BAB II
MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA DAN HAK-HAK MASYARAKAT
HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA
A. Masyarakat Hukum Adat di Indonesia
1. Pengertian Masyarakat Hukum Adat Indonesia
Sifat hukum adat Indonesia sangat berbeda dengan sifat hukum
bangsa Belanda.1 Hal ini disadari oleh bangsa Belanda pada saat
kedatangan mereka pertama kali ke Indonesia. Hukum adat memiliki sifat
tidak tertulis yang berasal dari adat-istiadat yang hidup dan berkembang
dalam suatu masyarakat,2 sedangkan sifat hukum Belanda adalah
kodifikasi aturan-aturan dalam bentuk undang-undang dan ketetapan-
ketetapan, yang secara lahiriah dibedakan dari peraturan-peraturan moral,
kebijaksanaa, estetika dan digolongkan ke dalam kategori-kategori hukum
tergantung objek yang diatur.3
Sifat hukum adat Indonesia yang tidak teratur dan tidak bersumber ini
dirasa aneh oleh bangsa Belanda karena hukum ini tiba-tiba saja muncul
tanpa suatu sumber yang pasti.4 Keanehan sifat hukum adat ini menarik
minat para ahli hukum Belanda untuk melakukan penelitian lebih dalam
tentang hukum adat,5 yang diawali dengan penelitian terhadap sifat dan
susunan badan-badan persekutuan hukum, tempat orang-orang yang
1 Soekanto, Op.Cit., Hlm.1.
2 Ibid, Hlm.1.
3 Van Vollenhoven, Op.Cit., hlm.1.
4 Ibid, hlm.2.
5 Soekanto, Op.Cit., hlm.1.
dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari.6 Mengenai pengertian
persekutuan hukum ini, Ter Haar memberikan suatu pendapat, yaitu
Persekutuan hukum adalah pergaulan hidup masyarakat dalam suatu
kesatuan golongan secara lahir dan batin yang mempunyai tata susunan
yang tetap, yaitu orang-orang dalam golongan tersebut tidak punya niat
untuk membubarkan golongan atau keluar dari golongan. Golongan
tersebut mempunyai pengurus dan mempunyai harta yang benda materiil
dan immateriil.7
Pernyataan Van Vollenhoven tentang keberadaan persekutuan hukum
ini diperkuat oleh pernyataan Soekanto, bahwa pada masyarakat
Indonesia ditemukan persekutuan-persekutuan hukum, yaitu warga yang
mempunyai hubungan kekeluargaan yang erat dan berdasarkan
keturunan dari satu nenek moyang atau hubungan yang timbul karena
wilayah tempat tinggal yang sama.8 Istilah Persekutuan Hukum kemudian
berganti menjadi Masyarakat Hukum Adat seiring dengan pengakuan
Negara terhadap keberadaan masyarakat hukum yang ditindaklanjuti
dengan perumusan definisi Masyarakat Hukum Adat oleh Negara, yaitu :9
“Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum.”
6 Pernyataan Van Vollenhoven dalam orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901 yang dilihat dari buku R.Soepomo,
Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Pramita, Jakarta, 2003. 7 R. Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Pramita, Jakarta, 2008, hlm.50.
8 Soekanto, Op.Cit., hlm.60.
9 Pasal 1 ayat (31) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Perubahan istilah ini kemudian diikuti oleh ahli-ahli hukum Indonesia
yang dalam tulisan penelitiannya mengganti sebutan persekutuan hukum
menjadi hukum adat .
Rumusan definisi Masyarakat Hukum Adat di atas terdapat pada pasal
1 ayat (31) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut Undang-Undang
Lingkungan Hidup) di atas hanya berupa definsi sederhana tanpa ada
penjelasan lebih lanjut tentang Masyarakat Hukum Adat yang dapat
menjelaskan pengertian Masyarakat Hukum Adat lebih terperinci sehingga
tampak perbedaan antara Masyarakat Hukum Adat dan kelompok
masyarakat pada umumnya, misal rumusan ini tidak mampu menjelaskan
bentuk-bentuk Masyarakat Hukum Adat berdasarkan daerah, bentuk-
bentuk keturunan yang dapat digolongkan sebagai dasar keterikatan
Masyarakat Hukum Adat dan corak khas Masyarakat Hukum Adat yang
menjadi daya pembeda Masyarakat Hukum Adat dengan kelompok
masyarakat pada umumnya.
Perumusan Masyarakat Hukum Adat Indonesia, pada hakikatnya tidak
boleh didasarkan pada dogma melainkan harus didasarkan pada
kehidupan nyata Masyarakat Hukum Adat di Indonesia,10 agar dapat
mencakup semua jenis, corak dan bentuk Masyarakat Hukum Adat yang
terdiri dari banyak jenis dan berbeda satu sama lain,11 jadi perumusan
berdasarkan kehidupan nyata Masyarakat Hukum Adat ini dimaksudkan
agar kelompok masyarakat yang pada hakikatnya adalah Masyarakat
10
R.Soepomo, Op.Cit.,hlm.49. 11
Soekanto menjabarkan perbedaan ini dalam buku yang berjudul “Menindjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1958.
Hukum Adat dapat digolongkan sebagai Masyarakat Hukum Adat tanpa
terbentur dengan aturan-aturan yang dibuat berdasarkan pemikiran
seseorang.
Kekosongan penjelasan tentang Masyarakat Hukum Adat ini
membutuhkan penelitian lebih lanjut tentang Masyarakat Hukum Adat
yang didasarkan pada kehidupan nyata dari masyarakat yang
bersangkutan. Untuk menjelaskan pengertian lebih dalam tentang
Masyarakat Hukum Adat, penulis melakukan studi pustaka pada hasil-
hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli hukum, baik ahli hukum
Indonesia maupun ahli hukum belanda. Pengertian lebih dalam tentang
Masyarakat Hukum Adat yang lebih terperinci diberikan oleh Hazairin,
seorang ahli hukum Indonesia melakukan pengamatan langsung terhadap
Masyarakat Hukum Adat.
Pengertian Masyarakat Hukum Adat menurut Hazairin adalah
kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-
kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan
hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan
hak bersama atas tanah dan air bagi anggotanya. Bentuk hukum
kekeluargaannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi
sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian,
peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air,
ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan
kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.
