Download - Angkak Cla
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan dari pengukuran aktivitas antimikrobia pada angkak dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Aktivitas Antimikrobia pada Angkak
Kelompok
Gambar Keterangan
D1Warna: cokelat tua
Bau: busukKenampakan: ada sedikit warna merah
D2
Warna: putihBau: bau jamur
Kenampakan: berjamur
D3Warna: cokelat muda
Bau:busukKenampakan:ada warna merah sedikit
D4Warna: kuning muda
Bau: busukKenampakan:berjamur dan ada sedikit
warna merah
D5 Warna:kuning mudaBau:busuk
Kenampakan:sedikit berjamur dan terdapat sedikit warna merah
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan angkak pada tabel 1. Dapat dilihat
bahwa untuk kelompok D1 angkak berwarna cokelat tua, berbau busuk dan
memiliki kenampakan sedikit berwarna merah. Untuk kelompok D2 angkak
berwarna putih, berbau jamur dan terdapat jamur. Untuk kelompok D3
didapatkan angkak berwarna coklat muda, berbau busuk dan terdapat sedikit
warna merah. Pada kelompok D4 diperoleh angkak berwarna kuning mud,
berbau busuk dan terdapat jamur serta terdapat sedikit warna merah. Untuk
kelompok D5 angkak berwarna kuning muda, berbau busuk dan terdapat sedikit
jamur dan sedikit warna merah.
2. PEMBAHASAN
Menurut pendapat dari Winarno & Titi (1994) angkak atau yang sering disebut
sebagai fermentasi beras merah merupakan suatu produk fermentasi yang berasal
dari beras dengan menggunakan jamur Monascus purpureus, dimana menghasilkan
pigmen merah atau kuning yang dapat larut didalam air, etanol atau metanol dan
juga memiliki sifat kestabilan tinggi, mudah dicerna dan tidak beracun. Biasanya,
angkak diaplikasikan sebagai bahan pewarna pada ikan, beras, wine, keju dari
kedelai dan daging asin. Keuntungan dari penggunaan angkak adalah bahan
dasarnya yang mudah diperoleh, warna yang dihasilkan relatif konsisten, zat
warnanya dapat larut dalam air, warna yang dihasilkan dapat bercampur dengan
pigmen lain dan bahan-bahan makanan serta aman digunakan sebagai pewarna
makanan. Selain itu angkak juga memiliki daya kelarutan yang tinggi, stabil, mudah
dicerna dan tidak bersifat karsinogenik. Selain itu dari jurnal Red Yeast Rice
mengatakan bahwa angkak terbuat dari cultur Monascus purpureus dengan beras.
Menurut Endang et al, (1993) dikarenakan angkak memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai zat pewarna alami, maka dari angkak digunakan sebagai
alternatif pengganti zat-zat pewarna sintetis dimana zat tersebut diketahui bersifat
karsinogenik. Selain itu kandungan yang terdapat dalam angkak menurut Steinkraus
(1983) berupa air (7-10%), pati (50-53%), nitrogen (2,4-2,6%), abu (0,9-1%), lemak
(6-7%), dan protein kasar (15-16%).
Dalam praktikum ini digunakan jamur Monascus purpureus yang menghasilkan
Warna merah. Steinkraus (1983) menyatakan bahwa Monascus purpureus memiliki
keunikan, yaitu memiliki kemampuan untuk menghasilkan cairan granular melalui
ujung hifa. Dimana di saat muda, cairan yang dikeluarkan tidak berwarna, namun
secara perlahan-perlahan akan berwarna merah-kekuningan atau merah-oranye.
