itu tidak bisa ditandingi oleh
semangat persatuan yang dibentuk oleh faktor lainnya. Hal tersebut didukung oleh
visi agama dalam meredakan pertentangan dan perbedaan visi rakyat, sehingga
mereka memiliki tujuan yang sama
Lebih lanjut dalam teori nya Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa
metamorfosa pemerintahan juga mengalami masa transisi dalam beberapa fase
dan keadaan yang berbeda. Setiap kerajaan memiliki gaya hidup tertentu dalam
fase yang berbeda-beda. Sebab, gaya hidup mengikuti kondisi yang
memengaruhinya secara naluriah. Dalam hal ini Ibnu Khaldun dalam
Mukaddimahnya membagi masa transisi tersebut dengan lima fase:
Pertama, fase pemantapan kekuasaan dengan cara penggulingan dan
penguasaan terhadap para pembela dan pendukungnya, serta merebut kekuasaan
dari tangan penguasa sebelumnya.
Kedua, fase otoriter dan kesewenang-wenangan terhadap kaumnya dan
bersikap individual dalam menjalankan pemerintahan dengan cara mengekang,
membungkam, dan membatasi peran suatu kaum dalam pemerintahan.
52
Ketiga, fase stabilitas dan ketenangan karena manfaat dari kekuasaan atau
kedaulatan telah berhasil diperoleh, dimana karakter manusia memang cenderung
demikian: mengumpulkan kekayaan, melanggengkan pengaruh, dan popularitas.
Keempat, fase kepuasan dan mudah menyerah atau pasrah. Dalam fase ini,
rezim yang berkuasa sudah merasa puas dengan pembangunan yang dicapai
generasi pendahulu mereka dalam kehidupan damai dengan para penguasa yang
bersahabat dengannya maupun yang masih bermusuhan. Hal ini dilakukan dengan
mencontoh paara pendahulunya, sehingga ia mengikuti jejak mereka setapak demi
setapak dan penuh perhitungan. Ia berkeyakinan bahwa keluar dari tradisi
merupakan suatu kehancuran, karena hal tersebut dapat meninggalkan kejayaan
yang telah dibangun.
Kelima, fase pemborosan dan hidup berlebih-lebihan. Dalam fase ini,
rezim yang berkuasa cenderung menghancurkan kejayaan yang telah dibangun
oleh para pendahulu mereka, membenamkan diri mereka dalam pemuasan nafsu
dan kesenangan dunia, mudah menghambur-hamburkan kekayaan kerajaan untuk
memenuhi kebutuhan perutnya dan pesta-pesta yang diselenggarakannya,
mengumpulkan para jagoan dan para pelacur untuk menjalankan tugas-tugas
penting kerajaan dimana mereka tidak mempunyai kompetensi untuk
menjalankannya. Mereka juga tidak mengetahui apa yang harus dan yang tidak
boleh dikerjakan. Rezim ini juga berupaya menyingkirkan para pemimpin dan
53
politisi yang tidak mendukung maupun senang terhadap bangsanya dan orang-
orang yang menjadi bagian dari pemerintahan masa lalu3.
Dalam konteks provinsi Banten arah, proses, dan alur dinamika politik
yang dipimpin serta dikendalikan oleh dinasti dan dibangun oleh Tubagus Chasan
Sochib yang mengontrol beberapa sektor baik dari ekonomi, politik, dan sosial
yang telah dibangun sejak tahun 1960. Seperti diketahui Chasan Sochib
merupakan ayah kandung dari mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang
terpilih pada pemilihan Gubernur Banten 2007 silam kemudian terpilih lagi pada
Pilkada 2011 yang berpasangan dengan Rano karno.
Jika ditelaah lewat kelima fase tersebut, arah dan proses dinasti politik di
Banten hingga sekarang masih sama seperti di era Ratu Atut, walaupun
mengalami masalah internal sejak Ratu Atut dijadikan tersangka kasus korupsi
yang menjeratnya. Jika dilihat latar belakang era kepemimpinan dinasti Ratu Atut
sejak tahun 2002 silam, tahun tersebut merupakan awal dari dimulainya proyek
dinasti politik yang di bangun oleh Ratu Atut. Di 2002 silam Ratu Atut di usung
oleh partai Golkar mewakili Joko Munandar sebagai wakil Gubernur Banten.
Kronologi terbentuknya dinasti politik di Banten:
Pertama, orang tua Atut yakni H. Chasan Sochib merupakan seorang
pebisnis di Banten pada tahun 1960 dan mendapatkan proyek besar sejak tahun
1970-an. Setelah merambah di dunia bisnis ia merasa sukses, haji Chasan
kemudian merambah ke dunia politik seiring dengan membesarnya arus gerakan
3Ibnu Khaldun, “Muqaddimah” Penerjemah Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus.
1986), h. 191.
54
pembentukan provinsi Banten, Chasan Sochib segera berbalik dan berperan aktif
ke ranah politik dan bergabung dengan partai Golkar, selain politik, beliau juga
mampu mengumpulkan para ulama dan jawara di Banten.
