1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia terletak pada pertemuan dua rangkaian pegunungan muda, yaitu
rangkaian Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediterania. Hal tersebut menyebabkan di
Indonesia terdapat banyak gunungapi aktif (Kusumadinata, 1979; Katili dan
Siswowidjojo, 1994; Voight et al., 1998; Kelfoun et al., 2000; Younga et al.,
2000; Prihadi, 2005). Katili dan Siswowidjojo (1994) menyatakan gunungapi
(vulkan) adalah bentuk di muka bumi, berupa kerucut raksasa, kubah, atau bukit
akibat penerobosan magma ke permukaan bumi. Gunungapi terjadi karena proses
tumbukan menunjam yang aktif (Sudrajat, 1995).
Salah satu gunungapi di Indonesia yang aktif adalah Gunungapi Merapi di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gunungapi memiliki dua
potensi bahaya, yaitu bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer adalah bahaya
yang ditimbulkan langsung oleh letusan disertai hamburan piroklastik, aliran lava,
dan luncuran awan panas. Bahaya sekunder adalah bahaya yang ditimbulkan oleh
aliran rombakan material lepas gunungapi bercampur air hujan yang disebut lahar.
Lahar diartikan sebagai aliran campuran bahan rombakan gunungapi
dengan air hujan. Bates dan Jackson (1987) mendefinisikan lahar sebagai aliran
lumpur yang tersusun atas material gunungapi klastik, yang menuruni lereng
gunungapi. Lahar terjadi mengikuti turunnya hujan lebat, alirannya melalui
lembah-lembah dan daerah rendah. Lahar terjadi pada waktu letusan dengan
tumpahnya danau kawah atau mencairnya salju di puncak gunungapi. Aliran lahar
sangat berbahaya, mampu menyeret bermacam-macam ukuran batuan, merusak
segala sesuatu baik batuan, bangunan, maupun kawasan yang dilewati
(Sumintaredja, 2000).
Gunungapi Merapi membawa dampak positif maupun negatif bagi
penduduk (Hadi, 1992; Bambang, 2007; Wahid, 2008). Contoh dampak positif
hasil aktivitas kegunungapian adalah ketersediaan bahan konstruksi, sedangkan
2
dampak negatif adalah kebencanaan primer dan sekunder. Hasil aktivitas
gunungapi mampu mengancam setiap daerah dari wilayah sempit hingga luas.
Kabupaten Magelang tahun 2010 terkena dampak aliran lahar. Wilayah
paling parah terjadi di sepanjang Kali Putih. Aliran lahar Kali Putih beberapa kali
telah memutuskan jalur transportasi utama Semarang dan Yogyakarta. Kali Putih
secara administrasi melewati 3 kecamatan yaitu Kecamatan Srumbung,
Kecamatan Salam, dan Kecamatan Ngluwar (lihat Gambar 1.1).
Kondisi Kali Putih mempunyai variasi karakteristik fisik lahan yang
mencakup morfometri, penutup lahan, lereng, dan batuan. Berdasarkan variasi
kondisi fisik yang ada, diperoleh gambaran kovariasi spasial menurut kombinasi
berbagai variabel fisik yang relevan. Kovariasi spasial merupakan ekspresi dari
paradigma geomorfologi dalam ilmu geografi. Bambang (2007) menyatakan
geomorfologi bukan sekadar sub-disiplin geografi, melainkan cara pandang atas
fenomena bentang lahan yang digunakan untuk menjelaskan berbagai macam
proses dan karakteristik komponen bentanglahan yang terbentuk. Paradigma
proses-bentuk merupakan terminologi lain yang dapat digunakan sebagai ciri
penelitian geografi (Wahyono, 2002) dan sesuai definisi geografi oleh Bintarto
(1991, dalam Wahid, 2008).
1.1.1. Kontroversi Lahar
Kontroversi lahar sering terjadi, yaitu aliran lahar yang menimbulkan
kejadian bencana dan sedimen lahar yang merupakan sumberdaya galian pasir dan
batu (lahar membawa keuntungan). Gunungapi Merapi pada tahun 2006
memproduksi 5 juta m3 dan tahun 2010 memproduksi 140 juta m3 material
piroklastik (lihat Gambar 1.2). Material erupsi Merapi yang masih menumpuk
sebanyak 90 juta m3 dan belum tertangani dengan baik “Material sebanyak itu
belum terambil dan masih belum tahu harus dikemanakan, belum ada tempat
untuk material sebanyak itu,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), Syamsul Maarif di Yogyakarta, Selasa (1/11/2011) (BNPB,
2011).
4
Gambar 1.2. Material lahar Kali Putih di Kecamatan Srumbung (Foto : Kumalawati, 2010)
Ancaman bencana lahar terjadi pada musim hujan (Lavigne et al., 2000;
Sutikno dkk., 2007; Salinas et al., 2007; Yuliadi, 2010). Bencana Gunungapi
Merapi selalu berubah sewaktu-waktu dan perubahannya cepat, dibutuhkan
pembaharuan pengelolaan daerah rawan bencana yang cepat (Lailiy, 2007;
Lavigne et al., 2008).
