173
Bab VI
Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2
Tahun 2003
Setelah melewati perjalanan panjang pasca implementasi
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003, maka pada bagian ini penulis
melihat kondisi kekinian PKL dan stakeholder dalam hubungan
dengan perkembangan kota serta berbagai dinamika terkait eksistensi
PKL di Kota Salatiga. Penulis berupaya mengkaji bagaimana
pengelolaan PKL serta relasi dengan semua stakeholder inti yang telah
terbangun selama kurang lebih lima belas tahun sejak ditetapkannya
Perda Nomor 2 Tahun 2003, sehingga pada bagian ini penulis mampu
melihat bagaimana proses partisipasi yang terbangun serta harmoni
sosial di antara sesama PKL maupun dengan stakeholder tetap terjaga
atau telah mengalami perubahan atau mungkin telah hilang.
Perkembangan PKL Kota Salatiga
Pengalaman panjang partisipasi PKL Kota Salatiga bersama
stakeholder ternyata menyimpan sejumlah kesan positif dalam
perkembangan selanjutnya. Dari hasil penelusuran di lapangan penulis
mendapatkan berbagai informasi terbaru tentang eksistensi PKL
bersama stakeholder yang tetap saling menopang dan menghargai demi
langgengnya kondisi hidup yang harmonis antara sesama PKL maupun
dengan stakeholder.
Hubungan dengan pemerintah daerah melalui Dinas
Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Salatiga sangat baik
karena sampai saat ini semua PKL berada dalam pengawasan, selain itu
PKL juga difasilitasi melalui bantuan dari dinas berupa tenda dan
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
174
gerobak yang diserahkan untuk menopang usaha PKL (hasil
wawancara dengan ibu Jumiaty, PKL aneka makanan tanggal 25
Oktober 20017). Dari penjelasan tersebut penulis melihat bahwa PKL
saat ini sangat diperhatikan oleh pemerintah daerah karena saat ini
PKL dikendalikan melalui program pembinaan. Hal tersebut dikuatkan
dengan penjelasan kepala Dinas Perindagkop Kota Salatiga bapak Drs.
Muthoin, M.Si, beliau menjelaskan bahwa pemerintah kota selalu
memperhatikan keberadaan PKL di Kota Salatiga dan melakukan
pembinaan. Pada dinas Perindagkop terdapat unit kerja yang
membawahi PKL dan memiliki program tahunan yaitu program
pembinaan PKL. Dari program tersebut maka pemerintahpun berupaya
memfasilitasi PKL yang telah eksis dengan memberikan bantuan usaha
berupa tenda, gerobak, dan kompor gas. Melalui bantuan tersebut
diharapkan para PKL lebih fokus menjalankan usaha mereka agar lebih
berkembang sehingga kesejahteraan hidup mereka turut digenjot naik
(wawancara dengan kepala dinas tanggal 24 Oktober 2017).
Gambar 6. 1 Shelter PKL di Daerah Margosari
Menilik keberadaan PKL Kota Salatiga dalam beberapa tahun
terakhir ternyata mengalami penurunan dari segi jumlah, sebagaimana
telah dijelaskan pada pendahuluan bahwa berdasarkan hasil
wawancara dan pengumpulan data di lapangan ternyata jumlah PKL
kota Salatiga dari waktu ke waktu mengalami penurunan cukup
signifikan. Pada tahun 2003 jumlah PKL di Kota Salatiga adalah 2.750
Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003
175
(FMPS 2003) dan pada tahun 2015 turun menjadi 1.720, data terbaru
tahun 2017 jumlah totalnya adalah 1.420 (Disperindagkop Salatiga,
2017). Ketika melihat jumlah PKL yang terus mengalami penurunan
maka pasti muncul pertanyaan mengapa berkurang dan tidak
bertambah padahal dengan berkembangnya masyarakat di Kota
Salatiga dalam lima belas tahun terakhir harusnya bertambah.
