Download - Asma Dan Alergi

Transcript

PendahuluanDalam beberapa waktu terakhir ini, berbagai laporan ilmiah menunjukkan hubungan yang kuat antara penyakit alergi rinitis dan sakit asma. Meskipun merupakan organ target yang berbeda, penyakit asma dan alergi rinitis merupakan bagian dari penyakit saluran nafas yang hampir sama. Dengan menggunakan data epidemiologi dan penelitian secara imunopatofisiologi, hubungan antara kondisi penyakit inflamasi ini menjadi jelas. Penelitian memperlihatkan jumlah penderita asma yang juga menderita alergi rinitis lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penderita asma. Dalam banyak kasus penderita didapatkan asma bersama-sama rhinitis, infeksi virus saluran napas bagian atas mendahului eksaserbasi asma, rinitis sebagai faktor risiko untuk asma dan infeksi sinusitis paranasal berkaitan dengan asma terutama pada pasien anak. Begitu eratnya hubungan asma dan rhinitis sehingga beberapa peneliti menyatakan keduanya merupakan kesatuan penyakit yang disebut rinobronkitis atau United Airway Disease. Dengan melakukan kajian ilmiah melalui analisa data epidemiologi serta memperhatikan latarbelakang faktor genetik, ternyata alergi rinitis dan asma berkaitan secara anatomi, fisiologis, imunopatologi, serta secara umum berkaitan dengan tatalaksananya. Temuan itu dapat memperbaiki strategi penanganan penyakit alergi khususnya alergi rinitis dan asma. Bahwa sebenarnya penyakit alergi adalah sebuah penyakit sistemik yang membutuhkan penanganan menyeluruh dan bersamaan. Selama ini penanganan penyakit alergi khususnya kedua penyakit tersebut seringkali terpisah-pisah. Penyakit alergi rinitis akan ditangani dan lebih didalami oleh klinisi praktis dalam minat Telinga Hidung Tenggorok, tanpa melihat kondisi kondisi asma yang menyertai. Demikian sebaliknya klinisi dalam minat paru anak akan mempelajari lebih mendalam dan menanganani asma seorang anak tanpa memperhatikan kondisi alergi rinitis yang menyertainya.

Asma dan Alergi RinitisRinitis alergika merupakan penyakit saluran nafas yang sering dijumpai pada anak, disamping asma dan sinusitis. Sekitar 40% anak pernah mengalami rinitis alergika sampai usianya mencapai 6 tahun. Rinitis alergika merupakan penyakit yang didasari oleh proses inflamasi. Terdapat hubungan yang erat antara saluran nafas bagian atas dan bawah Hubungan antara rinitis-sinusitis-asma telah lama diketahui sehingga dalam penanganannya pun selalu dikaitkan antara ketiganya. Pada pasien asma sering sekali timbul gejala rinitis seperti pilek (keluarnya cairan dari hidung), gatal, kadang-kadang tersumbat, dan terasa panas pada hidung. Beberapa peneliti berpendapat bahwa diagnosis rinitis alergika masih sering misdiagnosis sehingga berdampak pada kesalahan tatalaksannya. Penanganan yang baik pada rinitis alergika akan menurunkan gejala pada sinusitis dan asma. Rinitis alergik dan asma sering dikelompokkan sebagai penyakit saluran napas bagian atas dan bagian bawah, meskipun pada kenyataannya kedua penyakit tersebut sering merupakan satu

kesatuan. Penatalaksanaannya sering dilakukan oleh dua spesialis minat yang berbeda. Seorang spesialis paru anak yang menangani kasus asma sering menitikberatkan pada gejala sesak pasien dan sangat sedikit menaruh perhatian kepada saluran napas bagian atas atau bahkan saluran cerna. Demikian pula sebaliknya ahli THT terfokus kepada hidung atau sinus, tanpa pernah menanyakan keluhan asmanya padahal dalam praktek sangat banyak kaitan antara saluran napas bagian atas dan bawah atau lebih spesifik lagi kaitan rinitis dan asma. Fakta tersebut di atas menunjang konsep bahwa alergi sebenarnya bukan merupakan penyakit satu organ sasaran, melainkan kelainan yang melibatkan banyak organ dan system tubuh. Sehingga sangatlah tepat kalau dikatakan alergi merupakan penyakit sistemik.

