Download - Anemia Ckd Niken
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
angka insidensi dan prevalensi Diabetes Melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia.
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International
Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM
dari 7 juta menjadi 12 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka
prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.1
Diabetes melitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab utama stadium
akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang diawali dengan
nefropati diabetikum.2 Angka kejadian nefropati diabetikum pada diabetes melitus tipe 1
dan 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah
pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1. Pasien diabetes melitus tipe 2
dengan End-Stage Renal Disease (ESRD) jumlahnya saat ini meningkat karena meningkatnya
pula prevalensi diabetes melitus tipe 2 dan secara progresif akan menurunkan angka
kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah.3
Di Amerika, nefropati diabetikum merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di
antara semua komplikasi diabetes mellitus, dan penyebab kematian tersering adalah karena
komplikasi kardiovaskular.4 Penelitian di luar negeri pada penderita diabetes melitus tipe 1
menyatakan bahwa 30-40% dari penderita ini akan berlanjut menjadi nefropati diabetikum
dini dalam waktu 5-15 tahun setelah diketahui menderita diabetes. Apabila telah berlanjut
menjadi nefropati diabetikum, maka perjalanan penyakit tidak dapat dihambat lagi. Dengan
demikian setelah 20-30 tahun menderita diabetes maka sekitar 40-50% akan mengalami
gagal ginjal yang membutuhkan cuci darah dan transplantasi ginjal.5
1
BAB II
ILUTRASI KASUS
Pasien berobat ke IGD Tanggal : 1 April 2013
No rekam Medik : 02-40-11
Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 67 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Sudah menikah
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Marga Catur, Lampung Selatan
Riwayat Penyakit (Auto dan alloanamnesis)
Keluhan Utama : Pusing dan berkunang-kunang sejak ± 4hari SMRS
Keluhan Tambahan : Sesak napas, badan terasa lemas, kedua kaki membengkak, BAK hanya
sedikit jumlahnya ± 3 kali/hari, riwayat DM (+), riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke IGD RSUD Bob Bazar diantar oleh anak dan cucunya dengan keluhan kepala
terasa pusing dan berkunang-kunang sejak 4 hari SMRS. Pasien juga mengatakan merasa sesak
dan berat saat bernapas. Keluhan sesak ini sudah dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Badan terasa
lemas, kedua kaki sering terlihat membengkak terutama jika duduk terlalu lama. Keluhan
seperti demam, rasa mual dan muntah disangkal. BAK ± 3 kali/hari dengan jumlah sedikit-
sedikit, warna kuning jernih, BAB tak ada keluhan. Nafsu makan dalam batas normal.
2
Riwayat penyakit yang pernah diderita dahulu (RPD)
DM (sejak tahun 2006).
Hipertensi disangkal.
Riwayat maag disangkal.
Riwayat penyakit dalam keluarga (RPK)
Riwayat hipertensi (+) : kakak pasien.
Riwayat DM (+) : kakak dan adik kandung pasien.
Riwayat penyakit jantung/paru disangkal.
Riwayat penyakit ginjal disangkal.
Riwayat Kebiasaan
Tidak mengkonsumsi alkohol.
Tidak merokok.
Konsumsi makanan dengan gizi yang cukup (menurut pasien).
Pemeriksaan Fisik ( 1 April 2013 di IGD)
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : TD : 160/80 mmHg N : 78 x/menit
RR : 25 x/menit S : 36,7”C
Status Generalis :
Kepala : Normocephal, rambut putih beruban, simetris
Mata : CA +/+, SI -/-, refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm/3mm
Hidung : Deformitas (-), NCH (+/+)
Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir lembab
Leher : Simetris, KGB tidak teraba membesar, JVP 5-2 cmH2O
3
Thorak :
Paru : Retraksi suprasternal (+), pergerakan dada simetris, rhonki basah halus di kedua
basal paru, wheezing -/-.
Jantung: Tak tampak ictus cordis, ictus cordis teraba di ICS 5 linea axilaris anterior, S1-S2
reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen : Tampak cembung, supel, BU + Normal, NT (-), ascites (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai (+/+), CRT < 2 detik
Kulit : Tampak kering, eritema (-), ulkus (-)
Pemeriksaan penunjang :
(1 April 2013) : Hb : 7,6 g%
GDS : 145 mg/dL
(2 April 2013) : Hb : 8,0 g% Trombosit : 442.000
Leukosit : 10.000 Ureum/Creatinin : 32 / 5,0 mg/dL
GDS : 160 mg/dL
Diagnosis Kerja :
- Anemia
- Acute Lung Oedema
- Chronic Kidney Disease
Penatalaksanaan
Non medikamentosa :
- Posisi semi Fowler
- Monitoring tanda vital
- Oksigen 4 liter/menit
- Pasang DC
4
Medikamentosa :
- IVFD NaCl 0,9% 10 tetes/menit
- Ceftriaxon 1gr/24jam
- Ranitidine 1 amp/12jam
- Teranol 1 amp/12jam
- Nifedipine 1 x 5mg
- Furosemide 1 x 40mg
- Pro transfusi 2 kolf/hari
Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Follow Up
Tanggal 2 April 2013, di kelas II
S : Sesak (-), pusing +, rasa lemas berkurang, nafsu makan baik
O : TD : 140/80 mmHg, HR : 82 x/menit, RR : 21 x/menit, S : Afebris
Mata : CA +/+, SI -/-
Hidung : NCH (-)
Thoraks (Pulmo) : retraksi suprasternal (-), SN ves +/+, rh -/-, wh -/-
(Cor) : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Supel, BU (+) N, ascites (-)
Ekstremitas : edema tungkai +/+ (pitting)
Jumlah urine : ± 800cc/24jam
A : Anemia + DM tipe 2
P : IVFD NaCl 12 tetes/menit
Ceftriaxon 1gr/24jam
Ranitidine 1 amp/12jam
5
Ketorolac 1 amp/12jam
On transfuse 2 kolf/hari (extra furosemide 2ampul)
Ironyl 3 x 1 tab
Monitor balance cairan
6
BAB III
FORMAT PORTOFOLIO
Topik : Anemia kronik, acute lung oedema dan CKD
Tanggal (kasus): 1 April 2013 Presenter: dr. Niken Prabha Duhita
Tangal presentasi: Pendamping: dr. Yani Widowati
Tempat presentasi:
Obyektif presentasi:
√□ Keilmuan □ Keterampilan √ □ Penyegaran √ □ Tinjauan pustaka
√ □ Diagnostik √ □ Manajemen √ □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia √ □ Bumil
□ Deskripsi: Wanita, 67 th, pusing berkunang-kunang, sesak napas, oligouria, edema tungkai.
