32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Teluk Hurun sebagai lokasi penelitian terletak di Desa Hanura Kecamatan
Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. Luas Teluk Hurun kurang lebih 5 km2
dengan panjang 2,5 km dan lebar 2 km. Dasar perairan teluk di bagian Barat Daya
dan Selatan umumnya landai dengan kedalaman kurang dari 5 m. Dasar perairan
di bagian Tenggara (sekitar mulut teluk) cukup dalam yaitu sekitar 10-15 m
(Kurniastuty 1989 dalam Kamali 2004). Kondisi muara teluk di bagian Utara
diselimuti hutan mangrove sementara bagian Selatan terdapat beberapa tambak
tradisional. Di bagian dalam teluk terdapat 3 unit Keramba Jaring Apung (KJA)
milik Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung serta lepas
pantai terdapat kegiatan budidaya kerang mutiara. Kedalaman rata-rata teluk
sekitar 15 m (Santoso 2005).
Teluk Hurun memiliki iklim tropis basah yang dipengaruhi oleh angin
yang bertiup dari Samudera Indonesia. Musim tahunan di Teluk Hurun adalah
musim kemarau, musim peralihan dan musim hujan. Musim hujan terjadi pada
bulan Desember – Maret, sedangkan musim peralihan terjadi pada bulan April –
Mei dan Oktober – November dan musim kemarau terjadi pada bulan Juni –
September (Wihartoyo 1994 dalam Susanti 2001). Suhu udara di wilayah Teluk
Hurun berkisar antara 24 ºC – 34 ºC. Angin bertiup dari arah Barat dan Barat Laut
pada bulan November – Maret. Sedangkan pada bulan Juli – Agustus bertiup dari
arah Timur (Kurniastuty 1989 dalam Kamali 2004).
4.2 Distribusi Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi
Hasil pengukuran kualitas air di Teluk Hurun bisa dilihat pada Tabel 5.
33
Tabel 5. Hasil pengukuran parameter fisika, kimia, dan biologi Teluk Hurun
No Latitude Longitude
Kepadatan
Fitoplankton
(sel.l-1
)
Kedalaman
(m)
Kec. Arus
(cm.detik-1
)
DO
(mg.l-1
)
Salinitas
(ppt)
Suhu
(°C)
Kecerahan
% pH
Nitrat
(mg.l-1
)
Fosfat
(mg.l-1
)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
5°31'11.5" LS
5°31'24.1" LS
5°31'21.7" LS
5°31'33.4" LS
5°32'09.2" LS
5°32'19.4" LS
5°31'28.4" LS
5°31'40.1" LS
5°32'07.7" LS
5°31'24.8" LS
5°31'41.4" LS
5°31'14.5" LS
5°31'42.0" LS
5°32'07.8" LS
5°32'19.1" LS
5°31'12.7" LS
5°31'22.1" LS
5°31'33.3" LS
5°32'09.3" LS
5°32'19.7" LS
5°31'52.3" LS
105°14'59.0" BT
105°14'57.5" BT
105°15'07.6" BT
105°15'06.6" BT
105°15'06.4" BT
105°15'06.3" BT
105°15'18.8" BT
105°15'18.1" BT
105°15'31.2" BT
105°15'53.8" BT
105°15'53.0" BT
105°15'32.3" BT
105°15'33.4" BT
105°15'51.7" BT
105°15'51.6" BT
105°16'36.8" BT
105°16'30.8" BT
105°16'32.0" BT
105°16'27.2" BT
105°16'27.2" BT
105°15'18.1" BT
38452,4
34119,5
19988,9
11314,9
12680,0
12302,3
29527,0
17525,6
6180,9
4762,9
12234,2
4013,2
1452,4
6932,8
2060,4
536,7
2567,8
5177,1
2713,6
2381,9
3069,0
7,7
7,6
10,6
13,4
5,8
4,6
8,1
10,1
16,5
17,4
17,4
1,6
15,6
20,6
20,3
23,6
22,9
23,3
23,9
24,3
17,4
12,5
13,3
14,5
15
13,5
13,5
16
16
14,5
12
13,5
12
14,3
12
16
22,5
22,5
22,5
24,5
24,5
16
5,62
4,35
5,80
6,29
4,25
5,72
5,72
5,26
5,72
5,60
5,93
5,99
4,98
5,86
4,87
5,82
5,56
5,42
5,70
5,74
4,99
30
39
30
31
31
31
31
32
32
32
32
30
32
32
32
32
32
32
32
32
32
31,0
30,9
30,5
31,0
31,0
31,0
30,9
30,8
30,7
30,6
30,2
30,7
30,4
30,8
30,5
30,2
30,3
30,3
30,4
30,3
30,4
12,99
26,32
18,87
18,66
86,20
86,96
67,90
49,50
33,34
31,61
54,60
100,00
41,67
38,83
34,48
23,31
43,67
25,75
23,01
24,71
43,10
8,06
8,07
8,05
8,13
8,11
8,06
8,12
8,09
8,08
8,12
8,15
8,07
7,94
8,09
8,11
8,11
8,14
8,15
8,10
8,12
8,09
0,013
0,012
0,012
0,054
0,032
0,091
0,099
0,025
0,011
0,020
0,034
0,040
0,008
0,017
0,011
0,012
0,010
0,011
0,022
0,036
0,022
0,078
0,074
0,062
0,092
0,062
0,086
0,081
0,071
0,069
0,075
0,041
0,043
0,048
0,041
0,045
0,052
0,051
0,085
0,058
0,050
0,071
Rata - Rata 10952,1 14,89 16,3 5,49 31 30,6 42,17 8,09 0,028 0,064
34
4.2.1 Kepadatan Fitoplankton
Hasil pengukuran terhadap kepadatan fitoplankton adalah 536,7 sel.l-1
sampai 38452,4 sel.l-1
(Tabel 5) dengan rata-rata 10952,1 sel.l-1
. Kepadatan
fitoplankton tertinggi terdapat pada lokasi 5°31'11.5" LS dan 105°14'59.0" BT,
dan terendah terdapat pada lokasi 5°31'12.7" LS dan 107°16'36.8" BT. Kisaran
kepadatan fitoplankton tinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu daerah disekitar dalam
teluk dan kisaran terendah pada stasiun 2 yaitu daerah sekitar bagian luar teluk.
