Download - Catatan Usang Seorang Juru Tulis
1 | Maryam Chilvalry
Catatan Usang Seorang Juru Tulis
Oleh : Trides
“Maryam Chilvalry”
2 | Maryam Chilvalry
Pengantar Redaksi
Trides, anak dari seorang Legiun Veteran RI, lahir di Lasi, Kecamatan Canduang,
Kabupaten Agam, Sumatera Barat tahun 1965. Trides seorang sarjana pendidikan,
mantan Kepala Sekolah Dasar, dan peminat sejarah. Di Bukittinggi dia juga dikenal
sebagai budayawan dan wartawan setempat yang produktif menulis. “Maryam
Chilvaldry”, sebuah nama yang pemberian orangtuanya empat puluh tahun lalu,
merupakan satu bagian “Trilogi Catatan Usang Sang Juru Tulis”. Cerita tentang
Perang Kamang tahun 1926, menentang pemberlakuan Belasting oleh Pemerintah
Belanda 1908
Novel sejarah ini terdiri dari 25 bab. Guna meringankan pembaca dari pembukaan
halaman blog, Redaksi (Cantigi) akan membagi-baginya lagi secara porposional –
dengan tidak mengurangi isinya. Novel karangan Trides ini akan dimuat secara
bersambung.
Redaksi merasa perlu memuat Pengantar oleh Trides, sebab musabab dia
mengarang novel ini dan usaha – usaha yang ia lakukan merangkai sejarah dalam
bentuk fiksi.
Selamat membaca,
3 | Maryam Chilvalry
Pengantar dari Penulis
Wahai Ananda!
Simaklah apa yang telah diperbuat leluhurmu.
Berbuatlah kini & nanti untuk dunia & akhiratmu
Dan
Muliakanlah Ibumu !
Karena sorgamu atas keikhlasannya.
[Ttd, Ayahanda]
Sumber :
http://rizalbustami.blogspot.com/search/label/NOVEL
4 | Maryam Chilvalry
Pengantar
Bukan sekedar ‘bertanam tebu di bibir’ saja atas ungkapan Sang Proklamator RI, Ir.
Soekarno yang dikutipnya dari ucapan funding father Amerika Serikat, bahwa
“bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”.
Pertanyaan kita, bagaimana kita dapat menghargai sejarah perjuangan bangsa
pada masa lalu ?
Dalam hal menghargai makna sejarah tentang masa lalu perjalanan bangsa ini
adalah melalui pengkonstruksian kembali pilar-pilar sejarah pada setiap
periodenya. Merekonstruksi kembali fakta-fakta sejarah masa lalu itu tidak hanya
saja diaktualisasikan dalam bentuk penulisan sejarah secara ilmiah, malainkan
dalam bentuk pengkisahan yang dikemas dalam penulisan non fiksi. Karena non
fiksi adalah fakta-fakta dan data-data yang dirangkai dalam bentuk sajian sastra.
Maka pada buku yang terkembang di tangan anda ini adalah bahagian pertama dari
“Catatan Usang Sang Juru Tulis”. Tema ini tidak lain adalah berangkat dari cerita
rakyat Sumatera Barat yang telah menjadi bahan kajian para sejarawan dan
sebahagian besar telah diaktualisasikan dalam bentuk karya ilmiah dengan
berbagai judul dan periodesasi tentang sejarah perlawanan rakyat Sumatera Barat
dalam menentang kolonialisme Belanda dari berbagai dimensi, sudut pandang
penelitiannya. Diantaranya adalah Perlawanan Rakyat Menentang Pemberlakuan
Belasting 1908, Pemberontakan Kamang 1926 dan Revolusi Fisik Pasca Proklamasi.
Setelah kita telusuri mata rantai sejarah perlawanan rakyat terhadap kolonialis di
Sumatera Barat tersebut akan terlihatlah seutas benang merah yang ditandai
dengan setiap akhir periodesasi perlawanan rakyat tersebut selalu menyisakan
benih perlawanan untuk periode berikutnya, meskipun hal itu bukanlah suatu
kesengajaan dan dipersiapkan pada masa-masa sebelumnya.
Namun, waktulah sesunggunhnya yang telah berperan dan rangkaian fakta lah yang
berkisah dan menyambung mata rantai sejarah perlawanan rakyat tersebut.
Kedua, atas pemikiran di atas maka fakta fakta sejarah ‘Perang Kamang 1908’
yang dirangkai dalam novel sejarah “Maryam Chivalry” yang sedang terkapar di
tangan pembaca ini yang dikenal juga dengan ‘Perang Belasting 1908’ itu ditulis
bukan dalam bentuk penulisan sejarah (ilmiah). Tujuan dari penyajian dalam
bentuk novel sejarah ini adalah untuk memikat minat membacanya sehingga fakta
dan pesan sejarah itu sampai dan menjadi lebih bermakna kepada yang bukan
sejarawan semata.
Umumnya rakyat di Sumatera Barat pada waktu itu (1908), terutama di Kamang
dan Mangopoh tidak bersedia menerima perlakuan sepihak oleh pemerintah
Belanda, yang secara sewenang-wenang melanggar rasa keadilan rakyat. Rakyat
5 | Maryam Chilvalry
tidak bersedia untuk terus menerus dimelaratkan oleh keadaan perekonomianya
dengan suatu ‘stelsel’ peraturan, perpajakan yang berat dan tak beralasan.
Walaupun Peristiwa Kamang dan Mangopoh tahun 1908 bersifat lokal dan daerah,
tetapi hal itu adalah sekedar ukuran geografis saja, karena jiwa yang
mendukungnya adalah jiwa nasionalis karena ia dengan perlawanan duhulu itu
menunjukkan watak anti kolonialismenya anti imperealismenya. Malah dapat
dikatakan merupakan bentuk perlawanan pertama kalinya oleh rakyat terhadap
bentuk eksplotasi dan belasting, setidaknya untuk ukuran Minangkabau (Sumatera
Barat) saat itu.
Watak anti kolonialisme ini, setidaknya untuk pertama kali tertuang secara tertulis
dalam kesepakatan tokoh-tokoh masyarakat (pimpinan adat, ulama dan
pemerintahan nagari) di Solok dengan Gubernur Thomas Stanfort Raffles pada 20
Juli 1818. Pernyataan politik yang berisikan anti kolonialisme – Belanda – itu
sengaja untuk disampaikan kepada Raja Inggris guna ditindak lanjuti, sehubungan
dengan penyerahan kembali Hindia-Belanda oleh Inggris kepada Belanda pada
tahun 1916. Karena permintaan orang Minangkabau kepada Inggris tidak digubris,
maka dua tahun kemudian (1820) meletuslah Perang Paderi yang pada masa
akhirnya dapat kita artikan sebagai ‘Perang Minangkabau’ melawan pemerintahan
Belanda.
Perang Kamang 1908 adalah mata rantai dari perang Paderi. Dalam anggapan
penduduk Minangkabau perlawanan Paderi terhadap pemerintah Belanda belumlah
selesai, karena penangkapan Tuanku Imam Bonjol (Peto Syarif) sebagai pimpinan
Paderi waktu itu adalah karena kecurangan Belanda akibat tidak kuatnya lagi
menanggung beban perang untuk memusnahkan perlawanan rakyat Minangkabau
tersebut, dan bahkan beberapa perlawanan rakyat di nusantara ini.
Malahan, kalau kita melihat di seluruh panggung sejarah Asia, maka permulaan
abad ke-20 itu dan khususnya tahun 1908, adalah abad pergolakan rakyat di Turky,
Afganistan, India, Mesir dan Rakyat Tiongkok yang mulai menentang penjajahan
Eropa Barat. Maka peristiwa Kamang dan Mangopoh 1908 itu, dan lain peristiwa
lagi di seluruh Indonesia pada waktu bersamaan menunjukkan bahwa rakyat
Indonesia tidak mau kalah dalam pergolakannya melawan penajajahan itu. Hal ini
adalah bukti senyata-nyatanya rakyat sedang mengalami zaman ‘rebirth of the
Indonesia nation’, zaman ‘renaissance’ atau zaman kebangunan kembali.
Dari berbagai literatur sejarah Perang Kamang pada 15 Juni 1908 itu, yang kita
baca dikemudian hari, ternyata ditemui data sejarah tentang keterlibatan kaum
‘Siti Hawa’ secara totalitas sebagaimana layaknya kaum ‘Adam’ dalam peperangan
itu. Sehingga semakin memperkuat ide penulisan kembali tentang Sejarah Perang
Kamang 1908 sebagai sejarah lokal yang tidak kalah momentumnya terhadap
kebijakan pemerintah Belanda, dan kemudian keinginan untuk mengungkapkannya
6 | Maryam Chilvalry
dalam bentuk novel sejarah ini semakin mencuat menjadi sebuah gagasan dan
obsesi.
Agaknya, selama ini para pengarang dan peneliti sejarah hanya terfokus kepada
pengkajian pada sosok peperangan tersebut dalam momen semangat dan jiwa
patriotis orang Luhak Agam dan Minangkabau secara umum, namun penggalian
akan emansipasi kaum perempuan dalam semangat patriotik itu kuranglah
dikisahkan.
Kalaulah hal ini sebagai pesan moral dalam semaraknya pergunjingan akan issu
global ‘emansipasi’ dan ‘gender’ apakah tidak sebaiknya juga dipaparkan tentang
karakter orang Minangkabau yang telah lebih awal memperkecil jurang tentang
peran laki-laki dan perempuan dalam berbagai kesempatan, dan bahkan dalam
segala bentuk perjuangan hidup.
Dalam alur cerita, novel sejarah ini, kaum Hawa dalam pengertiannya bukanlah
semata sebagai wanita (pemuas nafsu), tetapi lebih memberi makna sebagai
seorang perempuan, seorang ibu (pertiwi) dan Bundo di Minangkabau.
Cerita – novel sejarah - ini bisa menepis keengganan generasi muda, baik siswa
maupun mahasiswa akan daya pikatnya untuk mengetahui makna historis tentang
masa lalu zaman leluhurnya sendiri dalam semangat nasionalis.
Maka, dalam kisah ini peran kaum perempuan dari nagari Kamang ini ditokohkan
oleh Siti Maryam, Siti Aisyah dan Siti Anisyah. Nama-nama itu adalah fakta. Ya,
karena itulah nama-nama srikandi yang sangat berperan semenjak jauh hari
sebelum dan pada saat meletusnya Perang Kamang 1908 menjadi perhatian
tersendiri untuk dikisahkan dalam buku ini. Mereka adalah Sirkandi-srikandi dari
Tanah Kamang disamping pejuang perempuan lainya yang kita temukan di pelosok
Minangkabau.
Siti Maryam, gadis perawan yang sedang berangkat dewasa, yang berasal dari
Kampung Hanguih Kumpulan-Bonjol. Pada mulanya Siti Maryam hanya ingin
belajar agama dan ilmu ilmu lainya kepada Haji Abdul Manan di Kamang. Namun
dalam perjalannan hidupnya ternyata dia turut menceburkan diri ke kancah konflik
dan peperangan, turut menyinsingkan lengan bajunya pada malam ‘pembantaian’
15 Juni 1908 di Kamang itu. Akan tetapi sebelumnya dia juga telah berperan aktif
sebagai tenaga propaganda yang memprovokasi masyarakat bersama Siti Aisyah
dan Siti Anisyah.
Bahkan dia sering menjalankan misi dakwah anti Belasting dan anti Belanda ke
seantero daerah, seperti ke Pasaman, Lubuk Basung, Mangopoh dan Pariaman.
Cuma saja setelah Perang Mangopoh tanggal 16 Juli 1908 namanya tidak terngiang
lagi, sehingga kita pun kehilangan jejak akan dirinya dan perjuangannya. Dan dari
selentingan kisah perang Kamang dan Mangopoh tahun 1908 itu, ternyata si
7 | Maryam Chilvalry
perawan, Siti Maryam turut gugur dalam pertempuran di Mangopoh pada malam 16
Juni 1908.
Pada waktu-waktu melintasi kampung dan pedusunan dalam kunjungannya ke
beberapa daerah tujuan guna menjalankan misi propagandanya, Siti Maryam selalu
menyempatkan pula untuk membantu pekerjaan-pekerjaan penduduk kampung di
sepanjang perjalanannya, seperti ‘manggaro’, ‘mangisai’ dan ‘ma-angin’ padi atau
pekerjaan wanita lainnya yang mungkin di kerjakan. Kesemua bantuannya itu
dilakukannya dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih, tandanya ‘berat sepikul
– ringan sejinjing’ sebagaimana yang terkandung dalam nilai-nilai budaya
leluhurnya. Yang menariknya lagi perjalanan jauhnya itu ditempuhnya dengan
duduk berayun di atas pelana yang bertengger di punggung seekor kuda betina.
Meskipun plot cerita tentang kemahirannya menunggangi kuda, dan berbagai
bantuan fisik dan mental yang dia sumbangkan untuk rakyat yang membutuhkan
tidak ditampilkan dalam kisah ini, namun setidaknya telah menempatkannya
bagaikan seorang – ‘Chivalry’ – yang tegar dalam setiap medan dan situasi.
“Chivalry”, bukanlah sebuah gelaran di akhir nama, adalah sebuah kata yang
mengandung pengertian setara dengan satria atau srikandi sejati; berani, kuat dan
seorang pejuang yang tangguh yang murah hati kepada sesama dan selalu
melindungi yang lemah, setia kepada majikannya serta selalu berbakti kepada
Tuhan.
Penempatan kata ‘Chivalry’ pada karya ini tidak lebih memperlihatkan kesetaraan
posisi wanita Minangkabau, adalah juga memiliki sifat dan karakter yang sama dan
bukan saja bangsa Eropa yang memiliki superioritas dalam semangat patriotrisme
untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Sehingga disandingkanlah kata Perancis kuno itu dengan nama-nama seorang
pejuang wanita Minangkabau yang keberadaannya cukup unik, setidaknya di negeri
Kamang, sehingga menjadi “Maryam Chivalry”, sebagai lokus pengkisahan dari
serangkain “Catatan Usang Sang Juru Tulis” ini.
Lain halnya dengan Siti Aisyah dan Siti Anisyah. Siti Aisyah, perempuan muda nan
molek bersuamikan M. Saleh Dt. Rajo Pangulu berasal dari Kamang Hilir sekarang,
tapi belum mempunyai anak. Dan Siti Anisyah yang masih muda sudah punya anak
satu orang, Ramaya namanya dari hasil perkawinannya dengan St. Nan Basikek.
Siti Aisyah dan Siti Anisyah adalah dua orang sosok perempuan (Bundo) yang turut
berkuah darah dalam sebuah pertempuran rakyat Kamang Luhak Agam dalam
menentang ‘stelsel’ Penjajahan Belanda, terutama sekali setelah Belanda
melancarkan peraturan tentang pembayaran Balasting (pajak langsung) dan ‘rodi’
pada tahun 1908, pengganti peraturan Tanaman Paksa (jenis kopi) yang telah
dilancarkan Belanda semenjak zaman Paderi.
8 | Maryam Chilvalry
Namun dalam lembaran sejarah perjuangan rakyat Sumatera Barat menentang
penjajahan, nama Siti Aisyah dan Siti Anisyah tidak obahnya dengan nasib yang
bersua pada diri Siti Maryam, hanyalah sebaris kalimat dalam mengisi halaman
sejarah itu.
Akan tetapi apabila kita coba mencari sebuah makna dan nilai tiadalah dapat
disetarakan dengan siapa pun karena pada zaman kegelapan dunia pendidikan
sekuler, pada zaman yang masih berlampu ‘damar tondeh’ sebagai penerang
malam di rumah gadang dan pada saat kekangan adat istiadat Minangkabau masih
kental dari pada zaman sekarang, ternyata tampillah beberapa orang anak cucu
Siti Hawa memegang sebuah kalewang (rudus) di malam buta menyibakkan kabut
mesiu, menghadang timah panas dan ‘mentulikan’ pendengaran akan gonggongan
senjata Belanda yang tergolong amat modern pada waktu itu.
Memang, Tigo Sejoli (Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam) ini serupa tapi tak
sama dengan Siti Mangopoh, walau pun tidak memimpin sebuah pasukan yang oleh
Belanda dikatakan sebagai pemberontak itu, namun peran yang mereka mainkan
sangatlah besar dan sangat berarti.
Hal ini tidak saja sebagai “Bundo” yang turut kemedan laga namun jauh hari
sebelumnya telah giat sebagai badan propaganda dari rumah ke rumah, bahkan di
sumur tepian mandi pun agitasi dalam menanamkan semangat juang terhadap
penjajah Belanda mereka lakoni, dan sekaligus mempersipakan diri secara matang
pun mereka lakukan seperti memperdalam ilmu silat, ilmu kebatinan berupa ilmu
kebal dan peringan tubuh dan termasuk nantinya ilmu tasauf yang sering juga
disebut dengan ilmu akhirat.
Kenyataannya, tidak sedikit darah Belanda yang mengalir di pedangnya sebagai
bukti seorang ‘srikandi’ yang benar-benar tangkas, berpencak dengan ilmu
persilatan yang dia kuasai sambil meneriakkan kalimat takbir dan tahlil dalam
kecamuk pedang disela-sela desingan peluru senjata serdadu L.C. Wetenenck.
Mereka bukan sekedar berteriak “Demi Agama” akan tetapi lebih bermakna pula
“Demi Nusa dan Bangsa”-nya kelak. Mereka benar-benar maju ke medan laga yang
tak kalah semangatnya dari suami suaminya yang tercinta, meskipun timah panas
serdadu marsose menembus dada dan kepalanya beberapa kali untuk mengakhiri
perlawanannya.
Siti Aisyah meninggal tersungkur di atas pematang sawah yang disusul oleh
suaminya M. Saleh Dt. Rajo Pangulu, semenatara Siti Anisyah terbunuh saat
berupaya menebus darah Siti Aisyah. Tak terpikirkan olehnya dengan siapa anaknya
kelak diasuh dan dibesarkan. Bukankah anak semata wayang ‘Ramaya’ adalah
sebagai ‘pengobat hati pelerai demam ?’. Akhirnya suaminya, St. Sikek pun
tersungkur di sisi tubuh istrinya yang dia cinta itu.
9 | Maryam Chilvalry
Itulah akhir sebuah episode dalam kecamuk masa disebuah hamparan sawah di
Kampung Tangah-Kamang sampai menjelang subuh 16 Juni 1908.
Catatan usang yang dimaksudkan disini adalah berupa pengaktualisasian, meskipun
tidak dikatakan sebuah rekonstruksi dari fakta fakta sejarah yang berserakan dan
belum menjadi kajian sejarah murni yang utuh dalam episode Perang Kamang 1908
tersebut, dan bahkan termasuk beberpa fakta yang belum mencuat dalam karya-
karya sejarawan sebelumnya.
Maka, pengungkapannya pun di perankan oleh seorang jurutulis yang ‘larek’,
berangkat ke negeri orang. Dalam misi penyelamatan diri itulah kisah ini ditulis
kembali. Sosok si ‘Juru Tulis’ dalam novel ini adalah tidak lebih dari kamuflase dari
sebuah icon akan upaya-upaya seorang – pecinta sejarah – untuk pengaktualisasian
kembali dari sejarah yang tercecer yang mungkin saja luput dari kajian dan
penelitian para ahli sebelumnya, dan atau sebagai pelengkap dari kisah-kisah yang
telah ada sebelumnya. Sedangkan ‘larek’ dapat pula diartikan disini tidak lain
adalah sekedar gambaran akan jaraknya data faktual (kejadian) Perang Kamang
1908 itu dengan masa penulis merangkainya dalam pengkisahan ini, pada saat ini.
Ibarat sebuah lokomotif, maka jalan cerita ini hanyalah sekedar pembawa gerbong
gorbong fakta sejarah tentang kisah heroik di sebuah sudut negeri di Minangkabau
ini pada tengah malam buta, semangat patriotis yang dilandasi oleh nasionalisme
yang dalam dari para pejuang kita itu tidak menghiraukan darahnya telah kering
membasahi pertiwi demi nusa dan agama. Tinggal lagi bagaimana kita menghargai
darah (leluhur) pejuang yang ‘taserak’ dalam kenikmatan kemerdekaan kita pada
saat sekarang ini, setidaknya sebagai kearifan lokal dalam khasanah perjuangan
anak bangsa untuk menengakkan harga diri dan gagasan kemandiriannya serta
martabat bangsa dan kebangsaan.
Bahkan melalui novel ini pula kita akan menemukan pula sederetan nilai-nilai dan
dakwah Islam yang bersumberkan dari firman firman Allah, Swt dan sabda
Rasulullah sebagaimana yang dikutipkan dari al-Qur’an kitabullah dan para perawi
hadist (shahih) yang berhubungan dengan cinta, arti dan makna kebangsaan dan
perjuangan untuk mencapai kedaulatan, kemerdekaan yang terkendali oleh nilai-
nilai yang islami dan budaya ketimuran, khususnya dalam persepektif ke-
Minangkabau-an.
Ide itu semakin lama semakin mengkristalisasi, dan menemukan kerangkanya dan
memulai menorehkan fakta dan khayal untuk novel yang berada di tangan pembaca
saat ini, setelah dikejutkan oleh sepotong kalimat seorang pujangga Sir Philip
Sidney yang dinukilkan kembali oleh Richard E. Rubenstein. Katanya “’Wahai tolol
!’ kata suara batin kepadaku, ‘lihatlah ke dalam hatimu dan menulislah’.” Adalah
patut pula penulis menyampaikan terimakasih kepada kedua tokoh kawakan dunia
tersebut.
10 | Maryam Chilvalry
Terimakasih, penulis
11 | Maryam Chilvalry
Ucapan Terimakasih
Dalam kesempatan ini, untuk pertama sekali penulis mengaturkan rasa terimakasih
yang sangat dalam kepada Bapak. H. Ibrahim Kesah Angku (I.K.A) Payuang Ameh
dan Bapak Drs. H. Djazuli Dt. Gampo Marajo (keduanya sesepuh Kamang yang
berdomisili di kota Bukittinggi).
Karena berkat kedua orang tua inilah beberapa literatur dan diskusi seputar Perang
Kamang 1908 itu penulis dapatkan dan dikembangkan. Dan pada suatu ketika hasil
diskusi dan wawancara yang diramu dengan berbagai literatur penulis menemukan
ide untuk merekonstruksikan kembali sejarah yang terpendam itu dalam bentuk
novel sejarah.
Terimakasih yang tidak terhingga pun penulis sampaikan kepada mantan Gubernur
Sumatera Barat terpilih (Periode 2005-2010) H. Gamawan Fauzi (Mendagri), SH, MM
Dt. Rajo Nan Sati, karena perhatian beliau terhadap para ‘penulis lokal’ dan
terutama karena bersama beliau mendapat kesempatan mengunjungi makam
Pahlawan Perang Kamang 1908 tersebut pada saat Kampanye Pilkada Gubernur
Sumatera Barat tahun 2005 lalu di Kamang Hilir sekarang.
Terimakasih penulis pun dilayangkan buat Drs. Cecep Trisnaldi, staf Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Sumatera Barat di Padang, yang telah
menyumbangkan foto-foto kuno bermuatan historis di Sumatera Barat dari dalam
‘hardisk’ komputernya.
Dan terkhusus pula rasa terimakasih penulis disampaikan kepada seorang sahabat
Asra Fery Sabri, yang telah turut mempreteli draft novel ini dan memberikan
beberapa literatur, saran dan kritiknya sebagai pertimbangan lebih lanjut demi
kematangan penulisan novel ini.
Salam maaf dan terimakasih penulis kepada seluruh nara sumber dan kepada pihak
keluarga pejuang perang Kamang 1908 itu yang tidak dapat disebutkan nama dan
dipanggilkan gelarnya satu persatu, karena mungkin saja banyak hal yang kurang
berkenan untuk menerima jalan cerita ini, tetapi bukanlah itu yang penulis
maksudkan namun adalah sekedar penyampai fakta sejarah dalam bentuk ‘kisah’
novel.
Akhirnya terimaksih penulis kepada istri dan anak-anak yang tercinta, karena
kearifannya dengan selalu menyiapkan ‘kopi panggang’ pada saat-saat penulis
sedang berkonsentrasi dalam mengemas naskah ini. Dan semoga arwah Ayah-Bunda
pun ditempatkan oleh Allah, Swt pada tempat yang mulia.-
Wassalam, Penulis !
12 | Maryam Chilvalry
1. Larek
DALAM perjalananku ke rantau Tanah Semenanjung, tepatnya aku mensunyikan
diri di Saremban, namun sebelumnya saya coba untuk bersembunyi di Sungai
Ujong jua adanya, sebagaimana yang disarankan sang inspiratorku Haji Abdul
Manan guna melengkapi tarikh yang aku susun setelah kemelut Kamang Berdarah
1908 itu.
Pada ‘larekku’, kepergian meninggalkan kampung ke negeri orang karena sesuatu
hal yang tidak memungkinkan lagi hidup dikampung halaman. Di rantau inilah
semua kisah Perang Kamang 1908 aku lengkapi dengan berbagai kejadian,
termasuk beberapa kebijakan pemerintah Belanda dan pengaruhnya di
Minangkabau, baik sebelum dan sesudah perang Kamang tersebut. Dan sedikit
pengetahuanku tentang kolonialisasi, imperealisasi ataupun imperium bangsa Barat
di tanah leluhur kita telah turut pula mengisi relung-relung ‘larek’-ku.
Larek dari kampung halaman bermula seusai Kamang Berdarah pada tengah malam
15 Juni 1908 dan 16 Juni 1908 di Mangopoh yang telah menamatkan riwayat
perjuangan para Srikandi. Seusai Kamang dan Mangopoh berkuah darah, selama
lima hari aku bersembunyi di hutan Bukit Batu Bajak dipinggir kampungku dan
bertepian dengan negeri Suliki dan Suayan Sungai Balantiak di Luhak Limo Puluah
Koto.
Dari persembunyianku di hutan Bukit Batu Bajak itu, komunikasi kami ke
perkampungan masih tetap ada dengan bantuan seorang petani peladang dan
bahkan dari dia aku mencoba menaksir kembali berapa jumlah korban perang
ditengah malam itu.
Tapi setelah Mak Kari Mudo menyampaikan pesan Mak Garang Datuak Palindih,
seorang Laras di Kamang Hilir yang berpihak kepada perjuangan rakyat dan
13 | Maryam Chilvalry
memberiku uang sekedarnya untuk bekalku melarikan diri barulah aku
menyeberang melintasi Bukit Barisan itu.
“Kata Mak Datuak Garang kepadaku, Mak Kari Mudo menirukan pesan Mak Datuak
Garang ‘kamu harus secepatnya – larek – melarikan diri dari kampung ini,
upayakan kamu selamat untuk menyeberang ke Malaya’. Dan ini sedikit uang
bekalmu dalam perjalanan menuju rantaumu. Uang ini juga diberikan oleh Mak
Dt. Garang,” katanya padaku.
“Dalam masalah perang ini dan apapun yang terjadi pada kami biarlah kami yang
mempertanggung jawabkannya di meja hijau Ulando nanti. Dan mengenai
pejuang-pejuang kita yang selamat jangan pulalah kamu hiraukan. Tapi yang perlu
kamu risaukan adalah risalah perang ini supaya sampai kepada anak cucu kita
nantinya, terutama pada zaman orang tidak lagi peduli atau memperdulikan
hakikat perang Kamang ini dalam mengusir penjajah dan pengkafiran oleh bangsa
asing di negeri yang berbudaya serumpun Melayu ini,” sambung Mak Kari Mudo
untuk terakhir kalinya kepadaku.
“Apakah mamak dan mak Datuak akan menyerahkan diri ?,” tanyaku kepada
beliau.
“Agaknya, seperti itu. Dari pada dunsanak, anak-kemenakan terutama yang
perempuan diancam pihak Ulando terus-menerus, mungkin lebih baik kami
menyerah saja,” awab beliau.
Sejak itu aku pun mulai menapak perjalanan rantauku dengan berbagai
penyamaran yang aku lakukan. Pada sore harinya mulailah akau mendaki Bukit
Barisan untuk turun di seberangnya menuju kampung Talang Anau dan Pandan
Gadang di Suliki. Dari Suliki aku menyisir ke arah Mahat dan seterusnya mengikuti
aliran Batang Mahat yang bermuara di Batang Kampar Kanan.
Dengan biduk yang dipergunakan rakyat di kampung itu aku menelusuri Batang
Kampar menuju Sungai Siak sebagai seorang pedagang yang membawa hasil bumi
dan sedikit candu, meskipun haram tapi adalah untuk berjaga-jaga kalau ada
pemeriksaan maka dengan memberikan secumut candu kepada petugas sudah
dapat melepaskan diri dari sederetan pertanyaan. Karena kala itu pemeriksaan
terhadap siapa saja keluar masuk sungai Siak sudah mulai diperketat sebagai akibat
dari perlawanan anti belasting itu.
Selat Malaka aku lintasi dengan menaiki sebuah tongkang, sejenis perahu kayu
ukuran agak besar yang didorong oleh angin guna membawa barang-barang
dagangan. Di atas sebuah Tongkang yang berbentuk agak persegi panjang itu dan di
sela-sela tumpukan kulit manis dan gambir aku duduk dibawah sapaan angin laut di
Selat Malaka yang bertiup lembut, yang membuat mataku lemas dan rasa
mengantuk pun menimpa kedua pelupuk mataku. Rasa mengantukku berperang
antara khayal dan fakta yang aku hadapi di negeri orang nantinya.
14 | Maryam Chilvalry
Tapi itu tak berlangsung lama, persis menjelang pertengahan laut, awan hitam
menggulung seakan menyapu kami yang terapung-apung di laut itu. Tapi si Tekong
yang sudah berpengalaman, malah memberikan obat penawar atas kecemasan
kami yang berjumlah tujuh orang menumpang tongkangnya itu.
Tekong mencoba memberikan penjelasan tentang bentuk-bentuk awan, arah angin
dan tipe hembusan angin mana yang berbahaya dan sebagainya. Setelah angin agak
reda, badai sesaat sudah surut maka kami pun sudah mulai tenang kembali. Pada
saat itu aku pun mencari posisi yang agak aman, duduk menyendiri menatap
matahari yang sudah hampir memperlihatkan jingga di ufuk Barat.
Lama-lama dalam lamunanku muncul segala pengetahuanku tentang peranan Selat
Melaka itu semenjak zaman purba dahulu kala, dan lamunan itu terus menjalari
benak yang berada di bawah ubun-ubunku ke masa-masa berikutnya. Apalagi pada
saat Selat Malaka pernah menjdi rebutan antara Peranggi di Timur (Malaka), Aceh
di Barat dan Demak di Selatan. Meskipun akhirnya Demak dan Aceh beserta daerah
Melayu lainnya termasuk Bugis bergabung untuk menghantam Peranggi di Melaka,
namun gonggongan meriam-meriam Peranggi itu masih kuat menyalak untuk
mendesak pasukan Barat dan Selatan yang dibantu oleh pasukan Bugis-Makasar,
surut kembali ke keratonnya masing-masing guna menghitung hutang perangnya
kepada rakyatnya masing-masing. Perang itu tentu terjadi di laut ini. Di Laut Selat
Malaka ini.
Kebencian dan kekesalanku semakin memuncak pada saat aku menyaksikan
langsung di negeri Malaka bahwa perairan Selat Malaka semakin menjadi rebutan
bangsa asing yang silih berganti antara imperium Peranggi, Ulando dan Anggarih.
Mereka adalah bangsa yang rakus yang tidak mengenal peri kebangsaan orang lain,
dan seenaknya menghujat bangsa pribumi bahwa sejengkal tanah yang telah
didudukinya itu adalah tanah kerajaannya untuk kejayaan dan kemegahan
gerejanya dalam prinsip kolonialis dan imperealisnya yang terkenal dengan 3-G
(Gold, Glory dan Gospel) itu.
Meskipun hanya sejengkal tali kailku tentang sejarah masa lalu nusantaraku ini
lantaran aku tidak berkesempatan untuk melanjutkan perbekalanku di sekolah
yang sedianya untuk anak-raja-raja itu, akan tetapi seteguk pengetahuanku telah
membuat mataku terbuka tentang kedahsyatan penjajah di negeriku. Misalnya saja
sesudah perang Kamang dan Mangopoh 1908, maka pada tahun 1915 pemerintah
Ulando mengeluarkan peraturan agraria yang menyatakan bahwa semua tanah yang
tidak ditempati jatuh pada hukum pemerintah (Red: baca tanah negara), dengan
sendirinya konsep tanah adat (ulayat) tidak diakui lagi.
Begitulah sekelumit lamunanku sewaktu mengharungi Selat Malaka kebanggaan
nusantara.
15 | Maryam Chilvalry
Sampailah aku di negeri yang dituju. Tidak lama berada di negeri jiran melalui
sahabat dan karib kerabat Inyiak Manan di Sungai Ujong, dimana tempat aku
ditampung aku dapatkan sebuah dokumen baru berupa laporan kontrolir Oud Agam
kepada atasannya. Laporan L.C. Westenenck kepada Gubernur Jendral Ven Heutsz
di Batavia melalui telegram tanggal 17 Juni 1908, kemudian disusul laporan
Gubernur Sumatera Barat Heckler No. 1012 tanggal 25 Juni 1908. Adalah tidak
mengurangi arti apabila aku kutipkan pada bahagian ini.
Westenenck dan Heckler memberikan sebuah gambaran bahwa “... suasana malam
pada saat terjadi pertempuran di Kamang 15 Juni 1908, seumpama satu malam
dimana jurang antara ras manusia dengan segala kekuasaannya sudah tidak ada
lagi, yang ada cuma kelompok kemarahan yang saling bertentangan di dalam diri
manusia-manusia yang bertatapan dengan buasnya melalui kerlipan bintang
bintang di langit. Siap untuk saling membunuh diantara kelompok yang
bertentangan itu.”
Laporan L.C. Westenenck dan Gubernur Sumatera Barat Heckler tersebut terkesan
meminta pembenaran atas tindakan yang diambilnya untuk menjalankan rodi dan
belasting, meskipun banyak menelan korban dipihak prajuritnya pada malam 15
Juni 1908 dalam “Pemberontakan Kamang 1908” yang lebih dikenal rakyat umum
dengan sebutan “Perang Kamang 1908” itu.
Barangkali ini pulalah sebabnya pertimbangan Haji Abdul Manan mempercayai aku
sebagai juru tulis yang kadang kala sebagai juru bicaranya.
“Apakah faktor ini pula yang membuat Siti Maryam, terpaut hatinya dan
tergantung angan fikirannya padaku?” Pertanyaan itu akhir-akhir ini sering pula
menghisasi kegalauanku. Sering sosok Maryam membayangi kesendirianku, sering
pula aku bertanya dalam hati, menyurat dalam bathin dalam kehanyutan khayalku
pada orang yang aku cintai itu.
Pada suatu petang, sewaktu aku telah bermukim di Bandar Saremban Negeri
Sembilan kembali anganku melayang kepada gadisku, Siti Maryam.
“Maryam, dimana kau berada sekarang?”
“Di hutan manakah mayatmu terkapar, atau di penjara manakah tubuhmu diusai
dan diurai para pembesar atau sapir-sapir Ulando itu. Sehingga aku tidak lagi
mendengar kabar berita darimu sampai saat ini ?
Tahukah engkau, Maryam! Beginilah nasibku sebagai petualang kalam, sebagai
seorang juru tulis, pada saatnya kini aku kehilangan jejakmu di belantara
kegalauan. Untuk kamu ketahui, Maryam. Kini petualanganku telah berakhir.
Kalamku telah patah, dawatku telah kering, dan lenteraku pun telah padam dalam
penjelajahanku. Aku telah kehilangan jejak tentang kamu dan srikandi srikandi
lainnya dari Tanah Kamang. Aku tak dapat lagi melanjutkan penjelajahanku dalam
16 | Maryam Chilvalry
pencaharian khayalku tentang dirimu, Maryam ! Cuma satu hal yang harus kamu
ketahui, Maryam. Semoga saja ‘catatan sebagai seorang juru tulis’, tentang Perang
Kamang 1908 yang aku kisahkan di atas kertas-kertas ini, dari tempat
pengasinganku di tanah Semenanjung Malaya ini dapat sebagai petunjuk bagi orang
orang sesudahku dalam pencahariannya, dihutan mana dan disungai apakah
terbaringnya jasadmu wahai... gadisku, Siti Maryam.
‘Wahai, gadisku!’. Kamu bagaikan bintang yang datang di malam hari. Keganti
damar salatin akan sejarah di negeri ini. Wahai, gadis Bonjol-ku !, dengan segala
keterpaksaan aku jelang rantauku, “larek” dari kampung demi menjalan amanah
terakhir untuk anak cucu kita.
‘Sekali lagi untuk kamu ketahui Maryam, dilihat kepada untung dan perasaianku,
maka tidak obahnya seperti tongkang yang aku tumpangi sewaktu menyeberangi
Selat Malaka duhulu.
“Tongkang kecil muatan penuh serat muatan kulit lokan.
Dagang miskin merantau jauh yang meratap sepanjang jalan.”
“Wahai...!, srikandiku,! songsonglah aku ‘si Juru Tulis’ di pintu sorgamu... !
Sorga yang telah dijanjikan Allah, Swt kepada orang-orang yang ikhlas berjuang.
Berjuang di jalan-Nya !”
“Bamulo hati mako kaibo, badan di rantau bilo kapulangnyo.
Walau kakariang aia di talago, rindu ka adik batambah dalam juo.
Hari paneh cando kariak, mahampehnyo ka tapi juo.
Lah putuih hati dek taragak, denai bajalan batambah jauah juo.
Mandaki jalan ka Canduang, mamutuih jalan nan ka Lasi.
Saketek sasa ka nan kanduang, denai digantuang indak batali.
Bermula hati maka akan hiba, badan di rantau bila akan pulangnya.
Walau akan kering air di telaga Rindu ke adik bertambah dalam jua.
Hari panas seperti akan riak menghempas ke tepi juga.
Lah putih hati karena teragak (rindu), awak berjalan bertambah jauh jua.
Mendaki jalan ke Canduang, memutus jalan yang ke Lasi.
Sedikit sesal kepada nan kandung, awak digantung tidak bertali.
17 | Maryam Chilvalry
2. Gadis Berkerudung
SURAU di Kamang dewasa itu tidak obahnya seperti suaru-surau lainnya di
Minangkabau, sebagai centra pengalohan keagamaan, pemikiran dan sosial. Potensi
perguruan di surau terletak pada hubungan organisasinya yang luas, melampaui
batas-batas nagari, dan tidak terikat pada struktur pemerintahan nagari, laras dan
pemerintah penjajahan. Murid muridnya memiliki mobilitas yang tinggi dan banyak
berteman dengan anggota-anggota tarekat di seluruh daratan Minangkabau.
Bagi Inyiak Manan dan suraunya di kampung Budi, keberlangsungan dan merupakan
keberlanjutan dari si’arnya tarekat Stariyyah dari pendahulunya yang bersuarau di
kampung Bansa, yaitu Tuangku Nan Renceh. Tuanku Nan Renceh adalah jembatan
untuk bangkitnya semangat anti penjajah yang dikhawatirkan ketika itu, karena
sifat penjajah Belanda yang terkenal seperti “Belanda meminta tanah”. Kalau
kekuasaannya semakin mengakar, maka persoalan pemurtadaan orang Minangkabau
dengan upaya pengkristenannya akan berlangsung pula. Inilah akar kebangsaan
yang berbasis agama.
18 | Maryam Chilvalry
Uniknya Surau Haji Abdul Manan itu termasyur bukan saja karena pendidikan Islam
yang diajarkannya, melainkan juga karena di surau itu para murid dibekali dengan
berbagai kepandaian duniawi, seperti keterampilan ilmu persilatan, permainan
pedang, berkuda, ilmu meringankan tubuh, ilmu menghilang dan kebal senjata
tajam pun ada. Jauh hari sebelum kepulangan Haji Abdul Manan dari rantaunya di
Sungai Ujong Malaya, Haji Musa kakak Haji Abdul Manan merupakan ulama yang
berpengaruh pula di Kamang. Dengan keberadaan Haji Abdul manan maka Haji
Musa pun berperan aktif mendukung segala aktifitas adiknya itu.
Pada suatu hari datanglah seorang perempuan muda yang elok rupa, cerdas
pembawaannya dan fasih bicaranya serta sopan tutur katanya ke surau di kampung
Budi menemui H. Abdul Manan. Gadis itu datang dari kampung Hanguih Bonjol.
“Assalamu’alaikum...!” Salam pembuka meluncur dari mulut Siti Maryam yang
jauh jauh datang dari kampungnya sewaktu menapakkan kakinya di Surau H. Abdul
Manan.
“Wa’alaikum Salam Warahmatulllahi Wabarakatuh!”. Serentak dan tanpa komando
orang yang berada di atas surau.
Surau kecil berada diantara pinggir ladang dan sawah. Untuk ke surau, melalui
pematang sawah. Kiri kanan terdapat kolan ikan. Sebuah pelataran berbatu yang
terdapat kolan kecil untuk membasuh kaki sebelum naik ke surau. Di sebelah kiri
surau, terdapat gubuk kecil. Di gubuk itulah orang berudhu dan membuang hajat.
Surau itu menghadap daratan sawah yang aman luas. Jauh dilayangkan pandangan,
tampak gususan Bukit Barisan sbagai benteng alami yang melindungi kawasan itu.
Di belakang surau, Gunung Marapi seakan mengawal perkampungan disitu.
Uniknya surau itu dimasuki dari belakang belakang, melewati dapur. Setelah
melewati lorong pendek, barulah berada di muka surau. Ruangan yang cukup
lapang di surau itu untuk sholat dan mengaji. Disinilah ruangan inilah pengajian
dan perilmuan dilaksanakan.
Di samping ruangan ini, terdapat sebuah semacam rumah kecil, paviliun. Disinilah
Tuanku Guru tempat istirahatnya.
Setelah beberapa saat lamanya beristirahat melepaskan engahnya di tempat
berkumpulnya kaum perempuan yang berada di belakang tabir pembatas saf laki-
laki, Siti Maryam mencoba memberanikan diri maju ke arah mi’rab untuk
menemui seseorang yang sedang bertelekan di atas sajadah dengan kaki yang
menyimpuh ke arah kiri, sebagaimana duduk tawadu’ orang orang suluak.
Namun, tiba-tiba dara manis ini mendapatkan semacam isyarat dari seorang
pemuda yang sedikit lebih tua darinya yang duduk di deretan belakang mi’rab
mencegah Maryam untuk maju ke tempat yang ditujunya.
19 | Maryam Chilvalry
“Ssst...!” Sambil menegakkan jari telunjuk kanan di depan bibirnya dan secepat
itu pula kedua tangannya mengisyaratkan untuk duduk kembali, kemudian dengan
suara berbisik pria ini berucap pelan.
“Jangan dulu menemui Tuangku. Nanti sajalah selesai shalat ‘Isya menemui beliau.
Sekarang Tuangku lagi beri’tiqaf ”.
Melihat reflek dan mendengar ucapan pemuda yang berperawakan agak sempurna
itu Siti Maryam tersurut, dan kembali berlalu ke tempatnya semula. Maryam
berfikir sejenak, “barangkali pemuda itu adalah tangan kanannya Inyiak Manan.
Kalau tidak, kenapa dia berani memperingatkan saya sedangkan masih banyak pula
pria lain dibarisan syaf itu. Bahkan saya sudah melewati dua saf tidak satupun yang
menegor. Dialah yang aktif untuk menjaga adab adab di surau ini” dalam hatinya.
Tak lama antaranya terdengarlah suara ‘tabuah’ (beduk) bertalu-talu menandakan
waktu Magrib telah masuk. Orang-orang yang berada di atas suaru mulai turun
untuk mengambil wuduk, Maryam pun tidak berdiam diri.
Selesai shalat Magrib berjamaah para murid H. Abdul Manan duduk mengelompok
di atas surau. Mereka duduk mengelompok sesuai dengan tingkatan kaji dan kitab
yang dipelajarinya. Masing-masing kelompok didampingi dan dipandu oleh seorang
Guru Tuo. Namun Maryam kebingungan, ke kelompok mana dia harus bergabung
karena belum menjadi murid Tuangku. Maryam gelisah, gusar dan mau bertanya,
apa yang mau ditanyakan dan kepada siapa seharusnya bertanya karena orang-
orang di suaru itu telah mengambil posisinya masing masing. Tak tahu apa yang
harus ia lakukan.
Seorang ibu yang masih muda mencoba menghampiri Maryam. Ibu muda berbisik
kepada Maryam menyampaikan perintah Tuangku.
“Maryam, kamu dipanggil Tuangku ke kamarnya. Baliau ingin menanyakan maksud
kedatangan kamu ke sini.”
“Ya, baiklah Tek !,” jawab Maryam. (tek atau etek = tante).
“Ayo!, Kamu tak usah gugup, saya akan menemanimu !,” sambung si ibu itu lagi.
“Ya, Tek. Terimakasih, Tek !,” jawab Maryam lagi.
Pelan - pelan mereka menuju kamar Tuangku, sementara Maryam berjalan
menundukkan kepala sambil membetulkan kerudungnya yang jatuh ke bahunya. Di
paviliun itu terdapat ruang tamu.
Di depan pintu kamar Tuangku, si ibu muda itu batuk-batuk kecil dan kemudian
mengucapkan salam.
Selepas itu terdengar jawaban salam dari dalam kamar.
20 | Maryam Chilvalry
“Kamukah itu Anisyah ? Silahkan masuk !”
Sesaat sel-sel dalam syaraf otak Maryam mengerayap, bahwa nama ibu muda itu
adalah Anisyah. “Anisyah rupanya nama ibu ini” percikan memori otak Maryam.
Anisyah dan Maryam masuk ke kamar Tuangku, sambil membuka pintu dan
melangkahkan kaki kanannya, mereka kembali mengucapkan salam.
“Wa’alaikum Salam Warahmatulllahi Wabarakatuh ! Jawab orang-orang yang
berada di dalam kamar serentak.
“Duduklah !,” Kata Tuangku
“Ya! Terimakasih Nyiak !, ” Jawab Anisyah dan Maryam.
Mereka pun duduk bersimpuh sebagaimana layaknya duduk kaum perempuan
Minang, di hadapan Tuangku Haji Abdul Manan yang didamping Datuak Rajo
Pangulu, Haji Musa dan Haji Ahmad, Kari Mudo dan aku sendiri.
Di ruangan tersebut sudah berada para ikhwan yang duduk mengelompok
memandang kearahnya dengan heran karena ada seorang dara asing yang boneh
(elok), dan dari balik kerudungnya terpancar jirus mukanya yang molek sedang
didampingi Siti Anisyah menuju kamar Tuangku.
Para ikhwan saling bertanya dengan berbisik-bisik. “Siapakah gerangan gadis itu ?
Apakah dia seorang mata-mata Ulando yang ditangkap Etek Anisyah ?” Namun,
semua pertanyaan mereka itu tak satupun dapat memberikan jawaban. Dalam
keheranan itu maka Guru Tuo, sebagai pembantu guru utama dalam pengajian itu
cepat arif dan mengambil alih suasana.
“Khmmm..!,” tertengar dehem, batuk kecil si Guru Tuo.
Dehem Guru Tuo mensontakkan khayalan para santri pria yang sedang berkecamuk
fikirannya antara membayangkan kedatangan seorang bidadari untuk
menggairahkan malam pengajiannya di surau dengan kekhawatirannya kepada dara
jelita itu sebagai musuh dalam selimut.
Dikemudian hari Maryam mengetahui bahwa Haji Musa kakak sepupu dalam
pertalian adat dengan Haji Abdul Manan, Datauk Rajo Pangulu tokoh ninik mamak
dari Kamang Hilir, sedangkan Wahid Kari Mudo kemenakan dari Garang Datuak
Palindih, Laras Kamang Hilir adalah juga dari Kamang Hilir, dan Haji Ahmad anak
Haji Abdul Manan dengan istrinya dari Bukik Batabuah, antara Lasi dan Kubang
Putiah Banuhampu.
Tak lama berselang Datuak Rajo Pangulu, memecahkan kebekuan suasana dengan
bertanya kepada Siti Anisyah. “Siapa gerangan gadis di samping Kak Anisyah ini ?”
21 | Maryam Chilvalry
“Gadis ini,” Anisyah sambil menyentuh lengan kanan Siti Maryam ‘adalah anak kita
juga..., yang datang dari jauh, yaitu dari Kampuang Hanguih di Bonjol dan
namanya Siti Maryam’.”
Sebelum Anisyah melanjutkan keterangannya, Inyiak Manan memintasnya lebih
awal dengan memperkenalkan satu persatu. Selesai Inyiak Manan memperkenalkan
pada Maryam, maka Mak Datuak Rajo Pangulu langsung bertanya untuk memastikan
namanya sekali lagi.
“Benarkah Siti Maryam namumu, kemenakan ?,” kata Mak Dt. Rajo Pangulu pada
Maryam. Inilah cara orang Minang menyapa seseorang di bawah umurnya yang baru
dikenalnya, dipanggil saja kemenakan atau keponakan.
“Tepatnya dimana kampungmu itu ?,” tanya Mak Datuak lagi.
“Iya, Mak Datuak !, nama ambo Siti Maryam. Dan kampung ambo seperti yang telah
dikatakan etek Anisyah tadi, Mak Datuak !,” jawab Maryam.
“Di Kampuang Hanguih ?” timpal Mak Kari Mudo.
“Betul, Mak Kari !,” kata Maryam. Sementara itu, pemuka masyarakat yang
sejamba itu saling berpandangan, namun tidak mempersoalkan dan
memperbincangkannya.
Dalam sebuah perhelatan orang Minang makanannya di atas sebuah dulang yang
terbuat dari kuningan atau piring porselen besar seperti talam. Piring porselen
besar ini dilihat dari motifnya sudah dapat dipastikan bahwa benda itu diproduksi
China. Semakin tua dinasti yang membuatnya maka semakin mahal dan bernilai
harga. Sewaktu makan di sekeliling piring besar itu, dinamakan dengan makan
sejamba. Jumlah orang yang makan sejamba atau dalam satu dulang itu sebanyak
enam orang. Tamu berempat orang, tetua jamba satu orang dan anak muda yang
melayani lauk pauk dan nasi.
Agaknya, nama Kampuang Hanguih mempunyai kisah tersendiri yang mengingatkan
suatu cerita yang diwarisi dari perawinya. Bagi Maryam, melihat gelagat apalagi
terlihat sekilas perobahan sinar wajah pemuka dia temui itu juga menjadi tanda
tanya pula, kecuali Inyiak Manan yang terlihat tenang dan kalem.
“Apakah Inyaik dan mamak-mamak mengenal kampuang ambo tersebut ?,” tanya
Maryam.
“Ya !, kami sangat mengenalnya. Tapi tak usahlah kita teruskan tentang kampung
asalmu itu, nanti pada kesempatan lain akan kami ceritakan perihal kampuang
Hanguih tersebut, sejauh yang kami ketahui pula !,” pintas Tuangku Haji Abdul
Manan.
“Lalu apa gerangan maksud ananda datang ke sini ?,” tanya Haji Abdul Manan.
22 | Maryam Chilvalry
“Ambo datang ke surau ini membawa hasrat yang sangat besar Nyiak!,” jawab
Maryam.
“Kalau boleh kami tau, apakah gerangan maksud ananda itu ?,” tanya Tuangku
lagi.
“Ambo berniat untuk belajar di sini, yaitu kepada Inyiak,” jawab Maryam sambil
mengangkat wajahnya ke arah Haji Abdul Manan.
“Mau belajar apakah gerangan kamu dengan saya ?”
“Saya ingin memperdalam ilmu agama dan ilmu beladiri serta ilmu-ilmu lainnya
yang dianggap perlu dan penting untuk saya, Nyiak !,” jawab Maryam.
Tuangku Haji Abdul Manan termangu sejenak memikirkan maksud gadis ini, tapi
yang membebani pikirannya adalah mengenai niat Maryam untuk belajar bela diri
yang tentu nantinya bukan semata belajar silat, sudah pasti anak ini juga
menuntut untuk diajarkan bermain pedang, menunggang kuda dan sebagainya,
karena “kilek baliuang lah ka kaki, kilek camin lah ka muko. Kilek bayan kato
sampai” (Kilat beliung/cangkul telah ke kaki, kilat cermin telah ke muka/wajah).
Kata kiasan telah dipahami dari ujung perkataan Siti Maryam itu.
Haji Abdul Manan tidak menggubris niat Maryam tersebut, malahan Tuangku
meloncat kepertanyaan berikutnya, “Tapi, kepergian ananda ke sini apakah sudah
seizin kedua orangtua ananda ?.”
“Sudah. Nyiak !”
“Dari mamaknya ?,” tanya Haji Abdul Manan lagi. (Mamak / mak = paman)
“Sudah, Nyiak ! Bahkan dari dunsanak ambo dan keluarga lainnya sudah ambo
sampaikan maksud ini, dan mereka mengizinkannya, Nyiak!,” jelas Maryam.
(dunsanak = saudara)
“Kalau begitu kenapa kamu datang sendirian saja, tidak diantar oleh salah seorang
keluargamu, apalagi yang laki-laki,” tanya Kari Mudo.
“Ya, apa salahnya jalan sendiri saja, Mak ?,” balas Maryam.
“Kamu ini kan seorang gadis, tidak baik bepergian sendirian, apalagi berjalan jauh
menuju kampung orang lain. Mana tau ditengah jalan kamu diganggu, dianiaya,
dirampok, dirampas dan dinodai orang,” timpal Datuak Rajo Pangulu.
“Apalagi, kalau bertemu dengan opas Ulando (Belanda) yang kebetulan sedang
kontrole, atau oleh pembantu pembantu si ‘kapia’ (kafir) itu, seperti dubalangnya
tuangku lareh dan dubalang angku palo, kan bisa celaka kamu jadinya !,” belalak
Kari Mudo sambil mengericutkan gerhamnnya.
23 | Maryam Chilvalry
Siti Maryam hanya menekurkan wajah dan tidak mau menantang batang hidung
Kari Mudo yang agak geram itu.
“Kalau sempat si ‘Ulando’ itu menodai kamu, maka kami-kami ini pun merasa
ternodai pula. Ulama-ulama dan niniak-mamak se Mianagkabau ini juga diberi
malu. Dan telah sekian lama dan berapa banyak perbuatan si ‘kapia’ itu ‘nan
mancorengkan arang di kening’ ulama dan niniak mamak kita di Minangkabau ini !
Tidak kah kamu fikirkan itu ?,” gertak kari Mudo lagi dengan matanya yang tajam
dan suaranya sedikit ditekannya, supaya jangan sampai terdengar ke luar kamar
itu.
Namun Siti Maryam tidak menampik amarah Kari Mudo itu dan malah mencoba
mengikuti aliran emosi Kari Mudo dengan perkataan.
“Justru karena ‘arang sudah tercoreng di kening’ kita itulah makanya ambo ingin
membekali diri di surau ini, di bawah bimbingan Inyiak dan mamak-mamak ambo
serta etek dan dunsanak ambo di Kamang ini, Mak ! Dan karena itu pula, maka
pihak keluarga kami merestui rantau ambo ini’. Tak terbendung argumen Maryam,
bagaikan air pancuran yang mengucur tiada henti
‘Bukankah pepatah Mak Datuak mengatakan, ‘Tak akan mungkin sumpik (karung)
kosong bisa ditagakkan’, artinya tanpa ilmu ambo tak akan dapat melakukan
sesuatu, sesuatu yang membawa manfaat dan kemaslahatan bersama,” kata
Maryam.
Inilah baru aku berjumpa dengan seorang gadis cantik yang tak gentar akan
gertakan pemuka masyarakat itu. Fikiranku juga berkecamuk tentang siapa
sebetulnya gadis ini, terlalu berani dia, tegar mentalnya. Tapi karena kami harus
mengorek informasi sebanyak-banyaknya, ya... terpaksalah untuk bersembunyi di
balik keragu-raguan itu. Tentu perkenalan pertama kami ini adalah sebuah catatan
pinggir pula bagiku sebagai juru tulis Inyiak Manan.
“Apakah kamu tak merasa cemas, tak merasa takut sejauh itu ke sini sendirian
saja ?, ” tanya Siti Anisyah pula.
“Tidak, Tek. Bak kata pepatah juga Tek ! ‘Tak akan mungkin perang dilakukan
tanpa keberanian’, Tek...!”
“Bijak kali anak ini !,” gerutuku dalam hati.
Tanpa terputus Maryam melanjutkan keterangannya, “...Mengenai kesendirian
ambo melakukan perjalanan panjang ini adalah sesuatu yang terbaik menurut
keluarga kami, sebab kalau kami datang berombongan tentu kami melewati jalan
umum yang agak ramai, sehingga akan banyak bertemu dengan orang-orang,
termasuk pihak Ulando sendiri, tapi kalau hanya sendirian tentu upaya penyamaran
mudah dilakukan guna menghindari kecurigaan orang orang itu.”
24 | Maryam Chilvalry
Mendengar ucapan ‘gadih jolong gadang’ (gadis baru besar/remaja) nan
berkerudung itu, pemimpin adat dan agama di bilik itu geleng geleng kepala saja
sambil menundukkan wajahnya.
