Download - Batuk Kronik
Tinjauan Pustaka
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6, Juni 2010
Batuk Kronik pada Anak
Bambang Supriyatno
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Batuk merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh terutama respiratorik
yang harus dikelola dengan baik. Mekanisme batuk tergantung dari lima komponen yaitu
reseptor batuk, saraf aferen, pusat batuk, saraf eferen, dan efektor. Klasifikasi batuk dibagi dua
kelompok yaitu batuk akut dan batuk kronik. Untuk menentukan etiologi batuk perlu
dipertimbangkan jenis, lama, umur timbulnya batuk. Tatalaksana batuk kronik tergantung
dari penyakit yang mendasarinya dengan mempertimbangkan beberapa faktor untuk mencari
etiologi. Selain tatalaksana farmakologik seperti antibiotik, antiinflamasi, bronkodilator, dan
sebagainya; diperlukan tatalaksana non farmakologik untuk menunjang tatalaksana secara
komprehensif dalam penanganan batuk kronik.
Kata kunci: batuk kronik, tatalaksana, anak
Chronic Cough in Children
Bambang Supriyatno
Department of Child Health Faculty of Medicine University of Indonesia/
Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta
Abstract: Cough is one of the defense mechanism especially in respiratory system that should have
to manage properly. Mechanism of cough depends on the five components, namely cough recep-
tors, afferent nerves, cough centre, efferent nerve, and effectors. Classification of cough divided
into two: acute and chronic cough. To determine the etiology one should be considered type,
duration, and age incidence of the cough. Management of chronic cough depends on the underly-
ing diseases by considering several factors to find the etiology. In addition to pharmacologic
management of such antibiotics, antiinflammatory, bronchodilator, etc; it is necessary to support
the management of non-pharmacologic management of a comprehensive in treating chronic
cough.
Keywords: chronic cough, management, children.
285
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6, Juni 2010
Batuk Kronik pada Anak
Pendahuluan
Batuk merupakan salah satu gejala utama yang
membawa pasien pada sarana kesehatan selain demam, diare,
dan sesak. Batuk merupakan karunia Tuhan yang berguna
sebagai pertahanan tubuh khususnya pertahanan
respiratorik.1 Klasifikasi batuk bermacam-macam tetapi
umumnya dibagi dalam kelompok besar yaitu batuk akut dan
batuk kronik. Untuk menentukan etiologi batuk kronik faktor
usia merupakan petunjuk yang cukup penting, misalnya pada
bayi sebagai penyebab utama adalah GER (gastro-esoph-
ageal reflux) sedangkan pada anak yang lebih besar adalah
asma sebagai penyebab utama.1,2 Batuk kronik bukan
merupakan suatu diagnosis melainkan suatu gejala dan
tatalaksana batuk kronik bergantung pada penyebabnya.1-3
Mekanisme Terjadinya Batuk
Batuk merupakan suatu rangkaian refleks yang terdiri
dari reseptor batuk, saraf aferen, pusat batuk, saraf eferen,
dan efektor. Refleks batuk tidak akan sempurna apabila salah
satu unsurnya tidak terpenuhi. Adanya rangsangan pada
reseptor batuk akan dibawa oleh saraf aferen ke pusat batuk
yaitu medula untuk diteruskan ke efektor melalui saraf
eferen.1,4,5 Reseptor batuk terdapat pada farings, larings,
