Download - BPPV LAPSUS NEURO NEW.docx
PENDAHULUAN
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah salah satu gangguan
yang paling sering dari sistem vestibular. BPPV digambarkan oleh Bárány pada tahun
1921 dan kemudian dijelaskan dalam rincian lebih lanjut oleh Dix Hallpike pada
tahun 1952.1 Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) adalah bentuk umum dari
vertigo dan ditandai oleh pusing episodik yang terkait dengan perubahan posisi
kepala relatif terhadap gravitasi. Gejala BPPV dapat mirip dengan penyakit sistem
vaskular saraf pusat.2 Penyebab utama dari vertigo dalam perawatan primer sebagai
BPPV harus dikonfirmasi dengan tes posisional Dix Hallpike yang positif dan diobati
dengan manuver reposisi.3
Secara keseluruhan, prevalensi BPPV telah dilaporkan berkisar 10,7-64 per
100.000 penduduk. BPPV juga umum terjadi di seluruh masa hidup, meskipun onset
usia yang paling umum di antara dekade kelima dan ketujuh kehidupan.4 Usia rata-
rata onset BPPV adalah 49 tahun, prevalensi seumur hidup adalah sekitar 2,4%, dan
insiden kumulatif yang mencapai hampir 10% pada usia 80.3
Beberapa teori telah berusaha untuk menjelaskan patofisiologi BPPV. Teori-
teori ini dapat dibagi menjadi dua pada dasarnya yakni: kupulolithiasis dan
duktolithiasis. Dalam Kupulolithiasis, degenerasi fragmen otokonial di utrikulus ke
kupula kanalis semisirkularis posterior, sehingga lebih padat dari endolymph
sekitarnya, dan dengan demikian lebih rentan terhadap efek dari gravitasi. Lithiasis
duktal atau teori kanalithiasis berpendapat bahwa degenerasi fragmen tidak ke
kupula, tapi tetap mengambang di endolymph dari canal posterior. Dalam kedua teori
ini, gerakan kepala menyebabkan fragmen bergerak, yang kemudian akan
merangsang kupula dari kanalis semisirkularis posterior tidak tepat dan merangsang
saraf ampulla posterior, sehingga muncul gejala vertigo.5,6
Dua varian kanalolithiasis LSC (lateral kanalis semisirkularis) adalah geotropik
dan apogeotropik LSC BPPV. Geotropik LSC BPPV, sekitar 75 % dari semua LSC
1
BPPV dan adalah karena debris yang mengambang di sepanjang nonampullary
lengan LSC. Apogeotropik LSC BPPV terjadi sekitar 25 % dari semua LSC BPPV
dan dikarenakan oleh debris yang mengambang dekat dengan ampula LSC.7
Penatalaksanaan BPPV sendiri melibatkan manuver-manuver reposisi, terapi
obat-obatan, maupun terapi pembedahan. Terapi medikamentosa sering tidak
diperlukan oleh karena vertigo berlangsung singkat.6 Namun, karena penderita
seringkali merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, maka
penggunaan obat-obatan simptomatik dapat diberikan.8,9
LAPORAN KASUS
Keluhan utama pasien yakni pusing berputar yang dialami sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, bersifat hilang timbul dan terjadi kurang lebih selama 1 menit.
Kondisi ini menyebabkan pasien seperti akan terjatuh bila berdiri. Keluhan tidak
berkurang bila pasien berbaring terutama pada sisi kanan dan akan tetap dirasakan,
baik pada saat pasien membuka maupun menutup mata. Bila pasien dalam posisi
diam, keluhan pusing akan sedikit berkurang. Pusing yang dialami pasien disertai
mual, tapi tidak muntah. Pasien mengatakan telinganya tidak berdenging dan tidak
ada penurunan pendengaran. Pasien juga tidak ada riwayat trauma sebelumnya dan
tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Keluhan ini sudah sering dialami
sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus disangkal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran composmentis, gizi baik. Tanda-tanda vital tekanan darah 150/100mmHg,
nadi 86x/menit, suhu 36,60C, pernapasan 20x/menit. Pemeriksaan neurologis nervus I
sampai XII dalam batas normal dan tidak ditemukan nistagmus. Tes Romberg (+),
dan Tes Melangkah di Tempat (Stepping Test) : badan berputar kurang lebih 90' ke
arah kanan.