Daerah tempat tinggal yang dilalui aliran lahar mempunyai dampak
positif dan negatif. Daerah yang mempunyai dampak positif dan negatif akibat
aktivitas kegunungapian dapat dikatakan daerah tersebut mempunyai nilai
kefaedahan wilayah (place utility) tinggi maupun rendah. Daerah penelitian
mempunyai nilai kefaedahan wilayah (place utility) rendah pada waktu terjadi
bencana lahar karena lahar dapat merusak apa saja yang dilalui termasuk
permukiman. Sebaliknya daerah penelitian juga mempunyai nilai kefaedahan
wilayah (place utility) tinggi setelah bencana lahar terjadi karena material lahar
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Oleh karena itu, perlu perencanaan
pengelolaan lahar supaya daerah terkena lahar menjadi bermanfaat (Lailiy, 2007).
Lahar memiliki nilai ekonomi bersifat terukur (tangible) dan tidak terukur
(intangible). Nilai ekonomi lahar bersifat terukur (tangible) digolongkan ke dalam
manfaat kegunaan baik yang dikonsumsi maupun tidak, misalnya material lahar
dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan. Nilai ekonomi lahar bersifat tidak
terukur (intangible) berupa manfaat non-kegunaan, yaitu bersifat pemeliharaan
ekosistem jangka panjang. Kenyataannya, selama ini masyarakat terlalu berpihak
pada lahar sebagai sumber bencana sehingga mengabaikan pentingnya nilai
5
ekonomi material lahar (Joko 2002 dalam Harini, 2009). Peneliti ingin
membuktikan apakah lahar memiliki nilai ekonomi tinggi secara finansial, yaitu
dapat menghambat arus migrasi atau tidak. Peneliti juga akan mengkaji apakah
bencana yang terjadi masih dalam batas toleransi, yaitu sesuai teori nilai
kefaedahan wilayah atau tidak (Ayu, 2010). Permasalahan utama yang
difokuskan, yaitu bagaimana membuat masyarakat paham bahwa lahar bukan
hanya bencana, melainkan memiliki keuntungan atau manfaat. Daerah yang
dilalui aliran lahar akan memiliki material lahar. Material lahar di suatu daerah
dapat membawa keuntungan atau manfaat dan mendorong masyarakat tetap
tinggal (menghambat arus migrasi) (Julia dan Saptana, 2005; Ayu, 2010).
Teori arus migrasi: (1) stress-threshold model atau place utility model
(Wolpert, 1965) dan (2) the human capital approach (Sjaastad, 1972). Ide dasar
teori stress-threshold model atau place utility model menyatakan bahwa setiap
individu adalah makhluk rasional yang mampu melakukan pilihan terbaik di
antara alternatif yang ada. Ide dasar the human capital model adalah investasi
dalam rangka peningkatan produktivitas. Niat untuk melakukan migrasi dalam
model ini dipengaruhi oleh motivasi untuk mencari kesempatan kerja dan
pendapatan yang lebih baik. Dalam konteks ini, Todaro (1980) mengemukakan
bahwa keputusan seseorang untuk melakukan migrasi merupakan respons dari
harapan untuk memperoleh kesempatan kerja dan pendapatan yang lebih baik.
1.1.2. Kontribusi Valuasi Finansial untuk Mengetahui Besarnya Dampak Kerusakan Lahar
Penelitian valuasi finansial untuk mengetahui besarnya dampak kerusakan
lahar belum banyak dilakukan. Peran valuasi finansial adalah dapat menghitung
secara nyata akibat yang terjadi dan faktor-faktor utama dampak kerusakan lahar,
biaya mengacu pada penerimaan dan pengeluaran yang mencerminkan harga
pasar aktual yang benar-benar diterima atau dibayar. Valuasi finansial penting
dalam kebijakan pembangunan, karena dapat dijadikan sebagai pertimbangan.
Kerusakan lingkungan atau sumberdaya lingkungan merupakan masalah
ekonomi, rusaknya lingkungan berarti hilangnya kemampuan menyediakan
barang dan jasa (Maynard et al., 1979; Sukanta, 1993; Garrod et al., 1999; David
6
et al., 1990; Markandya et al., 2002). Dampak banjir lahar lebih terasa jika
mengenai tempat tinggal ataupun tempat penduduk melakukan aktivitas
(Takahashia et al., 2000; Itoh et al., 2000). Pertumbuhan penduduk cepat
menyebabkan kebutuhan tempat tinggal meningkat. Faktor daya tarik
mempengaruhi minat masyarakat tetap tinggal, misalnya tanah subur sehingga
mudah diolah untuk lahan pertanian dan material lahar dapat dimanfaatkan untuk
bangunan (Wolpert, 1965; Ayu, 2010).