Pemeriksaan fisik didapati pasien anemis, takipnea, ditemukan rhonki basah halus di
kedua basal paru, napas cuping hidung (+), retraksi suprasternal, pitting edema kedua
tungkai.
□ Tujuan: Mengetahui tanda dan gejala, diagnosis dan penatalaksanaan anemia dan edema
paru pada ckd.
Bahan bahasan: √ □ Tinjauan pustaka □ Riset √ □ Kasus □ Audit
Cara membahas: □ Diskusi □ Presentasi dan diskusi √ □ E mail ‐ □ Pos
Data pasien: Nama: Ny. S No registrasi: 02-40-11
Nama RS : RSUD Bob Bazar Telp: - Terdaftar sejak: 03-2013
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis: Anemia dan CKD. Keluhan : pusing berkunang-kunang, sesak
napas, oligouria, edema tungkai. Pemeriksaan fisik didapati pasien anemis, takipnea,
ditemukan rhonki basah halus di kedua basal paru, napas cuping hidung (+), retraksi
suprasternal, pitting edema kedua tungkai.
2. Riwayat Pengobatan: Rutin kontrol gula darah dan konsumsi obat DM.
3. Riwayat kesehatan/Penyakit: Riwayat DM sejak tahun 2006.
7
4. Riwayat keluarga: Anak ketiga dari 7 bersaudara.
5. Riwayat pekerjaan: Os bekerja sebagai ibu rumah tangga.
6. Lain lain : ‐ -
Daftar Pustaka:
1. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011.
2. Ayodele, O.E., Alebiosu, C.O., Salako, B.L. Diabetic nephropathy—a review of the
natural history, burden, risk factors and treatment . Dalam: Journal National Medical
Association: 1445–54. 2004.
3. Ruggenenti, P and Remuzzi, G. Nephropathy of Type 1 and Type 2 Diabetes : Diverse
Pathophysiology, Same Treatment. Oxford Journals, 15(12), 1900-02. 2000.
4. Hendromartono. Nefropati Diabetik. In Aru W. Sudoyo, D. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. IV Ed. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
5. Molitch, M. E., DeFronzo, R. A., Franz, M. J., Keane, W. F., Mogensen, C. E., Parving,
H-H., Steffes, M. W. Nephropathy in Diabetes. Diabetes Care January, 2. 79-83. 2004.
6. Soman,SS and Soman,SA.2009.Diabetic Nephropathy.
http//emedicine.medscape.com/article/238946-overview. 2009.
7. Czekalski,S.2005.Diabetic Nephropathy and Cardiovascular Disease. Annales Academiae
Medicae Bialostocensis vol 50:122-125.
8. Schena,FP and Gesualdo,L.2005.Pathogenetic Mechanism of Diabetic Nephropathy. J
Am.Soc.Nephrol, America 16:S30-S33.
9. Obineche,EN and Adem,A. 2005. Update in Diabetic Nephropathy. Int J Diabetes &
Metabolism 13: 1-9
10. Arsono, Soni .(2005). Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal
Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo Purwokerto).
Jurnal Epidemiologi
11. Sukandar,Enday.2006. Nefrologi klinik edisi III. Pusat informasi ilmiah bagian ilmu
penyakit dalam kedokteran UNPAD/R.S. Dr. Hasan Sadikin Bandung.
12. Gilbert,Richard E and Marsden,Philip A.2008.Activated protein C and diabetic
nephropathy. New England journal of medicine 358;15;1628-1630.Massachusetts medical
8
society.England.
13. Sofa, Chasani. 2007. Naskah Lengkap Diabetes Melitus Ditinjau dari Berbagai Aspek
Penyakit Dalam. Semarang, CV. Agung
14. Suwitra K. Penyaki Ginjal Kronik. Dalam :Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi I, dkk,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid I. Jakarta ;2006
15. Mulloy L.L., Talavera F., Aronoff G.R.Chronic Kidney Disease. Diunduh dari
http://www.emedicinehealth.com/chronic_kidney_disease/page3.htm. Diakses tanggal 8
Juni 2012.
16. Sylvia A price, Lorraine M Wilson. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.
Volume 2. Jakarta: EGC. 2005
Hasil pembelajaran:
1. Diagnosa Anemia dan Edema Paru
2. Diagnosa Chronic Kidney Disease
3. Tatalaksana Anemia dan Edema Paru
4. Tatalaksana CKD dengan HT
5. Edukasi penyebab, faktor resiko, penatalaksanaan serta komplikasi
1. “Subyektif” Pasien datang dengan keluhan pusing dan berkunang-kunang, napas terasa
sesak dan berat. Keluhan tersebut dapat muncul akibat kurangnya suplai oksigen ke
jaringan. Hal ini dapat terjadi karna adanya gangguan pada organ paru, jantung maupun
ginjal yang bisa terjadi akibat suatu komplikasi dari penyakit metabolik. Kemudian
pasien juga mengeluh badan terasa lemas serta kedua kaki sering membengkak.
Keluhan lemas juga bisa terjadi akibat kurangnya kadar oksigen darah, dimana oksigen
itu sendiri yang membantu proses metabolisme anaerob yang nantinya menghasilkan
suatu energi. Edema tungkai yang dialami pasien bisa disebabkan adanya gangguan
fungsi jantung, ginjal, sistem limfatik dan proses infeksi. Keluhan seperti demam, rasa
mual dan muntah disangkal sehingga dapat menyingkirkan adanya suatu infeksi dan
pusing yang dialami pasien kemungkinan bukan akibat gangguan sistem vestibular.
Pasien mengatakan BAK ± 3 kali/hari dengan jumlah sedikit-sedikit. Keluhan oliguria ini
dapat timbul pada keadaan dehidrasi, gangguan fungsi ginjal serta saluran kemih. Pasien
9
mempunyai riwayat DM sejak 2006 begitupun dengan kakak dan adik kandung pasien.
2. “Objektif” Hasil pemeriksaan fisik didapati pasien tampak anemis, takipnea, ditemukan
rhonki basah halus di kedua basal paru, napas cuping hidung (+), retraksi suprasternal,
pitting edema kedua tungkai. Adanya takipnea, anemis serta kerja otot-otot napas
tambahan (retraksi) mengarahkan kurangnya suplai oksigen diakibatkan kurangnya
factor pengikatnya yaitu hemoglobin (Hb). Keadaan anemia ini dapat disebabkan oleh
adanya perdarahan (hipovolemia), gangguan fungsi ginjal, kelainan darah maupun
penyakit kronik. Selain itu ditemukan adanya ronki basah halus menunjukkan adanya
edema paru yang juga bisa menyebabkan timbulnya sesak pada pasien. Edema paru
sendiri bisa disebabkan adanya gangguan pada paru, jantung maupun gangguan pada
fungsi ginjal. Didapatkan juga pitting edema pada kedua tungkai. Hal ini mengarahkan
kemungkinan adanya gangguan fungsi jantung maupun ginjal. Pada pasien ini
kemungkinan besar adanya gangguan fungsi ginjal, dimana dari hasil pemeriksaan fisik
fungsi jantung masih dalam batas normal dimana tidak didapatkan adanya bunyi
tambahan (murmur ataupun gallop) yang didukung juga dari anamnesa tidak didapatkan
manifestasi pada gagal jantung.
