Download - daging
-
3
TINJAUAN PUSTAKA
Daging Sapi
Daging sapi adalah urat daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat
daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi yang sehat
sewaktu dipotong (Standar Nasional Indonesia, 1995). Demikian halnya dengan
Soeparno (2005) yang mendefinisikan daging sebagai semua jaringan hewan dan
semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk
dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsi
atau memakannya. Organ-organ seperti hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa,
pankreas, dan jaringan otot lainnya termasuk dalam definisi daging. Lawrie (2003)
menyatakan bahwa komposisi daging terdiri atas 75% air, 19% protein, 3,5%
substansi nonprotein yang larut, dan 2,5% lemak. Substansi nonprotein yang larut
terdiri dari karbohidrat, vitamin dan mineral dalam daging. Protein memiliki fungsi
untuk memperbaiki dan membantu pertumbuhan struktur jaringan dan jaringan aktif
yang ada didalam tubuh.
Dendeng
Dendeng adalah produk tradisional dari Indonesia dan dari negara-negara
seluruh Asia Tenggara. Dendeng dapat dibuat dari daging sapi, ayam, babi atau
kambing, tetapi yang paling banyak dijumpai di pasar-pasar di Indonesia adalah
dendeng sapi (Buckle et al., 1985). Definisi dendeng sapi menurut Standar Nasional
Indonesia 01-2908-1992 adalah produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat
dari irisan atau gilingan daging sapi segar yang berasal dari sapi sehat yang telah
diberi bumbu dan dikeringkan. Dendeng sapi dapat disajikan dalam dua bentuk yaitu
dendeng sapi irisan dan dendeng sapi giling. Dendeng merupakan salah satu produk
daging kering yang memiliki masa simpan lebih dari 6 bulan dengan kadar air kira-
kira 15% sampai 20% dan pH 4,5-5,1. Warna dendeng yang coklat kehitaman
disebabkan oleh reaksi pencoklatan selama proses pemanasan. Reaksi tersebut dapat
menimbulkan rasa atau flavor yang pahit (Soeparno, 2005). Tabel 1 merupakan
persyaratan mutu dendeng berdasarkan Standar Nasional Indonesia.
-
4
Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng
No. Jenis Uji Persyaratan
Mutu I Mutu II
1 Warna dan bau Khas dendeng sapi Khas dendeng sapi
2 Kadar air (bobot-/bobot) Maks 12 % Maks 12 %
3 Kadar protein (bobot/bobot kering)
Min 30 % Min 25 %
4 Abu tak larut dalam asam (bobot/bobot kering)
Maks 1 % Maks 1 %
5 Benda asing (bobot-bobot kering)
Maks 1 % Maks 1 %
6 Kapang dan serangga Tidak nampak Tidak Nampak Sumber : Dewan Standardisasi Nasional (1992)
Batas cemaran mikroba pada produk dendeng disebutkan dalam Standar
Nasional Indonesia (2009). Tabel dibawah ini (Tabel 2) menunjukkan beberapa jenis
cemaran mikroba pada produk dendeng, serta batas maksimum dari batas cemaran
mikroba tersebut.
Tabel 2. Batas Cemaran Mikroba pada Produk Dendeng
Nama Produk Jenis Cemaran Mikroba Batas Maksimum
Dendeng sapi ALT (30oC, 72 jam) 1x105 koloni/g
APM Escherichia coli < 3/g
Salmonella sp. Negatif/25 g
Staphylococcus aureus 1x102 koloni/g
Bacillus cereus 1x103 koloni/g Sumber : Dewan Standardisasi Nasional (2009)
Dendeng merupakan produk daging olahan khas Indonesia yang tergolong
dalam bahan pangan semi basah yang mengandung gula merah, garam dan bumbu
rempah-rempah. Dendeng dapat dibuat dari bentuk sayatan tipis (dendeng sayat) atau
daging giling (dendeng giling). Dendeng memiliki rasa yang manis yang dikarenakan
karena kandungan gulanya yang tinggi dan bersamaan dengan flavor yang kuat yang
berasal dari bumbu rempah-rempah memberikan karakteristik aroma yang berbeda
-
5
dengan produk lainnya. Komposisi nutrisi dalam dendeng, kadar air 26%; protein
35%; lemak 10%; garam 8% dan gula 35% (Huang dan Nip, 2001).
