BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Materi pengajaran merupakan salah satu komponen yang penting dalam
pembelajaran bahasa Inggris. Bahasa adalah milik suatu budaya, oleh karena itu
pembelajaran bahasa juga harus disertai pembelajaran akan budaya. Budaya yang
ada di sekeliling siswa sangat bermacam-macam, oleh karena itu agar bisa
berhubungan dan berinteraksi dengan baik dengan orang dari berbagai budaya
maka siswa perlu dibekali wawasan yang memadai tentang keberagaman budaya
yang ada di sekitar mereka. Wawasan multikultur ini bisa diinsersikan di dalam
pembelajan formal di sekolah di beberpa mata pelajaran yang relevan termasuk
bahasa Inggris. Oleh karena itu bahan ajar bahasa Inggris yang didalamnya
terdapat muatan multikultur diperlukan karena keberadaannya bisa menjadi salah
satu alat bantu guru dalam praktik pembelajaran. Pengetahuan dan wawasan
tentang nilai multikultur ini sendiri penting untuk dimiliki oleh guru dan siswa
karena hal ini berkontribusi positif bagi pembangunan bangsa secara umum.
Dengan adanya pemahaman yang baik tentang multikultur ini, peristiwa negatif
yang disebabkan tidak adanya pengertian atau karena munculnya salah faham
tentang budaya yang berbeda dengan budaya peserta didik diharapkan bisa
diminimalisir dan akan lahir manusia Indonesia yang dewasa dalam menyikapi
perbedaan.
Kemajemukan budaya bukan saja terjadi di tingkat dunia namun terjadi
pula di tingkat nasional (Indonesia) karena negara kita terdiri dari berbagai budaya
1
2
yang berbeda-beda. Budaya lokal kedaerahan itu membentuk budaya nasional.
Melalu mata pelajaran bahasa Inggris, para pelajar bisa diarahkan untuk mulai
mengetahui (knowing), memahami (understanding) dan merasakan bahwa
perbedaan adalah sesuatu yang sangat alami dan karenanya harus dihormati dan
disikapi secara arif. Sayangnya, budaya lokal Indonesia yang adiluhung dirasa
makin tergerus oleh zaman. Banyak nilai budaya lokal yang kehilangan pamornya
dan tidak pernah dimunculkan di dalam mata pelajarn digantikan dengan budaya
asing yang tengah populer. Pendapat bahawa pelajaran harus menyesuaikan
zaman dan konteks di sekitar peserta didik adalah benar namun itu tidak berarti
aspek buday adi luhung tidak diinformasikan kepada siswa. Dengan
diinsersikannya budaya bangsa sendiri secara positif makan akan tumbuh
kebanggaan pada diri siswa sebagai bangsa Indonesia.
Salah satu fungsi utama pendidikan adalah untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, berkembangnya potensi peserta
didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3, UU No. 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas). Sejalan dengan cita-cita luhur itu, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), yang merupakan kurikulum terbaru di Indonesia, mendorong
sekolah untuk mengangkat budaya lokal dan mengintegrasikannya di dalam
kurikulum sekolah. KTSP merupakan peluang yang sangat baik bagi para praktisi
pendidikan yang peduli dengan masalah penjagaan dan pengembangan budaya
3
lokal. Upaya untuk melestarikan dan menjadikan generasi muda bangga dan dapat
mempromosikan budaya lokal kepada dunia wajib dilaksanakan. Salah satu cara
yang dapat dilakukan adalah dengan mengintegrasikan aspek budaya atau kearifan
lokal ke dalam proses pembelajaran bahasa Inggris. Dalam hal ini budaya dan
kearifan lokal dapat dikembangkan menjadi bahan ajar bahasa Inggris di sekolah,
termasuk di SMP, dan digunakan dalam proses pembelajaran.
Pemerintah sudah mewacanakan pentingnya insersi budaya lokal sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran multikultur melalui materi
pembelajaran bahasa. Dalam menindaklanjuti hal ini para penulis buku dan
pengembang bahan ajar dihimbau untuk menginsesikan local wisdom ke dalam
produk mereka. Sejauh ini belum banyak studi yang mengungkap bagaimana
sebenarnya komponen budaya, termasuk diantaranya budaya lokal Indonesia ini,
diinsersikan. Aspek budaya apa saja yang selama ini diinformasikan kepada
peserta didik dan dengan cara bagaimana mereka diinsersikan menjadi pertanyaan
penting yang harus dijawab. Selain itu, penting juga untuk mengungkap sejauh
mana peran guru dalam membentuj pemahaman budaya para siswa. Untuk dapat
mengambil peran yang positif, guru tentu saja harus memiliki wawasan dan
pandangan yang bijak tentang budaya dengan segala aspek dan peranannya.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Selama ini masih sedikit buku ajar yang digunakan para guru
memperhatikan aspek multikultur secara khusus. Kandungan kebudayaan
Indonesia dan kebudayaan asing dalam buku ajar seringkali masih timpang/tidak
4
berimbang dan bias. Sikap rendah diri (inferior) sebagai dampak kolonialisme
masih sering tercermin dalam tulis, termasuk buku ajar. Misalnya, penggambaran
budaya lokal dikesankan sebagai inferior dibandingkan budaya luar, khususnya
budaya barat; atau, budaya barat dicitrakan sebagai lebih baik dan modern
dibanding budaya lokal.
Budaya merupakan hal yang luas, tidak sekedar berupa produk benda tapi
juga adat istiadat dan perilaku manusia dalam sebuah masyarakat. Sesungguhnya
setiap budaya adalah istimewa dan unik oleh karena itu pengemasan pengajaran
budaya dalam pembelajaran bahasa Inggris harus dirancang sedemikian rupa agar
siswa dapat memetik banyak manfaat diantaranya mempelajari bahasa Inggris,
mempelajari dan menilai budaya secara objektif, dan mampu menghargai budaya
lokal Indonesia.
Penelitian ini menitikberatkan pada upaya untuk menghasilkan materi
pengajaran bahasa Inggris yang mencakup aspek multikultur di dalamnya. Pada
tahun pertama ini penelitian dibatasi pada identifikasi buku ajar bahasa Inggris
yang saat ini banyak digunakan di SMP di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta;
identifikasi tingkat pemahaman para guru tentang insersi budaya asing dalam
pembelajaran bahasa asing yang terefleksi dalam buku ajar bahasa Inggris;
identifikasi tanggapan para guru tentang insersi budaya asing dalam buku-buku
ajar bahasa Inggris SMP tersebut, dan identifikasi aspek-aspek multikultur dan
pola insersi budaya asing yang ada dalam buku-buku.
5
C.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan buku ajar bahasa
Inggris berbasis multikultur sebagai upaya pemertahanan budaya lokal untuk
siswa SMP. Untuk mencapai tujuan tresebut, maka penelitian ini dibagi menjadi
2 tahap yaitu tahun pertama dan kedua yang masing-masing memiliki tujuan yang
berbeda.
Tujuan penelitian tahun pertama: (1) mengidentifikasi buku ajar bahasa
Inggris yang saat ini banyak digunakan di SMP di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta; (2) mengidentifikasi tingkat pemahaman para guru tentang insersi
budaya asing dalam pembelajaran bahasa asing yang terefleksi dalam buku ajar
bahasa Inggris; (3) mengidentifikasi tanggapan para guru tentang insersi budaya
asing dalam buku-buku ajar bahasa Inggris SMP tersebut, dan (4) identifikasi
aspek-aspek multikultur dan pola insersi budaya asing yang ada dalam buku-buku
ajar bahasa Inggris SMP tersebut.
Sedangkan tujuan penelitian tahun kedua adalah: (1) menyusun draf awal
model buku ajar yang diharapkan dapat membangkitkan kesadaran para guru
akan pentingnya insersi budaya lokal/ nasional pada buku ajar bahasa Inggris
SMP; (2) merumuskan tujuan pengembangan buku ajar Bahasa Inggris; (3)
meminta pendapat ahli/ pakar pengajaran bahasa Inggris; (4) melakukan uji coba
model buku ajar secara terbatas; (5) melakukan uji keterbacaan model buku ajar
dan revisi; (6) melakukan uji coba model buku ajar secara luas; dan (6) diseminasi
dan implementasi buku ajar secara lebih luas.
6
D. Signifikansi Penelitian
Penelitian tahap pertama ini memberi beberapa manfaat umum sebagai
berikut:
1. Dengan diketahuinya aspek budaya apa saja yang ada di dalam buku
maka jenis budaya dan komposisi budaya yang diinformasikan kepada
anak didik menjadi lebih jelas terlihat. Hal ini menjadi informasi
penting bagi para pendidik dan pemegang kebijakan lainnya untuk
menentukan apakah buku tersebut bisa dipakai atau tidak dalam
pembelajaran, juga menentukan tambahan atau penekanan seperti apa
saja yang perlu dilakukan di kelas.
2. Pendapat guru tentang budaya dan insesinya dalam pembelajaran
bahasa Inggris memberi tambahan informasi bagi fihak yang
berwenang untuk mengevaluasi pengajaran bahasa Inggris secar
keseluruhan, terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk
mempertahankan jati diri dan budaya bangsa.
3. Salah satu implikasi penelitian ini adalah pentingnya penjelasan dan
bimbingan lanjut di kelas oleh para guru tentang budaya yang muncul
dalam pembelajaran bahasa Inggris. Aspek budaya yang diinsersikan
secara implisit terutama melalui gambar bisa menimbulkan mutitafsir
oleh karena itu guru harus memberi bimbingan agar tafsiran siswa
mejadi terarah dan positif. Oleh karena itu guru harus memiliki
cultural awareness.
7
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Buku Ajar
Buku ajar merupakan paket belajar yang berkenaan dengan suatu unit
materi belajar. Perwujudan buku ajar dapat berupa bahan cetak untuk dibaca
subjek belajar dan bahan cetak ditambah tugas. Pada dasarnya buku ajar diartikan
sebagai buku acuan yang digunakan sebagai pedoman kegiatan belajar mengajar
di kelas. Dalam kamus Merriam-Webster, textbook didefinisikan sebagai “a book
about a particular subject that is used in the study of that subject especially in a
school.” Buku ajar sejatinya adalah buku yang dibuat untuk siswa dan guru di
kelas atau sekolah, yang menyajikan serangkaian materi pembelajaran dalam satu
mata pelajaran atau mata pelajaran-mata pelajaran yang terkait erat (Tiwari,
2008). Hal ini ditegaskan oleh Richards and Schmidt (2002: 550) yang
mendefinisikan buku ajar atau text book sebagai:
A book on a specific subject used as a teaching learning guide, especially in a school or college. Textbooks for foreign language learning are often part of a graded series covering multiple skills (listening, reading, writing, speaking, grammar) or deal with a single skill (e.g. reading).
Sementara itu, Kaiser (2005: 223) membagi dua definisi textbooks, untuk
bisa membedakannnya dengan teks populer, yaitu berdasarkan kegunaan dan
tujuannya. Berdasar kegunaanya, textbook adalah “every text practically used as a
didactic instrument in teaching institutions.” Sedangkan berdasar tujuannya,
textbook adalah “every text especially and explicitly designed to be used as a
didactic instrument in teaching institutions.”
8
Buku ajar menjadi tali pengikat keseluruhan proses pembelajaran,
menjadikan proses pembelajaran sebagai sebuah sistem dan “checks unnecessary
repetition and ommission” (Choudhury, 1998: 154). Selain itu, buku ajar
merupakan instrumen untuk mencapai tujuan pembelajaran, membantu guru
dalam mempersiapkan pembelajaran, tugas, dan mengelola kelas, serta
membimbing siswa belajar, baik di rumah atau di kelas (Tiwari, 2005). Lebih
lanjut Richards and Schmidt (2002: 339) juga menyatakan bahwa “the use of
modules is said to allow for flexible organization of a course and can give
learners a sense of achievement because objectives are more immediate and
specific”.
B. Pemahaman tentang Pendidikan Multikultur
Pengertian dan definisi pendidikan berbasis multikultur telah banyak
dikemukakan oleh para ahli. Sinagatullin (2003: 83) misalnya mendefinisikan
pendidikan multikultur sebagai: “an idea stating that all students, regardless of
their gender, ethnicity, race, culture, social class, religion, or exceptionality,
should have an equal opportunity to learn at school”. Menilik definisi
pendidikan multikultur yang dikemukakan Sinagatulin tersebut, tidaklah
berlebihan bila pendidikan multikultur dipandang sebagai sebentuk reformasi
dalam dunia pendidikan yang hakikatnya adalah untuk memberikan porsi
kesempatan yang sama pada semua siswa, apapun keadaannya dan dari suku
apapun dan juga yang memiliki bahasa yang berbeda untuk mendapatkan
pendidikan. Banks and Banks (2009: 1) menyatakan,
9
Multicultural education is an idea, an educational reform movement, and a process whose major goals is to change the structure of educational institution so that male and female students, exceptional students who are members of diverse racial, ethnic, language, and cultural groups will have an equal chance to achieve academically in school.
Lebih lanjut Sinagatullin (2003: 114) menyatakan salah satu tujuan
pendidikan multikultur adalah “to help students acquire attitudes, knowledge, and
skills needed to successfully function within their own micro-culture, mainstream
culture, and the global community”. Dalam pendidikan multikultur, secara umum
para siswa akan belajar memahami budaya asing yang berbeda dengan budayanya
sendiri dan mempelajarinya namun tanpa mengurangi pemahaman dan kecintaan
para siswa akan budayanya sendiri. Hal ini sejalan dengan pernyataan Banks and
Banks (2009: 43) bahwa, Teaching about the cultural practices of other people
without stereotyping or misinterpreting them and teaching about one’s own
cultural practices without invidiously characterizing the practices of other people
should be the aims of multicultural education
Berdasarkan definisi dan tujuan pendidikan multikultur tersebut, dengan
jelas tampak bahwa konsep pendidikan ini, sejalan dengan definisi pendidikan
nasional kita, yakni pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945
yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan zaman (Pasal 1 ayat 2 UU No 2 tahun 2003 tentang Sisdiknas).
Pendidikan berbasis multikultur ini pada dasarnya merupakan sarana untuk
meningkatkan ‘cultural awareness’ atau kepekaan budaya dalam praktek
pembelajaran bahasa asing khususnya bahasa Inggris. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Tanaka (2006: 37) mengenai pentingnya cultural awareness dalam
10
konteks pembelajaran bahwa “the concept of ‘cultural awareness’—
understanding of different cultures—has been emphasized as an essential part of
English learning and teaching”. Pemahaman mengenai cultural awareness ini
juga merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan budaya asal para siswa
mengingat tidak semua aspek budaya yang menyertai pembelajaran bahasa asing
dinyatakan secara eksplisit dalam pembelajaran Banks and Banks (2009: 37)
menyatakan bahwa, some aspects of culture are explicit, and others are implicit
learned, and shared outside conscious awareness. Our moods and desires as well
as our thoughts are culturally constructed.
Oleh karena itu, keberadaan pendidikan berbasis multikultur ini menjadi
penting, terutama dalam menjembatani perbedaan budaya yang juga merupakan
permasalahan dasar dalam pembelajaran bahasa asing. Brown dalam Richards and
Renandya (2002: 12) menyatakan “whenever you teach a language, you also
teach a complex system of cultural customs, values, and ways of thinking, feeling,
and acting”.
Konsep pendidikan berbasis multikultur ini tidak mungkin akan dapat
diterapkan dengan efektif manakala tidak melibatkan semua komponen yang
terkait dengan proses pembelajaran, termasuk kurikulum, para praktisi
pembelajaran, para siswa, dan juga aspek-aspek pembelajaran lainnya, seperti
materi pembelajaran dan metode pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Banks and Banks (2001: xii) dalam bukunya yang berjudul Handbook of Research
on Multicultural Education yang mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai
…. a field of study designed to increase educational equity for all students that incorporates, for this purpose, content, concepts, principles, theories,
11
and paradigms from history, the social and behavioral sciences, and particularly from ethnic studies and women studies.
Dimensi multikultur yang dikembangkan oleh Banks and Banks ini
menyatakan adanya suatu kerangka konseptual pendidikan multikultural yang
melibatkan beberapa unsur, yakni: “content integration, the knowledge
construction process, prejudice reduction, an equity pedagogy, and an
empowering school culture and social structure”.
C. Konsep tentang Bahasa dan Budaya Lokal
Bahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya. Foley
(2001:19) menyatakan,
Language is often treated theoretically as a sub system of culture within cognitive anthropology but in practice and structure of language as revealed by modern linguistics has generally served as the paradigm for analyzing other aspects of culture.
Sementara itu Linton (1945 dalam Mesthrie, et al., 2009: 28) menyatakan
budaya sebagai ‘the way of life of its members; the collection of ideas and habits
which they learn, share and transmit from generation to generation’. Hal ini
berarti bahwa budaya dapat diartikan sebagai ‘design for living’, yang memberi
makna pada cara dan bentuk kebiasaan yang dianggap pantas dan berterima dari
suatu kelompok masyarakat tertentu, sedangkan bahasa diperlakukan sebagai a
cultural activity and, at the same time, an instrument for organizing other cultural
domains (Sharifian & Palmer, 2007: 1). Sementara itu, Taylor (dalam Peoples &
Bailey, 2009: 22) mendefinisikan budaya sebagai “complex whole which includes
12
knowledge, belief, art, morals, law, customs, and any other capabilities and habits
acquired by man as a member of society.” Dengan kata lain, pengetahuan,
keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kebiasaan lain yang diperoleh
manusia sebagai bagian dari masyarakat merupakan komponen budaya. Budaya
membuat seseorang menjadi lengkap sekaligus menimbulkan adanya perbedaan di
tingkat kelompok, sehingga menjadi pembeda antar satu kelompok masyarakat
dengan kelompok masyarakat lainnya. Banks and Banks (2009: 8) menyatakan
bahwa
Culture consists of the shared beliefs, symbols, and interpretations within a
human group. Most social scientists today view culture as consisting
primarily of the symbolic, ideational, and intangible aspects of human
societies. The essence of a culture is not its artifacts, tools, or other tangible
cultural elements but how the members of the group interpret, use, and
perceive them. People in a culture usually interpret the meanings of
symbols, artifacts, and behaviors in the same or in similar ways.
Bahasa dan budaya merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Budaya
dapat diartikan sebagai kesamaan pemaknaan terhadap aspek-aspek kehidupan
manusia dan makna tersebut diekspresikan dengan menggunakan bahasa.
Maureen Guirdham, M ( 2005: 46) menyatakan bahwa
Culture is about ‘shared meanings’. Meanings are produced and exchanged
through language, which is the medium through which we ‘make sense’ of
13
things. Meanings can only be shared through language. Thus, ‘to say that
two people belong to the same culture is to say that they interpret the world
in roughly the same ways and can express themselves, their thoughts and
feelings about the world, in ways which will be understood by each other’.
Selain sistem religi dan upacara adat, sistem organisasi sosial dan
kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan, kesenian, sistem ekonomi dan mata
pencaharian, serta sistem alat dan teknologi, sebagai salah satu sub sistem budaya,
bahasa merupakan unsur budaya yang mencerminkan budaya masyarakat dan
menjadi pembeda dari masyarakat yang lain. Ketujuh unsur tersebut akan selalu
ditemukan di masyarakat manapun dengan berbagai variasinya (Koentjaraningrat,
1996, dalam Simanjuntak, 2011).
