Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 25
BAB IV KONDISI KAWASAN HUTAN
4.1. Pulau Bintan
Pulau Bintan merupakan salah satu pulau yang terletak di Propinsi Kepulauan
Riau. Pulau Bintan terdiri dari dua wilayah administratif yaitu Kota Tanjung Pinang dan
Kabupaten Bintan. Kawasan hutan yang terdapat di Pulau Bintan pada awalnya terdiri
dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan mangrove dan hutan konversi
dengan luas total 109.701 ha.
- Hutan Lindung seluas 4.355 Ha
- Hutan Produksi Terbatas seluas 34.200 Ha
- Hutan Bakau seluas 9.146 Ha
- Hutan Konversi dan penggunaan lain seluas 62.000 Ha
Jumlah 109.701 Ha
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 26
4%
33%
19%
36%
8%
hutan lindungcatchmenthutan produksi terbatashutan konversihutan mangrove
Gambar 4.1. Proporsi luasan tiap tipe hutan di Pulau Bintan
Gambar 4.2. Distribusi tiap tipe hutan di Pulau Bintan
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 27
Seiring dengan perkembangan daerah telah terjadi perubahan tipe kawasan
hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: 955/Kpts-II/1992 yang merubah
fungsi hutan produksi seluas 12.950 ha hutan dan konversi seluas 21.750 ha yang
terletak di kelompok hutan Sungai Jago, S. Ekang, S. Anculai, S. Bintan, S. Kangboi
dan S. Kawal Pulau Bintan menjadi kawasan hutan lindung yang selanjutnya dikenal
dengan nama kawasan Catchment Area. Dengan demikian tipe kawasan hutan yang
ada di Pulau Bintan dapat dikelompokkan menjadi Hutan Lindung (4.355 ha),
Catchment Area (37.000 ha), Hutan Produksi Terbatas (21.250 ha), Hutan konversi
(40.250 ha), Hutan Mangrove (9.146 ha), dengan total jumlah 112.001 ha. Gambar
4.1. menunjukkan proporsi dan jumlah luasan masing-masing tipe hutan.
Total luasan hutan sebesar 112.001 ha ini di Pulau Bintan tersebar di
Kabupaten Bintan dan Kotamadya Tanjung Pinang. Gambar 4.2. menunjukkan
distribusi tiap tipe hutan di Pulau Bintan.
Kondisi land cover terkini hutan di Pulau Bintan berdasarkan analisis citra
satelit (2006) meliputi hutan primer dataran rendah 3.949 ha, hutan dataran rendah
13.203 ha, hutan mangrove 8.244 ha, tegalan 17.794 ha, semak belukar 57.256 ha,
pemukiman 5.812 ha, lahan terbuka 1.795 ha, dan pertambangan 7.845 ha, sehingga
total luas Pulau Bintan 115.898 ha (Gambar 4.2). Kondisi penggunaan lahan Pulau
Bintan disajikan Tabel 4.1.
Hasil analisis citra menunjukkan bahwa luasan hutan di Pulau Bintan adalah
sebesar 25.396 ha, sedangkan luas non hutan adalah sebesar 90.502 ha. Kawasan
non hutan di Pulau Bintan telah mencapai 78% dari total luasan di Pulau Bintan.
Tabel 4.1. Luasan Beberapa Tipe Landuse Hasil Analisis Citra Satelit di Pulau Bintan
No Landuse Luas (Ha) 1 Hutan primer dataran rendah 3.949 2 Hutan dataran rendah 13.203 3 Hutan mangrove 8.244 4 Tegalan 17.794 5 Semak belukar 57.256 6 Pemukiman 5.812 7 Lahan terbuka 1.795 8 Pertambangan 7.845 Luas Pulau Bintan 115.898
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 28
4.1.1. Hutan Lindung Kawasan Hutan lindung merupakan salah satu tipe hutan yang memegang
peranan penting untuk menyangga kehidupan masyarakat di kota Tanjung Pinang dan
Kabupaten Bintan. Meskipun luasnya hanya 4.355 ha tetapi kebedaannya sangat
penting untuk kepentingan air minum di kedua kota tersebut sehingga keberadaannya
harus tetap dipertahankan.
Letak hutan lindung tersebar di beberapa tempat yang dengan posisi yang
demikian memiliki nilai positif sebagai kawasan untuk penyulai air secara merata di
wilayah Pulau Bintan. Hutan lindung di Pulau Bintan terdiri dari:
a. Hutan Lindung Sungai Pulai
Menurut SK penunjukan Mentan No.71/Kpts/UM/1978 Tanggal 1 Desember 1979
dan SK penetapan Menhut No. 424/Kpts -II/1987 Tanggal 28 Desember 1987, HL
Sungai Pulai memiliki luas 751.80 ha (Lampiran 5). Menurut SK Kepala Dinas
Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau
No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006, HL Sungai Pulai memiliki
luas 636 ha (Peta Situasi Hutan Pulau Bintan pada Lampiran 1). Kondisi terkini
hutan tersebut dapat dilihat pada peta; hampir 50 % kawasan telah menjadi semak
belukar, bahkan terdapat pula pertambangan dan tegalan.
Hutan Lindung Sungai Pulai merupakan sumber air Kota Tanjung Pinang
(Bendungan S. Pulai) yang dikelola oleh PDAM. Fungsi utama hutan lindung
Sungai Pulai adalah sebagai penyangga kelansungan sumber air waduk Sungai
Pulai. Sumber air ini merupakan pemasuk utama untuk kebutuhan akan air minum
bagi kota Tanjung Pinang, yang dikelola oleh PDAM Tirta Janggi. Kelestarian akan
sumber air di waduk Sungai Pulai tergantung oleh keutuhan hutan lindung Sungai
Pulai, oleh karena itu diperlukan sinergi dari berbagai lembaga (instansi),
khususnya perpaduan antara Dinas Kehutanan dengan Dinas Pengelola air minum
atau PDAM setempat.
