Download - Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to Improving Performance and equity
3. Penilaian Kinerja Sektor Kesehatan: Teori Etis
Pendapat mengenai hal-hal yang semestinya dilakukan oleh warga masyarakat
selalu melibatkan etika. Buku ini berlandaskan pada keyakinan mendalam kami
bahwa penilaian kinerja sektor kesehatan mensyaratkan analisis etis. Di bab ini, kami
memperkenalkan tiga sudut pandang etis utama sebagai dasar penilaian:
utilitarianisme, liberalisme, komunitarianisme. Tujuan kami bukan meneliti filosofi
moralnya, melainkan penggunaannya untuk memutuskan hal-hal yang berhubungan
dengan reformasi kesehatan.
Utilitarianisme mengungkapkan bahwa kita harus menilai suatu kebijakan
melalui konsekuensinya. Utilitarianisme mengevaluasi konsekuensi dengan mengkaji
akibat yang timbul dari suatu keputusan pada kesejahteraan seseorang di masyarakat.
Liberalisme fokus pada hak dan kesempatan pada titik permulaan seseorang, bukan
pada akhirnya. Pandangan ini juga berperan penting dalam pembahasan reformasi
sektor kesehatan. Klaim yang sering diajukan bahwa warga berhak atas pelayanan
kesehatan—bahkan kesehatan itu sendiri—mencerminkan persoalan liberal.
Komunitarianisme menyatakan bahwa hal yang penting adalah masyarakat yang
dibangun oleh kebijakan publik dan sifat orang-orang yang tinggal di dalamnya.
Dalam pandangan ini, komunitas berkewajiban menghimpun anggotanya untuk
bersama-sama mewujudkan sifat dan perilaku yang baik dari komunitas yang
bersangkutan. Komunitarianisme mungkin bertentangan dengan pemikiran
berlandaskan konsekuensi maupun hak, karena akan ada aksi-aksi yang tidak
menambah kesejahteraan atau membatasi kebebasan individu. Bab ini membahas tiga
teori tersebut dan mengkaji implikasinya pada reformasi sektor kesehatan, juga
memaparkan variasi dalam sudut pandang masing-masing pendekatan itu.
Teori Etis #1: Utilitarianisme
Pendekatan berdasarkan konsekuensi ini secara umum menganggap bahwa
“hasil akhir memberikan alasan kepada maksudnya”. Menurutnya, kita harus menilai
suatu kebijakan dengan mencari tahu pengaruhnya terhadap seseorang di dalam
masyarakat dan tentukan pilihan yang paling meningkatkan kesejahteraan. Ada dua
pendekatan tradisi intelektual yang membantu pembuatan keputusan tentang
reformasi kesehatan, utilitarianisme subjektif dan objektif, yang memanfaatkan
sumber-sumber secara efisien demi mendapatkan ‘kebaikan’ tertinggi.
Utilitarianisme Subjektif
Utilitarianisme berasal dari tulisan Jeremy Bentham (1748-1832) yang
berpendapat bahwa manusia menikmati “manfaat/faedah (utility)”—kebahagiaan yang
dirasakan—pada tingkat berbeda di berbagai situasi, tergantung selera dan preferensi
mereka. Berdasarkan filosofi bahwa tindakan yang benar adalah yang menghasilkan
“kebahagiaan terbesar dalam jumlah terbanyak” (Bentham 1789), evaluasi kinerja
sistem pelayanan kesehatan dilakukan dengan cara menentukan tingkat kebahagiaan
yang dihasilkannya, dan memasukkan ukuran tersebut untuk mengetahui manfaat
yang dihasilkan oleh sistem.
Menurut pendapat Bentham, semua individu menilai kebahagiaan mereka
sendiri, maka ini disebut utilitarianisme subjektif. Konsep ini sangat tidak hierarkis.