Kedua, perpindahan posisi ini menyelamatkan masa depan bisnis dan
politiknya di Banten. Dengan kekuatan finansial yang dimiliki, Chasan Sochib
membantu gerakan pemekaran dan mendapatkan pengakuan sebagai tokoh
pembaharuan Banten. Setelah Banten menjadi provinsi, Chasan Sochib mulai
lebih agresif menyusun kekuatan politiknya, Chasan Sochib hanya bertindak
sebagai client Capitalism yang sangat bergantung pada koneksi pejabat sipil dan
militer, tetapi tidak aktif dalam merancang siapa yang berkuasa atas politik Jawa
Barat, Chasan Sochib bertindak aktif dalam menentukan siapa yang pantas
menjadi penguasa di Banten.
Ketiga, ketika kepemimpinan wanita sudah dapat diterima oleh
masyarakat Indonesia sejak terpilihnya Megawati sebagai presiden wanita
pertama di Republik ini. Kepemimpinan wanita sudah menjadi trend tesendiri
yang mampu mewarnai nuansa kompetisi kepemimpinan yang sebelumnya di
dominasi oleh kaum pria. Sudah sangat banyak perempuan yang memimpin suatu
daerah, sebagai Gubernur, wakil Gubernur, Bupati, maupun Walikota, seperti:
mantan wakil Gubernur dan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Dra. Hj.
Rustriningsih, M.Si (wakil Gubernur Jawa Tengah), Hj. Rina Iriani Sri
Ratnaningsih (mantan Bupati Karang Anyar), Hj. Airin Rachmi Diani (Walikota
aktif Tangerang selatan), Hj. Ratu Tatu Chasanah, SE, M.Si (wakil Bupati
Serang), Hj. Heryani (wakil Bupati Pandeglang) dan masih banyak lagi. Bermula
55
dari upaya memajukan Ratu Atut sebagai calon wakil Gubernur dan sukses
memenangkannya, Chasan Sochib merancang anggota keluarga besarnya untuk
aktif terlibat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hasilnya sangat
sukses, Chasan Sochib memang tidak memegang jabatan publik tetapi
sebagaimana pengakuan dirinya bahwa dia adalah “Gubernur Jendral”
menunjukkan bahwa ia adalah penguasa Banten sesungguhnya4.
Sudah menjadi rahasia umum jika keluarga mantan Gubernur Banten Ratu
Atut Chosiyah menguasai sejumlah jabatan strategis dalam politik dan
pemerintahan di Banten. Mereka juga terlibat dalam berbagai jabatan informal
dan yang terbaru anak kandung Ratu Atut yakni Andhika Hazrumy yang
mencalonkan diri sebagai wakil Gubernur Banten mendampingi Wahidin Halim
yang akan bertarung dalam Pilkada serentak 15 Februari 2017.
Keempat, ketika segala proses politik sudah di kuasai oleh keluarga
Chasan Sochib yang di jalankan oleh Ratu Atut maka kekayaan dalam hal ini
merupakan hal yang perlu di paparkan, pasalnya selain kekayaan yang diperoleh
dari bisnis dalam politik keluarga Chasan Sochib juga mendapatkan durian
runtuh. Kekayaan Ratu Atut mencapai Rp 41,9 miliar, itu hanya jumlah yang ia
laporkan pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Juga
patut digaris bawahi, laporan itu berdasarkan yang ia berikan pada 2006 silam.
Artinya selama 7 tahun pejabat yang menguasai Provinsi Banten itu tidak
melaporkan harta kekayaannya kepada pihak berwenang.
4Rio Muhammad, 2013. Chasan Sochib: The Banten‟s God father. Artikel di akses pada
21januari2107darihttp://m.voaislam.com/news/intelligent/2013/10/07/27094/menguak/godfatherny
a-banten-dari-haji-chasan-sochib-hingga-ratu-atut/
56
Penulis mengutip artikel Zulfikar Akbar sebagai berikut:
Diantara harta yang dilaporkan Atut kepada LHKPN tujuh tahun
lalu adalah 12 kendaraan pribadinya. Termurah adalah motor
Yamaha keluaran tahun 1988 dengan harga hanya Rp 3,5 juta.
Sedangkan yang temahal dari semua kendaraan miliknya yaitu
Lexus seharga Rp 1,1 miliar dan Mercedes-Benz senilai Rp 1,05
miliar—ia memiliki dua mobil Mercedes-Benz namun yang
lainnya hanya seharga Rp 500 juta. Untuk kendaraan yang bisa
dikatakan murah karena berada dibawah angka ratusan juta, selain
motor Yamaha ada Suzuki Escudo tahun 1997 (Rp 75 juta),
Daihatsu Taft 1982 (Rp 18 juta), Isuzu Panther (Rp 40 juta), Kijang
keluaran 2003 (Rp 65 juta), Kijang tahun 2003 (Rp 78 juta), dua
Mitsubshi Colt 2003 (masing-masing Rp 32,5 juta). Sedangkan
yang berada di seputaran angka seratus juta adalah Mitsubshi Kuda
(Rp 109 juta). Yang lainnya adalah aset yang terdapat di berbagai
kota mencakup Serang, Pandeglang, Banten, Bandung, Cirebon,
dan Jakarta Barat. Total aset Atut tersebut tak kurang dari 122 aset.