Berdasarkan keterangan pengelola PDAM, debit air dewasa ini rata rata antara
150 lt per detik sampai dengan 200 lt per detik. Mengingat semakin meningkatnya
perkembangan kota Tanjung Pinang, tentu akan diikuti dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk, keadaan ini akan diikuti oleh kebutuhan akan
sumber air minum yang meningkat.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 29
Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk usaha meningkatkan debit air minum sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, paling tidak dapat ditingkatkan mencapai antara
300 lt per detik hingga 400 lt per detik, bahkan bila perlu dapat ditingkatkan
mencapai 500 lt per detik.
Untuk mencapai itu, usaha yang paling strategis adalah dengan memperbaiki
kawasan hutan lindung Sungai Pulai. Keterlibatan berbagai instansi perlu
dilakukan, khususnya Dinas Kehutanan dengan Dinas Pengelola Air Minum atau
PDAM, tentu saja untuk keberhasilannya perlu di dukung oleh fihak-fihak lain.
Seperti oleh berbagai lembaga di jajaran Pemda, masyarakat luas, dan juga
Lembaga Swadaya masyarakat (LSM), dan perlu didukung oleh lembaga Legislatif
(DPRD).
b. Hutan Lindung Bukit Kucing
SK Mentan No./Kpts/UM/1978, 1-12-1979 dan SK Menhut No.424/Kpts-II/1987,
28-12-1987 menyebutkan luas Hutan Lindung Bukit Kucing adalah 54.40 ha. Pada
Menurut SK Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi
Kepulauan Riau No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006, HL Bukit
Kucing memiliki luasan sebesar 66 ha. Secara umum kondisi hutan masih tertutup
oleh hutan primer walaupun telah sedikit berubah.
HL Bukit Kucing berperan untuk melindungi sumber air kebutuhan PLN, dan
Taman Wisata Kota Tanjung Pinang, karena lokasinya berada di tengah-tengah
Kota Tanjung Pinang.
c. Hutan Lindung Bukit Lengkuas dan Hutan Lindung Gunung Kijang
HL Bukit Lengkuas ditunjuk berdasarkan SK Mentan No.670/Kpts/UM/1978, 1-12-
1979 dan ditetapkan dengan SK. Menhut No 424/Kpts-II/1987, 28-12-1987, seluas
1.071,80 ha. Namun berdasarkan SK terbaru (Dinas Pertanian, Kehutanan, dan
Peternakan Provinsi Kepulauan Riau) tertuang luasan 646 ha. Sementara itu HL
Gunung Kijang ditunjuk dengan SK Mentan No.70/Kpts/UM/1978 1-12-1979 dan
ditetapkan berdasarkan SK Menhut No.424/Kpts-II/1987, 28-12-1987 seluas 760
ha. Berdasar data terbaru (SK No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus
2006) tertuang luasan 643 ha. Secara umum sebagian besar kawasan masih
berupa hutan primer dan hutan dataran rendah.
HL Bukit Lengkuas dan HL Gunung Kijang merupakan penyedia sumber air untuk
Kota Kijang dan Indomoty Produksi air mineral oleh PT. Sanqua dan PT. Bentari.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 30
d. Hutan lindung Gunung Bintan Kecil dan Bintan Besar
Hutan Lindung Gunung Bintan Kecil ditunjuk dengan SK Mentan
No.060/Kpts/UM/1978 Tanggal 1 Desember 1979 dan ditetapkan dengan SK
Menhut No.426/Kpts-II/1987 Tanggal 28 Desember 1987 seluas 308 ha.
Sedangkan Hutan Lindung Gunung Bintan Besar ditunjuk dan ditetapkan
berdasarkan SK Mentan No.701/Kpts/UM/1978, 1-12-1979 dan SK Menhut
No.426/Kpts-II/1987, 28-12-1987 Status terakhir kawasan ini adalah sebagai
catchment area berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: 955/Kpts-II/1992.
Menurut SK Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Peternakan Provinsi
Kepulauan Riau No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006 diketahui
luas Hutan Gunung Bintan Kecil adalah 168 ha dan hutan Gunung Bintan Besar
395 ha. Berdasarkan data analisis citra satelit kondisi penutupan lahan masih
berupa hutan primer dengan vegetasi yang rapat.
Fungsi utama kawasan Hutan Lindung Gunung Bintan Kecil dan Gunung Bintan
Besar adalah sebagai Hutan penyangga Catchmet Area Pulau Bintan.
e. Hutan Lindung Sungai Jago
Penunjukan Hutan Lindung Sungai Jago tertuang dalam SK Mentan
No.71/Kpts/UM/1978 Tanggal 1 Desember 1979 dan ditetapkan berdasarkan SK
Menhut No.426/Kpts -II/1987 Tanggal 28 Desember 1987. Luas kawasan
berdasarkan SK tersebut adalah 1.629,6 ha. Sedangkan menurut SK Kepala Dinas
Pertanian, Kehutanan, dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau
No.525/DPKP/HUT/VIII/41.352 Tanggal 7 Agustus 2006 kawasan Hutan Lindung
Sungai Jago memiliki luas 1.395 ha. Kondisi umum penutupan lahan masih sangat
baik berupa hutan orimer yang dominan.
