-
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Self Efficacy
2.1.1 DefinisiSelf Efficacy
Menurut Albert Bandura, self efficacy yaitu keyakinan diri seseorang
bahwa dirinya mampu menemukan cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan
serta keyakinan bahwa cara-cara itu dapat menghantarkannya kepada
tercapainya suatu tujuan. Self efficacy berhubungan dengan keyakinan bahwa
diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Self efficacy
merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk
mengorganisasikan dan menampilkan tindakan yang diperlukan dalam
mencapai tujuan yang diinginkan, tidak tergantung pada jenis keterampilan
dan keahlian tetapi lebih berhubungan dengan keyakinan tentang apa yang
dapat dilakukan dengan bekal keterampilan dan keahlian (Bandura, 1997).
Menurut Bandura (dalam Liliana, 2012) menyatakan bahwa self efficacy
memainkan peran dalam menentukan bagaimana individu merasa, berfikir,
dan memotivasi diri mereka sendiri, yang kemudian pada akhirnya
mempengaruhi perilaku dan hasilnya. Mempengaruhi perilaku seseorang
dalam menentukan suatu aktivitas. Self efficacy mempengaruhi seseorang
dalam memilih aktivitasnya. Selain itu, self efficacy juga mempengaruhi tingkat
keterlibatan individu dan kemampuannya bertahan di dalam kegiatan tersebut.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa self
efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuan
yang dimilikinya dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang ia
-
15
hadapi, sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang
diharapkannya.
Albert Bandura, dalam teorinya melihat tentang proses kognitif
sebagai proses yang mengantarai munculnya khususnya tentang proses
persepsi diri yang akan menyediakan perilaku dari masing-masing individu,
yang dalam hal ini adalah tentang keyakinan diri mampu atau self efficacy.
Untuk pertama kalinya keyakinan diri mampu atau self efficacy diperkenalkan
oleh Bandura (1986), sebagai contributor yang penting untuk membentuk
intense dan aksi dari perilaku. Lebih lanjut Bandura mengungkapkan,
keyakinan diri mampu atau self efficacy memiliki beberapa implikasi diantaranya
untuk memotivasi anak atau individu untuk lebih termotivasi dalam
menghadapi tantangan atau tugas denga nmempergunakan keterampilannya,
kemudian mendorong anak atau individu menjadi pelajar mandiri secara
langsung.
2.1.2 Aspek-aspek Self Efficacy
Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek dari self efficacy yang
terdiri dari:
1. Tingkatan (Level)
Perbedaan self efficacy dari masing-masing individu dalam menghadapi
suatu tugas dikarenakan perbedaan tuntutan yang dihadapi, jika halangan
dalam mencapai tuntutan tersebut sedikit maka aktivitas mudah
dilakukan.Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas dimana
individu merasa mampu atau tidak untuk melakukannya, sebab kemampuan
diri individu berbeda-beda. Konsep dalam dimensi ini terletak pada keyakinan
individu atas kemampuannya terhadap tingkat kesulitan tugas. Jika individu
-
16
dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya,
maka keyakinan individu akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah,
kemudian sedang hingga tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan batas
kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang
dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Semakin tinggi taraf kesulitan tugas,
semakin lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya.
Keyakinan individu berimplikasi pada pemilihan tingkah laku
berdasarkan hambatan atau tingkat kesulitan suatu tugas atau aktivitas.
Individu terlebih dahulu akan mencoba tingkah laku yang berada di luar batas
kemampuannya. Rentang kemampuan individu dapat dilihat dari tingkat
hambatan atau kesulitan yang bervariasi dari suatu tugas atau aktivitas
tertentu
Dalam mengembangkan skala efikasi, peneliti harus menarik pada
analisis konseptual dan pengetahuan ahli tentang apa yang dibutuhkan untuk
berhasil dalam mengejar diberikan. Informasi ini dilengkapi dengan
wawancara, survei terbuka, dan kuesioner terstruktur untuk mengidentifikasi
tingkat tantangan dan hambatan untuk kinerja yang sukses dari kegiatan yang
diperlukan.
2. Keadaan umum (Generality)
Individu akan menilai diri merasa yakin melalui bermacam-macam
aktivitas atau hanya dalam daerah fungsi tertentu.Dimensi ini berkaitan
dengan keyakinan individu akan kemampuannya melaksanakan tugas di
berbagai aktivitas. Aktivitas yang bervariasi menuntut individu yakin atas
kemampuannya dalam melaksanakan tugasatau aktivitas tersebut, apakah
individu merasa yakin atau tidak. Individu mungkin yakin akan
-
17
kemampuannya pada banyak bidang atau hanya beberapa bidang tertentu
misalnya seorang mahasiswa yakin akan kemampuannya pada mata kuliah
psikologi tetapi ia tidak yakin akan kemampuannya pada mata kuliah bahasa
inggris, atau seseorang yang ingin melakukan diet, ia yakin akan
kemampuannya dapat menjalankan olahraga secara rutin, namun ia tidak
yakin akan kemampuannya mengurangi napsu makan itulah mengapa dietnya
tidak berhasil.
3. Kekuatan (Strength)
Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self efficacy yang diyakini
seseorang, pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinannya pula
sedangkan keyakinan yang kuat terhadap kemampuan akan teguh dalam
berusaha.Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah
mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.
Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan
dalam usahanya. Meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang
mendukung. Dimensi ini biasanya berkaitan langsung dengan dimensi level,
yaitu semakin tinggi taraf kesulitan tugas, semakin lemah keyakinan yang
dirasakan untuk menyelesaikannya.
2.1.3 Faktor-faktor Self Efficacy
Bandura, (1997)mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi self efficacy seseorang yakni :
1. Pengalaman keberhasilan masa lalu (Mastery Experience)
Kita semua memiliki pengalaman penguasaan keberhasilan masa lalu.
Ini terjadi ketika kita mencoba untuk melakukan sesuatu hal dan telah
-
18
berhasil menguasai sesuatu tersebut. Pengalaman keberhasilan masa lalu
merupakan cara paling efektif untuk meningkatkan efikasi diri seseorang
karena seseorang lebih cenderung untuk percaya bahwa ia dapat melakukan
sesuatu yang baru jika hal itu mirip dengan sesuatu yang sudah pernah ia
lakukan sebelumnya dengan baik.
