Download - BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Berawal dari al-Qur’an, yang berkisah tentang potret drama fenomenologi
dan positivisme, yaitu dua paradigma keilmuan yang saling berhadapan,
ditokohkan oleh nabi Hidir ‘alaihi salam yang berdiri di atas nalar intuisif
subjektif, sementara nabi Musa ‘alaihi salam yang berdiri di atas nalar
rasionalitas objektif1. Aktifitas transformasi keilmuan kedua nabi ini,
diinformasikan oleh al-Qur’an, surat al-Kahfi, ayat 66 sampai ayat 82, dan
berakhir dengan tidak berlangsungnya proses transformasi, yang disebabkan
ketidak sabaran nabi Allah Musa ‘alaihi salam, terhadap syarat yang di berikan
oleh nabi Allah Hidir ‘alaihi salam, sehingga nabi Allah Hidir ‘alaihi salam
sampai berkata “inilah perpisahan antara aku dengan kamu, aku akan
memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak sabar
terhadapnya2”, hal ini menandakan bahwa rasa hormat dan kepatuhan seorang
murid terhadap guru merupakan kewajiban.
Falsafah pendidikan Islam mengajarkan kepada peserta didik untuk
bersikap ramah dan santun kepada sesama dan kepada gurunya, sehingga
1M. Hasyim Syamhudi, Epistemologi Keilmuan Islam dalam Positivisme Nabi Allah Musa
As dan Fenomenologi Nabi Allah Hidir As,(Probolinggo: Jurnal Afkarina, Volume 2 Nomor I, IAI
Nurul Jadid, 2012), 100. 2Al-Qur’an, 18:78.
2
pendidikan Islam menandaskan bahwa ilmu peserta didik tidak akan bermanfaat
kelak, apabila seorang peserta didik tidak menghargai dan menghormati gurunya3.
Selain narasi yang dijelaskan dalam al-Qur’an tentang taat kepada guru,
kemudian dilanjutkan hadits Nabi Muhammad shallallah ‘alaihi wa sallam, yang
membahas tentang manusia dilahirkan secara fitrah4, ada perbedaan pendapat
tentang arti fitrah, pertama mengatakan bahwa fitrah itu potensi yang sudah ada
sejak lahir, fitrah berarti asal kejadian, bawaan sejak lahir5. Kedua ada yang
mengatakan bahwa fitra itu suci, Walaupun ada perbedaan namun maksudnya
sama, tetap yang membentuk jati diri seseorang selain diri mereka sendiri adalah
orang tua dan lingkungannya.
Dari kedua dalil naqli tersebut, adalah salah satu alasan atas terpilihnya
tema tesis ini, sebab, dewasa ini, etika dalam dunia pendidikan sudah mulai
memudar, untuk menghindari hal itu, agar potensi etika yang dibawa sejak lahir
berkembang dengan sempurna, maka perlu adanya pendidikan, baik secara formal
atau non formal, sebab manusia adalah makhluk lemah, yaitu mkhluk yang dapat
dipengaruhi, sehingga dapat dididik (homo-educable) dan adalah makhluk yang
belum siap menghadapi kehidupan, sehingga harus dididik (homo-educandum)6.
3Moh Dahlan, Nilai-nilai Humanis, Kultural, dan Filosofis dan Falsafah Pendidikan KH.
Abdur Rahman Wahid, (Probolinggo: Jurnal Afkarina, Volume 2 Nomor I, IAI Nurul Jadid, 2012),
80. 4John Locke (1632-1704) berpikir bahwa bayi ketika lahir ibarat kertas yang masih putih
bersih dan akan tumbuh serta berkembang, namun dalam islam konsep itu bersifat second opinion,
dalam hadits yang diriwayat oleh Abi Ya’la, Tabrani dan Baihaqi dari Aswad bin Abi Ya’la, Kullu
mauludin yuladu ‘ala a’-fitrah hatta yu’arrobu ‘anhu lisanihi faabwahu yuhawwidanihi aw
yunashshironihi aw yumajjisanihi, artinya setiap anak dilahirkan atas kesempurnaan potensinya
(fitrah), termasuk bahasa yang ia katakan, maka ayah ibunyalah yang menjadikan anak tersebut
menjadi yahudi, nasrani, dan majusi. Lihat di M. Hasyim Syamhudi,Epistimologi, 109. 5M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an,(Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2014), 44. 6Ahmad Syamsu Rizal, Ilmu Sebagai Subtansi Esensial dalam Epistemologi Pendidikan
Islam, (Jurnal Pendidikan Agama Islam –Ta’lim Vol. 1 – 2016), 1.
