Analisis Masalah dan Learning Issue Skenario B Blok 18
Nama : Monica Trifitriana
Nim : 04011381320042
Kelas : B
Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya
I. ANALISIS MASALAH
1. Sejak 1 bulan yang lalu tampak sembab dikelopak mata. Sejak 2 minggu yang lalu
perutnya tampak makin membesar dan kedua tungkai bengkak. BAK warna kuning dan
tampak berbusa.
a) Apa makna klinis BAK kuning dan berbusa?
Makna klinis dari:
a. BAK berbusa
Menandakan terdapatnya protein pada urin. Hal ini
disebabkan karena reaksi antara urin dan air dapat
menyebabkan terbentuknya busa pada urin. Jadi, Urin
yang berbusa-busa dapat jadi indicator bahwa rafi
mengalami gangguan pada proses filtrasi karena dapat
lolosnya protein ke dalam urin.
b. BAK kuning
Menandakan bahwa kurangnya air yang diekskresikan ke dalam urin. Dimana
hal ini diakibatkan juga oleh gangguan filtrasi yang menyebabkan Proteinuria
sehingga menyebabkan Hipoalbuminemia yang nantinya akan merangsang
retensi na dan air. Hal inilah yang menyebabkan BAK rafi menjadi kuning
b) Bagaimana etiologi dan mekanisme BAK kuning dan berbusa?
I. Etiologi
a. BAK berbusa
Akibat menahan urin dalam waktu yang lama, hal ini menyebabkan
peningkatan tekanan untuk mengeluarkan urin sehingga urin jadi berbusa
Urin pada pagi hari (lebih terkonsentrasi) sehingga urin jadi lebih berbusa
Pada wanita hamil, merupakan indicator terjadinya preeclampsia
Pada keadaan dehidrasi, urin menjadi lebih terkonsentrasi sehingga urin
berbusa
Yang paling sering dan membahayakan yang disebabkan oleh proteinuria
(peningkatan jumlah protein yang diekskresikan ke dalam urin). Hal ini
dapat pula menyebabkan terjadinya BAK berbusa
b. BAK kuning
Pada keadaan dehirasi (kurang minum), bisa menyebabkan BAK kuning
Penggunaan obat-obatan
Pada penderita hipertensi
Pada orang yang mengalami proteinuria, yang berpengaruh terhadap retensi
na dan air sehingga menyebabkan BAK kuning
II. Mekanisme
a. BAK Berbusa
Diawali dengan adanya antigen yg terdapat dalam darah merangsang sel T
sistemik untuk menghasilkan sitokin terhadap MBG (Membran Basalis
Glomerolus), hal ini menyebabkan 2 hal:
1. Sitokin yang dihasilkan sel T penurunan dari Heparan sulfat (adanya
muatan ion negative pada MBG) penurunan muatan negative (anion)
MBG Protein plasma yang bermutan negative dapat lolos dari proses
filtrasi Proteinuria
2. Sitokin yang dihasilkan sel T Rusaknya Foot process (podosit) dan
nefrin ( terletak diantara podosit) terlepasnya podosit dari MBG aliran
plasma dapat melewati MBG tanpa adanya podosit peningkatan
permeabilitas MBG terhadap protein Proteinuria
Proteinuria (Urin yang mengandung protein yang berlebihan) dapat
menyebabkan reaksi antara protein dan udara. Hal itulah yang menyebabkan
urin menjadi berbusa.
b. BAK kuning
Akibat dari kerusakan di glomerolus Proteinuria hipoalbuminemia
penurunan tekanan onkotik plasma terjadilah hipovolemia (khususnya pada
daerah intravascular) terjadinya kompensasi dari ginjal peningkatan
retensi Na dan air Ekskresi air kedalam urin jadi menurun Urin menjadi
lebih kuning
TEMPLATE
a) Apa saja DD pada kasus?
Gejala Sindroma
Nefrotik
(primer)
GNAPS Sirosis Hepatis CHF Malnutrisi (kwashiorkor)
Mata bengkak + + - - -
Edema anasarka + + + + +
BAK berbusa + + + + +
BAK kuning + - - + +
Faktor genetik + - + + -
BB meningkat + + + + -
Edema pretibial + + + + +
Proteinuria + + + + +
Asites + + + + +
Anemia + + + + -
LED meningkat + + - - -
Hipoalbuminemia + + + + +
Peningkatan
Ureum dan
kreatinin
+ + + - -
Hiperkolestrolemia + + + + +
b) Apa WD pada kasus?
Sindroma Nefrotik, yang ditandai dengan:
1. Adanya edema anasarka
2. Proteinuria yang masif > 3.5 g/hari
3. Hipoalbuminemia <2.5 g/dl
4. Hiperkolesterolemia >200mg/d
c) Bagaimana epidemiologi pada kasus?
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita dengan
perbandingan 2:1 dan kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah
dilaporkan terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa
dewasa. SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun. Di Indonesia
dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila
wirya) menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan
sindrom nefrotik primer yang di biopsy, sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya
diantara 521 pasien, 76.4% merupakan tipe kelainan minimal.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun diperkirakan
berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi terjadi pada
usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun, 75%
mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun
d) Bagaimana patofisiologi dan pathogenesis pada kasus?