Berdasarkan peta lokasi desa terdampak banjir lahar Gunungapi Merapi di
wilayah Provinsi Jawa Tengah, daerah sekitar aliran Kali Putih merupakan daerah
bahaya sekunder gunungapi (BNPB, 2011) (lihat Gambar 1.3; Gambar 1.4).
Gambar 1.3, dan Gambar 1.4 menjelaskan aliran lahar di Kali Putih yang
mengenai permukiman di Desa Sirahan. Kali Putih termasuk daerah bahaya lahar.
Lahar mengalir ke Kali Putih, dimana sepanjang aliran Kali Putih merupakan
daerah padat penduduk (BPS, 2012). Lahar menimbulkan kerusakan dan korban,
tetapi penduduk tetap memilih tinggal di sekitar gunungapi. Material
kegunungapian yang terendapkan melalui proses banjir lahar memberikan banyak
manfaat bagi kehidupan manusia. Manfaat jangka panjang dapat menyuburkan
lahar pertanian. Manfaat jangka pendek belum banyak dirasakan oleh masyarakat.
Kali Putih dialiri lahar di Desa Sirahan
Lahar Kali Putih mengenai permukiman warga di Desa Sirahan
Gambar 1.3. Banjir Lahar di Kali Putih (Foto : Kumalawati, 2011)
7
Gambar 1.4. Peta Lokasi Desa Terdampak Banjir Lahar Gunungapi Merapi di Wilayah Propinsi Jawa Tengah Tahun 2011
(Sumber: BNPB, 2011)
Pembangunan wilayah didasarkan pada pertimbangan finansial.
Perhitungan keuntungan finansial menjadi dasar utama pengambilan kebijakan
pembangunan. Pembangunan dilaksanakan di dalam ruang/wilayah yang
mempunyai dinamika khusus, seperti wilayah rawan bencana lahar di Kali Putih.
Dinamika wilayah secara fisik, sosial, dan finansial seringkali kurang diperhatikan
dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Kerugian finansial yang besar
timbul ketika terjadi proses dinamika wilayah yang tidak dikehendaki.
Selanjutnya, dilakukan kuantifikasi finansial dinamika wilayah rawan lahar
sebagai dasar pengelolaan wilayah dengan memperhatikan aspek fisik, sosial, dan
finansial. Permasalahan lahar merupakan contoh kasus menarik untuk ditelaah
karena permasalahan wilayah cukup kompleks dari sisi finansial. Bertolak dari
8
permasalahan valuasi finansial, lahar sebagai dasar pengelolaan daerah rawan
bencana sangat penting menentukan perencanaan yang akan dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Potensi banjir lahar harus diidentifikasi dan diupayakan pengurangan risiko
dari bencana yang ditimbulkan. Upaya penghindaran dan pengurangan risiko
bencana dihadapkan pada permasalahan klasik. Permasalahan klasik yang dialami
negara-negara berkembang adalah keterbatasan anggaran untuk melakukan
manajemen risiko yang terintegrasi dengan baik.
Optimalisasi manajemen risiko bencana dapat dilakukan dengan
melibatkan peran aktif masyarakat. Penelitian yang dibutuhkan untuk
melibatkan masyarakat adalah penelitian mengenai persepsi dan perilaku
individu masyarakat mengenai lahar, yaitu kesediaannya menerima WTA
(Willingness to Accept). Penelitian dapat dilakukan dengan cara
mengidentifikasi potensi dampak banjir lahar yang ada. Dampak banjir lahar
menampakkan dua sisi yang kontradiktif baik dampak positif maupun negatif.
Dampak positif lahar yang dapat dimunculkan adalah menganggap
lahar bukan bencana. Lahar menyebabkan daerah menjadi subur dan
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga mendorong masyarakat untuk
tetap tinggal (menetap). Dampak negatif dari lahar yang biasanya muncul
adalah lahar sebagai bencana. Lahar sebagai bencana pada akhirnya
mengharuskan masyarakat pindah karena material lahar membahayakan.
Masyarakat yang mendapatkan ancaman dan musibah berupa lahar, pada
umumnya mereka berpandangan bahwa “sakersanipun gusti, kaula nampi
mawon” (Sindhunata 1998 dalam Maarif dkk., 2012). Pandangan ini
menunjukkan bahwa eksistensi bencana banjir lahar dari Gunungapi Merapi
dan potensinya diterima dan dihayati dalam perspektif seimbang (dual
dimensions). Hasil penelitian selanjutnya diharapkan dapat dijadikan sebagai
dasar untuk pengelolaan daerah rawan bencana lahar (lihat Gambar 1.5).
9
Gambar 1.5. Diagram fishbone penelitian (Identifikasi Potensi Dampak Lahar)
Menurut teori utilitas harapan, individu akan meminimalkan potensi
kerugian yang akan diderita pada masa yang akan datang (Pindyck dan
Rubinfield, 2001). Teori utilitas harapan (expected utility theory) adalah
model ekonomi yang sering digunakan untuk menjelaskan pengambilan
keputusan dalam kondisi risiko (Mogenstern, 1954 dalam Dixit, 1990).