Produk daging semi basah memiliki kandungan kadar air sebesar 15% sampai
50%, dan daging yang dikeringkan mengandung kadar air yang lebih rendah. Nilai
aktivitas air (aw) berkisar 0,60-0,92. Produk dendeng lebih tahan lama tanpa
pendinginan atau dengan proses pemanasan, dan beberapa dapat langsung
dikonsumsi tanpa harus dimasak terlebih dahulu. Produk daging kering ini biasanya
lebih resisten terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh bakteri karena rendahnya
aktivitas air (aw) dan kandungan garam yang cukup tinggi (Huang dan Nip, 2001).
Curing Daging
Secara umum curing didefinisikan sebagai penambahan garam pada
pengolahan daging dengan tujuan untuk pengawetan (Bard dan Townsend, 1971;
Mike Martin, 2001). Soeparno (2005) menyatakan bahwa curing adalah suatu proses
pengolahan daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Na-
nitrit atau Na-nitrat dan gula (dekstrosa atau sukrosa atau pati hodrolisis), serta
dengan penambahan bumbu-bumbu. Tujuan dilakukan curing adalah untuk
mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur, dan kelezatan yang baik dan juga
mengurangi pengerutan daging selama pengolahan serta memperpanjang masa
simpan produk (Soeparno, 2005). Curing pada masa dahulu dilakukan untuk
mengawetkan daging dan ikan dari jamur dan mikroba (Honikel, 2008). Harris dan
Karmas (1989) menyatakan bahwa curing yang dilakukan dengan berbagai metode
bergantung pada jenis bahan baku, perlengkapan yang ada dan adat istiadat. Cara
pemasukan bahan curing ke dalam daging terdiri atas 5 metode yang berbeda : (1)
curing kering atau penggosokan kering, (2) perendaman atau curing basah atau
curing larutan garam, (3) pemompaan arteri, (4) penyuntikan jarum atau pemompaan
jahit, (5) modifikasi dan gabungan dari keempat metode di atas.
Curing kering dilakukan dengan cara mencampurkan garam, gula, bumbu-
bumbu dan natrium nitrit pada daging. Pencampuran dilakukan dengan cara
meratakan agen curing ke seluruh permukaan daging (Pegg dan Sahidi, 2006). Proses
curing kering terdiri dari beberapa tahapan yaitu : (1) tahap penggaraman, penetrasi
garam ke dalam produk dengan cara larut melalui kandungan air yang terdapat dalam
daging, (2) tahap pasca penggaraman adalah tahap pendifusian garam ke seluruh
-
6
bagian daging, (3) tahap pengeringan terjadi kehilangan air dan pembentukan
berbagai macam reaksi biokimia yang mempengaruhi perkembangan warna, tekstur
dan flavor daging (Toldra, 2004). Kerugian dari curing kering adalah penetrasi
garam yang lambat ke dalam jaringan otot dan pada potongan daging yang tipis akan
mengakibatkan pertumbuhan jamur pada permukaan daging sebelum proses
preservasi pada seluruh daging selesai (Pegg dan Sahidi, 2006).
Curing basah dilakukan dengan cara merendam daging ke dalam larutan
curing (Martin, 2001). Larutan curing terdiri atas garam, agen curing dan bumbu-
bumbu yang dilarutkan dalam air (Pegg, 2004). Penetrasi garam ke dalam jaringan
otot pada curing basah lebih cepat dibandingan dengan curing kering. Pertumbuhan
mikroba dan jamur dapat terjadi selama perendaman pada curing basah meskipun
daging disimpan dalam suhu dingin dan terdapat kandungan garam dalam larutan
curing. Hal ini terjadi karena adanya kandungan air yang tinggi selama perendaman
daging dalam larutan curing (Pegg dan Sahidi, 2006).