Kepadatan yang berbeda pada bagian dalam teluk dan daerah sekitar luar teluk
diduga disebabkan oleh pola gerakan massa air berupa arus dan arah angin secara
alami (Susanti 2001). Karena fitoplankton adalah organisme renik yang hidupnya
dipengaruhi oleh pergerakan arus (Effendi 2003). Bentuk dari Teluk Hurun itu
sendiri juga menyebabkan fitoplankton yang terbawa arus masuk ke dalam teluk,
terperangkap dan menumpuk pada bagian dalam teluk.
Hasil pengamatan terhadap kelimpahannya, fitoplankton dari kelas
Dinophyceae mendominasi perairan pada koordinat titik samping 1 sampai
dengan 15 dan koordinat titik sampling 21 (Tabel 2) dan fitoplankton dari kelas
Bacillariophyceae mendominasi perairan pada koordinat titik sampling 16 sampai
20 (Tabel 2). Kelas Dinophyceae merupakan salah satu kelas yang sering
ditemukan melimpah pada perairan laut (Nybakken 1988). Selain itu kelas
Dinophyceae merupakan salah satu organisme yang memiliki kemampuan untuk
berdaptasi pada lingkungan yang ekstrim. Fitoplankton jenis ini juga dapat hidup
sebagai zooplankton sehingga memiliki daya tumbuh dan berkembang yang lebih
baik jika dibandingkan dengan kelas lainnya (Basmi 1999). Tingginya konsentrasi
silikat merupakan salah satu indikasi utama tingginya komposisi kelas
Bacillariophyceae. Jenis Diatom (Bacillariophyceae) menyukai habitat dengan
konsentrasi silikat yang tinggi (Nybakken 1988).
Interpolasi dari pengukuran data lapangan terhadap parameter fitoplankton
menghasilkan peta sebaran spatial kepadatan fitoplankton pada zona penelitian di
Teluk Hurun yang terdapat pada Lampiran 3 (a). Peta sebaran spatial tersebut lalu
diklasifikasi berdasarkan Tabel 3 sehingga menghasilkan peta tematik parameter
35
fitoplankton untuk kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara yang ditunjukkan
pada Gambar 7.
Gambar 7. Peta Tematik Kesesuaian Kepadatan Fitoplankton untuk
Lokasi Budidaya Tiram Mutiara di Teluk Hurun
Sebagai salah satu parameter untuk mengetahui kesesuaian lahan sebagai
lokasi budidaya tiram mutiara, kepadatan fitoplankton di perairan Teluk Hurun
berada pada kisaran yang mendukung kegiatan budidaya tiram mutiara,
berdasarkan matrik kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara (Tabel 3).
4.2.2 Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan diukur menggunakan alat Echosounder pada tiap
lokasi titik sampling. Hasil pengukuran kedalaman perairan pada titik sampling di
sekitar Teluk Hurun berkisaran antara 1,6 m sampai dengan 24,3 m (Tabel 5)
dengan nilai rata-rata sebesar 14,89 m. Nilai kedalaman tertinggi berada pada
koordinat 5°32'19.7" LS dan 105°16'27.2" BT, sedangkan terendah berada pada
36
koordinat 5°31'14.5" LS dan 105°15'32.3" BT. Perbedaan kedalaman perairan
Teluk Hurun pada lokasi sampling, diduga disebabkan oleh relief dasar laut.
Dasar perairan teluk di bagian Barat Daya dan Selatan umumnya landai dengan
kedalaman kurang dari 5 m. Dasar perairan di bagian Tenggara (sekitar mulut
teluk) cukup dalam yaitu sekitar 10-15 m (Kurniastuty 1989 dalam Kamali 2004).
Menurut Wibisono (2005), relief dasar laut mepengaruhi kedalaman suatu
perairan.
Interpolasi dari pengukuran lapangan terhadap parameter kedalaman
menghasilkan peta sebaran spatial kedalaman pada zona penelitian di Teluk
Hurun yang terdapat pada Lampiran 3 (b). Peta sebaran spatial tersebut lalu
diklasifikasi berdasarkan Tabel 3. sehingga menghasilkan peta tematik parameter
kedalaman untuk kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara yang ditunjukkan pada
Gambar 8.
Gambar 8. Peta Tematik Kesesuaian Kedalaman Perairan untuk
Lokasi Budidaya Tiram Mutiara di Teluk Hurun
37
Berdasarkan Gambar 8, kedalaman perairan sebagai salah satu parameter
untuk mengetahui kesesuaian lahan untuk lokasi budidaya tiram mutiara
menunjukkan sebagian besar dari titik lokasi sampling mempunyai nilai
kedalaman yang cukup untuk dilakukan budidaya tiram mutiara, hanya beberapa
lokasi saja yang tidak memenuhi yaitu pada lokasi yang memiliki kedalaman
kurang dari 10 meter atau lebih dari 30 meter adalah kedalaman yang tidak
memenuhi syarat untuk dilakukan budidaya tiram mutiara.
4.2.3 Kecepatan Arus
Hasil pengukuran kecepatan arus di daerah penelitian pada Teluk Hurun
bervariasi antara 12 cm.detik-1
sampai dengan 24,5 cm.detik-1
dengan nilai rata-
rata sebesar 16,3 cm.detik-1
. Kecepatan arus terendah terjadi pada lokasi titik
sampling dengan koordinat 5°31'24.8" LS dan 105°15'53.8" BT ; 5°31'14.5" LS
dan 105°15'32.3" BT ; 5°32'07.8" LS dan 105°15'51.7" BT sedangkan dengan
nilai tertinggi berada pada titik sampling dengan koordinat 5°32'09.3" LS dan
105°16'27.2" BT ; 5°32'19.7" LS dan 105°16'27.2" BT.
Perbedaan kecepatan arus diduga disebabkan oleh perbedaan letak masing
– masing lokasi penelitian, lokasi yang berada di dalam teluk cenderung memiliki
arus yang kecil karena terlindung oleh gugusan tanjung. Arus yang terjadi di
sekitar Teluk Hurun diduga disebabkan oleh aktivitas pasang surut, Wibisono
(2005) mengatakan bahwa setiap proses aktivitas pasang maupun surut
menimbulkan arus. Untuk arus permanen secara faktual tidak dapat diketahui. Hal
ini disebabkan penelitian yang dilakukan dalam jangka waktu yang pendek dan
hanya sekali saja. Sehingga disimpulkan bahwa arus yang terjadi merupakan arus
lokal akibat pasang-surut.
Kecepatan arus berperan penting dalam perairan, misalnya pencampuran
massa air, pengangkatan unsur hara, transportasi oksigen. Pada saat yang sama
penting juga bagi usaha budidaya dalam hal sistem penjangkaran, re-instalasai
(pengubahan posisi keramba), dan sirkulasi air. Interpolasi dari pengukuran
lapangan terhadap parameter kecepatan arus menghasilkan peta sebaran spatial
kecepatan arus pada zona penelitian di Teluk Hurun yang terdapat pada Lampiran
38
3 (c). Peta sebaran spatial tersebut lalu diklasifikasi berdasarkan Tabel 3. sehingga
menghasilkan peta tematik parameter kecepatan arus untuk kesesuaian lokasi
budidaya tiram mutiara yang ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Peta Tematik Kesesuaian Kecepatan Arus untuk Lokasi
Budidaya Tiram Mutiara di Teluk Hurun
Berdasarkan Gambar 9, kecepatan arus sebagai salah satu parameter untuk
mengetahui kesesuaian lahan untuk lokasi budidaya tiram mutiara menunjukkan
nilai yang berada pada kisaran baik pada daerah tengah teluk dan daerah luar teluk
sedangkan untuk kisaran sedang membentang pada perairan di antara Tanjung
Pandan dan Tanjung Lahu.
4.2.4 Dissolved Oxygen (DO)
Hasil pengukuran terhadap nilai DO di zona penelitian Teluk Hurun
memperlihatkan kisaran sebesar 4,25 mg.l-1
sampai dengan yang tertinggi dengan
nilai 6,29 mg.l-1
dengan nilai rata-rata sebesar 5,49 mg.l-1
. Kandungan oksigen
39
terlarut terendah berada pada lokasi sampling dengan koordinat 5°32'09.2" LS dan
105°15'06.4" BT dan tertinggi pada lokasi 5°31'33.4" LS dan 105°15'06.6" BT.
Berdasarkan keputusan Menneg LH Nomor 51 tahun 2004 kadar DO untuk biota
laut baiknya lebih dari 5 mg.l-1
. Fluktuasi kadar DO antar titik sampling tidak
terlalu besar. Kadar DO di perairan dipengaruhi oleh difusi oksigen di atmosfer
dan aktifitas fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan air dan fitoplankton
(Novotny dan Olem 1994 dalam Effendi 2003). Bervariasinya kandungan oksigen
terlarut diduga juga dipengaruhi karena adanya pergerakan dan pencampuran
massa air serta siklus harian variable ini. Nilai rata-rata oksigen terlarut tersebut
tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Santoso (2005) dengan kisaran
5,11 mg.l-1
sampai 6,66 mg.l-1
di Teluk Hurun.
Interpolasi dari pengukuran lapangan terhadap parameter DO
menghasilkan peta sebaran spatial DO pada zona penelitian di Teluk Hurun yang
terdapat pada Lampiran 3 (d). Peta sebaran spatial tersebut lalu diklasifikasi
berdasarkan Tabel 3. sehingga menghasilkan peta tematik parameter DO untuk
kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara yang ditunjukkan pada Gambar 10.
40
Gambar 10. Peta Tematik Kesesuaian Dissolved Oxygen (DO) untuk Lokasi
Budidaya Tiram Mutiara di Teluk Hurun
Gambar 10 menunjukkan, sebagian besar perairan pada zona penelitian di
Teluk Hurun memperlihatkan kisaran sedang untuk parameter Dissolved Oxygen
(DO) sebagai salah satu paramter untuk mengetahui kesesuaian lahan untuk lokasi
budidaya tiram mutiara.
4.2.5 Salinitas
Salinitas perairan di zona penelitian Teluk Hurun mempunyai kisaran
salinitas yang tidak berbeda jauh, yaitu antara 29 ‰ – 31 ‰. Faktor yang
menurunkan salinitas adalah curah hujan, masukan air tawar ke laut lewat sungai
dan yang meninggikan salinitas adalah penguapan (Ilahude 1999). Pada daerah
sekitar dalam teluk miliki salinitas yang lebih rendah, hal ini diduga karena sungai
yang bermuara pada daerah tersebut. Sedangkan sebaran salinitas dari pantai ke
arah laut terbuka relatif konstan, hal ini dipengaruhi oleh kondisi perairan teluk
hurun yang bersifat semi tertutup dan juga mempunyai hubungan terbuka dengan
41
perairan laut terbuka sehingga perubahan salinitas tidak terjadi terkecuali pada
bagian teluk yang berhubungan terbuka dengan daratan dalam hal ini yaitu daratan
sekitar tempat muara sungai.
Kualitas mutiara hasil budidaya tiram mutiara yang terbentuk dari tubuh
tiram dipengaruhi oleh kadar salinitas. Biasanya pada kadar salinitas yang terlalu
tinggi, warna mutiara menjadi keemasan. Sedangkan pada kadar salinitas di
bawah 14 ‰ atau di atas 55 ‰ dapat mengakibatkan kematian tiram yang
dipelihara secara massal. Interpolasi dari pengukuran lapangan terhadap parameter
salinitas menghasilkan peta sebaran spatial salinitas pada zona penelitian di Teluk
Hurun yang terdapat pada Lampiran 3 (e). Peta sebaran spatial tersebut lalu
diklasifikasi berdasarkan Tabel 3. sehingga menghasilkan peta tematik parameter
salinitas untuk kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara yang diperlihatkan pada
Gambar 11.
Gambar 11. Peta Tematik Kesesuaian Salinitas untuk Lokasi Budidaya
Tiram Mutiara di Teluk Hurun
42
Berdasarkan Gambar 11, salinitas sebagai salah satu parameter untuk
mengetahui kesesuaian lahan untuk lokasi budidaya tiram mutiara menunjukkan
nilai yang berada pada kisaran baik terletak pada daerah tengah teluk sampai luar
teluk sedangkan untuk kisaran sedang terletak pada bagian dalam teluk.
4.2.6 Suhu Perairan
Suhu perairan di zona penelitian Teluk Hurun mempunyai kisaran antara
30,2 °C sampai 31°C. Perbedaan nilai suhu pada zona penelitian tidak fluktuatif,
nilai suhu terendah pada koordinat dengan titik sampling 16 dan 11 dan nilai
tertinggi pada koordinat dengan titik sampling 1, 4, 5, dan 6 (koordinat lihat Tabel
2). Perbedaan tersebut diduga karena, adanya selisih waktu pengukuran in situ
terhadap variabel ini. Effendi (2003) mengatakan bahwa, suhu perairan
berhubungan dengan kemampuan pemanasan oleh sinar matahari, waktu dalam
hari dan lokasi. Hal ini didukung oleh Basmi (1999) dan Hutabarat (2000) yang
mengatakan bahwa, air lebih lambat menyerap panas tetapi akan menyimpan
panas lebih lama dibandingkan dengan daratan. Pada daerah yang semi atau
tertutup seperti di Teluk Hurun, umumnya akan terjadi peningkatan suhu perairan
karena tidak terjadi pergerakan massa air.
Interpolasi dari pengukuran lapangan terhadap parameter suhu
menghasilkan peta sebaran spatial suhu pada zona penelitian di Teluk Hurun yang
terdapat pada Lampiran 3 (f). Peta sebaran spatial tersebut lalu diklasifikasi
berdasarkan Tabel 3. sehingga menghasilkan peta tematik parameter suhu untuk
kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara yang diperlihatkan pada Gambar 12.
Berdasarkan Gambar 12, suhu sebagai salah satu parameter untuk mengetahui
kesesuaian lahan untuk lokasi budidaya tiram mutiara, secara kesuluruhan berada
pada kisaran baik.
43
Gambar 12. Peta Tematik Kesesuaian Suhu untuk Lokasi Budidaya
Tiram Mutiara di Teluk Hurun
4.2.7 Kecerahan
Kecerahan perairan di zona penelitian Teluk Hurun yang diukur secara in
situ dengan menggunakan secchi disk menunjukan nilai yang berkisar antara
12,99 % sampai dengan 100 % dengan rata – rata 42,17 %. Perhitungan
persentase kecerahan dihitung melalui rumus :
Keterangan :
B = Presentase kecerahan
Dsc = Kedalaman dimana secchi disk mulai tak terlihat dari permukaan laut
D = Kedalaman perairan
Nilai kecerahan tertinggi berada pada koordinat 5°31'14.5" LS dan
105°15'32.3" BT, sedangkan untuk nilai terendah terlihat pada lokasi koordinat
5°31'11.5" LS dan 105°14'59.0" BT. Adanya perbedaan kecerahan pada zona
44
penelitian di Teluk Hurun pada setiap lokasi pengambilan sample diduga
berhubungan dengan kedalaman lokasi dan waktu pengamatan. Hutabarat (2000)
mengatakan bahwa, cahaya akan semakin berkurang intensitasnya seiring dengan
makin besar kedalaman. Pendugaan lain dari peneliti adalah adanya perbedaan
waktu pengamatan yang dilakukan. Effendi (2003) yang mengatakan bahwa,
pemantulan cahaya mempunyai intensitas yang bervariasi menurut sudut datang
cahaya.
Pada budidaya tiram mutiara, kecerahan perairan yang terlalu tinggi tidak
terlalu dibutuhkan. Pembukaan dan penutupan cangkang tiram mutiara tergantung
pada lama penyinaran (Winanto 2002). Itulah kenapa kecerahan berada pada
faktor sekunder karena tidak berpengaruh langsung kepada pertumbuhan tiram
mutiara, kecerahan berpengaruh langsung terhadap kelimpahan fitoplankton yang
merupakan pakan alami dari tiram mutiara. Adanya cahaya matahari pada suatu
kedalaman perairan mempengaruhi komposisi fioplankton (Baksir 1999), dalam
hal ini fitoplankton memanfaatkan cahaya sebagai sumber energi untuk
melangsungkan fotosintesis.
Interpolasi dari pengukuran lapangan terhadap parameter kecerahan
menghasilkan peta sebaran spatial kecerahan perairan pada zona penelitian di
Teluk Hurun yang terdapat pada Lampiran 3 (g). Peta sebaran spatial tersebut lalu
diklasifikasi berdasarkan Tabel 3. sehingga menghasilkan peta tematik parameter
kecerahan perairan untuk kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara yang
diperlihatkan pada Gambar 13. Pada Gambar 13, daerah dengan kisaran angka
penilaian baik mendominasi zona penelitian di Teluk Hurun, maka dapat
dikatakan menurut parameter kecerahan perairan pada zona penelitian di Teluk
Hurun memperlihatkan nilai yang masih dianjurkan untuk dilaksanakannya
budidaya tiram mutiara.
45
Gambar 13. Peta Tematik Kesesuaian Kecerahan Perairan untuk Lokasi
Budidaya Tiram Mutiara di Teluk Hurun
4.2.8 pH
Pengukuran pH yang dilakukan secara in situ pada perairan zona penelitian
di Teluk Hurun memperlihatkan kisaran nilai sebesar 7,94 sampai dengan 8,15
dengan nilai rata – rata 8,09. Nilai pH terendah terdapat pada lokasi dengan
koordinat 5°31'42.0" LS dan 105°15'33.4" BT dan nilai tertinggi ada pada titik
sampling dengan koordinat 5°31'33.3" LS dan 105°16'32.0" BT. Perbedaan pH
dalam perairan diduga disebabkan oleh adanya perbedaan waktu pengukuran.
Perubahan pH dalam perairan mempunyai siklus harian. Siklus ini merupakan
fungsi dari karbodioksida. Jika perairan mengandung karbodioksida bebas dan ion
karbonat maka pH cenderung asam, dan pH akan kembali meningkat jika CO2 dan
HCO3 mulai berkurang (Effendi 2003).
Hasil pengukuran lapangan (Tabel 5) menunjukkan adanya perbedaan nilai
pH pada tiap titik sampling. Interpolasi dari pengukuran lapangan terhadap
parameter pH menghasilkan peta sebaran spatial pH pada zona penelitian di Teluk
46
Hurun yang terdapat pada Lampiran 3 (h). Peta sebaran spatial tersebut lalu
diklasifikasi berdasarkan Tabel 3. sehingga menghasilkan peta tematik parameter
pH untuk kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara yang diperlihatkan pada
Gambar 14.
Gambar 14. Peta Tematik Kesesuaian pH untuk Lokasi Budidaya
Tiram Mutiara di Teluk Hurun
Berdasarkan Gambar 14, pH sebagai salah satu parameter untuk
mengetahui kesesuaian lahan untuk lokasi budidaya tiram mutiara, secara
keseluruhan menunjukkan angka penilaian kisaran baik.
4.2.9 Nitrat
Hasil pengukuran pada variable nitrat memperlihatkan nilai yang
bervariasi antara 0,008 mg.l-1
sampai dengan 0,099 mg.l-1
dengan nilai rata – rata
sebesar 0,028 mg.l-1
. Nilai terendah terdapat pada lokasi dengan koordinat
5°31'42.0" LS dan 105°15'33.4" BT dan tertinggi terdapat pada koordinat
47
5°31'28.4" LS dan 105°15'18.8" BT. Nilai rata – rata dari hasil pengukuran nitrat,
cukup tinggi jika dibandingkan dengan minimal baku mutu nitrat untuk biota laut
yaitu 0,008 mg.l-1
(Meneg LH 2004).
Tingginya hasil pengukuran terhadap nitrat mengindikasikan perairan
tersebut mempunyai kesuburan yang baik yang bisa menyebabkan tingginya
tingkat produktivitas primer. Produktivitas primer yang tinggi menyebabkan
pertumbuhan fitoplankton meningkat (Surinati 2009). Fluktuasi nitrat di
permukaan dipengaruhi oleh proses biologis, nitrat di permukaan diambil untuk
proses produktivitas primer ketika fitoplankton mengasimilasi nitrat dalam proses
fotosintesis (Millero dan Sohn 1992). Nitrat bisa berasal dari buangan industri
yang menuju ke laut melalui sungai (Wibisono 2005). Effendi (2003) menyatakan
kadar nitrat di perairan bisa dipengaruhi oleh pencemaran antropogenik yang
berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Adanya keramba – keramba dari
Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, keramba -
keramba milik swasta, serta kegiatan budidaya tiram mutiara yang telah ada yang
dilakukan oleh perusahaan swasta di daerah sekitar zona penelitian Teluk Hurun,
hal ini dapat mempengaruhi kadar nitrat. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Edward dan Tarigan (2003) bahwa tanaman dan binatang yang hidup di laut akan
mati dan tenggelam ke dasar perairan, selanjutnya akan membusuk dan nutrien
yang ada di tubuhnya akan kembali ke dalam air.
Nitrat merupakan nutrien yang diperlukan bagi tumbuhan air terutama
fitoplankton. Kadar nitrat dalam kaitannya sebagai salah satu parameter untuk
kesesuaian lokasi untuk budidaya tiram mutiara termasuk sebagai salah satu
parameter pendukung karena tidak berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan
tiram. Interpolasi dari pengukuran lapangan terhadap parameter nitrat
menghasilkan peta sebaran spatial nitrat pada zona penelitian di Teluk Hurun
yang terdapat pada Lampiran 3 (i). Peta sebaran spatial tersebut lalu diklasifikasi
berdasarkan Tabel 3. sehingga menghasilkan peta tematik parameter nitrat untuk
kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara yang diperlihatkan pada Gambar 15.
48
Gambar 15. Peta Tematik Kesesuaian Nitrat untuk Lokasi Budidaya
Tiram Mutiara di Teluk Hurun
Berdasarkan Gambar 15, kadar nitrat sebagai salah satu parameter untuk
mengetahui kesesuaian lahan untuk lokasi budidaya tiram mutiara, menunjukkan
angka penilaian yang berada pada kisaran kurang, ini didasarkan pada matriks
kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara. Tetapi jika kita lihat kaitannya nitrat
sebagai nutrien bagi fitoplanton, hasil pengukuran nitrat dengan variasi kisaran
0,008 mg.l-1
sampai dengan 0,099 mg.l-1
jika dibandingkan variasi kisaran
konsentrasi nitra yang disusun oleh SHARP (1983) dalam Santoso (2006) untuk
kategori beberapa wilayah perairan estuari adalah konsentrasi nitrat 0 - 0,35 mg.l-1
maka variasi kadar senyawa nitrat di Teluk Hurun masih berada dalam batas yang
aman untuk perairan laut.
4.2.10 Fosfat
Kandungan fosfat pada zona penelitian Teluk Hurun mempunyai nilai yang
bervariasi antara 0,041 mg.l-1
sampai 0,092 mg.l-1
dengan rata – rata 0,064 mg.l-1
.
49
Kandungan fosfat terendah terdapat pada koordinat 5°31'41.4" LS dan
105°15'53.0" BT serta 5°32'07.8" LS dan 105°15'51.7" BT dan tertinggi berada
pada koordinat 5°31'33.4" LS dan 105°15'06.6" BT. Berdasarkan keputusan
Menneg LH Nomor 51 tahun 2004 baku mutu fosfat untuk biota laut adalah 0,015
mg.l-1
.
Fosfat berfungsi sebagai nutrien, akan tetapi tingginya kandungan fosfat di
perairan dapat berdampak pada peledakan plankton. Perbedaan kandungan fosfat
diduga disebabkan oleh masukan bahan organik berupa limbah domestik, limbah
pertanian atau pengikisan batuan fosfor oleh air. Fosfat dalam aliran sungai antara
lain berasal dari buangan domestik dan industri yang menggunakan deterjen
berbahan dasar fosfat, yaitu industri tekstil, jasa komersial pencucian, pewarnaan,
industri kosmetik, industri logam dan sebagainya (Susana dan Suyarso 2008).
Pada bagian dalam teluk yang merupakan daerah tempat bermuaranya sungai
mempunyai kandungan fosfat yang lebih besar. Daerah dalam teluk yang
didominasi oleh hutan mangrove juga diduga mempengaruhi kadar fosfat di
perairan sekitarnya. Edward dan Tarigan (2003) mengatakan bahwa fosfat dapat
berasal dari mangrove dan lamun melalui dekomposisi serasah.
Interpolasi dari pengukuran lapangan terhadap parameter fosfat
menghasilkan peta sebaran spatial fosfat pada zona penelitian di Teluk Hurun
yang terdapat pada Lampiran 3 (j). Peta sebaran spatial tersebut lalu diklasifikasi
berdasarkan Tabel 3. sehingga menghasilkan peta tematik parameter fosfat untuk
kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara yang diperlihatkan pada Gambar 16.
50
Gambar 16. Peta Tematik Kesesuaian Fosfat untuk Lokasi Budidaya
Tiram Mutiara di Teluk Hurun
Berdasarkan Gambar 16, kadar fosfat sebagai salah satu parameter untuk
mengetahui kesesuaian lahan untuk lokasi budidaya tiram mutiara, menunjukkan
angka penilaian yang berada pada kisaran kurang, ini didasarkan pada matriks
kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara. Tetapi jika kita lihat kaitannya fosfat
sebagai nutrien dalam perairan, hasil pengukuran fosfat pada zona penelitian di
Teluk Hurun dengan rata-rata 0,064 mg-1
bila mengacu pada kategori kesuburan
perairan yang dikemukakan oleh Qian P.Y., Wu M.C., dan Ni Hsun I., (2001)
dalam Santoso (2006) maka rata – rata kadar fosfat sebesar 0,028 mg.l-1
di
perairan termasuk cukup subur untuk konsumsi organisme di dalamnya.
51
4.3 Kesesuaian Lahan Budidaya Tiram Mutiara di Teluk Hurun
Untuk mengetahui secara garis besar berada pada kelas kesesuaian mana
zona penelitan di Teluk Hurun, dilakukan dengan merata – rata hasil dari
pengukuran tiap parameter. Dimana dari nilai rata – rata tersebut diberi angka
penilaian dan pembobotan yang disesuaikan terhadap Tabel 3, sehingga dapat
menghasilkan total skor dari nilai rata – rata tiap parameter tersebut. Totak skor
dari nilai rata – rata tiap parameter itulah yang digunakan untuk mengetahui
secara garis besar zona penelitian di Teluk Hurun itu berada pada kelas kesesuaian
S1, S2, S3 atau N. Hasil perhitungan dari nilai rata – rata tiap parameter yang
telah diskoring berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Skoring dari Nilai Rata – Rata Tiap Parameter
Parameter Rata rata Skor
Kepadatan Fitoplanton 10952,1 sel/l 9
Kedalaman 14,89 m 15
Kecepatan arus 16,3 cm/dtk 15
Dissolved Oxygen 5,49 mg/l 6
Salinitas 31 ppt 6
Suhu 30,6 °C 10
Kecerahan 42,17 % 10
pH 8,09 mg/l 5
Nitrat 0,028 mg/l 1
Fosfat 0,064 1
Total Skor 78
Tingkat Kesesuaian S2 (Cukup Sesuai)
Tabel 6 memperllihatkan nilai skor untuk lokasi budidaya tiram mutiara
sebesar 78. Evalusi terhadap nilai tersebut dengan mempergunakan kriteria pada
Tabel 4, memperlihatkan perairan pada zona penelitian Teluk Hurun secara garis
besar berada pada kelas cukup sesuai (S2) untuk budidaya tiram mutiara. Analisis
52
keruangan dari kegiatan budidaya tiram mutiara pada kelas ini dicirikan dengan
adanya faktor – faktor pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat
perlakuan yang diterapkan. Parameter yang harus mendapat perhatian dalam
budidaya tiram mutiara di Teluk Hurun yaitu, kepadatan fitoplankton, kecerahan,
kandungan nitrat dan fosfat.
Parameter pertama yang harus diperhatikan adalah kepadatan fitoplankton,
fitoplankton merupakan pakan alami dari tiram mutiara. Fitoplankton hanya dapat
hidup di tempat yang mempunyai sinar matahari yang cukup, sehingga
fitoplankton hanya dijumpai pada lapisan permukaan air atau daerah yang kaya
akan nutrien (Hutabarat dan Evans 1995 dalam Kangkan 2006). Produktivitas
fitoplankton dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara nitrat dan fosfat serta
makrophyte (Boyd 1981 dalam Kangkan 2006). Fitoplankton sebagai pakan alami
bagi tiram juga mempunyai peran ganda yakni berfungsi sebagai penyangga
kualitas air dan komponen dalam rantai makanan di perairan atau yang disebut
produsen primer (Odum 1979). Nilai dari parameter kepadatan fitoplankton yang
rendah sangat dipengaruhi oleh kecerahan perairan dan kandungan nitrat dan
fosfat perairan.
Parameter kecerahan perairan dalam kegiatan budidaya tiram mutiara
memiliki dua keterkaitan, yaitu pertama terhadap pembukaan dan penutupan
cangkang pada tiram mutiara dan kedua kecerahan perairan seperti yang telah
diungkapkan di paragraf sebelumnya memiliki keterkaitan terhadap kepadatan
fitoplankton di perairan. Kecerahan pada zona penelitian di Teluk Hurun masih
tergolong ke dalam nilai yang cukup dianjurkan untuk budidaya tiram mutiara.
Saran yang dapat diberikan, nantinya dalam proses pemeliharaan tiram mutiara
yang telah dibudidaya, agar organisme ini merasa lebih nyaman maka suasan
pemeliharaan harus lebih gelap, dengan tujuan agar cangkang lebih terbuka dan
proses filtrasi pakan dapat berjalan secara maksimal. Sedangkan nitrat dan fosfat
merupakan variabel pendukung, yang tidak berhubungan langsung dengan
kegiatan budidaya tiram. Peranan nitrat dan fosfat di perairan telah dijelaskan
pada sub bab diatas.
53
4.4 Pemetaan Kesesuaian Lahan Budidaya Tiram Mutiara di Teluk Hurun
Penentuan kelas kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara, mengacu pada
matrik kesesuaian (Tabel 3). Hasil pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi
pada Tabel 5, yang telah dilakukan skoring berdasarkan angka penilaian dan
bobot masing – masing parameter dipergunakan sebagai input analisis matrik
kesesuaian. Skoring dari analisis tersebut, kemudian dievaluasi melalui proses
overlay dari tiap peta tematik parameter guna mendapatkan total skor sebagai
kelas kesesuaian lokasi budidaya tiram mutiara. Total skor tersebut akan
disesuaikan dengan interval kelas kesesuaian pada Tabel 4, yaitu sangat sesuai (80
– 100), cukup sesuai (60 – 80), sesuai bersyarat (40 – 60) dan tidak seusai (20 –
40). Untuk menggambarkan dan menentukan luasan daerah mana saja yang
berpotensi untuk dikembangkan budidaya tiram mutiara diperoleh dari
mengoverlay peta-peta tematik paramter fisika, kimia dan biologi perairan.
Metode overlay yang digunakan adalah union. Tahapan overlay peta peta tematik
parameter kualitas perairan bisa dilihat pada Lampiran 2. Berdasarkan skoring
yang disesuaikan oleh Tabel 3 dan total skor yang disesuaikan dengan Tabel 4
maka didapatlah tiga kelas kesesuaian yaitu S1 (Sangat Sesuai), S2 (Cukup
Sesuai), S3 (Sesuai Bersyarat). Luas wilayah zona penelitian di Teluk Hurun
adalah 6,34 km2.
Kelas S1 (Sangat Sesuai) merupakan daerah yang sangat sesuai untuk
digunakan sebagai lahan budidaya tiram mutiara. Kondisi di daerah tersebut sangat
sesuai bagi kehidupan tiram sehingga kegiatan budidaya dapat berlangsung tanpa
adanya hambatan dari keadaan lingkungan. Daerah dengan kriteria sangan sesuai ini
mempunyai luasan sebesar 1,05 km2. Daerah sangat sesuai ini sebagian besar terletak
pada bagian tengah teluk, dan sebagian kecil berada pada luar teluk tetapi masih dekat
dengan tanjung yang menjadi pembatas teluk.
Kelas S2 (cukup sesuai) mempunyai luas sebesar 4,73 km2, merupakan
keadaan dimana daerah tersebut memliki faktor pembatas yang agak serius. Kegiatan
budidaya dapat berlangsung tetapi memerlukan sedikit perlakuan agar kegiatan dapat
berlangsung dengan baik. Faktor – faktor pembatas tersebut sudah dijelaskan pada
54
sub bab sebelumnya. Daerah dengan kriterian ini berada pada daerah luar teluk yang
agak terbuka dan tidak terlalu terlindung.
Kelas S3 (sesuai bersyarat) merupakan daerah yang mempunyai pembatas –
pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang diterapkan.
Kegiatan budidaya dapat terlaksana tetapi memerlukan perlakuan yang seirus agar
kegiatan dapat berlangsung dengan baik. Faktor pembatas yang perlu diperhatikan
adalah kedalaman, karena daerah yang memiliki kelas S3 semuanya berada pada
daerah yang dekat dengan garis pantai, sehingga faktor kedalaman sangat
berpengaruh disini. Luas wilayah dengan kelas S3 (sesuai bersyarat) adalah 0,56 km2.
Sebaran kesesuaian lahan untuk budidaya tiram mutiara ini masing –
masing adalah kelas S3 (sesuai bersyarat) 0,56 km2 (8,83%), luas wilayah untuk
kelas S2 (cukup sesuai) adalah 4,73 km2 (74,61%), sedangkan untuk kelas S1
(sangat sesuai) adalah 1,05 km2 (16,56%). Peta sebaran luasan kesesuaian lahan
budidaya dapa dilihat pada Gambar 17.
55
Gambar 17. Peta Tematik Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tiram Mutiara di Teluk Hurun
56
4.5 Evaluasi Pemanfaat Lahan
Tata guna lahan (land use) wilayah Teluk Hurun hingga pesisir Tanjung
Lahu pemanfaatannya mengarah kepada kegiatan budidaya perikanan laut. Di
lokasi tersebut terdapat beberapa unit keramba jaring apung yang dioperasikan
oleh Balai Budidaya Laut (BBL) Lampung dan beberapa unit milik nelayan.
Kegiatan perikanan lainnya adalah budidaya tiram mutiara. Pada lokasi tersebut
juga ditemukan beberapa sungai yang bermuara ke perairan Teluk Hurun. Sungai-
sungai tersebut membawa limpasan limbah dari areal yang dilaluinya seperti
kegiatan budidaya tambak udang/bandeng, pertanian dan pemukiman penduduk
(Santoso 2004). Peta pemanfaatan lokasi di sekitar teluk hurun dapat dilihat pada
Lampiran 4. Jika kita melakukan overlay antara peta tematik kesesuaian lahan
untuk budidaya tiram mutiara dengan peta pemanfaatan lahan di sekitar Teluk
Hurun maka didapatkan bahwa letak kegiatan budidaya eksisting oleh P.T. Kyoko
Shiju berada pada lokasi yang sangat sesuai, hal ini terlihat pada Gambar 18.
PT. Kyoko Shinju dan PT. Hikari yang bergerak dibidang pembudidayaan
tiram mutiara telah mengkapling sebesar 40 km2 lahan di sekitar perairan Teluk
Lampung (Rizani dan Karim 2009), termasuk di dalamnya Teluk Hurun. Hal ini
bila kita kaitkan, antara P.T. Kyoko Shinju yang beroperasi pada perairan zona
penelitian di Teluk Hurun dengan peta sebaran kesesuaian lahan untuk budidaya
tiram mutiara pada zona penelitian Tuluk Hurun yang memiliki luas wilayah
untuk kelas S2 (cukup sesuai) sebesar 4,73 km2 (74,61%), sedangkan untuk kelas
S1 (sangat sesuai) sebesar 1,05 km2 (16,56%) maka bisa dianjurkan kepada PT.
Kyoko Shinju untuk lebih mengoptimalkan daerah dengan kelas S1 dan membagi
kawasan lain sehingga bisa dimanfaatkan sebagai daerah perikanan tangkap bagi
para nelayan tetapi dengan tidak menggangu kegiatan budidaya tiram mutiara.
Tentunya dalam pembagian luasan lahan tersebut juga memerlukan
pertimbangkan berdasarkan daerah potensi lahan untuk areal tangkapan. Evalusi
dan penelitian lebih lanjut diperlukan agar pemanfaatan lahan dapat terpetakan
secara optimal.
57
Gambar 18. Peta Evaluasi Lahan untuk Budidaya Tiram Mutiara