Namun sebagian aset tersebut sudah ada yang dijual. Harta tersebut
hanya sebagian dari total keseluruhan kekayaannya, belum lagi
asetnya seperti pehiasan, aksesoris, properti dll. Kekayaan yang
didapatkan dari hasil usaha sendiri sepanjang 1986 hingga tahun
2000 mmencapai Rp 47,46 juta. Disamping itu juga terdapat surat
berharga dengan total Rp 7,855 miliar5.
KPK juga punya catatan harta suami Ratu Atut, alm. Hikmat Tomet.
Anggota DPR itu memiliki harta yang lebih sedikit dari istrinya. Pada LHKPN
2009, Hikmat mempunyai harta Rp 33,856 miliar. Kepada KPK dia melaporkan
juga harta berupa tanah dan bangunan di 43 lokasi. Sementara itu anak Atut yang
5Zulfikar Akbar. 2013. “Fakta-Fakta Seputar Kekayaan Dinasti Atut”. Artikel di akses
pada 13 Februari 2017 dari kompasiana.com/soefi/fakta-fakta-seputar-kekayaan-dinasti-atut
57
juga anggota DPD, Andhika Hazrumy pun memiliki koleksi tanah sekitar Rp 19,6
miliar. Selain itu KPK juga mencatat harta milik anggota dinasti lain, yakni
Heryani. Ibu tiri Ratu Atut ini memiliki kekayaan harta sebesar Rp 26,512 miliar
dengan koleksi tanah mencapai 25 lokasi6.
Kemudian terdakwa kasus dugaan sengketa Pilkada lebak adik Atut
Tubagus Chaeri Wardana yang di geledah oleh KPK di Jakarta Selatan di
rumahnya terdapat tak kurang dari 11 mobil mewah berada di garasi suami
Walikota Tangerang Selatan itu. Diantara mobil-mobil termahal yang menjadi
milik Tubagus terdapat jenis Rolls-Royce yang bisa mencapai harga hingga Rp.
17 miliar. Selain itu ia juga memiliki Nissan GT-R R35, Ferarri 458 Italia, Ferarri
California, Lamborghini Aventador, Bentley, Land Cruiser Cygnus, yang masing-
masing memiliki harga di angka miliaran, sedangkan yang berharga ratusan juta
hanyalah Land Cruiser Prado, Toyota Camry, dan Kijang Innova, kemudian
terdapat Harley Davidson dengan kisaran harga Rp 350 juta. Akan tetapi semua
harta kekayaan dinasti Atut itu karena warisan, jauh sebelum ia menjadi Gubernur
Banten, terlebih karena sebelumnya juga karena Ratu Atut merupakan seorang
pengusaha.
Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diani memiliki total kekayaan
per tanggal 23 Juli 2015 yakni Rp 84.005.292.628. sedangkan pelaporan ke
LHKPN pada tanggal 24 Agustus 2010 adalah Rp. 103.944.292.628 bahkan bisa
6lihat di https://kabarnet.in/2013/10/14/inilah-harta-karun-dan-dinasti-ratu-atut-chosiyah
58
bertambah hingga sekarang seiring Airin sendiri menjabat kembali sebagai
Walikota Tangsel7.
Penulis menyimpulkan kira-kira inilah daftar harta kekayaan Dinasti Ratu
Atut di Banten dan nama-nama ini belum termasuk yang berada di DPD, DPRD,
maupun jabatan di organisasi-organisasi di luar instansi pemerintahan:
Jadi, kira-kira jumlah kekayaan keluarga besar Ratu Atut diperoleh dari
hasil bisnis dan tentunya dari gaji dan pendapatan dari sejumlah jabatan yang di
sandang. Kalau dari gaji anggota DPR/Gubernur/Walikota/wakil Bupati dll, maka
sangat sulit memperkirakan jumlah kekayaan dari bisnis mereka. Perkiraan uang
seperempat triliyun itu hanya dilaporkan secara resmi ke KPK, kira-kira berapa
lagi jumlahnya yang belum sempat dilaporkan ke KPK?.
Kelima, dari keempat kronologi tersebut yang sangat disayangkan bahwa
apa yang sudah terjadi di Banten atau di beberapa daerah yang sudah dikuasai
oleh dinasti Ratu atut berdampak pada lumpuhnya kekuatan kritis dalam politik
lokal di daerah ini, dikarenakan lemahnya kekuatan masyarakat sipil. Perlu
diketahui bahwasanya di Banten sendiri politik lokal di provinsi tersebut memiliki
kelemahan dalam kekuatan politik lokal masyarakat sipil (civil society). Dari segi
jumlah, sebenarnya sudah cukup banyak surat kabar, tabloid, dan bahkan media
online sebagai saluran aspirasi bagi masyarakat. Akan tetatpi permasalahannya,
keberadaan sebagian media tersebut turut disokong oleh dinasti Haji Chasan,
7Agung Supriyanto, “Ini Jumlah Kekayaan Airin Sekarang”. Artikel di akses pada 16
Februari 2017 dari http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/pilkada/15/11/25/nydc0u326-ini-
jumlah-kekayaan-airin-rachmi-diany-sekarang.
59
sehingga suara kritis terhadap pemerintah daerah dan DPRD setempat tidak
pernah memperoleh tempat yang memadai di dalam penerbitan media-media
tersebut.