Padahal, penilaian suatu kebijakan mengharuskan kita untuk memasukkan tingkat
pemanfaatan semua orang untuk setiap pilihan kebijakan kemudian memilih
kebijakan yang paling membahagiakan atau berfaedah. Para ahli ekonomi
mengusulkan analisis biaya-manfaat untuk menentukan tindakan yang menghasilkan
faedah terbesar, dengan mencari tahu seberapa banyak orang yang kemungkinan
diuntungkan oleh kebijakan atau program tertentu dan bersedia membayar
keuntungan tersebut. Jika keuntungan yang diperkirakan lebih besar daripada
biayanya, maka kebijakan tersebut harus dilaksanakan karena akan menjadi kebaikan
terbesar bagi jumlah terbanyak. Dalam reformasi kesehatan, penggunaan analisis
biaya-manfaat tidaklah mudah. Salah satu alasannya adalah kesulitan dalam
menentukan bentuk pelayanan yang akan dibeli oleh masyarakat, padahal bisa jadi
masyarakat tidak membayar apapun (misalnya pelayanan gratis di klinik publik).
Utilitarianisme subjektif sangat berpengaruh dalam pembahasan tentang
reformasi kesehatan. Para penentu kebijakan sering didesak menggunakan pasar untuk
mengalokasikan pelayanan kesehatan. Hal ini didasari ide bahwa ketika pasar berjalan
dengan baik, para konsumen hanya bersedia membeli barang dan jasa yang akan
mereka bayar melebihi biaya produksinya. Sistem pasar yang seperti ini memiliki
barang-barang yang sangat diinginkan dari sudut pandang utilitarian subjektif. Pada
titik tertentu, tidak akan ada barang tersisa untuk dimanfaatkan, hingga satu-satunya
cara untuk meningkatkan kegunaan seseorang adalah dengan mengurangi milik orang
lain. Kemudian, pasar itu akan dianggap efisien dalam hal alokasi sumber-sumbernya
(Graaf 1967), dan situasi ini disebut “Pareto Optimal”.
Sayangnya, kebanyakan pasar pelayanan kesehatan nyatanya jauh dari kondisi
Pareto Optimal (Arrow 1963). Penyebabnya adalah pasien bergantung kepada dokter
mengenai perawatan yang harus mereka terima, sehingga dokter dapat mempengaruhi
keputusan terkait perawatan sesuai dengan kepentingan sang dokter. Pasar pelayanan
kesehatan juga sering kali mengabaikan masalah keadilan. Dalam suatu pasar,
konsumsi seseorang didasarkan pada pendapatannya. Ini tetap berlaku di dalam
“Pareto Optimal”, sehingga orang harus berpikir cermat dalam memanfaatkan pasar
dan mengatasi kejadian yang tak diinginkan. Pendekatan utilitarian subjektif juga
mungkin menyebabkan pelayanan yang tidak maksimal kepada orang-orang miskin
karena mereka tidak mampu membayarnya. Meski argumen dengan dasar pasar ini
mendapatkan pengaruh politis yang memberi kesempatan kepada pemikiran utilitarian
subjektif untuk masuk ke dalam pembahasan reformasi kesehatan, alasan-alasan di
atas seolah-olah menggambarkan kesehatan bukan sesuatu yang istimewa, melainkan
komoditi yang akan dibeli sesuai keputusan konsumen.
Utilitarianisme Objektif
Para pembaharu yang ingin mempromosikan kesejahteraan individual, namun
meragukan reabilitas dan validitas keputusan individual, mendasarkan pengertian
kesejahteraan individual pada penjelasan objektif yang dikemukakan para ahli. Para
ahli ini mengembangkan indeks yang mengandung komponen-komponen yang “dapat
dimengerti secara rasional” tentang kesejahteraan, dan indeks tersebut digunakan
untuk mengukur keadaan orang per orang. Ini lah yang dikenal dengan utilitarian
objektif (Griffin 1986).
Sejarah panjang utilitarianisme objektif kesehatan umum dapat dilihat dari
abad ke-19, ketika indeks status kesehatan – sebelumdan sesudah Perang Dunia II –
dibuat, setelah Florence Nightingale menganjurkan kepada Pasukan Inggris untuk
merawat tentara yang terluka agar tak perlu merekrut orang baru. Pendekatan ini juga
dipakai secara luas riset klinis, seperti pengukuran “kualitas hidup” untuk
mengevaluasi hasil perawatan alternatif (McDowell dan Newell 1987), juga analisis
pada pengukuran DALY (Disability-Adjusted Life Year, usia menurut
ketidakmampuan fungsi tubuh) atau QALY (Quality-Adjusted Life Years, usia
menurut kualitas hidup yang dialami) oleh Bank Dunia (1993) dan WHO (2000).
