87
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment atau penelitian
eksperimen semu yang dilaksanakan di SMA Negeri Imogiri pada tanggal 6
Februari 2017 – 1 Maret 2017. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas X
yang terdiri dari tujuh kelas di SMA Negeri Imogiri, sedangkan sampel berasal
dari kelas X1 dan X4 yang diambil secara acak dengan cara undian untuk menjadi
kelas eksperimen pertama dan kelas eksperimen kedua. Kelas eksperimen pertama
yaitu kelas X1 mendapatkan perlakuan pembelajaran menggunakan pendekatan
problem based learning dan kelas X4 merupakan kelas eksperimen kedua
mendapatkan perlakuan pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing.
Mata pelajaran matematika untuk kelas X1 dan kelas X4 dijadwalkan dua kali
pertemuan tiap minggu dengan alokasi waktu 2×45 menit tiap pertemuan.
Penelitian ini dilaksanakan sebanyak 7 kali pertemuan untuk masing-
masing kelas. Pertemuan pertama diawali dengan pre-test kemampuan pemecahan
masalah yang terdiri dari 4 soal uraian dengan materi trigonometri. Data nilai pre-
test digunakan untuk menguji kesamaan kemampuan awal yang dimiliki siswa
terhadap materi ajar dan kemampuan pemecahan masalah. Pertemuan kedua
sampai pertemuan keenam dilaksankaan pembelajaran dengan pendekatan
problem based learning di kelas eksperimen pertama dan pembelajaran dengan
pendekatan problem posing di kelas eksperimen kedua, masing-masing kelas
88
belajar materi trigonometri. Proses pembelajaran pada kedua kelas dilakukan
dengan mengacu pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah
dibuat oleh peneliti dan disesuaikan dengan pendekatan pembelajaran masing-
masing kelas.. Pertemuan terakhir yaitu pertemuan ke tujuh dilaksanakan post-test
kemampuan pemecahan masalah. Soal post-test terdiri dari 4 soal uraian tentang
materi trigonometri. Data nilai post-test ini untuk mengetahui pemahaman
komptensi yang dikuasai siswa terhadap materi yang telah dipelajari dan
kemampuan pemecahan masalah siswa setelah diberi perlakuan pendekatan
pembelajaran problem based learning maupun problem posing dan mengetahui
efektivitas kedua pendekatan pada kedua kelas eksperimen.
Proses pembelajaran dilakukan oleh peneliti sendiri dan pada setiap
pertemuan diobservasi oleh seorang observer yaitu mahasiswa program studi
pendidikan matematika. Observer bertugas mengamati pelaksanaan pembelajaran
dan mengisi lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran yang bertujuan untuk
mengetahui dan mengevaluasi keterlaksanaan pembelajaran. Secara keseluruhan,
kegiatan pembelajaran pada kelas eksperimen pertama dan kelas eksperimen
kedua terlaksana sesuai dengan RPP. Persentase keterlaksanaan pembelajaran di
kelas eksperimen pertama mencapai 97,06% dan di kelas eksperimen kedua
mencapai 96,10%. Rekapitulasi keterlaksanaan pembelajaran di kelas eksperimen
pertam pertama dapat dilihat pada lampiran 2.7 halaman 423-426 dan rekapitulasi
keterlaksanaan pembelajaran di kelas eksperimen pertam pertama dapat dilihat
pada lampiran 2.8 halaman 427-430.
89
Tabel 1. Persentase Keterlaksanaan Pembelajaran di Kelas Eksperimen
Pertama dan Kelas Eksperimen Kedua
Pertemuan Keterlaksanaan Pembelajaran
Kelas Eksperimen 1 Kelas Eksperimen 2
1 100% 94,44 %
2 100% 94,44%
3 94,12% 100%
4 97,06% 97,22%
5 94,12% 94,44%
Rata-rata 97,06% 96,10%
a. Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen Pertama
Kelas eksperimen pertama pada penelitian ini merupakan kelas yang
mendapat perlakuan pembelajaran dengan pendekatan problem based learning
yaitu kelas X1 yang terdiri dari 26 siswa. Pembelajaran dilaksanakan berdasarkan
RPP yang telah disesuaikan dengan pendekatan problem based learning. Pada
pertemuan kedua sampai kertemuan keenam, pelaksanaan pembelajaran di kelas
eksperimen pertama menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang disusun
untuk membantu siswa dalam mengikuti pembelajaran. RPP kelas eksperimen
pertama selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1.1 halaman 140-212 dan LKS
kelas eksperimen kedua selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1.3 halaman
276-323. Jadwal pelaksanaan pembelajaran penelitian di kelas eksperimen
pertama disajikan pada Tabel 18.
90
Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Pembelajaran Penelitian di Kelas Eksperimen
Pertama
No. Hari, Tanggal Jam Ke- Materi
1 Selasa, 7 Februari 2017 3-4 Pre-test kemampuan pemecahan
masalah
2 Rabu, 8 Februari 2017 7-8 Perbandingan trigonometri pada
segitiga siku-siku
3 Selasa, 14 Februari 2017 3-4 Perbandingan trigonometri pada
sudut khusus
4 Selasa, 21 Februari 2017 3-4
Perbandingan trigonometri pada
sudut berelasi (untuk sudut di
kuadran I dan II)
5 Rabu, 22 Februari 2017 7-8
Perbandingan trigonometri pada
sudut berelasi (untuk sudut di
kuadran III dan IV)
6 Selasa, 28 Februari 2017 3-4
Perbandingan trigonometri pada
sudut berelasi (untuk sudut
negatif dan lebih dari 360°)
7 Rabu, 1 Maret 2017 7-8 Post-test kemampuan
pemecahan masalah
Pada fase orientasi pada masalah, guru menyampaikan tujuan
pembelajaran dan menjelaskan aktivitas apa saja yang akan dilakukan siswa
selama pembelajaran. Guru memastikan bahwa siswa memahami tujuan dan
aktivitas pembelajaran. Selanjutnya, guru memberikan permasalahan yang
berkaitan dengan materi. Masalah yang disajikan adalah masalah kontekstual,
membutuhkan analisis, dan mendorong siswa agar berpikir kritis. Guru memberi
motivasi tentang kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan masalah yang
disajikan kepada siswa agar siswa mau terlibat untuk memecahkan masalah. Pada
pertemuan kedua, siswa bisa memahami permasalahan lebih cepat daripada
pertemuan ketiga karena siswa pernah menerima sedikit pembelajaran tentang
perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku pada mata pelajaran lain. Pada
fase ini, guru juga memotivasi dan membimbing siswa agar siswa mau terlibat
91
dalam menyelesaikan masalah yang dimulai terlebih dahulu dengan memahami
masalah yang diberikan.
Fase pengorganisasian untuk belajar, siswa dikelompokkan menjadi 6
kelompok yang terdiri dari 4 kelompok masing-masing beranggotakan 4 siswa
dan 2 kelompok lainnya beranggotakan 5 siswa. Setelah tiap kelompok
berkumpul, LKS dibagikan ke tiap kelompok, masing-masing kelompok
mendapat LKS sesuai dengan banyaknya anggota kelompok. Pada fase ini, guru
guru memberikan pengarahan atau petunjuk aktivitas untuk menyelesaikan
permasalahan yang disajikan pada LKS.
Pada fase penyelidikan masalah secara kelompok, siswa diarahkan untuk
memahami kembali masalah yang disampaikan guru dengan membaca LKS.
Setelah siswa sudah memahami kembali, siswa diarahkan untuk belajar konsep
matematika melalui LKS pada bagian ayo belajar dan dapat mencari sumber lain
dari buku agar siswa dapat menyelesaikan masalah yang disajikan. Apabila sudah
selesai dalam memahai konsep matematika, tiap kelompok dikondisikan untuk
berdiskusi menemukan solusi dari masalah yang disajikan. Masalah diselesaikan
sesuai dengan langkah pemecahan masalah. Ketika ada siswa yang merasa
kesulitan memahami masalah, maka guru mendorong siswa mengumpulkan
informasi yang ada dari masalah. Beberapa siswa menganggap bahwa soal-soal
yang disajikan terasa sulit karena jarang diberikan soal-soal berupa soal cerita,
dari sinilah teman satu kelompok berperan saling membantu memecahkan
permasalahan. Selanjutnya ketika ada siswa yang merasa kesulitan dalam
merencanakan penyelesaian, maka guru mengarahkan siswa untuk mendaftar
92
informasi apa saja yang belum diketahui padahal dibutuhkan untuk menemukan
solusi selanjutnya membuat rencana penyelesaian dan menuliskan rumus-rumus
yang digunakan apabila ada. Saat siswa melakukan perhitungan untuk
menemukan solusi, mereka dapat mengikuti langkah yang ditulis pada rencana
penyelesaian.
Guru mencermati langkah penyelesaian siswa dan memberikan umpan
balik seperti guru meminta siswa meneliti kembali perhitungan yang dilakukan
siswa. Siswa dapat menyimpulkan jawaban namun kadang lupa untuk menuliskan
satuan jika pada solusi tersebut membutuhkan satuan. Ketika siswa berdiskusi,
guru berkeliling ke semua kelompok untuk membimbing dan memberikan
pengarahan apabila ada siswa yang belum jelas. Siswa aktif bertanya ketika guru
menghampiri ke kelompok. Dalam suasana diskusi, ada siswa yang serius dan ada
pula beberapa siswa yang kurang memperhatikan. Guru menghampiri kelompok
yang ada siswa kurang memperhatikan diskusi kelompoknya untuk menegur
siswa yang kurang memeperhatikan diskusi dan memberikan bimbingan kepada
siswa tersebut agar mau terlibat dalam jalannya diskusi.
Setelah masalah yang disajikan telah ditemukan solusinya, beberapa
kelompok mempresentasikan hasil diskusi. Tidak semua kelompok
mempresentasikan hasil diskusi karena keterbatasan waktu. Ketika ada kelompok
yang presentasi, seluruh siswa diminta untuk memperhatikan dan kelompok lain
boleh menanggapi hasil diskusi kelompok yang presentasi setelah presentasi
selesai, namun ada siswa yang belum memperhatikan penuh sehingga guru perlu
menegur siswa tersebut. Pada pertemuan ketiga, tanya jawab atau pemberian
93
tanggapan belum begitu terlihat keaktifan siswa. Guru berusaha agar diskusi
berjalan dan siswa aktif menanggapi. Guru berinisiatif untuk memberikan
beberapa pertanyaan kepada siswa agar ada siswa yang memberi tanggapan
misalnya apakah cara penyelesaian dari kelompok yang tidak presentasi sama
dengan kelompok yang presentasi. Jika ada cara penyelesaian yang berbeda, guru
mempersilakan kelompok tersebut untuk menyampaikan cara penyelesainnya dan
menyampaikan alasan mengapa lebih memilih menggunakan cara tersebut, apakah
cara tersebut lebih mudah untuk dilakukan atau ada alasan lain.