Penghidupan mereka berciri : komunal, yaitu gotong royong, tolong-
menolong, serasa dan semalu mempunyai peranan yang besar. 12
Rumusan Masyarakat Hukum Adat di atas, apabila dicermati lebih
lanjut dan dilakukan penelitian terhadap keberadaan Masyarakat Hukum
Adat, maka Masyarakat Hukum Adat dapat digolongkan ke dalam tiga
jenis, yaitu :13
1. Persekutuan Genealogis, yaitu Masyarakat Hukum Adat yang
warganya mempunyai hubungan erat atas keturunan yang sama, di
mana faktor keturunan adalah faktor yang sangat penting.
2. Persekutuan Teritorial, yaitu persekutuan hukum yang warganya terikat
oleh satu daerah atau wilayah tertentu, di mana faktor hubungan
wilayah merupakan faktor yang paling penting.
3. Genealogis-teritorial, yaitu persekutuan hukum yang warganya
menganggap hubungan keturunan dan wilayah sangat penting.
Berdasarkan hubungan genealogis, Masyarakat Hukum Adat
mempunyai tiga bentuk garis keturunan, yaitu :14
1. Patrilineal, yaitu garis keturunan keluarga ditarik dari garis keturunan
nenek moyang dari pihak laki-laki.
2. Matrilineal, yaitu garis keturunan keluarga ditarik dari garis keturunan
nenek moyang dari pihak ibu.
12
Soerjono Soekanto, Op.Cit.,93. 13
Soekanto, Op.Cit., hlm.60. 14 Ibid, hlm.63.
3. Keturunan garis bapak dan ibu, yaitu keturunan berasal kedua orang
tua yaitu bapak dan ibu, bukan dari salah satu pihak.
Bentuk garis keturunan patrilineal dan matrilineal melarang pernikahan
dengan orang dari kelompok marga yang sama, karena kelompok marga
yang sama dianggap sebagai keluarga sedarah karena berasal dari satu
keturunan yang sama, sedangkan keturunan garis bapak-ibu mempunyai
kebiasaan untuk menikahkan anak-anak mereka dengan orang dari suku
yang sama untuk memelihara hubungan kekeluargaan.15
Berdasarkan lingkungan daerah, dikenal tiga jenis pembagian
Masyarakat Hukum Adat, yaitu :16
1. Persekutuan desa, yaitu segolongan orang yang terikat pada suatu
tempat kediaman.17 Persekutuan desa juga termasuk dukuh-dukuh
terpencil yang tidak berdiri sendiri dan pejabat pemerintah desa
bertempat tinggal di dalam pusat kediaman itu.18
2. Persekutuan daerah, yaitu suatu daerah tertentu yang terletak
beberapa desa yang masing-masing mempunyai tata susunan dan
pengurus sendiri-sendiri yang sejenis dan berdiri sendiri tetapi
semuanya merupakan bagian bawahan daerah, mempunyai harta
benda dan menguasai hutan dan rimba di antara atau di sekeliling
15
Ibid, hlm.63. 16
Ibid, hlm.52. 17
Ibid, hlm.52. 18 Surojo Wignjodipuro, Op.Cit., hlm.80.
tanah-tanah yang ditanami dan tanah-tanah yang ditinggali oleh
penduduk desa.19
3. Perserikatan Beberapa Kampung, yaitu badan persekutuan kampung
yag terletak berdekatan satu sama lain. Badan-badan persekutuan
tersebut mengadakan persetujuan untuk memelihara kepentingan-
kepentingan bersama, misalnya : mengadakan pengairan, mengurus
perkara atau mengadakan perikatan, oleh karena para pembuka
kampung adalah keturunan dari satu nenek moyang.20
Persekutuan desa sebagai suatu kehidupan bersama bercorak :21
1. Religius22
Corak religius adalah kesatuan batin, yaitu orang segolongan yang
merasa satu dengan golongan seluruhnya, bahkan seorang individu
dalam persekutuan itu merasa dirinya hanya sebagai suatu bagian saja
dari alam lingkungan hidupnya. Tidak ada pembatasan antara dunia
lahir dan duna gaib serta tidak ada pemisahana antara berbagai
macam lapangan hidup, seperti kehidupan arwah-arwah dari nenek
moyang dan kehidupan makhluk-makhluk bukan manusia lainnya.23
Kuntjaraningrat, dalam tesisnya menulis unsur-unsur alam pikiran Religio
magis, yaitu:
19
Bushar Muhammad, Op.Cit., hlm.80. 20
R.Soepomo, Op.Cit., hlm.53. 21
Surojo Wignjodipuro, Op.Cit., hlm.95. 22
Ibid, hlm.95. 23 Ibid, hlm.95.
a. Kepercayaan kepada makhluk halus, roh-roh dan hantu-hantu yang
menempati seluruh alam semesta, dan khusus gejala-gejala alam,
tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-benda.24
b. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam
semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa luar biasa,
binatang-binatang yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan
suara yang luar biasa.25
c. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan dalam
berbagai perbuatan ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau
untuk menolak bahaya gaib.26
2. Kemasyarakatan atau Komunal
Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat yang hidup dalam
golongan-golongan bersama secara tradisional, yaitu hidup secara
gotong royong dan saling tolong menolong dan individu-individunya
terikat pada masyarakat sehingga mereka tidak bisa bebas melakukan
segala perbuatan. Tiap warga mempunyai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban menurut kedudukannya di dalam golongan masyarakat.27
3. Demokratis
Suasana demokatis dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat selaras
dengan sifat komunal Masyarakat Hukum Adat di mana kepentingan
bersama wajib lebih diutamakan daripada hak-hak dan kepentingan-
24
Ibid, hlm.96. 25
Ibid, hlm.96. 26
Ibid, hlm.96. 27 Ibid, hlm.96.