Perbedaan budaya merupakan permasalahan utama dalam pendidikan
lintas budaya. Oleh karenanya dalam konteks pendidikan perlu
mempertimbangkan perbedaan budaya. Grant dan Lei (2001: 10-11) lebih lanjut
menyarankan empat komponen utama pendidikan yang mempertimbangkan
perbedaan sosiokultural dan bahasa, yakni:
1)Subjective and objective support of the identity of socio-cultural and
linguistic minority students; 2) Constructing curriculum contents implying
and reflecting the positive value of the plurality of cultures and languages;
3) Building communicative, action-oriented skills; and 4) Accepting socio-
cultural diversity and the plurality of ideas as a challenge for democracy.
14
Dalam konteks pemeblajaran bahasa asing, seperti bahasa Inggris, tidak
dapat dipungkiri dalam praktek pembelajarannya tidak dapat dilaksanakan secara
efektif tanpa disertai pemahaman budaya masyarakat penuturnya. Para praktisi
pengajaran bahasa Inggris tentu saja dituntut untuk tidak hanya mengajarkan
bahasa namun juga menghadirkan konteks budaya di tempat bahasa itu digunakan.
Sementara itu para siswa pun harus mempelajari budaya masyarakat pengguna
bahasa yang tengah mereka pelajari. Hal ini merupakan fenomena yang umum
dalam pembelajaran bahasa asing karena untuk dapat berkomunikasi secara efektif
menggunakan bahasa asing, seorang penutur dituntut tidak hanya memiliki
kemampuan berbahasa asing tetapi juga memiliki pemahaman budaya di tempat
bahasa asing tersebut digunakan.
Apabila hal ini tidak disadari dari awal oleh para praktisi pengajaran bahasa
asing, pemahaman budaya asing ini dapat mengarahkan pada penurunan
pemahaman para siswa akan budaya mereka sendiri. Apabila hal ini terus
berlanjut, tanpa diimbangi dengan langkah-langkah atau upaya pemertahanan
budaya lokal, dapat berakibat perubahan perilaku anak didik kita sebagai wujud
internalisasi nilai-nilai budaya asing yang telah mereka pelajari, dan pada
gilirannya dapat menyebabkan hilangnya pemahaman terhadap budaya lokal dan
nasional yang adiluhung. Hal ini akan sangat merugikan kelangsungan budaya
bangsa ini. Oleh karenanya, pemahaman akan budaya lokal dan juga kepekaan
akan muatan budaya asing amat diperlukan dalam konteks pembelajaran bahasa
asing, khususnya bahasa Inggris yang saat ini telah menjadi salah satu bahasa
asing terpenting yang harus dipelajari oleh anak didik kita, dari tingkat pendidikan
15
dasar dan bahkan dari tingkat pendidikan yang paling rendah, yakni pada
pendidikan anak-anak usia dini.
Berdasarkan kenyataan ini, pengenalan dan pemahaman akan budaya lokal
perlu ditanamkan sejak dini. Istilah budaya lokal seringkali dikaitkan dengan
istilah tradisi yang secara tekstual berarti “adat kebiasaan turun-temurun (dari
nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat, yang berangkat dari
penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling
baik dan benar” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 1208). Istilah ini
membuahkan kata turunan yakni tradisional, yang maknanya juga hampir sama,
yakni sebagai sebentuk sikap atau cara berpikir serta bertindak yang selalu
berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun.
Dengan demikian terminologi dari konsep tradisi itu maknanya dekat dengan
konsep dan khazanah lokalitas.
Dalam perspektif arkeologi, khazanah tradisi dan budaya lokal kerap
diistilahkan sebagai ‘local genius’ (Koentjaraningrat, 1986: 80), yang dalam kata-
kata Wales (dalam Poespowardojo, 1986: 30) diberikan pengertian, “the sum of
the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as
a result of their experience in early life”. Pentingnya ciri-ciri khas yang ada dalam
setiap budaya bangsa, atau yang biasa disebut sebagai ‘pribumi’ itulah yang oleh
Wales diistilahkan ‘local genius’, yang di dalamnya terkandung makna sebagai
‘basic personality of each culture’, atau dalam pemaknaan Anderson (2002: 6)
disebut sebagai ‘cultural artefacts of a particular kind’. Dengan demikian, local
genius merupakan manifestasi dari kepribadian masyarakat, yang tercermin dalam
16
orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam
persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola, gaya, serta
sikap hidup yang ditunjukkan dalam tingkah laku sehari-hari, yang mewarnai
perikehidupannya.
Adapun wilayah yang menjadi ruang tempat meng-`ada’-nya nilai-nilai
local genius itu, seluas pemaknaan hakikat kebudayaan manusia itu sendiri, yang
secara substantif, sebagaimana dikemukakan antropolog, Honingmann (dalam
Koentjaraningrat, 1990:186-187), menyangkut tiga kategori besar, yakni sistem:
ideas, activities, dan artifacts. Lebih lanjut, Koentjaraningrat (2005, dalam
Bhaswara, 2008) menggolongkan 4 wujud kebudayaan sebagai perluasan dari
kategori tersebut, yaitu kebudayaan sebagai (1) nilai ideologis, (2) sistem gagasan,
(3) sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola, dan (4) benda fisik (artifak).
Hubungan antara kategori budaya dari Honingmann dan Koentjaraningrat dapat
dilihat melalui gambar berikut.
Gb. 1. Kerangka Konsentris Kebudayaan (Koentjaraningrat 2005, dalam
Bhaswara, 2008)
17
Diagram kerangka konsentris kebudayaan tersebut dijelaskan lebih
lanjut sebagai berikut (Koentjaraningrat, 1996, dalam Simanjuntak, 2011: 15).
1. Bagian yang paling luar merupakan kebudayaan sebagai artifacts, atau
benda-benda fisik. Yakni berupa benda-benda hasil karya manusia
yang bersifat kongkret yang dapat diraba. Misalnya bangunan,
peralatan, dan benda teknologi. Sebutan bagi budaya dalam bentuk
konkret ini adalah kebudayaan fisik
2. Bagaian kedua terluar merupakan wujud dan tingkah laku manusia.
Wujud berikut ini masih bersifat konkret. Dapat difoto ataupun di film.
Semua gerak-gerak yang dilakukan dari waktu ke waktu. Merupakan
pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem. Karena itu pola
tingakah laku manusia disebut sistem sosial.
3. Bagian ketiga merupakan wujud gagasan dari kebudayaan, dan
tempatnya ada didalam diri warga kebudayaan. Kebudayaan dalam
wujud ini bersifat abstrak. Dan hanya dapat diketahui dan dipahami
setelah ia mempelajarinya dengan mendalam, baik dengan wawancara
intensif atau dengan membaca literatur yang sudah ada. Kebudayaan
dalam wujud gagasan juga berpola berdasarkan sistem-sistem tertentu
yang disebut sistem budaya.
4. Bagian keempat merupakan bagian yang terdalam, merupakan gagasan-
gagasan yang telah dipelajari oleh para warga suatu kebudayaan sejak
usia dini dan karenanya sukar diubah. Istilah untuk menyebut unsur-
unsur kebudayaan yang menjadi pusat dari semua unsur yang lain
18
adalah nilai-nilai budaya, yang menentukan sifat dan corak dari pikiran,
cara berfikir, serta tingkah laku manusia sebuah kebudayaan.
Tiga kategori dari Honingmann, yaitu gagasan, tindakan dan artefak,
dijadikan landasan/pedoman kategorisasi buku ajar Bahasa Inggris SMP dalam
penelitian ini dengan didukung oleh kategorisasi dari Koentjaraningrat.
19
BAB IIIMETODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Sejalan dengan topik dan tujuan penelitian ini, maka jenis pendekatan yang
digunakan adalah research and development (R&D). Alasan penggunaan metode
R&D dalam penelitin ini adalah untuk mengatasi adanya kesenjangan antara hasil-
hasil penelitian dasar yang bersifat teoritis dengan penelitian terapan yang bersifat
praktis. Seperti dikatakan oleh Gall, Gall dan Borg (2003: 570-573), R & D
adalah sebuah proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi
produk pendidikan yang meliputi materi, prosedur dan proses. Langkah-langkah
yang akan dilakukan mengikuti tahapan umum dalam penelitian R &D yaitu
pengembangan, uji coba, revisi, uji coba kembali dan diseminasi.
Produk yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki karakteristik-
karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut merupakan perpaduan dari sejumlah
konsep, prinsip, asumsi, hipotesis, prosedur berkenaan dengan sesuatu hal yang
telah ditemukan atau dihasilkan dari penelitian dasar. Menurut Sukmadinata
(2005: 166), penelitian tentang fenomena-fenomena yang bersifat fundamental
sosial humaniora dilakukan melalui penelitian dasar (basic research), sedang
penelitian tentang praktik sosial humaniora dilakukan melalui penelitian terapan
(applied research). Sering dihadapi adanya kesenjangan antara hasil-hasil
penelitian dasar yang bersifat teoritis dengan penelitian terapan yang bersifat
20
praktis. Kesenjangan ini dapat dijembatani dengan adanya penelitian dan
pengembangan (R&D).
B. Partisipan dalam Penelitian
Objek penelitian ini adalah buku-buku ajar Bahasa Inggris yang digunakan
di SMP. Penelitian ini melibatkan 30 guru Bahasa Inggris SMP untuk
mendapatkan data mengenai persepsi mereka tentang pendidikan multikultur
dalam pengajaran dan buku ajar, serta pendapat tentang cara insersinya dalam
praktek pembelajaran di kelas. Berdasarkan angket yang disebarkan kepada guru-
guru Bahasa Inggris SMP, baik peserta FGD maupun guru Bahasa Inggris
lainnya, buku yang diteliti adalah 7 buku ajar Bahasa Inggris SMP kelas VII (2
buku BSE, 2 buku dari penerbit Erlangga, 2 buku dari penerbit Yudistira, dan 1
buku dari Tiga Serangkai). Sedangkan guru yang terlibat dalam FGD adalah para
guru Bahasa Inggris SMP dari 5 kabupaten se-propinsi DIY (dengan wakil setiap
kabupaten, 2 atau 3 sekolah, masing-masing 2-3 guru Bahasa Inggris), dan 10
guru SMP Bahasa Inggris se-Kalimantan Selatan yang sedang menempuh
pendidikan S2 di Pascasarjana UNY. Penelitian ini juga melibatkan pakar budaya
yang merupaka staf pengajar di FBS UNY.
C. Metode Penelitian
Dalam pelaksanaan R&D ini ada beberapa metode yang digunakan, yaitu:
deskriptif dan evaluatif. Metode penelitian deskriptif digunakan dalam penelitian
awal untuk menghimpun data tentang kondisi yang ada. Metode penelitian
21
evaluatif digunakan untuk mengevaluasi proses uji coba pengembangan suatu
produk. Metode penelitian eksperimen digunakan untuk menguji keampuhan dari
produk yang dihasilkan. Pada tahap deseminasi, model pengembangan modul
pembelajaran bahasa Inggris untuk SMP berbasis multikultur diimplementasikan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan menggunakan FGD (Focus Group Discussion)
untuk mengetahui teknik, saran, pengalaman dan pendapat guru tentang penerapan
muatan budaya lokal dalam pembelajaran Bahasa Inggris di SMP dari para guru
pengampu Bahasa Inggris. Selain itu, data utama tentang pola insersi budaya
asing didapatkan dengan menganalisis muatan (content analysis) buku-buku ajar
Bahasa Inggris yang banyak digunakan di SMP. Instrumen yang digunakan adalah
pedoman FGD dan pedoman dokumentasi data, serta foto dan rekaman sebagai
pendukung. Bentuk data utama yang dihasilkan adalah transkrip FGD dan kutipan
kata/deskripsi dari materi (content) buku ajar dalam bentuk tabel.
E. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh lebih bersifat kualitatif, berwujud kata-kata. Data dari
FGD dianalisis dengan mengambil pokok-pokok pendapat/saran/pengalaman dan
penerapan budaya dalam pengajaran Bahasa Inggris dan membandingkannya satu
sama lain.
Sedangkan data dari buku-buku ajar Bahasa Inggris SMP dianalisis
dengan mengumpulkan dan mengkategorisasi data, mereduksi, menginterpretasi
Need analysis
Goals and Objectives
Syllabus Design
Methodology/ Material
Testing and Evaluation
22
dan menentukan pola dan kemudian membandingkan hasil tersebut melalui
diskusi antar peneliti.
F. Validitas dan Reliabilitas Data
Dalam penelitian ini, validitas dan reliabilitas data diperoleh dengan
beberapa metode, yaitu, (1) metode pengumpulan data ganda, mencakup FGD,
dokumentasi dan angket; (2) sumber data ganda, meliputi data lisan, tulisan, dan
audiovisual; (3) ketekunan dan kecermatan penelitian, dan (4) diskusi antar
peneliti, yaitu keempat peneliti menganalisis seluruh buku ajar yang diteliti, dan
kemudian membandingkan dan mendiskusikan hasil temuannya.
G. Langkah-langkah Penelitian
Studi ini mengikuti teori pngembangan materi dan langkah umum dalam R & D.
Sebagai dasar pengembangan peneliti mengunakan teori Dublin dan Olstain
tentang course design process seperti dicantumkan dalam Masuhara melalui
Tomlinson (1998: 247). Model tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:
23
Diagram 1. Course Design Model (Masuhara in Tomlinson, 1998: 247)
Peneliti juga mempertimbangkan tahapan utama R & D yang diusulkan
oleh Gall, Gall, and Borg (2003: 570-573) sebagai berikut:
1. Research and information collecting (mengumpulkan informasi dan
penelitian)
2. Planning (membuat perencanaan)
3. Develop preliminary form of product (mengembangkan produk
pendahuluan)
4. Preliminary field testing (uji coba produk pendahuluan)
5. Main product revision (revisi produk utama)
6. Main field testing (Uji coba utama)
7. Operational product revision (revisi produk operasional)
8. Operational field testing (uji coba operasional)
9. Final product revision (revisi produk akhir)
10. Dissemination and implementation (diseminasi dan penerapan)
Dengan mempertimbangkan 2 model R & D, peneliti mengkombinasikan
dan menyederhanakan model. Oleh karena itu prosedur dalam penelitian ini
adalah:
1. conducting a needs analysis ( melakukan analisis kebutuhan)
24
2. writing the course grid ( merancang course grid)
3. developing the first draft (mengembangkan draft pertama)
4. evaluating the first draft (mengevaluasi draft pertama)
5. developing the second draft ( mengembangkan draft kedua)
6. trying-outs (uji coba 1)
7. evaluating the second draft; (mengevaluasi draft kedua)
8. developing third draft (mengembangkan draft ke tiga)
9. Trying outs (uji coba 2)
10. Developing the final draft (mengembangkan draft terakhir)
11. Diseminasi dan implementasi
Tahapan dalam penelitian ini selengkapnya adalah sebagai berikut.
1. conducting a needs analysis ( melakukan analisa kebutuhan)
Tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap studi pendahuluan. Dalam tahap
ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah melakukan studi pustaka dan survei
di lapangan guna mendapatkan: (a) identifikasi buku ajar bahasa Inggris yang
saat ini banyak digunakan di SMP di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta; (b)
identifikasi tingkat pemahaman dan tanggapan para guru tentang insersi budaya
asing dalam buku-bukuajar bahasa Inggris SMP tersebut; (c) identifikasi aspek-
aspek multikultur dan pola insersi budaya asing dalam buku-buku ajar bahasa
Inggris SMP tersebut.
25
Untuk mendapat informasi tentang aspek budaya yang sebaiknya
diketahui siswa peneliti melakukan analisis buku teks dan FGD dengan para guru
Bahasa Inggris SMP. Untuk mengetahui tentang kebutuhan dalam proses
pembelajaran peneliti juga melakukan observasi kelas.
2. writing the course grid ( merancang course grid)
Setelah studi pendahuluan dilakukan, langkah berikutnya adalah merancang
course grid. Setelah mendapatkan hasil dari analisis kebutuhan, peneliti
menggunakan hasil itu sebagai pedoman untuk menyusun course grid yang
meliputi unsur pengetahuan tentang budaya dan bahasa yang harus dipelajari
siswa. Course grid ini merupakan pedoman dalam pengembangan materi. Course
grid ini terdiri dari: aspek budaya, topik tujuan pembelajaran, unsur kebahasaan,
contoh ekspresi, kosakata kunci, input teks, media dan aktivitas pembelajaran.
3. developing the first draft (mengembangkan draft pertama)
Tahap ini merupakan tahap perancangan silabus dan penyusunan draft awal buku
ajar bahasa Inggris SMP yang akan dikembangkan, termasuk di dalamnya sarana
dan prasarana yang diperlukan untuk uji coba dan validasi silabus, alat evaluasi
dan lain-lain. Proses perancangan awal ini menjadikan Course grid sebagai
acuan.
4. evaluating the first draft (mengevaluasi draft pertama)
26
Langkah ini penting untuk dilakukan untuk menjamin bahwa draft awal yang
dikembangkan telah mempertimbangkan kelayakan aspek materi maupun aspek
pembelajaran. Kajian dan evaluasi terhadap draft awal ini dilakukan oleh ahli
materi dan ahli pembelajaran (expert judgment). Langkah ini dimaksudkan untuk
memperoleh masukan dari ahli materi dan ahli pembelajaran tentang draft awal
yang telah dikembangkan. Dengan demikian diharapkan secara prinsip teoretis,
rancangan (draft) awal telah memenuhi syarat.
5. developing the second draft ( mengembangkan draft kedua)
Berbagai saran dan masukan dari ahli materi dan pembelajaran akan digunakan
sebagai pedooman untuk merevisi draft pertama.
6. trying-outs (uji coba)
Tujuan dari tahap ini adalah memperoleh deskripsi latar (setting) penerapan atau
kelayakan suatu model buku ajar dengan meminta pendapat para praktisi
pengajaran bahasa Ingris di SMP dan juga para pakar jika produk tersebut benar-
benar layak dikembangkan menjadi buku ajar bahasa Inggris di SMP. Uji coba
pendahuluan ini bersifat terbatas. Hasil uji coba terbatas ini dipakai sebagai bahan
untuk melakukan revisi terhadap draf buku ajar yang akan dikembangkan.
7. evaluating the second draft; (mengevaluasi draft kedua)
Evaluasi terhadap draft dilakukan berdasarkan hasil dan informasi yang didapat
selama uji coba. Di tahapan ini meliputi pula interview terhadap siswa SMP.
8. developing the third draft (mengembangkan draft ketiga)
Infomasi yang diperoleh dari tahapan sebelumnya diguankan untuk memperbaiki
draft dan mengembangkan draft terakhir.
27
9. (trying-outs ) uji coba lanjut
Tahap ini biasanya disebut sebagai uji coba utama dengan jangkauan yang lebih
luas. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menentukan apakah draf buku ajar yang
baru saja dikembangkan itu benar-benar siap dipakai di sekolah tanpa melibatkan
kehadiran peneliti atau pengembang produk. Pada umumnya, tahap ini disebut
sebagai tahap uji validasi model.
10. Developing the final draft
Tahap ini meliputi pengembangan draft terakhir berdasarkan masukan dan
informasi yang diperoleh pada tahapan sebelumnnya.
11. Diseminasi dan Implementasi
Tahap ini merupakan tahap akhir penelitian.
Adapun keseluruhan tahapan-tahapan penelitian ini secara lengkap, dapat
dilihat pada diagram berikut.
PENGEMBANGAN BUKU AJAR BAHASA INGGRIS SMP BERBASIS MULTI KULTURAL SEBAGAI UPAYA PEMERTAHANAN BUDAYA LOKAL
TAHUN IStudi Pendahuluan, Perencanaan,
Pengembangan, dan Validasi.
Identifikasi Buku Ajar Bahasa Inggris yang digunakan di SMP di DIYIdentifikasi Aspek-aspek Budaya yang ada pada Buku Ajar Bahasa Inggris SMP
Identifikasi Tanggapan para Guru, Siswa dan Orang tua SiswaIdentifikasi Pemahaman Guru dan Siswa serta Orang Tua Siswa tentang Insersi Nilai-Nilai Budaya pada Pembelajaran Bahasa Asing (Analisis Kebutuhan di Lapangan)
Pola/Bentuk Insersi Budaya pada Buku Ajar Bahasa Inggris SMP
Penyusunan Silabus dan draf awal Buku Ajar Bahasa Inggris SMP berbasis Multikultural.Perumusan Tujuan Pengembangan Buku Ajar Bahasa InggrisValidasi oleh Ahli Materi (expert judgment)
TAHUN IIPengembangan Buku Ajar
Bahasa Inggris SMP
Uji Coba Keterbacaan Buku Ajar di Lapangan Terbatas.
Uji Coba Keterbacaan Buku Ajar di Lapangan Luas.
Evaluasi dan Revisi
Model Buku Ajar
Sosialisasi/Desiminasi dan PublikasiModel Buku Ajar
28
29
E. Hasil/Sasaran yang Direncanakan
Penelitian ini merupakan penelitian multitahun tahun pertama. Hasil yang
diharapkan untuk tahun pertama adalah, pertama, identifikasi buku-buku ajar
bahasa Inggris yang banyak digunakan di SMP di DIY. Kedua, identifikasi
tanggapan dan tingkat pemahaman para guru tentang pola-pola insersi budaya
pada pembelajaran bahasa asing. Ketiga, identifikasi aspek-aspek multikultur dan
pola insersi budaya asing yang ada di dalam buku-buku ajar bahasa Inggris SMP
yang banyak digunakan di wilayah DIY. Keempat, menyusun pola-pola insersi
multikultur pada buku ajar bahasa Inggris SMP.
Pada tahun kedua, hasil yang diharapkan adalah pengembangan buku ajar
bahasa Inggris SMP berbasis multikultur dengan memasukkan aspek-aspek
budaya lokal atau budaya bangsa Indonesia sendiri.
30
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAAN
Pada bab ini disajikan hasil penelitian yang telah dilakukan beserta
pembahasannya. Secara umum bab ini dibagi menjadi dua sub bagian yakni:
deskripsi umum hasil penelitian, dan pembahasan tentang pola insersi budaya
pada buku ajar bahasa Inggris SMP.
A. Deskripsi Umum Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan awal dan komunikasi informal dengan
guru-guru di sekolah, dan mahasiswa prodi Pendidikan bahasa Inggris yang
sedang melakukan KKN-PPL di sekolah pada semester khusus Tahun Akademik
2010/2011 teridentifikasi tujuh judul buku ajar Bahas Inggris yang dipakai
sebagai sumber bahan belajar di SMP utamanya kelas VII di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Ketujuh buku ajar inilah yang kemudian dijadikan sampel
penelitian ini. Ketujuh buku tersebut adalah sebagai berikut.
1. Real Time ( Erlangga)
2. English on Sky (Erlangga)
3. Interactive English (Yudhistira)
4. The Bridge to English Competence (Yudistira)
5. English in Focus (BSE)
6. Passport to the World (Platinum Tiga Serangkai)
7. Scaffolding (BSE)
31
Sementara itu berdasarkan hasil Focus Group Discussion yang
dilaksanakan pada tanggal 11 Juli 2011 di Ruang Cine Club FBS UNY dan
melibatkan 20 orang guru Bahasa Inggris SMP yang mengajar di Wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta dan juga 10 orang guru bahasa Inggris SMP yang mengajar
di propinsi Kalimantan Selatan yang sedang menempuh S2 di Program
Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta diperoleh informasi tentang tingkat
pemahaman guru mengenai insersi budaya asing pada praktik pembelajaran
bahasa asing khususnya bahasa Inggris, dan juga tanggapan mereka akan perlunya
melakukan insersi budaya lokal dan aspek budaya yang diajarkan serta cara
mengintegrasikannya di dalam proses pembelajaran.
Secara umum sebagian besar peserta FGD menyatakan telah
menginsersikan budaya Indonesia dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Komponen
budaya yang dimaksud secara umum dibagi menjadi tiga komponen umum
kebudayaan yakni, cultural knowledge, patterns of behaviours dan cultural
representation. Hasil FGD selengkapnya terdokumentasi dalam notulensi FGD
yang ada pada bagian lampiran laporan ini.
Selain ditujukan untuk mengidenfikasi tingkat pemahaman dan pendapat
guru tentang insersi budaya dalam pembelajaran bahasa Inggris, penelitian ini
juga bertujuan untuk mengidentifikasi aspek-aspek multikultur dan pola insersi
budaya asing yang ada dalam buku-buku ajar bahasa Inggris SMP tersebut.
Berdasarkan pembacaan pada ketujuh buku ajar Bahasa Inggris yang
dijadikan sampel penelitian ini berhasil teridentifikasi aspek-aspek multikultur
dan juga komponen-komponen budaya yang diinsersikan pada materi
32
pembelajaran bahasa Inggris, baik yang berupa budaya Indonesia maupun budaya
barat, yang utamanya diwakili oleh budaya Amerika.
Berbicara mengenai aspek-aspek multikultur, dalam ketujuh buku yang
dijadikan sampel penelitian ini ditemukan beberapa aspek multikultur, utamanya
yang terkait dengan aspek gender, ethnicity, race, dan culture. Aspek gender
(perbedaan jenis kelamin) ditunjukkan dengan adanya pemakaian model gambar
untuk ilustrasi maupun nama-nama orang yang digunakan dalam teks bacaan yang
mewakili kedua jenis kelamin, yakni laki-laki dan wanita. Sementara itu, aspek
ethnicity dan race ditunjukkan misalnya dengan: 1) penggunaan nama-nama orang
yang berasal dari suku bangsa yang berbeda, baik yang ada di Indonesia maupun
yang ada di luar Indonesia, seperti dari India, Jepang, Jerman, dan Indonesia
(misalnya penggunaan nama Hans, Butet, Made, Wisnu, Alice, dan sebagainya);
dan 2) teks dan gambar tentang makanan khas satu negara (seperti, pasta, pizza,
fried rice (yang dikenal sebagai nasi goreng dalam budaya Indonesia).
Dari keempat aspek multi kultur tersebut aspek budaya (culture) lah yang
paling dominan. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat sampel penelitian ini
adalah buku ajar bahasa (yang dalam hal ini buku ajar bahasa Inggris SMP).
Ketika berbicara mengenai bahasa tentu tidak bisa dilepaskan dengan
perbincangan mengenai budaya, mengingat bahasa merupakan bagian dari budaya
seperti halnya pernyataan Foley (2001:19) bahwa, “ Language is often treated
theoretically as a sub system of culture… . Oleh karenanya mengajarkan bahasa
tidaklah mungkin dilakukan tanpa disertai dengan mengajarkan budaya
masyarakat penuturnya seperti halnya ungkapan Brown dalam Richards and
33
Renandya (2002: 12) bahwa “whenever you teach a language, you also teach a
complex system of cultural customs, values, and ways of thinking, feeling, and
acting”. Oleh karena itu aspek multikultur yang berupa aspek budaya (culture) lah
yang kemudian menjadi fokus pembahasan dalam bab ini. Berikut adalah 2 tabel
yang menunjukkan gambaran umum aspek budaya yang teridentifikasi dari
ketujuh buku ajar bahasa Inggris tersebut, yang secara umum dapat dikategorikan
menjadi tiga komponen utama budaya yakni cultural knowledge/belief, patterns of
behaviour, dan cultural representations.
Tabel 1. Insersi Budaya Barat pada Buku Ajar SMP
Wujud InsersiKomponen Budaya
Keterangan HalamanCultural Knowle
dge (CK)
Patterns of
Behaviors (PoB)
Cultural Representations
(CR)
1. Real Timea. Gambar 2 12 10 CK=19
PB=1,3,8,16,19,30,70,72,8 6,116,123
CR=0,16,38,40,59,100,109,112, 115
b. Tulisan 4 17 12 CK=14,68,17,19,52,115PB=2,17,23,25,33,46,52,63,87,88,89,98,106,115,125,1
26CR=2,16,19,40,41,56,59,6,
77,88,1131492. English on
Skya. Gambar 0 10 4 CK=0
PB=24,29,47,95,100,104,1 12,14
CR=112,120,142,148b. Tulisan 2 27 19 CK=24,81
PB=22…183,15,2,24,26,28,60,78,81,
83,86
34
CR=22…83,26,783. The Bridge of
English Competence for SMP grade VIIa. Gambar 11 21 32 CK=23,22, 24
PB=64, 27, 6,74, 100CR= 28,33, 29, 83, 31, 32, 34, 35
b. Tulisan 56 6 23 CK= 14,26,63,82, 115,19, 21 22,25,PB= unit 1, 8, 87, 21,33CR= 3,113,41,10
4. Interactive English Junior High Schoola. Gambar 2 24 21 CK=13, 17
PB=26,34,31,4,6,55,58CR=1,28,29,8,14,89,85,7,85,89
b. Tulisan 5 24 13 CK= 13,17,25PB=6,27,1CR=85,89
5. English in Focusa. Gambar
7 2 0
CK=74,103,107,116PB=74,140,148CR=0
b. Tulisan5 0 0
CK= 8,10,11,116,140
6. Passport to the Worlda. Gambar 0 1 0 PB=115b. Tulisan
11 0 0
CK=3,8,9,16,34,35,51,53,65,84,89
7. Scaffoldinga. Gambar
0 20 2PB=111,112,114,115,119CR=102,107
b. Tulisan3 1 0
CK=4,60,30,72PB=14
JUMLAH 108 165 136
35
Tabel 2. Insersi Budaya Indonesia pada Buku Ajar SMP
Wujud InsersiKomponen Budaya
Keterangan HalamanCultural
Knowledge
Patterns of
Behaviors
Cultural Representation
s1. Real Time
a. Gambar 0 3 0 PB=12,17,21b. Tulisan 0 2 13 PB=17,114
CR=2,3,4,16,17,23,29,32,44,51,53,99,112
c. English on Skya. Gambar 0 14 5 PB=3,4,5,8,29,36,40,42
,95,107,146,149,156,160
CR=107,121,146,150,160
b. Tulisan 2 57 46 CK=16,20PB=2…186,16,20,42,43
,45,61,62,74,86CR=2,3,4,5,6,7,8,10,14,15,20,28,29,34,40,…186
3. The Bridge of English Competence for SMP grade VIIa. Gambar 0 13 109 CK= 0
PB= xii, 99, 16, 66, 76,117CR=33,67,55,82,83,84,93, 31, 34,33 ,51,111, 112, 117,121,120, 51,17,32,76,14,11,13,85,89,90,13,23,24,29,31,32
b. Tulisan 0 41 233 CK= 0PB=5,64,33,41,42,66,48,55CR=89,19,9
36
4.Interactive English Junior High Schoola. Gambar 0 12 79 CK= 0
PB= 1,2.31.32.3.49.26.55.85.86.89CR=33, 37,39,40,60,50,52,85,86,89,2,36,39,55,57,79,6,7,74,75,76,49
b. Tulisan 6 1 0 CK=41PB=41CR=0
5. English in Focusa. Gambar
1 18 0
CK=43PB=43,47,57,83,97,104,113,118,123,125,126
b. Tulisan6 2 0
CK=13,29,30,73,43,75PB=43,113
6.Passport to the Worlda. Gambar
0 54 4
PB=1,3,4,6,7,8,9,10,1119,21,22,23,29,30,36,37,44,57,59,60,62,133,135,137,143,153CR=37,99,149,137
b. Tulisan6 0 0
CK=102,103,107, 114,105,106
7.Scaffoldinga. Gambar
0 8 3
PB=1,29,30,66,75,120,122,172
CR=35,37,145
b. Tulisan 1 0 0 CK=30,172JUMLAH 22 225 432
Dari kedua tabel diatas bisa disimpulkan bahwa buku ajar Bahasa Inggris
telah ketiga komponen budaya, baik Indonesia maupun barat, dimana budaya
Indonesia mendapat porsi yang lebih besar. Akan tetapi, belum terjadi pemerataan
37
dalam hal komponen budaya yang diinsersikan. Misalnya, untuk budaya
Indonesia, cultural knowledge merupakan komponen yang paling sedikit
diinsersikan. Terkait pola insersi, ada dua pola insersi yang ditemukan, yaitu
implisit (diintegrasikan ke dalam teks/task) dan eksplisit (diwujudkan melalui sub
unit khusus). Adapun pola insersi budaya terbanyak dilakukan secara implisit, dan
seringkali tanpa konteks dan penjelasan yang memadai. Dari kedua tabel diatas
juga bisa disimpulkan bahwa ada dua media insersi yang digunakan dalam buku-
buku ajar tersebut, yaitu gambar dan tulisan.
Deskripsi lengkap mengenai pola insersi yang ditemukan pada ketujuh
buku dan juga pembahasan tentang cara ataupun metode yang digunakan penulis
buku untuk menginsersikan kedua sistem budaya (Barat dan Indonesia) dalam
setiap buku akan dibahas pada sub bagian hasil penelitian dan pembahasan.
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Buku 1
Identitas Buku
Judul : Real Time An Interactive English Course for Junior High School Students Year VII
Pengarang : Nina BatesPenerbitTempat/tahun
::
ErlanggaJakarta, 2007
1. Deskripsi Umum
Buku ini terdiri dari 130 halaman yang terbagi atas tujuh unit. Setiap
unit dari buku ini memiliki judul atau tema-tema tersendiri, yakni Please Call
38
Me Susan, Watch Out!, Friends Forever, My Favorite Things, One at a Time,
The Places You Go, dan Shop Till You Drop. Setiap unit terbagi atas sub-sub
bagian, yakni: Objectives (tujuan) yang hendak dicapai, Warm-Up Activities,
Listening and Speaking Activities (yang didalamnya tebagi lagi atas beberapa
bagian yakni : Useful Expressions dan Vocabulary and Pronunciation), Written
Activities (yang terdiri dari sub bagian: Vocabulary and pronunciation,
Working with Grammar, Cultural Notes, Reading, Writing) dan School Project.
Dalam buku ini juga terdapat bagian tambahan yang diberi nama Did You
Know.
2. Pola Insersi dan Media Insersi Budaya
Secara umum ada dua pola insersi yang ditemukan dalam buku ini yakni
yang dilakukan secara eksplisit maupun implisit. Insersi dilakukan secara
eksplisit ditunjukkan dengan adanya sub bagian dari buku ini yang disebut
dengan Cultural Notes yang utamanya bertujuan untuk mengenalkan budaya
barat. Sub bagian ini ada disetiap unit dari buku dengan tema yang berbeda,
yakni: Foreign Culture (pada bagian ini dijelaskan apa yang sebaiknya kita
lakukan ketika kita bertemu rang untuk pertama kali dan petanyaan-pertanyaan
apa yan boleh kita tanyakan dan juga yang tidak boleh kita tanyakan sesuai
dengan konsep budaya Amerika), Tips for Studying Abroad (yang berisi
penjelasan mengenai hal-hal yang hendaknya dipersiapkan ketika orang ingin
belajar keluar negeri), Bedtime stories ( yang berisi kebiasaan orang Amerika
yang suka membacakan cerita pada anak-anak mereka sebelum tidur), Sport
Leagues (yang berisi penjelasan tentang asalah satu olah raga khas yang ada di
39
Amerika yakni, football ), Barbeque (yang berisi penjelasan tentang tradisi
barbeque yang ada di budaya Amerika), Transportation in America (yang
berisi penjelasan tentang alat transportasi yang umumnya dipakai oleh orang
Amerika untuk bepergian), dan Dining Out (yang berisi tentang penjelasan
kebiasaan dan tradisi makan di restoran di Amerika).
Selain sub bagian ini terdapat pula sub bagian tambahan yang disebut
dengan Did You Know, yang umumnya berisi penjelasan tambahan pada aspek
budaya barat yang hendak dikenalkan atau untuk menjelaskan item grammar
tertentu.
Selain kedua sub bagian ini, insersi budaya barat maupun banyak
dilakukan secara implisit dengan menggunakan gambar-gambar, baik yang
merupakan gambar ilustrasi untuk memperjelas penjelasan ataupun gambar
utama yang digunakan sebagai input text dalam latihan. Gambar-gambar
ilustrasi yang umumnya digunakan menunjukkan adanya superiority budaya
barat dalam buku ajar ini, hal ini dapat terlihat diantaranya pada halaman: 1, 8,
17, 30, 32, 34, 49, 70, 72,75.86, 110,115, 116. Gambar-gambar ilustrasi yang
digunakan menggunakan setting budaya barat, seperti model yang digunakan,
setting tempat dan sikap, meskipun sebenarnya gambar-gambar tersebut tidak
dimaksudkan untuk menjelaskan tentang suatu konsep budaya namun lebih
sebagai ilustrasi penjelasan tentang suatu konsep budaya yang umumnya. Pada
halaman 8 misalnya ada teks yang bertemakan keluarga, dan ada gambar foto
keluarga barat yang dijadikan ilustrasi.
40
Adapun gambar-gambar yang digunakan sebagai sub bagian utama atau
bahkan menjadi input utama dalam buku ini juga banyak yang menunjukkan
adanya dominasi budaya barat, yang secara implisit memberi kesan bahwa
itulah contoh yang terbaik dan benar serta berterima dalam masyarakat.
Contoh-contoh gambar tersebut diantaranya terdapat pada halaman: 3, 16, 17,
19, 34,37,38, 40, 41,59,88, 100, 109,115,123. Padahal bila dikaji lebih lanjut,
banyak dari gambar-gambar tersebut yang menunjukkan kebiasaan yang
kurang sesuai dengan kultur budaya Indonesia. Misalnya, pada halaman 16
digambarkan suasana makan pagi sebuah keluarga asing yang menurut teks
tinggal di Yogyakarta. Gambar tersebut menunjukkan bagaimana sang ibu dan
salah satu anak masih menggunakan piyama dan sedang makan pagi.
Gambar 1. Contoh gambar yang menunjukkan dominasi budaya barat
(Bates, 2007: 16)
41
Gambar yang lain, misalnya pada halaman 34. Pada gambar ini
ditunjukkan suasana kelas dimana guru sedang menerangkan/ menjelaskan dan
salah seorang murid mau bertanya dengan mengacungkan tangan kiri, yang
mungkin merupakan hal yang biasa dilakukan oleh murid di negara barat,
namun bila hal ini dilakukan dalam konteks kelas di Indonesia sepertinya akan
cukup mengundang perhatian dari sang guru. Berikut adalah gambar yang
ditampilkan dalam buku ini.
Gambar 2. Contoh gambar yang menunjukkan budaya barat yang
kurang sesuai dengan budaya Indonesia
(Bates, 2007: 34)
Kejadian yang hampir mirip juga terdapat pada gambar di halaman 115,
yang menunjukkan gambar seorang laki-laki yang sedang membayar untuk
makanan yang dia beli dan dia menggunakan tangan kiri untuk menyerahkan
uangnya. Hal ini tentu saja juga tidak pas dengan konteks budaya Indonesia
42
yang pada umumnya orang akan menggunakan tangan kanannya daripada
tangan kiri untuk menyerahkan uang atau barang lain pada orang lain. Dalam
konteks budaya Indonesia, laki-laki tersebut bisa saja dianggap tidak sopan
atau kurang menghargai si penjual. Berikut adalah gambar yang ditampilkan.
Gambar 3. Contoh gambar yang menunjukkan budaya barat yang
kurang berterima di konteks budaya Indonesia
(Bates, 2007: 115)
Penunjukkan superiority barat juga nampak pada penggunaan ilustrasi
yang seolah menampilkan dua setting budaya, yakni budaya Indonesia dan
Barat. Namun, apabila ditelisik lebih jauh hal tersebut seringkali malah
menunjukkan adanya bias budaya yakni menunjukkan dominasi budaya barat
43
atas budaya Indonesia. Hal ini bisa diamati, misalmya melui gambar ilustrasi
yang ditampilkan dalam buku Real Time ini yakni pada halaman 59 dan
merupakan teks utama atau dijadikan input teks. Berikut adalah gambar yang
ditampilkan.
Gambar 4. Contoh gambar yang menunjukkan dominasi budaya barat.
(Bates, 2007: 59)
Hal-hal tadi sebenarnya hanyalah upaya penulis buku untuk mengenalkan
budaya barat yang merupakan budaya penutur bahasa Inggris, dan hal ini tentu
saja perlu untuk memberi gambaran yang menyeluruh pada pembelajar bahasa
Inggris yang diharapkan tidak hanya mempelajari aspek kebahasaannya namun
juga mempelajari aspek budayanya yang tercermin dari kebiasaan-kebiasaan
masyarakat penuturnya.
44
Akan tetapi, nampaknya hal ini harus tetap menjadi perhatian kita
bersama selaku paktisi dalam pembelajaran bahasa Inggris sehingga
diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman pembelajar dalam hal ini siswa bahwa
contoh yang mereka dapatkan itulah yang terbaik dan layak untuk ditiru. Kita
perlu memiliki dan mengembangkan apa yang disebut dengan cultural
awareness ataupun kesadaran akan budaya sehingga kita menjadi lebih peka
terhadap item-item budaya asing tersebut dan sekiranya ada item budaya yang
kurang sesui dengan budaya kita, kita perlu memberikan penjelasan tambahan
pada para siswa akan konteks yang sesuai dengan budaya kita.
3. Komponen Budaya yang Disisipkan (diinsersikan)
Secara umum ada dua budaya yang disisipkan dalam buku ini, yakni
budaya barat yang diwakili oleh budaya Amerika dan budaya Indonesia, yang
terbagi menjadi tiga bagian utama, yakni Cultural knowledge, Patterns of
Behaviour, dan Cultural Representations. Komponen budaya dari kedua sistem
budaya tersebut namapaknya ingin disisipkan oleh penulis dalam buku ini
walaupun porsi nya tidak seimbang. Budaya barat nampak lebih mendominasi
dalam hal jumlah. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang komponen-
komponen budaya yang ditemukan dalam buku ini.
a. Budaya Barat (Amerika)
(1) Cultural Knowledge
Komponen budaya ini ditunjukkan diantarannya berupa: cara menulis
kata ganti orang pertama tunggal , yakni, ‘I’ yang selalu ditulis dengan
huruf kapital meskipun tidak berada posisi awal kalimat, yakni pada
45
halaman 14, dan 68). Hal ini menunjukkan konsep ‘aku’ yang menjadi
konsep penting dalam pemahaman budaya Amerika. Contoh yang lain
adalah konsep tentang pertanyaan-pertanyaan yang sopan dan tidak
sopan untuk ditanyakan pada orang yang baru saja dikenal (halaman
17). Kemudian, contoh situasi suasana di kelas yang umum di Amerika,
dimana murid dan juga guru tidak selalu harus mengenakan seragam
dan bahkan dalam gambar di halaman 34 ditunjukkan ada salah satu
murid yang mengangkat tangan kiri ketika ingin bertanya, yang
merupakan hal yang lazim dalam pemahaman budaya Amerika
walaupun mungkin akan kurang berterima dalam budaya Indonesia. Hal
senada juga ditemukan pada halaman 115, yang menunjukkan gambar
seorang pemuda menerimauang kembalian dengan tangan kiri. Hal-hal
tersebut merupakan hal yang lazim dan dipandang umum dalam
konteks budaya Amerika.
(2) Patterns of Behaviours
Berbeda dengan cultural knowledge, komponen budaya ini merupakan
komponen budaya yang banyak ditemukan dalam buku ajar ini. Adapun
aspek budaya yang ditemukan diantaranya berupa: konsep penamaan
‘first name, middle name,last name’ (pada halaman 2), nama-nama
yang biasa dipakai untuk menamai orang barat (pada halaman:
2,16,19,40,41,56,59,63,77,88, 113), kebiasaan yang dilakukan ketika
liburan (pada halaman: 23), konsep tentang public dan private school
(pada halaman 25), konsep tentang slumber party (halaman 46),
46
kebiasaan membaacakan cerita pada anak sebelum tidur (halaman 52),
satuan yang digunakan untuk melakukan pengukuran berat (halaman
87), kebiasaan makan di luar ruangan (barbeque) (halaman 89), alat
transportasi yang umum digunakan orang Amerika untuk bepergian
(halaman 106), makanan dan minuman khas Amerika (halaman 112),
dan kebiasaan makan dan tata cara makan di restoran Amerika (125).
(3) Cultural Representation
Komponen budaya yang berupa cultural representation yang
ditemukandalam buku ini diantaranya berupa: nama-nama orang barat
(2,16,19,40,41,56,59,63,77,88, 113), postur orang barat (halaman 16,
38, 40, dan 49), gambar poster film barat (halaman 59), gambar tempat-
tempat umum di Amerika, seperti stasiun kereta, bandar udara, dan lain
sebagainya (halaman 100), makanan dan minuman khas Amerika
(halaman 109, dan 112)
b. Budaya Indonesia
(1) Cultural Knowledge
Tidak ditemukan data mengenai komponen budaya ini yang sesuai
dengan konsep budaya Indonesia.
(2) Patterns of Behaviours
Komponen budaya ini ditunjukkan diantaranya dengan: gambar
petamni yang sedang membajak sawahnya dengan kerbau (halaman
12), kebisaan menyeberang jalan yang dilakukan anak-anak sekolah
47
(halaman 21), dan teks tentang menu makanan Indonesia (halaman
114).
(3) Cultural Representations
Komponen budaya yang berupa cultural represenations paling banyak
ditunjukkan dalam bentuk nama-nama tempat dan orang Indonesia yang
digunakan dalam buku ini (pada halaman 2,3,4,16,17,
23,29,32,44,51,,53,99, dan 112).
Buku 2
Identitas Buku
Judul : English on Sky 1 for Junior High Scool Year VII
Pengarang : Dr. Mukarto, M.Sc., Sujatmiko B.S., S.Pd.,
Josephine Sri Murwani, S.Pd., Widya Kiswara, S.Pd.
Penerbit : Erlangga
Tempat/tahun
terbit
: Jakarta, 2007
1. Deskripsi Umum
Buku ini terdiri dari 202 halaman yang terbagi menjadi tujuh unit.
Setiap unit diberi nama atau judul/ topik tersediri dan dibagi atas tiga bagian
48
utama. Bagian pertama setiap unit disebut dengan On Air, yang berisi kegiatan
Warming Up atau pengenalan topik. Bagian kedua merupakan bagian kegiatan
utama yang dibagi menjadi dua kegiatan utama, yakni Let’s Listen and Talk
yang berisi aktivitas-aktvitas atau latihan yang terkait peningkatan kemampuan
mendengarkan dan berbicara, dan Let’s Read and Write, yang secara umum
berisi empat kegiatan utama, yakni: Let’s build the Field, Let’s Learn the
Model, Let’s Learn to Construct Texts, dan Let’s Construct Texts. Yang
menarik dari buku ini pada bagian/kegiatan utama yakni Let’s Listen and Talk
dan Let’s Read and Write seringkali terdapat sub-bagian tambahan yakni
Grammar Pit Stop, yang berisi penjelasan item grammar yang digunakan pada
seb bagian sebelumnya. Sedangkan bagian terakhir setiap unit ada semacam
kegiatan untuk pengayaan yang diberi judul berbeda-beda sesui dengan topik
unit yang diacu.
2. Pola Insersi dan Media Insersi Budaya
Secara umum buku ini tidak kalah menarik dengan buku yang pertama.
Namun ada satu perbedaan mendasar antara buku ini dengan buku yang
pertama, terutama dalam hal cara menginsersikan aspek budaya baik budaya
barat maupun budaya indonesia. Kalau dalam buku yang pertama terdapat ada
dua cara insersi yakni dengan cara eksplisit dan implisit, dalam buku ini
banyak digunakan cara implisit dengan cara menyisipkan konsep-konsep
budaya barat dalam gambar maupun teks yang digunakan.
3. Komponen Budaya yang Disisipkan (diinsersikan)
49
Adapun konsep-konsep budaya yang dikenalkan utamanya berwujud
cultural behavors yang ada di kedua sistem budaya, yakni budaya Barat dan
Indonesia. Konsep-konsep budaya tersebut diantaranya ditunjukkan dengan:
cara mengenalkan diri (halaman 15, 20), waktu kegiatan baik menurut budaya
barat maupun budaya Indonesia (halaman 60,61-62), kebiasaan berpakaian
(misalnya pada halaman 5,13,20,148), pesta (163).
Dalam buku ini secara implisit menunjukkan konsep/ide dan praktek
budaya yang biasa dilakukan untuk melalui gambar ataupun teks. Untuk
konsep tentang mengenalkan diri, misalnya dalam buku ini ditunjukkan dengan
melalui teks percakapan yang disertai ilustrasi dan inti percakapan adalah
tentang mengenalkan diri. Pada halaman 15 digunakan gambar kartun yang
menunjukkan dua orang tengah berkomunikasi dan ada teks pendek yang berisi
ungkapan/ekspresi yang diucapkan untuk mengenalkan diri. Adapun pada
halaman 20 berupa percakapan dua orang yang yang disertai ilustrasi foto
seorang murid perempuan yang sedang mewawancarai seorang murid laki-laki.
Percakapan dan gambar pada halaman 20 ini selain menunjukkan ekpresi yang
lazimnya digunakan orang barat menanyakan nama juga disertai dengan
pengenalan kebiasaan orang barat yang suka mengeja namanya, mskipun
dalam percakapan ini yang melakukan adalah siswa Indonesia. Kebiasaan
mengeja nama memang hal yang bisa dalam konteks budaya barat, meskipun
harusnya konteks percakapan tersebut tidak sepenuhnya benar.
Adapun mengenai konsep waktu, dalam buku ini ditunjukan kebiasaan
orang barat yang memulai aktifitas di sekolah pada pukul 9 dan juga
50
dikenalkan konsep waktu dalam konteks budaya Indonesia dimana umumnya
orang bangun pagi kira-kira pukul 5 dan aktifitas sekolah umumnya dimulai
pada pukul tujuh pagi. Sama halnya dengan konsep pengenalan diri dan konsep
waktu, untuk konsep tentang cara penulis buku ini juga menunjukkan adanya
kebiasaan berpakain pada konteks kedua sistem budaya. Namun, untuk konsep
tentang pesta, buku ini hanya menunjukan contoh suasana pesta yang lazimnya
ada di konteks budaya barat dan bukan budaya Indonesia.
Selain memuat pesan, tentang konsep dan pola kebiasaan berbudaya
tersebut, ternyat dalam buku ini juga tersirat adanya superiorty pada salah satu
budaya tertentu. Superiority pada budaya barat misalnya ditunjukkan dengan
adanya perbandingan yang tidak seimbang dalam hal jumlah gambar maupun
substansi dari gambar. Hal ini misalnya dapat dilihat pada contoh kegiatan
pada halaman 86 yang menunjukkan kegiatan yang bertemakan Talking about
Jobs. Berikut adalah gambar yang digunakan sebagai input teks pada kegiatan
latihan tersebut.
51
Gambar 5. Gambar yang menunjukkan dominasi budaya barat.
(Mukarto, dkk. 2007: 86)
Gambar tersebut menunjukkan dominasi barat terhadap Indonesia, hal itu
ditunjukkan dengan jumlah gambar yang lebih banyak diwakili oleh model barat
yakni berjumlah 14 sedangkan model yang berpostur Indonesia hanya dua dan itu
pun digunakan untuk model pada profesi anggota polisi dan yang satunya adalah
petani.
52
Superiority barat juga dapat dilihat pada halaman 120-121. Pada kedua
halaman ini ditampilkan gambar-gambar yang digunakan untk memberi ilustrasi
pada aktifitas terkait pengucapan vokal (æ) dalam bahasa Inggris. Diantara
gambar-gambar tersebut ada gambar foto artis Indonesia yang berpostur gemuk
yang digunakan untuk menunjukkan kata fat sedangkan untuk kata happy
digunakan model yang berasal dari barat. Kedua hal ini menunjukkan masih
adanya kesan superiority budaya barat yang diwakili oleh Amerika atas budaya
timur, yang dalam hal ini diwakili oleh Indonesia.
Melampaui semua deskripsi tersebut buku ini cukup memberikan porsi
yang cukup adil akan munculnya aspek-aspek budaya Indonesia yang mencoba
untuk disandingkan dengan aspek-aspek budaya barat yang ditampilkan.
Buku 3
Identitas Buku
Judul : The Bridge English Competence for SMP Grade VIIPengarang : Kistono, Ismukoco, Albert Tupan, Esti Tri AndayaniPenerbit : YudhistiraTempat Terbit : IndonesiaTahun Terbit : Juli, 2006
1. Deskripsi Umum
Judul lengkap buku ini adalah The bridge English Competence for SMP
Grade VII, ditulis oleh Kistono, Ismukoco, Albert Tupan, Esti Tri Andayani,
diterbitkan oleh Yudhistira tahun 2006 di Indonesia. Buku ini terdiri dari 7 unit
yang masing-masing mengusung tema tertentu yaitu: Personal Life (1), School
Life (2), Family Life (3), Professions (4), Hobbies (5), Things Around Us (6),
53
Shopping (7). Di awal setiap unit terdapat bagian introduction dan learning
objectives beserta kerangka umum unit tersebut. Di setiap bab, 4 keterampilan
utama mendapat porsi tersendiri dengan urutan: listening, speaking, reading dan
writing. Chat Room adalah sebuah bagian dari unit buku yang lebih fokus pada
latihan komunikasi sedangkan Grammar Help adalah untuk untuk penjelasan
grammar. Ekspresi yang dicakup dalam buku ini adalah : How to greet and
introduce someone, How to give command, How to say sorry, Expression of
agreement and disagreement, How to thank people, Asking time, Asking and
giving factual information, How to express of politeness, Asking and giving facts,
Asking for clarification, Expression of like and islike, Asking and giving opinion,
Asking and offering a favor, dan How to offer something. Selain ini, buku ini
dilengkapi pula dengan petunjuk penggunakan (How to use this book). Total
jumlah halaman adalah 152. Buku ini juga memiliki unsur pelengkap seperti
What’s up, Rrivial quiz, Note, Quizz on personal life yang muncul di setiap unit.
2. Pola insersi dan Media Insersi Budaya
a. Pola Insersi
Secara umum pola insersi budaya yang ada di dalam buku ini disampaikan
secara implisit melalui tulisan dan gambar. Budaya Indonesia dan asing yang sam-
sama dimunculkan di dalam buku ini. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut
tentang kedua media insersi tersebut.
b. Media insersi
1) Budaya Barat
a) Gambar
54
(1) Cultural Knowledge
Salah satu aspek CK yang diinsersikan adalah aturan sekolah
(halaman 23,22, 24) sebanyak 11 item. Aturan ini berisi perintah dan
larangan yang sekaligus bisa dikatakan sebagai norma yang berlaku di
lingkungan sekolah. Contohnya adalah larangan merokok disekolah,
larangan memakai kaos, larangan memakai sendal jepit, anjuran
membuang sampah pada tempatnya dan menjaga kebersihan lingkungan,
dan menempatkan buku di rak buku.
(2) Pattern of Behaviour
(a) Makan di luar ruangan (pesta kebun)
Di halaman 27 terdapat gambar 2 keluarga Inggris yang tengah
menikmati makan di luar ruangan. Mungkin pula itu adalah sebuah
moment pesta kebun sederhana. Pesta kebun atau garden party sering
dilakukan di budaya Inggris pada momen-momen tertentu dimana
mereka membawa meja makan ke luar ruangan untuk digunakan
untuk tempat menghidangkan makanan.
(b) Tegur sapa dan perkenalan (menjabat tangan)
Tegur sapa (greeting) adalah salah satu budaya unik di Inggris. Begitu
pula dengan perkenalan. Untuk 2 momen ini ada aturan budaya
tertentu yang berlaku dan berbeda dengan budaya lainnya. Misalnya
wajib bagi orang yang disapa untuk menjawab sapaan juga membalas
perkenalan karena jika tidak bisa dianggap tidak sopan atau kasar.
Dua momen sosial ini juga sering disertai momentum berjabat tangan.
55
Di dalam buku ini terdapat gambar orang saling berjabat tangan dalam
konteks perkenalan.
(c) Belanja di mall/departement store
Buku ini memperlihatkan bagaimana 2 wanita berpostur dan
penampilan asli Eropa berbelanja di mall. Kebiasaan untuk berbelanja
di mall sebenarnya bukan saja milik kebudayaan Inggris.
(d) Hobi
Setiap manusia kebanyakan memiliki kegemaran atau hobi. Buku ini
di halaman 74 memuat gambar aktivitas beberapa orang berpostur
Eropa (Inggris) tengah melakukan hobi mereka, misalnya bermain
musik, berenang,berkebun, bermain game dan lainnya. Disamping
gambar bagian ini juga dilengkapi tulisan. Perihal hobi ini juga
merupakan fenomena sosial dalam sebuah kebudayaan.
(3) Cultural Representation
(a) Bangunan dan ruangan
Pada halaman sampul, buku ini memuat gambar rumah dan jembatan
dengan pepohonan yang meranggas di sekitarnya. Gambaran pohon
yang gugur selurih daunnya ini seperti menunjukan kondisi
lingkungan pedesaan di Eropa begitu pula model jembatan yang
ada. Di halaman 47 terdapat wanita Eropa tengah duduk di ruang
kerjanya, seorang guru mengajar beberapa siswa si ruang kelas, juga
pegawai pos yang berpose di depan sebuah gedung. Pada halaman 29
terdapat bagian-bagian rumah yang mirip nuansa Eropa, akan tetapi
56
ini tidak bisa dipastikan mengingat di era globalisasi ini amat
mungkin orang dari berbagai belahan dunia memiliki desain rumah
yang lazim ada di budaya lain termasuk Eropa.
(b)Perkakas dan Alat
Meliputi alat masak (halaman 31,34,33,51,111,112,117,121,120),
alat transportasi (33, 67,55,82,83,84,93), alat komunikasi,
komputer/IT (halaman 51), alat tulis (halaman 17), perlengkapan
mandi ( halaman 32), alat makan (34,109), alat olahraga (73), alat
kedokteran (halaman 51), alat pertukangan (halaman 51), alat musik
(70,75,82).
(c)Pakaian dan aksesoris
Pakaian dan aksesoris muncul di halaman (11,13,85,89,90,13)
sebanyak 47 kali.
b) Tulisan
(1)Cultural Knowledge
(a) Pepatah
Pepatah atau wise words ini terdapat di bagian akhir unit tertentu
(halaman14,26,63,82, 115) dan muncul sebanyak sebanyak 15
kali.Contoh peribahasa tersebut adalah: Thinking is the hardest
work, many hands make light work, always be smarter than the
people who hire you, travel broadens the mind. Travel is the best
teacher. You win a few; you loose a few, buyer needs a hundred
57
eyes, the seller needs only one, money often cost too much. Jenis
pepatah ini menyesuaikan topik yang ada, misalnya jika topik yang
tengah disajikan adalah shopping maka pepatah yang dipilih adalah
pepatah terkait uang atau belanja itu sendiri. Pepatah merupakan
hal yang ada dalam hampir setiap kebudayaan termasuk Inggris.
Pepatah ini mucul sejak lama dan diwariskan turun temurun dan
sering menjadi keyakinan serta bahan perimbangan seseorang
dalam beraktivitas sehari-hari.
(b) Karakter baik dan buruk
Konsep karakter baik dan buruk ini muncul di halaman halaman
19 dan 20. Contoh karakter yang baik adalah friendly, kind, patient,
dan discipline, sedang karakter buruk misalnya adalah egois,lazy,
ignored dan careless. Karakter baik dan buruk yang dipilih ini
adalah berdasarkan konsep nilai yang berlaku secara universal.
(c) Kesopanan berbahasa
Pada halaman 57 terdapat bagian khusus semacam kolom yang
memuat informasi tentang asek sopan santun dalam berbahasa
Inggris yaitu tentang penggunaan kata please dan modals seperti
could, should dan may.
(2)Pattern of Behaviour
(a) Tegur sapa dan perkenalan (unit 1)
Tegur sapa dan perkenalan adalah 2 peristiwa sosial yang
mendapat perhatian lebih dalam budaya Inggris. Ada semacam
58
aturan bahwa misalnya jika seseorang tidak membalas sapaan maka
akan dikesankan tidak sopan. Dua hal ini menjadi satu unit
tersendiri dan nampaknya mendapat porsi cukup besar mengingat
ini adalah 2 keterampilan sosial yang jadi bekal penting dalam
komunikasi.
(b) Ulang tahun
Kata birthday atau ulang tahun muncul di halaman 8 dan 87.
Birthday ini menjadi salah satu momen penting dalam budaya
Inggris yang seringkali dirayakan dengan pesta tertentu.Tentu saja
cara merayakan hari ulang than di setiap budaya tidak sama.
(c) Pramuka
Kata scouting atau di Indonesia Pramuka, muncul di halaman 21.
Ini merupakan aktivitas yang biasa dilakukan remaja usia sekolah.
(d) Penamaan dan nama keluarga
Penamaan disini termasuk pemilihan nama dalam budaya Inggris
juga cara memanggil sesorang dalam budaya Inggris. Nama
panggilan seperti Mr. Smith, Miss Linda (halaman 6), Margareth,
Anne Frank, (halaman 26) dan banyak lainnya menunjukan
kebiasaan jenis nama yang ada di kebudayaan Inggris. Selain itu,
konsep nama keluarga juga muncul dalam buku ini misalnya The
Taylor family (halaman 33 dan 34).
(3) Cultural Representation
(a) Nama kota
59
Kota Seattle muncul di halaman 10 mewakili informasi geografis
di Amerika.
(b) Mata uang (euro)
Di halaman halaman 113 terdapat ungkapan tentang mata uang
Euro, merepresentasikan mata uang yang berlaku di negara
anggota Uni Eropa.
2) Budaya Indonesia
a) Gambar
(1) Cultural Knowledge
Tidak ada data
(2) Patterns of Behaviours
Selain gambar-gambar karya budaya, buku ini juga menghadirkan
gambar yang merupakan representasi kebiasaan manusia. Hal ini
terlihat pada beberapa gambar yang ada di buku ini.
(a) Fashion
Gambar seorang wanita dengan baju jenis tank top. Tata cara
berpakaan seperti ini kurang sesuai dengan beberapa budaya
lokal Indonesia yang terutama berbasis agama tertentu, namun
hal ini diterima dalam budaya populer Indonesia yang diusung
selebritis. Buku ini secara tidak langsung mengekspos tata cara
berbusana di depan umum yang kemungkinan kurang berterima
di kalangan masyarakat tertentu. Baju batik muncul dalam
konteks seragam sekolah.
60
(b) Berbelanja di toko/mall
Kondisi gambar yang bersetting Indonesia (ada tulisan expo
salon) menunjukan wajah ibu-ibu yang kurang ceria, susunan
barang obralan yang berantakan. Ini kontras dengan gambar 2
wanita asing (bule dan Afro) di halaman sebaliknya yang
berbelanja di mal dengan membawa tas belanja yang sangat
rapi dan indah dan mereka tersenyum lebar.
(c) Kebiasaan sehari-hari khas pelajar Indonesia
Halaman 66 memuat 8 aktifitas yang dilakukan seorang pelajar
Indonesia dan menjadi kebiasaan pelajar Indonesia secara
umum. Aktifitas tersebut disertai pula dengan jam. Disana
terlihat pelajar Indonesia memulai aktifitas lebih pagi
dibanding remaja di negara yang mengadopsi budaya Inggris,
salah satunya.
(d) Bertani/bercocok tanam
Indonesia adalah negara agraris oleh karena itu contoh aktifitas
keagrarisan juga muncul di buku ini sebagai bentuk kebiasaan
orang Indonesia (halaman 76 dan 117).
(3) Cultural Representation
(a) Perkakas dan Alat
Meliputi alat masak (halaman
31,34,33,51,111,112,117,121,120), alat transportasi (33,
67,55,82,83,84,93), alat komunikasi, komputer/IT (halaman
61
51), alat tulis (halaman 17), perlengkapan mandi ( halaman
32), alat makan (34,109), alat olahraga (73), alat kedokteran
(halaman 51), alat pertukangan (halaman 51), alat musik
(70,75,82). Contoh budaya Indonesia yang muncul dalam
bentuk gambar adalah alat memasak pada halaman 34 dan 8.
Salah satu dari gambar itu adalah tungku atau kompor yang
lazim dikenal sebagai kompor minyak tanah dengan sebuah
panci di atasnya. Secara tidak langsung gambar ini
menggambarkan sebuah budaya pengolahan
makanan/minuman di Indonesia. Kompor sejenis ini dipakai
secara masal oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, namun
khususnya di pulau Jawa terutama daerah kota kompor sejenis
ini sudah ditinggalkan masyarakat seiring diberlakukannya
konversi minyak tanah ke gas. Siswa, terutama yang
lingkungan sosialnya sudah menerapkan konversi ini, akan
lebih menjumpai kompor gas dibanding minyak tanah. Gambar
kompor ini menjadi menarik jika dihubungkan dengan
masalah keterwakilan sebuah konsep oleh gambar Pertama
bisa dikatakan bahwa konsep kompor (stove) memunculkan
gambaran yang berbeda bagi beberapa orang. Saat mendengar
kata stove di benak siswa bisa muncul gambar kompor minyak
tanah atau kompor gas. Bahkan sangat mungkin di masyarakat
Inggris, konsep kompor/stove direperesentasikan dengan
62
bentuk sebuah tungku kotak berukuran cukup besar yang bisa
berbakar gas ataupun listrik yang dilengkapi dengam
pemangang/oven. Di Indonesia, khususnya masyarakat umum,
kompor dan oven/pemanggang adalah 2 konsep yang berbeda.
(b) Bangunan dan ruang
Bagunan dan runag yang mewakili Indonesia muncul di
halaman 28,33, 29.
(c) Furniture
Pada halaman 23,24,29,31,32 terdapat gambar furniture
sebanyak 13 jenis.
(d) Pakaian dan aksesoris (11,13,85,89,90,13) sebanyak 47 kali.
b) Tulisan
(1) Cultural Knowledge
Tidak ada data.
(2) Patterns of Behaviors
(a) Kekerabatan
Nama keluarga Indonesia dipakai di dalam buku ini, dan bukan
nama keluarga Eropa. Misalnya keluarga Andi Nugroho dan
Lisa Nugroho (halaman 32-33)
(b) Gelar akademik Indonesia (Sarjana Ekonomi, halaman 48)
(c) Kebiasaan sehari-hari pelajar indonesia41.42, 66
(d) Nama koran Indonesia; Jawa pos (halaman 55)
63
Fenomena yang cukup menarik yang berhasil ditemukan di
dalam buku ini diantaranya adalah dijadikannya budaya Indonesia
sebagai konteks atau framework bagi siswa/penulis untuk
memutuskan jawaban benar atau salah terhadap sebuah aktivitas
pemecahan masalah/latihan. Contoh di di dalam buku The Bridge
English Competence halaman 116 terdapat instruksi dan tabel
berikut:
Task 2 In small groups, complete the table using the correct words of
your own.
Profession Color of uniform
Place of work
Kinds of Work
1 ……….. Grey or brown
….. Teach….
2 policeman …….. In streets Direct…3 …………. White …… Cure…4 Soldier ……. Battle field ….enemies.5 ………. Colourful ………. Serve passengers
in the plane6 Postman ………. From house
to houseDeliver………
7 ……. White and blue
Offices, schools, banks
………
Latihan ini bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk insersi budaya
Indonesia di dalam buku teks. Letak insersinya terlihat dari
petunjuk (clue) untuk jawaban benar. Contoh untuk soal nomor
satu, wana abu-abu dan atau coklat adalah baju khas atau baju
wajib bagi guru di Indonesia, sementara di negara lain, dalam hal
ini English speaking countries, para guru tidak harus berpakaian
64
dengan kedua warna tersebut. Juga pada soal nomor 7, jawaban
yang mungkin diminta dari soal tersebut adalah satpam (security).
Dan seperti diketahui bersama, tidak semua petugas keamanan
berpakaian dengan warna putih dan biru. Jadi dalam mengerjakan
Task 2 ini siswa akan berfikir dengan menggunakan framework
Indonesia. Task ini tidak memberi petunjuk tentang konteks
budaya mana yang harus dipakai untuk melengkapi bagian kosong
tersebut. Bisa saja terjadi nanti siswa memiliki perbedaan jawaban
karena mereka menggunakan seting budaya yang berbeda,
misalnya satu siswa berfikir tentang bagaimana polisi berseragam
di Indonesia (coklat) dan Australia/ Inggris (biru tua dan biru
muda).
(3) Cultural Representation
Tidak ada data.
Buku 4
Identitas Buku
Judul Interactive English Junior High School Grade VII)Pengarang/Penyusun Emalia Iragila S, Iswahyuni, farida ulfa,Maria
Anunsiata, Fitri Hariana OPenerbit YudhistiraTempat Terbit IndonesiaTahunterbit Maret, 2009
1. Deskripsi umum
Buku ini terdiri dari 104 halaman dan 14 Unit. Secara keseluruhan buku
ini terdiri atas halaman sampul, identitas buku, preface, daftar isi,
65
penjelasan/keterangan tentang struktur buku, unit-unit pembelajaran dan
bibliography. Masing-masing unit diberi judul yang berbed-beda yaitu: Getting to
know othes, Friends around the world, It’s all about me,! Feelings, Home sweet
home, What should I buy?, My classroom, Let’s go to school, Obs, Hardworking,
How’s the day, Fashion, Let’s go shopping, It’s show time. Selain bagian
berbentuk unit pelajaran tersebut buku ini jga memiliki bagian review, yaitu
review 1 dan review 2, serta transkrip dari semua aktifitas listening, yaitu bagian
listening transcript.
Setiap Unit dari buku memuliki detail sub unit yang bernama:
pendahuluan (learning goals, grammars), Starting Up, Sub Unit (Activity 1,
Activity 2, Activity 3, works alone), sub unit 2 ( Activiy 1, Activity 2, Activity 3,
Activity 4), dan Reference. Setiap aktvitas yang ada di dalam unit tersebut
dirancang untuk dikerjakan secara mandiri, berpasangan dan berkelompok.
Aktifitas membaca dan menulis diberikan di dalam aktifitas 4 untuk setiap unit.
Bagian reference memberi penjelasan tentang materi yang diajarkan (teori). Buku
ini memiliki banyak sekali gambar. Dari semua gambar beberapa diataranya
merepresentasikan orang dan budaya Indonesia dan non Indonesia. Gambar
orang/figur Indonesia misalnya ada di halaman 1 dan 2.
2. Pola dan media insersi budaya
a. Pola Insersi
Secara umum pola insersi budaya baik asing, termasuk budaya barat, dan
Indonesia dilakukan secara implisit. Berdasarkan data yang ada, budaya yang
dimasukan di dalam buku sebagian besar dilakukan secara implisit. Insersi
66
implisit ini dilakukan baik dengan gambar (visual) dan tulisan. Implisit berarti
aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri dalam sebuah topik khusus
(eksplisit) melainkan disisipkan dalam beberapa topik dan kegiatan yang
relevan (implisit). Sebagai contoh misalnya budaya berpamitan dan bertegur
sapa. Di dalam buku tidak disebutkan secara esplisit atau secara langsung
bahwa bertegur sapa dan berpamitan adalah bagian dari budaya, di dalam buku
ini yang ditampilkan adalah ekspresi-ekspresi yang digunakan saat bertegur
sapa dengan orang yang sudah dikenal maupun belum dikenal. Adanya 2
ekspresi kebahasaan dalam bahasa Inggris itu menyiratkan atau
mengimplikasikan eksistensi sebuah kebiasaan atau behaviour yang diterapkan
di sebuah komunitas. Jika tidak ada 2 budaya itu maka tidak mungkin dikenal
bahasa untuk berpamitan atau bertegur sapa.
Insersi budaya ini mencakup budaya Indonesia dan budaya Inggris.
Karena buku ini adalah buku pelajaran bahasa Inggris, sudah selayaknya jika
budaya Inggris juga menjadi bagian dari pembelajaran ini karena mempelajari
bahasa Inggris tidak akan utuh jika unsur budaya Inggris juga tidak dipelajari.
Insersi budaya Indonesia di dalam buku muncul secara implisit terutama
melalui gambar, contohnya adalah nama berbau Indonesia yang digunakan di
dalam teks, atau nama jalan dan letak geografis lain. Makanan, alat kesenian
atau sistem prilaku khas Indonesia juga muncul di buku ini walaupun porsinya
sedikit. Bagaimanapun siswa perlu tahu lingkungan budaya sekitarnya dan
membandingkan budaya mereka dengan budaya Inggris dimana bahasanya
menjadi target language.
67
b. Media insersi
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pola insersi budaya yang ditemuan di
dalam buku ini cenderung implisit. Insersi implisit ini dilakukan melalui
gambar dan tulisan. Gambar itu sendiri bisa dipilah menjadi dua yaitu gambar
yang memotret benda hasil karya manusia sebagai suatu produk budaya serta
gambar yang memotret representasi sebuah keyakinan atau tingkah-laku yang
diyakini oleh sebuah kebudaan dalam hal ini Indonesia dan Inggris.
1) Budaya barat
a) Gambar
(1) Pattern of Behaviour
Buku ini menghadirkan gambar yang merupakan representasi
kebiasaan atau prilaku manusia. Hal ini terlihat pada beberapa gambar
yang ada di buku ini misalnya gambar orang nonton pertunjukan seni,
gambar makanan khas budaya Inggris, gambar orang barat yang
bersalaman sambil tersenyum dalam konteks perkenalan. Gambar-gambar
tersebut tentu mewakili mewakili hal yang bebeda.
Data menunjukan bahwa sedikitnya ada 4 jenis budaya terkait
prilaku yang diinsersikan di dalam buku melalui gambar yaitu terkait
dengan makanan/minuman dan kebiasaan makan (halaman 26, 34),
kebiasaan berbelanja di toko modern seperti mall/department store
(halaman 34 dan 31), kebiasaan rekreasi di alam (halaman 26), kebiasaan
melambaikan tangan saat berpisah (halaman 4,6).
68
Gambar berikut adalah contoh insersi budaya melalui gambar yang
ada di dalam buku.
(2) Cultural Representation
Budaya adalah hasil cipta, karsa dan karya manusia yang bisa
berwujud karya nyata semacam benda/alat atau artefak juga karya berupa
yang tidak nyata berwujud benda misalnya pertunjukan kesenian atau
olahraga.
Di dalam buku ini representasi budaya barat muncul dalam gambar
bagunan baik bangunan utuh maupun bagian-bagian ruangan (halaman 1,
28 dan 29), gambar bendera yang merupakan simbol negara yaitu the
union flag/jack (8), gambar yang menunjukan kesenian barat misalnya tari
balet (halaman 14, 85 dan 89), serta kesenian berupa musik dan lagu
(halaman 85 dan 89).
b) Tulisan
(1) Cultural Knowledge
Cultural belief ini mencakup nilai baik buruk, keyakinan,
kepercayaan yang besifat konseptual. Contoh aspek budaya yang
menyangkut nilai adalah konsep good and bad habit (halaman 17)
misalnya berolahraga diyakini sebagai habit yang baik, menonton TV
terlalu banyak adalah kebiasaan buruk, makan permen terlalu banyak
adalah kebiasan buruk, makan dengan benar dan sehat adalah kebiasaan
baik, menggosok gigi sebelum tidur adalah hal baik, begadang adalah
kebiasaan buruk. Juga ada proverb (halaman 25) yang berisi
69
perumpamaan tentang keluarga yaitu “family faces are magic
mirrors. .Looking at people who belong to us, we see the past, present
and future” ( Gail Lumet Bukley). Peribahasa ini muncul dan menjadi
keyakinan yang hidup di dalam kebudayaan dimana bahasa Inggris
dipakai sebagai bahasa komunikasi.
(2) Patterns of Behaviors
Salah satu yang menunjukan insersi implisit ini misalnya adalah
gambar chart berteks family chart. Hubungan kekerabatan adalah
juga salah satu aspek kebudayaan. Beberapa tulisan yang ada
merepresentasikan aspek budaya PB misalnya di halaman 27 muncul
istilah brother, daughter, grandmother, nephew dan sebagainya.
Kemunculan istilah-istilah ini sebenarnya menunjukan sebuah sistem
kekerabatan yang ada dalam budaya Inggris. Istilah ini mewakili suatu
budaya lain misalnya pernikahan yang resmi (making family).
Keluarga tidak akan terbentuk tanpa adanya perkawinan.
Istilah extended family dan nuclear family atau keluarga besar dan
keluarga inti merupakan 2 istilah yang lazim digunakan dalam
mendeskripikan sebuah kekerabatan. Aturan kekeluargaan, berikut
hubungan antar anggota kerabat bisa jadi berbeda antara satu budaya
dengan budaya lain. Di dalam buku ini, hubungan kekerabatan yang
dimunculkan adalah extended family. Model kekerabatan seperti ini
lazim berlaku di masyarakat Indonesia. Pada kenyataanya dalam
kebudayaan Inggris atau Amerika dikenal istilah single parent atau
70
child free couple. Misalnya single parent berlaku pada salah satu
pasangan yang tidak menikah tapi memiliki anak dan salah satu
membesarkan anak tersebut; atau single parent yang terjadi juga di
beberapa budaya lain yaitu dikarenakan perceraian atau kematian.
Dalam hal ini konsep kekeluargaan di buku memang hanya mewakili
konsep keluarga “normal” yang lazim ada di kebudayaan Indonesia
maupun Inggris.
(3) Cultural Representations
Representasi budaya muncul secara tertulis dalam bentuk nama.
Nama ini mencakup nama-nama yang lazim dipakai di budaya Inggris
seperti george, John, Charlotte, Darren, Laura, Angela, Bobby,Mary.
Juga nama keluarga seperti Newton dan Webber. Contoh lain adalah
kesenian yaitu lagu Hockey Pockey. Di dalam buku ini teks lengkap
lagu tersebut ditulisakan. Lagu adalah salah satu contoh hasil
kebudayaan manusia dan dalam hal ini siswa di Indonesia
diperkenalkan pada lagu yang diciptakan dan dipergunakan di budaya
Inggris. Lagu yang bercirikan budaya populer juga muncul dalam
buku ini walaupun hanya judulnya misalnya di halaman Misery yang
dipopulerkan Good Charlote, Sweet Escape diyanyikan Gwen Stefani
dan Bye Bye Bye dipopulerkan oleh boyband Nsync (halaman 8).
2) Budaya Indonesia
a) Gambar
71
(1) Cultural Knowledge
Tidak ada data
(2) Patterns of Behaviours
Berbelanja di pasar tradisonal (halaman 31,32), kebiasaan melambaikan
tangan saat berpisah (halaman 3), olahraga (halaman 3,49) , makan
bersama keluarga di rumah (halaman 26).
(3) Cultural Representation
Alat musik gendang
b) Tulisan
(1) Cultural Knowledge
Tidak ada data.
(2) Patterns of Behaviours
Kebiasaan jam belajar di sekolah di Indonesia untuk level SMP adalah
jam 7.30 sampai jam 2.
(3) Cultural Representation
Tidak ada data.
c. Komponen budaya
Komponen budaya yang ditemukan di dalam buku yang dibagi
berdasarkan 3 kategori yaitu Cultural Knowledge (CK), Pattern of Behaviour
(PB) dan Cultural Representation (CP). Budaya yang ditemukan di dalam buku
dibagi menjadi 2 kategori yakni budaya Indonesia dan Non Indonesia (Barat,
khususnya English speaking countries), akan tetapi pada prakteknya pemilahan
72
seperti ini agak sulit dilakukan karena perkembangan zaman dewasa ini
memberi pengaruh pada budaya yang ada di setiap negara. Budaya-budaya
tersebut berinteraksi dan saling mempengaruhi. Pada beberapa aspek
pemilahan budaya berbasis wilayah geografis atau etnis menjadi hal yang sulit.
Misalnya kita tidak tahu apakah benda seperti komputer itu budaya mana, yang
jelas itu adalah salah satu alat hasil budaya yang kini dipakai di berbagai
belahan dunia dan lintas budaya. Begitu pula dengan beberapa makanan seperti
misalnya roti dan keju.
1) Budaya Barat
a) Cultural Knowledge
(1) Peribahasa
(2) Konsep baik dan buruk
Kebiasaan hidup sehat diinsersikan dengan teks dan gambar
(halaman 17). Diantara kebiasaan baik tersebut adalah : do exercise
(olahraga), menyikat gigi sebelum tidur (brush your teeth before sleeping),
Makan dengan benar (eat right). Sedang budaya yang kurang/ tidak sehat
antara lain adalah bergadang (stay up late), makan permen/gula terlalu
banyak (eat too many sweets), dan menonton TV dan main game seharian
(watch TV and play game all the time).
b) Pattern of Behavior
(1) Berterima kasih
73
Budaya berterima kasih secara tersurat disajikan di dalam unit 4
dalam bentuk ekspresi tertulis. Mengucapkan terimakasih saat mendapat
kebaikan atau pertolongan dari orang lain dalam kebudayaan Inggris
adalah simbol kesopanan.
(2) Kekerabatan
Budaya kekerabatan yang diinsersikan di dalam buku ini bukan
sekedar keluarga inti tapi juga keluarga besar. Ini terlihat dari munculnya
beberapa kosakata yang lazim dipakai, contohnya, kakek, nenek, paman,
bibi, sepupu, keponakan. Budaya kekerabatan ini sekaligus juga
menunjukan sistem keluarga. Budaya Indonesia lebih berscirikan extended
family (keluarga besar). Pohon keluarga yang ada di halaman 27
menunjukan skema extended family. Pernikahan dari 2 pasangan yang
masing-masing memiliki nama keluarga misalnya Charles dan Rose
Webber, serta Angela dan Edwin Newton. Sistem nama keluarga ini lazim
dipakai di budaya Inggris, sedang di Inodonesia hanya beberapa tempat
saja yang masih memepertahankan tradisi ini.
(3) Budaya Makan/ minum
Budaya makan dan minum bersama baik di dalam maupun di luar
rumah. Salah satu contohnya adalah budaya meminum kopi di tempat
umum adalah bentuk budaya yang ditampilkan di buku ini, dan yang
meminum kopi tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Selain itu,
74
dalam buku ini terdapat sebuah gambar dimana di salah satu cup / gelas
terdapat merek Starbucks Coffee yang merupakan merek sebuah penyedia
minuman kopi internasional. Ini juga bentuk “kampanye” budaya minum
kopi di kafe Starbucks. Dengan mengkonsumsi kopi di coffee shop,
mereka juga merasakkan bahwa ini adalah gaya hidup “modern”. George
Ritzer (1996) menilai fenomena semacam ini sebagai salah satu ciri dari
McDonaldization of Society. McDonaldization itu sendiri merupakan
sebuah fenomena sosial (dan budaya) yang dimaknai sebagai “the process
by which the principles of the fast-food restaurant are coming to dominate
more and more sectors of American society as well as of the rest of the
world”. Secara tidak langsung penulis buku ini memotret dan
menginsersikan budaya minum kopi di coffee shop dan bukan di warung
kopi selayaknya orang Indonesia kebanyakan.
(4) Jual beli
Budaya jual beli tradisionl dan modern ditampilkan di buku. Jual
beli modern ditampilkan di halaman 82 dan 83. Terdapat teks serta
gambar yang menjelaskan jual beli online dan penggunaan credit card.
Gambar vending machine (halaman 81) juga merupakan representasi
budaya jual-beli dengan menggunakan mesan yang lazim terdapat di
negara barat seperti Korea, Inggris, Jepang.
Berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar lazim dilakukan
kebanyakan masyarakat Indonesia. Di pasar ini terjadi interaksi antara
berbagai orang. Gambar pasar tradisional ini mewakili berbagai
75
fenomena budaya lain. Beragam bentuk budaya ada di pasar misalnya
budaya tawar menawar barang, budaya kuliner, tata cara makan minum,
budaya mengukur berat barang (liter, kilo dll), budaya dan tata krama
jual beli, dan sebagainya. Di dalam buku tampak gambar seorang penjual
yang dikerubuti pembeli; penjual dan pembeli tersebut tampak amat
serius dan tidak ada senyum yang terlihat. Ini kontras dengan gambar di
halaman 34, dimana terdapat 3 gambar situasi tempat jual beli modern.
Di dalam gambar tersebut figur yang muncul adalan non Indonesia dan
mereka tersenyum lebar dan terlihat sangat bahagia. Suasana akrab juga
terlihat dari gambar tersebut.
(5) Penamaan
Disamping insersi dengan bentuk gambar, budaya asing
dinsersikan pula dalam bentuk tulisan. Setiap budaya memiliki
kelompok nama-nama tersendiri. Di Inggris misalnya nama yang lazim
adalah nama seperti John, Alex, Bobby, Darren sedangkan di Indonesia
misalnya Suryono, Linda.
Selain itu, budaya tersebut misalnya adalah kebiasaan mengeja
huruf pada nama. Kebiasaan ini (spelling) lazim dilakukan orang
beberapa budaya terutama budaya orang Inggris. Tulisan dan cara
membaca kata di dalam bahasa Inggris kadang sangat berbeda; oleh
karena itu untuk memastikan ejaan yang benar dari nama orang sering
menanyakan hal ini. Di budaya Indonesia hal ini jarang terjadi karena
tulisan dan cara membaca kata relatif sama.
76
(6) Kesenian
Budaya seni pertunjukan dan film disajikan di unit 14 dan
merupakan satu topik tersendiri. Di halaman 85 terdapat beberapa
gambar yang berisi adegan film produksi Hollywood (Spiderman,
Simba, Hulk) dan pertunjukan musik dan tari luar negeri. Budaya
menari tari balet diinsersikan dalam bentuk gambar gadis dan jejaka
yang menari balet (halaman 85 dan 14). Tari balet adalah tarian yang
bukan berasal dari Indonesia, namun dewasa ini banyak orang
Indonesia yang menjad penari balet. Budaya lainnya adalah seni topeng,
band, koor/paduan suara, tari modern.
(7) Perkenalan dan tegur sapa
Di buku ini gambar orang tersenyum sambil berjabat tangan
muncul dalam konteks perkenalan. Tokoh dalam gambar itu adalah
figur yang secara fisik identik dengan orang Indonesia juga orang non
Indonesia. Budaya tersenyum dan jabat tangan adalah simbol
perkenalan yang ada di budaya Indonesia modern dan Inggris. Di dalam
budaya Indonesia, budaya jabat tangan dilakukan dengan berbagai cara
tergantung wilayah, ada yang dengan dua telapak tangan, ada yang satu
tangan kanan saja. Bahkan ada daerah yang tidak melakukan jabat
tangan langsung saat bersalaman misalnya daerah Jawa Barat dan Aceh.
Akan tetapi dewasa ini budaya jabat tangan ala barat (yaitu dengan satu
tangan kanan) menjadi sesuatu yang lebih lazim dan popoler. Dan
77
mungkin karena itulah model jabat tangan seperti inilah yang
direpresentasikan di dalam buku teks.
Dalam situasi sosial di masyrakat Inggris, seorang pria tradisional
diperkenalkan kepada seorang wanita. Namun, dalam perkenalan dunia
usaha didasarkan pada peringkat seseorang atau posisi dalam sebuah
organisasi. Siapa pun adalah orang tertinggi diperkenalkan kepada
orang lain dalam urutan posisi mereka. Orang di Inggris melakukan
jabat tangan, yaitu ketika pertama kali diperkenalkan kepada orang-
orang baru, namun mereka jarang berjabat tangan saat berpisah.
Dalam situasi informal, ada kalanya mereka berciuman (ciuman sosial)
dan sering hanya kecupan di pipi; ini dapat diterima antara laki-laki dan
perempuan dan juga antara wanita yang mengenal satu sama lain
dengan sangat baik Tetapi jarang dijumpai dua pria Inggris berciuman,
bahkan jika hanya di pipi. Ketika berjabat tangan, seseorang mungkin
menyebut nama mereka tanpa mengatakan "Hallo" atau apa pun. Hal
ini dapat dianggap sebagai sesuatu yang sedikit tidak ramah, tapi itu
tidak dianggap kasar.
(8) Pekerjaan dan sekolah
Gambar jadwal sekolah yang terdapat di halaman
41menggmbarkan bahwa hari aktif sekolah dimulai hari Senin sampai
Sabtu, mulai pukul 7.30. Mata pelajaran yang dipelajari antara lain
78
Agama, PPKN, Bahasa Inggris, Sejarah Ekonomi, Fisika, Sosiologi,
Matematika, Kimia, Olahraga. Geografi, Bahasa Indonesia, Biologi dan
Seni. Jam sekolah di Indonesia dimulai sekitar pukul 07.00 atau 07.30
dan berakhir pukul 14.00. Sedangkan di negara lain sekolah dimulai
sekitar pukul 09.00.
c) Cultural Representation
Di dalam buku ini, mayoritas gambar produk budaya yang
muncul adalah barang/benda kebutuhan manusia sehari-hari baik di
Indonesia maupun di negara berbudaya Inggris. Benda-benda ini disebut
hasil kebudayaan karena mereka lahir atas proses cipta rasa dan karsa
manusia. Era globalisasi dan modernisasi telah membuat barang-barang
yang semula menjadi ciri khas sebuah wilayah dengan mudah didapati di
mana pun. Mayoritas gambar benda hasil budaya yang ditampilkan di
buku ini adalah benda yang dipakai baik oleh masyarakat Indonesia dan
non Indonesia.
(1) Bendera
Di halaman 8 terdapat gambar bendera “the Union Jack” atau “the
Union Flag”. Gambar ini muncul bersama gambar seorang anak bernama
Harry yang berasal dari London. Bendera yang muncul
merepresentasikan hasil atau benda hasil kebudayaan. Bendera Union
Jack ini merupakan simbol bersatunya Great Britain dengan Irlandia.
79
Gambar 6. Bendera the United Kingdom (Iragila dkk, 2009: 8)
Di halaman 49 juga terdapat representasi budaya berupa bendera
Sang merah putih yang merupakan bendera negara Indonesia. Tema dari
unit 8 dimana gambar bendera ini dimuat adalah Let’s go to school.
Dalam hal ini bendera merah putih ini mucul sebagai salah satu benda
yang ada di sekolah (schoolyard).
(2) Bangunan dan Furniture
Di bagian cover muka dan cover dalam, buku ini menampilkan
gambar sebuah banguan khas Eropa dengan sebuah sungai besar yang
mengalir di depannya. Bangunan itu terlihat megah dan kokoh. Lampu-
lampu yang dipasang disekeliling bangunan membuatnya semakin
menarik dan eksotik.
Representasi budaya barat yang tidak mudah dibedakan adalah
bangunan dan bagian rumah (1, 28, 29). Di dalam unit 5B (halaman 28)
terdapat gambar berbagai ruangan di dalam rumah serta halaman. Jenis
representasi budaya khas negara maju misalnya terlihat di gambar kamar
mandi modern (bathtub, closet duduk, dan basin), dapur modern (kulkas,
kitchen set, microwave, kompor gas/oven, kamar tidur dan ruang tamu.
Kamar mandi terdiri dari WC duduk dan bathtub juga wastafel. Di
80
halaman 28 buku ini menampilkan bagian-bagian rumah yang terkesan
sangat modern. Dapur dilengkapi dengan kitchen set yang komplit. Di
sana ada ada kulkas, microwave, kompor gas/listrik dan lainnya. Pada
periode tertentu, model dapur juga kamar mandi seperti ini lazim ditemui
di negara maju di Eropa. Seiring kemajuan zaman dewasa ini model
kamar mandi seperti ini juga marak di Indonesia akan tetapi kalau dilihat
dari asal muasalnya, benda budaya ini berasal dan populer digunakan di
negara maju atau bukan Indonesia.
(Gambar 6. Bathtub dan Wastafel, Iragila dkk, 2009: 28)
(3) Papan penunjuk informasi
Papan petunjuk informasi bertuliskan bahasa Inggris seperti Be
quiet yang diinsersikan di sini jelas menunjukan bahwa ini adalah budaya
Inggris karena bahasa yang digunakan juga Inggris dan notice tertulis
seperti ini juga lazim ada di budaya Inggris.
(4)Fashion
81
Penggambaran budaya cara berpakaian diinsersikan secara
langsung melalui gambar. Fashion menjadi topik tersendiri di unit 12. Di
unit ini terdapat gambar berbagai busana modern yang sedang populer.
Fashion yang ditampilkan diantaranya meliputi pakaian wanita seperti:
gaun pesta, celana jeans, hotpants, T shirt lengan panjang, kemeja kotak-
kotak, hoody, sweater, kaos panjang, gaun pendek, celana panjang, dasi,
jaket kulit, jas resmi, jaket tebal, sepatu bot, sepatu sports, rok mini, gaun
panjang dan sebagainya. Beberapa dari baju tersbut sangat bercirikan
budaya tertentu misalnya Korea dan barat. Di unit fashion ini tidak
dijumpai pakaian khas Indonesia seperti batik.
(5)Kesenian
Tari balet (halaman 14, 89, 85) merupakan tarian khas Eropa, atau
bukan Indonesia, walau tidak terlalu pasti dari mana tarian ini aslinya
berasal.
(6)Perkakas dan Alat
Perkakas dan alat ini meliputi alat rumah tangga, alat kebersihan,
alat mandi, alat tulis, alat kedokteran, alat transportasi, alat
komunikasi/IT, alat musik, alat olahraga.
(7)Makanan
Jenis makanan minuman impor/ barat misalnya terdapat pada
halaman 33: roti, cake, coklat batang, sebotol minuman coke, susu skim
(skimmed milk), butter. Makanan fast food/ makanan cepat saji
82
diinsersikan di dalam buku ini dalam bentuk gambar, misalnya gambar
burger, pizza, coca colla, french fries, orange juice, dan pasta.
2) Budaya Indonesia
a) Cultural Knowledge
Berdasarkan kajian tidak ditemukan data.
b) Patterns of Behaviour
Beberapa kebiasaan yang ada di dalam buku ini misalnya
berhubungan dengan makan bersama keluarga di rumah, bahasa
tubuh, waktud an kebiasaan di sekolah, dan belanja di pasar
tradional.
c) Cultural Representation
(1) Makanan
(2) Perkakas dan Alat
Meliputi alat tulis (37,39,40), kedokteran (halaman 55), komputer
dan IT (halaman 2,36,39,55,57,79,82) berjumlah 7 data, pakaian dan
aksesoris (halaman 67,74,75,76) berjumlah 52 data, alat musik
tradisional gendang (halaman 49), dan bendera merah putih.
(3) Kesenian
Gendang adalah alat musik khas Indonesia. Salah satu insersi budaya
Indonesia dalam bentuk seni tradisional terlihat dalam gambar
seorang pria memainkan gendang (halaman 89).
83
(4) Fashion
Buku ini menampilkan fashion/ gaya berbusana modern yang banyak
diinspirasi negara luar. Kan tetapi pada kenyataannya kita fashion
seperti itu telah diadopsi bangsa Indonesia dan menjadi budaya
keseharian masyarakat Indonesia.
(5) Papan petunjuk
Di halaman 50 dan 52 terdapat simbol-simbol yang bermakna.
Misalnya papan tanda panah yang bermakna belok kanan dan kiri.
Buku 5
1. Deskripsi Umum
Judul : English in Focus 1; for Grade VII Junior High SchoolPengarang : Wardiman, A., Jahur, M.B., dan Djusma, M.S.PenerbitTempat/tahun
::
Pusat Perbukuan, DepdiknasJakarta, 2008
Buku ini terdiri dari 182 halaman yang terbagi atas 8 unit dan dua bagaian
unit evaluasi.. Setiap unit dari buku ini memiliki judul atau tema-tema tersendiri,
yakni What is Your Name?, Things around Us, Let’s Go to School, What Should I
Buy?, Family Life, What Do You Do, Work Out, dan My Hobby.Setiap unit terbagi
atas sub-sub bagian, yakni: Chapter Title, Material You Are Going to Learn in
This Chapter, Listening, Speaking, Reading, and Writin, Follow Up Activity,
Learning Essential, dan Learning Review. Selain itu, ada pula bagian tambahan
berupa UN Challenge, yng berisi soa-soal UN yang relevan, Log On, yang berisi
materi dari Internet, New Horizon, dan Enrich Your Knowledge di setiap unit.
84
2. Pola dan Insersi Insersi Budaya
a. Pola insersi budaya
Secara umum, pola insersi budaya, baik Barat atau Indonesia, yang
ditemukan dalam buku ini adalah pola insersi secara implisit, melalui media
tulisan dan gambar, dan tidak ditemukan adanya pola insersi budaya secara
eksplisit. Dalam buku ini, ada tiga elemen budaya yang diinsersikan, yaitu
cultural knowledge, patterns of behaviors, dan cultural representations.
Berdasarkan data, budaya yang diinsersikan terbanyak adalah budaya Indonesia
(27: 13), berupa patterns of behaviour (19 data), yang disampaikan melalui media
gambar.
b. Media insersi budaya
1) Budaya Barat
Insersi budaya Barat dilakukan secara implisit melalui media gambar (9
data) dan tulisan (4 data) dengan komponen budaya terbanyak berupa cultural
knowledge (7 dan 5) disusul dengan patterns of behaviour (2 dan 1). Sedangkan
komponen cultural representation tidak ditemukan dalam buku ini.
a) Gambar
(1) Cultural Knowledge
Berdasarkan data, gambar merupakan media yang paling banyak
dipakai untuk menginsersikan budaya barat secara implisit, dimana
cultural knowledge merupakan komponen budaya yang paling
sering muncul (7 data). Pada umumnya, gambar-gambar tersebut
ditampilkan untuk mendukung teks/task. Sebagai contoh, pada
85
halaman 74, ditampilkan gambar seorang anak kulit hitam yang
sedang berlari dengan memakai jaket dan celana ketat. Sehingga,
bisa disimpulkan bahwa budaya barat yang diperkenalkan adalah
cara berpakaian ketat/memakai celana ketat untuk olahraga lari.
Budaya ini tidak sesuai dengan kebudayaan dan adat sopan santun
masyarakat Indonesia, dimana pakaian sopan, dan tidak ketat
merupakan norma berpakaian yang berlaku; bahkan, siswa di
sekolah dianjurkan/diwajibkan memakai celana olahraga berbahan
tebal dan tidak ketat.
(Gambar 7. Norma berpakaian, Wardiman dkk, 2008: 74)
Konsep cultural knowledge lain yang diperkenalkan adalah konsep
persons and places (hal. 116), dimana ada tiga gambar wanita dan
pria dan deskripsi tentang pekerjaan dan asal negara mereka, yaitu
Inggris, Meksiko, dan Jerman. Jika ditinjau dari aspek multikultur,
ketiga gambar dan deskripsi tersebut sudah memperkenalkan nilai-
nilai multikulturalisme; namun, juga masih mengindikasikan
86
superioritas benua tertentu, sehingga akan lebih baik jika gambar
dan deskripsi mewakili beberapa benua/negara berbeda, misalnya
Afrika, Asia, Eropa dan Amerika.
Konsep ketiga yang diperkenalkan adalah tentang pekerjaan
(hal. 103 dan 107). Di halaman 103, digambarkan 4 orang barat
yang berprofesi sebagai pemadam kebakaran, pelayan, atlet, dan
sekretaris. Sedangkan halaman menampilkan gambar seorang pilot
berkulit putih dengan teks dialog bertema pekerjaan Mr Fandi
sebagai pilot Garuda Indonesia. Gambar-gambar tersebut belum
menunjukkan multikulturalisme, karena yang ditampilkan hanya
orang-orang barat/kulit putih. Selain itu, gambar-gambar tersebut
juga mengimplikasikan superiority budaya barat terhadap
budaya/orang Indonesia, yaitu gambaran orang barat sebagai orang
keren dengan berbagai pekerjaan yang baik.
(Gambar 8. Persons and places, Wardiman dkk, 2008: 103)
87
(Gambar 9. Profesi-Superiority Barat, Wardiman dkk, 2008: 140)
(2) Patterns of behaviour
Konsep yang diperkenalkan terkait patterns of behaviour yang
diperkenalkan melalui media gambar adalah skateboarding (hal.
140 dan 148), dimana digambarkan bahwa dua orang berkulit putih
sedang bermain skateboarding dengan memakai perlengkapan
keselamatan seperti helm, serta pelindung siku dan lutut. Sehingga
siswa diperkenalkan dengan konsep keselamatan/perlindungan saat
berolahraga skateboarding. Akan tetapi, karena kedua orang
tersebut berkulit putih, hal tersebut mengimplikasikan superiority
budaya barat terhadap budaya/orang Indonesia, yaitu orang barat
sebagai orang modern, dan keren. Selain itu, teks dialog yang
menyertai gambar di halaman 140 tidak sesuai dengan gambar
yang disajikan, dimana teks dialog menggunakan nama orang
88
Indonesia sedangkan gambar berupa orang berkulit putih bermain
skateboard, sehingga terjadi ketidakcocokan gambar dan teks. Hal
tersebut dimungkinkan sebagai upaya untuk lebih menampilkan
budaya Indonesia.
(Gambar 10. Skateboarding-Superiority Barat, Wardiman dkk, 2008: 148)
(Gambar 11. Skateboarding-Superiority Barat, Wardiman dkk, 2008: 140)
(3) Cultural representation
Tidak ada data.
89
b) Tulisan
(1) Cultural Knowledge
Media insersi budaya barat secara implisit lainnya adalah tulisan.
Seperti halnya dalam gambar, cultural knowledge juga
mendominasi komponen budaya yang muncul dalam data. Konsep
budaya barat pertama yang diperkenalkan adalah konsep waktu
menurut budaya barat, yaitu good morning, good afternoon dan
good night (hal. 8), dimana konsep pagi, siang dan sore di negara
barat berbeda dengan Indonesia. Misalnya, di Indonesia, jam 11
pagi, sudah disebut sebagai siang. Namun, pengenalan konsep ini
tidak disertai penjelasan tentang perbandingan konsep waktu
Inggris dan Indonesia sehingga berpotensi menimbulkan
kesalahanpahaman budaya.
(Gambar 12. Konsep waktu, Wardiman dkk, 2008: 8)
Konsep barat lainnya yang diperkenalkan dalam buku ini adalah sistem
sapaan, yaitu penggunaan Mrs/Mr dengan nama belakang untuk menyapa nama
90
orang yang lebih tua/dihormati/tidak dikenal baik. Hal tersebut terlihat dari nama
“Mrs Felix” di dalam teks dialog di halaman 9. Konsep ini sesuai dengan norma
yang berlaku di budaya barat. Namun, konsep ini berpotensi menimbulkan
masalah apabila tidak disertai penjelasan perbandingan budaya yang memadai,
karena konsep sapaan dalam budaya Indonesia adalah menggunakan nama depan,
dengan disertai gelar/sapaan seperti ‘pak/bu/mbak/dsb.’
(Gambar 13. sistem sapaan, Wardiman dkk, 2008: 9)
(2) Patterns of behaviour
Tidak ada data
(3) Cultural representation
Tidak ada data
2) Budaya Indonesia
Insersi budaya Indonesia secara implisit dilakukan melalui media gambar
dibanding media tulisan (19:7). Sementara komponen budaya terbanyak adalah
berupa patterns of behaviour untuk gambar (18 data) dan cultural knowledge
untuk tulisan (6 data).
a) Gambar
91
Berdasarkan data, gambar merupakan media yang paling banyak dipakai
untuk menginsersikan budaya barat secara implisit, dimana patterns of behaviour
menjadi komponen budaya terbanyak yang ditampilkan. Pada umumnya, gambar-
gambar tersebut ditampilkan untuk mendukung teks/task.
(1) Cultural Knowledge
Budaya Indonesia berupa cultural knowledge yang diperkenalkan
melalui gambar adalah konsep kesadaran berlalu lintas (hal 43).
Gambar ini mendukung teks tentang aturan berlalu lintas yang
berlaku di Indonesia. Di dalam gambar, jelas terlihat si pengendara
motor memboncengkan dua orang di depan dan belakangnya, tanpa
mengenakan helm. Hal tersebut merupakan hal yang umum
ditemukan di Indonesia, namun merupakan pelanggaran hukum.
(Gambar 14. Budaya berlalu lintas, Wardiman dkk, 2008: 43)
(2) Patterns of behaviour
Salah satu konsep budaya Indonesia berupa patterns of behaviour
yang diperkenalkan adalah seragam SMP. Dalam buku ini, banyak
disajikan gambar siswa-siswa SMP berseragam putih biru khas
seragam SMP di Indonesia, misalnya di halaman judul, 1, dan 47.
92
(Gambar 15. seragam SMP, Wardiman dkk, 2008: judul)
Budaya Indonesia lainnya yang diperkenalkan dalam buku
ini adalah jilbab/kerudung, seperti di halaman 42, 43, dan 44,
dimana seorang guru wanita mengenakan jilbab/kerudung dengan
style khas muslim Indonesia, yaitu diikat dan dimasukkan ke dalam
baju atasan.
Selain itu, halaman 43 juga memperkenalkan konsep
budaya meminta maaf, dimana seorang siswa menangkupkan
tangan dan menundukkan kepala. Konsep yang diperlihatkan disini
adalah budaya sikap meminta maaf dengan menangkup tangan dan
menundukkan kepala, serta pemakaian jilbab sebagai kebiasaan
wanita Indonesia muslim.
93
(Gambar 16. sikap meminta maaf, Wardiman dkk, 2008: 43)
Konsep Indonesia lainnya yang diperkenalkan adalah cara
berpakaian kepolisian Indonesia, dimana warna seragam, topi, dsb.
yang dikenakan sangat merepresentasikan polisi Indonesia
(Gambar14).
Budaya Indonesia lain yang diperkenalkan melalui gambar
adalah budaya bersanggul, seperti yang terlihat di halaman 32, 83
dan 97. Pada gambar di halaman 83, misalnya, sebuah keluarga
berfoto bersama saat wisuda, dimana sang ibu (tengah, duduk)
bersanggul.
(Gambar 17. Bersanggul, Wardiman dkk, 2008: 83)
Konsep cultural behaviour lain yang diperkenalkan melalui
gambar adalah aktivitas petani Indonesia (hal. 113). Gambar yang
disajikan mendukung teks tentang gambaran dan kegiatan petani
Indonesia sehari-hari. Namun, gambaran ini bisa menyesatkan.
Pertama, petani Indonesia sudah jarang menggunakan kerbau untuk
membajak sawah. Mereka sudah menggunakan traktor/mesin bajak
94
sawah. Kedua, gambar tersebut bisa mengesankan inferioritas
profesi petani, dimana petani digambarkan sebagai orang yang
berkubang dengan lumpur dan kerbau, terlihat kuno/tidak modern
dan berpakaian seadanya.
(Gambar 18. Petani Indonesia, Wardiman dkk, 2008: 113)
Konsep budaya Indonesia lainnya adalah tentang sikat gigi dua kali
sehari. Hal ini terlihat di halaman 118, dimana terdapat gambar dokter
gigi dengan poster besar dibelakangnya bertuliskan “Gigi kuat, bersih,
bersinar” dan “Sikat Gigi 2x Sehari”. Poster semacam ini merupakan
salah satu slogan pemerintah Indonesia dalam membiasakan
masyarakat untuk hidup sehat.
95
(Gambar 19. Poster kesehatan gigi, Wardiman dkk, 2008: 118)
(3) Cultural representation
Tidak ada data
b) Tulisan
Media kedua dalam menginsersikan budaya Indonesia adalah tulisan (8
data) dengan cultural knowledge menjadi komponen budaya terbanyak yang
diperkenalkan.
(1) Cultural knowledge
Konsep budaya Indonesia yang diperkenalkan melalui tulisan yang
tergolong komponen cultural knowledge adalah penamaan jalan
dan tempat (hal. 13, 29, 30 dan 73), dimana di dalam teks, nama
jalan yang digunakan adalah nama jalan yang umum ditemukan di
Indonesia.
96
(Gambar 20. penamaan jalan dan tempat, Wardiman dkk, 2008: 30)
Konsep lainnya yang diperkenalkan adalah pengetahuan tentang
tempat-tempat wisata di Indonesia di halaman 75.
97
(Gambar 21. tempat wisata di Indonesia, Wardiman dkk, 2008: 75)
Selain itu, di halaman 43, diinsersikan konsepbudaya berlalu lintas,
yaitu aturan berkendara dan memakai helm yang disajikan melalui
teks dialog antara polisi dan Mr. Kiemas.
(Gambar 22. budaya berlalu lintas, Wardiman dkk, 2008: 43)
98
(2) Patterns of behaviour
Selain sebagai cultural knowledge, Gambar 22 jua
menunjukkan konsep budaya berkendara dan memakai helm yang
diperkenalkan melalui teks dialog antara polisi dan Mr. Kiemas di
halaman 43 juga merepresentasikan patterns of behaviour; dalam
hal ini, perilaku masyarakat Indonesia dalam berkendara, dimana
banyak dari mereka yang tidak memakai helm, memboncengkan
lebih dari satu, dan sebagainya. Hal tersebut bertentangan dengan
aturan dan norma yang berlaku.
Selain itu, di halaman 113 terdapat teks mengenai deskripsi
kegiatan seorang petani bernama Mr. Kartolo. Teks tulisan ini
memperkenalkan budaya bertani/bercocok tanam ala Indonesia.
Apalagi, hal ini ditunjang oleh gambar berupa petani yang sedang
membajak sawah dengan kerbau, sebuah kegiatan yang sudah
jarang dijumpai di pedesaan, terlebih lagi di perkotaan.
99
(Gambar 23. Budaya bercocok tanam, Wardiman dkk, 2008: 113)
(3) Cultural representation
Tidak ada data.
Buku 6
1. Deskripsi Umum
Judul : Passport to the World 1. Pengarang : Djatmika, Priyanto A.G., & Dewi, IKPenerbitTempat/tahun
::
Platinum/Tiga Serangkai Pustaka MandiriSolo, 2009
Buku ini memiliki 10 unit dan dua bagian evaluasi/semester exam dan
berjumlah 115 halaman. Setiap unit dalam buku ini terdiri dari empat bagian
utama (section), yaitu Listen and Talk, Read and Write, Cooling Down dan Unit
Evaluation. Kedua bagian utama tadi dibagi lagi menjadi sub-sub bagian yang
dimulai dengan Standard of Competetence, Basic Competencies and Course
100
Objectives; Concept Map; Keywords of Unit; Warming Up; Activity; Listening
Practice; Working in Group; Get More; Check the Expression; Grammar Check;
Grammar Practice; Fun Time; Creative Corner; Game; Grammar Summary;
Don't You Know Yet?; Compact Dictionary; Reflection and Evaluation.
2. Pola dan Media Insersi Budaya
a. Pola insersi budaya
Secara umum ada dua pola insersi yang ditemukan dalam buku ini yakni
yang dilakukan secara eksplisit maupun implisit. Insersi budaya dilakukan secara
eksplisit ditunjukkan dengan adanya sub bagian di setiap unit dalam buku ini yang
disebut dengan (1) Wise Words yang berisi peribahasa dalam Bahasa Ingris
beserta penjelasan maknanya, dan (2) Don’t you Know Yet yang berisi kebiasaan
dan pengetahuan terkait seni dan budaya (khususnya barat), Terkadang, budaya
yang diperkenalkan merupakan budaya spesifik suatu negara barat barat, misalny
budaya makan apel sebagai sarapan pagi di Australia, dan pengetahuan tentang
sebutan weakdays dan weekends di Amerika Serikat. Contoh kedua sub bagian
tersebut ada di halaman 112.
101
(Gambar 24. Wise Words dan Don’t Know Yet?, Djatmika dkk, 2009: 112)
Buku ini berupaya menyajikan aspek multikultur melalui informasi budaya
dari beberapa negara-negara berbeda, seperti Australia, Amerika Serikat dan
Jepang. Misalnya, di halaman 89, disajikan perbandingan makna ekspresi “excuse
me-sumi ma sen” dalam budaya Jepang.
(Gambar 24. Excuse Me dalam budaya Jepang, Djatmika dkk, 2009: 89)
Akan tetapi, Namun, terdapat ambiguitas/kerancuan terkait budaya yang
diinsersikan. misalnya informasi budaya sarapan di Australia (hal. 129) dan istilah
102
weekend dan weekdays di Amerika Serikat (hal 112). Kebiasaan memakan apel
tidak hanya ada di Australia. Demikian pula dengan penggunaan istilah weekend
dan weekdays, tidak hanya ditemukan di Amerika Serikat.
(Gambar 25. Budaya sarapan di Australia, Djatmika dkk, 2009: 129)
Selain kedua sub bagian ini, insersi budaya barat maupun Indonesia
banyak dilakukan secara implisit dengan menggunakan gambar-gambar, baik
yang merupakan gambar ilustrasi untuk memperjelas penjelasan ataupun gambar
utama yang digunakan sebagai input text dalam latihan.
b. Media Insersi
Insersi budaya secara implisit, baik Indonesia ataupun barat, dilakukan
melalui dua media, yaitu tulisan dan gambar. Budaya Indonesia lebih banyak
diinsersikan melalui media gambar sedangkan budaya barat banyak diinsersikan
melalui media tulisan.
1) Budaya Barat
Insersi budaya Barat secara eksplisit dan implisit dilakukan melalui media
tulisan dan gambar dengan komponen budaya berupa cultural knowledge melalui
media tulisan (5 data) dan patterns of behaviour melalui media gambar (1 data).
Berdasarkan data, cara insersi terbanyak dilakukan adalah menggunakan media
tulisan, dengan aspek cultural knowledge.
103
a) Gambar
(1) Cultural knowledge
Tidak ada data.
(2) Patterns of behaviour
Dalam buku ini, hanya ada satu gambar yang digunakan dalam
menginsersi budaya barat, dengan aspek cultural behaviour, yaitu
gambar di halaman 115. Budaya yang dimunculkan adalah budaya
berpakaian. Di negara barat, berpakaian kaos/atasan tanpa lengan
merupakan sesuatu hal yang lazim. Namun, kebiasaan tersebut
tidak sesuai dengan budaya Indonesia, dimana berpakaian atasan
tanpa lengan dianggap tidak sopan.
(Gambar 26. Norma berpakaian, Djatmika dkk, 2009: 115)
104
(3) Cultural representation
Tidak ada data.
b) Tulisan
(1) Cultural knowledge
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tulisan
merupakan media yang paling banyak dipakai untuk menginsersi
budaya barat, dengan culural behaviour sebagai satu-
satunyakomponen budaya barat yang diinsersikan.
Sistem sapaan merupakan salah satu konsep barat yang
disajikan dalam buku ini (hal. 3). Namun, konsep tersebut menjadi
rancu karena sistem sapaan ala barat menggunakan nama belakang
setelah Mrs/Mr/Ms/Miss (misal, Mr Purnomo), sedangkan dalam
teks monolog tertulis tersebut, nama depan digunakan setelah “Mr”
(i.e., Mr Andi).
105
(Gambar 27. Sistem sapaan, Djatmika dkk, 2009: 3)
Konsep kedua adalah konsep pengejaan nama (name
spelling, hal. 8). Di dalam teks,yang merupakan budaya barat.
Namun, pengenalan konsep tersebut berpotensi menimbulkan
keracuan karena tidak disertai konteks dan penjelasan yang
memadai, misalnya mengenai kapan name spelling dilakukan.
Lazimnya, pengejaaan nama dilakukan saat mengisi formulir,
pembicaraan lewat telepon dsb. yang membutuhkan si pendengar
106
untuk menuliskan nama si pembicara. Mengeja nama tidak lazim
ditemukan dalam perkenalan.
(Gambar 28. name spelling, Djatmika dkk, 2009: 8)
Konsep waktu menjadi konsep barat lainnya yang
diinsersikan dalam buku ini. Halaman 65, misalnya, menyajikan
konsep AM/PM, sedangkan halaman 105-106 menyajikan konsep
waktu untuk kegiatan rutin sehari-hari, seperti bangun pagi dan
makan pagi. Namun, sebaiknya pengenalan konsep tersebut
menggunakan konteks dan penjelasan yang memadai karena waktu
untuk makan pagi dan bangun pagi bagi orang barat berbeda. Jika
dalam budaya Indonesia, waktu untuk bangun pagi adalah sekitar
jam 4-5 dan makan pagi sekitar jam 6.30 pagi. Sedangkan di barat,
waktu bangun pagi adalah sekitar jam 7-9 dan makan pagi mulai
jam 7.30an.
Teks lain yang digunakan untuk menginsersikan budaya
barat adalah teks tentang ukuran berat dalam pounds (hal. 84).
107
Konsep berat ini tidak lazim digunakan di Indonesia. Di budaya
barat, ukuran berat yang lazim dipakai adalah pounds sedangkan di
Indonesia ukuran berat yang dipakai adalah kilogram dan ons.
Selain itu, konsep budaya ini tidak disertai penjelasan yang
memadai, misalnya tentang perbedaan penggunaan ukuran berat
antara Indonesia dan barat.
Selain memperkenalkan konsep berat, teks tulisan di
halaman 84 juga memperkenalkan konsep birth announcement,
yang merupakan konsep budaya barat, dimana di budaya barat,
lazimnya pernikahan, kematian, dan kelahiran akan diumumkan di
surat kabar. Sedangkan di Indonesia, kelahiran bayi tidak lazim
diumumkan di surat kabar.
(Gambar 29. Konsep berat dan birth announcement, Djatmika dkk, 2009: 84)
(2) Patterns of behaviour
Tidak ada data.
108
(3) Cultural representation
Tidak ada data.
2) Budaya Indonesia
Insersi budaya Indonesia dilakukan secara implisit melalui media gambar
dan tulisan, dimana gambar menjadi media yang paling banyak digunakan, dan
patterns of behaviour menjadi komponen budaya yang paling banyak diinsersikan
melalui gambar, disusul oleh cultural representations. sedangkan temuan budaya
Indonesia yang diinsersikan melalui media tulisan hanya berupa cultural belief.
a) Gambar
Pada umumnya, gambar ditampilkan untuk mendukung teks/task.
Berdasarkan data, gambar merupakan media yang paling banyak dipakai
untuk menginsersikan budaya barat secara implisit, dimana patterns of
behaviour menjadi komponen budaya terbanyak (54 data) yang
ditampilkan disusul oleh cultural representation (4 data).
(1) Cultural knowledge
Tidak ada data.
(2) Patterns of behaviour
Salah satu konsep budaya Indonesia, dengan komponen
patterns of behaviour, yang diinsersikan melalui gambar berupa
kebiasaan pemakaian seragam SMP Indonesia. Konsep ini muncul,
misalnya, di halaman 1, 3, 4, 6 19,21, 24, 22, 23, 62, 153 , 7, 9, 10,
109
11, 30, 36, 37, 59, 60, 143. Di dalam gambar-gambar tersebut,
terlihat anak-anak SMP yang mengenakan seragam putih biru khas
SMP Indonesia.
(Gambar 30. Seragam SMP, Djatmika dkk, 2009: 37)
Konsep budaya Indonesia berikutnya adalah jilbab
(misalnya di hal. 6, 8, dan 57). Di halaman-halaman tersebut,
terdapat gambar guru mengenakan jilbab dengan gaya Indonesia,
yaitu dimasukkan ke baju atasan dan diikat.
Budaya Indonesia lainnya yang diinsersikan adalah budaya
gotong royong, seperti terlihat di halaman 133, dimana beberapa
siswa sedang bersama-sama membersihkan ruangan kelas.
Kegiatan semacam ini sangat lazim ditemukan di sekolah
(Indonesia). Sedangkan di budaya barat, kebersihan kelas biasanya
dilakukan oleh janitor (tukang kebun).
110
(Gambar 31. Gotong royong, Djatmika dkk, 2009: 37)
(3) Cultural representation
Konsep budaya Indonesia, dari komponen cultural representation,
yang diinsersikan melalui gambar adalah batik dan foto presiden
dan wakil presiden serta gambar Pancasila didalam kelas. Di
halaman 99 dan 149, bati kdijadikan alas tidur dan seragam
sekolah. Sementara itu, di halaman 137, ditampilkan foto presiden
dan wakil presiden di dinding kelas beserta gambar Pancasila di
tengah-tengahnya. Penggambaran ini menampilkan ciri khas
budaya Indonesia, dimana landasan negara adalah Pancasila.
111
(Gambar 32. Pancasila, Foto presiden dan wakil presiden, Djatmika dkk, 2009: 37)
b) Tulisan
Budaya Indonesia yang diperkenalkan melalui tulisan dalam buku ini
hanya berupa cultural knowledge. Tidak ditemukan komponen patterns
of behaviour dan cultural representation.
(1) Cultural knowledge
Konsep budaya Indonesia yang diinsersikan melalui tulisan dalam
komponen cultural knowledge terkait waktu, kegiatan sehari-hari
anak Indonesia, misalnya di halaman 102. Waktu-waktu untuk
menjalankan kegiatan yang dituliskan di halaman 102 merupakan
waktu khas Indonesia. Misalnya, bangun jam 4 pagi, makan pagi
jam 6, dsb. sedangkan di negara barat, bangun pagi biasanya jam 7-
an dan sarapan sekitar jam 8.
(2) Patterns of behaviour
Tidak ada data.
(3) Cultural representation
Tidak ada data.
112
Buku 7
1. Deskripsi Umum
Judul ScaffoldingPengarang/Penyusun Priyana, J., Mumpuni, A., & Riandi.Penerbit Pusat Perbukuan DepdiknasTempat/Tahun Jakarta, 2008
Buku ini memiliki 10 unit dan dua bagian evaluasi/semester exam dengan
total 192 halaman. Setiap unit dalam buku ini terdiri dari Lead-In, Lesson Proper
(terdiri dari Focus on Listening and Speaking, dan Focus on Reading and
Writing), Homework, Evaluation, Reflection, Summary, dan Vocabulary List.
Setiap unit dimulai langsung dengan Lead-In tanpa Concept Map, ataupun
Keywords of the Unit. Di setiap unit terdapat Fun Space yang berisi pengetahuan
budaya, tebak-tebakan, anagram dsb., dengan posisi yang berubah-ubah disetiap
unitnya.
2. Pola dan Media Insersi Budaya
a. Pola insersi budaya
Secara umum, dalam buku ini porsi antara representasi budaya barat
maupun budaya Indonesia sudah cukup berimbang, dimana porsi budaya barat
masih sedikit lebih banyak.dibanding budaya Indonesia; namun hal ini bisa
dimaklumi karena buku ini adalah buku pembelajaran Bahasa Inggris. Adapun
pola insersi budaya yang digunakan adalah cara implisit yakni melalui media
gambar ataupun teks/tulisan yang digunakan. Elemen budaya yang diinsersikan
umumnya berupa patterns of behaviors yang ada di kedua sistem budaya. Tidak
ditemukan adanya insersi budaya, baik Indonesia atau barat, secara eksplisit.
113
b. Media insersi budaya
1) Budaya Barat
Berdasar data, media gambar merupakan media insersi budaya barat yang paling
banyak digunakan, dengan elemen budaya terbanyak adalah patterns of behavior.
Tidak ditemukan elemen cultural knowledge dalam buku ini. Sedangkan media
tulisan paling banyak dipakai sebagai media penyampaian cultural knowledge.
a) Gambar
Ada dua elemen budaya yang diinsersikan dengan menggunakan media gambar,
yaitu patterns of behavior dan cultural representations; tidak ditemukan adanya
elemen cultural knowledge.
(1) Cultural knowledge
Tidak ada data.
(2) Patterns of behaviour
Insersi budaya barat berupa penggambaran profesi ada di
halaman 111 dan 112, yang digambarkan berbagai
profesi/pekerjaan dimana orang-orang berkulit putih menjadi
dokter, petani modern, dan guru; orang Cina menjadi manager,
sedangkan orang Indonesia menjadi supir bis. Penggambaran ini
menimbulkan kesan superioritas budaya asing dan inferioritas
budaya/masyarakat Indonesia, yaitu bahwa hanya orang-orang luar
(barat/Cina) yang pantas menduduki posisi tinggi.
114
(Gambar 33. Inferioritas Profesi, Priyana dkk, 2008: 111 dan 112)
(3) Cultural representation
Insersi budaya barat sebagai cultural representation budaya
barat berupa denah/bagian-bagian rumah, (hal. 102 dan 107).
Seperti terlihat pada gambar berikut, di dalam denah rumah
terdapat ruang gallery (ruang display lukisan/gambar), entry/hall
(ruang pas depan pintu masuk), en suite (kamar mandi dan kamar
tidur terhubung satu sama lain) dan rumpus room (ruang hiburan).
Ruang-ruang tersebut tidak lazim ditemukan dalam rumah-rumah
di budaya Indonesia. Umumnya, rumah Indonesia mempunyai
ruang tamu (di budaya Inggris tidak ada ruang tamu), kamar mandi
terpisah dengan kamar tidur; sedangkan ruang hiburan, game,
gallery biasanya menjadi satu di ruang keluarga (living room).
115
(Gambar 34. Bagian-bagian Rumah, Priyana dkk, 2008: 107)
b) Tulisan
Secara umum, unsur budaya barat yang diinsersikan melalui media tulisan
berupa cultural knowledge berupa teks tentang budaya berkenalan, kesopanan
(penggunaan kata ‘please’), dan sistem sapaan (addressing system).
(1) Cultural knowledge
Seperti terlihat di halaman 4, budaya berkenalan ala barat,
khususnya topik yang tidak lazim ditanyakan saat berkenalan,
dinyatakan secara jelas dan eksplisit. Penjelasan semacam ini
memudahkan pemahaman siswa tentang budaya berkenalan dalam
adat barat, sehingga diharapkan mereka bisa menerapkan
pemahaman tersebut saat berinteraksi dengan orang barat.
116
(Gambar 35. Budaya Berkenalan, Priyana dkk, 2008: 4)
Selain budaya berkenalan, budaya lain yang diinsersikan
adalah budaya kesopanan ala barat, dengan penggunaan kata
‘please’ (hal. 60). Penjelasan diberikan secara eskplisit, sehingga
siswa akan lebih mudah memahami budaya tersebut dan
membandingkannnya dengan budaya Indonesia.
(Gambar 36. Kesopanan/penggunaan ‘Please’, Priyana dkk, 2008: 60)
Konsep budaya berikutnya adalah sistem sapaan, yaitu
penggunaan Mrs., dimana seharusnya gelar Mrs. dipakai bersama
dengan nama belakang. Namun, pada insersi budaya sistem sapaan,
117
terdapat kerancuan dimana teks menggunakan aturan sistem sapaan
Indonesia tetapi diterapkan dalam bahasa Inggris, seperti yang
terlihat di halaman 30 dan 172 (transkrip), di halaman tersebut,
seorang wanita disapa menggunakan kata “Mrs Ratna; sedangkan
dalam bahasa Inggris, Mrs dipakai dengan nama belakang orang
bersangkutan.
(Gambar 37. Penggunaan Mrs dalam sapaan, Priyana dkk, 2008: 172)
(2) Patterns of behaviour
Tidak ada data.
(3) Cultural representation
Tidak ada data.
2) Budaya Indonesia
Secara umum, gambar merupakan media insersi budaya Indonesia yang paling
banyak dipakai, sedangkan aspek budaya yang paling banyak diinsersikan adalah
cultural behavior.
118
a) Gambar
(1) Cultural belief
Tidak ada data.
(2) Patterns of behaviour
Tidak ada data.
(3) Cultural representation
Secara umum, gambar yang mencerminkan budaya Indonesia
ditemui dengan penggunaan seragam, latar ruang kelas/sekolah
khas Indonesia. Misalnya di halaman 29, diilustrasikan ruang kelas
SMP, dimana siswa berseragam putih biru sedang mengikuti
pelajaran di kelas. Selain itu, di halaman 35, diperkenalkan budaya
Indonesia (aspek cultural representation), berupa toilet jongkok.
Di Negara barat, bentuk toilet yang umum ditemui adalah toilet
duduk, sedangkan di Indonesia, toilet yang lebih umum ditemukan
adalah toilet jongkok.
(Gambar 38. Toilet jongkok, Priyana dkk, 2008: 35)
119
b) Tulisan
Tulisan sebagai media insersi budaya Indonesia tidak banyak dipakai
dalam buku ini. Komponen budaya yang muncul dalam tulisan hanya berupa
cultural knowledge berupa budaya sapaan, dimana kata “Mrs”, yang sebenarnya
merupakan budaya barat digunakan dengan nama panggilan/nama depan, yang
merepresentasikan budaya Indonesia. Namun, insersi ini tidak disertai penjelasan
dan perbandingan budaya barat-Indonesia sehingga berpotensi menimbulkan salah
paham.
120
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian sebagaimana telah disajikan pada Bab
IV, dan juga sejalan dengan fokus atau rumusan masalah yang telah ditetapkan,
maka kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Dalam praktek pembelajaran bahasa Inggris di SMP di wilayah
Yogyakarta dan sebagian wilayah Kalimantan Selatan, para guru menyatakan
kalau selain mengajarkan bahasa mereka juga mengajarkan budaya baik budaya
barat maupun budaya Indonesia walaupun tidak mencakup semua aspek atau
komponen budaya.
Setelah melakukan pembacaan yang mendalam pada ketujuh buku ajar
Bahasa Inggris yang dijadikan sampel penelitian, diperoleh gambaran umum
aspek multikultur dan komponen budaya yang diinsersikan, cara yang dilakukan
penulis atau penyusun buku untuk menginsersikan komponen-komponen budaya
tersebut, serta media yang digunakan.
Aspek multikultur yang ditemukan, utamanya yang terkait dengan aspek
gender, ethnicity, race, dan culture. Aspek gender (perbedaan jenis kelamin)
ditunjukkan dengan adanya pemakaian model gambar untuk ilustrasi maupun
nama-nama orang yang digunakan dalam teks bacaan yang mewakili kedua jenis
kelamin, yakni laki-laki dan wanita. Sementara itu, aspek ethnicity dan race
ditunjukkan misalnya dengan: 1) penggunaan nama-nama orang yang berasal dari
suku bangsa yang berbeda, baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di luar
Indonesia, seperti dari India, Jepang, Jerman, dan Indonesia (misalnya
121
penggunaan nama Hans, Butet, Made, Wisnu, Alice, dan sebagainya); dan 2) teks
dan gambar tentang makanan khas satu negara (seperti, pasta, pizza, fried rice
(yang dikenal sebagai nasi goreng dalam budaya Indonesia).
Adapun mengenai aspek budaya yang diinsersikan, secara umum aspek
budaya ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga komponen utama budaya yakni
yang berupa: cultural knowledge, patterns of behavior, dan cultural
representation. Pada sebagian besar buku tersebut, penulis lebih cenderung
melakukan insersi dengan cara implisit, yakni dengan mengintegrasikannya
dengan materi kebahasaan adapun sebagian yang lain melakukan insersi dengan
cara eksplisit yakni dengan menampilkan unsur budaya pada salah satu bagian
tertentu dalam setiap unit dalam buku yang mereka susun, yang khusus membahas
tentang budaya atu memberi catatan khusus setiap kali ada komponen budaya
asing yang menyertai materi kebahasaannya. Adapun media yang digunakan para
penulis untuk menginsersikan komponen-komponen budaya tersebut umumnya
adalah media gambar dan teks atau tulisan.
B. Saran
Hasil pembacaan pada buku ajar bahasa Inggris yang digunakan di Daerah
Istimewa Yogyakarta tersebut menunjukkan fakta bahwa selalu ada komponen
budaya yang diinsersikan dalamnya. Oleh karena itu, diharapkan para guru
ataupun praktisi pembelajaran bahasa Inggris hendaknya menaruh perhatian pada
hal itu. Hal ini berarti, para guru diharapkan memiliki apa yang disebut sebagai
cultural awareness, yaitu kepekaan akan komponen budaya apa yang terinsersi
pada materi yang akan mereka ajarkan dan sekaligus diharapkan bisa memberikan
122
tambahan penjelasan pada para siswanya manakala komponen budaya yang
diinsersikan berbeda ataupun bahkan bertentangan dengan budaya Indonesia.
Sementara itu, bagi para pembelajar bahasa asing pada umumnya,
hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa mempelajari bahasa tidak mungkin
terlepas dari budaya masyarakat penuturnya. Hal ini berarti bahwa ketika mereka
mempelajari bahasa asing tentu saja mereka juga mempelajari budaya asing.
Mereka hendaknya menyadari hal itu, dan juga harus mempunyai pemahaman
yang komprehensif tentang budaya mereka sendiri, sehingga tidak terlarut dengan
budaya asing dan melupakan budaya mereka sendiri karena belum tentu budaya
asing tersebut dapat berterima dalam konteks budaya mereka.
123
Daftar Pustaka
Anderson, B. 2002. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Cetakan Kedua. Yogyakarta: INSIST Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Banks, J. A & Banks, C. A. M. (Eds.). 2001. Handbook of Research on Multicultural Education. San Francisco: Jossey-Bass.
Banks, James A & Banks, Cherry A. McGee (2009). Multicultural Education: Issues and Perspectives. 111 River Street, Holoken, NJ USA: John Waley and Sons, Inc.
Bhaswara, R. 2008. “Ideologi, gagasan, tindakan, artefak: proses berarsitektur dalam telaah antropologis”. Jurnal Teori dan Desain Arsitektur Vol. 2 No. 2
Brown, H. D. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy, 2nd Edition. San Francisco: Longman A Pearson Education Company.
Choudhury, N.R. 1998. Teaching English in Indian Schools. New Delhi: APH Pub. Corp.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Foley, W. A. 2001. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers Inc.
Gall, M. D., Gall, J. P., & Borg, R. B. 2003. Educational Research: An Introduction. New York: Allyn and Bacon.
Grant, C. A. & Lei, J. L. (eds). 2001. Global Constructions Of Multicultural Education: Theories And Realities. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Guirdham, Maureen. (2005). Communicating Across Cultures at Work Second Edition. New York: Palgrave. Macmillan.
Kaiser, D. 2005. Pedagogy and the Practice of Science: Historical and Contemporary Perspectives. Massachusetts: MIT
Koentjaraningrat. 1986. “Peranan Local Genius dalam Akulturasi”, dalam Ayatrohaedi, (ed.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
__________.1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan Kedelapan. Jakarta: Rineka Cipta.
Merriam-Webster. n.d. Merriam-Webster’s Learner’s Dictionary. Online resource.link:http://www.learnersdictionary.com/search/textbook%5B1%5D
124
Mesthrie, R., J. Swann, A. Deumer & W. L. Leap. (2009). Introducing Sociolinguistics. Edinburgh: Edinburg University Press.
Peoples, J., & Bailey, G. 2009. Humanity: an Introduction to Cultural Anthropology. Wadsworth: Wadsworth, Cengage Learning
Poespowardojo, Soerjanto. 1986. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”, dalam Ayatrohaedi, (ed.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Richards, J. C. & Renandya, W. (eds). 2002. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. Cambridge: Cambridge University Press.
Richard, J. C. & Schmidt, R. 2002. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics 3rd Edition. Edinburgh: Pearson Education Limited.
Sharifian, F. & Palmer, G. B. 2007. Applied Cultural Linguistics Implications for Second Language Learning and Intercultural Communication. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Simanjuntak, H.A. 2011. “Budaya Politik Masyarakat Perkebunan (Studi Kasus PTPN IV Bah Jambi)”. diambil dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/23973
Sinagatullin, I. M. 2003. Constructing Multicultural Education in a Diverse Society. London: The Scarecrow Press, Inc.
Tanaka, S. 2006. “English and Multiculturalism—from the Language User’s Perspective “, in RELC Journal (2006; 37), 47
Tiwari, S.R. 2008. Teaching of English. New Delhi: APH Pub. Corp.Tomlinson, Brian. (1989). Material development in Language teaching.
Cambridge:CUP.
125