Perjalanan alamiah rinitis dan asmaBerberapa penelitian mengemukakan tentang perjalanan alamiah (allergy March) rinitis alergika dan asma. Sebuah tim peneliti mengamati perjalanan penyakit pada 903 anak balita yang diikuti selama 23 tahun. Setelah 23 tahun didapatkan hasil bahwa 10,6% menjadi asma dan 43% menjadi rinitis alergika. Dari penelitian tersebut disimpulkan pula bahwa anak dengan rinitis alergika mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi dibanding non rinitis untuk menjadi asma. Peneliti lain meneliti pada 154 anak rinitis alergika berusia 3-17 tahun dan diikuti selama 10 tahun. Hasil penelitiannya adalah 15% bebas tanpa rinitis, 50 tetap, dan 20% berkembang menjadi asma. Sedangkan penelitian lainnya didapatkan hasil pada anak rinitis alergi yang mempunyai riwayat asma pada keluarganya 9,8 kali lebih tinggi dibanding pada anak rinitis tanpa riwayat asma pada keluarga.

Kaitan EpidemiologiDari suatu survei epidemiologi yang melibatkan 6563 penduduk, diagnosis rinitis alergik atau asma yang baru, didapatkan 2 sampai 4 kali lebih tinggi pada penduduk yang mempunyai salah satu dari kedua penyakit tadi dibanding penduduk yang riwayatnya tidak mempunyai kedua penyakit tadi. Sedangkan penelitian terhadap 690 mahasiswa yang tidak menderita asma, diikuti selama 23 tahun. Mereka yang pada tahun 1961 mempunyai gejala hidung, menderita asma 3 kali lebih sering (10,5%) dibanding tanpa rinitis (3,6%) Penelitian epidemiologi lainnya menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terdapat bersamasama. Gejala-gejala hidung dilaporkan pada 28 78% penderita asma dibandingkan yang hanya 20% pada masyarakat luas. Demikian pula rinitis alergik dapat dijumpai pada 19 38% penderita asma, jauh lebih tinggi dibandingkan hanya 3-5% di masyarakat.

Kaitan anatomi dan patofisiologiSaluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian, sebagai penghantar dan pertukaran udara. Meskipun dari hidung sampai ke alveoli anatomisnya berbeda, tetapi fungsinya merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung berfungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara sebagai organ penciuman dan konservasi uap air dan panas terhadap udara lingkungan. Fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah terhadap

pengaruh udara dingin, kering maupun udara kotor karena polusi. Bila hidung tidak berfungsi karena sesuatu hal, maka saluran napas bagian bawah akan terkena dampaknya. Rongga hidung dapat digambarkan sebagai ruangan kaku yang tepinya dibatasi oleh tulangtulang wajah dan perubahan saluran napasnya disebabkan oleh perubahan ketebalan jaringan mukosa; hal ini karena jaringan mukosa hidung banyak mengandung pembuluh darah yang membentuk sinusoid-sinusoid. Pembuluh darah ini dipengaruhi oleh sistem saraf di sekitar rongga hidung sehingga mudah melebar dan menyempit. Sebaliknya bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin kartilago yang tidak lengkap, yang kemudian dilengkapi oleh otot polos. Makin ke distal kartilago ini makin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempengaruhi diameter saluran napas. Obstruksi saluran napas dapat terjadi karena : vaso- dilatasi, edema jaringan, sumbat mucus dan kontraksi otot polos. Pada rinitis peranan vasodilatasi sangat menonjol. Hal ini terbukti bila diberi obat golongan alfa adrenergik, obs- truksi hidung akan segera berkurang atau hilang dan hal ini tidak terjadi pada asma. Sebaliknya pada asma, yang bronkus- nya mengandung otot polos berespons sangat baik terhadap agonis beta 2. Meskipun obstruksi hidung sangat mengganggu, tetapi tidak mengancam jiwa penderita, karena ia masih dapat ber- napas melalui mulut. Sebaliknya obstruksi total bronkus akan menyebabkan kolaps paru dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Rongga hidung mempunyai pengaruh sekitar 50% pada resistensi saluran napas dan hal ini berarti penting pada fungsi alveoli. Bernapas melalui mulut atau trakeostomi dapat menyebabkan kolaps alveoli dan shunting aliran darah dari jantung kanan ke kiri. Hilangnya peranan humidifikasi akan menimbulkan masa- lah, terutama bila udara yang dihirup dingin dan kering, karena akan mengeringkan sekret dan menyebabkan spasme bronkus di saluran napas bagian bawah. Untuk mengatasi hal tersebut, produksi sekret akan bertambah, yang selanjutnya akan meningkatkan gejala penyakit paru. Terdapat persamaan dan perbedaan antara hidung dan bronkus. Perbedaan yang menonjol adalah hidung mengandung sinusoid-sinusoid yang sangat berperan pada obs- truksi hidung, sementara vasodilatasi kurang berperan pada asma. Disamping itu sekret hidung mudah dikeluarkan sedangkan pada asma dapat menyumbat. Perbedaan lainnya adalah otot-otot polos dijumpai pada bronkus, tidak pada saluran hidung. Rinitis dan asma memiliki struktur yang sama tapi berbeda dalam hal anatomi. Gejalanya adalah blokade-atau blocking hidup, gejala bersin dan gejala gatal. Pada saluran nafas bawah, bronkhus dapat memunculkan reaksi kembang kempis sehingga di hidung tidak bisa terjadi kontriksi, hanya blocking karena kontraksi pada saluran nafas bawah. Secara anatomi saluran nafas atas dan saluran nafas bawah dihubungkan dengan ciliated columnar epithelium berisi mukus yang disekresikan oleh sel goblet . Penelitian terbaru pada manusia menunjukkan bahwa alergen yang ditemukan pada hidung pasien alergi rinitis, dapat dengan cepat menimbulkan inflamasi yang berarti di paru-paru. Hal ini bias terjadi meski tidak ada riwayat sakit asma atau hiperakivitas saluran nafas bronkial. Kaitan ini amat penting diketahui oleh para klinisi sehingga semua pasien dengan rinitis diberikan pengujian penyakit saluran nafas bawah dan untuk semua pasien dengan asma diberikan pengujian penyakit saluran nafas atas.