trakea, bronkus, hidung (sinus paranasal), telinga, lambung,
dan perikardium sedangkan efektor batuk dapat berupa otot
farings, larings, diafragma, interkostal, dan lain-lain. Proses
batuk terjadi didahului inspirasi maksimal, penutupan glotis,
peningkatan tekanan intra toraks lalu glotis terbuka dan
dibatukkan secara eksplosif untuk mengeluarkan benda asing
yang ada pada saluran respiratorik. Inspirasi diperlukan untuk
mendapatkan volume udara sebanyak-banyaknya sehingga
terjadi peningkatan tekanan intratorakal. Selanjutnya terjadi
penutupan glotis yang bertujuan mempertahankan volume
paru pada saat tekanan intratorakal besar. Pada fase ini terjadi
kontraksi otot ekspirasi karena pemendekan otot ekspirasi
sehingga selain tekanan intratorakal tinggi tekanan
intraabdomen pun tinggi. Setelah tekanan intratorakal dan
intraabdomen meningkat maka glotis akan terbuka yang
menyebabkan terjadinya ekspirasi yang cepat, singkat, dan
kuat sehingga terjadi pembersihan bahan-bahan yang tidak
diperlukan seperti mukus dan lain-lain. Setelah fase tersebut
maka otot respiratorik akan relaksasi yang dapat berlangsung
singkat atau lama tergantung dari jenis batuknya. Apabila
diperlukan batuk kembali maka fase relaksasi berlangsung
singkat untuk persiapan batuk.1,4,5
Definisi
Definisi batuk kronik bervariasi, ada yang menyatakan
batuk kronik adalah batuk yang berlangsung lebih dari atau
sama dengan 2 minggu, ada yang mengambil batasan 3
minggu, bahkan 4 minggu.1,2,6 Unit Kerja Koordinasi
Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Respirologi
IDAI) membuat batasan batuk kronik adalah batuk yang
berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu
sedangkan batuk akut adalah batuk yang berlangsung kurang
dari 2 minggu. Selain batuk akut dan kronik beberapa literatur
menyebutkan pembagian lain yaitu batuk sub akut tetapi UKK
Respirologi tidak menggunakan istilah batuk sub akut. Selain
batuk kronik dikenal istilah batuk kronik berulang (BKB) yaitu
batuk yang berlangsung lebih dari atau sama dengan 2 minggu
dan/atau berlangsung 3 episode dalam 3 bulan berturut-turut.7
Etiologi
Dalam menentukan diagnosis etiologi batuk kronik perlu
dipertimbangkan faktor usia. (Tabel 1)
Tabel 1. Etiologi Batuk Kronik Berdasarkan Usia3
Bayi Anak (usia muda) Anak (usia lebih tua)
Kongenital Aspirasi Asma
- Trakeomalasia Pasca infeksi virus Rokok (aktif)
- Vascular ring Asma Postnasal drip
Infeksi: Tuberkulosis Pasca infeksi virus
- Pertusis, virus, Pertusis Infeksi
- Klamidia OMSK* Tuberkulosis
Asma GER* OMSK*
Pneumonia aspirasi Bronkiektasis Bronkiektasis
GER* Psikogenik
Rokok pasif Tumor
*OMSK: otitis media supurativa kronik;
GER: gastro-esophageal reflux
Tatalaksana
Tatalaksana batuk kronik tergantung pada penyakit
dasar sebagai etiologinya.3,8 Pada keadaan infeksi bakteri
maka pemberian antibiotik merupakan pilihan utama
sedangkan pada asma pemberian bronkodilator sebagai obat
utamanya, demikian juga yang lainnya.8,9 Namun pada
keadaan tertentu diperlukan pengobatan suportif lain seperti
misalnya mukolitik, fisioterapi, dan lain-lain. Secara garis besar
tatalaksana batuk kronik dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu
farmakologik dan non farmakologik.