Berdasarkan teori utilitas harapan, individu-individu yang tinggal di wilayah
berpotensi terjadi bencana akan berusaha memaksimalkan utilitasnya dengan
melakukan mitigasi terhadap risiko bencana yang mengancam. Teori tersebut
didukung hasil penelitian yang dilakukan Ozdemir (2000), Ozdemir dan Kruse
(2005), Fujimi dan Tatano (2006), dan Li dan Hsiu (2007).
Penelitian yang tidak mendukung teori utilitas harapan antara lain
penelitian Kunreuther (2006), Kleindorfer dan Kunreuther (1997), Schade et al.,
(2002), dan Miller et al., (2002) menyebutkan bahwa ada kecenderungan
masyarakat memiliki perilaku untuk melakukan mitigasi sangat rendah.
Masyarakat yang tinggal di wilayah yang berpotensi terjadi bencana tidak
berusaha memaksimalkan utilitasnya dengan melakukan mitigasi terhadap risiko
bencana yang mengancam. Masyarakat mengalami sindroma bencana alam
(natural disaster syndrome), yaitu masyarakat tidak mau secara sukarela
memprioritaskan pengurangan dampak bencana (Kunreuther, 2006).
Perbedaan hasil penelitian utilitas harapan menarik untuk dikaji
kembali khususnya di Kabupaten Magelang. Penelitian persepsi masyarakat
terhadap lahar, cara menilai lahar dan perilaku mitigasi dan adaptasi
dikombinasikan dengan tingkat kerawanan supaya kajian penelitian lebih
Lahar bencana
Lahar bukan bencana
Material lahar membahayakan
Daerah subur (menetap)
Daerah rawan lahar (pindah)
Material lahar mempunyai nilai ekonomi tinggi
Pengelolaan Daerah Rawan Bencana Lahar
_
+
10
komprehensif. Penelitian dilakukan juga pada wilayah tidak rawan. Masyarakat
yang tinggal di daerah kerawanan tinggi diharapkan memiliki WTA lebih tinggi
daripada di daerah tidak rawan. Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah
dilakukan dan berhasil diidentifikasi, tidak ditemukan secara eksplisit mengenai
perbedaan perilaku masyarakat di setiap tingkat kerawanan wilayah tempat
tinggal (Suryanto, 2011; Ozdemir, 2000).
Rumusan masalah pokok penelitian yang diajukan adalah bagaimana
pengelolaan daerah rawan bencana lahar pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010.
Berdasarkan permasalahan pokok dapat dirinci permasalahan penelitian, yaitu:
1) bagaimana menyusun dan menganalisis peta tingkat kerawanan lahar?
2) bagaimana persepsi masyarakat terhadap lahar menurut tingkat kerawanan
berdasarkan variabel persepsi yang digunakan dalam penelitian?
3) bagaimana cara menilai potensi ekonomi lahar secara finansial?
4) bagaimana pengaruh antara variabel-variabel perilaku individu masyarakat
mengenai lahar dengan WTA (Willingness to Accept)?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian yang ingin dicapai, yaitu merumuskan cara
pengelolaan daerah rawan bencana lahar pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010
meliputi karakteristik kerawanan wilayah, variabel-variabel persepsi, variabel
ekonomi, dan perilaku individu masyarakat mengenai lahar. Selain untuk
mendapatkan pola pengaruh antar variabel-variabel, juga ingin menemukan bukti
empiris tentang perilaku individu masyarakat mengenai lahar dengan WTA di
Kabupaten Magelang apakah mengikuti teori utilitas harapan dan teori adaptasi
manusia terhadap lingkungan. Tujuan khusus penelitian dibagi menjadi empat untuk
memudahkan pelaksanaan penelitian, yaitu:
1) menyusun dan menganalisis peta tingkat kerawanan lahar,
2) mengetahui persepsi masyarakat terhadap lahar menurut tingkat kerawanan
berdasarkan variabel persepsi,
3) melakukan valuasi finansial untuk mengetahui besarnya dampak kerusakan
akibat lahar,
11
4) mengevaluasi pengaruh antara perilaku individu masyarakat mengenai lahar
dengan WTA.
Berdasarkan serangkaian tujuan khusus penelitian yang sudah dirumuskan,
wujud nyata hasil penelitian berupa strategi dan/model pengelolaan daerah rawan
bencana lahar.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi pengembangan teori
utilitas harapan, khususnya dalam pengelolaan daerah rawan bencana. Pendekatan
valuasi finansial dapat digunakan untuk mengukur kesediaan masyarakat
melakukan mitigasi dan adaptasi. Potensi kerugian dapat diminimalkan jika
diketahui persepsi masyarakat terhadap risiko. Secara khusus, manfaat dari
penelitian ini antara lain:
1) Manfaat Keilmuan
a) memberikan gambaran besarnya biaya ekonomi yang harus dikeluarkan
akibat lahar
b) memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu geografi terutama aspek
metodologis pada kajian geografi regional, khususnya pengkajian
perkembangan wilayah terkait dengan aspek fisik, sosial, dan finansial,
c) sebagai sumber informasi bagi pengembangan penelitian sejenis.