Diawali dari adanya antigen dalam darah
Merangsang sel T sistemik menghasilkan sitotoksin terhadap MBG
Penurunan heparan sulfat (muatan negative pada MBG)
Merusak podosit (disertai lepasnya podosit dari MBG) dan nefrin
Protein plasma (muatan negative) dapat lolos melewati MBG
Peningkatan permeabilitas MBG terhadap protein
Proteinuria masif
Hipoalbuminemia
Tipe UnderfillTipe over fill
Penurunan tekanan onkotik plasma
Perpindahan cairan dari intravascular ke interstitial
Edema Anasarka
Hipovolemia (pada intravascular)
Retensi Na dan air (ginjal kompensasi)
Peningkatan CES
Hiperkolestrolemia Urin kuning dan berbusa
Sindrom Nefrotik Peningkatan ureum dan kreatinin
LED meningkat
BB meningkat
Aliran darah ke ginjal menurun
Sel-sel ginjal hipoksia
Merangsang aktivasi eritropoiesis secara terus menerus
Anemia
e) Berapa SKDI pada kasus?
Sumber: SKDI tahun 2013-2015
SKDI untuk kasus sindrom nefrotik adalah 2
Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
f) Bagaimana edukasi dan pencegahan pada kasus?
Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita
Edukasi mengenai komplikasi yang dapat terjadi (gangguan fungsi ginjal,
malnutrisi, anemia, dsb)
Edukasi tentang pentingnya kontrol rutin untuk mengurangi faktor komplikasi
Istirahat
Berhenti merokok (jarang anak kecil merokok)
Restriksi Protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein
dalam urin/24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan
hingga 0,6 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam
Diet rendah kolesterol <600mg/hari
Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema
g) Bagaimana prognosis pada kasus?
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal. Misalnya pada focal
glomerulosklerosis, membranoproliferative glomerulonephritis mempunyai
prognosis yang kurang baik karena sering mengalami kegagalan ginjal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid.
II. LEARNING ISSUE
Sindroma Nefrotik
A. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada
anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
masif, hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Yang dimaksud
proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat
badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5
gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi,
hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia
Pada anak kausa SN tidak jelas sehingga disebut Sindrom Nefrotik Idiopatik
( SNI ). Kelainan histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang tidak jelas atau
sangat sedikit perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal Change Nephrotic
Syndrome atau Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM). Sarjana lain menyebut
NIL (Nothing In Light Microscopy).
B. INSIDENSI
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar ( 74% ) dijumpai pada
usia 2-7 tahun dengan perbandingan wanita dan pria 1:2. Pada remaja dan dewasa
rasio ini berkisar 1:1.
C. ETIOLOGI
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom
nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat
kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling
sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah
sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang
ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer
1. Kelainan minimal (KM)
2. Glomerulopati membranosa (GM)
3. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
4. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau
sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.
Penyebab yang sering dijumpai adalah :
1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
2. Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute
Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.
4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,
purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor gastrointestinal.
6. Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome
D. PATOGENESIS
Yang dimaksud dengan SN ialah SN yang idiopatik dengan kelainan
histologik berupa SNKM. Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya SN pada anak
yaitu
Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibody sehingga terjadi reaksi
antigen dan antibody yang larut (“soluble”) dalam darah. SAAC ini kemudian
menyebabkan system komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C3
akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian terperangkap di
bawah epitel kapsula Bowman yang secara imunofloresensi terlihat berupa benjolan
yang disebut HUMPS sepanjang membrane basalis glomerulus (mbg) berbentuk
granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS ini lah yang
menyebabkan permeabilitas mbg terganggu sehingga eritrosit, protein dan lain-lain
dapat melewati mbg sehingga dapat dijumpai dalam urine.
Perubahan Elektrokemis
Selain perubahan struktur mbg, maka perubahan elektrokemis dapat juga
mneimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan
terpenting pada glomerulus berupa gangguan fungsi elektrostatik ( sebagai sawar
glomerulus terhadap filtrasi protein ) yaitu hilangnya fixed negative ion yang
terdapat pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini
maka permeabilitas mbg terhadap protein berat molekul rendah seperti albumin
meningkat sehingga albumin dapat keluar bersama urine.3
E. PATOFISIOLOGI
PROTEINURIA
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan
akibat utama dari proteinuria yang hebat. Edema muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti eksresi protein >
50 mg/kgBB/hari atau >40 mg/m2/jam atau secara kualitatif proteinuria +++ sampai +
+++. Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan mbg , maka proteinuria dapat
dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus.
Jadi yang diukur adalah Index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan
dengan cara mengukur ratio antara Clearance IgG dan Clearence Transferin.