2
Pada pasien, tidak ada pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Pasien dirawat
di bangsal Neurologi RSUD Dr. M. Haulussy Ambon selama 2 hari dan diberikan
terapi antara lain IVFD RL 20 tpm, Betahistine Mesilate 2x1 tab, Diphenhydramine
2ml/I.M, Diazepam 5mg/I.V, Flunarizine 5mg 0-0-1.
DISKUSI
BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo) adalah salah satu jenis vertigo
vestibuler perifer yang paling sering dijumpai dalam praktik sehari-hari, ditandai
dengan serangan rasa berputar yang hebat, namun sekejap saja, dapat disertai
mual/muntah yang bertambah berat pada perubahan posisi kepala relatif terhadap
gravitasi, akibat adanya otolit yang mempunyai massa di kanalis semisirkularis
posterior, sehingga mengganggu pergerakan harmonis ketiga kanalis semisirkularis.4,6
BPPV lebih sering terjadi pada kelompok geriatri, meskipun yang dilaporkan pada
semua rentang usia. Hal ini dapat mempengaruhi kedua jenis kelamin, tetapi lebih
umum di kalangan wanita.1
Klasifikasi BPPV yang berguna dalam praktek klinis berdasarkan kanal yang
terlibat terdiri dari:
Posterior kanalis semisirkularis ( PSC )
Lateral kanalis semisirkularis ( LSC )
Anterior kanalis semisirkularis ( ASC )
Multicanalar BPPV
- Keterlibatan simultan : BPPV Posttraumatic
- Tidak ada simultan keterlibatan : konversi Canalar. 7
Gejala kardinal vertigo yang mendadak disebabkan oleh perubahan posisi
kepala: berbalik di tempat tidur, berbaring di tempat tidur (atau di dokter gigi atau
penata rambut), melihat ke atas, membungkuk, atau perubahan mendadak dalam
posisi kepala.10 Karakteristik klinis BPPV adalah muncul tiba-tiba, kadang-kadang
3
berat, kadang-kadang singkat, dengan gejala yang benar-benar menghilang dalam
waktu 45 detik.6,10 Gejala lain yang menyertai mungkin mual, muntah dan posisi
nistagmus, yang terjadi tak terduga dan tiba-tiba.5
Pendekatan diagnostik untuk vertigo bergantung pada kualitas gejala yang
dilaporkan. Pasien yang menderita vertigo dapat didiagnosis dengan mengajukan
pertanyaan berikut: "Ketika Anda pusing, apakah Anda memiliki perasaan bahwa
Anda atau lingkungan Anda berputar atau bergerak?”. Dalam kasus BPPV, pasien
mengalami pusing yang berputar, dapat muncul perasaan bergoyang secara ringan,
kehilangan keseimbangan, penglihatan kabur, mual dan muntah, tanpa gangguan
pendengaran atau tinnitus. Gerakan mata berirama yang tidak normal atau yang
disebut nistagmus biasanya menyertai gejala BPPV.3 Tanda dan gejala bersifat hilang
timbul, dengan gejala sering berlangsung dari 10 sampai 30 detik. Beberapa pasien,
merasa pusing selama beberapa menit dan mengalami ketidakseimbangan juga mual
yang dapat berlangsung beberapa jam. Durasi rata-rata setiap episode adalah dua
minggu tetapi sepertiga pasien merujuk episode lebih dari sebulan. Empat puluh
empat persen dari kasus BPPV mengalami satu episode pusing sementara 56%
merupakan kasus yang berulang.3
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat meliputi pemeriksaan nervus kranialis,
pemeriksaan gait yang meliputi tes Romberg, tes Untenberger/Stepping Test (tes
melangkah di tempat), heel to toe walking test, maupun past pointing test dan juga
dapat dilakukan pemeriksaan manuver yang bertujuan untuk menentukan letak lesi
sentral atau perifer dengan melihat posisi nistagmus yang timbul setelah diprofokasi.
