Download - Bab 1 DS Rampung
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap orang tua pasti menginginkan memiliki anak yang
sempurna ,baik itu sehat jasmani dan rohani. Namun tidak semua anak di
dunia ini yang dilahirkan dengan sempurna. Ada beberapa anak yang yang
memiliki keterbatasan baik pisik maupun fsikis , misalnya pada anak Down
Syndrome. Kelainan ini sudah ditemukan sejak tahun 1866 oleh Dr. Jhon
Longdon Down dari Inggris. Perkembangan anak Down syndrome berbeda
dengan kebanyakan anak normal lainnya, anak down syndrome adalah anak
yang menpunyai hambatan perkembangan kecerdasannya yang funggsi
kecerdasan intelektualnya di bawah normal. Anak – anak ini juga mengalami
hambatan normal dalam perkembangan social terhadap duni sekelilingnya.
Down Syndrome (DS) merupakan suatu kelainan kromosom ,yaitu
normalnya tubuh manusia memiliki milyaran sel yang memiliki pusat
informasi genetika di kromosom. Sebagian besar sel tubuh manusia
mengandung 23 pasang kromosom (total 46 kromosom). Hanya sel
reproduksi, yaitu sperma dan ovum yang masing-masing memiliki 23
kromosom tanpa pasangan. Dalam kasus DS, kromosom nomor 21 jumlahnya
tidak sepasang seperti pada umumnya, melainkan tiga. Bahasa medisnya,
trisomi-21. Jumlah kromosom yang tidak normal tersebut bisa ditemukan di
seluruh sel (pada 92 persen kasus) atau di sebagian sel tubuh.
Akibat jumlah kromosom 21 yang berlebihan tersebut, terjadi
guncangan sistem metabolisme di sel yang berakibat munculnya DS. Dari
hasil penelitian, 88 persen kromosom 21 tambahan tersebut berasal dari ibu,
akibat kesalahan pada proses pembentukan ovum. Delapan persen lagi berasal
dari ayah, dan dua persen akibat penyimpangan pembelahan sel setelah
pembuahan. Dalam beberapa kasus, terlihat bahwa umur wanita terbukti
berpengaruh besar terhadap munculnya DS pada bayi yang dilahirkannya.
Kemungkinan wanita berumur 30 tahun melahirkan bayi dengan DS adalah
1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran adalah 35 tahun, kemungkinannya
adalah 1:400. Hal ini menunjukkan. Angka kemungkinan munculnya DS
makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan.
Karena itu, disarankan agar ada pemeriksaan prenatal pada ibu berumur lebih
dari 35 tahun untuk memastikan apakah janin memiliki kelainan atau tidak.
Sebab, semakin dini DS terdeteksi, maka semakin besar pula kesempatan
untuk memperbaiki keadaan sang penderita.
Untuk mendeteksi adanya DS secara dini pada anak, sebenarnya bukan
suatu hal yang sulit. Karena penderita DS punya karakteristik fisik yang khas.
Pada wajah, yang paling khas adalah bentuk mata yang miring dan tidak
punya lipatan di kelopak. Selain itu, hidung mereka cenderung lebih kecil dan
datar. Ini tak jarang diikuti dengan saluran pernapasan yang kecil pula,
sehingga mereka sering kesulitan bernapas.
Seperti juga hidung, ukuran mulut mereka pun seringkali lebih kecil dengan
lidah tebal dan pangkal mulut yang cenderung dangkal. Di samping itu, otot
mulut mereka juga kerap lemah, sehingga menghambat kemampuan bicarai.
Pertumbuhan gigi geligi mereka pun lambat dan tumbuh tak beraturan. Gigi
yang berantakan ini juga menyulitkan pertumbuhan gigi permanen.
Letak telinga mereka rendah dengan ukuran kanal telinga yang kecil, sehingga
mudah terserang infeksi. Rambut mereka lemas, tipis, dan jarang. Bentuk
kepala mereka juga cenderung peyang.
Di samping dari tampilan wajah, DS juga dapat diamati dari anggota tubuh
lain, seperti tangan dan kaki. Tangan mereka lebih kecil dan jari-jari yang
pendek dan kelingking yang bengkok. Bila pada kelingking normal memiliki
tiga ruas tulang. Maka pada penderita DS, ruas kedua jari kelingking mereka
kadang tumbuh miring atau malah tidak ada sama sekali.