Hal ini membuktikan bahwa penebalan mukosa hidung pada rinitis yang kronis ternyata gejalanya mirip dengan gejala saluran nafas pada asma yang telah mengalami aero modeling. Telah diketahui bahwa saluran nafas atas mempunyai fungsi sebagai filter, sebagai penghangat dan juga humidifier udara yang kita hirup. Mekanisme ini ternyata juga ada hubungannya dengan fungsi homostatik di saluran nafas bawah. Pada rinitis alergi, belum nampak gejala asma. Namun, bila dilakukan pemeriksaan pada pasien rinitis alergi ternyata menunjukkan adanya peningkatan dari reaktivitas bronkus. Ada beberapa penelitian pada pasien rinitis alergi di luar musim pollen. Penelitian ini membuktikan dengan pemaparan metapolin, terjadi penurunan fungsi atau gangguan nafas bawah walaupun di luar musim polen. Jadi asma sering mengalami persistensi di musim bunga pada pasien-pasien yang mengalami alergi intermitten yang disebabkan oleh polen. Penggunaan provokasi ekstrak rumput timoti yang dimasukkan atau diserakkan ke hidung ternyata menginduksi respon alergi pada hidung. Dan didapatkan bukti adanya reaktifitas bronkus, yang akhirnya membuktikan bahwa walaupun gejala-gejala pada hidung tidak menyebabkan gangguan fungsi paru bawah tetapi menyebabkan reaktifitas bronkus pada asma Hidung merupakan protektor bagi saluran nafas bawah. Hilangnya fungsi hidung akan menyebabkan udara yang kita hirup akan lanagsung masuk melalui mulut. Hal ini membuat fungsi pemanasan dan pelembaban udara oleh hidung, dan fungsi penyaring akan hilang. Pajanan saluran nafas bawah terhadap bahan-bahan iritan yang kita hirup tanpa melewati hidung menjadi salah satu mekanisme terjadinya asma. Secara fisiologis, asma dan rhinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks nasobronkial, tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat hidung mampat maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung dalam mengkondisikan udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk menjadi hilang. Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan salah satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah terpajan udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium hipereaktivitas dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan jasmani. Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya asma. Banyak penelitian melaporkan bahwa pasien-pasien dengan rinitis alergik tanpa disertai asma secara klinis sering menunjukkan hipereaktivitas bronkus. Prevalensinya berbeda-beda tergantung metode dan definisi reaktivitas yang dipakai. Diperkirakan 11% sampai 32% penderita rinitis menunjukkan hipereaktivitas bronkus dalam derajat lebih ringan dibanding penderita asma dengan inhalasi zat-zat seperti histamin, metakolin atau karbakol. Di antara penderita rinitis alergik musiman tanpa asma terjadi kenaikan reaktivitas bronkus selama musim tepung sari (pollen). Madonni dkk melaporkan kenaikan insiden hipereaktivitas bronkus pada penderita rinitis alergik musiman sebelum dan selama musim tepung sari dari 11% menjadi 48%. Juga dilaporkan bahwa penderita rinitis alergik perennial mempunyai derajat reaktivitas yang lebih tinggi dibanding rinitis alergik musiman. Meskipun ada peneliti yang menyatakan reaktivitas bronkus dalam derajat asma pada penderita rinitis merupakan faktor resiko untuk asma (PC20 metakolin < 8 mg/ml), penelitian lain menemukan bahwa hipereaktivitas bronkus

pada penderita rinitis tidak bermanfaat dalam meramalkan penderita rinitis untuk berkembang menjadi asma.