Setelah ada kelompok yang presentasi, guru mengevaluasi pembelajaran
dan proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh siswa. Guru mengingatkan
lagi hal-hal yang masih ada kesalahan atau kekurangan dalam proses pemecahan
masalah yang dilakukan siswa.
b. Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen Kedua
Kelas eksperimen kedua dalam penelitian ini adalah kelas yang mendapat
perlakuan pembelajaran dengan pendekatan problem posing yaitu kelas X4 yang
terdiri dari 26 siswa. Pembelajaran dilakukan berdasarkan RPP yang telah
disesuaikan dengan pendekatan problem posing. Pada pertemuan kedua sampai
pertemuan keenam, pelaksanaan pembelajaran di kelas eksperimen pertama
menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang disusun untuk membantu siswa
dalam mengikuti pembelajaran. RPP kelas eksperimen kedua selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran 1.2 halaman 213-275 dan LKS kelas eksperimen pertama
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1.4 halaman 324-363. Jadwal
94
pelaksanaan pembelajaran penelitian di kelas eksperimen kedua disajikan pada
Tabel 19.
Tabel 3. Jadwal Pelaksanaan Pembelajaran Penelitian di Kelas Eksperimen
Kedua
No. Hari, Tanggal Jam Ke- Materi
1 Senin, 6 Februari 2017 3-4 Pre-test kemampuan pemecahan
masalah
2 Rabu, 8 Februari 2017 5-6 Perbandingan trigonometri pada
segitiga siku-siku
3 Senin, 13 Februari 2017 3-4 Perbandingan trigonometri pada
sudut khusus
4 Senin, 20 Februari 2017 3-4
Perbandingan trigonometri pada
sudut berelasi (untuk sudut di
kuadran I dan II)
5 Rabu, 22 Februari 2017 5-6
Perbandingan trigonometri pada
sudut berelasi (untuk sudut di
kuadran III dan IV)
6 Senin, 27 Februari 2017 3-4
Perbandingan trigonometri pada
sudut berelasi (untuk sudut
negatif dan lebih dari 360 )
7 Rabu, 1 Maret 2017 5-6 Post-test kemampuan
pemecahan masalah
Keterlaksanaan pembelajaran dengan pendekatan problem posing yang
dilaksanakan di kelas eksperimen kedua berjalan sesuai dengan RPP. Pernyataan
ini didasarkan pada hasil observasi yang telah dilakukan oleh observer. Persentase
keterlaksanaan pembelajaran dengan pendekatan problem posing mencapai
96,10%.
Pada fase membentuk kelompok, siswa di kelas dikelompokkan menjadi
kelompok kecil secara heterogen. Pada pertemuan awal, beberapa siswa kurang
setuju atas pembagian kelompok yang telah terbentuk karena faktor kedekatan
teman, namun akhirnya mau menerima pembagian kelompok tersebut. Guru
menyampaikan tujuan pembelajaran dan aktivitas pembelajaran yaitu membuat
95
soal berdasarkan informasi yang disajikan. Siswa di kelas tersebut baru pertama
kali mengikuti pembelajaran dengan pendekatan problem posing, jadi pada awal
pertemuan, siswa merasa bingung apa yang harus mereka lakukan ketika ada
kegiatan membuat soal maka guru perlu menjelaskan kepada siswa. Guru
mengondisikan kelas agar siswa berkumpul dengan kelompok masing-masing
kemudian LKS dibagikan ke tiap kelompok, masing-masing kelompok mendapat
LKS sesuai dengan banyaknya anggota kelompok. Tiap kelompok berdiskusi
untuk memahami konsep matematika pada materi yang di pelajari dengan bantuan
LKS pada bagian ayo belajar.
Fase menyajikan masalah, guru memberikan situasi masalah kepada siswa.
Masalah yang disajikan adalah masalah yang terbuka, kontekstual, membutuhkan
analisis, dan mendorong siswa agar berpikir kritis. Masalah yang disajikan ini
diselesaikan siswa sebagai latihan mengerjakan dengan langkah pemecahan
masalah. Siswa diberikan masalah lagi yang berisi informasi atau data namun
belum ada pertanyaannya. Siswa perlu memahami soal dengan baik dan mereka
mengerti maksud masalah tersebut agar siswa dapat menyusun soal berdasarkan
informasi yang disajikan. Saat siswa menyusun soal berdasarkan informasi yang
disajikan, soal yang dibuat siswa ada yang sangat mudah, ada soal yang agak
keluar dari topik pembahasan dan ada yang tepat sesuai dengan materi yang baru
dipelajari. Ketika ada siswa yang membuat soal agak keluar dari topik
pembahasan maka guru mengarahkan siswa tersebut untuk memahami kembali
materi dan konsep matematika yang sudah dipelajari pada materi yang sedang di
bahas kemudian membaca kembali infomrasi yang disajikan, selanjutnya siswa di
96
bimbing untuk membuat soal yang berkaitan dengan topik pembahasan. Guru
mengarahkan dalam satu kelompok tersebut untuk bertukar pikiran dan memberi
tanggapan, apakah soal yang dibuat sudah sesuai atau belum dengan topik
pembahasan. Soal dibuat per kelompok dan kelompok tersebut juga membuat
penyelesaiannya.
Apabila soal yang dibuat oleh suatu kelompok selesai maka soal tersebut
ditukar dengan kelompok lain, kemudian mengerjakan soal yang didapat dari
kelompok lain. Penyelesaian dari soal dikerjakan sesuai dengan langkah
pemecahan masalah. Bila masing-masing kelompok telah menmukan solusi malka
kegiatan selanjutnya adalah mempresntasikan hasil diskusi. Tidak semua
kelompok dapat presentasi karena keterbatasan waktu. Setelah presentasi selesai,
guru mengevaluasi presentasi siswa meliputi langkah pemcahan masalah
penulisan jawaban siswa, dan mengarahkan siswa membuat kesimpulan
2. Deskripsi Data Kemampuan Pemecahan Masalah
Data kemampuan pemecahan masalah terdiri dari data pre-test dan data
post-test kemampuan pemecahan masalah. Pelaksanaan pre-test untuk mengetahui
kemampuan awal siswa terhadap materi ajar dan kemampuan pemecahan
masalah. Pelaksanaan post-test untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap
materi yang telah dipelajari dan kemampuan pemecahan masalah siswa setelah
diberi perlakuan pendekatan pembelajaran problem based learning untuk kelas
eksperimen pertana problem posing untuk kelas eksperimen kedua.
97
a. Data Hasil Pre-test dan Post-test
Data nilai pre-test dan post-test siswa dari kelas eksperimen pertama dan
kelas eksperimen kedua disajikan pada Tabel 20.
Tabel 4. Data Hasil Pre-test dan Post-test Kelas Eksperimen Pertama dan
Kelas Eksperimen Kedua
Deskripsi
Data
Kelas Eksperimen
Pertama
Kelas Eksperimen
Kedua
Pre-test Post-test Pre-test Post-test
Rata-rata 42,39 82,85 41,59 78,93
Variansi 56,23 42,80 43,23 54,98
Simpangan
Baku 7,50 6,54 6,57 7,41
Nilai
Terendah 27,08 66,67 25,00 64,58
Nilai
Tertinggi 54,17 93,75 54,17 93,75
Berdasarkan Tabel 20 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai pre-test dan post-
test kelas eksperimen pertama lebih tinggi daripada kelas eksperimen kedua.
Variansi nilai pre-test di kelas eksperimen pertama lebih besar daripada variansi
nilai pre-test di kelas eksperimen kedua, sedangkan variansi nilai pre-test di kelas
eksperimen pertama lebih kecil daripada variansi nilai pre-test di kelas
eksperimen kedua. Begitu pula dengan simpangan baku, simpangan nilai pre-test
di kelas eksperimen pertama lebih besar daripada simpangan baku nilai pre-test di
kelas eksperimen kedua, sedangkan simpangan baku nilai pre-tes tdi kelas
eksperimen pertama lebih kecil daripada simpangan baku nilai pre-test di kelas
eksperimen kedua. Nilai terendah di kelas eksperimen pertama lebih tinggi
98
daripada nilai terendah di kelas eksperimen kedua. Nilai tertinggi di kelas
eksperimen pertama lebih tinggi daripada nilai tertinggi di kelas eksperimen
kedua. Selanjutnya, untuk mengetahui apakah kedua kelas secara umum memiliki
nilai rata-rata yang berbeda, perlu dilakukan uji hipotesis. Hasil analisis statistik
deskriptif dapat dilihat pada lampiran 4.2 halaman 438.
b. Data Kemampuan Pemecahan Masalah
Data yang diperoleh dalam penelitian ini tidak hanya memperhatikan nilai
akhir yang diperoleh siswa pada soal pre-test dan post-test saja, namun juga
memperhatikan aspek pemecahan masalah. Pencapaian siswa dalam setiap
langkah-langkah pemecahan masalah dengan proses memahami masalah,
merencanakan penyelesaian, melakukan penyelesaian hingga mengecek kembali
dan menyimpulkan. Berikut disajikan rata-rata hasil pencapaian pada setiap
langkah-langkah pemecahan masalah.
Tabel 5. Data Rata-rata Tiap Langkah Pemecahan Masalah
Langkah Kemampuan
Pemecahan Masalah
Kelas Eksperimen
Pertama
Kelas Eksperimen
Kedua
Pre-test Post-test Pre-test Post-test
1. Memahami masalah 61,86% 88,14% 57,05% 86,86%
2. Merencanakan penyelesaian
masalah 52,24% 87,50% 47,12% 82,05%
3. Menyelesaikan masalah
sesuai rencana 37,50% 78,21% 36,54% 75,32%
4. Meneliti kembali dan
menyimpulkan 17,95% 77,56% 26,54% 71,47%
Berdasarkan Tabel 21 terlihat bahwa persentase kemampuan pemecahan
masalah siswa dari pre-test ke post test meningkat pada setiap langkahnya.