3. “Assessment”
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan korelasi pasien kemungkinan besar
menderita chronic kidney disease (CKD) yang terjadi akibat komplikasi DM sejak tahun
2006. CKD inilah yang menimbulkan keadaan akut yang saat ini dialami pasien yaitu
berupa anemia dan edema paru. CKD adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3
bulan atau lebih, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti
kelainan pada urinalisis, dengan penurunan laju filtrasi glomerulus atau pun tidak.
Hiperglikemik menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung atau melalui modifikasi
hemodinamik. Hiperglikemik kemungkinan juga secara langsung meningkatkan produksi
vasodilator prostaglandin yang dapat berkontribusi untuk terjadinya hiperperfusi ginjal,
hipertensi intraglomerulus, dan hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari
mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal, dimana saat jumlah nefron
mengalami pengurangan progresif, glomerulus akan melakukan kompensasi dengan
10
meningkatkan filtrasi nefron yang masih sehat dan pada akhirnya nefron yang sehat
menjadi sklerosis. Selain itu kondisi hipoksia yang persisten juga akan mengakibatkan
terjadinya vasodilatasi nefron-nefron yang masih utuh dan terjadinya sklerosis sehingga
timbullah glumerulosklerosis yang meningkatkan hiperfiltrasi ginjal secara terus
menerus. Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium,
yaitu penurunan cadangan ginjal, insufisiensi ginjal, dan penyakit ginjal stadium akhir.
Gambaran klinik nefropati diabetik sangat bervariasi; dari keluhan ringan atau tanpa
keluhan dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan rutin laboratorium sampai timbul
azotemia dan hipertensi. Gambaran klinis yang timbul antara lain proteinuria
asimtomatis yang merupakan tanda permulaan nefropati diabetik, timbulnya intermiten
selama beberapa tahun dan akhirnya menetap disertai proteinuria masif. Bila telah
terjadi proteinuria masif dan berlangsung lama selalu diikuti oleh gambaran klinik
lainnya seperti sembab dan hipertensi.
4. ”Plan”
Diagnosis :
Ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis serta hasil laboratorium yang mengarah pada
diagnosis Anemia, Edema Paru dan Chronic Kidney Disease (CKD).
Pengobatan :
Non medikamentosa :
- Posisi semi Fowler
- Monitoring tanda vital
- Oksigen 4 liter/menit
- Pasang DC
Tatalaksana awal pada pasien saat datang adalah mengurangi sesak yang dialami. Maka
dari itu pasien diposisikan setengah duduk (Semi Fowler) serta dipasang kanul O2 4
liter/menit untuk membantu memenuhi demand O2 terutama otak.
Medikamentosa :
- IVFD NaCl 0,9% 10 tetes/menit
- Ceftriaxon 1gr/24jam
11
- Ranitidine 1 amp/12jam
- Teranol 1 amp/12jam
- Nifedipine 1 x 5mg
- Furosemide 1 x 40mg
- Pro transfusi 2 kolf/hari
Kemudian pasien dianjurkan rawat inap agar dapat dilakukan pemberian terapi yang
tepat serta dilakukan evaluasi terhadap keadaan klinis pasien. Pasien diberikan cairan
rumatan isotonik, tetapi pemberian cairan pada pasien harus diawasi karena sangat
besar kemungkinan terjadinya overload cairan, dimana fungsi ginjal sudah terganggu.
Pemberian antibiotik sefalosporin pada pasien bertujuan untuk mengurangi/mencegah
risiko terjadinya infeksi nosokomial karena pasien dilakukan perawatan di rumah sakit.
Pastikan pasien tidak ada hipersensitivitas terhadap obat tersebut dengan dilakukan skin
test sebelumnya.
Pada pasien dilakukan pemberian nifedipin 5mg, nifedipin merupakan golongan
antagonis kalsium yang menyebabkan penurunan resistensi vascular. Tujuannya untuk
menurunkan tekanan darah pasien yang saat dilakukan pemeriksaan pertama kali
didapatkan 160/80 mmHg, walaupun pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi
sebelumnya. Furosemide 40 mg diberikan untuk mengurangi edema paru pada pasien,
dimana obat itu merupakan loop diuretik (diuretik kuat) sehingga cairan yang tertimbun
dalam interstisial paru akan diekskresikan melalui urin. Pada keadaan edema paru
seperti pada kasus ini baiknya dilakukan pemantauan keseimbangan cairan yang masuk
dan yang keluar seperti dilakukan pemasangan DC (tergantung kondisi klinis pasien).
Pada hasil laboratorium, pasien mengalami anemia (Hb= 8.0). Setelah dilakukan
konsultasi dengan SpPD, dianjurkan untuk dilakukan transfusi darah selama di ruangan
rawat 2 kolf/hari untuk menaikkan konsentrasi Hb darah agar kebutuhan O2 tetap
terjaga. Sedangkan menurut beberapa teori, sampai sekarang belum ditemukan obat-
obat khusus untuk nefropati diabetik. Pengobatan semata-mata simtomatis untuk
sembab, hipertensi, azotemia, dan memberantas infeksi saluran kemih dan ginjal
(pielonefritis) yang akan memperberat kelainan ginjal. Karena pasien mempunyai
12
riwayat DM, pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk mencegah
atau mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati. Pembatasan
protein merupakan hal yang penting. Protein dianjurkan sesuai dengan tingkatan
penurunan fungsi ginjal, diet protein diberikan 0,6-0,8 kg/kgBB per hari. Kemudian
pengendalian hipertensi. Penghambat enzim angiotensin-converting (ACE) sebagai terapi
tunggal atau kombinasi dengan antagonis kalsium non-dihydropiridine dapat
menurunkan tekanan darah dan mempunyai efek antiproteinuria disertai stabilisasi faal
ginjal. Diet rendah garam kurang dari 5 gram per hari penting untuk mencegah retensi
Na+ (sembab dan hipertensi) serta pembatasan cairan dan elektrolit. Pada pasien dengan
CKD juga harus mengatasi kemungkinan terjadinya hiperfosfatemia dengan cara :
a. Pembatasan asupan fosfat
b. Pemberian pengikat fosfat (Asam Folat dan B12)
c. Pemberian bahan kalsium memetik (CaCO3)
Indikasi dilakukannya hemodialisa, bila : LFG < 5 ml/menit, keadaan umum buruk dan
gejala klinis nyata, K serum > 6 mEq/L, ureum darah > 200mg/dl, pH darah < 7,1, anuria
berkepanjangan (> 5 hari), fluid overload.
