analisis masalah dan learning issue skenario b blok 18

26
Analisis Masalah dan Learning Issue Skenario B Blok 18 Nama : Monica Trifitriana Nim : 04011381320042

Upload: monicamonicc

Post on 12-Jan-2016

13 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

#AM #LI

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

Analisis Masalah dan Learning Issue Skenario B Blok 18

Nama : Monica Trifitriana

Nim : 04011381320042

Kelas : B

Fakultas Kedokteran

Universitas Sriwijaya

Page 2: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

I. ANALISIS MASALAH

1. Sejak 1 bulan yang lalu tampak sembab dikelopak mata. Sejak 2 minggu yang lalu

perutnya tampak makin membesar dan kedua tungkai bengkak. BAK warna kuning dan

tampak berbusa.

a) Apa makna klinis BAK kuning dan berbusa?

Makna klinis dari:

a. BAK berbusa

Menandakan terdapatnya protein pada urin. Hal ini

disebabkan karena reaksi antara urin dan air dapat

menyebabkan terbentuknya busa pada urin. Jadi, Urin

yang berbusa-busa dapat jadi indicator bahwa rafi

mengalami gangguan pada proses filtrasi karena dapat

lolosnya protein ke dalam urin.

b. BAK kuning

Menandakan bahwa kurangnya air yang diekskresikan ke dalam urin. Dimana

hal ini diakibatkan juga oleh gangguan filtrasi yang menyebabkan Proteinuria

sehingga menyebabkan Hipoalbuminemia yang nantinya akan merangsang

retensi na dan air. Hal inilah yang menyebabkan BAK rafi menjadi kuning

b) Bagaimana etiologi dan mekanisme BAK kuning dan berbusa?

I. Etiologi

a. BAK berbusa

Page 3: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

Akibat menahan urin dalam waktu yang lama, hal ini menyebabkan

peningkatan tekanan untuk mengeluarkan urin sehingga urin jadi berbusa

Urin pada pagi hari (lebih terkonsentrasi) sehingga urin jadi lebih berbusa

Pada wanita hamil, merupakan indicator terjadinya preeclampsia

Pada keadaan dehidrasi, urin menjadi lebih terkonsentrasi sehingga urin

berbusa

Yang paling sering dan membahayakan yang disebabkan oleh proteinuria

(peningkatan jumlah protein yang diekskresikan ke dalam urin). Hal ini

dapat pula menyebabkan terjadinya BAK berbusa

b. BAK kuning

Pada keadaan dehirasi (kurang minum), bisa menyebabkan BAK kuning

Penggunaan obat-obatan

Pada penderita hipertensi

Pada orang yang mengalami proteinuria, yang berpengaruh terhadap retensi

na dan air sehingga menyebabkan BAK kuning

II. Mekanisme

a. BAK Berbusa

Diawali dengan adanya antigen yg terdapat dalam darah merangsang sel T

sistemik untuk menghasilkan sitokin terhadap MBG (Membran Basalis

Glomerolus), hal ini menyebabkan 2 hal:

1. Sitokin yang dihasilkan sel T penurunan dari Heparan sulfat (adanya

muatan ion negative pada MBG) penurunan muatan negative (anion)

MBG Protein plasma yang bermutan negative dapat lolos dari proses

filtrasi Proteinuria

2. Sitokin yang dihasilkan sel T Rusaknya Foot process (podosit) dan

nefrin ( terletak diantara podosit) terlepasnya podosit dari MBG aliran

plasma dapat melewati MBG tanpa adanya podosit peningkatan

permeabilitas MBG terhadap protein Proteinuria

Proteinuria (Urin yang mengandung protein yang berlebihan) dapat

menyebabkan reaksi antara protein dan udara. Hal itulah yang menyebabkan

urin menjadi berbusa.

Page 4: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

b. BAK kuning

Akibat dari kerusakan di glomerolus Proteinuria hipoalbuminemia

penurunan tekanan onkotik plasma terjadilah hipovolemia (khususnya pada

daerah intravascular) terjadinya kompensasi dari ginjal peningkatan

retensi Na dan air Ekskresi air kedalam urin jadi menurun Urin menjadi

lebih kuning

TEMPLATE

a) Apa saja DD pada kasus?