Jenis manuver Dix Hallpike (Dix-Hallpike manoeuvre) merupakan perasat yang
paling sering digunakan. Selain itu terdapat side lying test digunakan untuk menilai
BPPV pada kanal posterior dan anterior, sedangkan perasat Roll untuk menilai
vertigo yang melibatkan kanal horizontal. Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan
yakni pemeriksaan hiperventilasi, tes kalori, tes pendengaran, pemeriksaan
audiometri, pemeriksaan Electronystagmography (ENG) yang bertujuan untuk
4
mendeteksi gerakan mata yang abnormal, melakukan pemeriksaan CT Scan hingga
pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging.1,3,4,5,7,11-15
Terdapat beberapa pendekatan dalam penatalaksanaan BPPV, seperti latihan
habituasi vestibular, terapi medikamentosa, tindakan ablasi bedah posterior kanalis
semisirkularis, dan manuver reposisi. Pendekatan yang paling umum digunakan
untuk pengobatan dari BPPV adalah dengan melakukan manuver Epley.8 Dalam
sebuah penelitian dikatakan bahwa manuver Epley mempunyai hasil yang lebih
signifikan dan cepat dibandingkan dengan manuver-manuver lain.16 Setiap manuver
diindikasikan untuk setiap varian BPPV. Keberhasilan pengobatan terutama
tergantung pada pilihan manuver yang paling tepat untuk kasus ini.17
1. Epley Manuver
Epley maneuver adalah manuver reposisi yang paling sering dilakukan. Pasien
ditempatkan dalam posisi tegak dengan kepala berpaling 45 derajat ke kiri ketika
telinga kiri dipengaruhi. Pasien dengan cepat meletakkan kembali kepala -
menggantung posisi terlentang, yang dipertahankan untuk jangka waktu 1 sampai 2
menit. Selanjutnya, kepala diputar 90 derajat, ke kanan ( biasanya mengharuskan
tubuh pasien untuk bergerak dari posisi telentang ke posisi dekubitus lateral ).
Dengan demikian, kepala pasien hampir dalam posisi telungkup. Posisi ini
berlangsung selama 30 sampai 60 detik. Maka pasien diminta untuk beristirahat dagu
di bahu dan duduk perlahan-lahan, menyelesaikan maneuver ( Gambar 4 ). Kepala
harus tetap dalam posisi untuk beberapa saat, sebelum kembali ke posisi normal.12
Manuver Epley menghasilkan dampak positif pada kualitas hidup pada tingkat fisik,
fungsional dan emosional. 8
5
Gambar 1. Epley Manuver untuk posterior sisi kanan BPPV kanalis semisirkularis17
Sumber: Moreira RS, Bittar, et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo:
Diagnosis and Treatment. 2011;16: 135-45
2. Manuver Semont
Manuver yang dijelaskan oleh Semont ini diindikasikan untuk pengobatan
cupulolithiasis kanal posterior. Jika kanal posterior dipengaruhi, pasien duduk dalam
posisi tegak, kepala pasien diarahkan 45 derajat ke arah sisi terpengaruh (sehat), dan
kemudian dengan cepat pindah ke posisi berbaring. Nistagmus dan vertigo dapat
diamati. Posisi ini berlangsung selama 1 sampai 3 menit. Pasien dengan cepat pindah
ke posisi lainnya dalam keadaan berbaring tanpa berhenti dalam posisi duduk dan
tanpa mengubah posisi kepala relatif terhadap bahu.
6
Gambar 2. Manuver Semont untuk pengobatan posterior cupulolithiasis kanalis
semisirkularis kanan sisi.17
Sumber: Moreira RS, Bittar, et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo:
Diagnosis and Treatment. 2011;16: 135-45
3. Lempert Manuver
Lempert manuver ( Barbecue Manuver atau roll Manuver ) yang merupakan
manuver yang paling umum digunakan untuk penatalaksanaan kanal lateral BPPV.