Kaitan ImunopatologisProses imunopatologi pada rinitis dan asthma juga hampir serupa. Hal ini melibatkan tidak hanya hipersensitivas yang segera terhadap alergi, tetapi juga inflamasi alergi yang menetap. Perangsangan saluran nafas atas, pada hidung akan diteruskan melalui refleks vagus yang diteruskan melalui serabutsi. Refleks vagus ini akan mempengaruhi pembuluh darah atas dan bawah, dan mempengaruhi kembali sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan eosinofil ini kemudian merangsang asetikolin untuk mempengaruhi serabut-serabut pembuluh atas dan bawah yang menimbulkan gejala-gejala. Masuknya alergen yang menghasilkan dominasi sel mast oleh glandula-glandula mengakibatkan terjadinya perangsangan serabut saraf-saraf sensoris. Hal ini akan menyebabkan gejala-gejala dengan pengeluaran mediator-mediator seperti histamin, kinin, kemudian mediator yang terbentuk akan menyebabkan sumbatan pada hidung. Selanjutnya histamin ini akan merangsang serabut saraf sensoris, yang menyebabkan gejala gatal di hidung dan kulit sekitarnya. Histamin juga merangsang refleks bersin. Mediator-mediator ini juga merangsang ekskresi kelenjar. Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran nafas bawah. Beberapa inflamasi yang terjadi pada saluran nafas bawah terjadi juga pada saluran nafas atas karena struktur fisiologisnya mirip. Ini terjadi pada keadaan normal yaitu bronkusnya normal berkontak dengan alergen di saluran nafas atas, juga akan mempengaruhi saluran nafas bawah bila tersensitisasi. Terjadilah suatu fase awal asma yang berlanjut. Dari mediator-mediator fase awal atau fase lambat akan terbentuk fase intermediet. Bila lebih dari 8 jam akan menjadi fase lambat dengan gejala lebih hebat dibandingkan fase pertama.. Asma sering disebabkan oleh alergen dalam ruang atau dalam rumah. Berbeda dengan rinitis disebabkan oleh alergen dari luar. Beberapa peneliti mengobservasi pasien yang mengalami sensitisasi dengan binatang dalam rumah. Ditemukan adanya peningkatan reaktivitas bronkus dan didapatkan sputum yang mengandung banyak eusinofila dibandingkan pasien alergi yang dicetuskan oleh polen atau alergen dalam rumah. Banyak pasien tidak secara jelas menderita asma pada waktu yang sama, ini juga merupakan bukti bahwa ada hubungan antara rinitis dan asma. Dan ini terjadi bisa sebelum dan setelah adanya rinitis alergi. Banyaknya pasien asma yang juga alergi sekitar sepertiga dari pasien asma. Asma yang hebat perlu dikatakan sebagi asma hebat untuk menentukan pemilihan pengobatan. Untuk asma biasa diberikan obat-obat biasa, Untuk asma hebat diberikan obat yang lebih kuat. Mengenai tata laksana, hal pertama yang harus dilakukan secara umum untuk pasien penyakit alergi adalah menghindari pencetus dan membersihkan lingkungan.

Asma bronkial dan rinitis alergik, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai penyakit atopi keduanya sering dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya kejadian rinitis lebih sering dijumpai dibanding asma; tetapi bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan gejala rinitisnya. Hal ini sebenarnya kurang menguntungkan, karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki asmanya.

