BAB II
DASAR TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Sasono, 2010, meneliti tentang efektivitas penggunaan anoda korban paduan
alumunium pada pelat baja kapal AISI 2512 terhadap laju korosi di dalam media air laut.
Penelitian ini menggunakan metode observasi lapangan dan eksperimen laboratorium.
Spesimen uji pada penelitian ini adalah baja lambung kapal general cargo tipe AISI 2512
dan tiga jenis produk anoda korban paduan alumunium yaitu produk A (Al= 86.118%),
produk B (Al= 85.097%), dan produk C (Al= 97.665%) serta menggunakan media air laut
dengan salinitas 37o/oo. Perhitungan laju korosi lambung kapal dilakukan berdasarkan arah
vertikal dan memanjang kapal melalui perhitungan dan hasil observasi data ketebalan pelat
baja hasil ultrasonic test. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa anoda korban yang
dipasang pada kapal teleh memberikan perlindungan yang optimal dilihat dari laju korosi
yang terjadi rata-rata 0.304 mm/tahun arah vertikal serta 0.327 mm/tahun arah memanjang
kapal. Sedangkan hasil pengujian korosi di laboratorium dapat membuktikan bahwa dari
ketiga jenis produk anoda korban paduan alumunium yang dipasang pada pelat baja kapal
AISI 2512 yang memiliki kinerja yang paling optimal adalah anoda korban paduan
alumunium produk C dengan laju korosi rata-rata paling rendah yaitu 0.065 mm/tahun.
Sunarto, 2011, menganalisa hasil pengukuran korosi struktur kapal ikan minajaya
menggunakan ultrasonic test. Dalam menghitung laju korosi yang terjadi pada lambung
kapal dilakukan dengan menggunakan metode Weight Gain Loss (WGL). Hasil dari
penelitian ini diketahui bahwa tingkat laju korosi komponen kapal minajaya selama 15
tahun beroperasi adalah berkisar antara 0.002-0.1 mm/tahun pada daerah lambung setinggi
maindeck dan 0.04-0.3 mm/tahun pada daerah deck struktur. Persentase keausan pada lajur-
lajur pelat lambung kapal minajaya kurang lebih sebesar 5% dan pada daerah deck struktur
adalah lebih kurang sebesar 13.8%, sehingga dapat dikatakan bahwa kapal masi layak
untuk digunakan. Dari penelitian ini diketahui jenis korosi yang terjadi adalah korosi
merata 91% dan korosi sumuran sebesar 9%.
Muazu, 2011, meneliti tentang pengaruh dari penambahan seng (Zn) pada
kemampuan anoda korban paduan alumunium (Al) dalam media air laut. Parameter –
5
parameter yang digunakan dalam penilaian kemampuan dari anoda cor adalah efisiensi
anodik, efisiensi proteksi dan potensial polarisasi. Persentasi seng (Zn) dalam anoda
berkisar antara 1 sampai 8% Zn. Dalam penelitian ini anoda korban diuji untuk
memberikan proteksi pada mild steel dalam media air laut dengan temperature ruangan.
Diperoleh nilai efisiensi arus yang tertinggi adalah 86.69% yaitu pada paduan anoda denan
6% Zn. Potensial polarisasi yang diperoleh jika dipasangkan baja dan paduan anoda dasar
alumunium yang ditunjukkan pada diagram pourbaix dengan baja masih dalam daerah
immunity (cathodic region) yaitu ≤-0.5 V SHE dan anoda korban dalam daerah anodic.
Lebih lanjut lagi dimana pada minggu ke-7 dan ke-8, efisiensi proteksi yang diperoleh
adalah sebesar 99.26% dan 99.13% dengan menggunakan anoda korban paduan Al-6%Zn.
2.2 Pengertian Korosi
Korosi atau pengkaratan merupakan suatu bentuk pengerusakan dan serangan
yang tidak disengaja pada material logam, biasanya terjadi secara elektrokimia dan dimulai
pada bagian permukaan (Callister, 1940). Korosi juga dapat dikatakan proses kembalinya
material ke alam, melaui peoses ionisasi. Secara umum aktivitas korosi berupa
menghilangnya logam pada bagian yang terekspos (anoda). Korosi banyak terjadi dalam
banyak bentuk, ada yang terjadi di seluruh permukaan logam dan ada juga yang terjadi di
bagian tertentu saja. Korosi terjadi karena adanya aliran arus listrik dari suatu bagian ke
bagian yang lain pada permuakaan logam. Peristiwa aliran arus ini akan menyebabkan
hilangnya logam pada bagian yang melepaskan arus ke lingkungan, atau sering disebut
reaksi anoda atau oksidasi.
Terdapat empat unsur utama yang harus ada sehingga korosi dapat terjadi, antara
lain:
1. Anoda, tempat terjadinya reaksi oksidasi (melepaskan elektron)
2. Katoda, tempat terjadinya reaksi reduksi (menerima elektron).
3. Elektrolit, lingkungan tempat katoda dan anoda ter-ekpose.
4. Sambungan logam, katoda dan anoda harus disambung dengan menggunakan
sambungan logam (metallic pathway) agar arus listrik dapat mengalir.
6
Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya korosi (Ahmad, 2006).
Terlihat pada Gambar 2.1, pada anoda terjadi reaksi oksidasi dengan menghasilkan Fe2+ dan
elektron.
Fe (S) ↔ Fe2+(aq) + 2e (2-1)
Setelah terbentuknya ion besi (I), selanjutnya akan bereaksi dengan molekul air (H2O) yang
pada umumnya merupakan suatu reaksi hidrolisis yang mengakibatka pH meningkat
(Trethewey, 1991). Reaksi yang terjadi seperti pada Persamaan (2-2).
Fe2+ + H2O → Fe(OH)+ + H+ (2-2)
Pada tahap selanjutnya ion besi II Fe(OH)+ akan dioksidasi oleh udara (O2), sehingga hasil
dari reaksi tersebut akan dihasilkan ion-ion besi (III) dan air (Trethewey, 1991), dengan
reaksi:
Fe(OH)+ + ½ O2 + 2H+ → 2 Fe(OH)2+ + H2O (2-3)
Kemudian terjadi reaksi hidrolisis kembali, yang menyebabkan keasaman meningkat lagi.