Proses penetapan dan tata batas Hutan Lindung di Pulau Bintan tertera pada
Lampiran 5. Sedangkan sebaran, luasan, dan kondisi penutupan lahan masing-
masing kawasan hutan lindung dapat dilihat pada Lampiran 1, 2 dan 3.
Hutan dataran rendah Pulau Bintan merupakan hutan hujan tropis dengan
komposisi tumbuhan berupa hutan sekunder, sebagian kecil hutan primer dan semak
belukar. Hutan primer yang masih alami terdapat di kawasan Hutan Lindung ataupun
dijumpai di lahan milik masyarakat. Di beberapa titik seperti misalnya Gunung Bintan
Kecil masih terdapat lahan masyarakat yang ditumbuhi formasi hutan hujan tropis
yang masih alami. Hutan hujan tropis di Pulau ini mempunyai karakter khas berupa
dominasi pohon tiup-tiup. Belum didapat ada data resmi tentang keragaman jenis
pohon yang menyusun hutan hujan tropis di wilayah ini.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 31
Hasil pendataan sementara Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Kepulauan Riau menyatakan bahwa di hutan Lindung Pulau Bintan terdapat jenis-jenis
seperti Keruing, Meranti, Resak, Jelutung, Semarem, Geronggang, Gaharu, Kempas,
Bintangur, Merbulan, Punak.
Gambar 4.4. Formasi vegetasi hutan primer di Pulau Bintan
Hutan sekunder di Pulau Bintan sebagian besar merupakan hutan yang
tumbuh dari bekas pembukaan hutan oleh aktivitas penambangan, pemukiman, dan
penebangan liar. Permudaan alami dari beberapa jenis pioner berlangsung selama
beberapa tahun menciptakan formasi hutan baru berupa hutan sekunder. Upaya
penghijauan oleh pemerintah dan masyarakat telah dilakukan dengan jenis-jenis
seperti mahoni, meranti, karet, dan akasia (Gambar 4.5). Karet dan akasia merupakan
jenis paling diminati karena nilai ekonomis yang tinggi.
Tipe vegetasi semak belukar banyak terdapat di daerah dataran rendah (low
land) yang merupakan areal bekas penambangan dan penebangan liar. Kawasan ini
memiliki aksesibilitas yang tinggi karena merupakan daerah yang dekat dengan
pemukiman dan dilintasi jalan raya. Formasi vegetasi yang ada terdiri atas akasia,
paku-pakuan, rumput gajah, resam, dan alang-alang (Gambar 4.5.). Kondisi tanah
berupa bauksit dengan kelerengan relatif datar berkisar antara 0–10%. Pada
beberapa lokasi terlihat pula semak belukar di daerah up land dengan kelerengan
mencapai 40%.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 32
Gambar 4.5. Formasi vegetasi hutan sekunder di Pulau Bintan
Keberadaan hutan lindung di Pulau Bintan mendapat tekanan yang besar baik
untuk kepentingan pertanian, pembangunan sarana dan prasarana, perambahan atau
tekanan lahan untuk permukiman, pengembangan kawasan industri, perkebunan
maupun tekanan akan sumber daya di dalam kawasan hutan lindung. Permasalahan
pada masing-masing kelompok hutan disajikan di bawah ini.
a. HL. Sungai Pulai memiliki permasalahan berupa pemanfaatan lahan untuk
perkebunan sawit, kebun karet rakyat, permukiman dalam kawasan yaitu
Kampung Suka Damai, Tirto Mulyo, Pondok Pesantren, dan akses jalan yang
tinggi.
b. Hutan Lindung Gunung Lengkuas memiliki permasalahan berupa illegal logging,
terdapat perkebunan masyarakat, permukiman Batu 20, tambang batu granit.
Pemanfaatan sumber daya air hutan lindung ini untuk kebutuhan industri air
mineral PT. Sanqua dan PT. Bestari. Hutan dataran rendah merupakan kawasan
yang secara geologis mempunyai potensi berbagai macam bahan tambang.
Kegiatan eksploitasi berbagai macam bahan tambang seperti, pasir, bauksit dan
juga batu granit mudah dijumpai. Sejak masa peralihan kekuasaan pemerintahan
orde baru hutan lindung mengalami permasalahan yang sangat berat berupa
perambahan lahan yang diikuti dengan berpindahnya atau hilangnya patok-patok
tapal batas. Hal ini dipengaruhi oleh dua hal, yaitu: kurang optimalnya
pelaksanaan tugas dan wewenang penjagaan dan pengamanan kawasan Hutan
Lindung oleh instansi terkait dan semakin meningkatnya tekanan penduduk
terhadap lahan.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 33
Gambar 4.6. Semak belukar di Pulau Bintan
Gambar 4.7. Foto kondisi waduk sungai Pulai dan hutan lindung Sungai Pulai
Gambar 4.8. Foto permukiman penduduk di hutan lindung Sungai Pulai
c. Hutan lindung Gunung Kijang memiliki permasalahan berupa adanya
perkampungan, industri granit, akses jalan yang tinggi, illegal logging. Hutan
Lindung Gunung Kijang dan Hutan Lindung Sungai Lengkuas dapat diperkirakan
separo luas arealnya telah terambah.
d. Hutan Lindung Gunung Bintan Besar dan Gunung Bintan Kecil, serta Gunung
Jago relatif masih terjaga.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 34
4.1.2. Catchment Area
Kelompok hutan ini pada dasarnya masuk dalam tipe hutan lindung seperti
yang tertera dalam SK Menteri Kehutanan Nomor: 955/Kpts-II/1992, namun istilah
cacthment area lebih populer di masyarakat. Kawasan cacthment area memiliki luas
37.000 yang kawasannya berupa lahan milik Negara dan sebagian berupa lahan milik
masyarakat. Wilayah cacthment area meliputi 5 DAS yaitu DAS Jago, Ekang-Anculai,
Bintan, Kangboi dan Kawal.