99
Pencapaian tiap langkah pemecahan masalah pada post-test di kelas eksperimen
pertama lebih tinggi daripada kelas eksperimen kedua. Begitu pula pada pre-test,
kecuali langkah mengecek kembali dan menyimpulkan bahwa pencapaian kelas
eksperimen kedua lebih tinggi daripada kelas eksperimen pertama. Peningkatan
kemampuan siswa dalam memahami masalah sebesar 26,28% di kelas eksperimen
pertama dan sebesar 28,81% di kelas eksperimen kedua. Peningkatan kemampuan
siswa dalam merencanakan penyelesaian masalah sebesar 34,96% di kelas
eksperimen pertama dan sebesar 34,94% di kelas eksperimen kedua. Peningkatan
kemampuan siswa dalam melakukan penyelesaian masalah sebesar 40,71% di
kelas eksperimen pertama dan sebesar 38,78% dikelas eksperimen kedua.
Peningkatan kemampuan siswa dalam mengecek kembali dan menyimpulkan
sebesar 59,61% di kelas eksperimen pertama dan sebesar 44,94% di kelas
eksperimen kedua.
Pada Tabel 21 juga dapat dilihat bahwa kemampuan siswa dalam
melakukan penyelesaian masalah di kelas eksperimen pertama sebesar 78,21%
sedangkan di kelas eksperimen kedua sebesar 75,32%. Persentase tersebut
mengalami penurunan dari langkah sebelumnya yaitu langkah merencanakan
penyelesaian, penurunan tersebut sebesar sebesar 9,29% di kelas eksperimen
pertama dan 6,73% di kelas eksperimen kedua. Penurunan ini dikarenakan
terdapat kesalahan pada jawaban siswa dalam melakukan penyelesaian masalah.
Berikut disajikan contoh pekerjaan siswa dalam melakukan penyelesaian masalah.
Soal post-test nomor 2 adalah “Menara di Masjid Bantensetinggi 25,5
meter terbuat dari batu-bata. Adi dan Beni melihat puncak menara tersebut dari
100
bawah. Jika sudut elevasi dari mata Adi dan mata Beni terhadap puncak menara
masing-masing adalah 60° dan 45°. Jarak antara mata Beni dengan puncak menara
adalah 24 2 meter. Jarak mata Adi dan Beni dari tanah sama yaitu 1,5 m.
Hitunglah (a) jarak antara dasar menara dengan Adi, (b) jarak antara dasar menara
dengan Beni, dengan langkah :
a. Buatlah sketsa berdasarkan persoalan di atas, tuliskan apa yang telah diketahui
dan ditanyakan berdasarkan soal di atas!
b. Bagaimana Anda merencanakan penyelesaian masalah tersebut, tulislah
langkah-langkahnya beserta rumus yang akan digunakan (jika ada)!
c. Selesaikan masalah tersebut sesuai rencana yang Anda tulis!
d. Teliti kembali hasil pekerjaan Anda dan berilah kesimpulan!”
Berikut contoh jawaban siswa dalam menjawab soal post-test nomor 2.
Gambar 1. Contoh Hasil Pekerajaan Siswa Melakukan
Penyelesaian Masalah (1)
Kesalahan jawaban siswa pada Gambar 15 dalam melakukan penyelesaian
masalah adalah kesalahan dalam menentukan jarak tongkat R dan Q, siswa
menuliskan cos 60° =1
2 1 ini sudah benar bahwa nilai cos 60° =
1
2 1 =
1
2 ,
namun seharusnya masih ada lanjutan perhitungan untuk menentukan jarak
tongkat R dan Q.
cos 60° =𝑃𝑄
𝑅𝑄
101
1
2=
5
𝑅𝑄
𝑅𝑄 = 10
Jadi, diperoleh jarak tongkat R dan Q adalah 10 m.
Terdapat pula kesalahan siswa dalam menghitung lebar sungai, siswa menuliskan
cos 90° =1
2 4, cara siswa ini kurang tepat karena siswa dapat merasa kesulitan
dalam menentukan sisi samping sudu dan sisi miring sudut, cara alternatif yang
bisa dilakukan untuk menghitung lebar sungai menerapkan nilai sin 60°
sin 60° =𝑅𝑃
𝑅𝑄
1
2 3 =
𝑅𝑃
10
2𝑅𝑃 = 10 3
𝑅𝑃 = 5 3
Jadi, lebar sungai adalah 5 3 m.
Soal post-test nomor 4 adalah “Komidi putar seperti gambar di samping
berputar berlawanan arah jarum jam sebesar sudut 𝛼 = 11
12 putaran. Tentukan
nilai perbandingan trigonometri dari sudut 𝛼!
a. Tuliskan apa yang telah diketahui dan ditanyakan berdasarkan soal di atas!
b. Bagaimana Anda merencanakan penyelesaian masalah tersebut, tulislah
langkah-langkahnya beserta rumus yang akan digunakan (jika ada)!
c. Selesaikan masalah tersebut sesuai rencana yang Anda tulis!
d. Teliti kembali hasil pekerjaan Anda dan berilah kesimpulan!”
102
Berikut contoh jawaban siswa dalam menjawab soal post-test nomor 4.
Gambar 2 Contoh Hasil Pekerajaan Siswa
Melakukan Penyelesaian Masalah (2)
Kesalahan jawaban siswa pada gambar di atas adalah kurang menuliskan
simbol derajat saat menuliskan besar sudut, dalam menentukan nilai sin −300°
pada bagian menentukan nilai cos 30° seharusnya nilai cos 30° =1
2 3 dan dalam
menentukan nilai cos −300° seharusnya cos −300° = cos 300° =
cos 270° + 30° = sin 30° =1
2. Jika perhitungan yang dilakukan pada langkah
penyelesaian masalah mengahasilkan jawaban yang salah maka kesimpulan yang
diberikan untuk menjawab soal juga salah.
Berdasarkan Tabel 21, peningkatan kemampuan siswa dalam mengecek
kembali dan menyimpulkan cukup tinggi karena ketika mengerjakan pre-test,
kesimpulan yang dibuat siswa tidak menjawab soal pre-test. Ketika siswa
memperoleh pembelajaran dengan perlakuan pendekatan problem based learning
di kelas eksperimen pertama dan problem posing di kelas eksperimn kedua,
kemampuan siswa dalam mengecek kembali dan menyimpulkan sudah lebih baik
daripada saat pre-test dan ketika siswa mengerjakan soal post-test, kemampuan
103
siswa dalam mengecek kembali dan menyimpulkan sudah menjawab soal post-
test.
Berikut akan disajikan perkembangan siswa dalam mengecek kembali dan
menyimpulkan jawaban dari suatu masalah yang disajikan. Soal pre-test nomor 1
adalah “Satu tiang bendera di lapangan upacara sekolah setinggi 5 meter. Seorang
siswa berdiri sejauh 12 meter dari tiang bendera. Sudut yang dibentuk oleh puncak
tiang bendera, tiang bendera dan ruas garis penghubung puncak dan kaki siswa
adalah 𝛼.
Carilah nilai dari keenam perbandingan trigonometeri untuk sudut dengan
langkah berikut :
a. Buatlah sketsa berdasarkan persoalan di atas, tuliskan apa yang telah
diketahui dan ditanyakan berdasarkan soal di atas!
b. Bagaimana Anda merencanakan penyelesaian masalah tersebut, tulislah
langkah-langkahnya beserta rumus yang akan digunakan (jika ada)!
c. Selesaikan masalah tersebut sesuai rencana yang Anda tulis!
d. Teliti kembali hasil pekerjaan Anda dan berilah kesimpulan!”
Berikut contoh jawaban siswa menjawab soal pre-test nomor 1 dalam memahami
masalah.
Gambar 3. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam
Memahami Masalah dari Soal Pre-test
Gambar 17 menunjukkan bahwa, pada langkah memahami masalah, siswa dapat
menuliskan informasi yang diketahui dengan membuat ilustrasi berdasarkan
masalah, dan menuliskan hal yang ditanyakan. Akan lebih baik lagi apabila siswa
lebih jelas menuliskan informasi yang diketahui misalnya dengan memberi
104
keterangan bahwa 5 m merupakan tinggi tiang bendera disimbolkan CA, jarak
seorang siswa ke tiang bendera sejauh 12 m disimbolkan AB, dan sudut yang
dibentuk oleh puncak tiang bendera, tiang bendera dan ruas garis penghubung
puncak dan kaki siswa adalah .
Pada langkah membuat rencana penyelesaian, siswa menuliskan rencana
mereka untuk menyelesaikan masalah dan menuliskan rumus-rumus yang
digunakan, berikut contoh hasil pekerjaan siswa dalam membuat rencana
penyelesaian dari soal pre-test nomor 1.
Gambar 4. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam Membuat Rencana
Penyelesaian dari Soal Pre-Test
Gambar 18 menunjukkan bahwa siswa menuliskan rencana penyelesaian, namun,
belum menuliskan rumus yang digunakan. Langkah penyelesaian yang bisa
dituliskan misalnya 1) menghitung panjang sisi BC menggunakan teorema
Pythagoras yaitu , 2) menentukan nilai dari keenam
perbandingan trigonometri sudut yaitu .
Pada langkah melakukan penyelesaian masalah, siswa menyelesaikan
perhitungan untuk menemukan solusi, berikut contoh hasil pekerjaan siswa dalam
melakukan penyelesaian masalah dari soal pre-test nomor 1.
Gambar 5. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam Melakukan
Penyelesaian Masalah dari Soal Pre-Test
105
Gambar 19 menunjukkan bahwa siswa telah melakukan penyelesaian sesuai
dengan rencana menyelesaian. Namun, urutan penulisan penyelesaian masih
terbalik, seharusnya perhitungan panjang BC di letakkan sebelum perhitungan
mencari perbandingan trigonometri sudut . Terdapat kesalahan dalam
menentukan nilai perbandingan dan , seharusnya dan
.
Pada langkah mengecek kembali dan menyimpulkan, siswa menghitung
kembali penyelesaian untuk mengecek ulang hasil kemudian mereka
menyimpulkan hasil dan menghubungkannya dengan hal-hal yang ditanyakan
sehingga dapat menjawab soal.
Gambar 6. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam Meneliti
Kembali Dan Menyimpulkan dari Soal Pre-Test
Gambar 20 memperlihatkan bahwa contoh hasil pekerjaan siswa tersebut
memberikan kesimpulan yang tidak menjawab soal. Siswa tidak melakukan
pengcekan hasil dan menyimpulkan hasil serta menghubungkannya dengan hal-
hal yang ditanyakan pada soal.