Keberhasilan yang diperoleh akan membawa seseorang pada tingkat
self efficacy yang lebih tinggi, sedang kegagalan akan merendahkan self efficacy,
terutama jika kegagalan tersebut terjadi pada awal pengerjaan tugas dan bukan
disebabkan oleh kurangnya usaha atau juga karena hambatan dari faktor
eksternal.
Keberhasilan yang terjadi karena bantuan dari faktor eksternal atau
keberhasilan yang dicapai dianggap bukan sebagai hasil dari kemampuan
sendiri tidak terlalu memberikan pengaruh terhdap peningkatan self efficacy.
Besarnya nilai yang diberikan dari pengalaman baru tergantung pada sifat dan
kekuatan dari persepsi diri yang ada sebelumnya. Setelah self efficacy terbentuk
karena keberhasilan yang berulang kegagalan yang mencul terhadap
kemampuannya.
2. Pengalaman keberhasilan yang dicapai orang lain (Vicarious Experience)
Faktor lain yang mempengaruhi persepsi self efficacy adalah pengalaman
keberhasilan yang dicapai orang lain dan kegagalan orang lain (model) yang
mirip dengan diri seseorang tersebut. Individu yang melihat atau mengamati
orang lain yang mencapai keberhasilan dapat menimbilkan persepsi self efficacy-
nya. Dengan melihat keberhasilan orang lain, individu dapat meyakinkan
dirinya bahwa ia juga bisa untuk mencapai hal yang sama dengan orang yang
ia amati. Ia juga meyakinkan dirinya bahwa jika orang lain bisa melakukannya,
-
19
ia juga harus dapat melakukannya. Sebaliknya, jika seseorang melihat bahwa
orang lain yang memiliki kemampuan yang sama ternyata gagal meskipun ia
telah berusaha dengan keras, maka dapat menurunkan penilaiannya terhadap
kemampuan dia sendiri dan juga akan mengurangi usaha yang akan dilakukan.
Ada kondisi-kondisi dimana penilaian terhadap self efficacy khususnya
sensitif pada informasi dari orang lain. Pertama adalah ketidakpastian
mengenai kemampuan yang dimiliki individu. Self efficacy dapat diubah melalui
pengaruh modeling yang relevan ketika seseorang memiliki sedikit
pengalaman sebagai dasar penilaian kemampuannya. Karena pengetahuan
yang dimiliki tentang kemampuan diri sendiri sangat terbatas, maka individu
tersebut lebih bergantung pada indikator yang dicontohkan. Kedua adalah
penilaian self efficacy selalu berdasarkan kriteria dimana kemampuan dievaluasi.
Kegiatan yang bisa memberikan informasi eksternal mengenai tingkat kinerja
dijadikan dasar untuk menilai kemampuan seseorang. Tetapi sebagian besar
kinerja tidak memberikan informasi yang cukup memenuhi, sehingga
penilaian self efficacy diukur melalui membandingkannya dengan kinerja dari
orang lain.
3. Persuasi verbal (Verbal Persuasion)
Faktor yang mempengaruhi self efficacy ketiga adalah persuasi lisan atau
sosial (verbal). Ketika orang dibujuk secara lisan bahwa ia dapat mencapai
atau menguasai tugas, ia lebih mungkin untuk mengerjakan tugasnya. Persuasi
verbal digunakan untuk memberikan keyakinan kepada seseorang bahwa ia
memiliki suatu kemampuan yang memadai untuk mencapai apa yang
diinginkan. Seseorang yang berhasil diyakinkan secara verbal akan
menunjukkan suatu usaha yang lebih keras jika dibandingkan dengan individu
-
20
yang memiliki keraguan dan hanya memikirkan kekurangan diri ketika
menghadapi kesulitan. Namun, peningkatan keyakinan individu yang tidak
realistis mengenai kemampuan diri hanya akan menemui kegagalan. Hal ini
dapat menghilangkankepercayaan self efficacy orang yang dipersuasi.
4. Keadaan dan reaksi psikologis (Physicological and Affective States)
Seseorang menjadikan keadaan fisiologisnya sebagai sumber informasi
untuk memberikan penilaian terhadap kemampuan dirinya mengenai
kemungkinan keberhasilan atau kegagalan. Stres, kecemasan, khawatir, dan
ketakutan, semua hal negatif akan mempengaruhi self efficacy dan dapat
menyebabkan kegagalan atau ketidakmampuan seseorang untuk melakukan
tugas-tugasnya.Individu merasa gejala-gejala somatik atau ketegangan yang
timbul dalam situasi yang menekan sebagai pertanda bahwa ia tidak dapat
untuk menguasai keadaan atau mengalami kegagalan dan hal ini dapat
menurunkan kinerjanya. Dalam kegiatan yang membutuhkan kekuatan dan
stamina tubuh, seseorang merasa bahwa keletihan dan rasa sakit yang dialami
merupakan tanda-tanda kelemahan fisik dan hal ini menurunkankeyakinan
akan kemampuan fisiknya.
2.1.4 Fungsi Self Efficacy
Self efficacy yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan memberi
fungsi pada aktifitas individu. Menurut Bandura (1997:116) menjelaskan
tentang pengaruh fungsi tersebut, yaitu :
1. Fungsi Kognitif
Bandura menyebutkan bahwa pengaruh dari self efficacy pada proses
kognitif seseorang sangat bervariasi. Pertama, self efficacy yang kuat akan
mempengaruhi tujuan pribadinya. Semakin kuat self efficacy, maka semakin
-
21
tinggi tujuan yang ditetapkan oleh individu bagi dirinya sendiri dan yang
memperkuat adalah komitmen individu terhadap tujuan tersebut. Individu
dengan self efficacy yang kuat akan mempunyai cita-cita yang tinggi, mengatur
rencana dn komitmen pada dirinya untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua,
individu dengan self efficacy yang kuat akan mempengaruhi bagaimana individu
tersebut menyiapkam langkah-langkah antisipasi apabila usahanya yang
pertama gagal dilakukan.
2. Fungsi Afeksi
Self efficacy akan mempunyai kemampuan coping individu dalam
mengatasi besarnya stress dan depresi yang individu alami pada situasi yang
sulit dan menekan, dan juga akan mempengaruhi tingkat motivasi individu
tesebut. Self efficacy memang berperan penting dalam kecemasan, yaitu untuk
mengontrol stress yang terjadi. Penjelasan tersebut sesuai dengan pernyataan
Bandura bahwa self efficacy mengatur perilaku untuk menghindari suatu
kecemasan. Semakin kuat self efficacy, individu semakin berani menghadapi
tindakan yang menekan dan mengancam.