Bahan Curing
Proses curing memerlukan beberapa bahan-bahan yang harus dicampurkan
untuk meng-curing daging. Bahan-bahan dasar yang umumnya digunakan dalam
proses curing adalah garam, gula, dan garam nitrat atau nitrit.
Garam
Garam merupakan bahan paling dasar yang digunakan dalam proses curing.
Garam memberikan flavor utama dan sangat penting dalam pelarutan protein otot,
dan penambahan garam juga mempengaruhi dan meningkatkan karakteristik tekstur
daging (Martin, 2001). Garam dalam proses curing memiliki beberapa fungsi
diantaranya adalah sebagai pengawet, penghambat pertumbuhan mikroba, penambah
aroma dan cita rasa atau flavor. Garam dapat meningkatkan tekanan osmotik pada
daging sehingga akan menurunkan aktivitas air dalam daging. Konsentrasi garam
sekitar 2% dapat menghambat pertumbuhan sejumlah bakteri. Penetrasi larutan
garam dalam curing dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : (1)
konsentrasi garam dalam larutan dan lamanya waktu berkontak dengan daging, (2)
struktur mikrokopis otot, (3) suhu (Soeparno, 2005). Garam pada konsentrasi yang
rendah memberikan sumbangan pada citarasa, namun pada konsentrasi yang lebih
tinggi dapat menunjukkan kerja bakteriostatik (Harris dan Karmas, 1989).
-
7
Kandungan metal dalam garam seperti tembaga (copper), besi (iron), dan krom
mempercepat oksidasi lemak dan menimbulkan bau tengik (rancidity) pada daging
curing (Martin, 2001).
Nitrit dan Nitrat
Natrium nitrat umum ditambahkan dalam formula curing. Karakteristik dari
natrium nitrat adalah kristal berwarna kuning pucat dan sangat mudah larut di dalam
air. Ion nitrit merupakan ion yang sangat reaktif dan dapat memiliki peran sebagai
agen pereduksi dan agen pengoksidasi (Martin, 2001). Penambahan nitrit dan nitrat
atau yang sering disebut dengan sendawa pada daging curing memiliki tujuan
sebagai berikut (1) untuk mengembangkan warna daging menjadi merah muda terang
(2) mempercepat proses curing (3) preservatif mikrobial yang mempunyai pengaruh
bakteriostatik (4) sebagai agensia yang mampu mempengaruhi memperbaiki flavor
dan antioksidan (Soeparno, 2005). Menurut Martin (2001), fungsi utama
penambahan nitrit adalah untuk menstabilkan warna daging curing, selain itu juga
berfungsi sebagai bahan antibakterial, dan dapat memperlambat ketengikan oksidatif.
Reaksi yang terjadi selama proses curing adalah interaksi antara senyawa
nitrit dengan mioglobin yang membentuk nitrosomioglobin (NOMb) dan
metmioglobin (MetMb) (Chasco et al., 1996). Metmioglobin adalah senyawa yang
terbentuk karena adanya ikatan antara mioglobin dengan ion Fe3+. Metmioglobin
yang terbentuk memiliki warna merah coklat (Honikel, 2008). Metmioglobin akan
tereduksi membentuk senyawa nitrosomioglobin (NOMb) selama proses pemanasan
(Chasco et al., 1996). Nitrosomioglobin (NOMb) atau NO-mioglobin merupakan
senyawa yang berperan dalam pembentukan warna merah cerah pada daging curing
(Honikel, 2008).
Nitrit dapat bereaksi dengan amin-amin sekunder dan tersier yang terkandung
dalam daging menghasilkan senyawa nitrosamin yang bersifat karsinogenik bagi
tubuh (Lawrie, 2003). Kadar nitrit yang diizinkan pada produk akhir daging curing
adalah 200 ppm, dan jumlah kadar nitrat maksimum yang diizinkan adalah 500 ppm.
Jumlah maksimum nitrit yang ditambahkan dalam proses curing daging adalah 239,7
g/100 l larutan garam, 62,8 g/100 kg daging untuk daging curing kering atau 15,7
g/100 kg daging cacahan (Soeparno, 2005).