Dalam bidang analisis kebijakan, utilitarianisme objektif menjadi dasar analisis
biaya-keefektifan, yang telah banyak digunakan di sektor kesehatan. Para penganut
utilitarian objektif menggunakan indeks tunggal untuk mengukur kesejahteraan
seseorang tanpa memperhitungkan variasi preferensinya; menghindari penyakit tetapi
memperpendek usia, atau hidup lebih lama walaupun harus menderita.
Pengukuran terhadap pencapaian kesehatan tak lepas dari masalah teknis,
yaitu mengenai cara menggabungkan perpanjangan usia seseorang dengan
peningkatan kualitas hidup. Masalah yang muncul dalam pendekatan ini adalah
banyaknya orang yang lebih memilih hidup lama daripada mengurangi kelemahannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa indeks status kesehatan menambahkan penilaian
tentang keinginan relatif terhadap kesehatan, walaupun pelaku reformasi kesehatan
yang menggunakan utilitarian objektif tidak harus menggunakan ukuran pencapaian
kesehatan yang komprehensif. Beberapa persoalan lainnya yaitu menerjemahkan
statistika kesehatan, memperkirakan penyebab, dan kerumitan membuat prediksi yang
dapat dipercaya tentang akibat suatu kebijakan.
Beberapa Kerumitan dalam Utilitarian: Ketidakpastian dan Waktu
Dua pemasalahan teknis yang sering menghinggapi analisis utilitarian adalah
ketidakpastian dan waktu. Konsekuensi reformasi kesehatan selalu tidak pasti dan
beberapa di antaranya tidak terjadi hingga beberapa tahun mendatang (Weinstein dan
Stason 1977, Wenz 1986). Bagi penganut utilitarianisme subjektif, perolehan yang
tidak-pasti diungkapkan secara terus terang. Keuntungan dan biaya yang tidak pasti
dievaluasi dengan menanyai orang-orang yang terkena akibatnya tentang tingkat
perubahan nilai dari perolehan atau pengeluaran yang ditimbulkan ketidakpastian.
Ketidakpastian sangat berkaitan dengan kesediaan seseorang untuk melakukan
pembayaran. Kendati demikian, asumsi dan implikasi pendekatan ini rumit, karena
kita harus berasumsi bahwa orang tidak hanya memilih satu hasil tertentu tetapi juga
besar nilai yang dimiliki pilihan tersebut. Evaluasi ini menjadi sangat penting ketika
pencapaian yang diraih bergantung pada probabilitas, misalnya probabilitas kematian
suatu penyakit.
Masalah keuntungan yang muncul di masa mendatang juga menimbulkan
persoalan serupa. Di sini, ada perdebatan tentang tingkat diskonto. Menurut beberapa
analis, perolehan yang akan datang harus dinilai sesuai yang ada saat ini, karena
diskonto secara efektif akan mendiskriminasikan masa depan. Analis lainnya
berpendapat bahwa tanpa diskonto, kita akan menghadapi “paradoks investasi”, yakni
keadaan ketika kita menangguhkan terlalu banyak pengeluaran di masa depan.
Tingkat diskonto ini dapat berdampak pada daya tarik relatif suatu kebijakan yang
menghasilkan pendapatan jangka pendek vs jangka panjang.
Ada dua pendapat tentang penyusunan tingkat diskonto. Pertama adalah
tingkat diskonto pasar, yaitu menggunakan suku bunga yang sama dengan yang
terdapat pada pasar finansial negara yang bersangkutan atau suku bunga
pengembalian yang diperoleh sektor pribadi. Pendapat kedua mengemukakan bahwa
masyarakat harus membuat perkiraan sendiri tentang nilai pendapatan pada waktu
yang berbeda. Penilaian terpisah ini mendasari tingkat diskonto sosial (yang
cenderung mendukung utilitarian objektif). Terlepas dari tingkat diskonto yang
berlaku dalam analisis, keduanya berdampak pada penyusunan prioritas karena
kebijakan tertentu akan memberikan keuntungan dalam jangka waktu cukup lama.