2) Manfaat Pembangunan
a) memberikan saran kepada pemerintah sebagai policy maker, lembaga
swadaya, dan masyarakat tentang pentingnya pengelolaan lingkungan,
khususnya penanganan lahar ditinjau dari sudut ekonomi,
b) pemerintah daerah dan pusat dapat memformulasikan dan menyusun
rencana strategis manajemen risiko bencana didukung hasil temuan.
Sebagai contoh adalah penyusunan strategi manajemen risiko lebih efektif
apabila sikap dan persepsi pelaku mitigasi dan adaptasi terhadap bencana
diketahui, dan
c) memberikan salah satu dasar arahan kebijakan, khususnya di daerah yang
memiliki tingkat kerawanan lahar yang tinggi.
12
1.5. Keaslian Penelitian
Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan perilaku individu atau
persepsi masyarakat untuk mitigasi bencana telah dilakukan oleh
Onculer (2002), Miller et al. (2002), Ozdemir dan Kruse (2005), dan Triani
(2009). Metode analisis yang digunakan adalah pendekatan Contingent
Valuation Method (CVM). Metode CVM digunakan untuk mengestimasi
variabel-variabel persepsi risiko (pengalaman terkena dampak, tingkat
kerentanan, besarnya dampak, tingkat pemahaman, derajat penolakan terhadap
risiko), variabel demografi (usia, jumlah anak, tingkat pendidikan), dan variabel
ekonomi (tingkat pendapatan) terhadap WTP mitigasi.
Metode analisis yang digunakan untuk meneliti masalah kebencanaan tidak
terbatas pada metode CVM. Metode yang digunakan dalam penelitian-penelitian
yang dilakukan oleh Rashed (2003), dan Dai et al. (2003) berbeda dengan
pendekatan CVM. Metode yang digunakan lebih bersifat deskriptif dan
informatif karena menggambarkan kondisi suatu daerah yang bahaya dan rawan
bencana, metode yang digunakan adalah Sistem Informasi Geografi (SIG) seperti
penelitian yang dilakukan Hadi (1992), dan Lavigne (1999).
Penelitian yang akan dilakukan tentang pengelolaan daerah rawan
bencana lahar pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010 di Kali Putih Kabupaten
Magelang. Strategi yang paling mungkin dilakukan sebagaimana disebutkan
dalam Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana adalah dengan mengurangi besarnya dampak dan keganasan
bencana. Pemerintah dan masyarakat perlu dipersiapkan untuk menghindari
atau merespon bencana dengan tepat dan efektif sehingga kerugian dapat
dikurangi (Chinn, 2005). Masyarakat tidak lagi enggan mengungsi ketika terjadi
bencana (Putranto, 1999; Widiyanto, 1999).
Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan adalah digunakannya pendekatan CVM. Pendekatan CVM digunakan
karena penelitian ini mengukur WTA masyarakat yang dihubungkan dengan
perilaku individu masyarakat. CVM adalah salah satu metodologi berbasis
survei untuk mengestimasi seberapa besar penilaian masyarakat terhadap barang,
13
jasa, dan kenyamanan (Ozdemir, 2000). Penelitian melanjutkan penelitian yang
dilakukan oleh Ozdemir (2000) dan Suryanto (2011) yaitu mengestimasi
variabel-variabel perilaku individu masyarakat terhadap WTA, dan persepsi
masyarakat. Analisis yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah analisis
tingkat kerawanan, persepsi masyarakat terhadap lahar, valuasi finansial untuk
mengetahui berapa besar dampak kerusakan akibat lahar, dan perilaku individu
masyarakat mengenai lahar terhadap kesediaan menerima WTA. Perbedaan
dengan penelitian Ozdemir (2000) adalah dimasukkannya variabel spasial
yaitu variabel dummy yang digunakan untuk membandingkan variabel-variabel
yang mempengaruhi perilaku individu masyarakat di wilayah yang tergolong
kerawanan tinggi, kerawanan sedang, kerawanan rendah dan tidak rawan
bencana khususnya bencana lahar. Perbedaan penelitian terdahulu dengan
penelitian yang akan dilakukan adalah (lihat Tabel 1.1):
1) cara pandang material erupsi dari bencana ke materi bernilai ekonomi,
2) metode penelitian yang digunakan CVM (Contingent Valuation Method),
3) tema penelitian berbeda dengan tema penelitian sejenis karena berbeda tujuan
yang ingin dicapai,
4) publikasi ilmiah terkait tingkat kerawanan lahar masih bersifat umum, belum
menganalisis tentang pengelolaan daerah rawan bencana lahar secara spesifik,
5) berbagai paparan di media massa terkait dengan penelitian tersebut belum
didukung oleh analisis data kuantitatif berdasar hasil penelitian ilmiah.