Sebagaimana ungkapan Syamsudin Harris sebagai berikut:
Di sisi lain, para aktivis CSO yang biasanya bersuara kritis dapat
dikatakan timbul-tenggelam karena mereka harus mencari kiat dan
siasat agar bisa ‟‟selamat‟‟ dari kemungkinan mendapat teror dari
anak buah keluarga ‟‟Rawu‟‟ alias dinasti Haji Chasan Sochib.
Apalagi keluarga sang Gubernur Banten ini memiliki kaki tangan
yang menyebar dalam berbagai kelompok dan organisasi, resmi
maupun tidak resmi, tampak ataupun tidak tampak sama sekali.
Seperti diketahui, dinasti Chasan Sochib juga menguasai organisasi
masyarakat seperti Satkar Ulama, Komando Pendekar, dan
PPSBSBBI (Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten
Indonesia). Untuk mengamankan kepentingan politik bisnisnya,
Haji Chasan Sochib sering mengerahkan massa dari ormas-ormas
seperti ini jika ada pihak-pihak yang menggugat kepentingannya8.
Dari kelima fase tersebut dapat dilihat bahwa suatu kekuasaan memiliki
masa transisi yang cukup signfikan melihat arah proses kepemimpinan tanpa
kestabilan dalam menguasai pemerintahan dapat memicu kemarahan rakyat
sehingga dapat dimusuhi dan rakyat akan menarik dukungan terhadap rezim
tersebut. Dinamika kekuatan masyarakat sipil yang lemah, terpecah dan mudah
tehasut akhirnya juga turut berpengaruh pada kinerja dan akuntabilitas DPRD
Banten.Karena relatif tidak ada suara kritis masyarakat maka sikap dan perilaku
8Syamsuddin Harris “Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi” (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor, Indonesia 2014), h. 263.
60
para wakil rakyat di DPRD pun cenderung lunak dalam merespons kebijakan-
kebijakan pemerintah daerah provinsi Banten.
2. Strategi Membangun Dinasti Politik Banten
a. Ikatan Keluarga dan Sedarah
Dinasti politik oleh Atut selama ini secara bertahap cukup terjal walau
banyak hambatan yang harus dilalui, oleh Atut sampai saat ini berhasil
membangun dinasti politiknya. Bisa dilihat dari Ratu Atut “menobatkan” kakak
kandungnya sebagai wakil Bupati Serang yakni Ratu Tatu Chasanah. Kakak tiri
Atut sebagai Walikota Serang; Tb Chaerul Jaman, Adik Ipar Atut, Walikota
Tangerang Selatan; Airin Rachmi Diany, dan anak tirinya menjabat sebagai wakil
Bupati Pandeglang; Hervani, dan yang paling mutakhir ialah terpilihnya anak
kandung Atut yakni Andika Hazrumy sebagai Wakil Gubernur Banten
mendampingi Wahidin Halim dan masih banyak lagi keluarga besar Atut yang
memegang kekuasaan di Berbagai daerah Khususnya Banten.
Fenomena seperti ini bukanlah hal yang baru dan tidak terjadi hanya di
Banten saja, melainkan terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hal tersebut selalu
dikatakan oleh para kerabat kekuasaan, bahwa politik yang dikuasai lewat ikatan
persaudaraan mereka pada intinya dipilih secara demokratis, dipilih sesuai dengan
mekanisme hukum dan landasan konstitusional yang berlaku, dan ditakutkan
fenomena ikatan darah dalam berpolitik hanya bermain-main dalam panggung
arena demokrasi.
61
Dalam kitab Mukaddimah Ibnu Khaldun dikatakan bahwa pertalian darah
dalam „ashabiyah memiliki peranan yang sangat mengikat dan saling terhubung
satu sama lain
ب ر نق ا ي ذ ه ػ ة ر ؼ ن اأ ت ه ص ي م ف ال ف ل ا ر ش نب ا ف ئ ؼ ب ط ى ح اانر ت ه ص ا ك ن اذ
ل م ا اوح ر ا
Ibnu Khaldun merujuk kepada kelompok-kelompok kesukuan, dalam
konteks apa „ashabiyah memiliki makna khusus, yakni rasa solidaritas atau kohesi
sosial diantara anggota satu kelompok yang diperoleh dari kesadaran bahwa
mereka berasal dari keturunan yang sama. Gagasan tentang solidaritas kelompok
atau kohesi sosial sebagian diambil dari ikatan-ikatan darah yang ada dalam
organisasi-organisasi kesukuan di berbagai aspek seperti, ekonomi, sosial, politik,
dan pendidkan. Semua suku memiliki solidaritas berdasarkan ikatan darah atau
keluarga.
Mengenai alasan diperlukannya ikatan darah untuk „ashabiyah tersebut,
Ibnu Khaldun mengemukakan dua premis sebagai berikut: Pertama, dalam teori
tentang berdirinya Negara berkenaan dengan realitas kesukuan, kelompok, dan
ikatan darah. Ia berpendapat bahwa orang tidak mungkin mendirikan Negara
tanpa didukung persatuan dan solidaritas yang kuat. Didalamnya terdapat ajakan
untuk senantiasa waspada dan siaga penuh jiwa dan raga untuk mempertahankan
negaranya.