-
8
Gula
Fungsi utama gula pada proses curing adalah untuk memodifikasi rasa dan
menurunkan kadar air yang sangat diperlukan bagi mikroba untuk tumbuh dan
berkembang. Konsentrasi gula yang tinggi pada saat curing berfungsi sebagai bahan
pengawet (Soeparno, 2003; Martin, 2001). Pemanis yang sering digunakan adalah
jenis sukrosa dan glukosa. Fungsi utamanya adalah untuk peningkat cita rasa dan
menurunkan kekerasan garam (Bard dan Townsend, 1971). Martin (2001) juga
menyebutkan bahwa fungsi gula adalah menetralkan kekerasan garam dan
memberikan peningkatan flavor.
Penyedap dan Bumbu
Bahan penyedap dan bumbu memiliki pengaruh mengawetkan terhadap
produk daging proses karena mengandung lemak (minyak esensial, substansi yang
bersifat bakteriostatik). Beberapa bumbu juga memiliki sifat antioksidan, sehingga
mampu menghambat ketengikan. Penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama
ditujukan untuk meningkatkan flavor. Karena bahan penyedap dapat meningkatkan
dan memodifikasi flavor, maka formulasi bahan penyedap dan bumbu yang berbeda
akan menghasilkan produk daging dengan flavor yang juga berbeda (Soeparno,
2005).
Bawang Putih
Bawang putih memiliki nama latin Allium sativum. Bawang putih banyak
digunakan sebagai bumbu, pangan fungsional dan obat tradisional (Ichikawa et al.,
2006). Bawang putih memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan
mikroba. Senyawa allisin yang terkandung dalam bawang putih mampu menghambat
pertumbuhan bakteri gram negatif dan jamur patogen. Selain senyawa allisin, di
dalam bawang putih juga terkandung senyawa fenol seperti eugenol, timol eugenol,
dan timol karvakrol yang juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba (Darmadji
et al., 1994). Bawang putih memiliki nilai aktivitas antioksidan sebesar 8,77 1,93
mg VCE/100 g dan nilai total fenol sebesar 63,51 3,67 mg GAE/100 g
(Tangkanakul et al., 2009)
-
9
Lengkuas
Lengkuas atau tanaman yang memiliki nama latin Alpinia galanga L.
termasuk tanaman dengan familia Zingiberaceae (Handajani dan Purwoko, 2008).
Minyak atsiri dan fraksi metanol yang terkandung dalam rimpang lengkuas diketahui
mampu menghambat aktivitas pertumbuhan mikroba pada beberapa jenis bakteri dan
jamur (Yuharmen et al., 2002). Minyak atsiri rimpang lengkuas mengandung
beberapa turunan fenol dan terpen. Beberapa senyawa yang aktif sebagai antibakteri
adalah D- limonen; eukaliptol; 3- sikloheksen-1-ol, 4-metil-1- (1-metiletil); fenol, 4-
(2-propenil) asetat; 2,6-oktadien-1-ol, 3,7-dimetil asetat; 1,6,10- dodekatrien, 7,11-
dimetil-3-metilen; pentadesen; sikloheksen, 1-metil-4-(5-metil- 1-metilen-4-heksenil)
(Parwata dan Dewi, 2008). Lengkuas selain mengandung minyak atsiri juga
mengandung golongan senyawa flavonoid, fenol dan terpenoid. Berdasarkan
penelitian yang sudah dilakukan minyak atsiri pada rimpang lengkuas mengandung
senyawa eugenol, sineol dan metil sinamat (Buchbaufr et al., 2003). Lengkuas
memiliki nilai aktivitas antioksidan sebesar 98,61 2,13 mg VCE/100 g dan nilai
total fenol sebesar 216,63 3,33 mg GAE/100 g (Tangkanakul et al.,
2009). Lengkuas mengandung asetoksi kavikol asetat dan asetoksi eugenol asetat
yang bersifat antiradang dan antitumor (Buchbaufr et al., 2003).
Ketumbar
Ketumbar merupakan sejenis tanaman yang memiliki fungsi sebagai rempah-
rempah dan bumbu (Saeed dan Tariq, 2007). Ketumbar memiliki nama latin
Corriandrum sativum L. yang termasuk dalam famili Apiaceae (Umbelliferae).