Manuver ini melibatkan posisi pasien berputar 360 derajat dalam serangkaian
langkah-langkah untuk mempengaruhi posisi debris. Setiap langkah dipertahankan
selama 15 detik - untuk migrasi lambat partikel, dalam menanggapi gravitasi. Untuk
menyelesaikan manuver, pasien dibawa ke posisi duduk tegak dengan kepala
tertunduk di 30 derajat. 17
7
Gambar 3. Demonstrasi urutan Manuver Lempert - pengobatan lateral BPPV kanalis
semisirkularis ( telinga kanan dalam warna hitam )17
Sumber: Moreira RS, Bittar, et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo:
Diagnosis and Treatment. 2011;16: 135-45
4. Latihan Brandt – Daroff17
Latihan Brandt – Daroff dikembangkan untuk tindakan sendiri di rumah,
sebagai terapi tambahan untuk pasien yang telah bergejala, bahkan setelah maneuver
Epley atau Semont. 12 Latihan dilakukan dengan cara pasien duduk dengan kepala
menoleh ke arah telinga yang sehat. Selanjutnya pasien rebah ke sisi sakit, wajah
mengarah ke atas selama 30 detik hingga vertigo berkurang. Selanjutnya pasien
duduk ke posisi semula. Gerakan diulangi dengan kepala menoleh ke sisi sakit,
selanjutnya rebah ke sisi sehat dengan wajah mengahdap ke atas selama 30 detik dan
kemudian duduk ke posisi semula.
8
Gambar 4. Latihan Brandt - Daroff untuk Perawatan di Rumah17
Sumber: Moreira RS, Bittar, et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo:
Diagnosis and Treatment. 2011;16: 135-45
Selain penatalaksanaan dengan melakukan perasat/manuver, ada juga terapi
medikamentosa dengan memberikan pengobatan secara simptomatik. Sebenarnya,
tidak ada obat yang langsung mengobati BPPV, obat hanya dapat membantu dalam
menekan gejala.13 Tujuan terapi medikamentosa pada vertigo adalah untuk
menghilangkan halusinasi gerakan dengan menggunakan obat 'supresan' vestibuler.
Supresan vestibuler yang penting yakni antikolinergik dan obat antihistamin. Tujuan
kedua mengurangi keterlibatan tanda neurovegetatif dan tanda psikoafektif (nausea,
vomitus, anxietas) dengan menggunakan obat antidopaminergik. Sedangkan tujuan
yang ketiga untuk meningkatkan proses kompensasi vestibuler untuk memungkinkan
otak untuk menemukan keseimbangan sensorik baru yang terlepas dari lesi
vestibuler.8,18,19 Jenis obat yang umumnya diresepkan untuk BPPV termasuk golongan
benzodiazepin (misalnya diazepam, dan clonazepam) dan antihistamin (yaitu
meclizine dan diphenhydramine). Benzodiazepin dapat mengurangi sensasi subjektif
dari berputar tetapi mereka juga dapat mengganggu kompensasi vestibular.
Antihistamin digunakan karena dapat menekan pusat muntah, yang dapat
mengurangi mual dan emesis yang dapat dialami dengan BPPV.14 Ganança dkk
menganjurkan bahwa penggunaan modalitas pengobatan gabungan dapat
menyebabkan perbaikan gejala jangka panjang dan lebih cepat dibandingkan dengan
pemberian monoterapi. Selain itu disebutkan juga bahwa Betahistin, Sinarizin,
9
Clonazepam, Flunarizine atau Gingko Biloba ekstrak memperbaiki vestibular pada
vertigo.20
Berikut penjelasan singkat terkait dengan obat-obat yang sering digunakan
dalam terapi vertigo.