Fe(OH)2+ + H2O → Fe(OH)2+ + H+ (2-4)
Setelah itu terbentuklah hasil akhir berupa magnnetit (Fe3O4 dan karat FeO(OH)
(Trethewey, 1991), dengan reaksi berturut-turut:
2 Fe(OH)2+ + Fe2+ + 2H2O → Fe3O4 + 6 H+ (2-5)
Fe(OH)2+ + OH- → FeO(OH) + H2O (2-6)
7
2.3 Jenis- jenis Korosi
Klasifikasi korosi berdasarkan bentuk dan tempat terjadinya antara lain; korosi
merata (uniform corrosion), korosi sumuran (pitting corrosion), korosi antar butir
(intergranular corrosion), korosi erosi (erosion corrosion), korosi galvanik (galvanic
corrosion), dan korosi celah (crevice corrosion) dan masih banyak yang lainnya.
1. Korosi Merata
Korosi merata (uniform corrosion) merupakan bentuk korosi yang paling lazim
terjadi dan dengan bentuk korosi yang terlihat merata di seluruh permukaan logam dengan
intesitas yang sama. Jenis korosi ini terjadi pada permukaan logam yang memiliki
komposisi sama. Korosi ini dapat diatasi dengan melakukan coating pada permukaan
logam.
Gambar 2.2 Korosi merata (pixabay.com).
2. Korosi Sumuran
Korosi jenis ini merupakan korosi yang terjadi dan terkonsentrasi pada daerah
tertetntu. Korosi ini biasanya disebabkan oleh klorida. Mekanisme terjadinya korosi ini
sama dengan korosi celah. Karena jaraknya yang saling berdekatan akan mengakibatkan
permukaan logam menjadi kasar. Korosi ini dapat terjadi akibat komposisi permukaan
logam yang tidak homogen, kerusakan lapisan pelindung (coating), terdapat endapan di
permukaan material, dan adanya bagian yang cacat.
8
Gambar 2.3 Korosi sumuran (Callister, 1940).
3. Korosi Antar Butir
Korosi antar butir merupakan korosi yang terjadi pada graind boundary sebuah
logam atau alloy. Terjadinya korosi jenis ini biasanya disebabkan karena adanya impuritas
atau pengotor pada batas butir. Korosi ini terjadi secara lokal di sepanjang batas butir pada
logam paduan.
Gambar 2.4 Korosi antar butir (Callister,1940).
4. Korosi erosi
Korosi erosi merupakan pengerusakan akibat gabungan antara elektrokimia dan
kecepatan alir fluida yang tinggi pada permukaan logam. Korosi ini juga dapat terjadi pada
logam yang dilewati aliran fluida dengan kecepatan tinggi, atau juga dapat juga terjadi pada
fluida statis dengan logam yang bergerak dengan cepat, misalkan propeller kapal laut.
9
Gambar 2.5 Korosi erosi (corrosion-doctors.org)
Bagian permukaan yang mengalami korosi erosi biasanya lebih bersih
dibandingkan dengan permukaan logam dengan korosi jenis lain. Korosi jenis ini dapat
dikendalikan dengan menggunakan material logam yang lebih keras, menurunkan
kecepatan atau merubah arah alir fluida.
5. Korosi Galvanik
Korosi galvanik pada sambungan dua buah logam yang jenisnya berbeda yang
berada dalam suatu cairan bersifat korosif. Logam yang lebih aktif atau anoda akan
mengalami korosi, sementara logam noble atau katoda tidak akan terkorosi. Pada tabel
galvanisasi, alumunium (Al) dan seng (Zn) lebih aktif dibandingkan dengan baja.
Tabel 2.1 Deret Galvanis (corrosioncop.com)
MetalVolts vs. Cu-CuSO4 Volts vs. Ag-AgClActive Or Anodic End Active or Anodic End
Magnesium -1.60 to -1.75 -1.55 to -1.70Zinc -1.10 -1.05
Alumunium -1.05 -1.00Clean Carbon Steel -0.50 to - 0.80 -0.45 to -0.75Rusted Carbon Steel -0.30 to -0.50 -0.25 to 0.45
Cast/Ductile Iron -0.50 -0.45Lead -0.50 -0.45
Steel in Concrete -0.20 -0.15Copper -0.20 -0.15
High Silicon Iron -0.20 -0.15Carbon. Graphite +0.30 +0.35
10
Gambar 2.6 Korosi galvanik (Callister, 1940).
Korosi galvanik banyak terjadi pada alat yang menggunakan lebih dari satu jenis
logam sebagai komponennya, contohnya pada automotif. Jika alumunium terhubung
langsung dengan baja, maka di antara alumunium dan baja harus ditempatkan sebuah benda
non logam atau isolator untuk memisahkan kontak listrik antara keduanya. Namun,
mekanisme terjadinya korosi galvanik biasanya digunakan untuk proteksi pada komponen
baja, misalnya proteksi pada lambung kapal, tiang penyangga dermaga dan pipa-pipa
fluida.
6. Korosi Celah
Korosi celah merupakan korosi yang kejadiannya secara terkonsentrasi pada suatu
daerah tertentu. Korosi ini terjadi karena adanya suatu larutan elektrolit yang terperangkap
di dalam celah atau lubang. Misalkan pada suatu sambungan logam sejenis, permukaan
logam yang retak, dan baut. Larutan yang terperangkap akan mengakibatkan adanya
konsentrasi oksigen, sehingga terbentuk sel korosi. Daerah dengan konsentrasi oksigen
yang tinggi bertindak sebagai katoda dan daerah dengan konsentrasi rendah bertindak
sebagai katoda.
Gambar 2.7 Korosi celah (Callister, 1940).
11
2.4 Korosi Pada Media Air Laut
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya korosi pada media air laut,
yaitu hujan (rain), kadar gas dalam air laut (aerosis), embun (dew), kondensasi, dan tingkat
kelembaban (humidity), serta resistivitas. Pada dasarnya, lingkungan air laut mengandung
ion-ion klodrida (chloride ions) yang dimana digabungkan dengan tingginya tingkat
penguapan (moisture), kandungan unsur air laut dapat dilihat pada Tabel 2.2. Persentasi
oksigen (O2) juga berperan dalam mingkatnya korosifitas air laut. Korosi pada media air
laut bergantung pada:
1. Kadar klorida
2. pH (tingkat keasaman)
3. Kadar oksigen
4. Temperatur
Tabel 2.2 Unsur pokok dalam air laut (Benjamin, 2006)
Anion Part/Million Equevalents per Million
Part per Million per Unit Chlorinity
Chloride, Cl- 18,980.00 535.30 998.90Sulfate, SO4
2- 2,649.00 55.10 139.40Bicarbonate, HCO3
- 139.70 2.30 7.35Bromine, Br- 64.60 0.80 3.40Fluoride, F 1.30 0.10 0.07
Boric Acid, H3BO3 26.00 - 1.37Total 593.60
Cation Part/Million Equevalents per Million
Part per Million per Unit Chlorinity
Sodium, Na+ 10,556.10 159.00 555.60Magnesium, Mg2+ 1,272.00 104.60 66.95
Calcium, Ca2+ 400.10 20.00 21.06Potassium, K+ 380.00 9.70 20.00Strotium, Sr2+ 13.30 0.30 0.70
Total - 593.60 -
Media air laut merupakan lingkungan dengan tingkat korosif yang sangat tinggi
untuk material logam (besi dan baja). Air laut terutama mempunyai nilai resistivitas yang
sangat rendah yaitu ± 25 Ω-cm yang jika dibandingkan dengan nilai resistivitas air tawar
yaitu ± 4000 Ω-cm. Proses korosi di air laut merupakan suatu proeses elektrokimia yang
dimana didorong oleh beberapa faktor, antara lain:
12
1. Sifat kimia dan fisika air laut
Kandungan garam yang terlarut dalam air laut dan temperatur sangat menentukan
penghantaran arus listrik pada air laut, yang dapat mempercepat terjadinya proses korosi.
