1
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi massa Islam yang
terbesar di Indonesia. Organisasi yang didirikan pada tahun 1926 oleh sejumlah
ulama dan pengusaha di Jawa Timur.1 Pada awalnya Nahdlatul Ulama merupakan
organisasi ulama tradisionalis di Jawa Timur. Kemudian Nadlatul Ulama pada
perkembangannya dikenal sebagai organisasi Islam yang progresif di Indonesia.
Istilah Islam Progresif merupakan istilah yang relatif baru, dalam kajian Islam
kotemporer sering digunakan oleh para akademisi dan aktivis sejak beberapa tahun
terakhir. Istilah ini biasanya dikenakan kepada pemahaman-pemahaman dan aksi-
aksi umat Islam yang memperjuangkan penegakan nilai-nilai humanis, seperti
pengembangan civil society, demokrasi, keadilan, kesetaraan jender, pembelaan
terhadap kaum tertindas dan pluralisme. Dalam konteks Indonesia, sejumlah tokoh
seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) sering
juga dimasukkan dalam tokoh pemikir Islam progresif. Demikian juga lembaga
swadaya masyarakat maupun yang dianggap berkomitmen untuk mengembangkan
sekularisme, liberalisme, dan pluralisme.2
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli
Indonesia, yang munculnya bersamaan dengan misi dakwah Islam di kepulauan
Melayu – Nusantara sekitar abad 13 dan ada pendapat lain sekitar abad 14. Jika kita
1 Martin van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru
(Yogyakarta, LkiS, 1994), 17. 2 Budhy Munawar-Rahman, Sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif
dan Perkembangan Diskursusnya (Jakarta, Grasindo, 2010), 13.
2
telusuri perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia jauh ke masa lampau, akan
sampai pada penemuan sejarah, bahwa pondok pesantren adalah salah satu bentuk
peradaban Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan yang
bercorak tradisional, lebih unik dan “Indigenous Culture” atau bentuk kebudayaan
asli Indonesia. Pondok pesantren yang dahulunya cenderung tertutup, sekarang
lebih terbuka dan dikemas lebih modern.3
Melihat keberadaan pondok pesantren NU, ini bisa digunakan sebagai
benteng pluralisme dalam konteks Indonesia, dengan pendidikan kepada santri-
santrinya yang nanti setelah lulus bisa diabdikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sehingga kurikulum yang diajarkannya harus memuat nilai-nilai inklusifisme,
seperti misalnya tentang toleransi dan pluralisme. Hal tersebut bertentangan dengan
MUI (Majelis Ulama Indonesia), lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yaitu
MUI, mengeluarkan fatwa haram untuk pluralisme.4 Tetapi ada perbedaan pendapat
tentang fatwa haram mengenai pluralisme itu di kalangan umat Islam dan NU
sendiri, ada yang setuju dan ada yang mempertanyakannya.
Pondok pesantren Edi Mancoro adalah salah satu dari pondok pesantren
NU, yang didirikan oleh KH Mahmud Ridwan (beliau adalah sahabat dari
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur), yang berdiri pada 25 Desember 1989. Pondok
pesantren Edi Mancoro berlokasi di Dusun Bandungan, Desa Gedangan,
Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Pondok Edi
Mancoro sebagai pondok pesantren menjadi barometer kerukunan umat di Salatiga
dan sekitarnya. Pondok pesantren Edi Mancoro berupaya mempertahankan
3 Dawam Rahardjo (Editor), Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1974), 1. 4 Rumadi Ahmad, Fatwa Hubungan Antaragama di indonesia (Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 2016), 172....lihat juga Fatwa MUI No.07/MUNAS VII/MUI/II/2005.
3
harmonisasi, integralisasi, pribumisasi dimensi religius kemasyarakatan,
kenegaraan, dan kebangsaan.5 Sehingga pondok pesantren Edi Mancoro dalam
salah satu pengajarannya tentang pluralisme.