Temuan penulis ketika melakukan observasi dan wawancara di
lapangan terdapat dua penyebab utama mengapa jumlah PKL
mengalami penurunan. Berikut ini penjelasan mengapa sehingga
jumlah PKL di Kota Salatiga mengalami penurunan. Pertama, banyak
PKL yang telah sukses dalam usaha sehingga status mereka bukan lagi
PKL tetapi telah menjadi pedagang eksis bahkan pedagang toko. Bagi
PKL yang telah memiliki cukup modal mereka kemudian
mengembangkan usahanya sehingga tempat awal tidak dapat
menampung barang dagangan mereka. Berikut ini beberapa hasil
wawancara dari PKL yang telah sukses dan tetap eksis tetapi telah
mengalami peningkatan status dari PKL ke pedagang eksis:
“Pada awalnya saya berjualan pakaian di dekat jalan masuk Pasar Raya I dengan tujuan untuk membiayai biaya sekolah anak-anak saya, dari usaha tersebut saya memperoleh keuntungan yang kemudian dipakai sebagai modal menambah barang dagangan lainnya. Setelah Pasar Raya I direnovasi pemerintah memberi tawaran bagi kami PKL untuk menempati kios hanya dengan membayar retribusi sebesar tiga ribu rupiah perhari, tawaran tersebut saya ambil karena mengingat barang dagangan saya telah bertambah banyak dan saya butuh tempat yang bisa menampung barang sehingga lebih nyaman berjualan” (Wawancara dengan ibu Cahyati tanggal 24 Oktober 2017).
Selanjutnya Cak Hasan pedagang Sate Madura yang pada
awalnya mangkal di trotoar Jalan Patimura, beliau menjelaskan tentang
pengalamannya sebagai PKL yang kemudian beralih menjadi pedagang
eksis:
“Saya memulai usaha sebagai PKL sate Madura yang menjajakan sate pada sore sampai malam hari. Usaha tersebut dimulai dengan tujuan menghidupi anak isteri yang berada di
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
176
kapung halaman, setelah tiga tahun menggeluti usaha sebagai PKL ternyata hasilnya luar biasa dan atas ridho Sang Ilahi maka dagangannya bisa saya tingkatkan pada tahun keempat. Pelangganpun semakin banyak sehingga saya harus memakai karyawan untuk membantu, akhirnya saya harus memanggil isteri dari kampung untuk sama-sama mengelola usaha. Kamipun kemudian mencari tempat tetap untuk menetap dan pada akhirnya saya berhenti menjadi PKL setelah memiliki warung di jalan Patimura” (Wawancara tanggal 25 Oktober 2017).
Seirama dengan pemikiran serta pengalaman Cak Hasan, bapak
Budi Haryadi pedagang masakan Padang yang saat ini berjualan di
Kridanggo, beliau menuturkan pengalamannya sejak menjadi PKL
sampai sukses menjadi pedagang eksis:
“Sebelum menjadi pedagang eksis pada awalnya saya mengikuti abang dan kami menjadi PKL di Jalan Kartini sejak tahun 2003, setelah dibangun selasar di Jalan Kartini abang saya kemudian mempercayakan usahanya kepada saya dan kami pindah ke Kridanggo. Setelah dipercayakan usaha tersebut abang saya kemudian sakit dan meninggal dunia, akhirnya saya meneruskan usaha tersebut sendiri dan dalam waktu dua tahun usaha saya mengalami peningkatan karena banyak pelanggannya. Saya kemudian menempati warung yang disiapkan oleh dinas Perindagkop hanya dengan membayar retribusi perharinya empat ribu rupiah. Usaha saya lumayan maju sehingga saya harus memakai tenaga kerja untuk membantu setiap harinya, saat ini pendapatan perhari rata-rata di atas satu juta rupiah dan jika dibandingkan dengan pendapatan saat masih menjadi PKL di Jalan Kartini justru saat ini jauh lebih tinggi” (Wawancara tanggal 25 Oktober 2017).
Dari temuan tersebut ternyata dengan adanya peningkatan
taraf hidup PKL mempengaruhi jumlah PKL di Kota Salatiga, dari
pengalaman dimaksud penulis melihat bahwa PKL yang sukses adalah
mereka yang tekun menjalankan usahanya sehingga mereka kemudian
beralih status menjadi pedagang eksis dan juga pedagang tetap (Toko).
Para PKL sendiri ternyata memiliki semangat yang berbeda dalam
menjalankan tugas sebagai pedagang kecil yang tidak bisa dipandang
sebelah mata.
Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003
177
Kedua, penegakkan Perda secara konsisten dan bertanggung
jawab oleh pemerintah kota lewat Satpol PP dan dinas Perindagkop
yang tidak kompromi dengan daerah larangan sehingga tidak ada PKL
liar di luar kontrol. Adapun strategi untuk mengendalikan agar tidak
bertambahnya jumlah PKL maka oleh dinas Perindagkop menerapkan
strategi dengan memakai ketua paguyuban dan seluruh anggota
paguyuban untuk mempertahankan jumlah mereka dalam lokasi yang
ditempati. Berikut ini penuturan kepala dinas Peridagkop Kota Salatiga
bapak Muthoin:
“Dalam upaya mengendalikan jumlah PKL agar tetap dan tidak bertambah jumlahnya maka strateginya adalah membentuk paguyuban dengan tujuan mereka menjadi perpanjangan tangan pemerintah kota yang ada di lapangan. Ketua paguyuban adalah penanggung jawab utama di lapangan, sehingga ketika ada PKL baru yang tanpa pemberitahuan sebelumnya melakukan aktivitas di sekitar lokasi maka paguyuban tersebut yang bertanggung jawab atas lokasi mereka sehingga tidak ada benturan dengan pemerintah. Selain itu melalui ketua-ketua paguyuban tersebut kami mudah mengontrol mereka ketika ada permasalahan yang muncul di lapangan, karena dinas dengan mudah memanggil ataupun berkoordinasi dengan ketua paguyuban sebagai perpanjangan tangan kami di lapangan”
Selain memanfaatkan ketua-ketua paguyuban di
masing-masing paguyuban, pemerintah daerah melalui Satpol PP dan
dinas Perindagkop melakukan pendekatan persuasif kepada oknum-
oknum PKL untuk terlibat dalam menjaga lingkungan mereka.
Menurut penjelasan bapak Dadang salah satu kepala bidang di
Disperindagkop yang membidangi pedagang pasar, menjelaskan bahwa
apabila ada pedagang yang berjualan di daerah yang tidak
diperuntukkan bagi pedagang pasar maupun PKL, mereka tidak
ditindak kasar melalui pengusuran tetapi dibina secara bertahap
melalui surat teguran atau didatangi langsung oleh tim gabungan
(Satpol PP, Disperindagkop, Dinas Perhubungan, dan Polisi) untuk
berdiskusi mencari solusi bersama (Wawancara tanggal 23 Oktober
2017).
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
178
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami mengapa
jumlah PKL dari tahun ke tahun mengalami penurunan, penulis
melihat strategi pemkot dalam mengendalikan jumlah dengan
menggunakan PKL yang telah terdaftar dan memiliki STDU melalui
ketua-ketua paguyubannya untuk menjaga dan mempertahankan
jumlah anggota komunitasnya adalah sebuah solusi bijak. Melalui
strategi tersebut maka benturanpun dapat dihindari sehingga konflik
dengan semua pihak tidak terjadi, selain itu kondisi harmonipun tetap
terjaga dengan baik karena masing-masing pihak saling menjaga dalam
suasana aman dan damai.
Gambar 6. 2 PKL Jam dan Kacamata di Pelataran Pertokoan Tamansari
Peningkatan kesejahteraan PKL juga merupakan salah satu
faktor yang memberi kontribusi signifikan terhadap penurunan jumlah
PKL di Kota Salatiga, karena itu pemerintah kota sebagai pemegang
kendali melalui Dinas Perindagkop diharapkan meningkatkan
perhatiannya terhadap para PKL. Dengan perhatian serius melalui
pembinaan ataupun program pendampingan lainnya, penulis yakin
bahwa masalah peningkatan jumlah PKL dapat dikendalikan dengan
baik, sehingga tidak terjadi masalah dalam upaya meredam
pertambahan jumlah PKL. Berikut ini jumlah PKL berdasarkan data
dari Dinas Perindagkop tahun 2017.
Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003
179
Tabel 6. 1 Data Jumlah PKL Tahun 2017
NO WILAYAH PKL JUMLAH TAMBAHAN TOTAL
1 A. Yani (Kios Buah) 28 1 29 2 Jenderal Sudirman 58 19 77 3 Kemiri Raya 13 0 13 4 Kridanggo 19 9 28 5 Lapangan Pancasila 56 0 56 6 Muwardi 3 6 9 7 Pasar Pagi 712 2 714 8 Pasar Raya 1 Malam 45 0 45 9 Patimura 24 15 39
10 Margosari 1 12 13 11 Pos Tingkir (Salatiga Suruh) 4 9 13 12 Shopping Gerobog Putih 111 0 111 13 Shopping Teras 49 0 49 14 Pasar Raya II 0 15 15 15 Sukowati 6 10 16 16 Brigjen Sudiarto 0 9 9 17 Jl. Pemuda 0 3 3 18 Jl. Senjoyo 0 4 4 19 Pasar Blauran 0 4 4 20 Jl. Merak 0 2 2 21 Taman Makam Pahlawan
buah 80 2 82
22 Turen 5 0 5 23 Blok C 70 0 70 24 Kemasan 14 0 14
JUMLAH TOTAL 1298 122 1420
Sumber: Dinas Perindagkop Tahun 2017
Dalam perjalanan sejak tahun 2003 pemerintah Kota Salatiga
ternyata sangat memperhatikan eksistensi PKL, hal tersebut dapat
dilihat dari regulasi yang dikeluarkan setelah Perda No 2 Tahun 2003
yaitu Perwali Nomor 18 Tahun 2006 yang adalah petunjuk pelaksanaan
dari Perda Nomor 2 Tahun 2003, dan Perda Nomor 4 Tahun 2015
tentang Penataan, Pengelolaan, dan Pemberdayaan Pedagang Kaki
Lima. Berdasarkan realita tersebut tidak diragukan lagi bagaimana
pemerintah kota memposisikan PKL sebagai entitas kota yang harus
diperhatikan serta diberdayaakan.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
180
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Penataan,
Pengelolaan, dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
Setelah Perda Nomor 2 Tahun 2003 tentang Penataan
Pedagang Kaki Lima Kota Salatiga dimplementasikan pada tahun 2003,
kondisi Kota Salatiga khususnya konflik PKL dengan seluruh
stakeholder tidak terjadi lagi. Semangat kebersamaan yang terbangun
melalui partisipasi semua pihak dalam mencari solusi atas masalah yang
terjadi akibat eksistensi PKL dengan peningkatan yang tidak
terkendali, tetap menjadi bagian dalam praktek hidup berdampingan.
Dalam perjalanan selama dua belas tahun sejak Perda Nomor 2 Tahun
2003 diimplementasikan, pemerintah daerah melihat bahwa Perda
tersebut perlu ditinjau kembali karena ada hal-hal yang tidak relevan
dengan konteks saat ini. Dengan alasan tersebut maka pada tahun 2015
kembali diterbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2015 sebagai wujud
kepedulian pemerintah daerah Kota Salatiga terhadap PKL.
Dalam Perda ini sangat jelas dibahas tentang siapa PKL dan
bagaimana fungsi serta peran PKL dalam konteks masyarakat di Kota
Salatiga yang dibahas secara paripurna bagaimana posisi PKL bagi
pemerintah daerah dan masyarakat umum. Sekalipun proses
perumusannya berbeda dengan situasi saat Perda Nomor 2 tahun 2003
dirumuskan, tetapi dalam proses perumusan tersebut PKL juga tetap
dilibatkan dalam tahapan perencanaan sampai dengan implementasi
melalui ketua paguyubannya. Pemerintah daerah tetap menghargai
PKL dan stakeholder sehingga dalam perumusan perda dimaksud,
semua komponen yang bersentuhan dengan kebijakan tersebut
dilibatkan agar mengetahui secara baik maksud serta tujuan dari
kebijakan yang ditetapkan.