Selain itu, di telapak tangan mereka terdapat garis melintang yang disebut
simian crease. Garis tersebut juga terdapat di kaki mereka, yaitu di antara
telunjuk dan ibu jari yang jaraknya cenderung lebih jauh dari pada kaki orang
normal. Keadaan telunjuk dan ibu jari yang berjauhan itu disebut juga sandal
foot. Dengan diketahuinya gejala fisik tersebut, diharapkan orang tua, bidan
atau dokter sudah dapat mendeteksi adanya kemungkinan DS pada anak
sehingga DS bisa ditangani lebih dini.
(http://www.potads.com/downsyndrome.php di akses pada tanggal 19 oktober
2011)
Menurtu WHO prevalensi penderita down syndrome terjadi pada 1 banding 700 kelahiran di dunia yaitu terdapat 8 juta anak down syndrome,dari data hasil survei yang terbaru,sedangkan di Indonesia terdapat hasil survey terbaru sudah mencapai 300.000 orang. (http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/29/11191896/Teori.Baru.Penyebab.Down.Syndrome di akses 19 oktober 2011)
Anak DS tidak bedanya dengan anak normal kebanyakan mereka pula
membutuhkan sarana pendidikan yang khusus sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi mereka.Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk
menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang
bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang
memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada
UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia
belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya
segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis,
dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki
oleh siswa. Jelas belajar menghormati realitas keberagaman dalam
masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel)
disediakan segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa
untuk dapat fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis
difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak
disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi
anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut
selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara
anak – anak difabel dengan anak – anak non-difabel. Akibatnya dalam
interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang
teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak
akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel
sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari
kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam
menyuarakan hak – haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan
inklusi. Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya
sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with
Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal
24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk
menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan.
Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi
penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem
pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara
pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru.
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia
umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya
adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha
mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan
yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam
pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender,
status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi
adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik
bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang
dimilikinya.( http://smanj.sch.id/index.php/arsip-tulisan-bebas/40-artikel/115-
pendidikan-inklusi-pendidikan-terhadap-anak-berkebutuhan-khusus diakses 19
oktober 2011)
Pendidikan inklusif merupakan sistem layanan pendidikan luar biasa
untuk anak berkebutuhan khusus yang disatukan bersama-sama dengan anak
normal dalam komunitas sekolah. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional No. 70 Tahun 2009, pendidikan inklusif didefinisikan sebagai
"sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya". Sekolah inklusi merupakan tempat bagi setiap anak untuk dapat
diterima menjadi bagian dari kelas, dapat mengakomodasi dan merespons
keberagaman melalui kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak.
Masyarakat dilibatkan sebagai mitra. Dalam lingkungan yang demikian,
keanekaragaman disikapi secara adil, demokratis, setara, dan tidak
diskriminatif.
Kajian-kajian, filosofis, teoritis, maupun normatif, sejauh ini
cenderung memperkuat dukungan bagi pendidikan inklusi. Secara filosofis,
pendidikan inklusi merupakan manifestasi etis penghormatan sesama manusia
terhadap nilai-nilai mulia kemanusiaan yang dikaruniakan Tuhan. Manusia
tetaplah manusia meski lahir dengan perbedaan-perbedaan. Perbedaan tidak
boleh menimbulkan pembedaan, sebab pembedaan adalah awal bagi
diskriminasi, dan diskriminasi adalah awal dari penindasan.
Urgensi diselenggarakannya pendidikan inklusi biasa merujuk mulai dari
UUD 1945 khususnya pasal 31 ayat (1) yang menjamin hak setiap warga
negara untuk mendapat pengajaran, Deklarasi HAM PBB 1948, Konvensi
Hak Anak 1989, The Salamanca Statement on Inclusive Education (1994),
Life Long Education and Education for All (1995), Dakar Statement (2000),
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, hingga Convention on the Rights of
Person with Disabilities and Optional Protocol 2007.
Para penganjur pendidikan inklusi melengkapi juga dengan argumen
akademik bahwa pada dasarnya memang pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus dapat diintegrasikan dengan pendidikan reguler asalkan kurikulum
didesain akomodatif, guru mampu menciptakan suasana inklusif dan
kooperatif, lingkungan sosial menghormati perbedaan antarmanusia dan
lembaga sekolah berkomitmen membuka aksesabilitas anak berkebutuhan
khusus masuk kelas regular. Sayangnya, di luar ruang wacana pada
kenyataannya pendidikan inklusi masih belum banyak dipahami apalagi
dijalankan. Sistem pendidikan Indonesia lebih memilih penyeragaman untuk
lebih mudah memenuhi target kurikulum daripada repot-repot melakukan
penyesuaian dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik yang beragam.
