Download - dermato kel 3
-
8/3/2019 dermato kel 3
1/21
TUGAS KELOMPOK DERMATOLOGI
EPIDERMOLISIS BULOSA (EB)
Oleh :Kelompok III Kelas C
Dosen Pembimbing :
Dr. Andi Hidayat. M. Biomed
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO
JAKARTA
2011
1
-
8/3/2019 dermato kel 3
2/21
Nama Anggota Kelompok :
Haniel Walewangko (2005-11-128)
Ririe Rizki Amalia (2008-11-125)
Ririn Sofia Agustina (2008-11-126)
Rizka Kirana (2008-11-127)
Rizka Anindita (2008-11-128)
Rizky Maulidi (2008-11-129)
Ramadhani Ayumurthi (2008-11-130)
Rosy Olivia (2008-11-131)
Sabrina Fauzan (2008-11-132)
Sheila Destaria M (2008-11-134)
Shindy Mashita (2008-11-135)
Sirtha Noor Suci (2008-11-136)
Siti Athirah Binti Ramle (2008-11-137)
Siti Babay Rohmah (2008-11-138)
Siti Nur Dwiyanti (2008-11-139)
Siti Uliya (2008-11-140)
2
-
8/3/2019 dermato kel 3
3/21
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Prof.DR.Moestopo (Beragama) dapat menyelesaikan tugas makalah Dermatologi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen pembimbing Dermatologi selaku
pengajar mata kuliah Dermatologi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Prof. DR. Moestopo
(Beragama) yang telah membimbing serta mengarahkan kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kemudian Kami ingin mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan sekelompok yang
telah memberikan masukan terhadap materi di dalam makalah ini. Kami berharap makalah ini
dapat memberikan informasi dan manfaat bagi kita semua. Tak ada gading yang tak retak oleh
karena itu kritik dan saran kami harapkan untuk perbaikan makalah kami secara
berkesinambungan.
Jakarta, November 2011
Penyusun
BAB I
3
-
8/3/2019 dermato kel 3
4/21
PENDAHULUAN
Epidermolisis Bulosa (EB) merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan secara
genetis, dapat timbul spontan atau timbul akibat trauma ringan. KOEBNER (1886)
mengemukakan istilah ini untuk pertama kali, sedangkan PEARSON (1962) lebih menganjurkan
istilah mechano bullous sesuai dengan terjadinya bula setelah adanya trauma. Demikian pula
kemudian diketahui bahwa letak bula tidak selalu terletak di epidermis.
EB berbeda dengan kelompok penyakit vesikobulosa kronik yang non herediter,
diantaranya dermatitis herpetiformis Duhring, pemfigoid bulosa, dan pemfigus. Juga berbeda
dengan penyakit dermatosis pustular subkornea, familial benign pemphigus dan herpesgestasiones.
Seperti diketahui pada kulit bayi lebih mudah terjadi bula, sehingga trauma ringan di
jalan lahir sudah cukup menyebabkan timbulnya bula.
Penyakit ini cukup menimbulkan masalah dalam penanggulangannya, terutama segi
perawatan untuk menghindari trauma dan infeksi serta perawatan terhadap komplikasi yang
timbul kemudian.1
BAB II
EPIDERMOLISIS BULOSA
4
-
8/3/2019 dermato kel 3
5/21
II.1 Definisi2
Epidermolisis bulosa (EB) merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan secara
genetik autosom, dapat timbul spontan atau disebabkan oleh trauma ringan.2
Sinonim :Mechanobullous disease. Istilah epidermolisis sebenarnya kurang tepat, oleh karena
mengandung arti lisis lapisan epidermis, yaitu terjadinya kegagalan perlekatan epidermis
dengan dermis, namun dengan mikroskop elektron diketahui lisis pada EB dapat terjadi
intra epidermal.3
Epidermolisis bulosa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :2
1. Intraepidermal
EB simpleks generalisata (Koebner)
EB simpleks lokalisata (Weber-Cockayne)
EB hepertiformis (Dowling-Meara)
EB simpleks (Ogna)
EB simpleks dengan pigmentasi mottled
EB simpleks dengan distrofi otot
2. Junctional (intralamina lucida)
EBJ atrophicans generalisata gravis (Herlitz; EB letalis)
EBJ atrophicans generalisata mitis
EBJ atrophicans lokalisata
EBJ atrophicans inversa
EBJ progressif
EBJ dengan atresia pylorus
Generalized atrophic benign EB (GABEB)
EBJ sikatrisial
3. Dermolitik atau distrofik (sublamina densa)
Bentuk Dominan : Dystrophic EB, hyperplastic variant (Cockayne-Touraine)
Dystrophic EB, albopapuloid variant (Pasini)
Sindrom Bart
Transient Bullous dermolysis of the newborn
Acrokeratotic poikiloderma (Weaty-Kindler)
5
-
8/3/2019 dermato kel 3
6/21
Bentuk resesif :
Generalisata (gravis/mitis)
Localized
Inverse
Bauer dan Eriggaman (1979) membagi EB atas Non-Scarring EB dan Scarring EB.