Minyak esensial ketumbar memiliki karakteristik aroma linalool, mild, manis,
hangat, dan cita rasa aromatik. Ketumbar dalam industri makanan biasanya
digunakan sebagai agen penyedap (Burdock dan Carabin, 2009). Komponen utama
dari ketumbar adalah linalool sebesar 64,5% dan (E)-anethole sebesar 59,2%
(Cantore et al., 2004). Aktivitas antimikroba pada minyak ketumbar dapat
menghambat pertumbuhan mikroba patogen, bakteri pembusuk makanan dan jamur
(Cantore et al., 2004). Biji ketumbar memiliki nilai aktivitas antioksidan
sebesar 53,54 6,97 mg VCE/100 g dan nilai total fenol sebesar 97,26 2,50 mg
GAE/100 g (Tangkanakul et al., 2009).
-
10
Merica
Merica adalah sejenis tanaman yang termasuk golongan familia Piperacea.
Merica memiliki nama latin Piper ningrum Linn. Kandungan minyak atsiri dalam
merica diketahui memiliki aktivitas antimikroba (Karsha dan Lakshmi, 2009).
Komponen alkaloid dalam merica seperti piperine dan piperidine memiliki fungsi
sebagai zat antibakterial bagi bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif.
Kadar 250 ppm piperine dalam merica mampu menghambat pertumbuhan bakteri
gram positif dan gram negatif (Karsha dan Lakshmi, 2009). Merica memiliki nilai
aktivitas antioksidan sebesar 108,47 5,46 mg VCE/100 g dan nilai total fenol
sebesar 447,23 10,38 mg GAE/100 g (Tangkanakul et al., 2009).
Asam Jawa
Asam jawa memiliki komponen bioaktif yang berpotensi sebagai obat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa komponen kimia yang terdapat di dalam asam jawa
adalah gula, mineral, aktivitas antioksidan dan zat fenolik. Asam jawa memiliki
kapasitas antioksidan dan level fenolik yang tinggi, hal ini dapat memberikan
manfaat bagi kesehatan (Soemardji, 2007).
Pengeringan
Pengeringan pangan berarti pemindahan air dengan sengaja dari bahan
pangan. Alasan utama dilakukannya pengeringan adalah untuk pengawetan (Earle,
1982). Pengeringan atau dehidrasi memiliki pengaruh pengawet karena mampu
menurunkan aktivitas air sampai taraf yang rendah (Soeparno, 2005). Tujuan
dilakukannya pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas
perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan
pembusukan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali (Adawyah, 2008). Produk
daging kering memiliki masa simpan yang cukup lama. Faktor yang mempengaruhi
kualitas produk daging yang dikeringkan antara lain adalah suhu, ukuran partikel dan
gerakan udara panas. Produk daging kering memiliki kandungan kadar air antara 5%
sampai 6% (Soeparno, 2005). Penghilangan kandungan air melalui pengeringan
dalam bentuk uap air (Harris dan Karmas, 1989). Selama proses pengeringan, daging
mengalami perubahan fisik dan kimia (Xiong dan Mikel, 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada dua yaitu, faktor yang
berhubungan dengan udara pengering seperti suhu, kecepatan aliran udara pengering
-
11
dan kelembaban udara, sedangkan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan yang
dikeringkan berupa ukuran bahan, kadar air awal dan tekanan parsial dalam bahan.
Suhu yang semakin tinggi dan kecepatan udara pengering cepat mengakibatkan
proses pengeringan berlangsung lebih cepat. Semakin tinggi suhu udara pengering
semakin besar jumlah energi yang dibawa udara, sehingga semakin banyak jumlah
masa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Kecepatan
aliran udara pengering semakin tinggi akan mengakibatkan semakin cepat pula masa
uap air yang dipindahkan dari bahan ke atmosfer (Adawyah, 2008).
