6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hasil Belajar
Belajar merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan
lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya. Belajar adalah
aktifitas mental/ psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan
yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan dan
sikap (Winkel, 1999:53 dalam Purwanto, 2011:38). Perubahan itu diperoleh
melalui usaha (bukan karena kematangan), menetapkan dalam waktu yang relatif
lama dan merupakan hasil pengalaman.
Proses belajar merupakan proses yang unik dan kompleks. Keunikan itu
disebabkan karena hasil belajar hanya terjadi pada invidu yang belajar, tidak pada
orang lain, dan setiap individu menampilkan perilaku belajar yang berbeda.
Perbedaan penampilan itu disebabkan karena setiap individu memiliki
karakteristik individualnya yang khas, seperti minat intelegensi, perhatian, bakat
dan sebagainya. Setiap manusia mempunyai cara yang khas untuk mengusahakan
proses belajar yang terjadi dalam dirinya. Individu yang berbeda dapat melakukan
proses belajar dengan kemampuan yang berbeda dalam aspek kognitif, afektif,
dan psikomotor. Begitu pula sebaliknya.
Pada umumnya tujuan pendidikan dapat dimasukan ke dalam salah satu
dari tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor (Subino, 1987: 17 dalam
Purwanto, 2011:43). Belajar dimaksudkan untuk menimbulkan perubahan
perilaku yaitu perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Perubahan dalam aspek itu menjadi hasil dari proses belajar. Perubahan perilaku
hasil belajar itu merupakan perubahan perilaku yang relevan dengan tujuan
pengajaran. Oleh karenanya, hasil belajar dapat berupa perubahan dalam
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik, tergantung dari tujuan
pengajarannya.
7
Hasil belajar seringkali digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui
seberapa jauh seseorang menguasai bahan yang sudah diajarkan. Untuk
mengaktualisasikan hasil belajar tersebut diperlukan serangkaian pengukuran
menggunakan alat evaluasi yang baik dan memenuhi syarat. Pengukuran demikian
dimungkinkan karena pengukuran adalah kegiatan ilmiah yang dapat diterapkan
diberbagai bidang termasuk pendidikan
Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang
membentuk yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil (product) menunjuk pada
suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang
mengakibatnya berubahnya input secara fungsional. Hasil produksi adalah
perolehan yang didapatkan karena adanya kegiatan mengubah bahan (raw
materials) menjadi barang jadi (finishied goods). Hal sama berlaku untuk
memberikan batasan bagi istilah hasil panen, hasil penjualan, hasil pembangunan,
termasuk hasil belajar. Dalam siklus input-proses-hasil, hasil dapat dengan jelas
dibedakan dengan input akibat perubahan oleh proses. Begitu pula dalam kegiatan
belajar mengajar, setelah mengalami belajar siswa berubah perilakunya
disebanding sebelumnya.
Belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya perubahan pada individu
yang belajar. Perubahan perilaku merupakan perolehan yang menjadi hasil belajar.
Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap
dan tingkah lakunya (Winkel, 1996: 51 dalam Purwanto, 2011: 45).
Dalam sumber yang lain hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2004: 22).
Sedangkan menurut Horwart Kingsley dalam bukunya Sudjana membagi tiga
macam hasil belajar mengajar yakni: (1). Keterampilan dan kebiasaan, (2).
Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita (Sudjana, 2004: 22)
Dari beberapa pendapat di atas, maka hasil belajar siswa dipengaruhi oleh
dua faktor dari dalam individu siswa berupa kemampuan personal (internal) dan
faktor dari luar diri siswa yakni lingkungan. Dengan demikian hasil belajar adalah
sesuatu yang dicapai atau diperoleh siswa berkat adanya usaha atau pikiran yang
mana hal tersebut dinyatakan dalam bentuk penguasaan, pengetahuan dan
8
kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak
pada diri individu penggunaan penilaian terhadap sikap, pengetahuan dan
kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan sehingga nampak
pada diri indvidu perubahan tingkah laku secara kuantitatif. Penilaian Hasil
Belajar
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19, Tahun 2005 (PP No. 19/ 2005),
penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas;
2.1.1.1 Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan
untuk memantau proses, kemajuan, perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian,
ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
Penilaian oleh pendidik ini digunakan untuk (1) menilai pencapaian kompetensi
peserta didik, (2) bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan (3)
memperbaiki proses pembelajaran.