Selain itu pendapat dari Hesseltine (1965) bahwa produksi pigmen Monascus
purpureus tersebut tidak hanya pada cairan yang dikeluarkan tetapi juga pada bagian
dalam hifa. Dimana warna merah tersebut dapat mendifusi kedalam substrat. Warna
merah tersebut terdiri dari 2 macam pigmen yaitu Monascorubrin (C22H24O5) dan
kuning yaitu Monascoflavin (C17O22O4). Menurut Carvalho (2005), Monascus
merupakan jenis mikroorganisme yang memproduksi mycotoxin, seperti citrinin
yang merupakan substansi nephrotoxic di mana memiliki aktivitas antibiotik. Lebih
lengkapnya, citrinin merupakan metabolit jamur yang memiliki efek antibiotik dan
antibakterial, di mana efek ini telah diujikan pada bakteriofage, sarcomas, protozoa,
sel-sel binatang, dan sel-sel tanaman tingkat tinggi. Citrinin memiliki karakter
berasam tinggi, tidak larut air, larut pada alkohol panas, dioksana, dan pelarut non-
polar lainnya. Citrinin ini memiliki titik leleh 175ºC and berat molekul 250,25
g/mol.
Pada percobaan ini digunakan beras sebagai bahan pembuatan angkak. Menurut
Timotius (2004) hal ini dikarenakan beras merupakan substrat terbaik untuk
menumbuhkan kultur Monascus sp. Dimana dapat menghasilkan pigmen merah. Hal
ini dikarenakan kandungan nutrisi beras yang kompleks dan kaya akan karbohidrat.
Selain itu, struktu beras akan memudahkan kultur membentuk hifa dan melakukan
penetrasi ke dalam substrat dan juga mempercepat difusi pigmen. Menurut Hayne
(1987) pigmen dari Monascus diproduksi secara tradisional pada substrat padat,
seperti beras atau jagung, yang kemudian dikeringkan, ditumbuk dan dicampurkan
pada makanan langsung. Dalam substrat padat terjadi derpresi pigmen, dikarenakan
difusi pigmen intraseluler ke permukaan substrat padat. Pada substrat cair, pigmen
biasanya tetap tinggal dalam miselium dikarenakan kelarutannya rendah terutama
jika pH mediumnya rendah.
Penggunaan mikroorganisme sebagai penghasil pigmen lebih menguntungkan
dikarenakan dapat ditumbuhkan dalam waktu yang relatif singkat, zat warna dapat
diproduksi dalam jumlah besar ,tidak membutuhkan tempat yang luas, dan juga
prosesnya dapat dikontrol (Rahayu, 1993). Menurut Steinkraus (1983) angkak
merupakan produk zat pewarna yang tidak berbahaya dikarenakan angkak
merupakan zat produk pewarna alami yang dapat digunakan dalam produk-produk
makanan. Didalam angkak biasanya banyak ditemukan enzim-enzim maltase,
invertase, lipase, -glikosidase, oksidase dan ribonuklease.
Menurut Hendry & Hougthon (1996) angkak memiliki 3 jenis pigmen yang dapat
dihasilkan, yaitu kuning, merah, dan ungu. Dimana pigmen kuning dan merah
berasal dari metabolik sekunder normal dari jamur, sedangkan pigmen ungu
dihasilkan dari modifikasi secara kimiawi atau enzimatis dari pigmen merah dan
kuning. Pigmen–pigmen dari Monascus ini dapat direaksikan dengan gula amino,
asam poliamino, alkohol amino, etanol, heksamin, peptida, protein asam amino,
bovine serum albumin, kasein, gluten, asam nukleat, asam amino terseleksi, RNA,
hasil reaksi pencoklatan asam-gula amino, asam amino asetat dan asam amino
benzoat. Adanya penambahan senyawa pada pigmen biasanya bertujuan untuk
menghasilkan warna turunan dengan tingkat kelarutan dalam air yang lebih tinggi
dan lebih stabil terhadap panas dan cahaya.