Pendidikan :
Diberikan kepada pasien dan keluarga pasien agar pasien dan keluarga memahami
penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi, juga terapi yang harus dilakukan secara
bertahap.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
I. Nefropati Diabetik
A. Definisi
13
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.1 Sedangkan nefropati diabetikum
adalah suatu sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria
menetap pada minimal 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan, penurunan
kecepatan filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial
tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler.1,6
Nefropati diabetik juga didiagnosis ketika terjadi kenaikan persisten rata-rata ekskresi
albumin urin diatas 30mg/24 jam pada pasien dengan diabetes permulaan dan ketika nilai
rata-rata ekskresi albumin urin terus menerus naik diatas 300mg/24 jam (overt atau
sesudah diketahui secara klinik). Pada kedua keadaan tersebut dengan penambahan kriteria
kehadiran retinopati diabetik dan ketidakhadiran bukti karena penyakit ginjal lain atau
penyakit pada saluran ginjal seharusnya dapat dipenuhi. Keadaan tersebut sebagian besar
ditemukan pada gangguan kardiovaskuler dan kejadian mortalitasnya selalu diikuti dengan
persistensi mikroalbuminuria, tetapi bukti nyata ditemukannya makroalbuminuria pada
pasien diabetes tidak hanya ditemukan pada pasien dengan gagal ginjal stadium akhir tetapi
juga pada penyakit kardiovaskuler yang sebelumnya menderita Diabetes melitus tipe 2.7
Deskripsi awal mengenai nefropati diabetik dimulai oleh Kim-melstiel dan Wilson pada
tahun 1936. Beliau memperkenalkan adanya massa hialin yang mencurigakan dari 8 orang
yang meninggal akibat kegagalan faal ginjal dengan alasan kuat yang menganggap bahwa
lesi tersebut diakibatkan diabetes melitus. Sehingga nefropati diabetik sering disebut
sindrom Kimmelstiel-Wilson atau glomerulonefritis interkapiler. Pada awalnya, pasien
memperlihatkan hiperfiltrasi, ditandai dengan nilai LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) yang
tinggi, kira-kira dua kali dari nilai normal dan adakalanya dengan kejadian
mikroalbuminuria.8
B. Regulasi Hiperglikemik dan Etiopatogenesis
1. Regulasi Hiperglikemik
14
Hiperglikemik menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung atau melalui
modifikasi hemodinamik. Modifikasi hemodinamik ini akan menginduksi aktivasi protein
kinase C, meningkatkan produksinya dan menambah glikosilasi serta sintesis
diasilgliserol (DAG). Sebagai tambahan, keadaan tersebut responsif terhadap perubahan
hemodinamik seperti hiperfiltrasi pada glomerulus dan mikroalbuminuria. Perubahan
tersebut berkontribusi terhadap adanya stimulasi abnormal komunitas sel ginjal yang
memproduksi lebih banyak TGF-β1.8 Pengangkutan glukosa oleh GLUT-1 dipengaruhi
oleh faktor pertumbuhan yakni TGF-β1, yakni faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh
sel mesangial dan berfungsi untuk meningkatkan stimulasi pemasukan glukosa. Faktor
pertumbuhan ini meningkatkan regulasi GLUT-1, yang menginduksi dan meningkatkan
pengangkutan glukosa intraseluler dan pengambilan glukosa. TGF-β1 menyebabkan
penguatan deposisi protein matriks ekstraseluler (kolagen tipe I, IV, V dan VI, fibronektin
dan laminin) pada tingkat glomerulus, hal tersebut menginduksi penebalan membran
dasar glomerulus.8
Hiperglikemik kemungkinan juga secara langsung meningkatkan produksi vasodilator
prostaglandin yang dapat berkontribusi untuk terjadinya hiperperfusi ginjal, hipertensi
intraglomerulus, dan hiperfiltrasi. Nitric oxide (NO) dan Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
diduga merupakan vasodilator yang menginduksi perubahan hemodinamik yang
memacu terjadinya hiperfiltrasi diabetik.9 Kelainan atau perubahan terjadi pada
membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan ini
akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi
perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang ditandai
dengan timbulnya albuminuria. Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari mekanisme
patogenik dalam laju kerusakan ginjal, dimana saat jumlah nefron mengalami
pengurangan progresif, glomerulus akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan
filtrasi nefron yang masih sehat dan pada akhirnya nefron yang sehat menjadi sklerosis.
Peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetikum kemungkinan disebabkan
oleh dilatasi arteriol aferen.10 Teori lain menjelaskan bahwa peningkatan glukosa
intraseluler akan meningkatkan formasi dari produk penambahan glikosilasi akhir (AGEs)
15
dengan menggunakan glikosilasi non-enzimatik ataupun protein intra dan ekstraseluler.
Dengan adanya AGEs menunjukkan perlekatan protein (kolagen,protein matriks
ekstraseluler), meningkatkan aterosklerosis, memperlihatkan disfungsi glomerulus,
menginduksi disfungsi sel endotel, serta perubahan struktur dan fungsi matriks
ekstraseluler.9
2. Teori Etiopatogenesis
a. Abnormalitas Struktur
Peningkatan tekanan intraglomerulus,hilangnya glikosaminoglikan pada
membran dasar dan kemudian akan meningkatkan porus membran dasar yang
semuanya akan berperan dalam albuminuria. Tiga bentukan utama histopatologis
dapat kita amati pada nefropati diabetik; glomerulosklerosis, keterlibatan vaskuler
dan penyakit tubulointerstisium.9 Podosit melalui tonjolan pada kakinya berperan
dalam mendukung kapiler glomerulus, penyangga tekanan intraglomerulus dan
merupakan lapisan akhir yang berperan sebagai pembatas (buffer) jalannya protein
melewati glomerulus kedalam ruang urinaria (urinary space). Menurut White (2002)
pada penderita diabetes ditemukan kelainan morfologi podosit. Processus kaki
podosit mendatar dan terhapus, kondisi ini merupakan tanda kerusakan pada
podosit. Podosit tidak dapat beregenerasi sehingga hilangnya kaki podosit tidak
dapat dikompensasi.9
Perubahan-perubahan morfologi dari kapiler glomerulus menandakan adanya
kelainan yang diakibatkan perubahan metabolisme sistemik karena efek
hiperglikemik pada penyakit diabetes mellitus. Perubahan histopatologi menurut
sukandar (2006) merupakan dasar dari gambaran klinik nefropati diabetik.11
Perubahan histopatologi yang terdapat pada nefropati diabetik adalah :11
a. Penebalan membran basal kapiler basal glomerulus
b. Membran basal lebih porotis terhadap glikoprotein
c. Penimbunan atau deposit endapan fibrin
d. Iskemi ginjal
e. Gangguan faal tubulus ginjal
16
f. Hiperglikemia merupakan faktor predisposisi untuk infeksi saluran
kemih dan ginjal (pielonefritis).