1.6. Batasan Istilah
Beberapa istilah khusus banyak digunakan dalam penelitian ini. Istilah
khusus digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena khas yang berkaitan
dengan objek penelitian. Istilah khusus mempunyai arti atau makna khusus yang
berbeda dengan pemahaman awam. Istilah khusus yang digunakan dalam
penelitian khususnya dalam lingkup kebencanaan:
Bahaya adalah suatu peristiwa fisik yang berpotensi merusak, fenomena atau
aktivitas manusia yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau luka, kerusakan
harta benda, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan
14
kemungkinan terjadinya dalam jangka waktu tertentu dan dalam daerah tertentu,
dengan intensitas yang diberikan (Alkema D.dkk, 2009).
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa disebabkan oleh alam,
manusia, dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban dan penderitaan
manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana,
prasarana, dan utilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata
kehidupan dan penghidupan masyarakat (Sudibyakto, 2011).
Elemen risiko adalah semua benda, orang, hewan, kegiatan, yang mungkin
dipengaruhi oleh fenomena yang berbahaya, di daerah tertentu, baik secara
langsung maupun tidak langsung termasuk: gedung, fasilitas, penduduk, ternak,
kegiatan ekonomi, pelayanan publik, dan lingkungan (Westen dkk, 2009).
Kerentanan sebagai karakteristik dan keadaan masyarakat, sistem atau aset yang
membuatnya rentan terhadap efek yang merusak dari bahaya atau merupakan
konsekuensi dari sebuah kondisi yang ditentukan oleh faktor atau proses fisik,
sosial, ekonomi dan lingkungan, yang meningkatkan kemungkinan masyarakat
terkena ancaman (Westen dkk, 2009).
Kerawanan didefinisikan sebagai probabilitas keruangan suatu wilayah
mengalami bencana (Scheinerbauer dan Ehrlich, 2004 dalam Thywissen, 2006).
Lahar hujan adalah lahar yang terjadi apabila endapan material lepas hasil erupsi
gunungapi yang diendapkan pada puncak dan lereng, terangkut oleh hujan atau air
permukaan (Sukatja, 2006).
Persepsi Risiko adalah pendapat subjektif dari orang-orang tentang risiko,
karakteristik, dan besarnya, termasuk beberapa faktor: pengetahuan objektif
individu tentang risiko, dugaan individu tentang pengalamannya sendiri terhadap
risiko serta kemampuannya untuk mengurangi atau mengatasi jika bencana yang
merugikan terjadi.
Rawan Bencana Alam adalah suatu daerah yang pernah terjadi bencana alam
sehingga dapat digunakan untuk memprediksi kejadian yang akan datang meliputi
ukuran kejadian, frekuensi, dan luas (Sutikno dkk., 2007).
15
Risiko Bencana Alam adalah suatu daerah yang mempunyai potensi terjadi
bencana alam sehingga mempunyai kemungkinan timbulnya kerugian, baik yang
berupa kerugian jiwa maupun harta benda (Bambang, 2007).
Valuasi Ekonomi adalah proses penaksiran potensi ekonomi suatu daerah untuk
tujuan tertentu ke dalam nilai rupiah, dalam penelitian ini penaksiran potensi
ekonomi lahar dibatasi pada komponen-komponen yang bersifat tangible (David
et al., 1990; Markandya et al., 2002).
Valuasi Finansial adalah proses menghitung secara nyata akibat yang terjadi dan
faktor-faktor utama dampak kerusakan lahar, biaya mengacu pada penerimaan dan
pengeluaran yang mencerminkan harga pasar aktual yang benar-benar diterima
atau dibayar.
WTA (Willingness to Accept) adalah jumlah minimum pendapatan seseorang
untuk bersedia menerima akibat penurunan suatu manfaat sumber daya alam
dalam penelitian ini penurunan sumber daya alam akibat bencana lahar
pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010 (Fauzi, 2006).
16
Tabel 1.1. Hasil Penelitian Terdahulu dan Hasil Penelitian yang Sekarang
No. Nama dan Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan
1. Hadi (1992) Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Mitigasi Banjir Lahar dan Longsoran Lava pada Lereng Selatan Gunungapi Merapi
Mengetahui daerah-daerah rawan karena bahaya banjir lahar dan longsoran lava.
Analisis dilakukan dengan cara tumpang susun peta (overlay), kalkulasi peta, klasifikasi dengan menggunakan tabel 2-dimensi, dan classify tabel serta dengan menerapkan SQL (Simple Query Language) pada database. Data geologi dan penutup lahan dilakukan skoring, sedangkan lainnya dihitung nilai pikselnya.
Hasil yang diperoleh yaitu, peta bahaya dikategorikan menjadi 5 kelas, yaitu: - Kelas I (tidak berbahaya) - Kelas II ( sedikit berbahaya) - Kelas III (cukup berbahaya) - Kelas IV (berbahaya) - Kelas V ( sangat berbahaya)
Persentase pemukiman yang masuk kategori kelas bahaya: - Kelas I (90,03%) - Kelas IV (0,11%) - Kelas II (9,53%) - Kelas V (0,10%)
- Kelas III (0,23%) 2. Putranto (1999)
Kajian Ekologi Budaya Mengenai Interaksi Masyarakat Desa dengan Lingkungan di Daerah Bahaya Gunung Merapi (kasus Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem dan Dusun Palemsari, Umbulharjo, Cangkringan)
Mengkaji mitos-mitos mengapa korban bencana Merapi enggan meninggalkan desanya untuk transmigrasi atau pindah lokasi.