3
Menurut hemat peneliti, dalam mengharapkan pendidikan yang dijalani
oleh manusia lebih terarah, terutama pada bidang etika, maka tempat mereka yang
tepat adalah madrasah, pesantren, atau lembaga yang menyelenggrakan
pendidikan, terutama madrasah yang kurikulumnya dibentuk sesuai dengan
kebutuhan peserta didik, namun tetap mempertahankan pendidikan etika. Jika
tidak demikian, maka etika yang diajarkan oleh pendidik akan pudar, lebih-lebih
masa sekarang adalah era globalisasi, tentu derasnya globalisasi akan
menggilasnya, sebab dalam era globalisasi, perubahan secara menyeluruh di
segala bidang tidak terelakkan7, kehadiran globalisasi tentunya membawa
pengaruh terhadap suatu negara tidak terkecuali Indonesia.
Berbicara tentang globalisasi, yang merupakan ancaman besar terhadap
keberlangsungan etika, terdapat pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif
dari globalisasi adalah semakin cepatnya penguasaan teknologi, meningkatnya
kreatifitas ruang berkarya oleh kalangan usia muda dan remaja. Sedangkan
pengaruh negatifnya adalah mendorong para remaja untuk melupakan aturan-
aturan agamanya, terkikisnya norma adat dan budaya lokal yang telah diwariskan
oleh pendahulunya, termasuk etika.
Kata kunci dari globalisasi adalah kompetisi, ia akan memberi peluang,
dan fasilitas yang luar biasa kepada siapa saja yang mau dan mampu
memanfaatkannya, untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan
manusia seutuhnya8. Yang keluar sebagai pemenang dalam era globalisasi adalah
yang terbaik dari sisi kualitas produk, pelayanan, teknologi, pengetahuan,
7Pius A. Partanto dkk. Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), 203. 8M. Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner (Tanggerang: Lentera Hati, 2017), 49-
50.
4
jaringan, integritas dan akuntabilitas. Untuk menjadi pemenang, Indonesia masih
dibawah negara-negara maju, masih banyak yang menjadi konsumen, dan senang
menikmati produk globalisasi, juga masih banyak manusia yang terlena dengan
mengikuti keinginannya dengan menghalalkan segala cara, yang mengakibatkan
karakter anak bangsa menjadi rapuh, mudah terjerumus dalam trend budaya yang
membuat mereka lupa segalanya, serta tidak memikirkan akibat yang
dihasilkannya, walaupun hal itu bukan mayoritas manusia Indonesia, namun
kehawatiran itu nyata.
Selain itu, terdapat pula fenomena-fenomena yang wajib menjadi
perhatian, hal yang memprihatinkan bagi orang banyak, terutama praktisi
pendidikan, antara lain adalah ; dekadensi moral, kenakalan remaja, serta
merosotnya norma adat dan kesopanan, ironisnya hal ini tidak terjadi dikalangan
masyarakat awam saja, namun juga sudah merambah pada kepribadian para
profesional, tokoh masyarakat, para pelajar, para pendidik, bahkan hingga para
pemimpin bangsa ini.
Sementara itu dunia pendidikan yang merupakan pusat pembentukan
generasi penerus bangsa, kasus-kasus yang tidak semestinya terjadi malah
merajalela, seperti bertindak curang yang berupa contek-mencontek, mencontoh
pekerjaan teman, serta mencontoh dari buku pelajaran dalam pelaksanaan ujian,
hal ini merupakan pekerjaan yang sudah biasa. Bahkan menjadi rahasia umum
dalam pelaksanaan Ujian Akhir Sekolah (UAS), seperti Ujian Nasional (UN)
ditengarai beberapa guru memberi kunci jawaban kepada siswa.
