MAKALAH PENGANTAR STUDI AL-QUR’AN
TAFSIR BII AL-RA’YI DALAM PANDANGAN ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER, KELEBIHAN DAN KELEMAHANNYA
DibuatuntukmemenuhiTugas Mata Kuliah PENGANTAR STUDI AL-QUR’AN
DosenPengampu : Cecep Hilman, M.Ag
DisusunOleh :
KELOMPOK 8
AmalaRahmawati
Nanda Wulandari
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUKABUMI
Jl. LioBalandonganSirnagalih (Beugeg) No.74 Kel.Cikondang
Kec.Citamiang Kota Sukabumi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang MahaEsa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah sebagai tugas matakuliah Pengantar Studi Al-qur’an.Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihiwasallam, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan kepada umatnya hinggaakhir zaman.
Makalah ini tidakakan selesai pada waktunya tanpa dukungan dari semua pihak. Makadariitu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semuanya terutama kepada dosen matakuliah Pengantar Studi Al-qur’an, juga kepadarekan-rekan satu kelompok yang telah berjuang dalam pembuatan makalah.
Makalah ini berisi tentang pembahasanTafsirbii al-Ra’yi dalam pandangan ulama klasik dan kontemporer, kelebihan dan kelemahannya.
Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya, danbag ipembaca umumnya.
Dan kami menyadari sepenuhnya didalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, baik itu dariseg isi stematika penulisan, diksi, dan dar isegi yang lainnya.Makadariitu, kami mengharapkankritikdan saran dari para pembaca agar kedepannya kami dapatmembuatmakalah yang jauhlebihbaik.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang............................................................................................1
B. RumusanMasalah.......................................................................................3
C. TujuanPembahasan....................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A.TafsirBii Al-Ra’yi.......................................................................................4
B. Sebab-sebabTimbulnyaTafsirBii Al-Ra’yi................................................6
C. PendapatUlamaTentangTafsirBii Al-Ra’yi................................................7
D. PedomanPenafsiranDenganRa’yi............................................................10
E. Macam-macamdanContohTafsirBii Al-Ra’yi..........................................11
F. KelebihandanKelemahanTafsirBii Al-Ra’yi............................................14
BAB III PENUTUP
A. Simpulan..................................................................................................15
B. Saran.........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................iii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANGAl-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama.
Penggalian makna yang tersimpan di dalam setiap ayat Al-Qur’an harus
dilakukan dengan usaha penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu
pada syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufassir dan tidak melenceng
dari ajaran Islam yang sebenarnya. Al-Qur’an secara teks memang tidak
berubah, tetapi penanfsiran atas teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks
ruang dan waktu. Karenanya, Al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis,
dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode
dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir
diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur’an itu.
Sehingga Al-Qur’an seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Banyak redaksi ayat-ayat Al-Qur’an tidak dapat dijangkau maksudnya
secara pasti, Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran.
Dari dahulu sampai sekarang para ulama masih semangat untuk terus
menggali dan mengkaji Al-qur’an. Masih ditemukan koleksi karangan kitab –
kitab tafsir baik yang sudah di terbitkan atau yang belum diterbitkan. Dalam
hal Al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan
turunya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah
struktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau
bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah
yang mereka dengar atau mereka baca.
Kemampuan setiap orang dalam memahami Al-Qur’an dan ungkapan
Al-Qur’an tidaklah sama. Sehingga terjadinya perbedaan daya nalar diantara
mereka ini adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi. Itulah sebabnya
1
seorang dalam meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat membutuhkan
ilmu-ilmu pendukung lainnya. Dengan ilmu tersebut, seseorang bisa lebih
mudah mengkaji dan memahami makna-makna Al-Qur’an. Apalagi mengenai
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkategori mutasyabih yang tentu rumit dan pelik.