“Lalu, bagaimana cara kamu bisa sampai di sini ?,” tanya Anisyah lagi.
“Ambo melakukan penyamaran, Tek!”
“Kamu terlalu berani, Maryam! Dan bagaimana caramu menyamar itu ?,” desak
Anisyah lagi.
“Begini Tek! Sesampai di perbatasan Batang Palupuah dengan Kamang ambo
diantar oleh ayah dan ibuku dengan cara berpura-pura sebagai orang mau pergi ke
ladang dan waktu telah lewat lohor kami pun seperti orang pulang dari ladang
namun arah kami tetap menuju ke Kamang ini. Sesampai di perbatasan kami telah
ditunggu oleh Mak Etek dan saudaraku yang laki-laki. Setelah mendapat petunjuk
untuk bisa sampai di surau ini dan menceritakan hasil pemeriksaannya sampai ke
sini tadi siang, ternyata perjalanan ke sini aman. Walaupun ambo berjalan
sendirian saja, tak masalah. Sehingga ayah, ibu, mamak dan saudara ambo kembali
pulang. Kami pun bertolak punggung.”
“Lalu dari perbatasan untuk sampai ke sini apa upayamu,” lanjut Siti Anisyah lagi.
“Sewaktu ambo lewat ladang orang, sekiranya ada orang di sekitar ladang itu,
maka ambo ‘mambebek’, seolah-olah ambo mencari kambing yang lepas. Dan
sewaktu ambo melewati persawahan, dan pada saat ada sesuatu yang
mencurigakan, maka kadang-kadang ambo berpura-pura menyiangi padi yang baru
ditanam atau berpura-pura ‘mangaro’, mengusir burung di padi yang masak.
Bahkan ambo seperti orang mengahalau itik, Tek !”
“Jadi kau kah itu..., di sawah sana... tadi seperti orang mencari itik itu ?,” tanya
Anisyah lagi dengan antusiasnya.
“Iya, Tek!, sehingga ambo sampai di halaman Surau ini, Tek,” jawab Maryam.
“Luar biasa kamu Maryam,” komentar Haji Abdul Manan.
“Tipuanmu hanya sederhana, tapi sangat memukau !,” tukas Datuak Rajo Pangulu.
Kari Mudo mangangguk angguk saja dengan ketersimaannya. Haji Abdul Manan tak
putus-putusnya menatap Siti Maryam, seolah sedang melepaskan pandangan
bathinya terhadap nyali dan kecemerlangan Siti Maryam. Di wajah Siti Anisyah pun
terbayang suatu kegembiraan bahwa seolah dia telah mendapatkan kader atau
relawati baru dalam menjalankan misinya sebagai tenaga propaganda menentang
kekuasaan tirani penjajah asing yang bersuara ke hidung, sengau itu.
25 | Maryam Chilvalry
Di surau para murid muda gundah antara mengahapl kaji, dan rasa ingin tahu
tentang tamu yang elok ruapanya itu. Meninggalkan pelajaran, kawatir dihukum
oleh guru, tapi rasa ingin tau lebih kuat dorongannya.
Namanaya manusia, apalagi anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang penuh
dengan segala ingin tau apalagi ada sesuatu yang asing dilihatnya. Untuk mencari
tau sering pula anak-anak melakukan sesuatu yang usil. Tidak terkecuali anak-anak
di surau.
Si Magek (mungkin Megat) yang suka usil diantara mereka, tak bisa menahan hasrat
hatinya. Dia bangkit dari duduknya, singsingkan kain sarungnya. Ia ajak tiga orang
sebayanya. Mereka berpura-pura turun ke halaman untuk buang hajat.
Ruang tamu pavliun itu, berdinding papan. Pada salah satu dinding papan,
berlobang oleh mata kayu. Lobang itu pas berada di ruang tamu. Megat telah
memperbesar lobang itu, dan menutupnya dengan tanah.
Sudah agak beberpa lama mereka tidak kembali ke atas surau untuk melanjutkan
pelajarannya, kepala guru tuonya bagaikan kepala capung, lihat ke kiri dan lihat ke
kanan tapi pasukan si Magek tidak juga kembali. Setelah ditanya kepada ikhwan
yang lain, semuanya menjawab tidak tau. Pikiran si guru tuo mulai melilit akalnya.
“Pasti ada sesuatu, tapi kenapa perasaanku tidak cemas, ya !” Antara pikiran dan
perasaan mulai melilit akalnya. Tapi, dia tau, si Megat banyak akalnya, dan
merupakan murid yang paling cerdas diantara yang lainnya.
Untunglah sang guru tau dengan tabiat, prilaku anak-anak asuhnya, maka dengan
pura-pura ingin buang hajat pula si guru tuo turun ke halaman. Dengan mengintip-
intip si guru tuo memeriksa sekitar ‘jamban’, kakus. Ternyata pasukan Magek tidak
ada, si guru tuo kembali ke tepi surau.
Guru tuo melanjutkan pemeriksaan ke sekeliling surau, semakin dekat ke arah
mighrab surau terbayang sosok berkelabat di dinding. Setelah didekati ternyata
benar. Pasukan si Magek sedang bergelantung di dinding, merayap mengintip-intip
di celah lobang kayu yang sudah dilobangi. Pusing juga si guru tuo, bagaimana
menyuruh mereka turun. Kalau langsung di tegor sudah pasti anak-anak ini
terkejut, jatuh dan celaka.
Si guru tuo menurutkan langkahnya, dan menunggu mereka. Si guru tuo mendehem
dan batuk-batuk kecil, namun dia tetap mengawasi ke tempat anak-anak itu dari
balik rumpun kopi. Tak hayal lagi pasukan si Magek melompat dan lari, langsung
naik ke atas surau. Setelah mengambil udhuk guru tuo menyusul mereka ke atas
surau.
Pelajaran anak-anak dilanjutkan kembali. Si guru tuo benar-benar pura-pura tidak
tau atau darimana dan apa yang dikerjakan oleh si Magek bersama kawan-
26 | Maryam Chilvalry
kawannya. Karena si guru tuo tidak mau proses pembelajaran waktu itu terganggu
dan sekaligus tidak mempermalukan pasukan agresif ini di depan teman-temannya
yang lain. Apalagi nanti akan dihujani oleh cemooh dan celaan kakak
seperguruannya saat itu.
“Maryam...!, tadi kamu mengatakan bahwa datang ke sini ingin memperdalam
ilmu agama, ilmu bela diri atau silat dan ilmu-ilmu lainnya yang bermanfaat, bukan
?,” Haji Abdul Manan yang mencoba kembali ke pokok persoalan kedatangan Siti
Maryam.
“Betul adanya, Nyiak !,” jawab Maryam.
“Maryam...?,” panggil H. Abdul Manan lagi.
“Kalau kamu ingin memperdalam pengetahuan agama, itu sangat saya setujui.
Tetapi kalau ingin memperdalam ilmu selain ilmu agama adalah sangat
mengherankan kami. Baru sekali ini kami mendengar permintaan seorang gadis di
luar kampung ini jauh-jauh untuk mendalami ilmu persilatan,” kata Haji Abdul
Manan yang mencoba mematahkan niat Siti Maryam.
Mendengar pernyataan Tuangku itu Siti Maryam seakan berada diatas titian antara
perasaan malu karena dia merupakan pengecualian sebagaimana yang dijelaskan
Haji Abdul Manan dengan perasaan sedikit tersinggung, seakan niat hatinya telah
ditolak. Maryam mencoba menampik kedua perasaannya itu.
“Maafkan ambo Nyiak ! Kalau ambo ingin memperdalam ilmu persilatan apa
salahnya Nyiak ? Apakah kurang kecakapan saya dari seorang laki laki ? Apakah ilmu
persilatan itu hanya miliknya kaum laki-laki ? Apakah Inyiak dan mamanda, (sambil
menoleh kepada Dt. Rajo pangulu dan Kari Mudo) keberatan untuk mengajar saya
tentang ilmu persilatan itu ?” Bertubi-tubilah pertanyaan Siti Maryam jadinya.
Orang yang hadir dalam kamar Tuangku Haji Abdul Manan itu terpaku saja,
termakan buah simalakama jadinya. Justru semangat semacam inilah yang
diharapkan, namun bagaimanapun dia adalah seorang gadis perempuan yang harus
dilindungi oleh kaum laki-laki, bukannya dididik dan diasuh sebagai pejuang yang
pemberani.
“Kalau begitu..., baiklah !”
“Cobalah kamu pikirkan lagi masak-masak. Telungkup-telentangkanlah kembali
tentang niatmu itu agak sehari-dua ini !,” pintas Haji Abdul Manan.
“Dan bagi kami, biarlah kami coba pula untuk merenung-renungkannya,” sambung
Haji Abdul Manan lagi.
27 | Maryam Chilvalry
“Kalau begitu kata Inyiak, baiklah ! Bagi ambo sulit kiranya merobah niat ambo
semula, sehingga dari jauh ambo datang kesini hanya untuk mewujudkan niat ambo
itu, Nyiak !,” tukas Siti Maryam.
“Insyaallah, anakku ! Tapi fikir itu kan pelita hati. Tidak baik melangsungkan
sesuatu itu dengan cara terburu-buru,” jawab Haji Abdul Manan pula.
“Kalau begitu kami mohon diri dulu Nyiak, Mak Datuak, Mak Kari dan Tuan Haji,”
pamit Siti Maryam kepada semua orang berada dalam kamar itu.
Tetapi kepadaku sikapnya agak berbeda, sewaktu akan beranjak untuk berdiri
sambil menekur dia melayangkan sudut matanya sambil sedikit menganggukkan
kepalanya sebagai isyarat kepamitannya dari ruangan itu kepadaku.
Serasa akan putus tali jantungku memandang seulas senyum dan selayang pandang
gadis berkerudung itu, sehingga aku agak risih dan resah juga jadinya. Dengan
serta merta saya mengangguk kecil pula untuk menjawab salam pamitnya dan
cepat-cepat memandang ke arah tokoh-tokoh pergerakan di sekitar aku itu. Kalau-
kalau mereka memperhatikan pula perobahan tingkah pada diriku karena
keterpesonaanku pada gadis yang bernama Siti Maryam itu.
Siti Anisyah berdiri diiringi pula oleh Siti Maryam dan berlalu dari kamar yang
berukuran kira-kira tiga kali empat setengah meter itu. Siti Anisyah membawa Siti
Maryam ke rumahnya.
Megat dan kawan-kawan menghamparkan lapiak (tikar) masing-masing. Tapi tiga
diantaranya, tidak bisa memejamkan matanya. Megat bengkit, duduk mancakung.
Pikirannya menarawang ke ruang tamu di pavaliun. Wanita cantik didalamnya.
Melihat Megat bangun, dua temannya yang menyertainya, bangun pula. Ketiga
membicarakannya, disertai yang lainnya turut mendengarkannya.
Terdenagr langkah – langkah kaki mendakat. Makin lama makin jelas, berderak-
derik menginjak lantai papan. “Belum tidur kalian,” bentak guru tuo.
Ruangan itu menjadi sunyi. Guru tua berlalu, menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil tersenyum.
28 | Maryam Chilvalry
3. Kancia, Bukan Pelanduk
Selesai belajar dan mengaji murid di surau sudah mencari posisi tidur. Anak-anak
perempuan sudah memisahkan diri dari anak laki-laki ke balik tabir sekram tinggi.
Tapi diantaranya masih ada juga yang bermain catur harimau, catur raja, dan
catur sembilan, disamping berteka-teki dan mendongeng sebelum tertidur.
“Magek, kesinilah !,” ajak si Guru Tuo. Magek menghampiri Guru Tuo, dan Guru
Tuo berbalik dan melangkah menuju sebuah bilik, kamar yang bersebelahan
dengan ruang Inyiak Manan.
Sesampai di kamar yang agak sempit itu si Guru Tuo menanyakan teman-teman
Magek yang serombongan permisi buang hajat sewaktu masih berlangsungnya
pembelajaran mengaji tadi. Magek mulai terkaget, dengan terbata-bata
menyebutkan kawan-kawannya tadi.
“Ayo, panggillah kawan-kawan kamu itu !,” perintah Guru Tuo.
Magek pusing, cemas apa gerangan yang akan terjadi, apakah Guru Tuo sudah tau
kelakuannya tadi, lalu bagaimana caranya mengatakan kepada kawan-kawan
karena dia sendirilah yang punya ide. Hukumannya pasti berat. Kalau kawan dapat
lecutan rotan satu kali, paling tidak dia menerima dua atau tiga kali. Magek
menemui temannya satu persatu dan berbisik
“...Engku guru menyuruh kita kekamarnya sekarang !,”. Kawannya merungut
rungut ketakutan.
“Kamu sajalah menemui beliau Magek, kan kamu yang mengajak kita-kita semua,”
kata kawan kawannya.
“Iya, tapi kalian kan juga bersemangat untuk ikut !,” jawab Magek.
“Iya, kami kan terpaksa olehmu Magek. Kalau tidak kami ikuti nanti kamu
mengancam kami,” kata seorang lagi.
“Ha, tadi kan saya tidak memaksa kalian !”.
29 | Maryam Chilvalry
“Iya, Magek, kalau tidak kami ikuti, nanti kamu pasti mengancam kami, kan
kebiasaan kamu seperti itu, Magek !,” timpal seorang lagi.
“Magek tadi kamu rayu kami, bahwa ada uni cantik di kamar Inyiak. Kami kan juga
ingin melihatnya, Magek !,”
“Akh !, kalian sekarang semuanya berdalih. Biarlah nanti saya bilang saja kepada
engku guru bahwa kalian membangkang akan perintah beliau. Baru nanti kalian
rasakan !,” bentak Magek sambil berdiri.
“Itu, kan. Kamu mulai mengancam,” ciloteh seorang lagi, “ayolah kawan kita
temui saja engku guru itu bersama-sama, apa boleh buat, mana tau engku guru
bukan menanyakan pekerjaan kita tadi, kan engku guru tidak tau !”
“Ayo...!,” ajak Magek, tapi hati Magek sudah berkata-kata, sudah pasti tentang
perbuatannya tadi, karena guru sudah menanyakan “mana kawan-kawanmu tadi,
kepadaku”. Sudah pasti !, sudah pasti ! Bisik hati Magek saat menuju ruangan
engku guru bersama pasukannya itu.
“Assalamu’alaikum...!,” serentak mereka mengucap salam sewaktu mau masuk
kamar Guru Tuo. Berselang sesaat dari dalam terdengar suara engku guru.
“Masuk !”
Sambil mengaduk-aduk dua cawan kopi panas si Guru Tuo menyuruh anak-anak
duduk. Anak-anak, sambil membetulkan kain sarung yang disandangnya duduk
berderet melengkung dengan tertib dan kemudian membetulkan letak kopiah,
pecinya.
Guru Tuo melempar sebuah granat untuk Magek. “Magek kamu pindah duduk ke
tengah !”
Darah Magek meledak ke otak, syaraf-syarafnya terasa kesentrum. “Sudah pasti
guru tau bahwa aku yang mengajak kawan-kawan tadi, hukumanku pasti berat”.
Kegundahan Magek menyeruak sambil beranjak ke posisi yang diperintahkan guru.
“Sekarang kalian tau apa alasan kalian dipanggil ke sini ?,” tanya guru kepada
segerombolan tentara semut itu.
“Tidak, engku !,” jawab mereka serentak.
“O, tidak, ya ?,” balas si Guru Tuo dengan kelam, kemudian menghirup kopi
panasnya sedikit-sedikit dengan hirupan panjang sambil menyeringaikan bibirnya
karena kopi masih panas. Air kopi yang dihirupnya berkejaran manyisir sela-sela
gigi engku guru sehingga terdengar bunyi suara mendering di lingkaran cangkir.
“...kalau saya kasih tau bagaimana ? kata si Guru Tuo lagi.
30 | Maryam Chilvalry
“Tapi sebelum saya kasih tau kamu harus menjawab pertanyaan saya dulu. Apakah
kalian mau menjawabnya ?”
“Mau, Engku,” jawab mereka lagi serentak.
“Dengan jujur ?,” kata guru lagi.
“Iya, Engku !”
“Tidak akan berdusta ?”
“Tidak, Engku !” Semua pertanyaan Guru Tuo dijawab mereka secara serentak.
Tanpa dikomandokan oleh siapapun.
“Tadi sewaktu permisi, kamu kemana sebenarnya Magek ?” Pertanyaan awal
diarahkan kepada Magek.
“Tidak kemana-mana, Engku,” Magek menjawab dengan suara tegas, tapi
wajahnya ditundukkan.
“Kenapa kamu lama sekali baru balik ke atas surau ?”
“Tidak lama-lama, Engku,” Magek menjawab lagi dengan gaya yang sama.
“O, begitu !” Guru Tuo dengan sabar dan tidak terburu-buru menghadapi kilah si
Magek, namun Guru Tuo tetap membelitkan persolan kepada Magek.
“Tadi kamu hanya pergi terkencing atau pergi buang air besar, Magek ?,”
pancingan Guru Tuo lagi.
Dengan keluguan yang penuh kepura puraan Magek menjawab pertanyaan si Guru
Tuo. Dua pertanyaan sekaligus, juga di jawab sekaligus oleh Magek.
“Tidak, Engku.”
“Tidak bagaimana. Semuanya kamu jawab dengan tidak. Jelaskan !” Guru Tuo
mulai menghunjamkan sebuah tusukan dengan suara agak meninggi, dengan
hardikan kecil. Perut Megek mulai merasa nyeri.
“Ya, tidak kedua-duanya, Engku,” jawab Magek dengan gagap.
“O, maksudmu. Tidak pergi terkencing dan juga tidak pergi buang air besar ?
Begitu !” kembali Guru Tuo dengan suara lembut menjinakkan anak yang licin bak
belut itu.
“Iya, Engku,” jawab Magek lagi yang tidak berobah sikap setiap menjawab
pertanyaan engku gurunya. Menunduk dengan kelam dan intonasinya yang tidak
menantang.
31 | Maryam Chilvalry
“Angkat wajahmu, Magek ! Bentak sang guru. Dan dalam waktu bersamaan engsel
pintu kamar berbunyi, diringi oleh ucapan salam. Rupanya ada seseorang sosok
yang datang ke kamar itu.
“Itu kopi sudah saya buatkan untukmu, sudah dingin barangkali,” kata Guru Tuo
menyilakan mencicipi kopinya kepada juru tulis yang baru masuk itu.
“Ya, terimakasih, Engku,” jawab juru tulis didepan bocah-bocah yang lagi
diinterograsi si Guru Tuo.
“Ada apa ini, kenapa ramai-ramai di kamarku ?,” tanya juru tulis pura-pura tidak
tau persoalan.
“Siapa lagi yang bikin ulah ? Kamu lagi Magek ?,” kata jurut tulis lagi.
“Itulah ! Dia bawa teman-temannya tadi ke halaman. Alasannya permisi buang air.
Tau taunya entah apa saja yang dia kerjakan, lama sekali baru dia balik ke atas
suarau,” terang Guru Tuo kepada juru tulis.
Guru Tuo kembali menginterograsi bocah-bocah lesu tadi. Juru tulis duduk
ditempatnya, mengambil sebuah buku dan kalam dan memulai kebiasaannya untuk
menulis catatan hariannya.
“Sekarang giliran yang lain menjawab !” kata engku guru.
“Kemana kalian tadi dan apa yang kalaian lakukan ? Ayo...!, siapa yang akan
menjawab,” guru Tuo mengajukan pertanyaan, sambil menoleh kepada masing-
masing anak asuhnya. Anak-anak saling pandang, bermain sikut-sikutan untuk
menjawab pertanyaan engku guru. Magek hanya diam dengan menopangkan kedua
belah pipinya dengan kedua tanggannya dengan ujung siku bertumpu pada kedua
pangkal lututnya.
===============================
“Tidak ada yang mau jujur?” kata gurunya lagi sambil berdiri dan berjalan ke arah
dinding yang terbuat dari serpihan bambu yang dianyam. Rupanya si Guru Tuo
mencabut sebilah rotan yang terselip di sela-sela anyaman dinding itu. Melihat
sang guru telah mengambil sebilah rotan seorang diantaranya mulai sangat
ketakutan dan mengisak tangis.
“Awak disuruh si Magek, Engku...” jawab seorang anak dengan tergagap-gagap,
menggigil yang diringi isak tangis.
“Apa yang disuruh Magek ?”
“Mamanjek, Engku...” (Mamanjat)
“Apa yang kamu panjat ?” Bentak engku guru lagi
32 | Maryam Chilvalry
“Dinding, Engku.”
“Dinding yang mana ?”
“Dinding Mihrab, Engku...”
“Kalian Memanjat dinding mihrap ?”
“Iya, Engku,” jawab anak-anak lainnya serentak, kecuali Magek.
“Kamu Magek?” tanya engku guru berbalik kepada Magek.
“Awak tidak, tidak mamanjek, Engku,” cepat-cepat Magek menjawab dengan
sangat meyakinkan.
“Apa maksud kalian memanjat dinding mihrap itu ?”
“Kami disuruh si Magek ‘manciliang’ (mengintip), Engku,” jawab yang lain pula
dengan tergagap gagap pula, tetapi tidak menangis.
“Mengintip apa kalian di suruh si Magek ?” tanya Guru Tuo lagi
“Kata si Magek di dalam kamar Inyiak ada ‘uni rancak’, Engku.”
“Uni rancak, cantik ?” tegas Guru Tuo lagi.
“Ehak...!” Si Juru Tulis tersedak, air kopi di dalam rongga mulutnya menyemprot
keluar karena tersedak dan batuk-batuk sewaktu si bocah itu menyebut ada
perempuan cantik di kamar Inyiak Manan.
Guru Tuo menoleh kepada Juru Tulis, “Ada apa Juru Tulis ?”
“Tidak, tidak apa. Aku cuma tersedak sedikit,” jawab Juru Tulis.
“Memang cantik dia itu ?” tanya Guru Tuo lagi kepada anak-anak
“Iya, Engku.Uni itu memang rancak, Engku,” jawab anak-anak kembali serentak,
kecuali Magek.
“Kamu Magek, apakah kamu melihatnya juga ?”
“Tidak, Engku, awak tidak melihatnya, Engku,” jawab Magek.
“Kamu dari tadi setiap ditanya selalu menjawab tidak, “tidak engku, tidak engku.”
Pembohong kamu !” Bentak engku guru.
“Awak tidak berbohong, Engku. Sumpah Engku,” tantang Magek kepada gurunya.
“Tidak lagi kan, jawabmu,” bentak sang guru yang mulai naik pitam kepada Magek.
33 | Maryam Chilvalry
“Dia benar Engku. Si Magek tidak berbohong, Engku,” sanggah kawan-kawan Magek
kepada gurunya.
“O, kalian kompak ya. Berani-beraninya membela si pendusta. Apakah kalian takut
sama dia, sehingga dia dibela-bela ?” belalak sang guru sambil menunjuk-nunjuk
Magek yang sedang dieksekusi sang guru.
“Sungguh, Engku. Magek tidak bohong, Engku !” jawab mereka lagi serentak.
“Baik,baik ! Sekarang apa buktinya, kenapa si Magek kalian katakan tidak
berbohong.”
“Dia memang tidak ikut manciliang, Engku.”
“Kenapa tidak, kan dia yang mengajak kalian semua ?”
Salah seorang anak lagi menjawab, “Si Magek tidak ikut manciliang, Engku. Kan dia
tidak ikut mamanjek, Engku.”
“Jadi kalian saja yang bergelantungan di dinding itu ?”
“Iya, Engku,” jawab mereka serentak lagi.
“Lalu si Magek.”
“Si Magek tidak ikut mamanjek, Engku. Karena dia takut jatuh, dia tidak bisa
mamanjek, Engku !”
Si juru tulis hanya manggut-manggut saja memperhatikan pasukan si Magek sedang
melakukan pledoi saat diadili gurunya.
“Jadi kamu tidak ikut memanjat dinding itu, Magek ?”
“Tidak, Engku.”
“Aaaakh! Sambil mengibaskan tangannya dan mengertakkan gerahamnya sang guru
penasaran akan jawaban Magek.
“Tidak lagi, tidak lagi ! Setiap ditanya jawabmu hanya ‘tidak’ terus. Apakah tidak
ada jawaban lain, selain kata ‘tidak’ itu, Magek ?” Sambungnya lagi
“Ya, tidak, Engku.” jawab Magek lagi dengan polosnya.
“Kan awak tidak pandai mamanjek, Engku.” terang si Magek kepada gurunya.
Kawan-kawan si Magek mulai menggigil badannya, bukan karena takut dan dingin,
tapi karena melihat kekecewaan gurunya terhadap Magek. Sama saja dengan si
juru tulis, dia terpaksa menyurukkan wajahnya sambil menahan suaranya karena
tidak tahan geli akibat ulah anak-anak, pasukan si Magek tersebut.
34 | Maryam Chilvalry
“Ya, sudah ! Sekarang taukah kalian bahwa perbuatan kalian itu adalah salah, juga
mengandung resiko ?”
Semua anak-anak terdiam, meraka serba salah, mau dijawab ‘iya’ atau ‘tidak’.
Mereka bingung.
“Kalian harus diberi hukuman atas perbuatan kalian tersebut. Tapi sebelumnya
coba kamu dengar baik-baik. Mau mendengarnya ?
“Mau Engku,” jawab mereka serentak, kali ini Magek telah turut menjawabnya.
“Apa hukumannya atas kesalahan kalian ?” si Guru Tuo secara demokratis
menyikapi persoalan itu sebelum manjatuhkan hukuman.
“Dirotani, Engku,” jawab mereka serentak pula. Magek juga ikut menjawab
“Kalian dilecuti pakai rotan ?” Sebelum bocah-bocah lucu ini menjawab si guru
menyambung pertanyaannya.
“Berapa kali, Magek ? Karena kamu ketuanya !”
“Ciek, Engku.”
“Satu kali..!, berarti kawan-kawanmu ini tidak dihukum. Kalian sudah jelas
bersalah semuanya,” Belalak Guru Tuo kepada Magek dan yang lainnya.
“Kamu ini benar-benar ‘galia’, licik seperti kancil.” (Cerdik)
“’Ya, Magek Kancia’, sela Juru Tulis. ‘kancia saja namamu, ya ! Kalau
dipanjangkan menjadi Magek Kancia namamu” tegas si Juru Tulis lagi memecah
suasana, sehingga mengundang derai tawa anak -nak.
“Kalian mau berapa kali dilecut dengan rotan ini ?” Sang guru berbalik kepada yang
lainnya.
“Ciek, Engku.”
“Baiklah, kalian masing-masing dilecut satu kali dan si Kancia ini harus lebih. Kamu
menerima lecutan rotan dua kali Magek !
“Kenapa dua, Engku ?”
“Ya..., karena berita propagandamu mengakibatkan kawan-kawanmu ini
meninggalkan pelajaran dengan alasan permisi buang air, dan karena komandomu
pula mereka ini melalukan perbutan yang salah itu. Mengerti! ”
“Ya, tapi Engku !”
“Tidak ada tapi-tapian, Magek!”
35 | Maryam Chilvalry
“Kamu harus menerima hukuman yang setimpal. Jelas !”
“Jelas, Engku”
“Ayo, semua berdiri !”
Anak, anak semuanya bediri sambil menyandang kain sarungnya masing masing.
Ada yang mengantungkan kain sarung di lehernya sehingga kain itu terkulai di
punggungnya, ada yang mengikatkan di pinggangnya dan ada pula yang melipatkan
di sebelah kiri dan kanan bahunya. Sang guru memegang sebilah rotan sambil
memukul mukul pelan ke telapak tangan kirinya untuk mempertakuti anak-anak.
Tapi Magek agak berbeda dengan kawan-kawannya. Magek pura-pura alim, dia
memakai kain sarung seperti orang akan shalat dan malah agak dirindihkannya,
melorot hingga tertutup semua kakinya dan ujung kain itu menyentuh lantai,
seperti sarung yang dikenakan perempuan mau shalat.
Guru mulai mengambil ancang-ancang dan rotanpun melayang ke kaki anak yang
berada paling kanan guru.
“Pip !” bunyi rotan satu kali di kaki kiri sebelah luar anak pertama.
“Kamu ke sana, pindah !” Perintah guru kepada anak tersebut untuk mengambil
jarak dari barisan kawan-kawannya yang belum kena lecut.
“Pip !” Begiti pula bagi anak ke dua.
Setelah merapat dengan kawannya yang pertama si Guru Tuo melanjutkan
hukuman kepada anak yang ketiga.
“Poh !” Bunyi rotan di kain sarung si Kancia. Sang guru mengulanginnya lagi,
ternyata masih berbunyi “poh...!” rotan tersebut, bukan “pip !”.
Guru Tuo mulai curiga, kenapa berbeda bunyi rotan di kaki si Magek. Dengan
mendadak sang guru menyinsingkan kaki Magek. Magek buru-buru mengembalikan
posisi kakinya, tetapi kalah cepat dengan tangan guru menyinsingkan ‘kodek’-nya
itu. Maka ketahuanlah rahasia ilmunya si Magek.
“O, begitu ya! Pintar kamu menipu saya, ya !”
Rupanya Magek telah mencurangi gurunya untuk kesekian kalinya. Sewaktu rotan
melayang mendera kakinya maka dia mengangkat kaki kirinya itu. Tentu saja bunyi
rotan itu “balapoh” melecut kain sarung yang berongga itu.
“Sekarang buka kain sarungmu !” perintah sang guru. Magek pun menuruti perintah
engku gurunya itu.
Kawan-kawan Magek mulai miris karena dia telah mengecoh semua orang dalam
kamar. Juru Tulis serba salah, mau ketawa tidak mungkin karena akan
36 | Maryam Chilvalry
menghilangkan wibawa temannya si Guru Tuo itu, tetapi perutnya sudah mulai
sakit melihat tingkah si Magek menipu gurunya itu. “Benar-benar seperti kancil
anak ini,” gerutunya dalam hati.
Sesaat otak Magek mulai pula mengerayang lagi mencari akal, karena dia sudah
pernah merasakan sakit bercampur perih dilecut dengan rotan.
Sang guru mulai pula mengambil ancang-ancang untuk melecut kaki Magek.
“Pip !” bunyi rotan satu kali di kaki kiri yang diringi oleh suara rauangan kawan di
sebelah kanan Magek. “Aduh! ”. Tanpa disangka rotan yang ditujukan untuk Megek
singgah di kaki kawannya di sebelah kanannya. Rupanya si Magek bikin ulah lagi.
Pada saat rotan melayang ke arah kakinya secepat itu pula dia melompat kecil.
Tentu saja rotan itu melesat kek kaki kawan di sebelahnya.
Untuk kedua kalinya, Magek mengambil langkah mundur, tapi toh masih kawannya
yang menanggungnya. Kawannya mulai meraung raung menangis. “Awak lah duo
kali kanai, engku....?” raungnya menghiba karena sudah dua kali deraan rotan yang
diayunkan gurunya mengenai kakinya.
Akhirnya, sang guru naik pitam lagi dia membentak Magek dan menyuruh Magek
duduk.
“Magek. Duduk !”
“Mana telapak tanganmu,” perintah guru kepada Magek.
“Keduanya !” perintah guru lagi supaya Magek menjulurkan kedua telapak
tangannya ke depan.
Pada saat guru mengayunkan rotan ke telapak tangan Magek, Magek menarik
telapak tangannya itu, sehingga rotan tidak mengenai sasaran.
Siapa yang tidak akan naik darah, naik pitam karena bengalnya anak ini. Tanpa
ayal lagi si gurupun kehilangan kesabarannya, dengan serta merta si guru
membuka ikat pingangnya yang terbuat dari kulit. Melihat sang guru sangat marah
dengan ikat pinggang kulit di tangannya, Magek ketakutan. Pada saat sang guru
mengayunkan ikat pinggang itu yang diiringi ucapan kekesalan sang guru, “Ini yang
kamu minta !” kata gurunya dengan bengisnya. Pada saat itu pula Magek berguling
ke kiri, sehingga di tidak kena ikat pinggang, gurunya terjerembab ke depan
karena dengkulnya menghimpit kain sarungnya, sehingga terbukalah ‘kodek’ sang
guru. Untunglah sang guru mengenakan celana pendek yang panjangnya hingga di
atas lutut dan longgar itu, semacam celana hawaii sekarang.
Baik Juru Tulis maupun anak-anak riuh ketawa melihat kodek sang guru ‘tangga’,
lepas dari lilitan di pinggangnya.
37 | Maryam Chilvalry
Guru Tuo terperangah, kemudian menjamba cangkir kopinya untuk mengalihkan
rasa kekecewaannya karena telah masuk ke dalam lobang perangkap si Megat
‘Kancil’ itu. Kancia atau kancil yang satu ini bukanlah – pelanduk – yang sering
memperolok buaya dan harimau bagaikan dalam dongeng-dongeng yang
kesukaannnya mencuri ketimun di ladang pak tani.
Sambil menyandar ke diding Guru Tuo meneguk kopinya yng telah dingin. Juru
Tulis hanya memperhatikan gelagat si Guru Tuo. Mereka tidak mengomentari
sebuah episode yang baru saja berlangsung. Daripada salah tanggap, maka Juru
Tulis buru-buru menghabiskan kopinya dan kemudian membetulkan tikar alas
tidurnya yang terbuat dari daun pandan.
Anak-anak disuruh bubar dan tidur ditempatnya masing-masing di ruang besar
bersama para ikhwan lainnya.
38 | Maryam Chilvalry
4. Lamunan
Keesokan harinya, si Juru Tulis mendapat informasi yang mengejutkan dari Siti
Anisyah. Sepulang dari surau malam kemaren kebetulan Siti Maryam dibawa
menginap oleh Siti Anisyah di rumahnya. Rupanya menjelang tidur fikiran Siti
Maryam juga ‘dibuncahkan’ oleh ketampanan seorang pemuda yang bertubuh ideal
di surau tadi yang bercampur dengan kesan indahnya terhadap alam negeri
Kamang.
“Siapa gerangan nama pemuda itu, ya?,” bisik hatinya.
Sementara Inyiak Haji Abdul Manan hanya memperkenalkan tugas dan tanggung
jawab si pemuda itu saja, tetapi tidak menyebutkan nama pemuda yang sedikit
pendiam itu.
“Etek, kalau boleh ambo tau, siapa gerangan nama pemuda yang menjadi juru
tulis Inyiak Manan tadi itu, ‘Tek ?,” Siti Maryam memberanikan diri untuk
menanyakan nama pria itu kepada Siti Anisyah.
“Hmm !, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan nama anak muda itu Maryam ?
Apakah dia telah menyudutkan pandangannya padamu tadi, sehingga membuat
perasaanmu tersinggung ?,” Pancingan Siti Anisyah pada Maryam.
“Tidak, Tek ! Tadi itu Inyiak Manan kan hanya memperkenalkan tugas-tugas pria
itu saja dan tidak menyebutkan nama orangnya. Padahal pada waktu-waktu
mendatang saya kira pasti akan banyak berhubungan dengannya, apalagi kalau saya
masih dianggap anak oleh orang Kamang ini, ‘Tek !,” jawab Maryam, yang
mencoba bersilat lidah dengan Siti Anisyah.
“O, begitu ! Nanti kamu juga akan tau dengan sendirinya, Maryam. Sekarang cukup
dipanggil saja dengan ‘si-Juru Tulis’, sesuai dengan tugasnya itu. Tidak masalah
39 | Maryam Chilvalry
bukan ? Yang jelas tidurlah kamu dulu karena tadi siang kamu sudah menempuh
perjalanan jauh. Tentu tubuhmu saat ini membutuhkan istirahat dan kami telah
mempersiapkan tempat dan selimut untukmu, Nak ? Tidurlah dulu !,” kilah Siti
Anisyah pada Maryam.
Maryam merebah diri. Tidur tertelentang memandang langit-langit yang hampir tak
teraba oleh matanya. Ia pejamkan matanya, berkelebatlah bayangan perjalanan
yang ditempuhnya sejak dari kampung halamannya. Dirinya kini terhempas di
negeri orang, jauh dari orangtua dan sanak saudaranya. “Sudah sejauh ini
perjelananku,” bisik hatinya.
Tapi, ia telah menetapkan hatinya, dan telah melangkahkan kakinya. “Inikah yang
aku pilih,” ia kembali mempertanyakan tujuan hidupnya. “Mengapa aku tidak
sebagaimana gadis-gadis lainnya di kampung ku ?”
Pemandangan sore tadi yang ditangkap oleh inderanya kembali menghiasai
khayalnya. Pada saat itu Maryam berdiri sejenak di ‘tanggo’, pembatas (antara)
anak tangga dengan lantai rumah dan sekaligus sebagai tumpuan batang anak
tangga di surau itu Maryam mencoba melapas pandang jauh ke sisi kiri dan sisi
kanan surau. Terlihatlah hamparan sawah sepuas mata memandang yang diterpa
sinar kuning keemasan, seakan persawahan di Kamang bagaikan hamparan
permadani. Ditengedahkan kepalanya menantap langit yang dihiasi sapuan awan –
sirus – diantara kelompok cumulus, kalong kalong mulai keluar dari sarangnya
mengukir cakrawala untuk memangsa di malam buta. Maryam hanyut dalam
lamunan pesona Lembah Kamang, karena alam Kamang ini sangat berbeda dengan
kampungnya yang persis berada di pinggung deretan Bukit Barisan yang
bersebelahan dengan nagari Kamang Mudiak itu. Sambil membetulkan lampaian
tubuhnya di tikar daun pandan dengan tangan kiri menjadi bantal dan tangan
kanan ditaroknya di atas hulu hati Maryam melanjutkan lamunan.
“Indah nian nagari Kamang ini. Daerahnya datar, persawahan luas, di tengah
tengahnya diselingi oleh beberapa gundukan bukit yang bagaikan pulau-pulau di
tengah bahari lepas, luas. Kampung yang benar-benar berada di sebuah lembah
yang subur. Nun di Selatan terpampang pula dengan seonggok Gunung Merapi dan
Singgalang, sementara di Utara, Timur dan Barat didindingi oleh Bukit Barisan,”
bisik Maryam dalam hatinya.
“Tapi..., siapa yang menyangka kalau di negeri yang nyaman, bumi yang subur,
alamnya yang ramah ini melahirkan anak manusia yang berwatak kesatria, taat
menjalankan perintah Islam dan adat leluhurnya. Membatu semangatnya untuk
mengusir kaum kafir yang mencoba menjajah dan menjarah negerinya sampai
berpengaruh di seluruh alam Minangkabau ini !”
40 | Maryam Chilvalry
“Bukankah pula leluhurku Inyiak Peto Syarif yang bergelar Tuangku Imam Bonjol
berperang dengan Ulando pada tahun 1825-1837 dalam Perang Pidari dahulu, juga
dibesarkan dan dimatangkan oleh Guru Tuonya yang bergelar Tuangku Nan Renceh
dari kampuang Bansa. Kamang ini pula !” urai hatinya.
“Kamu belum tidur, Maryam ?” Maryam kaget, rupanya Siti Anisyah telah mencuri
pandang terhadap Maryam.
“Belum, ‘Tek. Aku lelah sehingga mata susah tertidur.”
“Tidurlah, Nak, sudah malam,” seru Anisyah kepadanya.
“Ya, ‘Tek. Terimakasih, ‘Tek,” sahut maryam. Terputus lagi pemutaran hasil
bidikan kedua lensa mata yang telah disimpan dalam memori di otaknya itu.
Satu lagi yang membuat ia hatinya bergolak-golak, bagai kacang direbus satu, yaitu
bisakah ia diterima sebagai murid ? Keberadaannya di surau ini masih sebagai
tanda tanya. Kapan ia mendapat jawaban, diterima atau tidak ? Kalo ia diterima
sebagai murid, tentu sesuai dengan harapannya. Jika ia ditolak, apa yang harus ia
lakukan ?
Ia tersentak oleh tidurnya ketika mendengar derak derik lantai. Ia tajamkan
telinganya, langkah makin banyak menginjak lantai papan itu. Ia pun bangun, dan
duduk.
“Marayam, bangunlah. Waktunya sholat subuh,” panggil Siti Anisyah.
“Ya, Tek. Saya sudah bangun,” jawab Maryam.
Siti Anisyah berlalu. Dalam hati ia berguman, “Gadis yang baik !”.
41 | Maryam Chilvalry
5. Pembekalan
Haji Abdul Manan menatap Siti Anisyah dengan pandangan yang teduh sambil
menghela napas panjang. Masalahnya Siti Anisyah didesak oleh Siti Maryam untuk
mendapatkan kepastian dari Haji Abdul Manan tentang janjinya terhadap Maryam.
“Maryam mendesak ambo untuk mendapatkan jawaban dari Inyiak, kapan dia
diperbolehkan belajar ilmu beladiri.”
Tuangku Haji Abdul Manan tak dapat lagi mengelak akan kemauan keras Siti
Maryam untuk memperoleh ilmu dunia, tentang persilatan dan tentunya ilmu kebal
peluru dan ilmu meringankan tubuh, sekaligus cara menunggang kuda, meskipun
ilmu tentang ajaran agama sudah dia dapatkan semenjak awal kedatangannya
berguru kepada Haji Abdul Manan di ke Surau Kampuang Budi Kamang.
“Selain kemauan keras dari Siti Maryam, toh aku juga menerima amanah dari Ayah
semasa di tanah suci Mekah dulu juga demiakian. ‘...kaum wanita dilahirkan tidak
hanya menjadi tukang memasak di dapur, dan mengembangkan keturunan sebagai
ibu yang baik, tetapi juga harus dididik menjadi pendekar bangsa. Tidakkah kamu
mengetahui anakku bahwa keselamatan dunia dan akhirat nantinya juga terletak di
tangan kaum ibu sendiri...”, pesan Ayahndanya itu yang masih terngiang
ditelinganya, dan sekarang sedang bergelut dalam pikirannya untuk menjawab
tuntutan Siti Maryam.
“Ini adalah amanah dan tidak ada pilih kasih. Bukankah pula kamu Anisyah, Aisyah
dan kawan perempuanmu yang lain juga telah aku beri pelajaran apa yang
dituntut Maryam sekarang ini,” katanya lagi dalam hati.
“Betul, Anisyah. Tentu Maryam kembali menagihnya karena sudah sampai
bilangan janji yang saya ujarkan beberapa waktu lalu,” ujar Haji Abdul Manan
kepada Siti Anisyah.
“Lalau bagaimana Nyiak. Apakah dia sudah dibolehkan belajar silat ?,” desak
Anisyah.
“Kalau hatinya sudah kuat, keyakinannya sudah bulat tidak apalah. Tapi, siapa
yang akan melatihnya, dia seorang gadis,” jawab Haji Abdul Manan.
“Kalau Aisyah, bagaimana Nyiak,” pintas Siti Anisyah.
“Aisyah.... Tidakkah dia terlalu jauh dari Rumah Tinggi datang ke sini untuk
melatih Maryam. Tentu Dt. Rajo Pangulu, suaminya juga akan repot mengantar dan
menjemputnya nanti, meskipun waktunya hanya dua kali seminggu.”
“Bukankah dahulu yang memperlancar jurus-jurus silatnya Aisyah juga kamu,
Anisyah !”
42 | Maryam Chilvalry
“Kalau boleh aku bermohon kepada Inyiak, sebaiknya Aisyah saja yang melatih
Maryam. Baiknya disepakatilah terlebih dahulu siapa yang akan melatih Maryam.
Apakah kamu atau Aisyah. Mintalah dulu pertimbangan dan izin dari masing-
masing suami kalian.”
“Baiklah, Nyiak.” Tapi, Nyiak. Tentu tetap Inyiak yang membaiat Maryam untuk
pertama kali, supaya ada berkat ilmu silat itu padanya.”
“Insyaallah..., tapi kamu jangan lupa menyampaikan kepada Maryam akan syarat
syarat yang harus disediakannya sebelum memulai belajar silat dan atau ilmu
kebatinan lainnya. Begitulah biasanya, Anisyah.”
“Nanti saya sampaikan dan saya bantu untuk mendapatkan rumuan dan syarat-
sayarat itu, Nyiak. Apa saja yang harus disediakan Maryam, Nyiak ?”
Akhirnya Tuangku memberikan kata pasti supaya Maryam melengkapi terlebih
dahulu syarat-syarat berguru ilmu.
“Secara lahiriahnya berupa : Sirih/pinang langkok (lengkap), terdiri dari daun
sirih, pinang muda, gambir, kapur sirih; beras satu liter ulang-aling (ekor dan
kepala liter takaran diisi beras); cabe bulat; garam; sakin (pisau); jarum tangan;
peniti; cermin kecil; selembar sapu tangan; dan kain putih satu kabung (satu
hesta). Dan secara batinnya adalah keikhlasan dan kepasrahannya kepada Allah
Subhanallahita’ala, semata !”
Sebagaimana biasanya, pada petang Kamis, malam Juma’at, yaitu selesai mengaji
al-Qur’an, tafsir, muzaqarah tentang kandungan kitab kuning berhuruf arab
gundul, para murid Tungku Haji Abdul Manan secara berangsur angsur menuju
Ngalau Batu Biaro yang berjarak lima ratus meter melalui jalan pintas dari Surau
tempat mereka ditempa. Sedangkan Maryam bersama murid perempuan lain dan
beberapa tetua kampung tetap memakukan duduknya di surau.
Terlihat Siti Maryam mengenengahkan kehadapan Haji Abdul Manan syarat-syarat
yang telah disediakan sebelumnya. Setelah memeriksa kelengkapan persyaratan
yang diketengahkan Siti Maryam, lalu Haji Abdul Manan segera menurunkan ilmu-
ilmunya kepada Siti Maryam.
“Majulah, Nak !,” kata Haji Abdul Manan kepada Maryam.
Maryam beringsut ke hadapan gurunya itu merekapun berjawat salam. Pembaiatan
Maryam untuk memperoleh ilmu silat yang berbarengan nantinya dengan ilmu ilmu
lainnya pun berlangsung. Semua hadirin mengunci mulut, mempererat sila dan
simpuhnya dengan tertib.
43 | Maryam Chilvalry
6. Latihan di Malam Hari
Malam Jum’at itu, di arena, tempat latihan silat di belakang Surau di Kampung
Budi Kamang ramai dikunjungi orang. Baik orang tua-tua, pemuda, laki-laki
ataupun perempuan. Bangku-bangku yang terbuat dari bambu di sekeliling sasaran
silat tersebut tidak termuat lagi oleh penonton. Pada saat itu murid-murid yang
sudah mahir berhenti latihan di Ngalau Batu Biaro untuk memberikan ‘spirit’
kepada kawan baru dalam persilatan dan sekaligus syukuran karena kawan baru itu
telah ‘dibao tagak’, sebuah lanjutan dalam dunia persilatan Minang yang
sebelumnya latihan diberikan guru barulah untuk meringankan gerakan tangan dan
melenturkan pinggang dalam duduk bersila, bersimpuh dengan jalan menukar-
nukar posisi kaki, duduk jongkok dan berputur ditempat kedudukan sendiri. Pada
saat ‘mambao tagak’ latihan silat tidak lagi dengan duduk di surau, melainkan
dengan gerakan silat yang sebenarnya.
Tuangku Haji Abdul Manan mempersilahkan Maryam maju ke tengah arena latihan.
Dengan perasaan sedikit malu, Siti Maryam yang mengenakan pakaian hitam, baju
dan celana gunting Aceh berwarna hitam dengan sutera kuning sebagai ikat
pinggang, dan kain penutup kepala dari sutera hitam yang diikatkan dibelakang
maju ke arena latihan.
Mula-mula Siti Maryam berjongkok memberi salam kepada gurunya, kepada
sekalian orang tua-tua dan kepada orang banyak sekelilingnya. Ketika melayangkan
pandangan sekeliling, mata Maryam terpaku kepada wajah si Juru Tulis yang
tengah berdiri dibelakang penonton, seolah – olah ia hadir dengan bayang-
bayangnya. Maryam kembali memfokuskan pikirannya akan pelajaran pertama
yang akan ia terima, setelah seketika darahnya berdesir oleh tatapan Sang Juru
Tulis.
Selesai memberi salam kepada orang banyak, masih dalam keadaan jongkok
Maryam menundukkan wajahnya ke bumi dan menghunjamkan ujung-ujung jarinya
ke tanah, sesuai dengan kebiasaan para juru silat di Minangkabau.
Begitu pula dengan Siti Aisyah, istri Datuak Rajo Pangulu dari Kamang Hilir turut
melaksanakan tata krama persilatan, berjongkok sambil menjunjung salam diatas
kepalanya meminta restu dari suaminya Datuak Rajo Pangulu. Siti Aisyah telah
dipercayai sebagai ‘guru tuo’, guru pembantu dari guru utama untuk mengajarkan
sesuatu kepada murid yang baru atau kepada murid yang belum fasih sebelum
dikhatam oleh guru utama. Setelah keduanya selesai memberi salam dan siap
ditempat masing-masing maka Haji Abdul Manan tampil ke depan memasuki
gelanggang untuk memberikan kata sambutan dan petuah tentang kandungan
filsafat silat Minang dan beberapa nasehat yang berguna bagi kedua pemain,
terutama bagi Siti Maryam.
44 | Maryam Chilvalry
Selesai ulama yang kharismatik itu berbicara, maka ia memberikan isyarat bahwa
permainan silat sudah dapat dimulai, maka Siti Maryam segera mendatangi Siti
Aisyah Si Guru Tuo.
Sebelum permainan silat di mulai, maka Si Guru Tuo, Siti Aisyah mengucapakan
sepatah kata pula yang isinya mengatakan kegembiraan dan rasa terimakasihnya
atas kepercayaan yang diberikan sebagai orang yang akan mengajarkan ilmu silat
kepada Siti Maryam oleh Inyiak Manan dan ucapan terimakasih dan mohon
bimbingan selanjutnya disampaikannya kepada suaminya Datuak Rajo Pangulu
beserta tetua kampung lainnya.
Kedua perempuan itu berjabat salam dan memulai membuka langkah yang
dikomandokan oleh Siti Aisyah dengan suara “Eep...!”
Serentak dengan suaranya, Siti Aisyah menarik kakinya selangkah ke belakang,
dengan posisi tumit kiri dan kanan bagaikan membentuk huruf ‘v’ namun kedua
tumit agak direnggangkan. Sedangkan tangan kiri mengepit rusuk kanannya,
sementara tangan kanannya agak terbuka ke atas dengan siku agak ditekukkan.
Keempat jarinya tersusun rapat dan ibu jarinya terpisah dari keempat jari lainnya
di depan dahi dengan telapak tangannya menghadap ke arah lawan. Ayunan tangan
dan langkah itu disertai pula dengan tubuh yang agak membungkuk namun
matanya menyudut ke sisi kanan, mewaspadai gerak lawan.
Sesaat Siti Aisyah bagaikan patung dengan posisi seperti di atas, yang memberikan
kesempatan kepada Siti Maryam untuk menirukan gerakan yang dioeragakannya.
Setelah Siti Maryam mengambil posisi yang sama dengan Siti Aisyah, maka mulailah
Siti Aisyah bersuara lagi. “Ep...!”, lalu menukar gerak dengan kaki kanan yang
disilangkan ke depan dan merunduk ke tanah, sedangkan tangan kanannya telah
beralih ke belakang. Sehingga posisinya seakan duduk dipersilangan kaki bagaikan
elang akan terbang. Kemudian mematung lagi beberapa saat, hingga Siti Maryam
menirukan pula gerakan tersebut. Sehingga posisi mereka sekarang sudah
berdampingan dan tidak berhadapan hadapan lagi, dan masing-masing bahu kiri
mereka lah yang berhadapan, namun mata masing-masing secara reflek waspada.
Dengan aba-aba “Ep...!”, lagi, Siti Aisyah memutar tubuhnya sambil berdiri
sehingga posisinya seperti gerakan awal tadi, namun arahnya telah bertukar
seratus delapan puluh derajat. Maka tak ayal lagi, Siti Maryam pun menirukan
gerakan itu. Begitulah pola latihan yang didapatkan Siti Maryam pada malam itu
berulang-ulang sehingga mahir dalam jurus tersebut.
Pada malam berikutnya, jurus-jurus baru ditambah lagi oleh Siti Aisyah. Namun
sebelumnya terlebih dahulu diawali dengan gerakan jurus yang telah dipelajari
pada malam malam sebelumnya.
45 | Maryam Chilvalry
Dengan posisi jurus terakhir yang telah dikuasi, Siti Aisyah mengajarkan bermacam
cara meninju dan menangkap “jaro” (tinju), cara ‘pakuak’ dan ‘tabang’ (retas) dan
kemudian memerintahkan Siti Maryam untuk menyerangnya.
“Jaro...!”, Kata Siti Aisyah kepada Siti Maryam.
Maka Siti Maryam dengan setengah berlari menghujamkan tinjunya ke arah perut
Siti Aisyah. Dan secepat itu pula Siti Aisyah mengelak, menghindarkan tubuhnya ke
kanan sehingga tinju Siti Maryam tersorong ke depan dan bersamaan dengan itu Siti
Aisyah menangkap pergelangan tangan kanan Siti Maryam dengan tangan kanannya,
sedangkan tangan kirinya menangkap pergelangan siku Siti Maryam. Ternyata pula
pangkal betis kaki kiri Siti Aisyah pun telah mengganjal lutut kanan Siti Maryam.
Maka terkuncilah kedua persendian tangan gadis belia itu oleh kecekatan Siti
Aisyah. Sehingga badan Maryam terhuyung, seakan mau jatuh ke tanah.
Pada saat posisi Siti Maryam sedang terkunci dan kehilangan keseimbangan, Siti
Aisyah memberikan penjelasan tentang gerakan tersebut. Setelah Siti Maryam
memahaminya, maka Siti Aisyah memerintahkan Siti Maryam untuk
mencobakannya, dengan bergantian menyerang. Mereka kembali keposisi
sebelumnya, maka mulailah Siti Maryam diserang dengan “jaro” oleh Siti Aisyah.
Dasar anak cerdas dan perhatiannya yang sungguh-sungguh, maka Siti Maryam
cekatan menangkap tangan Siti Aisyah seperti yang dijarkan tadi. Namun ada
kejanggalannya, kaki kiri Siti Maryam bukannya menyilang di lututnya Siti Aisyah,
melainkan tumit kanannya diangkat seperti akan menghantam rusuk kanan Siti
Aisyah. Siti Aisyah perempuan yang telah mahir bersilat, matanya menangkap
gerakan tumit yang akan mengenai rusuknya, maka tangan kirinya yang menempel
di rusuk kanannya saat menjaro tadi langsung menangkap pergelangan kaki Siti
Maryam. Sehingga terkangkanglah kaki Siti Maryam. Maka langsung pula Siti Aisyah
memberikan penjelasan tentang ‘langkah sumbang’ Siti Maryam yang tersebut.
Tanpa disadari, pada saat kaki Siti Maryam terkangkang itu diiringi pula oleh suara
menderut, ternyata jahit celana yang dikenakannya putus, para hadirin yang
menyaksikan persilatan kedua perempuan itu terkesima sesaat.
Sutan Parmato mengigau, matanya melotot sekan mau melompat keluar. Bukan
karena apa-apa..., sekejap dia melihat bahagian tertentu paha Siti Maryam yang
putih bagaikan warna bulan purnama pada tengah malam itu disela jahitan celana
Siti Maryam yang terkoyak, putus jahitannya dari atas lutut.
Gelagat si Parmato yang memang agak suka jahil itu, terlihat oleh Datuak Rajo
Pangulu dan Kari Mudo, maka dengan arif Datuak Rajo Pangulu menepukkan
tangannya sambil menyuruh kedua orang putri itu untuk beristirahat duhulu
sembari melemparkan kain sarung – bugis makasar – yang disandangnya kepada Siti
Maryam untuk ‘kodek’ nya sementara. Datuak Rajo Pangulu menyuruh Siti Maryam
berganti pakaian ke atas surau dengan ditemani Siti Aisyah.
46 | Maryam Chilvalry
Ikhwan lainnya susah menahan tawanya. Kalau ketawa takut akan dimarahi guru,
tetapi perut semakin sakit menahan, karena melihat si Parmato yang sedang serba
salah di hadapan guru dan orang tua-tua sekeliling sasaran silat itu. Sedangkan Si
Juru Tulis melihat kejadian itu dengan acuh tak acuh !
Supaya jangan terlalu tersurut pula si Parmato, maka tampillah Kari Mudo ke
tengah gelanggang berseru supaya latihan persilatan dilanjutkan oleh pesilat laki-
laki yang berikutnya latihan bermain pedang dan debus. Setelah latihan silat oleh
pemuda - pemuda di kampung tersebut, mereka berangkat ke Ngalau Batu
Biarountuk melakukan latihan intensif menghadapi peparangan.
Kari Mudo pun menyusul ke atas Surau, setelah menunggu beberapa saat Siti Aisyah
menemani Siti Maryam menukar pakaiannya. Kari Mudo berkata kepada Siti Aisyah,
“Kamu tadi terlalu cepat menyambar dan terlalu tinggi mengangkat tumit Maryam,
sehingga celananya robek. Malu juga kita jadinya karena terlihat auratnya oleh kita
semua yang hadir itu.”