Gejala Sindroma

Nefrotik

(primer)

GNAPS Sirosis Hepatis CHF Malnutrisi (kwashiorkor)

Mata bengkak + + - - -

Edema anasarka + + + + +

BAK berbusa + + + + +

BAK kuning + - - + +

Faktor genetik + - + + -

BB meningkat + + + + -

Edema pretibial + + + + +

Proteinuria + + + + +

Asites + + + + +

Anemia + + + + -

LED meningkat + + - - -

Hipoalbuminemia + + + + +

Peningkatan

Ureum dan

kreatinin

+ + + - -

Hiperkolestrolemia + + + + +

Page 5: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

b) Apa WD pada kasus?

Sindroma Nefrotik, yang ditandai dengan:

1. Adanya edema anasarka

2. Proteinuria yang masif > 3.5 g/hari

3. Hipoalbuminemia <2.5 g/dl

4. Hiperkolesterolemia >200mg/d

c) Bagaimana epidemiologi pada kasus?

Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita dengan

perbandingan 2:1 dan kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah

dilaporkan terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa

dewasa. SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun. Di Indonesia

dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila

wirya) menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan

sindrom nefrotik primer yang di biopsy, sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya

diantara 521 pasien, 76.4% merupakan tipe kelainan minimal.

Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun diperkirakan

berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi terjadi pada

usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun, 75%

mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun

d) Bagaimana patofisiologi dan pathogenesis pada kasus?

Diawali dari adanya antigen dalam darah

Page 6: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

Merangsang sel T sistemik menghasilkan sitotoksin terhadap MBG

Penurunan heparan sulfat (muatan negative pada MBG)

Merusak podosit (disertai lepasnya podosit dari MBG) dan nefrin

Protein plasma (muatan negative) dapat lolos melewati MBG

Peningkatan permeabilitas MBG terhadap protein

Proteinuria masif

Hipoalbuminemia

Tipe UnderfillTipe over fill

Penurunan tekanan onkotik plasma

Perpindahan cairan dari intravascular ke interstitial

Edema Anasarka

Hipovolemia (pada intravascular)

Retensi Na dan air (ginjal kompensasi)

Peningkatan CES

Hiperkolestrolemia Urin kuning dan berbusa

Sindrom Nefrotik Peningkatan ureum dan kreatinin

LED meningkat

BB meningkat

Aliran darah ke ginjal menurun

Sel-sel ginjal hipoksia

Merangsang aktivasi eritropoiesis secara terus menerus

Anemia

Page 7: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

e) Berapa SKDI pada kasus?

Sumber: SKDI tahun 2013-2015

SKDI untuk kasus sindrom nefrotik adalah 2

Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan

menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.

Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

f) Bagaimana edukasi dan pencegahan pada kasus?

Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita

Edukasi mengenai komplikasi yang dapat terjadi (gangguan fungsi ginjal,

malnutrisi, anemia, dsb)

Edukasi tentang pentingnya kontrol rutin untuk mengurangi faktor komplikasi

Istirahat

Berhenti merokok (jarang anak kecil merokok)

Restriksi Protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein

dalam urin/24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan

hingga 0,6 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam

Diet rendah kolesterol <600mg/hari

Page 8: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema

g) Bagaimana prognosis pada kasus?

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.

2. Disertai oleh hipertensi.

3. Disertai hematuria.

4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.

5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal. Misalnya pada focal

glomerulosklerosis, membranoproliferative glomerulonephritis mempunyai

prognosis yang kurang baik karena sering mengalami kegagalan ginjal.

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons

yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya

akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan

steroid.

Page 9: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

II. LEARNING ISSUE

Sindroma Nefrotik

A. PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada

anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria

masif, hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Yang dimaksud

proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat

badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5

gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi,

hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia

Pada anak kausa SN tidak jelas sehingga disebut Sindrom Nefrotik Idiopatik

( SNI ). Kelainan histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang tidak jelas atau

sangat sedikit perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal Change Nephrotic

Syndrome atau Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM). Sarjana lain menyebut

NIL (Nothing In Light Microscopy).