ISP = Clearance IgG
Clearance Transferin
Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang secara klinik
menunjukkan kerusakan glomerulus ringan dan respons terhadap kortikosteroid baik. Bila
ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective Proteinuria) yang secara klinik
menunjukkan kerusakan glomerulus berat dan tidak adanya respons terhadap
kortikosteroid
HIPERLIPIDEMIA
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang
lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun
dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Dikatakan
hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang meninggi ( kolesterol > 250
mg/100 ml ) tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen
lemak itu adalah kolesterol, Low Density Lipoprotein(LDL), Very Low Density
Lipoprotein(VLDL), dan trigliserida (baru meningkat bila plasma albumin < 1gr/100 mL.
Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-
banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel sel hepar juga akan membuat
VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL pleh lipoprotein lipase.
Tetapi, pada SN aktivitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan
tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktivitas lipoprotein
lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat
keluarnya protein ke dalam urine. Jadi, hiperkolesteronemia ini tidak hanya disebabkan
oleh produksi yang berlebihan , tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid.1,3,5
HIPOALBUMINEMIA
Hipoalbuminemia terjadi apabila kadar albumin dalam darah < 2,5 gr/100 ml.
Hipoalbuminemia pada SN dapat disebabkan oleh proteinuria, katabolisme protein yang
berlebihan dan nutrional deficiency. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi
cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang
menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul
sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler
tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan
demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat
ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air,
sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis
ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar
renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak
semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita
sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan
aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut
teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium
renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.
Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen
interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan
kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.
EDEMA
Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan
atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit
glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari
satu.3Edema mula-mula nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema
yang hebat / anasarca sering disertai edema genitalia eksterna. Edema anasarca terjadi
bila kadar albumin darah < 2 gr/ 100 ml. Selain itu, edema anasarca ini dapat
menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus. Akibat
anoreksia dan proteinuria masif, anak dapat menderita PEM. Hernia umbilikalis, dilatasi
vena, prolaps rekstum dan sesak nafas dapat pula terjadi akibat edema anasarca ini.
F. GEJALA KLINIS
Adapun manifesitasi klinik dari sindrom nefrotik adalah :
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak
pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Akhirnya edema menjadi menyeluruh
dan masif (anasarka).
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik.
Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa usus.
Nafsu makan menurun karena edema.
Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini
dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan
kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang dan keluarganya.
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik.
G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain
juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata,
tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan
hipertensi.
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :
Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan albumin secara kualitatif +2 sampai +4. Secara
kuantitatif > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa memakai reagen ESBACH ). Pada sedimen
ditemukan oval fat bodies yakni epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-
kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin dan toraks eritrosit.2,3,4,5
Pada pemeriksaan darah didapatkan protein total menurun (N:6,2-8,1 gm/100ml),
albumin menurun (N: 4-5,8 gm/100ml), α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2
globulin meninggi (N:0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-09 gm/100ml), γ
globulin normal (N:0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1 (N:3/2), komplemen C3
normal/rendah (N:80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal
kecuali ada penurunan fungsi ginjal, hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang
meningkat. 2,3,4
Foto Thorax PA dan LDK dilakukan bila ada sindrom gangguan nafas untuk mencari
penyebabnya apakah pneumonia atau edema paru akut.2
Pemeriksaan histologik yaitu biopsy ginjal. Namun biopsy ginjal secara perkutan atau
pembedahan bersifat invasive, maka biopsy ginjal hanya dilakukan atas indikasi tertentu
dan bila orang tua dan anak setuju.2
4. DIAGNOSIS BANDING
1. Edema non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal.
2. Glomerulonefritis akut
3. Lupus sistemik eritematosus.
5. PENATALAKSANAAN
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-
gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10%
kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut :2,3,4,5
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik5
Remisi
Kambuh
Kambuh tidak sering
Kambuh sering
Responsif-steroid
Dependen-steroid
Resisten-steroid
Responder lambat
Nonresponder awal
Nonresponder lambat
Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama
3 hari berturut-turut.
Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-
turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12
bulan.
Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau 4 kali
kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid,
atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60
mg/m2/hari selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa
tambahan terapi lain.
Resisten-steroid sejak terapi awal.
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.
H. PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut
A. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
B. Disertai oleh hipertensi.
C. Disertai hematuria.
D. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
E. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal. Misalnya pada focal
glomerulosklerosis, membranoproliferative glomerulonephritis mempunyai prognosis
yang kurang baik karena sering mengalami kegagalan ginjal.1,3,4,5
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf Pengajar IKA FK UI. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Vol.2. Edited by
Dr.Rusepno Hasan dan Dr.Husein Alatas. Jakarta:infomedika.
2. Syarifuddin Rauf, Dr.,dr.,Sp.A,. 2009. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. BIKA FK UH.
Makassar.
3. Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso. Sindrom Nefrotik. [Online]. [Cited On 2006].
Available from URL: http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-ebtq258.htm
4. Eric P.Cohen, MD. Nephrotic Syndrome. [Online].[Cited On 25 Agustus 2009]. Available
From URL : http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview
5. Gilda, G. Jurnal Sindrom Nefrotik [online].[cited on 2013].Available from URL:
http://eprints.undip.ac.id/44647/3/Bab_2_-_Bab_II_Tinjauan_Pustaka.pdf