Metode yang digunakan adalah wawancara langsung dan analisis data dengan analisis korelasi dan anova.
Masyarakat di sekitar daerah bahaya Gunungapi Merapi telah melakukan adaptasi dengan kondisi lingkungan yang berbahaya.
3. Lavigne (1999) Lahar Hazard Microzonation and Risk Assessment in Yogyakarta city, Indonesia
Memetakan daerah bahaya banjir lahar dingin secara detail dan menganalisis risiko yang ditimbulkan oleh banjir lahar terhadap infrastruktur bangunan di DAS Code Yogyakarta.
Mengggunakan peta topografi dan asumsi debit puncak untuk analisis bahaya dan analisis kerentanan bangunan.
Pemetaan mikrozonasi bahaya banjir lahar dan risiko terhadap bahaya banjir lahar.
4. Widiyanto (1999) Kerusakan Bangunan Pengendali Sedimen Akibat Penambangan Pasir di Sub DAS Kali Putih, Lereng Barat Volkan Merapi
Mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh menyebabkan kerusakan bangunan pengendali sedimen.
Metode yang digunakan adalah dengan pengamatan langsung terhadap sebaran bangunan pengendali sedimen, sebaran lokasi penambangan, dan kondisi bangunan pengendali sedimen
Faktor manusia lebih besar pengaruhnya dibanding faktor alam yang menyebabkan kerusakan bangunan pengendali sedimen.
17
No. Nama dan Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan
5. Ozdemir (2000) Persepsi Risiko dan Nilai Kenyamanan untuk Risiko Probabilitas Rendah dan Berdampak Merugikan: Investigasi Teoritis dan Empiris
Mengetahui Persepsi Risiko dan Nilai Kenyamanan untuk Risiko Probabilitas Rendah serta dampak kerugiannya
Regresi Maksimum WTP dipengaruhi oleh risiko dampak bencana (risk severity)
6. Miller, et al (2002) Membeli Keamanan terhadap Angin Tornado: Berapa Harganya ?
Mengetahui harga keamanan terhadap angin tornado?
Regresi dan Korelasi WTP masyarakat rendah untuk mitigasi, korelasi antar variabel dan WTP rendah
7. Onculer (2002) Willingness to Pay pemilik rumah di Turki terhadap mitigasi gempabumi
Mengetahui Willingness to Pay pemilik rumah di Turki terhadap mitigasi gempabumi
Regresi Dampak lebih meningkatkan WTP dibanding probabilitas, dan sikap tetangga mempengaruhi mitigasi.
8. Dai, et al (2003) Karakteristik hujan yang menyebabkan tanah longsor
Mengetahui karakteristik hujan yang menyebabkan tanah longsor?
Analisis SIG Menyediakan informasi mengenai karakteristik hujan dan mengapa longsor terjadi di daerah penelitian.
9. Rashed (2003) Pengukuran pada masalah lingkungan khususnya kerawanan sosial terhadap bahaya gempa bumi, Integrasi Remote Sensing dan Pendekatan SIG
Pengukuran pada masalah lingkungan khususnya kerawanan sosial terhadap bahaya gempa bumi
Integrasi Remote Sensing dan Pendekatan SIG
Hasil penelitian berupa informasi sosial ekonomi tentang kehidupan masyarakat yang dapat digunakan untuk penyiapan risiko bencana dan mitigasi bencana alam.
10. Ozdemir dan Kruse (2005) Hubungan antara Persepsi Risiko dan Willingness-to-Pay untuk Risiko dengan Probabilitas Rendah dan Berdampak Merugikan: Sebuah Metode Survei
Mengetahui hubungan antara Persepsi Risiko dan Willingness-to-Pay untuk Risiko dengan Probabilitas Rendah dan Berdampak Merugikan: Sebuah Metode Survei
Korelasi dan Regresi Dampak kerugian signifikan terhadap WTP, pengalaman, umur, jenis kelamin, dan pendidikan tidak signifikan terhadap WTP.
11. Chinn (2005) Permintaan Asuransi Bencana: Studi Eksperimen
Mengetahui asuransi bencana Regresi Mendukung teori prospek Kahneman dan Tversky
18
No. Nama dan Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan 12. Triani (2009)
Analisis Willingness to Accept Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau
a. Mendeskripsikan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau,
b. Mengkaji persepsi masyarakat terhadap program pembayaran jasa lingkungan yang telah berlangsung di DAS Cidanau,
c. Mengkaji kesediaan atau ketidaksediaan masyarakat menerima kompensasi sesuai skenario yang ditawarkan di pasar hipotesis,
d. Mengkaji besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat (WTA) serta faktor yang mempengaruhi nilai WTA.