Farmakologik
Tatalaksana farmakologi pada batuk dikenal sebagai obat
utama dan obat suportif. Yang termasuk obat utama adalah
antibiotik, bronkodilator, dan antiinflamasi, sedangkan yang
termasuk suportif adalah mukolitik dan antitusif.1,10 Pada batuk
kronik dengan penyebab utama infeksi bakteri maka
pengobatan utamanya adalah antibiotik. Jenis antibiotik yang
diberikan tergantung dugaan etiologinya, misalnya pada
faringitis yang diduga bakteri maka pilihan utama adalah
golongan penisilin sedangkan pada rinosinusitis sebagai
pilihan utama adalah kombinasi amoksislin dan asam
klavulanat serta pada pneumonia atipik pilihan utama adalah
makrolid dan lain-lain.11,12 Selain pilihan antibiotik yang
berbeda juga perlu diperhatikan lamanya pemberian antibiotik
misalnya faringitis bakteri cukup dengan 7 hari sedangkan
pada rinosinusitis diberikan selama 3 minggu.11,13
286
Batuk Kronik pada Anak
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6, Juni 2010
a
b
Penyebab batuk kronik yang sering adalah asma
sehingga pengobatan utama pada saat serangan asma adalah
bronkodilator.9,14 Pada asma terjadi keadaan bronkokonstriksi
akibat pajanan alergen pada saluran respiratorik sehingga
terjadi obstruksi dengan akibat hipoksemia dan hiperkarbia
yang harus ditatalaksana sesegera mungkin untuk mencegah
komplikasi yang mungkin terjadi.15 Bronkodilator yang
digunakan sebaiknya dalam bentuk inhalasi karena
mempunyai awitan yang cepat, langsung menuju sasaran,
dosis kecil, dan efek samping kecil. Pada serangan asma,
bronkodilator yang digunakan adalah yang termasuk dalam
golongan short acting sedangkan pada tatalaksana jangka
panjang digunakan long acting beta-2 agonist (sebagai
ajuvan terhadap obat pengendali utama yaitu steroid
inhalasi).9,16 Bronkodilator yang sering digunakan pada
serangan asma adalah salbutamol, terbutalin, prokaterol, dan
ipratropium bromida, sedangkan pada tatalaksana jangka
panjang adalah formoterol, salmeterol, dan bambuterol.9
Pada batuk kronik yang didasari inflamasi sebagai faktor
etiologi seperti rinitis alergika dan asma pemberian
antiinflamasi merupakan pilihan utama. Pada rinitis alergika
antiinflamasi yang dianjurkan adalah kortikosteroid intrana-
sal selama 4-8 minggu. Pemberian kortikosteroid intranasal
juga diberikan pada rinosinusitis yang disertai dengan alergi
selama 3 minggu.11,13 Penggunaan antiinflamasi untuk asma
terbagi dalam 2 kelompok besar, yaitu untuk tatalaksana
serangan asma dan tatalaksana di luar serangan asma.7,9
Untuk mengatasi serangan asma, antiinflamasi
(kortikosteroid) yang digunakan umumnya sistemik yaitu
pada serangan asma sedang dan serangan asma berat. Pada
serangan asma ringan umumnya tidak diberikan korti-
kosteroid kecuali pernah mengalami serangan berat yang
memerlukan perawatan sebelumnya.7 Pemberian korti-
kosteroid pada asma di luar serangan diberikan secara
inhalasi yaitu pada asma episodik sering dan asma persisiten.
Pada keadaan tersebut umumnya kortikosteroid inhalasi
dikombinasikan dengan long acting beta-2 agonist.7
Selain pengobatan utama beberapa kasus diberikan obat
suportif seperti mukolitik dan antitusif.5,8 Cara kerja mukolitik
ada beberapa mekanisme yaitu meningkatkan ketebalan
lapisal sol, mengubah viskositas lapisan gel, menurunkan
kelengketan lapisan gel, dan meningkatkan kerja silia. Selain
mukolitik beberapa keadaan dapat mempengaruhi kondisi
tersebut di atas yang dapat bekerja sama yaitu hidrasi yang
cukup, obat-obat beta-2 agonis, antitusif dan lain-lain. Selain
bekerja dengan mekanisme tersebut di atas mukolitik dapat
pula memecah ikatan mukoprotein atau ikatan disulfid dari
sputum sehingga sputum mudah untuk dikeluarkan.8
Antitusif merupakan obat suportif lain yang diberikan
pada batuk kronik tetapi penggunaan antitusif terutama bagi
anak-anak harus dipertimbangkan secara hati-hati. Pemberian
antitusif justru akan membuat sputum tidak dapat keluar
karena menekan refleks batuk yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan sputum selain antitusif pun dapat menurunkan
kerja silia.3,8 Antitusif perlu dipertimbangkan pada kasus