Pada kadar garam yang sama, kenaikan temperatur air laut menyebabkan daya hantar listrik
air laut meningkat, sedangkan pada temperatur air laut yang sama dengan kadar garam yang
meningkat meyebabkan hantaran listrik air laut meningkat.
2. Sifat biologis air laut
Adanya pengaruh fouling yang merupakan pengotor berupa hewan dan tumbuhan
laut yang melekat pada lambung kapal akan menyebabkan terjadinya korosi. Korosi terjadi
ketika mikroorganisme bersel satu yang melekat pada lambung kapal dengan dibantu cat
sebagai pelekatnya. Hal tersebut mengakibatkan lebih mudahnya pengelupasan lapisan cat
yang merupakan tempat tumbuhnya hewan dan tumbuhan laut dan akan terus berkembang
biak.
Menempelnnya mikroorganisme pada lambung kapal menimbulkan pertukaran zat
sehingga menghasilkan zat-zat agresif seperti; NH4OH, CO2, H2S dan atom-atom agresif
yang kemudian melalui reaksi elektrokimia akan terbentuk oksigen. Gas oksigen dengan
proses chloropite dapat membentuk sulfit dan sulfat yang akan menghasilkan zat yang
mempengaruhi terjadinya korosi air laut.
3. Susunan Kimia Logam
Selain adanya kandungan Fe yang terdapat pada pelat baja kapal, terdapat juga
unsur lain seperti karbon (C), Silikon (Si), Mangan (Mn), Tembaga (Cu), Nikel (Ni),
Belerang (B), dan P.
4. Pembentukan Mill Scale Pada Pelat Baja
Pada mill scale terdapat tiga lapisan yaitu lapisan terluar Fe2O, lapisan tengah
Fe3O4 dan FeO, sedangkan lapisan yang berada dekat dengan pelat kapal adalah FeO dan
Fe. Perbedaan potesial elektrokimia antara pelat baja kapal ± 0.28 Volt, sehingga dengan
perbedaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya reaksi yang menimbulkan korosi air laut.
Lapisan Fe3O4 yang dihasilkan korosi air laut dapat menimbulkan daerah anoda seperti
13
yang ditunjukkan pada Gambar 2.14, yang akan meluas sampai di bawah lapisan mill scale.
Pada daerah anoda yang kedua ini dapat menyebabkan korosi yang lebih besar
dibandingkan dengan daerah anoda pertama karena terdapatnya oksigen bebas yang dapat
bereaksi (Benjamin, 2006).
Pembentukan mill scale terdiri dari tiga lapisan, lapisan terluar adalah Fe2O,
lapisan tengah Fe3O4 dan FeO, sedangkan lapisan yang dekat pelat kapal adalah FeO dan
Fe. Perbedaan potensial elektrokimia antara pelat baja kapal ± 0.28 Volt. Perbedaan
potensial elektrokimia tersebut menyebabkan terjadi reaksi yang menimbulkan korosi air
laut pada pelat baja kapal. Lapisan Fe3O4 dari hasil korosi air laut dapat menimbulkan
daerah anoda seperti pada Gambar 2.8, yang akan tersu meluas sampai di bawah lapisan
mill scale. Daerah anoda yang kedua ini dapat menyebabkan korosi yang lebih besar
dibandingkan dengan daerah anoda yang pertama karena terdapat oksigen bebas yang dapat
dengan bebas bereaksi (Benyamin, 2006).
Gambar 2.8 Terjadi korosi di bawah mill scale (Benjamin, 2006).
2.5 Zona Korosi Air Laut
Laju korosi lambung kapal pada media air laut sangat tergantung pada posisi pelat
baja dipasang. Posisi tersebut antara lain zona di atas permukaan air laut dan zona di bawah
air laut (underwater) atau zona antara (tidal zone). Konsentrasi unsure klorida air laut
sangat dipengaruhi oleh kedekatan dan ketinggian dari permukaan air laut. Laju korosi akan
berkurang pada daerah yang lebih tinggi dari permukaan air laut karena berkurangnya
percikan air garam (media elektrolit) dan juga pada daerah tersebut temperatur lebih tinggi
dan kelembaban lebih rendah.
Laju korosi dalam lingkungan air laut tergantung pada posisi pelat baja kapa yang
dipasang, yaitu zona di atas permukaan air laut, zona di bawah permukaan air laut atau
14
zona antara (tidal zone). Konsentrasi klorida air laut tergantung pada kedekatan dan
ketinggian dari permukaan air laut. Korosi berkurang pada daerah yang lebih tiggi dari
permukaan air laut. Karena kurangnya percikan air garam yang bekerja sebagai elektrolit
dan juga karena temperatur lebih tinggi dan kelembaban lebihi rendah.
Kemudian gelombang yang pecah pada permukaan pelat baja kapal yang dipasang
juga memberi kontribusi terhadap laju korosi pelat tersebut, terutama terjadi pada daerah
terdekat dengan permukaan air laut (splash zone) dan pada zone ini juga terjadi erosi seperti
pada Gambar 2.9, sehingga memperparah kerusakan pelat.
Gambar 2.9 Laju korosi berdasarkan zona korosi (Benjamin, 2006)
Laju korosi juga didorong oleh salinitas atmosfir (kadar garam di udara yang
tergantung pada letak geografis) seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.10 serta pengaruh
perubahan lingkungan air laut terhadap korosi baja Tabel 2.3.
Gambar 2.10 laju korosi pengaruh dari salinitas udara (Benjamin, 2006).
15
Salinity (mg NaCl/m2/d
Corr
osio
n (g
/mdm
2mon
th)
Tabel 2.3 Pengaruh perubahan lingkungan air laut terhadap korosi baja (Fontana, 1986).