Setelah siswa melakukan pre-test, siswa memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan problem based learning di kelas eksperimen pertama dan
problem posing di kelas eksperimen kedua. Masalah yang disajikan ketika
pembelajaran misalnya “Baliho dengan tinggi 4 meter dipasang di pinggir jalan
dengan penyangga bambu yang panjangnya 5 m seperti gambar di bawah ini.
106
adalah sudut antara penyangga, puncak baliho, dan sisi tegak baliho. Tentukan
perbandingan trigonometri untuk sudut !” Contoh pekerjaan siswa adalah
sebagai berikut.
Pada langkah memahami masalah, siswa membuat ilustrasi berdasarkan
masalah, menuliskan informasi yang diketahui dan hal yang ditanyakan, seperti
pada Gambar 21. Ketika pembelajaram, siswa mampu memahami masalah lebih
baik daripada ketika menjawab soal pre-test. Gambar 21 menunjukkan bahwa
siswa telah memberikan keterangan berdasarkan gambar 4 m merupakan tinggi
baliho, 5 m merupakan panjang sisi miring (penyangga), dan 𝑥 dimisalkan sebagai
alas atau panjang sisi depan sudut .
Gambar 7. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam
Memahami Masalah Ketika Pembelajaran
Pada langkah membuat rencana penyelesaian, siswa menuliskan rencana
mereka untuk menyelesaikan masalah dan menuliskan rumus-rumus yang
digunakan, seperti pada Gambar 22 berikut.
Gambar 8. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam Membuat
Rencana Penyelesaian Ketika Pembelajaran
107
Siswa telah menuliskan langkah penyelesaian masalah dan menyertakan rumus
yang digunakan. Langkah pertama yang dituliskan siswa adalah mencari panjang
sisi depan sudut dengan rumus dan langkah kedua mencari nilai
perbandingan trigonometri yaitu .
Pada langkah melakukan penyelesaian masalah, siswa menyelesaikan perhitungan
untuk menemukan solusi dari masalah. Siswa menghitung panjang sisi b
kemudian menentukan nilai perbandingan trigonometri. contoh pekerjaan siswa
seperti pada Gambar 23.
Gambar 9. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam Melakukan
Penyelesaian Masalah Ketika Pembelajaran
Pada langkah mengecek kembali dan menyimpulkan, disajikan contoh
hasil pekerjaan siswa pada Gambar 24. Siswa menghitung kembali penyelesaian
untuk mengecek kebeneran perhitungan kemudian mereka menyimpulkan hasil
perhitungannya dan mengaitkannya dengan hal-hal yang ditanyakan untuk
menjawab soal.
108
Gambar 10. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam Meneliti
Kembali dan Menyimpulkan Ketika Pembelajaran
Soal post-test nomor 2 adalah “Ada tiga tongkat yang dua tongkat pertama
menancap berturut-turut di tepi sungai di titik P dan titik Q (pada tanah tepi
sungai). Tongkat ketiga menancap pada tanah tepi seberang sungai di titik R. Jika
diketahui jarak antara tongkat P dan tongkat Q adalah 5 m, dan
. Tentukan (a) jarak tongkat R dan tongkat Q dan (b) lebar sungai
dengan langkah berikut!
a. Buatlah sketsa berdasarkan persoalan di atas, tuliskan apa yang telah
diketahui dan ditanyakan berdasarkan soal di atas!
b. Bagaimana Anda merencanakan penyelesaian masalah tersebut, tulislah
langkah-langkahnya beserta rumus yang akan digunakan (jika ada)!
c. Selesaikan masalah tersebut sesuai rencana yang Anda tulis!
d. Teliti kembali hasil pekerjaan Anda dan berilah kesimpulan!”
Contoh pekerjaan siswa adalah sebagai berikut. Pada langkah memahami masalah,
siswa membuat ilustrasi berdasarkan masalah, menuliskan informasi yang
diketahui dan hal yang ditanyakan, seperti pada gambar 25 berikut.
109
Gambar 11. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam
Memahami Masalah dari Soal Post-Test
Siswa sudah bisa membuat ilustrasi berdasarkan masalah yaitu membuat ilustrasi
sungai dan letak tongkat P,Q, dan R. Siswa menuliskan informasi yang diketahui
yaitu jarak tongkat P dan R sejauh 5 m, besar , dan besar
. Siswa juga sudah menuliskan hal yang ditanyakan yaitu (a) jarak
tongkat R dan tongkat Q dan (b) lebar sungai.
Pada langkah membuat rencana penyelesaian, siswa menuliskan rencana
mereka untuk menyelesaikan masalah dan menuliskan rumus-rumus yang
digunakan, seperti pada gambar 26 berikut.
Gambar 12. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam Membuat
Rencana Penyelesaian dari Soal Post-Test
Ada dua langkah penyelesaian yang digunakan siswa yaitu siswa mencari panjang
RQ menggunakan nilai cos kemudian siswa mencari lebar sungai
menggunakan nilai tan .
Pada langkah melakukan penyelesaian masalah, siswa menyelesaikan
perhitungan untuk menemukan solusi dari masalah, seperti pada Gambar 27
berikut.
110
Gambar 13. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam
Melakukan Penyelesaian Masalah
Siswa melakukan penyelesaian sesuai dengan rencana penyelesaian. Pertama,
siswa menghitung panjang RQ menggunakan nilai cos memperoleh hasil
panjang RQ adalah 10 m. Kedua, siswa menghitung panjang PR menggunakan
nilai tan memperoleh hasil panjang PR adalah m. Hasil perhitungan
siswa sudah benar.
Pada langkah mengecek kembali dan menyimpulkan, siswa menghitung
kembali penyelesaian untuk mengecek kebeneran perhitungan kemudian mereka
menyimpulkan hasil perhitungannya dan mengaitkannya dengan hal-hal yang
ditanyakan untuk menjawab soal, seperti pada Gambar 28 berikut.
Gambar 14. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa dalam Mengecek Kembali dan
Menyimpulkan untuk Menjawab Soal Post-Test
Siswa mengecek kembali hasil perhitungannya, ia menghitung panjang
RQ menggunakan nilai dan menghitung panjang PR menggunakan
teorema Phytagoras. Hasil pengecekan kembali yang dilakukan siswa memperoleh
hasil yang sama dengan hasil perhitungan ketika ia melakukan langkah
111
penyelesaian pada poin sebelumnya. Siswa kemudian mengaitkan hasil
perhitungannya dengan hal-hal yang ditanyakan untuk membuat kesimpulan.
3. Analisis Data
Analisis data diawali dengan menguji asumsi yaitu uji normalitas dan uji
homogenitas. Jika data yang diuji menunjukkan bahwa data yang berdistribusi
normal dan homogen maka analisis selanjutnya menggunakan statistik parametrik.
Uji hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji hipotesis
keefektifan pembelajaran dengan pendekatan problem based learning dan
pembelajaran dengan pendekatan problem posing terhadap kemampuan
pemecahan masalah. Jika kedua pendekatan pembelajaran efektif maka akan
dilakukan uji perbandingan keefektifan.
a. Hasil Uji Asumsi Analisis
Uji asumsi analisis meliputi uji normalitas dan uji homogenitas. Kedua uji
ini dilakukan untuk menentukan apakah menggunakan statistik parametrik atau
non parametrik. Uji asumsi analisis dilakukan pada data pre-test dan post-test
kemampuan pemecahan masalah. Jika uji asumsi ini terpenuhi maka dapat
dilakukan uji hipotesis penelitian.
1) Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diambil
berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas
dilakukan pada nilai pre-test dan post-test kemampuan pemecahan masalah siswa
kelas eksperimen pertama dan kelas eksperimen kedua. Pengujian dilakukan
dengan uji one-sample Kolmogorov Smirnov dengan bantun software IBM SPSS
Statistic 21. Hasil uji normalitas disajikan pada Tabel 19.
112
Tabel 6. Hasil Uji Normalitas Kelas Eksperimen Pertama dan Kelas
Eksperimen Kedua
Kelas Data Nilai
Signifikansi Keputusan Hasil
Eksperimen
Pertama
Pre-test 0,877 H0 diterima Normal
Post-test 0,739 H0 diterima Normal
Eksperimen Kedua Pre-test 0,865 H0 diterima Normal
Post-test 0,984 H0 diterima Normal
Berdasarkan tabel di atas, nilai signifikansi uji normalitas data pre-test
kelas eksperimen pertama adalah 0,877 dan pada kelas eksperimen kedua adalah
0,865. Nilai signifikansi uji normalitas data post-test kelas eksperimen pertama
adalah 0,739 dan pada kelas eksperimen kedua adalah 0,984. Data dikatakan
berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih besar dari taraf
signifikansi . Nilai signifikansi pada tabel di atas menunjukkan bahwa
nilai signifikansinya lebih besar dari 0,05. Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa nilai pre-test dan post-test baik pada kelas eksperimen
pertama maupun kelas eksperimen kedua berasal dari populasi yang berdistribusi
normal. Hasil analisis uji normalitas dapat dilihat pada lampiran 4.3 halaman 439.
2) Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah data dari
kedua kelompok mempunyai variansi yang homogen atau tidak homogen. Uji
homogenitas dilakukan terhadap nilai pre-test dan post-test kemampuan
pemecahan masalah siswa pada kelas eksperimen pertama dan kelas eksperimen
kedua. Pengujian homogenitas dilakukan dengan uji Levene’s dengan bantuan
IBM Statistic SPSS 21. Hasil uji homogenitas kelas eksperimen pertama dan kelas
eksperimen kedua disajikan pada Tabel 23.
113
Tabel 7. Hasil Uji Homogenitas Kelas Eksperimen Pertama dan Kelas
Eksperimen Kedua
Data Nilai
Signifikansi Keputusan Hasil
Pre-test 0,426 H0 diterima Homogen
Post-test 0,173 H0 diterima Homogen
Berdasarkan Tabel 23, nilai signifikansi uji homogenitas data pre-test dari
kelas eksperimen pertama dan kelas eksperimen kedua adalah 0,426. Nilai
signifikansi uji homogenitas data post-test kelas eksperimen pertama dan kelas
eksperimen kedua adalah 0,173. Data dikatakan homogen jika nilai signifikansi
lebih besar dari taraf signifikansi . Berdasarkan data tersebut, nilai
signifikansi pada data pre-test dan post-test lebih besar dari taraf signifikansi
0,05maka dapat disimpulkan bahwa nilai pre-test dan post-test baik pada kelas
eksperimen pertama maupun kelas eksperimen kedua berasal dari populasi dengan
variansi yang homogen. Hasil analisis uji homogenitas dapat dilihat pada lampiran
4.4 halaman 440-441.
b. Hasil Uji Hipotesis
Sebelum dilakukan pengujian hipotesis untuk menjawab rumusan masalah,
dilakukan pengujian kesamaan kemampuan awal dari kelas eksperimen pertama
dan kelas eksperimen kedua. Hasil uji kesamaan kemampuan awal akan
menentukan uji hipotesis yang digunakan. Uji kesamaan kemampuan awal
menggunakan data pre-test dengan Independent Sample t-Test (2-tailed).