Pluralisme adalah suatu keniscayaan untuk hidup bersama dalam konteks
Indonesia. Bangsa Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk
yang banyak dan terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama, kebudayaan dan
lain-lain. Jumlah penduduk Indonesia yang dikeluarkan badan statistik
kependudukan Indonesia adalah 237.641.326 jiwa tahun 2010.6 Dengan demikian
Indonesia ini dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Jumlah penduduk yang besar
dan juga keanekagaman itu membuat Indonesia disatu sisi kaya akan potensi untuk
perkembangan dan pembangunan bangsa, disisi lain potensi juga untuk terjadinya
perpecahan bangsa dan negara.
Kemajemukan itu bisa menyebabkan disintegrasi bangsa. Sudah ada banyak
contoh permasalahan yang memicu disintegrasi bangsa Indonesia ini. Disintegrasi
bangsa Indonesia ini pernah terjadi diberbagai faktor kehidupan ini, diantaranya
kerusuhan-kerusuhan, intolerani/radikalisme, baik itu disebabkan oleh agama,
etnis, budaya, ekonomi dan politik.
Beberapa contoh disintegrasi yang terjadi di Indonesia dalam beberapa
faktor contohnya adalah dalam bidang agama. Adanya kerusuhan di beberapa
tempat yang mengatasnamakan agama, seperti kerusuhan di Ambon, poso yang
terjadi pada tahun 1999, yang bekasnya masih terasa pada masa sekarang ini.7
5 https://ppedimancoro.wordpress.com/ ... diakses tanggal 20 Juni 2016. 6 http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267 ... diakses tanggal 01 Oktober 2016. 7 http://sejarah-kelam-indonesia.blogspot.com/2015/01/kerusuhan-ambon-dan-poso-
1999.html, diakses tanggal 1 Oktober 2016.
4
Kerusuhan di Situbondo Jawa Timur, kerusuhan anti Kristen dan penduduk
keturunan Tionghua, 10 Oktober 1996.8 Pembakaran dan pengrusakan tempat
ibadah baik itu gereja, masjid, vihara, dan sebagainya. Pembakaran dan
pengrusakan ini menyebabkan kerugian material dan juga dampak psikologis,
bahkan ada korban nyawa. Penyerangan terhadap Ahmadiah yang sering terjadi di
banyak tempat, penyerangan di Cikeusik menyebabkan kurban nyawa juga, pada
tanggal 11 Febriari 20119, dan juga penyerangan di tempat-tempat lain di Indonesia.
Perpecahan dan perkelaian antara Sunni dan Syiah di tanah Arab juga terbawa
sampai ke Indonesia ini. Itulah sebagian dari kerusuhan-kerusuhan yang disebabkan
oleh agama di Indonesia.
Kerusuhan lain dalam hal perbedaan etnis, seperti kerusuhan di Sampit,
Kalimantan, antara etnis Dayak dan Madura, yang dimulai pada tanggal 18
Februari 2001, menelan banyak kurban jiwa.10 Kerusuhan antara etnis Bali dan
Lampung yang terjadi di Lampung selatan, pada Oktober 2012. Kerusuhan di
Tarakan Kalimantan Timur antara etnis Dayak dan Bugis pada 26 September
2010.11 Itulah sebagian dari kerusahan-kerusuhan berlatar belakang etnis.
Dalam hal perbedaan budaya juga yang banyak di Indonnesia yang
terkadang menciptakan pertengkaran dan perselisihan serta penyerangan. Adanya
klaim mayoritas dan minoritas baik itu klaim mayoritas agama, suku. Kerusuhan
8 Ibid. 9 Sidney Jones, Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2015), 25. 10 http://saufiandaris.blogspot.com/2015/02/sejarah-perang-dayak-vs-madura.html,
diakses tanggal 1 Oktober 2016. 11 Ibid.
5
lain juga yang disebabkan oleh kepemimpinan bangsa ini yang dipahami oleh orang
Jawa biasanya harus dari orang Jawa yang mayoritas, budaya pan jawaisme.
Dalam bidang ekonomi dan politik yang berbeda-beda rentan juga terjadi
perselisihan dan pertentangan di mana-mana. Dalam hal ekonomi kesenjangan yang
terjadi antara yang kaya dan miskin, pekerjaan yang terhormat dan yang hina, krisis
ekonomi yang terjadi, dan sebagainya. Dalam hal politik adanya perbedaan partai
yang sering terjadi kerusuhan, pilkada, pemilu, dan sebagainya.