Masalah terakhir dalam pendekatan utilitarian adalah komitmen untuk
memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan keadilan
atau kesetaraan hasilnya. Konsekuensi negatif yang diderita oleh orang atau kelompok
tertentu dapat diterima selama hasil akhirnya menguntungkan. Penentu kebijakan
penganut utilitarianisme mungkin akan mengabaikan pasien yang menghabiskan
terlalu banyak biaya dan mengorbankan seseorang demi keuntungan orang banyak.
Teori Etis #2: Liberalisme
Sesuai penuturan Immanuel Kant (1788), semua manusia memiliki kapasitas
untuk melakukan aksi moral, yakni kekuatan untuk mengetahui hal yang benar secara
moral dan memutuskan untuk mengikuti aturan moralitas. Penganut Kant modern
berpendapat, oleh karena manusia memiliki kapasitas untuk mengembangkan dan
menerapkan keputusan mereka tentang cara hidup (“rencana hidup”), mereka berhak
untuk melakukannya. Hak-hak ini dianggap universal dan semua sistem harus
menghormatinya, karena diambil dari status masing-masing orang sebagai manusia
(O’Neill 1989). Kini penerus dari pendekatan Kant, kaum liberal, telah
mengembangkan argumen yang mengatur penyelenggaraan negara dan penentuan
kebijakan (Rawls 1971).
Konsep utama liberal adalah hak—pernyataan yang dapat dimiliki semua
orang atas nama kemanusiaan. Hak yang tersirat dari prinsip saling menghormati
dimaknai oleh kaum liberal dalam dua cara. Libertarian percaya bahwa hanya hak
negatif yang harus dilindungi (Nozick 1974). Hak-hak ini menjamin kebebasan
individu, sehingga orang dapat melakukan apapun yang diinginkan tanpa campur
tangan pemerintah. Libertarian menginginkan peran pemerintah hanya terbatas pada
perlindungan atas hak kepemilikan dan kebebasan pribadi. Sebaliknya, kaum liberal
egaliter berpendapat bahwa hak memutuskan sesuatu tidak berarti tanpa sumber yang
tepat. Setiap orang memiliki hak positif hingga level terbawah atas pelayanan dan
sumber daya yang dibutuhkan agar tercipta kesetaraan peluang yang adil (Daniels
1985). Pengertian hak positif menimbulkan perspektif redistributif yang menolong
orang-orang yang terpinggirkan seumur hidupnya. John Rawl (1971) menyebut
pandangan ini “keadilan yang berarti pemerataan”, keadilan bagi semua orang.
Dalam hal sistem pelayanan kesehatan, liberal egaliter memandang bahwa
demi kapasitas moral, pendapatan harus diedarkan secara merata dan biarkan masing-
masing membelanjakannya pada pelayanan kesehatan (atau asuransi kesehatan) sesuai
keinginan (Dworkin 1993). Bagi mereka, kesehatan tidak berbeda dengan barang dan
jasa lainnya dan tidak hak khusus untuk kesehatan atau perawatan kesehatan.
Penganut egaliter lainnya meyakini bahwa masyarakat memiliki kewajiban di bidang
kesehatan (Daniels 1985), namun ini pun mengandung perbedaan pendapat. Beberapa
mengira bahwa hal yang paling utama adalah menyediakan pelayanan kesehatan
minimal pada tingkat terendah bagi semua orang, sementara lainnya menyatakan yang
terpenting adalah status kesehatan yang sebenarnya pada setiap individu.
Pandangan tentang hak positif memberikan tanggung jawab kepada
pemerintah untuk menyediakan kuantitas dan kualitas kehidupan bagi semua orang
minimal pada tingkat terendah, dan menyediakan pelayanan kesehatan yang
diperlukan untuk mewujudkannya. Hal ini berdampak pada hubungan antara negara
(pemerintah) dengan warga (perorangan), karena jika pemerintah bertanggung jawab
pada kesehatan warganya, maka masyarakat bertanggung jawab mempengaruhi
keputusan individu terhadap urusan kesehatan. Di sisi lain jika masyarakat hanya
bertanggung jawab menyediakan pelayanan dan tidak mengharuskan orang-orang
menggunakannya, maka setiap orang lebih bertanggung jawab atas kesehatannya
sendiri. Dengan demikian, status kesehatan menjadi keputusan individu.