B. INSIDENSI

Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar ( 74% ) dijumpai pada

usia 2-7 tahun dengan perbandingan wanita dan pria 1:2. Pada remaja dan dewasa

rasio ini berkisar 1:1.

C. ETIOLOGI

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom

nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat

kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling

sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah

sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang

ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.

Page 10: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer

1. Kelainan minimal (KM)

2. Glomerulopati membranosa (GM)

3. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

4. Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau

sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat.

Penyebab yang sering dijumpai adalah :

1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom

Alport, miksedema.

2. Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute

Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,

streptokokus, AIDS.

3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion,

probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa ular.

4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,

purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis.

5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor gastrointestinal.

6. Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome

D. PATOGENESIS

Yang dimaksud dengan SN ialah SN yang idiopatik dengan kelainan

histologik berupa SNKM. Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya SN pada anak

yaitu

Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)

Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibody sehingga terjadi reaksi

antigen dan antibody yang larut (“soluble”) dalam darah. SAAC ini kemudian

menyebabkan system komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C3

akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian terperangkap di

bawah epitel kapsula Bowman yang secara imunofloresensi terlihat berupa benjolan

yang disebut HUMPS sepanjang membrane basalis glomerulus (mbg) berbentuk

Page 11: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS ini lah yang

menyebabkan permeabilitas mbg terganggu sehingga eritrosit, protein dan lain-lain

dapat melewati mbg sehingga dapat dijumpai dalam urine.

Perubahan Elektrokemis

Selain perubahan struktur mbg, maka perubahan elektrokemis dapat juga

mneimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan

terpenting pada glomerulus berupa gangguan fungsi elektrostatik ( sebagai sawar

glomerulus terhadap filtrasi protein ) yaitu hilangnya fixed negative ion yang

terdapat pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini

maka permeabilitas mbg terhadap protein berat molekul rendah seperti albumin

meningkat sehingga albumin dapat keluar bersama urine.3

E. PATOFISIOLOGI

PROTEINURIA

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya

sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.

Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang

biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.

Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif

tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan

akibat utama dari proteinuria yang hebat. Edema muncul akibat rendahnya kadar

albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan

konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.

Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti eksresi protein >

50 mg/kgBB/hari atau >40 mg/m2/jam atau secara kualitatif proteinuria +++ sampai +

+++. Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan mbg , maka proteinuria dapat

dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan glomerulus.

Jadi yang diukur adalah Index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP dapat ditentukan

dengan cara mengukur ratio antara Clearance IgG dan Clearence Transferin.

Page 12: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

ISP = Clearance IgG

Clearance Transferin

Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang secara klinik

menunjukkan kerusakan glomerulus ringan dan respons terhadap kortikosteroid baik. Bila

ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective Proteinuria) yang secara klinik

menunjukkan kerusakan glomerulus berat dan tidak adanya respons terhadap

kortikosteroid

HIPERLIPIDEMIA

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh

penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang

lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun

dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Dikatakan

hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang meninggi ( kolesterol > 250

mg/100 ml ) tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen

lemak itu adalah kolesterol, Low Density Lipoprotein(LDL), Very Low Density

Lipoprotein(VLDL), dan trigliserida (baru meningkat bila plasma albumin < 1gr/100 mL.

Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-

banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel sel hepar juga akan membuat

VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL pleh lipoprotein lipase.

Tetapi, pada SN aktivitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan

tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktivitas lipoprotein

lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat

keluarnya protein ke dalam urine. Jadi, hiperkolesteronemia ini tidak hanya disebabkan

oleh produksi yang berlebihan , tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid.1,3,5

HIPOALBUMINEMIA

Hipoalbuminemia terjadi apabila kadar albumin dalam darah < 2,5 gr/100 ml.

Hipoalbuminemia pada SN dapat disebabkan oleh proteinuria, katabolisme protein yang

berlebihan dan nutrional deficiency. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan

Page 13: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi

cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang

menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan

stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul

sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler

tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan

demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat

ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan

aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air,

sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis

ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar

renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak

semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita

sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan

aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut

teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme

intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium

renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.

Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen

interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan

kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.