Kenyataan tersebut melahirkan berbagai metode yang digunakan
dalam menjelaskan suatu redaksi.Untuk menafsirinya tergantung kepada
kecenderungan para mufassir, serta latar belakang keilmuan dan sudut
pandang yang digunakan.Para ulama telah sepakat berkaitan dengan
pengklasifikasian tafsir Al-Qur’an dilihat dari sumber penafsirannya, mereka
membagi dalam tiga kategori; yaitu, tafsir bi al-ma’tsūr (tafsir bi al-riwāyah),
tafsir bi al-ra’y (tafsir bi al-dirāyah), dan tafsir bi al-iqtirāni (campuran antara
nas dan akal pikiran manusia).
Dari ketiga macam tafsir di atas yang menjadi bahan perdebatan antar
para ulama tafsir adalah tafsir bi al-ra’y. Banyak terdapat perbedaan pendapat
diantara mereka dalam pembolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan
menggunakan akal pikiran karena dikhawatirkan, menurut mereka yang anti
tafsir bi al-ra’y, hanya ditafsirkan secara subjektif untuk mendukung
kepentingan pribadi atau kelompok mereka.
Untuk kepentingan tersebut, maka dalam makalah ini akan
didiskripsikan salah satu metode yang digunakan untuk lebih mudahnya
memahami Al-Qur’an dengan metode Al-Tafsir bi- al-ra’y.
2
B. RUMUSAN MASALAH1. Apa itu Tafsir Bii Al-Ra’yi ?2. Apa Sebab-sebab Timbulnya Tafsir Bii Al-Ra’yi ?3. Apa Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bii Al-Ra’yi ?4. Apa Pedoman Penafsiran Dengan Ra’yi ?5. Apa Macam-macam dan Contoh Tafsir Bii Al-Ra’yi ?6. Apa Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Bii Al-Ra’yi ?
C. TUJUAN PEMBAHASAN1. Untuk Mengetahui Tafsir Bii Al-Ra’yi2. Untuk Mengetahui Sebab-sebab Timbulnya Tafsir Bii Al-ra’yi3. Untuk Mengetahui Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bii Al-Ra’yi4. Untuk Mengetahui Pedoman Penafsiran Dengan Ra’yi5. Untuk Mengetahui Macam-macam dan Contoh Tafsir Bii Al-Ra’yi6. Untuk Mengetahui Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Bii Al-Ra’yi
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir Bii Al-Ra’yi
Kata Al-ra’yu berasal dari akar kata - اراء ج Memiliki kata jamak ārā’un .راي
atau ar’ā’un yang bisa berarti berpendapat.1[1] Sedangkan secara istilah bisa
didefinisikan sebagaimana pendapat beberapa ulama yaitu :
1. Tafsir Bi Al-Ra’y ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya
hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang
didasarkan pada ra’yu semata. Golongan ini telah menulis sejumlah
kitab tafsir menurut pokok-pokok mazhab mereka, seperti tafsir
(karya) Abdurrahman bin Kaisan al-asam, al-Juba’I, Abdul Jabbar,
Ar-Rummani, Zamakhsyari dan lain sebagainya.2[2]
2. Tafsir Bi Al-Ra’y ialah Tafsir berdasarkan ijtihad mufassir; pendapat
atau ijtihadnya yang didasarkan atas sarana ijtihad.3[3]
3. Muhammad Ali Ash Shaabuniy, ialah ijtihad yang didasarkan pada
dalil-dalil yang shohih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta
sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak mendalami tafsir Al-
Qur’an atau mendalami pengertiannya.4[4]
1 [1] Mahmud Yunus, Kamus Arabi – Indonesia. ( Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an), 136
2 [2] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir As (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa , 2007, 488
3[3] Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an, (Jakarta: AMZAH,,2009), 140
4[4] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin (Bandung, Pustaka Setia, 1998) , 258
4
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-
ra’y adalah suatu metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran
yang sudah memenuhi syarat dan memiliki pengakuan dari para ulama untuk
menjadi seorang mufassir, namun penafsirannya harus tetap sejalan dengan
hukum syari’ah tanpa ada pertentangan. Menurut istiah, tafsir bii al-ra’yi
adalah upaya untuk memahami nash al-qur’an atas dasar ijtihad seorang ahli
tafsir (mufassir).
