17
BAB II
ANALISIS STRUKTUR NOVEL LIAK NGAKAK
Sebelum melakukan analisis sosiologi novel Liak Ngakak terlebih dahulu
dilakukan analisis struktur novel tersebut. Unsur-unsur yang dianalisis dalam novel
ini adalah unsur penokohan, alur dan latar. Berikut analisis ketiga unsur tersebut.
2.1. Penokohan
Melalui analisis penokohan dapat diketahui gambaran jelas mengenai para tokoh
dalam sebuah cerita. Semua unsur cerita rekaan hanya bersifat rekaan semata. Tokoh
dalam cerita di dunia nyata tidak ada. Sudjiman (1992:58) menyebutkan penokohan
sebagai penyajian watak tokoh dan pencitraan tokoh.
Pengertian penokohan lebih luas dari tokoh dan perwatakan, sebab penokohan
sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, bagaimana
penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan
gambaran yang jelas kepada pembaca. Watak, perwatakan, karakter menunjuk pada
sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca dapat lebih
menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones
dalam Nurgiyantoro, 2005:165).
Wiyatmi (2006:30) memberikan batasan bahwa tokoh adalah para pelaku yang
terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh fiksi merupakan ciptaan pengarang meskipun
18
dapat juga merupakan gambaran dari orang yang hidup di alam nyata. Oleh karena
itu, dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara alamiah.
Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau
drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005:165).
Menurut Lajos Egri (dalam Sukada, 1987:62) perwatakan dapat dilihat melalui
tiga dimensi sebagai struktur pokoknya, yaitu dimensi fisiologis, psikologis, dan
sosiologis. Ketiga dimensi tersebut adalah unsur yang membangun perwatakan dalam
sebuah karya sastra. Dimensi fisiologis, meliputi jenis kelamin, umur, tinggi, berat
badan, warna kulit, rambut, potongan tubuh, penampilan, dan cacat tubuh. Dimensi
psikologis, meliputi moral, ambisi, pribadi, tempramen, sikap hidup, pikiran,
perasaan, kecerdasan, tanggung jawab, dan tingkat kesadaran. Dimensi sosiologis,
meliputi golongan masyarakat, pekerjaan, pendidikan, agama, suku bangsa, penduduk
di masyarakat, tempat tinggal, dan hobi. Dalam pembicaraan tokoh, digunakan cara
seperti itu sesuai dengan yang diungkapkan Lajos Egri di atas.
Analisis penokohan dalam novel Liak Ngakak terlebih dahulu dibedakan tokoh-
tokohnya berdasarkan segi peran tokoh dalam sebuah cerita. Sukada (1987:86)
menjelaskan bahwa penokohan dapat dilukiskan oleh tokoh utama, sekunder, dan
komplementer atau pelengkap.
Tokoh utama adalah tokoh yang banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian. Dilihat dari segi peranan atau tingkat
19
pentingnya tokoh, dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh
utama adalah tokoh sentral dalam cerita, menjadi pendukung ide dan tema utama
dalam cerita, mengutamakanpenceritaannya dalam novel bersangkutan. Tokoh
tambahan adalah tokoh yang mendukung perwatakan tokoh utama (Nurgiyantoro,
2005:177). Tokoh-tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali guna
melengkapi dan menyertai jalannya cerita disebut tokoh komplementer (pelengkap).
Berdasarkan pandangan di atas, dapat ditentukan tokoh utama (tokoh sentral)
novel Liak Ngakak adalah Catherine Dean. Cathie merupakan tokoh utama yang
mendominasi seluruh kisah dalam novel. Ia terlibat pada setiap bagian dan paling
banyak diceritakan serta selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya. Tokoh
tambahan, yaitu Ratu Liak dan Pusaka Mahendra. Tokoh komplementer, yaitu I
Wayan Jereg, I Made Badra, dan Men Surya Susila.
2.1.1 Catherine Dean
Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak melakukan kontak dengan tokoh
lain dan paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Tokoh utama dalam novel
Liak Ngakak adalah Catherine Dean, dengan nama panggilan Cathie. Dari dimensi
fisiologis, Cathie adalah wanita yang cantik, mampu membuat tokoh lain terpesona.
Pengarang menggambarkan tokoh Cathie sebagai wanita yang berusia dua puluh
tahun, berkulit putih, memiliki rambut berwarna pirang yang merupakan ciri khas
orang Barat. Dimensi fisiologis Cathie terlukiskan jelas pada kutipan berikut.
Untuk sesaat aku cuma bisa berdiri tegak menatap gadis kulit putih yang
berdiri di hadapanku. Mulutku terkatup rapat, tapi hatiku membisikkan betapa
jelitanya dia! Wajahnya bulat telur dengan mata biru jernih yang dipayungi
20
oleh bulu mata panjang melengkung ke atas. Bibirnya yang tipis diperidah lagi
oleh lapisan lipstick merah membasah. Pipinya putih bersih seakan-akan
dibentuk daripada selapis lilin licin. Rambutnya yang berwarna pirang
mencercah bahunya dengan lembut, serasi benar dengan tubuhnya yang tinggi
semampai. Kutaksir usianya tidak lebih daripada 20 tahun (hlm. 8).
“Beh… jegeg ja jelema luwa, ne!” makhluk halus itu menggumam.
“Wah… cantik sekali perempuan ini!”
“aku langsung menerjemahkan kalimat tadi buat Cathie”.
“Sampaikan kepadanya salam terimakasihku atas pujiannya, sahut Cathie”
(hlm.34)
Cathie digambarkan sebagai seorang wanita berpenampilan menarik. Dalam
setiap interaksinya dengan tokoh lain, Cathie selalu mampu membuat tokoh lain
terpesona. Hal ini mengakibatkan Pusaka Mahendra jatuh cinta pada awal
perjumpaannya dengan Cathie.
Dari dimensi sosiologis, tokoh Cathie adalah wanita berasal dari Australia yang
ingin mempelajari ilmu hitam di Bali. Cathie adalah mahasiswa pertukaran pemuda
yang pernah belajar di Universitas Gadjah Mada. Selama di Bali, Cathie tinggal di
sebuah penginapan di Desa Blumbang.
Lalu Badra berpaling padaku dan berkata, “Dan dara Australia ini adalah
Nona Catherine Dean, mahasiswa jurusan sastra. Ia berada di Indonesia dalam
rangka tukar menukar….” Badra tak jadi meneruskan kalimatnya sebab
seseorang memanggilnya dari kamar tamu (hlm. 7-8).
“Terimakasih. Saya sudah 2 tahun tinggal di Yogyakarta, mengikuti kuliah di
Gadjah Mada. Sejak beberapa tahun sebelumnya, saya telah mempelajari
bahasa Indonesia di Sidney”.
“Saya menyewa sebuah kamar di penginapan “Blumbang”, sebuah hotel kecil
tapi mungil indah” (hlm.8-9).
Pengarang juga melukiskan tokoh Cathie yang belum fasih berbahasa Bali
sehingga harus meminta pertolongan Pusaka Mahendra untuk menjadi juru bahasa
21
selama Cathie berjumpa dengan Guru Liak. Berkat bantuan dari Pusaka Mahendra,
Cathie bisa berkomunikasi dengan Guru Liak dengan jelas.
“Aku hanya minta pertolonganmu untuk mencarikan aku guru liak yang
bersedia mengajarkan ilmunya kepadaku. Dan juga aku mohon bantuanmu
untuk menjadi juru bahasa sebab aku tak bisa berbahasa daerah sedangkan
guru-guru liak itu katanya cuma bisa berbicara dalam bahasa Bali” (hlm.13).
“Aku hanya mengantarkannya”.
Dia orang asing, tidak mengerti bahasa Bali sedangkan kau katanya tidak
paham berbicara bahasa lain kecuali bahasa Bali. Jadi, aku ke mari sebagai
juru bahasa” (hlm.34).
Dilihat dari sisi psikologinya, Cathie dilukiskan sebagai tokoh yang mudah
bergaul. Pengarang juga menggambarkan Cathie sebagai tokoh yang agresif dan
pemberani. Hal ini mengakibatkan Cathie bisa beradaptasi dengan lingkungan baru,
sehingga mudah untuk Cathie mencari informasi tentang ilmu liak.
Dari gayanya berbicara aku dapat menarik kesimpulan bahwa gadis Australia
yang cantik ini adalah seorang periang, lincah dan berhati terbuka. Belum ada
5 menit kami berkenalan namun rasa-rasanya bagaikan sudah kenal bertahun-
tahun saja (hlm. 10).
Cathie juga digambarkan sebagai tokoh yang agresif. Hal tersebut terlukiskan pada
kutipan di bawah ini, yang mengakibatkan Pusaka semakin tertarik dengan Cathie.
Dan sekonyong-konyong ia mengecupkan bibirnya yang merah ke pipiku.
Agak tersirap darah-darahku dibuatnya. Untunglah tak ada orang di pesta itu
yang memperhatikan kejadian tadi.
“Sebagai ucapan terimakasih,” bisiknya menggairahkan (hlm.13).
2.1.2 Ratu Liak Aliran Liak Ngakak (Guru Liak)
Tokoh berikutnya adalah Ratu Liak. Secara fisiologis Ratu Liak adalah tokoh
yang paling menyeramkan, dan merupakan liak paling sakti beraliran Liak Ngakak.
22
Ratu Liak berwujud nenek tua berambut panjang, tebal, dan terurai berantakan. Setiap
kemunculannya diawali dengan tertawa terbahak-bahak dan selalu mengenakan
kebaya. Wujudnya selalu berubah-ubah setiap kemunculannya diperjelas dengan
kutipan di bawah ini.
Ia mengitari tanah kuburan itu dengan terbungkuk-bungkuk bagaikan nenek
tua Bangka yang berjalan dengan tongkatnya.
Ia selalu mengawali permunculannya dengan tawa yang sanggup membuat
manusia mati berdiri ketakutan (hlm.31-33).
Kutipan di atas melukiskan tentang awal kemunculan Guru Liak yang sesuai
dengan alirannya yaitu Liak Ngakak. Dengan kemunculannya yang disertai dengan
tertawa terbahak-bahak, menimbulkan ketakutan bagi orang-orang yang berada di
sekitarnya.
“Akan kuperkenalkan diriku kepada kalian bahwa akulah ratu liak, guru liak
dari aliran yang paling mengerikan, yaitu: Liak Ngakak. Perempuan muda ini
kuterima menjadi muridku dengan syarat-syarat ketat yang sama sekali tidak
dapat dianggap enteng” (hlm.34).
Dari dimensi fisiologis, terlihat bahwa Guru Liak memiliki wajah yang
menyeramkan, hal tersebut karena dalam perwujudan liak wajah Guru Liak akan
selalu berubah-ubah. Hal ini mengakibatkan orang-orang tidak mengetahui wajah asli
dari penekun ilmu liak.
Kulit mukanya berkeriput, rambutnya seperti ijuk, kedua biji matanya
tersembunyi jauh di dalam rongga mata yang besar, hidungnya mendongkak
dengan lubangnya yang terlampau lebar. Keangkerannya masih ditambah lagi
dengan tulang pipi yang menonjol, dahi yang melengkung luas disertai mulut
yang tak henti-hentinya mengunyah-nguyah sirih. Kain kebayanya kusut dan
penuh tambalan (hlm.35).
23
Berbeda dengan sebelumnya, pada kutipan di atas memaparkan tentang wajah
Guru Liak yang menakutkan, namun pada kemunculan selanjutnya terlihat Guru Liak
muncul menjadi seorang gadis cantik. Hal ini mengakibatkan orang-orang menjadi
terkecoh dalam setiap perjumpaan.
Berbeda dengan semula, kali ini si guru liak mewujudkan dirinya ke dalam
bentuk seorang wanita remaja yang kecantikannya tidak kalah dengan Cathie.
Ia memang tampak cantik menggairahkan apabila lidahnya yang panjang luar
biasa tidak kelihatan julur keluar mulutnya. Pakaiannya pun jauh berbeda
dengan yang dikenakan semalam. Kalau kemarin ia mengenakan kebaya yang
penuh dengan tambalan, maka kini ia mengenakan kain songket dengan
kebaya halus yang masih baru (hlm.94-95).
Selanjutnya dari segi sosiologisnya, Ratu Liak adalah seorang guru ilmu liak
sakti yang bertempat tinggal di daerah Sanur, Bali. Pengarang tidak terlalu banyak
melukiskan segi sosiologis tokoh Ratu Liak. Berikut kutipannya.
“Ya,” aku mengangguk, “Sanur merupakan pusat kegiatan liak-liak di Bali.
Sanur merupakan tampat mencetak liak-liak yang paling tersohor. Ibaratnya
Leiden yang menciptakan sarjana-sarjana Belanda dan Sorbonne yang
menghasilkan cerdik cendekiawan Perancis.” (hlm.26).
Lalu, dari segi psikologis, pengarang melukiskan tokoh Ratu Liak adalah tokoh
yang tidak mempercayai siapapun. Hal itu dikarenakan Ratu Liak merahasiakan
wujud aslinya dengan siapa saja. Ratu Liak memiliki tujuan untuk menjadi liak paling
sakti. Hal ini digambarkan ketika Ratu Liak berhasil mengalahkan liak yang berasal
dari Desa Suwung dalam perang ketika mereka berubah wujud menjadi bola api.
Dengan tertawa terbahak-bahak Ratu Liak menggambarkan kepuasanya atas perang
tersebut. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
“Kau terlalu ingin mengetahui segala sesuatunya yang sepatutnya tidak pantas
kau ketahui!” liak itu menggeram parau,“aku mencurigai, kau hai laki-laki
24
muda! Firasatku mengatakan bahwa kau manusia yang sulit dipercayai dan
berbahaya!” (hlm.58).
“Hah… he..he.. hik… hak… hak… ha…ha…
suba benyah isin tendas ratun liak Suwung’nto!” (Sudah hancur isi kepala ratu
liak desa Suwung itu) Teriak guru liak di sebelah Cathie dengan tertawa keras
(hlm.117).
2.1.3 Pusaka Mahendra
Ditinjau dari segi fisiologis, tokoh Pusaka Mahendra digambarkan sebagai laki-
laki dewasa yang berpenampilan sederhana dan belum memiliki kekasih. Hal ini
terlukiskan pada kutipan di bawah ini.
“Baiklah, kau sudah cukup dewasa untuk menerima mantera ini. Ingatlah
bahwa mantera ini bukan barang mainan. Ia tak boleh disebar-luaskan begitu
saja tanpa menghaturkan sesajian tertentu. Oleh karena itu sebaiknya kita
pergi ke merajan saja.” (hlm.40).
Kimono yang kupakai kulemparkan lalu kuganti dengan celana khaki dan
jaket abu-abu. Keris kecil yang tadi siang diberikan oleh kakekku kuselipkan
di balik jaket. Aku tak mau ambil resiko menghadapi liak tanpa sesuatu bekal
untuk membela diri (hlm.47).
Ditinjau dari dimensi fisiologis, Pusaka Mahendra adalah seorang laki-laki
dewasa yang belum memiliki pasangan. Hal ini mengakibatkan Pusaka jatuh cinta
dengan Cathie yang baru dijumpainya, berikut kutipannya.
Tapi aku jadi tersenyum-senyum sendiri ketika menyadari dalam usia yang
sudah cukup matang begini aku masih belum memiliki seorang kekasih pun.
Sebenarnya ada juga keinginanku untuk berpacaran tapi belum pernah
menjumpai seorang gadis yang sesuai dengan khayalan yang sering muncul di
kepalaku (hlm.90).
Dari segi sosiologis, Pusaka Mahendra merupakan seorang pelaut yang dinas di
Surabaya. Akan tetapi, pada saat berjumpa dengan Cathie ia sedang cuti dan berlibur
25
di tanah kelahirannya selama beberapa minggu. Hal tersebut terlihat dalam kutipan
berikut.
“Dinas. Aku diperintahkan agar berada di Surabaya kembali selambat-
lambatnya besok siang.” “Masa cutimu kan belum habis?”
“Memang belum, tapi cuti kapalku sudah abis. Nanti sore ia akan turun dari
dok dan besok siang kami harus mengadakan pelayaran percobaan. Untuk
menguji mesin, menghitung diameter taktis, mencocokan kompas magnit dan
beberapa keperluan lainnya. Bila percobaan ini selesai maka kapalku akan
bertolak secepat mungkin” (hlm.140).
Pengarang juga menggambarkan tokoh Pusaka Mahendra lahir di Bali dan
Pusaka menganut ajaran agama Hindu. Berikut kutipannya.
“Ya. Keyakinan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah senjata yang
paling ampuh untuk membasmi segala jenis kebusukan. Bila kita yakin akan
adanya Dia maka Dia pun akan mengulurkan tangan-Nya guna
menyelamatkan kita” (hlm.20).
Lalu, dari segi psikologis, Pusaka Mahendra dilukiskan pengarang sebagai tokoh
yang memiliki tingkat kegelisahan yang cukup tinggi. Bahkan setelah berumpa
dengan Guru Liak, kegelisahaan Pusaka semakin menjadi-jadi, terlihat pada kutipan
berikut.
Ketegangan terasa menyelusuri setiap persendian di dalam tubuhku. Inilah
untuk pertama kalinya aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri
bagaimana cara kerja makhluk halus yang disebut liak itu (hlm.32).
Rasa-rasanya ke manapun aku pergi selalu diikuti oleh bayang tersebut.
Tawanya yang terbahak-bahak dengan selingan ringkikan kuda itu masih
terngiang-ngiang di telingaku (hlm.37).
Tokoh Pusaka dilukiskan pengarang memiliki ketertarikan dengan Cathie sejak
pertama kali bertemu, hal ini didukung dengan hampir setiap hari mereka
menghabiskan waktu bersama-sama.
26
Belum pernah kutemui seorang dara pun yang sanggup menarik hatiku…
kecuali… Cathie? Aku terkejut sendiri sewaktu pikiranku sampai ke sini.
Mungkinkah aku tertarik pada Cathie? Pada seorang dara kulit putih dari
benua Australia yang terletak di seberang lautan? (hlm.90).
2.1.4 Wayan Jereg
Secara fisiologis I Wayan Jereg merupakan kakek dari tokoh Pusaka Mahendra
yang menganut ilmu putih. Pengarang juga melukiskan I Wayan Jereg sebagai tokoh
yang selalu mengenakan destar dan sudah tua diperjelas pada kutipan berikut.
“Semasa mudanya kakekku itu seorang petualang juga. I Wayan Jereg
bukanlah nama yang asing di dunia perliakan. Demikianlah yang sering
kudengar. Selama ini aku tak pernah menghiraukan hal tersebut karena aku
memang tak tertarik pada hal-hal gaib.” (hlm.38).
“Ia menukar destar batiknya dengan destar putih. Demikian pula kainnya
digantinya dengan kain putih. Demikian pula kainnya digantinya dengan kain
putih. Tangan kirinya memegangi coblong sedangkan tangan kanannya
menggenggam seikat dupa.” (hlm.40).
Secara sosiologis, penggarang menggambarkan tokoh I Wayan Jereg berasal dari
kota Tabanan dan beragama Hindu. Berikut kutipannya.
Dan tanpa berpikir lebih panjang lagi aku segera berangkat ke Tabanan,
sebuah kota kecil yang terletak 21 kilometer di sebelah barat laut kota
Denpasar. Di sana kakekku, I Wayan Jereg Tinggal (hlm.38).
Dari dimensi sosiologis, I Wayan Jereg adalah penekun ilmu putih yang
beragama Hindu. I Wayan Jereg memiliki spiritual yang tinggi sehingga mampu
menjadi sosok panutan di daerah tempat tinggalnya. Hal ini terlukiskan pada kutipan
berikut ini.
Di depan sebuah tugu kakekku duduk bersila. Kedua telapak tangannya
dikatupkan lalu diangkatnya dan diletakannya di depan dahinya. Tanpa
27
diberitahu lagi aku pun mengikuti apa-apa yang dilakukan oleh kakekku
(hlm.40).
Lalu, secara psikologis, pengarang melukiskan I Wayan Jereg sebagai tokoh
yang bijaksana. I Wayan Jereg memiliki cara padang yang positif terhadap segala hal,
dan ia selalu berserah dengan Tuhan sebagai perlindungan. Hal ini terlihat pada
kutipan berikut.
“Kakek kini lebih mengandalkan keyakinan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa sebagai senjata pembela diri. Kaulah kini yang mewarisi keris sakti ini.
Jangan digunakan sembarangan. Malah kalau bisa, janganlah menggunakan
keris tersebut sebab pasti akan menimbulkan korban jiwa manusia. Tidak ada
gunanya mencari permusuhan dengan liak. Tetapi seandainya liak menyerang
terlebih dahulu dengan maksud hendak membunuhmu maka bertindaklah
sebagai laki-laki jantan” (hlm.45—46).
2.1.5 I Made Badra
Tokoh berikutnya adalah I Made Badra. Dalam novel ini I Made Badra adalah
sahabat dari Pusaka Mahendra. Ditinjau dari segi fisiologis, Badra berpenampilan
rapi, terlihat pada kutipan di bawah ini.
Melihat kedatanganku, seorang laki-laki yang memakai jas batik bangkit dari
duduknya. Lalu ia berseru gembira.
“Hai! Tak kusangka kau mau datang juga.” Aku segera dapat mengenali laki-
laki itu. Dan dengan gembira aku pula berkata, “Untuk seorang sahabat aku
pasti datang” (hlm.5).
Secara sosiologis, pengarang menggambarkan Badra sebagai tokoh yang baru
saja mendapatkan gelar sarjana di Universitas Udayana dan merayakan pesta
kelulusannya, berikut kutipannya.
“Aku mengucapkan selamat atas gelar sarjana yang baru saja kau rebut dari
Fakultas Kedokteran Hewan & Perternakan.”
“Terimakasih, terimakasih… “ia tertawa, “aku pun merasa amat senang atas
kedatanganmu ke pestaku ini” (hlm.5).
28
Secara psikologis pengarang tidak menggambarkan secara jelas. Pengarang
hanya melukiskan tokoh I Made Badra dari segi fisiologis dan sosiologis seperti
pemaparan di atas.
2.1.6 Men Surya Susila
Tokoh selanjutnya adalah Men Surya Susila. Dalam novel ini pengarang
melukiskan tokoh Men Surya Susila berusia di bawah tiga puluh tahun. Berikut
kutipannya.
Konon kesaktiannya sudah sedemikian tingginya sehingga bolehlah disebut
ratu atau guru liak. Jarang orang yang berusia di bawah 30 tahun, seperti Men
Surya Susila, yang sanggup mencapai tingkatan setinggi itu (hlm.128).
Secara sosiologis, pengarang melukiskan tokoh Men Surya Susila berasal dari
Desa Suwung. Men Surya Susila juga digambarkan memiliki anak-anak yang masih
kecil, merupakan penganut ilmu hitam, sekaligus musuh dari Guru Liak Cathie,
terlihat pada kutipan berikut.
“Itu sudah menjadi rahasia umum di Suwung. Beberapa orang pernah
memergokinya ketika ia melakukan perbuatan jahatnya itu. Tatkala orang-
orang tersebut membuka rahasia Men Surya Susila di depan umum, Men
Surya Susila lalu naik pitam.” (hlm.125).
“Kasihan anak-anaknya masih kecil-kecil sudah ditinggal pergi oleh ibunya
untuk selama-lamanya.” “Itu termasuk risiko yang harus berani ditanggung
oleh seseorang yang bisa menjadi liak.”
“Kenapa Pan Surya Susila tidak melarang isterinya menuntut ilmu hitam?”
“Ia tidak menyadari sebelumnya bahwa wanita yang dikawininya itu adalah
liak angker” (hlm.128).
29
Lalu, secara psikologis, pengarang melukiskan Men Surya Susila sebagai tokoh
yang jahat dan menakutkan. Tidak ada yang berani melawan ataupun berdebat
dengan Men Surya Susila seperti kutipan berikut ini.
Beberapa orang pernah memergokinya ketika ia melakukan perbuatan
jahatnya itu. Tatkala orang-orang tersebut membuka rahasia Men Surya Susila
di depan umum, Men Surya Susila lalu naik pitam. Keesokan harinya orang-
orang tersebut diketemukan mati satu persatu dalam keadaan kering
kerontang! Sejak saat itu tidak ada seorang pun yang berani bertentangan
paham dengan Memen Surya Susila di desa Suwung (hlm.125).
2.2 Alur
Alur adalah urutan kejadian, tiap kejadian dihubungkan sebab akibat, peristiwa
yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain (Stanton dalam
Nurgiyantoro, 2005:113). Alur sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam
cerita yang tidak bersifat sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa
itu berdasarkan kaitan sebab akibat (Kenny dalam Nurgiyantoro, 2005:113).
Wiyatmi (2006:36) mengatakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang
disusun berdasarkan hubungan kausalitas (sebab-akibat). Secara garis besar alur
dibagi dalam tiga bagian, yaitu: awal, tengah, dan akhir.
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai
sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam
keseluruhan fiksi. Dengan demikian, alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang
membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Dalam pengertian ini,
alur merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang memecahkan konflik yang
terdapat di dalamnya (Semi, 1988:43).
30
Aristoteles mengungkapkan bahwa alur terdiri atas tahapan awal, tahapan tengah,
dan tahapan akhir. Tahapan awal sebuah cerita biasanya disebut tahap perkenalan.
Pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal
yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya, misalnya penunjukan dan
pengenalan latar. Tahapan awal sering dipergunakan untuk pengenalan tokoh-tokoh
cerita berwujud deskripsi fisik bahkan juga telah disinggung perwatakannya. Tahapan
tengah disebut sebagai tahap pertikaian menampilkan pertentangan atau konflik yang
sudah mulai bermunculan pada tahap sebelumnya menjadi semakin meningkat dan
menegangkan. Konflik dapat berupa konflik internal (konflik pada diri sendiri) dan
konflik eksternal (konflik antartokoh cerita). Pada tahapan tengah inilah klimaks
ditampilkan, ketika konflik mencapai titik intensitas tertinggi. Selanjutnya, tahapan
akhir disebut juga sebagai tahapan peleraian yang menampilkan adegan tertentu
sebagai akibat klimaks. Tahapan ini berisi kesudahan atau akhir sebuah cerita.
Penyelesaian cerita dibedakan menjadi dua macam, yaitu kebahagiaan dan kesedihan
(Nurgiyantoro, 2005:142—146).
2.2.1 Tahapan Awal
Tahapan awal alur novel Liak Ngakak menceritakan awal perjumpaan Catherine
Dean dengan Pusaka Mahendra, di sebuah pesta kelulusan I Made Badra sahabat
Pusaka Mahendra. Cathie adalah wanita Australia, sedangkan Pusaka Mahendra
adalah seorang pelaut yang bertugas di Surabaya. Perkenalan antara Cathie dengan
Pusaka berlanjut ketika Cathie menyatakan keinginannya untuk mempelajari ilmu
hitam dan Cathie meminta Pusaka untuk mencarikan Guru Liak sekaligus menjadi
31
juru bahasa, sebab Cathie belum fasih berbahasa Bali, seperti terlihat dalam kutipan
berikut.
“Saya ingin memperkenalkan seseorang yang baru datang dari Surabaya. Ini
sahabat karib saya, Pusaka Mahendra. Ia seorang petualang. “Jadi, kalau
mengobrol dengan dia harus hati-hati”. Lalu Badra berpaling padaku dan
berkata, “Dan dara Australia ini adalah Nona Catherine Dean, mahasiswa
jurusan sastra” (hlm.7-8).
“Aku hanya minta pertolonganmu untuk mencarikan aku guru liak yang
bersedia mengajarkan ilmunya kepadaku. Dan juga aku mohon bentuanmu
untuk menjadi juru bahasa sebab aku tak bisa berbahasa daerah sedangkan
guru-guru liak itu katanya cuma bisa berbicara dalam bahasa Bali” (hlm.13).
Tahapan awal juga memperlihatkan ketertarikan Pusaka terhadap sosok Cathie
yang mampu menarik perhatiannya, meskipun ini adalah awal dari perjumpaan
mereka. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Sepeninggal Badra, aku seperti terpaku di lantai. Untuk sesaat aku cuma bisa
berdiri tegap menatap gadis kulit putih yang berdiri di hadapanku.
Mulutku terkatup rapat, tapi hatiku membisikkan betapa jelitanya dia! (hlm.8).
2.2.2 Tahapan Tengah
Pada tahapan tengah pengarang melukiskan Cathie berhasil bertemu dengan Ratu
Liak sakti dari Sanur. Pertemuan ini mengharuskan Cathie membawa tujuh butir intan
dan tujuh macam darah yang berasal dari tujuh jenis binatang sebagai syarat awal
menjadi murid Ratu Liak. Berikut kutipannya.
“Akan kuperkenalkan diriku kepada kalian bahwa akulah ratu liak, guru liak
dari aliran yang paling mengerikan, yaitu: Liak Ngakak. Perempuan muda ini
kuterima menjadi muridku dengan syarat-syarat ketat yang sama sekali tidak
dapat dianggap enteng. Syarat pertama telah lewat mala mini dengan hasil
yang cukup memuaskan. Syarat kedua perempuan muda ini harus
menyerahkan 7 butir intan dan 7 macam darah yang berasal dari 7 jenis
binatang” (hlm.34-35).
32
Setelah mampu memenuhi kedua persyaratan, pertemuan selanjutnya paha Cathie
harus dirajah dengan mantra-mantra ilmu hitam oleh Ratu Liak. Setelah tahapan
tengah inilah Cathie mampu mengubah wujudnya menjadi bermacam-macam bentuk
sesuai dengan perintah Ratu Liak. Cathie mulai tertarik semakin dalam pada ilmu
hitam. Hal tersebut membuat Cathie semakin terhanyut dalam perintah-perintah Ratu
Liak, terlihat pada kutipan berikut.
Di pangkal paha Cathie gerakan lidah liak itu berhenti. Rupanya pada ujung
lidah yang bercabang dua itu tertempel ketujuh butir intan tadi sebagai alat
tulis, lidah liak itupun mulai mematuk pangkal paha Cathie dengan cepat.
Dalam beberapa menit saja pekerjaan itu telah selesai (hlm.56).
“Suatu pesan yang kuterima melalui bawah sadarku menyuruh aku mengikuti
segala apa yang diperbuat oleh guru liak itu.” “Jadi dalam kesurupan itu kau
menerima petunjuk-petunjuk dari dia?” “Hebat sekali. Suatu sistem
penguasaan terhadap jalan pikiran seseorang” (hlm.84).
Pusaka Mahendra cemas memikirkan Cathie yang semakin bersemangat
mendalami ilmu hitam. Cathie tidak mengetahui bahaya, jika terus melanjutkan ke
tahapan selanjutnya. Pusaka terus berusaha mengingatkan Cathie agar tidak
melanjutkan mempelajari ilmu hitam ini, Cathie tetap bersikukuh melanjutkan demi
menulis buku tentang ilmu hitam di Bali. Suatu malam, Cathie dan Ratu Liak berubah
wujud menjadi bola api, berperang dengan seorang liak dari Desa Suwung bernama
Men Surya Susila. Dalam perang tersebut, Liak Suwung kalah dan akhirnya tewas.
Setelah itu, barulah Cathie menyadari bahwa dirinya sudah mampu membunuh,
ketika berubah menjadi liak. Rasa takut dan cemas baru menghantui pikiran Cathie.
Berikut kutipannya.
33
“Melalui isyarat-isyarat yang kuterima di kepalaku, aku memperoleh
pemberitahuan bahwa aku harus ikut dalam suatu perkelahian bersama-sama
guruku melawan musuh yang akan segera muncul. Bila aku menolak perintah
guru liak itu, aku akan dilarang menuntut ilmu pengeliakan lebih lanjut dan
dalam jangka waktu sehari semalam segala ilmu hitam yang telah kupelajari
di sini akan lenyap tanpa bekas” (hlm.133).
“Ya, Tuhan… aku sama sekali tidak bermaksud membunuh seseorang. Aku
hanya diberitahu oleh ratu liak ngakak untuk membantu mengusir serta
menyingkirkan si bola api kuning” (hlm.135).
Tahapan tengah alur novel Liak Ngakak berakhir di sini. Jadi, tahapan tengah
alur cerita dimulai dari perkenalan Catherine Dean dengan Pusaka Mahendra. Berkat
bantuan Pusaka, Cathie bisa bertemu dan belajar ilmu hitam demi menulis bukunya
tentang ilmu hitam di Bali. Ketika Cathie sudah mampu mengubah dirinya menjadi
liak dan pikiran Cathie tidak bisa terkendali, ia mulai terhanyut dalam ilmu hitam
hingga sudah mampu membunuh.
2.2.3 Tahapan Akhir
Pada tahapan akhir, terjadi klimaks. Cathie berjanji kepada Pusaka bahwa hari ke
delapan, Cathie akan mengakhiri penelitiannya terhadap ilmu hitam. Ratu Liak juga
berjanji mengobati semua sakit yang dialami Cathie selama mempelajari ilmu hitam.
Berikut kutipannya.
“Aku telah berpikir ke arah itu, Pus. Aku sedang berpikir-pikir di titik mana
aku akan berhenti bermain-main dengan liak ini. Kini aku menyadari bahwa
waktunya sudah tiba. Maksudnya setelah…” “Setelah apa?” “Setelah si guru
liak ngakak mengobati aku nanti tengah malam” “Besok pagi aku telah
menjadi Catherine Dean seperti yang kau kenal 8 hari yang lalu” (hlm.142).
Ternyata hari ke delapan merupakan hari terakhir Pusaka dan Cathie berjumpa.
Ratu Liak yang berjanji mengobati Cathie ternyata kembali mengubah Cathie
34
menjadi liak berwujud monyet putih. Sanggah cucuk sebagai sarana berubah wujud
Cathie menjadi manusia kembali terbawa oleh gulungan ombak pantai Merta Sari.
Pusaka berusaha untuk menyelamatkan sanggah cucuk dari ganasnya ombak, namun
hal itu sia-sia. Hal ini diketahui oleh Ratu Liak yang menggangap Pusaka sebagai
ancaman. Perkelahian Pusaka dengan Ratu Liak terjadi. Dengan sekuat tenaga Pusaka
berusaha menyelamatkan diri, kemudian ia menusukkan keris sakti milik kakeknya
sebagai perlindungan diri. Ratu Liak akhirnya mati di tangan Pusaka, begitu pula
Cathie yang harus mati karena dalam wujud liak, Cathie tidak bisa terkena sinar
matahari. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.
Monyet putih itu mengais-ngais pasir dengan kaki serta tangannya dengan
gelisah. Lalu ia meloncat-loncat menjauhi aku. Ia meloncat-loncat ke arah
tanah kuburan dengan maksud mencari perlindungan di antara kerimbunan
pepohonan-pepohonan. Namun maksudnya itu gagal di tengah jalan sebab ia
jatuh tertelungkup di pasir. Ia tak mampu lagi bergerak di udara terang. Dari
mulutnya terdengar jerit lengking kesakitan yang memenuhi angkasa tatkala
sinar matahari pagi menimpa punggungnya. Ia menggeliat-geliat dan
berguling-guling di pasir dalam usahanya mencoba menahan rasa sakit yang
luar biasa. Berdikit-dikit tubuhnya tampat berasap lalu memijar seperti arang!
Sekejap kemudian yang masih tampak hanyalah segumpal debu yang
diterbangkan angina (hlm.152-153).
Tahapan akhir alur berakhir tidak bahagia. Ilmu hitam memisahkan Cathie dan
Pusaka. Pusaka Mahendra kehilangan sosok Cathie yang disayanginya. Rasa
menyesal yang mendalam dialami oleh Pusaka karena tidak secara tegas melarang
Cathie mempelajari ilmu hitam.
2.3 Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
35
peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005:216). Latar adalah
segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya
sastra (Sudjiman, 1992:48).
Nurgiyantoro (2005:217) menyatakan latar memberikan pijakan cerita secara
konkret dan jelas. Kondisi tersebut dianggap paling penting untuk memberikan kesan
realitas kepada pembaca dan menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah
sungguh-sungguh ada dan terjadi.
2.3.1 Latar Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa. Latar tempat bisa
merupakan lokasi dengan nama tertentu, atau bisa juga tempat imajinasi hasil ciptaan
pengarang.
Ada beberapa tempat yang menjadi latar cerita berlangsung. Tempat-tempat itu
memberikan deskripsi perjalanan cerita, memberikan pengaruh, dan kelangsungan
hidup bagi tokoh-tokoh cerita. Latar yang berpengaruh dalam novel Liak Ngakak,
yaitu awal pertemuan Cathie dengan Ratu liak. Lokasi terjadinya peristiwa Liak
Ngakak banyak ditempatkan di Denpasar Selatan. Sanur juga menjadi daerah
pertemuan Cathie dengan Ratu Liak untuk berlatih ilmu hitam. Hal ini terlihat pada
kutipan berikut.
“Semalam aku pergi ke Sanur, ke tanah kuburan yang kita kunjungi berdua
beberapa hari yang lalu.” Cathie membuka ceritanya, “dan di sana aku
berjumpa dengan ratu liak yang berwajah…”
“Amat menyeramkan itu,” (hlm.102).
“Menurut pengakuan Cathie yang diceritakannya padaku tadi siang di
Bedugul, ia mala mini akan menemui guru liak tersebut di tepi desa Merta
36
Sari yang terletak beberapa kilometer di sebelah selatan pantai Sanur”
(hlm.111).
Latar selanjutnya adalah sebuah penginapan bernama Blumbang. Lokasi ini
merupakan tempat tinggal Cathie selama di Bali, di sinilah Cathie dan Pusaka sering
berjumpa, menghabiskan waktu bersama-sama hampir setiap hari. Hal tersebut
menyebabkan adanya ketertarikan satu sama lain. Berikut kutipannya.
Setelah menerima keterangan dari salah seorang karyawan penginapan
Blumbang, aku langsung menuju rumah nomor 18 yang terletak agak
menyudut yang ditempati Catherine Dean. Tiang berukir di teras kuketuk
beberapa kali. Segera pintu rumah terbuka dan Catherine Dean muncul
dengan senyumnya yang ramah (hlm.15—16).
Tempat wisata Bedugul yang terletak di Kabupaten Tabanan merupakan latar
selanjutnya. Di tempat wisata itulah Cathie dan Pusaka menghabiskan waktunya
untuk berlibur bersama. Pada saat itu pengarang melukiskan Bedugul masih sepi dan
merupakan tempat wisata yang sejuk, indah, dan nyaman untuk bersantai. Hal ini
terlihat pada kutipan berikut.
“Bedugul? Di mana itu?”
“Di tepi danau Beratan,” aku menjelaskan,
“suatu tempat sejuk di pegunungan” (hlm.101).
Permukaan air danau Beratan yang biru jernih seperti cermin raksasa terbelah
oleh perputaran baling-baling motor tempel Johnson yang melekat pada
buritan speed-boatku. Gulungan-gulungan air yang membuih putih di
belakangku membuat Cathie terayun-ayun di atas skinya (hlm.105).
2.3.2 Latar Waktu
Menurut Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006:40) latar waktu berkaitan dengan masalah
waktu, jam, hari, dan historis. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”
37
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, latar waktu dapat memberikan
perjalanan mengenai masa atau zaman terjadinya cerita. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat
diartikan dengan peristiwa sejarah.
Dalam novel Liak Ngakak, latar waktu yang dilukiskan pengarang hanya berkisar
pada pagi hari, siang, dan malam. Kutipan di bawah mewakili latar waktu yang ada
dalam novel Liak Ngakak. Latar waktu ini menjelaskan bagaimana kronologi cerita
yang ada dalam novel. Latar waktu yang dominan adalah malam hari karena dalam
cerita, proses mempelajari ilmu hitam terjadi pada malam hari. Hal itu diperjelas
dengan kutipan di bawah ini.
Matahari sudah tinggi ketika aku terjaga dari tidurku yang amat lelap.
Beberapa kali aku menguap untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih
saja bertengger di kelopak mataku. Namun demikian mataku masih saja mau
terpejam kembali (hlm.80).
Aku segera keluar dari mobil lalu kembali menuju pohon kelapa bercabang
itu. Dari sana aku menyusuri jalan kecil yang menuju pantai. Menurut
pengakuan Cathie yang diceritakannya padaku tadi siang di Bedugul, ia
malam ini akan menemui guru liak tersebut di tepi desa Merta Sari yang
terletak beberapa kilo meter di sebelah selatan pantai Sanur (hlm.111).
Kutipan di atas mewakili latar waktu yang ada dalam novel Liak Ngakak, yang
menjelaskan bagaimana kronologi cerita yang ada dalam novel. Di awali dengan
usaha Pusaka untuk mencari tahu tentang Guru Liak sakti di Sanur hingga
menemukan tempat di mana Cathie sering belajar ilmu pengeliakan tersebut.
2.3.3 Latar Sosial
38
Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu
tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat
mencakup berbagai masalah ruang lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, dan lain-lain tergolong latar spiritual. Selain itu, latar sosial juga
berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2005:233-
234).
Novel Liak Ngakak memiliki latar sosial kebudayaan Bali mengenai adat istiadat
dan keyakinan yang cukup kuat. Budaya Bali yang dalam hal ini adalah ilmu
pengeliakan dibagi menjadi dua, yaitu ilmu putih (Dharma Sadhu) bersifat
mengobati, dan ilmu hitam (Aji Ugig) bersifat menyakiti.
Melalui novel Liak Ngakak pengarang menggambarkan masyarakat Bali yang
mempercayai adanya Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Pengarang melukiskan
dalam novel Liak Ngakak Pusaka Mahendra dan I Wayan Jereg menganut
kepercayaan agama Hindu. Mereka meyakini bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dapat melindungi manusia dari kejahatan ilmu hitam. Hal ini terdapat pada kutipan
sebagai berikut.
“Kakek kini lebih mengandalkan keyakinan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa sebagai senjata pembela diri. Kaulah kini yang mewarisi keris sakti ini.
Jangan digunakan sembarangan. Malah kalau bisa, janganlah menggunakan
keris tersebut sebab pasti akan menimbulkan korban jiwa manusia. Tidak ada
gunanya mencari permusuhan dengan liak. Tetapi seandainya liak menyerang
terlebih dahulu dengan maksud hendak membunuhmu maka bertindaklah
sebagai laki-laki jantan” (hlm.45-46).
39
Novel Liak Ngakak memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi. Selain meyakini
adanya Tuhan, tokoh-tokoh dalam novel juga meyakini mantra-mantra sebagai
perlindungan diri. Pengarang menggambarkan bahwa mantra ilmu hitam dan putih
memiliki cara yang berbeda dalam cara penyampaiannya. Kutipannya sebagai
berikut.
“Apakah memang benar ada mantera-mantera penawar untuk melawan
pengaruh liak?”
“Itu pasti ada. Kalau tidak benar tentulah manusia di atas permukaan bumi ini
sudah habis ditelan liak yang tak pernah kenyang itu. Selain mantera-mantera
penawar juga ada senjata-senjata yang dapat digunakan untuk berkelahi
langsung dengan liak” (hlm.39).
“Akan kurajah kulitnya. Pada kulit tubuhnya akan kutuliskan beberapa
mantera ilmu pengeliakan.”
“Aku harus menggoreskan mantera yang sakti ini di tempat yang tersembunyi
yang tidak akan terlihat oleh manusia lain. Cepat kerjakan!” (hlm.54—55).
Pengarang juga melukiskan bukan hanya masyarakat Bali yang percaya dengan
adanya pengeliakan. Cathie, wanita Australia, yang ingin mengungkap rahasia black
magic di Bali juga mengakui bahwa ilmu hitam di Bali adalah sebuah seni yang luar
biasa dan bersifat postitif apabila dilihat dari sudut yang netral. Hal ini terlihat pada
kutipan berikut.
“Tidak ada seorang manusia Barat yang pernah mengungkapkan kehidupan
liak yang diselubungi rahasia ini. Aku adalah orang Barat pertama yang
pernah dan harus berhasil menyingkapkan seni ini” (hlm.85).
“Tidak semua bangsa di dunia sanggup menciptakan suatu seni yang setaraf
dengan seni liak ini. Jangan ditimbang dari segi untung rugi atau baik buruk
tujuannya tapi tinjaulah secara keseluruhan penciptaan ini dari sudut yang
netral.”
“Nah… jika seseorang yang menguasai ilmu pengeliakan ini sanggup
menguasai dirinya sendiri dan nafsu jahat liak-liak lainnya maka pastilah ilmu
liak ini dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia” (hlm.85—86).
40