kepentingan perseorangan. Suasana ini dijiwai oleh asas-asas Hukum
Adat yang mempunyai nilai universal, yakni asas persetujuan sebagai
kekuasaan dan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai sistem
pemerintahan.28
Uraian tentang Masyarakat Hukum Adat di atas memperkaya
pengertian definisi tentang Masyarakat Hukum Adat yang ditetapkan
dalam pasal 1 ayat (31) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 dengan
menjelaskan tata susunan Masyarakat Hukum Adat, yaitu genealogi,
teritorial, dan genealogi-teritorial, serta penggolongan tata susunan
genealogi dalam bentuk patrilineal, matrilineal dan garis keturunan bapak-
ibu. Kemudian, bentuk-bentuk teritorial yang terbagi atas persekutuan
desa, persekutuan daerah dan perserikatan desa, di mana masing-masing
golongan hukum adat mempunyai pranata ekonomi, politik, sosial, dan
hukum, yaitu susunan pemerintahan dan hukum sendiri. Uraian di atas
juga memberikan pengertian lebih jelas tentang corak Masyarakat Hukum
Adat yang membedakannya dengan bentuk masyarakat yang lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian Masyarakat Hukum Adat berbeda dengan pengertian
masyarakat umumnya yang adalah sekelompok manusia yang hidup
bersama dalam jangka waktu lama sehingga mereka merasa menjadi
suatu kesatuan dan akibat interakasi antar anggota kelompok masyarakat
timbul lah kebudayaan.29 Sedangkan Masyarakat Hukum Adat adalah
masyarakat hukum yang berdasarkan hukum adat yang bersifat teritorial
28
Ibid, hlm.97. 29 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm.2-4.
atau genealogis yang memiliki susunan kelompok masyarakat yang tetap
dan memiliki harta benda materiil dan imateriil. Dari segi sifat dan corak
pun Masyarakat Hukum Adat berbeda dengan masyarakat pada
umumnya, yaitu Masyarakat Hukum Adat mempunyai sifat dan corak
khusus, yaitu magis-religius dan komunal serta mempunyai sifat
demokrasi sendiri.
2. Pengertian Hukum Adat
Istilah hukum adat pertama kali digunakan oleh Snouck Hurgronje
untuk menunjukkan aturan-aturan adat yang berakibat hukum.30 Pada
dasarnya kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan.31
Kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia untuk menamai tingkah laku
masyarakat yang dilakukan terus-menerus hingga menjadi suatu
kebiasaan, karena ada banyak istilah dalam bahasa suku-suku di
Indonesia yang bermakna kebiasaan.32
Hukum adat adalah hukum yang bersumber dari adat-istiadat yang
hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat.33 Adat tersebut berupa
kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.34
Menurut Profesor Kusumadi Pudjosewojo, adat adalah tingkah laku yang
oleh dan dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadatkan.35
Pendapat Kusumadi Pudjosewojo ini lebih diperjelas dengan pendapat
30
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, P.T. Alumni, Bandung, 2002, hlm. 31
C.Van Vollenhoven, Op.Cit., hlm.6. 32
Bushar Muhammad, Op.Cit., hlm.11. 33
Soekanto, Loc.Cit. 34
Bushar Muhammad, Op.Cit., hlm.11. 35 Soerojo Wignjodipoero, Op.Cit., hlm.21.
yang diberikan oleh Hazairin, yaitu Adat adalah tatanan kesusilaan yang
kebenarannya telah mendapatkan pengakuan umum dalam masyarakat,
yaitu kaidah-kaidah yang berupa kesusilaan yang kebenarannya telah
mendapatkan pengakuan umum dalam masyarakat.36
Tidak semua adat merupakan hukum adat, hanya adat yang
mempunyai sanksi yang merupakan hukum adat.37 Sanksinya berupa
reaksi dari masyarakat hukum yang bersangkutan dan pelaksanaan
sanksi dilakukan oleh penguasa masyarakat hukum yang dimaksud.38
Peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh penguasa mempunyai kekuatan
mengikat sehingga dijadikan pedoman bertingkah laku hukum oleh
masyarakat. Pemberlakuan sanksi terhadap pelanggar kaidah adat
menunjukkan sifat hukum dari suatu adat, hal ini lah yang dapat dijadikan
ciri batas suatu adat sebagai adat biasa dan hukum adat. Meskipun
demikian tidak berarti suautu adat yang belum ditetapkan bukanlah aturan
hukum melainkan penetapan hanyalah alat untuk menjadikan suatu adat
sebagai hukum positif.39
Hukum adat bersifat tidak tertulis, karena sifatnya ini, hukum adat tidak
berwujud. Meskipun tidak berwujud, hukum adat dapat dilihat dari praktek-
praktek pemberlakuan hukum berupa penerapan adat-istiadat sebagai
hukum oleh penguasa masyarakat,40 misal penerapan peraturan tingkah
laku untuk mengelola sumber daya alam. Menurut Bagir Manan,
Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat yang berdasarkan pada
36
Pernyaat Prof. Dr. Hazairin dalam pidato yang berjudul “Kesusilaan dan Hukum”, tahun 1952. 37
Surojo Wignjodipuro, Loc.Cit., hlm.17. 38
Ibid, hlm.17. 39
Ibid, hlm.15. 40 Soekanto, hlm.55.
hukum adat.41 Mereka terikat oleh tatanan hukum adat yang tumbuh dan
berkembang secara alami dalam masyarakat.42 Hal ini menunjukkan
bahwa hukum adat merupakan ciri khas suatu Masyarakat Hukum Adat
yang membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya.
3. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia
Soerjono Soekanto, dalam beberapa tulisannya menjelaskan
pengertian masyarakat, yaitu sekelompok manusia yang hidup bersama
dan berinteraksi dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga mereka
menyadari bahwa mereka merupakan sebuah kesatuan yang membentuk
suatu sistem kehidupan bersama yang menghasilkan kebudayaan.43 Di
dalam pergaulannya dalam masyarakat, manusia mendapatkan
pengalaman-pengalaman yang menghasilkan nilai-nilai sehingga manusia
mempunyai konsepsi abstrak mengenai hal yang baik dan buruk.44 Sistem
nilai-nilai tersebut sangat berpengaruh terhadap pola pikir manusia yang
kemudian mempengaruhi sikapnya untuk melakukan sesuatu.45 Sikap
manusia ini kemudian membentuk kaidah atau norma,46 yaitu petunjuk
yang dijadikan pedoman hidup untuk bertingkah laku.47
Kaidah-kaidah ini, dalam perkembangan hidup manusia akan
berkelompok dalam suatu lembaga sesuai keperluan pokok dari
kehidupan manusia, seperti kebutuhan hidup kekerabatan, kebutuhan
41 Husen Alting, Op.Cit., hlm.37. 42
Ibid, hlm.31. 43
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, hlm.3. 44
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm.67. 45
Ibid, hlm.67. 46
Ibid, hlm.67. 47 E.Utrecht, Loc.Cit., hlm.2.