Agama bisa menyumbangkan salah satu penyebab kerusuhan atau
kekerasan dalam masyarakat berbangsa dan bernegara ini. Banyak kekerasan yang
terjadi Indonesia ini yang mengatasnamakan agama. Tidak bisa dipungkiri juga
bahwa masalah yang terjadi yang mengancam disintegrasi bangsa Indonesia ini
dikarenakan masyarakat Indonesia yang mudah sekali diprovokasi oleh oknum
tertentu atau yang mempunyai kepentingan tertentu dengan memakai isu SARA.
Provokasi SARA bisa menyebabkan intoleransi yang menimbulkan
kerusuhan-kerusuhan dan sampai pada disintegrasi bangsa ini. Untuk itu toleransi
antar umat beragama diperlukan oleh bangsa yang multi dimensi ini. Ketika
masyarakat yang multi dimensi ini salah dalam pengurusan negara, maka
dikawatirkan terjadi kekerasan-kekerasan, baik yang dilakukan oleh masyarakat
sipil, maupun kekerasan oleh negara itu sendiri.12
Mengingat keberadaan permasalahan-permasalah dalam setiap peristiwa
intoleransi ini, maka diperlukan organisasi-organisasi keagamaan yang
menyumbangkan pemahaman yang positif dalam menyikapi peristiwa-peristiwa
12 Abdul Qodir Shaleh, Agama Kekerasan (Yogyakarta: Prismasophie, 2003), 24-27.
6
itu, sebuah pemahaman tentang pluralisme dan sikapnya terhadap agama yang lain
atau berbeda dengannya.
1.2. Fokus dan Tujuan Penelitian
Umat Islam yang adalah mayoritas tentu mempunyai sumbang sih yang
besar terhadap kehidupan bersama berbangsa dan bernegara, dimana diharapkan
kehidupan harmonis antar umat beragama sangat diperlukan. Pondok pesantren
yang diharapkan menjadikan tempat pendidikan sebagian umat Islam yang bisa
menjadi agen-agen dari perdamaian. Sehingga apa yang diajarkan oleh para Kyai
dan pengasuh pesantren itu kepada para santrinya mempunyai kedudukan yang
penting dalam hal ini. Pondok Edi Mancoro yang ada di Kabupaten Semarang
(tetapi secara geografis dekat dengan Salatiga) ini diharapkan menjadi salah satu
tempat pendidikan yang baik bagi para santri. Penulis akan memfokuskan penelitian
pada pondok Edi Mancoro ini, terutama pada sikap santri dalam memandang
pluralisme di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah:
- Bagaimana Santri memahami pluralisme di tengah perbedaan sikap
komunitas Islam tentang pluralitas agama dan Fatwa MUI tentang
keharaman konsep pluralisme?
Dengan demikian yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
- Menganalisa sikap pemahaman santri pondok pesantren Edi Mancoro
tentang pluralisme di tengah perbedaan sikap komunitas Islam tentang
pluralitas agama dan fatwa MUI tentang keharaman konsep pluralisme.
7
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan oleh penulis bisa memberi sumbang sih
pengetahuan tentang perbedaan pendapat umat Islam mengenai pluralisme bagi
dunia akademik. Pengetahuan ini diharapkan akan menjadi bahan kajian akademik
bagi para civitas pendidikan di Indonesia. Bagi lembaga sosial dan gereja,
penelitian ini diharapkan oleh penulis bisa menjadi tempat saling belajar
pemahaman dan juga pengajaran bagi para penganutnya.
1.4. Landasan Teori
Indonesia mempunyai tokoh yang sangat disegani dalam hal pluralisme, dan
pada saat beliau sudah meninggal, beliau dikenal sebagai bapak pluralisme di
Indonesia, beliau yaitu Abdurrahman Wahid atau yang sering dikenal dengan Gus
Dur. Bahkan ketika penguburan beliau yang dipimpin oleh Susilo Bambang
Yudhoyono (presiden waktu itu), menyebutkan Gus Dur sebagai bapak pluralisme
Indonesia. Majalah Kompas, Kamis, 7 Januari 2010 menobatkan Gus Dur sebagai
bapak Pluralitas. Penulis beranggapan sangat penting untuk melihat teori beliau
dalam hal pluralisme sebagai grand teori dalam penelitian ini.