Kedua, bahwa proses mendirikan Negara itu harus melalui perjuangan
yang keras dan berat, dengan mempertaruhkan nyawa sekalipun. Kalau dirinya
62
tidak mampu menundukan lawan, maka dirinya sendiri yang akan kalah. Oleh
sebab itu, dibutuhkan kekuatan yang besar untuk mewujudkannya. Dengann
demikian, terbentuknya „ashabiyah (solidaritas) dengan ikatan darah memang
dibutuhkan.
b. Ikatan di Bidang Agama
Relasi antara agama dan politik itu sangat dinamis, unik, menarik,
sekaligus lucu. Keduanya kadang saling berseteru. Tapi, bisa pula berdampingan
dengan mesra. Agama dan politik merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan
dan saling terhubung satu sama lain. Sejarah gerakan Tarekat Qadiriyah-
Naqsabandiyyah di Banten misalnya, dimana agama telah melakukan fungsi kritis
sebagai medium kritik sosial sebuah masyarakat sekaligus sarana perubahan
politik sebuah tatanan kekuasaan9.
„Ashabiyyah akan mempunyai landasan bilamana perasaan atau jiwa itu
didasarkan pada faktor-faktor keagamaan atau faktor duniawi yang legal, artinya
agama memiliki arti yang penting dalam „ashabiyah.
Agama erat kaitannya untuk kelancaran dan kemajuan bagi „ashabiyah,
karena seorang pemimpin yang tetap taat beragama maka dia akan tetap
melanggengkan „ashabiyah dalam kepemimpinannya. Namun menurut Ibnu
Khaldun pendekatan „ashabiyah terhadap masalah-masalah keagamaan,
9Sumanto Al Qurtubhy, “Agama, Politik, dan Politik Agama”, artikel diakses pada 12
November 2017 dari http://www.dw.com/id/agama-politik-dan-politik-agama/a-19131469
63
„ashabiyah bukanlah pendekatan yang tepat. Karena agama jarang menjadi sentral
pemikiran manusia, hal ini memang sedikit membingunngkan, dengan alasan
pendekatan terhadap kehidupan manusia khususnya, „ashabiyah bukanlah mutlak
dari pendekatan keagamaan10
.
c. Ikatan Kelompok
Ikatan berkelompok dalam politik khususnya dalam partai adalah hal yang
penting sebagai faktor berpolitik untuk mengaktualisasikan hak-haknya sebagai
warga negara. Partai politik tidak bisa lepas dari peran warga negara sebagai
pendukungnya. Melalui partai, seorang waga akan melakukan partisipasi politik,
yang mana hal tersebut mencakup semua kegiatan sukarela seseorang dalam
proses pemilihan pemimpin-pemimpin, pembentukan kebijakan publik, memilih
dalam pemilihan umum, dan duduk dalam legislatif dan sebagainya.
Dalam hal ini Partai Golkar merupakan partai yang paling berpengaruh di
Banten baik dalam hal politik dan kekuasaan. Dinasti politik kembali
memperpanjang track record dinasti di Banten dengan terpilihnya anak Ratu Atut
Chosiyah Andhika Hazrumy sebagai wakil Gubernur Banten. Kondisi ini bisa
dilihat dari bagaimana jaringan keluarga Atut menguasai sejumlah wilayah
Banten untuk memenangkan pasangan Wahidin-Andhika. Andhika merupakan
kader partai Golkar yang sangat berpengaruh di Banten, hampir total berada di
genggaman jaringan Atut. Sejumlah tokoh yang bergerliya dan membantu
10
Khoiruddin, “Analisis Teori „Ashabiyah Ibnu Khaldun Sebagai Model Pemberdayaan
Ekonomi Umat”, h. 3. artikel di akses pada tanggal 20 Oktober 2017 dari www.google.co.id
64
kemenangan pasangan Wahidin-Andhika pada Pilkada lalu, Ketua Dewan
Pimpinan Daerah Golkar Banten yakni Ratu Tatu Chasanah, sementara Partai
Golkar di Tangerang Selatan dipimpin oleh adik ipar Atut, Airin Rachmi Diany
„Ashabiyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa
bermacam-macam; ikatan darah atau kelompok, tempat tingal berdekatan atau
bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang
dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibnu Khaldun, persamaan suatu
kelompok yang membuat mereka berhasil mendirikan dinasti. Sebab menurutnya
bangsa Arab adalah bangsa yang paling tidak mau tumduk satu sama lain, kasar,
angkuh, ambisius, dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. „Ashabiyah yang
ada hanya “ashabiyah kesukuan atau kabilah yang tidak memungkinkan
mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka11
.
Pada dasarnya bentuk persekutuan manusia itu berbeda-beda sesuai
dengan faktor-faktor iklim, geografi, dan ekonomiyang sangat berpengaruh
terhadap tempramen manusia. Kita temukan bahwa penduduk yang tinggal di
kawasan panas, seperti orang-orang Sudan dan Mesir lebih cepat marah, gembira,
dan bingung, berbeda dengan penduduk yang tinggal di iklim yang dingin yang
tampak lebih melankolis dan peka terhadap rasa sedih. Faktor-faktor ekologis ini
dan variasi-variasi temperamental yang dihasilkannya ssangat menentukan bentuk
persekutuan yang dibentuk dan hukum-hukum perkembangannya12
.
11
Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus.
1986), h. 151.
12
Madjid Fachry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, (Jakarta: Mizan, 2001),
h. 126.