“Bukan itu masalahnya, Tuan Kari !” Jawab Siti Aisyah. “Tetapi, kebetulan celana
yang dikenakan Maryam itu adalah celana bekas dari saya yang dipinjamkan
kepadanya. Memang kainnya sudah agak usang dan benangnya pun barangkali
sudah rapuh. Dan ‘ambo’ pun tak memperkirakannya pula sebelumnya, Tuan !”
“Dia bersemangat sekali untuk menguasai persilatan ini dan kelihatannya, Maryam
termasuk anak yang cerdas dan lincah. Saya yakin dia bekal cepat menguasainya,”
kata Kari Mudo lagi.
“Berarti kekuatan kita akan bertambah, Tuan !” kata Aisyah.
47 | Maryam Chilvalry
“Ya !, tepat sekali !, berarti kamu dan Kak Siti Anisyah akan mendapatkan
tambahan kawan dalam mempersiapkan atau pun dalam perlawanan dengan
Ulando itu nantinya. Tapi Aisyah, hal ini tetap dalam genggaman rahasiamu, agar
kamu pegang erat-erat, kau kunci dalam batinmu bahwa Siti Maryam adalah dapat
dihandalkan dalam perlawanan kita nanti !” kata Kari Mudo sambil melangkah
untuk turun kembali ke tempat sasaran persilatan.
“Baiklah Tuan !” jawab Aisyah sambil mengiringi Kari Mudo ke tanggo.
Pelajaran silat untuk Siti Maryam dilanjutkan. Namun di gelanggang sudah tidak
seramai tadi. Paara pesilat pria sudah kembali ke Ngalau Kamang untuk melajutkan
pelatiahan perang mereka. Siti Maryam menyapu setiap orang masih tersisa
mencari seseorang, namun pria muda tersebut sudah berangkat pula ke Ngalau
Kamang.
Hatinya berharap Sang Juru Tulis berada di gelanggang latihan tersebut, meskipun
dalam bayang-bayang kegelapan. Kari mudo rupanya melihat gelagat Siti Maryam,
yuang sedikit terganggu pikirannya. “Ayo...,” bentak Kari Mudo.
Siti Anisyah yang duduk berjuntai kaki, membuang mukanya melihat kejadian
sesaat itu. Ia tahu apa yang mengganggu pikiran anak gadis itu. Kemudian, ia tatap
wajah Siti Maryam. Pandangan mereka bertemu. Siti Anisyah mempertajam
matanya, sebagai isyarat sebuah tegoran. Siti Maryam menundukkan kepalanya.
48 | Maryam Chilvalry
7. Menguji Ketangkasan
Agar lebih cepat menguasai segala tetek bengek dalam ilmu persilatan, maka tidak
henti - hentinya Siti Maryam berlatih silat dengan Siti Aisyah.
Kali ini Siti Aisyah mengajarkan Siti Maryam mempergunakan senjata tajam dan
sekaligus mengelakkan serangan musuh yang mempergunakan senjata seperti
pisau, rudus (klewang) dan sejenisnya. Menurut pengamatan Siti Aisyah,
penguasaan Siti Maryam akan materi latihan sebelumnya sudah cukup. Latihan silat
dengan mempergunakan senjata tajam ini adalah sebagai kelanjutan latihan-
latihan sebelumnya.
“Maryam !, malam ini kita akan latihan silat dengan mempergunakan senjata
tajam. Kamu harus menguasai dan mahir mempergunakan pisau dan kelewang,
yang sekaligus menangkis dan mengelakkan serangan musuh dengan
mempergunakan senjata-senjata itu, bahkan tombak sekalipun,” kata Siti Aisyah.
“Baiklah, Bundo !”
“Bahkan ini pulalah saat yang saya tunggu-tunggu. Saya tidak sabar menunggu
pelajaran ini dari Bundo,” timpal Siti Maryam.
“Sekarang mulailah permainanmu Maryam, saya akan mengikuti permainanmu,”
kata Siti Aisyah, yang berpakaian serba hitam dengan ikat pinggang dari sutera
putih berjumbai kiri dan kanannya dan ikat kepala dari beludru kuning.
Siti Maryam memulai ilmu pencak, diawali dengan kaki kanan, dan kemudian
ditarik - diganti dengan kaki kiri yang berdiri di atas tumitnya serta tangannya
menari seperti elang yang hendak menyambar mangsanya. Kadang-kadang ia
berputar dengan tangan kiri di pinggang, melangkah cepat keliling gelanggang dan
kembali ketempat semula mengambil langkah langkah baru. Sementara itu Siti
Aisyah masih berdiri di tempatnya semula, mengagumi permainan pencak yang
begitu lincah Maryam dan Siti Aisyah berkata. “Mari kita bermain Maryam, saya
akan mengikuti permainanmu.”
Kedua perempuan itu mulai bermain, mula-mula secara lambat-lambat, makin
lama makin cepat dan mulailah dengan sepak - menyepak yang cepat bagaikan
kilat menyambar mendung. Siti Maryam berada dipihak menyerang dan Siti Aisyah
dipihak yang bertahan dengan mengelit ke kiri dan ke kanan sambil mengintai
terbukanya kesempatan untuk membalas serangan Siti Maryam. Pada saat
kesempatan terbuka, Siti Aisyah menyapu kaki kanan Siti Maryam dengan
secepatnya, sehingga Siti Maryam terpelanting ke belakang beberapa langkah.
Tetapi Siti Maryam berputar dengan cepat dan kemudian berbalik menjaro Siti
Aisyah dengan tinju tangan kanannya yang hampir saja mengenai lambung sebelah
kiri Siti Aisyah. Sebaliknya dengan cepatnya Siti Aisyah, sambil berkelit langsung
menangkap pinggang Siti Maryam dan melemparkannya ke depan.
49 | Maryam Chilvalry
Sungguhpun Siti Maryam telah terpental sepuluh langkah ke depan, namun yang
menyentuh tanah adalah tetap ujung kakinya yang tidak mengeluarkan bunyi
sedekit pun bagaikan kucing melompat dari dahan pohon dan menghadap kembali
kearah gurunya.
“Maryam, keluarkan pisaumu !” perintah Siti Aisyah.
Dengan serta merta Maryam mencabut pisau ‘sirauik’-nya, pisau bengkok
bertangkai kayu bulat yang panjangnya satu setengah jengkal, dan mengangkatnya
kemuka pelan-pelan sambil menciumnya dan kemudian mencorengkan ujung
pisaunya ke tanah dan memberikan tanda silang serta mempermainkan pisau
dengan tarian yang sangat indah. Kemudian Siti Maryam berpaling sambil
mengucapkan, “Bundo sudah siap untuk menyambutnya ?”
“Ya !, sudah siap, Maryam !” Jawab Siti Aisyah
Sesampai jawaban si Guru Tuo itu, Maryam menujamkan pisaunya ke arah lambung
kanan Siti Aisyah dengan sangat kencang dan kuatnya. Tetapi, dengan santai Aisyah
yang cekatan ini menyambut pergelangan tangan Siti Maryam dan mempelintirnya,
sesaat pula Siti Maryam dengan cepat memutar badannya searah dengan putaran
tangannya yang dipelintir Aisyah, serta segera berkelit ke belakang, pelintiran
Aisyah lepas dan pada saat itu Maryam langsung menikam lambung kiri Aisyah, dan
Aisyah segera pula berkelit sedikit ke kanan, sedangkan kaki kanannya cepat
menyepak pangkal siku Maryam dan kemudian mengepit tangan Siti Maryam ke
tanah hingga pisau terlepas dari tangan Siti Maryam. Pisau itu oleh Siti Aisyah,
sementara Siti Maryam dengan cepat pula berbalik ke belakang.
“Waaah....!” bisik penonton dibalik kain sarung yang disandangnya, karena
melihat ketenangan Aisyah mematikan serangan Siti Maryam dan sekaligus melihat
lincahnya gadis itu berkelit sambil waspada akan serangan balik Siti Aisyah.
“Iyo, bebar-benar alot !,” komentar penonton lainnya, karena permainan kedua
‘merpati’ itu tidak terputus putus. Saling mengunci dan melepaskan kemudian
meyerang kembali, seolah mereka memiliki cadangan gerakan dalam geliat
permainan itu.
“Sekarang giliranku Maryam, karena pisaumu berada dalam genggamanku,” kata
Siti Aisyah. Sudah siapkah kau, Maryam ?”
“Sudah, Bundo, Majulah Bundo !” jawab Siti Maryam.
Siti Aisyah maju menjuruskan pisau ditangannya itu ke arah lambung kanan Siti
Maryam, sambil memberikan aba-aba.
“Awas...!,” teriak Aisyah.
50 | Maryam Chilvalry
Sesaat itu pula Siti Maryam dapat berkelit, cuma saja dia tidak dapat menangkap
pergelangan tangan Aisyah. Sehingga Aisyah pun terlaju beberapa langkah ke
depan, secepat itu pula Aisyah berbalik dan menghela napas sejenak untuk
mengumpulkan tenaga dan kembali menyerang Maryam. Kali ini Maryam tidak
berupaya untuk menangkap dan mengunci persendian Guru Tuo-nya itu, melainkan
hanya mengelak dan mengelak saja dengan lincahnya. Akhirnya Siti Aisyah
kehabisan tenaganya sendiri, terkuras staminanya karena tubuhnya terseruk kesana
kemari, kearah dia menyerang sementara sasaran serangnya berupaya tidak
tersentuh sama sekali. Siti Aisyah merasa letih dan segera merangkul pinggang Siti
Maryam sambil berkata
“Sudah cukup Maryam, ambo sudah letih.”
“Baiklah, Bundo ! Terimakasih, Bundo !,” jawab Siti Maryam yang kemudian
mencium kedua pipi gurunya.
Selesai memberi salam kepada Haji Abdul Manan dan kepada yang tua-tua dan
sekalian penonton yang masih terkesima dan terganga yang seakan di bumikan di
tempat duduknya masing-masing Keduanya duduk pada tempat yang sudah
disediakan, dan Haji Abdul Manan bertepuk tangan dengan rasa puas
mempersaksikan kepintaran Siti Maryam dan sosok Siti Aisyah sebagai Guru Tuo
yang penuh kearifan dan bijaksana memandu dan melatih Gadis dari kampuang
Hanguih, Bonjol itu.
Setelah Datuak Rajo Pangulu dan Kari Mudo bertepuk tangan mengiringi tepuk
tangan Haji Abdul Manan, barulah penonton sadar bahwa permaian Siti Aisyah
membimbing Siti Maryam sudah selesai. Ternyata jam sudah menunjukkan pukul
satu dinihari.
Dengan sudut matanya, Siti Maryam mencari-cari diantara penonton. Tetangkaplah
olehnya seseoramg yang berdiri diremang-remang. Sebuah bibir tertarik tipis, Siti
Maryam merasa senyuman kecil itu ditujukan untuknya. Darah paling dalam Siti
Maryam berdesir, mendapatkan sebuah senyuman itu daro Si Juru Tulis – yang
mana beberapa saat menghilang.
51 | Maryam Chilvalry
8. Muslihat
Pasar Malam, pesta rakyat ciptaan Belanda
HAJI Abdul Manan, putra Haji Ibrahim bekas pejuang dan asuhan Tuangku Nan
Renceh cukup berpengalaman juga dalam perlawanan dan peperangan, seperti
terlibat sebagai pasukan relawan perang Aceh melawan Belanda. Ia lebih awal
melakukan siasat propaganda, konsilidasi dan pengkristalisasian pemikiran akan
semangat anti penjajahan Belanda dengan semangat jihat anti kaum kafir-nya di
Kamang dan melebar ke beberapa daerah lainnya. Issu ‘kafir’ merupakan
propaganda terbilang ampuh bagi masyarakat Minangkabau yang tidak waktu itu,
kecuali bagi – Belanda Hitam – si Melayu yang kebelanda-belandaan. Untuk
melaksanakan kegiatan propaganda, lobby ini tidak semua orang yang mampu,
karena dituntut suatu kecerdasan, kelincahan, kefasihan berbicara dan lihai
meyakinkan banyak orang, serta mempunyai keberanian yang besar.
Pada sisi lain, dengan adanya tantangan dalam masyarakat terhadap rodi dan
belasting, maka Belanda merasa khawatir kalau suatu waktu akan bermuara pada
pemberontakan rakyat, seandainya kegiatan agitasi yang dimotori oleh para ulama
dan dibantu oleh penghulu adat tidak dihentikan.
Sehingga Haji Abdul Manan ditangkap dan ditawan di kota Benteng Fort de Kock,
Bukittinggi. Mitra Haji Abdul Manan waktu itu Tuangku Laras Sungai Pua juga
ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Meskipun demikian, ternyata beberapa tokoh
masyarakat ada yang tidak bergeming akan bujuk rayuan yang disertai ancaman
oleh pemerintah Belanda tersebut.
Dipenghujung tahun 1901, Belanda mulai melancarkan siasat ‘pecah belah’-nya
dengan membujuk para laras dengan suatu perjanjian yang sekaligus bernada
ancaman, bahwa : 1) Para Laras yang menyatakan setia kepada pemerintah Ulando
dan Ratu Wihelmina akan diberi pangkat yang tinggi dan bintang jasa ‘Oranje van
Nassau’ (bintang penghargaan tertinggi); 2) Para alim ulama dan pemangku adat
52 | Maryam Chilvalry
(Penghulu) yang membantu pemerintah Belanda juga akan diberi bintang jasa dan
‘besluid’ (inilah cikal-bakal pangulu nan bapisuluik), dan mereka akan
mendapatkan sebahagian dari hasil pungutan pajak; 3) Laras dan Penghulu Kepala
yang tidak menyokong program pemerintah (Belanda) tentang memberlakukan
belasting akan dipecat dari jabatannya dan akan diasingkan dari masyarakatnya.
Setelah satu tahun dalam tahanan, Haji Abdul Manan dan Laras Sungai Puar
dibebaskan dari hukuman, dipulangkan ke kampungnya masing-masing.
Sepulangnya kedua tokoh ini dari pembuangannya, ternyata disambut rakyat
dengan antusias sebagai pertanda bahwa masyarakat pendukungnya tidak takut
akan ancaman-ancaman Belanda tersebut.
Melihat reaksi masyarakat dan intensitas kegitan agitasi kedua tokoh ini, maka
pemerintah Belanda menukar siasatnya. Tuangku Laras Sungai Pua kembali
ditangkap dan diasingkan ke Betawi, sedangkan Haji Abdul Manan dibiarkan saja
(tidak ditangkap), namun secara terus menerus diawasi.
Dengan cara seperti itu Belanda berharap pengaruh Laras Sungai Pua dapat
dipadamkan, yang sekaligus menyurutkan nyali para laras yang lainnya supaya
tunduk kepada pemerintah Belanda. Sedangkan ruang gerak Haji Abdul Manan
semakin dapat dilokalisir dan pada suatu waktu nantinya dapat ‘dipressure’ dan
dilenyapkan.
Upaya ini masih belum ampuh, langkah berikutnya Controleur LC. Westenenk yang
ringan dalam lidah rakyat di Agamtuo dengan sebutan Tuan Siteneng,
mengumpulkan seluruh Kepala Laras se Agamtuo, yaitu Tuanku Laras Baso,
Tuanku Laras Kamang, Tuanku Laras Tilatang, Tuanku Laras Magek, Tuanku
Laras Salo, Tuanku Laras Canduang, Tuanku Laras Ampek Angkek, Tuanku Laras
Kapau, Tuanku Laras Sungai Pua, Tuanku Laras Banuhampu, Tuanku Laras
Ampek Koto di kantornya di For de Kock, dengan tujuan untuk mempengaruhi
pemimpin-pemimpin rakyat itu untuk ‘menerima saja’ peraturan gubernemen
(pemerintah) dan memaksakan kepada rakyat melalui Kepala Nagari-nya masing-
masing.
Berkhotbahlah Tuan Siteneng, katanya dengan sangat hati-hati dalam kefasihannya
berdialek Minang, “Tuangku-tuangku Laras ! Gubernemen Belanda tidak mau
menyusahkan lagi anak nagari di sini. Tidak lagi disuruh menannam kopi dan
menjualnya hanya kepada gubernemen. Anak nagari boleh menanam kopi sesuka
hatinya saja. Kini gubernemen bikin peraturan baru. Anak nagari harus membayar
beberapa rupiah kepada gubernemen untuk segala macam kekayaan. Namanya
‘belasting’.”
Kemudian ucapan itu ditindaskannya kepada Tuanku Laras Kamang yang sudah tua
itu. Tuanku Laras Kamang melegakan, memperiyakan (musyawarah ala
Minangkabau) kepada Tuanku Laras Sungai Pua.
53 | Maryam Chilvalry
“’Tabek, Tuan...! Kami setuju belasting dan rodi itu dijalankan di negeri kami,”
jawab oleh Tuanku Laras Sungai Pua. “Akan tetapi – dagang – harus bertolak dari
rantaunya. Dari negeri kami ini!,” sambungnya lagi dengan kata bulat bersanding
itu. Artinya belasting dan rodi mau dijalankan, tetapi Belanda sebagai pedagang
harus meninggalkan Hindia Belanda.
Dengan bijak Tuan Siteneng menanggapi, “Kalau begitu, kita tunda dahulu. Saya
mengerti, bahwa rakyat belum mampu,” kata Tuan Komendur itu. Dan rapat
selesai. Bubar.
Sindiran halus, tajam yang lebih tajam dari pisau silet dari pemimpin rakyat yang
bertanggung jawab untuk membela rakyatnya sendiri itu sangat menyayat-nyayat
hati dan pikiran LC. Westenenk. Dengan apa lagi dilumpuhkan, mata pancing tidak
mengena meskipun telah diberi umpan yang empuk dengan membebaskan rakyat
dari ‘coffeestellsel’.
Tidak beberapa lama muncul pula ide, muslihat yang agak ampuh namun
memerlukan sedikit tambahan ‘coss’, biaya.
Laras-laras cendikiawan dan berpengaruh itu dikirim ke Batavia untuk berjumpa
dengan orang nomor wahid di Hindia Belanda, Tuan Gubernur Genderal. Namun
sebelumnya, ada acara semacam kompetisi para Laras - untuk menguji kepandaian
dan kepintarannya. Tidak obahnya kompetisi walinagari / lurah pada masa
sekarang. Laras yang akan dikirim ke Batavia hanya sebanyak lima orang.
Memang benar, mendengar akan ada Kepala Laras yang akan pergi ‘examen’ ke
Batavia dan bertemu pula dengan Tuan ‘Ge-Ge’, sedikit agak terlonjak pasak
Tuanku Laras, agak berbesar hati para Laras di Agamtuo.
Dalam seleksi, terpilihlah lima besar dari dua belas Laras se Agamtuo, yaitu
Tuanku Laras Ampek Koto (Koto Gadang), Tuanku Laras Sungai Pua, Tuanku Laras
Banuhampu, Tuanku Laras Kamang, Tuanku Laras Tilatang (Agus Warido).
Berangkatlah kelima Laras terbaik itu dengan kapal api dari Teluk Bayur. Sesampai
di Batavia kelima laras tersebut dites lagi, ternyata Tuanku Laras Sungai Pua
dinyatakan peringkat pertama dan Tuanku Laras Kamang peringkat kedua.
”Lolos penjahit, lolos kulindan” kata pepatah Minangkabau. Sepulang dari Batavia
dengan congkak dan semakin bijaknya para Tuangku Laras ini menjilat air ludahnya
sendiri. Para laras tersebut merasa tersanjung, setelah mendapatkan pelayanan
terbaik di Batavia bagai raja kecil.
Inilah hasil yang dibawa pulang oleh laras tersebut. Penaksiran kepada pemilikan
penduduk mulai dijalankan, ada yang kena 1 gulden, ada yang ditaksir 1,20 gulden
dan malah ada yang dibebani belasting hingga 2 gulden.
54 | Maryam Chilvalry
Pada bulan Mei 1908, Tuanku Laras Sungai Pua tidak terdengar lagi suaranya.
Sedangkan Tuangku Laras Kamang sengaja melaksanakan ibadah Jum’at ditempat
Haji Abdul Manan. Dari mimbar selesai shalat jum’at Tuangku Laras meneriakkan
seruannya, “Oi...! orang yang dalam sidang Jum’at ini, bayarlah belasting supaya
aman hidup kita ini !”
Mendengar seruan Tungku Laras Kamang itu tanpa berpikir panjang Haji Abdul
Manan menjawab. “Kami tidak akan membayar !” katanya. “Lalu pinjaik, lalu
kulindan. Anak cucu kami juga yang akan menanggungnya !,” sambungnya lagi
dengan lantang.
“’Kalau begitu, Haji engkar !,” bentak Tuanku Laras. “Iko pamarentah,”
sambungnya dengan menepuk dada. “Tabujua lalu, tabalintang patah (terbujur
lalu, terbelintang patah),” hentaknya lagi memperlihatkan tangan besinya. Lalu
merentak keluar mesjid, meninggalkan jamaah.
Dengan demikian pelajaran kedua pun kita dapatkan, bahwa untuk kesekian
kalinya Belanda berupaya dan membawa hasil untuk menciptakan ‘image’ bahwa –
‘penguasa’ – itu harus dihormati, rakyat harus ‘membungkuk bungkuk’
terhadapnya.
Sebaliknya, kita harus mengakui hasil penyelidikan Nahuys van Burgst sewaktu
pertama kali menginjakkan kakinya di Minangkabau tiga tahun berlangsungnya
Perang Paderi dan laporan hasil penyelidikannya itu disampaikan kepada
pemerintahan Hindia Belanda tiga tahun kemudian, yaitu tahun 1827.
Tapi, jauh hari sebelum dia menginjak kakinya di bumi Minangkabau, Nehuys van
Burgst yang ahli hukum itu, datang ke Hindia Belanda sebagai penasehat negara
dan keuangan dalam sebuah panitia dikirim khusus oleh Raja Louis Napoleon tahun
1805, semasa Kerajaran Belanda menjadi taklukan Perancis. Empat tahun
kemudian dikirim lagi ke Hindia Belanda sebagai penasehat agung Daendels. Pada
waktu itu ia sempat sebagai pengacara yang menyelamatkan Pangeran Paku Alam
dan seorang lagi pangeran keraton Surakarta (di Jawa) dari tiang gantungan karena
dihukum Daendels.
Selama perang Diponegoro, Nehuys banyak berjasa bagi pemerintah kolonial
karena hubunganya sangat dekat dengan raja-raja Jawa, bahkan dia pulalah yang
berhasil membujuk raja-raja Jawa untuk menyerahkan sebahagian daerah
kekuasaannya kepada Belanda.
Setelah beberapa tahun menetap di Eropa, Nahuys van Burgst yang sudah
berpangkat Mayor Jenderal tituler dan anggota Dewan Hindia dikirim kembali ke
Hindia Belanda. Kali ini untuk mengunjungi Pagaruyung, pusat Kerajaan
Minangkabau versi Belanda dan membuat laporan kepada pemerintahnya.
55 | Maryam Chilvalry
“Secara sosio-kultur orang Melayu (Minangkabau),” katanya, “Kepala (raja) dari
semua rakyat Minangkabau yang oleh penulis-penulis tua dikatakan lebih dihormati
lagi daripada Paus di Roma, ternyata adalah seorang tanpa pengaruh dan tidak
mengesankan sama sekali. Penghormatan yang didapatnya, jauh lebih kecil dari
yang diberikan kepada wedana-wedana di Pulau Jawa, dan orang-orang di Jawa
merasa takut pada kepala desa daripada orang-orang di sini (Minangkabau)
terhadap raja mereka. Pendapatannya kurang dari 100 gulden setiap bulan, tidak
cukup untuk hidup mewah dan tidak mempunyai tanah kecuali yang didapat dari
perkawinan. Maka tidak mengherankan jika dia lebih merupakan opas kepala
daripada kepala rakyat.”
“...Dan saya melihat bahwa orang-orang pribumi yang rendahan sekalipun,
semuanya hilir mudik saja, meskipun dalam jarak yang dekat sekali dari Raja
Minangkabau itu, dan tanpa memperlihatkan rasa takut (sungkan) sama sekali !
Berlainan dengan raja-raja di Jawa, karena tidak kelihatan iringan tersendiri
membawa bermacam-macam tempat sirih, tempat rokok, talempong, tempat air,
payung emas, alat-alat tulis, dll. Sebaliknya dia hanya mempunyai satu pengiring
yang membawa payung China warna coklat yang di Jawa semua orang bisa
memakainya....’
“...Selain itu, orang-orang Melayu (Minangkabau) berlainan dengan orang-orang di
Jawa, mereka tidak begitu menghormati kepala-kepala mereka.... Di sini
(Minangkabau) jarang saya lihat, penghormatan diberikan kepada Tuanku (Raja)
dan tidak pernah kepada kepala-kepala yang lebih rendah.... Pernah saya alami
sendiri bersama asisten residen dan raja Minangkabau berkunjung pada sebuah
kota di pinggir danau (mungkin Danau Singkarak) yang cukup padat penduduknya.
Di sana kami diterima oleh kepala kepala kampung yang acuh tidak acuh saja,
mereka mengenali rajanya pun tidak..., dan sewaktu saya tanya bagaimana
keadaan kalau orang-orang Belanda meninggalkan mereka begitu saja tanpa
perlindungan ? Dengan tegas kepala di sana itu menjawab, ‘Kalau kita bisa hidup
damai saja dengan orang-orang Pidari..., kami tidak lagi membutuhkan orang-
orang Belanda di sini’.”
Lalu, apa simpulan dan saran oleh Nuhuys kepada pemerintahnya ?
“Mengingat semangat merdeka rakyat di sini, saya takut pemerintah akan
mendapat banyak sekali kesulitan kalau di sini dijalankan pajak, pajak tanah
umpamanya.... Kita akan tersesat jika kita bandingkan orang-orang Melayu begitu
saja dengan orang-orang Jawa. Suatu kenyataan pula bahwa dengan menjalankan
pajak-pajak (sebagaimana dalam Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 18
tanggal 4 November 1823) itu, kita akan menghadapi banyak bahaya dan kesulitan
nantinya.”
Dalam laporannya itu Nuhuys van Burgst menceritakan kemuakannya atas
kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda. Nuhuys van Burgst menceritakan
56 | Maryam Chilvalry
tentang pembantaian-pembantaian terhadap tua, muda, anak-anak maupun jompo
dan wanita, disemblih tanpa ampun jika suatu desa jatuh ke tangan tentara
Belanda, tanpa dapat dicegah oleh para aperwira-perwiranya.
***
Semenjak kejadian dengan Haji Abdul Manan di Mesjid pada hari Jum’at itu, maka
apar-apar besi atau bengkel pandai besi mulai berdentang. Gemerincing besi panas
ditenpa untuk dijadikan kelewang, rudus dan pedang. Dan yang agak lebih
dirahasiakan adalah sewaktu membuat ‘badia balansa’, sejenis senjata api
tradisionil yang pelurunya terbuat dari beling, sepihan besi.
Sementara itu, Muhammad Amin Pamuncak Sutan Bagindo Penghulu Kepala dari
Koto Tuo Ampek Angkek, aktif pula mengumpulkan dana yang akan dikirim kepada
saudaranya di Singapura untuk ditukar dengan mesiu standard Eropa – nantinya
diselundupkan dalam perlawanan rakyat menentang belasting.
Berbarengan dengan tekanan untuk membayar belasting, Belanda mengeluarkan
kebijakan berikutnya, yaitu mencoba mengalihkan perhatian masyarakat (umum)
dengan adanya keramaian-keramaian (alek). Maka pada tahun 1908 Pemerintah
Belanda membuka pasar malam dan alek pacu kuda serta mempergiat pesta anak
nagari di kampung kampung, seperti pesta ‘panjek batang pinang’ (panjat pinang)
yang dimeriahkan pula dengan berbagai atraksi rakyat.
Dan yang tidak kalah pentingnya pada setiap keramaian itu rakyat diperbolehkan
menggelar perjudian, terutama ‘barambuang’, dadu kuncang, dadu putar,
menyabung ayam dengan tujuan bukan saja membinasakan moral anak nagari,
tetapi juga untuk mengalihkan perhatian rakyat akan persoalan belasting tersebut.
Dari beberapa kebijakan Belanda tersebut maka Haji Abdul Manan tidak tinggal
diam, meskipun sedikit telah mulai kecewa akibat melemahnya iman para laras
dan para pemangku adat akan siasat Belanda itu.
57 | Maryam Chilvalry
9. Alek Pacu Kuda
PERTEMUAN – pertemuan pemimpin - pemimpin masyarakat dengan Haji Abdul
Manan, maka aku sebagai juru tulis dalam gerakan ini diperintahkan mengundang
tokoh-tokoh masyarakat seperti Muhammad Saleh Datuak Rajo Pangulu, Abdul
Wahid Kari Mudo, Datuak Parpatiah (di Magek) dari Kamang Ilia, Angku Jangguik
yang dikenal pula dengan panggilan Inyiak Jabang, Datuak Parpatiah di Pauah, Haji
Samad, Tuangku Pincuran, Datuak Rajo Pangulu dari Babukik Limau Kambiang dan
Datuak Marajo beserta pemimpin lainnya yang dirasa patut untuk membicarakan
tindakan yang akan diambil terhadap upaya-upaya pemerasan oleh Ulando itu.
Dalam pertemuan rahasia di rumah Haji Abdul Manan di Kampuang Tangah Pakan
Sinayan Babukik tersebut didapat kata sepakat, bahwa, agar dilakukan peninjauan
(menyelidiki) pendapat dari semua pengikut Haji Abdul Manan dan Tuangku Laras
Sungai Pua sehubungan dengan ‘apakah akan menuruti kehendak penjajah Ulando
atau tetap mengadakan perlawanan untuk menolak pelaksanaan belasting yang
akan dipaksakan juga oleh Ulando kepada rakayat’. Kedua, jika menerima atau
menolak agar memberi kabar atau laporan kepada Haji Abdul Manan sebagai
pemimpin dalam gerakan perlawanan rakyat Minangkabau, khususnya dalam
menentang belasting. Keempat, untuk melaksanakan upaya-upaya
pengkristalisasian pandangan tersebut kepada masyarakat yang lebih luas, maka
propaganda memegang peranan yang teramat penting. Keempat, kepada tenaga
yang dipercaya sebagai pemimpin delegasi agar menyebar mengadakan hubungan
koordinasi dan kristalisasi misi perlawanan ke beberapa daerah, dan misi ini harus
selesai dalam tiga bulan, terhitung mulai bulan Januari hingga Maret 1908.
58 | Maryam Chilvalry
Inyiak Haji Abdul Manan ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman,
Lubuak Aluang, Padang, Pauah IX dan sekitarnya. Sedangkan Solok dan Sawah
Lunto diserahkan kepada rombongan dari Padang Panjang. Datuak Parpatiah (di
Magek) dan Datuak Rajo Pangulu, keduanya dari Kamang Ilia menuju Limo Puluah
Koto dan Tanah Data. Inyiak Jabang dan Tuangku Pincuran ke Suliki, Suayan, Koto
Tinggi, Pua Gadih, Palupuah, Bonjo dan Sipisang.
Sedangkan Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam kaum perempuan pilihan untuk
memegang peran sebagai propagandis, selain beberapa tokoh laki-laki yang
dianggap mapan untuk peran tersebut.
Siti Aisyah karena terpaut dengan pertalian syara’, yaitu telah bersuami maka
hanya mengambil peran di sekitar Tilatang Kamang. Sedangkan Siti Maryam yang
masih perawan, sebelumnya telah dimatangkan berbagai keterampilan dirinya
oleh Inyiak Manan, termasuk menunggang kuda, mendapat amanah ke beberapa
daerah matahari terbenam dan Utara Kamang, seperti ke Tiku, Mangopoh, Lubuk
Basung dan Simpang Empat (Pasaman).
Beberapa tokoh-tokoh lainnya cukup mematangkan semangat perlawanan di daerah
Agam Tuo dan sekitarnya. Sementara itu para angkatan muda dengan pimpinan
Haji Ahmad dan Kari Mudo giat berlatih mempergunakan dan menangkis senjata
tajam serta memperdalam ilmu batin, terutama ilmu kebal guna dapat
dipergunakan pada waktunya nanti.
Pada awal bulan April 1908, bertepatan dengan digelarnya alek pacu kuda oleh
pemerintah Belanda di Bukit Ambacang, sengaja dikondisikan agar semua utusan
daerah mempergunakan moment itu untuk berkumpul guna mematangkan gerakan
dan pemberontakan melawan tirani Hindia Belanda dengan issu anti belasting
sebagai kelanjutan revolusi Minangkabau setelah perang Paderi dapat dipadamkan.
Bagai masyarakat Minangkabau sebelum kedaulatannya dikembalikan secara bulat
ketangannya oleh pemerintah Hindia Belanda, maka bara api sisa-sisa api revolusi
59 | Maryam Chilvalry
Pederi itu tetap dinyalakan. Untuk mengkonkritkan perlawanan, maka moment
alek (pesta) pacu kuda di Bukit Ambacang itu tidak disia-siakan sama sekali.
Kali ini pertemuan dari berbagai utusan daerah yang menjadi motor pengerak
‘gerakan anti belasting’ itu berkumpul di Bukittinggi dengan alasan untuk
menghadiri alek pacu kuda di Bukik Ambacang. Tepatnya pertemuan rahasia itu
dilaksanakan di Bukik Apik, suatu perkampungan di pinggir jurang Ngarai Sianok.
Sebelum pertemuan dilaksanakan, Siti Aisyah telah melakukan propaganda
pengkondisian yang intensif secara rahasia kebeberapa tokoh perempuan di sekitar
Tilatang Kamang.
Sehubungan berkumpul itu, Siti Aisyah mengkondisikan beberapa orang penjual
masakan di Nagari Kapau (Tilatang). Karena para kaum perempuan Kapau selain
bertani banyak juga yang berjualan makanan, seperti penjual nasi kapau - yang
banyak ditemukan pakan-pakan (pasar pasar) nagari dan di pasar Bukittinggi sendiri
di bawah payung-payung kaki lima.
Kepada beberapa penjual nasi kapau itu dikondisikan untuk berjualan nasi di Bukit
Ambacang pada saat alek pacu kuda dilaksankan yang tujuannya selain berdagang
adalah juga sebagai arena pusat informasi tentang pelaksanaan dan hasil
pertemuan rahasia di Bukik Apit tersebut.
Menjelang alek digelar telah disebar informasi secar berantai ke daerah-daerah di
Minangkabau bahwa tempat Rabiatun Kapau berjualan nasi kapau dengan ciri-
cirinya yang sudah dikondisikan di atas Bukit Gulai Bancah sebagai pusat informasi.
Siti Aisyah dan Siti Maryam berperan sebagai pembantu Rabiatun Kapau untuk
meladeni orang yang singgah makan.
Hari yang telah dinantikan tiba. Berduyun-duyunlah masyarakat disekitar Agamtuo
dan dari beberapa daerah menghadiri pesta rakyat menonton kuda kuda yang
dijagokan dalam berpacu. Pemerintah Belanda pun tidak mencurigai siapapun,
karena sudah biasa di gelanggang manapun pacu kuda dilaksankan di berbagai
tempat dan daerah di Sumatera. Apalagi kalau di Gulai Bancah Bukittinggi karena
arenanya cantik dan bagus yang dikelilingi oleh bukit. Penonton dengan leluasa
memandang bundaran oval tempat kuda menguji ketangkasannya.
Rakyat, penonton tidak sabar lagi menunggu kuda - kuda berpacu untuk dimulai.
Bagi orang-orang terhormat menurut Belanda, duduk berjejar di tribune yang telah
disediakan di kiri kanan dan dibelakang para pembesar Belanda. Sedangkan orang
biasa yang tidak berpangkat namun sedikit berada dapat menyewa tribune beratap
rumbia bertiang bambu, duduk dibangku bangku yang terbuat dari bambu yang
dibelah dua yang disediakan di sepanjang pinggir lapangan oleh penduduk yang
punya tanah tersebut. Sedangkan rakyat biasa, orang-orang yang hanya mampu
berjalan kaki ke gelanggang pacuan dengan bermodalkan nasi berbungkus daun
pisang batu atau pisang abu yang dipersiapkan sejak subuh hari, menonton dengan
60 | Maryam Chilvalry
sebebas-bebasnya di atas bukit berpayung langit, berjemur matahari berselimut
angin.
Setelah panitia pacuan mengumumkan bahwa pacuan segera dimulai, maka
penonton semakin antusias, berdesakan ke pinggir gelanggang, sehingga mendapat
deraan rotan dan pentungan petugas keamanan untuk mengusirnya kembali guna
menjauhi arena kuda berlari. Sedangkan yang berada di atas bukit riuh rendah
mencari posisi yang paling menguntungkan untuk menonton kuda-kuda yang akan
berpacu.
Acara dimulai setelah adanya pidato singkat dari ketua panitia dan pembesar
Belanda di kota Fort de Cock. Dalam kata sambutannya L.C. Westenenck
(Controleer Out Agam, kemudian sebagai Assistent Resident Sumateras Westkuust)
:
“...bahwa pergelaran alek pacu kuda dan menampilkan acara kesenian dan
kebiasaan - kebiasaan lama daerah ini, termasuk dibebaskan untuk menggelar
berbagai bentuk perjudian dan sabung ayam adalah suatu bentuk kepedulian
pemerintah terhadap budaya Minangkabau asli sebelum kedatangan Islam yang
harus dipupuk dan dipelihara. Kami pihak pemerintah tidak akan mengikis
kebudayaan-kebudayaan lama tersebut, karena hal itu adalah miliknya masyarakat
Minangkabau yang diwarisinya dari para leluhurnya sejak dahalu kala....”.
Padahal perjudian, menghisap candu dan sabung ayam telah dilarang De Stuers
berdasarkan desakan melalui surat yang ditandai tangani oleh Tuangku Lintau,
Tuangku Guguak, Tuangku Nan Saleh dan Tuangku Nan Renceh pada April 1826.
Karena sebetulnya yang memperkenalkan candu dan khamar tersebut kepada
pemuka-pemuka adat di Minangkabau adalah Belanda sendiri, karena kedua benda
itu adalah komoditi dagang yang paling menguntungkan semenjak zaman VOC
dahulu - yang ditukarnya dengan hasil bumi, seperti kapur barus, merica, emas,
dll.
“Marilah kita untuk selalu menjunjung tinggi kebiasaan-kebiasaan lama leluhur
orang Minangkabau ini, sedangkan pemerintah tidak sedikit pun berniat untuk
campur tangan terhadap kedaulatan rakyat Minangkabau. Namun supaya tetap
berjalannya pemerintahan dan hubungan yang baik antara rakyat dan pemerintah,
maka diperlukan pula kerjasama yang baik dalam berbagai bidang untuk lebih
memperelok nagari-nagari, terutama nagari-nagari di Agamtuo ini. Sedangkan
untuk memperelok nagari, memperbagus jalan-jalan dan jembatan, serta guna
membiayai pemerintah, termasuk gaji para pegawai dan opas maka diperlukan
biaya yang besar sekali. Karena biaya yang banyak itulah diperlukan pungutan
belasting,“ sambung Westenenck lagi. Kemudian dia mengajak seluruh masyarakat
supaya membantu pemerintah dalam membangun dan membayar belasting.
61 | Maryam Chilvalry
Pidato-pidato Contreleur Agamtuo itu disanjung-sanjung oleh barisan ‘Belanda
Hitam’ dengan mengangguk-anggukkan kepala dan memperlihatkan keseriusan,
kesungguhan dan mengelu-elukan bujuk rayuan, ajakan L.C. Westenenck yang
telah fasih berbahasa Minang itu. Akan tetapi bagi rakayat ‘badarai’, rakyat banyak
yang berada di tribune yang beratap rumbia dan yang berada di atas bukit tersebut
tidak memperdulikannya, karena tidak sampai ke telinga mereka, dan lagi maksud
kedatangan mereka ke Bukit Ambacang semata untuk menonton kuda-kuda
berpacu.
“Kapan kudanya berpacu ? Kalau pidato berpidato juga !,” diantara mereka
berciloteh
“Habih hari dek pidato sen kasudahano,” ciloteh yang lain lagi. Maksudnya, habis
waktu karena pidato-pidato.
Tatkala terompet pertama dibunyikan oleh seorang opsir Belanda di rumah orkes di
samping kiri tribun utama, diumumkanlah nama-nama kuda yang akan berpacu
beserta joki dan warna pakaiannya. Berselang pengumuman itu disusul dengan aba-
aba “...joki segera ditimbang...!” Maka sorak-sorai pengunjung sudah mulai
membahana.
Terompet kedua dibunyikan, kuda-kuda yang sudah ditenggeri para jokinya
memasuki garis star, di depan tribune bulat yang lebih dikenal dengan dengan
sebutan ‘rumah bulat’.
Terompet ketiga dibunyikan, tukang bendera yang melepas kuda sudah mulai
bersiap-siap dan bendera pun segera dikibarkan, kuda-kuda berhamburan dari garis
start. Bersamaan lepasnya kuda-kuda tersebut penontonpun bersorak.
“Kudo lapeh...!, kudo lapeh....!” Maksudnya kuda lepas, yaitu kuda sudah mulai
berpacu. Sesaat kemudian sorak-sorai beralih dengan terikan “Agam...!, Agam...!,
Agam...!” Maksudnya kuda orang Agam dengan jokinya berpakain warna merah
yang menggambarkan Luhak Agam berwarna merah sedang berada di depan dan
sekaligus memberi semangat kepada joki untuk merambah kudanya dengan rotan
di tangannya supaya kudanya melesar, melejit kencang. Meskipun kuda dari Lima
Puluh Kota yang ditandai pakaian jokinya berwarna hijau yang duluan sampai di
garis finish dan disusul kuda berjoki warna kuning, dari Tanah Datar, namun
teriakan “Agam...!, Agam...!, Agam...!” terus berkumandang.
Semenjak pagi kedai nasi di bawah payung bundar dengan tonggak dan kaso
kasonya terbuat dari buluh, bambu dan atapnya dari kertas semen porland yang
dijahitkan, dan kedai nasi itu berdindingkan kain berwarna putih belum disinggahi
pengunjung. Setelah ‘rece’, putaran pertama barulah pengunjung berangsur-
angsur mencari tempat makan dan minum. Dan Siti Aisyah, Siti Maryam mulai
melayani pengunjung yang masuk ke kedainya itu, Rabiatun Kapau berlagak sebagi
62 | Maryam Chilvalry
induk semang yang hanya menerima dan mengembalikan uang kembali pengunjung
setelah selesai menikmati masakan khas Kapau-nya.
Pada saat putaran kedua digelar dan para pengunjung Bukit Ambacang kembali
hiruk pikuk karena kuda-kuda telah dilepas lagi untuk berpacu. Pada saat itu
masuklah ke kedai Rabiatun Kapau dua orang laki-laki dewasa dari sisi kedai yang
berbeda, sepertinya kedua orang ini tidak saling mengenal karena dinisbatkan
hanya sebagai pengunjung alek pacu kuda.
Akan tetapi Siti Aisyah telah mengenal wajah kedua pria itu, namun tetap berpura-
pura tidak mengenalinya dan langsung meladeni pengunjungnya itu. Siti Aisyah
menanyakan lauk nasi yang diingini.
“Uni ambo ka makan, sambanyo jo tambunsu, yo Ni..!” (Uni saya mau makan,
lauknya adalah usus, ya Uni),” kata salah seorang laki-laki itu kepada sang
pelayan.
“O, ya !,” jawab Siti Aisyah.
“Tuan sambanyo jo apo ?,” tanya Aisyah pula kepada yang seorang lagi.
“Untuak ambo sambanyo randang itiak, Ni,” (untuk saya lauknya rendang itik, Uni)
jawab orang tersebut.
Meskipun Aisyah lebih muda usianya dari kedua laki-laki tersebut, tetapi laki-laki
ini memanggil uni kepada pelayan itu sebagi basa basi dalam bertutur kata kepada
orang yang belum dikenal. Kalaupun ada orang yang menguping di luar maka orang
tidak akan curiga karena sepertinya adalah pengunjung biasa saja. Selesai kedua
orang itu menikmati makanan dari nagari Kapau itu, seorang diantaranya bertanya,
“Dimana dapur tempat memasaknya, Uni ?”
“Di sebuah Rumah Gadang di Bukit Apik,” jawab Aisyah dengan suara berbisik
sambil menunjuk ke arah Barat Daya dari tempatnya itu, kemudian menderaskan
kembali suaranya menyambung bisikannya itu, “Agak jauh juga dari sini, Kapau
nama negerinya,” sambung Aisyah.
Rupanya pertanyaan seseorang itu merupakan sebuah isyarat yang maksudnya
adalah tempat pertemuan rahasia itu. Maka jawaban Siti Aisyah dengan suara lunak
itu langsung mengatakan tempat pertemuan tersebut yang kemudian ditimpali
dengan kalimat berikutnya tentang Negeri Kapau, sebagai pengelabuan kalimat
pertamanya, kalau-kalau ada pihak lain yang mendengar dari luar tabir kedainya
itu.
Menimpali jawaban Aisyah itu, seorang lagi bertanya pula. “Dengan apa kita ke
sana, Ni ? Apa saja kampung yang kita lewati menjelang sampai di sana ?”
63 | Maryam Chilvalry
“Ke sana cukup berjalan kaki, kalau mau naik bendi pun bisa. Maka naikilah bendi
di luar gelanggang ini dan kusir bendi pasti tau akan kampung itu !,” jawab Aisyah
pula.
“Terimakasih, Uni,” jawab pria itu lagi sambil merogo kantongnya dan berdiri
untuk membayar hutangnya. Kemudian diringi pula oleh yang seorang lagi.
Kali ini bukan Rabiatun Kapau lagi yang menerima dan memberikan uang kembali,
melainkan langsung diterima oleh Siti Aisyah. Pada saat memberikan uang kembali,
maka Siti Aisyah menyelipkan selembar kertas kecil dalam sela uang kertas
kembalian tersebut. Kedua orang itu berlalu dari kedai Rabiatun Kapau secara
terpisah dan langsung masuk ke dalam keramaian penonton.
Dalam jarak sepuluh meter dari kedai Rabiatun Kapau, kedua orang ini bertemu
kembali sambil berjalan menuju parkiran bendi, sembari mencuri pandang ke kiri-
kanan dalam kewaspadaan mereka membuka kertas kecil yang diselipkan Siti
Aisyah tadi guna mempelajari rute dan ciri rumah rahasia yang akan ditujunya.
Sepeninggal kedua orang pria itu Rabiatun Kapau bertanya dengan berbisik tentang
siapa dan darimana kedua orang tersebut.
“Pria yang berjenggot hitam dan duduk di sebalah kanan tadi utusan yang datang
dari Padang Panjang. Sedangkan yang duduk di bangku sebelah kiri utusan yang
datang dari Selayo (Solok), Tek !,“ jawab Siti Aisyah kepada Rabiatun Kapau.
Begitulah siasat yang dijalankan untuk beberapa kali oleh tamu-tamu rahasia yang
berdatangan ke kedai Rabiatun Kapau dalam mencari petunjuk dan informasi pada
saat-saat orang sedang dilengahkan oleh deru telapak kuda, dihiasi gumpalan kabut
mengepul di belakang kuda sedang bertarung mengejar garis finish.
Utusan - utusan itu bermacam gaya dan corak pakaian yang dikenakannya. Ada
yang berlagak seperti parewa, ada seperti orang intelek dan ada pula berlagak
seperti orang kampung totok. Rata-rata diantara mereka tidak memperlihat ciri-
ciri sebagai ulama dan ninik mamak atau cerdik pandai (cendikiawan).
Tentu saja cara-cara seperti ini adalah untuk menghindari kecurigaan para opsir
dan ‘spion melayu’ Belanda. Kalau dintara mereka seorang ulama dan berpakaian
ulama, tentulah akan mencurigakan pihak Ulando. Karena tidaklah mungkin
seorang ulama mau datang ke gelanggang pacu kuda yang dimeriahkan dengan
berbagai bentuk perjudian tanpa ada maksud-maksud yang terselubung.
Begitu pula bagi para ninik mamak dan cerdik-pandai, ninik-mamak dan cerdik
pandai yang pro-Belanda sudah disediakan tempatnya di tribune. Dan tentu saja
ninik mamak dan cerdik pandai yang membangkang pada Belanda tidak akan mau
menghadiri acara yang dibuat oleh Belanda tersebut.
64 | Maryam Chilvalry
Dalam pertemuan rahasia pada sebuah ‘Rumah Gadang’ di Bukit Apit itu, dengan
suara bulat diambil beberapa butir kesepakatan sebagai keputasan rapat. Dan
rapat tersebut berjalan dengan aman dan tertib, sama sekali tanpa adanya
gangguan dan kecurigaan pemerintah Belanda. Kondisi ini tercipta adalah berkat
bantuan dan fasilitator yang sungguh sungguh dari Tuanku Laras Kurai yang
berperan dari belakang layar.
Bersimpatiknya Tuanku Laras Kurai ini adalah berkad pendekatan yang dilakukan
oleh Pakiah Muncak, seorang pemuda Kurai (Pakiah Mucak gugur sebagai suhada
dalam perang 1908 di Kamang dalam usia tiga puluh tahun).
Menjelang tengah hari di tengah lapangan arah Utara Nagari Gadut, disitu digelar
beberapa hiburan, termasuk perjudian. Ada yang menyabung ayam, dadu kuncang
dan sebagainya. Kesemuanya itu berada dalam perlindungan dan pengawasan
polisi-polisi Ulando.
‘Malang tak dapat ditolak – mujur tak dapat diraih’. Ternyata di gelanggang
perjudian itu, persisnya pada tempat ‘dadu kuncang’ diputar, terjadi perkelahian
antara petaruh dan bandarnya. Perkelahian itu dipicu karena bandar judi ketahuan
berlaku curang, semenatara petaruh yang berkumis tebal itu sedang kalah banyak.
Si kumis naik pitam dan merampas uang yang sedang menumpuk di depan bandar
judi. Dan pada saat Si Kumis sedang merunduk merangkul uang-uang tersebut, sang
bandar judi terkaget, secara reflek tumit kakinya yang sebalah kanan langsung
melayang kearah rumpun telinga sebelah kiri Si Kumis. Pada saat itu juga Si Kumis
membalas dengan mengarahkan tinju ke mulut sang bandar, tetapi dapat dielakkan
oleh sang bandar. Terjadilah perseteruan dengan memperlihatkan kebolehannya
masing-masing, yang akhirnya berobah menjadi cakak banyak, perkelahian masal.
Pada saat Si Kumis menyentakkan pisau yang terselip di pinggang sebelah kirinya,
mengacungkan pisaunya itu dan kemudian mengejankan tuahnya.
“Rasokan dek waang makan pisau kamanakan lareh sungai pua ko !” (Rasakan
olehmu pisau kemenakan Tunagku Laras Sungai Pua ini !)
Dijawab oleh si bandar judi yang telah mengambil ancang-ancang, pasang kuda-
kuda.
“Buliah ! Supayo nak tau pulo waang jo aden nan dubalang lareh kurai ko !” (Boleh
! Supaya tau pula kamu dengan saya sebagai dubalang Tuangku Laras Kurai ini !)
Si Kumis yang mengaku sebagai kemenakan Tuanku Laras Sungai Pua itu pun
menikamkan pisaunya yang mirip kuku elang yang panjangnya hampir sehesta itu
ke arah lambung si bandar judi yang katanya dubalang Tuangku Laras Kurai
tersebut.
Rupanya kedua parewa ini sama-sama lihai dalam bersilat, meskipun dubalang
menyentakkan pisaunya pula tetapi keduanya tidak sempat terluka oleh masing-
65 | Maryam Chilvalry
masing tikamannya. Agak lama juga mereka itu berkelahi dengan mempergunakan
pisau. Sehingga terpaksalah seorang opas Belanda menembakkan senapannya ke
udara untuk melerai perkelahian yang sengit ini. Pada saat kedua orang yang
sedang bermain pisau itu tertegun, barulah opas-opas yang lain menangkap
masing-masingnya dan langsung tangan kedua orang itu dirantai dan digiring ke pos
keamanan. Sebentar mereka ditawan di pos keamanan itu, kemudian komandan
polisi Belanda memerintahakan untuk secepatnya diangkut langsung bersama anak
buahnya masing-masing yang terlibat dalam cakak banyak itu dengan bendi dalam
pengawalan opas menuju Pos Polisi dekat kantor kontroler di jantung kota, demi
keamanan alek dan juga supaya tidak terlalu tersiar beritanya tentang keonaran
itu. Tidak lama diproses di Pos Pilisi dekat kantor kontroler, disamping Jam Gadang
itu, para perusuh itu pun dibawa ke penjara sebagai titipan sementara.
Di Bukit Apit, yang terkenal dengan rendang kopinya itu rapat pun berakhir
bersamaan dengan berakhirnya alek pacu kuda, sehingga peserta rapat kembali
pulang ke daerahnya masing-masing untuk melakukan persiapan yang matang guna
melaksanakan keputusan yang telah disepakati.
Seorang pemuda sambil berjalan pulang, mampir dulu ke kedai Rabiatun Kapau
yang sedang berkemas-kemas pula untuk pulang. Pemuda itu mampir pura-pura
menanyakan sudah habisnya julan Rabiatun Kapau.
“Sudah habis dagangannya, Tek ? Adakah laris dagangannya ?,” tanyanya kepada
Rabiatun Kapau.
“Alhamdulillah, berkad pertolongan Allah, habis semua dagangan kami,” jawab
Rabiatun Kapau.
Kemudian dengan suara berbisik dan gaya yang sangat hati-hati pemuda itu
bertanya kepada Rabiatun Kapau.
“Mana, Kak Aisyah dan Maryam, Tek ?”
“Mereka sedang mengantarkan barang barang ke pedati,” jawab Rabiatun Kapau.
“Kalau begitu tolong saja etek berikan surat ini kepada Maryam nanti, dan saya
duluan pulang. Permisi, Tek,” kata pemuda itu lagi, sambil mengunjukkan surat
tersebut.
Sekembalinya Maryam membantu Aisyah mengantarkan barang-barang ke pedati,
Rabiatun Kapau menyerahkan surat itu dengan sembunyi kepada Siti Maryam. Surat
tersebut yang bertulisan Arab-Melayu itu dibuka dan dibaca Maryam. Ternyata
isinya sebuah perintah kepada Siti Maryam supaya berangkat segera ke Mangopoh
untuk menemui Yahya Taungku Sutan, Rahman Saidi Rajo, Sutan Syarif, Kana Angku
Padang dan Majo Ali guna menjalankan misi khusus. Tapi sebelum menemui tokoh
gerakan bawah tanah di Mangopoh itu terlebih dahulu berkonsultasi dengan Siti
(Siti Mangopoh).
66 | Maryam Chilvalry
Sambil berkemas-kemas, mereka mendiskusikan persoalan keberangkatannya ke
Mangopoh. Meskipun Siti Maryam keras hatinya untuk langsung berangkat ke
Mangopoh sore itu juga, Rabiatun Kapau menyarankan sebaiknya Siti Maryam
pulang dulu ke Kamang untuk beristirahat karena sudah kecapaian seharian sebagai
pelayan, tukang cuci piring di kedainya itu dan penjaja makanan yang berkeliling
di tengah lapangan pacu kuda.
“... dan sampai sekarang kita belum tau pesan apa yang akan dibawa kepada Ibu
Siti Mangopoh. Jadi, sambil beristirahat nanti malam, kamu bisa meminta
penjelasan dan pertimbangan lebih lanjut dari pimpinan gerakan kita, terutama
kepada Inyiak Manan atau kepada Tuan Datuak Rajo Pangulu dan pemimpin lainnya
!,” Kata Siti Aisyah yang diamini pula oleh Rabiatun Kapau.
Besok harinya Contreleur memanggil Tuanku Laras Kurai untuk menghadap di
kantornya, dekat Jam Gadang. Pagi-pagi Laras Kurai telah naik bendi
kebesarannya menghadap ke kantor kontroler. Sesampai disana Tuangku Laras
dipersilakan masuk. Contreleur J.C. Westenenk langsung bertanya setelah Tuanku
Laras di persilakan duduk dalam jarak tertentu dengannya dengan dibatas sebuah
meja batu oval.
“Tuanku Laras, tahukah tuan laras sebab dipanggil ke sini ?,” tanya Westenenk.
“Tau, tuan komendur !,” jawab Laras Kurai.
“Kira-kira apa itu persoalan, Tuan Laras ?,” tanya Westenenk lagi.
“Barangkali..., mengenai persoalan ‘cakak banyak’ di gelanggang kapatang, Tuan
!,” jawab Tuanku Laras.
“Bukan barangkali...!, Tuan Laras...!,” belalak Westenenk. Memang itu
persolannya. Dan malah kenapa yang kedua belah pihak sebagai dalang perkelahian
tersebut adalah di bawah dagu tuan-tuan laras sendiri ?,” tukas Westenenk lagi
dengan nada agak meninggi, kesal.
“Maafkan hamba, Tuan Komendur. Sama sekali itu hal adalah di luar
sepengetahuan saya, Tuan ! Kan tuan mengetahui sekali bahwa saya sama-sama
duduk dengan laras-laras dan penghulu kepala lainnya di belakang para pembesar
pemerintah, Tuan Kumendur,” jawab Tuangku Laras Kurai.
“’Ik’... tidak menuduh tuan Laras mengetahui persis persolannya. Untuk
mengetahui sebab-sebab perkelahian itu, ‘Ik’ sudah cukup punya informasi dan
saksi mata, Tuan Laras !,” bentak kontroler yang tidak simpatik itu.