Fungsi dari kawasan ini sama seperti fungsi hutan lindung untuk kepentingan
tata air bagi masyarakat kota Tanjung Pinang dan Bintan. Sebagai wilayah tangkapan
air hujan semestinya kawasan ini memiliki penutupan kawasan yang baik agar
fungsinya untuk menampung dan menahan aliran air dapat berfungsi dengan baik.
Kepulauan Riau memiliki wilayah daratan hanya 5% dari luas wilayah dan wilayahnya
berupa pulau-pulau kecil sehingga pemenuhan kebutuhan air menjadi prioritas untuk
diperhatikan dalam rangka penataan wilayah. Perubahan yang kecil dapat
menyebabkan timbulnya dampak yang besar. Namun kenyataannya cacthment area
mendapat tekanan yang besar dalam beberapa bentuk, antara lain:
a. Areal yang dijadikan cacthment area berupa hutan sekunder yang didominasi oleh
kebun karet rakyat, kebun rakyat. Kebun karet dan kebun rakyat dalam peta hasil
olahan citra satelit (Lampiran 1) termasuk dalam tipe penutupan hutan dataran
rendah.
b. Dalam kawasan akan dibangun ibukota Kabupaten Bintan sehingga konversi
lahan akan semakin tinggi seiiring pertumbuhan ibukota kabupaten ke depan.
c. Terdapat permukiman penduduk yang sudah lama menetap sebelum kawasan
ditetapkan menjadi cacthment area. Sebagian telah mendapatkan ganti rugi oleh
alih kepemilikan lahan, namun sebagian masyarakat belum mendapat ganti rugi.
d. Akses yang tinggi dalam kawasan berupa jalan aspal sehingga mendorong tinggi
gangguan berupa illegal logging, dan pemukiman liar.
e. Pemanfaatan lahan untuk menara telkomsel yang tidak melalui proses perjinan
pinjam pakai kawasan hutan.
4.1.3. Hutan Mangrove
Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi kepulautan Riau
tahun 2002 luas total hutan mangrove 32.700 ha. Dari jumlah tersebut Pulau Bintan
memiliki hutan mangrove seluas 16.998 ha atau 52% dari total luas hutan mangrove di
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 35
Propinsi Kepulauan Riau. Hutan mangrove tersebut tersebar di dua kecamatan yaitu
kecamatan Bintan Timur dan Kecamatan Bintan Utara yang terdiri dari 16 kelompok.
Letak hutan mangrove tersebut, sebagian masuk kawasan catchment area sebagian
lainnya terletak di luarnya.
Tabel 4.2. Distribusi dan luas hutan mangrove di Pulau Bintan
No Unit Hutan Mangrove Luas (ha) Kecamatan 1. Tanjung Uban 1.845 Bintan Utara 2. Tanjung Siambang 936 Bintan Utara 3. Teluk Sumpat 1.218 Bintan Utara 4. Busung 1.020 Bintan Utara 5. Ekang Anculai 2.520 Bintan Utara 6. Sungai Gesek 1.780 Bintan Timur 7. Tanjung Tangkap 760 Bintan Timur 8. Pulau Dompak 520 Bintan Timur 9. Sungai Dompak 1.140 Bintan Timur 10. Pulau Buton 300 Bintan Timur 11. Kijang 1.888 Bintan Timur 12. Pulau Angkut 143 Bintan Timur 13. Pulau Kelong 720 Bintan Timur 14. Pulau Koyan 683 Bintan Timur 15. Air Palong/P.Mantang 927 Bintan Timur 16. Tanjung Paku 598 Bintan Timur Luas Total (Ha) 16.998
Kondisi vegetasi mangrove di Pulau Bintan dapat dibagi dalam dua karakter
berdasarkan loksi dan formasi vegetasinya, yaitu; mangrove pantai yang berbatasan
langsung dengan laut, dan mangrove air payau di daerah muara sungai. Formasi
vegetasi mangrove di Pulau Bintan dari laut ke darat terdiri atas Rhizophora,
Sonneratia, Bruguiera, dan Xylocarpus (Gambar 4.9).
Rhizophora dominan pada daerah depan diselingi oleh beberapa jenis
Sonneratia. Kondisi tanah berpasir di daerah pantai merupakan faktor penyebab
terjadinya kombinasi dua jenis vegetasi tersebut. Sementara itu, di daerah muara
sungai memiliki keadaan tanah yang sedikit pasir dan bibir pantai yang relatif lebih
curam. Formasi vegetasi dari sungai ke arah darat sama dengan daerah pantai, tetapi
di daerah muara sungai Sonneratia baru dijumpai pada jarak 15 m hingga 20 m ke
daratan. Kemudian baru diikuti Xylocarpus dan Bruguiera serta beberapa vegetasi
daratan (Gambar 4.10).
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 36
Gambar 4.9. Sketsa formasi vegetasi mangrove daerah pantai di Pulau Bintan
Gambar 4.10. Formasi vegetasi mangrove daerah muara sungai di Pulau Bintan
Hutan mangrove dicirikan dengan vegetasi yang memiliki perakaran dan
cabang-cabang bagian bawah yang terendam air asin sedalam 0,5–1 meter. Sistem
perakaran yang khas untuk pertukaran gas diatas tanah yang tergenang air dan
kekurangan oksigen, dikenal sebagai pneumatophora (Mann, 1982 dalam Whitten et
al., 1987). Masing-masing spesies memiliki karakter batang yang spesifik untuk habitat
yang dipengaruhi pasang surut, seperti akar nafas, akar lutut, akar tunjang, akar sauh
yang tinggi atau akar kabel yang mendatar di permukaan tanah (Richard,1984;
Vallejo, 1989).