Kaitan terapiDalam menilai hubungan asma dan rinitis, efek terapi secara tidak langsung memperkuat dugaan tersebut. Dua macam obat yang sering dipakai pada pengobatan rinitis alergik yaitu kortikosteroid aerosol intranasal dan antihistamin. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai keefektifan kortikosteroid intranasal pada penderita rinitis alergik musiman dan perenial. Menurut penelitian perbaikan asma ini mungkin berhubungan dengan perbaikan fungsi hidung dan bukan efek langsung pada saluran napas bagian bawah. Penelitian lain mendukung temuan tersebut di atas dengan menunjukkan bahwa triamsinolon intranasal juga menurunkan reaktivitas saluran napas bagian atas dan bawah terhadap pemajanan dengan alergen bulu kucing. Beberapa ahli melakukan penelitian pengaruh beklometason intranasal pada penderita rinitis alergik musiman yang mempunyai asma. Reaktivitas bronkus meningkat selama musim tepung sari pada penderita yang mendapat plasebo tetapi tidak meningkat pada penderita yang mendapat terapi kortikosteroid. Karena penderita yang diselidiki terlalu sedikit, tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal gejala asma, nilai arus puncak ekspirasi maupun nilai-nilai spirometri. Namun demikian paling tidak dapat disimpulkan bahwa terapi profilaksis kortikosteroid intranasal dapat men- cegah peningkatan reaktivitas bronkus selama musim tepung sari pada penderita rinitis yang disertai asma. Studi lain melakukan pengamatan pada penderita rinitis perenial yang juga mempunyai asma. Setelah 4 minggu memakai budesonide intranasal terjadi perbaikan obstruksi hidung, pernapasan mulut berkurang di- banding dengan kontrol. Perbaikan fungsi hidung ini juga menurunkan gejala asma serta kejadian asma akibat kegiatan jasmani. Histamin merupakan salah satu mediator yang penting pada asma alergik. Sebagai antagonis reseptor H1, antihistamin mempunyai pengaruh pada fungsi paru. Penelitian menunjuk- kan bahwa obat ini dapat memperbaiki gejala dan fungsi paru pada asma. Oleh karena itu, tidak seperti pada kortikosteroid intranasal, perbaikan yang didapat karena antihistamin pada asma tidak hanya disebabkan perbaikan saluran napas bagian atas. Penelitian pada generasi pertama antihistamin menunjukkan sangat sedikit efek perbaikannya pada asmadan efek sampingnya sangat mengganggu; oleh karena itu antihistaminhistamin yang dikatakan lebih aman dan bekerja lebih spesifik terhadap reseptor H1, menjadi menarik untuk dipelajari kembali. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa terfenadin dapat mengurangi gejala asma serta kebutuhan bronkodilator dan sedikit memperbaiki fungsi paru, tetapi memerlukan dosis sangat besar yaitu 240-540 mg sehari. Sedangkan penelitian lain melaporkan bahwa cetirizin 15-20 mg sehari

dapat mengurangi gejala rinitis dan asma, namun perbaikan fungsi paru tidak berbeda bermakna dibanding plasebo. Perlu dikemukakan bahwa pemakaian anti- histamin perlu mempertimbangkan selain kefektifannya juga keamanan. Jika mungkin untuk pengobatan alergi dipakai antihistamin generasi kedua yang selain efektif, aman dan dapat dikatakan hampir bebas efek samping. Sejauh ini obat-obat yang memenuhi kriteria tadi adalah loratadin, setirizin dan feksofenadin. Ketiga obat tersebut selain mempunyai efek antihistamin juga anti-inflamasi alergik, artinya dapat menghambat migrasi eosinofil. Seperti diketahui eosinofil berperanpenting pada inflamasi alergi yang terjadi pada rinitis alergik maupun asma. Penelitian menunjukkan bahwa ketiga antihistamin tadi mampu menekan produksi atau penampilan ICAM-1 (inter-cellular adhesion molecule-1) pada sel endotel kapiler, yang diperlukan untuk migrasi eosinofil dari kapiler ke jaringan. Konsekuensi pemakaian obat yang mempunyai aksi antihistamin maupun anti-inflamasi adalah berkurangnya gejala dan menurunnya reaktivitas jaringan terhadap zat-zat yang memprovokasinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antihistamin khususnya generasi kedua ber- manfaat pada rinitis yang disertai asma. Pada penelitian paralel acak buta ganda terkontrol, kembali Sebuah penelitian mengamati pemberian terfenadin secara kon- tinyu selama 12 bulan pada anak-anak sekolah yang menderita rinokonjungtivitis dan atau asma intermiten ringan yang alergi tungau debu rumah. Dibanding dengan pasien yang mendapat plasebo, pasien yang mendapat terapi terfenadin 1 mg/kgBB menunjukkan perbaikan gejala alergi secara bermakna (p< 0,003) dan penurunan inflamasi terlihat dari infiltrasi sel radang dan ekspresi ICAM-1 di hidung (p


Top Related