EDEMA

Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang

dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan

atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit

glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari

satu.3Edema mula-mula nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema

yang hebat / anasarca sering disertai edema genitalia eksterna. Edema anasarca terjadi

bila kadar albumin darah < 2 gr/ 100 ml. Selain itu, edema anasarca ini dapat

menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus. Akibat

Page 14: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

anoreksia dan proteinuria masif, anak dapat menderita PEM. Hernia umbilikalis, dilatasi

vena, prolaps rekstum dan sesak nafas dapat pula terjadi akibat edema anasarca ini.

F. GEJALA KLINIS

Adapun manifesitasi klinik dari sindrom nefrotik adalah :

Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak

pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Akhirnya edema menjadi menyeluruh

dan masif (anasarka).

Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik.

Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema mukosa usus.

Nafsu makan menurun karena edema.

Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka

pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini

dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.

Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan

kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang

berkembang dan keluarganya.

Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik.

G. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

1. Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata,perut,

tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain

juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

2. Pemeriksaan fisis

Page 15: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata,

tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan

hipertensi.

3. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :

Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan albumin secara kualitatif +2 sampai +4. Secara

kuantitatif > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa memakai reagen ESBACH ). Pada sedimen

ditemukan oval fat bodies yakni epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-

kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin dan toraks eritrosit.2,3,4,5

Pada pemeriksaan darah didapatkan protein total menurun (N:6,2-8,1 gm/100ml),

albumin menurun (N: 4-5,8 gm/100ml), α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2

globulin meninggi (N:0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-09 gm/100ml), γ

globulin normal (N:0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1 (N:3/2), komplemen C3

normal/rendah (N:80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal

kecuali ada penurunan fungsi ginjal, hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang

meningkat. 2,3,4

Foto Thorax PA dan LDK dilakukan bila ada sindrom gangguan nafas untuk mencari

penyebabnya apakah pneumonia atau edema paru akut.2

Pemeriksaan histologik yaitu biopsy ginjal. Namun biopsy ginjal secara perkutan atau

pembedahan bersifat invasive, maka biopsy ginjal hanya dilakukan atas indikasi tertentu

dan bila orang tua dan anak setuju.2

4. DIAGNOSIS BANDING

1. Edema non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal.

2. Glomerulonefritis akut

3. Lupus sistemik eritematosus.

5. PENATALAKSANAAN

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-

gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10%

kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.

Page 16: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom

nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut :2,3,4,5

Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik5

Remisi

 

Kambuh

 

Kambuh tidak sering

 

Kambuh sering

 

Responsif-steroid

Dependen-steroid

 

Resisten-steroid

 

Responder lambat

 

Nonresponder awal

Nonresponder lambat

Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama

3 hari berturut-turut.

Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-

turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.

Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12

bulan.

Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau 4 kali

kambuh pada setiap periode 12 bulan.

Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.

Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid,

atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.

Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60

mg/m2/hari selama 4 minggu.

Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa

tambahan terapi lain.

Resisten-steroid sejak terapi awal.

Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.

H. PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut

A. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.

B. Disertai oleh hipertensi.

C. Disertai hematuria.

D. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.

E. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal. Misalnya pada focal

glomerulosklerosis, membranoproliferative glomerulonephritis mempunyai prognosis

yang kurang baik karena sering mengalami kegagalan ginjal.1,3,4,5

Page 17: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons

yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya

akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan

steroid.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar IKA FK UI. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Vol.2. Edited by

Dr.Rusepno Hasan dan Dr.Husein Alatas. Jakarta:infomedika.

2. Syarifuddin Rauf, Dr.,dr.,Sp.A,. 2009. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. BIKA FK UH.

Makassar.

Page 18: Analisis Masalah Dan Learning Issue Skenario B Blok 18

3. Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso. Sindrom Nefrotik. [Online]. [Cited On 2006].

Available from URL: http://www.pediatrik.com/isi03.php?

page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-ebtq258.htm

4. Eric P.Cohen, MD. Nephrotic Syndrome. [Online].[Cited On 25 Agustus 2009]. Available

From URL : http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview

5. Gilda, G. Jurnal Sindrom Nefrotik [online].[cited on 2013].Available from URL:

http://eprints.undip.ac.id/44647/3/Bab_2_-_Bab_II_Tinjauan_Pustaka.pdf