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 37
Hutan mangrove di Pulau Bintan memiliki potensi yang besar sebagai sumber
perekonomian masyarakat dalam hal pemanfaatan kayu dan pengembangan
perikanan. Pemanfaatan kayu mangrove untuk industri arang atau dapur arang telah
lama berkembang dan diusahakan oleh masyarakat dan terus meningkat. Ijin
pengusahaan panglong arang tahun 2004 berjumlah 10 ijin pengusahaan panglong
arang dengan target produksi 4.980 m3, tahun 2005 ada 11 ijin dengan target
produksi 6180 m3, dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 20 ijin pengusahaan
arang dan target produksi lebih dari 6380 m3. Luas yang terbatas dengan target
produksi yang tinggi akan menyebabkan laju kerusakan mangrove yang cepat.
Industri arang ini mempunyai nilai strategis yang cukup tinggi. Jika dapat
dikelola secara berkelanjutan maka panglong arang merupakan industri ramah
lingkungan yang patut dijaga dan ditingkatkan kualitas pengelolaannya. Dari industri
ini dipungut berbagai pungutan resmi dari pemerintah. Berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan No. 859/Kpts-II/1999 tentang Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
Per Satuan Hasil Hutan Bukan Kayu sebesar, Panglong arang dipungut biaya sebesar
Rp. 32.000, per ton arang yang dihasilkan. Panglong arang juga menggunakan kayu
sebagai bahan bakar sehingga dikenai provinsi sebesar Rp. 1.500 per SM (staple
meter) kayu bakar yang digunakan. Selain itu, pihak Pemerintah Daerah juga akan
memberlakukan sebuah perda tentang restribusi hasil hutan sebesar Rp. 100.000 per
ton arang dan Rp. 16.500 per SM kayu bakar.
Kegiatan tambak dengan membuka hutan mangrove belum banyak dilakukan
di Kabupatan Bintan. Pada umumnya masyarakat lebih sering menggunakan keramba
dalam melakukan budidaya ikan. Meskipun demikian, aktivitas pembukaan hutan
mangrove untuk dijadikan lokasi tambak sudah mulai dilakukan. Hal ini terlihat di
kawasan Sungai Tiram, desa Penaga, Teluk bintan. Kegiatan pembalakan juga terjadi
di kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bintan. Pembalakan ini terjadi dengan cara
masyarakat membagi kawasan mangrove menjadi tanah kapling. Tanah tersebut
kemudian dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan maupun kawasan
pemukiman. Alih fungsi kawasan mangrove menjadi kawasan perkebunan (pisang dan
nanas) dapat ditemukan di Sungai Tiram, sedangkan alih fungsi kawasan mangrove
menjadi kawasan pemukinan dapat ditemukan di Selat Bintan.
Permasalahan lain yang terdapat di kawasan mangrove berupa pemanfaatan
untuk kegiatan tambang bauksit. Aktivitas tambang bouksit untuk pengolahan,
penampungan limbah tailing, aktivitas pengangkutan turut andil terjadi kerusakan
mangrove. Kegiatan tambang di Kabupaten Bintan secara umum merugikan kawasan
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 38
hutan mangrove. Kawasan tambang yang memiliki lokasi di atas kawasan hutan
mangrove memberikan dampak negatif dengan pencemaran air yang dipergunakan
untuk proses tailing. Akibat pencemaran tersebut, hutan mangrove yang berada di
sekitar lokasi tailing menjadi layu, kering dan kemudian mati. Hal ini seperti yang
terjadi di kawasan tambang Teluk Bintan. Gambar 4.13 menunjukkan kerusakan hutan
mangrove akibat aktivitas pertambangan khusunya tailing.
a b
Gambar 4.11. Tanaman mangrove; a. Rhizophora; b. Sonneratia
Gambar 4.12. Foto pembukaan hutan mangrove untuk lokasi tambak di Sungai Tiram, P. Bintan
Gambar 4.13. Vegetasi mangrove yang kering
di lokasi tailing
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 39
Selain itu penimbunan kawasan mangrove untuk lokasi pengangkutan bahan
hasil tambang juga sangat merugikan karena merusak hutan mangrove dan
mengakibatkan hutan mangrove yang juga digunakan sebagai habitat satwa liar
menjadi terfragmentasi. Habitat yang terganggu kan menyebabkan adanya reduksi
populasi terhadap satwa liar terutama mamalia besar yang membutuhkan daerah
jelajah yang luas, untuk kawasan hutan mangrove di Kabupaten Bintan adalah jenis
primata. Terjadinya fragmentasi juga menjadi pemicu adanya kegiatan perburuan
terhadap satwa liar karena akses menjadi lebih mudah. Hal ini terbukti di daerah
Tanjung Mamboi, pegawai tambang biasa beberburu satwa liar untuk dimakan.
Gambar 4.14. Foto kegiatan penimbunan mangrove
di kawasan mangrove Desa Kelong
Gambar 4.15. Foto pemanfaatan kawasan mangrove sebagai tempat pengolahan bouksit dan penampungan limbah tailing
Kegiatan reklamasi terhadap area bekas tambang juga dilakukan. Usaha ini
terlihat dengan adanya pembuatan lokasi persemaian oleh salah satu perusahaan
tambang. Vegetasi yang digunakan untuk reklamasi tersebut adalah mahoni
(Swetenia mahagoni). Namun usaha ini banyak mengalami kegagalan karena
minimnya data mengenai kesesuaian lahan terhadap tanaman yang akan ditanam.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 40
Meskipun demikian tidak semua aktivitas pengolahan bauksit merusak
mangrove dalam jumlah luas. Pengolahan limbah di Gunung Siung menjadi contoh
yang baik dengan membuat 6 sampai 7 kolam pengolahan limbah tailing dan
selanjutnya air limbah tersebut dipakai lagi dalam proses pengolahan pemisahan biji
bouksit. Sistem daur ulang limbah ini dapat memperkecil resiko kerusakan mangrove
dalam jumlah yang luas, seperti tertera pada gambar di bawah ini.