(http://smanj.sch.id/index.php/arsip-tulisan-bebas/40-artikel/115-pendidikan-
inklusi-pendidikan-terhadap-anak-berkebutuhan-khusus.di akses 19 october
2011)
Bukan hanya pengetahuan dan keterampilan yang harus di ajarkan
oleh pendidik inklusi pada anak DS,melaikan juga pendidikan yang
mengajarkan pendidikan biologis dan seks ,terlebih pada anak DS bagaimana
saat anak dalam menginjak masa pubertas yang mana pada anak perempuan
mengalami menstruasi dan anak laki-laki mengalami mimpi basah,yang mana
juga mempunyai ketertariakan pada lawan jenis layaknya remaja normal.
Pada dasarnya anak DS mempunyai cara berpikir yang dibawah rata-rata anak
normal lainnya. Jadi perlu dilatih perkembangan biologi dan sek. Saat masuk
masa pubertas, mereka perlu dikenalkan akan adanya perubahan pada
beberapa bagian tubuhnya. Yang wanita akan mengalami menstruasi dan yang
pria akan mengalami mimpi basah. Mereka juga perlu dilatih untuk
bagaimana caranya membersihkan diri bila fenomena masa pubertas itu telah
tiba. Penjelasannya harus disampaikan lewat visual berupa gambar-
gambara.Dengan gambar-gambar itu, anak-anak dengan sindrom down
diajarkan cara merawat dan membina dirinya. Dalam hal ini pendidik perlu
mengajarkan bagaimana sikap dalam memghadapi anak DS yang mana dalam
memesuki masa pubertas yang perlu bimbingan khusus,terlebih pada anak
wanita yang mana pada masa menstruasi maka secara logika organ
refproduksinya pun berfungsi. Sehingga wanita DS bisa untuk mengalami
kehamilan.
Berdasarkan uraian di atas , maka peneliti tertarik untuk meneliti
tentang “gambaran deskriptif sikap pengajar Inklusi pada anak Down
Syndrome yang menghadapi masa menstruasi di SLB………..”
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang,masalah peneliti yang dapat dirumuskan adalah
bagaimana gambaran sikap pengajar inklusi pada anak down syndrome yang
menghadapi masa menstruasi di SLB……………..
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana cara pengajar
inklusi pada anak down syndrome yang menghadapi masa menstruasi
di SLB ……..
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi gambaran karateristik pengajar inklusi
(umur, pendidikan ,lama kerja) yang melakukan bimbingan
pada anak DS yang menghadapi masa menstruasi di SLB
b. Mengidentifikasi sikap pengajar inklusi baik atau tidaknya
dalam menyanpaikan bagaiamana cara penyampaian pengajar
dalam menghadapi menstruasi pada anak DS di SLB
D. Manfaat penelitian
Diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk :
1. Bagi akademisi
Sebagai bahan masukan dalam menambah kekhasanahan
khususnya pendidikan ilmu keperawatan,di antaranya keperawatan
anak,keperawatan maternitas dan ilmu pendidikan khususnya
pendidikan inklusi.
2. Bagi profesi keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu bagi
profesi keperawatan dalam hal bagaimana cara anak DS yang
menghadapi masa menstruasi dan sikap pengajar inklusif
3. Bagi lahan praktek
Hasil ini dapat dijadika sebagai alat ukur dan acuan bagi para
pendidik dalam hal memberikan informasi yang baik dan benar
pada anak DS dalam menghadapi menstruasi, serta dalam hal
keperawatan anak, dan maternitas .
4. Bagi klien
Sejauh mana kesiapan dan pengetahuan anak dalam menghadapi
menstruasi yang di berikan oleh pendidik.
5. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat dijadiakn sebagian dasar acuan serta memberikan motivasi
dan bahan informasi pendahuluan bagi yang ingin meneliti lebih
dalam lagi.
E. Keaslian penelitian
Sejauh ini belum ada yang meneliti tentang masalah anak Down Syndrome
khususnya bagaimana cara pendidik inklusi pada anak DS yang menhadapi
masa menstruasi d SLB……,