Berdasarkan modifikasi dari Hurwitz S, EB dapat diklasifikasikan berdasarkan atas hasil
pemeriksaan mikroskop electron seperti tertera dalam tabel 1 berikut ini1,4 :
II.2 Etiologi dan Epidemiologi
Etiologi
Etiologi dan patogenesis terjadinya lisis belum dapat diketahui. Adanya aktifitas
enzim sitolitik atau terjadinya mutasi struktur protein yang sensitif terhadap perubahan
6
-
8/3/2019 dermato kel 3
7/21
suhu sebagai pemicu timbulnya EB simpleks telah dikemukakan, juga diduga oleh karena
berkurangnya jumlah hemidesmosom pada epidermolisis bulosa junctional.3
Para penulis mengemukakan beberapa dugaan, antara lain :1
1. Epidermolisis bulosa simleks diduga terjadi akibat :
a. Pembentukan enzim sitolisis dan terjadi pembentukan protein abnormal yang
sensitive terhadap perubahan suhu panas.
b. Akibat mutasi gen pembentuk keratin pada lapisan epidermis
c. Mutasi gen plektin, yakni protein yang terdapat di membran basal
(hemidesmosom)
2. Epidermolisis bulosa letalis herlitz, beberapa pendapat mengemukakan akibat
a. Kurangnya jumlah hemidesmosom sehingga attachment plaque tidak berfungsi
dengan baik.
b. Membran yang abnormal sel menjadi pecah dan mengeluarkan enzim proteolitik
sehingga menyebabkna terbentuknya celah pada lamina lusida.
3. Sindrom bart mungkin terjadi karena adanya perlekatan kulit fetus dengan amnion
yang disebut pita sinomart.
4. Epidermolisis distrofik, kemungkinan anchoring fibril dan jaringan kolagen
mempunyai peranan yang penting. Pada epidermolisis bulosa distrofik resesif terjadi
peningkatan aktivitas kolagenase, sedangkan pada yang dominan umumnya tidak terjadi
peningkatan kolagenase.
Epidemiologi
Prevalensi EB diperkirakan mencapai 1:50.000 kelahiran, sedangkan bentuk EB yang
berat diduga 1:500.000 populasi per tahun. Insiden epidermolisis bulosa simpleks (EBS)
timbul dalam 1:500.000 kelahiran hidup. Rook memperkirakan insiden EEB yang
autosomal resesif adalah 1 dalam 300.000 kelahiran hidup sedangkan EB bentuk autosomal
dominan 1 dalam 50.000 kelahiran hidup. Kasus EB di Norwegia adalah 54 dalam 1 juta
kelahiran hidup, di jepang 7,8 kasus tiap 1 juta kelahiran hidup dan Kroasia 9,6 kasus tiap
1 juta kelahiran hidup.
7
-
8/3/2019 dermato kel 3
8/21
II.3 Gejala Singkat Penyakit dan Pemeriksaan Kulit (Lokalisasi dan
Efloresensi)
Diagnosis EB secara klinis ditegakan terutama dilihat melalui lokasi bula, terbentuk,
yaitu tempat yang mudah mengalami trauma.1
1. Epidermolisis Bulosa Simpleks
Pada EBS, bula yang terbentuk terjadi di tempat trauma dan terletak intraepidermal.