Buckle et al. (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan pengeringan antara lain :
a. Sifat fisik dan kimia dari produk (bentuk ukuran, komposisi, kadar air)
b. Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media
perantara pemindah panas (seperti nampan untuk pengeringan).
c. Sifat-sifat fisik dari lingkungan alat pengering (suhu, kelembaban dan
kecepatan udara).
d. Karakteristik alat pengering (efisiensi pemindahan panas).
Karakteristik Dendeng
Nilai Aktivitas air Aktivitas air (aw) adalah batas terendah jumlah air yang tersedia untuk
pertumbuhan mikroba. Sebagian besar bakteri tidak dapat tumbuh pada nilai aktivitas
air (aw) 0,91 dan sebagian besar jamur tidak tumbuh pada nilai aktivitas air (aw) di
bawah 0,8. Beberapa jamur xerofilik mampu tumbuh pada nilai aktivitas air (aw) di
bawah 0,7 tetapi kisaran nilai aktivitas air (aw) 0,7-0,75 umumnya dinyatakan
sebagai batas terendah nilai aktivitas air (aw) untuk pertumbuhan jamur (Buckle et
al., 1985). Dendeng sayat memiliki nilai aktivitas air (aw) antara 0,52-0,67
sedangkan dendeng giling memiliki nilai aktivitas air (aw) sekitar 0,62-0,66 (Huang
dan Nip, 2001).
Nilai pH
Dendeng giling daging sapi memiliki nilai pH rata-rata 5,830,03
(Suharyanto et al., 2008). Sementara itu, Huang dan Nip (2001) menyatakan bahwa
dendeng memiliki pH rata-rata 5,6. Penurunan pH diasumsikan terjadi pada saat
-
12
proses postrigor pada daging. Penurunan nilai pH dapat menghambat proses
pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan selama proses pertama pengolahan
(Bennani et al., 2000)
Warna
Bahan pangan yang dikeringkan dengan menggunakan oven akan memiliki
penampakan yang lebih gelap, lebih rapuh dan aroma menjadi berkurang. Ketika
bahan pangan dikeringkan, warna dan tekstur secara signifikan akan berbeda dari
saat bahan masih mentah. Atribut warna pada dendeng dipengaruhi bumbu-bumbu
seperti gula merah, asam jawa, ketumbar dan lengkuas yang digunakan dalam
formulasi bumbu (Dewi et al., 2011). Secara umum, warna dendeng yang dihasilkan
cenderung kecoklatan atau kehitaman. Hal ini dapat terjadi karena adanya reaksi
pencoklatan Maillard selama pengeringan dan reaksi karamelisasi selama
penggorengan dendeng (Legowo et al., 2002). Kusnandar (2010) menyatakan bahwa
reaksi Maillard menghasilkan pigmen melanoidin yang bertanggung jawab pada
pembentukan warna coklat dan reaksi karamelisasi menghasilkan warna coklat
melalui reaksi kimia yang terjadi pada gula sederhana karena adanya proses
pemanasan.
Tekstur
Tekstur merupakan faktor yang penting dalam proses seleksi dan konsumsi
bahan pangan. Tekstur sebuah bahan pangan menentukan faktor yang mempengaruhi
penerimaan bahan pangan tersebut (Guerrero et al., 1999). Permukaan daging yang
dikeringkan akan mengeras karena daging kehilangan kandungan air selama
pemanasan (Soeparno, 2005). Tekstur suatu produk yang dihasilkan tergantung pada
banyaknya protein miofibrillar yang terdegradasi, tingkat pengeringan, tingkat
degadrasi jaringan penghubung dalam daging dan kandungan lemak intramuskular
dalam daging (Toldra, 2004)
Flavor dan Aroma
Flavor daging berkembang selama pemasakan. Flavor serta aroma daging
masak dipengaruhi oleh umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak,
bangsa, lama waktu dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan, serta
jenis, lama dan suhu pemasakan. Lemak banyak mempengaruhi flavor daging
-
13
(Soeparno, 2005). Rasa dendeng dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu
rasa daging, bumbu, perpaduan bumbu dan daging selama proses curing, pengaruh
pengeringan dan penggorengan dendeng (Legowo et al., 2002).