5
Begitu pula, kriminalisasi terhadap guru, juga tidak lama kita
mengalaminya, pada tahun 2016 bapak Muhammad Samhudi, guru Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Raden Rahmat, kecamatan Balongbendo, kabupaten
Sidoarjo. Ia adalah seorang guru yang mencubit salah seorang peserta didiknya,
karena tidak mengikuti ibadah sholat Dhuha, pada tanggal 3 Februari 2016,
pendidik itu dibawa ke meja hijau, bapak Muhammad Samhudi dilaporkan oleh
orang tua murid yang dicubit, sebab tidak terima atas hukuman yang diberikan,
dan bapak Muhammad Samhudi dituntut pidana penjara enam bulan dengan
percobaan selama satu bulan,9.
Tidak hanya itu, beberapa tahun lalu, ada kepala sekolah tertangkap basah,
mencuri satu set soal-soal UN pada tahun 2011, karena takut peserta didiknya
tidak lulus, seorang kepala sekolah SMA ini berani mencuri soal fisika, kemudian
menugasi guru bidang studi untuk menjawab soal-soal yang tertulis pada naskah
itu, dengan rencana, hasil jawabannya akan diberikan kepada para peserta
didiknya10. fenomena ini seperti gunung yang ada di dalam lautan, yang tampak
hanya puncaknya saja.
Beberapa contoh kasus di atas merupakan indikasi merosotnya etika yang
baik, seharusnya dunia pendidikan menjunjung tinggi etika yang baik demi
terwujudnya manusia yang bermoral.
Namun demikian pemerintah tidak tinggal diam, dengan harapan baik,
pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk menghadapi pengaruh
9Achmad Faizal, "Guru yang Cubit Murid dituntut Hukuman 6 Bulan Penjara", https://
regional.kompas.com. 14, Juli 2016. 10Muchlas Samami, dkk. Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 2011) , 5
6
globalisasi, itu diantaranya adalah : pertama, mengirim kader-kader tebaik bangsa
ke negara-negara maju, untuk menyerap pengetahuan dan teknologi mereka,
kemudian pulang kampung untuk mengembangkan pengetahuan dan teknologi di
negri sendiri. Kedua, menggalakkan penelitian dan pengembangan di semua
lembaga dan semua bidang untuk menghasilkan temuan-temuan baru yang orisinil
dan spektakuler. Ketiga, memperkokoh karakter bangsa, khusunya kader-kader
muda yang baru aktif di bangku sekolah dan kuliah sebagai calon pembaharu
masa depan bangsa11.
Yang sangat menjadi perhatian dalam usaha pemerintah adalah, karakter
bangsa, dikarenakan pengaruh arus globalisasi yang tidak hanya berdampak
positif pada negri, pemerintah memperkokoh karakter bangsa.
Ketika karakter bangsa ini lemah, maka tidak menutup kemungkinan akan
jadi bulan-bulanan negara yang maju, yang siap menghadapi tantangan
globalisasi, dan melakukan akselerasi dalam segala bidang, sehingga masyarakat
negara ini akan semakin tertindas, di dalam maupun di luar negri, menjadi budak
di negri sendiri, di jajah sumber daya alam dan manusianya secara tidak
manusiawi.
Karakter yang dibentuk pada masa sekarang ini, pada umumnya masih
bersifat kognitif, sebagai pengetahuan saja, atau hafalan dalam otak, tidak sampai
pada tingkat penghayatan nilai-nilai, apalagi samapai pada tingkat menjadikan
nilai-nilai itu sebagai kometmen pribadi di dalam kehidupan sehari-hari12.
11Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah
(Jokjakarta, DIVA Perss, 2011) 6-7 12Salahuddin Wahid, Transformasi Pesantren Tebuireng, Menjaga Tradisi di Tengah
Tantangan (Malang : UIN MALIKI Perss, 2011), 86.
7
Tentu cukup banyak lulusan lembaga pendidikan yang berakhlak baik,
tetapi juga tidak kalah banyaknnya yang tidak menggunakan akhlak yang baik.
Sehingga dianggap sangat perlu, bagi lembaga pendidikan untuk meningkatkatkan
perhatian terhadap komponen karakter dalam pembelajarannya, agar bisa
menghasilkan alumni yang menjadi warga negara yang baik, percaya diri,
bertanggung jawab, punya motivasi kuat, siap bekerja keras, ikhlas, jujur,
sederhana, rendah hati, berwawasan luas, saling percaya dan mampu bekerja
sama, serta tidak ketinggalan manjadi pemimpin atas diri sendiri atau orang lain,
yang efektif, kuat dalam menghadapi masalah yang terjadi.