Penyakit ini diturunkan secara autosomal dominan. Umumnya timbul vesikel, bula, dan
milia di sendi tangan, siku, lutut, dan kaki (daerah predileksi terkena trauma).
Berdasarkan kesepakatan Badan Registrasi Epidermolisis Bulosa Nasional Amerika
terdapat 9 tipe EBS, beberapa diantaranya yang sering dijumpai tercantum di table 1 di
atas.
a. EBS lokalisata (Weber-Cockayne)
Disebut juga recurrent bullous eruption of the hand and feet. Dapat terjadi pada anak-
anak dan dewasa. Gambaran klinik EBS lokalisata berupa bula berdinding tebal dan
sembuh tanpa pembentukkan jaringan parut. Bula terbentuk di stratum spinosum
telapak tangan dan kaki, sedangkan kuku jarang terkena. Untuk mukosa dan gigi tidak
terkena. Pembentukkannya memerlukan tekanan atau gesekan yang kuat (ambang
rangsang tinggi). Mekanisme bula berhubungan dengan pembentukan enzim sitolitik
dan berkaitan dengan diskeratosis.
8
-
8/3/2019 dermato kel 3
9/21
b. EBS generalisata (Koebner)
Umumnya terjadi pada tahun pertama setelah lahir, akibat trauma melewati jalan
lahir. Pada perubahan suhu (musim panas), bula dapat timbul dan disertai
hiperhidrosis Palmaris dan plantaris. Tempat predileksi pada bayi adalah occiput,
punggung, dan kaki. Kuku dapat terkena (20%) yang mengakibatkan kuku terlepas,
tetapi umumnya dapat tumbuh kembali tanpa distrofik. Sedangkan pada anak-anak
umumnya terjadi pada tempat-tempat terkena gesekan pakaian. Setelah usia 3 tahun,
bula lebih terbatas ditangan dan kaki sering disertai hiperhidross dn hyperkeratosis.
c. EBS herpetiformis (Dowling Meara)
Gambaran klinis ditandai adanya bula bergerombol, terjadi pada saat lahir atau
beberapa saat setelah lahir, dapat disertai keratoderma plamoplantar dan peradangan
serta pembentukan milia sementara. Terkadang timbul bula hemorrhagic di tangan
dan kaki. Meskipun mukosa mulut dan kuku dapat tumbuh kembali, kadang disertai
distrofi. Saat neonatal, dapat menyerupai bentuk distrofik berat atau bentuk
junctional, karena bula yang luas diseluruh badan dan dapat mengancam kehidupan.Setelah usia 6-7 tahun di palmoplantar berkembang menjadi hyperkeratosis.
9
-
8/3/2019 dermato kel 3
10/21
d. EBS Ogna
Terjadi pada bayi, ditandai bula serosa atau hemorrhagik ditangan dan kaki atau
dimana saja, sembuh tanpa meninggalkan bekas. Pada EBS ogna onkogrifosis pada
ibu jari kaki, kecenderungan mengalami hematom dan secara genetic berkaitan
dengan lokus erythrocyte glutamic pyruvic transaminase (GPT).
e. EBS dengan pigmentasi mottled
Satu keluarga di Swedia dengan sifat gen autosomal dominan pernah dilaporkan
menderita EBS, dimana anggota keluarga yang lahir menderita macula hiper dan
hipopigmentasi yang berkurang perlahan. Penelitian secara ultrastruktural
menunjukan adanya vakuolisasi di lapisan sel basal.2
f. EBS dengan distrofik otot.
