ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI ALIRAN EKSPOR KOMODITAS KAKAO
OLAHAN INDONESIA
AHMAD FADHLI FIRSYA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dayasaing dan
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao Olahan
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Ahmad Fadhli Firsya
NIM H14080028
ABSTRAK
AHMAD FADHLI FIRSYA. Analisis Dayasaing dan Faktor-faktor yang
Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao Olahan Indonesia. Dibimbing
oleh YETI LIS PURNAMADEWI.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dayasaing dan faktor-faktor
yang memengaruhi aliran ekspor kakao olahan Indonesia pada lima negara tujuan
ekspor Indonesia. Metode yang digunakan untuk analisis daya saing kakao olahan
Indonesia, yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA). Hasil dari analisis
RCA secara umum menunjukkan bahwa mentega, lemak, dan minyak kakao
Indonesia memiliki dayasaing yang relatif lebih baik dibandingkan dengan pasta
dan bubuk kakao pada masing-masing negara tujuan ekspor. Untuk menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor kakao olahan Indonesia digunakan
analisis ekonometrika dengan pendekatan Gravity Model. Variabel yang
signifikan memengaruhi aliran ekspor kakao pasta kakao Indonesia adalah GDP
pengimpor, GDP Indonesia, populasi pengimpor, populasi Indonesia, harga
ekspor pasta kakao Indonesia, nilai tukar rill rupiah, jarak ekonomi, dan bea
keluar biji kakao. Sedangkan pada komoditas mentega, lemak, dan minyak kakao
seluruh variabel tersebut berpengaruh signifikan. Sementara itu, pada komoditas
bubuk kakao terdapat dua variabel yang tidak signifikan memengaruhi aliran
ekspor bubuk kakao Indonesia yaitu GDP pengimpor dan jarak ekonomi.
Kata Kunci: Kakao, Ekspor, RCA, Model Gravitasi, Data Panel.
ABSTRACT
AHMAD FADHLI FIRSYA. Analysis of Competitiveness and the Factors
Affecting Indonesian Cocoa Exports. Supervised by YETI LIS PUNAMADEWI.
This study aims to analyze the competitiveness and factors that affect the
flow of Indonesian cocoa exports in five export destinations of Indonesia.. The
method used for the analysis of the competitiveness of Indonesian cocoa is the
Revealed Comparative Advantage (RCA). The results of the RCA analysis
generally indicate that Indonesian cocoa butter, fat, and oil has a better relatively
competitiveness compared with the cocoa paste and cocoa powder on each export
destination. To analyze the factors that affect the flow of Indonesian cocoa exports
used econometric analysis with the Gravity Model approach. Significant variables
that affecting the flow of Indonesian cocoa paste export are importer GDP, the
GDP of Indonesia, importer population, the population of Indonesia, the export
price of Indonesian cocoa paste, the real exchange rate of the IDR, economic
distance, and the duties of cocoa beans. While for the commodity cocoa butter, fat,
oil throughout these variables have a significant effect. Meanwhile, in commodity
cocoa powder there are two variables that do not significantly affect the flow of
Indonesian cocoa powder exports are importer GDP and economic distance.
Keywords: Cocoa, Export, RCA, Gravity Model, Panel Data
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
ANALISIS DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI ALIRAN EKSPOR KOMODITAS KAKAO
OLAHAN INDONESIA
AHMAD FADHLI FIRSYA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Tak lupa salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi dan
Rasul termulia Muhammad SAW beserta keluarganya dan sahabatnya yang setia
hingga akhir zaman.
Skripsi yang berjudul “Analisis Dayasaing dan Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao Olahan Indonesia”, ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen
Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk
menganalisis dayasaing dan faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor
komoditas kakao olahan Indonesia.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Firdaus dan Ibu
Syamsiah serta adik-adik tercinta dari penulis, Muhammad Haekal Firsya dan
Nada Ulfa Firsya atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu,
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Alla Asmara, S.Pt. M.Si selaku dosen penguji utama dan Dr. Muhammad
Findi A, SE, M.E selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas saran dan
kritik yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr yang juga telah memberikan arahan dan saran
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi
FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.
5. Keluarga KAREMATA FEM IPB, Ryan, Dudi, Dewa, Ari, Ardhi, Mia,
Tazkia, Nurul, Nia, Trisa, Triana, Linda, Garin, Baskara, Indra, dan yang
lainnya baik dari angkatan perintis sampai angkatan 11.