Sesuai hadis nabi yang ditulis di awal, bahwa pembentuk fitrah manusia
untuk menjadi baik, selain faktor diri sendiri adalah orang tua dan lingkungan,
tidak heran pada masa lalu pendidikan etika itu tidak hanya dirumah saja, tapi di
jalan, di pasar, dimanapun seorang anak berada, ia selalu dikontrol tentang
etikanya oleh orang tua dan masyarakat, serta tokoh masyarakatnya.
Pada era globalisasi, lingkungan tidak begitu berpartisipasi dalam
membentuk etika anak orang lain, kehidupan selalu memikirkan individu masing-
masing, oleh sebab itu orang tua membebankan masalah ini kepada para pendidik,
dengan demikian para pendidik mempunyai tanggung jawab besar dalam
pembentukan karakter peserta didik di lingkungan sekolah, sedangkan orang tua
membentuk anak mulai dari dalam kandungan sampai dewasa di luar jam sekolah,
dengan memberikan pemahaman dan penghayatan, tentang nilai-nilai karakter
yang baik sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidpupan sehari-sehari.
8
Selain mempuyai kemampuan membagikan ilmu pengetahuan, pendidik
diharapkan mampu menanamkan pendidikan karakter pada peserta didiknya. Oleh
sebab itu, pendidik yang berkarakter yang dibutuhkan. Pendidik yang berkarakter
bukan hanya pendidik yang mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi,
tetapi juga mampu memberi conto nilai-nilai yang diperlukan untuk mengarungi
hidupnya. Hal ini berarti tidak hanya memiliki kemampuan bersifat intelektual,
namun juga memiliki kemampuan secara emosional dan spiritual, sehingga
pendidik mampu membuka hati peserta didik untuk belajar, dan selanjutnya ia
mampu menjalani hidup dalam masyarakat dengan baik.
Sebagai potret peserta didik sekaligus pendidik yang berkarakter, KH.
Hasyim Asy’ari merupakan tokoh yang patut dikaji, baik karya ilmiyahnya dalam
kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim, ataupun amaliyah yang dicontohkan olehnya,
yang berkaitan dengan atika, seperti yang banyak dikisahkan dalam novel karya
Aguk Irawan, berjudul Penakluk Badai, biografi KH.Hasyim Asy’ari , dan dua
novel yang berkaitan dengan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yaitu Sang
Mujtahid Islam Nusantara, novel biografi Ky. Wahid Hasyim dan Peci Miring,
Novel KH, Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) serta beberapa buku pendukung
lainya.
Kalau kita pelajari tentang KH. Muhammad Hasyim Asy’ari melalui
buku-buku di atas dan beberapa sumber lain, dapat ditemukan potret peserta didik
dan pendidik yang ideal, baik bidang etika maupun kehausannya terhadap ilmu
pengetahuan, kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, serta senangnya
mengajarkan ilmu pengetahuan.
9
Perjalanan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam hal etika dapat dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu ; Pertama sebagai seorang peserta didik, KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari adalah potret peserta didik yang edial, tergambar
dalam teladan-teladan yang dicontohkannya dalam kehidupan mencari ilmu,
diantaranya : 1) Ia sejak kecil gigih mencari ilmu, seperti seseorang yang haus
terhadap ilmu pengetahuan dan tak pernah hilang dahaganya13, mulai dari kecil
sampai menjadi pendidik. berpindah-pindah tempat untuk mencari ilmu, mulai
dari Wonokoyo Probolinggo sampai ke Timur Tengah, itu pun tidak berhenti
belajar sampai beliau meninggal. 2) sebagai peserta didik ia beretika sangat baik,
patuh, hormat terhadap guru dan keluarga gurunya, salah satu kepatuhan dan
penghormatan kepada gurunya, ia tidak segan-segan melakukan apa saja untuk
sang kiayi14, hingga pada suatu pagi, cincin milik Nyai Kholil15 jatuh di kakus16,
ia rela mengambil didalamnya17.