“Lalu..., kenapa Tuan mempersoalkan itu kepada hamba, Tuan komendur ?,” tanya
Laras Kurai sambil memperbaiki posisi duduknya dengan sedikit memperlihatkan
wajah menantang.
67 | Maryam Chilvalry
“Maksud ‘Ik’, adalah itu orang mau diapakan Tuan Laras ? Karena mereka itu
sama-sama dibawah lenggang ketiaknya Tuanku-tuanku laras ! Kalau itu orang-
orang biasa yang bikin onar seperti itu, maka ‘Ik’ tak ambil peduli. Pasti akan
dihukum berat. Ini adalah timbang rasa kami kepada laras berdua !,” kata
Westenenk membujuk Laras itu.
“Kalau begitu, berarti kita sependapat Tuan !, dan bukan alasannya seperti
penuturan Tuan Komendur itu saja. Tetapi yang lebih celaka lagi adalah apa kata
masyarakat banyak nanti, bahwa dengan perjudian yang telah pemerintah
bebaskan itu ternyata menyebabkan sebuah perkelahian banyak. Tuan pun sangat
tau bahwa perjudian adalah sesuatu yang dilarang keras oleh agama kami. Apakah
hal ini akan menjadi alat propaganda oleh kelompoknya Haji Abdul Manan yang
sedang giat-giatnya menentang pelaksanaan rodi dan belasting, Tuan !,” kata
Tuanku Laras Kuarai yang sedang bermuka dua.
Westenenk terdiam sejenak, keningnya semakin berkilat-kilat dan urat-urat darah
semakin mengelembung dibalik kulit dahinya yang lebar itu.
“Terimakasih tuan Laras, bagus juga analisa ‘Yey’ tersebut. Dan itulah yang
menggundahkan ‘Ik’ semalam. Tentu Dul Manan dengan tenaga propagandanya
semakin bertambah bahannya untuk mendapatkan dukungan simpatik rakyat. Tapi
menurut tuan Laras siapa kira-kira yang berperan dibalik kejadian ini ?”
“Tuan Komendur jangan menanyakan hal-hal diluar kemampuan hamba seperti
itu, tetapi kalau untuk menyelidikinya adalah termasuk tugas hamba, Tuan
Komendur !,” pintas Tuanku Laras.
”Tapi yang penting menurut hamba sekarang, Tuan Komendur janganlah berlama
lama menawan mereka itu di sel penjara, Tuan Komendur ! Lebih baik kita
berpura-pura tidak ada masalah terhadap kejadian itu, sehingga masyarakat pun
tidak bertanya-tanya pula kiri kanan. Dan dipihak kelompok Haji Abdul Manan
kehabisan bahan propaganda pula jadinya, Tuan Komendur. Maafkan saya kalau
saya terlalu lancang dalam persoalan ini, Tuan Komendur !,” kilah Tuanku Laras
pula.
Tuan komendur yang ongeh (congkak) itu tidak menanggapi pernyataan Tuanku
Laras Kurai itu, dia hanya diam dalam wajah yang mengkal. Setelah dia berfikir
sejenak maka dia memanggil ajudannya.
“Ajudan !, sampaikan kepala lapas penjara agar tawanan yang berkelahi di
gelanggang kemarin itu dilepaskan saja tanpa proses. Lepaskan saja seperti
melepaskan anak ayam dari kandangnya !,” perintah Westenenck.
Kemenakan Laras sungai Pua dan dubalang Laras Kurai berserta pengikutnya yang
ditawan karena terlibat perkelahian di gelanggang Bukit Ambacang sejak kemarin
itu dibebaskan. Sedangkan kedok Tuanku Laras Kurai tidak terbongkar sebagai
68 | Maryam Chilvalry
dalang keonaran guna mengalihkan perhatian opas untuk meraziai kampung-
kampung di sekitar Bukit Ambacang, karena di Bukit Apit sedang berlangsung
pertemuan rahasia kaum gerakan.
Sewaktu angku sipir penjara akan melepaskan para tahanan itu, lama juga dia
memperhatikan tingkah kedua orang tahanan yang sengaja di satukan kamarnya.
Angku sipir melihat Si Kumis dan Si Dubalang berganti-gantian pijit-pijitan sambil
bercakap-cakap yang terlihat sangat akrab. Sejenak dia mengurungkan niatnya
untuk membuka kunci pintu jeruji besi dan berupaya menyelinap untuk menguping
pembicaraan mereka. Secara seksama angku sapir menangkap pembicaraan kedua
tokoh yang membuat kacau di gelanggang tempo hari. Sang Sipir merogo
kantongnya dan mengeluarkan notes kecil untuk mencatat atas pembicaraan
mereka.
Rupanya kedua orang itu adalah teman seperguruan silat dahulunya. Sewaktu
masih belia, mereka sama-sama belajar silat kepada Nan Batapo di Lasi dalam
Kelarasan Canduang. Tentu saja tidak ada diantara mereka itu yang terluka karena
mereka bukan berniat untuk saling membunuh, tidak lain mereka sedang beratraksi
kepintarannya di depan umum, sambil mefasihkan kembali pelangkahan, jurus-
jurus silat yang sudah lama tidak diulang.
Rupanya, Si Dubalang disuruh Laras Kurai untuk membuka perjudian dadu kuncang
dan kemudian dia harus bermain curang yang nantinya dia pura-pura dirampas dan
diserang oleh seseorang yang berbadan tegap berkumis tebal yang memakai topi
trabus, sejenis topi morris.
Si Kumis mengakui pula kepada Dubalang bahwa dia menerima pesan dari Tuan
Laras Kurai yang disampaikan oleh Siti Maryam, bahwa dia harus datang memasang
taruhan dadu kuncang dan nantinya berpura-pura menyerang, dengan
menggunakan pisau.
“Tetapi sesampai di tengah gelanggang, ambo bingung, di lapiak (tikar) dadu
mana rencana ini harus dilaksankan, karena ambo dapati ada lima tempat yang
menggelar dadu kuncang tersebut. Lama juga ambo memperhatiakan ke lapiak
mana yang akan dituju,” kata Si Kumis sambil memijit pundak dan punggung Si
Dubalang.
“Lalu kenapa awak sampai juga di lapaiak dadu ambo tuk ?,” tanya Si Dubalang
kepada Si Kumis.
“Nah, sewaktu ambo mematut-matut itu, menyerempetlah seseorang dari arah
rusuk kiri ambo, ambo terkejut dan ambo lihat rupanya anak gadis yang sadang
bajojo lapek (jajakan lemper), bika dan sarikayo katan dalam niru yang
dijujungnya. Kemudian tukang kue itu langsung bolak-balik di depan lapiak dadu
awak tu sambia (sambil) berpura-pura bajojo lapek,” cerita Si Kumis.
69 | Maryam Chilvalry
Maksud awak gadih nan bajojo lapek jo bika tu si Maryam ?,” tanya Dubalang pada
Si Kumis.
“Iya, siapa lagi dia kalau bukan Siti Maryam !,” jawab Si Kumis.
Itulah yang membuat mereka ketawa terkekeh-kekeh di kamar yang sempit dan
lembab itu. Mendengar itu semua, sipir penjara mengangguk-angguk saja dan
selesai mencatat dalam notes kecilnya tentang semua perbincangan parewa di
balik jeruji itu, lalu memasukkan catatannya ke kantong bajunya yang sebelah
kanan dan pulpen di kantong kirinya.
“Bagus, bagus...! Sudah berbaikankah kalian ?,” tanya sipir memutus pembicaraan
mereka.
“Sudah, Tuan. Kami tidak bermusuhan lagi, kami telah sadar tuan,” jawab mereka
berdua serentak.
Tapi, karena perintah Kontroleur segera untuk membebaskan tawanan itu maka
sapir pun tak dapat berbuat banyak, kecuali menyuruh orang-orang dalam
kurungan itu segera keluar sambil membuka kunci jeruji besi tersebut.
70 | Maryam Chilvalry
10. Misi Khusus
Sampai jualan Siti Mariam di kediaman Siti Mangopoh. Setelah napas Siti Maryam
lega, mulailah dia mengutarakan maksud kedatangannya kepada Mande Siti
Mangopoh dan suami Siti Mangopoh, Rasyid Bagindo Magek. Hadir pula saat itu
Majo Ali, Dullah Sutan Marajo yang saban hari berjualan sate dan sebagai tepatan
Siti Maryam di Mangopoh untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi dari
dan ke Kamang pusat, gerakan anti belasting di Minangkabau sebelum dia
melanjutkan perjalanan ke Talu dan Pariman. Secara khusus Siti Maryam
menyampaikan hasil pertemuan rahasia yang difasilitasi oleh Tuanku Laras Kurai
pada sebuah ‘Rumah Gadang’ di Bukit Apit Bukittinggi tempo hari.
“Mande, dari hasil pertemuan itu telah disepakati bahwa, pertama kita tetap
menolak pembayaran belasting; kedua, andaikan masih dipaksakan juga oleh pihak
Ulando maka tetap akan dilawan; ketiga, jika Ulando memaksakan dengan
kekerasan akan dihadapi pula dengan kekerasan; keempat, haram hukumnya bagi
orang muslim membayar pajak (upeti) kepada pemerintah yang zhalim dan atau
pemerintah kafir; kelima, apabila pada suatu daerah terjadi sesuatu hal,
perlawanan atau peperangan dalam menentang belasting tersebut maka daerah
lain harus segera memberikan bantuan,” jelas Siti Maryam.
“Kalau begitu sudah saatnya kita lebih mepersiapkan tenaga dan segala
perlengkapan perang yang diperlukan,” pintas Majo Ali.
“Tentu saja, kita juga memerlukan tempat yang lebih aman untuk memusatkan
kegiatan pembekalan para pejuang kita,” tukas Siti Mangopoh.
Wajah Siti Mangopoh seketika mengkerut. Bibirnya memagtup. Nampaknya dia
berpikir keras. Para pendampingnya menunggu, melihat gelagat itu. Suasana terasa
tegang.
“Barangkali tempat yang paling aman adalah di Padang Pusaro atau di Padang
Mardani Lubuak Basung, karena agak kepedalaman dan jauh dari penciuman
Ulando,” sambung Siti Mangopoh lagi.
71 | Maryam Chilvalry
“Sepertinya Padang Mardani sangat cocok, Mandeh, dan saya sangat setuju disitu
dijadikan sebagi pusat latihan. Karena selain pertimbangan keamanan saya juga
lebih terbantu untuk melakukan perjalanan yang bolak-balik ke Kinali dan Air
Bangis di Pasaman dan ke Kamang sendiri. Bahkan saya juga harus mengunjungi
Pariaman,” jawab Siti Maryam Pula memberikan pertimbangan kepada Siti
Mangopoh.
“Tapi, biarlah kita rundingkan dulu dengan tokoh-tokoh kita yang lain, seperti
dengan Dullah, Tuangku Padang dan sebagainya,” saran Bagindo Magek.
“O, ya! Tentu pula Tuangku Padang akan bertemu dulu dengan Inyiak Manan di
Pariman sebelum beliau datang kesini, Mandeh ?” tanya Maryam Pula.
“Memangnya Inyiak Manan akan berkunjung ke Pariaman, Maryam ?,” Siti
Mangopoh balik bertanya kepada Siti Maryam.
“Iya, Mandeh ! Setelah alek pacu kuda itu pada malam harinya dilanjutkan
pertemuan di rumah Inyiak Manan di Kampung Tangah, diantara perkara yang
diputuskan adalah kita harus berbagi tenaga untuk menyampaikan hasil pertemuan
di Bukik Apik dan langkah-langkah yang akan diambil selanjutnya. Inyiak Manan
ditetapkan sebagai utusan ke Padang Panjang, Pariaman, Lubuak Aluang, Padang,
Pauah IX dan sekitarnya,” jelas Siti Maryam.
“Kalau begitu, ya... harus kita tunggu terlebih dahulu apa hasil pembicaraan orang
berdua tersebut, baru kita tentukan pula apa langkah kita selanjutnya,” saran
Rasyid Bagindo Magek, suami Siti Mangopoh yang tidak tergopoh-gopoh untuk
mengambil sikap dan itupun dianggukkan pula oleh Majo Ali.
“Hal lain yang perlu juga kita ketahui bersama, Mande! Bahwa dalam acara alek
pacu kuda di Bukit Ambacang tempo hari itu juga telah terjadi ‘cakak banyak’ yang
diawali oleh kemenakan Tuanku Laras Sungai Pua dan si Dubalang Tuanku Laras
Kurai,” kata Siti Maryam Lagi.
“Apa penyebabnya?,” tanya Bagindo Magek pula.
“Karena perjudian,” jawab Maryam.
“Kalau begitu judi membuat orang lebih sengsara, itulah buktinya pada kejadian
tersebut,” kata Majo Ali.
“Persis begitu Tuan. Justru itu kejadian kita jadikan sebagai propaganda kita
kepada masyarakat guna menyulut kebenciannya kepada Ulando,” jawab Siti
Maryam Lagi.
“Tapi, kenapa hal itu bisa terjadi ?,” tanya Siti Mangopoh pula.
“Sebetulnya kejadian itu telah direncanakan sebelumnya, Mandeh ! Ini adalah
siasat yang telah direncanakan sebelumnya oleh Tuanku Laras Kurai untuk
72 | Maryam Chilvalry
mengalihkan perhatian Ulando, kalau-kalau Ulando mencium dan mencurigai
pertemuan kita di Bukit Apit itu. Disamping itu, dapat pula sebagai pembuktian
kepada masyarakat akibat perbuatan Ulando membebaskan perjudian pada saat
alek pacu kuda itu,” jelas Siti Maryam.
“Ooo...!,” Siti Mangopoh sedikit terperajat mendengarkan sebuah skenario yang
telah dimainkan bak kucing dan tikus itu. Sebanyak akal kucing sebanyak itu pula
akal tikus.
“Berapa hari kamu direncanakan menemani kami di sini, Maryam ? Andaikan bisa,
bantulah kami dulu di sini untuk melatih tenaga-tenga perempuan kita guna lebih
menguasai ilmu persilatannya!,” kata Siti Mangopoh kemudian.
“Sebetulnya kehendak Mande itu telah direncakan. Tapi sebelumnya saya harus ke
Pasaman dulu untuk mengabarkan berita yang sama dan juga untuk mengobarkan
semangat anti rodi dan belasteng di sana. Sepulang dari Pasaman nanti barulah
saya akan tinggal beberapa hari di sini, Mandeh !,”jawab Siti Maryam.
“Makanya tadi saya lebih setuju kalau kegiatan kita dipusatkan di Padang Mardani
itu, Mandeh. Kan saya dari Pasaman tidak terlalu jauh menuju Padang Mardani itu
nantinya,” tukas Siti Maryam lagi.
“Kalau persoalan tempat dimana akan dipusatkan latihan dan menyusun siasat
perang nanti akan kami kabari kamu, Maryam. Meskipun kamu masih berada di
Pasaman !,” jawab Siti Mangopoh pula.
INTENSITAS latihan perang dengan mempermahir gerakan mempergunakan rudus,
pedang terhunus buatan Apar, pandai besi di Palembayan, Salo dan Salimpaung
semakin meningkat. Tempat latihan dilaksankan tidak saja di goa batu, Ngalau
Batu Biaro tetapi telah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, guna
menghindari pemantauan kaki tangan, intel-intel Belanda. Kali ini latihan silat
yang boleh dikatakan latihan berkelahi dengan mempergunakan senjata tajam
dilaksankan di halaman belakang Surau Taluak, arah Utara dari Simpang Pintu Koto
sekitar lima kilometer di Timur Kampuang Budi.
73 | Maryam Chilvalry
Semua pasukan ‘harakiri’, pasukan berani mati Haji Abdul Manan tidak pernah
absen mempersiapkan dirinya untuk perang basosoh (serentak) dengan pasukan
Belanda nantinya, termasuk ketiga orang srikandi Kamang, Siti Anisyah, Siti Aisyah
dan Siti Maryam. Perang frontal dengan menyerbu sedekat mungkin dengan musuh
adalah salah satu jalan untuk melawan dan melumpuhkan musuh.
Tidak biasanya malam itu Siti Anisyah membawa putranya yang semata wayang ke
arena latihan. Tetapi karena Ramaya yang tidak mau tinggal bersama neneknya
malam itu, terpaksa Sutan Nan Basikek, suami Anisyah menyuruh istrinya untuk
membawa serta Ramaya ke arena latihan malam itu.
Pada saat Anisyah maju ke tengah arena latihan, Ramaya dipeluk oleh Siti Maryam
yang bergantian dengan Siti Aisyah. Tetapi pada saat Anisyah sedang latihan
dengan Aisyah dan Maryam barulah Ramaya berpeluk dengan bapaknya, Sutan Nan
Basikek yang sering kami panggil dengan Mak Sikek.
Malam telah larut, kelopak mata Ramaya bertaut karena mengantuk dia ditiurkan
di dalam surau dengan berselimut kaian sarung bapaknya. Sesuatu yang penuh haru
mengundahkan Siti Anisyah, Maryam, Siti Aisyah.
Dalam lelapnya di atas surau, terdengar isak tangis Ramaya yang tersentak tidur,
dia memangil-manggil ayah dan ibunya. Sehingga ibunya segera naik ke atas surau
memungut dan memeluk anaknya itu sambil membujuknya untuk berhenti
menangis. “...ma... apak mak...?,” dalam isak tangis yang menghiba Ramaya
menanyakan mana bapaknya meskipun dia telah dipeluk ibunya.
“Apak sedang latihan bersilat di luar nak. Apakah kamu mau melihat apak
bersilat?,” jawab Anisyah menenangkan hati anaknya.
“Iyo, Mak,” kata Ramaya.
“Kalau begitu, ayao kita lihat bapak, tapi jangan nangis lagi, ya...!”
Ramaya memang tidak menangis lagi, dia menerawang menatap ayahnya yang lagi
asyik berlatih dengan sebilah rudus di tangannya menghadapi tiga orang lawan
yang di tangannya masing-masing juga memegang rudus dan pedang.
“’Mak..., mak...!,’ kata Ramaya mengalihkan perhatian ibunya yang sedang asyik
menonton kelincahan gerakan suaminya ‘kalau amak dan apak pai baparang nanti
jo sia awak amak tinggakan.’” Maksudnya Kalau Ibu dan Bapak pergi berperang
nanti dengan siapa dia (Ramaya) ditinggalkan. Rupanya desas-desus akan terjadi
perlawanan rakyat terhadap kompeni sudah santer di Kamang, tua, muda, besar
dan kecil bahkan anak-anak dibawah umur seperti Ramaya sendiri sduah
mengetahuinya.
“Kan ada nenek dan etek,” jawab Anisyah
74 | Maryam Chilvalry
“Kalau amak jo apak pai baparang nanti, dan mati amak jo apak. Jo sia awak amak
tinggakan, Mak...?!,” sambung Ramaya lagi. Maksdunya ‘andaikan ibu dan bapak
pergi berperang nanti, dan meninggal ibu dan bapak, dengan siapa saya ibu
tinggalkan ?
Mendengar pertanyaan anaknya yang polos, lugu dalam usia tidak lebih lima tahun
itu kerongkongan Siti Anisyah terasah tercekik, namun dia berupaya untuk tidak
memperlihat wajahnya yang berubah pilu itu.
Anisyah menekurkan wajahnya memandang tubuhnya yang masih belum kering dari
keringatnya sehabis latihan tadi, sekejap memandang ke arah suaminya yang
sedang berlatih di tengah gelanggang sambil mendekap dan mengelus-elus kepala
anaknya dengan penuh kasih sayang. Kepalanya berdenyut bagaikan tersengat
listrik tegangan tinggi, diiringi deraian air mata yang satu demi satu mulai
menimpa tubuh Ramaya dalam pelukannya itu.
Terbayang akan kegelapan masa depan si buyung yang tidak berkakak dan beradik
itu nantinya. Anak semata wayang yang tidak akan disinari oleh kasih sayang ayah
dan ibunya sepeninggalnya kelak kalau nasib tidak berpihak kepadanya dalam
peperangan. Sebaliknya perang melawan tirani Belanda adalah sebuah perjuangan
suci yang berpegang kepada tali agama dan untuk negeri, anak cucu dikemudian
hari.
Ramaya bingung melihat pandangan ibunya yang nanar yang diiringi deraian air
mata itu. Cepat-cepat Siti Anisyah mendekap anaknya lagi. Anisyah takut akan
timbul kegalauan dan pertentangan dalam bathin anaknya. Namun tanpa
disadarinya kristal-kristal mutiara kasih sayang ibu semakin tidak terbendung,
mulai menganak sungai menelusuri lekukan batang hidung Anisyah hingga ke
dagunya dan jatuh satu-satu membasahi dahi Ramaya yang sedang mentengedah
dalam pelukannya ibunya.
Pada saat itu Maryam yang duduk agak terpisah dari Anisyah, tetapi masih dalam
balutan pandangannya melihat sebuah gelagat yang tidak biasanya pada diri
Anisyah. Maryam pun memberi isyarat kepadaku untuk menghampiri Anisyah.
Aku coba mendekati Anisyah, sekilas aku menangkap ada sesuatu yang berkecamuk
dalam dirinya. Hal itu terlihat jelas dari urat-urat yang menegak di dahi, matanya
basah pada bandar hidungnya terlihat lendir bening yang meleleh, sedangkan sikap
dan bawaannya sedikit gelisah, tidak tenang. Dengan suara setengah berbisik aku
berusaha membuka tabir rahasia sesaat yang telah mencurigakan pandangan
Maryam tadi.
“Apa gerangan yang terjadi, Tek. Sakitkah Ramaya atau... etek yang kurang sehat
?”
75 | Maryam Chilvalry
“Tidak, jurutulis. Tidak apa-apa. Tapi..., dimana Maryam tadi, adakah kamu
melihatnya ?” Aku tahu persis, bahwa jawaban dan sikap Anisyah seperti itu adalah
caranya mengalihkan perhatianku dan sekaligus mengalihkan perasaannya yang
sedang galau. Tapi aku belum tau apa sesungguhnya yang terjadi. Akupun tidak
mau pula mendesaknya.
“Ada, Tek. Tadi Maryam berdiri di sebelah sana, dekat ‘Kak Aisyah. Apakah perlu
aku panggilkan dia, Tek ?”
“Kalau kamu tidak keberatan, suruhlah Maryam ke sini !”
“Baik, Tek.”
Aku berjalan membungkuk-bungkuk, menyelinap-nyelinap disela-sela penonton
yang sedang menunggu giliran untuk latihan akupun sampai juga didekat Kak Siti
Aisyah dan Maryam.
“Kak, Kak Aisyah, sepertinya etek Anisyah ada masalah, beliau menanyakan
Maryam. Bagaimana kalau Maryam menemui dia dulu ke sana, ketempat dia
beristirahat itu dan mana tau Maryam bisa mencari tau masalah yang dihadapi Etek
Anisyah,” kataku pelan.
“Bagaimana baiknya, Tek ?,” kata Maryam pula kepada Aisyah. Karena Maryam
tidak enak juga meninggalkan kakak Aisyah begitu saja sendirian.
“Sebaiknya kita ke sana saja, Maryam !,” jawab Siti Aisyah.
Kami bertiga pun telah mengelompok bersama Anisyah dan Ramaya dalam
keramian itu.
“Apa gerangan yang terjadi Kak ?,” Aisyah.
”Ayolah, Tek ! Apa gerangan yang telah menimpa diri etek,” bujuk Maryam pula
menimpali pertanyaan Siti Aisyah dalam posisi jongkok dan memegang lutut
Anisyah dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya membelai-belai kepala
Ramaya.
“Kak, kenapa hanya diam saja, cobalah kakak berbagi sedikit dengan kami,” timpal
Aisyah kembali kepada Anisyah.
“Tidak ada apa-apa Aisyah, tidak perlu pula kalian turut gelisah, karena tidak ada
kejadian apa apa.”
“Kalau tidak kenapa mata etek memerah dan pipi Etek basah oleh air mata, dan
wajah Ttek kusam pula,” sela Maryam secara beruntun.
“Hanya mengenai Ramaya, namun biarlah perasaan ini aku rasakan sendiri, karena
kalian pun tidak akan dapat memahaminya,” jawab Anisyah
76 | Maryam Chilvalry
“Meskipun kami belum mempunyai anak, tapi bukankah kejadian kita dari nur kasih
sayangNya Allah, Tek ! Maka secuil perasaan untuk turut merasakan yang dialami
orang lain pasti ada disetiap kita. Ini adalah sebuah keyakinan, Tek !”
Tanpa aku sadari ternyata aku telah mendakwahi orang yang hampir sepataran
ibuku itu dan malah selama ini beliau telah turut membesarkanku dalam
pandangan hidup dan bersikap.
“Biarlah aku yang memeluk Ramaya mejelang latihan ini selesai, Tek. Kelihatnnya
dia sudah tertidur,” kata Maryam.
“Maukah kakak berbagi dengan kami ?,” pnita Aisyah lagi.
“Setidaknya, supaya kami tidak mendustai jiwa dan nurani kasih sayang itu, Tek,”
tegasku pula kepada Anisyah yang sedang mengepal kedua tinjunya dan
mendekapkan ke dadanya sambil menggoyang goyangkan tubuhnya ke arah
dengkulnya menahan pilunya. Tak obahnya seperti orang sedang didepan bara api
dalam kedinginan.Sambil menegakkan tubuhnya dalam posisi duduk itu, dia tidak
dapat menyembunyikan kisah yang baru saja memilukan hatinya.
“Tadi Ramaya bilang kepada saya ’kalau amak jo apak pai baparang nanti, dan
mati amak jo apak. Jo sia awak amak tinggakan, Mak...? ”
“Ibu manakah yang tidak akan luluh hatinya mendengarkan ucapan anak yang tidak
lebih tiga setengah tahun lalu melepaskan mulut dari punting susuku jika dia haus,
lapar, buang hajat atau karena rasa mengantuk sedang merajam matanya tatkala
berucap seperti itu dengan lidah yang belum fasih itu,” rintih Anisyah lagi kepada
kami.
Akh, celakalah aku. Tepat juga rupanya alasan etek Siti Anisyah, sehingga berat
hati untuk berbagi dengan kami. Sekarang tiba giliran kami, leherku kaku, urat-
urat darah terasa meregang di dahiku. Maryam memalingkan muka dan menutup
wajahnya dengan ujung kain panjang penyelimut Ramaya. Kak Aisyah seakan
menatap replika keabadian pohon beringin sunsung di bulan yang hampir ditutup
awan itu, deraian air mata pun menjelajahi pipinya menuju muaranya di dagu yang
runcing itu milik mamak Datuak Rajo Pangulu itu.
“Pertanyaannya itulah yang melemaskan tulang-tulang dan menggoyahkan
persendianku ini,” sambung Anisyah dengan suara memelas meceh kebekuan kami.
Kamipun tidak menduga, kalau pada saat itu juga Siti Anisyah tetap memberikan
semangat hidup kepada Ramaya
“Ramaya, anakku. Semua orang akan menjadi ayah dan ibumu, nak ! Selagi orang
orang itu tetap membenci perangai Ulando yang ingin menguasai negeri ini, dan
ingin merubah cara hidup kita ini, Nak !,” ujar istri Mak Sikek itu.
77 | Maryam Chilvalry
Rupanya, betapapun tegarnya hati seorang ibu, tetapi karena ‘sayang kepada anak
sepanjang jalan’ luluh juga perasaan ‘singa betina’ dari kaki Bukit Barisan itu.
Dalam diam, senyap yang hanya ditingkah bunyi telapak kaki dalam perjalanan
pulang dari Surau Taluak menuju Kampung Tangah pikiranku pun melayang kepada
kejadian yang menimpa pejuang kita, Tuangku Nan Cerdik di Naras Pariman tempo
dulu dengan kepiliuan yang menimpa Etek Anisyah tadi.
Taungku Nan Cerdik nama lain dari Bagindo Maraganti atau disebut orang juga
dengan Bagindo Nan Cerdik atau Tuangku Ketek (Kecil), adalah pewaris tahta raja
di hulu yang berkedudukan di Mangguang, Naras Pariman menggantikan mamak
(paman)-nya, Rajo Nando. Tuangku Nan Cerdik tidak mengacuhkan larangan
Belanda untuk berdagang dengan Aceh dan membuat garam sendiri yang pada
waktu itu Belanda telah memonopoli perdagangan dengan memasok garam dari
Madura - dan rakyat di pesisir dilarang membuat garam sendiri.
Pada bulan Desember 1930 Komandan Militer Sumatera Barat De Rochemont
membawa pasukan satu detasemen dari Padang ke Pariman dengan invantri,
berjalan kaki selama sebelas jam, dan secara diam-diam dapat menguasai
Pariaman. Kemudian Resident Mac Gillavry menugaskan Asisten Residen Padang
untuk mengambil alih pemerintahan di Pariman tersebut guna menghancurkan
Tuangku Nan Cerdik itu.
Penyerangan ke Mangguang dimulai pada 12 Desember 1930, dengan
memberangkatkan pasukan sebelum subuh yang terdiri dari 1.000 orang invantri,
50 orang marinir dan pelaut-pelaut dari korvet “Pollux” bersama sejumlah besar
pasukan pribumi dengan membawa 3 buah meriam kecil dan 1 buah meriam besar.
Perjalanan dari pusat pemerintahannya di Pariaman dilakukan dengan menyisir
pantai menuju utara dan dua buah kapal perang pun dikerahkan ke Naras
(Mangguang). Sesampai di Manguang ternyata kota itu telah dikosongkan Bagindo
Nan Cerdik.
Akhirnya Belanda tetap melanjutkan perjalanan ke Naras dengan meninggalkan
sepasukan di Mangguang untuk berjaga-jaga. Saat memasuki Naras pasukan
Belanda mulai dibuat kucar-kacir oleh tembakan senjata dan meriam pasukan
Tuangku Nan Cerdik. Belanda kewalahan, meriam-meriam belanda berbalik pulang
ke Pariman. Adalah kekecawaan pertama pasukan Belanda, meskipun meriam-
meriam perang dari dua buah kapal yang telah sampai di laut muka Naras, turut
“menggonggong” mengahantam kubu pertahanan Tuangku Nan Cerdik tersebut.
Pada 21 Desember diatur lagi strategi berikutnya dan dimulailah penyerangan
balasan oleh Belanda. Kalau taktis ini kita namakan dengan ‘rencana B’, maka
rencana B juga tidak berhasil. Ternyata Tuangku Nan Cerdik selama gencatan
senjata telah menebar banyak ranjau dan semakin memperkuat benteng
pertahanannya di Naras. Hal hasil Komandan Militer Belanda De Rochemont
78 | Maryam Chilvalry
sebelum bertempur telah ketakutan dan menyuruh saja pasukannya untuk mundur.
Komandan Militer Belanda, De Rochemont sebagai bekas pasukan Napoleon itu
terpaksa meracik otaknya membuat ‘rencana C’.
Dalam bulan Mei 1831 rencana itu pun dilaksankan. Dibawah pimpinan Michiels
dengan sebuah ekspedidi kuat berhasrat kembali untuk menghancurkan Naras,
tentu saja yang dicari adalah sang raja pesisir itu. Tanggal 7 Juni 1831 Naras dan
VII Koto digempur habis-habisan oleh Belanda, sehingga lokasi untuk menempati
meriam-meriamnya menghadap ke Naras dan VII Koto dinamakan orang dengan
dusun Meriam.
Meskipun Naras telah rata dengan tanah, namun dengan sebuah tipu muslihat
Tuangku Nan Cerdik dengan pasukannya dapat meloloskan diri ke Bonjol. Belanda
kesal, sakit hati, marah. Karena entah kemana rasa sakit hati akan dilepaskan
akhirnya ‘rencana D’ perlu dipikirkan untuk membalas sakit hati karena telah
dipermalukan oleh Tuangku Nan Cerdik lantaran yang dihancurkankan adalah
kampung yang telah tidak berpenghuni itu.
Belanda mengambil cara yang licik. Akhirnya ibu, istri dan kedua putri Tuangku
Nan Cerdik ditangkap. Istri dan ibu Tuangku Nan Cerdik dipenggal kepalanya oleh
Belanda dan dibawa ke Pariman untuk dipertontonkan dikhalayak ramai, sedangkan
seorang putrinya di bawa Ellout ke Padang untuk ‘dididik’-nya. Wallahu a’lam
bissawab. Putri yang seorang lagi ditawan di rumah komandan militer di Pariaman.
Sejalan dengan penghinaan Belanda yang tidak berprikemanusiaan itu ‘rencana E’
pun dilancarkan. Ellout mengeluarkan sebuah sayembara, bahwa “barang siapa
yang dapat menangkap Tuangku Nan Cerdik hidup-hidup akan mendapat hadiah
1.000 gulden; dan siapa yang hannya dapat menyerahkan kepala Tuangku Nan
Cerdik akan memperoleh uang 500 gulden.
Tapi, toh sayembara itu tidak laku, tidak membuahkan hasil. Sekarang Gubernur
Militer Sumatera Westkust mendapat giliran, hidup seperti kue ‘bika’, ditasnya
bara di bawahnya api. Jabatan harus dipertaruhkan kembali kepada Gubernur
Jenderal di Batavia seandainya Tuangku Nan Cerdik masih belum dapat
dilumpuhkan. Alasan petinggi di Batavia sederhana saja, karena sudah banyak
biaya yang dikeluarkan pemerintahan kerajaan gara-gara seorang itu saja, belum
lagi menghadapi pasukan Paderi yang dipimpin Tuangku Imam.
Dalam bulan Maret 1832 kedudukan Belanda di Utara mulai gawat. Momen ini
dipergunakan oleh Tuangku Imam Bonjol yang dibantu Tuangku Muda membawa
4.000 orang pasukan bergerak menuju Tiku. Sedangkan Tuangku Nan Cerdik
memimpin 3.000 pasukan. Pasukan Paderi yang bergerak dari Bonjol itu membuat
pertahanan di Mangopoh.
Pihak Belanda harus mematangkan ‘Rencana E’ dan dilaksankan. Belanda mulai
memerlukan kapten intel, yang terkenal dengan ‘spion-spion melayu’-nya.
79 | Maryam Chilvalry
Sekali lagi Petinggi Belanda di Padang memasukkan benaknya ke kilangan akal
untuk mendapatkan setetes harapan lagi untuk melumpuhkan Tuangku Cerdik
kalau tidak, tuan Gubernur Militer di Sumatera Barat itu akan memperoleh seuntai
kalimat ‘penghargaan’, yaitu “Selamat Jalan” menuju tanah kelahiran. Holland
masih setia menunggu kepulangannya.
‘Rencana E’ belum hasilnya, target belum tercapai. Terpaksalah ‘rencana E’
dikembangkan menjadi ‘Rencana F’.
Sewaktu Tuangku Nan Cerdik memasuki VII Koto, Elout menyeret anak gadis kecil
Tuangku Nan Cerdik ke hadapannya untuk dipampangkan kehadapan bapaknya
sendiri yang telah siap menyerbu pasukan Belanda yang sedikit dalam keadaan
‘nervous’ itu. Dengan tiba-tiba pasukan Taungku Nan Cerdik langsung
mengundurkan diri dan lari meninggalkan medan pertempuran. Tentu saja ‘psywar’
yang diciptakan Kolonel Elout ini telah membawa hasil gemilang di pihak Belanda.
Dengan berhasilnya ‘rencana F' inilah lumpuhnya perjuangan – ‘petak umpet’ –
Tuangku Nan Cerdik terhadap Belanda. Adalah karena ‘si pengobat rindu-pelerai
deman - si buah hati limpa berkurung’ telah menjadi pampasan perang. Demi anak
‘tidak kayu jenjang pun di keping”, demi anak apun diperbuat.
“Zonderlinge overwinning”, suatu kemenangan aneh buat Belanda. Akhirnya
Tuangku Nan Cerdik pada bulan Agustus 1832 itu menyerahkan diri, karena tidak
kuat menahan rindu kepada anak yang masih hidup dan ditawan orang ‘lanun’ dari
negeri asing di seberang lautan luas itu. Beliau menyerahkan diri dan memohon
untuk dapat berjumpa dengan anaknya yang sedang ditawan dan berjanji akan
hidup bersama anaknya itu di Padang, tidak kembali lagi ke Mangguang dan Naras.
Sehingga dikemudian hari ‘borderline’, garis batas, antara daerah pesisir dan darek
mulai terbuka bagi Belanda untuk mendesak jantung gerakan Paderi di pedalaman
Luhak Agam terus ke utaranya, yaitu Bonjol.
Dalam keasyikanku melayang jauh ke masa lalu itu, yaitu setelah kami berpisah
dengan Aisyah dan suaminya Datuak Rajo Pangulu di Simpang Pintu Koto . Kami
berbelok ke kanan, ke arah Joho menuju Surau Koto Samiak. Dan persis selepas
jembatan di Joho tiba-tiba Mak Sutan Nan Basikek, suaminya Etek Siti Anisyah
memegang lenganku, seakan mengisyaratkan berhenti sejenak.
“Ambo ingin bertanya sesuatu padamu, apakah boleh ?”
“Boleh, Mak. Apa gerangan, Mak”, aku masih terkaket karena baru saja
disentakkannya dari lamunanku barusan.
“Begini, sepertinya ada terjadi sesuatu diantara kalian tadi itu. Tetapi karena
saya khawatir membuyarkan semangat kawan-kawan yang sedang latihan makanya
saya tidak mendekati kalian,” jelas Mak Sikek kepadaku sambil kembali melangkah
kembali melanjutkan perjalanan pulang.
80 | Maryam Chilvalry
“O, rupanya mamak, memperhatikan kami juga tadi itu ?,” jawabku mereda.
Aku raba dan akau usap-usap kepala Ramaya yang terkulai lelap dalam gendongan
ayahnya itu.
“Nanti lah Mak, nanti akan saya ceritakan apa yang terjadi tadi itu kepada
mamak,” ulasku lagi.
“Apakah kamu juga akan tidur di rumah kami malam ini ?”
“Tidaklah, Mak ! Bagaimana pula saya akan bertandang di rumah mamak,
sedangkan Maryam juga ada di sana. Tidak bagus dilihat orang, tentu akan menjadi
fitnah pula nantinya, Mak.”
“O, ya!, Lalu...?,” tanya Mak Sikek lagi
“Ya, saya tetap tidur di Surau Inyiak, Mak,” jawabku.
Kemudian kami hanyut lagi dalam keheningan malam dalam perjalanan pulang.
Maklumlah beralas kakipun tidak sehingga yang terdengar adalah bunyi telapak
kaki pada saat menginjak jalan tanah dan becek yang ditingkah oleh suara kodok,
caciang gilo yaitu cacaing berukuran besar di semak-semak di sepanjang sawah.
Sudah separo jalan kami berlalu, kemudian Mak Sikek memulai angkat bicara lagi.
“Kalau malam ini aku tidur bersamamu di surau bagaimana, ya ?, sehingga sebelum
tidur kamu dapat menceritakan kejadian itu padaku.”
“Kalau begitu tidak apalah, Mak.”
“Jadi sekarang kita antar mereka ini dulu bersama-sama ke rumah, setelah itu kita
berbalik menuju suaru di Budi.”
Di Surau Inyiak Manan di kampung Budi cerita tentang Ramaya pun aku paparkan
kembali, sebagai laporan kepada orang yang punya anak dan istri.
81 | Maryam Chilvalry
11. Rahasia sebuah Surat Rahasia
Pasar di Minangkabau pada abad ke 18
BELANDA secara berangsur-angsur bagaikan tikus mengerek telapak kaki orang yang
sedang tidur, dengan cara mulai merombak sistem pemerintahan dan sistem
moneternya di Minangkabau. Untuk kesekian kalinya pasca perang Paderi 1837,
perjanjian Pelakat Panjang disetujui tahun 1833 dilanggarnya. Sebagai kelanjutan
atas Surat Keputusan Gubernur Jenderal No. 18 tanggal 4 November 1823, yang
berisikan selain bentuk-bentuk pemerintahan untuk Minangkabau, diantarnya
menyangkut bidang kepolisian, pajak, cukai pengadilan dan lain-lain. Dipicu pula
oleh kebutuhan akan biaya yang semakin sangat besar karena Kerajaan Belanda
mengalamai resesi moneter dan terkurasnya dana untuk membiaya peperangan
pada awal abad ke-20, maka dipaksakanlah diberlakukannya ‘pajak langsung’ yang
dikenal dengan ‘belasting’ dalam bentuk penyerahan langsung berupa uang yang
dipaksakan kepada rakyat Minangkabau sebagai pengganti ‘Coffeestelstel’ - buah
tangan Deandels dengan Nederlandshe Handels Maatshappij sebagai agen
tunggalnya selama ini.
Besarnya ‘pajak langsung’ itu didasarkan kepada harta kekayaan, sawah-ladang
dan termasuk luasnya pekarangan rumah. Dan, tidak ada pengecualiannya,
sekalipun tanah ulayat, harta milik kaum.
“Peraturan untuk membayar ‘Balasting’ itu adalah berarti membayar uang takut
atau upeti kepada Belanda padahal kita hidup di atas tanah kita sendiri. Selama ini
hasil tani kita telah disitanya dengan sistem monopoli dagangnya.
82 | Maryam Chilvalry
“Dengar ya, Maryam ! Bahwa di tanah yang di ‘taruko’ (dipaculi), hasil cencang
retas ninik moyang kita - yang dahulunya hanyalah hutan rimba, rawa, semak
belukar sekarang harus pula kita membayar kepada sihudung anggang tersebut,”
ketus si Juru Tulis dalam perbincangannya dengan Maryam di rumah istri Sutan Nan
Basikek.
“Kalau begitu bisa hilang juga tanah milik ulayat kita nantinya, Kanda,” sela
Maryam.
“Ya, tepat sekali ! Memang itu sasaran akhir dari sifat monopoli kekuasaannya,
yang katanya, mereka sebagai penguasa negeri ini. Sebagai pemerintah, katanya,”
jawab si Juru Tulis lebih meyakinkan Maryam. Maryam pun manggut-manggut
seperti orang yang sedang menganalisa sebuah sebab dan akibat kejadian,
“Darimanakah, Kanda tau tentang itu ?”
“Dari tindakan Ulando hari demi hari saja telah menjelaskan kepada kita.”
Hukum adat Minangkabau dipandang Belanda sebagai kendala atau penghalang
dalam pengambilalihan tanah oleh pemerintah. Karena tanah yang tidak bertuan
sebetulnya tidak terdapat di Minangkabau ini.
Posisi hak ulayat atas tanah sangat kuat dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau. Tanah ulayat merupakan persoalan hidup dan mati bagi setiap kaum
dan tanah ulayat nagari adalah lambang kebesaran dan aset anak nagari di
Minangkabau. Akibatnya, upaya penyediaan tanah garapan menjadi terkendala bagi
Belanda. Terkendala bagi kaum kapitalis yang berfikiran materialistis.
Berdasarkan hal tersebutlah, akhirnya memaksa pemerintahan Belanda
mengeluarkan Undang-Undang Agraria 1875, Nomor 199a yang berisikan
‘domeinverklaring’ itu, berupa pernyataan pemerintah bahwa tanah ulayat nagari
“dicaplok” menjadi milik negara. Di atas tanah-tanah itulah perkebunan liberal
dilangsungkan di Minangkabau.
Munculnya Undang-Undang Agraria 1875 dengan domeinverklaring-nya, berarti
penghapusan segala bentuk hak ulayat di Minangkabau, sama artinya
menghapuskan hukum kewarisan dalam hukum adat , karena tanah ulayat
melambangkan persekutuan hukum dalam masyarakat.
Kondisi ini diperparah lagi oleh kebijaksanaan Belanda di Minangkabau dengan
banyaknya penghulu yang diangkat dan diberi ‘besluid’ oleh pemerintah Belanda.
Kenapa tidak, orang-orang yang dikatagorikan sebagai ‘urang nan malakok’
(pendatang baru), tidak mempunyai hubungan genologis dalam status adatnya di
dalam kaum di nagari itu oleh Belanda dibuka peluang untuk mengangkat
penghulunya sendiri. Sehingga, mereka duduk sama rendah, tegak sama tinggi
dengan orang yang memayunginya secara hukum adat dan sekaligus - yang telah
memberinya tumpangan hidup. Malah statusnya pun di back-up oleh pemerintah
83 | Maryam Chilvalry
(Belanda) asalkan dia patuh sebagai - ‘pesuruh’ - Belanda, seperti para Angku
Suku, Angku Palo, Laras, Demang dan paling tidak sebagai Penghulu Nan
Bapisuluik, yang telah dilegalkan oleh pemerintah Ulando dengan berbagai
pengkondisian dan perekayasaannya, kesemuanya mendapat tunjangan dan gaji
dari pemerintah.
Meskipun tidak semua yang diberi pangkat dan jabatan masih ada orang yang asli,
tapi Ulando tetap mendasarinya kepada “kepatuhan” seseorang. Tujuannya adalah
kukuhnya kekuasaan, pengerukan kekayaan rakyat, menghancurkan pola
musyawarah dan munfakat rakyat, hidup timbang rasa dan kikis sistem hukum adat
Minangkabau. Artinya, “Bareh diserakkan, pinggalan diacungkan” (beras ditebar,
pentungan diacungkan), fasilitas pembangunan dilengkapi, tapi kedaulatan rakyat
dikerdilkan, sehingga masyarakat tidak bisa melawan kesewenang - wenangan
ninik mamak – boneka – Belanda semacam itu. Sebaliknya, meskipun dalam ‘ranji’
ninik mamak di setiap nagari tetap terberai, tetapi karena takut dengan ancaman
pemerintah maka terpaksa didiamkan. Kesemuanya akan dinilai atas kekayaan dan
keberadaan seseorang dan bukan lagi karena luasnya ilmu seseorang dan bukan
pula atas ketawaqalan nya terhadap Tuhan.
Kebijakan ini bagaikan pedang bermata dua, ‘tidak ujung – pangkal pun mengena’,
karena secara berangsur-angsur akan menipis dan hilangnya nilai-nilai - ‘raso jo
pareso’ - sesama anak nagari nantinya, berkuah darah antara anggota satu kaum
kelak pun bisa terjadi. Peluang konflik telah diciptakan dalam kerangka ‘devide ed
impera’, karena ninik mamak akan berbuat semau-maunya disebabkan di dalam
dirinya sudah tertanam paham sebagai penguasa dan bukan lagi sebagai seorang
pemimpin.
Seseorang diukur dari sudut materialisme. Penghulu itu adalah pemimpinn, bukan
penguasa. Karena itu sifat seorang penghulu di Minangkabau harus merujuk kepada
sifat-sifat Rasulullah, Saw.
Begitulah upaya-upaya yang dilakukan oleh Belanda untuk menghilangkan status
adat Minangkabau, tahap demi tahap, pelan tapi pasti.
“Maryam, benar juga apa yang disampaikan oleh guruku dahulu bahwa ‘jerat tidak
akan lupa dengan burung balam, jerat serupa dengan jerami.’ Memang penjajahlah
yang pertama sekali menjerat kita untuk meluluhlantahkan aturan dan kehidupan
banagari,” kata Si Juru Tulis.
Kemudian, pada tahun 1901, permulaan abad ke-20 pemerintah Belanda
membutuhkan anggaran belanja yang tidak sedikit untuk memperkuat
kedudukannya di Minangkabau, apalagi untuk menutupi biaya yang telah cukup
besar dikeluarkan selama berlangsungnya ‘Perang Minangkabau’. Bayangkan saja,
satu-satunya daerah yang didatangi langsung oleh seorang Gubernur General yang
lebih dikenal oleh masyarakat kita dengan sebutan ‘Tuan GeGe’ ke wilayah
84 | Maryam Chilvalry
jajahannya di Nusantra ini dalam menumpas pemberontakan rakyat pada masa itu,
hanyalah Minangkabau.
Toh, meskipun pada akhirnya peperangan itu hanya dapat dihentikan Belanda
dengan siasat, tipu muslihat pula, karena Belanda sendiri mengakui bahwa orang-
orang kita tangguh, “deden van ongelooflijken med”, sebuah tindakan berani yang
luar biasa dengan penuh perhitungan (strategi). Dengan jalan berpura-pura ingin
melakukan perundingan, Peto Syarif Tuangku Imam Bonjol disandera. Dan untuk
kesekian kalinya pula hasil perundingan Pelakat Panjang itu pun mereka ingkari.
“Ulando itu kan memerintah di negeri kita ini, Kanda, tentu ada yang mendasari
hingga sejauh itu tindakannya, baik terhadap kehidupan maupun terhadap adat
dan agama kita ?” sela Maryam pula.
Mendengar pancingan Siti Maryam itu semakin timbul semangat si Juru Tulis dan
semakin terungkap segala pengetahuan dan analisisnya selama ini.
“Maryam, semua tindak-tanduk, kebijakan Ulando di Minangkabau pada prinsipnya
didasari oleh surat rahasia Tuan GeGe kepada Tuan Resident di Padang,” tegas
Juru Tulis.
“Surat rahasia yang mana, Kanda ?,” Maryam sedikit terkaget.
“Maryam, pada tahun 1839, Tuan GeGe yang bernama Van den Bosch, menulis
sebuah surat rahasia kepada Resident di Padang. Dan salinan surat rahasia itu telah
berada di Inyiak Manan. Kemudian Inyiak Manan membahasnya bersama Mak
Garang Datuak Palindih, Tuan Kari Mudo, Mak Datuak Rajo Pangulu, Inyiak Haji
Musa, Inyiak Jabang. Kemudian hasil pembahsan itu kami kembangkan pula kepada
beberapa ninik mamak dan cerdik pandai yang patut serta mungkin lainnya.”
“Sejak kapan Inyiak Manan menyimpan surat yang amat penting itu, Kanda ?”
“Itu tidak perlu kita bahas.”
“Siapa yang berbaik hati untuk membocorkan rahasia itu, Kanda ?”
“Itu tidak Penting. Tapi sudah pasti melalui tangan seseorang yang dipercayai
Inyiak Manan sendiri,” Juru Tulis seperti merahasiakannya kepada Maryam siapa
yang berperan sebagai penghubung antara mata air dan saluran air ke sawah.
Sementara itu Maryam sedikit tersentak hatinya, agak curiga.
“Adakah sesuatu yang Kanda sembunyikan kepadaku ?” lentuh Maryam kepada Juru
Tulis.
“Tidak, Maryam. Untuk apa saya sembunyikan kepadamu. Saya sungguh tidak tau
kapan dan siapa yang telah membawa surat rahasia itu kepada Inyiak Manan.”
85 | Maryam Chilvalry
“Ada apa, kenapa kamu memikirkankan dan gigih tentang sumber surat itu,
Maryam ?”
“Tidak apa-apa, Kanda. Saya hanya sekedar tau saja.”
“Tapi, Maryam, yang pasti... salinan surat itu dari Pandeka Mukmin.”
“Apa ? Pandeka Mukmin ? Berarti belum lama ini ?,” Maryam terperanjat sambil
menempelkan jari tangan kananya dibibir dalam keheranan.
“Ya ! Pandeka Mukmin, prajurid Ulando di Gaduang, di Bukittinggi. Memangnya
kenapa, Maryam ?,” Si Juru Tulis pun heran dan ingin tau sebaliknya dari Maryam.
“Ya, karena dalam kurun waktu ini hanyalah saya yang pernah bertemu dengan
Pandeka Mukmin. Disuruh Inyiak Manan, Kanda.”
Juru Tulis mengerinyitkan dahinya sebagai ekspresi dari berkecamuk pikirannya
dalam kebisuan kata-kata. Jangan-jangan Maryamlah yang telah menjadi tukang
pos antara Pandeka Mukmin dengan Inyiak Manan. Kalau memang begitu, kenapa
aku tidak tau atau dikasih tau oleh Maryam atau Inyiak Manan sendiri ?
“Tapi, Kanda. Pandeka Mukmin tidak ada memberikan surat apapun, kecuali hanya
sepotong ranting buluh bambu.”
“Bagaimana ceritanya pertemuan kamu dengan Pandeka Mukmin, Maryam ?”
“Beberapa waktu lalau saya disuruh Inyiak Manan menemui Pandeka Mukmin ke
Gaduang. Dan pandeka mukmin pura-pura membeli kue talam saya lalu
menyelipkan sebuah ranting buluh bambu ke bawah daun di dalam talam kue saya
itu.”
“Jadi kamu yang membawa benda keramat itu !,” Juru Tulis lebih memastikannya
kepada Maryam.
Juru Tulis mulai menggerutu dalam hatinya ...rupanya memang dialah yang
menjadi ‘tali bandar’, sebagai saluran tersier antara Pandeka Mukmin dan Inyiak
Manan. Aku terkecoh !
“Benda Keramat bagaimana, Kanda ?,” Maryam agak kaget pula.
Si Juru Tulis tidak menjawabnya malah balik bertanya.
“Apakah kamu tidak tau isi dari ranting bambu kecil itu, Maryam ?”
“Tidak, Kanda.”
“O, begitu !,” Juru Tulis merespon dengan dingin, tapi hatinya merasa geli.
“Kenapa begitu, Kanda. Saya tidak berani mebuka benda itu, Kanda ! Karena saya
kira benda itu adalah penangkal sesuatu atau semacam ajimat anti peluru, dan lagi
86 | Maryam Chilvalry
amanah yang saya terima hanya menerima sesuatu dari Pandeka Mukmin dan
memberikan kepada Inyiak Manan. Itu dalam penuh kerahasiaan dan tidak boleh
jatuh ketangan orang lain.”
“Tepat sekali, Maryam, benda itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Tetapi
ternyata Ulando itu dapat juga dikecoh oleh Pandeka Mukmin.”
“Memangnya, ada apa dengan benda itu. Apa hubungannya dengan Pandeka
Mukmin dan Ulando, Kanda ?”
Untuk mengelabui Belanda apabila terjadi pemeriksaan dan kertas itu ditemukan
maka disiasatilah oleh si punya ide. Surat itu dilipat kecil dan dimasukkan ke dalam
sepotong ranting buluh bambu sepanjang tiga sentimeter.
Ranting bambu itu dililit dengan benang tujuh rupa dan ditempeli dengan
kemenyan pada kedua ujungnya, sehingga menyerupai sebuah azimjat. Sudah pasti
Belanda tidak akan memperdulikan benda yang berhubungan dengan ‘magic’.
“Benar, Maryam. Benda itu tidak ada hubungannya dengan ilmu kebatinan, tetapi
isinya lebih berbahaya daripada sihir apapun.”
“Kenapa seperti itu, Kanda.”
“Betul kamu tidak membukanya, Maryam,” sekali lagi Juru Tulis mencari kepastian
dari Siti Maryam, si buah hati yang lugu itu.
“Benar, Kanda. Bukankah sudah saya jelaskan tadi. Saya hanya memegang amanah
sebagaimana yang diperintahkan saja Kanda. Apakah kanda tau isi benda itu ?”
“Untuk kamu ketahui, Maryam ! Bahwa benda yang kamu serahkan Kepada Inyiak
Manan tersebut di dalamnya adalah sebuah surat rahasia yang ditulis prajurit
Belanda si Hendrick itu. Surat itu dia dimasukkan ke dalam ranting bambu itu.
Kamu sediri yang membawanya menyangka pula benda itu adalah sebuah azimat,
bukan ?”
“Surat rahasia apa, Kanda ?”
“Ya ! Itu..., adalah surat rahasia dari ‘si hidung anggang’ yang berkulit pasi – putih
pucat – itu. Tentu saja surat rahasia dari tuan GeGe Van den Bosch di Jawa kepada
tuan resident di Padang yang saya maksudkan tadi."
“Saya tidak ada bertemu dengan prajurit Ulando yang bernama Hendrick, Kanda.
Sungguh, saya berani bersumpah, Kanda ! Yang menyerahkan benda itu adalah
Pandeka Mudo. Bukan Hendrick, Kanda !” Maryam sedikit cemas seakan dia telah
menjalin hubungan gelap atau bermuka dua dengan pihak Belanda. Ya, begitulah
tabiat seorang yang lugu.
“Ha, ha, ha...!, maksudmu Pandeka Mukmin ?”
87 | Maryam Chilvalry
“Iya, Kanda !”
“Ha, ha, ha...!, Pandeka Mudo, Pandeka Mukmin atau dipanggil orang juga dengan
Pandeka Ulando..., adalah si Hendrick itu, Maryam! Hendrick Scouten nama
lengkapnya.”
“Jadi..., yang menyerahkan benda berkemenyan itu adalah Hendrick. Hendrick
adalah Pandeka Mukmin atau Pendeka Mudo, Pandeka Mudo adalah Hendrick,
begitu Kanda ?,” Maryam bingung.
“Bukankah dia orang Kamang ini, Kanda ?” Tanya Maryam pula.
“Iya, dia sejak kecil sudah menjadi orang Kamang ini, Maryam.”
“Lalu, kenapa dia mau menjadi tentara Ulando, Kanda.”
“Akh..., itu panjang ceritanya, Maryam. Lain waktu akan saya kisahkan kepadamu
siapa si Hendrick itu sesungguhnya. Biarlah menjadi bahan cerita menjelang tidur
di malam pengantin kita nanti, Maryam. Ha..., ha..., ha...!”