Bentuk EBS ini berkaitan dengan penyakit neuromuscular onset lambat, diturunkan
secara autosomal resesif. Disebabkan oleh mutasi dari gen plektin, dimana
penderitanya tidak mempunyai plektin di dalam kulit dan otot. Distrofi oto progresif
dapat terjadi saat anak-anak atau kemudian hari.2
10
-
8/3/2019 dermato kel 3
11/21
2. EB tipejunctional
EBjunctionalmerupakan tipe EB dimana pembentukan bula terjadi lamina lusida di taut
dermoepidermal, tipe EB yang paling berat serta mengancam kehidupan. Diturunkan
secara resesif autosom. Pemeriksaan dengan immunoperoksidase memeperlihatkan bula
diatas kolagen tipe IV.1
a. Herlitz
Merupakan bentuk paling berat diantara tipe junctional, ditandai dengan bula-bula
besar, terutama di bokong, badan dan kepala tanpa meninggalkan sikatriks dan milia,
kecuali bila diikuti infeksi sekunder. Hampir 50% pasien meninggal dunia sebelum
usia 2 tahun. Namun sebagian dapat hidup sampai dewasa. Tangan dan kaki tidak
terkena, mukosa dapat terkena dan menyebabkan atresia pilorik. Perioral dapat
terbentuk bula, sedangkan bibir tidak terkena, pita suara laring dapat terkena
kemudian. Kuku dapat terkena serta terlepas dan disertai paronikia. Tanda khas :
adanya dysplasia gigi serta permukaannya berbenjol-benjol (cobblestone
appearance). EB herlitz dapat menyebabkan retardasi mental dan anemia.1
11
-
8/3/2019 dermato kel 3
12/21
B. EBJunction non-letal (Mittis, non-Herlitz)
Dimulai dengan pembentukan bula serosa atau hemorrhagic saat lahir dan
meninggalkan kulit yang rapuh, tanpa meninggalkan sikatriks dan milia. Umumnya
dapat terjadi alopesia, distrofik kuku, hyperkeratosis palmplantar. Mukosa dapat
diserang tetapi tidak sampai meyebabkan striktur. Pada tipe ini tidak terjadi retardasi
mental dan anemia. EB non letal dapat sembuh dengan bertambahnya umur.1
C. EBJunctionaltipe inversa
Terjadi pada saat lahir atau masa neonatal, secara klinis mirip dengan pioderma
generalisata, kemudian pembentukan bula lebih banyak di aksila, lehel, inguinal dan
perianal (inversa).1
3. EB Distrofik
EB distrofik diklasifikasikan berdasarkan penurunan genetic, yaitu bentuk dominan dan
resesif. Biasanya bentuk resesif merupakan bentuk yang lebih berat. Pada EBD terjadi
dermiolisis sehingga nama epidermolisis bulosa menjadi kurang tepat.1
a. EBD Dominan
12
-
8/3/2019 dermato kel 3
13/21
Penyakit ini diturunkan secara autosomal dominan. Terjadi pada saat lahir atau
segera setelah lahir, pada 20% kasus terjadi sebelum usia 1 tahun. Secara klinis
terlihat bula, terutama di bagian dorsal ekstremitas dan meninggalkan bekas
sikatriks, pembentukan milia, distrofi atau hilangnya kuku. Bula timbul terbatas
pada ekstremitas, jarang menyebar. Terjadinya lesi di badan yang mirip sikatriks,
dengan warna seperti daging (albupapuloid), timbul spontan tanpa didahului
trauma, merupakan varian dari EBDD.5
b. EBD Resesif
Diturunkan secara autosomal resesif dan bervariasi dari ringan sampai berat, dan
mengenai mukosa. EBDR terbagi atas bentuk ringan lokalisasa (Mitis), berat
(gravis, Hallopeau-Siemens), dan bentuk varian inversa. Tipe resesif generalisata,
mukosa esophagus dapat terkena yang menyebabkan terjadinya striktura.