Kedua, sebagai pendidik KH. Muhammad Hasyim Asy’ari juga
merupakan potret yang ideal, ditandai dengan :1) sangat sayang kepada peserta
didik, hingga dalam suatu kisah, ketika belanda yang meminta seorang santrinya
untuk dibunuh18, sebagai ganti maling yang terbunuh, sebab mencuri di Pesantren
Tebuirnag19 padahal itu hanya fitnah, beliau tidak rela memberikan salah satu
santrinya, walaupun ancamannya adalah pesantren yang beliau pimpim akan
13Aguk Irawan, Penakluk Badai, Novel Biografi Ky. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta:Qalam
Nusantara, 2016), 207. 14Sebutan guru dalam dunia pesantren 15Istri Kiayi Kholil, guru dari K Hasyim Asy’ari ketika belajar di Bangkalan, Madura.. 16Tempat pembuangan kotoran manusia. 17Aguk Irawan, Penakluk Badai, 99. 18Aguk Irawan, Penakluk Badai, 342. 19Lembaga pendidikan yang dirintis oleh K Hasyim As’ari
10
dibakar, dan ternyata benar Pesantren Tebuireng dibakar oleh belanda. 2) Gigih
dalam menyebarkan ilmu, hal ini yang ia tampakkan dalam satu kisah, pilihan
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari terhadap daerah Tebuireng yang dijadikan
pesantren tempat perjuangannya menyebarkan ilmu, padalah sudah menjadi
rahasia umum, bahwa daerah itu merupakan kawasan yang sangat najis dan kotor,
kumuh dan serba hitam, yang di dalamnya banyak dihuni manusia-manusia bejat,
yang datang dari segala penjuru, seperti pemabuk, pelacur, penjudi, pembegal dan
status kotor lainnya, sebuah desa terkenal dengan lembah hitam atau daerah
hitam20. 3) Kemudian kesabaran yang sangat luar biasa, kisah ini terjadi setelah
komplotan preman dan opsir Hindia Belanda mengobrak-abrik, menghancurkan
dan membakar hanguskan Pesantren Tebuireng, sebab tidak mau memberikan
seorang santrinya sebagai pengganti maling yang terbunuh di pesantren
Tebuireng, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tetap membangun kembali
Pesantren tersebut21.
Ketiga KH. Muhammad Hasyim Asy’ari mampu menunjukkan etika yang
baik, terhadap peserta didiknya yang dahulu ketika remaja pernah menjadi
gurunya, kisah ini tergambar dalam kisah berebut menjadi murid. Ketika KH.
Kholil Bangkalan ngaji kepada KH. Muhammad Hasyim Asy’ari , di Pesantren
Tebuireng di bulan Romadlon, ia mampu memperlakukan KH. Kholil sebagai
guru sekaligus muridnya22. Kisah ini akan diperjelas kembali di bab berikutnya.
20Aguk Irawan, Penakluk Badai, 230. 21Aguk Irawan, Penakluk Badai, 365. 22“ketika kiai hasyim dan kiai kholil berebut menjadi murid”https:// www.goole.co.id/
amp/s/amp.tirto.id/-cqeK, 14 Desember 2018.
11
Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim termasuk rujukan primer dalam
penelitian ini, secara keseluruhan terbagai menjadi delapan bab yang
dikelompokkan dalam 4 bahasan pokok yaitu ; 1) Keutamaan ilmu dan ulama’
serta pembelajaran. 2) Adab peserta didik terhadap diri sendiri, terhadap pendidik
dan terhadap pelajaran. 3) Adab pendidik terhadap diri sendiri, terhadap pelajaran,
dan terhadap peserta didik. 4) Adab penggunaan literatur yang merupakan alat
belajar. Pembahasan ini merupakan landasan pokok dalam menyusun karakter-
karakter yang harus dimiliki oleh peserta didik dan pendidik untuk diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian Madrasah Aliyah Thoyyib Hasyim Jorongan, kecamatan Leces,
kabupaten Probolinggo, propinsi Jawa Timur, menjadi pilihan untuk diteliti,
sebagai laboratorium dalam studi Kasus, sebab Madrasah tersebut merupakan
salah satu pendidikan pesantren yang mengembangkan ilmu pengetahuan, namun
tetap konsisten mempertahankan etika yang baik, sebagaimana pesantren-
pesantren di negeri ini, yang banyak mengadopsi model pendidikan yang
ditawarkan oleh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari melalui sistem pesantren yang
didirikannya dengan jargon, “al-Muhafadhu ‘ala qodim as-sholih wa al-akhdu bi
al-jadid al-alshlah”, Artinya menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil
tradisi baru yang lebih baik. Kalimat ini merupakan jawaban KH.Hasyim Asy’ari,
ketika ditanyakan oleh beberapa ulama’ termasuk Ky. Asy’ari (ayah KH.Hasyim
Asy’ari), tentang Madrasah Syalafiyah Syafi’iyah, yang didirikannya dengan
12
kurikulum yang tidak lazim di dunia pesantren pada masa itu, yaitu diisi dengan
mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika dan Geografi23.