Sudjana (2011: 23) dalam penelitian ini yang akan diukur adalah hasil
belajar ranah kognitif, yang termasuk dalam ranah kognitif adalah sebagai berikut:
a. Tipe hasil belajar: Pengetahuan
Istilah pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowledge
dalam taksonomi Bloom. Sekalipun demikian, maknanya tidak sepenuhnya tepat
sebab dalam istilah tersebut termasuk pula pengetahuan faktual di samping
pengetahuan hafalan atau untuk diingat seperti rumus, batasan, definisi, istilah,
pasal dalam undang-undang, nama-nama tokoh, nama-nama kota. Dilihat dari segi
proses belajar, istilah-istilah tersebut memang perlu dihafal dan diingat agar dapat
dikuasainya sebagai dasar bagi pengetahuan atau pemahaman konsep-konsep
lainnya.
b. Tipe hasil belajar: Pemahaman
Tipe hasil belajar yang lebih tinggi daripada pengetahuan adalah
pemahaman. Misalnya menjelaskan dengan susuanan kalimatnya sesuatu yang
dibaca atau didengarnya, memberi contoh lain dari yang telah dicontohkan, atau
9
menggunakan petunjuk penerapan pada kasus lain. Dalam taksonomi Bloom,
kemampuan memahami setingkat lebih tinggi daripada pengetahuan. Namun,
tidaklah berarti bahwa pengetahuan tidak perlu ditanyakan sebab, untuk dapat
memahami, perlu terlebih dahulu mengetahui atau mengenal.
Pemamahan dibagi dalam tiga kategori, antara lain sebagai berikut:
Tingkat terendah: pemahaman terjemahan, mulai dari terjemahan dalam
arti yang sebenarnya. Misalnya memahami perubahan yang terjadi di alam.
Tingkat kedua: pemahaman penafsiran yakni menghubungkan bagian-
bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan
beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan
yang bukan pokok. Misalnya mendeskripsikan proses daur air dan kegiatan
manusia yang dapat mempengaruhinya
Tingkat tertinggi: pemahaman ekstrapolasi (perluasan data di luar data yg
tersedia, tetapi tetap mengikuti pola kecenderungan data yang tersedia itu).
Diharapkan seorang mampu melihat dibalik yang tertulis, dapat membuat ramalan
tentang konsekuensi atau dapat memperluas persepsi.
c. Tipe hasil belajar: Aplikasi
Penggunaan abstraksi dalam situasi kongkret atau situasi khusus.
Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori atau petunjuk teknis. Menerapkan
abstraksi ke dalam situasi baru disebut aplikasi. Mengulang-ulang menerapkannya
pada situasi lama akan beralih menjadi pengetahuan hafalan atau keterampilan.
Suatu situasi akan tetap dilihat sebagai situasi baru bila tetap terjadi proses
pemecahan masalah. Misalnya dapat menjelaskan suatu gejala baru berdasarkan
prinsip dan generalisasi tertentu. Bentuk yang banyak dipakai adalah melihat
hubungan sebab-akibat. Bentuk lain ialah dapat menanyakan tentang proses
terjadinya atau kondisi yang mungkin berperan bagi terjadinya gejala.
d. Tipe hasil belajar: Analisis
Usaha memilah suatu integritas menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian
sehingga jelas susunannya. Analisis merupakan kecakapan yang kompleks, yang
10
memanfaatkan dari ketiga tipe sebelumnya. Dengan analasis diharapkan seseorang
mempunyai pemahaman yang komprehensif dan dapat memilahkan integritas
menjadi bagian-bagian yang tetap terpadu, untuk beberapa hal memahami
prosesnya, untuk hal lain memahami cara bekerjanya, untuk hal lain lagi
memahami sistematikanya. Misalnya dapat mengklasifikasikan kata-kata, frase-
frase, atau pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan kriteria analitik tertentu.
e. Tipe hasil belajar: Sintesis
Penyatuan usur-unsur atau bagian-bagian ke dalam bentuk menyeluruh
disebut sintesis.