Terkenanya konjungtiva dan kornea menyebabkan terjadinya gangguan
penglihatan. Rambut dapat mengalami sikatrisial alopecia. Lesi pada kuku dan
jari dapat terjadi diikuti pembentukan jaringan parut, sehingga jari-jari dapat
menjadi satu (digital fusion). Sendi lutut, siku dan pergelangan tangan dapatmengalami kontraktur.5
13
-
8/3/2019 dermato kel 3
14/21
c. Sindrom yang berkaitan dengan EB distrofik:
- Sindrom Bart
Bula terbentuk di bagian dermal memberan basal, menyebabkan erosi di
ekskremitas, intertrigonosa, leher dan bokong, sembuh spontan dan meninggalkan
bekas hipopigmentasi.1
- Epidermolisis bulosa akuista
Bula terbentuk di sub epidermis di bawah membrane basal, mengenai telinga,
siku, tangan, lutut, mukosa, dan kuku yang mengalami distrofik. EBA dapat
timbul pada usia apapun, tapi biasanya di jumpai pada masa dewasa.1
14
-
8/3/2019 dermato kel 3
15/21
- Sindrom Kindler
Mirip dengan poikiloderma progresif, mengenai wajah dan leher disertai
fotosensitifitas. Terjadi pembentukan bula congenital di akral, atrifi yang luas,
sindaktili, hioerkeratosis, dan palmoplantar.1
- Dermatosis bulosa yang transien
Mungkin terjadi akibat reaksi autoimun saat ibu hamil atau saat neonatus. Bula
terbentuk spontan dan sembuh spontan berhubungan dengan kolagen tipe VII.
II.4 Pemeriksaan Pembantu/Laboratorik1
Pada EB tipe tertentu dapat dilakukaan pemeriksaan :
1. Pemeriksaan histopatologik dengan mikroskop elektron merupakan baku emas untuk
kepastian diagnosis, seperti pada EBS generalisata (Koebner) dan EB junctional (tipe
Herlitz). Pada EBS generalisata tampak celah di supra basal. Pada tipe herlitz tampak
bula di lamina lusida disertai berkurangnya jumlah dan berubahnya struktur
epidesmosom.
2. Pemeriksaan imunofluoresens dengan pewarnaan antibodi monoklonal terhadap molekul
taut dermoepidermal dapat memastikan tipe EBS.
II.5 Differensial Diagnosa
Epidermolisis bulosa mirip dengan beberapa penyakit, diantaranya :
1. Impetigo neonatarum1
Merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonatus. Kelainan kulit berupa
bula hipopin tetapi lokasinya menyeluruh dan dapat disertai demam.
2. Pemfigoid bulosa
Penderita biasanya usia lanjut (>60 tahun). keadaan umum baik, atau juga sakit ringan.
Sering disertai rasa gatal, kelainan kulit terutama bula yang bercampur dengan vesikel,
berdinding tegang, terkadang hemoragik, dengan daerah sekitar kemerahan.
15
-
8/3/2019 dermato kel 3
16/21
Lokasi : bagian fleksor seperti ketiak dan lipat paha, mulut.
Efloresensi : bula numular sampai plakat, berisi cairan jernih dengan dinding tegang yang
terkadang hemoragik. Jika bula pecah terlihat daerah erosif numuler hingga plakat,
bentuk tidak teratur.3
3. Pemfigus foliaseus
Merupakan penyakit kronik dan remesinya temporer. Penyakit dimulai dengan vesikel
atau bula berukuran kecil, berdinding kendur yang kemudian pecah menjadi erosi dan
eksudatif. Khas : eritema menyeluruh yang disertai banyak skuama kasar, dengan bula
kendur hanya sedikit. Penderita mengeluh gatal dan badan menjadi berbau busuk.
Lokasi : kulit kepala, wajah, dada, dan daerah seboroik bersifat simetris.
Efloresensi : eritema menyeluruh di sekitar skuama kasar, vesikel atau bula lentikular
berdinding kendur hanya sedikit, dengan daerah erosif genreralisata.3
4. Dermatitis herpetiformis
Biasanya menyerang penderita usia muda (20-40 tahun). keluhan gatal dan rasa terbakar
merupakan awal penyakit diikuti timbulnya lesi kulit berupa macula atau papula eritem
dan keadaan berupa urtika.