Uraian-uraian di atas sangat menarik untuk diangkat, sebab ada korelasi
atau benang merah antara Madrasah modern sekarang dengan madrasah yang
didirikan oleh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari , baik kurikulum ataupun etika
dalam dunia pendidikan, maka dengan demikian penelitian ini berjudul
“Implementasi Uswatun Hasanah KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam
Membangun Etika Guru dan Siswa di MA. Thoyyib Hasyim Jorongan Leces
Probolinggo”, dengan harapan, konsep yang dijalankan dalam kehidupan KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari tentang nilai-nilai etika dapat menjadi contoh bagi
lembaga pendidikan. sehingga etika pendidik dan peserta didik tetap bertahan dan
tidak pudar, akibat diterjang oleh arus globalisasi yang berdampak negatif.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian yang sudah dipaparkan diatas, maka
penelitian ini difokuskan :
1. Bagaimana uswatun hasanah perspektif KH. Muhammad Hasyim Ays’ari?
2. Bagaimana Implementasi uswatun Hasanah, dalam membangun etika guru dan
sisiwa, di Madrasah Aliyah Thoyib Hasyim Jorongan Leces Probolinggo
menurut kajian historis KH. Muhammad Hasyim Asy’ari ?
23Aguk Irawan, Penakluk Badai, 311.
13
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mencari jawaban atas persoalan-persoalan di atas, dan beberapa tujuannya adalah
sebagai berikut:
1. Ingin memahami uswatun hasanah perspektif KH. Muhammad Hasyim
Ays’ari.
2. Ingin mengetahui Implementasi uswatun Hasanah, dalam membangun etika
guru dan sisiwa, di Madrasah Aliyah Thoyib Hasyim Jorongan Leces
Probolinggo menurut kajian historis KH. Muhammad Hasyim Asy’ari .
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memeberikan manfaat, baik
kedalam kehidupan masyarakat, khususnya di dunia pendidikan dan untuk
khazanah keilmuan, harapan itu antara lain:
1. Memberikan sumbangan pemikiran, terhadapan kehidupan pemikiran moral
pada masyarakat, utamanya dalam dunia pendidikan
2. Memberikan masukan, terhadap kemajuan pemikiran etika dalam dunia
pendidikan, untuk tetap eksis ditengah-tengah derasnya arus globalisasi.
3. Sebagai tahap awal bagi penulis, penelitian tentang moral, khususnya etika
pendidik dan peserta didik, yang akan dikembangkan dalam penelitian lebih
lanjut oleh peneliti.
4. Semoga menjadi pedoman bagi Madrasah Aliyah Thoyyib Hasyim, dalan
menjalankan tugas di dunia pendidikan.
14
E. Penelitian Terdahulu dan Orisinalitas Penelitian
Dalam diskursus studi etika pendidik dan peserta didik, tidak terkecuali
tokoh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari , tidak luput menjadi kajian. Sebagai
usaha menghindari adanya pengulangan kajian yang sama, di bawah ini
dipaparkan beberapa hasil karya terdahulu, dari sisi persamaan dan perbedaan
dengan kajian ini, sejauh kemampuan peneliti dalam melacak hasil karya
terdahulu, diantara beberapa penelitian terdahulu yang membahas tokoh KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari , adalah:
1. Tesis Khairan Efendi, (2010), STAI NH, Selat Panjang, yang berjudul, Studi
Pendidikan Akhlak, Studi atas Pemikiran KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dan
Hamka, penelitian ini menjelaskan tentang konsep-konsep pendidikan akhlak
yang ditawarkan oleh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dan Hamka. Penelitian
ini untuk menbandingkan konsep pendidikan akhlak yang dikemukakan oleh
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dan Hamka.