Gus Dur menempatkan pluralisme sebagai sesuatu yang sangat penting bagi
bangsa Indoenesia yang majemuk ini, untuk itu beliau menempatkan Pancasila dan
UUD 1945 sebagai jangkar pemersatu bangsa. Adanya gerakan dari sebagian umat
Islam yang menginginkan Indonesia ini menjadi negara Islam adalah perlu
diluruskan. Penghapusan 7 kata dalam Pancasila, yaitu yang berisi kewajiban umat
Islam menjalankan syariatnya, menunjukkan Islam yang tidak mau diistimewakan
atau agama yang dikhususkan, tidak ada diskriminasi agama. Perjalanan sejarah
8
bangsa yang demikian ini membuat Gus Dur berpikir untuk menanamkan
pluralisme dalam bangsa Indonesia. Keragaman ini harus dilestarikan dan Islam
adalah sebuah ajaran agama bukan sebuah negara.13 Gus Dur juga menolak bahwa
pluralisme bersifat relativisme.14
Penulis disini juga akan melihat jugat teori pluralisme yang dikemukakan
oleh Jeremy Menchik yang mewakili penulis luar Indonesia. Jeremy Menchik lebih
tertarik melihat pluralisme dengan interaksi dengan kelompok yang berbeda.
Jeremy Menchik mengatakan bahwa Indonesia ini bukanlah negara agama, namun
juga bukan negara sekuler. Supremasi hukum di Indonesia harus dipahami melalui
sudut pandang UUD 1945. Konstitusi, yaitu negara hukum yang menempatkan
Ketuhanan Yang Maha sebagai prinsip utama serta nilai-nilai agama yang
mendasari gerakan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bukan sebagai negara
yang memberlakukan pemisahan negara dan agama atau hanya memegang prinsip
individual atau komunal tertentu.15
Menchik juga menjelaskan ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia
banyak memberikan peran, terutama dalam menjaga toleransi dan pluralisme dalam
menjalankan demokrasi di Indonesia. Bagi Menchik, kesemuanya itu dikarenakan
ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, senantiasa
menjunjung tinggi demokrasi.16 Pertanyaan Menchik adalah mengapa ormas Islam
di Indonesia bisa toleransi dengan agama lain? Bagaimana mereka memahami
13 Adurrahman Wahid (ed), Ilusi Negara Islam (Jakarta: Wahid Institute, 2009), 16. 14 Adurrahman Wahid, Penafsiran Baru Atas Al-Qur’an. Artikel dari www.gusdur.net,
diakses tanggal 1 Okober 2016. 15 Jeremy Menchik, Islam and Democracy in Indonesia : Tolerance Without Liberalism
(Boston: Cambrige Unersity Press, 2016), 1. 16 Ibid, 5-6.
9
demokrasi dan toleransi? Apa pengaruhnya terhadap kehidupan bersama dalam
demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu Menchik melakukan
penelitian terhadap ormas Islam di Indonesia yang mewakili yaitu Nahdlatul Ulama
(NU), Muhammdiyah dan Persatuan Islam (Persis).
Dalam penelitiannya ditemukan bahwa NU lebih toleran daripada
Muhammadiyah, dan Muhammadiyah lebih toleran daripada Persis.17 Penelitian
Menchik dilakukan dengan survey kepada 1000 tokoh NU, Muhammadiyah dan
Persis. Islam di Indonesia toleran, tetapi menolak campur tangan terhadap iman
agama lain. Sehingga toleransi yang terjadi bukan toleransi yang liberal, tetapi bisa
toleransi dengan yang lain namun disatu sisi tetap menjalankan iman sendiri kepada
Tuhan. Liberalisasi yang diangkat tentang hak individu, namun dalam iman umat
Islam di Indonesia ada toleransi komunal. Toleransi komunal adalah berbeda
dengan toleransi liberal, toleransi komunal lebih mengutamakan iman dan
kelompok. Lalu dengan toleransi tersebut, kebebasan berargumentasi, bertindak
secara individual bisa dibatasi. Kesimpulan bahwa NU di Jawa Timur lebih pluralis
menarik karena dia melihat NU tidak mengalami ancaman oleh misi Kristen di sana.