Independent Sample t-Test digunakan untuk menguji kesamaan kemampuan awal
data pre-test karena data berasal dari dua sampel independen yaitu sampel dengan
subjek yang berbeda dan mengalami dua perlakuan yang berbeda.
114
Berdasarkan hasil perhitungan dengan bantuan software IBM SPSS
Statistic 21 diperoleh nilai signifikansi yaitu 0,684. Nilai signifikansi tersebut
lebih dari 0,05 sehingga H0 diterima maka dapat disimpulkan bahwa siswa pada
kelas eksperimen pertama dan kelas eksperimen kedua memiliki kemampuan awal
yang sama. Hasil analisis uji kesamaan kemampuan awal dapat dilihat pada
lampiran 4.5 halaman 442-443.
Setelah menguji kesamaan kemampuan awal siswa dengan hasil bahwa
kemampuan awal siswa dari kedua kelas sama maka dapat dilanjutkan pengujian
hipotesis. Uji hipotesis dilakukan menggunakan data dai nilai post-test kedua
kelas. Uji efektivitas masing-masing pendekatan pembelajaran dilakukan dengan
membandingkan nilai post-test dengan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
yaitu dengan uji beda satu sampel/uji pihak kanan/one sample t-test. Untuk
menguji perbandingan keefektifan dari dua pendekatan pembelajaran dilakukan
uji kesamaan rata-rata nilai post-test. Berikut uji hipotesis yang dilakukan.
1) Uji Hipotesis Keefektifan Pembelajaran dengan Pendekatan Problem
Based Learning
Uji hipotesis ini dilakukan untuk mengetahui keefektifan pembelajaran
dengan pendekatan problem based learning ditinjau dari kemampuan pemecahan
masalah. Kriteria keefektifan yang digunakan adalah pembelajaran dikatakan
efektif jika rata-rata nilai post-test kemampuan pemecahan masalah di kelas
eksperimen pertama lebih dari atau sama dengan 75 dan minimal 75% siswa di
kelas memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan KKM
115
Uji hipotesis ini dilakukan dengan one sample t-test dengan bantuan IBM
SPSS Statistic 21. One sample t-test digunakan untuk menguji hipotesis
keefektifan pembelajaran dengan pendekatan problem based learning ditinjau dari
kemampuan pemecahan masalah karena dalam penelitian ini di kelas X1
memperoleh satu perlakuan yaitu problem based learning dengan sampel yang
berukuran n ≤ 30. Hasil uji hipotesis disajikan pada Tabel 24.
Tabel 8. Hasil Uji Keefektifan Pembelajaran dengan Pendekatan Problem
Based Learning Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
Variabel Kelas T df sig.
KPM Eksperimen Pertama 6,128 25 0,000
Tabel 24 menunjukkan bahwa nilai signifikansi pada kelas eksperimen
pertama dengan pendekatan problem based learning untuk variabel kemampuan
pemecahan masalah adalah 0,000. Nilai signifikansi ini kurang dari 0,05 maka H0
ditolak artinya pembelajaran dengan pendekatan problem based learning efektif
ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah.
Pengujian keefektifan yang kedua yaitu pendekatan problem based
learning efektif jika minimal 75% siswa dikelas memperoleh nilai lebih dari atau
sama dengan KKM diperoleh hasil bahwa persentase siswa dikelas eksperimen
pertama yang diberi perlakuan problem based learning yang memperoleh nilai
lebih dari atau sama dengan KKM sebesar 92,30%.
Berdasarkan pengujian keefefektifan tersebut, diperoleh kesimpulan
bahwa pembelajaran dengan pendekatan problem based learning efektif ditinjau
dari kemampuan pemecahan masalah. Hasil analisis uji hipotesis pertama dapat
dilihat pada lampiran 4.6 halaman 444-445.
116
2) Uji Hipotesis Keefektifan Pembelajaran dengan Pendekatan Problem
Posing
Uji hipotesis ini dilakukan untuk mengetahui keefektifan pembelajaran
dengan pendekatan problem posing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah.
Kriteria keefektifan yang digunakan adalah pembelajaran dikatakan efektif jika
rata-rata nilai post-test siswa pada kelas eksperimen kedua lebih dari atau sama
dengan nilai KKM yaitu 75.
Uji hipotesis ini dilakukan dengan one sample t-test dengan bantuan IBM
SPSS Statistic 21. One sample t-test digunakan untuk menguji hipotesis
keefektifan pembelajaran dengan pendekatan problem posing ditinjau dari
kemampuan pemecahan masalah karena dalam penelitian ini di kelas X4
memperoleh satu perlakuan yaitu problem posing dengan sampel yang berukuran
n ≤ 30. Hasil uji hipotesis disajikan pada Tabel 25.
Tabel 9. Hasil Uji Keefektifan Pembelajaran dengan Pendekatan Problem
Posing Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
Variabel Kelas t df sig.
KPM Eksperimen Kedua 2,707 25 0,012
Tabel 25 menunjukkan bahwa nilai signifikansi pada kelas eksperimen
pertama dengan pendekatan problem posing untuk variabel kemampuan
pemecahan masalah adalah 0,012. Nilai signifikansi ini kurang dari 0,05 maka H0
ditolak artinya pembelajaran dengan pendekatan problem posing efektif ditinjau
dari kemampuan pemecahan masalah.
Pengujian keefektifan yang kedua yaitu pendekatan problem posing efektif
jika minimal 75% siswa dikelas memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan
117
KKM diperoleh hasil bahwa persentase siswa dikelas eksperimen pertama yang
diberi perlakuan problem posing yang memperoleh nilai lebih dari atau sama
dengan KKM sebesar 80,77%.
Berdasarkan pengujian keefefektifan tersebut, diperoleh kesimpulan
bahwa pembelajaran dengan pendekatan problem posing efektif ditinjau dari
kemampuan pemecahan masalah. Hasil analisis uji hipotesis kedua dapat dilihat
pada lampiran 4.6 halaman 446-447.
3) Uji Hipotesis Perbandingan Keefektifan Pembelajaran dengan
Pendekatan Problem Based Learning dan Problem Posing
Uji hipotesis ini dilakukan untuk mengetahui apakah pembelajaran dengan
pendekatan problem based learning lebih efektif daripada pembelajaran dengan
pendekatan problem posing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah.
Kriteria keefektifan yang digunakan adalah pembelajaran dengan pendekatan
problem based learning dikatakan lebih efektif jika rata-rata nilai post-test siswa
di kelas eksperimen pertama lebih tinggi dari rata-rata nilai post-test siswa di
kelas eksperimen kedua.
Uji hipotesis menggunakan Independent Sample t-Test dengan bantuan
IBM SPSS Statistic 21. Hasil uji hipotesis disajikan pada Tabel 26.
Tabel 10. Hasil Uji Perbandingan Keefektifan Pembelajaran dengan
Pendekatan Problem Based Learning Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan
Masalah
Variabel t df sig.
KPM 2,024 50 0,048
Tabel 26 menunjukkan bahwa nilai signifikansi hasil Independent Sample
t-Test adalah 0,048. Nilai signifikansi ini kurang dari 0,05 maka H0 ditolak artinya
118
pembelajaran dengan pendekatan problem based learning lebih efektif daripada
pembelajaran dengan pendekatan problem posing ditinjau dari kemampuan
pemecahan masalah.
Pengujian yang kedua adalahh pendekatan problem based learning lebih
efektif dibandingkan dengan pendekatan problem posing jika persentase siswa di
kelompok problem based learning yang memperoleh nilai lebih dari atau sama
dengan KKM lebih tinggi daripada di kelompok problem posing. Di kelas
eksperimen pertama yang diberi perlakuan problem based learning, persentase
siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan KKM sebesar 92,30%
sedangkan di kelas eksperimen kedua yang diberi perlakuan problem posing,
persentase siswa yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan KKM
sebesar 80,77%.
Berdasarkan pengujian keefefektifan tersebu diperoleh kesimpulan bahwa
pendekatan problem based learning lebih efektif dibandingkan dengan
pendekatan problem posing. Hasil analisis uji hipotesis ketiga dapat dilihat pada
lampiran 4.6 halaman 448-449.
B. Pembahasan
1. Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Based Learning Efektif
Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
Kelas eksperimen pertama diberikan perlakuan pembelajaran matematika
dengan pendekatan problem based learning. Pembelajaran dengan pendekatan
problem based learning dikatakan efektif jika rata-rata nilai nilai post-test
kemampuan pemecahan masalah di kelas eksperimen pertama lebih dari atau
sama dengan 75 dan minimal 75% siswa dikelas memperoleh nilai lebih dari atau
119
sama dengan KKM. Berdasarkan kriteria efektif pertama yaitu rata-rata nilai nilai
post-test kemampuan pemecahan masalah di kelas eksperimen pertama lebih dari
atau sama dengan 75, menunjukkan bahwa hasil pengujian hipotesis pertama
dengan bantuan IBM SPSS Statistic 21 diperoleh bahwa nilai signifikansi adalah
0,000. Nilai signifikansi ini kurang dari taraf signifikansi 05,0 maka H0 ditolak
artinya pembelajaran dengan pendekatan problem based learning efektif ditinjau
dari kemampuan pemecahan masalah. Bedasarkan kriteria efektif yang kedua
yaitu minimal 75% siswa dikelas memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan
KKM, hasil perhitungan menunjukkan 92,30% siswa dikelas memperoleh nilai
lebih dari atau sama dengan KKM.
Efektivitas pembelajaran dengan pendekatan problem based learning
ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah didukung oleh penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya dan pendapat para ahli. Penelitian sebelumnya telah
dilakukan oleh Dyah Sartika Putri (2013) yang menunjukkan bahwa strategi
pembelajaran berbasis masalah efektif dalam pembelajaran matematika ditinjau
dari kemampuan pemecahan masalah. Pembelajaran berbasis masalah dengan
strategi Polya dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa (Arifin, 2014: 9). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunantara, Suarjana,
dan Riatini menunjukan bahwa pembelajaran problem based learning dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada mata pelajaran matematika.