Metode penelitian metode survei. Analisi penelitian menggunakan metode WTA
a. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau melibatkan Forum Komunikasi DAS Cidanau, Desa Citaman, Desa Cikumbueun dan Desa Kadu Agung serta PT. KTI,
b. Responden menilai kualitas lingkungan semakin baik setelah adanya upaya konservasi,
c. Hanya dua responden dari 43 responden yang menyatakan tidak bersedia menerima pembayaran sesuai skenario,
d. Nilai dugaan rataan WTA responden adalah Rp 5.056.98 Jika jumlah pohon 500 per ha maka nilai pembayaran Rp 2.528.490 per ha per tahun. Nilai total WTA responden Rp 2.718.125.000 dan dipengaruhi oleh faktor nilai pendapatan dari pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diterima, kepuasan terhadap nilai jasa lingkungan yang selama ini diterima, jumlah pohon, tingkat pendapatan rumah tangga, lama tinggal dan penilaian cara penetapan nilai pembayaran.
13. Suryanto (2011) Pola Hubungan Karakteristik Wilayah, Persepsi Individu, dan Perilaku Mitigasi Gempabumi di Kabupaten Bantul DIY
a. Menganalisis tingkat kerentanan dan tingkat kapasitas penduduk dalam menghadapi risiko bencana gempabumi,
b. Mengevalusi hubungan persepsi individu mengenai bencana gempabumi dan perilaku individu untuk melakukan mitigasi bencana alam gempabumi,
c. Memprediksi probabilitas tingkat kerawanan wilayah berdasar variabel-variabel persepsi, sosial, dan ekonomi.
Analisis SIG, regresi berganda, dan regresi logistik,
a. Semua wilayah di Kabupaten Bantul adalah wilayah rawan gempabumi, wilayah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi dan kepadatan pemukiman tinggi cenderung berada pada wilayah rawan atau sangat rawan.
b. Hasil penelitian mendukung teori utilitas harapan. c. Hasil analisis regresi logistik untuk memprediksi
wilayah sangat rawan dengan kurang rawan atau wilayah sangat rawan dengan rawan dapat diketahui empat variabel yang siginifikan dari delapan variabel yaitu variabel pendidikan, persepsi terhadap peran pemerintah pusat, persepsi terhadap peran pemerintah daerah, dan persepsi tingkat kepercayaan terhadap rumah tahan gempabumi.
19
No. Nama dan Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan
14. Kumalawati (2014) Pengelolaan Daerah Rawan Bencana Lahar Pascaerupsi Gunungapi Merapi 2010 di Kaliputih Kabupaten Magelang
a. Menyusun peta tingkat kerawanan lahar,
b. Mengetahui persepsi masyarakat teradap lahar menurut tingkat kerawanan berdasarkan variabel persepsi,
c. Melakukan valuasi finansial untuk mengetahui besarnya dampak kerusakan akibat lahar,
d. Mengevaluasi pengaruh antara perilaku individu masyarakat mengenai lahar dengan WTA.
Metode penelitian ini adalah metode survei. Teknik interpretasi citra penginderaan jauh untuk menganalisis data, baik data grafis maupun data atribut. Interpretasi citra dan peta dilakukan sebelum pelaksanaan survei lapangan. Pengamatan lapangan dilakukan pada setiap tingkat kerawanan. Pada tahap ini, juga dilakukan penetapan kelompok satuan penelitian guna melaksanakan FGD untuk menyikapi peta rawan yang dihasilkan. Selanjutnya, dilakukan valuasi finansial menggunakan CVM.
a. Kawasan rawan lahar tinggi adalah daerah yang mendekati sumber bencana. Status kerawanan paling tinggi adalah Desa Sirahan Kecamatan Salam, sehingga diperlukan adanya pengelolaan daerah rawan bencana lahar.
b. Responden menilai lahar dianggap sebagai bencana (bukan sebagai aset) pada saat bencana terjadi karena banyak menimbulkan kerusakan (persepsi sedang). Rekomendasi peningkatan persepsi masyarakat terhadap lahar berbasis pengetahuan lokal perlu dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.
c. Besarnya dampak kerusakan akibat lahar bervariasi tiap daerah dan tiap tingkat kerawanan lahar. Semakin dekat dengan sumber bencana maka dampak kerusakan akibat lahar semakin tinggi. Rekomendasi pengurangan risiko bencana lahar berbasis pengetahuan lokal perlu dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana sehingga semakin waspada.
d. Perilaku individu masyarakat mengenai lahar dengan WTA di daerah penelitian mempunyai korelasi rendah sampai sedang. Penanggulangan bencana apabila dimulai pada tahap pencegahan dan mitigasi diperkirakan biaya yang dikeluarkan akan lebih sedikit dibandingkan dimulai pada kondisi tanggap darurat.
Sumber: Berbagai Artikel Publikasi, Tahun 2012-2014