65
d. Ikatan Kedaulatan
Semenjak H. Chasan membentuk Banten dengan meramgkul Komando
Daerah Militer VI Siliwangi, dan pada akhirnya mendapat banyak keistimewaan
di Kodam VI Siliwangi serta pemerintah Jawa Barat. Berkat jasa dan usahanya
dalam membantu logistik Chasan menjadi orang yang berpengaruh di Banten dan
mendapat banyak proyek besar pemerintah, hingga akhirnya mendirikan
perusahaan sendiri terutama bergerak dibidang konstruksi. Kamar dagang dan
industri (KADIN) di Banten serta sejumlah organisasi bisnis lainnya dia kuasai
secara bertahap dan sistematis dibantu dengan orang-orang terdekat dan secara
kekeluargaan.
Pasca reformasi, Chasan mendukung Banten lepas dari Jawa Barat,
menjadi Provinsi sendiri. Dia membantu gerakan pemekaran di Banten, setelah
Banten resmi menjadi Provinsi, Chasan mendorong keluarga besarnya, termasuk
Atut, aktif berpolitik. Atut menjadi Wakil Gubernur Banten pertama, Oktober
2000. Lima tahun kemudian Oktober 2005 Atut menggantikan Gubernur Bantun
Joko Munandar yang semula ia damping, sebagai pelaksana tugas Gubernur
Banten menyusul kasus korupsi yang menjerat Joko.
Berkat usaha tersebut H. Chaasan mampu membentuk kedaulatan yang
membuat keluarganya mampu membentuk kedaulatan baik dari segi sosial, politik
maupun ekonomi. Dominasi dan kontrol keluarga Chasan Sohib atas Banten
sebenarnya bukan semata-mata fenomena politik mutakhir. Haji Chasan telah
mengendalikan politik Banten bukan hanya setelah daerah ini menjadi provinsi
sendiri yang terpisah dari Jawa Barat, melainkan juga berlangsung sejak era
66
sistem otoriter Orde Baru. Kendali politik Haji Chasan atas Banten justru
merupakan produk dan warisan Orde Baru yang cenderung memanfaatkan tokoh
dan penguasa lokal seperti ulama dan tokoh adat untuk memenangkan Golkar
dalam pemilu serta melestarikan sistem otoriter.
Faktor-faktor pendukung yang membuat H. Chasan mampu membentuk
kedaulatan meliputi politik partai, birokrasi tata kelola di Banten yang sampai saat
ini cukup memprihatinkan, sumber-sumber ekonomi, menyatukan para ulama dan
jawara.
Berkat bersatunya para ulama dan jawara di Banten H. Chasan bahkan
memiliki organisasi sendiri, seperti Persatuan Pendekar Persilatan Seni dan
Budaya Banten yang di pimpin oleh dirinya sendiri dan Maman Rizal yang
memimpin Tjamande Tari Kolot Kebon Jeruk Hilir.
Faktor kedaulatan yang mendukung hal tersebut disebut dalam buku
muqaddimah Ibnu Khaldun. „Ashabiyah ialah dasar kedaulatan. Ibnu Khaldun
berkata:
ي د ا اأ ي د ق ه ػ غ ت ج ري أ م ك ت ب ان ط ان ت ؼ اف د ان ت ا ح ان ك ات ب ت صب نؼ ا أ
ن إ اع ت ج إ م ىك ف اج ت ح ت ا س ل ا ت ؼ ب انط ب س ىاك ح عاز ى ضؼ ب ػ ى ض ؼ ب ع
Dengan solidaritas sosial suatu kaum dapat manyatukan usaha, keinginan,
dan tujuan yang sama, mampu mempertahankan diri dari ancaman-ancaman
musuh, bahkan mampu mengalahkan lawan jika sudah bersatu. Perlu diketahui
juga bahwa tiap manusia harus memiliki kekuatan, guna dapat mencegah dari hal-
hal yang dapat menghancurkan „ashabiyah.
67
Ketika solidaritas sosial telah bersatu dan secara pemerintahan telah sah
memiliki jabatan, maka kedaulatan yang didasarkan dengan kedaulatan
merupakan tujuannya, mempertahankan diri, dan dapat mencegah musuh dari
ancaman. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya,
maka ia akan mencari solidaritas sosial golongan lain yang tidak ada hubungan
dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang dibawahnya
akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukkan solidaritas sosial yang
lain, keduanya akan bercampur dan secara bersamaan menuntun tujuan yang lebih
tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu Negara sudah tua umurnya dan
para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial yang sudah tidak lagi
mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan
Negara. Bisa juga ketika Negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas sosial
yang lain. Dalam situasi demikian, Negara akan memasukkan para pengikut
solidaritas sosial yang kuat kedalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat
untuk mendukung Negara13
.
13
Ibnu Khaldun, Mukaddimah. Penerjemah Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus.
1986), h. 166-167.
68
BAB V
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis penulis, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Dinasti Politik merupakan gambaran suatu dinasti kerajaan yang di
tenggarai dengan kuatnya ikatan tali persaudaraan atau darah yang
menyebabkan satu sama lain memiliki rasa yang sama, baik dalam urusan
sosial politik maupun ekonomi. Semua tujuan yang ingin di capai suatu
dinasti untuk menaikkan martabat dan keuntungan sebuah keluarga.