pencarian hidup, dan sebagainya.48 Misalnya, kebutuhan kehidupan
kekerabatan menimbulkan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti
keluarga keluarga batih49 atau persamaan marga dalam Masyarakat
Hukum Adat. Lembaga-lembaga kemasyarakatan ini berfungsi untuk
memberikan pedoman bertingkah laku atau bersikap bagi masyarakat,
menjaga keutuhan masyarakat, dan memberikan pedoman kepada
masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial.50
Masyarakat mempunyai inti yang bersifat dinamis51 yang membuat
masyarakat selalu bergerak sehingga mengalami perubahan-perubahan.52
karena perkembangan masyarakat tidak mungkin berhenti pada suatu titik
tertentu.53 Karena sifat dinamis ini, tidak ada masyarakat yang tidak
mengalami perubahan. Suatu masyarakat bisa saja terlihat tidak berubah
tetapi ada saja hal-hal yang berubah pada masyarakat tersebut walau
perubahan yang terjadi tidak terlalu besar, karena perubahan yang terjadi
bergantung pada sifat dan kondisi masyarakat.54 Berdasarkan hal ini, para
sarjana sosiologi mengklasifikasikan sifat-sifat masyarakat yang dilihat
dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, yaitu
masyarakat yang statis dan masyarakat yang dinamis.55
Masyarakat yang statis adalah masyarakat yang secara relatif
mengalami perubahan yang sedikit sekali terjadi dan berlangsung dengan
lambat sedangkan masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang
48 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, hlm.77. 49 Ibid, hlm.77. 50
Ibid, hlm.78. 51
Ibid, hlm.100. 52
Ibid, hlm.66 53
Ibid, hlm.99. 54
Ibid, hlm.102. 55 Ibid, hlm.101.
mengalami perubahan yang cepat sekali.56 Yang dimaksud dengan
perubahan sosial adalah, segala perubahan pada lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosialnya termasuk nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola perikelakuan di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat.57
Masyarakat Hukum Adat adalah sebuah kesatuan yang dapat
digolongkan sebagai masyarakat, meskipun Masyarakat Hukum Adat
memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan kelompok masyarakat
pada umumnya. Ciri khusus itu adalah sifat religius dan komunal
Masyarakat Hukum Adat.58 Selain itu, Masyarakat Hukum Adat juga
merupakan masyarakat yang hidup berdasarkan hukum adat dan
kebiasaan-kebiasaan yang diturunkan oleh nenek moyang mereka yang
disebut sebagai hukum adat.59 Sifat dan corak ini berbeda dari sifat
masyarakat pada umumnya yang hanya merupakan kelompok manusia
yang hidup bersama dalam jangka waktu cukup lama dan saling
berinteraksi sehingga mereka merasa sebagai suatu kesatuan, hasil
interkasi antar anggota menimbulkan suatu kebudayaan.60
Masyarakat Hukum Adat, sebagai masyarakat tentu tidak luput dari
perubahan, meskipun perubahan yang terjadi bukanlah perubahan yang
mendasar atau signifikan yang membuat perubahan tersebut tidak tampak
sehingga seolah-olah tidak ada perubahan pada Masyarakat Hukum Adat.
Contoh Masyarakat Hukum Adat yang mengalami perubahan adalah
Masyarakat Hukum Adat Baduy, yang pada awalnya mempunyai suatu
56
Ibid, hlm.101. 57
Ibid, hlm.101. 58
Otje Salman Soemadiningrat, Op.Cit., hlm.30. 59
Soekanto, Loc.Cit. 60 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, hlm.2.
kesatuan masyarakat yang hidup berdasarkan tradisi dan hukum adat
yang sama, akan tetapi seiring berjalannya waktu, masyarakat hukuma
dat Baduy mengalami perubahan, yaitu Masyarakat Hukum Adat Baduy
terbagi menjadi dua, yaitu suku Baduy dalam yang masih memegang
teguh prinsip hukum adat dan suku Baduy luar yang masih menganggap
dirinya bagian dari suku Baduy tetapi berpedoman pada hukum adat yang
mengalami perubahan.
Perubahan yang terjadi pada Masyarakat Hukum Adat menimbulkan
pertanyaan tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat setelah
perubahan yang terjadi, karena berdasarkan perbedaan Masyarakat
Hukum Adat dengan masyarakat pada umumnya, Masyarakat Hukum
Adat mempunyai pengakuan tersendiri termasuk pengakuan terhadap
hak-hak yang mengikuti pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat.
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diadakan analisis tentang dampak
perubahan pada struktur dan sifat Masyarakat Hukum Adat.
Masyarakat Hukum Adat adalah sekumpulan manusia yang hidup
berdasarkan hukum adat dan hidup berdasarkan tradisi nenek moyang.61
Mereka mempunyai asumsi bahwa mereka adalah suatu kesatuan yang
mempunyai keterikatan satu sama lain baik berdasarkan keturunan
maupun persamaan wilayah.62 Apabila ada perubahan-perubahan terjadi
dalam Masyarakat Hukum Adat tetapi tidak bukan merupakan perubahan
pandangan mereka tentang keterikatan mereka satu sama lain dalam satu
kesatuan dan tidak mengubah pandangan mereka, bahwa mereka adalah
masyarakat suatu suku, maka meskipun perubahan terjadi, Masyarakat
61
Soekanto, Loc.Cit. 62 Soekanto, Loc.Cit.
Hukum Adat tersebut masih tegrolong dalam kategori Masyarakat Hukum
Adat dan keberadaannya masih tetap harus diakui.