Tidaklah yang dimaksud dengan ra’yu ini dengan menafsirkan Al-
Quran berdasarkan kata hati atau kehendaknya. Al- Qurtubi berkata “barang
siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan imajinasinya (yang tepat
menurut pandangannya tanpa berdasarkan kaidah-kaidah) maka ia adalah
orang yang keliru dan tercela.”
Dalam sebuah hadis diriwayatkan :
, أ فليتبوّ برأيه القران فى قال ومن النار من مقعده فليتبوُأ متعمدا علّي كذّب من
( ) . مذ التر رواه النار من مقعده
Artinya :
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia
menepatkan dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan
dirinya di neraka .”( H.R. Turmuzi dan Ibnu Abbas )
Dan sabda Rasulullah shalallau ‘alaihi wasallampula :
اخطأ فقد فاصاب يه برأ القران فى قال منArtinya
“Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Ra’yunya dan
kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan.” (H.R. Abi Dawud dari
Jundab)
5
Imam Al-Qurtuby, mengatakan bahwasannya hadits Ibnu Abbas tersebut
memiliki dua penafsiran:
• Pertama : Barang siapa yang berpendapat dalam persoalan Al-Qur’an yang
pelik dengan tidak berdasarkan pengetahuan dari mazhab sahabat atau tabi’in
berarti menentang Allah
• Kedua : Barang siapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an suatu pendapat,
sedang ia mengetahui bahwa yang benar adalah pendapat yang lain, maka ia
hanya bersedia menempatkan diri di neraka.4[4]
B. Sebab-sebab Timbulnya Tafsir bii Al-Ra’yi
Pertama kali tafsir Al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara,
dari mulut ke mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab
kumpulan hadis, maka tafsir Al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan
hadis, dan merupakan satu dari beberapa bab yang terkandung dalam kitab
hadis. Pada masa itu belum ada penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari
permulaan mushaf sampai dengan akhir, dan belum ada penafsiran per judul
pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani
Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu
pengetahuan, tafsir Al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup
mandiri secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat
penafsiran, secara tertib menurut urutan mushhaf. Penafsiran Al-Qur’an pada
masa-masa pertama memakai cara naqli, yaitu yang terkenal dengan istilah al-
manhaj al-tafsīr bi al-ma’tsūr. Setelah itu para ahli ilmu menafsirkan Al-
Qur’an menurut keahlian mereka masing-masing. Kemudian setelah lahirnya
sekte-sekte aqidah didukung dengan semakin berkembangnya ilmu-ilmu
kebahasaan dibuktikan dengan dijadikan ilmu tersebut sebagai disiplin ilmu
tersendiri, bermuncullah penta’wilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat, untuk
4[4] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin,…, 258
6
menopang paham mereka masing-masing, meskipun sebenarnya bibit-bibit
ta’wil Al-Qur’an sudah dimulai oleh beberapa sahabat, seperti ‘Ali bin Abi
Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās ra. Kemudian setelah
itu, melalui Mu’tazilah, terjadilah perluasan tafsir bi al-ra’yi, sehingga tidak
terjadi pertentangan antara nash Al-Qur’an dan akal pikiran, seperti kitab
tafsir al-Kashshaf oleh al-Zamakhshāriy.5[5]
Diantara mereka ada yang menulis tafsirnya dengan ungkapan yang
indah dan menyusupkan madzhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat
memperdaya banyak orang sebagaimana dilakukan penulis Tafsir al-kassyaf
dalam menyisipkan paham ke-mu’tazila-annya.6[6]
C. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bii Al-Ra’yi
Setelah membahas sebab-sebab timbulnya tafsir bi al-ra’y, disini
akanmenjelaskan pendapat ulama tentang boleh tidaknya menafsiri Al-Qur’an
bi al-ra’y beserta dengan alasannya. Sebagian ulama mengatakan “ yang
dimaksud dengan ra’yu disini adalah ijtihad”. Karena itu, tafsir ra’yu berarti
tafsir Al-Qur’an berdasarkan ijtihad setelah mufassir mengetahui kata-kata
dan uslub orang arab dalam berbicara, serta mengetahui lafal-lafal bahasa
arab dan pengertiannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur’an
dengan ra’yu yang terbagi dalam dua pendapat :
5[5] Rosihan Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 220.