1. Antikolinergik8,18,19
Antikolinergik merupakan terapi pertama yang digunakan pada pengobatan
vertigo, contoh umum yang sering digunakan yakni Scopolamin (Hyoscine). Agen ini
bersifat nonselektif, menghasilkan efek atropin, dan menghambat seluruh subtipe
reseptor muskarinik. Nonselektif antikolinergik ini exhibit bagian dari vestibuler
supresan dan juga menyebabkan vestibular kompensasi. Agen dengan efek
antikolinergik yang bersifat sentral biasanya lebih penting dalam terapi vertigo,
seperti obat antikolinergik yang tidak melewati sawar darah otak (blood brain
barrier) adalah tidak efektif dalam mengontrol motion sickness.
Efek antikolinergik setelah pemberian secara oral adalah 4 jam. Efek samping
antikolinergik timbul akibat blokade dari reseptor muskarinik yang terdapat diluar
sistem vestibuler. Pada sistem saraf pusat, blokade dapat menyebabkan gangguan
memori, dan kebingungan. Sedangkan di sistem parasimpatis perifer, blokade dapat
menyebabkan mulut kering, gangguan penglihatan, konstipasi, dan disuria.
2. Antihistamin8,18,19
Obat antihistamin jenis H1-blockers merupakan jenis antihistamin yang banyak
diresepkan pada pasien vertigo, dan meliputi diphenhydramine, cyclizine,
dimenhydrinate, meclozine, dan promethazine. Kelas obat ini merupakan satu-
satunya yang dikatakan memiliki sifat antivertigo dalam referensi farmakologi,
Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics. Mekanisme
kerja antihistamin sebagai vestibular supresan masih belum sepenuhnya diketahui,
tetapi diduga terdapat keterlibatan efek sentral. Antihistamin jenis H1 juga
mempunyai efek antimuskarinik, dimana dapat menimbulkan efek vestibular
10
supresan. Antihistamin jenis H2 bloker tidak digunakan dalam terapi vertigo. Sedasi
merupakan efek samping H1-bloker. Obat ini biasanya diberikan secara per oral.
Durasi kerja beragam mulai dari 4 jam ( untuk cyclizine) hingga 12 jam (untuk
meclozine).
3. Medikasi Histaminergik8,18,19
Perwakilan dari kelas obat ini adalah Betahistine, yang digunakan sebagai obat
antivertigo. Histamin sendiri diberikan secara injeksi atau per oral. Betahistin
merupakan analog dari L-histidine, prekursor langsung dari histamin. Efek
antivertiggo dari Betahistin terkadang dijelaskan berdasarkan efek vasodilatornya,
yang meningkatkan aliran darah pada mikrosirkulasi dari auditori internal dan sistem
vestibuler. Betahistin juga berguna dalam sindrom vestibuler yang tidak berkaitan
dengan masalah vaskular. Betahistin muncul untuk memberikan efek kompleks pada
reseptor histamin, menjadi baik agonis parsial postsinaps H1 agonis dan presinaptik
H3 antagonis, yang mengarah ke fasilitasi akhir neurotransmisi histaminergik.
Masih belum sepenuhnya jelas bagaimana fasilitasi dari histamin yang
menjelaskan efek antivertigo obat ini. Efek lebih yang spesifik pada aktivitas sel
vestibuler lebih memungkinkan. Terapi dengan betahistin dihidroklorida telah banyak
diresepkan pada pasien dengan gangguan vestibular untuk pengobatan gejala vertigo,
dan terutama pada pasien penyakit Ménière. Sebuah meta-analisis yang dilakukan
untuk mengevaluasi efektivitas betahistin dalam pengobatan sindrom pusing lainnya,
seperti BPPV (cupulo-canalilithiasis), menegaskan manfaat terapeutik dan efektivitas
betahistin. Beberapa penelitian lain telah membuktikan bahwa kombinasi betahistin
dan reposisi manuver meningkatkan hasil, dibandingkan dengan manuver saja namun
penggunaannya untuk BPPV masih kontroversial.3 Dalam jangka pendek manuver
Epley jauh lebih efektif daripada terapi medis untuk mengontrol gejala BPPV dan
adalah pengobatan terbaik untuk penyakit ini.16
Betahistin mempunyai absorbsi yang baik pada pemberian oral dan bekerja via
metabolit yang aktif, dengan efek puncak sekitar 4 jam. Efek samping jarang
11
ditemukan meliputi nyeri kepala dan nausea. Betahistin sebaiknya tidak digunakan
pada pasien dengan ulkus gastroduodenal dan phaechromocytoma.