Gambar 1. Gambaran Glomerulus pada Pasien Nefropati Diabetik 12.
b. Abnormalitas Hemodinamik
Peningkatan tekanan intraglomerulus akan mempercepat kerusakan glomerulus
secara langsung dan dengan ditemukannya proteinuria menandakan secara tidak
langsung proses pengrusakan ginjal.4 Sebuah penelitian yang dilakukan Zatz dkk
17
(1986) mengindikasikan bahwa peningkatan tekanan intraglomerulus berkaitan
dengan konstriksi relatif arteri glomerulus eferen. Peningkatan tekanan
intraglomerulus juga memperburuk perubahan seluler dan biokimia. Studi di tahun
2000 yang dilakukan Gruden,dkk mengenai efek peregangan sel mesangial yang
akan mengaktifkan p38 melalui mekanisme dependen protein kinase menginduksi
terbentuknya TGF-β1 dan ekspresi fibronektin cukup membuktikan bahwa
peningkatan tekanan glomerulus terkait dengan perburukan kerusakan seluler.9
Terdapat teori patogenesis nefropati diabetik menurut Viberti13 :
1. Hiperglikemia
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada penderita DM tipe 1
dapat menurunkan risiko perkembangan nefropati diabetik. Perbaikan kontrol
glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat mencegah kejadian mikroalbuminuria.
Keadaan mikroalbuminuria akan memperberat kejadian nefropati diabetik. Ini
menunjukkan bahwa nefropati dan komplikasi mikroangiopati dapat kembali normal
bila kadar glukosa darah terkontrol.
2. Glikosilasi Non-Enzimatik
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikosilasi non enzimatik asam
amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang akan
menghasilkan produk AGEs. Penimbunan AGEs dalam glumerulus maupun tubulus
ginjal dalam jangka panjang akan merusak membran basalis dan mesangium yang
akhirnya akan merusak seluruh glomerulus.
3. Polyol pathway
Dalam polyol pathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose
reduktase. Di dalam ginjal enzim tersebut merupakan peran utama dalam mengubah
glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah meningkat maka sorbitol akan
meningkat dalam sel ginjal dan akan mengakibatkan berkurangnya kadar
mioinosotol, yang akan mengganggu osmoregulasi sel hingga sel itu rusak.
4. Glukotoksisitas
18
Konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah penimbunan matriks ekstraseluler.
Menurut Lorensi, glukosa mempunyai efek toksik terhadap sel, begitu pula terhadap
sel ginjal sehingga dapat terjadi nefropati diabetik.
5. Hipertensi
Hipertensi mempunyai peranan penting dalam patogenensis nefropati diabetik
disamping hiperglikemia. Hemodinamik dan hipertrofi mendukung adanya
hipertensi sebagai penyebab terjadinya hipertensi glomeruler dan hiperfiltrasi.
Hiperfiltrasi dari neuron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari
nefron tersebut.
6. Proteinuria
Proteinuria merupakan prediktor independen dan kuat dari penurunan fungsi ginjal
baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya. Adanya
hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya filtrasi protein,
dimana pada keadaan normal tidak terjadi. Proteinuria yang berlangsung lama dan
berlebihan akan menyebabkan kerusakan tubulo-interstisial dan progresifitas
penyakit. Bila reabsorbsi tubuler terhadap protein meningkat maka akan terjadi
akumulasi protein dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin
inflamasi sehingga terjadi renal scarring dan insufisiensi.
C. Klasifikasi
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes melitus lebih banyak dipelajari
pada diabetes melitus tipe 1 daripada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi menjadi 5
tahapan.4,1
Tabel 1. Tahapan Nefropati Diabetikum Oleh Mogensen.4,11
Tahap Kondisi ginjal UAER LFG TD
1 Hipertrofi Hiperfungsi
N ↑ N
2 Kelainan struktur N ↑ ↑ / N
19
3 Mikroalbuminuria persisten
20-200 mg/menit
↑ / N ↑
4 Makroalbuminuria proteinuria
>200 mg/menit
Rendah Hipertensi
5 Uremia Tinggi/rendah <10 ml/menit
Hipertensi
UAER = Urine Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi Glomerulus, TD
= Tekanan Darah
1. Tahap I (Stadium Hiperfiltrasi)
Terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi glomerulotubulus pada saat diagnosis ditegakkan. Laju
filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat. Pada tahap ini LFG
meningkat sampai 40% diatas normal dan disertai pembesaran ukuran ginjal.
Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini reversibel dan
berlangsung 0-5 tahun sejak awal didiagnosis diabetes melitus. Dengan pengendalian
glukosa darah yang ketat, kelainan fungsi maupun struktur ginjal kembali normal.
2. Tahap II (Stadium silent)
Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, LFG tetap meningkat, eksresi albumin
dalam urin dan tekanan darah normal. Albuminuria akan meningkat apabila setelah
latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk. Terdapat
perubahan histologis awal berupa penebalan membrane basalis yang tidak spesifik.
Terdapat pula peningkatan volume mesangium fraksional (dengan peningkatan matriks
mesangium). Terjadi 5-10 tahun setelah didiagnosis diabetes melitus. Keadaan ini dapat
berlangsung lama dan hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya.
Progresivitas biasanya berlanjut terkait keadaan metabolik yang memburuk.
3. Tahap III (Stadium Mikroalbuminuria/Nefropati Insipient)
Merupakan tahap awal dari nefropati. Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau
nefropati insipient. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai
20
derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20-200 μg/menit (30-300
mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan
ketebalan membran basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus. Tahap
ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun didiagnosis diabetes melitus. Keadaan ini dapat
bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dapat dicegah dengan
kendali glukosa dan tekanan darah yang ketat.
4. Tahap IV (Stadium Makroalbuminuria/Nefropati Lanjut)
Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut (overt nefropati), nefropati diabetikum
bermanifestasi klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan
darah sering meningkat serta LFG yang sudah menurun dibawah normal sekitar
10ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya
tekanan darah. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah di atas 300 mg/24 jam
(200μg/menit). Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian
besar pasien. Sindroma nefrotik dan retinopati sering ditemukan pada tahap ini. Terjadi
setelah 15-20 tahun didiagnosis diabetes melitus. Progresivitas mengarah ke gagal ginjal
hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan
tekanan darah.