Lokasi : tempat predileksi yang khas adalah kedua siku, lutut, daerah sakral, lengan
bagian ekstensor, dapat juga terkena pada daerah kepala, wajah, badan, dan lipat aksila.
menge Dapat juga mengenai laring dan selaput lendir yang akan mengalami atrofi,
sehingga didapatkan gejala enteritis berupa diare dan malabsorbsi pada 20% penderita.4
Efloresensi : diatas makula atau papul timbul vesikel yang mula-mula kecil berdinding
tegang dan tak mudah pecah, berisi cairan jernih pada mulanya dan jarang terjadi bula
besar.3
II.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Umum
16
-
8/3/2019 dermato kel 3
17/21
a. Perawatan Kulit
Berikan penjelasan dan edukasi pada keluarga, orangtua pasien, atau perawat. Sedapat-
dapatnya menghindari trauma dan mengurangi gesekan. Dalam memilih pakaian dan
mainan pilih yang ringan dan lembut. Hindari pengunaan plester, untuk jari dapat
digunakan tubular bandage sehingga mengcegah terjadinya fusi jari-jari. Bula dirawat
dengan cara menusuknya dengan jarum steril dan membiarkan atap bula sebagai
pelindung.
Pada anak-anak sebaiknya dipilih jenis sepatu kulit yang lunak, hindari sepatu yang
sempit dan upayakan ruang sepatu yang cukup untuk bergerak tanpa menimbulkan lecet.
Kaos kaki dari bahan katun yang dapat menyerap keringat, pengunaan kaos kaki
membantu menghindari trauma akibat gesekan.
Suhu lingkungan diusahakan agar cukup dingin karena bula mudah terjadi pada suhu
panas. Bila memungkinkan tempat tidur yang lunak (matras air) dan seprai yang halus
agar terhindar dari gesekan. Perawatan jari tangan harus dilakukan secara hati-hati,
upayakan mencegah terjadinya fusi dan kontraktur dengan mengatur posisi jari dan
sendi.1
b. Makanan
Sebaiknya diberikan makanan tinggi kalori tinggi protein dalam bentuk yang lembut atau
cair serta mudah ditelan, terutama bila terdapat luka di mukosa mulut. Pada bayi
penggunaan dot (bottle fed) dapat menimbulkan gelembung dan luka di mulut, untuk
mencegah trauma sebaiknya bayi disuapi dengan memakai sendok. Pemberian makanan
dapat sedikit demi sedikit, frekuensi makanan dapat lebih dari 3x pemberian, mengingat
gesekan waktu makan menyebabkan rasa nyeri sehingga hanya sedikit yang tertelan. Pada
bayi baru lahir dengan EB berat atau letalis, pemberian makanan melalui nasogastric
feeding atau intravena bergantung pada kondisi. Perlu dipertimbangkan setiap tindakan
tersebut dapat merupakan trauma.1
17
-
8/3/2019 dermato kel 3
18/21
Pentalaksanaan khusus
- Sistemik
Pemberian kortikosteroid bermanfaat pada kasus yang berat dan fatal untuk mencegah
mutilasi, distrofik, serta life saving. MOYNAHAN melaporkan pemberian dosis awal
tinggi (140-160 mg prednisone/hari) untuk menyelamatkan kehidupan neonates,
pengobatan dengan pengamatan yang ketat, dosis diturunkan segera untuk mencegah
terjadinya sepsis. Vitamin E dapat menghambat aktivitas kolagenase atau merangsang
produksi enzim lain yang dapat merusak kolagenase. dosis efektif 600-2000 iu/hari.
Pengobatan lain adalah difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kg BB/hari, dosis maksimal 300
mg/hari. Obat ini juga menghambat aktifitas kolagenase. Apabila diperlukan antibiotic
sistemik dapat diberikan (antibiotic tidak diberikan secara rutim).
- Lokal
Sebagai pengobatan topical dapat digunakan kortikosteroid potensi sedang dan antibiotic
bila terdapat infeksi sekunder dan untuk mencegah perlengketan krusta dengan sprei dan
pakaian. Glutaraldehyd 5% 3x/hari dapat membantu mengurangi gesekan pada tangan
dan kaki.
II.7 Prognosis
Epidermolisis bulosa simpleks mempunyai prognosis baik, karena EBS dapat
berlangsung terus sepanjang hidup tapi biasanya sesudah 3 tahun hanya tangan dan kaki
yang terkena, akan ada perbaikan pada masa remaja dan akan sembuh tanpa pembentukan
jaringan ikat, namun pada bentuk EBS herpetiformis yang menyerang neonatal mempunyai
prognosis buruk yang dapat mengancam kehidupan, karena bula yang luas di seluruh
badan.