Individu yang yakin pada dirinya sendiri dapat menggunakan kontrol
pada situasi yang mencekam, tidak akan membangkitkan pola-pola pikiran
yang mengganggu. Sedangkan bagi individu yang tidak dapat mengatur situasi
yang mengancam akan mengalami kecemasan yang tinggi. Individu yang
memikirkan ketidakmampuan coping dalam dirinya dan memandang banyak
aspek dari lingkungan sekeliling sebagai situasi ancaman yang penuh bahaya,
akhirnya akan membuat individu membesar-besarkan ancaman mungkin
terjadi dan khawatiran terhadap hal-hal yang sangat jarang terjadi. Melalui
-
22
pikiran-pikiran tersebut, individu menekan dirinya sendiri dan meremehkan
kemampuan dirinya sendiri.
3. Fungsi Selektif
Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan
yang akan diambil oleh individu. Individu menghindari aktivitas dan situasi
yang individu percayai telah melampaui batas kemampuab coping dalam
dirinya, namun individu tersebut telah siap melakukan aktivitas-aktivitas yang
menantang dan memilih situasi dinilai mampu untuk diatasi. Perilaku yang
individu buat ini akan memperkuat kemampuan, minat-minat dan jaringan
sosial yang mempengaruhi kehidupan, dan akhirnya akan mempengaruhi arah
perkembangan personal. Hal ini karena pengaruh sosial berperan dalam
pemilihan lingkungan, berlanjut untuk meningkatkan kompetensi, nilai-nilai
dan minat-minat tersebut dalam waktu yang lama setelah faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan keyakinan telah memberikan pengaruh awal.
4. Fungsi Motivasi
Self efficacy memainkan peranan penting dalam pengaturan motivasi
diri. Sebaguan besar motivasi manusia dibangkitkan secara kognitif. Individu
memotivasi dirinya sendiri dan menuntun tindakan-tindakannya dengan
menggunakan pemikiran-pemikiran tentang nasa depan sehingga individu
tersebut akan membentuk kepercayaan mengenai apa yang dapat dirinya
lakukan. Individu juga akan mengantisipasi hasil-hasil dari tindakan-tindakan
yang prospektif, menciptakan tujuan bagi dirinya sendiri dan merencanakan
bagian dari tindakan-tindakan untuk merealisasikan masa depan yang
berharga.
-
23
Self efficacy mendukung motivasi dalam berbagai cara dan menentukan
tujuan-tujuan yang diciptakanindividu bagi dirinya sendiri dengan seberapa
besar ketahanan individu terhadap kegagalan. Ketika menghadapi kesulitan
dan kegagalan, individu yang mempunyai keraguan diri terhadap kemampuan
dirinya akan lebih cepat dalam mengurangi usaha-usaha yang dilakukan atau
menyerah.
Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan
dirinya akan melakukan usaha yang lebih besar ketika individu tersebut gagal
dalam menghadapi tantangan. Kegigihan atau ketekunan yang kuat
mendukung bagi pencapaian suatu performasi yang optimal. Self efficacy akan
berpengaruh terhadap aktivitas yang dipilih, keras atau tidaknya dan tekun
atau tidaknya individu dalam usaha mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
2.2 Kecerdasan Emosi
2.2.1 Definisi Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosional mengandung dua kata yang luar biasa yakni
“cerdas” dan “emosi”. Kecerdasan emosi merupakan proses pribadiyang
terus berusaha mencapai tingkatan emosi yang sehat intrafisik dan
intrapersonal. Remaja yang matang secara emosional terlibat dengan
kepentingan dengan orang lain, mampu mengekspresiakan emosi degan
spontan. Individu yang cerdas secara emosi dapat menentukan dengan tepat
kapan dan sejauh mana perlu terlibat dalam masalah sosial, serta dapat turut
serta memberikan jalan keluar atau solusi yang diperlukan (Jannah, 2013).
-
24
Menurut Golemen (2016), kecerdasan emosi atau emotional intelligence
mencakup kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat
suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat orang lain.
Selain itu, menurut Ayu Dewi (2013), kecerdasan emosional atau
sering disebut sebagai EQ (Emotional Quotient) adalah kemampuan untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan emosi diri sendiri dan
untuk lebih memahami dan mengelolah emosi atau motivasi orang lain. Selain
itu adapula kecerdasan ESQ (Emotional Spiritual Quotient) yang merupakan
gabungan dari EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient), merupakan
salah satu bentuk kecerdasan yang akan menjadi fondasi utama untuk lebih
mengefektifkan fungsi IQ dan SQ. Dimana seseorang dapat menyatukan
antara kecerdasan spiritual dengan emosionalnya. Secara emosional seseorang
tentu ingin melakukan banyak hal untuk menyenangkan hatinya. Namun
disisi lain terbentur oleh spiritualnya. Oleh karena itulah bagaimana cara
memadukan antara kecerdasan emosional (menuruti hawa nafsunya) dengan
kecerdasan spiritual (mematuhi larangan yang diajarkan dalam agama).
Banyak contoh disekitar kita membuktikan bahwa orang yang
memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak memiliki gelar yang tinggi belum
tentu sukses berkiprah didunia pekerjaan. Bahkan seringkali yang
berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang lebih berhasil.
Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ),
padahal yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan
kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan
beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru. Saat ini begitu
banyak orang berpendidikan dan tampak begitu menjanjikan, namun
-
25
kariernya memendek. Atau lebih buruk lagi, tersingkir akibat rendahnya
kecerdasan hati mereka. Menurut survey nasional terhadap apa yang
diinginkan oleh pemberi kerja, bahwa keterampilan teknik tidak seberapa
penting dibandingkan kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan yang
bersangkutan. Diantaranya, adalah kemampuan mendengarkan dan
berkomunikasi lisan, adaptasi, kreatifitas, ketahanan mental terhadap
kegagalan, kepercayaan diri, motivasi, kerjasama tim dan keinginan untuk
memberi kontribusi terhadap perusahaan. Kunci dari kecerdasan emosi
adalah kejujuran pada suara hati (Agustian, 2005).
Mengenali emosi diri atau kesadaran diri merupakan kemampuan
untuk mengenali dan menyadari perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
Mengelola emosi merupakan kemampuan untuk menangani perasaan agar
perasaan dapat terungkap dengan tepat. Memotivasi diri sendiri merupakan
kemampuan untuk menata emosi diri sendiri yang digunakan sebagai alat
pencapaian tujuan yang dikehendaki. Mengenali emosi orang lain atau empati
merupakan kemampuan untuk mengetahui keadaan perasaan orang lain.