2. Terjadinya dinasti politik di Banten karena Kontrol H. Chasan Sochib
dalam pemerintahan di Banten membuat efek di sektor pemerintahan
menguntungkan keluarganya terutama anak perempuannya yakni Ratu
Atut Chasanah yang menjadi Gubernur Banten. Ketika Ratu Atut menjadi
Gubernur, struktur pemerintah di Banten memang semakin banyak yang di
kontrol dan diduduki oleh keluarga besar Ratu Atut.
3. Dinasti Politik yang terjadi di Banten memiliki korelasi atau persamaan
terhadap teori ‘ashabiyyah Ibnu Khaldun. Ikatan darah, kelompok, agama,
dan kedaulatan. Faktor-faktor tersebut dapat menentukkan kemenangan
69
dan keberlangsungan hidup suatu bangsa, dinasti, dan kerajaan. Tanpa
dibarengi solidaritas sosial, maka keberlangsungan dan eksistensi suatu
dinasti akan sulit terwujud, dan sebaliknya dinasti tersebut berada dalam
dampak disintegrasi menuju pada kehancuran.
B. SARAN
Berdasarkan dari kesimpulan tersebut, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Para aktivis yang terdapat di berbagai daerah dan di bantu oleh masyarakat
sekitar, agar lebih bertindak kritis dalam menghadapi fenomena dinasti
politik jika terdapat kesewenang-wenangan dalam memerintah yang dapat
menimbulkan kerugian dan menghilangkan kemakmuran rakyat. Berani
dalam menyampaikan aspirasi dan tidak bungkam ketika di ancam, karena
sejatinya hanya rakyat yang dapat menjatuhkan sistem pemerintahan yang
mulai sewenang-wenang dalam memerintah dan kesenangan untuk diri
sendiri.
2. Bagi para pelaku dinasti politik yang terdapat di berbagai daerah, agar
lebih memaksimalkan kepercayaan rakyat dalam pemerintahan, karena
sesungguhnya ketika rakyat memilih bukan berarti mereka terpaksa, akan
tetapi karena percaya bahwa pemimpin terpilih tersebut mampu mengelola
dan dapat mensejahterakan rakyat. Jangan sampai mengambil kesempatan
yang justru dapat menimbulkan rasa benci dan perpecahan.
70
3. Bagi para instansi pemerintahan agar dapat mencari solusi yang lebih baik
bagi fenomena dinasti, agar Undang-Undang yang berlaku tidak
bertentangan dengan pedoman hukum yang lain.
ANATOMI DINASTI POLITIK BANTEN
CHASAN SOCHIB
Pengusaha
Meninggal 30 Juni 2011
Wasiah Samsudin
Isteri Pertama
Ratu Tatu Chasanah Wakil Bupati Serang 2010-2015
Bupati Serang 2015-sekarang
Hikmat Tomet
Suami Atut/Alm
Ketua DPD Partai Golkar
Anggota DPR Periode 2009-2014
Meninggal 9 November 2013
Andiara DPD Banten 2014-
2019
Andika. H Anggota DPR Banten 2014-2019
Wakil Gubernur Banten 2017-2022
Ade Rossi Khoerunnisa
Isteri Andika Wakil Ketua DPRD Prov Banten
2014-2019
Ratu Atut Chosiyah Gubernur banten 2002-2007
Ketua DPP Golkar Bidang
Pemberdayaan Perempuan
Ratu Rapiah Suhaemi
Isteri Kedua
TB. Chairul Jaman
Adik Tiri Ratu Atut Chosiyah
Wakil Walikota Serang 2011-2016
Airin Rachmi Diany
Isteri TB. Chairul Jaman
Walikota TANGSEL 2011-2015 dan
2015-2020
Aden Abd. Khalik
Suami Ratu Lilis K Anggota DPRD Banten
Ratu Lilis Karyawati
Adik TB. Choirul Jaman
Heriyani
Isteri Kelima
Wakil Bupati Pandeglang
2011-2016
Ratna Komalasari
Isteri Keenam Anggota DPRD Serang
2009-2014
71
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Ali, Fuad dan Ali Wardi. Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1989.
Antonius, Bungaran Simanjuntak. Dampak Otonomi Daerah Di Indonesia:
Merangkai Sejarah Politik Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2013.
Baliby, Osman. Ibnu Khaldun “Tentang Masyarakat dan Negara”. Jakarta:. Tanpa
penerbit, 1965.
Bathoro, Alim, “Perangkap Dinasti Politik Dalam Konsolidasi Demokrasi”. Jakarta:
Tim Pengelola Jurnal Perbatasan Fisip Umrah, 2008).
Dodi, Achmad. Demokrasi Lokal: Evaluasi Pemilukada di Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press. 2012.
Fachry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, Jakarta: Mizan,
2001.
Hollyson MZ, Rahmat & Sri Sundari: PILKADA: Penuh Euforia, Miskin Makna.
Jakarta: Bestari. 2015.
Ikbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa
Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2013.
72
Issawi, Charles, Filsafat Islam Tentang Sejarah: Pilihan Dari Karangan
Muqaddimah Ibn Khaldun Dari Tunis 1332-1406. Jakarta: Tintamas 1976.