Menurut pendapat dari Rahayu et al. (1993) warna merupakan salah satu indikator
yang menentukan mutu dari suatu bahan makanan. Dimana warna pada bahan dibagi
menjadi dua yaitu zat warna alami dan zat warna sintetis. Biasanya zat warna alami
makanan lebih menarik sehingga lebih disukai oleh konsumen. Sedangkan untuk zat
warna sintetis lebih banyak digunakan dikarenakan lebih murah, lebih mudah
didapat, beraneka ragam, memiliki sifat stabil dan lebih tahan lama. Hanya saja
akhir-akhir ini penggunaan zat warna sintetis dalam bahan pangan mulai
dipertanyakan keamanannya. Maka dari itu mulailah dicari alternatif untuk
penggunaan zat warna dalam bahan pangan yang dihasilkan dari berbagai jenis
tanaman, misalnya kunyit, daun katuk, wortel, pacar cina dan juga pigmen alami
yang dapat dihasilkan oleh mikroorganisme. Dimana salah satu mikroorganisme
penghasil pigmen yang potensial adalah jamur Monascus purpureus yang biasnaya
digunakan untuk menghasilkan angkak. Menurut jurnal Constituents of Red Yeast
Rice, a Traditional Chinese Food and Medicine pigment merah pada angkak
memberi karakteristik warna tersendiri, selain itu penggunaan Monascus purpureus
masih banyak digunakan dalam produksi pangan di Jepang.
Dalam praktikum pembuatan angkak ini bahan dasar yang digunakan adalah beras
yang telah direndam dalam air selama 24 jam lalu ditiriskan. Menurut Winarno
(1994) proses perlakuan perendaman beras bertujuan agar air dapat masuk kedalam
beras dan meningkatkan aktivitas air dalam beras tersebut. Dikarenakan beras yang
kering memiliki aktivitas air yang rendah sehingga tidak dapat ditumbuhi oleh
mikroorganisme, seperti Monascus purpureus, hanya saja dengan dilakukannya
perendaman beras maka aktivitas air dari beras akan meningkat sehingga
mikroorganisme yang dikehendaki dapat tumbuh. Selain itu Winarno (1994) juga
mengatakan bahwa mikroba membutuhkan air untuk tumbuh dan melakukan proses
metabolisme dalam tubuhnya.
Setelah itu dari beras tersebut diambil 25 gram dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 250 ml kemudian ditutup dengan kapas dan plastik. Kemudian secara
terpisah disiapkan larutan ZnSO4 0,1% sebanyak 30 ml. Penambahan larutan ZnSO4
0,1% ini digunakan agar pigmen yang dihasilkan lebih banyak. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat dari Hendry & Hougton (1996) bahwa dengan adanya penambahan
unsur Zn ke dalam media produks, maka akan menghasilkan warna merah 2,5
kalinya dan warna kuning 2 kalinya. Maka dari itu semakin tinggi konsentrasi
ZnSO4 0,1 %, maka angkak yang dihasilkan seharusnya lebih banyak. Beras
didalam erlenmeyer dan juga larutan ZnSO4 0,1% disterilkan dengan menggunakan
autoklaf pada suhu 121°C selama 30 menit hingga dicapai kondisi steril sekaligus
memberi efek pemasakan pada beras. Sterilisasi yang digunakan tergolong dalam
sterilisasi basah, dimana hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Hadioetomo
(1993) yang mengatakan bahwa terdapat tiga cara utama yang biasa digunakan
dalam sterilisasi yaitu dengan penggunaan panas, penggunaan bahan kimia, dan juga
dengan penyaringan atau filtrasi. Biasanya sterilisasi basah dilakukan dengan
menggunakan autoklaf atau sterilisator uap yang mudah diangkat dengan
menggunakan uap air jenuh bertekanan pada suhu 1210C selama 15 menit.