“’Ah, Kanda...’ Maryam merungut mesra, menekurkan wajahnya tapi tidak
mencubit atau menepuk si abangnya itu, seperti anak gadis sekarang ‘...ambo
bersungguh sungguh, tapi kanda ‘bergurau’ pula !”
Tangsi di Padang
Masih dalam wajah menunduk Maryam memoles kata dalam hati yang berbunga-
bunga itu. Adalah pula sebuah kehangatan dan kemesraan yang tidak terhingga
oleh si Juru Tulis melihat rungut sang kekasihnya itu.
“Tapi yang pasti, Maryam.... Hendrick itu adalah anak dari Mayor Scouten yang
telah pensiun dari tentara Ulando semenjak Hendrik masih berumur delapan
tahun,” Juru Tulis menambah sedikit penjelasan untuk menormalisasikan suana
mereka.
88 | Maryam Chilvalry
“Apakah Kanda juga ikut dalam membahas isi surat rahasia yang disalin Pandeka
Mukmin itu ?”
“Tentu saja iya !, kan saya juru tulis Inyiak Manan, saya dilibatkan dalam
pertemuan tersebut, Maryam. Dan malah saya disuruh menyalinnya kembali dalam
buku catatan penting saya ini.”
“Kapan Kanda memperlihatkan salinan surat rahasia itu kepada saya ?”
“Sekarang pun bisa, Maryam.” Aku pun membuka buku catatan itu. Akupun berani
membukanya karena telah dapat izin sebelumnya oleh Inyiak Manan.
“Maryam perlu tau isi surat itu, karena dia adalah salah satu kekuatan kita dalam
mengkampanyekan tentang perang melawan kekuasaan Ulando ini,” kata Inyiak
Manan kepadaku setelah rapat membahas surat rahasia ini, begitu peserta
musyawarah membubarkan diri.
“Sekarang kamu dengarkan baik-baik, ya ! Biar saya bacakan surat rahasia dari
Tuan Ge-Ge yang bersemayam di Batawi itu kepada Gubernur Militer ‘Sumatera
Barat’ di Padang.
‘Batavia, Tanggal 17 April 1839 No. La A5-1839. SRHS.”
“Tunggu dulu, Kanda. Apa artinya SRHS itu, Kanda?,” sela Maryam.
“SRHS adalah singkatan dari Sangat Rahasia Sekali. Dengarkan baik-baik, ya.”
“Prinsip campur tangan dalam urusan rakyat dalam ‘nagari’ harus tunduk pada
tujuan akhir kita di Minangkabau, yakni mengukuhkan kedudukan kita di sana.
Walaupun untuk mencapai tujuan tersebut lebih baik kita tidak campuri
pemerintahan sehari hari dalam nagari, namun baik sekali jika para penghulu di
berbagai daerah makin lama makin mendapat pengaruh lebih besar dari kita dan
dengan demikian mereka bisa bekerja untuk kepentingan kita selanjutnya. Rakyat
harus terbiasa dengan pemerintahan yang teratur dan disamping itu pemerintahan
berpemimpin ‘satu’, dan harus didirikan pula sebuah ‘aristokrasi’ yang terkait pada
kita untuk mengganti ‘demokrasi-nya’.”
Sambil menyimpan buku itu kembali, aku memberi tambahan semangat,
mendorong semangat Maryam, kenapa harus diadakan perlawanan terhadap
Belanda dengan alasan perang anti belasting ini.
Sebetulnya, tanaman kopi adalah sesuatu komoditi yang teramat istimewa di
Minangkabau dan membawa suatu drama mengerikan yang tidak kalah hebatnya
dengan apa yang dialami di Pulau Jawa.
Lain halnya sewaktu perbandingan kekuatan Belanda melawan kaum Paderi masih
seimbang, penanaman kopi berupa anjuran saja oleh pemerintah Belanda, dan
petani bebas menjual kepada siapa pun walaupun pemerintah Belanda menjamin
89 | Maryam Chilvalry
harga minimum, sesuai dengan bunyi pasal dalam Palakat Panjang – Van den Bosch
Tahun 1833.
Dari fakta sejarah dapat disimak bahwa kekuatan yang menyebabkan Belanda
kewalahan menghadapi perlawanan rakyat atau perang Minangkabau itu tidak lain
adalah karena pertama, adanya semangat ukhuwah yang sama-sama merasakan
penderitaan dari penindasan yang dilakukan oleh kaum penjajah. Semangat ini
semakin dibakar, didorong oleh kabar gembira yang tertera dalam al-Qur’an,
Kitabnya kaum Muslimin. “’Katakanlah kepada orang-orang yang kafir: ‘Kamu pasti
akan dikalahkan, di dunia ini dan akan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan
itulah tempat yang seburuk- buruknya’."
“Kedua, Karena kesadaran bersama akan filosofi “Syara’ Mangato, Adat Mamakai”
(Syara' mengatakan, adat memakai) apa saja yang ditentukan dan dilaksanakan
menurut adat adalah didasarkan kepada hukum hukum yang ada dalam syara’,
sebagai pembuktian akan pandangan hidup “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi
Kitabullah”.
Apatah yang menjadi penguat akat fondasi adat ini ?”, si Juru Tulis memunculkan
sebuah pertanyaan. Kemudian dia langsung menambah penjelasannya ,“Terutama
adalah akan peringatan Allah Swt dalam al-Qur’an. “’Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang orang yang
di luar kalanganmu (kaum kafir), karena mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh
hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-
ayat (Kami), jika kamu memahaminya’.”
“Ketiga, sistem perang gerilya sangat berperan pula dalam menghadapi serdadu
Belanda yang sudah terlatih dengan senjata lengkap dan modern. Keempat, yang
tidak kalah penting juga adalah alam Minangkabau sangat menyulitkan untuk
ditembus Belanda dalam perang secara frontal. Kelima, perlawanan-perlawanan
yang dilakukan rakyat Minangkabau, umumnya digerakkan oleh alim ulama sebagai
inspirator dan kekuatan moral, spiritual yang sarat dengan persoalan religius bagi
rakyat untuk berjihad, karena persoalan keregeliusan di Minangkabau adalah
persoalan hidup dan mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Keenam, Seperti yang
diakui Letnan Boelhouwer, salah seorang militer yang mengikuti Kolonel Elout
memasuki Bonjol 1833.
“...orang Pederi berbeda mengenai pakain, kelakuan maupun kebiasaannya dengan
orang Melayu lainnya. (Red: terutama yang berpihak kepada Belanda). Orang
Paderi jijik melihat candu, sementara yang lain asyik mengisap candu; orang
Paderi tidak mau mengerjakan judi, sedangkan yang lain sibuk berjudi dan
berteriak-teriak. Pongah; orang orang Paderi bertubuh kekar dan berotot jika
dibandingkan dengan pasukan-pasukan pembantu kita” (Red: orang Jawa, Bone,
90 | Maryam Chilvalry
Madura dan Melayu lainnya)”. Tulis Boelhouwer lagi. “... Suatu bukti nyata betapa
cara hidup dapat mempengaruhi pertumbuhan tubuh manusia. Seorang Paderi
seakan-akan seorang raksasa ketimbang orang Melayu yang telah dicelakakan oleh
candu...”
Kemudian Boelhouwer melanjutkan komentarnya bahwa, “... Seseorang tidak usah
tinggal lama di Hindia Belanda untuk mengenal pengisap candu dengan mudah
mengenalnya bahwa matanya tidak bercahaya, putih matanya menjadi kuning dan
gerak badannya yang loyo. Semua dikerjakannya tanpa tenaga, dengan kesal dan
tidur adalah suatu kenikmatannya. Orang Paderi hidup penuh bergairah, kuat dan
berotot, satu kepala lebih tinggi dari orang Melayu....”
“Terang saja tentara bayaran Belanda dari bangsa pribumi (Melayu) ini sangat
gampang dibabat tentara Paderi. Sebaliknya tentara Belanda Hitam itu sangat
bringas membumihanguskan, memporak porandakan guna mengharapkan harta
rampasan sebanyak banyaknya yang dibumbui pula dengan santapan
‘pemerkosaannya’ terhadap perempuan yang tercecer dari tindakan penyelamatan
diri,” sela Maryam merespon kutipan si Juru Tulis itu.
“Sedangkan Verkerk Pistorius dalam tahun 1868 menyampaikan hasil penelitiannya,
“We (the Ductch) are standing on Vulcanic soil, because of the great influence of
the Ulama among the people, hence blocked [by] our willingness that.”
“Guna memperkuat kedudukannya itu, maka pemerintah Belanda berupaya untuk
mengepung surau dari berbagai sisi, katakanlah dari sisi ideologis, politis, ekonomi,
pendidikan, sistem pemerintahan maupun dalam tata aturan kehidupan sosial
sehingga pada suatu waktu kelak eksistensi dan bahkan secara fisik surau
kehilangan tempatnya ditengah masyarakat Minangkabau sendiri kelak dikemudian
hari,” lanjut si Juru Tulis.
“Pada suatu waktu tertentu Belanda sangat perlu membangun jalan raya dan
jembatan guna memperlancar hubungan lalu lintas dan ekonomi. Membangun
pasar-pasar guna mempermudah urusan perniagaan yang sekaligus dengan tameng
untuk mengatasi keterisolasian dan kemajuan ekonomi penduduk. Tiap-tiap nagari
dianjurkan membangun pasar-pasar dengan tenaga rodi dan pasar itu menjadi
milik nagari-nagari yang mengirim tenaga rodinya,” imbuh si Juru Tulis pula.
Memang demikian kenyataannya belakangan hari. Bahwa, tanah yang
dipergunakan sebagai pasar tersebut dibebaskan dari kaum yang mempunyainya
dengan iyuran nagari yang bersangkutan dan atau iyuran beberapa nagari yang
berekatan dalam satu kelarasan. Dan pasar-pasar semacam itu dinamakan dengan
‘passerfond’. Pasar serikat itu diklasifikasikan pula atas tiga golongan atau
tingkatan, yaitu ‘Pasar Serikat A’ bagi daerah luhak seperti Pasar Bukittinggi.
‘Pasar Serikat B’ untuk pasar di kewedanaan. ‘Pasar Serikat C’ pada tingkat
91 | Maryam Chilvalry
kenagarian, sehingga masyarakat mulai dibiasakan dalam kehidupan untuk hidup
berorientasi pasar dalam paham ‘materialisme-kapitalisme’ ekonomi.
Kalaulah dengan cara sukarela atau secara gotong royong ala budaya Minangkabau
pemerintah Belanda tidaklah akan mendapatkan sumber tenaga manusia yang
banyak untuk membangun jalan, jembatan dan pasar-pasar tersebut. Sehingga
dikeluarkanlah peraturan semua pekerjaan berat tersebut secara paksa yang lebih
dikenal dengan ‘rodi’. Pelaksanaan kerja paksa tersebut ditentukan dengan
perhitungan besarnya jumlah pemuda dan orang dewasa yang diwajibkan
melaksankan pekerjaan membangun jalan dan pasar sebanyak empat hari dalam
satu kwartal atau enam belas hari dalam satu tahun.
Secara tidak langsung, dengan berdirinya pasar-pasar serikat tersebut terbuka
peluang pada masyarakat untuk terjadinya kegaduhan, bentrokan atau perselisihan
antar nagari-nagrai yang memiliki saham - ‘iyuran’ - dan tenaga ‘rodi’ yang
membangun pasar tersebut atas hasil dan rasa memiliki pasar tersebut. Inilah
jarum ‘devide et impera’ pemerintah Belanda untuk meruntuhkan tatanan budaya
yang berhubungan dengan masalah ‘raso jo pareso’ atau ‘salang tenggang’ antar
nagari dalam satu kelarasan adat ‘Koto Piliang’ atau ‘Bodi Caniago’, sebagai
percampuran dari keduanya sistem adat tersebut, dalam konteks ekonomi.
Juru Tulis belum mengakhiri pembicaraannya kepada Maryam yang masih
didampingi oleh Sutan Basikek dan istrinya Siti Anisyah itu. “Pada tahap
berikutnya, untuk mendapatkan sumber dana yang banyak maka dilancarkanlah
pemungutan ‘pajak langsung’ yang lebih dikenal dengan ‘belasting’, sementara
sitem jual beli dan harga pasaran kopi dan hasil bumi lainnya tetap dalam kendali
pemerintah Belanda. Upaya Belanda ini tidak kalah hebatnya mendapat tantangan
dari rakyat, termasuk beberapa Laras yang dibentuk pemerintah Belanda sendiri.
Sebetulnya, sesudah Bonjol jatuh direbut Belanda, maka semenjak 1847 kopi
dijadikan tanaman paksa di Minangkabau, dan harus dijual pada pemerintah
dengan harga yang dipaksakan”.
“’Coba mamak bayangkan’, kata si Juru Tulis pula kepada Sutan Basikek, ‘harga
yang ditetapkan pemerintah Belanda 7 gulden/pikul, sedangkan harga jual
pemerintah hampir dua kali lebih tinggi. Sepuluh tahun kemudian, harga beli
pemerintah menjadi sepertiga harga jualnya (10,50 gulden : 34 gulden).”
Perbandingan harga tersebut terus memburuk hingga akhir abad ke-18. Pemerintah
memaksakan harga beli dari rakyat hanya 15 gulden sewaktu harga pasaran telah
mencapai 75 gulden. Harga beli yang dipaksakan ini tidak pernah diubah hingga
tanaman paksa kopi dihapuskan pada tahun 1908, yang diganti dengan pembayaran
‘balasting’ oleh rakyat sebagai sumber pemasukan pemerintah Belanda.
92 | Maryam Chilvalry
Dengan sendirinya penetapan harga dan monopoli Belanda atas produksi kopi
rakyat adalah merupakan pajak tidak langsung pemerintah Belanda terhadap
rakyat.
Sebetulnya, ‘coffeestelsel’ yang dipaksakan Belanda sebelumnya telah
menyebabkan penggunaan jenis tanah adat yang berfariasi sifatnya. Awal
pemberlakuannya tanah pekarangan yang berada di sekitar pemukiman penduduk
dimanfaatkan untuk memproduksi kopi. Kebijakan ini secara tidak sengaja telah
menaburkan benih kebencian rakayat Minangkabau terhadap Belanda. Sehingga
pada masa ini banyak kendala yang dihadapi pemerintah Belanda, terutama
masalah status tanah di Minangkabau yang terdiri dari nagari-nagari yang bersifat
otonom dan memiliki banyak pengusaha yang menguasai untuk penggarapannya,
serta tidak mengenal adanya tanah-tanah yang tidak bertuan.
Meskipun demikian, rakyat tetap tidak setuju dengan diterapkannya pajak
langsung berupa ‘balasting’ dan ‘pekerjaan rodi’. Dalam arti kata ‘cultuurstelsel’
untuk Minangkabau lebih dikenal juga dengan ‘coffeestelsel’ jauh lebih merugikan
dari pada balasting, namun bagi Belanda ‘belasting’ adalah iyuran rakyat yang
teratur dan terukur setiap tahunnya, sementara pemerintah tidak dibebani pula
dengan modal awal. Sedangkan dalam ‘coffeestelsel’ pemerintah harus pula
memodali untuk pembelian dari rakyat, menggaji para pegawai untuk menjaga
mutu kopi, dan keuntungan tidak tetap karena pengaruh spekulasi pasar, dalam
keamanan pengiriman barang semenjak dari produsen hingga kota tujuan turut
menjadi beban ekstra bagi pemerintah’.
“Alaaa..., untuk apa pula kamu ceramahi kami tentang tetek bengek kerja si
Ulando itu. Mana pula kami mengerti, kami orang buta huruf, kami tidak sekolah di
gubernemen. Kalau kamu ada sekolah diguvernemen !,” sela Siti Anisyah. “Kepada
Maryam sajalah kamu bercerita,” sambung Anisyah lagi.
“Aha...ha, ha !,” Si Juru Tulis tertawa lepas karena tersandung.
“Tak apalah, kan bertambah juga pengetahuan kami yang bodoh ini,” sela suami
Siti Anisyah pula. “Etek kamu itu ada-ada saja ulahnya, orang lagi bersemangat dia
patahkan pula. Lanjutkan saja ceritamu itu,” sambung Sutan Basikek lagi.
“Tek, saya khawatir ! Kalau-kalau setelah ini tidak ada lagi waktu untuk kita
mengurai benang kusut yang menimpa negeri dan orang kita di Minangkabau ini.
Mudah-mudahan kelak diantara kita ini dapat mewariskan cerita ini. Pangkal bala
yang sesungguhnya ini,” Juru Tulis merespon kembali selaan Siti Anisyah tadi.
“Nah, berkali-kali L.C. Westenenck selaku Komendur mendatangi rakyat Kamang
yang sering difasilitasi oleh Laras Magek-Salo Agus Warido seorang keturunan Jawa,
bekas mantri kopi kelas.
93 | Maryam Chilvalry
Dalam pertemuan itu L.C. Westenenck tetap membujuk rakyat bahwa sebetulnya
dalam kalkulasi dan spekulasi dagang, dengan ‘coffestelsel’ Belanda mendapat
untung sebanyak 0,50 gulden – 0,16 gulden = 0,34 gulden/kg. Andaikan seorang
rakyat minimal menghasilkan 30 kg kopi dalam satu kali panen, maka dari seorang
penduduk, Ulando akan mendapat keuntungan 30 kg x 0,34 gulden = 10,20
gulden/panen. Sedangkan iyuran balasting yang ditetapkan Belanda hanya 1,20
gulden/tahun. Jangankan terjadi gagal panen pada tahun 1856, harga beli
pemerintah di pedalaman, seperti di sini adalah 7 gulden, sedangkan harga jualnya
di Padang 30 gulden.”
“Ya, untuk apa lagi kopi ditanam ?, toh semakin mensengsarakan rakyat juga,”
sela Maryam.
“Sebetulnya, tanaman kopi tidak bernilai lagi Maryam. Akan tetapi pembayaran
belasting adalah.... Akh, saya tidak bisa menjelaskan apa akibatnya bagi
masyarakat kita Maryam.“
“Nah, setelah 1847-1862, timbul rasa benci rakyat terhadap budidaya kopi karena
harga bayar pemerintah yang tidak manusiawi. Seperti pada tahun 1856, harga beli
pemerintah di pedalaman adalah 7 gulden, sedangkan harga jualnya di Padang 30
gulden.”
“Ada sebuah lagi, Maryam ! Bahwa 14 Oktober 1831 Van den Bosch menuangkan
kekecewaan dan patah hatinya yang teramat dalam kepada Kolonel Elout sebelum
Ulando menyerang Katiagan untuk merebut Bonjol dulu. Juga melalui sebuah surat
rahasia, Maryam.”
Maryam kelihatan sangat bersemangat dan pelupuk matanya semakin tegak
menunggu kelanjutan cerita si Juru Tulis. Juru Tulis kembali membalik catatannya
itu.
“...'Sampai sekarang saya masih saja menunggu laporan Tuan (maksudnya Elout)
mengenai cara-cara bagaimana dan apa-apa yang harus dikerjakan untuk
mendatangkan keuntungan bagi kita di Minangkabau. Mengadakan peperangan dan
menaklukkan rakyat dan sesudah tujuan ini tercapai, baru memikirkan apa yang
harus diperbuat. Ini tidak cocok dengan kepentingan kita dan bertentangan dengan
cara-cara kita bekerja...,’ Kata Van den Bosch dengan tajam kepada Elout,
Maryam’.”
Kemudian surat itu dilanjutkan dengan pengakuannya bahwa, “...pemerintahan
terbaik dan penggunaan yang tepat dari segala yang dapat kita kerjakan, ialah
mengetahui kekayaan alam dari suatu daerah dan mengalirkan semua kekayaan itu
kepada kita ! Oleh karena itulah saya berulang-ulang menekankan kepada Tuan
untuk memusatkan perhatian pada soal ini !’ Demikian antara lain Van den Bosch
menulis. Selanjutnya dia menyatakan tidak bersedia lagi mengirim tambahan
tentara bantuan, jika Elout tidak dapat menjalankan yang dikehendakinya’.
94 | Maryam Chilvalry
“Terang saja, Kanda. Sampai sekarang Ulando itu semakin menjadi-jadi dengan
berbagai upaya memeras kita untuk memperoleh kekayaan sebesar-besarnya !,”
respon Maryam
“Tepat sekali, Maryam !”
“Kalau begitu, sudah tepat, Kanda. Kita harus berputih tulang pula menentang
upaya upaya Ulando ini. Kita harus tegakkan kedaulatan kita. Kita harus lindungi
‘urang awak’ ini, Kanda. Kita tidak perlu lagi berbasa basi, menyegani Ulando itu.
Kita tidak boleh takut melawan kesewenang-wenagan ini, Kanda ! Aku benar-benar
ikhlas untuk berkalang tanah dalam hal ini, Kanda !,” menyerocos dari mulut yang
tipis dan mungil itu.
Tapi, malah si Juru Tulis nyeleneh lagi dengan kalimat guyonnya.
“Kalau kamu meninggal nanti, nasib saya bagaiman ?”
“Ah..., Kanda. Seperti itu lagi. I...h !,” Maryam geregetan, merungut sambil
memukul mukulkan kedua kepalan jarinya ke kedua pahanya. Kalulah bukan
‘abangnya ?, mungkin saja batang leher si Juru Tulis yang humoris itu sudah
dicekiknya.
Menurut anggapan rakyat pajak tidak langsung dalam sistem ‘coffeestelsel’ masih
dapat diterima, karena sifatnya adalah jual beli dalam sistem perdagangan. Rakyat
sebagai penjual dan pemerintah sebagai pembeli, maka sistem dagang seperti ini
di dalam ajaran Islam diperbolehkan, meskipun tidak membenarkan mendapatkan
keuntungan yang berkesangatan seperti yang diterapkan kaum kapitalis
materialistis, seperti Belanda itu. Sedangkan balasting yang merupakan pajak
langsung, sepertinya sebuah ‘upeti’ kepada kaum kafir berupa pemberian yang
diwajibkan atau sewa tanah dari rakyat yang hidup di buminya sendiri.
Pada sisi lain, dengan dipaksakannya untuk memberlakukan belasting terhadap
rakyat Sumatera Barat, maka secara terang terangan Belanda telah mengkhianati
isi Plakat Panjang 1833, yang didalamnya termaktub akan ‘hak milik harta
berpunya’ menurut hukum adat Minangkabau.
Terbukti sudah apa yang dikatakan Allah Swt dalam Al-Qur’an, bahwa “orang orang
kafir itu akan selalu melakukan tipu daya (pengkhianatan)”.
Ketersinggungan atas kearifan lokal inilah yang lebih mengukuhkan kembali
semangat perlawanan mengakar semenjak dari leluhurnya antara kaum adat dan
kaum agama menantang akan keberadaan kaum kafir di ranahnya sendiri.
Pungutan pajak sama artinya ‘memeras susu dari sapi mandul’. Dan yang lebih
berbahaya lagi adalah dengan adanya pemikiran oleh rakyat yang sisa-sisa kaum
Paderi bahwa haram hukumnya membayar upeti kepada kaun kafir.
95 | Maryam Chilvalry
Perlawanan rakyat dalam menentang balasting 1908 tersebut merupakan
antiklimaks dari suatu proses pergerakan bawah tanah rakyat Minangkabau untuk
mengenyahkan kekuasaan Belanda di daerah ini, sebagai kelanjutan dari
perjuangan Paderi yang kekalahannya tidaklah feir dan sportif, melainkan melalui
sebuah tipu muslihat Belanda.
Pada sisi lain, dari kejujuran Kolonel de Stuers yang membuat saran dalam sebuah
laporannya menuliskan bahwa supaya Gubernemen mendapat penghasilan yang
melimpah maka perdagangan candu dan tuak yang telah berlangsung semenjak
VOC agar semakin dikembangkan. Opsir-opsir dan pegawai-pegawai Gubernemen
Belanda harus berlomba-lomba menjual candu dan tuak (miras), kepada
masyarakat, terutama kaum bangsawan Minang untuk membelinya.
“Demikianlah kekotoran sisat Gubernemen Belanda pada waktu itu di
Minangkabau,” kata Kolonel itu. “Dan upaya itu bukan saja untuk mendapatkan
keuntungan yang besar tetapi adalah juga untuk menghancurkan generasi
Minangkabau nantinya,” tulisnya lagi.
Dari ‘advisory’, dari laporan-laporan perangai pihak Belanda inilah menjadi alasan
menentang atau memberontaknya rakyat Minangkabau yang pada umumnya
dipelopori oleh kaum ulama, baik semasa Perang Paderi maupun Perang Kamang
1908. Perang terhadap penyebaran candu dan miras.
96 | Maryam Chilvalry
12. Belasting adalah pemicu belaka.
LC. Westenenck, Ketelan Putik Durian
GERAKAN anti Belanda oleh rakyat mengkristalisasi dalam bentuk gerakan anti
belasting. Fenomena anti belasting itu pada awalnya diperlihatkan dalam bentuk
demonstrasi spontan masyarakat ‘Oud Agam’ (Agam Tuo) ke kantor kontroleur di
Bukittinggi pada 22 Maret 1908, yang dimotori oleh Haji Saidi Mangkuto, dan
Datuak Makhudum.
Haji Saidi Mangkuto adalah seorang pedagang batik asal Pahambatan IV Koto, Agam
Tuo yang merantau di Solok. Pada pertengahan Maret 1908 dia pulang ke IV Koto
melalui dusun Layang-layang. Di kampungnya, dia secara diam-diam seringkali
mengadakan rapat dengan para penghulu andiko dan para ninik mamak lainnya.
Pada pertemuan yang kesekian kalinya akhirnya didapatkan persesuaian paham
untuk ‘menolak’ membayar belasting dan tidak akan memberi keterangan pada
petugas pemerintah (Belanda) supaya pemerintah tidak mempunyai data-data
untuk menentukan besarnya pembayaran pajak. Hasil kesepakatan ini segera pula
disebarkan kenegeri-negeri terdekat dan menjalar keseluruh pelosok Minangkabau,
meskipun beberapa daerah persoalan ini hanya seperti ‘kiambang diatas air’ saja,
hanyut tidak terendam pun tidak.
Menyikapi hasil kesepakatan yang telah menyebar seantero Minangkabau itu, maka
meraka melakukan demonstrasi tertib tanpa diiringi perbuatan anarkhis, malah
membawa senjata tidak diizinkan untuk ikut berdemonstrasi.
Tanggal 12 Juni 1908 Rakyat Kamang kembali berunjuk rasa di depan Kantor Luhak
Agam di Bukittinggi, tetap dibawah pimpinan Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan
Datuak Kondo. L.C. Westenenck yang bertindak sebagai wakil pemerintah
menerima utusan para demonstran di ruang kerja dalam kantornya. Wakil
97 | Maryam Chilvalry
demonstran menyatakan bahwa rakyat tetap menolak iyuran belasting dalam
bentuk apapun. Dan mendesak agar Belanda menarik kembali pengumumannya
tanggal 1 Maret 1908 tentang pemberlakuan pemungutan belasting itu.
Dalam hal ini Belanda menjalankan kecurangan untuk kesekian kalinya. Rakyat
disuruh bubar dan pulang kembali ke kampungnya masing-masing, sedangkan
Datuak Makhudum, Sidi Gadang dan Datuak Kondo ditahan oleh Westenenck untuk
penyelesaian selanjutnya. Ternyata ketiga pemimpin itu dijebloskan ke dalam
penjara.
Demonstrasi terbesar ini adalah merupakan mata rantai dari demonstrasi
sebelumnya, yaitu pada tahun 1895 rakyat Magek dan Salo menuju rumah Assisten
Residen di Bukittinggi.
Mereka datang dengan tenang tanpa banyak bicara. Mereka sama sekali tidak
memperlihatkan rasa permusuhan, namun begitu mereka tidak mau disuruh
pulang, tetap saja duduk dengan diam seakan orang yang pasrah menerima nasib.
Akhirnya terpaksa dipanggil serdadu untuk mengusir mereka. Tak obahnya seperti
mereka datang, sebelum diusir mereka diam-diam meninggal tempat tanpa bicara,
tanpa teriak dan tanpa yel-yel.
Meskipun pada waktu itu masyarakat belum mengenal akan kata ‘demonstrasi’,
tetapi mereka pada waktu itu tidak lebih dari ‘unjuk perasaan’ untuk
memperlihatkan ‘sikap’ mereka yang ‘saciok bak ayam, sadanciang nan bak basi’
(secicit bak ayam, sedenting bak besi) dan tandanya ‘penghulu nan saundiko.
Adatnya laki-laki samalu, adat parampuan nan sarasan’.
Mereka mengajukan tuntutan melalui perwakilan yang dipercayanya saat itu untuk
‘berorasi’, menyampaikan maksud kedatanagan mereka. Sebagai dasar tuntutan
mereka adalah: Pertama, Agar pemerintah membebaskan Penghulu Andiko dari IV
Koto yang telah ditawan Belanda.
Penghulu andiko itu ditahan karena menghajar salah seorang penghulu yang
berkhianat, yang telah melaporkan ke Taungku Laras Koto Gadang bahwa adanya
kegiatan rapat yang dilaksanakan oleh penghulu-penghulu suku IV Koto dalam
menentang rencana pemberlakukan belasting pada 1 Maret 1908 nanti, sehingga
rapat itu dibubarkan oleh dubalang Laras Koto Gadang. Dan karena dihajar bebak
belur oleh tiga orang penghulu (yang sedang ditawan) itu, maka penghulu
pengkhianat itu terpakasa dirawat di rumah sakit. Kedua, menanyakan apa
alasannya tiga orang penghulu itu ditawan, kalau hanya karena alasan mengadakan
rapat-rapat kenapa tidak semuanya saja dipenjarakan. Ketiga, rakyat tidak
bersedia membayar pajak (belasting) yang akan diberlakukan pada 1 Maret 1908
itu nantinya.
98 | Maryam Chilvalry
Tetapi karena pada hari itu kantor tutup (hari Minggu), maka Kontroler L.C.
Westenenck menanggapi aspirasi rakyat itu melalui Jaksa Kepala Jusuf Datuak Sati,
yang berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut pada tanggal 26 berikutnya.
Agaknya, inilah perwujudan bentuk ‘demokrasi Minangkabau’ dalam menyikapi
suatu kebijakan yang akan menimpa negerinya dan yang akan mensengsarakan
rakyatnya. Dan demonstarasi tertib semacam ini adalah produk asli rakyat sejati,
agaknya pula adalah yang pertama dilakukan sebelum mengenal jauh tentang
demonstrasi sebagaimana yang berkembang dikemudian hari.
Kejadian (demonstrasi) di Bukittinggi pada 1895, 22 Maret 1908 dan 12 Juni 1908
merupakan awal dari kerusuhan-kerusuhan yang akan segera meletus dimana-
mana, terutama di Kamang - Agam Tuo.
Meskipun sebelum tanggal 26 Maret 1908 dan sesduah 12 Juni 1908, tokoh-tokoh
demonstran tersebut ditangkap Belanda dan dibawa dengan kereta api ke Padang
untuk ditangsikan di sana, namun semangat anti belasting pun tidak dapat
dipadamkan pemerintah. Karena dalam pandangan rakyat, kecurangan demi
kecurangan yang telah dilakukan pemerintahan Belanda itu menempatkan
penguasa Belanda sebagai orang orang kafir yang menjadi musuh besar Islam.
Selanjutnya pusat gerakan semakin membumi di Kamang, sebuah negeri di Utara
Bukittinggi yang berada di kaki Bukit Barisan.
Gerakan anti Belanda dengan nota bene anti belasting itu sangat pesat
pertumbuhan dan penyebarannya di Kamang hingga ke daerah-daerah lain di
Minangkabau. Agaknya, karena Kamang sudah mewarisi tradisi revolusioner
semenjak ‘Gerakan Harimau Nan Salapan’ hingga ‘Perang Minangkabau (Perang
Paderi)’.
Meskipun telah berkali-kalai dan bahkan tidak terhitung lagi L.C. Westenenck
mendatangi Kamang guna mensosialisasasikan pemberlakuan belasting, namun
lebih menambah kebencian dan semakin memperkukuh semangat ‘aksi rakyat’
terhadap Belanda.
Kewalahan pihak Belanda dalam mensosialisasikan kebijakan barunya ini adalah
karena tokoh-tokoh masyarakat, terutama ahli propaganda di Kamang menjalankan
taktik “tikam jajak”.
Setiap kali kedatangan L.C. Westenenck menceramahi rakyat, maka
sepeninggalnya tokoh-tokoh propaganda langsung - menghapus jejak - pembesar
Belanda di Bukittinggi itu, dengan jalan membuat fakta terbalik dari yang
disampaikan pihak Belanda. Rakyat dihasut untuk tidak mengiyakan apa yang
disampaikan oleh ‘syaithan-syaithan’ penjajah itu dan mengembalikan kemurnian
fikiran dan semangat persatuan menentang pelaksanaan pembayaran belasting.
99 | Maryam Chilvalry
Dalam pada itu, di Kamang sendiri kesibukan terlihat dimana-mana. Siang dan
malam mereka terus memasang telinga atas setiap perkembangan yang terjadi.
Setiap informasi baru selalu dibahas dan dibicarakan pada setiap kesempatan yang
ada, sebelum tiba pada kesimpulan akhir.
Para pandai besi, seperti di Koto Baru Salo sebagai penerus kecanggihan apar besi
di Salimpauang (Batu Sangkar) pada zaman Paderi dahulu, telah riuh-rendah
bernyanyi dengan dencingan besi yang sedang ditempanya, menjadikan golok dan
pedang yang keampuhannya dapat memutus besi sekali pun. Dan seluruh dusun
seakan dipenuhi bunyi desau klewang (golok) yang sedang diasah dan menguji
ketajaman hasil perbuatan si pandai besi yang dikerjakan secara tradisional itu.
Sementara kaum ibu saling berbisik dan memandang bangga ke arah suami dan
anak anak mereka yang bermandikan keringat dalam mempersiapkan diri untuk
berperang, dan mencibir ke arah keluarga lain yang tidak memperlihat rasa
simpatiknya atas semangat jihat yang sedang menggelora itu.
Pada Jumat bulan Maret Abdul Wahid Kari Mudo mengadakan sebuah ‘lobby’ di
rumahnya terhadap Laras Kamang, Penghulu Kepala Tangah yang masih paman
baginya beserta saudaranya yang lain. Hasilnya mereka semua sepakat untuk tidak
membayar pajak. Keesokan harinya Abdul Wahid Kari Mudo bersama Muhammad
Saleh Datuak Rajo Pangulu dan beberapa orang lagi sengaja pula mengunjungi
Laras Kamang itu dan Penghulu Kepala ke kantornya masing-masing guna
menerangkan maksudnya untuk melakukan semacam gerakan menentang
pembayaran pajak.
Sebagai pegawai pemerintah, Laras Kamang itu dan Penghulu Kepala, tidak setuju
maksud menentang pajak tersebut, tetapi secara pribadi mereka sangat setuju dan
akan membantu gerakan itu secara diam-diam.
Dalam sebuah skenario mereka ditetapkanlah bahwa pada tanggal 20 April sebagai
hari mengadakan rapat umum di rumah Laras Kamang untuk memberikan
penjelasan kepada rakyat tentang pajak, yang dipimpin langsung oleh Kontroliur
L.C. Westenenck. Nantinya niat pemerintah ini akan digagalkan oleh Abdul Wahid
Kari Mudo dengan para pengikutnya.
Memang demikian kejadiannya. Setelah rakyat berkumpul, kepala Kontroliur L.C.
Westenenck , dipermalukan oleh Abdul Wahid Kari Mudo dengan pidatonya “rakyat
tidak dibolehkan membayar belasting. Barang siapa yang membayar pajak pada
Belanda adalah kafir !” Kemudian diikuti pula oleh Datuak Adua dari Pauah dan
Datuak Makhudum dari Ilalang. Sementara itu Tuangku Laras dan Penghulu Kepala
tidak membuat reaksi apa-apa atas tindakan Kari Mudo dan kawan-kawannya itu.
Kejadian pada 20 April itu dan apalagi melihat sikap Laras Garang Datuak Palindih,
Penghulu Kepala Datuak Sari Marajo yang seperti ‘katak diludahi’ itu, apa yang
100 | Maryam Chilvalry
dikatakan dalam fatwa politik Melayu “Sebanyak akal kucing, sebayak itu pula akal
tikus” memang telah terjadi.
Kerongkongan L.C. Westenenck bagaikan ketelan putik durian, tersekat di
kerongkongan yang sengatan durinya terus terasa, tetapi Belanda belum siap untuk
mengambil tindakan.
101 | Maryam Chilvalry
13. Hari-Hari Terakhir
KEGALAUAN dari suasana di Kampung Kamang makin hari semakin tak menentu.
Rakyat tidak konsentrasi lagi untuk menjalankan mata pencahariannya. Hati rakyat
makin berkecamuk antara cemas, benci, takut dan kecut. Karena tanda-tanda akan
terjadinya sesuatu yang maha dahsyat sudah mulai kelihatan, gonjang-ganjing
seputar perang melawan Belanda semakin memanas dan kegiatan berlatih diri di
Ngalau (Goa) Batu Biaro lebih intensif. Rapat-rapat yang digelar para pemuka
masyarakat semakin sering, baik di Surau Koto Samiak (Kamang Ilia), apalagi di Aua
Parumahan (Kamang Mudiak).
Kaum laki-laki yang membenci Belanda pada siang hari menjadi-jadi dan tidak
menampakkan dirinya, sedangkan yang pro pada Belanda juga mengendap-endap
takut akan terlihat oleh mata-mata ‘Barisan fi-Sabilillah’ yang militansi – berani
mati – dan siap ‘berputih tulang’ demi mempertahankan harga diri dan agama.
Sedangkan di sumur tepian mandi kaum ibu-ibu sambil mencuci dan mandi tidak
luput pula dari gunjing-gunjing mereka terhadap kegagahan suami dan anak-
anaknya dalam berlatih diri guna menghadapi pasukan Belanda kelak. Namun pada
sisi lain, hal-hal yang tidak terduga oleh umum dan yang tidak luput dari
pendengaran si Juru Tulis apa yang terjadi pula.
Kebetulan pula, sewaktu aku kembali dari Padang Panjang akan melaporkan hasil
perjalananku kepada Inyiak Manan, waktu itu mendapat suruhan menggantikan
tugasnya Inyiak Manan sendiri. Aku mampir dahulu di rumah Kak Siti Aisyah, istri
Mak Datuak Rajo Pangulu. Sepulang dari Rumah Kak Siti Aisyah - menuju Surau
Inyiak Manan, aku melewati rumah Etek Siti Anisyah, istrinya Mak Sikek. Sesampai
di depan ‘kaporo’ (gerbang) rumah Etek Anisyah, kebetulan bertemu dengan
Etek Anisyah sendiri dan beliau menyuruh saya mampir, tapi saya tetap berbasa-
basi. Etek Anisyah tetap memaksa dan mengingatkan janji saya dengan suaminya
Mak Sikek, bahwa aku akan mampir ke rumahnya sepulang dari Padang Panjang,
102 | Maryam Chilvalry
maka terpaksa jugalah aku untuk naik, singgah dahulu ke rumahnya, sesuai dengan
janji yang telah terkatakan.
“Assalamu’alaikum !,” sewaktu memasuki rumah, tetapi yang menjawab salamku
masih Siti Anisyah yang mengiringiku sejak dari halaman rumahnya itu.
“Mana Mak Sikek, Tek?,” tanyaku kepada Siti Anisyah.
“Tadi siang dia ke Salo, menjemput rudus yang sudah dipesan itu!,” jawabnya.
“Kalau begitu, nanti sajalah saya kembali ke sini, Tek !”
“Tunggu sajalah beliau sebentar disini. Tadi beliau juga berpesan, ‘seandainya
kamu datang sebelum beliau kembali dari Salo maka kamu disuruhnya menunggu
dulu di sini. Dan tidak lama lagi beliau akan datang !,” kata Siti Anisyah
menyampaikan pesan suaminya itu.
Sambil menunggu suaminya itu, aku duduk – duduk saja. Suasana rumah sangat
berbeda dengan rumah Siti Aisyah. Bunyi telapak kaki Ramaya yang berlari-lari hilir
mudik, sebentar-sebentar dia berlari, sebentar sebentar dia berpeluk dengan
ibunya, Siti Anisyah. Buyung Ramaya lah yang menjadi pusat perhatian dan hiburan
bagi ibu dan ayahnya. Bahkan aku yang sedang bertamu saja saat itu juga turut
terhibur melihat anak yang sedang lincah lincahnya itu.
Sesaat terbayang pula bagiku bagaimana nasib anak ini nantinya, kalau-kalau benar
menjadi kenyataan apa yang telah menjadi kehawatirannya dan telah terlontar di
mulutnya sendiri sewaktu kami latihan gabungan di belakang Surau Taluak beberpa
waktu lalu. Kalau memang ibu dan ayahnya gugur sebagai Srikandi dan Arjuna
dalam pertempuran kelak. Sambil menunggu Mak Sikek pulang dari Salo, saya coba
juga menyelami hati dan fikiran Etek Anisyah.
“Jadi juga Etek turut berjuang menghadang Ulando itu nanti ?,” tanyaku dengan
pelan kepada Siti Anisyah.
“Menurut kamu ambo tidak sunguh - sungguh. Untuk apo ambo turut bermandi
peluh berlatih, mempersiapkan diri dan menjalankan amanah bersama-sama Siti
Aisyah dan Siti Maryam itu!,” sanggah Etek Anisyah.
“Aku dan Aisyah bertugas sebagai tukang propaganda bagi kaum perempuan di
kampung ini dan berupaya pula untuk terkumpulnya beberapa sumbangan guna
membantu perjuangan ini dari masyarakat kita. Sedangkan Siti Maryam lebih sering
mendapat tugas ke Mangopoh, Pariaman dan Pasaman. Walau bagaimanapun
karena kami, Aisyah dan ambo sudah bersuami, tentu kami tidak sebebas Maryam
lagi untuk bepergian,” jelas Siti Anisyah lagi kepadaku.
“Berarti nanti, kalau waktunya telah tiba dan peperangan tidak terelakkan lagi,
tentunya Ramaya Etek tinggalakan ? Tidak ibakah Etek meninggalkan Ramaya nan
103 | Maryam Chilvalry
sedang lincah - lincah ini dan sedang membutuhkan kasih sayang ayah dan ibunya ?
Kalau-kalau dalam perang kita itu nanti Etek dan Mak Sikek selamat tidak apa-
apalah, tapi kalau Allah, Swt mentakdirkan lain, bagaimana jadinya Ramaya
sepeninggal ibunya, tidak terfikirkankah oleh Etek tentang itu ?,” tanyaku pula,
mencoba memancingnya.
“Kamu jangan lagi membuncahkan pikiranku, Juru Tulis !,” bentak Anisyah.
“Kamu ini dubilih, setan atau jiin, yang mencoba menggoyahkan keimananku untuk
melawan Ulando, si kapia itu!,” bentaknya lagi.
Tersimama (merah muka) juga mukaku jadinya.
“Nasib manusia, telah ditentukan oleh Allah, Buyuang. Hutang kita hanya menepati
saja. Harta, benda, anak, istri, suami hanyalah perhiasan dunia. Dan yang saya
harapkan adalah perhiasan Allah di akhirat nanti. Kamu harus ingat bahwa kunci
bathin itu adalah ‘Illahi anta makshudi, waredhakamatlubi’, kepada Allah semata,”
tukasnya lagi. Kamu jangan lagi membuai-buai perasaan etekmu ini Juru Tulis,
meskipun seorang perempuan. Tapi hatiku telah beku untuk fi...sabilillah demi
agamaku dan negeriku ini,” serapah etek Anisyah semakin menjadi jadi kepadaku.
Surut juga nyaliku ‘dilantiak ayam batino (ayam betina)’ itu. Ya..., terpaksalah
aku mengurut dada saja. Terperangah juga saya jadinya. Dalam keadaan terengah
setelah dibentak Etek Anisyah terdengarlah suara di batu tapak-an.
“Assalamu’alaikum !”
Mendengar suara itu sudah dapat dipastikan bahwa yang datang itu adalah Mak
Sikek, suaminya Etek Siti Anisyah.
“Wa’alaikum Salam !,” jawab kami dari atas rumah.
“Sudah kembali kamu dari Padang Panjang ?,” tanya Mak Sikek langsung padaku
sambil mengulurkan tangannya padaku untuk berjabat tangan.
“Sudah, Mak !,” jawabku.
“Terbawakah yang Mamak jemput ke Salo itu ?,” tanyaku pula.
Kemudian aku menjamba (mengambil) kain sarungku yang sengaja tadi saya
letakkan diatas bandur jendela rumah itu. Kebiasaan menyangkutkan kain sarung
kita di kusen jendela rumah tempat kita bertamu seperti itu, meskipun rumah
saudara sendiri adalah suatau tanda kepada orang lewat di depan rumah bahwa
kita sebagai tamu yang baik.
“Alhamdulillah, ada !, kelewang itu sudah saya surukkan di dalam kandang
sebentar ini !,” jawab Mak Sikek.
104 | Maryam Chilvalry
“Kalau begitu, berarti tadi itu terdengar pula oleh Mamak saya dihardik dan marahi
Etek Anisyah sebentar ini, Mak ?,” tanyaku lagi sambil tertawa geli kepada Mak
Sikek. Akalku menjalar untuk mengembalikan nyaliku akibat tamparan kalimat
istrinya yang seakan-akan saya mengadunya untuk berantam.
“Kenapa kamu dihardik oleh etekmu ?”
“Tadi saya menanyakan prihal, Ramaya ! Bagaimana dengan Ramaya nanti kalau
etek turut pula berjuang bersama kita !,” jelasku kepada Mak Sikek.
“Jelas dia marah kepadamu, kalau itu yang kamu tanyakan. Karena pertanyaanmu
itu akan mengacaukan fikirannya, sedangkan hati dan fikirannya sudah kuat untuk
meninggalkan dunia ini, demi memperjuangkan yang hak di jalan Allah, Swt,” kata
Mak Sikek pula padaku.
Rupanya aku tidak mendapat pembelaan dari Mak Sikek. Akhirnya suasana itu kami
lerai saja dengan tawa canda ria.
“Kalau begitu, Mak ! Saya tidak akan menguji mentalnya Etek lagi, nanti bisa
melayang pula induk jari kakinya ke pangkal ketiakku. Dibelah pula katiak ambo
nanti. Ha... ha... ha...!,” selorohku untuk menghilangkan ketegangan suasana itu.
Akhirnya saya, Mak Sikek dan juga Etek Anisyah sama-sama ketawa jadinya.
“Anisyah!’ Seru Mak Sikek pada istrinya ‘inilah perangai anak yang satu ini,
pemudamu yang kamu bangga-banggakan itu’, sambil dia menunjuk kepadaku ‘dia
pintar memancing amarah kita dan pintar pula membuat kita terpingkal-pingkal.
Wajar saja tidak ada orang yang dendam padanya !,” kata Mak Sikek kepada
istrinya itu.
“Betul, begitu perangainya, Tuan. Kadang kadang ulahnya menyengkelkan kita,
karena dia pintar mencongkel rahasia kita, tapi kita tidak bisa benci sama dia, kita
tetap sayang saja padanya. Wajar saja si Maryam terpedaya kepadanya !”
“Hop...!, jangan! Jangan pula Etek bongkar rahasiaku kepada Mak Sikek. Nanti
bertambah lawan perang saya disore ini. Ha... ha... ha...!,” pintasku memotong
komentar Etek Anisyah itu.
Dalam suasana senda gurau itu Mak Sikek bertanya kembali kepadaku.
“Sudahkah kau laporkan hasil perjalananmu ke Padang Panjang dan sekitarnya tadi
itu kepada Inyiak Manan atau kepada yang lain ?”
“Belum, Mak!, tapi tadi saya sudah singgah ke rumah Mak Datuak Rajo Pangulu,
ternyata beliau tidak ada. Saya hanya ketemu dengan Kak Siti Aisyah. Lama juga
saya di rumahnya itu karena ingin menunggu Mak Datuak. Dan kebetulan pula Kak
Aisyah bercerita tentang suatu hal yang sangat rahasia tetapi ceritanya itu
105 | Maryam Chilvalry
membuat jantungku gedebak-gedebur dan napasku agak sesak juga
mendengarnya.”
“Tentang masalah apa itu?!,” Mak Sikek dan Etek Anisyah minta penjelasan lebih
lanjut.
“Apakah Mamak dan Etek siap mendengarkannya?,” tanyaku pula.
“Memangnya ada kejadian apa dengan Aisyah?!,” desak mereka dengan cemas.
“Yaitu tentang kisahnya semalam penuh yang dia nikmati sepuas-puasnya dengan
Mak Datuak, suaminya,” jawabku.
“Akh!, kamu ini ada-ada saja. Mana ada orang yang mau membuka aibnya
sendiri!,” kata Mak Sikek
“kalau mamak tidak percaya, ya sudah,” jawabku ketus
“Kalau begitu, pandai betul kamu memancing hasrat orang untuk terbawa arus
olehmu,” pancing Tek Anisyah pula.
“Tapi, kenapa Aisyah sendiri mau menceritakannya kepadamu, ya?,” tanyanya
pula.
“Barangkali karena dia sangat merasa dekat dengan saya, Mak ! Saya sendiri juga
sering mengeluhkan tentang nasibku sendiri padanya, Mak. Sama halnya bagaimana
saya dengan Etek Anisyah ini!,” jawabku
“Atau... Aisyah ini sedangmeninggal - ninggalkan perangai,” gerutu Mak sikek lagi
sambil membuka peci hitam dan menggaruk-garuk kepalanya.
“Maksudnya, dia sedang mendekati ajalnya, begitu maksud Mamak?!,” desakku
“Bisa jadi begitu!, karena biasanya orang orang yang sedang dalam hitungan empat
puluh hari atau tujuh hari sebelum dia meninggal dunia sering dia bertingkah yang
tidak biasa dia lakukan sebelumnya atau bercerita tentang hal hal diluar dugaan,
aneh-aneh!,” jelas Mak Sikek
“Berarti Kak Aisyah akan gugur nantinya dalam pertempuran pada saat
mengahadapi Ulando itu ? Tapi, Mamak jangan berprasangka seperti itulah, Mak !
Saya tidak mau kehilangan Kak Aisyah dan bahkan pejuang lainnya, termasuk Etek
saya ini, Etek Anisyah, Mak !” kataku dalam kecemasan.
“Iya !, kita memang tidak berprasangka dan bahkan saya pun berharap sama
seperti harapanmu itu, tidak mau semua itu terjadi ! Tapi, ya…!, begitulah pada
galibnya !,” jawab Mak Sikek lagi.
“Hei !, kalau mengenai apa yang dia lakukan dengan suaminya itu untuk apa kamu
ceritakan kepada kami. Toh kami pun punya kisah pula !, tapi nasibmu sendiri
106 | Maryam Chilvalry
bagaimana dengan Maryam ?,” tukas Etek Anisyah memotong pembicaraan kami
dan sekaligus meledekku.
“Mati kau !, kena batunya lagi kan ?,” timpal Mak Sikek lagi kepadaku.
“Tapi, kadang-kadang kamu lucu juga, pandai membangkitkan suasana. Dengan
caramu seperti itu kejumutan fikiran hilang juga jadinya. Ya, begitulah
perangaimu itu !,” kata Mak Sikek pula padaku sambil tersipu-sipu.
“Sekarang begini sajalah, kamu simpanlah segala kisah dan segala peristiwa yang
kamu dengar dan yang kamu saksikan dalam ‘keranda mutiaramu’, dan pada suatu
saat nanti kamu tulislah pada kitabmu sepatah kalam-mu dan sekering dawatmu
menuliskannya !,” kata Etek Anisyah pula.
“Dan sekarang kita makan bersama dulu, dan saya akan ke dapur untuk
mempersiapkannya dan kamu belum boleh pergi, ya! ,” seru Etek Anisyah padaku.\
Sambil mengendong Ramaya Etek Anisyah beranjak ke dapur, sementara kami
dengan Mak Sikek tetap melanjutkan obrolan kami. Tanpa aku duga, dengan suara
pelan dan sambil menghampiriku Mak Sikek pun betanya.
“Apakah selama ini pimpinan kita sudah menurunkan ilmunya kepadamu ?”
“Beberapa yang penting sudah, Mak,” jawabku dengan serius.
“Ilmu apa saja yang telah kamu dapatkan,” desak Mak Sikek lagi.
“Diantaranya ilmu silat, ilmu meringankan tubuh, ilmu tahan peluru, ilmu
petunduk, dan sedikit ilmu pemanis, Mak!,” jawabku dengan polos.
“Apakah itu saja !,” desaknya lagi.
“Iya ! Memangnya kenapa, Mak ?” kataku pula kepada Mak Sikek.
“Kalau ilmu-ilmu semacam itu sudah umum bagi anak muda, apalagi dalam suasana
seperti sekarang ini. Kepada siapa saja sudah disebarkan oleh orang-orang pintar,
termasuk dari Inyiak Manan sendiri. Bukan kepadamu saja diturunkan ilmu itu,
bahkan kepada etekmu ini, kepada Aisyah atau pun kepada Maryam sekalipun !,
tapi ada yang lebih khusus lagi, yang harus kamu miliki !,” kata Mak Sikek pula.
“Tapi, Mak !, rasa-rasanya tidak ada artinya bagi hidup ini semua ilmu-ilmu itu.
Sebab saya sangat yakin, walau bagaimana pun hebatnya ilmu itu kalau Allah, Swt
berkehendak lain, toh manusia juga tidak dapat berbuat apa apa ! Suratan kita
sudah jelas sebagaimana yang telah dijanjikan Allah, Swt. Sewaktu roh menimpa
jasad semasa masih di dalam rahim ibunya. Saya hanya menyerah saja kepada
Allah tentang apa yang akan dia timpakan kepada kita. Maka kita harus dengan
ikhlas menerimanya, Mak !,” jelasku kepada Mak Sikek dengan sejujurnya, karena
107 | Maryam Chilvalry
akhirnya aku pun tidak bergantung dan bahkan tidak mempurganakan ilmu-ilmu
tersebut dalam hidupku, tidak lain hanya sekedar untuk mengetahuinya saja.
“Kata-katamu itu memang benar, sayapun tidak akan membantahnya !, tapi yang
satu itu sangat lain dan sangat perlu, apalagi kamu pada suatu saat nanti juga akan
berkeluarga !,” kata Mak Sikek lagi.
Karena saya malas untuk bersitegang urat leher dengan Mak Sikek, maka saya coba
juga untuk memperturutkan desakannya itu.
“Ilmu apa itu kira-kira, Mak ?,” tanyaku pula.
Dengan penuh semangat dan dengan matanya yang sedikit terbulalak menerangkan
kepadaku tentang khasiat ilmu yang satu itu.
“Ilmu itu gunanya untuk menjaga istri kita, supaya orang yang berniat curang dan
jahat di belakang kita tidak berani mencoba menidurinya, kalaupun dia paksakan
juga akhirnya ‘kemaluan’-nya itu tidak akan berfungsi lagi selama-lamanya. Tidak
akan bisa dipergunakannya lagi sampai dia mati, kecuali hanya untuk terkencing
saja ! Cobalah kamu ambil selembar rambutmu itu lalu kamu bakar, kira-kira
seperti itulah bentuk ‘kemaluan’-nya itu nantinya, setelah dia meniduri istri kita
itu !,” terang Mak Sikek padaku.
Mendengar penjelasan Mak Sikek itu, akhirnya saya bersemangat pula jadinya.
“Sudah ada buktinya, Mak ?,” tanyaku pula
“Kalau buktinya yang kamu tanyakan, bagaimana caranya membuktikan, kalaupun
sudah ada yang teraniaya seperti itu siapa pula yang mau mengakuinya. Kan
‘mancabiak baju di dado’ juga jadinya,” jelas Mak Sikek pula.
“Panjangkah bacaan do’anya, Mak ?, dan kepada siapa saya dapat menuntut ilmu
itu ?,” desakku dengan antusias pula kepada Mak Sikek.
“Itu kan ?!, makanya jangan terburu-buru dulu untuk mengatakan tidak. Kan sudah
ada pepatah yang mengatakan ‘jika manis jangan terburu-buru menelannya, dan
jika pahit jangan terburu-buru pula memuntahkannya’. Ilmu batin itu bukankah
juga merupakan do’a-do’a kita kepada Tuhan ! Nah, ternyata sekarang kamu
bersemangat pula untuk memilikinya bukan ? He, he, he…!,” ledek Mak Sikek lagi
kepadaku sambil terkekeh-kekeh.
Agak malu juga aku jadinya karena kecongkakanku sebelumnya, sehingga akupun
diledek oleh Mak Sikek. Tapi aku memang merasa perlu akan ilmu itu.
“Begini!, ada suatu jalan yang aku tunjukkan padamu. Seandainya pemimpin kita
tidak berkesempatan lagi mengasihkan ilmu itu kepadamu, karena tidak ada lagi
waktu yang senggang, maka janganlah gusar, karena ilmu itu pun telah sampai
108 | Maryam Chilvalry
kepada Etek Siti di Mangopoh. Pada suatu kali nanti cobahlah kamu telusuri ke
sana. Kamu tuntut lah ilmu itu kembali kepada Etek Siti Mangopoh itu !”.