Membina hubungan merupakan kemampuan yang dapat memudahkan
seseorang masuk dalam lingkup pergaulan. Hal penting dalam pembinaan
hubungan ini adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan
kemudian bertindak bijaksana berdasarkan pemahaman tersebut, serta
kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat kepada orang lain.
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan pengertian kecerdasan emosi yang
dikemukakan oleh Salovey & Mayer (dalam dalam Saptoto, 2010).
-
26
2.2.2 Domain Kecerdasan Emosi
Menurut Yeung (2009) terdapat tiga domain kecerdasan emosi antara
lain :
1. Kesadaran Diri (Self-Awareness)
Langkah pertama menjadi orang yang memiliki kecerdasan emosi
adalah dengan mengidentifikasi suasana hati dan perasaan dalam diri kita serta
memahami bagaimana hal itu akan mempengaruhi orang lain. Banyak orang
yang buta terhadap dampak nyata diri mereka terhadap orang lain. Kita sering
memikirkan kekuatan dan kelemahan kita dengan menggunakan satu sudut
pandang namun, orang lain memiliki pikiran yang sama sekali berbeda
mengenai diri kita.
2. Pengarahan Diri (Self-Direction)
Mengidentifikasi emosi kita dan bagaimana hal itu berpengaruh pada
orang lain adalah sebuah permulaan, tapi langkah kedua untuk menjadi cerdas
secara emosi adalah dengan mengalihkan emosi tersebut dab menetapkan
sasaran bagi kepentingan anda. Karena terkadang satu-satunya perbedaan
antara sang pemenang dengan si pecundang adalah kondisi mental mereka.
Menyadari bahwa anda sedang marah, lelah, dan tidak bahagia tidak terlalu
membantu. Tetapi, mampu mengubah suasana hati menjadi lebih tenang dan
antusias.
3. Kemampuan Interpersonal (Interpersonal Savvy)
Langkah ketiga untuk menguasai kecerdasan emosi adalah dengan
mengidentifikasi dan mengelolah kondisi emosi orang lain. Jadi kemampuan
interpersonal adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang membuat orang
lain tergerak sehingga anda dapat mempengaruhi dan membujuk mereka.
-
27
2.2.3 Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Menurut Goleman (2016), kecerdasan emosi terdiri dari lima aspek
atau komponen utama antara lain :
1. Mengenali Emosi Diri
Kesadaran diri, mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi
merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan memantau perasaan
dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan
pemahaman diri. Ketidakmampuan mencermati perasaan kita yang
sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang
memiliki keyakinan yang lebih tenang perasaannya adalah pilot yang handal
bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan
perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan
masalah pribadi, mulai dari masalah siapa yang akan dinikahi sampai
perkerjaan apa yang akan diambil.
2. Mengelola Emosi
Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas
adalah kecakapan yang tergantung pada kesadaran diri. Kemampuan ini
mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena
gagalnya keterampilan emosional dasar ini. Orang-orang yang buruk dalam
keterampilan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung,
sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat
dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
-
28
3. Memotivasi Diri Sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang
sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri
sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri
emosional menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan
hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Dan, mampu
menyesuaikan diri dalam “flow” memungkinkan terwujudnya kinerja yang
tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini
cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka
kerjakan.
4. Mengenali Emosi Orang Lain
Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran
emosional, merupakan “keterampilan bergaul” dasar. Empati dibangun
berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka kita kepada emosi diri sendiri,
semakin terampil kita membaca perasaan. Individu yang memiliki
kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang
tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain.
Orang-orang seperti ini cocok untuk pekerjaan-pekerjaan keperawatan,
mengajar, penjualan dan manajemen.
5. Membina Hubungan
Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan
mengelola emosi orang lain. Keterampilan dengan orang lain merupakan
kecakapan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan
orang lain, sedangkan apabila tidak dimilikinya kecakapan ini maka akan
membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial atau berulangnya bencana
-
29
antarpribadi. Sesungguhnya, tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan
inilah yang akan menyebabkan orang-orang dengan otak paling encer pun
dapat gagal dalam membina hubungan mereka, karena penampilan mereka
angkuh, mengganggu, atau tak berperasaan. Kemampuan sosial ini
memungkinkan seseorang menjalin hubungan, menggerakkan dan
mengilhami orang-orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan
dan mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman. Ini
merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan
keberhasilan antar pribadi. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini
akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus
dengan orang lain, mereka adalah bintang-bintang pergaulan.
2.2.4 Faktor-faktor Kecerdasan Emosi
Goleman (dalam Maryati, 2008) menjelaskan bahwa ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu yaitu: (a) Lingkungan
keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari
emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui
ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat
dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang
dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari. (b)
Lingkungan non keluarga. Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat
dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan
perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan
dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan
emosi yang menyertai keadaan orang lain.
-
30
2.2.5 Teori Kecerdasan Emosi
Menurut Ali & Asrori (2010), Adapun teori-teori kecerdasan emosi
adalah sebagai berikut:
1. Teori Sentral
Teori sentral ini dikemukakan oleh Walter B. Canon. Menurut teori
ini, gejala kejasmanian termasuk tingkah laku merupakan akibat dari emosi
yang dialami oleh individu. Jadi, individu mengalami emosi lebih dahulu, baru
kemudian mengalami perubahan-perubahan dalamjasmaninya. Dengan
demikian, menurut teori ini dapat dikatakan bahwa emosilah yang
menimbulkan tingkah laku, dan bukan sebaliknya.
2. Teori Peripheral
Teori ini dikemukakan oleh James dan Lange. Menurut teori ini
dikatakan bahwa gejala-gejala kejasmanian atau tingkah laku seseorang
bukanlah merupakan akibat dari emosi, melainkan emosi yang dialami oleh
individu itu sebagai akibat dari gelaja-gelaja kejasmanian. Menurut teori ini
seseorang bukannya karena takut kemudian lari, melainkan karena lari
menyebabkan seseorang menjadi takut. Demikian juga, seseorang bukan
menangis karena sedih, tetapi karena menangis ia menjadi sedih. Seandainya
seseorang itu tidak menangis, kemungkinan tidak akan menjadi teramat sedih.