4.2. Kabupaten Lingga
Kabupaten Lingga meliputi tiga pulau utama yaitu Pulau Lingga, Pulau Singkep
dan Pulau Senayang. Pulau Lingga secara administratif dibagi dalam dua kecamatan
yaitu Kecamatan Lingga dan Kecamatan Lingga Utara, Pulau Singkep dibagi menjadi
Kecamatan Singkep dan Kecamatan Singkep Barat, sedangkan Pulau Senayang
hanya masuk dalam Kecamatan Senayang.
Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Lingga tahun
2005-2015, kawasan hutan di Kabupaten Lingga mempunyai total luasan sebesar
69.266,93 ha atau 32,66% dari seluruh tipe penggunaan lahan di kabupaten ini.
Kawasan hutan menempati posisi kedua setelah tipe penggunaan lahan lainnya
sebesar 111.925,00 (52.78%). Tabel 4.3. menunjukkan tipe penggunaan lahan, luas
dan proporsi antar tipe penggunaan lahan di kabupaten Lingga berdasarkan RUTR
kabupaten Lingga tahun 2005-2015.
Tabel 4.3. Tipe penggunaan lahan, luas dan proporsi antar tipe penggunaan lahan
di kabupaten Lingga
No Jenis Luas (Ha) Prosentase (%) 1. Hutan 69.266,93 32,81 2. Perkebunan 23.880,00 11,31 3. Pertanian 750,75 0.36 4. Pertambangan 1.084,86 0.51 5. Industri 139,00 0,06 6. Pemukiman 4.066,50 1,92 7. Lain-lain 111.925,00 53,02
TOTAL 211113.04 100,00 Sumber: RUTR 2005-2015 kabupaten Lingga
Dari total luasan hutan yang ini dibagi menjadi tiga tipe kawasan hutan yaitu
kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi dan kawasan hutan mangrove.
Berdasarkan sumber data yang sama, ketiga kawasan ini menunjukkan bahwa
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 41
kawasan hutan lindung memiliki luasan terbesar (37.505 Ha) diikuti dengan kawasan
hutan produksi (28.328,93 Ha) dan kawasan hutan Mangrove (2.435). Proporsi ketiga
tipe kawasan hutan ini disajikan dalam Gambar 4.16.
Gambar 4.16. Grafik proporsi kawasan hutan Lindung, hutan Produksi
dan hutan Mangrove di Kabupaten Lingga. (Sumber : RUTR Kabupaten Lingga 2005-2015)
Gambar 4.17. Distribusi tiap tipe hutan lindung di Pulau Lingga Kabupaten Lingga
Hutan Lindung 55%
Hutan Produksi 41%
Hutan Mangrove4%
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 42
4.2.1. Pulau Lingga
Berdasarkan analisis citra satelit, kondisi umum kawasan hutan Pulau Lingga
masih sangat baik, sebagian besar berupa hutan dataran rendah. Hutan primer masih
cukup luas di beberapa daerah pegunungan (Gambar 4.17).
Data luasan tiap tipe land use (Tabel 4.4), menunjukkan dominasi hutan
dataran rendah terjadi di seluruh kawasan. Pulau Lingga memiliki luas 85.517 ha yang
terbagi menjadi beberapa tipe penutupan lahan, antara lain; hutan dataran rendah
73.250 ha, hutan dataran tinggi 7.361 ha, hutan mangrove 2.334 ha, lahan terbuka
103 ha, pemukiman 385 ha, perkebunan 189 ha, semak belukar 1.403 ha, dan tegalan
492 ha.
Tabel 4.4. Luasan Beberapa Tipe Landuse Hasil Analisis Citra Satelit di Pulau Lingga
No Landuse Luas (Ha) 1 Hutan dataran tinggi (hutan primer) 7.361 2 Hutan dataran rendah 73.250 3 Hutan mangrove 2.334 4 Tegalan 492 5 Semak belukar 1.403 6 Pemukiman 385 7 Lahan terbuka 103 8 Perkebunan 189 Luas Pulau Lingga 85.517
4.2.1.1. Hutan Lindung
Hutan Lindung Gunung Daik di Pulau Lingga telah ditetapkan berdasarkan SK
Kepala Daerah Tingkat I Riau No. Kpts. 96/III/1998/tanggal 23Maret 1998, dengan
luas 14.557,54 Ha. Namun sebelumnya, SK Penunjukan No. 671/XII/78, hutan
Lindung Gunung Daik tertulis 49.000 ha. Data spasial yang ada adalah TGHK 1985
yang membagi hutan menjadi hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan mangrove.
Hal ini menyebabkan penyajian data spasial tentang Hutan Lindung Gunung Daik
belum dapat ditampilkan (Lampiran 2).
Kawasan hutan ini terletak di daerah Gunung Daik, yang merupakan Gunung
tertinggi di Pulau Lingga, sekitar 1206 m, dari permukaan laut. Permasalahan yang
ada pada hutan ini adalah belum jelasnya tata-batas kawasan, adanya kebun-kebun
penduduk yang berada di dalam hutan dan illegal loging.
Potensi obyek wisata alam yang menonjol adalah air terjun Sungai Resun
yang juga sangat bermanfaat bagi masyarakat baik untuk air minum. Potensi lain yang
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 43
bisa dikembangkan di kawasan ini adalah industri air mineral dan pembangkit listrik
tenaga uap. Potensi hasil hutan non kayu seperti buah-buahan dan getah merah juga
sangat tinggi.
4.2.1.2. Hutan Produksi Terbatas dan Mangrove
Hutan Produksi Terbatas (HPT) pada saat ini tidak lagi dijalankan walaupun
statusnya masih tetap berdasarkan TGHK 1984. Hutan ini pada awalnya dikelola oleh
Perusahaan HPH PT. Pulai Lingga Coy. Kondisi hutan mangrove di Pulau Lingga
relatif masih baik dan utuh, kondisi ini jauh lebih baik daripada Pulau Bintan.
Berdasarkan SK Penunjukan No. 671/XII/78 terdapat tiga kawasan hutan produksi
terbatas dan hutan bakau seluas 24.099 ha, terdiri atas; Tengkis (4.356 ha), Tanjung
Duara (2.314 ha), dan Sungai Mengkuding (1.429 ha). Kawasan mangrove di
kabupaten ini juga sudah mengalami pengelolaan oleh masyarakat yang tinggal di
sekitarnya, meliputi panglong, tambang, tambak, pembalakan dan industri sagu.
4.2.2. Pulau Singkep
Gambar 4.18. Peta distribusi tiap tipe hutan di Pulau Singkep Kabupaten Lingga
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 44
Tipe-tipe hutan yang dapat ditemukan di Pulau Singkep adalah hutan lindung,
hutan produksi terbatas, dan hutan mangrove. Kondisi penutupan lahan adalah
berupa; hutan dataran rendah 62.854 ha, hutan dataran tinggi 558 ha, hutan primer
5.391 ha, hutan mangrove 1.939 ha, lahan terbuka 1.037 ha, pemukiman 649 ha,
semak belukar 3.728 ha, dan tegalan 1.540 ha (Tabel 4.5). Berdasarkan hasil analisis
citra (Gambar 4.18), luas total Pulau singkep adalah 77.696 ha. Pulau Singkep masih
didominasi oleh hutan (92,26%) baik berupa hutan dataran rendah, hutan mangrove
dan hutan lereng gunung. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan hutan di Pulau
Singkep masih relatif baik.
Tabel 4.5. Luasan Beberapa Tipe Landuse Hasil Analisis Citra Satelit di Pulau
Singkep
No Landuse Luas (Ha) 1 Hutan primer 5.391 2 Hutan dataran tinggi 558 3 Hutan dataran rendah 62.854 4 Hutan mangrove 1.939 5 Tegalan 1.540 6 Semak belukar 3.728 7 Pemukiman 649 8 Lahan terbuka 1.037 Luas Pulau Singkep 77.696
Pulau Singkep masih didominasi oleh kawasan yang berhutan baik berupa
hutan primer, hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah, maupun hutan mangrove.
Hal ini menunjukkan bahwa kawasan hutan di pulau ini dapat dikatakan masih relatif
baik.
4.1.3.1. Hutan Lindung
Hutan lindung di pulau Singkep berjumlah dua buah yaitu hutan lindung
Gunung Lanjut dan hutan lindung Gunung Muncung. Kedua kawasan ini sebagian
besar terletak di kecamatan Singkep.
Data luasan kawasan hutan lindung Gunung Lanjut dan hutan lindung Gunung
Muncung mempunyai beberapa sumber yang menyebutkan luasan yang berbeda satu
sama lainnya. Dua sumber utama yang dijadikan reference pada kajian ini adalah
berdasarkan RUTR kabupaten Lingga 2005-2015 dan Keputusan Kepala Daerah
Tingkat I Riau No. Kpts.96/III/1998 tanggal 23 Maret 1998. Kedua versi data disajikan
dalam tabel Luasan kawasan hutan lindung di Pulau Singkep Kabupaten Lingga
berdasarkan sumber data yang ada.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 45
Tabel 4.6. Luasan kawasan hutan lindung di Pulau Singkep Kabupaten Lingga berdasarkan sumber data yang ada
Luas Hutan tiap sumber data (ha) Nama Hutan
Lindung RUTR kab.
Lingga 2005-2015
Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Riau
No. Kpts.96/III/1998
Selisih luasan hutan (ha)
1. Gunung Lanjut 3.600 4.957 1.357 2. Gunung Muncung 2.325 1.700 625 TOTAL 5.925 6.657 1.982
Meskipun merupakan data yang baru, data yang dipergunakan oleh RUTR
kabupaten Lingga 2005-2015 adalah SK Penunjukkan No.1015/XII/1984. Hal ini
menunjukkan bahwa hingga saat ini masih ada dua versi data luasan kawasan hutan
lindung. Untuk melakukan pengelolaan hutan yang baik,maka data dasar semacam ini
harus di tetapkan secara konsisten.
Salah satu potensi di Pulau Singkep adalah adanya air terjun Batu Ampar.
Potensi wisata alam ini telah dan sedang di kembangkan oleh pemerintah setempat,
sebagai salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan.
Obyek wisata ini telah memiliki sarana dan prasarana penunjang di di
dalamnya (seperti terlihat di atas). Pengelolaan yang terencana dengan baik
sebenarnya bisa mengoptimalkan pendapatan dari obyek wisata alam ini. Namun
yang menjadi permasalahan adalah ketika debit air tidak ada lagi yang mengalir di
sugai Batuampar, padahal air disini menjadi obyek utama wisata ini. Dan terlihat sekali
bahwa air yang mengalir di air terjun batu ampar ini berasal dari hutan di atasnya.