Dalam merenung, menyimak penjelasan Mak Sikek itu, terbayang olehku
‘barangkali inilah sebabnya kenapa pemimpin perlawanan ini dan para kaum laki-
laki tidak menyangsikan untuk meninggalkan para istri mereka kelak. Bahkan untuk
beberapa orang suami rela pula melepas istri-istrinya untuk berjuang
mempertaruhkan nyawanya. Mereka percaya bahwa anaknya tidak akan berbapak
tiri dan para ibu-ibu atau pun para gadis tidak khawatir pula mahkotanya akan
dirampas oleh cecunguk-cecunguk Ulando itu nantinya. Agaknya pula, Maryam sang
kekasihku juga telah menimba ilmu ini dari pemimpin perlawanan ini atau dari
Etek Siti Mangopoh sendiri, karena dia sering menemuinya dalam
mengkonsolidasikan perjuangn ini. Tapi, kenapa Maryam tidak pernah berterus
terang padaku tentang satu hal ini, ya ?! Bisik hatiku lagi. Akhirnya aku dikagetkan
dari lamunan itu dengan suara Mak Sikek lagi.
“Persoalan yang satu inilah sebetulnya yang ingin aku bicarakan denganmu !,
makanya saya suruh kamu untuk mampir hari ini dan malah saya pesankan pula
kepada etekmu ini tadi pagi, sebelum aku berangkat ke Salo itu,” kata Mak Sikek.
Dalam pada itu istri Mak Sikek pun telah menghidangkan nasi yang asapnya sedang
mengebul-ngebul. Maka kamipun segera menikmatinya, namun tidak sepatah
katapun diantara kami ada yang keluar, keculai Etek Anisyah dan Mak Sikek
sesekali mencuri pandang, seakan-akan mereka berbicara dalam bahasa isyarat.
Entah apa arti dan maksudnya sampai sekarang pun saya tidak bisa menebaknya.
Makan di rumah Etek Siti Anisyah sore itu terasa nikmat sekali, karena sebelumnya
kami terlibat dalam pembicaraan yang penuh arti, meskipun kadang kala dalam
suasana berseloroh. Atau mungkin juga lantaran udara terasa dingin karena hujan
di sore itu telah turun pula. Dan yang pasti saat itulah aku makan terakhir kalinya
di rumah Etek Anisyah sekeluarga.
Sebagaimana kisah yang aku bayangkan di hadapan Mak Sikek dan Etek Anisyah
sebelumnya, maka sewaktu aku bertamu ke rumah istri Mak Datuak Rajo Pangulu,
109 | Maryam Chilvalry
di itulah aku mendapatkan sebuah panorama kehidupan dalam keluarga yang
harmonis, romantis namun tetap dalam adab ke-Minangkabau-an. Namun, 'lain
lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya', begitu kata pepatah
menggambarkan tentang khasanah kosmologi itu kepada kita dari para filusuf,
leluhur Minangkabau dahulu kala. Kata-kata bijak itupun sangat luas cakupannya
termasuk kepada tingkah, perangai maupun kisah dan kenangan yang dialami
setiap orang yang tidak sama satu dengan yang lainnya.
Pada suatu pagi, aku diajak seorang sahabat untuk minum pagi dirumahnya selesai
kami shalat berjamaah di surau. Tak hayal lagi karena hidup masih membujang
maka aku pun mengamini ajakan sahabat tersebut.
Tapi melihat suasana keluarga yang masih belum mempunyai momongan sibuah
hati itu, dia senasib dengan Mak Datuak Rajo Pangulu dan Kak Siti Aisyah. Meskipun
berbeda kondisi, pengalaman hidup dan kisahnya masing-masing. Bagiku tidak lain
adalah semacam kekayaan khasanah saja.
Entah apa sebab musababnya dan firasat apa yang berembus di hati sahabatku itu
dia mulai berkisah sambil menikmati kopi pagi dan ketan merah dengan kalio
rendang hangat, yang masih dipanaskan dengan bara api sabut kelapa. Wanginya
disapu-sapu semelir angin dipagi hari melayang-layang entah kemana-mana
membuat kelenjer air ludah memercikkan air bening di pinggir lidah, menerbitkan
selera untuk menyantapnya.
Katanya, sepulang melihat padi di sawahnya sehabis zohor kemarin dia bertanya
pada istrinya, paling tidak sekedar melepaskan unek-unek yang menyelimuti
fikirannya tentang alasan sesungguhnya terhadap kemauan yang keras dari istrinya
yang mengikhlaskannya akan turut berjuang menentang belasting yang sedang
diperjuangkannya itu. Meskipun istrinya sendiri wallahu a’lam akan turut
berperang nantinya, namun sekedar membantu Maryam dalam propaganda guna
membangkitkan semangat juang bersama pada masyarakat telah menjadi ‘cermin’
bagi masyarakat.
“Ambo mau bertanya pada awak tentang satu hal,” katanya kepada istrinya.
“Apa yang ingin Tuan tanyakan pada ambo?,” jawab istrinya.
“Kenapa awak mengikhlaskan ambo untuk turut berjuang menentang Ulando
bersama pejuang anti belasting lainnya itu, apa alasan awak yang sesungguhnya?,”
tanya sahabatku itu lagi kepada istrinya.
“O, itu yang mau Tuan tanyakan pada ambo?,” istrinya balik bertanya.
“Hal ini adalah sebuah pertanyaan penting bagi ambo sebagai salah seorang
anggota pasukan Inyiak Manan, dan pertanyaan ini harus awak jawab dengan
sunguh-sunguh!”
110 | Maryam Chilvalry
“Begini, Tuan! Ambo lihat pemimpin kita yang bertiga itu, yaitu Inyiak Manan, Mak
Datuak Rajo Pangulu dan Tuan Kari Mudo itu adalah gambaran pemimpin di
Minangkabau. Mereka benar-benar Tali Tigo Sapilin.
Inyiak Haji Abdul Manan, Tuan Kari Mudo dan Mak Datuak Rajo Pangulu tidak
seorang pun yang dapat dikatakan mana yang pemimpin utama dari mereka, sebab
beliau bertiga itu berfungsi pada posisinya masing- masing dalam satu tekad dan
satu tujuan yang sama. Seperti yang awak pahami, Inyiak Manan adalah seorang
Ulama, Mak Datuak Rajo Pangulu sebagai Ninik Mamak. Sedangkan Tuan Kari Mudo
adalah seorang cerdik pandai, karena dia seorang berilmu, berfaham tapi tidak
seorang penghulu dan juga tidak sebagai seorang ulama. Sementara pemimpin yang
diinginkan oleh penjajah itu adalah pemimpin tunggal, yaitu pimpinan yang berada
pada satu tangan saja. Dia mengatur segala-galanya. Jika bertampuk dia seorang
yang memegang, jika bertangkai dia seorang menggenggamnya. Itulah dia seperti
Angku Palo, Angku Lareh hasil perbuatan Ulando itu. Bukankah begitu, Tuan?”
tanya istrinya kepada sahabatku itu, mempertegas penyampaiannya.
“Ya! Tepat sekali!, lalu dari mana kamu mendapatkan kalimat-kalimat seperti itu?”
Sahabatku itu tercengang mendengar penjelasan istrinya itu, meskipun hakikat
pertanyaan yang dituntutnya belum terjawab oleh istrinya itu.
“Dari Maryam, Tuan. Ambo kan sering berjalan dengannya di kampung ini. Maka
sepanjang perjalanan itu sering kami bertukar pikiran tentang banyak hal,” jelas
istrinya.
“Nah, suatu hal lagi. Kak Siti Aisyah dan suaminya Mak Datuak Rajo Pangulu akan
langsung turut berperang, Siti Maryam juga demikian dan Etek Siti Anisyah sudah
mengikhlaskan pula dirinya bersama suaminya untuk meninggalkan anaknya
Ramaya yang masih kecil kalau dia gagal dalam peperangan itu nanti. Dan kalau
ambo mempunyai kemampuan dan kepintaran berperang seperti mereka itu
tentunya ambo akan turut pula ke medan lagi itu. Makanya ambo hanya
mengikhlaskan Tuan untuk turut dalam perjuangan suci itu,” tambah istrinya lagi
menjawab tuntutan suaminya itu.
“Meskipun nanti Tuan - junjungan jiwa dan badan ambo – gugur dalam
pertempuran itu tentu ambo akan hidup sendirian, sebab tidak ada lagi orang
sebagai sandaran jiwa dan badan, tidak ada lagi orang sebagai curahan kasih dan
sayang. Maka tidak obahnya ibarat pantun orang juga Tuan,” sambung istrinya:
‘Nan karimbo rasak nan banyak Nan tumbuah di kaki Singgalang. Nan kalawan galak nan ka kabanyak Nan kok rusuah ka ambo surang’.”
(Kerimba rasak [kayu] yang banyak
111 | Maryam Chilvalry
yang tumbuh di kaki [gunung] Singgalang.
Untuk ketawa kawan yang banyak
yang rusuh [risau] aku seorang)
“Kenapa awak tidak punya alasan lain dan berbicara tentang masalah yang lain,
seperti kalau perlawanan ini kita menangkan maka si kafir itu tidak akan jadi
menjajah kita. Seluruh rakyat akan betul-betul menikmati kemerdekaannya,
mereka akan menikmati hasil buminya sendiri secara bulat dan utuh,” sanggah
sahabatku itu lagi kepada istrinya, menirukan kembali ucapannya kepadaku.
“Tentu saja, Tuan-ku...!”
“Kan dalam perang itu kita dihadapkan pada dua pilihan saja. Hidup atau mati!”
“Maka, lebih baik kita bicarakan dulu sesuatu kepahitan yang akan kita tempuh
nantinya.”
“Seandainya, Allah Swt mentakdirkan, dalam pertempuran itulah ajal kita sampai,
Malaikat Izrail mencabut nyawa kita yang tersebabkan oleh peluru mesiunya
pasukan Ulando itu, maka tamatlah semua perjalanan hidup kita. Di akhiratlah
tempat kita bertemu kembali!. Iya, kan Tuan?!,” kata istrinya, yang ditirukan
sahabatku itu sambil menghirup kopi pada cawan porsolen buatan cina yang
bermotif kembang sepatu itu. Menirukan jawaban istrinya itu, tersedak
kerongkongannya sewaktu menelan kopi pahit itu dan buru-buru menyanggah
pernyataan istrinya.
“Nah, kenapa kamu tersedak,” kataku kaget padanya.
“Ya, karena dia bicara soal kematian, kawanku, Juru Tulis,” katanya padaku
“Memangnya kenapa, kematian adalah ketentuan, mutlak hukumnya bagi setiap
yang bernyawa, bukankah begitu?,” jawabku pula
“Ya, memang!,” jawabnya pintas
“Nah, apa lagi dalam sebuah peperangan. Sudah jelas tantangannya ‘hidup atau
mati’, seperti yang dikatakan istrimu itu” Kataku padanya
“Terus, bagaimana lagi kelanjutan cekrama kalian, kemarin itu?” Pancingku lagi
“Ya, apa yang akan kita risaukan Tuan, kalau memang kita ditakdirkan meninggal
dalam pertempuran itu ‘si buyung tak ada yang akan menangis, si upik pun tak ada
yang akan meratapi kita’!” Kata istriku lagi.
112 | Maryam Chilvalry
Sekilas aku menangkap terjadi perubahan sinar wajah dan sedikit matanya berlinag
menyertai geleng-geleng kepalanya sambil meletakkan kembali cawan kopi ke
tatakannya seakan dia mengeluhkan tingkah istrinya itu.
“’Kemudian istriku itu masuk kedalam kamar, meninggalkanku sendirian di tengah
rumah yang sedang menikmati rokok yang asapnya mengepul-ngepul,” ulasnya
padaku
“Maklumlah sajalah kamu, sepasang suami-istri itu belum diamanahkan oleh Allah,
Swt. seorang keturunan pun, dan kamu juga tau bukan bahwa istriku ini adalah
perempuan semata wayang pula oleh keluarganya, meskipun dia punya kakak dan
adik tetapi laki-laki semua. Sehingga rumah kami ini terasa sunyi dari suara anak
anak,” sambungnya lagi
“Tau-ataunya,” katanya lagi kepadaku dengan mendongakkan sedikit kepala
dengan wajahnya berseri, “ istriku keluar dari kamarnya dan bertanya padaku.”
“Taukah kamu apa yang terjadi selanjutnya?” Tanya dia pula padaku.
“Ya, apa?” akau balik bertanya padanya
“Tau-taunya, istriku keluar dari kamarnya dengan membawa tiga potong baju yang
sudah lama tersimpan di lemari ke hadapanku yang diringi pertanyaanya...’Tuan,
manakah yang bagus kebaya ini untuk ambo pakai sekarang?’,” tanya dia kepadaku
sambil memperlihatkan tiga helai kebaya panjang yang masih dalam keadaan
terlipat. Tentu saja saya terperanjat, “Juru Tulis !,” katanya padaku. Akupun tak
berkedip mendengarkan ucapannya yang diiringi semangatnya yang mulai berapi-
api.
“Baju apa maksudmu, kawan?,” tanyaku dengan penuh antusias
“Satu lembar kebaya itu adalah kebaya kurung yang sedikit saja tekukan gunting di
bahagian lehernya, seperti huruf. V (ve), sedangkan dua lembar lagi adalah kebaya
panjang yang berbelah lepas di tengahnya,” jelasnya.
Biasanya kebaya panjang yang berbelah lepas di tengahnya itu mempergunakan
peniti yang berderet ke bawah untuk mengenakannya di badan. Dan biasanya pula
kebaya tersebut dipergunakan untuk menghadiri jamuan atau perhelatan sering
penitinya berupa rupiah emas Amerika.
Rupiah emas merupakan jenis mata uang Amerika yang terbuat dari emas 24 karat
beratnya berkisar 7,5 gram. Rupiah emas ini ada berupa rupiah emas polos, ada
pula yang dijadikan mainan lontin dan sering juga dikasih peniti emas di tengah-
tengah untuk disematkan di baju kurung perempuan Minang. Kaum perempuang
Minang menjadikan rupiah emas Amerika ini sebagai simbol atas keberadaannya.
Dan sering pula dijadikan sejenis tabungan karena harganya selalu naik bila
dibandingkan nilai uang.
113 | Maryam Chilvalry
“Memangnya awak mau kemana?, siapa yang berhelat?,” tanyaku penuh heran saat
itu.
“Tidak kemana-mana Tuan!, tidak ada pula orang yang berhelat sekarang ini! Cuma
ambo ingin sekali memakai salah satu diantara kebaya yang saya sukai ini. Setelah
mandi sore nanti ambo akan berdiam diri saja di rumah bersama Tuan, ambo akan
memakai salah satu dari kebaya kebaya ini, hasil pilihan Tuan. Tuan tidak kemana-
mana bukan?!,” tukasnya lagi
“Ya, ambo memang tidak ke mana-mana, ambo saat ini ingin beristirahat dulu di
rumah! Kalau begitu kenapa awak akan memakai kebaya, sedangkan kita di rumah
saja?,” tanyaku lagi menyambung jawabannya itu.
“Entah kapan lagi rasanya ambo akan memakai kebaya pembelian Tuan ini,”
jawabnya
“Sebetulnya bukan Aisyah saja yang berprilaku sedemiakian, baik laki-laki maupun
perempuan pada pekan-pekan ini, berusaha menggembirakan hatinya masing-
masing dengan mengenakan pakaian bagus-bagus setiap harinya. Karena mereka
sudah siap berhadapan dengan ‘maut’. Dan kalau memang kematian menjadi
kenyataan, kapan lagi akan mengenakan pakaian yang bagus-bagus itu. Itulah
anggapan rmereka yang sudah siap untuk berperang belawan Ulando nantinya,”
komentarku pula, mencoba menghibur sahabatku itu.
”Tapi bukan sebegitu saja, Juru Tulis, dia, istriku itu melontarkan kata-kata pula
’Tuan, semakin hari perasaan ini semakin tidak enak. Rasa-rasanya akan ada
sesuatu yang akan terjadi pada kita, Tuan! Maka, izinkanlah ambo memakai kebaya
ini pada malam ini, dan tolonglah Tuan pilihkan yang mana akan ambo kenakan
nanti. Ada-ada saja perangai istruku itu,” Sambil gelelng-geleng kepala dia
mengkisahkan tingkah istrinya
”Lalau kamu pilihkan?,” aku semakin ingin tau akan cerita yang semakin
mengasikkan itu.
”Begini, Juru Tulis, ambo katakan sama dia ’masak ambo yang disuruh memilih,
sedangkan yang akan memakainya adalah awak sendiri!,” kataku padanya, tahukah
kamu jawabannya Juru Tulis?
”Ya, tidaklah kawan, dari mana pulaku tau! Kamu ini ada-ada saja.”
Sambil setengah berbisik dengan sedikit membungkukkan tubuhnya ke arahku dia
kembali menirukan kalimat istrinya.
“Iyalah, Tuan!, kan yang melihat bagus atau tidaknya tentu orang yang
memandang. Sedangkan orang yang akan menikmati atau merasakan keindahan itu
adalah Tuan sendiri! Katanya lagi padaku”.
114 | Maryam Chilvalry
Kawanku semain berbinar. Aku pun mulai tersimpul-simpul pula melihat gaya
sahabatku meragakan gaya istrinya yang bermanja dengannya tentang selembar
kebaya.
“O, ya… ya!. Terserah awak sajalah mana yang lebih pantas untuk awak kenakan.
Ambo menyukai ketiganya. Jadi ambo tak dapat membedakannya. Mana yang awak
kenakan itulah yang terbagus!”
“Betulkah begitu, Tuan?”
“Iya, betul begitu!”
Tanpa disadari kami yang sedang berleha-leha diberanda depan rumahnya itu kami
dipergok oleh istrinya.
”Apa mempergunjangkan awak pula Tuan-tuan, ya?!”
”Tidak, tidak! Siapa yang mempergunjingkan kamu sepagi ini,” jawabku agak
gagap. Rupanya selentingan menjelang di menjumpai kami di beranda itu dia sudah
mendengar senda gurau kami itu.
”Ke dapur saja lah awak atau pergilah mencuci ke pancuran biarlah kami maota-
maota (ngobrol)saja disini!,” timpal sumainya, kawanku itu.
”Iya pula yang disampikan suamimu ini, biarlah kami angsur-angsur juga mncicipi
ketan dan kalio masakan kamu ini,” kataku pula.
”Iya, dihabiskan itu ketannya itu Tuan!,” serunya pula kepadaku
”Iya, terimakasih. Siapa pula yang tidak mau menghabiskan makanan yang seenak
ini!,” sanjungan pula padanya.
Istrinya itu berlalu dari hadapan kami, seperti berkemas-kemas membersihkan
kamarnya dan memisahkan kain-kain yang akan dicuci pancuran, tepian umum di
kampung itu.
Setelah mandi dan Shalat Ashar, mereka hanya mengaso saja di rumah dan
menjelang Shalat Magrib mereka makan bersama, tapi Aisyah ternyata tidak
mengenakan kebaya yang dia perlihatkan siang tadi pada suaminya. Sehingga
sewaktu makan sore, bertanya tanya sendirian sajalah Dt. Rajo Pangulu dalam
hati. Mau ditanyakan langsung kepada Aisyah kenapa tidak jadi dia mengenakan
kebaya itu agak ragu pula. Masih dalam suasana sedemikian Aisyah berkata pada
suaminya.
“Tuan, kali ini ambo tidak Shalat Maghrib di Surau, ya! Tuan sajalah yang pergi ke
Surau. Tapi Shalat Isya nanti kita berjamah saja di rumah. Tidak apa bukan?,” kata
Aisyah pada suaminya dengan sedikit bergaya memanjakan diri.
115 | Maryam Chilvalry
“Ya, tidak apalah!,” jawab suaminya dengan singkat.
Sepulang dari Surau, Dt. Rajo Pangulu mendapati istrinya sudah mengenakan baju
kebaya dengan sedikit polesan berhias diri. Ternyata kebaya panjang yang
dikenakan Siti Aisyah adalah yang berbelah di tengah dan dilihatnya peniti yang
terbuat dari rupiah emas telah berderat pula dari atas sampai ke bawah,
setentangan pusatnya. Peniti-peniti dari rupiah emas itu mempertemukan kedua
ujung kebaya tersebut.
Semerbak bau kasturi pun terlintas meransang penciuman Dt. Rajo Pangulu.
Sehingga suami Siti Aisyah ini semakin terheran - heran melihat tingkah isterinya
semenjak pagi tadi, yang terlihat agak aneh-aneh, tidak seperti biasanya.
Dt. Rajo Pangulu duduk di tengah rumah selesai dia bersalin di kamarnya, Siti
Aisyah menghidangkan secangkir minuman khas waktu itu, yaitu aia kawa,
bercampur santan, madu dan sedikit irisan jahe merah yang masih hangat. Aia
kawa adalah air seduhan daun kopi arabica atau robusta yang telah tua dan
dikeringkan dengan cara mendiangkan (diasap) dengan cara menusuk daun-daun
kopi yang telah tua itu dengan lidi lalu digantungkan di atas tungku kayu. Setelah
daun itu kering dan berwarna coklat lalu diremukkkan bagaikan teh. Serbuk inilah
yang diseduh dengan air panas dalam tabung bambu hingga dingin airnya. Tabung
bambu itu dikenal juga dengan nama ‘katiang’.
“Minuman apa ini yang awak bikin?,” tanya Dt. Rajo Pangulu
“Santan dan aia kawa, Tuan!”
“Eh, biasanya kan pada pagi hari minuman ini awak buatkan untuk ambo, kenapa
sekarang, pada malam hari awak buatkan?,” tanya suaminya lagi.
“Iya, Tuan!, tadi ambo lupa membuatkannya, maka sekarang saja ambo
bikinkan!’”
‘Kalau Tuan tidak suka, ya tidak apa-apa, biarlah ambo buang kembali!,” jawab
Aisyah dengan sedikit merajuk, takut kalau suaminya tidak mau meminum
minuman yang berkhasiat itu.
“O, o…! Tidak, tidak Aisyah! Ambo kan cuma bertanya saja pada awak. Kalau sudah
dibuatkan ini ya..., untuk apa dibuang. Kan mubazir kalau dibuang. Diminum juga
tidak ada salahnya!,” jawab suaminya yang takut istrinya akan kecewa karena dia
sudah cape-cape membikinkannya.
“Tapi, kenapa berbusa airnya, Aisyah?,” tanya Dt. Rajo Pangulu lagi.
“Tentu saja berbusa, Tuan! Kan minuman itu juga ambo campur pula dengan
kocokan kuning telor itik,” jawab Aisyah dengan malu-malu kucing.
116 | Maryam Chilvalry
“Aaaa..., agak panas pula kerongkongan ambo dan menyengat ke hidung!, rasa apa
pula itu Aisyah?!,” kata Dt. Rajo Pangulu pula.
”Akh, Tuan!, masak segala ditanya, tentu saja agak panas dan menyengat rasnya
Tuan. Kan ambo kasih pula air parutan sipadeh siarah dan sedikit merica, kayu
manis, Tuan!,” jawab Aisyah dengan tersipu-sipu malu kepada suaminya.
Dt. Rajo Pangulu pun tertawa tawa kecil melihat tingkah istrinya itu, dan Siti
Aisyah pun tertawa geli juga karena malu seakan-akan niatnya yang terselubung
tertebak oleh suaminya. Sehingga dalam suasana saling tertawa itu mereka tanpa
sadar telah ber-‘endek endek’-an pula. Endek-endekaan adalah senggol senggolan
dengan bahu kanan dan bahu kiri pasangan.
Sehabis minum santan-aia kawa yang ditambah telor itik dan ramuam rempah-
rembah tradisional tersebut dari kejauhan terdengarlah bunyi beduk berirama
menandakan waktu Shalat Isaya sudah tiba. Maka Dt. Rajo Pangulu pun berkumur
kumur dengan air putih dan berdiri untuk mengambil wudhuk ke belakang. Siti
Aisyah pun bergegas pula untuk berwudhu karena mereka akan melaksankan Shalat
Isya berjamah.
Selesai Shalat, Siti Aisyah mengemas mukena dan dua buah sajadah yang
terbentang, kemudian masuk ke kamarnya. Dan Dt. Rajo Pangulu duduk kembali
bersandar di dinding rumah persis menghadap kearah kamarnya sambil mempelintir
sebatang rokok yang terbuat dari daun nipah yang digulung dengan tembakau dari
Nagari Guntuang di Luhak Limo Puluah Koto. Sesaat kemudian Siti Aisyah muncul
kembali di pintu kamar dan langsung berhadapan dengan suaminya yang sedang
mengkulum asap rokok.
“Tuan, bagaimana menurut Tuan pakaian kebaya yang ambo kenakan ini?,” anya
Aisyah.
“O, bagus!, ambo suka dengan pakaian yang awak kenakan itu. Cocok sekali
dengan paras awak!,” jawab Dt. Rajo Pangulu memuji kecantikan istrinya itu.
Kalau mengenai kecantikan Siti Aisyah, apa yang hendak dikata. Belanda saja
sering mengeluhkannya. Kontroler Westenenck sendiri mengakui akan kemolekan
istri Dt. Rajo Pangulu itu, sehingga Westenenck sangat heran kenapa wanita muda
yang secantik itu mau mensucikan dirinya dan mau mati syahid dalam berperang.
Lalu Aisyah menghampiri suaminya, dan duduk di sebalah kiri suaminya.
“Taukah Tuan apa maksud ambo berpakaian seperti ini pada malam ini?”
“Memangnya mengapa?,” tanya suaminya pula.
“Malam ini sepertinya malam terakhir bagi kita untuk bersama di rumah kita ini,
Tuan!”
117 | Maryam Chilvalry
“Ya, barangkali firasat kita sama, Aisyah! Perang sudah diambang pintu. Belum
taulah bagaimana nasib kita selanjutnya. Cuma saja ambo tidak memperlihatkan
kegundahan ambo itu kepada awak atau pun kepada orang lain. Ambo khawatir
nantinya akan melemahkan semangat perjuangan kita,” jawab Dt. Rajo Pangulu.
“Makanya ambo sangat menginginkan tiada tersisa dan terbuang waktu semalam ini
bagi kita. Ambo tidak mau malam ini waktu kita terbagi kepada yang lain, Tuan!,”
tukas Aisyah pula.
Dt. Rajo Pangulu berdiri, berjalan kearah kamarnya, dan menggantung kan peci
hitam berlilitkan kerutan kain sutra hitam yang dikenakannya itu di sisi samping
pintu kamarnya. Sambil berdiri itu Dt. Rajo Pangulu pun bertanya kembali kepada
isterinya.
“Kenapa awak pakai peniti rupiah itu semuanya ? Kalau sempat terlihat orang bisa
bikin susuah juga nantinya!”
Sambil berdiri dan menyusul ke tempat suaminya berdiri itu, Aisyah mencoba
menjawab tanya sumainya itu.
“Karena ambo ingin segala perhisan ambo ini, hanya Tuan yang mengumpulkan dan
menggenggamnya dengan erat,” jawab Aisyah.
Maklumlah, Dt. Rajo Pangulu adalah seorang ninik mamak yang sangat paham
dengan maksud kata malereng dari isterinya itu, apalagi semenjak dari siang tadi
kurenah isterinya pun sudah menunjukkan ada sesuatu hasrat yang harus
ditunaikannya.
Bagi Dt. Rajo Pangulu sendiri rasa hangat telah mulai menjalar naik di sela-sela
tulang punggungnya menuju pundak dan kepalanya, dari kepala pun sudah
menyebar ke seluruh tubuh, otot-ototnya sudah mulai mengencang. Apakah karena
pengaruh ramuan minuman yang dibuatkan isterinya tadi atau karena mendengar
resah suara yang melirih dari istrinya itu. Atau mungkin juga karena sudah
‘serentak niat dan takbir’ untuk menunaikan nafkah bathin.
Dt. Rajo Pangulu berbalik dan melangkah untuk mendekati istrinya, dan mencoba
untuk memagang pundak istrinya yang terlihat sudah mulai agak kaku itu untuk
dirangkul dan didekapnya. Dalam dekapan yang penuh kehangatan itulah dada Dt.
Rajo Pangulu merasakan sesuatu yang hanya dibatas oleh selembar kain kebaya
yang lembut dan tipis itu.
Tapi Aisyah seakan meronta dengan gerakan-gerakan kecil yang lambat, seakan dia
ingin melepaskan tubuhnya dari dekapan suaminya itu. Ternyata gerakan kecil Siti
Aisyah itu semakin membubungkan darah Dt. Rajo Pangulu, sehingga dia semakin
mengeratkan rangkulannya.
118 | Maryam Chilvalry
“Aisyah, apakah maunya awak juga ambo yang akan membuka satu persatu peniti
rupiah yang menyemat baja awak ini?,” tanya suaminya dengan suara setengah
berbisik sambil merenggangkan rangkulannya pada Aisyah.
“Rupanya Tuan sangat arif sekali, tapi kenapa dari tadi siang Tuan seolah tidak
mengerti apa sebenarnya yang ambo maksud dan inginkan?,” kata Aisyah pula
yang saat itu tangan kirinya diletakkannya di bidang dada suaminya sebelah kanan,
sedangakan jari telunjuk dan jari malangnya tangan kanannya mencoba untuk
masuk disela-sela kancing baju ‘ganiah’ bergunting teluk belanga yang dikenakan
Dt. Rajo Pangulu untuk mengukir dada suaminya dengan lembut.
Dt. Rajo Pangulu membuka semat peniti dari rupiah emas di baju istrinya itu satu
persatu dan sambil melangkah ke pinggir tempat tidurnya di dalam kamar,
mencoba untuk menenangkan darahnya dan mengalihkan sedikit perhatiannya. Dia
menerangkan suatu penjelasan tentang pertanyaan istrinya itu.
“Aisyah, seharusnya kita sebagai seorang yang ‘berpaham’ tidak harus serta-merta
menanggapi sesuatu yang kita dengar, yang kita lihat atau pun sesuatu yang dapat
kita rasakan. Meskipun lemang dan serikaya yang terhidang di depan kita, bukanlah
langsung kita santap, meskipun sudah untuk kita sendiri. Tentu kita patut dan
renungkan dulu untuk sesaat, cobalah kita rasa-rasakan dulu dikerongkongan kita
bagaimana nikmatnya lemang dan serikaya itu, yang dimakan itu rasa dan yang
dilihat itu rupa, Aisyah. Setelah itu, barulah nantinuya kita akan benar-benar
merasakan kenikmatan yang sesungguhnya. Bukankah begitu yang pernah kita
lakukan selama ini, Aisyah?”
Sepanjang itu penjelasan Dt. Rajo Pangulu pada istrinya, namun Siti Aisyah seakan
telingahnya sudah pekak. Dia hanya membisu, sementara tangan kirinya sudah
melingkar dipinggang suaminya dan tangan kanannya telah mengerayang pula tak
tentu arah. Kala itu Aisayah hanya bisa menjawab dengan sopotong kalimat dalam
suara yang amat gemetar.
“Selama ini memang begitu, Tuan! Tapi sekarang sangat berbeda!, dan ambo ingin
sekali untuk menikmati yang berbeda itu sepuasnya malam ini!,” tegas Aisyah
pada suaminya.
Bagaimana kisah dalam perjalanan malam istimewa mereka itu kuranglah terang
bagiku. Namun yang jelas pada Subuh itu jamaah Surau bertanya-tanya ‘kenapa Dt.
Rajo Pangulu dan Siti Aisyah tidak nonggol subuh itu?’. Tentu saja jamaah surau
itu merasa berwas-was, karena situasi bagi masyarakat Kamang waktu itu sudah
sangat mencekam dan mengkhawatirkan.
119 | Maryam Chilvalry
14. Biadab
SUDAH beberapa kali Bonjol di gempur untuk diduduki termasuk yang dipimpin
langsung oleh Gubernur General Van den Bosch. Karena sulitnya menundukkan
kaum Paderi dan menduduki Bonjol, Van den Bosch akhirnya pada dini hari 3
Oktober 1833 memutuskan untuk berangkat kembali ke Batavia, ‘lari malam’
menurut cemoohan orang Minang. Dan, untuk memperkuat pemerintahannya di
Sumatera Barat diangkatnya dua orang Komisaris di Padang sebagai wakilnya. (Red:
Dua orang Komisaris untuk satu daerah di Hindia Belanda, agaknya hanyalah di
Minangkabau ?), yaitu J.J. Van Sevenhoven dan Mayor Jenderal J.G. Riesz.
Sejarah pun berulang, penyakit lama berjangkit kembali. Siasat ditukar, perang
frontal sudah tak mempan “Pelakat Panjang” diumumkan pada 25 Oktober 1833
sekedar ‘time out’ untuk bernapas panjang sesaat. Hal ini terbukti dengan
tindakan Belanda yang mengkhianati sendiri ‘maklumat perdamaian’ yang
dibuatnya sendiri secara sepihak itu. Luka lama berdarah lagi rakyat Minangkabau.
Fatwa-fatwa yang diberikan Tuangku Imam Bonjol merupakan senjata bathin yang
tidak dapat ditumpulkan oleh berbagai ‘presure’ dan provokasi dari pemerintah
ataupun oleh militer Belanda.
“Sebuah kejadian yang tidak dapat dimaafkan dan dilupakan oleh generasi kami
dan bahkan generasi Minangkabau,” Siti Maryam mengawali pidatonya. “Adalah
terhadap kekejaman pasukan tentara Ulando pada waktu itu penculikan yang
dilakukan atas dua orang istri Tuangku Imam untuk menggoncangkan mental
beliau.”
“Pada suatu malam dalam bulan Juli 1837 - setelah sepuluh hari lebih pertempuran
yang dihadang pasukan Tuangku Imam yang tiada henti-hentinya, satu pasukan
kecil tentara Belanda mencoba memasuki kota Bonjol dengan menyelundup
120 | Maryam Chilvalry
ditengah lelapnya pasukan Paderi yang sedang kelelahan. Sehingga kedatangan
tamu yang tidak diundang itu tidak diketahui oleh pengawal benteng.
Pasukan kecil itu terus menuju rumah kediaman Tuangku Imam bersama anak-anak
dan kedua istrinya. Dengan serta merta kedua istri Tuangku Imam dilarikan secara
diam-diam. Kejadian itu diketahui oleh salah seorang putra Tuangku Imam yang
bernama Mahmud, dan tanpa berpikir panjang Mahmud melakukan perlawanan
guna menyelamatkan kedua orang ibunya itu. Karena perkelahian tidak seimbang,
pada akhirnya perut Mahmud ditusuk dengan bayonet yang menempel di ujung
laras senapan pasukan Belanda tersebut. Dalam kejadian ini, yang amat tragis
adalah perlakuan ‘marsuse’ yang sangat biadab. Setelah perut Mahmud terberai,
darah mengucur dari celah jantung yang bocor. Kemudian, kaki salah seorang istri
Tuangku Imam diputuskan, dikerat pahanya selagi dia masih hidup, sedangkan istri
yang seorang lagi tubuhnya diukir, disayat-sayat dengan ujung sangkur ‘Belanda
Hitam’ itu. Ini benar-benar biadab, buas. Mendengar suara ribut dan jeritan suara
perempuan, Tuangku Imam terbangun dari lelapnya, beliau langsung mengambil
pedang dihunusnya menuju tempat suara ribut tersebut. Perkelahian seru pun
terjadi antara beliau dengan tentara Ulando.
Dalam perkelahian ini, Tuangku Imam Bonjol menderita luka-luka karena tusukan
bayonet, tetapi pasukan Ulando kocar-kacir melarikan diri dalam penderitaannya
pula. Karena banyak menderita luka yang menyebabkan banyaknya darah yang
keluar, tubuhnya semakin melemah dan beliau tidak dapat lagi memimpin
pertempuran selanjutnya. Besoknya, pada sore hari pasukan Ulando melancarkan
serangan besar-besaran. Pertahanan benteng di Bonjol langsung diambil alih oleh
Bagindo Majolelo dan kawan-kawannya.
Kota Benteng sangat tangguh untuk diterobos yang dipertahankan oleh kaum yang
militansi. Akhirnya tidak membawa apa-apa bagi Ulando kecuali penderitan dan
kerugian. Keesokan harinya, setelah Ulando menyulut sejumlah besar bahan
peledak kedinding pertahanan rakyat penyerbuan secara tiba-tiba kembali
dilakukan dibawah pimpinan pasukan Letnan Lange.
Pada tanggal 16 Agustus 1837 kejatuhan kota – benteng – Bonjol dirayakan prajurid
Ulando dengan pesta candu dan tuak, sebagai ungkapan keberhasilan mereka.
Dengan pertolongan beberapa orang hulu balang yang gagah berani, Tuangku
Imam diselamatkan dari kepungan pasukan musuh dan dilarikan ke kampuang
Marapak.
Sesudah menduduki Bonjol, tentara Belanda mengadakan pembersihan secara
besar-besaran. Penyisiran terhadap daerah-daerah basis pasukan Tuangku Imam
dibumi hanguskan. Tapi Tuangku Imam tidak ditemukannya juga.
“Apakah salah seorang dari istri Tuangku Imam itu nenekmu, Maryam?,” aku
bertanya.
121 | Maryam Chilvalry
“Barangkali, sekarang bukanlah saatnya yang tepat untuk saya jelaskan, Mak
Kari,” maksudnya Wahid Kari Mudo.
Hadirin di Surau Haji Abdul Manan di Kampung Budi itu terganga dan ada yang air
matanya meleleh di pipi atas kepiluan dari kekejaman ‘marsose’ – si Belanda Hitam
– atas perintah tuannya ‘lanun’ dari seberang lautan itu.
Mendengar pemaparan “anak sasian”, murid beliau itu, Haji Abdul Manan hanya
bersitelekan, menupang kedua pipinya dengan kedua tangannya yang bertumpu di
atas kedua pahanya karena terharu akan kisah tragis dari kebiadaban pasukan
Belanda itu dari akhir keagungan Bonjol sebagai pertahanan terakhir pada Perang
Paderi. Dalam alkisah perang Minangkabau Raya itu dan kepasihan tutur Siti
Maryam yang diwarisinya dari keluarganya sendiri dalam menuturkannya.
Tujuan ditampilkan Siti Maryam untuk menyampaikan kisah pembiadaban tentara
Belanda itu pada halaqah Surau Budi menjelang berkobarnya perang anti belasting
itu adalah dalam rangka membangkitkan semangat anti Belanda dan semangat
untuk bangkit berjuang melawan tirani, kebiadaban-kebiadaban penjajah,
penjarah rakyat oleh tentara dan pemerintah Belanda yang akan melancarkan
pajak, ‘pungutan langsung’-nya.
122 | Maryam Chilvalry
15. Briefing
TINDAKAN yang diambil oleh L.C. Westenenck didasarkan pada pengumuman
Gubernur Genderal ‘Van Heutsz’ di Batavia pada tanggal 1 Maret 1908 untuk
memberlakukan Peraturan (Undang Undang) Pajak Langsung untuk seluruh Hindia
Belanda.
Westenenck sebagai seorang pejabat tinggi Departemen Dalam Negeri (Amtenaar
B.B) yang berpangkat kolonel dan berkedudukan sebagai Komendur Oud Agam
karena Asisten Residen Luhak Agam merangkap Residen Padangshe Bovenllanden
yaitu Van Driesche yang tidak begitu serius dalam menjalankan tugasnya - karena
menurutnya belum saatnya untuk melaksanakan Undang-Undang Belasting dengan
tangan besi.
Karena beberapa kali pendekatan dan sosialisasi tentang pelaksanaan peraturan
baru itu gagal atau tidak didukung oleh rakyat, maka pada tanggal 16 Maret 1908
L.C. Westenenck kembali memanggil seluruh Laras untuk mengadakan pertemuan
di kantornya, di kota Fort de Kock (Bukittinggi). Inti pertemuan tersebut adalah
penegasan dan instruksi oleh L.C. Westenenck untuk segera melakukan
penghitungan atau penaksiran dan langsung memungut pajak langsung itu.
Dalam instruksi itu dipertegas bahwa kepada masing-masing Laras dan kepala
nagari yang merasa tidak mampu menjalankan pemungutan pajak akan dibantu
dengan kekuatan militer, kepada laras laras dan kepala nagari yang menentang
akan dipecat dari jabatannya dan akan ditangkap untuk dibuang.
Dalam pertemuan itu, Laras Salo-Magek diwakili oleh Warido, lengkapnya Agus
Warido Prawirodirjo, anak seorang bekas prajurid Sentot Alibasya yang berpihak
Belanda menikahi salah seorang padusi (gadis) Minang secara paksa dengan
mendapat dukungan Belanda.
123 | Maryam Chilvalry
Agus Warido Prawirodirjo sebelumnya diangkat Belanda sebagai Mantri Kopi di Limo
Puluah Koto. Laras Kamang dihadiri oleh Kepala Laras Garang DT. Palindih, Laras
Tilatang Jaar Dt. Batuah, Laras Ampek Angkek Samat Dt. Sati, Laras Kapau Dt. Rajo
Labiah, Laras Baso Adam Dt. Kayo dan Laras Canduang oleh Sahat Rajo Malenggang
dan Laras Ampek Koto, Yahya Dt. Kayo.
Karena rakyat mendapat bocoran informasi pertemuan rahasia para Laras se Agam
Tuo itu, maka pada Senin, 2 Juni 1908, diadakanlah pertemuan bersama di Mesjid
Taluak (Kamang) yang dihadiri oleh utusan-utusan dari Agam Tuo, Lubuk Basung,
Mangopoh, Padang Panjang, Batu Sangkar, Solok-Selayo, Limo Puluah Koto,
Pauah Kamba, Lintau, Muaro Labuah dan lain-lain. Dengan kebulatan tekad,
peserta rapat memutuskan akan melancarkan aksi menentang Ulando, dan dalam
rapat itu pula sekaligus ditentukan tugas masing-masing.
Pada Rabu, 11 Juni 1908 para pasukan rakyat - yang bukan saja masyarakat
Kamang, tetapi juga berasal dari berbagai daerah berdatangan dan berkumpul di
Surau Haji Abdul Manan, kampung Budi. Pertemuan dalam rangka persiapan
perang itu diimami langsung oleh Haji Abdul Manan. Pidatonya yang terakhirnya
sebelum konfrontasi melawan Belanda, Haji Abdul Manan meminta seluruh pasukan
jangan gentar dan ragu-ragu menentang Belanda dan tidak takut akan mati syahid.
Tujuan akhir dari briefing bersama pada pasukan - ‘fi-Sabilillah’ - itu adalah
membakar semangat juang mereka oleh pemimpin gerakan dengan – ‘ayat-ayat
pedang’ – dalam mengobarkan semangat perang suci.
“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu
(bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir
yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali
jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-
Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai mata hati.”
“Begitulah yang telah terjadi pada Perang Badar zaman Rasulullah dahulu. Dan
bahkan sebagaimana yang dihadapi pula oleh leluhur kita Inyiak Enceh, dan
Tuangku Imam di Bonjol dalam Perang Paderi dahulu,” sambung Haji Abdul Manan
mengulas ayat Al-Qur’an yang didiktekannya itu.
“Bahkan...!, kematian Inyiak Enceh pun terpaksa dilakukan dengan sebuah
pengkhiatan oleh orang suruhan Ulando, karena hanya itulah satu satunya jalan
yang dapat dilakukan untuk membunuh nenek kita itu guna menghentikan
perlawanannya,” kata beliau lagi.
“Kenapa kita harus gentar, takut dan berpaling untuk menghadapi si kafir nan
bamato bula itu. “Yakinlah tentang apa yang dikatakan oleh Allah, Swt bahwa
‘Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka
itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya’.” tegasnya.
124 | Maryam Chilvalry
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu,
niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah
kamu orang-orang yang rugi.”
“Tetapi (ikutilah Allah), Allah-lah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong’.
Janganlah kamu mengira bahwa orang orang yang gugur di jalan Allah itu mati;
bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki’. Yaitu hidup
dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat
kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang mengetahui
bagaimana keadaan hidup itu” Ulas beliau Haji Abdul Manan pula.
“Dan apa kata Allah, Swt lagi dalam Al-Qur’an ini…!!!” Tangan kanannya sambil
mengacungkan sebuah kitab Al-Qur’an, bahwa:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas
segala sesuatu.”
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwallah kepada Allah,
supaya kamu beruntung.”
Selesai penyampaian ‘orasi’ yang mengebu-ngebu, membakar semangat
jemaahnya, Haji Abdul Manan tetap menganjurkan terlebih dahulu musuh dihadapi
dengan secara bijaksana.
“Sungguhpun demikian,” kata beliau Inyiak Manan, ‘maka besok beberapa ninik
orang mamak dan cerdik-pandai kita bersama pengikutnya, terutama yang biasa
berdagang ke Bukittinggi akan mengadakan unjuk perasaan lagi ke kantor Siteneng
itu, guna menyampaikan kebulatan tekad kita untuk menolak belasting, dan
menganjurkan supaya pengumuman ’1 Maret’, tentang pembayaran belasting itu di
tarik pemerintah kembali.”
”Kita tunggulah terlebih dahulu apa buah perjuangan dunsanak kita, yaitu Datuak
Makhudum, Datuak Kondo dan Sidi Gadang beserta pengikutnya itu setelah
bertemu dengan Siteneng besok.
Andaikan perjuangan dengan ‘lidah’ itu gagal, maka kita harus menempuh
perjuangan dengan ‘tangan’, yaitu dengan perang…!,” tegas beliau.
125 | Maryam Chilvalry
Akhirnya Datuak Rajo Pangulu, Kari Mudo dan Qadi Abdul Gani pun bangkit dari
duduknya, mengacungkan kepalan tinjunya sambil meneriakkan pekikkan, “Allahu
Akbar!, Allahu Akbar!, Allahu Akbar…!!!”. Kemudian diiringi pula oleh seluruh
pasukan yang telah membaiat diri sebagai pasukan – ‘berani mati’ - mati syahid di
jalan Allah, Swt.
Pada tanggal 12 Juni 1908 diadakan upaya dialog dalam bentuk ‘unjuk perasaan’ ke
kantor Kontreluer untuk mencabut Undang Undang Belasting tersebut. Ternyata
upaya perjuangan dengan ‘lidah’ dalam bentuk unjuk perasaan itu mengakibatkan
ketiga orang penyambung lidah rakyat itu dijebloskan Belanda ke penjara, sehingga
langkah terakhir perjuangan semakin menggelegar di hati Pasukan Kamang.
Bagi Belanda juga tidak ada lagi posisi tawar dengan rakyat kecuali dengan
‘gonggongan karabinnya’ untuk menghentikan gerakan perlawanan terhadap
pelaksanaan belasting, maka Belanda mulai merekayasa situasi untuk memulai
perang itu. Tindakan militer untuk menteror rakayat Kamang itu dipicu oleh suatu
kejadian, dimana paginya datang tiga orang masyarakat Magek suruhan Belanda ke
kantor Laras Agus Warido untuk membayar belasting. Ternyata ketiga orang itu
langsung dihadang oleh serombongan warga setempat yang mengancam akan
membunuhnya kalau belasting dibayarnya juga, karena perbuatan membayar
belasting itu merupakan pengkhiatan secara terang-terangan terhadap tekad
bersama untuk menentang Belanda.
Mengetahui enggan kejadian itu, Laras Salo-Magek Agus Warido sangat marah,
namun tidak bisa berbuat apa-apa karena toh dia sendiri adalah orang Jawa sisa
keturunan prajurut Sentot Ali Basya kepercayaan Belanda. Langkah yang dapat dia
perbuat hanyalah segera ke Bukittinggi untuk melaporkan peristiwa pagi itu kepada
L.C. Westenenck di Bukittinggi dan meminta supaya para pembangkang Belanda
segera ditangkap.
Saat yang ditunggu-tunggu. ‘Tuan Kumandua’, sebutan orang Minang terhadap
Kontroliur telah tiba, saat itu juga melalui telepon L.C. Westenenck si hidung
‘kakatua’ itu menghubungi Gubernur Sumatera Barat Heckler untuk ‘mohon
petunjuk’ mengenai tindakan yang harus diambil.
Heckler memberikan jawaban dalam telepon itu sesuai dengan komando yang
digariskan oleh Gubernur General Van Heutsz di Batavia, hanya dengan satu kata
saja, ‘Serbu...!’
”l’historie se repete”, zaman beredar, riwayat berulang. Nagari Kamang akan
menambah riwayatnya dengan darah dan nyawa untuk kelekangan adat dan agama.
Dahulu kaum ibu hanya membantu nasi berbungkus daun pisang tinbatu (abu)
untuk pasukan Tuangku Nan Renceh, sekarang Siti Maryam bersama Siti Aisyah, Siti
Anisyah dan juga para kaum ’hawa’ lainnya sebagai pengikut ketuga Srikandi itu
akan turut di medan laga dalam barisan infantri Tuangku Haji Abdul Manan.
126 | Maryam Chilvalry
127 | Maryam Chilvalry
16. Mantik
Jamaah Surau Kampung Budi Kamang, suraunya Haji Abdul Manan kedatangan
seorang tamu atas undangan dari sesepuh Kamang.
Tamu tersebut adalah Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek, saudara
dari Haji Muhammad Taher Jalaluddin anak dari Tuangku Syeikh Cangkiang Ampek
Angkek yang pernah menjadi redaktur ‘Al-Imam’ di Singapura, dan saudara tiri dari
Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabauwi.
Pertemuan yang dilakukan pada petang Sabtu (malam Minggu), sekedar
menghilangkan pemantauan dari para antek antek Belanda. Karena malam Minggu
sebagai malam panjang yang penuh pesta pora orang orang Belanda di Fort de Kock
yang telah pula membias terhadap kaki tangannya seperti, Engku Laras dan
koleganya, Engku Palo dan koleganya. Seolah-olah mereka sudah menjadi orang
Belanda pula di kampungnya sendiri.
Situasi semacam ini dimanfaatkan pula oleh para santri di surau-surau untuk
memperbincangkan sesuatu yang sangat rahasia, dengan dalil tidak akan mungkin
orang yang sedang pesta, mabuk-mabukan melakukan kontrol dan pengawasan
masuk kampung keluar kampung.
Salah seorang penceramah pada pertemuan dengan slogan wirid umum ini adalah
Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek Muhammad Amin Pamuncak yang
bergelar Sutan Bagindo. Pertemuan ini merupakan kelanjutan pertemuan yang
dilaksanakan oleh Muhammad Amin Pamuncak sendiri di Koto Tuo pada Mei 1908
dan seluruh peserta rapat di Koto Tuo Ampek Angkek waktu itu telah bersumpah
sakti untuk tidak akan membayar pajak kepada Belanda. Sumpah sakti itu
dilaksanakan di makam moyangnya, makam tokoh pergerakan Islam sebelum
perang Paderi, yaitu di makam Tuangku Alamuddin Datuak Bandaro, suku Guci yang
terkenal dengan sebutan ‘Tuangku Nan Tuo’ di Koto Tuo Ampek Angkek.
Awal acara wirid tetap seperti biasanya. Pembacaan qalam Illahi yang
dikumandangkan oleh Siti Maryam dilanjutkan pengajian umum leh Haji Musa,
128 | Maryam Chilvalry
abangnya Haji Abdul Manan dan setelah agak larut malam barulah Muhammad Amin
Pamuncak meminpin sebuah halaqah untuk bermanti’ (mantik) dan berma’ni. Tapi
saat ini bukan mengenai ketauhidan, melainkan menganalisa pemikiran dari C.
Snouck Hurgranje yang dianjurkannya terhadap pemerintah Belanda dalam
melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Belanda di Hindia Belanda.
Dari sisi ruang yang dibatas tabir kelambu - dipenuhi oleh kaum perempuan,
ternyata Siti Maryam telah mengembangkan kertas-kertas kosong dan kalam untuk
mencatat seluruh penyampaian dari Muhammad
Amin Pamuncak. Tentu saja beberapa data dan hasil muzakarah ini sangat berguna
baginya untuk disampikannya pula dalam wirid-wirid pertemuannya di Mangopoh,
Kurai Taji, Sungai Sariak Pariaman dan
daerah-daerah Pasaman, serta daerah lain yang menjadi tanggungjawabnya
sebagai tenaga propaganda.
“Toute l’oeuvre coloniale s’appuie, doit s’appuyer sur ce q’on appelle la politique
Indigene, l’art de connaitre les Indigenes,” begitu peringatan yang dilontarkan
oleh J.C. van Earde”, Penghulu Kepala Nagari Koto Tuo itu memulai
pencerahannya yang aktual itu. Bahwa, “Semua pekerjaan yang berhubungan
dengan tanah jajahan harus bersandar kepada yang dinamakan ‘Inlander Politik’,
yaitu kecakapan untuk mengenal penduduk Bumiputera”.
“Apa maksudnya?,” Muhammad Amin Pamuncak mengajukan sebuah pertanyaan
kepada peserta halaqah. Tidak satupun yang menjawab pertanyaan itu, mereka
masih menunggu kelanjutan pembicarannya.
Pendapat Van Earde itu benar-benar menjadi nutrisi bagi setiap Negara dan bangsa
yang mempunyai tanah jajahan. Bukan saja Belanda, tetapi Inggris, Perancis pun
melumat pemikiran Earde tersebut dalam melakukan berbagai ikhtiar ‘pacificasie’,
penaklukan dan perdamaian di tanah jajahannya.
“Bagi pemerintah Belanda yang mempunyai tanah jajahan yang amat luas ini amat
beruntunglah mempunyai seorang ahli ternama, C. Snouck Hurgranje,” sambung si
penceramah itu. Kemudian dilanjutkannya pembicaraannya yang terputus dengan
sederetan keterangan panjang tanpa teks tertulis “…karena menurut profesor
Belanda ini, yang telah menyelidiki Turky dan kemudian beberapa tahun bermukim
di Mekah dengan nama Abdul Ghaffar dan melanjutkan perjalanannya ke Indonesia
dan bertahun-tahun melakukan
penyelidikan di Nusantara ini sebagai ‘adpisur’ pemerintah Belanda, memberikan
tuntutan politik menghadapi orang Islam di Indonesia yang jumlahnya 85% dari
jumlah penduduk keseluruhan atas tiga dasar yang sangat penting dan yang tahan
uji, yaitu: 1.Terhadap urusan ‘ubudiyah, Pemerintah (Belanda) harus memberi
kemerdekaan yang seluas-luasnya dan yang sejujur jujurnya. 2.Terhadap urusan
129 | Maryam Chilvalry
mu’amalah, ia (pribumi) harus menghormati; terhadap instelling-instelling yang
sudah ada, sambil memberi kesempatan untuk berjalan berangsur-angsur kea rah
kita (Pemerintah Belanda), malah yang sedemikian itu harus diajak dan gemarkan.
3.Terhadap urusan yang berhubungan dengan politik, harus pemerintah menolak
dan meberantas cita-cita dan kehendak-kehendak yang bersifat Pan Islamisme,
yang wujudnya hendak membukakan pintu bagi kekuatan kekuatan asing untuk
mempengaruhi perhubungan pemerintah Belanda dengan rakyatnya orang Timur.”
“Kalau begitu, kita wajib pula mengetahui asal-mu’asal, sebab-musabab
pertimbangan pemikiran professor Ulando itu, Engku ?,” kataku.
“Ya! Tepat sekali !,” jawab sang orator.
“Dasar pertimbangan Profesor Snouck, membentangkan garis-garis kebijakan yang
harus dijalankan pemerintah Belanda itu atas pengetahuannya yang dalam tentang
sikap militansi orang-orang Islam di tanah air kita ini, sehingga dia menjelaskan
natijah-nya lagi dengan ucapannya, ‘Biarkam kaum Muslimin beribadah seluas-
luasnya! Biarkan mereka bersembahyang, jangan campuri mereka dalam urusan
berjum’ad dan berpuasa; jangan disempitkan urusan mereka untuk naik haji, dll.,
sehingga merasa merdeka dalam urusan keagamaan mereka. Dan lantaran merasa
merdeka itu, mereka akan lalai sendiri mengerjakannya, sekurangnya tidak merasa
bahwa mereka diperintah oleh bangsa yang beragama lain darinya!’.
“Artinya, berdasarkan pengalaman yang dia selidiki, bahwa secara nyata dan
mendalam, dia mengetahui betul bahwa pertama, orang Islam baru besar
bahayanya bagi pemerintah jajahan, bilamana mereka merasa bahwa kemerdekaan
mereka beragama terganggu. Makin dilarang mengerjakan pekerjaan yang
berhubungan dengan ubudiyah, semakin fanatik mereka mengerjakannya.”
“Bertambah berbahaya lagi, apabila lantaran terganggu kemerdekaan mengerjakan
agama itu, mereka terus mengasingkan diri dari masyarakat biasa dan mendirikan
perkumpulan perkumpulan tarekat yang mengajarkan perang sabil, dan sangat
mungkin tidak lekas dapat diketahui oleh pemerintah negeri. Sehingga di sampai
kepada natijahnya tadi.”
“Kalau demikian pandangan si professor maka sangat berhati-hatilah kita.
Janganlah kita sampai lengah, lalai dalam beribadah lantaran merasa ‘merdeka’
itu!,” komentar salah seorang perempuan belia yang hadir dalam halakah itu
dengan sebuah statement dari hasil manti’(k), logikanya itu.