Faktor dalam air laut
Pengaruh pada besi dan baja
Ion kloridaSangat korosif terhadap logam ferrous. Logam ferrous dan carbon steel
tidak dapat dipasifkan (garam air laut mengandung klorida lebih dari 55%)
Daya hantar listrikDaya hantar yang tinggi memungkinkan anoda dan listrik pada katoda
tetap berhubungan walaupun terpisah jauh, Sehingga dapat meningkatkan tingkat korosifitas logam.
OksigenKorosi yang terjadi pada baja dikontrol secara katodik. Oksigen akan mengakibatkan depolarisasi pada katoda, sehingga pada kandungan oksigen yang tinggi memiliki tingkat korosifitas yang lebih tinggi.
Kecepatan aliran air laut
Dengan adanya arus dan gelombang laut yang besar dapat meningkatkan laju korosi, dalam hal ini terjadi:
1. Menghancurkan lapisan pelindung anti karat (coating).2. Menghasilkan oksigen lebih yang dapat mempercepat penetrasi dan
membuka rongga di permukaan baja.Temperatur Temperatur sangat berpengaruh pada tingkat korosifitas.
Fouling (Biologis)Pengotor berupa hewan dan tumbuhan laut akan meningkatkan laju korosi
baja.
TeganganTegangan yang secara terus-menerus dapat menyebabkan fatique,
terutama yang disebabkan oleh korosi akan dapat mempercepat terjadinya cacat dan kegagalan struktur.
PencemaranPeningkatan kadar sulfida dalam polutan dapat menyebabkan pencemaran
air dan meningkatkan tingkat korosifitas pada baja.Silt dan sedimen
tersuspensiErosi yang terjadi pada permukaan baja oleh bahan yang tersuspensi
dalam air laut akan meningkatkan korosifitas baja.
Terbentuknya lapisan
Lapisan karat dan kerak mineral (garam-garam kalsium dan magnesium) akan mengganggu teradinya proses difusi oksigen ke permukaan katoda
sehingga dapat memperkecil tingkat korosifitas baja.
2.5.1 Salinitas Air Laut
Korosi pada media air laut (elektrolit) dipengaruhi juga oleh tingkat kadar garam
atau salinitas air laut. Salinitas diartikan sebagai konsentrasi rata-rata zat garam yang
terkandung dalam air laut, atau dapat juga diartikan sebagai kadar seluruh ion-ion yang
terlarut dalam air.
Salinitas air laut dinyatakan dengan satuan per seribu (o/oo) salinitas air laut ini
bervariasi antara: 33,00 o/oo. Konsentrasi garam terlarut atau ion/molekul dalam air laut
dapat dilihat pada Tabel 2.4.
16
Tabel 2.4 Konsentrasi ion/molekul pada air laut densitas 1,023 gram/cm3 pada 25 oC
(Anggono, 2000).
Garam Salinitas (o/oo)33 35 37
NaCl 23.13 24.53 25.93MgCl2 4.90 5.200 5.497Na2SO4 4.09 4.090 4.090CaCl2 1.09 1.160 1.230KCl 0.66 0.695 0.735
NaHCO3 0.201 0.201 0.201KBr 0.101 0.101 0.101
H3BO3 0.027 0.027 0.027SrCl2 0.024 0.025 0.026NaF 0.003 0.003 0.003
2.5.2 Keasaman (pH) Air Laut
Pada bagia permukaan air laut memiliki tingkat keasaman yang lebih tinggi. Hal
ini disebabkan oleh kadar konsentrasi karbon anorganik berupa 93% HCO3-, 6% CO3-, dan
1% CO2-. Ion karbonat relative lebih tinggi pada bagian permukaan dan hampir selalu
dalam keadaan jenuh kalsium karbonat (CaCO3). Hal tersebut dapat menyebabkan
pengendapan jenuh (calcerous scales) di permukaan logam. Konsentrasi CO2 dan O2
memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat keasaman (pH) air laut karena
berkaitan erat dengan proses fotosintesa dan oksidasi biokimia, seperti pada persamaan
berikut:
CH 2O2+O2CO2+H 2 O (2-7)
Reaksi yang terjadi dari kiri ke kanan yaitu dimana O2 terlarut digunakan dan CO2
dihasilkan. CO2 yang dihasilkan akan menigkat keasaman air laut (pH turun) dan
menurunkan kejenuhan karbonat. Pengerasan kerak terjadi pada pH yang lebih tinggi
dimana ion OH- dihasilkan selama reduksi oksigen terlarut.
2.5.3 Korosi Pelat Baja Lambung Kapal
Kebanyakan kapal merupakan kapal baja yang dimana sebagian besar
konstruksinya terbuat dari baja paduan dengan komposisi yang disesuaikan oleh Biro
Klasifikasi kapal (Standar: ABS, BKI, DNW, RINA, GL, LR, BV, NK, KR, CCS dan lain
sebagainya) dengan kelas baja: A, B, C, D, dan E. (Grade: A, B, D, E, AH32-AH40,
17
DH32-DH40, A32, A36, D32, D36 and etc) dengan tebal 8 mm s/d 100 mm, lebar: 1500
mm s/d 2700, panjang: 6 m s/d 13 m (BKI, 2006).
Baja yang digunakan sebagai kontruksi kapal pada umumnya dibagi menjadi 3
bagian, yaitu baja kontruksi kapal biasa, baja kontruksi dengan tegangan tinggi, dan baja
tempa. Baja untuk kontruksi kapal memiliki yang telah mendapat persetujuan dari BKI,
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Sifat mekanis baja kapal (BKI, 2006).
No Jenis BajaKekuatan
Tarik (kg/mm2)
Tegangan Luluh
(kg/mm2)
Regangan Patah(%)
Keterangan
1 Baja kapal biasa 41 – 50 ≥ 24 ≥ 22
Begian kapal yang mendapat beban
kecil
2Baja
tegangan tinggi
1. 48 - 602. 50 – 63
≥ 32Min. ≥ 36 ≥ 22
Bagian kapal yang menerima tegangan
tinggi3 Baja tempa Min. 41 - - Poros, kopling
Pemakaian pelat baja untuk kontruksi kapal memiliki resiko kerusakan yang
tinggi, terutama terjadinya korosi pada pelat baja yang merupakan proses elektrokimia,
akibat interaksi dengan air laut yang memiliki resistivitas sangat rendah ± 25 Ω-cm jika
dibandingkan dengan resistivitas air tawar ± 4000 Ω-cm (Caridis, 1995) dan sesuai
dengan posisi pelat pada lambung kapal. Korosi pada pelat lambung kapal seperti pada
Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Lambung kapal Tugboat Bontang 04 (Sumber: PT Badak NGL Bontang)
18
Lambung kapal
Posisi pelat baja lambung kapal terbagi dalam tiga bagian yaitu:
1. Selalu tercelup air/ underwater plate (pelat lajur alas, pelat lajur bilga, dan pelat lajur
sisi, sampai sarat minimal).