Dengan demikian, menurut teori ini dapat dikatakan bahwa tingkah laku yang
menimbulkan emosi, dan bukan sebaliknya
-
31
3. Teori Kepribadian
Menurut teori ini, emosi merupakan suatu aktivitas pribadi dimana
pribadi ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, emosi meliputi
perubahan perubahan jasmani atau tingkah laku seseorang.
4. Teori Kedaruratan Emosi
Teori ini dikemukakan oleh Cannon. Teori ini mengemukakan bahwa
reaksi yang mendalam dari kecepatan jantung yang semakin tertambah akan
menambah cepatmya aliran darah menuju ke urat-urat, hambatan pada
pencernaan, pengembangan atau pemuaian kantung-kantung di dalam paru-
paru dan proses lainnya yang mencirikan secara khas keadaan emosional
seseorang, kemudian menyiapkan organisme untuk melarikan diri atau
berkelahi, sesuai dengan penilaian terhadap situasi yang ada oleh kulit otak.
Diskusi dalam khazanah psikologi tentang maslaah emosi adalah
mengenai hubungan antara perasaan dengan emosi dan juga hubungan antara
emosi dengan motivasi. Pengalaman menunjukan bahwa apabila seseorang
termotivasi maka akan terangsang secara emosional untuk melakukan suatu
kegiatan dengan intensitas tinggi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
emosi berhubungan erat dengan motivasi.
Berdasarkan uraian diatas, kita sependapat bahwa perubahan atau
tingkah laku seseorang merupakan akibat dari emosi yang dialami orang
tersebut, bukan sebaliknya. Sebagaimana dicontohkan diatas, seseorang bukan
susah karena menangis, melainkan seseorang menangis karena susah.
Hubungannya dengan motivasi adalah karena termotivasi, seseorang
kemudian mengalami emosi yang pada akhirnya bebrbuat sesuatu atau
bertingkah laku tertentu.
-
32
2.3 Konsep Motivasi
2.3.1 Definisi Motivasi
Istilah “motif” diartikan sebagai daya upaya yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya
penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas
tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai
suatu kondisi intern (kesiapsiagaan). Berawal dari kata “motif” itu, maka
motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif.
Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk
mencapai tujuan sangat dirasakan atau mendesak (Sardiman, 2011).
Menurut Widiasworo, E (2015), motivasi merupakan keseluruhan
daya penggerak, baik dari dalam diri maupun dari luar dengan menciptakan
serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu yang
menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan sehingga tujuan
yang dikehendaki oleh subjek itu dapat tercapai. Motivasi berfungsi sebagai
pendorong, pengarah, penggerak tingkah laku. Motivasi mempunyai nilai
dalam menentukan keberhasilan, demokratisasi pendidikan, membina
kreativitas dan imajinasi guru, pembinaan disiplin kelas, dan menentukan
efektivitas belajar. Oleh karena itu, motivasi merupakan prinsip yang harus
dikembangkan supaya kegiatan belajar dapat terjadi secara efektif.
Menurut Dewi, R. A (2013) selain itu motivasi belajar merupakan
suatu kondisi yang dapat menyebabkan (menimbulkan) perilaku tertentu dan
memberikan arah serta ketahanan pada tingkah laku tertentu. Sebuah
motivasi belajar yang tinggi tercermin dari ketekunan yang tidak mudah patah
-
33
untuk mencapai sukses, meskipun banyak kesulitan yang menghadang.
Motivasi yang tinggi mampu menggiatkan aktivitas belajar seseorang.
2.3.2 Teori Motivasi
Menurut Sardiman (2011) ada beberapa teori tentang motivasi yang
perlu diketahui, antara lain:
1. Teori Insting
Menurut teori initindakan setiap diri manusi diasumsikan seperti
tindakan jenis binatang. Tindakan manusia itu dikatakn selalu berkaitan
dengan insting atau pembawaan. Dalam memberikan respons terhadap adanya
kebutuhan seolah-olah tanpadipelajari. Tokoh dari teori ini adalah Mc.
Dougall.
2. Teori Fisiologis
Teori ini juga disebutnya “Behaviour Theories. Menurut teori ini semua
tindakan manusia itu berakar pada usaha memenuhi kepuasan dan kebutuhan
organik atau kebutuhan untuk kepentingan fisik. Atau disebut sebagai
kebutuhan primer, seperi kebutuhan tentang makanan, minuman, udara, dan
lain-lain yang diperlukan untuk kepentingan tubuh seseorang. Dari teori inilah
muncul perjuangan hidup, perjuangan untuk mempertahankan hidup, struggle
for survival.
3. Teori Psikoanalitik
Teori ini mirip dengan teori insting, tetapi lebih ditekankan pada
unsur-unsur kejiwaan yang ada pada diri manusia. Bahwa setiap tindakan
manusia karena adanya unsur pribadi manusia yakni id dan go. Tokoh dari
teori ini adalah Freud.
-
34
2.3.3 Fungsi Motivasi Belajar
Perlu ditegaskan, bahwa motivasi bertalian dengan suatu tujuan.
Dengan demikian, motivasi sangat berpengaruh dengan suatu kegiatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, ada tiga fungsi motivasi menurut Hamalik
(2003) antara lain :
1. Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan
Tanpa motivasimaka tidak akan timbul suatu perbuatan seperti
belajar.
2. Motivasi sebagai pengarah
Artinya menggerakkan perbuatan ke arah pencapaian tujuan yang
diinginkan.
3. Motivasi sebagai penggerak
Motivasi ini berfungsi sebagai mesin, besar kecilnya motivasi akan
menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan atau perbuatan.
Jadi fungsi motivasi secara umum adalah sebagai daya penggerak yang
mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan tertentu untuk mencapai
tujuan yang diharapkan.
2.3.4 Faktor-faktor Motivasi Belajar
Menurut Widiasworo, E (2015) ada banyak faktor yang dapat
mempengaruhi motivasi belajar. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari
dalam diri sendiri (intern), maupun berasal dari lingkungan (ekstern).
1. Faktor Intern
Faktor dari dalam diri sendiri merupakan faktor yang paling besar
dalam menentukan motivasi belajar. Terkadang dalam satu kelas kita temui
peserta didik yang memang mempunyai kemauan keras dan minat yang tinggi
-
35
untuk menbgikuti pembelajaran. Namun demikian, tidak jarang peserta didik
yang memiliki kemampuan rendah bahkan tidak berminat sama sekali dengan
pembelajaran yang disajikan. Padahal, lingkungan belajar dan guru mereka
sama.
a. Sifat, Kebiasaan, dan Kecerdasan
Berbagai karakter peserta didik tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat,
kebiasaan dan kecerdasan mereka masing-masing. Peserta didik yang
mempunyai tingkat kecerdasan rata-rata atas atau tinggi, biasanya akan
memiliki motivasi belajar yang tinggi pula. Namun sebaliknya, peserta
didik yang mempunyai tingkat kecerdasan rata-rata bawah atau bahkan
rendah, biasanya mempunyai motivasi belajar yang rendah pula.
Kecerdasan dalam hal ini meliputi kecerdasan intelektual (IQ).
Kecerdasan emosi (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Meskipun hal ini,
banyak orang masih beranggapan bahwa kecerdasan intelektuallah yang
menjadi ukuran seseorang dikatakan cerdas atau tidak secara keseluruhan.
Padahal, jika kita cermati lebih dalam, logika hanyalah salah satu bentuk
dari pemikiran, kemampuanh perpikir, atau kemampuan belajar.
b. Kondisi Fisik dan Psikologis
Selain kecerdasan, hal lain yang juga berpengaruh terhadap motivasi
peserta didik adalah kondisi fisik dan psikologis. Kondisi fisik dalam hal
ini meliputi postur tubuh, kondisi kesehatan, dan penampilan. Kondisi
fisik akan berpengaruh pada psikologi peserta didik. Banyak kita temui,
peserta didik yang mempunyai postur tubuh lebih kecil dibanding teman-
temannya, cenderung sering mendapatkan perlakuan yang berbeda.
Ejekan dan ledekan karena postur tubuh yang kecil akan membuat peserta
-
36
didik tersebut menjadi tidak percaya diri, tertekan, bahkan bisa jadi down.
Meskipun, hal tersebut tidak semuanya terjadi pada peserta
didikberpostur tubuh kecil dibanding yang lain. Selain itu, kondisi
kesehatan yang buruk akan mengakibatkan peserta didik kurang
termotivasi untuk belajar. Peserta didik akan menjadi malas dan kurang
bisa berkonsentrasi karena kondisi tubuh yang kurang fit.
Kondisi psikologis peserta didik seperti rasa percaya diri, perasaan
gembira atau bahkan takut dan tertekan juga sangat berpengaruh pada
motivasi belajar. Peserta didik yang mempunyai rasa percaya tinggi
biasanya akan selalu antusias dalam mengikuti kegiatan apapun karena
selalu merasa bahwa dia biksa untuk melakukannya. Namun sebaliknya,
peserta didik yang mempunyai rasa kurang percaya diri akan membuatnya
selalu diliputi rasa malu dan takut untuk berbuat sesuatu. Takut jika
melakukan kesalahan dan malu di hadapan guru dan teman-temannya.
Bila belum apa-apa saja sudah merasa takut dan malu maka peserta didik
tersebut jelas kurang mempunyai motivasi belajar.
2. Faktor Ekstern
Faktor yang tidak kalah penting pengaruhnya pada motivasi belajar
peserta didik adalah faktor ekstern. Faktor ekstern adalah faktor yang berasal
dari luar. Beberapa faktor luar yang berpengaruh pada motivasi belajar
peserta didik adalah sebagai berikut :
a. Guru
Guru merupakan sosok yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
belajar peserta didik. Guru yang profesional akan mampu menciptakan
pembelajaran yang memotivasi peserta didik untuk menjawab rasa ingin
-
37
tahu mereka mengantarnya pada penguasaan kompetensi tertentu. Oleh
karena itu, guru merupakan faktor penentu peserta didik dalam meraih
keberhasilan pendidikannya. Dalam proses pembelajaran, motivasi
menjadi aspek penting yang harus dilakukan oleh guru. Tidak semua
peserta didik di dalam suatu kelas memiliki motivasi yang kuat untuk
mengikuti jam pelajaran. Ada peserta didik yang terpaksa masuk kelas
karena takut pada gurunya, takut dimarahi orang tuanya, dan ada juga
peserta didik yang masuk kelas karena dorongan dalam dirinya untuk
memahami pelajaran.
Semua guru menginginkan peserta didiknya mempunyai motivasi
yang kuat dalam belajar. Karena pada prinsipnya, motivasi mempunyai
korelasi positif dengan prestasi belajar peserta didik. Jika ada peserta didik
yang tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik dan dirapor selalu
berderet nilai dengan warna merah, bisa jadi hal tersebut karena peserta
didik tidak memiliki motivasi dan bukan berarti peserta didik itu bodoh.
Oleh karena itu, guru harus selalu memberikan motivasi yang kuat
terhadap peserta didik. Motivasi erat kaitannya dengan kebutuhan. Peserta
didik akan bertindak dengan cepat apabila dalam dirinya ada kebutuhan.
Layaknya makan dan minum, seseorang tentu tidak akan pernah lupa
dengan makan dan minum karena itu menjadi kebutuhan peserta didik
untuk hidup. Lantas bagaimana belajar didalam kelas bisa menjadi
kebutuhan tiap peserta didik ? semua itu tergantung pada sejauh mana
guru mampu memberikan motivasi pada peserta didik.
Sikap guru, baik didalam kegiatan pembelajaran maupun diluar
pembelajaran pun akan tetap berpengaruh pada peserta didik. Sikap yang
-
38
hangat, penuh perhatian, dan kasih sayang akan menumbuhkan motivasi
belajar peserta didik dalam kegiatan pembelajaran yang disajikannya.
Namun sebaliknya, sikap cuek, judes, dan sering marah-marah justru akan
mendorong peserta didik untuk malas mengikuti kegiatan pembelajaran
yang disajikan. Mengikuti pembelajarannya saja sudah tidak mau, apalagi
termotivasi untuk belajar. Tentu hal itu akan sangat mustahil.
Selain sikap guru, metode pembelajaran yang digunakan oleh guru
juga sangat berpengaruh pada motivasi belajar peserta didik. Penggunaan
metode pembelajaran yang bervariasi akan menambah minat peserta didik
dalam belajar. Peserta didik tidak akan merfasa bosan dikarenakan
pembelajaran yang hanya sekedar mendengarkan ceramah guru. Sering
kita temui, peserta didik yang justru mengantuk karena pembelajaran yang
bersifat satu arah saja (guru aktif, peserta didik pasif). Oleh karena peserta
didik yang belajar maka sudah seharusnya guru kreatif dalam
membimbing dan mendidik menggunakan tektik-teknik yang
mengembangkan aktivitas belajar dan berpikir peserta didik.