Terkait dengan hak-hak Masyarakat Hukum Adat, pasal 3 Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria menyatakan hak ulayat Masyarakat Hukum Adat diakui sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, begitu juga pada hak-hak Masyarakat
Hukum Adat dalam hal pengelolaan hutan, diakui selama dalam
kenyataannya masih ada, Pengukuhan keberadaan atau hapusnya
Masyarakat Hukum Adat harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah,63
yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar
hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat
yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang
terkait.64
4. Pengakuan Negara Terhadap Keberadaan Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat Hukum Adat adalah sebuah komunitas tua yang mendapat
pengakuan Negara yang dicantumkan pada pasal 18B ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945. Wujud nyata pengakuan Negara terhadap
Masyarakat Hukum Adat ini terlihat dari undang-undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dibentuk oleh pemerintah. Pasal
2 ayat (9) Undang-Undang ini mengatur bahwa Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pengakuan Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat ini juga
63
Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 64 Penjelasan Undnag-Undang Nomor 41 tahun 1999, pasal 67 ayat (2).
diwujudkan dalam pengaturan yang berhubungan dengan aspek-aspek
kehidupan Masyarakat Hukum Adat lainnya, misal dalam hal pengelolaan
hutan, Negara mengakui keberadaan masyarkat hukum adat. Pengakuan
ini telah tercantum sebelumnya pada pasal 4 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi :
“Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak Masyarakat
Hukum Adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional.”
Pengukuhan keberadaan dan hapusnya Masyarakat Hukum Adat
dietetapkan dengan peraturan daerah,65 yang disusun dengan
mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi
masyarakat setempat dan tokoh-tokoh masyarakat adat yang ada di daerah
yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terikat.66
B. Kedudukan Hukum Adat pada Hukum Nasional Indonesia
1. Sumber Hukum Indonesia
Sumber Hukum Indonesia terdiri dari dua, yaitu sumber hukum materiil
dan sumber hukum formil.67 Sumber hukum materiil adalah sumber hukum
yang menentukan isi kaidah hukum, yaitu menentukan secara jelas atau
nyata tindakan apa saja yang dianggap seharusnya atau patut dilakukan,68
kemudian sumber hukum formil adalah sumber hukum yang menyebabkan
hukum materiil berlaku secara efisien,69 yaitu suatu aturan, terlepas dari
isinya diakui sebagai aturan hukum yang mengikat.70 Sumber-sumber hukum
65
Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 66
Penjelasan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, pasal 67 ayat (2). 67
E.Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, P.T. Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, hlm.82. 68
Ibid, hlm.82. 69
Ibid, hlm.83. 70 N.E. Algra, et.al., Pengantar Ilmu Hukum, Binacipta, Jakarta, 1991, hlm.16.
formil adalah Undang-Undang, Kebiasaan; dan adat yang dipertahakan dalam
keputusan dari penguasa masyarakat, traktat, yurisprudensi dan pendapat
ahli hukum atau doktrin.71
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.72
Selain undang-undang, ada bentuk lain dari peraturan perundang-undangan,
yaitu peraturan tertulis lainnya yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan,73 yang disusun secara hirarki, yaitu Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan
Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.74
Sistem hirarki dalam peraturan perundang-undangan ini menunjukkan
suatu hubungan subordinansi, yaitu pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan ditentukan oleh norma peraturan perundang-undangan
yang kedudukannya lebih tinggi.75 Sehingga pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan tidak boleh tidak sesuai dengan norma peraturan
perundang-undangan di atasnya. Rangkaian proses pembentukan undang-
undang ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi yang menjadi dasar
71
E.Utrecht, Op.Cit., hlm.85. 72
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundanga-Undangan. 73
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. 74
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. 75 Hans Kelsen, Somardi, Teori Hukum Murni, Rimdi Press, Jakarta, 1995, hlm.126.
validitas hirarki peraturan perundang-undangan,76 dan dasar bagi peraturan-
peraturan perundang-undangan.77 Norma dasar ini merupakan konsesus
bersama suatu bangsa tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politk.78
Menurut Hans Nawiasky, norma dasar ini adalah norma pembentuk
konstitusi,79 yaitu peraturan tertinggi yang menjadi sumber dari pembentukan
peraturan perundang-undangan lainnya.80 Undang-Undang dasar merupakan
salah satu bentuk dari konstitusi.81 Dalam penyusunan suatu konstitusi
tertulis, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi rumusan suatu norma ke dalam
Undang-Undang Dasar.82 Di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang
menjadi konsitusi dasar adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,83 yang terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh.84
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung sebuah klausul
yang menyebutkan lima dasar pembentukan Negara Republik Indonesia,
yaitu Pancasila.85 Lima dasar ini merupakan norma dasar bangsa Indonesia
yang merupakan cerminan bangsa Indonesia,86dijadikan dasar untuk
mendirikan bangsa Indonesia,87 dan ditetapkan sebagai sumber dari segala
sumber hukum atau tertib hukum bagi Negara Republik Indonesia.88 Hal ini
lah yang berdasarkan angka III Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar
76 Ibid, hlm.126. 77 Maria Farida Indrati, Loc.Cit., hlm.25. 78 Disertasi A.Hamid S. Attamimi untuk meraih gelar Doktor di bidang Hukum yang dilihat pada buku Maria Farida Indrati, Loc.Cit., hlm.28. 79 Ibid, hlm.28. 80
Hans Kelsen, Somardi, Loc.Cit., hlm.132. 81 Jimly Ashidique, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm.35. 82 Ibid, hlm.35. 83
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 84
TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966. 85
Paragraf ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 86
Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1991, hlm.16. 87
E.Utrecht, Op.Cit., hlm.84. 88Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011.
1945 menjadikan Pembukaan Undang-Undang Dasar memiliki kedudukan
lebih utama daripada batang tubuhnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sumber
hukum Indonesia terdiri dari sumber hukum tertulis, yaitu peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang dan
sumber hukum tertulis, yaitu ketentuan yang bersifat mengikat dalam
masyarakat meskipun tidak tertulis, yaitu kebiasaan atau adat-istiadat yang
memiliki sanksi yang disebut sebagai hukum adat. Kedudukan peraturan
perundang-undangan di Indonesia disusun secara hirarki berdaarkan norma
pembentukannya, di mana norma tertinggi menjadi norma dasar yang
menjadi gantungan dan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan
lainnya dan menjadi norma pembentuk konstitusi. Di Indonesia, Undang-
Undang Dasar 1945 adalah Konstitusi yang mengandung sumber dari segala
sumber hukum di Indonesia, yaitu Pancasila.