5. Tahap V (Stadium Uremia/Gagal Ginjal Terminal)
Merupakan tahapan dimana terjadi gagal ginjal terminal. Laju Filtrasi Glomerulus sudah
demikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan
memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis, maupun cangkok ginjal.
Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada stadium IV dan 5-7 tahun
kemudian akan sampai stadium V.
D. Gambaran Klinis
Gambaran klinik nefropati diabetik sangat bervariasi; dari keluhan ringan atau tanpa
keluhan dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan rutin laboratorium sampai timbul
azotemia dan hipertensi. Banyak pasien diabetes melitus mungkin telah mempunyai lesi
histopatologi yang berarti (signifikan) untuk nefropati diabetik walaupun tanpa gambaran
21
klinik seperti sembab, hipertensi maupun azotemia. Gambaran klinik nefropati diabetik
sebagai berikut :11
1. Proteinuria
Proteinuria asimtomatis merupakan tanda permulaan dari nefropati diabetik, timbulnya
intermiten selama beberapa tahun dan akhirnya menetap disertai proteinuria masif. Pada
stadium permulaan, proteinuria ringan dari nefropati diabetik ini sulit dibedakan dengan
proteinuria karena glomerulonefritis membranosa karena sebab lain.11
Bila telah terjadi proteinuria masif dan berlangsung lama selalu diikuti oleh gambaran
klinik lainnya seperti sembab dan hipertensi. Proteinuria pada nefropati diabetik biasanya
non-selektif. Proteinuria ini masih merupakan tanda yang dapat dipercaya sebagai indikator
untuk nefropati diabetik asal dapat dikesampingkan penyebab lainnya seperti gagal jantung
kongestif, ketoasidosis, pielonefritis, dan ortostatik.11
2. Sembab (Edema)
Penimbunan cairan pada jaringan ekstraseluler (sembab) sesuai dengan derajat
proteinuria dan hipoalbuminemia. Pada pasien-pasien berat, tidak jarang terdapat sembab
seluruh tubuh (anasarka).11
3. Hipertensi
Hipertensi tidak selalu ditemukan pada nefropati diabetik walaupun histopatologi telah
memperlihatkan kelainan yang khas. Hipertensi biasanya muncul setelah terdapat kelainan
histopatologi berat pada diabetes melitus tipe 1. Pada diabetes melitus tipe 2 sering disertai
hipertensi esensial.11
4. Gagal ginjal kronik (azotemia)
Penjernihan kreatinin (CCT) tidak selalu tepat untuk memperkirakan nilai laju filtrasi
glomerulus, karena dipengaruhi keadaan hiperglikemia, glikosuria, albuminuria, dan
ketoasidosis. Kreatinin serum merupakan satu-satunya pemeriksaan laboratorium rutin
yang dapat memperkirakan laju filtrasi glomerulus. Gellman, dkk (1959) melaporkan
hubungan antara kelainan histopatologi dengan gambaran klinik nefropati diabetik. Pada
glomerulosklerosis noduler : proteinuria masif, hipoalbuminemia, sembab, hipertensi, dan
azotemia. Pada glomerulosklerosis difus : hipertensi, proteinuria, dan azotemia.11
22
II. Penyakit Ginjal Kronik
A. DefinisiPenyakit ginjal kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal
seperti kelainan pada urinalisis, dengan penurunan laju filtrasi glomerulus atau pun tidak.1,2 Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi
pada semua organ, akibat penurnan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.14,15
Tabel 2. Kriteria penyakit ginjal kronik14
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan manifestasi :
Kelainan patologis Terdapat kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)2. Laju filtrasi glomerulus(LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal
B. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas derajat (stage)
penyakit dan atas dasar etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar
LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :14
*Pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal kronik atas derajat penyakit14
Derajat Penjelasan LFG (ml/min/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
23
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis
C. Gambaran Klinik
Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu
penurunan cadangan ginjal, insufisiensi ginjal, dan penyakit ginjal stadium akhir. Stadium
pertama disebut penurunan cadangan ginjal. Pada stadium ini keratinin serum dan kadar
BUN normal, dan pasien asimtomatik. Gangguan ginjal hanya terdeteksi dengan
memberikan beban kerja pada ginjal, seperti tes pemekatan urine.16
Stadium kedua disebut insufisiensi ginjal, bila lebih dari 75% jaringan yang berfungsi
telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini BUN mulai meningkat. Kadar
kreatinin serum juga mulai meningkat. Azotemia biasanya ringan. Pada stadium ini mulai
timbul gejala-gejala nokturia dan poliuria.16 Stadium ketiga disebut end-stage renal disease
(ESRD) atau uremia. ESRD terjadi bila sekitar 90% dari masa nefron telah hancur. Nilai GFR
hanya 10% dari normal. Pada kondisi ini, kadar ureum dan kreatinin meningkat sangat
mencolok. Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik, meliputi:14,15
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, Lupus Eritomatosus Sistemik
(LES)
b. Sindrom Uremik
Bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien
akan menderita yang disebut sebagai sindrom uremik.
Gejala komplikasinya antara lain : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan dan elektrolit.
D. Diagnosis
1. Gambaran penyakit ginjal kronik meliputi :14,15
24
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft – Gault.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfostatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.
e. Ultrasonografi ginjal Bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.
f. Renogram Menilai fungsi ginjal kiri dan kanan, lokasi gangguan (vaskular,
parenkim, ekskresi) serta sisa fungsi ginjal.
E. Penatalaksanaan
Terapi Spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penayakit dasar sudah tidak
banyak bermanfaat.14,15
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG. Hal ini
untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat
nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.14
Menghambat Pemburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:14
25
a. Pembatasan asupan protein pembatasan mulai dilakukan pada LFG 60
ml/menit sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak
selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 – 0,8 /kgBB/hari, yang 0,35–0,50 gram
diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan
sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari.
b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerolus. Pemakaian
obat anti hipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intra glomerulus dan hipertrofi
glomerulus.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular.
Pencegahan dan terapi ini merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian
penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal yang termasuk di
dalamnya adalah, diabetes, hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, hiperfospatemia dan terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.14
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.