Terdapat beberapa dugaan yang menyebabkan pembelajaran dengan pendekatan
problem based learning pada penelitian ini efektif ditinjau dari kemampuan
pemecahan masalah seperti penjelasan berikut ini.
120
Pada awal pembelajaran, guru menyajikan masalah kepada siswa. Masalah
yang disajikan merupakan masalah yang menantang, dibuat menarik dan dekat
dengan kehidupan nyata. Penyajian masalah yang dibuat menarik diharapkan
dapat memancing siswa agar antusias mengikuti pembelajaran dan menunjukkan
kepada siswa bahwa materi yang akan dipelajari bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hillman (2003: 3), Barret &
Moore (2005), Hmelo-Silver (2004: 236), bahwa dalam pada pembelajaran
problem based learning, siswa disajikan masalah yang menantang bagi siswa dan
siswa harus menyelesaikannya. Sejalan pula dengan Duch (2001: 48) dan Untarti
(2015: 19), masalah pada pembelajaran dengan pendekatan problem based
learning haruslah masalah yang menarik dan menunjukkan kepada siswa bahwa
materi yang akan dipelajari berguna dalam kehidupan sehari-hari. Siswa belajar
materi melalui permasalahan dalam kehidupan sehari-hari sehingga akan
memudahkan siswa untuk memahami masalah, dengan demikian memberi
kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki
untuk memecahkan masalah. Hal ini sejalan dengan Rokhmawati, Djatmika, &
Wardana (2016: 53), yang menyatakan bahwa adanya penyajian masalah yang
dekat dengan kehidupan sehari akan memudahkan siswa dalam memahami
masalah.
Salah satu contoh masalah yang disajikan pada pertemuan ketiga yaitu
“Seorang wisatawan Jogja ingin mengukur tinggi Tugu Pal Putih. Ia berdiri sejauh
13 meter dari pusat bagian bawah tugu Tugu Pal Putih. Penampang bagian bawah
tugu berbentuk persegi dengan panjang sisi 1 m. Wisatawan tersebut memandang
121
ke arah puncak Tugu Jogja dengan sudut elevasi . Jarak mata wisatawan dari
tanah adalah 150 cm. Bantulah wisatawan tersebut untuk mengukur tinggi Tugu
Pal Putih!”. Materi yang dipelajari yaitu nilai perbandingan trigonometri sudut
khusus, penerapan materi tersebut adalah bagaimana mengukur tinggi Tugu Pal
Putih disertai dengan informasi yang mendukung.
Pada fase orientasi masalah melalui kegiatan penyajian masalah, siswa
belajar memahami masalah dengan membuat sketsa berdasarkan masalah,
mendata informasi apa saja yang tersedia kemudian membuat model matematika,
dan mengetahui apa yang ditanyakan. Kegiatan memahami masalah tersebut
sesuai dengan aspek kemampuan pemecahan masalah yang pertama. Kegiatan
memahami masalah dalam pembelajaran dengan pendekatan problem based
learning ini sesuai dengan pernyataan Duch, Groh, & Allen (2001: 7) dan Hmelo-
Silver (2004: 236) bahwa problem based learning menumbuhkan kemampuan
untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan untuk penerapan masalah
tertentu, melalui langkah identifikasi ini membantu siswa menggambarkan
masalah. Problem based learning meningkatkan penerapan pengetahuan siswa,
pemecahan masalah, dan keterampilan belajar mandiri dengan mengharuskan
mereka untuk secara aktif mengartikulasikan, memahami, dan memecahkan
masalah (Jonassen & Hung, 2008: 10).
Pembelajaran dengan pendekatan problem based learning ini dibantu
dengan adanya LKS pada pertemuan kedua sampai keenam yang isinya terdapat
masalah yang harus siswa pahami kemudian siswa mempelajari materi agar dapat
memecahkan masalah, selanjutnya siswa menyelesaiakan masalah tersebut sesuai
122
dengan langkah pemecahan masalah, langkah pemecahan masalah ini diharapkan
dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Juliana, Sugiatno & Romal (2015: 10) bahwa
faktor pendukung agar pembelajaran dengan pendekatan problem based
learning dapat terlaksana dengan baik adalah dengan merancang suatu LKS yang
berisi masalah-masalah yang akan diselesaikan oleh siswa. Masalah yang
disajikan pada LKS merupakan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
menyelesaikan masalah tersebut, siswa diminta untuk mengidentifikasi informasi
yang diketahui dan ditanyakan, membuat rencana penyelesaian, melakukan
penyelesaian, dan mengecek penyelesaian menggunakan cara lain jika ada
kemudian menyimpulkan hasil penyelesaian masalah. Hal tersebut menjadikan
LKS yang dibuat dapat digunakan untuk melatih siswa dalam mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah.
Pada fase pengorganisasian belajar, kelas di bagi dalam kelompok kecil
sebagai kelompok diskusi. Pada fase ini, siswa dapat mulai menyusun rencana
untuk menyelesaikan masalah Adanya kelompok diskusi ini, siswa bertukar
pikiran untuk memecahkan masalah, saling membantu untuk menjelaskan masalah
yang belum bisa dipahami, dalam satu kelompok bertanggung jawab terhadap
pembelajaran yang dilakukan agar dapat memecahkan masalah. Hal ini sejalan
dengan Untarti (2015: 10) bahwa pada saat fase mengorganisasikan siswa, siswa
mulai menyusun logistik atau rencana untuk menyelesaikan masalah dengan
memanfaatkan berbagai sumber belajar untuk menyusun rencana penyelesaian.
Arends (2007: 75) berpendapat bahwa diskusi kelas untuk mencapai beberapa
123
tujuan di antaranya meningkatkan kemampuan berpikir siswa dan membantu
mengkonstruksi pemahaman terhadap apa yang siswa pelajari dan meningkatkan
keterlibatan siswa untuk bertanggungjawab atas pembelajaran yang diikuti, dan
membantu siswa terampil berkomunikasi. Hal tersebut sesuai pula dengan
pendapat Duch, Groh, & Allen (2001: 7) dan Hmelo-Silver (2004: 236) bahwa
dalam pendekatan problem based learning, siswa bekerja dalam kelompok belajar
kecil, bersama-sama memperoleh pengetahuan, berkomunikasi, dan
mengumpulkan informasi.
Pada fase penyelidikan secara berkelompok, siswa menerapkan
pengetahuan atau materi matematika yang mereka yang sudah pernah pelajari
dikaitkan dengan materi yang baru dipelajari untuk memecahkan masalah yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut seperti pernyataan Hamruni
(2012) dan Duch, Groh, & Allen (2001: 49) bahwa problem based learning
membantu siswa mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah
dalam kehidupan nyata menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan konsep
baru, dan menghubungkan pengetahuan baru dengan konsep dalam memecahkan
masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata. Ketika berdiskusi, siswa
mendiskusikan langkah-langkah untuk menemukan solusi, dan mengumpulkan
rumus yang akan digunakan jika ada.
Fase penyelidikan tersebut mengarahkan siswa dalam suatu kelompok
mendiskusikan solusi yang tepat atau membuat penyelesaian dari masalah sesuai
dengan aspek kemampuan pemecahan masalah yang ketiga yaitu membuat
penyelesaian masalah. Hal ini sejalan dengan Loyens & Paas (2011: 4) bahwa
124
dalam kelompok, siswa mencoba untuk membangun pemahaman tentang masalah
dan mendiskusikan kemungkinan penjelasan atau solusi. Kegiatan siswa yang
dihadapkan pada masalah yang berkaitan dengan kehidupan menjadikan siswa
aktif mau berdiskusi dan berpikir agar dapat menemukan pemecahan, memilih
langkah agar langkah yang digunakan itu tepat. Hal tersebut menunjukkan bahwa
melalui pembelajaran dengan pendekatan problem based learning, memberi
masalah matematika kepada siswa dan meminta mereka menyelesaikannya,
membuat mereka akan memperoleh keyakinan dan melihat bahwa mereka berhasil
memahami masalah yang diberikan (Cazzola, 2008: 4-6). Problem based learning
sangat cocok untuk membantu siswa menjadi pelajar aktif karena menempatkan
pembelajaran dalam masalah dunia nyata dan membuat siswa bertanggung jawab
atas pembelajaran mereka (Rokhmawati, Djatmika, & Wardana, 2016: 510).
Selama siswa mengerjakan LKS untuk memecahkan masalah, guru
berkeliling ke semua kelompok untuk membimbing siswa yang merasa kesulitan
dan mencermati langkah-langkah pemecahan masalah yang dilakukan siswa. Hal
ini sesuai dengan pendapat Eggen & Kauchak (2012) dan Hmelo-Silver (2004:
236) bahwa guru mendukung dan membimbing proses siswa dalam bekerja
menyelesaikan masalah.
Kegiatan setelah siswa membuat penyelesaian dari masalah, beberapa
kelompok mempresentsikan hasil pemecahan masalah yang mereka diskusikan
bersama kelompok. Siswa yang tidak presentasi, memperhatikan kelompok yang
sedang presentasi. Memperhatikan langkah-langkah yang digunakan, mengecek
apakah langkah penyelesaian dan perhitungannya benar, dan melihat hasil diskusi
125
kelompokya sendiri apakah cara dan hasilnya sama. Kelompok lain yang tidak
presentasi, dipersilakan untuk memberikan tanggapan terhadap hasil pemecahan
masalah dari kelompok yang presentasi. Kegiatan selanjutnya setelah presentasi
adalah guru dan siswa menganalisis dan megevaluasi proses pemecahan masalah.
Guru menyampaikan kekurangan pemecahan masalah siswa dan memberi
apresiasi pada pemecahan masalah yang dilakukan dengan siswa. Adanya
kegiatan presentasi kemudian presentasi siswa dianalisis dan dievaluasi oleh guru
dan siswa maka siswa dapat meneliti kembali hasil pekerjaan mereka dan menarik
kesimpulan yang benar. Hal ini sejalan dengan Untarti (2015: 11) bahwa pada fase
menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah dengan bimbingan
guru, siswa berusaha untuk menarik kesimpulan dari masalah yang telah disajikan
(hlm 11).