Kemudian didinginkan hingga mencapai suhu ruang, lalu nasi diinokulasi secara
aseptis dengan menggunakan Monascus purpureus. Kemudian ditambahkan dengan
larutan ZnSO4 0,1% sebanyak 0,5 ml, lalu diinkubasi selama 2 minggu dengan suhu
300C hingga terbetuk pigmen merah yang merata dan beberapa hari sekali harus
dikocok agar terjadi aerasi bagi jamur untuk mencegah terjadinya pertumbuhan
miselia yang berlebihan. Menurut Hadioetomo (1993) proses inkubasi bertujuan
untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan juga optimal bagi pertumbuhan
mikroorganisme yang ingin ditumbuhkan sehingga pertumbuhan dari
mikroorganisme tersebut akan semakin cepat dan juga mendapatkan hasil yang
maksimal. Setelah beras disterilkan dengan menggunakan autoklaf, maka perlu
didinginkan terlebih dahulu hingga mencapai suhu ruang agar pembuatan angkak
dapat optimal. hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Steinkraus (1983), yang
mengatakan bahwa suhu optimum yang digunakan dalam memproduksi pigmen
adalah 27ºC dengan kisaran antara 20–37ºC dan juga dibutuhkan kondisi lingkungan
yang lembab atau cukup lembab (berair).
Namun selama waktu inkubasi selama 2 minggu Setelah inkubasi selama 2 minggu
tidak terdapat warna merah yang merata pada beras yang digunakan, hanya terdapat
sedikit warna merah pada beras. Hasil yang diperoleh dari Tabel 1. Bahwa untuk
kelompok D1 angkak berwarna cokelat tua, berbau busuk dan memiliki kenampakan
sedikit berwarna merah. Untuk kelompok D2 angkak berwarna putih, berbau jamur
dan terdapat jamur. Untuk kelompok D3 didapatkan angkak berwarna coklat muda,
berbau busuk dan terdapat sedikit warna merah. Pada kelompok D4 diperoleh
angkak berwarna kuning mud, berbau busuk dan terdapat jamur serta terdapat
sedikit warna merah. Untuk kelompok D5 angkak berwarna kuning muda, berbau
busuk dan terdapat sedikit jamur dan sedikit warna merah. Kegagalan dalam
pembuatan angkak dalam praktikum ini dapat dikarenakan kondisi yang tidak steril
pada saat melakukan inokulasi kultur Monascus purpureus ke dalam beras. Dimana
hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Hadioetomo (1993), yang mengatakan
bahwa mikroorganisme luar yang tidak dikehendaki dapat masuk melalui kontak
langsung dengan permukaan atau tangan yang tercemar, tersentuhnya media atau
permukaan tabung bagian dalam oleh benda yang belum disterilkan, maupun
melalui aliran udara. Untuk mencegah terjadinya cemaran biakan murni, maka perlu
digunakan teknik aseptik yang sekaligus juga akan dapat melindungi dari infeksi diri
dan juga melindungi orang-orang di sekeliling dari pencemaran di laboratorium.
Munculnya jamur dapat dikarenakan adanya kontaminasi dari mikroba-mikroba
lain. Dimana penyebab utama kontaminasi dalam proses pembuatan angkak tidak
dilakuakan secara aseptis. Selain itu pembentukan angkak yang tidak sempurna
dapat dikarenakan pada waktu inkubasi kurang lama sehingga terjadi reinfeksi
selama inokulasi. Dimana menurut Hadioetomo (1993) rekontaminasi atau reinfeksi
biasanya dapat terjadi melalui kontak langsung pada media dan juga dikarenakan
metode inokulasi yang kurang aseptis.
Menurut (Rahayu et al., 1993) keberhasilan dalam pembuatan angkak tergantung dari
pertumbuhan jamur Monascus purpureus, dimana apabila Monascus purpureus tumbuh
dengan optimal maka produk angkak yang dihasilkan akan menghasilkan pigmen yang
maksimal. Dimana suhu optimal pertumbuhan Monascus purpureus adalah 300C, dengan
pH optimum 5-6, kelembaban udara maksimum 50%, dan juga pengerjaan secara aseptis.
Selain itu Gaman & Sherington (1994) menambahkan pula beberapa faktor-faktor
yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya dalam pembuatan angkak, yaitu :
Nutrisi
Semua mikroorganisme membutuhkan nutrien yang akan menyediakan energi,
nitrogen, vitamin dan mineral.