6[6] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir As,…488
7
• Pertama : Tidak diperbolehkan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu
karena tafsir ini harus bertitik tolak dari penyimakan. Itulah pendapat sebagian
ulama.
• Kedua : Pendapatkan yang membolehkan penafsiran dengan
ra’yu dengan syarat harus memenuhi persyaratan-persyaratan diatas. Ini
adalah pendapat dari kebanyakan ulama (jumhur ulama).
1. Alasan pendapat yang tidak memperbolehkan
Menafsirkan Qur’an dengan ra’yu dan ijtihad semata tanpa ada dasar
yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan.
a. Tafsir dengan ra’yu adalah membuat-buat (penafsiran) Al-Qur’an
dengan tidak berdasarkan ilmu. Karena itu tidak dibenarkan
berdasarkan firman Allah.
Artinya :
“Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat
dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui.” ( QS. Al-Bbaqoroh : 169)
b. Sebuah hadits tentang acaman terhadap orang yang menafsirkan
dengan ra’yu, yaitu sabda Rasul SAW :
, أ فليتبوّ برأيه القران فى قال ومن نار من مقعده فليتبوُأ متعمدا علّي كذّب من
( ) . مذ التر رواه النار من مقعده
Artinya :
“Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia
menepatkan dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-
8
Qur’an berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya maka hendaklah ia
bersedia menepatkan dirinya di neraka .”( H.R. Turmuzi dan
Ibnu Abbas ).
c. Firman Allah SWT, artinya :
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka.”
d. Para sahabat dan tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan Al-
Qur’an dengan ra’yunya, sehingga abu Bakar Shiddiq
mengatakan,
“ langit manakah yang akan menaungiku dan bumi manakah yang
akan melindungiku? Bila aku menafsirkan Al-Qur’an menurut
ra’yuku atau aku katakan tentangnya sedang aku sendiri belum
mengetahui betul.”
2. Alasan-alasan Pendapat yang Membolehkan Tafsir dengan Ra’yu
Ulama’ yang membolehkan tafsir dengan ra’yu adalah golongan
jumhur yang menyebutkan beberapa alasan sebagai berikut:
a. Allah telah manganjurkan kita untuk memperhatikan dan
mengikuti Al-Qur’an, seperti dalam firman-Nya:
Artinya :
“ini adalah sebuah kitab yang Kamiturunkan
kepadamupenuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses tazakkur (perenungan) tidak akan bisa dilakukan tanpa
mendalami rahasia-rahasia Al-Qur’an dan berusaha untuk memahami
artinya.
9
b. Allah membagi manusia dalam dua klasifikasi; kelompok awam dan
kelompok ulama (cerdik cendikiawan). Allah memrintahkan
mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil
dasar hukum, firman Allah:
Artinya :
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322]
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil
Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c. Mereka berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan
maka ijtihad itu sendiri niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya
banyak hukum yang terkatung-katung. Hal ini tidak mungkin karena
bila seorang mujtahid berijtihad dalam hukum syara’, ia akan
mendapatkan pahala, baik benar maupun salah dalam ijtihadnya.7[7]
D. Pedoman Penafsiran Dengan Ra’yi
Faktor yang harus di penuhi dalam penafsiran secara ra’yu, terdiri atas
empat pokok sebagaimana yang kutip oleh Ali Ash-Shaabuuniy yang
dikemukakan oleh Az-Zarkasi dalam kitabnya Al-Burhan yang dikutip oleh
Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan, yaitu:
1. Dikutip dari Rasul dengan memperhatikan hadits-hadits yang daif dan
maudhu’.
2. Mengambil dari pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan
mereka adalah marfu (sampai kepada Nabi)
7[7] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…, 279
10
3. Mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dengan membuang alternatif yang
tidak tepat dalam Bahasa Arab.
4. Pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang
Arab yang sesuai dengan ketentuan syara’.8[8]
E. Macam-Macam dan Contoh Tafsir Bi Al-Ra’y
1. Macam-macam Tafsir Bi Al-Ra’y
Para mufassir membagi tafsir bi al-ra’y kepada dua
macam, yaitu ra’y madhmumah (yang tercela) dan ra’y
mahmudah (yang terpuji). Yang pertama adalah menafsirkan Al-
Qur’an dengan pendapat semata-mata, yang tidak didukung oleh
ilmu alat. Hal ini yang dimaksud dalam hadits Nabi SAW yang artinya
: “barang siapa yang berbicara tentang Al-Qur’an menurut
pendapatnya sendiri, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya
di neraka” (HR. Tirmidzi).8[9] Sebagian besar orang yang
menafsirkan dengan ra’yu adalah orang-orang yang mementingkan
hawa nafsu dan bid’ah. Mereka menganut faham-faham yang sesat,
tidak ada alur periwayatan (rujukan) yang jelas, tidak ada dalil yang
kuat.9[10] Dimana ia menyatakan bahwa kalam Allah itu maksudnya
ini … atau itu… tafsir semacam ini adalah tafsi yang madzmum atau
tafsir yang salah.10[11] Yang keduaadalah pendapat yang didasarkan
atas ilmu dan memenuhi kriteria atau syarat tafsir, yaitu penguasaan
88[8] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…, 264
[9] Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an,…, 141
9 [10] Fahd bin Muhammad Ar-Rumi, Dirasat Fi ‘ulum Al-Qur’an, terj. Cet.1, (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996)…,274
10[11] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…, 261
11
ilmu bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharraf, isytiqaq dan
balaghah. Selain itu, seorang mufassir juga dituntut menguasai ilmu
qira’at, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun nuzul, qoss Al-qur’an, nasikh
mansukh, dan lain sebagainya.11[12]
Kitab-kitab tafsir bi al-ra’y yang tergolong al-mahmūdah yang banyak
dikenal, antara lain, adalah:
a. Mafātih al-Ghayb, oleh: Fakhr al-Dīn al-Rāziy
b. Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, oleh Al-Baidawi
c. Madārik al-Tanzīl wa aqā’iq al-Ta’wīl, oleh: Al-Nasāfi
d. Lubāb al-Ta’wīl fi Ma’ān al-Tanzīl, oleh: Al-Khāzin
e. Al-Bahr al-Mu’ī, oleh: Abū Hayyān
f. Al-Tafsīr al Jalālayn, oleh: Jalāl al-Dīn Al-Mahalliy dan Jalāl al-
Dīn Al-Suyūti
g. Gharā’ib al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān, oleh: Al-
Naisabūriy
h. Al-Sirāj al-Munīr, oleh: Al Khātib Al-Sharbiniy
i. Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abū al-Sa’ūd
j. Rūh al-Ma’āniy, oleh Al-Alūsi
2. Contoh Tafsir Bi-Al-Ra’y
Ayat Al-Quran yang jika ditafsirkan oleh orang yang bodoh akan
menjadi rusak maksudnya. Artinya
“Barang siapa yang buta (hatinya)di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang
benar.” (Q.S. Al-Isra : 72)
11[12] Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an,…, 141
12
Ia menetapkan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi
serta akan masuk neraka jahanam. Padahal yang dimasud dengan buta
di sini bukan mata, tetapi buta hati berdasarkan alasan firman Allah.
Artinya
“…….. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta ialah hati dalam dada.” (Q.S. Al- Hajj : 46)12[13]
Ayat lain yang dikemukakan oleh sebagian orang yang mengaku
pandai tentang firman Allah SWT. Artinya:
“ (ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat
dengan pemimpinnya” (QS. Al-Isra:71)
Mereka berkata bahwa maksud firman Allah di atas adalah “ Allah
Ta’ala memanggil manusia pada hari kiamat dengan nama ibunya
karena menutupi mereka.” Mereka menafsirkan kata “imam” dengan
“ummahat” (ibu) dengan berpendapat bahwa imam adalah jamak dari
umum padahal menurut ketentuan bahasa arab tidak demikian, karena
jamak dari umum adalah ummahat sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah. Artinya :
“ibu-ibumu yang menyusui kamu…” (QS. An-Nisa’)
Bentuk jamak dari ummum itu bukanlah kata imam, karena itu,
pengertian di atas menurut bahasa dan syara’ btidaklah benar.Yang
dimaksud imam disana adalah nabi yang diikuti oleh ummatnya atau
catatan amal.13[14]
F. Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Bii Al-Ra’yi
12[13] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…, 263
13[14] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…, 261
13
• Kelebihan
1. Merenung dan berpikir tidaklah akan terwujud melainkan dengan
menyelami rahasia-rahasia al-Qur’an dan berijtihad untuk
memahami makna-maknanya.