pertusis yang dapat terjadi apnea akibat batuk yang berat
sehingga tidak dapat inspirasi karena batuknya. Pada keadaan
tersebut antitusif dapat diberikan tetapi secara umum
pemberian antitusif sedapat mungkin dihindarkan.8 Pada asma
pemberian antitusif merupakan kontraindikasi karena akan
memperberat keadan asmanya.7,9
Non farmakologik
Selain tatalaksana farmakologik diperlukan pula
penatalaksanaan non farmakologi seperti pencegahan
terhadap alergen, pengendalian lingkungan, dan hidrasi yang
cukup.8-10 Pada penyakit yang hanya timbul akibat adanya
pajanan alergen maka faktor pencegahan terhadap alergen
merupakan hal yang harus dilakukan misalnya pencegahan
terhadap asap rokok, tungau debu rumah, atau makanan
tertentu yang menyebabkan alergi. Selain itu pengaturan
lingkungan seperti kebersihan lingkungan dan pengaturan
suhu serta kelembaban merupakan hal yang perlu diper-
hatikan.7,9 Dengan suasana lingkungan yang baik maka
tatalaksana batuk kronik menjadi lebih baik. Hidrasi yang
cukup dapat berperan sebagai faktor yang memudahkan
terjadinya pengeluaran sekret lebih baik. Dengan hidrasi yang
cukup dapat mengubah ketebalan lapisan sol dan menurunkan
viskositas lapisan gel serta menurunkan kelengketan lapisan
gel sehingga proses pengeluaran sekret menjadi lebih
mudah.3,8
Kesimpulan
Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa
batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh khususnya
respiratorik yang harus dikelola dengan baik. Tatalaksana
batuk kronik tergantung dari penyakit yang mendasarinya
dengan mempertimbangkan usia sebagai faktor pertim-
bangan untuk mencari etiologi. Selain tatalaksana farma-
kologik diperlukan tatalaksana non farmakologik untuk
menunjang tatalaksana secara komprehensif dalam pena-
nganan batuk kronik.
Daftar Pustaka
1. Chang AB. Cough: are children really different to adult? Cough.
2005;7:1-15.
2. Chung KF. The clinical and pathophysiological challenge of cough.
Dalam: Chung KF, Widdicombe J, Broushey H, penyunting. Cough:
causes, mechanism, and therapy. Massachusetts:Blackwell,
2003.h.3-10.
3. Chang AB. Causes, assessment and measurement of cough in chil-
dren. Dalam: Chung KF, Widdicombe J, Broushey H, penyunting.
Cough: causes, mechanism, and therapy. Massachusetts:Blackwell,
2003.h.57-73.
4. Widdicombe J. A brief overview of the mechanism of cough.
Dalam: Chung KF, Widdicombe J, Broushey H, penyunting. Cough:
causes, mechanism, and therapy. Massachusetts:Blackwell,
2003.h.17-23.
5. Wubel C, Faro A. Chronic cough in children. Pediat care rev.
2003;3:5-10.
287
Maj Kedokt Indon, Volum: 60, Nomor: 6, Juni 2010
Batuk Kronik pada Anak
6. McCool FD. Global physiology and patophysiology of cough.
Chest. 2006;129:48S-53S.
7. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman nasional asma
anak. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indo-
nesia; 2004.
8. Irwin RS, Medison JM. The diagnosis and treatment of cough. N
Engl J Med. 2000;343:1715-21.
9. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/
WHO Workshop Report 2006.
10. de Jongste, Shields MD. Chronic cough in children. Thorax.
2003;58:998-1003.
11. Ahmad N, Zacharek MA. Allergic rhinitis and rhinosinusitis.
Otolaryngol Clin N Am. 2008;41:267-81.
12. Cunningham AF, Johnston SL, Julious SA, Lampe FC, Ward ME.
Chronic Chlamydia pneumoniae infection and asthma exacer-
bations in children. Eur Respir J. 1998;11:345–9.
13. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European position paper on
rhinosinusitis and nasal polyps 2007. Rhinology. 2007;20:1-136.
14. Camargo CA, Rachelefsky G, Schatz M. Managing asthma exac-
erbations in the emergency department: Summary of the Na-
tional Asthma Education and Prevention Program expert panel
report 3 guidelines for the management of asthma exacerbations.
J Allergy Clin Immunol. 2009;124:S5-14.
15. Macias CG, Patel B. Quality improvement in pediatric emergency
department asthma care. Clin Ped Emerg Med. 2009;10:103-6.
16. Robinson PD, Van Asperen P. Asthma in childhood. Pediatr Clin
N Am. 2009;56:191-226.
HQ
288