Tabel 4. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik14
Derajat Penjelasan LFG Komplikasi1 Kerusakan ginjal dengan LFG
normal≥ 90 -
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan
60 - 89 Tekanan darah mulai naik
3 Penurunan LFG sedang 30 - 59 - Hiperfosfatemia- Hipokalsemia- Anemia- Hiperparatiroid- Hipertensi- Hiperhomosisttinemia
4 Penurunan LFG berat 15 - 29 - Malnutrisi- Asidosis Metabolik- Cenderung
26
hiperkalemia- Dislipidemia
5 Gagal ginjal < 15 - Gagal Jantung- Uremia
Mengatasi Hiperfosfatemia
d. Pembatasan asupan fosfat
e. Pemberian pengikat fosfat
f. Pemberian bahan kalsium memetik
Pembatasan cairan dan elektrolit
III. Prognosis
Nefropati diabetik secara independen diprediksikan mengakibatkan morbiditas
kardiovaskuler dan kedua mikroalbuminuria dan makroalbuminuria meningkatkan mortalitas
dari banyak kasus DM. Pasien dengan proteinuria angka mortalitas rata-rata relatif tidak
rendah dan tidak stabil, mengingat pasien dengan proteinuria mempunyai angka mortaliras
rata-rata 40x lebih tinggi. ESRD adalah penyebab kematian terbesar, sekitar 59-60%
kematian pada pasien dengan IDDM dan nefropati. Penyakit kardiovaskuler juga menjadi
penyebab kematian terbesar (15-25%) pada orang dengan nefropati dan IDDM, meskipun
secara relatif kematian mereka pada usia muda. Prognosisnya sangat buruk. Komplikasi dari
gagal ginjal kronik biasa terjadi pada awal dan berkembang secara cepat, bila disebabkan
oleh diabetes dan pada penyebab yang lain.14
27
BAB V
ANALISA KASUS
Pada kasus ini dari anamnesa didapatkan, pasien datang dengan keluhan pusing dan
berkunang-kunang, napas terasa sesak dan berat. Keluhan tersebut dapat muncul akibat
kurangnya suplai oksigen ke jaringan. Hal ini dapat terjadi karna adanya gangguan pada organ
paru, jantung maupun ginjal yang bisa terjadi akibat suatu komplikasi dari penyakit metabolik.
Kemudian pasien juga mengeluh badan terasa lemas serta kedua kaki sering membengkak.
Keluhan lemas juga bisa terjadi akibat kurangnya kadar oksigen darah, dimana oksigen itu
sendiri yang membantu proses metabolisme anaerob yang nantinya menghasilkan suatu energi.
28
Edema tungkai yang dialami pasien bisa disebabkan adanya gangguan fungsi jantung, ginjal,
sistem limfatik dan proses infeksi. Keluhan seperti demam, rasa mual dan muntah disangkal
sehingga dapat menyingkirkan adanya suatu infeksi dan pusing yang dialami pasien
kemungkinan bukan akibat gangguan sistem vestibular. Pasien mengatakan BAK ± 3 kali/hari
dengan jumlah sedikit-sedikit. Keluhan oliguria ini dapat timbul pada keadaan dehidrasi,
gangguan fungsi ginjal serta saluran kemih. Pasien mempunyai riwayat DM sejak 2006
begitupun dengan kakak dan adik kandung pasien.
Kemudian dari pemeriksaan fisik didapati pasien tampak anemis, takipnea, ditemukan
rhonki basah halus di kedua basal paru, napas cuping hidung (+), retraksi suprasternal, pitting
edema kedua tungkai. Adanya takipnea, anemis serta kerja otot-otot napas tambahan (retraksi)
mengarahkan kurangnya suplai oksigen diakibatkan kurangnya factor pengikatnya yaitu
hemoglobin (Hb). Keadaan anemia ini dapat disebabkan oleh adanya perdarahan (hipovolemia),
gangguan fungsi ginjal, kelainan darah maupun penyakit kronik. Selain itu ditemukan adanya
ronki basah halus menunjukkan adanya edema paru yang juga bisa menyebabkan timbulnya
sesak pada pasien. Edema paru sendiri bisa disebabkan adanya gangguan pada paru, jantung
maupun gangguan pada fungsi ginjal. Didapatkan juga pitting edema pada kedua tungkai. Hal
ini mengarahkan kemungkinan adanya gangguan fungsi jantung maupun ginjal. Pada pasien ini
kemungkinan besar adanya gangguan fungsi ginjal, dimana dari hasil pemeriksaan fisik fungsi
jantung masih dalam batas normal dimana tidak didapatkan adanya bunyi tambahan (murmur
ataupun gallop) yang didukung juga dari anamnesa tidak didapatkan manifestasi pada gagal
jantung. Sehingga dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ini didapatkan korelasi pasien
kemungkinan besar menderita chronic kidney disease (CKD) yang terjadi akibat komplikasi DM
sejak tahun 2006. CKD inilah yang menimbulkan keadaan akut yang saat ini dialami pasien yaitu
berupa anemia dan edema paru. CKD adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau
lebih, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada
urinalisis, dengan penurunan laju filtrasi glomerulus atau pun tidak. Hiperglikemik
menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung atau melalui modifikasi hemodinamik.
Hiperglikemik kemungkinan juga secara langsung meningkatkan produksi vasodilator
prostaglandin yang dapat berkontribusi untuk terjadinya hiperperfusi ginjal, hipertensi
29
intraglomerulus, dan hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik
dalam laju kerusakan ginjal, dimana saat jumlah nefron mengalami pengurangan progresif,
glomerulus akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi nefron yang masih sehat
dan pada akhirnya nefron yang sehat menjadi sklerosis. Selain itu kondisi hipoksia yang
persisten juga akan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi nefron-nefron yang masih utuh dan
terjadinya sklerosis sehingga timbullah glumerulosklerosis yang meningkatkan hiperfiltrasi ginjal
secara terus menerus. Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3
stadium, yaitu penurunan cadangan ginjal, insufisiensi ginjal, dan penyakit ginjal stadium akhir.
Gambaran klinik nefropati diabetik sangat bervariasi; dari keluhan ringan atau tanpa keluhan
dan ditemukan kebetulan pada pemeriksaan rutin laboratorium sampai timbul azotemia dan
hipertensi. Gambaran klinis yang timbul antara lain proteinuria asimtomatis yang merupakan
tanda permulaan nefropati diabetik, timbulnya intermiten selama beberapa tahun dan akhirnya
menetap disertai proteinuria masif. Bila telah terjadi proteinuria masif dan berlangsung lama
selalu diikuti oleh gambaran klinik lainnya seperti sembab dan hipertensi.