6. Teman satu bimbingan, Adnan, Andra, Ina, dan Tere yang telah membantu
dalam memberi masukan dan doa.
7. Teman kontrakan DR D-15, Aji, Arif, Agung, Bayu, Busrol, Pardi, dan
Samsu.
8. Fridayanti Dwi Mumpuni atas waktu, saran, kesabaran, motivasi, dan doanya.
9. Teman-teman Ilmu Ekonomi 45 atas dukungan dan motivasinya.
10. Semua Pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014
Ahmad Fadhli Firsya
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 7
Ruang Lingkup Penelitian 7
TINJAUAN PUSTAKA 7
Konsep Dayasaing 7
Konsep Perdagangan Internasional 9
Konsep Aliran Perdagangan Ekspor 11
Model Gravitasi (Gravity Model) 15
Studi Penelitian Terdahulu 16
Kerangka Pemikiran 21
Hipotesis Penelitian 23
METODE PENELITIAN 23
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Analisis 24
Definisi Operasional 32
PRODUKSI DAN EKSPOR KAKAO OLAHAN INDONESIA SERTA
PERKEMBANGAN EKONOMI NEGARA TUJUAN UTAMA 33
Produksi dan Ekspor Kakao Olahan Indonesia 33
Aliran Ekspor Kakao Olahan Indonesia dan Perekonomian Negara Importir 34
HASIL DAN PEMBAHASAN 37
Analisis Dayasaing Kakao Olahan Indonesia di Negara Tujuan Utama 45
Estimasi Model Aliran Perdagangan Ekspor Kakao Olahan Indonesia 50
SIMPULAN DAN SARAN 60
Simpulan 60
Saran 61
DAFTAR PUSTAKA 63
LAMPIRAN 65
RIWAYAT HIDUP 78
DAFTAR TABEL
1 Perkembangan ekspor komoditas primer perkebunan tahun 2008 - 2011 2
2 Produksi negara penghasil kakao terbesar di dunia (ton) 2
3 Ekspor kakao olahan Indonesia ke negara tujuan utama tahun 2006-
2012 4
4 Impor total kakao olahan oleh negara tujuan ekspor Indonesia 2008-
2012 4
5 Selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya 32
6 Luas areal perkebunan dan produksi kakao tahun 2006-2013 33
7 Perkembangan luas areal perkebunan kakao Indonesia berdasarkan
status pengusahaannya tahun 2009-2013 34
8 Perkembangan produktivitas kakao berdasarkan status pengusahaannya
tahun 2006-2012 34
9 Produksi kakao di daerah sentra produksi di Indonesia 35
10 Perkembangan ekspor kakao olahan Indonesia berdasarkan kode HS 4
digit pada negara tujuan utama ekspor tahun 2012 37
11 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Amerika tahun 2009-2012 38
12 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Australia tahun 2009-2012 38
13 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Belanda tahun 2009-2012 39
14 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Cina tahun 2009-2012 39
15 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Jerman tahun 2009-2012 39
16 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Amerika 45
17 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Australia 46
18 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Belanda 48
19 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Cina 48
20 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Jerman 49
21 Hasil estimasi model aliran ekspor pasta kakao Indonesia ke negara
tujuan utama 51
22 Hasil estimasi model aliran ekspor mentega, lemak dan minyak kakao
Indonesia ke negara tujuan utama 54
23 Hasil estimasi model aliran ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara
tujuan utama 57
DAFTAR GAMBAR
1 Pendapatan domestik bruto atas harga konstan 2000 menurut lapangan
usaha tahun 2004-2013 1 2 Volume ekspor produk kakao berdasarkan kode HS 4 digit tahun 2000-
2012 3 3 Volume aliran ekspor kakao olahan dunia dan Indonesia tahun 2000-
2012 5
4 Pangsa pasar kakao olahan Indonesia di negara tujuan utama tahun
2008-2012 6 5 Kurva Perdagangan Internasional 10
6 Dampak depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
pada net ekspor 14 7 Analisis keseimbangan parsial atas biaya transportasi 16 8 Kerangka Pemikiran 22
9 Pohon Industri Kakao 36
10 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan GDP riil perkapita
negara pengimpor tahun 2005-2012 40
11 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan Populasi negara
pengimpor tahun 2005-2012 41 12 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan harga ekspor
kakao olahan Indosia di negara importir tahun 2005-2012 42
13 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan nilai tukar riil
Indonesia tahun 2005-2012 43 14 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan jarak ekonomi