Waktu
Dalam kondisi optimal, hampir semua bakteri dapat memperbanyak diri dengan
pembelahan biner sekali setiap 20 menit.
Kelembaban
Bakteri biasanya membutuhkan pertumbuhan terbaik dan perbanyakan diri
tercepat.
O2
Ketersediaan O2 dapat mempengaruhi pertumbuhan dari mikroorganisme,
dikarenakan hampir sebagian besar dari mikroorganisme bersifat aerob.
Suhu
Suhu optimal yang digunakan biasanya dapat memberikan pertumbuhan terbaik
dan perbanyakan diri tercepat.
pH
Hampir sebagian besar mikroorganisme dapat tumbuh baik jika pH antara 6,6
dan 7,5 (netral).
3. KESIMPULAN
Angkak merupakan suatu produk fermentasi yang berasal dari beras dengan
menggunakan jamur Monascus purpureus yang menghasilkan pigmen merah.
Warna merah tersebut terdiri dari 2 macam pigmen yaitu Monascorubrin
(C22H24O5) dan kuning yaitu Monascoflavin (C17O22O4).
Penambahan larutan ZnSO4 0,1% ini berguna untuk membuat pigmen yang
dihasilkan lebih banyak.
Penambahan larutan ZnSO4 bertujuan agar pigmen yang dihasilkan lebih
banyak
Suhu optimal pertumbuhan Monascus purpureus adalah 300C, dengan pH
optimum 5-6, kelembaban udara maksimum 50%.
Faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dari Monascus purpureus yaitu
pH, mineral, suhu, kelembaban, dan juga perlakuan aseptis.
Gagalnya pembuatan angkak dikarenakan adanya rekontaminasi atau reinfeksi
dan juga tidak ada proses pengadukan atau aerasi.
Suhu optimum yang digunakan memproduksi pigmen adalah 27ºC dengan
kisaran antara 20–37ºC.
Inkubasi bertujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan juga optimal
bagi pertumbuhan mikroorganisme yang ingin ditumbuhkan
Semarang, 19 April 2013
Praktikan, Asisten Dosen,
Clara Alverina Tanaka Denny Indaryanto
11.70.0029 Cornelia Nindya
4. DAFTAR PUSTAKA
Carvalho, J. C. D. ; B. O. Oishi ; A. Pandey ; & C. R. Soccol. (2005). Biopigments from Monascus: Strains Selection, Citrinin Production and Color Stability. http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=s1516-89132005000800004
Endang,S; Rahayu; Utami & Haryati,E. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. PAU-Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.
Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Gadjah Mana University Press. Yogyakarta.
Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Gramedia. Jakarta.
Hendry, G. A. F. & J. D. Houghton. (1996). Natural Foods Colorants. Chapman & Hall. London.
Hesseltine, C.W. (1965). A Milenium of Fungi, Food and Fermentation. Mycologia.
Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Jiyuan Ma, Yongguo Li, Qing Ye, Jing Li, Yanjun Hua, Dajun Ju, Decheng Zhang,Raymond Cooper,* and Michael Chang. (2000). Constituents of Red Yeast Rice, a Traditional Chinese Food and Medicine. Pharmanex Inc. Sierra Point Parkway, Brisbane, California 94005.
National Center for Complementary and Alternative Medicine. (2012). Red Yeast Rice. U.S. Department of Health and Human Services.
Rahayu.; R. I. Utami.; Endang, S. ; & E. Harjati. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. PAU-Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta.
Steinkraus, H. (1983). Indigenous Fermented Food. Marcel Dekker. New York.
Winarno, F.G & S.R. Titi. (1994). Bahan Tambahan Untuk Makanan dan Kontaminan. Sinar Harapan. Jakarta.
5. LAMPIRAN
5.1. Laporan Sementara
5.2. Jurnal