2. Tesis Rohinah M. Noor (2008), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang berjudul
Sistem Nilai dan Pendidikan (Studi Pemikiran KH. Muhammad Hasyim
Asy’ari) penelitian ini menjelaskan, mengungkapkan tentang pemikiran KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari yang meliputi pendekatan moral dan etika dalam
pendidikan Islam, pengelolaan sistem pendidikan, kurikulum dan sumber
belajar, metode pengajaran, proses belajar mengajar dan evaluasi, serta dampak
dan kontribusi pemikiran KH. Muhammad Hasyim Asy’arisebagai
pengembangan pendidikan Islam.
15
3. Tesis Mukani, (2005), IAIN Sunan Ampel Surabaya, dengan judul, Pemikiran
Pendidikan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dan Relevansinya dengan solusi
Problematika Pendidikan pada Masa Sekarang. Penelitian ini dilakukan untuk
menjelaskan tentang konsep manusia dan ilmu dalam pendidikan, orientasi
pendidikan, materi pelajran, interaksi guru dan siswa dan pengaruh lingkungan
pendidikan.
Tabel 1.1 Orisinalitas Penelitian
N
o
Nama Peneliti Judul dan
Tahun
Persamaan Perbedaan
1 Khairan Efendi, Studi
Pendidikan Akhlak, Studi
atas Pemikiran KH.
Muhammad Hasyim
Asy’ari dan Hamka, 2010
Mengkaji
pemikiran
pendidikan akhlak
KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari
Dikomparasikan
dengan pemikiran
pendidikan akhlak
Hamka
2 Rohinah M. Noor, Sistem
Nilai dan Pendidikan
(Studi Pemikiran KH.
Muhammad Hasyim
Asy’ari, 2008
tentang pemikiran
KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari
yang meliputi
pendekatan moral
dan etika dalam
pendidikan Islam
Ada pembahasan
pengelolaan sistem
pendidikan,
kurikulum dan
sumber belajar,
metode pengajaran,
proses belajar
mengajar dan
evaluasi, serta
16
dampak dan
kontribusi pemikiran
KH. Muhammad
Hasyim
Asy’arisebagai
pengembangan
pendidikan Islam.
3 Mukani, Pemikiran
Pendidikan KH.
Muhammad Hasyim
Asy’ari dan Relevansinya
dengan solusi
Problematika Pendidikan
pada Masa Sekarang,
2005
Mengkaji
pemikiran KH.
Muhammad
Hasyim Asy’ari
menjelaskan tentang
konsep manusia dan
ilmu dalam
pendidikan, orientasi
pendidikan, materi
pelajran, interaksi
guru dan siswa dan
pengaruh lingkungan
pendidikan.
4 Mo Rofiq, Implementasi
Uswatun Hasanah KH.
Muhammad Hasyim
Asy’ari dalam
Membangun Etika Guru
dan Siswa, Study Kasus di
MA. Thoyyib Hasyim
Mengkaji
pemikiran
pendidikan KH.
Muhammad
Hasyim Asy’ari
tentang etika dalam
dunia pendidikan.
Kajian ini
difokuskan pada
Implementasi
Uswatun Hasanah
KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari, di
MA. Thoyyib
17
Jorongan Tahun Pelajaran
2019/2020.
Hasyim Jorongan
Leces Probolinggo
F. Definisi Istilah
Agar menghindari adanya penafsiran yang tidak terarah, maka perlu
menguraikan beberapa istilah, mengenai judul tesis ini, dan judulnya adalah
Implementasi Uswatun Hasanah KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam
Membangun Etika Guru Dan Siswa Study Kasus di MA. Thoyyib Hasyim
Jorongan Probolinggo Tahun Pelajaran 2019/2020, dan berikut ini adalah uraian-
uraian istilah mengenai judul di atas.
1. Uswatun Hasanah
Setalah dicari kata Uswatun Hasanah dalam Al-Qur’an, Maka ditemukan
tiga ayat24, kesemuanya dalam bahasa indonesia diterjemahkan suri teladan
yang baik, salah satunya adalah surat Al-Ahzab ayat 21 “Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah, dan dalam ayat-ayat tersebut tidak ada perbedaan, kata
uswatun Hasanah diartikan suri tauladan yang baik.