2. Hukum Adat Sebagai Hukum Sumber Hukum Nasional
Sebagai cerminan norma dasar kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila
merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.89 Sifat masyarakat
Indonesia yang komunal atau biasa disebut sebagai gotong-royong tercermin
dalam sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia.90 Sifat komunal ini berawal dari
asumsi masyarakat tentang persatuan atau kerukunan yang menjadikan
masyarakat Indonesia tetap hidup dalam kebersamaan.91 Sila ketiga ini juga
89
Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1991, hlm.17. 90
Otje Salman Soemadiningrat, Op.Cit., 139. 91 Ibid, hlm.139.
merupakan penuangan konsep persatuan yang dikenal dalam hukum adat,
yaitu sifat majemuk pada hukum adat masing-masing daerah dan masyarakat
Indonesia tetapi di dalam kemajemukan hukum, bangsa Indonesia tetap hidup
rukun dan saling menghargai satu sama lain.92
Penekanan konsep persatuan pada Pancasila merupakan pemaknaan
esensial yang mengukuhkan terintegrasinya hukum adat dalam sila
Persatuan Indonesia, yang kemudian diberi muatan yuridis melalui TAP MPR
Nomor II.MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila yang menjabarkan konsep gotong-royong secara luas, meliputi
semua golongan pada masing-masing daerah dan masyarakat dengan
menempatkan kepentingan dan keselamatan bangsa secara keseluruhan
yang dikenal dengan konsep Persatuan nasional seperti pada pasal ketiga.93
Dari uraian tentang Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia dan Pengukuhan integrasi hukum adat ke dalam Pancasila dapat
ditarik kesimpulan bahwa hukum adat merupakan hukum nasional.
C. Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Terhadap Pengelolaan Hutan di
Indonesia
1. Dasar Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat menguasai seluruh
kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah Indonesia.94 Hak menguasai
Negara ini didasarkan pada prinsip menguasai Negara yang tercantum pada
pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
92
Ibid, hlm.140. 93
Ibid, hlm.145. 94
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960).
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Hak menguasai
Negara yang dimaksud bukanlah hak milik oleh Negara terhadap seluruh
kekayaan alam di wilayah Indonesia, melainkan kewenangan Negara yang
diberikan kepada pemerintah sebagai penyelenggara kekuasaan negara
untuk :95
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Kewenangan-kewenangan tersebut dilakukan oleh Pemerintah dengan
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.96
Penyelenggaraan kekuasaan Negara di Indonesia dipisahkan
berdasarkan prinsip-prinsip pembagian kekuasaan,97 yaitu kekuasaan
pemerintahan Negara,98 yang dipegang oleh presiden,99 dan dibantu oleh
menteri-menteri Negara;100 Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat,101 sebagai
lembaga yang mempunyai fungsi legislasi,102 yaitu kekuasaan untuk membuat
95 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 . 96 Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. 97
Jimly Ashidique, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm.167. 98
Bab III Undang-Undang Dasar 1945. 99
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 100
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. 101
Bab VII Undang-Undang Dasar 1945. 102 Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
undang-undang;103 dan Kekuasaan Kehakiman,104 sebagai penyelenggara
keadilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan prinsip
pembagian kekuasaan ini, Negara memberikan kewenangan kepada
pemerintah untuk bertindak sebagai alat Negara demi mencapai tujuan
organisasi Negara,105 yang salah satunya adalah kesejahteraan rakyat.106
Salah satu cara mencapai tujuan Negara tersebut adalah pengelolaan
kekayaan alam di wilayah Indonesia, dan karena Indonesiaa adalah Negara
hukum,107 maka penyelenggaraan Negara harus didasarkan pada hukum,
termasuk pengelolaan hutan.
Hukum di Indonesia bersumber pada Undang-Undang, kebiasaan adat
yang dipertahankan oleh keputusan dari penguasa masyarakat adat,
yurisprudensi dan pendapat para ahli.108 Dua sumber hukum Indonesia, yaitu
Undang-Undang dan kebiasaan dan adat yang dipertahankan oleh penguasa
masyarakat adat merupakan cerminan sistem hukum yang dianut oleh
Indonesia, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis adalah
keputusan-keputusan lembaga Negara yang mengikat umum,109 sedangkan
hukum tidak tertulis adalah hukum yang bersumber pada kebiasaan suatu
Masyarakat Hukum Adat..110
Berdasarkan uraian tentang Kekuasaan Negara, Prinsip Menguasai
Negara dan Penyelenggaraan Negara Berdasarkan Hukum, di atas maka
103 Pernyataan John Locke dalam bukunya yang berjudul Two Treaties on Civil Government (1690) yang dilihat dari buku C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, jilid 1, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm.76. 104 Bab IX Undang-Undang Dasar 1945. 105 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, jilid 1, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm.91. 106
Ibid, hlm.91. 107
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. 108
E.Utrecht, Loc.Cit. 109
Ibid, hlm.85. 110 Soekanto, Op.Cit., hlm.1.
pemerintah sebagai alat Negara harus membentuk suatu pedoman yang
digunakan untuk melaksanakan pengelolaan hutan di Indonesia. Pedoman
pengelolaan hutan yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia untuk pertama
kali setelah Indonesia merdeka adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Kehutanan yang kemudian disempurnakan oleh
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.111
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 menyebutkan hak Negara atas
hutan, yaitu “kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”112 Maksud
penguasaan hutan oleh Negara adalah pemberian kewenangan dari Negara
kepada pemerintah untuk :113
1. Mengatur dan Mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan;
2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau
bukan kawasan hutan;
3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
kehutanan.
Meskipun Negara memiliki kekuasaan atas hutan, tetapi Negara tetap
harus memperhatikan hak-hak Masyarakat Hukum Adat terhadap hutan,114
yaitu pengelolaan hutan berdasarkan pada hukum adat mereka, karena
hukum adat merupakan salah satu sumber hukum Indonesia,115 dan
111
Salim H.S., Op.Cit., hlm. 12. 112
Pasal 4 (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 . 113
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 114
Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999. 115 E.Utrecht, Loc.Cit.