“Betul…!!!, apa yang dikatakan Maryam itu,” kata sang orator. “’Perlu juga
diingat, sambungnya lagi ‘bahwa sang professor itu sering bersemboyan dan
semboyannya itu umumnya dibenarkan pula oleh orang-orang Islam, bahwa Een
staat kan duurzaam zijn in ongeloof, maar niet ini ongerechtigheid, – Satu kerajan
mungkin tetap berdiri dalam kekufuran, akan tetapi tidak mungkin dalam
kezaliman.”
130 | Maryam Chilvalry
“Kedua, ruh ke-Islam-an itu mungkin bangkit juga apabila mereka mendapat
gangguan dalam urusan ‘mu’amalah’, seperti urusan perkawinan, warisan dan yang
berhubungan dengan itu. Oleh sebab itu “Hormati”’ instelling-instelling’ mereka di
bawah penilikan (pengawasan) kepala-kepala mereka, regen-regen dan raja-raja.
(Red: Di Minangkabau inilah yang dilakukan oleh Laras, Penghulu Kepala atau
kepala nagari).
Dengan begini mereka akan merasa diperintah oleh ‘wet-wet” mereka sendiri, dan
tidak timbul lagi cita-cita kenegaraan secara pemerintahan Islam. Apalagi kalau
sudah ditetapkan, sekurang-kurangnya dianjurkan dengan cara setengah resmi,
kitab-kitab apakah yang harus dipakai dalam mengurus perkawinan, perceraian dan
warisan mereka itu. Sehingga tidak masuk pengaruh ‘modern’ yang menimbulkan
semangat mereka.
Dan disamping itu, kalau anak-anak Islam diberi lagi didikan Barat yang
menjauhkan mereka dari agamanya, sehingga mereka “geemancipeerd van het
Islam-stelsel”, terlepas dari genggaman Islam. Maka besarlah harapan, mereka
akan menjatuhkan perasaannya dengan yang memerintahnya dan akan terjadilah
satu ‘assosiasi’, perhubungan peradaban, kebudayaan dan politik antara yang
memerintah dan yang diperintah’,” kata si professor itu lagi.
“Apabila assosiasi ini telah tercapai, maka menurut professor ini, tidak ada lagi
yang akan menyusahkan pemerintah Ulando itu,” komentar si perawi itu selesai
mengutip pemikiran Profesor Snouck Hurgranje tersebut.
“Kenapa Engku dapat membuat penafsiran seperti itu?,” tanya seorang jamaah.
“Para jamaah Islamiayah yang berhadir, yang saya muliakan! Bukan saya, yang
menafsirkannya seperti itu. Akan tetapi Sang professor itu sendiri yang menyuci
otak pemerintahnya sendiri dengan penjelasan dari pernyataannya itu. Katanya,
‘La solution de la question islamique depend de l’adhesion des indigenes a notre
civilisation’. Artinya, manakala sudah tercapai perhubungan yang rapat antara
penduduk bumiputera dengan kecerdasan kita, maksudnya kecerdasan orang
Belanda, tak adalah lagi yang akan diusahkan, sehubungan dengan kaum muslimin
ini. Makanya semenjak tahun 1817 Belanda telah mengupayakan berdirinya
sekolah-sekolah dengan cara-cara mereka, sebagaimana di negerinya sendiri.”
“Ketiga, kata sang professor itu lagi, bahwa apabila urusan di dalam sudah diatur
seperti itu, tinggal lagi yang harus dijaga ialah supaya jangan ada perhubungan
dengan muslimin di laur negeri, yang mungkin menimbulkan kembali semangat
Pan-Islamisme yang berbahaya itu. Lantaran itu, maka nasehat sang professor itu
berbunyi ‘jaga supaya jangan ada pengaruh dari luar!’.”
“Demikianlah ringkasnya jalan fikiran Profesor Snouck Hurgranje itu dalam
advisnya kepada pemerintah Ulando, dalam menghadapi kaum Muslimin di
131 | Maryam Chilvalry
Indonesia ini, khusunya kita-kita di Minangkabau ini, karena landasan kita adalah
Adat basandi syara’. Syara’ basandi kitabullah – Syara’ mangato. Adat mamakai.”
“Sekarang bagaimankah dalam prakteknya?,” sambung pemimpin halaqah lagi
dalam mengakhiri pemaparannya tentang rencana besar jangka panjang
pemerintahan kolonial Belanda di dalam tata politik pemerintahan.
“Kalau begitu apa upaya kita untuk menghentikan upaya Ulando yang bagaikan api
dalam sekam itu,” tanya salah seorang peserta diskusi lain lagi. “Ya, apa…? Mari
kita pahamkan dan fikirkan besama-sama!,” seru si pendakwah itu lagi.
“’Munurut pendapat saya’, kata Maryam. ‘Kita harus selalu ingat dan waspada
bahwa – jerat tidak akan lupa dengan balam (burung) – dan kita harus menentang
apapun bujuk rayu yang diupayakan oleh Ulando itu.”
“Suatu hal yang paling utama adalah al-Islamu ja’lu wa la ju’la ‘alaihi. Bahwa
Islam itu di atas, tak patut dan tidak pantas ada yang mengatasinya,” sela Sang
guru utama, Haji Abdul Manan mengenegahi persoalan ini.
Akan tetapi sampai sekarang, kekhawatiran Profesor Snouck Hurgranje terhadap
Pan- Islmaisme toh tidak kunjung lahir. Ya, karena bukan itulah tujuan dan cita
citanya umat Islam dunia, disamping mereka juga disibukkan oleh urusannya
sendiri-sendiri di negaranya masing-masing. “’Suatu hal lagi yang mulai menjadi
mengkhawitrikan kita…’,” lanjut Pamuncak Amin ‘…adalah bahwa di dunia Islam,
kehidupan berdagang dihormati, bahkan hampir sama kedudukannya dengan
ulama; sebab Rasulullah, Muhammad sebelum menjadi nabi dan rasul adalah
seorang pedagang yang handal sehingga telah semakin memperkaya Siti Aisyah,
seorang saudagar perempuan yang tiada tandingannya waktu itu. Tentu,
perdagangan yang tanpa riba’ dan monopoli.”
“Maka prilaku pedagang-pedagang Islam tidak sama dengan pedagang-pedagang
kapitalih (s). Islam tidak setuju bila orang menumpuk kekayaan dengan cara
menghancurkan orang lain, dan mengajarkan apabila seseorang menghadapi
kesulitan untuk membayar hutang beri dia waktu sampai sanggup membayarnya.”
“Lalu, Tuangku, apa maksud dan hubungan perjuangan kita dengan masalah
perdagangan?,” tanyaku pada Pamuncak Amin, cucu dari Beliau Tuangku Nan Tuo
di Koto Tuo Ampek Angkek itu.
“Sudah lama Belanda melancarkan kebijakan memotong hubungan dagang
saudagar-saudagar kita ke pelabuhan-pelabuhan di pantai Timur dengan dipaksanya
pedagang kita mempergunakan pantai Barat, seperti Padang dan Pariman yang
telah berada di bawah kekuasaannya. Sebalinya pedagang kita di Padang sendiri
telah diperlakukan tidak adil dengan menganak emaskan pedagang sebangsanya
dan pedagang China yang suka menyogok dan menjilat itu. Kedua pedagang
tersebut menghalalkan segala cara asalkan mereka mendapat untung besar.
132 | Maryam Chilvalry
Artinya, kebijakan Belanda itu bertujuan untuk menghancurkan jalur perniagaan
dan pedagang tradisional kita yang lancar perhubungannya ke pesisir Timur dan
terus menyeberangi Selat Malaka ke Penang dan Tumasik.”
Itulah akhir wejangan dari cendikiawan kita itu yang selalu mendapat perhubungan
dengan saudaranya Syekh Ahmad Khatib yang pernah bermukim di Perak,
Semenanjung Malaya sebelum menetap di Mekkah al-Mukaramah.
133 | Maryam Chilvalry
17. Kecamuk
Kira-kira pukul sebelas malam, 15 Juni 1908, sampailah induk pasukan tentara
Belanda yang dipimpin L.C. Westenenk di Simpang Empat Kampung Tangah-Kamang
(Pakan Sinayan sekarang), berniat untuk membantai habis rakyat di Kamang yang
menentang belasting dan rodi.
Karena melihat barisan panjang yang berpakaian hitam dengan strip-strip emas
pada jahitan celana kiri dan kanan serta pada bajunya, bertopi hitam tinggi dengan
berjumbai putih megkilap pada bahagian depannya yang diiringi derap sepatu dan
deru mars parajurit, dari jauh para ronda malam mudah mengetahuinya bahwa
yang datang berbaris -baris itu adalah pasukan Belanda. Setelah pasukan
Wetenenck sampai didekat meraka, maka petugas ronda Angku Rumah Gadang
yang didamping Angku Basa dan anggota pengintai lainnya meneriakkan kata-kata
sapaan dalam bahasa Belanda sebagaimana kode yang telah dia hafalkan.
“Weerda!”
“Vriended!,” jawab ajudan Westenenk dan langsung menanyakan rumah Haji Abdul
Manan.
“Dima rumah itu orang Dul Manan, ha...(sengau)?!”
“Tabek Tuan! Kami tidak kenal dengan Dul Manan, Tuan,” jawab Angku Rumah
Gadang.
“Masak kalian orang tidak tau itu orang bernama Dul Manan!!!”
“Tabek, Tuan! SunguHaji.., Tuan! Tidak ada orang sini yang bernama Dul Manan,
Tuan!”
“Godverdome!!!, kamu orang bertele-tele, ha!”
134 | Maryam Chilvalry
“Tabek, Tuan ! Sungguh, Tuan! Dalam keadaan membungkuk-bungkuk Angku
Rumah Gadang dan Angku Basa berusaha meyakinkan ajudan Westenenk tersebut.
Padahal yang nyawanya sedang akan dipertaruhkan di ujung klewang mereka.
Westenenk yang sudah fasih berbahasa Minang tidakmau lagi bertele-tele yang
akan menghabiskan waktu. Dia maju dan langsung bertanya.
“Apakah kalian tau Haji Abdul Manan?”
“Haji Abdul Manan, tau... Tuan!,” jawabnya dengan gaya dan intonasi orang yang
sok akrap.
“Goed...!,” kata ajudan dan langsung bergabung pada pasukannya.
“Tunjukkan rumahnya Haji Abdul Manan itu. Ada yang ingin saya bicarakan
dengannya.”
“Beliau, Tuan!”
“Aaa, apa bedanya Beliau dengan Nya?”
“Ya, berbeda, Tuan”
“Akh!, masalah sepele saja kalian pertengkarkan.”
“Ini bukan sepele, Tuan.”
“Akh! Cukup. Cukup! Kalian hanya menghabiskan waktu kami saja,” oceh
Westenenk sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya.
“Ayo, tunjukkan dimana rumahnya itu, Dul Manan!,” desaknya lagi.
“Rumah beliau banyak, Tuan! Di kampung Bansa ada, di kampung Budi ada, di
kampung …. Tapi juga ada. Di....” Angku Rumah Gadang terhenti dan gugup,
karena tangannya di toel, disentuh oleh Angku Basa. Suatu isyarat supaya jangan
disebut kampung Tangah, tempat Haji Abdul Manan sedang berada dan berkumpul
dengan beberapa pembantu beliau.
“Dimana!!!,” bentak ajudan itu dengan cepat karena tergagapnya Angku Rumah
Gadang tersebut.
“Di... kampung Budi, Tuan,!” dengan gagapnya. “Tadi siang beliau ada di sana,
dan kami tidak melihat beliau di sini,” sambungnya lagi.
“Beliau siapa?,” tukas ajudan itu lagi.
“Tabek, Tuan. Haji Abdul Manan, Tuan.”
Kepala Nagari Ilalang, yaitu Datuak Tumangguang Babukik yang sudah semenjak
siang menunggu-nunggu pasukan Westenenk di simpang itu, segera menghampiri,
135 | Maryam Chilvalry
menemui Westenenk dan membenarkan keterangan petugas ronda tersebut dan
langsung mengajak rombongan induk semangnya itu ke Kampung Budi.
Selepas rombongan pasukan Westenenk, Angku Rumah Gadang dan Angku Basa
menyelinap menuju Kampung Tangah utnuk melaporkan keadaan kepada Haji
Abdul Manan. Sambil mengendap-endap, bergegas, menggerutu juga. “Ulando
andia. Pakak!.” Yang mereka maksudkan Belanda bodoh dan pekak, tuli. “Mana
ada orang bernama ‘Dul Manan’. Dan apa mungkin pula Inyiak Manan akan melalui
simpang ini dari Budi ke kampuang Tangah,” mereka bersahut-sahutan
menyerapahi Belanda itu.
“Inyiak!, Tuan Siteneng sudah datang dan sekarang pergi ke kampung Budi mencari
Inyiak. Bersiaplah, Nyiak!,” kata Angku Rumah Gadang.
Tenang, tidak terkejut sedikitpun baik Haji Abdul Manan, Datuak Rajo Penghulu
dan Aisyah mendengar kedatangan Westenenk dengan pasukannya yang baru saja
selesai latihan perang di Batu Sangkar tersebut.
“Saya ke Bansa dulu,” kata Haji Abdul Manan.
“Saya ikut!,” kata Datuak Rajo Penghulu dengan setia tetap mendampingi Inyiak
Manan.
Panglima perang ini turun dari rumah langsung menuju Kampung Bansa untuk
berziarah ke makam Tuangku Nan Renceh dan selesai berziarah bergegas pula
kembali ke Kampung Tangah sambil memeriksa persembunyian pasukan pengawal
beliau. Sesampai di atas rumah, Haji Abdul Manan langsung masuk kamarnya,
membuka ikat pinggang lebar buatan Turky yang terkenal dengan sebutan
‘kamareleng’. Umumnya setiap haji memakai ikat pinggang ini, karena memang
pada musim hajilah didapatnya di Mekah. Ikat pinggang tersebut sekitar sepulu
centimeter lebarnya dan banyak kantongnya. Kamareleng ditaronya diatas kasur
tempat tidur, dan kemudian duduk di atas sajadah. Selesai mengerjakan shalat
sunat untuk berkhalwat, bersujud semedi menyerahkan jiwa raganya dan sekligus
bermohon petunjuk kepada Allah, Swt.
Tariqad ‘Ksatariyah’ diamalkan yang didahului dengan membaca kafiat zikir yang
beliau anut. Alam tidak akan memberi bekas, kecuali atas seizinNya. Namun
sebelumnya Haji Abdul Manan berpesan kepada istri dan anaknya, Sawiyah supaya
jangan diganggu dalam persemediannya. Walau bagaimanapun juga keadaannya.
Dikampung Budi Belanda langsung mengepung dan menggeledah rumah Haji Abdul
Manan. Pintu rumah diketuk, tetapi tidak ada yang menyahut, diketuk sekali juga
tidak ada jawaban. Kemudian diketuk kembali dengan keras dan berulang-ulang,
dan barulah Haji Ahmad menyahut dan bertanya, “Siapa itu?”
“Kami! Ini Tuan Komendur! Datang menanyakan Haji Abdul Manan, apakah ada di
rumah?”
136 | Maryam Chilvalry
“Beliau tidak ada di sini, Tuan. Tadi siang beliau ada, ke Bansa barangkali,” jawab
Haji Ahmad.
“Bukakan pintu, kami mau masuk!!!,” tukas Kepala Nagari.
Haji Ahmad yang belum tidur sejak senja menyalakan lampu ‘togok’, damar.
Membuka pintu sambil menggosok-gosokkan matanya dan mengangakan mulutnya
besar-besar, pura-pura menguap seperti orang baru bangun tidur. Tanpa permisi,
tanpa salam, dengan lancang Kepala Nagari, Westenenk dan ajudannya merentak
masuk rumah Haji Ahmad. Dan Kepala Nagari pun ambil muka kepada bosnya,
dengan berkacak pinggang menanyakan Haji Abdul Manan.
“Dimana Abdul Manan, ayahmu itu. Tuan kumandur ingin bertemu, ingin
berunding dengannya.”
“Ambo kan sudah katakan Angku, Ayah ambo tidak ada di sini. Tadi pagi memang
ada akesini, tapi setelah siang beliau pergi,” jawab Haji Ahmad. Kemudian Tuan
Kumandur itu pun menyela dengan sikap yang siang malam dari angku palo, Kepala
Nagari itu.
“Haji Ahmad tidak usah khawatir, kami sengaja datang untuk menemui beliau Haji
Abdul Manan, bukan untuk menangkapnya tetapi kami akan berunding dalam
beberapa hal. Jadi..., Haji tidak usahlah cemas. Tunjukkanlah dimana beliau
sekarang,” Westenenk membujuk Haji Ahmad dengan kefasihannya dalam
berbahasa Minang.
“Ya, Tuan. Tapi beliau memang tidak ada di sini, Tuan boleh periksa sendiri.”
Dengan isyarat Westenenk memerintahkan anak buahnya untuk melakukan
penggeladehan. Semua kamar di sigi. Loteng, langit-langit rumah dipanjat. Dapur
dan kolong rumah pun diperiksa. Tetapi sia-sia saja, waktu berputar juga, Haji
Abdul Manan tidak ditemukan.
“Sekarang dimana beliau kira-kira. Masak Haji tidak tau,” nada Wetenenk mulai
meninggi, kekesalan menyerumbat di wajahnya.
“Sekarang Haji harus ikut kami untuk menunjukkan rumah Haji Abdul Manan yang
lain.”
“Baik, Tuan,” jawab Haji Ahmad dengan lugu.
Haji Ahmad pun berlalu ke kamarnya, segera menukar pakaiannya, kelewang pun
diselipkan di balik pakaian, di pangkal ketiak kiri yang ujungnya sampai ke
bahagian paha.
“Godverdome!!!,” oceh Westenenk sewaktu Haji Ahmad beranjak ke dalam
kamarnya.
137 | Maryam Chilvalry
Sewaktu akan turun dari rumah, anaknya Miyah segera memegang tangan ayahnya,
Haji Ahmad melarangnya sambil menanggis, “Ayah tidak boleh pergi...!!!”
“Nak, tidak usah menangis, ayahmu cuma sebentar, menemani kami ke rumah
kakekmu,” bujuk Westenenk lagi menenangkan Miyah yang meraung-raung
menahan ayahnya.
“Dengan suara terisak-isak Miyah menyanggahnya, “Kalau tuan mau mencari kakek
kenapa malam-malam begini, kenapa tidak siang hari. Ayah tidak boleh pergi!”
Westenenk terdiam sejenak mencari akal. “Ya, Miyah! Semestinya siang tadi kami
ke sini, tetapi.... Ya, kami kan datang dari jauh dan kami sangat ingin beertemu
dengan kakekmu.”
Kemudian Haji Ahmad mencoba menenangkan anaknya. “Miyah, biar Ayah pergi
sebentar menunjukkan rumah kakek kepada tuan ini, dan segera Ayah kembali,
ya!”
Tangisan Miyah berhenti juga dan mengangguk mengizinkan Ayahnya. Westenenk
tersenyum lega dan menepuk-nepuk bahu MiyaHaji. “Kamu anak pintar, Miyah,”
katanya. Tapi Miyah tidak memberikan reaksi apa-apa atas pujian Westenenk itu.
Rombongan Westenenk turun dari rumah, Haji Ahmad diapit kiri dan kanan oleh
pasukan pengawal kontroleur. Mereka berjalan menuju Kampung Tangah. Dari
Kampung Budi menuju Kampung Tangah Haji Ahmad tidak bercakap-cakap, otaknya
bekerja keras mencari akal dalam keadaan pikiran kacau dan cemas, kalau-kalau
Ayahnya ditemukan Westenenk.
“Ini adalah suatu pertanda buruk, kita mau turun dari rumah anak, Miyah
menangis. Semoga saja Allah melindungi negeri ini,” bisik hatinya, Haji Ahmad.
Sesampai dekat pos ronda, Haji Ahmad sempat mengelincir dari pengawalan dan
menyelinap ke penajga malam menanyakan keadaan ayahnya. Orang ronda,
penajaga malam menjawab dengan berbisik pula bahwa ayahnya telah siap sedia
dan tidak perlu dikhawatirkan. Kemudian Haji Ahmad menyelindap kembali ke
tengah-tengah barisan pengawalan.
Sesampai di Kampun Tangah, di rumah Haji Abdul Manan, Haji Ahmad batuk-batuk
kecil. Kepala Nagari segera mengetuk pintu berulang-ulang. Sawiyah, anak Haji
Abdul Manan, saudara seayah dengan Haji Ahmad segera bangun dan memperpesar
cahaya lampu damarnya. Yang pertama dia kerjakanlah memeriksa seisi rumah,
mencari dimana Ayahnya bersemedi, tetapi Ayahnya tidak ditemukan, kemudian
diperiksa kamar-kamar yang lain juga Ayahnya tidak tampak. Dari luar pintu
digedor lagi. Takut semakin dicurigai, maka Sawiyah mulai bersuara “siapa itu?!”
138 | Maryam Chilvalry
“Kami! Bukakan Pintu, kami mau masuk,” teriak Kepala Nagari dari luar.
Pintu dibukakan Sawiyah, Westenenk segera masuk yang diringi Kepala Nagri dan
Haji Ahmad saudara Sawiyah.
“Sawiyah!, Tuan ingin bertemu dengan ayahmu, coba panggil sebentar! Kami ingin
Bicara.”
“Ayah tidak di sini, Tuan! Semenjak pagi tadi pergi sampai sekarang belum pulang
juga,” jawab Sawiyah.
Westenenk semakin jengkel, “Kau pembohong, pendusta! Ayo cari!!!, dimana
Ayahmu bersembunyi?”
“Kalau tuan tidak percaya, orang-orang tuan boleh periksa sendiri!”
Penggeledahan seperti di rumah Haji Ahmad di Kampung Budi pun terjadi. Allah,
Swt telah memperlihatkan kekuasaannya, ketika itu Tuhan melindungi Haji Abdul
Manan dari pencaharian. Musu Haji Abdul Manan tidak terlihat sama sekali oleh
siapapun dan tidak ditemukan. Kecuali Westenenk hanya melihat ikat pinggang
besar Haji Abdul Manan tergeletak malas di atas tempat tidurnya.
“Ternyata burung sudah terbang dari sangkarnya,” gerutu L.C. Westenenk dalam
kekesalannya. Pias.
“Zeg! Kepala Nagari, apakah ‘yey’ tidak perintah opas ‘yey’ untuk periksa tadi
siang dimana itu Dul Manan berada, ha... (sengau)?!,” tanya Westenenk kepada
Kepala Nagari, Datuk Tumangguang Babukik anak dari Angku Suku, Datuak
Tumangguang Bansa. Angku Suku adalah kepala beberapa penghulu sesuku, sebuah
struktur yang dibuat Belanda.
Datuak Tumangguang Babukik menjawab dengan sangat takut, mukanya dingin
seperti tidak dialiri lagi oleh darah, “Ada Tuan! Tadi siang Tuan, Haji Manan masih
berada di kampung ini Tuan,” jawab Kepala Nagari itu dengan gugupnya.
“Kepala Nagari, kalian minta kami datang membantumu, tapi kalian tidak tau
dimana itu Dul Manan berada, ‘godverdome!,” bentak Westenenk lagi dengan
penuh kesal kepada Kepala Nagari semakin pias.
“Tuan..., barangkali...!,” kepala Nagari menyela dengan sangat gugup dan
membungkuk-bungkuk ketakutan
“Sech! ‘yey’ cuma besar omong!,” bentak Westenenk memotong pembicaraan
Angku Palo yang sedang gugup itu sambil mengibaskan tangannya, sehingga Angku
Palo tersurut dan semakin gemetar ketakutan.
“Di Budi tidak ada. Di Tapi tidak ditemukan. Di sini juga tidak. Macam mana ini
kalian orang-orang, ha...! (sengau). Kalian mau setoran belasting besar supaya
139 | Maryam Chilvalry
dapat persen banyak, gaji besar. Perempuan entah seberapa cukupnya oleh kalian.
Rakus! Najis kalian semua! Cuma seorang Dul Manan saja tidak terawasi!!!”
Berderet-deret sumpah kutukan Westenenk kepada pembantu-pembantunya itu.
Penuh kekesalan dan amarah L.C. Westenenk memberi isyarat supaya penggeledah
untuk turun dari rumah, berlalu mencari kemungkinan di tempat yang dicurigai
lagi.
Haji Ahmad tidak segera turun, ia mendekati adiknya, Sawiyah. Dengan berbisik
menanyakan Ayah mereka. “Ayah selamat. Tenang sajalah,” awab Sawiyah kepada
abangnya. Barulah Haji Ahmad turut turun dari rumah itu.
Setelah pasukan Westenenk turun dari rumah itu, maka Datuak Rajo Pangulu
menyelinap masuk rumah, sedangkan istrinya Siti Aisyah tetap berjaga-jaga dalam
persembunyian dibalik semak-semak di pinggir jalan dekat sebuah parit. Hanya
sebentar, Haji Ahmad kembali dan masuk ke rumah berkumpul bersama Datuak
Rajo Penghulu.
Haji Abdul Manan menampakkan dirinya dari arah ujung rumah. Ia baru saja selesai
berzikir dan merenungkan Allah. Haji Ahmad tercengang melihat sosok Ayahnya
tiba-tiba sudah ada di ujung rumah, padahal baru saja dia sibuk mencari Ayahnya
takut kalau kalau bertemu dengan pasukan yang menggeledah rumah itu. Dalam
keheranannya itu Haji Ahmad menghampiri ayahnya, dia bersimpuh, bersalam dan
mencium tangan Ayahnya, yang disusul pula oleh Datuak Rajo Pangulu. Tak tampak
kegelisahan dari Haji Abdul Manan. Sambil menyuguhkannya cangkir kopi, Haji
Abdul Manan mulai berbicara langsung, “Datuak!” Maksudnya Datuak Rajo Pangulu.
“Saat ini perang sudah tidak dapat kita elakkan lagi, istrimu Aisyah suruhlah dia
naik ke rumah, palulah ‘tabuah’, (beduk) dan pekikkanlah azan sebagai tanda
komando perang dimulai!,” seru Haji Abdul Manan kepada Datuak Rajo Pangulu.
“Apakah pasukan sudah siap?,” tanya beliau lagi.
“Sudah, Ayah! Pasukan kita berada dalam posisi baik dan mereka sudah siap.
Pasukan Kamang (Ilia) dipimpin oleh Kari Mudo, sebahagian pasukannya akan
membantu Datuak Parpatiah Magek dan sebahagian lagi akan membantu kita.
Sedangkan Angku Jenggot dan Datuak Parpatiah Pauah memimpin sayap kanan.”
“Jalan ke Bukittinggi sudah ditutup. Pasukan musuh sudah terjepit, tidak akan
mungkin lagi mereka dapat meloloskan diri dan bantuan musuh pun tidak akan
dapat datang dalam beberapa hari ini, karena jalan kereta api di Lubuak Aluang
sudah dibongkar pula oleh orang-orang kita di Lubuak Aluang itu,” jawab Datuak
Rajo Pangulu yang sekaligus melaporkan kondisi terakhir kepada Haji Abdul Manan
yang telah beliau anggap seperti orangtuanya sendiri.
“Baiklah Datauak, sekarang jemputlah dulu Aisyah!,” kata Haji Abdul Manan lagi.
“Baiklah Ayah!,” jawab Datuak Rajo Pangulu.
140 | Maryam Chilvalry
Sepeninggal Datuak Rajo Pangulu pergi menjemput istrinya, sekitar pukul 24.00
WIB (jam. 00.00 dini hari), Pendekar Mukmin yang dikenal juga dengan Pandeka
Ulando, sudah menukar pakaian prajurit Belanda-nya dengan pakaian putih-putih
sebagaimana layaknya pakaian pasukan Kamang. Ia datang dengan membawa lima
belas orang pasukannya yang siap membantu Haji Abdul Manan, dan Pandeka
Ulando ini melaporkan bahwa posisi Westenenk dengan induk pasukannya berada
dekat jembatan Koto Panjang sebelum Kampung Tangah sedang menunggu hari
siang.
“Gempurlah habis-habisan!, sedangkan yang lain biar kami yang
membereskannya,” kata Pendekar Mukmin.
Haji Ahmad yang sebelumnya sedikit tegang, sekarang merasa gembira karena
sudah jelas dia akan berhadapan dengan Westenenk mendampingi Ayahnya dan
Datuak Rajo Pangulu.
“Terimakasih, biarlah kita tunggu dulu sebentar Datuak Rajo Pangulu, dia sedang
menjemput istrinya,” jawab Haji Abdul Manan.
“Baiklah, Nyiak! Kalau begitu izinkan kami untuk kembali menyelinap dan
mencegat barisan pasukan Ulando untuk kami bereskan,” pamit Pendekar Mukmin.
Sepeninggal Pendekar Mukmin, Datuak Rajo Pangulu pun tiba, “Nyiak, sebelum
kedatangan Tuan Datuak, maksudnya Datuak Rajo Pangulu, suaminya, ‘sebentar ini
sudah sembilan orang pasukan Siteneng yang kami selesaikan dengan klewang ini,”
lapor Siti Aisyah sambil memperlihatkan klewangnya yang masih berlumuran darah
kepada Haji Abdul Manan.
“Baiklah, Aisyah! Sekarang kita bersama sama menghadapi Siteneng dan
pasukannya,” jawab Haji Abdul Manan.
“Angku Rumah Gadang palu lah ‘tabuah’, beduk dengan bunyi ‘tiga-tiga’!, sebagai
tanda komando.”
Tak lama berselang Angku Rumah Gadang memalu ‘tabuah’ dan terdengarlah bunyi
beduk tiga-tiga pukulan itu.
“tam-tam-tam...!, tam-tam-tam...!, tam tam-tam...!,” tanda komando, bagaikan
letusan ‘salvo’ ke udara sebagai tanda perang dimulai untuk menyerang Ulando.
Suara Takbir ‘Allahu Akbar’ pun membahana di udara membelah kesunyian malam
sebagai pengiring bunyi beduk tersebut.
L.C. Westenenk, sangat terkejut dan gemetar mendengar suara takbir tersebut
karena suasana seperti itu diluar dugaannya sama sekali. Namun Westenenk
berupaya untuk mengendalikan diri, fluit segera ditiupnya dan kemudian diringi
dengan bunyi terompet dan genderang perang oleh pasukannya.
141 | Maryam Chilvalry
L.C. Westenenk, dari tempatnya berdiri dengan pasukannya, dibawah cahaya bulan
yang remang-remang dan diringi gerimis. Ia memperhatikan dengan seksama
pasukan Kamang berpakaian putih putih yang bergerak maju dari arah pinggir jalan
dan merayap dalam rumpun padi, yang jumlahnya tidak dapat dia taksir
banyaknya.
Dalam keadaan cemas itu, L.C. Westenenk melihat jelas sosok Datuak Rajo
Pangulu dan seseorang yang berdiri disamping kirinya. Sosok itu terlihat sangat
akrap dengan Datuak Rajo Pangulu, dia itu juga berpakaian laki-laki berwarna
putih namun perawakannya tidak sebagaimana seorang laki-laki, tubuhnya terlihat
agak ramping. Untuk mengusir kecemasan yang mencekam dirinya, yang tidak
pernah terbayangkan sebelumnya oleh L.C. Westenenk dan pasukannya itu, dia
berteriak. “Bubarlah kalian!!!, dan kembalilah pulang, kembali kepada anak dan
istri kalian! Kalau kalian masih tetap bergerak maju, maka segala kemungkinan
bisa saja terjadi karena kekuatan kompeni cukup banyak dengan personil dan
senjatanya,” ancaman L.C. Westenenk.
“Pasukan rakyat tidak akan mundur setapak pun dan bersedia mati syahid!,”
jawab Datuak Rajo Pangulu.
L.C. Westenenk mendekati Sersan Boorman yang sedang mengawasi kegelapan di
bagian timurnya. Sersan Boorman berteriak bahwa di depannya juga bergerak
sekelompok orang yang berpakaian putih-putih sedang mendekatinya. Pada saat
Westenenk memerintahkan kelompok yang berpakaian putih-putih dekat Sersan
Boorman itu membubarkan dirinya, datang lagi panggilan dari kelompok Barat,
karena di sana didatangi pula oleh sekelompok orang berpakain putih, setelah
diperhatikan ternyata mereka berpencar.
Belum sepenuhnya L.C. Westenenk memperhatikan kelompok putih yang bergerak
itu, terdengar lagi teriakan Kapten Lutz dari Timur, karena kelompok putih yang
berjumlah sekitar lima puluh orang itu tetap bergerak – mengayun-ayun – serentak
seperti sekam dihanyutkan air yang diringi suara ‘ratib’.
142 | Maryam Chilvalry
Tubuh-tubuh putih itu telah mendekatinya sampai jarak enam puluh meter. Sekitar
dua puluh orang duduk dengan rapat di tengah jalan, seorang duduk sebelah kanan
di atas pematang rendah, dan sebelah kirinya berdiri seseorang yang bertindak
sebagai juru bicara, sedangkan di belakangnya berjejar pula sekitar empat puluh
orang pasukan putih-putih. Westenenk bertanya kepada juru bicara itu,“Kamu
mau melawan?!”
Si juru bicara spontan menjawab, “Tidak!”
“Kalau tidak kenapa kalian bergerak ke depan?!,” kata Westenenk.
Juru bicara itu pun balik bertanya kepadanya, “Saya ingin tanya pula pada Tuan.
Apa yang ingin Tuan kerjakan di sini, di tengah malam ini?”
Pertanyaan itu sangat mengesalkanku, karena pertanyaan itu adalah pertanyaan
yang kurang ajar kepadaku, kata Westenenk dalam nota yang ditulisnya kepada
Gubernur Heckler.
“Kami (kompeni), lanjut laporan Westenenk ‘adalah raja dan di negeri kami dan
bisa melakukan apa saja yang kami anggap baik’,” katanya dengan penuh kesal.
“Siapa yang mengangkat Tuan sebagai raja, dan di negeri manakah Tuan sebagai
raja?,” kata si juru bicara itu lagi.
“Di sini! Ini negeri kami! Kalian orang jangan kurang ajari kami, ya! ‘god
verdome’!” bentakku.
“Tuan, salah! Salah besar, Tuan! Ini adalah negeri kami. Jangankan mengangkat
tuan sebagai raja, bahkan semenjak dari leluhur kami tidak ada mengenal raja.
Raja kami adalah kata sepakat yang didasarkan kepada ‘syarak mangato-adat
memakai’. Dan sejak kapan pula Tuan ‘malateh jo manaruko, kasawah jo ka ladang
di sini’. Bahkan rupa wajah kita saja tidak sama!”
“Tutup mulut kamu orang, ya...! Bangsat! Duduk...,! hardikku.
“Kalau Tuan suruh kami duduk, kami sudah duduk dari tadi, Tuan!
“Kamu juga duduk, kalau tidak saya tembak.” Aku mengancam si juru bicara itu
dengan amarah yang menjadi-jadi.
“Kalau Tuan suruh saya duduk, maka saya akan duduk!” katanya lagi. Dia tak
gentar dengan hardikku dan malah si juru bicara Haji Abdul Manan keparat itu
seperti mengejekku.
Masih dalam nota yang ditulis tangan oleh L.C. Westenenk kepada Gubernur
Heckler pada tanggal 25 Juni1908 itu dia mengakui lagi.
143 | Maryam Chilvalry
“...pada saat saya berputar beberapa langkah dan berbicara dengan Kontrolir
Dahler dan perwira kesehatan Justesen mengenai hal yang begitu sulit bagi saya,
serdadu mengingatkan saya bahwa orang-orang yang berpakaian putih-putih itu
sambil duduk berangsur-angsur maju. Dan saya melihat sendiri memang orang-
orang itu beringsud maju. Secara samar-samar kelihatan kilatan senjata tajam
yang tiap kali berangsur maju diletakkan di samping mereka. Sekali lagi saya
berteriak mengancam mereka.”
“Akan saya suruh tembak jika kalian masih bergerak maju, walau serambut pun!,”
hardikku ini dijawabnya secara serius tetapi menyedihkan.
“Kalau Tuan ingin menembak kami, ya tembak saja!,” kata pasukan berbaju putih-
putih itu.
Tetapi toh mereka kelihatan jelas tetap bergerak maju. ‘Mereka telah mendekat
lima puluh meter sampai lima puluh lima meter. Saya tidak bisa menunggu lebih
lama lagi dan menyuruh tembak’.”
Tentu saja pekikkan “Tembaaak...!!!” oleh L.C. Westenenk ini adalah sebagai
suatu penggambaran akan kekalutan dia dengan suasana yang semakin mencekam
itu. Namun bagi pasukan rakyat yang berpakaian putih putih itu, teriakan L.C.
Westenenk tersebut semakin membawa mereka ke puncak ‘kegairahan’ untuk
membantai pasukan Belanda yang membawa serta komplotan marsose itu.
Dalam suasana kekalutan dan kegalauan Westenenk itulah Haji Abdul Manan dan
pasukannya berhamburan, keluar dari sarang pengintaiannya dari semak belukar
sambil mengayunkan kelewang, pedang dan rudusnya menghantam pasukan inti
Westenenk.
“Tanpa aling-aling, setelah hardikanku itu segera mereka berdiri dan menyerang
kami tanpa mengeluarkan suara sedikit pun dengan rudus di tangannya.
Kebanyakan diantara mereka tersungkur kena tembakan, tetapi beberapa orang
tetap maju dalam cahaya remang-remang dan angker ditambah lagi dengan asap
mesiu di udara lembab mereka berhasil memasuki barisan tentara. Saya dan para
serdadu dan yang lain lain, karena tidak menyangka ini bisa terjadi, mulai mundur.
Kaki dokter Justesen tersandung dan sempat terjatuh ke dalam got (selokan) di
pinggir jalan. Pada saat saya dan Sersan Boorsma tetap memberi semangat supaya
tentara jangan mundur, di depan saya dua orang gerombolan itu menebas batang
leher dua orang serdadu, di depan saya sendiri.
Percikan darah kedua orang serdadunya itu mengenai wajah dan menghias
pakaiannya, maka kepanikan L.C. Westenenk semakin menjadi-jadi. Sementara itu
dr. Justesen berusaha bangkit dari selokan dan berupaya untuk bergabung dengan
L.C. Westenenk.
144 | Maryam Chilvalry
Sedangkan Sersan Boorsma melihat lagi pasukan rakyat maju pula dari arah jalan
yang satu lagi dan Letnan. II Leroux berteriak minta bantuan karena pasukannya
kewalahan dalam serangan pasukan rakyat yang hening tanpa bersuara. Hanya
bunyi dencingan klewang dan laras bedil, serta bunyi peluru yang tidak tentu arah
yang terdengar dalam cahaya remang-remang yang menegakkan bulu kuduk.
“Begitulah kita harus menghadapi lebih delapan kali serangan yang terbagi dalam
kelompok-kelompok, yang masing-masingnya terdiri dari dua puluh sampai tiga
puluh orang.”
“Pada serangan ke delapan, kata Westenenk lagi ‘adalah perlawanan yang sangat
serius karena jumlah penyerang lebih banyak, jalan sempit, hanya memberi front
yang kecil. Tidak punya ruang gerak”.
“Sementara itu pandangan kami terganggu oleh asap mesiu, walaupun sedikit
tetapi tidak cepat hilang. Tiba-tiba beberapa penyerang melompat ke depan kami
menembus asap mesiu, sehingga serdadu yang berada di depan saya mundur dan
mendorong badan saya ke belakang, karena kaki saya terhalang oleh sosok mayat
di pinngir jalan saya terjatuh ke selokan rawa’.”
Persis ketika itu, pada saat Westenenk masih terlentang di dalam selokan dia
melihat tiga sosok berpakaian putih-putih dengan rambut tergerai melayang di
udara sambil mengayunkan rudus di tangannya. Satu orang di antaranya menebas
batang leher serdadu Belanda. Tapi yang sangat mengenaskan pula yaitu
seorangnya lagi mengayunkan rudus dan membelah kepala seorang Sersan yang
sedang terdesak, kemudian seorang lagi hinggap, bertengger tepat di pundak
seorang Kopral sambil menjambak rambutnya ke belakang dengan tangan kirinya,
sedangkan tangan kanannya menggesekkan sebilah rudus ke batang leher Kopral
yang tertengedah itu.
“Kau kah itu, Aisyah?,” suara seseorang terdengar oleh L.C. Westenenk.
“Itu adalah suara Datuak Rajo Pangulu. Berarti yang membelah kepala sersanku itu
adalah istrinya, Siti Aisyah. Tentunya pula yang menebas batang leher serdadu tadi
adalah Siti Anisyah?! Tapi yang menggesek leher si kopral itu siapa ya...? Dia juga
berambut panjang...?!,” gerutu L.C. Westenenk yang sedang menggigil dalam
keterpurukannya direndam air di selokan.
Ketiga penyerang berambut panjang itu memisahkan diri mengejar musuh di depan
dan di sampingnya sendiri bagaikan ‘singa lapar’ dengan memainkan klewang yang
berada di tangannya. Sambil melompat ke muka dan ke belakang, ke kiri dan
kanan menebas tubuh-tubuh para serdadu Belanda tanpa pandang bulu.
Siapa yang menebas siapa, tidak dapat dintandai pada pertempuran yang
berlangsung pukul 02.00 (dini hari ) hingga menjelang subuh itu, tetapi tiga orang
145 | Maryam Chilvalry
berambut panjang yang tergerai itu sangat jelas hantaman dan makan tanggannya,
yang semakin memperkecil jumlah para serdadu Belanda yang selamat.
Kalaulah rambutnya tidak tergerai, tidak lepas dari ikatan sanggulnya tentulah
tidak diketahui bahwa mereka itu adalah Siti Aisyah, Siti Anisyah dan Siti Maryam
yang turut ke medan laga dan yang tidak kalah dahsyadnya dari kaum laki-laki di
jalan yang kecil dekat jembatan di Kampung Tangah itu. Diperkirakan jalan raya
yang lurus itu dari Simpang Koto Panjang hingga Simpang Pakan Sinayan hanya
sekitar satu kilo meter dan lebarnya sekitar tiga setengah meter.
Setelah serdadu L.C. Westenenk dapat dilumatkan, kecuali hanya L.C. Westenenk
, suasana menjadi sepi, hening. Dan Haji Abdul Manan kembali ke rumahnya dan
mengumpulkan seluruh pimpinan pasukannya untuk megevaluasi kejadian,
menyusun strategi berikutnya dan beberapa instruksi selanjutnya.
“Induk pasukan Westenenk sudah dapat kita hancurkan, tinggal sisa-sisanya, tetapi
Westenek dimana dia bersembunyi, belum dapat kita ketahui,” kata Haji Abdul
Manan kepada rekan-rekannya. Kari Bagindo bersama Haji Ahmad disuruh untuk
menyelidikinya dan segera melaporkan hasil penyelidikan mereka itu. Tapi
sebelumnya Inyiak Manan memberikan analisa lagi.
“Hai Haji Ahmad dan yang lainnya. Bahwa yang berbahaya bagi posisi kita sekarang
adalah pasukan sayap kirinya yang datang dari jurusan Aia Tabik, hingga mereka
dapat dengan mudah mengepung kita dari arah Koto Panjang. Sedangkan dari arah
Timur tidak mungkin, karena mereka melewati tempat terbuka semenjak jembatan
dekat Joho hingga ke Simpang Pintu Koto,” Haji Abdul Manan diam, hening
sejenak.
“Sementara itu kita juga belum mengetahui bagaimana pertahanan Datuak
Parpatiah di Magek dan Datuak Majo Indo di Koto Tangah. Kalau ini bobol maka
pertahanan kita akan terancam bahaya,” sambung beliau lagi, kemudian hening
lagi.
“Dan bagaimana dengan pasukan Kari Mudo di Hilia, apa mereka sudah
mengetahuinya?,” beliau diam lagi.
Sementara menungu jawaban dari masing-masing pembantunya, Haji Ahmad dan
Kari Bagindo mohon diri untuk melakukan tugas penyelidikannya dalam saat fakum
perang sebagaimana yang diisntruksikan Imam Perang mereka itu sebelumnya.
Syekh Jenggot dan Haji Abdul Samad tampil menjelaskan bahwa pasukan dari
Pauah, Sungai Dareh, Suayan Sungai Balantiak, Simarasok dan dari Nagari Nan
Tujuah sebagai sayap kanan pasukan yang dipimpin Datuak Parpatiah (Pauah)
dengan didampingi oleh Datuak Simajo Nan Gapuak, Datuak Andaleh, Pakiah
Sabatang (Tuangku Imam) dan Sutan Bandaro sudah siap menyambut kedatangan
146 | Maryam Chilvalry
“tamunya”. Sedangkan pasukan Datuak Marajo Kaluang sudah merapikan
pasukannya pula di Kampuang Tapi hingga ke Marambuang.
Angku Rumah Gadang melaporkan pula bahwa pasukan Kari Mudo di Hilia, Kamang
Hilir sudah diberitahu oleh Angku Limau Kambiang dan beduk di surau Limau
Kambiang sudah dipalu, dan utusan langsung menemui Kari Mudo pun sudah
berangkat.
Tak lama berselang Haji Ahmad sudah kembali dari peninjauan melakukan
penyelidikan sebagaiman yang diperintahkan pimpinan perang, ayahnya Haji Abdul
Manan dan melaporkan bahwa pasukan Datuak Parpatiah di Magek dan Datuak Majo
Indo di Koto Tangah sudah mengirim utusannya untuk melaporkan bahwa pasukan
mereka sudah mengadakan perlawanan dengan gigih. Kari Bagindo belum
memberikan laporan, belum kembali dari penyedikannya di sekitar Koto Panjang.
Laporan komandan-komandan pasukan seketika itu selesai.
“Perundingan selesai! Semua kita harus tenang menunggu gerak-gerik musuh.
Jangan mendahului, biar mereka yang memulai. Tetapi sedikit pun tidak ada dan
tidak boleh berlalai-lalai!,” instruksi Haji Abdul Manan setelah selesai
mengevaluasi situasi dan hasil penyelidikan.
Selesai briefing, para komandan pasukan di kediaman Haji Abdul Manan bersalam-
salaman satu dengan yang lainnya dan kembali ke pasukannya masing-masing.
Datuak Rajo Pangulu pun kembali pula ke tempat istrinya bersembunyi di parit
sebelah Utara Kampung Tangah bersama Pado Intan, Tuangku Pincuran, Tuangku
Parit, Datuak Gunuang Hijau dan beberpa orang lagi kawan-kawannya yang sedang
menunggu pasukan Westenenk yang akan menerobos dari arah Barat.
Di semak belukar di sebelah jalan telah siap pula pasukan Pandeka Mukmin yang
sedang mengambil posisi untuk melumatkan pasukan musuh dari arah Timur.
Sekarang si Hendrick akan berhadapan dengan kawannya sendiri yaitu Sersan
Boorman yang sedang mengawasi kawasan Timur sebagaimana yang diperintahkan
Westenenk.
Pasukan Westenenk sudah berada dalam sebuah lingkaran yang dikelilingi oleh
militansi Kamang. Keadaannya benar-benar terjepit. Tinggal menunggu tembakan
salvo atau dentuman beduk dengan gema takbir Allahu Akbar. Menunggu perintah
siapa yang akan memulai babakan kecamuk perang selanjutnya.
Haji Abdul Manan sudah mengevaluasi situasi terakhir, sedangkan Westenenk masih
dalam kegalauan. Pasukan Haji Abdul Manan sudah rapi membentuk sebuah
lingkaran bola-bola api. Pasukan Westeneng kacau balau di titik tengah lingkaran
bola-bola api tersebut.
Ramuan tradisional yang diseduh sore hari oleh pasukan Haji Abdul Manan mulai
memperlihatkan reaksi. Tuak untuk menghangatkan darah dan menghilangkan rasa
147 | Maryam Chilvalry
takut pasukan yang di ‘sasok’, diteguk berulang ulang oleh pasukan Westenenk
sebelumnya di balai prajurit dekat Birugo itu telah kehabisan khasiatnya, karena
telah terkuras oleh perjalanan panjang dan labrakan sesaat dari pasukan Haji
Abdul Manan. Jangankan untuk menghisap candu, memasukkan peluru ke
senapannya saja tidak sempat lagi.
Suasana tetap sunyi, sepi! Satu pasukan napasnya sesak menunggu gerik musuh.
Pasukan yang satunya lagi jantungnya berdenyut kencang dalam kecemasan. Dalam
kesunyian yang tak terperikan itu, dentuman salvo yang diiringi asap tebal
mengiringi bola api menjulang kelangit serta diringi bunyi tiupan terompet perang
dari arah Barat membelah kesunyian.
Dari siraman cahaya letusan komando itu Kari Bagindo melihat jelas posisi
keberadaan Westenenk di sebelah Barat dia berada yang akan diperkuat oleh induk
pasukannya di Koto Panjang. Kemudian bergegas melaporkan kepada abangnya
Haji Ahmad yang segera pula melaporkan kepada Ayahnya Haji Abdul Manan.
Terompet komando dari induk pasukan itu dijawab oleh pasukan sayap kiri musuh.
Pasukan induk yang dipecah di Simpang Banto dekat Simpang Empat Sungai Tuak
telah masuk jurusan Barat menuju Kampung Tangah, mereka berjalan – ‘maojok-
ojok’ – dalam kewaspadaan pada kiri dan kanan jalan, tak obahnya seperti burung
onta berjalan di tengah padang. Tanpa diketahuinya, secara diam-diam pasukan
Datuak Marajo Kaluang mengikutinya dari belakang.
Sesampai pasukan musuh di bahagian Barat Kampuang Tangah, Syekh Jenggot, Haji
Jabang meneriakkan suara takbir “Allaaahuakbar...!”, dengan sekeras-kerasnya
dalam semangat yang mendidih. Teriakan takbir itu disahuti pula oleh Datuak Rajo
Pangulu. Tibalah saatnya pasukan yang bertahan pada posisi Barat dan Timur
berhamburan maju mengeroyok pasukan Westenenk beserta sisa pasukannya yang
bertahan di Kampung Tangah. Dari arah belakang sisi Barat pasukan Haji Jabang
dan kawan-kawannya menyambut kedatangan sayap kiri musuh. Dibelakang sekali
dari pasukan musuh itu diburu dan didesak pula oleh pasukan Datuak Marajo
Kaluang.
Ronde selanjutnya dimulai, karena pasukan putih terbantu oleh kilatan stripstrip
putih pakaian dan jumbai topinya pasukan Westenenk. Sehingga memudahkan
sasaran penglihatan. Tanpa hayal lagi Syek Jabang mengganas tak kenal ampun
bersama Tuangku Parit, Tuangku Pincuran Datuak Marajo Kaluang, Datuak Marajo
Tapi, Datuak Parpatiah Pauah, Sutan Bandaro Kaliru dan Siti Aisyah yang
didampingi suaminya Datuak Rajo Pangulu.
Bunyi letusan bedil hanya terdengar satu kali sewaktu penyerangan mendadak
dimulai oleh pasukan Seyekh Jabang. Selanjutnya yang terdengar adalah
gemerincing besi, kelewang beradu dengan laras senapan, bayonet beradu
menangkis rudus dan pedang.. Bunga api dari peluru yang meluncur dari laras
148 | Maryam Chilvalry
pancang berganti sudah dengan percikan bunga api besi yang beradu dan
bergesekan. Pasukan Belanda kalang kabut tak tentu arah.
Ucapan-ucapan kotor keluar dari mulut pasukan marsose yang kena sayatan dan
hantaman kelewang. Sebaliknya kalimat suci, tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar
dari pasukan Haji Abdul Manan meningkah kelatahan pasukan Belanda itu.
Haji Jabang, Syekh Jenggot sambil berkucitak dalam kecamuk itu tetap
meneriakkan kalimah-kalimah yang membakar semangat pasukan fi sabilillah itu.
“La takhaf wa la tahzan. Allahu ma’ana. Jangan takut dan gentar. Allah bersama
kita.”
Komando itu disambut pula oleh Datuak Marajo Kaluang dengan pekikan ‘Allauhu
Akbar’ berulang-ulang sambil memburu, menggempur dari bagian barisan musuh
yang sudah dikuntitnya dari tadi. Pasukan musuh kucar-kacir, ada yang melompat
ke dalam parit, selokan, melompat kolam, ke dalam sawah, tetapi tetap saja
mendapat labrakan kelewang karena pasukan Bansa Kamang sudah bertebaran di
sekeliling mereka, bak menunggu sapi masuk kandang untuk dijagal. Lumat sudah
pasukan sayap kiri musuh yang datang dari arah Air Tabik, setelah longmarch
sejauh lebih kurang 17,5 km hingga 20 km dari kota Ford de Kock itu.
Di bahagian Timur Kampung Tangah pertempuran berjalan dengan dahsyadnya
pula, kejar mengejar di tengah jalan, lompat melompati selokan, decakan rudus,
kelewang memindai di punggung dan pundak para marsose meningkah tarian
pedang dan bayonet yang disandang mereka.
Suara hening kembali menandai perlawanan pada ronde ini selesai pula. Haji Abdul
Manan dan komandan masing masing pasukan kembali ke rumah untuk melakukan
evaluasi, penyelidikan dan follow-up untuk mengatur strategi berikutnya. Hari
semakin larut juga. Udara semakin lembab, waktu Subuh semakin mendekat.
Kali ini instruksi yang diberikan Haji Abdul Manan adalalah “...andaikan subuh
sudah datang, maka diperintahkan kepada seluruh pasukan untuk menyingkir dan
menyelamatkan diri pada siang hari, karena di siang hari musuh akan mudah untuk
mengarahkan senjatanya guna menghabisi pasukan kita dan bahkan seluruh isi
kampung ini,” katanya.
“’Dan kamu!,” kata beliau, Inyiak Manan lagi kepadaku. “Andaikan peperangan ini
tidak dapat dilanjutkan lagi, dan andaikan pula kita kehilangan pemimpin, bahkan
termasuk saya sendiri, maka kepadamu aku amanatkan untuk berupaya
menyelamatkan diri secepatnya guna terwarisinya kisah peperangan ini kepada
anak cucu kita nanti.”
Haji Abdul Manan diam, menekurkan wajahnya dan terlihat lehernya menegang,
menelan ludahnya untuk membasahi kerongkongan yang sudah kelat. Kemudian air
putih pun di hidangkan yang punya rumah.
149 | Maryam Chilvalry
“Sedapat mungkin kamu upayakanlah untuk dapat menyelamatkan diri ke Tanah
Semenanjung, karena Ulando tidak akan mungkin mengejarmu sampai ke sana,
karena Semenanjung telah di kuasai oleh Inggirih (Inggris). Konon kabarnya pula,
Syekh Taher Jalaluddin, saudara sepupu Syekh Ahmad Khatib al Minangkabauwi
sudah menetap pula di negeri Semenanjung itu,” lanjut beliau lagi dan sedikit
merangsang pertanyaanku pada beliau.
“Berarti Syekh Taher saudaranya Kepala Nagari Koto Tuo Ampek Angkek itu,
Nyiak?.”
“Ya. Beliau saudara Amin Pamuncak, Muhammad Amin Pamuncak Sutan Bagindo.”
“Ada bagusnya pula apabila menemui beberapa karib-kerabatku di Sungai Ujong di
Negeri Sembilan terlebih dahulu, selain keteranganmu sendiri, berikanlah sepucuk
surat saya ini untuk lebih menguatkan keteranganmu, supaya kamu bisa diterima
mereka di sana,” sambung beliau lagi dan kemudian memberikan lembaran kertas
yang berlipat, yang beliau keluarkan dari kantong ikat pinggang ‘kamareleng’-nya
yang besar itu.
“Pada suatu saat yang telah memungkinkan, kamu susunlah riwayat perjuangan
kita ini dalam menegakkan kedaulatan kita dan mengenyahkan kaum kafir di bumi
kita ini. Selanjutnya kamu rawikan pulalah kepada pejuang-pejuang kita nanti dan
kepada orang-orang yang singgah di – ‘gua persembunyianmu’ – itu. Kamu paham
maksudku?”
“Insyaallah, Nyiak,” jawabku dengan anggukan kepala sebagai takjupku yang laur
biasa pada beliau.
Dengan air mata berlinang, aku berusaha meyakinkan beliau di hadapan para
komandan pasukan perang itu. “...segala petuah dan amanah Inyiak akan ambo
pegang teguh. Semoga Allah, Swt pun memberikan perlindunganNya kepadaku dan
kepada semua pejuang kita.”
Mendung yang sedang menunggu sambaran halilintar. Dengan mengangkat wajahku
setengah menengedah dan sedikit suara agak serak aku tegaskan lagi “Insaallah,
Nyiak!!!”
Pertemuan mendadak di rumah Haji Abdul Manan larut tengah malam itu, tanpa
diduga sebelumnya juga dihadiri oleh Majo Ali, seorang utusan Siti Mangopoh yang
sengaja datang menemui Haji Abdul Manan dengan maksud untuk
mengkonfirmasikan kapan serangan terhadap Belanda akan dilancarkan. Tau-
taunya malam itu, Majo Ali pun turut terlibat dalam kancah peperangan di Kamang
itu.
Padahal Siti Maryam, si “chivalry” itu sudah diutus oleh Haji Abdul Manan ke
Mangopoh untuk memberitakan bahwa perang melawan Belanda akan dimulai
malam itu di Kamang dan segera pula letuskan perang di Mangopoh dan sekitarnya.