Ka’bah, Rifyal, Politik dan Hukum Dalam Al Qur‟an Jakarta: Khairul Bayan. 2005.
Kencana, Inu, Syafi’ie, “Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur‟an” Jakarta: Bumi Aksara:
1995.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah, Penerjemah Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus.
1986.
Riewanto, Agus. Ensiklopedi Pemilu: Analisis Kritis Intropeksi Pemilu 2004 Menuju
Agenda Pemilu 2009. Wonogiri: Lembaga Studi Agama dan Budaya. 2007
Sholahuddin, Asep. “Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Khaldun”.
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011.
Suyadi, “Bentuk dan Karakter Politik Dinasti di Indonesia”. Skripsi S 1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2014.
Syadzali, Munawwir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. UI-
Press: Jakarta 1993.
Syamsuddin, Haris. Partai Pemilu dan Parlemen: Era Reformasi. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. 2014.
B. Sumber Lain
Agustina, Siska. “Latar Belakang Otonomi Daerah di Indonesia”, artikel di akses
pada 17 Januari 2017 dari http://www.academia.edu/4728435
73
Akbar, Zulfikar. 2013. “Fakta-Fakta Seputar Kekayaan Dinasti Atut”. Artikel di
akses pada 13 Februari 2017 dari kompasiana.com/soefi/fakta-fakta-seputar-
kekayaan-dinasti-atut
Al Fadhil, “Menyapu Debu-Debu „Ashabiyah”, artikel diakses pada 20 Oktober 2017
dari https://www.google.cp.id/amp/s/alfadhil.wordpress.com.
Khoiruddin, Skripsi. “Analisis Teori „Ashabiyah Ibnu Khaldun Sebagai Model
Pemberdayaan Ekonomi Umat”, artikel di akses pada tanggal 20 Oktober
2017 dari www.google.co.id
Fauzan, Ivan. 2012. “Buku Ajar III Bangsa, Budaya, dan Lingkungan Hidup di
Indonesia”. Jakarta: Balai Penerbit, tanpa tahun. Artikel diakses pada 17
Desember 2017 dari https://id.scribd.com/mobile/doc/
Halwany, “Peran Kyai dan Jawara di Banten”. Perpustakaan Halwany: 2010.
Artikel di akses pada 20 februari 2017 dari
https://humaspdg.wordpress.com/2010/04/11/peran-jawara-dan-kyai-dibanten/
https://kabarnet.in/2013/10/14/inilah-harta-karun-dan-dinasti-ratu-atut-chosiyah
https://bantenbangkit.com/optimisme-pertumbuhan -ekonomi-banten/
Hidayatillah, Taufiq, “Ibnu Khaldun, Konsep Ashabiyah Dan Teori Siklus
Pemerintahan”, artikel diakses pada 19 Oktober 2017 dari
https://archivehidayatillah.wordpress.com/2012/01/28/ibnu-khaldun-konsep-
ashabiyah-dan-teori-siklus-pemerintahan/
Junita, Nancy. “Tahun 2017 Ekonomi Banten Dipatok Tumbuh 5,2%-5,5%”. Artikel
di akses pada 20 februari 2017 dari m.bisnis.com/Jakarta/read/
74
Maulani, Achmad. “Dinasti Politik dan Banalitas Korupsi” Kompas: 8 Februari
2017.
Muhammad, Rio. 2013. Chasan Sochib: The Banten‟s God father. Artikel di akses
pada 21 januari2107darihttp://m.voaislam.com/news/intelligent
Marzuki, Ahmad. Harapan Masyarakat Banten: “Refornasi Birokrasi Negara
Jawara untuk Mencapai Sebuah Cita-cita”. Artikel diakses pada tanggal 20
Februari 2017 dari http://m.kompasiana.co/ahmadmarzuki
Sumber: Dokumen RPJM Provinsi Banten Tahun 2007-2012. Artikel di akses pada
20 Februari 2017 dari bantenprov.go.id/read/perekonomian-daerah.html.
Supriyanto, Agung. “Ini Jumlah Kekayaan Airin Sekarang”. Artikel di akses pada 16
Februari 2017 dari http://nasional.republika.co.id
Sutisna, Agus, Jurnal. “Gejala Proliferasi Dinasti Politik di Banten Era
Kepemimpinan Gubernur Ratu Atut Chosiyah”, artikel di akses pada 19
Oktober 2017 dari http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI.
Stefanie, Christie dan Anggi Kusumadewi. 2015 “Riwayat Tanah Banten di Bawah
Kaki Dinasti Atut”, artikel diakses pada 20 Januari 2017 dari
http//m.cnnindonesia.com/politik/20150709101059-32-65363/riwayat-tanah-
banten-di-bawah-kaki-dinasti-atut.
Utama, Abraham 2015. MK Anulir Larangan Dinasti Politik di Pilkada, Artikel
diakses pada 20 Januari 2017 dari https://www.cnnindonesia.com/politik
Wirawan, Jerome. 2015 “Keluarga Ratu Atut Berjaya di Banten”. Artikel di akses
pada 17 Januari 2017 dari http://www.bbc.com/indonesia
75
C. Peraturan Perundang-Undangan
Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang Pasal Satu (1)
Undang-Undang Nomor 32 Pasal Satu Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-
Undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu yang
diubah Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011