Berpikir berdasarkan pengetahuan hafalan, berpikir pemahaman, berpikir
aplikasi, dan berpikir analisis dapat dipandang sebagai konvergen yang satu
tingkat lebih rendah daripada berpikir divergen. Dalam berpikir konvergen,
pemecahan dan jawabannya akan sudah diketahui berdasarkan yang sudah
dikenalnya.
Berpikir sintesis adalah berpikir divergen. Dalam berpikir divergen
pemecahannya atau jawabannya belum dapat dipastikan. Mensintesiskan unit-unit
tersebar tidak sama dengan mengumpulkan ke dalam satu kelompok besar.
Mengartikan analisis sebagai memecah integritas menjadi bagian-bagian dan
sintesis sebagai menyatukan unsur-unsur menjadi integritas perlu secara hati-hati
dan penuh telaah. Berpikir sintesis merupakan salah satu terminal untuk
menjadikan orang lebih kreatif.
f. Tipe hasil belajar: Evaluasi
Pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi
tujuan, gagasan, cara bekerja, pemecahan, metode, materiil,dll. Dilihat dari segi
tersebut maka dalam evaluasi perlu adanya suatu kriteria atau standar tertentu.
Dalam tes esai, standar atau kriteria tersebut muncul dalam bentuk frase “menurut
pendapat Saudara” atau “ menurut teori tertentu”. Frase yang pertama sukar diuji
mutunya, setidak-tidaknya sukar diperbandingkan atau lingkupan variasi
kriterianya sangat luas. Frase yang kedua lebih jelas standarnya. Untuk
11
mempermudah mengetahui tingkat kemampuan evaluasi seseorang, item tesnya
hendaklah menyebutkan kriterianya secara eksplisit.
2.1.1.2 Pengukuran Hasil Belajar
a. Instrumen Pengukuran Hasil Belajar
Instrumen pengukuran dalam dunia pendidikan meliputi tes, lembar
observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket (Naniek Sulistya Wardani,
dkk, 2009).
b. Tes Sebagai Instrumen Pengukuran Hasil Belajar
1) Pengertian Tes
Tes dapat diartikan sebagai sebuah permasalah yang harus dipecahkan atau
pertanyaan yang harus dijawab. Tes diberikan untuk mengetahui indikator
pencapaian kompetensi. Tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat
lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia,
kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Endang
Poerwanti, dkk. 2008).
2) Jenis-jenis Tes
Menurut (Endang Poerwanti, dkk 2008), bila kita membahas jenis-jenis
tes, Anda akan dapat mencermati dalam lima jenis atau cara pembagian yaitu:
a. Pembagian jenis tes berdasarkan tujuan penyelenggaraan
Terdiri dari: tes seleksi, tes penempatan, tes hasil belajar, tes diagnostik, dan
tes uji coba.
b. Jenis tes berdasarkan waktu penyelenggaraan
Terdiri dari: tes masuk, tes formatif, tes sumatif, pra tes dan post tes
c. Pembagian jenis tes berdasarkan cara mengerjakan
Terdiri dari : tes tertulis, tes lisan dan tes unjuk kerja
d. Pembagian jenis tes berdasarkan cara penyusunan.
Terdiri dari: tes buatan guru dan tes terstandar
e. Pembagian jenis tes berdasarkan bentuk jawaban
Terdiri dari: tes esai, tes jawaban pendek dan tes obyektif.
12
3) Langkah-Langkah Menyusun Tes
Menurut (Endang Poerwanti, dkk. 2008) langkah-langkah menyusun tes
yaitu:
a. Perencanaan tes
1. Menentukan cakupan materi yang akan diukur
2. Memilih bentuk tes
3. Menetapkan panjang tes
b. Menulis bulir pertanyaan
1. Menulis draft soal
2. Memantapkan validitas isi (content validity)
3. Melakukan uji-coba (try out)
4. Revisi soal
c. Melakukan pengukuran dengan tes
1. Menjaga obyektifitas pelaksanaan
2. Memberikan skor pada hasil tes
3. Melakukan analisis hasil tes
4) Langkah-Langkah Menyusun Kisi-Kisi Soal
Menurut (Naniek Sulistya Wardani, dkk. 2009) langkah-langkah untuk
menyusun kisi-kisi soal yaitu:
a. Pemilihan sampel materi
Pemilihan sampel atau contoh materi yang akan ditulis butir soalnya
hendaknya dilakukan dengan mengacu pada tujuan pembelajaran atau kompetensi
yang ingin dicapai.