150 | Maryam Chilvalry
“Majo Ali! Sekarang segera pulalah kamu kembali ke Mangopoh. Beritakan kejadian
malam ini kepada Siti dan pejuang kita yang lainnya. Dan kobarkan secepatnya
semangat perang ini sampai ke Pariaman. Jangan biarkan serdadu Ulando itu dapat
bernapas walaupun untuk satu hirup hisapan rokok! Kalau mereka mendapat
peluang dan kesempatan meskipun sekejab maka habislah kita, karena mereka
dibantu dengan peralatan perang yang maju dan pertolongan para pengkhianat
perjuangan kita. Kepung dan lakukan serangan cepat dan mendadak, dan pecah
pasukannya dengan penghadangan awal pada tengah-tengah barisannya! Serangan
harus terpusat dengan pola maju-mundur, dan kalau musuh berada dalam garis
pertahanannya atau benteng lakukan penyusupan terlebih dahulu dan hantam
sekonyong-konyong!.” Demikian petunjuk terakhir dari Imam perang di Kamang
malam itu.
“Sudah waktunya kalian untuk berangkat, dan kami pun akan melanjutkan
perlawanan, guna menghabiskan sisa-sisa pasukan Ulando dan Siteneng itu
sendiri.!,” sambung Inyiak Manan lagi kepada Majo Ali.
“Tapi, Nyiak! Kami harus membawa serta Inyiak malam ini untuk memimpin
perjuangan pasukan – ‘tujuh belas’ – kita di Mangopoh. Kami berharap Inyiak
memimpin zikir selama perang berlangsung. Ini pesan khusus dari Kak Siti,” pinta
Majo Ali.
“Haji Abdul Gafar kan ada yang akan memimpin zikir,” tanggapan Haji Abdul
Manan.
“Iya Nyiak!, tapi kami telah sepakat agar Inyiak yang memimpin zikir itu.”
“Sekarang tidak mungkin Majo (Ali), karena di sini perang belum selesai, belum
berakhir,” kata Inyiak Manan lagi.
“Kalau begitu, Nyiak. Biarlah saya tunggu. Sama-sama kita selesaikan dulu
pekerjaan yang terbengkalai ini, di sini!,” tegas Majo Ali pula.
“Maryam bagaimana?,” tanya Haji Abdul Manan
“Biarlah Maryam berangkat terlebih dahulu, Nyiak. Atau paling tidak Maryam akan
menunggu di tempat yang telah kami sepakati tadi,” jawab Majo Ali.
Bersamaan dengan terperanjatnya saya mendengar perkataan Majo Ali itu, Kak Siti
Aisyah memecah suasana dialogis itu, “O, ya! Apakah kamu tidak punya pesan
kepada Maryam?,” kata Kak Siti Aisyah kepadaku sambil mengikat kembali
rambutnya yang tergerai itu. Sehingga orang-orang diatas rumah serentak terdiam
dan menoleh kepadaku.
“O,ya, Kak Aisyah! Sebetulnya di halaman rumah nanti akan saya sampaikan
kepada Tuan Majo Ali. Tetapi karena sudah kakak mulai, ya..., tidak apalah,
langsung sajalah sekarang saya sampaikan,” jawabku kepada Siti Aisyah.
151 | Maryam Chilvalry
“Tuan Majo Ali, sampaikan salam saya kepada Siti Maryam, dan kalau sempat
ceritakanlah kepadanya bagaimana kelincahan dan kehebatan Kak Siti Aisyah dan
Etek Siti Anisyah dalam menghadapi serdadu Ulando ini tadi. Kedua wanita kita itu
benar-benar bagaikan ‘naga terbang’. Mudah-mudahan hatinya senang dan dapat
menggelorakan semangat juangnya di sana.”
“Bukan hanya berdua, Juru Tulis. Tapi bertiga perempuan kita malam ini!,” pintas
Majo Ali.
“Bagaimana...?,” tanyaku heran.
“Oh, maksudku Juru Tulis! Kilah Majo Ali kembali ‘apakah tidak sebaiknya kamu
saja langsung untuk menemuinya?,” sambungnya.
Pernyatan Majo Ali semakin membingungkan aku dan termasuk semua orang di atas
rumah itu, kecuali Inyiak Manan, Mak Datuak Rajo Pangulu dan Kak Siti Aisyah.
“’Memangnya kenapa, Tuan Majo? Kan dia, Maryam’, kataku untuk lebih
memastikan ‘sedang ke Mangopoh. Dan saya tidak mungkin menyusulnya ke sana
malam ini, Tuan?!,’” sambungku lagi kepada Tuan Majo Ali.
“Bukan begitu maksudku!,” kata Tuan Majo Ali
“Lalu...?,” desakku lagi.
“Barangkali kamu kurang arif tentang maksud Aisyah tadi, Juru Tulis!,” jawab Tuan
Majo Ali, membuat aku semakin bingung, apa sebutulnya yang terjadi dan rahasia
apa sebetulnya yang luput dari tugasku.
“Maryam masih di sini, Juru Tulis!,” kata Tuan Majo Ali kepadaku.
Dengan serta-merta aku terlonjak kaget, bingung, nanar seperti orang kehilangan
akal.
“Dia juga turut bertempur sebentar ini bersama Guru Tuonya ini,” jelas Majo Ali
sambil menunjuk Kak Siti Aisyah.
“Tolong ulangi sekali lagi, Tuan Majo!, apakah aku tidak salah dengar tentang yang
Tuan katakan itu!,” desakku untuk lebih meyakinkan, tentang keterlibatan Maryam
pada pertempuran sesaat tadi dan entah dironde keberapa di masuk ke arena
pertempuran. Kemudian Tuan Majo Ali mengulangi lagi kalimat yang sama
kepadaku.
“Juru Tulis, Maryam masih di sini, dia turut berperang bersama-sama kita sebentar
ini, dia telah bergabung dengan Aisyah dan Anisyah, Juru Tulis!”
“Betulkah itu, Tuan? Lalu, kenapa bisa begitu, Tuan Majo?” Tanyaku lagi dengan
penuh haru dan antusias.
152 | Maryam Chilvalry
“Memang, tadi sore Maryam telah memacu kudanya menuju Mangopoh. Tetapi,
sesampai di Simpang Gudang kami bertemu, karena saya juga menuju kemari ingin
meminta penjelasan kapan perlawanan akan dimulai. Di sana terjadi pembicaraan
kami, dia langsung menceritakan kondisi terakhir di sini, bahwa sudah dapat
dipastikan pada malam ini perlawan akan berlangsung. Sejenak kami menyoal
kondisi ini dan langkah apa yang akan kami tempuh. Apakah dia berbalik ke sini
dan saya kembali ke Mangopoh membawa berita dari Maryam tersebut. Namun aku
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke sini, akan turut bertempur
sebisanya, maka Maryam pun tersentak dan memutuskan pula untuk balik ke sini.
Sehingga kami putuskan bahwa kami berdua untuk secepatnya sampai di Kamang
ini. Sesampai kami di sini keadaan sudah kacau, perang sudah berkecamuk, maka
Maryam langsung meberikan perintah padaku untuk menyusup ke barisan Syekh
Jenggot dan dia, yaitu Siti Maryam akan bergabung dengan Pandeka Mukmin. Dan
selama di perjalanan Maryam sudah menjelaskan pula kepadaku tentang strategi,
posisi dan kepala pasukan,” jelas Majo Ali kepadaku.
“Apakah Inyiak dan Mak Datuak sudah mengetahui hal ini, sebelumnya?,” tanyaku
pula pada Inyiak Manan dan Mak Datuak Rajo Pangulu.
“Sudah. Sudah ada kurir yang menyampaikan kepada kami bahwa mereka berdua
berada di sini dan turut bertempur!,” jawab Inyiak Manan.
“Lalu, dimana dia sekarang, Tuan Majo?,” tanyaku lagi kepada Majo Ali.
“Itulah dia Siti Maryam, masak kamu tidak mengenalnya? Dia itu bertempur seperti
siluman, dengan secepat kilat dia menyerang dan secepat itu pula dia menghilang.
Kemudian menyerang lagi dan menghilang lagi,” jawab Majo Ali.
“Dia sekarang sedang bersama Kak Siti Anisyah!,” sela Siti Aisyah dengan tegas.
“Tetapi selama diperjalanan tadi kami juga telah sepakati bahwa andaikan kami
selamat dalam kecamuk perang malam ini, maka menjelang subuh, selesai atau
tidak peperangan ini maka kami harus tinggalkan dan bersama-sama pula kembali
ke Mangopoh untuk mengkondisikan dan membantu perlawanan di Mangopoh
bersama pasukan – “tujuh belas” – dan dia sendiri akan mendampingi Kak Siti, istri
Tuan Rasyid (Hasyik) Bagindo Magek nantinya. Barangkali dalam kondisi perang
yang agak reda ini dia sudah berbalik menuju Mangopoh. Dia pasti menunggu saya
di sebuah tempat yang sudah disepekati di Garagahan, atau kalau saya yang duluan
sampai di sana, maka saya yang menunggunya untuk bersama sama memasuki
Mangopoh,” jelas Majo Ali lagi kepadaku.
Mendengar semua pemaparan Majo Ali itu, sehubungan dengan Maryam, aku hanya
termangu-mangu memikirkan betapa militannya si perawan desa itu, dia relakan
kecantikan wajahnya dicabik-cabik peluru serdadu Belanda. Juga terlintas
153 | Maryam Chilvalry
dipikiranku .....’apakah dia tidak ingin berjumpa denganku, atau dia memang telah
melihat sosokku dalam kecamuk tadi?’ Akh..!, aku kehilangan kendali lagi ulah si
‘chivalry’ itu, yaitu perempuan satria dengan kepribadian sempurna penuh
keteladanan nan selalu berbakti pada Tuhan.
Setelah selesai mengatur strategi di rumah Haji Abdul Manan itu, kemudian kami
berangkat kembali ke medan pertempuran, berniat untuk menghabisi sisa pasukan
dan termasuk L.C. Westenenk sendiri yang masih belum diketemukan.
154 | Maryam Chilvalry
18. Badai Menjelang Subuh
JALU-JALU adalah sejenis tumbuhan rambat yang tumbuh liar di rimba-rimba,
buahnya menjadi konsumsi burung. Tapi, bagi pemuda di Minangkabau telah
menjadi pokok pantun yang didendangkan setiap mengakhiri sebuah acara,
biasanya dalam mengakhiri acara bergurau saluang. Saluang merupakan alat musik
tiup tradisional asli Minangkabau daratan, dari Luhak Agam. Dendang jalu-jalu
dinyanyikan ditengah malam menjelang subuh hari sebagai lagu perpisahan;
“Jalu-jalu di dalam parak,
makanan anak tiuang rimbo.
Sagitu dulu oi... urang banyak,
bapisahlah dulu kito samantaro.”
Pasukan Datuak Rajo Pangulu dan Siti Aisyah sudah bergabung dengan Haji Abdul
Manan menyelesaikan pekerjaaan yang masih terbengkalai. Dalam gabungan
pasukan Haji Abdul Manan dan Datuak Rajo Pangulu, Siti Aisyah berusaha untuk
mendekati Siti Anisyah guna menyampaikan taktik serangan yang sudah di atur di
rumah Haji Abdul Manan.
Ternyata tidak gampang pula untuk mengenali wajah Siti Anisyah dalam
kerumunan pasukan itu, karena disamping hari malam adalah karena Siti Anisyah
pun sama dengan Siti Aisyah yaitu sama-sama berpakaian laki-laki berwarna putih.
Setelah mereka bertemu dan membicarakan strategi, maka Aisyah dan Anisyah
merayap dalam selokan antara sawah dan jalan raya. Siti Aisyah di sebelah kiri
jalan sedangkan Siti Anisyah di sebelah kanan jalan, masing-masingnya didampingi
pula oleh pasukan laki-laki, tentu saja yang sangat dekat di sisinya adalah suami-
suaminya sendiri.
155 | Maryam Chilvalry
Untuk mengelabui pasukan Belanda yang sedang waspada di sepanjang jalan raya,
maka sebahagian lagi pasukan berpakaian laki laki berwarna serba putih itu tetap
meratib menyebut asma’ul husna Lailahailallah..., sambil berjalan di tengah jalan
raya dengan rudus yang selalu waspada pada masing-masing tangan mereka.
Sesampai dipertengahan barisan serdadu Belanda, kedua srikandi yang merayap
membungkuk-bungkuk sambil mengendap mengendap itu berhenti sejenak
menunggu pasukan yang bergerak dari arah Timur, dan bersiap-siap pula menunggu
aba-aba berikutnya dari komandan pertempuran.
Pasukan Westenenk terpukau oleh gerakan pasukan yang berada di ujung jalan
raya, baik dari arah Barat maupun dari arah Timur. Apalagi mendengar gemuruh
suara ratib Lailahailallah...! Lailahailallah...! Lailahailallah...!, Secara serentak,
yang semakin lama semakin mendekat ke arahnya.
Pada kondisi pasukan L.C. Westenenk dalam keadaan terkepung barulah teriakan
komando Allahuakbar...! menggema, menggelegar, keluar dari kerongkongan Syekh
Jenggot. Dan dengan secapatnya pula pasukan rakyat secara serentak berhamburan
dari dalam sawah ke tengah pasukan Belanda itu.
Dalam keadaan serdadu Belanda terpana itu terdengar pula suara teriakan wanita
yang melengking dari sebelah kiri dan kanan jalan, yang diringi oleh bayangan
putih yang melayang ke tengah jalan membelah barisan pasukan Belanda tersebut.
Seketika itu pula rudus di tangan dua orang srikandi dari Kamang Hilir itu, Siti
Aisyah dan Siti Anisyah berdecak merambah batang leher, punggung, dada dan
pangkal bahu serdadu Belanda. Rudus-rudus srikandi itu sangat leluasanya meliyuk
kiri dan kanan dari arah atas ke bawah, karena kelincahan dan kelihaian
pemiliknya memainkan rudus diantara tubuh musuhnya. Srikandi-srikandi itu
dengan pinggangnya yang lemah melompat terbang kiri dan kanan, muka dan
belakang seakan tidak mendapat perlawanan dari serdadu Belanda, yang terdengar
hanyalah erangan dan jeritan mereka karena di ‘semba’ klewang perempuan
perempuan yang sudah bringas itu.
Decakan klewang dan rudus para pasukan putih itu hanya dibalas dengan tembakan
serdadu yang tidak tentu arah dan membabi buta. Hanya untuk satu kali tembakan
bagi masing-masing serdadu itu, karena tidak sempat lagi mengisi peluru untuk
tembakan berikutnya. Untuk kesekian kalinya guna menyelamatkan diri
terpaksalah mereka mempergunakan bayonet yang menempel di ujung senapannya
tersebut. Dan secara kebetulan pula diantra tembakan mereka itu ada yang
mengenai sasaran, mayat para kawan kawan srikandi itu satu persatu berjatuhan
dan bergelimpangan juga di dalam sawah, di dalam selokan dan di tengah jalan
raya, seperti ronde ronde sebelumnya.
156 | Maryam Chilvalry
Pertempuran yang membutuhkan stamina yang kuat itu menyebabkan perlawanan
dilakukan beberapa kali gelombangan serangan, dengan cara silih berganti antara
kelompok yang maju dan kelompok yang beristirahat. Sewaktu beberapa kelompok
yang sudah bertempur mengundurkan diri, maka beberapa kelompok dalam
keadaan siap sedia di belakangnya maju untuk menggantikan. Pasukan yang
mundur langsung ke tempat perlindungan yang sudah dikondisikan untuk
beristirahat guna memulihkan tenaganya sambil mengkoordinasikan kembali
anggota pasukan, sehingga dapat pula sekaligus menghitung jumlah anggota yang
tinggal dan sebaliknya yang telah menjadi korban. Dalam kondisi frontal, serangan
berlapis itulah taktik perlawanan yang dilakukan pasukan Kamang yang tergabung
dari berbagai anak nagari di Minangkabau sebagai utusan partisipatif atas
perjuangan anti belasting dengan pusat pergerakan dan perlawanannya di Kamang,
Agam.
Sewaktu Siti Aisyah beristirahat setelah beberapa kali bertempur, tiba-tiba bangun
dan melompat ke arah serdadu Belanda yang tetap waspada. Siti Aisyah berlari
dengan rambut yang tergerai lagi dan pakaian putihnya yang telah berhiaskan
semburan darah-darah musuhnya. Aisyah melompat, menyerbu ke arah tiga orang
serdadu Belanda yang sedang bersusah payah karena terburu-buru mengisi peluru
senapannya. Siti Aisyah menebas batang leher dua orang serdadu kiri dan kanan
dengan sebilah klewang dalam genggamannya. Dengan secepat kilat dia kembali
bagaikan ‘naga mengamuk’. Sewaktu Aisyah mengejar yang seorang lagi, terkilat
oleh suaminya Datuak Rajo Pangulu dan seketika itu juga Datuak Rajo Pangulu
berteriak memperingatkan Aisyah untuk berhenti mengejar serdadu itu.
“Aisyah. Jangan...!,” teriak Datuak Rajo Pangulu.
Tetapi si ‘guru tuo’, Siti Maryam itu sudah terlanjur membuat reaksi melompat dan
melayang di udara maka dia seakan tidak memperdulikan larangan suaminya itu.
Pada jarak sekitar tiga meter menjelang berhadapan dengan serdadu yang terbirit
lari memanggul senjatanya ketengah sawah mencari tempat bersembunyi, tau-
taunya kaki Siti Aisyah terpeleset pada sebuah unggukan tanah di dipematang
sawah, Aisyah terjatuh masuk selokan kecil. Dia berusaha untuk bangun
secepatnya, tapi pergelangan kakinya yang terperosok itu terasa sakit untuk
diangkat. Tau taunya dua orang serdadu lagi sudah berdiri di dekatnya dan
langsung mengacungkan laras senjata ke arahnya.
Dalam keadaan sedang terlentang tak berdaya, Siti Aisyah hanya menggelinjang
sebentar tanpa rintihan apa-apa ketika salah seorang dari dua serdadu masrose itu
memasukkan ujung laras senjatanya ke mulut Aisyah dan langsung menarik
pelatuknya. Dalam satu letusan yang membelah kesunyian malam itu terkaparlah
‘srikandi’ yang perkasa itu dalam lumuran darah bercampur keringat. Meskipun
kedua serdadu itu adalah bangsanya sendiri. Karena memang rekrukment prajurit
marsose itu umumnya orang Batak, Ambon, Bugis, Jawa dan Madura.
157 | Maryam Chilvalry
Dengan wajah yang tenang Siti Aisyah telah menghadap Sang Illahi sebagai seorang
syuhada, darahnya mengalir mewarnai air sawah yang baru ditanami padi.
Melihat istrinya terkapar di pinggir sawah yang baru beberapa hari selesai ditanami
padi itu Datuak Rajo Pangulu yang sedang bertempur menghadapi dua orang
serdadu Belanda lantas berpaling dan berbalik kearah istrinya. Datuak Rajo
Pangulu merangkul, memeluk – ‘menghibai’ – istrinya itu, adalah ciuman terakhir
yang penuh kepiliuan.
Kemudian dia bangkit kembali meninggalkan istrinya di pematang sawah itu untuk
kembali mengejar serdadu Belanda, untuk menuntut balas dalam kekalapan.
Namun sebelum mencapai musuh terdengar lagi sebuah letusan, ternyata
punggungnya telah ditembus timah panas pula.
Akan tetapi Datuak Rajo Pangulu tetap berusaha untuk bertahan dan berbalik
melangkah ke arah istrinya. Dengan langkah terseot-seot Datuak Rajo Pangulu
berusaha menuju pembaringan istrinya. Pada saat bersamaan, ternyata peluru
senjata api Belanda kembali menembus bahagian bawah dada sebelah kanan Dt.
Rajo Pangulu dan berapa langkah kemudian dia tersungkur tepat disamping tubuh
istrinya, Siti Aisyah. Datuak Rajo Pangulu menyertai kepergian istri tercintanya
sebagai seorang syahid dalam menentang kaum kafir itu. Cinta sejati dibawa mati.
Westenenk menembakkan pestol komando, diiringi terompet perang dari arah
Barat, tetapi tidak dibalas oleh terompet di arah Timur. Wetenenk terpaksa
memberanikan diri, maju dari arah Barat.
Haji Abdul Manan yang didampingi anakanya Haji Ahmad dan Kari Bagindo dengan
pasukan intinya yang semenjak tadi sudah siap sedia – ‘mengelus’ – kuduk
Westenenk, dengan klewangnya yang terhunus di tanggannya.
Haji Abdul Manan dengan suaranya yang nyaring mengomandokan pasukannya
untuk serentak maju ke tengah-tengah pasukan Westenenk yang telah mulai
bergerak lagi setelah mendengarkan tembakan salvo dan bunyi terompet perang.
Haji Abdul Manan langsung ‘melalah’, mengejar ke arah tembakan salvo tadi,
tetapi Westenek tidak ditemukannya. Amarahnya pun mulai memuncak, dengan
suara lantang Haji Abdul Manan berteriak.
“Hai... Westenenk majulah kau, aku ada di sini!!!” Tapi westenenk tidak
menjawab.
“Katanya kamu mencari aku! Ini aku, Haji Abdul Manan yang kau cari-cari itu.
Majulah, Westenenk!!! Tunjukkanlah keberanian mu!!! Jangan hanya bisanya
mengancam-ancam kami rakyat. Jangan hanya bisanya memerintah saja!!!,” teriak
Haji Abdul Manan lagi. Tetapi Westenenk jangankan memperlihatkan sosoknya
menjawab pun tidak.
158 | Maryam Chilvalry
‘Biang ka cabiak, gantiang kaputuih’. Supaya jelas jantan betinanya. Haji Abdul
Manan menerjang musuh kiri dan kanan yang didampingi oleh darah dagingnya
sendiri Haji Ahmad dan Kari Bagindo. Sayap Kanan Haji Abdul Manan serentak maju
menghantam musuh, Rauangan, rintihan pasukan inti Westenenk yang kena tebas
pedang, klewang dan rudus itu sangat mengerikan, merindingkan bulu roma.
Sayatan senjata tajam itu seperti sengatan bisa seekor reptil, mereka menggelapar
seperti ikan terpental ke atas pematang sawah yang berjemur matahari. Sisanya
mundur, tetapi pasukan inti Haji Abdul Manan mendesak terus, semakin garang,
mengganas seperti sekawanan binatang ‘fanther’ yang lapar memburu sekawanan
zebra di kaki Gunung Kilimanjoro, Afrika. Lonjakan spirit, semangat seirama
hentakan suara ratib, zikir La Ilaha Ilallah...!, La Ilaha Ilallah...!, La Ilaha
Ilallah...! yang tak putus-putusnya.
Tiba-tiba dari arah kiri Haji Abdul Manan terdengar orang memanggil.
“Ayah...!, ayah...!,” dengan pelan, seperti Haji Abdul Manan mengenal persis
suara itu dan berlari ke arah suara itu.
“Ayah, aku ada di sini!” Dan Haji Abdul Manan segera melompat ke arah suara itu.
Ternyata anaknya, Kari Bagindo.
“Ayah, aku kenah. ‘Yah!,” kata Kari Bagindo.
Haji Abdul Manan berjongkok dan membungkuk memeluk anaknya. Beliau terharu
mendengar rintihan anaknya itu.
“Kamu kena, Kari?!” Dan merobek baju putih anaknya yang sudah berlumuran
darah untuk memeriksa lukanya. “Apamu yang kena, Kari?!”
“Dadaku, Ayah!” Dengan suara lembut, letih Kari Mudo menjawab, memberi tau
lukanya. Baju Kari Bagindo disobek, lukanya dibersihkan ayahnya. Haji Ahmad,
abang Kari Bagindo pun menghampiri ayahnya untuk memberikan pertolongan
untuk adiknya.
Kari Bagindo semakin melemah, lunglai dan tidak berdaya lagi karena kehabisan
darah. Haji Abdul Manan membuka sorbannya yang melilit kepala, leher dan
sebahagian wajahnya dan disobek untuk membalut luka anaknya. Kemudian Kari
Bagindo dibaringkan di atas lutut Haji Ahmad yang sudah dapat melumpuhkan
musuh, menyelesaikan tugasnya.
“Bagaimana ayah, berat lukanya, Ayah?,” Haji Ahmad bertanya sambil memangku
adiknya menggantikan Haji Abdul Manan yang sudah kelihatan letih. Letih bukan
hanya karena seorang – ‘gaek’ – tenaganya terkuras, tetapi melihat anak – sibuah
hati – merintih kesakitan, luka terganga di dada anaknya merontokkan seluruh
stamina, persendiannya terasa lemah. Haji Abdul Manan tidak bersuara, hanya
mengangguk saja menjawab tanya Haji Ahmad. Suasan kembali sunyi seketika.
159 | Maryam Chilvalry
Haji Jabang menyusul ke arah Haji Abdul Manan dan melaporkan bahwa Datuak
Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah serta Datuak Marajo Kaluang sudah duluan
kembali keharibaan Allah, Swt Yang Maha Suci, gugur dalam pertempuran. Tetapi
Westenenk sudah tidak dapat ditemukan lagi, namun kawan kawannya masih tetap
mencari Kontroleur tersebut.
Haji Abdul Manan semakin terhenyak, terharu karena satu persatu orang-orang
yang disayanginya berangsur meninggalkannya untuk selama-lamanya.
“Aisyah. Kamu luar biasa!.” Hanya dengusan itu terdengar lembut dari mulut Haji
Abdul Manan, sebagai reaksinya atas laporan Haji Jabang.
“Angkatlah semua kawan-kawan yang telah gugur ketempat yang patut dan aman,
dan sebahagian lagi kerahkan mencari Westenenk beserta sisa pasukannya,”
perintah Haji Abdul Manan kemudian. Bersamaan dengan itu Pandeka Mukmin pun
datang melapor.
“Pasukan Musuh sudah habis. Karena hari sudah mulai dekat Subuh, kita harus
berpisah supaya kami dapat kembali lagi ke Bukittinggi,” kata Hendrick, si Pandeka
Mukmin.
“Ya, terimakasih atas bantuanmu, Nak! Upayakan dirimu tidak sengsara, Ya!”
“Baiklah, Ayah!,” jawab Pandeka Mukmin yang tersohor juga denga sebutan
‘Pendeka Ulando’ itu. Mereka bersalam-salaman sebagai tanda perpisahan.
Pandeka Mukmin kembali menemui kawan-kawannya dan pakaian dinas militernya
pun dikenakan kembali.
Haji Jabang yang mendapat perintah sudah menggerakkan anak buahnya untuk
menyelamatkan pasukan yang menjadi korban ke Kampung Tangah. Suasana
semakin hening, Kari Bagindo masih bernapas lemah diangkat oleh kawan-
kawannya ke atas Surau di Kampung Tangah
160 | Maryam Chilvalry
Tiba-tiba dari kejauhan yang sayup sayup sampai kedengaran bunyi terompet.
Dalam hening semuanya mendongakkan kepala masing-masing dengan
mengarahkan pendengran untuk memastikan dari arah mana bunyi terompet
tersebut. Lalu Haji Ahmad memecahakan kesunyian.
“Ayah, bunyi terompet itu kedengarannya dari arah Magek. Mungkin pasukan
Mantri Warido. Kalau pasukan bantuan dari Bukittinggi tidak akan mungkin,” kata
Haji Ahmad.
“Ya, ya!,” sambung Haji Abdul Manan dan Haji Jabang serentak.
“Semua pasukan harus dipersiapkan kembali untuk menyambut kedatangan
pasukan sayap kanan musuh. Ini berarti pertahanan Datuak Parpatiah Nan
Sabantang di Magek dapat ditembus musuh,” kata Guru Siti Maryam dan pemimpin
besar perlawnan rakyat yang anti belasting itu.
“Ada apa gerangan sehingga sekawanan buaya darat itu lepas dari perangkap
Datuak Parpatiah Nan Sabantang? Kalau begitu untuk apa pula bersumpah setia
sehidup dan semati?,” tanyanya lagi kemudian.
“Sekarang Bersiaplah!!! Esa hilang dua terbilang. Relakanlah tulang belulang kita
berserakan di jalan. Ikhlaskanlah nyawa berpisah dengan badan sebagaimana
kawan kawan kita yang sudah syuhada itu. Biarkanlah sejarah negeri ini yang
memberi kata akhir sebagai pedoman dan pelajaran untuk anak cucu kita
nantinya.” Begitu penafsiran dan perintah serta semangat Haji Abdul Manan
dengan tak pernah pupus.
“Haji, kobarkan kembali semangat perang. Sudah kepalang. Sibungsu tidak akan
beradik lagi!! Sekarang kita selesaikan amanah dari Tanah Suci, Mekah itu,” ketus
Haji Abdul Manan kepada sahabatnya Haji Jabang.
Haji Jabang langsung berdiri membawa pasukannya menyeberang selokan besar di
sebelah kanan. Sedangkan pasukan inti Haji Abdul Manan tetap di sebelah kiri
jalan. Mereka sama-sama menuju sasaran, yaitu Koto Panjang untuk
menyonsongkan musuh yang datang dari arah Magek. Haji Ahmad tetap
mendampingi ayahnya bersama Angku Rumah Gadang.
Tak berselang lama dalam perjalanan ke Koto Panjang dengan penuh kehati-hatian
dalam kesunyian larut malam itu terdengar suara tembakan. Cuma sekali
dentuman saja dan arahnya tidak diketahui.
Haji Abdul Manan menatap sekeliling dan menangkap bayangan sebuah sosok yang
sedang merangkak di bawah pohon pisang, dengan lambat-lambat Haji Abdul
Manan merangkak mendekati sosok itu. Musuh pun melompat ke seberang bandar,
selokan. Haji Abdul Manan telah siap dengan menghunuskan pedangnya sambil
membentak, “Mana Westenenk?!!!”
161 | Maryam Chilvalry
“Celaka, saya tidak tau,” jawab musuh itu yang kemudian minta ampun. Tapi apa
boleh di kata klewang Haji Ahmad keburu menebas batang leher musuh itu. Dan
seorang kawan musuh itu mengejar Haji Ahmad untuk membantu kawannya yang
tergeletak dengan leher yang hampir putus itu. Tetapi terlambat pula, Angku
Rumah Gadang telah lebih dahulu menyambut musuh itu dengan dengan
menebasnya pula. Musuh jatuh tersungkur berhimpitan menimpa bangkai
kawannya. Keadaan kembali sepi....
Haji Jabang kembali menemui Haji Ahmad, berbisik mengatakan bahwa Westenenk
sudah dicari-cari tetapi tidak ditemukan juga tempat persembunyiannya.
Tau-tau ada suara panggilan dari arah belakang “Ahmad...!”
Haji Ahmad berpaling mengarahkan telinganya. “Ahmad...!” Sekali lagi suara
memanggilnya. Mereka saling berpandangan “...Ayah?!”, dan serentak pula berlari
ke arah suara itu.
“Oh, Ayah rupanya, ada apa Ayah?”
“Kemarilah kamu, dan kawan-kawan kamu. Ayah mau bicara!”
Kami pun menghampiri beliau, sang pemimpin perang itu. “Bagimana?, apa
Westenenk sudah ditemukan?,” tanya orangtua itu. “Belum!!!,” jawab Haji Ahmad
dan Haji Jabang serentak. Kemudian Sekh Jenggot itu melanjutkan laporannya.
“Westenenk sudah dicari-cari sampai ke Koto Panjang. Setiap liku dan tebing sudah
diteliti, tetapi satupun pasukan musuh tidak ditemukan lagi, selain bangkai-
bangkai musuh yang bergelimang darah. Dan sekarang beberapa orang pasukan kita
sedang mencarinya ke dalam kampung Koto Panjang, mereka belum kembali,”
jelas kawan Imam Perang itu yang sehidup semati sejak dari kecil sampai di
perantauan dan sama-sama pulang pula untuk mempersiapkan apa yang terjadi
dimalam buta itu.
“Ahmad!,” kata ayahnya lagi dan kemudian berhenti sejenak.
“Haji!,” serunya kepada Haji Jabang sambil memegang tangannya.
“Sekarang sudah pukul tiga atau pukul empat pagi, mungkin Westenenk sudah
mengundurkan diri bersama sisa pasukannya, namun tetaplah waspada menjelang
subuh ini. Kalau sudah siang kita tidak mungkin bertempur lagi karena senjata kita
tidak mungkin bisa melawan musuh dengan bersenjatakan senapan dan meriam di
siang hari. Oleh sebab itu persiapkan pasukan kita untuk mundur mencari
perlindungan masing masing di siang hari untuk menanti saat selanjutnya pada
malam besoknya. Dan beri kabar semua kawan-kawan kita di daerah dan pos-pos
lain supaya selalu siap sedia melawan musuh, jika nanti pasukan Westenenk
menyerbu lagi.”
162 | Maryam Chilvalry
Haji Abdul Manan kemudian berhenti sejenak, napasnya mulai sesak dan badannya
terlihat semakin letih. Dan dengan suara terputus-putus berwasiat lagi.
“A...yah!, a...y...ah!, A...yyy...a...h!, tidak...
mungkin...lagi...me...ne...russs...kan pim...pinan perrrang ini!. Ayyah kennna!,
sebentar lagi mungkin Ayyyah akan menghadap Illahi Rabbi, Allah
Subhanawata’ala, dan sudah tak mungkin lagi...! Terrruskan perrrjuangan...!”
Diam lagi, namun mulutnya tetap komat kamit dan ujung lidahnya terkilas
melentik lentik seperti orang mengucapkan Allah! Allah! Allah!
“A...yah sssuddah merrasa puas. Amanat kakekmu di tanah suci dulu sudah kita
laksanakan bersama.... Kita tidak menyerah begitu saja pada kehendak dan
kelancangan musuh terhadap anak, kemenakan dan cucu kita nati.... Berjuanglah
terrruss. Ingat!!! Pengkhianat selalu ada dimana mana, hati-hati! Jangan ceroboh!
Demi dekat dengan Allah Subhanawata’ala biarlah miskin harta daripada menjadi
budak kapitalih. Karena kaum kapitalih tidak akan sadar akan perbuatannya telah
menghalalkan apa saja untuk jabatan dan kekayaan, bahkan riba pun dia halalkan.
Ingat pesan Ayah. Dekatkan diri selalu pada yang paling berkuasa, yaitu Allah
Subhanawata’ala.”
Diam lagi, dengan tatap terengah-engah pelan, dan berupaya pula mengambil
napas lagi untuk menyampaikan amanah selanjutnya.
“Ahmad!!!, kalau batu sipadan di asak urang!,” sempadan ulayatmu diusik orang.
“Begitu pula terhadap negeri ini, terhadap agama kita dan terhadap bangsa kita.
Busungkan dadamu, nak!!!. Malam ini kamu dan adikmu serta kawan-kawan kita
telah membuktikannya”
“Tapi, Ahmad!!!” Katanya lagi setelah terdiam pula sejenak, “Selagi menyangkut
dengan pribadi sendiri tetaplah bersabar, bersabar dan bersabar. Tenangkan
perasaan, jernihkan pikiran dan sandarkan perasaan kepada pemiliknya, yaitu Allah
Ajja wazalla. Bertanyalah dan memintalah kepada-Nya petunjuk yang lurus.”
Sunyi lagi sesaat.
“Juru Tulisku! Maafkan saya karena kamu selalu aku suruh, aku perintah selama
ini. Sekarang jalankan amanahku tadi, selamatkanlah dirimu sekarang. Biarlah Haji
Jabang dan lain-lain yang menyelesaikannya perang menjelang subuh ini.
Selamatkanlah segala perbendaharaanmu tentang seluk beluk perlawanan ini.
Dan..., jadilah... kamu... sebagai perawi ikhwal perang ini... untuk cucu-cucu kita
nanti.”
Ditengah-tengah bersemangatnya mengkhotbahi kami, tiba-tiba tubuh beliau oyong
dan rebah dalam pelukan Haji Ahmad, beliau berhenti berbicara dan keadaan
163 | Maryam Chilvalry
kembali sunyi. Angku rumah gadang berupaya pula memeluk beliau, membantu
Haji Ahmad.
Tiba-Tiba kedengaran gema takbir, “Allahu Akbar!.. Allahu Akbar!... Allahu
Akbar!” dari jurusan Timur yang sayup-sayup kedengarannya dari tempat kami
bersembunyi di Koto Panjang. Tak lama kemudian terdengr pula bunyi tiupan
terompet perang musuh dari arah Pulai Magek sebelah Selatan. Haji Abdul Manan
yang menelentang dalam pelukan Haji Ahmad dan Angku Rumah Gadang saling
berpandangan denga Haji Jabang.
“Oi!, Mungkin pertahanan Datuak Parpatiah Nan Sabatang di Magek dan Datuak
Majo Indo di Koto Tangah dapat ditembus musuh,” kata Haji Jabang tiba-tiba.
“Sekarang Haji Ahmad dan Angku Rumah Gadang selamatkan ayah segera. Bawa
beliau ke rumah sebelum terlambat. Biarlah bapak pimpin pasukan kita
menghadapi musuh itu. Agaknya Kari Mudo telah mengerahkan pasukannya dari
Timur untuk membantu kita.”
“Baiklah Bapak,” jawab Haji Ahmad. Kemudian tubuh Haji Abdul Manan kami
gotong ke rumah beliau di Kampung Tangah.
Sawiyah menahan perasan sedihnya saat Majo Ali membuka pakaian Haji Abdul
Manan untuk memeriksa lukanya. Terlihat dada kanan Haji Abdul Manan sobek dari
arah rusuk di bawah ketiak hingga ke bidang dadanya, dengan serta merta Majo Ali
membalurkan air ludahnya ke tempat yang luka tersebut dan membalut luka itu,
setelah meminta sorban beliau kepada Miyah, anak perempuan Haji Abdul Manan
yang seorang lagi.
Pakain Haji Abdul Manan ditukar semuanya dengan yang bersih. Itulah satu satunya
obat penawar luka dan atiseptik dalam keadaan yang sangat darurat ketika itu, air
ludah Majo Ali yang sudah dimantrainya. Kemudian Majo Ali berlalu dari rumah
untuk menyusul Sekh Jabang. Haji Jabang mempersiapkan pasukan untuk
menghadang musuh yang datang dari arah Selatan, yaitu dari Magek Pulai yang
didampingi Majo Ali.
Tak berselang lama sudah terlihat pasukan musuh berjalan membungkuk bungkuk
seperti amai-amai akan menangkap anak ayam. Suara takbir dari pasukan Kari
Mudo dari arah Timur Koto Panjang terdengar semakin mendekat dan semakin
bergemuruh. Selepas dari jembatan Koto Panjang menuju Kampuang Tangah
pasukan Kari Mudo dihujani oleh tembakan musuh, karena pasukan Kari Mudo
masuk dalam jebakan musuh yang tidak di duga oleh Kari Mudo sebelumnya,
sehingga banyaklah diantara pasukannya itu yang menjadi korban.
Haji Jabang dengan serangan itu dapat mengetahui persis keberadaan pasukan
Belanda, selanjutnya memberikan isyarat dan perintah kepada pembantu-
pembantunya, Sutan Bagindo Kaliru di sebelah kanan dan di sebelah kririnya Majo
164 | Maryam Chilvalry
Ali yang tergabung dalam pasukan banyak. Haji Jabang membisikkan siasat
penggempuran.
“Jika musuh mulai menembak lagi, komando segera saya berikan, dan apabila
sudah terdengar komando segera lakukan serangan serentak ke tengah-tengah
barisan musuh. Beri tahu kawan-kawan!”
Selesai menerima penjelasan itu Sutan Bagindo Kaliru dan Tuangku Pincuran
langsung mendekati kawan-kawannya untuk menyampaikan perintah tersebut.
Tembakan musuh mulai ramai lagi ke arah pasukan Kari Mudo. Haji Jabang
langsung memberikan komando dengan meneriakkan takbir “Allahu Akbar”.
Pasukan yang dipimpin Bagindo Kaliru dan Tuangku Pincuran serentak menyerbu ke
tengah-tengah musuh.
Pasukan Belanda tidak mengira bahwa meraka dalam pengintaian pasukan Haji
Jabang sebelumnya, dan dengan serangan mendadak itu mereka kalang kabut,
mereka menembak membabi buta, tidak tentu arah. Pertempuran kembali
berkecamuk antara pasukan Haji Jabang dan pasukan Belanda.
Tetapi pertempuran di sini hanya berjalan sekejab karena pasukan musuh hanya
sekelompok kecil. Di arah Timur pasukan Kari Mudo ‘bakuhampeh’ pula dengan
dahsyadnya dalam waktu setengah jam sudah jelas jantan betinnya. Perang
berhenti kembali. Susana tenang, hening...!
Haji Jabang kembali meneriakkan takbir beberapa kali ke arah Timur. Dari arah
Timur Kari Mudo menyahut dengan suara takbir pula. Kedua pasukan ini berjalan
berlawan arah, makin lama makin mendekat antara pasukan Haji Jabang dan
pasukan Kari Mudo. Kedua pimpinan pasukan saling maju berjabatan tangan dan
saling rangkul-rangkulan dan para pasukan juga melakukan hal yang sama dalam
kegembiraan karena mereka dapat menyelesaiakan peperangan dengan sebaik-
baiknya. Kecuali Westenenk masih belum diketahui jejaknya.
Haji Jabang menyampaikan khabar kepada Kari Mudo bahwa Datuak Rajo Pangulu
dan istrinya, Sutan Nan Basikek dan istrinya, Datuak Marajo Kaluang dan beberapa
anggota pasukan laiannya sudah syuhada, haji Abdul Manan pun kena sasaran
tembakan musuh dan sekarang sedang disitirahatkan di rumah anaknya Miyah.
Beriringan laporan itu pula Haji Jabang menyampaikan pesan Haji Abdul Manan
agar seluruh pasukan segera mengundurkan diri dan menyingkir ke tempat yang
aman karena subuh sudah sangat dekat, hari akan siang dan tidak akan mungkin
melanjutkan peperangan di siang hari.
Kari Mudo sangat terharu, urat-urat di dahinya semakin terlihat jelas, matanya
basah dan memerah karena kawan-kawan dan peminpin perangnya banyak yang
gugur. Semoga kesyahitannya dibalas Allah di sorga yang telah dijanjikan.
Kemudian Kari Mudo memerintahkan sebahagian pasukannya untuk mengangkat
anggota pasukan yang gugur dalam pertempuran dan anggota pasukan yang lain
165 | Maryam Chilvalry
mengiringinya bersama Haji Jabang menjumpai Hai Abdul Manan dan jenazah
Datuak Rajo Pangulu dan lain-lainnya. Setelah semua pemimpin pasukan berkumpul
di Kampuang Tangah langsung merundingkan segala sesuatau tentang langkah
langkah selanjutnya.
Hasil kesepakatan masing-masing komandan pasukan Sabilillah Kamang itu adalah
bahwa jenazah Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah dibawa pulang ke
Kamang Hilir dan begitu pula para syuhada yang berasal dari Kamang Hilir akan
dimakamkan di dekat Surau Taluak Kamang Hilir yang digotong oleh pasukan Kari
Mudo yang masih selamat.
Atas permintan terakhir Majo Ali, demi keselamatan Haji Abdul Manan yang sedang
terluka dan juga demi perjuangan di Mangopoh, maka Haji Abdul Manan agar
diizinkan untuk dibawa menuju Mangopoh pagi-pagi itu.
Sepeninggal Majo Ali yang membawa serta Haji Abdul Manan beduk di surau-surau
sudah mulai terdengar, menandakan waktu shalat Subuh sudah masuk. Semua
pasukan segera mengganti pakaiannya yang sudah berlumuran darah.
Setelah waktu dhuha Haji Ahmad mendapat berita bahwa Yusuf Datuak Parpatiah
Nan Sabatang di Magek juga syahid malam itu, karena didatangi pasukan Warido,
tangan kanan Belanda yang berjabatan sebagai Mantri Kopi dan terakhir sebagai
Laras. Pada mulanya Belanda menanyakan di mana rumah Datuak Parpatiah Pauah,
tetapi orang salah tunjuk, rumah Datuak Parpatiah Magek yang ditunjukkan.
Pada malam itu, pada pukul 03.00 (dini hari) sampailah serdadu Belanda di rumah
istrinya di Pakudoran Koto Marapak-Magek. Tanpa berfikir panjang rumah Siti
Hasnah itu digebrek oleh pasukan Belanda, di atas rumah itu terjadilah perkelahian
yang hebat pada saat pasukan dibawah kendali Agus Warido itu ingin menagkapnya
hidup-hidup, namun apa daya sejumlah tamu yang tidak diundang itu dapat
dihabisi oleh Yusuf Dtauak Parpatiah Nan Sabatang, termasuk Agus Warido sendiri
tewas di tangan Pendekar dari Magek ini.
Perkelahian berlanjut ke halaman rumah Siti Hasnah, meskipun datuak ini telah
mulai kekurangan stamina karena telah menghunus lima belas orang serdadu
Belanda, namun semangatnya belum juga kendor. Dalam kondisi stamina mulai
mengendur regu pelapis yang datang menyusul mendapatkan ruang tembak di balik
pagar halaman rumah. Pada saat bidikan tepat sasaran ujung jari telunjuk salah
seorang prajurut Marsose itu menarik pelatuk senapannya. Yusuf Datuak
Parpataiah Nan Sabatang tersenungkur persis di “batua tapak-an”, halaman
rumahnya.
Kemudian sisa prajurut itu tidak mengacuhkannya lagi karena peluit untuk kembali
kekesatuan telah terdengar pula. Datuak mengerang kesakitan, tubuhnya dipopong
keatas rumah, Hasnah hanya bisa meratapi kepergian suaminya untuk selama
lamanya.
166 | Maryam Chilvalry
Pagi hari mulailah berdatangan saudara dan kemenaakan Datuak Parpatiah melihat
jasad saudara dan mamandanya. Sesuai dengan hukum adat di Minangkabau,
apabila seorang penghulu meninggal dunia maka jasadnya harus dikebumikan di
tanah pusaka, ditanah ibunya yang akan diwariskan kepada kemenakannya. Maka
jasadnya dikebumikan di Dusun Kabun Jorong Lurah Ateh Nagari Magek, di dekat
sebatang pohon duren dekat rumah pusakanya sendiri.
167 | Maryam Chilvalry
19. Singguluang Batu
Informasi yang disampaikan Pandeka Mukmin sebelum berkecamuknya
pertempuran Kemang pada malam 15 Juni 1908, bahwa Belanda akan membantai
rakyat Kamang lebih kurang dengan kekuatan seribu orang dengan serdadu
bersenjata lengkap dan modern, sedangkan pada waktu jumlah penduduk Kamang
tidak lebih dari empat ribu jiwa. Namun, apa yang terjadi, berpedati-pedati mayat
serdadu Belanda diangkut ke Kurai, Bukittinggi. Ditaksir ada sekitar 425 orang
serdadu Belanda tewas sebagai korban perang ditengah malam buta itu.
Andaikan hanya seperempat dari jumlah penduduk Kamang yang ikut berperang
waktu itu, maka pertarungan dimalam buta itu dapat dikatakan satu lawan satu.
Jadi jelas, bukannya rakyat yang dibantai oleh Belanda, tetapi pasukan Belandalah
yang diluluh lantahkan rakyat. Berbalik arahlah penebangan, semula Westenenk
berniat menghabisi rakyat Kamang penentang belasting ternyata pasukannya yang
‘habih - tandeh’, ludes oleh kaum militansi di Kamang.
Bahkan Westenenk yang bernama lengkap Lourd Constant Westenenk (L.C.
Westenenk) sampai terbirit-birit menyelamatkan diri ke kolong jembatan Koto
Panjang, tubuhnya ditutupi dengan daun keladi (talas). Ia diselamatkan oleh Angku
Suku Marah dari Aia Tabik hingga pagi hari dalam pesakitan. Satu jarinya putus,
karena dikibas rudus anak nagari Kamang yang rambutnya tergerai bagaikan
“mayang taurai – si gadih Ranti” pada saat memainkan rudusnya tersebut.
Setelah pertempuran babak terakhir reda, pagi-pagi sekali barulah Westenenk
muncul dari persembunyiannya, seperti tikus keluar dari got, karena memang
bersembunyi di dalam kolong jembatan yang airnya penuh lumpur bercampur
darah. Kolong jembatan itu adalah aliran tali bandar, got dari kancah
pertempuran di Kampuang Tangah.
168 | Maryam Chilvalry
Westenank berganti pakaian sepeti gaya penduduk setempat, dengan menyandang
kain sarung layaknya orang pulang pagi dari menunggui sawah di malam hari
menuju Aia Tabik, ke tempat kediaman Angku Suku Marah.
Sehari penuh Westrenenk beristirahat dalam pesakitannya, sakit karena kegagalan
misi pembantaian maupun atas kehilangan seruas jarinya. Mungkin saja ujung
jarinya itu meloncat menari-nari mencari tuannya akibat dijemur terik matahari
seharian dan mungkin juga sudah terinjak-injak oleh masyarakat yang menjamur
dari dan ke Kampung Tangah untuk membezuk dan sekaligus untuk mengenali
anggota keluarganya yang telah syuhada dalam pertempuran semalam.
Setelah Maghrib barulah Westenenk diantar oleh Angku Suku Marah di Aia Tabik
yang dikawal oleh beberapa pengiring, hulubalang Angku Suku menuju Baso dengan
manaiki kendaraan bendi, sado kebesaran Angku Suku, layaknya kendaraan kaum
feodal hasil rekayasa Belanda. Dari Baso Westenenk diselundupkan ke Benteng Fort
Van der Capellen di Batu Sangkar.
Tetapi, tidak beberapa berselang, terdengar pula desas-desus bahwa yang
menyelamatkan Westenenk adalah Jaar. Dt. Batuah (Laras Tilatang), dan kemudian
hari diangkat menjadi Demang dan tersohorlah dengan sebutan Damang Cingkuak
yang pernah menerima Oranye van Nassau, suatu penghargaan tertinggi dari Ratu
Juliana kepada kaum pribumi yang telah berjasa besar dalam melancarkan
kekuasaannya di Hindia Belanda.
Meskipun perang sudah dianggap selesai, tetapi Tuangku Pincuran masih belum
bersenang hati karena perjuangan suci itu telah dikhianati oleh orang Kamang
sendiri. Pagi pagi buta rumah Angku Suku Babukik dikepungnya, terjadilah
penyergapan terhadap Angku Suku tersebut dan tanpa berpikir panjang Angku Suku
Babukik dibunuh dan mayatnya dicincang sebagai ungkapan kebencian dan
kekesalan yang maha sangat. Walaupun Angku Suku Babukik telah terbunuh, namun
masa belum puas. Rumahnya di bakar, binatang ternak peliharaannya seperti kuda
dan anjingnya juga dibunuh.
Pada hari-hari selanjutnya, setiap orang yang lewat di depan rumah Angku Suku Air
Tabik, Kepala Nagari dan pesuruh-pesuruh Belanda - yang telah mengkhianati
orang kampungnya itu meludah di depan rumah itu. Bagi masyarakat Minangkabau
perbuatan semacam itu entah mana yang sakit rasanya daripada sayatan klewang
dan rudus. Karena sikap semacam itu adalah menandakan kebencian warga
terhadap elite lokal di nagari nagari.
Menantang habis-habisan masyarakat tidak mau, mereka masih trauma, pemimpin
tidak ada lagi, surau sudah lengang. Tetapi kepada anak-kemenakannya mereka
berwasiat dan tetap menanamkan kebencian terhadap Belanda, kaum penjajah
termasuk para orang kampung, si Belanda hitam.
169 | Maryam Chilvalry
Sesuai hasil kesepakatan masing-masing komandan pasukan Sabilillah Kamang,
maka pagi-pagi hari jenazah Datuak Rajo Pangulu dan istrinya Siti Aisyah dibawa
pulang ke Kamang Hilir untuk dimakamkan berdampingan di pandam perkuburan
Siti Aisyah. Syuhada yang berasal dari Kamang Hilir lainnya akan dimakamkan di
dekat Surau Taluak Kamang Hilir oleh masyarakat dan keluarga masing-masing
korban. Termasuk yang dimakamkan di dekat Suarau Taluak jenazah Siti Anisyah
dan suaminya Sutan Nan Basikek, orangtua dari Ramaya kecil yang kemudian pada
tahun 1926 menjadi tokoh revolusi pula dalam menentang penjajah Belanda yang
terkenal dengan Pemberontakan Kamang 1926, berbarengan dengan
Pemberontakan Silungkang dan Sawahlunto.
Sekarang terbukti sudah tentang naluri anaknya, Ramaya sewaktu dia dan
suaminya Sutan nan Basikek sedang latihan di halaman belakang Suarau Taluak
beberapa waktu yang lalu.
Semenjak kematian ayah dan ibunya deraian air mata dan isak tangis Ramaya
belum berhenti. Dengan terbata-bata yang diringi isak tangis dalam gendongan
neneknya Ramaya kecil tetap menanyakan ibunya.
“Kenapa Ibu ditembak Ulando, Nek?,” tanya Ramaya dengan suaranya yang sendu
kepada sang nenek. Dan sebelum dijawab neneknya dia sudah bertanya lagi.
“Apa salah ayah dan ibu, Nek?”
“Ayah dan ibumu tidak punya salah, Maya!,” jawab neneknya.
“Nanti Maya tidur sama siapa, Nek?
“Kan ada nenek dan etek, Maya?! Nanti kita tidur bersama-sama, ya?,” jawab
neneknya pula.
“Siapa lagi jadi Ibu Maya nanti, Nek?
Mendengar pertanyaan cucunya itu si nenek pun tidak bisa lagi menjawabnya,
kerongkongannya terasa kelat dan lekat, mulut terasa terkunci, bernapas pun
terasa susah, yang bisa dia lakukan hanyalah mencium dan mencium cucunya itu
berulang kali dalam pelukan dan gendongannya.
Jangankan seorang nenek yang luluh hatinya melihat cucu semata wayang itu
menangis dan sebentar-sebantar menanyakan ayah dan ibunya, orang yang hadir
berta’ziyah ke rumahnya di Pintu Koto, Kamang Hilir itu pun tak kuasa menahan
derai air matanya.
Dipihak lain, tuan Residen Padang Bovenlanden di Bukittinggi langsung mengambil
alih pemerintahan Underavdeeling Oud Agam, karena Controleur Westenenk belum
kembali ke Bukittinggi dan nasibnya belum diketahui.
170 | Maryam Chilvalry
Tuan Residen memerintahkan Laras Kamang, Tilatang dan Salo, termasuk para
Kepala Nagari serta Penghulu Suku untuk membersihakan dan mengangkut
prajuritnya yang menjadi korban pembantaian rakyat Kamang. Dan untuk
menggotong para serdadu serdadu itu dipergunkan tenaga orang rantai, orang
tahanan dari tangsi di Bukittinggi yang sengaja dikeluarkan dari sarangnya dalam
sebuah pengawalan ketat dengan tangan dan kaki tetap dirantai.
Laras, Kepala Nagari dan Penghulu Suku sibuk mencari gerobak pedati untuk
membawa bangkai-bangkai yang tubuhnya compang-camping tersebut, berserakan
dimana-mana, di pematang sawah, di selokan di pinggir jalan.
Masih di tengah jalan, orang rantai – ‘si Melayu’ juga – menghela gerobak pedati
yang sarat muatan bangkai-bangakai serdadu Belanda - sudah mulai mengeluarkan
bau amis, busuk karena sudah semalaman direndam air hujan dan air selokan, air
sawah serta air kolam. Lalat dan kumbang-kumbang kecil pun silih berganti
“membezuknya” di sepanjang jalan, kadang-kadang sering mengganggu
penglihatan dan pendengaran si penghela pedati yang terseot.
Gemerincing rantai di kaki yang bergeser dengan jalan berbatu dan dengungan
lalat serta kumbang bagaikan lagu suci mengahantarkan mayat-mayat itu ke liang
kuburnya, mungkin di laut lepas menjelang Pulau Pisang atau di jurang Ngarai
Sianok yang menganga. Karena tak satupun kita menemukan nisan para serdadu itu
di Bukittinggi.
Pekerjaan mengevakuasi mayat serdadu Belanda ini dilakukan pagi-pagi sekali
sebelum orang kampung, masyarakat Kamang dan sekitarnya yang mengetahui
kejadian malam itu berduyun-duyun datang ke Kampuang Tangah. Gengsi juga
Belanda apabila masyarakat mengetahui akan fakta sesungguhnya atas kejadian
yang memalukan pemerintahannya itu.
Orang-orang rantai itu tidak lain adalah masyarakat Agam ataupun masyarakat di
Sumatera Barat umumnya, yang telah dijatuhi hukuman karena beberapa
kesalahan yang dianggap menganggu ketertiban umum dan mulusnya jalan
pemerintahan kolonial Belanda. Artinya adalah ‘urang awak’ juga. Beban berat
singgulung batu jadinya bagi masyarakat kita sendiri. Semua kesalahan ditimpakan
kepada masyarakat jajahan yang dikatakan Belanda sebagai rakyat ‘inlander’,
karena tabiat busuk beberapa orang kita juga yang mau mengkhianti arti
kedaulatan dan kebangsaan.
InsyaAllah,bersambung……….