merupakan bagian yang terintegrasi dalam pancasila,116 yang adalah sumber
dari segala sumber hukum Indonesia,117 yang dicantumkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia,118 dan merupakan hukum tertinggi
dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia.119
2. Hukum Kehutanan
Pendefinisian tentang arti hukum sangat sulit untuk dibuat karena tidak
mungkin membuat definisi tentang hukum yang sesuai dengan kenyataan.120
Definsi hukum bisa diketahui dari pengertian hukum dengan melihat latar
belakang pembentukan dan tujuan hukum.121 Latar Belakang terbentuknya
hukum adalah keadaan dan sifat manusia sebagai anggota masyarakat dan
makhluk bergaul.122 Setiap anggota masyarakat memiliki kepentingan
masing-masing yang belum tentu sama satu dengan yang lainnya.123 Jika ada
kepentingan masing-masing anggota masyarakat yang berbeda dengan yang
lainnya, misal konflik kehutanan yang terjadi karena ada pertentangan
kepentingan masyarakat dengan Negara, maka akan menimbulkan
kekacauan pada masyarakat, sehingga dibutuhkan suatu kekuasaan untuk
menyeimbangkan kepentingan yang berbeda tersebut.124
Perdamaian pada dua atau lebih kepentingan yang berbeda antara dua
pihak atau lebih dapat tercipta dengan adanya suatu peraturan yang berisi
perintah dan atau larangan dan ditaati oleh setiap anggota masyarakat,
116 Otje Salman, Loc.Cit. 117
Dardji Darmodihardjo, Loc.Cit. 118 Pembukaan undang-Undang Dasar 1945, paragraf ke-empat. 119 TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan Republik Indonesia menurut UUD 1945. 120
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm.34. 121
E.Utrecht, Op.Cit., hlm.2. 122
Ibid., hlm.2. 123
Ibid, hlm.2. 124 Ibid, hlm.2.
peraturan tersebut kemudian menjadi pedoman yang disebut sebagai kaidah
atau norma.125 Sebagai norma atau kaidah, hukum dapat dirumuskan
sebagai himpunan petunjuk hidup yang berisi perintah dan larangan yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan ditaati oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan oleh karena pelanggaran petunjuk hidup
tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa
masyarkat yang bersangkutan.126
Sifat hukum berakar pada kepribadian masyarakatnya.127 Begitu juga sifat
hukum di Indonesia berakar pada kepribadian bangsa Indonesia, yaitu
Pancasila.128 Tujuan hukum berdasarkan kepribadian bangsa Indonesia
tersebut adalah mengayomi dan melindungi masyarakat dan individu
terhadap perbuatan yang mengganggu tata tertib masyarakat yang dilakukan
oleh individu atau oleh pemerintah sendiri atau pemerintah asing.129
Berdasarkan uraian tentang pengertian hukum di atas, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa hukum kehutanan adalah norma yang berisi perintah dan
larangan yang mengatur tata tertib tentang kahutanan yang bertujuan untuk
mengayomi dan melindungi masyarakat dan individu terhadap perbuatan
yang mengganggu tata tertib masyarakat yang dilakukan oleh individu atau
oleh pemerintah sendiri atau pemerintah asing.
Pengertian kehutanan menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 1999
adalah sistem pengurusan yang bersangkutan dengan hutan, kawasan hutan,
dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu,130 dan pengertian
125
Ibid, hlm.2. 126
Ibid, hlm.3. 127
E.Utrecht, Op.Cit., hlm.15. 128
Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1991, hlm.17. 129
E.Utrecht, Loc.Cit. 130 Pasal 1 ayat angka 1 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan.131
Sistem hukum Indonesia mengenal sistem hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis.132 Begitu juga hukum kehutanan di Indonesia mengenal dua jenis
hukum kehutanan, yaitu hukum kehutanan tertulis dan hukum kehutanan
tidak tertulis.133 Yang dimaksud denga hukum kehutanan tertulis adalah
kumpulan kaidah hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hutan dan kehutanan.134 Dan hukum
tidak tertulis adalah aturan-aturan hukum yang tidak tertulis, timbul, tumbuh,
dan berkembang dalam masyarakat.135
Hukum kehutanan tertulis ini dapat dilihat pada peraturan perundang-
undangan, baik yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda
maupun yang ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR sejak
bangsa Indonesia merdeka, misal Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Kehutanan,136 sedangkan hukum kehutanan tidak
tertulis atau yang biasa disebut sebagai hukum adat tidak mempunyai bukti
fisik tetapi terlihat dalam kehidupan suatu Masyarakat Hukum Adat.137 Hukum
Kehutanan Indonesia merupakan lex specialis dari hukum lingkungan yang
bertujuan untuk melindungi, memanfaatkan, dan melestarikan hutan agar
131 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 132
Negara mengakui hukum adat yang adalah hukum yang bersifat tidak tertulis. 133
Salim, H.S., Op.Cit., hlm.6. 134
Ibid, hlm.6 135
Ibid, hlm.6-7. 136
Ibid, hlm.6. 137 Bushar Muhammad, Loc.Cit., hlm.17.
dapat berfungsi dan memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi rakyat.138
Sehingga, apabila ada peraturan perundang-undangan lainnya yang
mengatur materi yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka yang
diberlakukan terlebih dahulu adalah hukum kehutanan.139
Penyelenggaraan kehutanan di Indonesia didasarkan pada suatu asas
dan tujuan yang terdapat pada pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan. Asas-asas penyelenggaraan hutan di
Indonesia adalah asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan,
kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.140 Yang dimaksud dengan
asas-asas ini adalah :
1. Asas Manfaat dan lestari adalah asas yang dimaksudkan agar
setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan
keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial dan budaya
serta ekonomi.141
2. Asas Kerakyatan dan Keadilan adalah asas yang dimaksudkan
agar setiap penyelenggaraan kehutanan memberikan peluang dan
kesempatan yang sama kepada semua warga Negara sesuai
dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan
kemakmuran seluruh rakyat. Oleh karena itu, dalam pemberian
wewenang pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan harus dicegah
terjadinya praktek monopoli, monopsoni, oligopoly, dan
oligopsoni.142
138
Salim H.S., Op.Cit., hlm.7. 139
Ibid, hlm.7-8. 140
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 141
Penjelasan pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 142 Ibid.