4. Obat Antidopaminergik8,18,19
Obat jenis ini umumnya digunakan untuk mengontrol keluhan nausea pada
pasien vertigo. Kebanyakan merupakan agen neuroleptik yang mempunyai kerja
proteksi terhadap nausea dan emesis. Beberapa agen antipsikotik menjadi populer
pada indikasi ini diantaranya derivat phenotiazine butyrophenon, dan benzamide.
Beberapa antihistamin juga merupakan dopamin bloker. Contohnya
promethazine, merupakan jenis H1-bloker yang paling populer, juga phenotiazine
dengan aktivitas dopamin-blocking yang signifikan. Neuroleptik memiliki efek
antiemetik melalui bloking reseptor dopaminergik di area postrema dari brainstem.
Selain itu terdapat efek menurunkan gejala neurovegetatif yang umumnya
berhubungan dengan vertigo, juga meningkatkan psikoafektif yang berhubungan
dengan vertigo. Neuroleptik tidak diketahui mempunyai efek vestibuler dopaminergik
yang spesifik, tetapi terdapat efek antikolinergik dan antihistaminik (H1) dimana
menjelaskan aktivitas sebagai supresan vestibuler.
Beberapa antagonis dopamin telah dilaporkan untuk memperlambat kompensasi
vestibuler pada hewan coba. Durasi kerja neuroleptik yang digunakan untuk terapi
dizziness bervariasi mulai 4 sampai 12 jam. Jenis neuroleptik seperti domperidone
dan metoclopramide tidak melewati sawar darah otak. Namun agen ini
mempertahankan sifat antiemetik sejak sawar darah otak (blood brain barrier)
tampaknya permeabel di daerah postrema. Efek samping neuroleptik diantaranya
dapat menginduksi hipotensi arterial ortostatik (melalui efek antagonistik pada
reseptor α-adrenergik) dan somnolen (melalui efek antihistamin). Dan bertanggung
jawab dalam kerja extrapiramidal sehingga timbul efek samping berupa
parkinsonisme dan tardive dyskinesia, juga distonia akut. Neuroleptik juga dapat
menginduksi efek endokrin (ginekomastia, impoten, galaktorea, amenore) melalui
12
blokade reseptor dopaminergik sentral, dan juga dapat terjadi efek samping dari
antikolinergik.
5. Benzodiazepin8,18,19
Obat ini dianggap sangat berguna pada pasien dengan vertigo. Benzodiazepin
merupakan modulator GABA. Dan menempati tempat spesifik pada reseptor GABA
untuk efek potensiasi dari ligand endogen. Benzodiazepin agaknya bekerja secara
sentral untuk menekan respon vestibuler. Benzodiazepin seperti kebanyakan obat
sedatif lainnya, dapat merusak kompensasi vestibuler. Efek farmakologis
benzodiazepin yang penting yakni sedasi, hipnosis, menurunkan anxietas, relaksasi
otot, amnesia anterograde, dan aktivitas antikonvulsan. Efek antivertigo tidak
dijelaskan dalam referensi textbook farmakologi. Efek anxiolitik dari benzodiazepin
berguna dalam praktik klinis untuk mengurangi anxietas yang biasanya berhubungan
dengan vertigo.
6. Antagonis Kalsium8,18,19
Cinnarizine dan Flunarizine merupakan jenis obat yang sering digunakan.
Flunarizine telah dijual sebagai obat antivertigo di Perancis sejak tahun 1985,
sedangkan cinnarizine dijual (sebagai antihistamin) untuk indikasi yang sama sejak
tahun 1966. Flunarizine juga berguna sebagai obat antimigraine dan untuk terapi
insufisiensi serebrovaskuler. Flunarizine dan cinnarizin mempunyai efek yang sama.