2. KH. Muhammad Hasyim Asy’ari
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah salah satu tokoh yang sangat
cinta terhadap pendidikan, Selain itu KH. Muhammad Hasyim Asy’ari
bersama rekan-rekannya mendirikan Nahdlatul Ulama’ (NU), organisasi Islam
24Al-Qur’an ; 60:4, 33:21, 60:6
18
terbesar di Indonesia yang sampai saat ini mempunyai banyak cabang istimewa
di beberapa negara negara di dunia, organisasi yang banyak juga bergerak
dalam bidang pendidikan.
Dan inilah KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang dimaksud dalam
penelitian ini, yaitu seorang tokoh dari Jombang yang mendirikan Pesantren
Tebuireng dan Nahdlatul ‘ulama (NU).
3. Etika
Kata Etika, akhlak, budi pekerti, moral, satu makna dengan kata adab25,
walaupun kata adab jarang dipakai, harapannya adalah subtansi dan cakupan
maknanya tidak tereduksi oleh globalisasi yang melanda dunia26.
Secara bahasa etika dan etik berdampingan di kamus bahasa Indonesia,
etik berarti nilai yang mengenai benar dan salah yang dianut suatu masyarakat,
sedangkan etika adalah ilmu yang mengkaji tentang yang baik dan yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral27.
Lalu bagaimana dengan istilah akhlak? Dalam kamus lengkap bahasa
Indonesia akhlak berarti kelakuan, tabiat, tingkah laku28. Kata akhlak walaupun
berasal dari bahasa Arab tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun dalam
25Kata adab sendiri, dahulu sering dipakai bahkan dapat ditemukan dalam salah satu
rumusan Pancasila : “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, dalam literatur agama juga banyak
ditemukan, salah satu diantaranya adalah sabda Nabi Muhammad Saw, “Addabani Rabbi fa
ahsana ta’dibi. Yang berarti Allah Swt. telah mendidik, memperluhur budi pekerti dan
memberikan sifat-sifat terpuji nabi Muhammad Saw. sehingga sungguh indah dan terpuji sikap
dan kelakuan beliau. 26M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, Hidup bersama Al-Qur’an, (Bandung, PT.
Mizan Pustaka, 2013), 201. 27Lailah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Planata), 160. 28Lailah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 16.
19
bentuk mufrad (bentuk tunggal) terdapat dalam surat al-Qalam ayat 429, Wa
innaka la’alla khuluqin ‘adhim, yang artinya Sesungguhnya engkau
(Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung.
Etika menurut sementara pakar, adalah kumpulan asas atau nilai-nilai yang
berkaitan dengan sopan santun, pokok bahasannya adalah tingkah laku
lahiriyah manusia, yang berada dalam kontrolnya, tingkah laku tersebut dapat
berupa sikap, ucapan atau penampilan seseorang yang ditujukan kepada orang
lain30.
4. Guru
Dalam kamus bahasa Indonesia guru berarti orang yang pekerjaannya atau
profesinya mengajar31, sedangkan pendidik berasal dari kata dasar didik atau
mendidik yang berarti memberi ajaran atau tuntunan mengenai tingkah laku
kesopanan dan kecerdasan pikiran32. Dalam penelitian ini guru dan pendidik
adalah sinonim, yaitu orang yang aktifitasnya memberikan pelajaran dan
membimbing tingkah laku kesopanan, dan terkadang penulis menyebutnya
Kiai.
5. Siswa
Sebenarnya kata siswa dan murid adalah satu arti, dalam bahasa Indonesia
kata murid berarti siwa33. Sedangkat kata murid berasal dari bahasa arab yaitu
dari kata dasar aroda – yuridu, yang artinya ingin, dan kata itu dijadikan
isimfail yang kemudian memiliki arti orang yang ingin atau orang yang
29M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung, PT. Mizan Pustaka, 2007), 253. 30M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, 312. 31Lailah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 209. 32Lailah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 125 33Lailah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 426.
20
mempunyai keinginan, Terkadang penulis menyebutnya sebagai peserta didik
dalam penelitian ini, murid, siswa dan peserta didik adalah sinonim.