b. Jenis asesmen yang digunakan
Pemilihan jenis asesmen berhubungan erat dengan jumlah sampel materi
yang dapat diukur, tingkat kognitif yang akan diukur, jumlah peserta tes serta
jumlah butir tes yang akan dibuat, dan juga sangat terkait dengan tujuan
pembelajaran yang akan diukur.
c. Jenjang kemampuan berpikir yang ingin dicapai
13
Setiap kompetensi mempunyai mempunyai penekanan kemampuan yang
berbeda dalam mengembangkan proses berpikir peserta didik. Indikator perilaku
dalam kisi-kisi merupakan pedoman dalam merumuskan soal yang dikehendaki.
Untuk merumuskan indikator dengan tepat, guru harus memperhatikan materi
yang akan diujikan, indikator pembelajaran, kompetensi dasar dan standar
kompetensi.
d. Sebaran tingkat kesukaran butir soal
Dalam menentukan sebaran tingkat kesukaran butir soal dalam soal tes,
harus memperhatikan interprestasi hasil tes mana yang akan dipergunakan,
interprestasi hasil tes lebih kepada ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan
dalam pembelajaran.
e. Waktu yang disediakan untuk pelaksanaan tes
Lamanya waktu tes merupakan faktor pembatas yang harus diperhatikan
dalam membuat perencanaan tes. Lamanya waktu tes (misalnya 90 menit) akan
membawa konsekuensi kepada jumlah butir soal yang harus dibuat.
f. Penentuan jumlah butir soal
Penetuan jumlah butir soal yang tepat dalam satu kali tes tergantung pada
beberapa hal, antara lain tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, ragam soal yang
akan digunakan, proses berpikir yang ingin diukur, dan sebaran tingkat kesukaran
dalam tes tersebut.
2.1.2 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
2.1.2.1. Latar Belakang Pembelajaran IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan
kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-
prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA
diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri
sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam
menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya
menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan
14
kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah.
Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu
peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang
alam sekitar.
IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.
Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk
terhadap lingkungan. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran
Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada
pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan
konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.
Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific
inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah
serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh
karena itu pembelajaran IPA di SD/ MI menekankan pada pemberian pengalaman
belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan
proses dan sikap ilmiah.
Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/ MI
merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta
didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan
pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik
untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang
difasilitasi oleh guru.(Permendiknas:2006)
2.1.2.2 Tujuan
Mata Pelajaran IPA di SD/ MI bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut.
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
15
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga
dan melestarikan lingkungan alam.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai
dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/ MTs.(Permendiknas:2006)
2.1.2.3 Ruang Lingkup
Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/ MI meliputi aspek-aspek berikut:
1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan
dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
2. Benda/ materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.
3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana.
4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda
langit lainnya.(Permendiknas:2006)
2.1.2.4 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Pencapaian tujuan IPA dapat dimiliki oleh kemampuan peserta didik yang
standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam
Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar ini merupakan standar minium yang
secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan
kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada
pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan
16
pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. Secara rinci SK dan KD untuk
mata pelajaran IPA yang diitujukan bagi bagi siswa kelas V SD disajikan melalui
tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1
SK dan KD mata pelajaran IPA kelas V semester II
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Energi dan
Perubahannya
5. Memahami hubungan
antara gaya, gerak, dan
energi, serta
fungsinya.
5.1 Mendeskripsikan hubungan antara gaya, gerak dan
energi melalui percobaan (gaya gravitasi, gaya gesek,
gaya magnet).
5.2 Menjelaskan pesawat sederhana yang dapat membuat
pekerjaan lebih mudah dan lebih cepat.
6. Menerapkan sifat-sifat
cahaya melalui
kegiatan membuat
suatu karya/ model.
6.1 Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya.
6.2 Membuat suatu karya/ model, misalnya periskop atau
lensa dari bahan sederhana dengan menerapkan sifat-
sifat cahaya.
Bumi dan Alam Semesta
7. Memahami perubahan
yang terjadi di alam
dan hubungannya
dengan penggunaan
sumber daya alam.
7.1 Mendeskripsikan proses pembentukan tanah karena
pelapukan.
7.2 Mengidentifikasi jenis-jenis tanah.
7.3 Mendeskripsikan struktur bumi.
7.4 Mendeskripsikan proses daur air dan kegiatan manusia
yang dapat mempengaruhinya.
7.5 Mendeskripsikan perlunya penghematan air.
7.6 Mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di
Indonesia dan dampaknya bagi makhluk hidup dan
lingkungan.
7.7 Mengidentifikasi beberapa kegiatan manusia yang dapat
mengubah permukaan bumi (pertanian, perkotaan, dsb).
17
2.1.3 Pembelajaran Kooperatif
2.1.3.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran koopertif berasal dari kata “cooperatif” yang artinya
mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama
lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Menurut Trianto (2007:41)
pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran dimana di dalam kelas
kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri
dari 4-6 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin,
suku/ ras, dan satu sama lainnya saling membantu. Tujuan dibentuknya kelompok
tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat
terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar.
Roger dan David Johnson dalam Lie (2004:30) mengatakan bahwa tidak
semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil
yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan
yang meliputi:
1. Saling ketergantungan positif (positve interdependence)
Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya.
Untuk menyiapkan kelompok kerja yang efektif, guru perlu menyusun tugas
sedemikian rupa sehingga, setiap anggota kelompok harus menyelesaikan
tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka. Dalam metode
Jigsaw, Aronson menyarankan jumlah anggota kelompok dibatasi sampai dengan
empat (4) orang saja dan keempat anggota ini ditugaskan untuk membaca bagian
yang berlainan. Keempat anggota ini lalu berkumpul dan bertukar informasi.
Selanjutnya, guru akan mengevaluasi mereka mengenai seluruh bagian. Dengan
cara ini, mau tidak mau setiap anggota merasa bertanggungjawab untuk
menyelesaikan tugasnya agar yang lain bisa berhasil.
Penilaian juga dilakukan dengan cara yang unik. Setiap siswa mendapat
nilainya sendiri dan nilai kelompok. Nilai kelompok dibentuk dari “sumbangan”
setiap anggota. Untuk menjaga keadilan, setiap anggota menyumbangkan poin
diatas nilai rata-rata mereka.
18
2. Tatap Muka (face to face interaction)
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para siswa untuk membentuk
sinergi yang menguntungkan semua anggota. Hasil pemikiran beberapa anggota
akan lebih kaya daripada hasil pemikiran dari satu orang saja. Lebih jauh lagi,
hasil kerja sama ini jauh lebih besar daripada jumlah masing-masing anggota.
Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan
kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Setiap anggota kelompok
mempunyai latar belakang pengalaman, keluarga dan sosial-ekonomi yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini akan menjadi modal utama
adalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok. Sinergi tidak bisa
didapatkan begitu saja dalam sekejap tapi, merupakan proses kelompok yang
cukup panjang.
3. Tanggung jawab perseorangan (individual accountability)
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika tugas
dan pola pembinaan dibuat menurut prosedur model pembelajaran cooperative
learning, setiap siswa akan merasa tanggungjawab untuk melakukan yang terbaik.
Kunci keberhasilan metode kerja kelompok adalah persiapan guru dalam
penyusunan tugas.
4. Komunikasi antar anggota
Unsur ini menghendaki agar para siswa dibekali dengan berbagai
keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa dalam kelompok, guru
perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak setiap siswa mempunyai
keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok juga
bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan
kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat.
Ada kalanya siswa perlu diberitahu secara eksplisit mengenai cara-cara
berkomunikasi secara efektif seperti bagaimana cara menyanggah pendapat orang
lain tanpa harus menyinggung perasaan orang tersebut. Masih banyak orang yang
19
mash kurang sensitif dan kurang bijaksanaan dalam menyatakan pendapat mereka.
Tidak ada salahnya mengajar siswa beberapa ungkapan positif atau sanggahan
dalam ungkapan yang lebih halus.
Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok ini juga merupakan proses
panjang. Pembelajaran tidak bisa diharapkan langsung menjadi komunikator yang
andal dalam waktu sekejap. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat
bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan
pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
5. Evaluasi proses kelompok (group processing)
Pengajaran perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka agar selanjutnya
bisa bekerjasama dengan lebih efektif. Waktu evaluasi ini tidak perlu diadakan
setiap kali ada kerja kelompok, melainkan diadakan selang beberapa waktu
setelah beberapa kali pembelajaran terlibat dalam kegiatan pembelajaran
cooperatif learning. Format evaluasi bisa bermacam-macam tergantung pada
tingkat pendidikan siswa. Berikut ini contof format evaluasi proses kelompok
untuk tingkat dasar.
2.1.3.2 Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Dalam Trianto (2007:42) Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah
kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara kolaboratif
untuk mencapai tujuan bersama (Eggen and Kauchak, 1996:279). Pembelajaran
koopertif disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa,
memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat
keputusan dalam kelompok, serta memberikan kepada siswa untuk berinteraksi
dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya.
2.1.4 Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS)
Dalam Trianto (61:2011) Strategi think-pair-share atau berpikir
berpasangan berbagi adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang
20
dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Strategi think-pair-share ini
berkembanng dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Pertama kali
dikembangkan oleh Frank Lyman dan koleganya di Universitas Maryland sesuai
yang dikutip Arends (1997), menyatakan bahwa think-pair-share merupakan
suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan
asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk
mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan pada
think-pair-share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk
merespon dan saling membantu. Guru memperkirakan hanya melengkapi
penyajian singkat atau siswa membaca tugas, atau situasi yang menjadi tanda
tanya. Sekarang guru menginginkan siswa mempertimbangkan lebih banyak apa
yang telah dijelaskan dan dialami. Guru memilih menggunakan think-pair-share
untuk membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan. Guru menggunakan
langkah-langkah (fase) sebagai berikut:
a. Langkah 1: Berpikir (Thinking)
Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikaitkan
dengan pelajaran, dan meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit
untuk berpikir sendiri jawaban atau masalah. Siswa membutuhkan
penjelasan bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian dari berpikir.
b. Langkah 2: Berpasangan (Pairing)
Selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan dan
mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh. Interaksi selama waktu
yang telah disediakan dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan
yang diajukan atau menyatukan gagasan apabila suatu masalah khusus
yang diidentifikasi. Secara normal guru memberi waktu tidak lebih dari 4
atau 5 menit untuk berpasangan.
c. Langkah 3: Berbagi (Sharing)
Pada langkah akhir, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi
dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif
untuk berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan
21
sampai sebagian pasangan mendapatkan kesempatan untuk melaporkan
Arends, (1997) disadur Tjokrodihardjo, (2003).
Dari langkah-langkah atau fase diatas, pada saat diimplementasikan adapun
langkah-langkah penyelenggaraan model think-pair-share sebagai berikut:
Tabel 2.2 Langkah-langkah Pembelajaran Model TPS
Tahap Kegiatan Guru
Tahap 1 menyampaikan tujuan dan
mengatur siswa.
1) Menyampaikan pendahuluan, a.
motivasi. b. menyampaikan tujuan
dasar diskusi, c. apersepsi;
2) Menjelaskan tujuan diskusi,
Tahap 2 mengarahkan siswa. 1) Mengajukan pertanyaan awal/
permasalahan;
2) Modeling;
Tahap 3 menyelenggarakan diskusi. 1) Membimbing/ mengarahkan siswa
dalam mengerjakan LKS secara
mandiri (think);
2) Membimbing/ mengarahkan siswa
dalam berpasangan (pair);
3) Membimbing/ mengarahkan siswa
dalam berbagi (share);
4) Menerapkan waktu tunggu;
5) Membimbing kegiatan siswa,
Tahap 4 mengakhiri diskusi. Menutup diskusi,
Tahap 5 melakukan tanya jawab. Membantu siswa membuat rangkuman
diskusi dengan tanya jawab singkat.
2.2 Penelitian yang relevan
Oki Rudi Susanto, Stevanus. 2010. Upaya peningkatan hasil belajar IPS
melalui penggunaan model pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) bagi siswa
kelas V SD Negeri Sinduagung Selomerto Wonosobo Semester II tahun 2009/
2010. Program PJJ S1 PGSD FKIP Universitas Kristen Satya Wacana.
22
Model PTK yang digunakan model Kemmis dan Targat dengan dua siklus
dan langkah-langkah mulai dari perencanaan, implementasi dan observasi, sampai
dengan refleksi. Teknik analisis yang digunakan statistik deskriptif yakni
distribusi frekuensi, mean, skor minimal-maksimal, dan prosentase.