Liberalisme dan Pembiayaan Pelayanan Kesehatan
Bagi para libertarian, hak negatif yang harus dibiarkan salah satunya adalah
hak menikmati properti. Bagi mereka pajak adalah pencurian.Pajak yang
mendistribusikan ulang sumber daya sama artinya dengan membagi hak milik
seseorang dengan orang lain. Lain dengan libertarian egaliter, mereka berpikir bahwa
banyak kesejahteraan yang tidak pantas di masyarakat. Menurut mereka, orang-orang
kaya memperoleh kenikmatan yang tidak layak mereka dapatkan (Rawls 1971, Rawls
1999). Seharusnya, pendapatan mereka dikenai pajak untuk membantu kaum miskin.
Hak milik tidak akan dilanggar oleh perpajakan karena keuntungan itu sendiri tidak
diperoleh dari usahanya sendiri. Terlebih keuntungan dari investasi, bagi liberal
egaliter itu merupakan sumber dana yang tepat untuk redistribusi keuangan.
Klaim-klaim tentang distribusi kesehatan atau pelayanan kesehatan yang
“tidak merata” dalam masyarakat sepertinya berdasarkan pada etika liberal egaliter.
Sebagai contoh pada negara-negara miskin, fokus reformasi kesehatan tergantung
pada pihak yang menjalankannya. Seorang liberal egaliter akan memprioritaskan
kesetaraan agar semua orang memperoleh peluang yang sama, sedangkan seorang
utilitarian objektif akan membuat keputusan berdasarkan dampak terbesar yang akan
muncul. Walaupun begitu berbeda, terdapat persamaan antara liberalisme dan
utilitarianisme. Keduanya bersifat universal; mencoba membangun standar moral
tunggal untuk semua kemanusiaan. Keduanya juga fokus pada perorangan
(individual)—kesejahteraan individu dan hak individu. Kedua pandangan itu dikritik
atas pengabaian terhadap sifat sosial kehidupan manusia (Sandel 1982). Kritik
terhadap liberalisme menyatakan bahwa nilai-nilai penting komunitas terabaikan oleh
visi individualistiknya. Utilitarianisme gagal karena seseorang tidak akan dapat
menolong keluarga, teman atau sesama warga negara jika pertolongan tersebut tidak
memberikan manfaat baginya (Williams 1973). Begitu pula, pendekatan utilitarian
untuk meningkatkan status kesehatan seseorang dapat menimbulkan konflik dengan
pandangan moral masyarakat.
Teori Etis #3: Komunitarianisme
Teori ini menyatakan bahwa karakter suatu komunitas tergantung pada
karakter orang-orang yang menjadi anggotanya. Oleh karena itu, suatu negara harus
dapat mengembangkan karakter warga yang baik agar tercipta masyarakat yang baik.
Ada dua jenis komunitarian. Pertama, komunitarian universal, adalah orang-
orang yang meyakini bahwa terdapat model universal tunggal untuk individu yang
baik dan masyarakat yang baik. Pola pikir komunitarian yang relevan bagi pembaharu
sektor kesehatan adalah Konfusianisme. Perspektif ini (Konfusius 551-479 SM)
mengatur perilaku manusia, baik sebagai individu maupun bersama-sama, melalui
“lima hubungan”. Interaksi manusia dimulai dari keluarga, diperluas hingga tingkat
negara. Inti ajaran Konfusianisme didasarkan pada refleksi internal seseorang
terhadap kewajiban dan haknya, dan pada pemahaman tentang interaksi manusia
dalam kelompok tertentu (Bloom 1996). Ajaran Konfusian masih mempengaruhi
nilai-nilai individual dan sosial di berbagai negara.
Bentuk komunitarianisme kedua secara sejarah sangat dipengaruhi oleh
antropologi dan tulisan-tulisan antara lain oleh Boas (1932) dan Mead (1964).
Pandangan ini menerangkan berbagai tradisi di dunia dan keterikatan orang-orang
dengan budaya tersebut. Komunitarianisme relativis ini menegaskan bahwa setiap
komunitas harus menentukan norma-norma dan organisasi sosialnya sendiri. Para
komunitarian ini memandang bahwa moralitas bersifat kontekstual. Orang-orang yang
menyetujui bahwa setiap kelompok menentukan normanya sendiri, harus menetapkan
batas masing-masing komunitas dan perwakilan bagi komunitas yang bersangkutan.
Pendapat komunitarian mengemuka di reformasi kesehatan dalam berbagai
cara. Bagi beberapa orang di kesehatan umum, menjalani gaya hidup sehat menjadi
suatu hal baik yang tidak hanya meningkatkan status kesehatan. Para komunitarian
juga mungkin memiliki pandangan kuat atas pelayanan kesehatan tertentu. Hal itu
terlihat dari kebijakan yang berlainan di negara yang satu dengan lainnya seperti
tentang aborsi, penentuan kematian, transplantasi organ, dan lain-lain. Pada bab ini,
kami membahas dimensi normatif dari reformasi kesehatan, keputusan yang dipilih
oleh masyarakat dalam melaksanakan reformasi kesehatan. Analisis etis dapat
membantu para pembaharu dengan menggarisbawahi hal-hal yang diasumsikan dan
disiratkan dalam berbagai jenis komunitarian, serta hubungannya dengan pandangan-
pandangan berbasis konsekuensi dan hak.
Masalah Pembenaran
Bermacam-macam pendekatan muncul ketika berurusan pembenaran atas
suatu posisi etis. Salah satunya adalah keyakinan terhadap suatu agama. Lainnya
adalah pandangan bahwa manusia memiliki indera untuk mengenali moralitas,
sehingga kebenaran moral terungkap kepada kita melalui emosi atau intuisi.
Pemikiran ketiga menyatakan bahwa logika atau alasan dapat mendikte kandungan
moralitas (Harman 1977). Argumen modern yang paling banyak diterima adalah
realisme moral (Putnam 1990). Pada posisi ini, kandungan moralitas dapat dipelajari
dari pengalaman kita, ketika pelajaran tersebut dipahami dan diproses dengan tepat.
Realis moral percaya bahwa kebenaran moral itu nyata dan dapat ditemukan, dan
bahwa kenyataan moral dapat dikaji dengan memahami sifat manusia, menganalisis
kebutuhan manusia dan menilai persyaratan kehidupan sosial.
Pemikir kontemporer lainnya dalam ajaran postmodern, berpendapat bahwa
etika tidak dapat dibenarkan dengan memakai landasan apapun (Lyotard 1984).
Menurut mereka, etika itu diciptakan, seperti karya seni atau puisi. Kriteria untuk
menilai pendapat moral didasarkan pada aturan-aturan di dalam kesatuan, misalnya
norma-norma gaya bahasa yang mengatur tradisi budaya sosial. Meski demikian,
peraturan tersebut tidak dapat diperoleh dari prinsip-prinsip fundamental, tidak dan
tidak dapat memiliki pembenaran yang lebih mendalam. Perkataan yang digunakan
manusia untuk menjelaskan konsep-konsep seperti keadilan, kesejahteraan atau tradisi
hanyalah—kata-kata—simbol-simbol untuk mengekspresikan gagasan yang
diciptakan oleh manusia (Johnson 1993).
Pembaharu kesehatan postmodern tetap harus bergulat dengan persoalan
keputusan moral. Richard Rorty (1989) mengungkapkan bahwa penilaian moral itu
mungkin, walaupun tidak dapat dibenarkan dalam landasan tertentu. Kita tidak
memiliki pilihan selain bertindak sesuai pandangan masing-masing tentang kebajikan,
dan mencoba mengajak orang lain mengikuti cara pandang kita.
Mengembangkan Posisi Etis
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan pembaharu dalam
mengembangkan posisi etis adalah dengan bekerja secara maju dan mundur—artinya
memulai dengan teori yang menarik kemudian menjelajahi implikasinya dalam
praktik. Atau sebaliknya, memulai dengan intuisi mengenai praktik yang ingin
diwujudkan kemudian menggali teori yang dapat mendukung kebijakan tersebut.
Ketika ada pertentangan antara asumsi awal dan intuisi kebijakan, yang harus
dilakukan adalah menyesuaikan salah satu atau keduanya, sehingga diperoleh gagasan
teoritis umum yang dapat diubah demi mencapai konsistensi internal yang disebut
dengan ekuilibrum reflektif(Rawls 1971).
Proses iteratif ini dapat mengungkapkan keterbatasan posisi teoritis tertentu.
Misalnya, seseorang yang menganut pandangan utilitarian mengenai perolehan
sebesar-besarnya mungkin akan menekan paksaan yang dikenakan dalam meraih
tujuan. Bisa jadi paksaan-paksaan tersebut berasal dari ketertarikan intuitif terhadap
gagasan liberal tentang asas saling menghormati. Setelah mempertimbangkan banyak
hal, mungkin akan muncul posisi baru yang disebut dengan “utilitarianisme yang
dipaksakan oleh hak”. Sikap kami terhadap posisi etis yang campur aduk ini
berdasarkan pada pandangan tentang teori etis secara umum. Kami sangat sadar akan
bentuk-bentuk sederhana ketika isu-isu menyangkut etika dibahas secara normal
dalam diskusi kebijakan publik. Kata-kata yang digunakan di sebagian besar
perbincangan reformasi sektor kesehatan—seperti hak, kesejahteraan, komunitas atau
kesehatan itu sendiri—memetakan tekstur kompleks tentang masalah yang sebenarnya
secara tidak sempurna. Meski demikian, menurut kami para pembaharu perlu mencari
konsistensi dan koherensi dalam pandangan etis mereka sendiri. Artinya, kita harus
berusaha lebih dari sekadar memilih dan mencomot dari teori-teori tersebut, karena itu
akan menjadikannya seperti hiasan belaka tanpa pendukung analitis.
Koherensi dan keeksplisitan merupakan hal penting dengan beberapa alasan.
Pertama, menjadikan pola pikir seseorang lebih mudah dijelaskan—itu penting dalam
diskusi publik tentang prioritas dalam rencana reformasi kesehatan. Koherensi dan
keeksplisitan menciptakan potensi untuk kesepakatan dan ketaksepakatan, sehingga
orang lain dapat memahami hal-hal yang menjadi patokan dan mengubah atau
mempertahankan posisi etis mereka secara lebih efektif daripada ketika beragumen
secara asal untuk kepentingan tertentu. Keeksplisitan juga berkontribusi pada
transparansi dan akuntabilitas. Para pembaharu akan lebih dipercaya atas nilai-nilai di
balik rekomendasi kebijakannya jika tidak dapat menunjukkan nilai-nilai tersebut
dengan jelas (Robert dan Reich 2002, Gutmann dan Thompson 1996).
Oleh karena itu, pengungkapan pandangan etis harus dipersiapkan agar
memberikan alasan rasional yang koheren untuk keputusan tertentu. Misalnya jika ada
yang percaya bahwa pencarian akan faedah harus dibatasi oleh hak-hak tertentu, maka
ia harus dapat menjelaskan alasan didirikannya batas-batas tersebut dan
mempertahankan pendapatnya agar orang lain dapat menerima perpaduan antara
tujuan utilitarian dan pertimbangan hak yang dimaksud. Kita juga harus mengetahui
bahwa pengembangan pemikiran etis pada reformasi kesehatan merupakan proses
yang terus berjalan dan bukan aktivitas sekali-jadi. Kompleksitas masalah sistem
kesehatan dan keterbatasan kategori analisis etis membantu memastikan bahwa proses
tersebut akan berlanjut. Ketika para pembaharu bergerak di siklus sektor kesehatan,
mereka harus mencoba belajar dan tumbuh secara etis, juga secara ilmiah dan politis.
Sumber : Chapter 3 dari Buku Getting Health Reform Right : A Guide to
Improving Performance and equity