2. Keluar masuk air (pelat lajur sisi mulai dari sarat minimal sampai sarat air maksimal).
3. Tidak tercelup air (pelat lajur sisi mulai sarat maksimal sampai dengan dek utama).
Korosi yang dapat terjadi pada pelat baja kapal dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis (Carridis, 1995), yaitu:
1. Korosi merata (uniform corrosion), seluruh permukaan pelat terkena korosi, biasanya
terjadi pada daerah pelat yang berada di atas garis air.
2. Korosi sumuran (pitting corrosion), pada permukaan baja terjadi pelobagan yang
semakin lama akan terus bertambah dalam dan akhirnya dapat menembus pelat.
3. Korosi tegangan (stress corrosion), korosi yang terjadi pada bagian yang menerima
tegangan yang relatif tinggi.
4. Korosi erosi (errosion corrsion), korosi yang terjadi pada material yang menerima
tumbukan partikel cairan mengalir dengan sangat cepat.
5. Korosi celah (crevice corrosion), korosi yang terjadi pada celah, daerah jepitan,
sambungan dan daerah yang ditutupi binatang dan tumbuhan kecil.
2.6 Metode Pemeriksaan dan Deteksi Korosi
Peran engineer kaitannya dengan korosi, selain mengetahui teknik
pengendaliannya, namun harus mengetahui bagaimana mendeteksi secara dini bahwa
korosi telah berlangsung dan membahayakan, sedangkan operasi dari equipment tetap
berlangsung. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik pemeriksaan (inspeksi) dan deteksi
yang memenuhi dua syarat sekaligus, yaitu:
1. Mampu mendeteksi tanpa merusak sistem peralatan yang bersangkutan (non destructive
test).
2. Mampu medeteksi tanpa harus menghentikan operasi pabrik (on line monitoring).
Karena adanya pembatasan seperti di atas maka tidak semua teknik inspeksi
dapoat diterapkan. Teknik-teknik yang memenuhi kedua syarat di atas dan umum
digunakan, antara lain:
19
1. Visual Inspection
Inspeksi visual merupakan metode yang paling banyak digunakan dan merupakan
teknik yang efektif untuk mendeteksi dan mengevaluasi korosi. Visual inspection
menggunakan indera pengelihatan (mata) untuk melihat langsung keadaan permukaan dan
sudut sempit untuk mengetahui korosi yang terjadi. Metode ini juga menggunakan indera
perasa (tangan/kulit) yang juga sangat efektif untuk mendeteksi korosi. Alat– alat yang juga
digunakan pada inspeksi ini adalah kaca, borescopes, optical micrometers, anda depth
gauges.
2. Ultrasonic test
Pemeriksaan secara ultrasonic menggunakan gelombang suara pada tingkat
frekuensi antara 200,000 sampai dengan 25,000,000 cps (cycles per second) sebagai media.
Frekuensi tersebut ditransmisikan ke material yang diperiksa melalui suatu lapisan tipis
minyak (couplant) tertentu sebagai media penghubung. Instrumen ultrasonik bekerja atas
dasar prinsip “resonansi” dan “pulse echo”.
Ultrasonic test merupakan salah satu bentuk pengujian NDT yang sangat sensitif
dan paling banyak digunakan pada material yang terbuat dari metal, non metal, dan non
magnetik. Pengujian ini menggunakan frekuensi gelombang suara yang tinggi (sekitar 0.5
sampai 15 MHz). Metode ini digunakan untuk melakukan pengukuran tebal dan lebar
korosi, selain itu juga dapat digunakan untuk mendeteksi/mengevaluasi sebuah aliran,
menentukan karakteristik keretakan (cacat) internal maupun eksternal suatu material dan
untuk kebutuhan medis seperti sonography, ultrasonic therapeutic, dan lain sebagainya.
Dengan menggunakan pengujian ini dapat diketahui letak dan ukuran cacat yang kecil
walaupun hanya satu sisi yang dapat diakses dari material uji.
Ultrasonic test menggunakan energi akustik pada frekuensi yang tinggi. Energi
tersebut langsung diarahkan ke spesimen yang akan diuji dan jumlah energi yang
direfleksikan atau ditransmisikan oleh spseimen dimonitor sehingga dapat langsung
diketahui kondisi dari spesimen uji tersebut. Pada metode ultrasonic ini biasanya
digunakan couplant yaitu cairan yang digunakan sebagai medium perambatan yang baik
dari tranduser ultrasonik dengan benda yang akan diuji. Hal tersebut dilakukan karena
20
gelombang suara yang dihasilkan memiliki sifat perambatan yang kurang baik pada media
udara.
Ultrasonic test pada kapal, khususnya pada lambung kapal yang dapat dilakukan
ketika kapal mengalami doking. Istilah perbaikan kapal (lambung) sering disebut replating
(penggantian pelat).
Metode ultrasonik memiliki beberapa keuntungan, sebagai berikut:
1. Memiliki penetrasi yang tinggi sehingga dapat digunakan pada material dengan
ketebalan sampai 6 meter (tergantung pada sensitivitas alatnya).
2. Memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga dapat mendeteksi cacat yang sangat kecil.
3. Memiliki akurasi yang lebih baik daripada metode NDT yang lainnya dalam
menentukan posisi, orientasi ukuran dan bentuk cacat internal.
4. Hanya membutuhkan minimal satu sisi bagian dari meterial uji.
5. Tidak berbahaya bagi operator dan orang disekitarnya.
6. Hasilnya dapat diproses melalui komputer untuk mengetahui karakteristik cacat dan
untuk menentukan sifat-sifat material.
Kelemahan metode ultrasonik:
1. Hasilnya tidak dapat didokumentasikan.
2. Bagaian yang tidak rata, ketidakteraturan bentuk, komponen yang sangat kecil atau
sangat tipis, atau yang tidak homogen sulit diinspeksi.
3. Dibutuhkan kuplan antara tranduser ultrasonik dengan bagian yang sedang diinspeksi.
4. Dibutuhkan referensi standar untuk pengkalibrasian dan untuk mengetahui karakteristik
cacat.
5.
Gambar 2.12 Ultrasonic test.
21
3. Liquid Dye Penetrant
Inspeksi untuk korosi tegangan yang luas atau korosi retak lelah pada logam
ferrous atau nonferrous dapat dilakukan dengan menggunakan proses liquid dye penetrant.
4. Weightloss
Pemeriksaan laju korosi material dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu
dengan jalan memasang contoh-contoh dari material tersebut pada aliran proses (“on
stream”). Contoh-contoh tersebut, yang berbentuk lempengan/pelat/kupon berukuran 80 x
25 mm ditempatkan di dalam rak dan diisolasi secara elektrik dari peralatan yang
bersangkutan dan dari sesamanya. Berat masing- masing kupon sebelum dipasang
ditentukan dengan cermat dan setelah selang waktu tertentu kupon dikeluarkan secara
bertahap dan ditentukan lagi beratnya. Dengan demikian dapat dihitung kehilangan berat
kupon per satuan waktu, yang menyatakan laju korosi material yang bersangkutan di dalam
sistem tertentu.
Dengan menggunakan metode ini terlihat bahwa informasi yang diperoleh adalah
nilai laju korosi kupon, bukan dari peralatan atau material system sendiri. Meskipun
demikian, nilai tersebut dapat dijadikan indikasi dari keadaan korosi yang sedang
berlangsung. Metode ini biasanya membutuhkan waktu yang panjang.
Cara lain yang dapat memberikan indikasi mengenai proses korosi yang sedang
berlangsung, yaitu dengan mengukur kadar ion Fe2+ di dalam aliran (stream). Bila
konsentrasi menunjukkan gejala meningkat, maka itu sudah merupakan indikasi bahwa laju
korosi meningkat.
5. Corossion Meter
Pemeriksaan laju korosi material secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
alat yang disebut “corrosion meter”. Alat ini bekerja menurut prinsip “elektrokimia” dan
serupa dengan “weightloss”, namun waktu yang dibutuhkan hingga mendapatkan hasil
lebih singkat.
Prinsip kerja dari alat ini yaitu pada aliran sistem (on stream) ditempatkan sebuah
kupon berupa contoh dari material yang bersangkutan, sebuah probe pembanding dan
probe pembantu. Melalui probe pembantu, contoh material tersebut digeser dari
22
kesetimbangan reaksi elektrokimianya. Besarnya pergeseran tersebut diukur melalui probe
pembanding dan dari hubungan “potensial–arus” yang diperoleh kemudian, laju korosi
material dapat ditentukan dengan mudah.
Dilihat dari segi waktu dan pelaksanaanya pengukuran, cara ini sangat peraktis.
Tetapi hanya terbatas untuk sistem dimana lingkungan yang ditinjau adalah cairan dengan
konduktivitas listrik tinggi. Untuk lingkungan gas atau uap, metode pengukuran ini tidak
dapat dilakukan.
6. Radiography (X-Ray test)
Pemerikasaan secara radiografi pada dasarnya serupa dengan ultrasonic, hanya
saja yang dipancarkan adalah radiasi sinar-gamma atau radiasi sinar-x. hasil yang diperoleh
direkam pada film negatif foto. Pada foto akan terlihat titik-titik hitam atau “dark spot”
yang menyatakan jarak antara kedua sisi material atau jarak antara salah satu sisi dengan
cacat di dalam material.
Radiogaphy adalah salah satu bentuk pengujian yang berisfat tidak merusak benda
uji (non destructive test). Metode pengujian ini digunakan untuk mendapatkan gambaran
permananen dari bagian permukaan maupun bagian sub surface material. Kebanyakan
pengujian ini digunakan untuk menguji keretakan atau cacat pada hasil pengelasan, produk
coran, forging, pengukuran tebal material, pemetaan korosi, mengetahui adanya benda di
dalam suatu alat, mengukur bulk density dari suatu material, pengukuran porositas beton,
dan lain sebagainya.
Gambar 2.13 Radiography test.
23
2.7 Laju Korosi
Laju korosi diartikan sebagai banyaknya korosi yang terjadi dalam unit waktu
(Priyotomo, 2008). Korosi sangat bergantung pada lingkungan, misalnya temperatur, pH,
oksigen, kecepatan alir fluida, dan zat – zat oksidator. Untuk menghitung laju korosi, yang
paling banyak digunakan adalah metode Weight Gain Loss (WGL), dimana laju korosi
dapat dihitung dengan persamaan: (Trethewey, 1991)
CR=8.76× Wρ × A × T (2-8)
Dengan:
CR = Laju korosi (mm/th)
8.76 = Nilai konversi
W = Kehilangan berat (g)
ρ = Berat jenis (g/cm3)
A = Luas permukaan (m2)
T = Umur operasi kapal (jam)
2.8 Metode Pencegahan dan Pengendalian Korosi Pada Kapal
Dalam hal ini pencegahan dimaksudkan hanya untuk mengurangi/menghambat
terjadinya korosi, bukan menghilangkan korosi secara total. Terdapat dua jenis metode
pencegahan dan pengendalian korosi yang dapat digunakan pada kapal, yaitu metode
pengecatan (coating) dan metode proteksi katodik.
2.8.1 Pelapisan (coating)
Coating merupakan perlindungan yang pertama bagi material. Dalam
pengaplikasiannya coating harus dilakukan langkah-langkah yang sudah sesuai dengan
standar agar diperoleh hasil yang maksimal.
1. Persiapan Permukaan
a. Scraping
Scraping atau sekrap dilakukan dengan alat bantu untuk menghilangkan fouling
yang berupa kerang (tritip) atau hewan dan tumbuhan laut yang menempel pada
lambung kapal.
b. Fresh water cleaning
24
Untuk membersihkan lambung kapal digunakan air dengan tekanan tinggi.
c. Sand balsting NACE 2/SSPC-SP 10
Selain bahan cat dan system pengecatannya, persiapan permukaan sangat
penting juga. Jika permukaan struktur logam yang akan dicat itu bersih, maka hasil
pengecatannya akan lebih indah dan tahan lam dan pelaksanaan pekerjaan pengecatan
akan lebih mudah. Metode persiapan permukaan yang dapat digunakan antara lain:
1. Solvent cleaning
2. Hand tool cleaning
3. Power tool cleaning
4. Flame cleaning
5. White metal blast cleaning
6. Commercial blast cleaning
7. Brush-off blast cleaning
8. Acid pickling
9. Near white blast cleaning
Cara lain yang biasa digunakan dalam persiapan permukaan, yaitu blast cleaning, baik
white metal blast cleaning, near white blast cleaning, commercial blast cleaning,
maupun brush-off blast cleaning.
Pada blast cleaning, struktur disemprot dengan butiran-butiran pasir atau
material abrasif lainnya sehingga kerak atau karat yang terdapat pada permukaan
terkelupas dan menjadi kasar.
Gambar 2.14 Material abrasive untuk sand blasting.
Berdasarkan standar NACE 2/SSPC-SP 10, dimana isinya adalah pembersihan
permukaan dengan sang blast, ketika dilihat tanpa ada pembesaran, lambung kapal
25
harus bersih dari semua kemungkinan adanya kandungan minyak (oil), kotoran, korosi,
cat, produk korosi lainnya, dan benda – benda asing kecuali noda. Noda yang ada pada
lambung kapal tidak boleh lebih dari 5% untuk setiap 1 inch2 luasan pelat.
Tujuan dari sand blasting adalah selain untuk membersihkan kotoran yang
masiih menempel, juga untuk membentuk profil permukaan pelat menjadi lebih kasar,
sehingga coating atau cat dapat menempel dengan maksimal pada permukaan logam.
2. Proses coating
a. Primer coat
Primer coat merupakan dasar atau alas dimana sistem coating lainnya
ditempatkan. Kunci daya adhesi sangat bergantung pada coating ini. Primer coating
harus menempel kuat pada logam dan pada sistem coating di atasnya.
Fungsi dari primer coat antara lain:
1. Adhesion yaitu ikatan yang kuat pada logam.
2. Cohesion yaitu kekuatan internal yang tinggi.
3. Inertness yaitu ketahanan yang kuat terhadap korosi dan kimia.
4. Intercoat bond yaitu sebagai ikatan yang kuat pada intermediate coat.
5. Distension yaitu cukup fleksibel.
b. Intermediate coat
Sebagai barrier protection tambahan dan disebut juga sebagai body coat untuk
menambah tebal dan ketahanan. Body coat harus menempel dengan kuat pada primer
dan juga pada top coat.
Fungsi dari intermediate coat adalah untuk menambah sistem coating,
memberikan ketahanan yang tinggi terhadap kimia dan transfer uap air, memberi
hambatan arus listrik, kohesi yang kuat dan memberikan ikatan yang kuat antara primer
dan top coat.
c. Top coat (anti fouling)
Merupakan suatu lapisan penyekat (a resinous seal) di atas primer dan
intermediate coat. Top coat merupakann pertahanan pertama terhadap chemical yang
agresif, air atau lingkungan elektrolit.
26
Fungsi dari top coat adalah sebagai lapisan penyekat dalam sistem coating,
memberntuk lapisan pertahanan pertama terhadap lingkungan, memberikan ketahanan
terhadap chemical, air dan cuaca, memberikan ketangguhan dan ketahanan aus serta
memberikan estetika (keindahan).
2.8.2 Metode Proteksi Katodik
Proteksi katodik merupakan bentuk proteksi tambahan untuk mengurangi laju
korosi yang terjadi pada struktur. Terdapat dua jenis sistem dari metode proteksi ini, yaitu
sistem anoda korban dan impressed current (arus paksa).
1. Proteksi Katodik Anoda korban (Sacrificial Anodes Cathodic Protection System)
Sistem anoda korban merupakan metode proteksi katodik yang banyak digunakan
untuk melindungi struktur dari korosi. Metode yang juga disebut anoda tumbal ini banyak
digunakan pada struktur dalam tanah dan media air laut. Jenis paduan yang banyak
digunakan adalah paduan alumunium, zinc dan magnesium. Untuk struktur dalam tanah
yang umum digunakan adalah anoda paduan magnesium, sedangkan untuk struktur pada
media air laut digunakan anoda paduan alumunium dan zinc.
Anoda korban merupakan logam yang sangat aktif yang dilekatkan (untuk
melindungi) pada logam yang kurang aktif agar korosi terjadi pada anoda korban dan
melemahkan korosi pada logam yang dilindungi. Dengan kata lain, anoda akan mengalami
korosi terlebih dahulu untuk melindungi material.
Anoda korban biasanya digunakan untuk beberapa aplikasi, antara lain:
1. Melindungi lambung kapal
2. Melindungi ballast tanks
3. Melindungi heat exchanger
4. Sea chest
Frekuensi penggantian anoda korban tergantung pada dimana anoda tersebut
digunakan. Pada anoda korban yang dipasang pada kapal, pengecekan dilakukan setiap
kapal mengalami doking yaitu antara 2 sampai 3 tahun. Jika anoda korban habis terkorosi
maka material anoda yang digunakan memiliki kualitas yang rendah, sehingga jumlah
anoda harus ditambah untuk melindungi material. Pada umumnya, anoda korban diganti
setiap kapal mengalami doking.
27
Gambar 2.15 Proteksi katodik sistem anoda korban (Purwanta, 2012).
2. Proteksi Katodik Arus Tanding (Impressed Current Cathodic Protection System)
Pada sistem proteksi dengan menggunakan arus tanding (impressed current) arus
disuplai dari sumber daya DC eksternal, yang pada umumnya menggunakan rectifier
sebagai penyearah yang akan mengkonversi satuan daya input AC menjadi output DC
sesuai kebutuhan. Sebagai bahan anoda digunakan “inert” (non-consumable atau low rate
consumable material). Anoda pada arus tanding (ICCP) terhubung ke terminal positif unit
penyearah, sementara struktur yang akan dilindungi dihubungkan ke terminal negatif.
Tegangan yang berbeda pada rectifier akan menyebabkan arus DC mengalir dari anoda ke
permukaan struktur yang dilindungi melalui elektrolit.
Saat ini terdapat beberapa tipe anoda pada sistem impressed current, seperti high
silicon chrome cast iron, mixed metal oxide, lead silver, platinized titanium, dll. Dalam
pemilihan jenis anoda harus mempertimbangkan struktur yang akan dilindungi dan
lingkungan (elektrolit) dimana struktur berada.
Gambar 2.16 Arus korosi yang terjadi sistem arus tanding (impressed current)
(Purwanta, 2012).
28
Gambar 2.17 Sistem proteksi katodik impressed current (ICCP) (Purwanta, 2012).
2.9 Perlindungan Korosi dengan Anoda Korban
Terdapat dua jenis perlindungan katodik, yaitu dengan metode anoda korban
(sacrificial anode) dan metode arus tanam (impressed current). Anoda korban relatif lebih
mudah dipasang bila dibandingkan dengan mtode arus tanding. Keuntungan lainnya adalah
tidak diperlukannya peralatan listrik yang mahal dan tidak ada kemungkinan salah arah
dalam pengaliran arus (Trethewey, 1991).
Barangkali yang paling sederhana untuk menjelaskan cara kerja dari proteksi
anoda korban adalah menggunakan sel korosi basah seperti Gambar 2.18. Kaidah umum
dari sel korosi basah adalah bahwa dalam suatu sel, anodalah yang terkorosi, sedangkan
katoda tidak mengalami korosi atau terproteksi. Anoda-anoda yang dihubungkan ke
struktur dengan mengefektifkan perlindungan terhadap korosi dengan cara ini adalah
disebut anoda korban (sacrificial anodes). Dalam hal ini dapat digunakan deret galvanik
untuk memilih suatu bahan yang akan menjadi anoda. Untuk lingkungan pantai, jenis anoda
yang biasa digunakan adalah seng dan alumunium (Threthewey, 1991).