Hasil analisis menunjukan bahwa dari 31 siswa diperoleh hasil skor ptes
pada pembelajaran non tes TPS ada 18 siswa belum tuntas (58,06%), pada siklus I
ada 26 siswa telah tuntas (83,72%), pada siklus II ada 30 siswa telah tuntas
(96,78%). Jadi ada peningkatan belajar sebesar 28,72% dari kondisi pra siklus
(awal) ke siklus I dan 13,06 % dari siklus I ke siklus II.
Dilihat dari rata-rata kelas menunjukkan hasil belajar dari pra siklus, siklus
I dan siklus II berturut-turut 54,51; 67,74; 80,96 dengan KKM 60. Ini berarti dari
skor rata-rata kelas pada pra siklus tidak terjadi ketuntasan belajar, sedangkan
pada siklus I dan siklus II terjadi ketuntasan belajar hal ini di sebabkan adanya
tindakan di dalam proses pembelajaran yaitu menggunakan model pembelajaran
TPS.
2.3 Kerangka Berfikir
Pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share merupakan jenis
pembelajaran kooperatif yang dirancang guna mempengaruhi pola interaksi siswa.
Pembelajaran yang dilakukan selama ini lebih banyak dilakukan di dalam
kelas dan guru masih menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran
sehingga siswa diam mendengarkan, bermain sendiri, dan berbicara dengan teman
sebangku. Sehingga pola berpikir abstrak kekonkrit dan hasi belajar dibawah
KKM. Dari keadaan ini penulis memberian suatu model pembelajaran kooperatif
guna meningkatkan hasil KKM siswa yakni dengan pembelajaran kooperatif tipe
think-pair-share. Dalam TPS guru sebagai fasilitator dan pendamping siswa serta
membantu siswa yang kurang paham. Langkah-langkah dalam pembelajaran
menggunakan TPS yakni dimulai dengan memberikan soal kemudian siswa
diminta secara mandiri menjawab soal tersebut dan tidak terlepas dari arahan dan
bimbingan dari guru. Selanjutnya siswa diminta untuk berpasangan guna
mendiskusikan jawaban yang ditemukan dengan teman yang memiliki soal yang
23
sama. Kemudian dari hasil perpaduan jawaban yang ditemukan, siswa diminta
untuk mempresentasikan hasil dari diskusi yang telah dilakukan di depan kelas.
Tahap akhir, setelah melakukan presentasi siswa diberi lembar evaluasi.
Dengan pembelajaran TPS siswa akan aktif dalam pembelajaran baik
secara individu maupun kelompok. Pola berpikir berubah yang semula abstrak
kekongkrit menjadi kongkrit ke abstrak dan hasil belajar meningkat.
24
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir
Proses belajar
mengajar IPA
Pembelajaran
menggunakan metode
ceramah
Siswa :
diam mendengarkan,
bermain sendiri, berbicara
dengan teman sebangku
Guru :
mendominasi PBM
dg ceramah,
menegur siswa yang
tidak mendengarkan,
memberikan
pertanyaan pada
siswa. Proses berfikir:
Abstrak ke kongkrit
Hasil belajar : < KKM
rendah Model Pembelajaran TPS
Siswa :
Aktif belajar, secara
individu dan kelompok
Guru :
sebagai fasilitator dan
pendamping siswa,
membantu siswa yg
kurang paham
Proses berfikir :
Kongkrit ke abstrak
Hasil belajar :
≥ KKM 65 Skor
Meningkat
Siswa mandiri menjawab
soal
Berpasangan (2 orang)
guna memadukan
jawaban yang diperoleh
Laporan kelompok
(presentasi) di depan kelas
evaluasi evaluasi
Laporan kelompok
(presentasi) di depan kelas
Berpasangan (2 orang) guna
memadukan jawaban yang
diperoleh
Siswa mandiri menjawab
soal
Memberikan soal Memberikan soal
25
2.4 Hipotesis
Dari refleksi kajian teori, penelitian yang relevan dan kerangka pemikiran
masalah maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut: Pembelajaran
Kooperatif tipe think-pair-share dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam
mata pelajaran IPA kelas V Semester II di SD Negeri Mangunsari 01 Salatiga
Tahun Ajaran 2011/2012.