Pada pembahasan selanjutnya pemerintah daerah menopang
PKL untuk membangun kemitraan dengan dunia usaha sehingga PKL
diberi bantuan modal usaha yang bersumber dari APBD. Adapun
bentuk kemitraan dengan dunia usaha antara lain; peremajaan
penataan tempat usaha PKL; peningkatan kemampuan berwira usaha
melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan; promosi usaha
Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003
181
lewat event pada lokasi binaan; dan berperan aktif dalam penataan PKL
untuk mewujudkan kawasan perkotaan menjadi lebih tertib, bersih,
indah dan nyaman. Komitmen pemerintah kota untuk
memberdayakan PKLpun dapat dilihat dari pemberian bantuan serta
pembinaan dari dinas Perindagkop yang dilakukan setiap tahun sesuai
program dari bidang PKL.
Gambar 6. 3 PKL Makanan di Depan Toko dan di Bawah Marka Larangan
Berjualan
Melalui pemberdayaan sebagaimana yang telah dipaparkan di
atas maka sangat diharapkan PKL di Kota Salatiga menjadi salah satu
sektor penggerak ekonomi mikro sehingga tingkat kesejahteraan
masyarakatpun mengalami peningkatan. Hak PKL yang harus diterima
sesuai Perda Nomor 4 Tahun 2015 adalah mendapatkan pengaturan,
penataan, pembinaan, supervisi, dan pendampingan dalam
pengembangan usaha. Selain itu PKL juga berhak mendapatkan
pelayanan pendaftaran usaha PKL, mendapatkan informasi dan
sosialisasi terkait kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah di tempat
dimana PKL berjualan, dan berhak mendapatkan pendampingan dalam
mendapatkan pinjaman permodalan dengan lembaga keuangan yang
telah menjalin kemitraan dengan pemerintah daerah (Perda Nomor 4
Tahun 2015: pasal 34).
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
182
Selain hak yang harus didapatkan oleh PKL tidak terlepas juga
kewajiban serta larangan yang diberlakukan bagi PKL itu sendiri.
Adapun kewajiban PKL yang tidak terdapat pada perda penataan PKL
sebelumnya adalah menyerahkan tempat usaha atau lokasi usaha tanpa
menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun, apabila lokasi usaha tidak
ditempati selama 1 (satu) bulan atau sewaktu-waktu lokasi
berjualannya dibutuhkan oleh pemerintah. Sedangkan larangan yang
awalnya tidak ada pada Perda Nomor 2 Tahun 2003 adalah PKL
dilarang berpindah tempat atau lokasi dan atau memindahtangankan
TDU tanpa sepengetahuan dan seizin Walikota (Perda Nomor 4 tahun
2015: pasal 35 dan pasal 36). Dari kewajiban dan larangan tersebut
dapat dipahami, bahwa pemerintah daerah benar-benar fokus serta
peduli dengan PKL sebagai wujud peningkatan kesejahteraan warga
sekaligus upaya mengendalikan peningkatan jumlah PKL.
Mengkaji Perda Nomor 4 Tahun 2015 sebagian besar
konsepnya di adopsi dari Perda Nomor 2 Tahun 2003 terkait retribusi,
waktu berjualan, luas lapak, lokasi berjualan serta sanksi-sanksi
administrasi atas pelanggaran yang dilakukan. Berdasarkan kajian
tersebut maka dapat dibahasakan bahwa Perda Nomor 4 Tahun 2015
adalah wajah baru dari Perda Nomor 2 Tahun 2003 yang
disempurnakan sesuai perkembangan daerah. Untuk efektifitas
pelaksanaan program penataan dan pemberdayaan PKL maka harus
ditunjang dengan penyebaran informasi, penyuluhan dan sosialisasi
secara masif dengan tujuan menggerakkan komitmen bersama antara
PKL, pemerintah daerah, dunia usaha, serta masyarakat pada
umumnya.
Partisipasi sebagai Sebuah Warisan
Seiring dengan penataan ruang kota yang dilakukan oleh
pemerintah daerah melalui peraturan daerah Kota Salatiga, harus
menyelaraskan kepentingan publik dan privat dan mendayagunakan
fungsi ruang yang ada, maka pengaturan mengenai lokasi peruntukkan
bagi PKL harus disesuaikan dengan fungsi kawasan yang ada di Kota
Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003
183
Salatiga. Hal tersebut dilakukan mengingat ruang gerak PKL akan dan
selalu memunculkan dampak terhadap ganguan arus lalu lintas,
terganggunya estetika wajah kota dan kebersihan serta fungsi prasarana
kawasan perkotaan. Dengan demikian maka antara pemerintah daerah
dan pemangku kepentingan lain harus jalan dalam keseimbangan,
sehingga dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan tidak
berbenturan dengan kepentingan publik. karena itu pemerintah Kota
Salatiga menggunakan konsep partisipasi dengan melibatkan semua
pemangku kepentingan dalam tahap perencanaan sebuah program
sampai dengan tahap implementasinya.