Itu berarti Menchik berasumsi bahwa pluralisme itu dibangun dari hubungan yang
baik dengan komunitas yang berbeda.
1.5. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif,
yaitu penelitian yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau
17 Ibid, 155-157.
10
kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi.18 Selanjutnya penelitian
kualitatif menurut Moleong adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.19
Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai
suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif
berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti
dan kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka. Unit penelitian adalah kelompok
santri pondok pesantren Edi Mancoro dengan kyai dan para pengasuhnya. Disini
penulis akan mendiskripsikan pemahaman para santri akan pluralisme di Indonesia
ini di tengah-tengah perbedaan sikap umat Islam sendiri. Unit amatan penulis
adalah pondok pesantren Edi Mancoro sendiri dan yang terjadi di dalamnya
termasuk sikap santri terhadap pluralisme. Data ini akan dikumpulkan penulis
menggunakan menggunakan cara wawancara dan juga observasi/pengamatan
lapangan. Lokasi penelitian ini adalah pondok pesantren Edi Mancoro, Dusun
Bandungan, Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Provinsi
Jawa Tengah.
Melalui penelitian yang penulis lakukan ini diupayakan mendapatkan
gambaran tentang situasi dan juga proses yang diteliti. Penulis tidak hanya sekedar
18 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1993),
89.
19 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya
Offset, 2007), 6.
11
mengumpukan, menyusun serta mendiskripsikan data yang ada, tetapi juga
menganalisa serta mengintepretasikan tentang data-data yang didapatkan.20
Pengumpulan data menggunakan wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua
orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu.21
1.6. Sistematika Penulisan
Penulis akan menggunakan sistematka yaitu pada bab I berisikan
pendahuluan. Pada bagian ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan alasan penelitian, dan metode penelitian.
Pada bab II tentang Pluralisme Sebagai Realistas Sosial. Pada bagian ini penulis
akan menguraikan arti pluralisme, teori Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sebagai
grand teorinya, menurut penulis mewakili tokoh dari Indonesia dan beragama
Muslim dan juga teori dari Jeremy Menchik, tokoh mewakili penulis luar negeri
yang mempunyai ketertarikan dengan demokrasi dan juga Islam.
Pada bab III berisikan Sikap Santri Pondok Pesantren Edi Mancoro terhadap
Pluralisme di Indonesia. Pada bagian ini penulis menguraikan tentang seputar
pondok pesantren, sosok pondok pensantren Edi Mancoro, dan hasil penelitian
terhadap sikap santri terhadap pluralisme di Indonesia. Pada bab IV berisikan Santri
Pondok Pesantren Edi Mancoro Merajut Persatuan dalam Perbedaan. Pada bagian
ini penulis menguraikan analisa dari sikap santri terhadap pluralisme di Indonesia,
20 Hadari Nawawi, Metode penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1982), 30. 21 Deddy Mulyana, Metodologi penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 180.
12
mengacu pada teori dari Abdurrahman Wahid dan Jeremy Menchik yang telah
disampaikan pada bab sebelumnya, serta menjawab pertanyaan penelitian.
Bab terakhir bab V berisikan Kesimpulan dan Rekomendasi. Pada bagian
terakhir, penulis akan menyimpulkan secara menyeluruh dari penulisan ini, dan
juga penulis akan menyajikan beberapa rekomendasi yang dapat membantu
menyikapi pluralisme di Indoensia, melihat sisi positif dari hasil penelitian unuk
kehidupan bersama. Pada akhirnya penulis juga bisa memberikan sumbang sih
pemikiran bagi sikap yang seharusnya diambil oleh orang Kristen dan gereja dalam
menyikapi isu pluralisme di Indonesia dengan baik.