Tatalaksana yang diberikan meliputi nonmedikamentosa dengan memposisikan pasien
½ duduk (semi fowler), monitoring tanda-tanda vital pasien, kanul O2 4 L/menit serta
melakukan pemasangan DC agar memudahkan penghitungan balans cairan pasien. Tatalaksana
awal pada pasien yang utama adalah mengurangi sesak yang dialami. Maka dari itu pasien
diposisikan setengah duduk (Semi Fowler) serta dipasang kanul O2 4 liter/menit untuk
membantu memenuhi demand O2 terutama otak. Kemudian tatalaksana medikamentosanya
antara lain :
- IVFD NaCl 0,9% 10 tetes/menit
- Ceftriaxon 1gr/24jam
- Ranitidine 1 amp/12jam
- Teranol 1 amp/12jam
- Nifedipine 1 x 5mg
- Furosemide 1 x 40mg
- Pro transfusi 2 kolf/hari
30
Selain itu pasien juga dianjurkan rawat inap agar dapat dilakukan pemberian terapi yang tepat
serta dilakukan evaluasi terhadap keadaan klinis pasien. Pasien diberikan cairan rumatan
isotonik, tetapi pemberian cairan pada pasien harus diawasi karena sangat besar kemungkinan
terjadinya overload cairan, dimana fungsi ginjal sudah terganggu. Pemberian antibiotik
sefalosporin pada pasien bertujuan untuk mengurangi/mencegah risiko terjadinya infeksi
nosokomial karena pasien dilakukan perawatan di rumah sakit. Pastikan pasien tidak ada
hipersensitivitas terhadap obat tersebut dengan dilakukan skin test sebelumnya. Pada pasien
dilakukan pemberian nifedipin 5mg, nifedipin merupakan golongan antagonis kalsium yang
menyebabkan penurunan resistensi vascular. Tujuannya untuk menurunkan tekanan darah
pasien yang saat dilakukan pemeriksaan pertama kali didapatkan 160/80 mmHg, walaupun
pasien menyangkal adanya riwayat hipertensi sebelumnya. Furosemide 40 mg diberikan untuk
mengurangi edema paru pada pasien, dimana obat itu merupakan loop diuretik (diuretik kuat)
sehingga cairan yang tertimbun dalam interstisial paru akan diekskresikan melalui urin. Pada
keadaan edema paru seperti pada kasus ini baiknya dilakukan pemantauan keseimbangan
cairan yang masuk dan yang keluar seperti dilakukan pemasangan DC (tergantung kondisi klinis
pasien).
Pada hasil laboratorium, pasien mengalami anemia (Hb= 8.0). Setelah dilakukan
konsultasi dengan SpPD, dianjurkan untuk dilakukan transfusi darah selama di ruangan rawat 2
kolf/hari untuk menaikkan konsentrasi Hb darah agar kebutuhan O2 tetap terjaga. Sedangkan
menurut beberapa teori, sampai sekarang belum ditemukan obat-obat khusus untuk nefropati
diabetik. Pengobatan semata-mata simtomatis untuk sembab, hipertensi, azotemia, dan
memberantas infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) yang akan memperberat kelainan
ginjal. Karena pasien mempunyai riwayat DM, pengendalian hiperglikemia merupakan langkah
penting untuk mencegah atau mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan
mikroangiopati. Pembatasan protein merupakan hal yang penting. Protein dianjurkan sesuai
dengan tingkatan penurunan fungsi ginjal, diet protein diberikan 0,6-0,8 kg/kgBB per hari.
Kemudian pengendalian hipertensi. Penghambat enzim angiotensin-converting (ACE) sebagai
terapi tunggal atau kombinasi dengan antagonis kalsium non-dihydropiridine dapat
menurunkan tekanan darah dan mempunyai efek antiproteinuria disertai stabilisasi faal ginjal.
31
Diet rendah garam kurang dari 5 gram per hari penting untuk mencegah retensi Na+ (sembab
dan hipertensi) serta pembatasan cairan dan elektrolit. Pada pasien dengan CKD juga harus
mengatasi kemungkinan terjadinya hiperfosfatemia dengan cara :
a. Pembatasan asupan fosfat
b. Pemberian pengikat fosfat (Asam Folat dan B12)
c. Pemberian bahan kalsium memetik (CaCO3)
Indikasi dilakukannya hemodialisa, bila : LFG < 5 ml/menit, keadaan umum buruk dan gejala
klinis nyata, K serum > 6 mEq/L, ureum darah > 200mg/dl, pH darah < 7,1, anuria
berkepanjangan (> 5 hari), fluid overload.
DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011.
2. Ayodele, O.E., Alebiosu, C.O., Salako, B.L. Diabetic nephropathy—a review of the
natural history, burden, risk factors and treatment . Dalam: Journal National Medical
Association: 1445–54. 2004.
3. Ruggenenti, P and Remuzzi, G. Nephropathy of Type 1 and Type 2 Diabetes : Diverse
Pathophysiology, Same Treatment. Oxford Journals, 15(12), 1900-02. 2000.
32
4. Hendromartono. Nefropati Diabetik. In Aru W. Sudoyo, D. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. IV Ed. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.
5. Molitch, M. E., DeFronzo, R. A., Franz, M. J., Keane, W. F., Mogensen, C. E., Parving,
H-H., Steffes, M. W. Nephropathy in Diabetes. Diabetes Care January, 2. 79-83. 2004.
6. Soman,SS and Soman,SA.2009.Diabetic Nephropathy.
http//emedicine.medscape.com/article/238946-overview. 2009.
7. Czekalski,S.2005.Diabetic Nephropathy and Cardiovascular Disease. Annales
Academiae Medicae Bialostocensis vol 50:122-125.
8. Schena,FP and Gesualdo,L.2005.Pathogenetic Mechanism of Diabetic Nephropathy. J
Am.Soc.Nephrol, America 16:S30-S33.
9. Obineche,EN and Adem,A. 2005. Update in Diabetic Nephropathy. Int J Diabetes &
Metabolism 13: 1-9
10. Arsono, Soni .(2005). Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal
Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo Purwokerto).
Jurnal Epidemiologi
11. Sukandar,Enday.2006. Nefrologi klinik edisi III. Pusat informasi ilmiah bagian ilmu
penyakit dalam kedokteran UNPAD/R.S. Dr. Hasan Sadikin Bandung.
12. Gilbert,Richard E and Marsden,Philip A.2008.Activated protein C and diabetic
nephropathy. New England journal of medicine 358;15;1628-1630.Massachusetts
medical society.England.
13. Sofa, Chasani. 2007. Naskah Lengkap Diabetes Melitus Ditinjau dari Berbagai Aspek
Penyakit Dalam. Semarang, CV. Agung
14. Suwitra K. Penyaki Ginjal Kronik. Dalam :Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi I, dkk,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid I. Jakarta ;2006
15. Mulloy L.L., Talavera F., Aronoff G.R.Chronic Kidney Disease. Diunduh dari
http://www.emedicinehealth.com/chronic_kidney_disease/page3.htm. Diakses tanggal 8
Juni 2012.
16. Sylvia A price, Lorraine M Wilson. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.
Volume 2. Jakarta: EGC. 2005
33
34