Partisipasi yang terbangun sejak tahun 2002 ternyata masih
memiliki pengaruh dan secara konsisten diterapkan sampai saat ini, hal
tersebut dapat dibuktikan melalui hubungan yang harmoni antara
sesama PKL maupun dengan stakeholder lainnya. Kondisi usaha PKL
yang tidak diwarnai konflik internal maupun eksternal serta situasi
daerah kondusif sejak ditetapkannya Perda nomor 2 Tahun 2003
menunjukkan bahwa konsep partisipasi tidak hanya sebatas pada
perumusan kebijakan penataan PKL, tetapi telah masuk lebih jauh
dalam praktek hidup antar sesama PKL maupun dengan stakeholder.
Tanpa adanya pemahaman mendalam mengenai partisipasi yang telah
berlangsung lama maka pasti kondisi kota tidak akan kondusif, apalagi
dengan dinamika terkini terdapat banyak PKL baru yang tidak terlibat
pada proses partisipasi di tahun 2002, namun semangat partisipasi
tersebut tetap terlihat dalam aktivitas mereka.
Kondisi saat ini sesuai hasil observasi lapangan dan berdasarkan
wawancara dengan PKL dan beberapa stakeholder ditemukan bahwa,
pada umumnya PKL di Kota Salatiga hidup dalam suasana harmoni dan
mereka saling menopang satu dengan lainnya sebagai wujud
kebersamaan yang diwarisi dari proses partisipasi yang terbangun sejak
tahun 2002. Mengapa sehingga partisipasi disebut sebagai warisan?
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa partisipasi harus dilihat
secara komprehensif melalui pola hidup setiap hari dalam aktivitas
yang ditunjukkan oleh masing-masing PKL. Untuk memahami secara
detail bagaimana partisipasi aktif semua pihak baik pemerintah daerah
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
184
dalam hal ini dinas Perindagkop, PKL, maupun stakeholder maka hal
tersebut dapat dilihat dari proses pembinaan ketika ada PKL baru (liar)
yang menempati zona larangan bagi PKL ataupun juga masuk dalam
paguyuban yang telah terbentuk.
Gambar 6. 4 Deretan PKL Jual Beli Emas di Sepanjang Depan Toko Emas Pasar
Raya I
Pengalaman konflik tahun 2002 memberi kesan positif
bagi langgengnya harmoni sosial di antara PKL dan stakeholder
sehingga penulis melihatnya sebagai warisan partisipasi yang patut
diapresiasi dan merupakan ciri khas penataan PKL Kota Salatiga.
Berikut ini cuplikan wawancara dengan kepala Dinas Perindagkop
Kota Salatiga terkait proses partisipasi yang dilakukan oleh semua
pihak baik pemerintah daerah, PKL, dan stakeholder lainnya dalam
menyikapi munculnya PKL baru di zona tertentu.
“Jika ada PKL baru maka strategi kami untuk menghidari konflik dengan warga dan juga pemilik toko ataupun lokasi tempat PKL baru berjualan adalah dengan melibatkan ketua RT, RW, dan pemilik toko ataupun lahan dilibatkan secara bersama untuk membuat surat pernyataan bersama. Melalui rekomendasi bahwa mereka mengijinkan serta tidak terganggu dengan aktivitas PKL baru di sekitar wilayah atau lokasi mereka. Setelah semuanya selesai maka kamipun membina PKL tersebut secara bertahap sampai dengan
Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003
185
bagaimana mereka memperoleh STDU” (Wawancara tangal 24 Oktober 2017).
Selanjutnya bapak Yoga kepala sub bidang PKL dinas
Perindagkop Kota Salatiga menegaskan bahwa pembinaan dilakukan
bukan hanya pada PKL yang telah terdaftar, tetapi juga terhadap PKL
baru (liar) yang telah terpantau ketika mereka melakukan aktivitas di
zona larangan dalam waktu tertentu, berikut ini penuturannya:
“Ketika ada PKL baru maka dilakukan pembinaan dengan cara mendatangi mereka dan menjelaskan bahwa daerah yang mereka tempati adalah zona larangan yang sesuai dengan perda karena itu mereka (PKL), jika ingin berjualan maka harus mencari tempat di zona yang diperuntukan bagi PKL. Adapun syaratnya adalah jika PKL tersebut telah mendapat tempat di zona yang diperuntukkan untuk berjualan maka harus ada persetujuan dari para PKL ataupun paguyuban yang telah ada di tempat tersebut, jika ada persetujuan maka pemkot melalui dinas Perindagkop mengeluarkan ijin untuk berjualan. Bagi PKL yang berjualan di zona larangan tetapi ada space luas berupa halaman toko contohnya seperti di area pertokoan Jalan Patimura maka PKL harus mendapat ijin dari pemilik toko melalui rekomendasi tertulis yang diserahkan ke dinas Perindagkop” (Wawancara tanggal 24 Oktober 2017).
Menguatkan fakta partisipasi di lapangan yang masih tetap
terjaga sampai saat ini, maka penulis menelusuri dengan
mengumpulkan informasi di lapangan terkait keberadaan PKL baru.
Wawancara dengan ketua RT 01/RW 02 Margosari bapak Wahyu1,
beliau menguatkan apa yang dijelaskan kepala dinas Perindagkop
bahwa mereka selalu dilibatkan dalam penyelesaian masalah PKL
ketika ada PKL baru yang mangkal di daerah Margosari. Hal tersebut
dilakukan oleh dinas untuk mengantisipasi muncul masalah dengan
warga di sekitar lingkungan, karena itu ketua RT dan RW harus
dihadirkan untuk bersama mencari solusi bagi PKL baru. Selanjutnya
beliau menjelaskan bahwa mereka tidak tega melihat PKL yang
mencari nafkah di daerah mereka di usir atau diperlakukan tidak
1 Hasil wawancara tanggal 26 Oktober 2017
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
186
manusiawi karena merekapun harus menghidupi keluarga di rumah.
Karena itu maka mereka kemudian berupaya sebaik mungkin untuk
menjaga lingkungan tetap aman di satu pihak dan di lain pihak
membantu PKL untuk dapat berjualan tanpa masalah.
Selanjutnya bapak Mustamin2 pemilik toko di Jalan Pattimura
menjelaskan bahwa mereka memberi ijin untuk halaman depan toko
mereka dipakai sebagai lokasi berjualan bagi PKL ada dua hal yang
mendasarinya: pertama, dengan adanya aktivitas PKL di depan toko
mereka maka lokasi tersebut akan menjadi ramai karena para
pengunjung akan berdatangan ke lokasi tersebut. Dengan demikian
maka lokasi mereka akan dikenal oleh masyarakat luas sehingga barang
dagangan yang dijual di toko juga akan diketahui orang banyak. Kedua,
pemilik toko tidak keberatan dengan aktivitas PKL karena ketika
malam hari pemilik toko merasa aman karena toko mereka ada yang
menjaganya. Para PKL yang berjualan sampai larut malam telah
membantu menjaga keamanan di daerah pertokoan sehingga pemilik
toko tidak kuatir dengan pencurian ataupun pembobolan pintu toko.
Pengalaman lain dalam hubungan dengan eksistensi PKL Kota
Salatiga serta pengalaman konflik dan partisipasi yang terbangun sejak
tahun 2002, bapak Tris penjual ronde yang mangkal sejak tahun 1992
di daerah Kaloka. Beliau menuturkan pengalamannya selama menjadi
PKL sudah 25 tahun ada bagitu banyak pahit manis perjalanan hidup
sebagai orang kecil yang menyambung hidup dari hasil jualan di jalan:
“Pada akhir tahun sembilan puluan kami mengalami masalah di
lapangan karena pada waktu itu jumlah PKL bertambah drastis
sehingga kami berebutan lahan, alasan kenapa tiba-tiba banyak yang
menjadi PKL sampai saat ini secara pribadi saya tidak tahu. Dengan
bertambahnya jumlah PKL maka banyak masalah yang terjadi dan
kami sebagai PKL terlibat konflik dengan Satpol PP ketika melakukan
operasi, selain itu dengan sesama kami juga terjadi konflik karena
banyak PKL pendatang saat itu sehingga kami tidak saling kenal.
Banyaknya PKL serta belum terorganisir secara baik memunculkan
2 Hasil wawancara tanggal 25 Oktober 2017
Dinamika PKL Pasca Perda Nomor 2 Tahun 2003
187
persaingan yang tidak sehat. Kondisi tersebut berlangsung kurang
lebih dua tahun tetapi saya secara pribadi tetap bertahan karena kami
sekeluarga bergantung dari penghasilan saya sebagai PKL, dengan
demikian risiko apapun harus siap dihadapi demi mencukupi
kebutuhan kami. Pada tahun 2002 kami mulai terorganisir dan
terlibat dalam berbagai pertemuan baik sesama PKL mapun dengan
pihak pemerintah, dari pertemuan tersebut maka kami dapat
diorganisr secara baik dan konflikpun sampai saat ini tidak lagi
terjadi” (Wawancara tanggal 25 Okober 2017).
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa
untuk menjadi PKL saat ini harus melalui proses yang kompleks karena
warisan partisipasinya tetap kental dijunjung oleh semua pihak. Dinas
Perindagkop sendiri sebagai instansi berwenang tidak serta merta
mengambil keputusan terhadap permasalahan PKL tanpa melibatkan
pihak-pihak yang berkepentingan, dengan demikian maka penulis
melihat bahwa partisipasi yang terbangun pada tahun 2002 serta
Harmoni sosialnya tetap dijunjung demi kabaikan barsama.
Kesimpulan
Sekalipun proses partisipasi yang terbangun sejak tahun 2002
telah lama berlangsung bahkan para aktor partisipasipun telah tiada
namun bangunan partisipasinya masih tetap bertahan sampai saat ini.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika PKL telah mengalami
perubahan seiring berlalunya waktu karena dari kondisi yang telah
penulis paparkan di atas, bahwa PKL sendiri ada yang telah berubah
status dan ada pula PKL baru yang tidak mengetahui proses awal
partisipasi dibangun. Tetapi kondisi di lapangan menunjukkan
bagaimana partisipasi dan harmoni sosial tetap terjaga dengan baik oleh
masing-masing pihak.
Keterlibatan pemerintah, PKL dan stakeholder lainnya dalam
menyikapi permasalahan PKL adalah wujud partisipasi yang tetap
langgeng demi menjaga harmoni sosial dalam kehidupan bersama yang
saling peduli. Pemerintah daerah dalam perumusan Perda nomor 4
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
188
Tahun 2015 tidak berjalan sendiri tetapi melibatkan PKL dan
stakeholder, hal tersebut merupakan implementasi dari partisipasi yang
terbangun selama ini sehingga semua pihak merasa memiliki terhadap
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah. Dengan perda tersebut
PKL semakin diperhatikan oleh pemerintah daerah yang memposisikan
PKL sebagai mitra dalam peningkatan ekonomi masyarakat sehingga
tidak ada kesan bahwa PKL adalah entitas yang harus disingkirkan dari
wajah kota karena dampak negatif selalu ditimbulkan lewat aktivitas
mereka pada ruang publik.
Pemberdayaan PKL yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
melalui Perda Nomor 4 Tahun 2015, menunjukkan bahwa partisipasi
telah menjadi bagian dari kelangsungan hubungan antara pemerintah
daerah, PKL dan seluruh stakeholder. Dengan keterlibatan semua
pemangku kepentingan dalam sebuah kebijakan ataupun program-
program pemerintah maka hal tersebut akan memberi dampak positif
bagi masyarakat umum, sehingga akan terwujud harmoni sosial di
antara semua pihak. Dari pengalaman konflik dan resolusi konflik PKL
dan stakeholder Kota Salatiga tahun 2002, ternyata membawa dampak
posisitif bagi kelangsungan partisipasi dan harmoni sosial sampai saat
ini.