Namun, pada proses pembelajaran ada beberapa siswa yang menunjukkan
kurang tertarik dengan pembelajaran dengan pendekatan problem based learning
karena merasa sulit dalam memecahkan masalah yang tidak terbiasa mereka
lakukan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sanjaya (2006: 220) yang
menyatakan ketika siswa tidak memiliki minat atau kepercayaan bahwa masalah
yang dipelajari sulit dipecahkan, mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
2. Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Posing Efektif Ditinjau dari
Kemampuan Pemecahan Masalah
Kelas eksperimen kedua diberikan perlakuan pembelajaran matematika
dengan pendekatan problem posing. Pembelajaran dengan pendekatan problem
posing dikatakan efektif jika siswa memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan
126
KKM yaitu 75 dan minimal 75% siswa di kelas memperoleh nilai lebih dari atau
sama dengan KKM. Berdasarkan kriteria efektif pertama yaitu Rata-rata nilai nilai
post-test kemampuan pemecahan masalah di kelas eksperimen pertama lebih dari
atau sama dengan 75, menunjukkan bahwa hasil pengujian hipotesis pertama
dengan bantuan IBM SPSS Statistic 21 diperoleh bahwa nilai signifikansi adalah
0,006. Nilai signifikansi ini kurang dari taraf signifikansi maka H0
ditolak artinya pembelajaran dengan pendekatan problem posing efektif ditinjau
dari kemampuan pemecahan masalah. Bedasarkan kriteria efektif yang kedua
yaitu minimal 75% siswa dikelas memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan
KKM, hasil perhitungan menunjukkan 80,77% siswa dikelas memperoleh nilai
lebih dari atau sama dengan KKM. Kesimpulan tersebut sejalan dengan hipotesis
yang diajukan oleh peneliti.
Efektivitas pembelajaran dengan pendekatan problem posing ditinjau dari
kemampuan pemecahan masalah pada penelitian ini sejalan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya dan pendapat ahli. Penelitian sebelumnya telah dilakukan
oleh Prihantini (2015), penelitian tersebut memperoleh hasil bahwa pendekatan
problem posing efektif diterapkan di kelas X SMA N 1 Kasihan pada materi
geometri bidang terhadap kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri
siswa. penelitian sbeleumnya dilakukan juga dilakukan oleh Rahmawati (2015)
memperoleh hasil bahwa pembelajaran dengan model problem posing tipe pre
solution dan tipe post solution efektif ditinjau dari kemampuan komunikasi
matematis siswa SMP dalam pembelajaran matematika. Problem posing secara
positif mempengaruhi pembelajaran siswa terhadap pengetahuan dan pemecahan
127
masalah mereka selanjutnya sehingga problem posing merupakan sarana untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa (Silver, 1994: 23).
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing efektif ditinjau dari kemampuan
pemecahan masalah diduga karena didukung oleh beberapa kegiatan pembelajaran
di kelas, hal ini diuraikan sebagai berikut.
Pada saat kegiatan pembuatan soal, siswa diberikan informasi terlebih
dahulu. Informasi tersebut merupakan suatu situasi yang ada di kehidupan. Ketika
siswa menerima situasi tersebut, siswa segera memahami dengan cermat
informasi atau data yang diberikan. Situasi yang diberikan misalnya pada
pertemuan ketiga LKS 1 bagian tantangan 1.2 yaitu “Seorang pejalan kaki melihat
ke arah puncak pohon setinggi 6,9 m. sehingga terbentuk sudut elevasi sebesar
sudut . Bila diketahui . Jika ketinggian mata pejalan kaki 1,7 m dari
tanah. Buatlah soal yang berkaitan dengan perbandingan trigonometri berdasarkan
informasi tersebut!”. Ketika siswa menerima situasi yang diberikan guru maka
siswa sedang melalui tahap kognitif accepting atau menerima, tahap menerima
adalah suatu kegiatan dimana siswa dapat menerima situasi-situasi yang diberikan
guru atau situasi-situasi yang sudah ditentukan (Brown & Walter, 2005: 12). Pada
tahap kognitif accepting, siswa mengidentifikasi informasi dari suatu fenomena.
Accepting berkaitan dengan kemampuan siswa dalam mengamati atau memahami
situasi yang sudah diberikan guru. Ketika siswa memahami situasi atau masalah,
mereka mengidentifikasi informasi yang diketahui, membuat ilustrasi berdasarkan
masalah, dan merancang pertanyaan yang sesuai dengan situasi tersbut. Hal ini
128
mendukung siswa mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dalam
memahami masalah.
Melalui situasi yang diberikan misalnya pada pertemuan kedua LKS 1
pada tantangan 1.2, siswa merumuskan atau membuat soal dimana perumusan
soal dibuat sebelum solusi diperoleh dari suatu situasi. Hal ini sesuai pula dengan
pernyataan Silver (1994: 19-20) bahwa problem posing mengacu pada kegiatan
menciptakan masalah baru atau merumuskan kembali masalah sesuai dengan
situasi yang diberikan, dengan demikian, perumusan masalah dapat terjadi
sebelum, selama, atau setelah solusi diperoleh dari suatu masalah.
Berdasarkan informasi pada LKS 1 pada tantangan 1.2, soal yang dibuat
siswa misalnya pada Gambar 29 dan Gambar 30. Soal pada gambar tersebut sudah
sesuai dengan informasi yang disajikan dan soal dapat di kerjakan.
Saat kegiatan membuat soal, beberapa kelompok mengalami kebingungan dan
kesulitan membuat soal. Misalnya, suatu kelompok kurang bisa memahami
masalah sehingga bingung untuk membuat soal, siswa mencoba membuat ilustrasi
berdasarkan informasi yang diberikan pada LKS 1 tantangan 1.2 sebelum
membuat soal seperti yang disajikan pada gambar 31.
Gambar 16. Contoh Soal yang Dibuat Siswa (2)
Gambar 15. Contoh Soal yang Dibuat Siswa (1)
129
Gambar 31 menunjukkan masih terdapat kesalahan dalam membuat
ilustrasi. Kesalahan tersebut adalah siswa salah dalam menempatkan
perbandingan nilai cosinus sudut θ, angka tiga pada perbandingan tersebut
dianggap sebagai jarak dari pengamat ke pohon sehingga di tuliskan 3 m, dan
gambar tersebut seharusnya bisa diperjelas dengan memberi nama titik sudut. Hal
ini menunjukkan bahwa kelompok yang memperoleh tugas untuk membuat
tantangan 1.2 belum dapat memahami masalah berdasarkan informasi yang
disajikan. Kondisi tersebut sejalan dengan Thobroni & Mustofa (2011: 350) yang
menyatakan bahwa pada pembelajaran problem posing, tidak semua siswa
terampil membuat soal.
Apabila siswa mengalami kebingungan saat membuat soal, guru
membimbing siswa untuk menemukan soal apa yang bisa dibuat berdasarkan
situasi yang diberikan. Guru meminta siswa untuk memahami kembali situasi
yang diberikan, untuk memudahkan memahami situasi, siswa diarahkan untuk
membuat sketsa berdasarkan situasi tersebut dengan benar lalu guru menanyakan,
kira-kira soal apa yang bisa dibuat. Aktivitas pembuatan soal tersebut sesuai
dengan pernyataan Silver (1997) bahwa pembuatan soal berdasarkan situasi atau
informasi yang diberikan atau yang dinamakan aktivitas kognitif pre-solution
Gambar 17. Contoh Ilustrasi Situasi yang Dibuat Siswa
130
posing. Aktivitas kognitif yang dimaksud adalah siswa mampu membuat soal
berdasarkan situasi atau keadaan yang diberikan oleh guru kemudian siswa juga
harus mampu menyelesaikan soal yang telah dibuatnya, dalam menyelesaikan soal
yang dibuat, siswa harus mampu memahami masalah hingga bisa menyimpulkan
pemecahan masalah yang diperoleh. Hal ini mendukung siswa mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah dalam memahami masalah, membuat rencana
penyelesaikan, dan melakukan rencana penyelesaian.
Pendekatan problem posing memberikan kesempatan pada siswa untuk
lebih menggunakan keterampilan bertanya melalui pembuatan soal. Siswa bisa
membuat soal apabila siswa dapat memahami situasi atau informasi yang
disajikan. Melalui kegiatan membuat soal ini, dapat dikatakan bahwa siswa dapat
memahami masalah, kegiatan ini sesuai dengan indikator kemampuan pemecahan
masalah yaitu memahami masalah. Siswa dari kelompok yang membuat soal juga
harus bisa membuat penyelesaian dari soal tersebut sebelum soal ditukar ke
kelompok lain. Setelah tiap kelompok membuat soal, soal tersebut ditukar dengan
kelompok lain kemduian mengerjakan soal yang dibuat oleh kelompok lain. Tiap
kelompok harus mengerjakan soal yang dibuat kelompok lain hingga menemukan
solusi dari soal yang diajukan. Pada proses mengerjakan soal tersebut siswa
menuliskan langkah-langkah yang dilakukan untuk menemukan solusi,
berdasarkan langkah-langkah tersebut, mereka melakukan penyelesaian soal untuk
menemukan pemecahan masalahnya. Menurut pernyataan Aydogdu & Ayaz
(2008: 544) yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika melalui langkah
pemecahan masalah siswa dapat diminta untuk membuat masalah mereka sendiri
131
yang dapat membantu untuk meningkatkan pemahaman mereka. Hal ini didukung
pula oleh pernyataan Mahmudi (2008: 8) bahwa terdapat keterkaitan antara
kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan pembuatan soal (problem
posing). Ketika siswa membuat soal, siswa dituntut untuk memahami soal dengan
baik. Hal ini merupakan tahap pertama dalam penyelesaian masalah. Mengingat
soal yang dibuat siswa juga harus diselesaikan, tentu siswa berusaha untuk dapat
membuat perencanaan penyelesaian berupa pembuatan model matematika untuk
kemudian menyelesaikannya, hal ini juga merupakan tahapan penyelesaian
masalah seperti dikemukakan Polya. Problem posing menitik beratkan pada
proses pemecahan masalah, seperti mengidentifikasi hal-hal yang diketahui dari
masalah dan bagaimana siswa menghubungkan hal-hal tersebut untuk menuju
penyelesaian masalah (Sheikhzade, 2008: 2). Menurut Rosli, Capraro & Capraro
(2014: 238) secara umum, siswa yang terlibat dalam kegiatan problem posing
dapat memiliki manfaat pada prestasi matematika siswa, kemampuan
memecahkan masalah, tingkat masalah yang disajikan, dan sikap terhadap
matematika.