Penggunaan media pembelajaran juga sangat berpengaruh pada
motivasi belajar peserta didik dikelas. Media pembelajaran dapat membuat
materi pembelajaran yang abstrak menjadi lebih riil atau nyata dimata
peserta didik sehingga mudah dipahami. Apalagi dengan melihat bentuk
media yang mungkin masih asing bagi peserta didik akan membangkitkan
rasa ingin tahu tentang media tersebut. Sayangnya guru masih banyak
yang enggan menggunakan media pembelajaran dengan alasan ribet,
waktu terbatas, atau tidak ada sarana disekolah.
-
39
b. Lingkungan Belajar
Lingkungan belajar juga sangat besar pengaruhnya pada motivasi belajar
peserta didik. Lingkungan belajar yang kondusif akan mendorongpeserta
didik untuk selalu termotivasi dalam belajar. Namun sebaliknya,
lingkungan belajar yang tidak kondusif akan menimbulkan peserta didik
malas dalam belajar.
Lingkungan belajar dalam hal ini dapat berupa lingkungan belajar
dikelas, sekolah, atau bahkan dirumah peserta didik. Lingkungan belajar
secara fisik seperti bangunan yang memadai, kebersihan yang terjaga, dan
penataan berbagai sarana yang rapi akan menyebabkan peserta didik betah
dan enjoy dalam belajar. Lingkungan belajar lain, misalnya teman sekolah
dan masyarakat sekitar yang tertib akan mampu mempengaruhi motivasi
belajar peserta didik.
Lingkungan belajar yang tidak kondusif juga akan berpengaruh pada
motivasi belajar peserta didik. Sebagai contoh, sekolah yang berlokasi
deket pasar atau terminal, tentu saja setiap saat akan bising karena suara
teriakan pedagang atau sopir dan kondektur bis yang teriak-teriak mencari
penumpang. Peserta didik yang jahil atau suka iseng mungkin akan
menirukan teriakan peagang atau kondektur. Dengan demikian, mereka
akan mengganggu situasi kelas dan menjadi tidak kondusif.
c. Sarana Prasarana
Tidak dipat dipungkiri bahwa ketersediaan sarana prasarana disekolah
akan mempengaruhi motivasi belajar peserta didik. Sekolah yang memiliki
sarana prasarana memadai akan mendorong peserta didik untuk selalu
termotivasi dalam belajar. Peserta didik akan merasa senang dan lebih
-
40
mudah mempelajari materi pelajaran karena berbagai sarana dan prasarana
yang mendukung setiap kegiatan pembelajaran, tersedia dengan baik.
Namun kita tahu, tidak semua sekolah memiliki cukup sarana
prasarana yang mendukung setiap kegiatan pembelajaran. Ini menjadi
salah satu alasan mengapa peserta didiknya kurang termotivasi dalam
belajar. Meskipun tidak menjamin bahwa semua sekolah yang kurang
memiliki sarana prasarana, peserta didiknya menjadi malas belajar.
d. Orangtua
Sikap orang tua yang selalu memperhatikan kemajuan belajar anaknya,
akan mendorong anak untuk lebih semangat dalam belajar. Perhatian dan
peran orang tua memang sangat dibutuhkan oleh peserta didik. Apalagi
jika peserta didik masih tergolong anak-anak dan remaja. Sebab, dalam
usia ini, mereka belum mampu mandiri dalam segala hal, termasuk dalam
hal belajar.
Pengalaman menarik sekaligus menyedihkan pernah penulis alami
ketika menyajikan pembelajaran dikelas. Waktu itu, penulis membagikan
hasil ulangan peserta didik dan menyuruh mereka memintakan tanda
tangan orang tua atau wali pada kertas ulangan tersebut kemudian
dikumpulkan kembali. Tiba-tiba seorang peserta didik yang duduk
dibangku paling depan dengan muram berkata,‟‟Bu, nanti yang tanda
tangan dikertas ulangan saya siapa?‟‟ seketika penulis tersentak karena
ternyata peserta didik tersebut sudah tidak mempunyayi orang tua lagi dan
hanya tinggal dengan neneknya yang sudah renta sehingga memegang
pena pun sudah tidak sanggup lagi. Oleh karena tidak tega, akhirnya
penulis menjawab, „‟tidak apa-apa, biar nanti saya saja yang tanda tangan
-
41
dikertas ulanganmu‟‟. Mendengar jawaban demikian, peserta didik
tersebut akhirnya tersenyum senang.
Sebelum penulis mengetahui keadaan keluarga peserta didik tersebut,
sempat heran karena dia sama sekali tidak punya motivasi untuk belajar.
Bahkan, diberi pertanyaan pun sering menjawab dengan jawaban yang
melenceng jauh dari apa yang diharapkan (tidak nyambung). Jika
mengerjakan tugas maka dia hanaya menyontek punya teman. Lalu, jika
soalnya sulit, dia langsung berhenti dan tidak mau mengerjakan tugas lagi.
Dari pengalaman tersebut, penulis membuktikan bahwa ternyata
peran orang tua dan keluarga sangat berpengaruh pada motivasi belajar
peserta didik. Peserta didik yang cukup mendapatkan perhatian orang tua
dan keluarga maka akan termotivasi untuk belajar karena selalu ada yang
memberi semangat dan dorongan. Sebaliknya, jika orang tua dan keluarga
masa bodoh (cuek) dengan kemajuan belajar peserta didik maka peserta
didik juga akan merasa masa bodoh dengan belajarnya. Belajar menjadi
hal yang tidak penting lagi bagi peserta didik, tetapi yang lebih utama
justru mencari perhatian disekolah, baik dari guru maupunteman-
temannya.