3. Asas Kebersamaan adalah asas yang dimaksudkan agar dalam
penyelenggaraan kehutanan menerapkan pola usaha bersama
sehingga terjalin keterkaitan dan ketergantungan secara sinergis
antara masyarakat setempat dengan Badan Usaha milik Negara
atau badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Usaha Milik Swasta di
Indonesia, dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, menengah,
dan koperasi.143
4. Asas Keterbukaan adalah asas yang dimaksudkan agar setiap
kegiatan penyelenggaraan kehutanan mengikutsertakan
masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat.144
5. Asas Keterpaduan adalah asas yang dimaksudkan agar setiap
penyelenggaraan kehutanan dilakukan secara terpadu dengan
memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan masyarakat
setempat.145
3. Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Terhadap Pengelolaan Hutan
Prinsip menguasai Negara memberikan kewenangan kepada
pemerintah untuk mengelola hutan.146 Prinsip penguasaan Negara ini
tidak meniadakan hak-hak Masyarakat Hukum Adat, melainkan Negara
tetap memperhatikan hak Masyarakat Hukum Adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional.147 Pengukuhan keberadaan
dan hapusnya Masyarakat Hukum Adat ditetapkan dengan Peraturan
143
Ibid. 144
Ibid. 145
Ibid. 146
Lihat penjelasan kewenangan Negara pada uraian kerangka pemikiran. 147 Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Kehutanan.
Daerah,148 dengan mempertimbangkan hasil penelitian pakar hukum adat,
aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di
daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.149
Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat terhadap pengelolaan hutan yang
diakui oleh Negara adalah :150
1. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.
2. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
3. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
Ketiga hak yang diakui oleh Negara pada pasal 67 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi dasar tidak boleh
dilakukannya eksplorasi hutan tanpa mengindahkan keberadaan dan hak-hak
Masyarakat Hukum Adat.
D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto, inti dan arti penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihata, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.151 Pada dasarnya dalam
pergaulan hidup, manusia mempunyai pandangan-pandangan tertentu
mengenai hal yang baik dan buruk yang terwujud dalam pasangan-pasangan
148
Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Kehutanan. 149
Penjelsan pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Kehutanan. 150
Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 151
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.5.
tertentu, misal pasangan nilai ketertiban dengan ketentraman, nilai
kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, dan pasangan nilai
lainnya yang berbeda satu sama lain.152
Pasangan-pasangan nilai yang berbeda ini perlu diserasikan dan
penyerasian nilai-nilai ini dilakukan dalam penegakan hukum.153 Sebagai
suatu proses, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penerapan
diskresi yang menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat
diatur oleh hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi yang
terletak antara hukum dan moral yang.154 Gangguan terhadap penegakan
hukum mungkin saja terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah
dan pola prilaku yang terjadi antara nilai-nilai yang berpasangan tersebut.155
Oleh karena itu penegakan hukum tidak berarti pelaksanaan penegakan
hukum saja tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum.156
Faktor-Faktor penegakan hukum tersebut adalah :157
1. Faktor hukumnya sendiri.
Sumber-sumber hukum di Indonesia adalah, undang-undang
kebiasaan dan adat yang dipertahankan dalam keputusan penguasa
masyarakat, traktat, yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal.158
Kebiasaan dan adat ini disebut sebagai hukum adat,159 yang mempunyai
sifat yang bertolak belakang dengan undang-undang, yaitu tidak tertulis.
152 Ibid, hlm.5. 153 Ibid, hlm.6. 154
Ibid, hlm.7. 155
Ibid, hlm.7. 156
Ibid, hlm.7-8. 157
Ibid, hlm.8. 158
E.Utrecht, Op.Cit., hlm.85. 159 Bushar Muhammad,
Meskipun tidak tertulis tetapi hukum adat ini merupakan hukum nasional
karena hukum ini terintegrasi dalam pancasila yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.160 Pembukaan Undang-Undang
Dasar mempunyai kedudukan utama dalam Undang-Undang Dasar
karena Pembukaan Undang-Undang Dasar merupakan pokok pikiran
Undang-Undang Dasar,161 sedangkan undang-undang dasar merupakan
hukum dasar Negara Republik Indonesia.162
2. Penegak Hukum
Penegak hukum adalah kalangan yang secara langsung berkecimpung
dalam penegakan hukum yang perannya bukan hanya menegakkan
hukum tetapi juga memelihara ketertiban dalam masyarakat.163 Penegak
hukum ini adalah kalangan yang bertugas di bidang kehakiman,
kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.164 Dalam
melakukan tugasnya menegakkan hukum, para penegak hukum ini
mengalami beberapa tantangan, di anataranya:165
1) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam perananan
pihak lain dengan siapa dia berinteraksi;
2) Tingkat aspirasi yang relative belom tinggi;
3) Kegairahaan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan,
sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi;
4) Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu
kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material;
160 Otje Salman Soemadiningrat, Loc.Cit. 161
Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945, angka III. 162
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Jakarta, 1998, hlm.58. 163
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum., hlm.19. 164
Ibid, hlm.19. 165 Ibid, hlm.34.
5) Kurangnya daya yang inovatif
3. Sarana dan Fasilitas
Sarana dan fasilitas adalah hal-hal yang mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan
sarana pendukung penegakan hukum.166
4. Masyarakat
Tujuan penegakan hukum adalah tercapainya kedamaian di dalam
masyarakat, oleh karen itu masyarakat dapat mempengaruhi penegakan
hukum.167 Pengaruh tersebut terlihat dari pengertian masyarakat tentang
hukum dan pandangan masyarakat terhadap hukum, jika masyarakat
mengerti hukum dan memandang bahwa hukum penting untuk ditaati,
maka penegakan hukum akan berjalan dengan lancar.168
5. Kebudayaan
Hukum merupakan fenomena masyarakat,169 sehingga keberadaan
masyarakat mempengaruhi keberadaan hukum.170 Masyarakat adalah
sekelompok manusia yang saling berinteraksi yang kemudian
menghasilkan kebudayaan,171 yang merupakan salah satu cakupan
hukum.172 Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-
konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan dianggap
166 Ibid, hlm.37. 167
Ibid, hlm.45. 168
Ibid, hlm.46-58. 169
E.Utrecht, Op.Cit., hlm.1. 170
Ibid, hlm.1. 171
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia., hlm.1. 172 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan hukum, hlm.59.
buruk.173 Kebudayaan merupakan dasar dari berlakunya hukum adat,174
yang merupakan hukum asli bangsa Indonesia, sehingga setiap peraturan
tertulis di Indonesia harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar
hukum adat agar hukum tertulis tersebut berlaku secara efektif.
Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam menegakan hukum ada tiga
unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu:175
a. Kepastian hukum (Rechtssicherheit);
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan
adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
b. Kemanfaatan
Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan
atau ditegakan timbul keresahan di dalam masyarakat.
c. Keadilan
Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan.
173
Ibid, hlm.60. 174
Ibid, hlm.64. 175
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 2005, hlm.1.
Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan.