Download - BAB II
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kompetensi Petani
Syah (2002) menyatakan bahwa pengertian dasar kompetensi (competency)
adalah kemampuan atau kecakapan. Istilah kompetensi diartikan sebagai
“kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas” atau sebagai “memiliki
keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan”.
Lasmahadi (2002) mengemukakan bahwa kompetensi didefinisikan sebagai
aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk
mencapai kinerja superior. Kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, dan
tingkah laku akan menghasilkan kinerja.
Kompetensi manusia adalah kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak
yang mendasari dan merefleksikan wujud perilaku dan kinerja seseorang dalam
aktivitas dan pergaulan hidupnya (Mangkuprawira, 2004).
Menurut Spencer dan Spencer dalam Hutapea dan Thoha (2008), kompetensi
merupakan karakteristik mendasar seseorang, yang menentukan terhadap hasil
kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu
pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja
(hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang beragam.
33
34
Kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang terdiri dari
knowledge, skill dan attitude yang ada hubungan sebab-akibatnya dengan prestasi
kerja yang luar biasa atau dengan efektifitas kerja. Knowledge (pengetahuan)
merupakan kemampuan yang dimiliki pegawai yang berorientasi pada cara
pengoperasian mesin, pemahaman semua aturan dan teori yang berkaitan dengan
pekerjaan, pelayanan yang baik serta berfikir kreatif dan memberikan ide-ide
dalam pekerjaan, skill (keterampilan) merupakan kemampuan karyawan dalam
bekerja sama, memecahkan masalah dan berkomunikasi serta bertanggung jawab
dalam pekerjaan sedangkan attitude (sikap), yaitu perasaan senang-tidak senang,
suka-tidak suka atau reaksi terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar
(Hutapea dan Thoha, 2008).
Tingkat kompetensi seseorang, dengan demikian dapat digunakan untuk
memprediksi bahwa seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan
baik atau tidak. Kompetensi juga menentukan cara-cara seseorang dalam
berperilaku atau berpikir, menyesuaikan dalam berbagai situasi, dan bertahan
lama dalam jangka panjang.
2.1.1. Pengetahuan
Menurut Martopo (2004), dalam meningkatkan kompetensi
individu sumberdaya manusia, pengetahuan sangat berperan penting
dalam mempengaruhi tingkat kemampuan penerimaan inovasi, adopsi dan
inisiatif dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam suatu
organisasi kerja. Inti dari pendapat ini mengandung 3 unsur yang harus
35
dipenuhi yaitu pendidikan, berarti individu mempunyai jenjang
pendidikan yang telah ditamati, memiliki latar belakang pendidikan sesuai
wawasan dan disiplin ilmu yang ditekuni.
Pengetahuan menurut Green (dalam Handoko, 2000) merupakan
salah satu faktor yang dapat memudahkan dalam mempengaruhi
seseorang berperilaku positif atau negatif dalam kehidupan seseorang.
Rachdyatmaka (1990) berpendapat pengetahuan secara
keseluruhan meliputi kemampuan dan ketrampilan yang diperoleh dari
pendidikan, pelatihan maupun pengalaman tanpa mengabaikan kepatuhan
pada prosedur dan pedoman yang ada dalam menjalankan dan
menyelesaikan tugas suatu kegiatan.
2.1.2. Keterampilan
Keterampilan menurut Gibson (2000) adalah kecakapan yang
berhubungan dengan tugas yang dimiliki dan dipergunakan oleh
seseorang dalam waktu yang tepat. Handoko (2000) berpendapat
keterampilan yang memadai akan meningkatkan kemampuan kerja
karyawan sehingga apabila manajemen kurang tanggap prestasi kerja
karyawan akan rendah.
Ketrampilan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu
juga dapat dicapai dengan pelatihan. Pelatihan adalah suatu perubahan
pengertian dan pengetahuan atau keperampilan yang dapat diukur. Dan
36
pelatihan dilakukan untuk memperbaiki efektifitas pegawai dalam
mencapai hasil kerja yang telah ditetapkan.(Handoko, 2000).
2.1.3. Sikap
a. Pengertian sikap
Milton dalam Gitosudarmo (2000) memberikan pengertian sikap
sebagai keteraturan perasaan dan pikiran seseorang dan kecenderungan
bertindak terhadap aspek lingkungannya. Sikap seseorang tercermin
dari kecenderungan prilakunya dalam menghadapi situasi lingkungan,
seperti orang lain, atasan, bawahan maupun lingkungan kerja.
Sikap adalah pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan
atau tidak menguntungkan-mengenai objek, orang, atau peristiwa, sikap
mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Bila saya
menyatakan ”saya menyukai pekerjaan saya” saya mengungkapkan
sikap saya mengenai kerja.
Sikap tidak sama dengan nilai, tetapi keduanya saling
berhubungan, dengan memandang pada tiga komponen dari suatu sikap:
pengertian (kognitif), keharusan (efektif) dan kecenderungan perilaku
(behavior). Komponen-komponen ini menggambarkan kepercayaan,
perasaan dan rencana tindakan anda dalam berhubungan dengan orang
lain (Robbins, 1996).
Komponen Kognitif dari sikap tertentu berisikan informasi yang
dimiliki seseorang tetang orang lain atau benda. Informasi ini bersifat
37
deskriptif dan tidak termasuk derajat kesukaan atau ketidaksukaan
terhadap obyek tersebut.
Komponen efektif dan sikap tertentu berisikan perasaan-perasaan
seseorang terhadap obyeknya. Komponen ini melibatkan evaluasi dan
emosi yang diekspresikan sebagai perasaan suka atau tidak suka
terhadap objeknya. Komponen ini melibatkan evaluasi dan emosi yang
diekspresikan sebagai perasaan suka atau tidak suka terhadap objek dari
sikapnya. Komponen afektif diberlakukan sebagai reaksi terhadap
kmponen kognitif.
Komponen kecenderungan perilaku dari sikap tertentu berisikan
cara yang direncanakan seseorang untuk bertindak terhadap objeknya
dan cenderung sangat dipengaruhi oleh komponen kognitif dan afektif.
Sikap sebagai kemampuan internal yang sangat berperan dalam
pengambilan tindakan, lebih-lebih jika terbuka beberapa peluang untuk
bertindak. Sehinga orang yang memiliki sikap, jelas mampu memilih
diantara beberapa kemungkinan (Winglet, 1991).
Sikap sebagai suatu kesiagaan mental yang dipelajari dan
diorganisir melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh tertentu atas
cara tanggap seseorang terhadap orang lain, objek dan situasi yang
berhubungan dengannya. Definisi sikap tersebut memiliki empat
implikasi pada manajer, yaitu: a) Sikap dipelajari b)Sikap menentukan
38
kecenderungan orang terhadap segi tertentu c) Sikap diorganisasi dan
dekat dengan inti kepribadian (Gibson, 2000).
b. Pembentukan sikap
Pembentukan sikap berlangsung secara bertahap melalui proses
belajar. Proses belajar tersebut terjadi karena pengalaman-pengalaman
pribadi dengan obyek tertentu (orang, benda atau peristiwa) dengan cara
menghubungkan obyek tersebut dengan pengalaman-pengalaman lain
atau melalui proses belajar sosial. Sebagian besar sikap itu dibentuk
melalui kombinasi dari beberapa cara tersebut.
Sikap tersusun atas komponen kognitif, efektif dan perilaku.
Afektif komponen emosional, atau perasaan dan sikap dipelajari dari
orang tua, guru dan teman dalam kelompoknya. Sedangkan komponen
kognitif sikap terdiri atas presepsi, pendapat dan keyakinan seseorang.
Elemen kognitif yang penting adalah keyakinan evaluasi yang dimiliki
seseorang. Komponan perilaku dari suatu sikap berhubangan dengan
kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap seseorang atau
sesuatu dengan cara yang ramah, hangat agresif, bermusuhan, apatis
atau dengan cara lain (Gitosudarmo, 2000).
c. Perubahan Sikap
Perubahan sikap diperoleh melalui proses belajar. Perubahan dapat
berupa penambahan, pengalihan atau modifikasi dari satu atau lebih tiga
komponen tersebut diatas. Sekali perubahan sikap telah terbentuk maka
39
akan menjadi bagian internal dari individu itu sendiri. Dapat dikatakan
bahwa merubah sikap seseorang sedikit banyak juga ikut merubah
manusianya.
Sikap dapat berubah dari positif ke negative atau sebaliknya.
Tidak ada seorang pun yang selalu konsisten secara terus-menerus dan
tidak mustahil terdapat inkonsistensi dalam sikap seseorang terhadap
obyek, peristiwa dan orang tertentu (Siagian, 1995).
d. Hubungan Sikap, Perilaku, Kinerja.
Sikap mempengaruhi perilaku, yaitu bahwa sikap dipegang teguh
oleh seseorang menentukan apa yang akan dilakuakan. Makin khusus
sikap seseorang yang kita ukur dan makin khusus pula kita
mengidentifikasi perilaku terkait, maka makin besar kemungkinan kita
dapat memperoleh hubungan yang signifikan antara keduanya (Gibson,
2000).
Perilaku kerja yang di tunjukkan oleh karyawan sesungguhnya
merupakan gambaran atau cerminan sikap individu. Apabila sikap
positif sejak awal dikembangkan oleh individu maka perilaku kinerja
yang timbul akan baik. Dengan perilaku kerja positif mewujud kan
kinerja tinggi adalah suatu pekerjaan yang mudah (Gibson, 2000).
Dalam organisasi, sikap itu penting karena mereka mempengaruhi
perilaku, Jika para pekerja percaya, bahwa untuk membuat karyawan
bekerja lebih keras untuk uang yang sama atau lebih, maka masuk akal
40
untuk mencoba memahami bagaimana sikap-sikap ini dibentuk,
hubungan mereka dengan perilaku jabatan dan bagaimana mereka
mungkin berubah. Adanya ketidak sesuaian antara sikap dan perilaku
seseorang boleh jadi karena adanya tekanan-tekanan sosial kepada yang
bersangkutan untuk berperilaku sedemikian rupa sesuai dengan
keinginan atau kemauan pemegang kekuasaan.
2.2. Faktor Eksternal Petani
Faktor eksternal adalah ciri-ciri yang menekan seseorang yang berasal dari
luar dirinya, yang merupakan salah satu faktor yang penting dalam rangka
mengetahui upaya seseorang untuk melakukan suatu usaha (Rakhmat, 2001).
Pengertian faktor eksternal dalam penelitian ini adalah keadaan/peristiwa yang
memengaruhi petani yang berasal dari luar diri, seperti: lahan, sarana produksi,
keterlibatan dalam kelompok tani dan akses kredit.
2.2.1. Lahan
Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrologi, dan vegetasi yang saling memengaruhi potensi penggunaannya.
Lahan garapan adalah lahan yang diusahakan, baik lahan milik sendiri
maupun sewa (BPS, 2007).
Menurut Hernanto (1993), lahan merupakan unsur produksi asli.
Menurut Tjakrawiralaksana (1996), lahan merupakan manifestasi atau
pencerminan dari faktor-faktor alam yang berada di atas dan di dalam
41
permukaan bumi, dan berfungsi sebagai: (1) tempat diselenggarakan
kegiatan pertanian, sepertibercocok tanam dan memelihara ternak atau
ikan; (2) tempat pemukiman keluarga tani. Hernanto lebih lanjut
menyatakan luas lahan usaha tani dapat digolongkan menjadi tiga bagian,
yaitu (1) sempit, dengan luas < 0,5 ha; (2) sedang, dengan luas 0,5 – 2 ha;
(3) luas, jika lebih dari 2 ha.
Mardikanto (1993) mengatakan bahwa luas lahan usaha tani
merupakan aset bagi petani dalam menghasilkan produksi total, dan
sekaligus sumber pendapatan. Pada umumnya, petani dengan kepemilikan
lahan usaha yang luas akan menempati posisi status sosial lebih tinggi di
lingkungan sosialnya.
Lahan dengan demikian merupakan tempat diselenggarakan
kegiatan pertanian untuk menghasilkan produk pertanian sebagai sumber
pendapatan ataupun tempat pemukiman petani. Lahan dalam penelitian
ini dibatasi pada luasan lahan yang digunakan petani untuk usaha
budidaya lidah buaya.
2.2.2. Sarana Produksi
Menurut Sudjati (1981), sarana merupakan alat-alat yang
diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Van den Ban
(1999) menyebutkan sarana usaha tani meliputi: tanah atau lahan, pupuk,
benih bersertifikat, alat penyemprot, bahan bangunan, mesin pertanian,
dan subsidi produksi.
42
Mosher (1987) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi
pertanian, memerlukan penggunaan bahan-bahan dan alat-alat produksi
oleh petani, di antaranya: bibit, pupuk, pestisida, makanan, dan obat
ternak serta perkakas. Mosher lebih lanjut menyatakan bahwa tersedianya
sarana merupakan syarat pokok dalam pembangunan pertanian.
Ketersediaan sarana produksi mutlak diperlukan agar dapat menjadi
pendukung dalam peningkatan produksi.
Sarana produksi dengan demikian merupakan bahan-bahan dan alat-
alat yang diperlukan dalam proses produksi untuk mencapai target yang
telah ditentukan. Sarana produksi dalam penelitian ini dibatasi pada
tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan benih, pupuk, obat-obatan,
dan kelengkapan penyediaannya untuk kegiatan proses produksi.
2.2.3. Keterlibatan dalam Kelompok Tani
Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 273 tahun 2007 tentang
Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani (Deptan, 2007), kelompok tani
adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar
kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi,
sumber daya), dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan
usaha anggota. Menurut Mosher (1987 dalam Mardikanto, 1993)
mengemukakan bahwa salah satu syarat pelancar pembangunan pertanian
adalah adanya kerjasama kelompok tani.
43
Penumbuhan kelompok tani didasarkan atas faktor-faktor pengikat
sebagai berikut : (a) adanya kepentingan bersama antara anggotanya; (b)
adanya kesamaan kondisi sumber daya alam dalam berusahatani; (c)
adanya kondisi masyarakat dan kondisi sosial yang sama; (d) adanya
saling percaya antara sesama anggota. Melalui pendekatan kelompok,
akan terjalin kerjasama antara individu anggota kelompok dalam proses
belajar, proses berproduksi, pengolahan hasil, dan pemasaran hasil untuk
peningkatan pendapatan dan kehidupan yang layak (Abbas, 1995).
Slamet (2003) mengemukakan bahwa pendekatan kelompok
disarankan bukan hanya karena pendekatan ini lebih efisien, tetapi karena
pendekatan ini menghasilkan interaksi antar-petani dalam kelompok yang
merupakan forum komunikasi yang demokratis. Forum itu juga sebagai
forum belajar sekaligus forum pengambilan keputusan untuk
memperbaiki nasib mereka sendiri. Melalui forum semacam inilah
pemberdayaan ditumbuhkan yang akan berlanjut pada tumbuh dan
berkembangnya kemandirian rakyat petani.
Keterlibatan dalam kelompok tani dengan demikian merupakan
tindakan petani menjadi anggota, mengikuti kegiatan kelompok tani, dan
bekerjasama antara sesama anggota untuk meningkatkan dan
mengembangkan kegiatan usaha tani. Keterlibatan dalam kelompok tani
dalam penelitian ini adalah tingkat keaktifan petani dalam kegiatan
44
kelompok tani sebagai wadah interaksi saling bertukar informasi dan
pengalaman sesama petani.
2.2.4. Akses Kredit
Menurut Mosher (1987), untuk memproduksi lebih banyak, petani
harus lebih banyak memerlukan uang untuk bibit unggul, pestisida,
pupuk, dan alat-alat pertanian. Pengeluaran tersebut harus dibiayai dari
uang sendiri atau dengan meminjam selama jangka waktu antara saat
pembelian sarana produksi dan saat penjualan hasil panen. Badan-badan
efisien yang memberikan kredit produksi kepada petani dapat merupakan
faktor pelancar penting bagi pembangunan pertanian.
Menurut Hernanto (1993), akses kredit adalah kemampuan untuk
mendapat barang atau jasa pada saat sekarang untuk dikembalikan di
kemudian hari. Soekartawi, et al., (2011) mengemukakan bahwa
kebutuhan kredit tersedia pada pelepas uang atau bank dan petani dapat
membayar bunga atau jumlah pinjaman pokok dari arus pendapatan yang
diproyeksikan.
Akses kredit dengan demikian merupakan sumber modal yang
dapat diakses dan dimanfaatkan petani dalam memeroleh uang, barang
atau jasa untuk kelangsungan kegiatan usaha tani, yang dikembalikan
dengan jumlah dan pada waktu yang sesuai dengan perjanjian. Akses
kredit dalam penelitian ini dibatasi pada kemudahan mengakses sumber
45
modal/kredit untuk kelanjutan dan pengembangan usahatani lidah buaya
di lahan gambut.
2.2.5. Peran Pemerintah
Sebagai penunjang kehidupan berjuta-juta masyarakat Indonesia,
sektor pertanian memerlukan pertumbuhan ekonomi yang kukuh dan pesat.
Sektor ini juga perlu menjadi salah satu komponen utama dalam program
dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau,
pertanian Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan
kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk
menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara
drastis.
Tantangan bagi pemerintahan yang baru adalah untuk menggalakkan
peningkatan produktivitas di antara penghasil di daerah rural, dan
menyediakan fondasi jangka panjang dalam peningkatan produktivitas
secara terus menerus. Dalam menjawab tantangan tersebut, hal berikut ini
menjadi sangat penting (Dinas Pertanian Kalbar, 2012):
1. Fokus dalam pendapatan para petani; titik berat di padi tidak lagi dapat
menjamin segi pendapatan petani maupun program keamanan pangan;
2. Peningkatan produktivitas adalah kunci dalam peningkatan pendapatan
petani, oleh karena itu pembangunan ulang riset dan sistem tambahan
menjadi sangat menentukan;
46
3. Dana diperlukan, dan dapat diperoleh dari usaha sementara untuk
memenuhi kebutuhan kredit para petani melalui skema kredit yang
dibiayai oleh APBN;
4. Pertanian yang telah memiliki sistem irigasi sangat penting, dan harus
dipandang sebagai aktifitas antar sektor. Pemerintah perlu memastikan
integritas infrastruktur dengan keterlibatan pengguna irigasi secara
lebih intensif, dan meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk
mencapai panen yang lebih optimal hingga setiap tetes air;
5. Fokus dari peran regulasi dari Kementerian Pertanian perlu ditata
ulang. Kualitas input yang rendah mempengaruhi produktifitas petani;
karantina diperlukan untuk melindungi kepentingan petani dari
penyakit dari luar namun pada saat yang bersamaan juga tidak
membatasi masuknya bahan baku impor; dan standar produk secara
terus menerus ditingkatkan di dalam rantai pembelian.
Bidang-bidang yang perlu diperhatikan untuk menjawab tantangan
di atas dapat dijabarkan sebagai berikut (Rosegrant, 2000):
1. Koordinasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Program-
program dari pemerintah pusat harus dilengkapi dengan bermacam-
macam inisiatif dari badan pemerintahan nasional lainnya,
pemerintahan lokal yang akan berada di garis depan dalam
pemgimplementasian program, organisasi produsen di pedesaan yang
bergerak di bidang agribisnis, dan para petani yang harus menjadi
47
partner penting demi mendukung proses perubahan ini. Cara ini
memerlukan usaha terpadu lebih besar dan kerjasama dari pemerintah
pusat dan daerah dalam menangani infrastruktur, pemasaran pertanian,
proses pertanian, fasilitas perdagangan.
2. Perlu meningkatkan pendapatan petani melalui diversifikasi lebih lanjut.
Rumah tangga miskin memiliki tingkat ketergantungan lebih tinggi pada
pertanian, karena sektor perekonomian yang bukan berasal dari
pertanian tidak dapat berkembang. Diversifikasi di dalam hal ini
menjadi penting, begitu pula berbagai kebijakan yang merangsang
tumbuhnya usaha peternakan, tumpang sari sayuran, penanaman
kembali hutan-hutan di daerah-daerah kecil dengan tumbuhan berkayu
dengan nilai tinggi, serta difersifikasi kacang mete atau buah-buahan.
Seluruh usaha tersebut dapat berperan serta untuk mencapai penghasilan
yang lebih stabil, dan mengurangi tingkat kemiskinan di suatu daerah.
3. Memperkuat kapasitas regulasi. Pemerintah mengatur dan mengawasi
berbagai standar yang mempengaruhi produktifitas petani (misalnya
mencegah agar pupuk palsu, bibit bermutu rendah, dan pestisida
berbahaya tidak beredar di pasar; melaksanakan sistim karantina untuk
mencegah penularan penyakit binatang ternak dan tanaman dari luar)
dan melindungi konsumen produk pertanian (misalnya melalui inspeksi
mutu daging). Kerangka regulasi Indonesia untuk hal-hal tersebut telah
cukup berkembang, akan tetapi diperlukan perhatian untuk
48
pembangunan kapasitas, pemeliharaan integritas sistim nasional dengan
desentralisasi, dan fokus pada penyediaan bantuan bagi pemilik skala
kecil untuk memenuhi ketentuan spesifikasi perdagangan.
4. Meningkatkan pengeluaran untuk penelitian pertanian. Pertumbuhan
produktifitas di daerah pedesaan adalah dasar utama bagi pengentasan
kemiskinan di daerah tersebut. Hal ini membutuhkan sistim yang solid
dalam proses produksi, adaptasi dan pemerataan teknologi yang
dibutuhkan oleh produser berskala kecil. Penelitian pertanian yang kuat
dan sistim penyuluhan sangat penting untuk menggerakan produktivitas
ke jalur pertumbuhan yang lebih pesat.
5. Mendukung cara-cara baru dalam penyuluhan pertanian. Seperti halnya
sistim penyuluhan di negara-negara lainnya, Indonesia menghadapi
tantangan besar dalam pengembangan mekanisme institusional yang
efektif dalam menyalurkan teknologi yang sesuai bagi produsen
berskala kecil. Walaupun pengalaman dalam pelayanan bantuan
pertanian masih sangat minim, bukti-bukti kuat yang mendukung
manfaat desentralisasi penyuluhan terus bertambah, termasuk yang
melibatkan pihak swasta maupun masyarakat umum.
6. Mendukung pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi, Inisiatif
untuk mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi di daerah
membuka kesempatan bagi penyaluran informasi ke komunitas
49
pedesaan, memperbaiki hubungan antar penelitian dan penyuluhan, serta
mendukung pengembangan daerah pedesaan.
7. Menjamin berlangsungnya manajemen irigasi. Tantangan dalam
menghadapi langkanya sumber air diperbesar dengan terus
bertambahnya biaya dalam penyediaan sumber air yang baru,
pencemaran tanah di daerah irigasi, penipisan persediaan air tanah,
polusi air dan penurunan mutu ekosistem yang berhubungan dengan air,
serta pemborosan penggunaan air di tempat suplai air yang telah selesai
dibangun.
8. Memperbaiki infrastruktur rural. Investasi infrastruktur daerah setempat
yang menjadi penghubung penting antara pasar dan pusat pelayanan,
telah melambat secara tajam, mengakibatkan deteriosasi fasilitas yang
telah dibangun. Walaupun titik berat pembangunan telah ditempatkan
pada pembangunan jalan penghubung penting, pengembangan dan
perbaikan jaringan jalan di daerah pedesaan dibutuhkan dengan segera.
Jalan penghubung antara desa dan pasar sangat dibutuhkan di daerah
pedesaan untuk mendukung intensifikasi pertanian.
2.3. Produktivitas
2.3.1. Pengertian Produktivitas
Produktivitas memiliki dua dimensi, dimensi pertama adalah
efektivitas yang mengarah kepada pencapaian unjuk kerja yang maksimal
50
yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan
waktu, dan yang kedua yaitu efisiensi yang berkaitan dengan upaya
membandingkan input dengan realisasi penggunaannya atau bagaimana
pekerjaan tersebut dilaksanakan (Umar, 2005).
Herjanto (2006) menyatakan bahwa produktivitas merupakan
ukuran bagaimana baiknya suatu sumber daya diatur dan dimanfaatkan
untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Menurut Arfida (2003), produktivitas merupakan perbandingan
antara hasil yang dicapai (keluaran) dengan keseluruhan sumber daya
(masukan) yang dipergunakan persatuan waktu. Pengertian makna
peningkatan produktivitas yang dapat terwujud dalam empat bentuk, yaitu :
a. Jumlah produksi yang sama dapat diperoleh dengan menggunakan
sumber daya yang lebih sedikit.
b. Jumlah produksi yang lebih besar dapat dicapai dengan menggunakan
sumber daya yang kurang.
c. Jumlah produksi yang lebih besar dapat dicapai dengan menggunakan
sumber daya yang sama.
d. Jumlah produksi yang jauh lebih besar diperoleh dengan pertambahan
sumber daya yang relatif lebih sedikit.
2.3.2. Pengukuran Produktivitas
Produktivitas dapat dinyatakan sebagai rasio antara keluaran
terhadap sumber daya yang dipakai. Bila dalam rasio tersebut masukan
51
yang dipakai untuk menghasilkan keluaran dihitung seluruhnya, disebut
sebagai produktivitas total (total productivity), tetapi bila yang dihitung
sebagai masukan hanya faktor tertentu saja maka disebut sebagai
produktivitas parsial (partial productivity) (Herjanto, 2006).
a. Produktivitas Total
Produktivitas total menyatakan keluaran bersih dengan jumlah
faktor masukan tenaga kerja dan modal dengan rumus sebagai berikut
(Umar, 2005):
Produktivitas total digunakan untuk mengukur perubahan
efisiensi dari kegiatan operasi. Untuk mengukur perubahan
produktivitas total dalam suatu periode waktu, semua faktor yang
berkaitan dengan kuantitas keluaran dan masukan yang digunakan
selama periode tadi diperhitungkan. Faktor-faktor itu meliputi manusia,
mesin, modal, material, energi, dan lainnya (Herjanto, 2006).
Penghitungan produktivitas total memiliki beberapa keuntungan yaitu :
1. Alat yang berguna bagi menajemen untuk mengontrol laba.
2. Bila digunakan bersama dengan produktivitas parsial dapat
menunjukkan area yang perlu diperhatikan.
Total Jumlah Tenaga Kerja & Modal Kerja
Semua Faktor Input
Produktivitas =
Keluaran Neto
52
3. Mudah untuk melakukan analisis sensitivitas.
4. Mudah dihubungkan dengan ongkos total.
Sedangkan kekurangan produktivitas total yaitu :
1. Sulit memperoleh data pada tingkat faktor produk dan pelanggan.
2. Tidak mempertimbangkan faktor-faktor kualitatif/tak terhitung.
b. Produktivitas Parsial
Pengukuran produktivitas untuk satu masukan pada suatu saat
disebut dengan produktivitas parsial (partial productivity measurement)
(Mulyadi, 2007). Pengukuran produktivitas parsial dapat merupakan
rasio output terhadap salah satu faktor produksi (input) dan rasio output
terhadap salah satu jenis input per satuan waktu, misalnya produktivitas
upah tenaga kerja, produktivitas modal, produktivitas bahan material.
Produktivitas parsial sebagai pengukur kinerja memiliki
keunggulan berikut ini (Mulyadi, 2007) :
1. Memungkinkan memusatkan usaha terhadap penggunaan masukan
tertentu saja.
2. Memudahkan karyawan operasional menentukan kinerja
produktivitasnya. Karyawan operasional hanya dapat
mengendalikan masukan tertentu, sehingga ukuran produktivitas
parsial yang memberikan umpan balik mengenai hubungan antara
keluaran dengan masukan tertentu mudah mereka pahami.
53
3. Untuk kepentingan pengendalian operasional, sering kali standar
kinerja bersifat jangka pendek, yang diukur dengan
membandingkan produktivitas parsial batch sekarang dengan
batch sebelumnya.
Meskipun dapat digunakan untuk mengukur kinerja jangka
pendek, pengukuran produktivitas parsial juga memiliki kelemahan
karena pengunaan produktivitas parsial secara terpisah dapat
menyesatkan. Suatu penurunan produktivitas salah satu masukan
kemungkinan diperlukan untuk menaikkan produktivitas masukan yang
lain. Kompensasi semacam ini seringkali disengaja asalkan banyak
biaya secara keseluruhan dapat berkurang. Namun seringkali dilakukan
pertukaran (trade-off) kenaikan produktivitas suatu masukan dengan
diimbangi oleh penurunan produktivitas masukan yang lain, dengan
akibat yang merugikan perusahaan (Mulyadi, 2007).
2.3.3. Peningkatan Produktivitas
Menurut Ravianto (1985), terdapat banyak faktor yang dapat
mempengaruhi produktivitas di antaranya semangat kerja dan disiplin
kerja, tingkat pendidikan, keterampilan, gizi dan kesehatan, sikap dan etika,
motivasi, iklim kerja, teknologi, sarana produksi, kesempatan kerja dan
kesempatan berprestasi.
Untuk dapat meningkatkan produktivitas manusia pada suatu
organisasi kerja, menurut Sinungan (2007), dapat dilakukan dengan
54
menerapkan suatu kombinasi kebijakan, rencana sumber-sumber dan
metode dalam memenuhi kebutuhan dan tujuan khususnya. Kombinasi
kebijakan ini dilakukan melalui dan dengan bantuan faktor-faktor
produktivitas internal dan eksternal.
a. Faktor Internal, dilakukan lewat :
1. Penjabaran dan penanaman pengertian serta tumbuhnya sikap laku
dan pengamalan konsep.
2. Secara fisik, maka sarana-sarana motivatif yang langsung berkaitan
dengan kerja dan tenaga kerja diusahakan peningkatan menurut
kemampuan dan situasi organisasi.
b. Faktor Eksternal, dapat dilakukan dengan penanaman kesadaran
bermasyarakat dan kesadaran bernegara.
Produktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
produktivitas parsial yaitu perbandingan antara keluaran faktor produksi
berupa hasil panen lidah buaya dengan masukan faktor produksi yaitu luas
lahan.
2.4. Penelitian Terdahulu
Penelitian oleh Bagio (2011) mengenai produktivitas dan distribusi
pendapatan berdasarkan status penguasaan lahan pada usahatani padi di
Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah mendapatkan hasil bahwa
55
produktivitas usahatani padi dapat dinaikan dengan menambah pemakaian
beberapa sarana produksi, khususnya menambah pemakaian beberapa sarana
produksi, terutama pemakaian pupuk urea, benih dan luas lahan, selain itu status
penguasaan lahan mempuyai pengaruh terhadap distribusi pendapatan, petani
yang mempunyai penguasaan lahan lebih luas cenderung mempunyai pendapatan
yang lebih besar dibanding penguasaan lahan yang lebih sempit.
Penelitian oleh Rahmad Hidayat (2012) mengenai maksimalisasi
pendapatan usahatani lidah buaya di Kecamatan Pontianak Utara menyatakan
bahwa luas lahan dan jumlah tenaga kerja berpengaruh terhadap produksi
usahatani lidah buaya.
Penelitian lain yang pernah dilaksanakan pada usahatani lidah buaya di
Kota Pontianak dilaksanakan oleh Erlina dkk (2012) mengenai analisis faktor-
faktor yang mempengaruhi produksi usahatani lidah buaya di sentra produksi
Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, menyatakan bahwa input produksi
berupa penggunaan abu, pupuk area dan lahan mempengaruhi produksi pelepah
segar lidah buaya.
Penelitian terdahulu mengenai produktivitas petani lidah buaya dapat
dirangkum dalam Tabel 2.1 di bawah ini :
56
Tabel 2.1
Matriks Penelitian Sebelumnya
No. Peneliti Tahun Penelitian
Judul Penelitian Hasil Penelitian
1. Bagio Mudakir
2011 Produktivitas Dan Distribusi Pendapatan Berdasarkan Status Penguasaan Lahan Pada Usahatani Padi Di Kabupaten Kendal Provinsi Jawa Tengah
Produktivitas usahatani padi dapat dinaikan dengan menambah pemakaian beberapa sarana produksi, khususnya menambah pemakaian beberapa sarana produksi, terutama pemakaian pupuk urea, benih dan luas lahan, selain itu status penguasaan lahan mempunyai pengaruh terhadap distribusi pendapatan, petani yang mempunyai penguasaan lahan lebih luas cenderung mempunyai pendapatan yang lebih besar dibanding penguasaan lahan yang lebih sempit.
2. Suma Nugraha
2008 Analisis Kinerja Usahatani dan Pengolahan Lidah Buaya di Kabupaten Bogor
Kinerja usaha kecil lidah buaya sangat dipengaruhi oleh aspek faktor produksi (FP) dengan γ = 0.14, non faktor produksi (NFP) dengan γ = 0.12. Variabel indikator berupa upah, modal, dan biaya bahan baku berpengaruh nyata terhadap aspek faktor produksi, serta variabel pemasaran, kondisi ekonomi Indonesia dan kebijakan pemerintah berpengaruh nyata terhadap aspek non faktor produksi, akan tetapi variabel produktivitas tenaga kerja dan produktivitas modal tidak berpengaruh
57
No. Peneliti Tahun Penelitian
Judul Penelitian Hasil Penelitian
nyata terhadap kinerja usaha kecil lidah buaya, hanya nilai tambah atau value added yang signifikan terhadap kinerja usaha kecil lidah buaya.
3. Dicky Kurniawan
2008 Analisis Peran Pertanian Lidah Buaya dalam Konteks Pengembangan Ekonomi Lokal (Studi Kasus : Kecamatan Pontianak Utara Kota Pontianak)
Secara makro (wilayah) peran pertanian lidah buaya masih terbilang kecil, dan secara mikro (rumah tangga) telah berperan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan menciptakan multiplier meskipun belum besar.
4. Fajri Muslim
2008 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Petani Lidah Buaya (Aloe vera) di Kecamatan Pontianak Utara
Tingkat produktivitas petani lidah buaya di Kecamatan Pontianak Utara dipengaruhi secara signifikan oleh sikap kerja, tingkat keterampilan, hubungan petani dan Ketua Kelompok Tani dengan Penyuluh Pertanian Lapangan dan efisiensi tenaga kerja.
5. Rahmad Hidayat
2012 Maksimalisasi Pendapatan Usahatani Lidah Buaya di Kecamatan Pontianak Utara
Luas lahan dan jumlah tenaga kerja berpengaruh terhadap produksi usahatani lidah buaya.
6. Erlina dkk 2012 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Usahatani Lidah Buaya Di Sentra Produksi Kota
Input produksi berupa penggunaan abu, pupuk area dan lahan mempengaruhi produksi pelepah segar lidah buaya.
58
No. Peneliti Tahun Penelitian
Judul Penelitian Hasil Penelitian
Pontianak Provinsi Kalimantan Barat
7. Yohana Mayang
2013 Analisis Produksi dan Pendapatan Petani Lidah Buaya di Kecamatan Pontianak Utara
Tingkat produksi dan pendapatan dalam periode sebulan tidak sesuai dengan luas lahan yang dimiliki petani. Dengan luas lahan 1 Ha produksinya sebesar 2.857 kg, sementara dengan luas lahan 6 Ha produksinya hanya 5.358 kg, begitu juga dengan pendapatannya.
Sumber : Data Olahan (2013)