Sehingga sudah seharusnya pengelolaan wisata alam ini tidak dapat dilepaskan dari
hutan yang ada di atasnya sebagai penyedia air.
Beberapa jenis fauna masih yang terdapat (hasil wawancara dengan
masyarakat sekitar hutan) di hutan Gunung Muncung dan hutan Gunung Lanjut masih
terdapat beberapa fauna diantaranya: Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis),
Babi hutan (Sus scrofa), Lutung hitam (Trachipithecus auratus), Kancil (Trangulus
javanicus), Biawak (Varanus salvator). Beberapa jenis burung yang di jumpai selama
pengamatan adalah Tekukur (Streptopelia chinensis), Cekakak sungai (Todirhampus
chloris), Elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), dan Elang bondol (Haliastur
Indus).
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 46
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kawasan hutan lindung di
Pulau Singkep tidak sepenuhnya merupakan kawasan berupa hutan. Faktor-faktor
tersebut adalah:
a. Kawasan hutan lindung adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai
hutan lindung. Hal ini berimplikasi apabila dasar penetapan tidak memperhatikan
kondisi riil di lapangan, maka secara otomatis kawasan ini tidak sepenuhnya
berupa hutan.
b. Pembangunan infrastruktur berupa jalan raya yang yang menghubungkan
pelabuhan Dabo dan pelabuhan Jago menyebabkan kedua kawasan yang relatif
kompak ini terpecah menjadi dua kawasan. Akibat lebih lanjut adalah
berkurangnya luasan hutan di kedua kawasan hutan lindung tersebut. Gambar
4.23 menunjukkan jalan raya yang membelah Hutan Lindung Gunung Muncung
dan Hutan Lindung Gunung Lanjut di daerah batu runcing.
c. Tambang timah yang merupakan kawasan “open mining” di kawasan Hutan
Lindung Gunung Lanjut dan Gunung Muncung mengakibatkan banyak lokasi yang
terbuka dan tidak memiliki tutupan lahan berupa hutan. Dengan terbukanya
kawasan hutan lindung, maka semakin besar run-off yang dihasilkan dari air hujan,
yang juga membawa partikel tanah. Akibat lebih lanjut adalah terdegradasinya
tanah akibat erosi dan akhirnya menyisakan kawasan tanah kritis.
d. Perambahan kawasan hutan untuk kegiatan pertanian menyebabkan semakin
sempitnya luas hutan yang ada di kawasan Hutan Lindung Gunung Muncung dan
Hutan Lindung Gunung Lanjut. Beberapa kawasan yang telah dirambah saat ini di
tanami jenis-jenis tanaman perkebunan buah seperti Nanas dan Pisang.
Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, beberapa jenis kayu yang
terdapat di kawasan ini diantaranya; Bintangur (Calophyllum spp), Punak, Tiup-tiup
(Adinandra dumosa), Riang-rian (Ploiarium altermifolium) Tempinis, Dedaru,
Kapur, Tembesu, Meranti (Shorea spp) dan lain sebagainya. Masyarakat di
beberapa desa sekitar hutan Gunung Lanjut dan Gunung Muncung juga menanami
lahan di sekitarnya dengan tanaman kayu keras seperti Jati (Tectona grandis),
budidaya Merica dan Durian sebagai sumber ekonomi alternatif bagi masyarakat.
Tidak terlihat (jarang) adanya pertanian intensif di Pulau Singkep, hal ini karena
kondisi tanah dan air yang tidak memungkinkan untuk upaya pertanian intensif.
Gambar 4.24 menunjukkan kawasan Hutan Lindung Gunung Lanjut yang dirambah
oleh masyarakat sekitarnya.
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 47
Gambar 4.19. Potensi wisata alam (air terjun) yang telah dikembangkan di Batuampar, Singkep
Gambar 4.20. Kawasan lahan kritis akibat adanya aktivitas penambangan timah di Pulau Singkep
Gambar 4.21. Perambahan yang terjadi di Hutan Lindung Gunung Lanjut
Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga
Kondisi Kawasan Hutan 48
4.1.3.1. Hutan Produksi
Secara umum kondisi hutan produksi di kawasan Pulau Singkep mirip dengan
Pulau Lingga. Meskipun dengan status Hutan Produksi, akan tetapi kawasan hutan di
Pulau Singkep tidak lagi dikelola oleh pihak swasta seperti HPH atau HPH HTI.
4.1.3.2. Hutan Mangrove
Persebaran dan luasan hutan produksi di pulau Singkep disajikan dalam
bentuk table berikut;
Tabel 4.7. Nama kelompok hutan luasan dan dasar hukum kawasan di Pulau
Singkep
No Kelompok Hutan Luas (Ha) Keterangan 1 Teluk Sekanak 2.435 RPH Dabo 2 Pulau Bakung 1 1.050 RPH Dabo 3 Pulau Bakung 2 927 RPH Dabo
Sumber : RUTR Kabupaten Lingga 2005-2015
Sungai Pana adalah kawasan ekosistem pasang surut yang mempunyai
vegetasi mangrove di kanan kiri sungai. Beberapa vegetasi mangrove yang terdapat di
sungai ini antara lain jenis Rizophora, Sonneratia, dan Avicennia. Pemanfaatan
ekosistem mangrove oleh masyarakat sekitar Sungai Pana adalah, sebagai tempat
mencari ikan dan beberapa lokasi digunakan sebagai pelabuhan nelayan dan juga
pelabuhan umum terutama di Jago.