Mekanisme kerja obat ini masih belum diketahui secara pasti. Keduanya mencegah
motion sickness dan merupakan vestibuler depresan.
Peran ion kalsium pada sistem vestibuler dan patofisiologi vertigo masih berupa
hipotesis. Antagonis kalsium dapat menjadi supresan vestibuler karena sel rambut
vestibuler endowed dengan kanal kalsium. Akan tetapi, efek antivertigo cinnarizine
dan flunarizine berhubungan dengan kerjanya pada kanal kalsium, dimana keduanya
juga mempunyai efek sedatif, antidopaminergik, dan H1 antihistamin.
13
Selain penatalaksanaan dengan perasat/manuver dan terapi medikamentosa,
terapi pembedahan juga dapat dilakukan. Dalam kasus yang jarang terjadi, tindakan
bedah dianggap sebagai upaya terakhir. Manajemen bedah meliputi oklusi
semisirkularis posterior dan transeksi nervus ampularry yang mensuplai kanalis
semisirkularis posterior. Kedua prosedur ini berhubungan dengan komplikasi seperti
ketidakseimbangan dan ketulian.21 Pengobatan destruktif mungkin juga
dipertimbangkan untuk varian BPPV seperti cupulolithiasis, serta BPPV yang
melibatkan kanal selain kanal posterior. Cupulolithiasis adalah bentuk paling sulit
dari BPPV untuk dikelola dan karena itu mungkin yang paling masuk akal dimana
pengobatan destruktif harus dipertimbangkan. Pengobatan destruktif untuk BPPV
jarang digunakan, dan ketika mereka umumnya dilakukan atas indikasi yang tepat
dan hasilnya baik.22
KESIMPULAN
Pada laporan kasus ini, pasien laki-laki usia 61 tahun datang dengan keluhan
pusing berputar yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, bersifat hilang
timbul dan terjadi kurang lebih selama 1 menit. Kondisi ini menyebabkan pasien
seperti akan terjatuh bila berdiri. Keluhan tidak berkurang bila pasien berbaring
terutama pada sisi kanan dan akan tetap dirasakan, baik pada saat pasien membuka
maupun menutup mata. Bila pasien dalam posisi diam, keluhan pusing akan sedikit
berkurang. Pusing yang dialami pasien disertai mual, tapi tidak muntah. Pasien
mengatakan telinganya tidak berdenging dan tidak ada penurunan pendengaran.
Pasien juga tidak ada riwayat trauma sebelumnya dan tidak sedang mengkonsumsi
obat-obatan tertentu. Keluhan ini sudah sering dialami sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus disangkal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran composmentis, gizi baik. Tanda-tanda vital tekanan darah 150/100mmHg,
nadi 86x/menit, suhu 36,60C, pernapasan 20x/menit. Pemeriksaan neurologis nervus I
sampai XII dalam batas normal dan tidak ditemukan nistagmus. Tes Romberg (+),
14
dan Tes Melangkah di Tempat (Stepping Test) : badan berputar kurang lebih 90' ke
arah kanan.
Pada pasien, tidak ada pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Pasien dirawat
di bangsal Neurologi RSUD Dr. M. Haulussy Ambon selama 2 hari dan diberikan
terapi antara lain IVFD RL 20 tpm, Betahistine Mesilate 2x1 tab, Diphenhyrdamine
2ml/I.M, Diazepam 5mg/I.V, Flunarizine 5mg 0-0-1.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa tes Romberg (+) dan terdapat
perputaran badan pasien kurang lebih 90' pada tes melangkah di tempat (Stepping
Test/Uttenberg) maka pasien dapat didiagnosis Benign Paroxysmal Positional
Vertigo (BPPV). Alasan tidak dilakukannya tes Dix Hallpike yang merupakan
manuver dalam diagnosis BPPV adalah karena pasien menolak dilakukannya tes
tersebut dengan alasan ketidaknyamanan ruangan. Terapi medikamentosa yang
diberikan sudah sesuai dengan penatalaksanaan BPPV saat terjadi serangan. Namun
penatalaksanaan manuver-manuver reposisi tidak dilakukan.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Ana Paula do Rego André, etc. Conduct After Epley’s Maneuver in Elderly
with Posterior Canal Benign Paroxysmal Positional Vertigo in the Posterior
Canal. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology 2010; 76(3):300-5.