Kendala yang dialami peneliti ketika melaksanakan pembelajaran problem
posing adalah peneliti harus memberikan bimbingan yang lebih kepada beberapa
siswa merasa kesulitan dalam membuat soal. Ada pula kondisi dimana suatu
kelompok sudah bisa memahami situasi masalah yang diberikan, namun kurang
bisa dalam membuat soal. Hal-hal tersebut menjadikan waktu pada proses
pembuatan soal menjadi lebih lama dari yang direncanakan.
132
3. Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Based Learning Lebih Efektif
daripada Pembelajaran dengan Pendekatan Problem Posing
Setelah dilakukan pengujian hipotesis pertama dan kedua maka dilakukan
analisis selanjutnya untuk mengetahui pendekatan manakan yang lebih efektif
antara pendekatan problem based learning dan problem posing ditinjau dari
kemampuan pemecahan masalah. Analisis yang digunakan adalah uji Independent
Sampe t-Test. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh
adalah 0,048. Nilai signifikansi ini kurang dari 0,05 yang artinya pendekatan
problem based learning lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan problem
posing ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah. Hasil analisis tersebut
sejalan dengan hipotesis yang diajukan oleh peneliti. Pendekatan problem based
learning lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan problem posing ditinjau
dari kemampuan pemecahan masalah didukung oleh beberapa hal seperti
penjelasan berikut.
Pada pendekatan problem based learning, siswa belajar materi melalui
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari sehingga memberi kesempatan pada
siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki untuk
memecahkan masalah yang disajikan yang berkaitan dengan kehidupan. Masalah
yang disajikan merupakan masalah yang diusahakan menarik dan berkaitan
dengan materi yang akan di bahas yaitu perbandingan trigonometri pada sudut
khusus. Penyajian masalah yang dibuat menarik diharapkan dapat memancing
siswa agar antusias mengikuti pembelajaran dan menunjukkan kepada siswa
bahwa materi yang akan dipelajari bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Hal
tersebut sejalan dengan Duch (2001: 48) dan Untarti (2015: 19) bahwa masalah
133
pada pembelajaran dengan pendekatan problem based learning haruslah masalah
yang menarik dan menunjukkan kepada siswa bahwa materi yang akan dipelajari
berguna dalam kehidupan sehari-hari. Adanya penyajian masalah yang dekat
dengan kehidupan sehari akan memudahkan siswa dalam memahami masalah
tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa melalui pembelajaran dengan
pendekatan problem based learning, memberi masalah matematika kepada siswa
dan meminta mereka menyelesaikannya, membuat mereka akan memperoleh
keyakinan dan melihat bahwa mereka berhasil memahami masalah yang diberikan
(Cazzola, 2008: 4-6).
Melalui masalah yang disajikan, siswa memahami masalah tersebut
kemudian mengaitkannya dengan materi pelajaran, selanjutnya menemukan
pemecahan masalah bersama kelompok diskusi. Menurut Sanjaya (2006: 220-221)
problem based learning merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih
memahami isi pelajaran.
Pendukung pembelajaran dengan pendekatan problem based learning
adalah dengan adanya Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang berisi masalah yang
harus siswa selesaikan. Lembar Kegiatan Siswa ini berisi masalah yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari, pengorganisasian materi yang berkaitan dengan
masalah, dan lembar pemecahan masalah. Siswa mengerjakan LKS tersebut ketika
proses pembelajaran secara berkelompok. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Juliana, Sugiatno & Romal (2015: 10) bahwa faktor pendukung agar
pembelajaran dengan pendekatan problem based learning dapat terlaksana
dengan baik adalah dengan merancang suatu LKS yang berisi masalah-masalah.
134
Kelompok diskusi ini, siswa bekerja sama memecahkan masalah, belajar
bersama, berkomunikasi, dan bertanggung jawab terhadap pembelajaran. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Duch, Groh, & Allen (2001: 7) dan Hmelo-Silver
(2004: 236) bahwa dalam pendekatan problem based learning, siswa bekerja
dalam kelompok belajar kecil, bersama-sama memperoleh pengetahuan,
berkomunikasi, dan mengumpulkan informasi. Dengan demikian, problem based
learning membantu siswa dalam menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan
masalah. Seperti yang dinyatakan oleh Jonassen & Hung (2008: 10) bahwa
problem based learning meningkatkan penerapan pengetahuan siswa, pemecahan
masalah, dan keterampilan belajar mandiri dengan mengharuskan mereka untuk
secara aktif mengartikulasikan, memahami, dan memecahkan masalah.
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing tidak lebih efektif
dibandingkan dengan pembelajaran dengan pendekatan problem based learning
diduga disebabkan karena beberapa kegiatan ketika pembelajaran berlangsung.
Beberapa siswa yang menerima pembelajaran dengan pendekatan problem posing
merasa bahwa membuat soal merupakan kegiatan yang sulit karena belum terbiasa
dan situasi yang disajikan merupakan soal yang membutuhkan pemahaman yang
lebih. Ketika siswa diberi situasi masalah, siswa harus memahami dahulu maksud
dari situasi tersebut sebelum membuat soal. Jika siswa tidak bisa memahami maka
siswa tidak bisa membuat soal dengan tepat. Kurang pahamnya siswa terhadap
situasi masalah yang diberikan, terkadang menjadikan siswa ragu melanjutkan
pembuatan soal. Hal ini sejalan dengan pendapat Arikan & Unal (2015: 27),
Arikan, Unal & Ozdemir (2012: 930) dan Cai & Hwang (2002: 403) yang
135
menyatakan bahwa beberapa siswa membuat soal pada tingkat yang lebih rendah
dari yang diharapkan dikarenakan siswa belum bisa memahmi situasi yang
diberikan dan belum terbiasa dengan membuat soal berdasarkan situasi masalah
seperti pada kegiatan problem posing. Dengan demikian, siswa yang belum bisa
membuat soal berdasarkan situasi yang diberikan maka siswa tersebut belum bisa
memecahkan masalah. Hal tersebut dikarenakan siswa belum mampu untuk
memahami masalah dimana memahami masalah ini merupakan aspek pertama
dalam kemampuan pemecahan masalah sehingga menjadikan siswa belum tepat
untuk melanjutkan kemampuan pemecahan masalah yang seanjutnya
merencanakan penyelesaian masalah, melakukan penyelesaian masalah, dan
mengecek kembai dan menyimpulkan.
Ada pula kondisi dimana suatu kelompok sudah bisa memahami situasi
masalah yang diberikan, namun kurang bisa dalam membuat soal. Kelompok
dalam kondisi demikian, siswa diminta kembali untuk memahami kembali situasi
masalah yang diberikan dan dikaitkan dengan materi yang sedang dipelajari.
Kondisi tersebut sejalan dengan Thobroni & Mustofa (2011: 349-350) yang
menyatakan bahwa pada pembelajaran problem posing, tidak semua siswa
terampil bertanya. Hal ini menunjukkan bahwa siswa sudah bisa mencapai aspek
kemampuan pemecahan masalah yang pertama yaitu memahami masalah. Namun,
siswa belum bisa membuat soal maka siswa belum bisa melakukan kegiatan
selanjutnya yaitu merencanakan penyelsaian masalah, melakukan penyelesaian
masalah, dan mengecek kembali dan menyimpulkan.
136
Keadaan demikian menjadikan waktu yang dibutuhkan dalam membuat
soal lama. Walapun lama, siswa bisa membuat soal berarti siswa sudah bisa
memahami masalah yang merupakan aspek kemampuan pemecahan masalah yang
pertama. Membutuhkan waktu pula untuk membuat penyelesaiaannya kemudian
soal yang dibuat baru bisa ditukar dengan kelompok lain. Siswa yang sudah bisa
membuat penyelesaian maka siswa telah merencanakan penyelsaian masalah,
melakukan penyelesaian masalah, dan mengecek kembali dan menyimpulkan
Setelah itu, soal yang diterima dari kelompok lain harus dikerjakan untuk
menemukan solusi. Siswa yang bisa mengerjakan soal dari kelompok lain maka
siswa sudah menempuh aspek kemampuan pemecahan masalah mulai dari
memahami masalah, merencanakan penyelsaian masalah, melakukan penyelesaian
masalah, dan mengecek kembali dan menyimpulkan. Selanjutnya
memperesentasikan soal dan solusi Hal tersebut sejalan dengan penyampaian
Thobroni & Mustofa (2013: 350) bahwa pada problem posing waktu yang
digunakan lebih banyak untuk membuat soal dan penyelesaiannya sehingga waktu
untuk evaluasi hanya sebentar. Waktu yang digunakan untuk membuat soal
sampai bisa menyelesaikan masalah memerlukan waktu yang cukup banyak
sehingga pada fase memeriksa jawaban memperoleh alokasi waktu yang singkat.
137
C. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan, tentunya mempunyai keterbatasan.
Keterbatasan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Keterbatasan tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan terbatas pada satu sekolah yaitu di SMA Negeri 1
Imogiri di kelas X1 dan X4. Penelitian ini dapat dilaksanakan di sekolah lain jika
karakteristik sekolah tersebut sama dengan karakteristik siswa di SMA Negeri
Imogiri. Karakteristik siswa di SMA Negeri Imogiri adalah Rata-rata nilai UN
Nasional siswa dan siswa baru yang masuk di sekolah tersebut berada pada
tingkat yang sedang. Jika penelitian ini dilaksanakan di sekolah lain
dimungkinkan terdapat perbedaan hasil penelitian namun tidak jauh menyimpang
dari hasil penelitian ini.
2. Keterbatasan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 7 kali pertemuan di setiap kelas. Waktu
yang singkat inilah yang dapat mempersempit ruang gerak penelitian sehingga
berpengaruh terhadap hasil penelitian yang dilaksanakan. Waktu yang ada inilah
akan sangat berharga dan digunakan sebaik-baiknya. Apabila waktu penelitian
lebih panjang dari waktu penelitian yang peneliti gunakan dimungkinkan dapat
menyampaikan materi lebih baik lagi dan menambah materi yang akan dibahas
selanjutnya.
3. Keterbatasan jumlah responden
Jumlah responden yang diteliti adalah 26 siswa dari kelas X1 dan 26 siswa
dari kelas X4. Kelas X di SMA Negeri Imogiri yang terbagi dalam 7 kelas dengan
138
jumlah siswa kelas X adalah 184 siswa. Apabila jumlah responden lebih banyak
dimungkinkan dapat memperoleh generalisasi data yang lebih akurat.