Gambar 2.18 Sel korosi basah sederhana (Trethewey, 1991).
29
Perlindungan dari anoda korban paduan seng (Zn) akan baik jika logam tersebut
terlarut dengan laju yang kurang lebih konstan. Seng murni yang terdapat di pasaran, akan
mengalami korosi dengan membentuk selapis kulit kedap air yang akan mempengaruhi
keluaran arus anoda.
Perlindungan yang akan diberikan seng akan baik jika logam tersebut dapat
dilarutkan dengan laju yang kurang-lebih konstan. Seng murni yang tersedia di pasaran,
terkorosi di air laut dengan membentuk selapis kulit kedap air yang sangat membatasi
keluaran arusnya. Di antara bahan–bahan pengotor, besi merupakan bahan yang paling
menimbulkan efek merusak pada anoda, dengan kelarutan dalam seng begitu rendah yaitu
<0.0014 sehingga apabila berlebih maka kelebihan-kelebihan tersebut berupa pertikel-
pertikel terpisah. Pada akhirnya hal tersebutlah yang akan menyebabkan terbentuknya sel
galvanik lokal yang menghasilkan lapisan seng hidroksida/seng karbonat yang tidak dapat
larut dan tidak menghantarkan listrik, dan mengakibatkan anoda menjadi tidak efektif
(Tretheway, 1991).
Anoda korban yang dianjurkan untuk digunakan pada kapal berdasarkan Biro
Klasifikasi Indonesia dalam Regulation For the Corrosion Protection and Coating System,
sesuai Tabel 2.6 dan 2.7.
Tabel 2.6 Anoda korban allumunium aplikasi dalam air laut (BKI, 2004).
Elemen KI-Al1 (%W) KI-Al2 (%W) KI-Al3 (%W)Si ≤0.10 ≤0.10 Si + Fe
≤0.10Fe ≤0.10 ≤0.13Cu ≤0.005 ≤0.005 ≤0.02Mn N/A N/A 0.15-0.50Zn 2.0-6.0 4.0-6.0 2.0-5.0Ti - - 0.01-0.05Ln 0.01-0.03 - 0.01-0.05Sn - 0.05-0.15 -
Other ≤0.10 ≤0.10 ≤0.10Al Residue Residue Residue
Potensial (T=20oC) -1.05 VoltAg/AgCl/See
-1.05 VoltAg/AgCl/See
-1.05 VoltAg/AgCl/See
ɛ (T=20oC) 2000 Ah/kg 2000 Ah/kg 2000 Ah/kgEfficiency (T=20oC) 95% 95% 95%
30
Tabel 2.7 Anoda korban seng aplikasi dalam media air laut (BKI, 2004).
Elemen Kl-Zn1 (%W) Kl-Zn2 (%W)AL 0.100-0.500 ≤0.0100Cd 0.025-0.070 ≤0.0040Cu ≤0.005 ≤0.0050Fe ≤0.005 ≤0.0014Pb ≤0.006 ≤0.0060Zn >99.22 ≥99.880
Potensial (T=20oC) -1.03 VoltAg/AgCl/See
-1.03 VoltAg/AgCl/See
ɛ (T=20oC) 780 Ah/kg 780 Ah/kgEfficiency (T=20oC) 95% 95%
2.10 Perhitungan Kebutuhan Anoda Korban
Luas permukaan basah merupakan rancang bangun luas permukaan lambung
kapal yang tercelup di dalam air laut sangatlah diperlukan. Data luas permukaan basah
digunakan untuk menentukan berapa banyak anoda yang diperlukan, tempat dan posisi
peletakan anoda korban, dan lain-lain.
Jika area individu permukaan basah (Ac) tiap unit dikalikan dengan desain arus
densitas (ic), maka akan diperoleh; (BKI, 2004)
Ic=A l×ic (2-9)
Dengan Ic adalah permintaan arus (A), Al adalah area yang akan diproteksi, dan ic
adalah faktor desain arus densitas yang mengacu pada aturan PT BKI yaitu 0.02 A/m2.
Sedangkan area individu atau area yang akan diproteksi, diperoleh dengan menggunakan
rumus:
Al=(2 D )+b × LBP xCb (2-10)
dengan:
Al = Luas area yang diproteksi (m2)
LBP = Panjang antara garis tegak (area terendam) (m)
D = Sarat air/draft design (m)
b = Lebar Kapal/breadth (m)
Cb = Faktor blok kapal
31
Dengan menggunakan data Ic dari Persamaan (2-9), maka dapat dihitung total
kebutuhan massa anoda korban (M rumus: (BKI, 2004)
M=I c ×T × 8760
ε (2-11)
Dengan
Ic : Permintaan arus desain (A)
T : Umur proteksi katodik (tahun)
8760 : Nilai dari per tahun dijadikan per jam
ɛ : Eletrochemical efficiency (Ah/kg)
2.11 Kemampuan Material Anoda Korban (ɛ)
Pada Tabel 2.8 diberikan nilai electrochemical effiency (ɛ) dari anoda korban yang
dapat digunakan dalam perhitungan mendesain berat anoda korban yang dibutuhkan.
Tabel 2.8 Rekomendasi desain kapasitas elektrik dan desain potensial sirkuit tertutup untuk
material anoda di temperatur lingkungan air laut (DNV RP B401, 2010).
Macam
material anodaEnviroment
Electrochemical
efficiency (Ah/kg)
Closed Circuit
Potential (v)
AlSeawater 2000 -1.05
Sediment 1500 -0.95
ZnSeawater 780 -1.00
Sediment 700 -0.95
2.12 Prediksi Nilai Laju Korosi
Prinsip dasar yang digunakan dalam melakukan prediksi laju korosi adalah
dengan menggunakan Hukum Faraday. Prinsip dasar prediksi laju korosi ini akan
meggunakan densitas arus proteksi (is dalam A/m2) yang diperoleh dari hasil perancangan
sistem proteksi katodik. Prediksi nilai laju korosi akan menggunakan Persamaan (2-12),
(Fontana, 1986):
CR . pred=Ka
M a ×is
2× ρ(2-12)
32
Dengan:
CR. pred. = Laju korosi (mm/th)
Ka = Nilai konversi = 32.8 ×10−4
Ma = Massa Atom Fe = 55.847
n = Jumlah elektron yang alirkan
is = Densitas arus proteksi (µA/cm2)
ρ = Densitas baja (7.9 g/cm3)
33