2. Istinbath berarti menggali dan mengeluarkan makna-makna yang
mendalam yang terdapat di lubuk hati.Istinbath hanya bisa
dilakukan dengan ijtihad dan menyelami rahasia-rahasia Al-Qur’an.
3. Banyak hukum yang tergali dengan cara berijtihad.
• Kelemahan
1. Tafsir Bii Al-Ra’yi adalah mengatakan sesuatu tentang kalamullah
tanpa berdasarkan suatu ilmu, dan ini dilarang.
2. Adanya ancaman sebagaimana dikatakan didalam hadits bagi orang
yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya.
3. Tidak ada yang mampu memberikan keterangan terhadap makna-
makna Al-Qur’an kecuali Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi
Wasallam.
BAB IIIPENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada saat ini rupanya sangat sulit untuk memahami fenomena-
fenomena tanpa adanya pemahaman fenomena yang terjadi dimasa-masa awal
ketika Al-Qur’an diturunkan.Jika kita rasakan sepertinya wahyu sangat terasa
14
membumi ketika awal-awal Al-Qur’an di turunkan dan rasul berserta
sahabatnya masih hidup, karena rujukan dan sumbernya dapat ditemukan
langsung.Tetapi hal ini tidaklah menjadi suatu peghalang dalam melihat dan
menganalisis Al-Qur’an yang tentunya tetap berpijak pada pemahaman yang
pertama kali dicontohkan.
Pendapat yang tidak membolehkan adanya penafsiran bi al-ra’y
pernah dianggap sebagai biang keladi adanya kejumudan berpikir dikalangan
umat Islam, karena pendapat tersebut memberikan rasa takut dan
menyebabkan tidak mengkaji isi Al-Qur’an, masalah-masalah lain yang
menjadi bukti kuat kekalnya Al-Quran.Penggunaan tafsir logika tidak
dibenarkan jika dipakai dalam mengkaji kegiatan ubudiyah yang tidak
mungkin terjadi adanya perubahan. Penafsiran ini hanya bisa dipakai untuk
masalah-masalah sosial atau aspek kehidupan yang sangat dinamis, dan
berkembang pesat yang membutuhkan kajian sesuai dengan petunjuk Al-
Qur’an, menghasilkan teori yang relevan dengan dinamika yang ada dengan
berdasar pada kekalnya Al-Qur’an dan jawaban terhadap masalah-masalah
yang terjadi, hal ini merupakan konsekuensi logisnya.
B. SARAN
Sebagai umat Islam, hendaknya kita membuka, memperluas dan
mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Sebagai generasi kaum muslim, sudah
seyogyanya kita mengetahui cabang-cabang ilmu Al-qur’an seperti tafsir, dan
lain-lain. Dengan mengetahui berbagai macam tafsir maka akan menambah
15
pengetahuan, baik untuk digunakan secara pribadi juga untuk disebar luaskan
di lingkungan sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rumi, Fahd bin Muhammad, 1996, Dirasat Fi ‘ulum Al-Qur’an, terj. Cet.1, Yogyakarta: Titian Ilahi
Ash Shaabuniy, Muhammad Ali, 1998,Study Ilmu Al-Qur’an,Alih Bahasa Aminuddin, Bandung:PustakaSetia
16
Al-Qattan, Manna’ Khalil, 2007,StudiIlmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir As, Bogor: PustakaLiteraAntar Nusa
Yunus, Mahmud, KamusArabi – Indonesia, Jakarta: YayasanPenyelenggaraPenterjemahPentafsiran Al-Qur’an
Yusuf, Kadar M, 2009, Study Al-Qur’an, Jakarta: AMZAH
17