2.4 Analisis Hubungan Antara Self Efficacy dan Kecerdasan Emosi
Terhadap Motivasi Belajar
Self-efficacy adalah keyakinan individu untuk melakukan kontrol dan
pengelolaan tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan
(Bandura, 1997). Self Efficacy timbul dari akuisisi secara bertahap antara faktor,
sosial, bahasa, dan atau fisik keterampilan melalui pengalaman. Penelitian
menunjukkan bahwa Self Efficacy yang tinggi berkontribusi terhadap
-
42
motivasi. Selain itu self efficacy juga memberi manfaat secara efektif kepada
individu untuk mengintegrasikan, dan menggunakan informasi dalam
meningkatkan kejelasan dalam mendukung motivasi untuk melakukan suatu
aktivitas Menurut Albert Bandura, self efficacy yaitu keyakinan diri seseorang
bahwa dirinya mampu menemukan cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan
serta keyakinan bahwa cara-cara itu dapat menghantarkannya kepada
tercapainya suatu tujuan.Seseorang yang memiliki self efficacy rendah akan
cenderung merasa helpless, tidak mampu melakukan pengaturan pada keadaan
yang terjadi dalam hidupnya. Pada saat mereka menghadapi hambatan,
mereka akan dengan cepat menyerah, bila pada usaha pertama sudah
mengalami kegagalan. Seseorang yang memiliki self efficacy sangat rendah tidak
akan melakukan upaya apapun untuk mengatasi hambatan yang ada, karena
mereka percaya bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak akan membawa
pengaruh apapun. Self efficacy yang rendah dapat merusak motivasi,
menurunkan aspirasi, mengganggu kemampuan kognitif, dan secara tidak
langsung dapat mempengaruhi kesehatan fisik.
Di sisi lain, seseorang yang memiliki self efficacy tinggi percaya bahwa
mereka dapat menanggulangi kejadian dan situasi secara efektif. Mereka
mempunyai kepercayaan diri yang tinggi berkaitan dengan kemampuan
mereka dibanding dengan orang yang memiliki self efficacy rendah, dan mereka
hanya menunjukkan sedikit keraguan terhadap diri sendiri. Mereka melihat
kesulitan yang ada adalah sebagai sesuatu yang menantang, dibandingkan
sebagai sesuatu yang mengancam, mereka juga secara aktif selalu berusaha
menemukan situasi - situasi baru. Tingginya self efficacy menurunkan rasa takut
akan kegagalan, meningkatkan aspirasi, meningkatkan cara penyelesaian
-
43
masalah, dan kemampuan berpikir analitis dan hal tersebut terkait secara
langsung dengan kecerdasan emosi yang dimiliki oleh seseorang.
Selain self efficacy, kecerdasan emosi juga memberikan peran terhadap
terbentuknya sikap mandiri seseorang. Kecerdasan emosi merupakan proses
pribadi yang terus berusaha mencapai tingkatan emosi yang sehat intrafisik
dan intrapersonal. Remaja yang matang secara emosional terlibat dengan
kepentingan dengan orang lain, mampu mengekspresikan emosi dengan
spontan. Individu yang cerdas secara emosi dapat menentukan dengan tepat
kapan dan sejauh mana perlu terlibat dalam masalah sosial, serta dapat turut
serta memberikan jalan keluar atau solusi yang diperlukan (Jannah, 2013).
Proses pembelajaran dengan paradigma lama harus diubah dengan
paradigma baru yang dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam berpikir,
arah pembelajaran yang lebih kompleks tidak hanya satu arah sehingga proses
belajar mengajar akan dapat meningkatkan kerjasama diantara mahasiswa dan
dosen, mahasiswa dengan mahasiswa maka dengan demikian siswa yang
kurang akan dibantu oleh mahasiswa yang lebih pintar sehingga proses
pembelajaran lebih hidup dan hasilnya lebih baik. Kegiatan pendidikan adalah
suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi.
Sedangkan, belajar adalah suatu proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang
terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain dan
membangun pengertian dan pengetahuan bersama. Dengan demikian dalam
proses pembelajaran ada hubungan emosional pada saat pembelajaran
berlangsung. Inteligence Quotien hanya memberikan kontribusi terhadap
kesuksesan hidup seseorang sebanyak 20% dan 80% sangat ditentukan oleh
faktor-faktor lain. Salah satu diantaranya adalah Emotional Intellegence atau
-
44
kecerdasan emosional. Kecerdasan ini meliputi kesadaran diri, kendali
dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi, empati dan
ketahananmenghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan, mengantur suasana hati dan menjaga agar
bebas stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdoa
(Fauziah, 2015).
Menurut Salovey & Mayer (dalam Saptoto, 2010) menggunakan
istilah kecerdasan emosi untuk menggambarkan sejumlah keterampilan yang
berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan
orang lain, serta kemampuan perasaan untuk memotivasi, merencanakan, dan
meraih tujuan kehidupan. Jadi dengan adanya Self Efficacy yang tinggi
berkontribusi terhadap kecerdasan emosi dan pada akhirnya dapat
mendukung atas memaksimalkan tingkat motivasi belajar yang dimiliki oleh
seseorang.
Dalam teori psikologi menjelaskan bahwa kecerdasan emosional
berpengaruh terhadap motivasi belajar seseorang dan motivasi belajar punya
pengaruh terhadap pencapaian prestasi belajar. Akan tetapi pada
kenyataannya, belum banyak staf pengajar di institusi pendidikan memberi
perhatian pada teori tersebut. Dari teori tersebut jika kecerdasan emosional
dikembangkan akan mengoptimalkan motivasi dan prestasi belajar
mahasiswa. Motivasi belajar menentukan hasil atau prestasi belajar. Makin
tepat motivasi yang diberikan, makin berhasil pelajaran itu. Mahasiswa dengan
motivasi belajar yang rendah cenderung punya hasil prestasi belajar yang
rendah juga. Untuk mengatasi hal tersebut, diharapkan para dosen sebaiknya
-
45
juga memberikan sentuhan pada ranah afektif mahasiswa dengan memberi
dorongan motivasi belajar kepada mahasiswa (Mulati, 2012).
Motivasi dikatakan sebagai sesuatu yang kompleks, karena motivasi
akan menyebabkan terjadinya perubahan energi yang ada pada diri manusia,
sehingga akan berpengaruh terhadap gejala kejiwaan, perasaan dan juga
emosi, untuk kemudian bertindak atau bersikap terhadap sesuatu. Motivasi
melakukan sesuatu didorong oleh adanya tujuan atau keinginan yang kuat dari
dalam diri seseorang. Belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non-
intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah,
merasa senang dan semangat untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi
kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Hasil
belajar siswa akan optimal kalau ada motivasi yang tepat. Semangat dan
perhatian siswa pada pelajaran instalasi listrik rata-rata cukup baik. Dengan
sikap percaya diri dan cita-cita siswa yang berbeda-beda yang dimilki siswa
dalam mata dilat instalasi listrik, maka motivasi antara siswa yang satu dengan
lain berbeda-beda pula. Motivasi belajar siswa sangat berpengaruh terhadap
prestasi yang diperoleh siswa dalam belajar. Siswa yang mempunyai motivasi
yang besar hasil yang dicapai lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
mempunyai motivasi yang kurang (Miru, 2009).