2. Kao CL, etc. Increased Risk of Ischemic Stroke in Patients with Benign
Paroxysmal Positional Vertigo: a 9-Year Follow-up Nationwide Population
Study in Taiwan. Frontiers in Aging Neuroscience 2014; 6: 108.
3. Ballve M, etc. Effectiveness of the Epley's Maneuver Performed in Primary
Care to Treat Posterior Canal Benign Paroxysmal Positional Vertigo: Study
Protocol for a Randomized Controlled Trial. Trials Neuroscience 2014; 15:1.
p. 179.
4. Clinical Practice Guideline: Benign paroxysmal Positional Vertigo.
Otolaryngology–Head and Neck Surgery 2008; 139: S47-S81.
5. Pareira AB. Effect of Epley's Maneuver on the Quality of Life of Paroxismal
Positional Benign Vertigo Patients. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology
2010; 76.
6. Kusumastuti K. Vertigo. Dalam: Machfud HM (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Saraf. Surabaya: UNAIR Press; 2011. Hal.35.
7. Libonat GA. Benign Paroxysmal Positional Vertigo and Positional Vertigo
Variants. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal 2012;
4(1):25-40.
8. Lumbantobing SM. Vertigo Tujuh Keliling. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2013.
9. Zatonski et al. Current Views on Treatment of Vertigo and Dizziness: Review
Article. Journal of Medical diagnostic Methode 2014; 3:1.
16
10. Hornibrook J. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV): History,
Pathophysiology, Office Treatment and Future Directions International
Journal of Otolaryngology 2011.
11. Bashiruddin J. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Dalam:Soepardi EA,
Iskandar N, Restuti RD (Ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2007.
12. Hilton MP, Pinder DK. The Epley (canalith repositioning) Manouvre for
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (Review): The Cochrane Collaboration
2012; 6:1-12.
13. Solomon D. Benign Paroxysmal Positional Vertigo: Current Science Inc
2000; 2:417-27.
14. Parnes LS, Agrawal SK, Atlas J. Diagnosis and Management of Benign
Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV): Canadian Medical Association 2003;
169 (7).
15. Hociota IM, Calarasu R, Georgescu M. The Gold Standard Diagnosis for
Benign Paroxysmal Positional Vertigo: Romanian Journal of Neurology 2012;
XI (2):57-62.
16. Raditke A, von Brevern M, Tiel-Wilck K, et al. Self-Treatment of Benign
Paroxysmal Positional Vertigo: Semont Maneuver vs Epley Procedure.
American Academy of Neurology 2004; 63: 150-2.
17. Moreira RS, Bittar, et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo: Diagnosis
and Treatment. 2011;16: 135-45.
18. Rascol O, Hain TC, Brefel C, Benazel M, Clanet M, Montastruc JL.
Antivertigo Medication and Drug-Induced Vertigo: A Pharmacological
Review. Adis International 1995; 50(55): 777-791.
19. Singh KR, Singh M. Current Perspective in the Pharmacotherapy of Vertigo:
Review Article. Otorhinolaryngology Clinics 2012; 4(2): 81-5.
20. Dylon H. Practice Guideline for Benign Paroxysmal Positional Vertigo. 2014.
17
21. Ebadi H, et al. Comparison Between The Effectiveness Of Physical Maneauer
And Medicinal Therapy In Treatment Of Benign Paroxysmal Positional
Vertigo. Journal Of Mazandaran University Of Medical Sciences 2007;
17(58); P.1-8.
22. Bashir K, et al. Management of benign paroxysmal positional vertigo (BPPV)
in the emergency department. Journal of Emergency Medicine, Trauma and
Acute Care 2014; 1(3).
18