Pada EB tipe junctional, prognosis yang dijumpai umumnya buruk, karena sebagian
besar pasien meninggal sebelum usia 2 tahun (tipe herlitz). Tipe herlitz juga dapat
18
-
8/3/2019 dermato kel 3
19/21
menyebabkan retardasi mental dan anemia, sedangkan untuk tipe EB non letal dapat
sembuh dengan bertambahnya umur.
Pada EB distrofik prognosisnya sulit ditentukan, karena gejala klinisnya lebih berat dari
EB simpleks tetapi lebih ringan dari EB junctional, tetapi khusus pada EB distrofik resesif
kematian dapat terjadi saat neonatus atau anak sudah disertai komplikasi.
KESIMPULAN
EB merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan secara genetic autosom,
dapat timbul spontan atau timbul akibat trauma ringan. Diagnosis EB ditegakkan
19
-
8/3/2019 dermato kel 3
20/21
berdasarkan anamnesis terjadinya penyakit dalam keluarga, resesif autosom dan dominan
autosom, serta gejala dan tanda klinis.
Dalam mendiagnosis EB secara klinis, lokalisasi bula yang terbentuk yaitu
ditempat yang meudah mengalami trauma. Walaupun trauma ringan, seperti trauma di
jalan lahir. Bula yang terbentuk biasanya jernih, kadang-kadang hemoragik, dan pada
penyembuhan perlu diperhatikan apakah meninggalkan bekas jaringan parut. Sedangkan
dari pemeriksaan penunjang, pemeriksaan histopatologik dengan mikroskop electron
merupakan baku emas untuk kepastian diagnosis.
EBS mempunyai prognosa lebib baik dibandingkan kedua EB lainnya karena
dapat sembuh tanpa meninggalkan bekas. EBJ prognosisnya sangat buruk, dan EB
distrofik berada di antara keduanya.
Penatalaksanaan EB terdiri dari umum dan khusus. Pentalaksanaan umum yang
diberikan yaitu menghindari trauma mekanik pada kulit yang dapat menimbulkan
kekambuhan seperti : memakai pakaian dan mainan yang ringan dan lembut, selain itu
juga menghindari penggunaan plester, untuk jari-jari dapat digunakan tubular bandage
sehingga mencegah terjadinya fusi-fusi jari. Suhu lingkungan diusahakan cukup dingin
karena bula mudah terjadi pada suhu panas. Bagian yang mengalami erosi diolesi krim
atau salep antibiotic. Perawatan jari tangan harus dilakukan secara hati-hati dan upayakan
mencegah terjadinya fusi dan kontraktur dengan mengatur posisi jari dan sendi. Makanan
yang diberikan adalah makanan yang tinggi kalori tinggi protein dalam bentuk lembut
atau cair serta mudah ditelan, terutama bila terdapat luka di mukosa mulut.
Pentalaksanaan khusus yaitu dengan pemberian kortikosteroid sistemik
bermanfaat pada kasus berat dan fatal untukl mencegah mutilasi atau distrofik serta life
saving. Vitamin E dan difenihidantoin dapat menghambat aktifitas kolagenase dan
merangsang produksi enzim lain yang dapat merusak kolagenase.
DAFTAR PUSTAKA
20
-
8/3/2019 dermato kel 3
21/21
1. Aisah S. Epidermolisis Bulosa pada Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : FKUI.
1987. 129,177-181.
2. Odom RB. James WD. Berger TG. Andrews Diseases of the skin clinical dermatology.
8th edition. 1990. Wb.Saunders company.
3. Siregar RS. Epidermolisis Bulosa dalam atlas bewarna saripati penyakit kulit.
Jakarta:EGC . 2005. 200-1
4. Tjipta GD. Nasution A. Cermin Dunia Kedokteran. Epidermolisis Bulosa. Laporan Kasus
2001. http://www.kalbe.co.id
5. Kariosentono H. Epidermolisis Bulosa dalam ilmu penyakit Kulit. Hipokrates. 2000. 141-
4
21
http://www.kalbe.co.id/http://www.kalbe.co.id/http://www.kalbe.co.id/