Bakteri Patogen Pada Daging
Bahan pangan dapat berperan sebagai agen penularan penyakit dari
mikroorganisme ke manusia. Bahan pangan tersebut bertindak sebagai vektor dari
beberapa jenis mikroorganisme patogenik yang mencemari bahan pangan.
Mikroorganisme patogenik dapat berasal dari jenis bakteri, kapang dan virus (Buckle
et al., 1985). Bakteri patogen yang berhubungan dengan bahan pangan tidak dapat
tumbuh di luar kisaran suhu antara 4 C 60 C, sehingga bahan pangan yang
disimpan pada suhu dibawah 4 C atau diatas 60 C akan aman (Buckle et al., 1985).
Bakteri patogen merupakan indikator keamanan pangan. Bakteri patogen dapat
menyebabkan intoksikasi atau infeksi. Intoksikasi yaitu keracunan yang disebabkan
oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen yang tumbuh dan berkembang
dalam bahan pangan. Infeksi adalah bakteri yang menghasilkan racun setelah masuk
ke dalam saluran pencernaan (Fardiaz, 1989). Beberapa bakteri patogen yang sering
dijadikan sebagai standar mutu cemaran mikroba dalam bahan pangan asal ternak
adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella sp, Bacillus cereus, dan
Coliform.
Staphylococcus aureus
Staphylococcus merupakan bakteri berbentuk bulat yang terdapat dalam
bentuk tunggal, berpasangan, tetrad, atau berkelompok seperti buah anggur.
Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri penyebab keracunan yang
memproduksi enterotoksin. Bakteri ini sering ditemukan pada makanan-makanan
yang mengandung protein tinggi (Fardiaz, 1989). Bakteri ini mampu bertahan
dengan baik pada kondisi beku. Staphylococcus aureus mudah dihilangkan dengan
menggunakan pemanasan dengan suhu yang umumnya digunakan untuk memproses
produk daging dan ikan. Pertumbuhan mikroba yang melebihi 5,0 log CFU/g akan
menghasilkan enterotoksin yang tahan panas (Thipparedi dan Sanchez, 2006).
Enterotoksin yang tahan panas panas tersebut akan masih aktif setelah dipanaskan
pada suhu 100 C selama 30 menit (Fardiaz, 1989).
-
14
Escherichia coli
Escherichia coli adalah suatu bakteri gram negatif berbentuk batang, bersifat
anaerobik fakultatif dan mempunyai flagella peritrikat (Fardiaz, 1989). Escherichia
coli ditemukan di saluran usus hewan dan manusia, sehingga sering terdapat di dalam
feses. Bakteri ini sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran (Fardiaz,
1989). Selama proses pengolahan daging, proses pemanasan didesain untuk
menghilangkan bakteri ini. Karakteristik pertumbuhan dan kematian bakteri
Escherichia coli memiliki kemiripan dengan bakteri Salmonella sp (Thipparedi dan
Sanchez, 2006). Organisme ini berada di dapur dan tempat-tempat persiapan bahan
pangan melalui bahan baku dan selanjutnya masuk ke makanan yang telah dimasak
melalui tangan, permukaan alat-alat, tempat-tempat masakan dan peralatan lainnya
(Buckle et al., 1985)
Salmonella sp
Salmonella adalah jenis bakteri gram negatif yang tergolong kelompok
bakteri Enterobacteriaceae, berbentuk batang bergerak (Buckle et al., 1985).
Salmonella merupakan bakteri patogen yang berbahaya. Selain menyebabkan gejala
gastrointestinal (gangguan perut), juga dapat menyebabkan demam tifus (Salmonella
typhi) dan paratifus (Salmonella paratyphi) (Fardiaz, 1989). Laju pertumbuhan
Salmonella umumnya akan menurun pada suhu dibawah 15 C. Pertumbuhan
Salmonella dapat dicegah pada suhu dibawah 7 C. Laju pertumbuhan optimum
Salmonella terjadi pada saat suhu 49,5 C. Standar kematian yang dipersyaratkan
untuk produk olahan daging sebesar 6,5 log10 Salmonella, dan untuk produk olahan
daging unggas sebesar 7,0 log10 (Thipparedi dan Sanchez, 2006).