importir tahun 2005-2012 44 15 Harga pasta kakao negara eksportir di Belanda (USD/kg) 47 16 Harga Ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao negara eksportir di
Belanda 47 17 Harga bubuk kakao negara eksportir di Jerman (USD/kg) 49
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Amerika
berdasarkan kode HS 4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012 65
2 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Australia
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012 66
3 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Belanda
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012 67
4 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Cina
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012 68
5 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di Jerman
berdasarkan kode HS4 digit dengan metode RCA tahun 2005-2012 69
6 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan Indonesia
kode HS 1803 tahun 2005-2012 (dalam bentuk LN) 70
7 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan Indonesia
kode HS 1804 tahun 2005-2012 (dalam bentuk LN) 71
8 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan Indonesia
kode HS 1805 tahun 2005-2012 (dalam bentuk LN) 72
9 Uji Chow pada kakao dengan kode HS 1803 (Pasta Kakao) 73
10 Uji Chow pada kakao dengan kode HS 1804 (Mentega, Lemak, dan
Minyak Kakao) 73
11 Uji Chow pada kakao dengan kode HS 1805 (Bubuk Kakao) 73
12 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor
pasta kakao (HS 1803) Indonesia ke negara tujuan utama 74
13 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor
mentega, lemak, dan minyak kakao (HS 1804) Indonesia ke negara
tujuan utama 75
14 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor
bubuk kakao (HS 1805) Indonesia ke negara tujuan utama 76
15 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi aliran
ekspor pasta kakao (HS 1803) Indonesia ke negara tujuan utama 77
16 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi aliran
ekspor mentega, lemak, dan minya kakao (HS 1804) Indonesia ke
negara tujuan utama 77
17 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi aliran
ekspor bubuk kakao (HS 1805) Indonesia ke negara tujuan utama 77
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara agraris dikarenakan besarnya
peranan dan kontribusi sektor pertanian bagi perekonomian Indonesia. Pertanian
dalam konteks ini diartikan luas yang terdiri dari pertanian, perkebunan,
kehutanan, perburuan, dan perikanan. Dengan cakupan yang luas tersebut sektor
pertanian memiliki andil yang besar dalam kontribusi terhadap pembentukan
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Pada kurun waktu Tahun 2004-2013
sektor pertanian merupakan sektor ketiga terbesar setelah sektor industri
pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran (Gambar 1).
Keterangan: * Angka Sementara
** Angka Sangat Sementara
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (diolah)
Gambar 1 Pendapatan domestik bruto atas harga konstan 2000 menurut lapangan
usaha tahun 2004-2013
Berkembangnya sektor pertanian Indonesia tidak lepas dari beberapa
komoditas unggulan pertanian tersebut, salah satunya adalah kakao. Kakao
merupakan salah satu komoditas unggulan sub sektor perkebunan dari 15
komoditas unggulan nasional yang dicanangkan untuk dikembangkan secara
besar-besaran di Indonesia. Berdasarkan nilai ekspornya kakao merupakan salah
satu komoditas perkebunan yang memiliki kontribusi terbesar ketiga setelah
minyak sawit dan karet. Pada kurun waktu 2008-2011 nilai ekspor kakao
menunjukan pertumbuhan yang positif. Nilai ekspor kakao terbesar terjadi pada
tahun 2010 yakni mencapai 1.643,7 juta US$ (Tabel 1).
0.00
100000.00
200000.00
300000.00
400000.00
500000.00
600000.00
700000.00
800000.00
Mil
liar
Ru
pia
h
1. Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan
2. Pertambangan dan
Penggalian
3. Industri Pengolahan
4. Listrik, Gas & Air Bersih
5. Konstruksi
6. Perdagangan, Hotel &
Restoran
7. Pengangkutan dan
Komunikasi
8. Keuangan, Real Estate &
Jasa Perusahaan
9. Jasa-jasa
2
Tabel 1 Perkembangan ekspor komoditas primer perkebunan tahun 2008 2011
No Komoditas Perkebunan
Nilai Ekspor Komoditas Primer Perkebunan
(juta US$)
2008 2009 2010 2011*
1 Karet 6023.3 3241.5 7326.6 11135.8
2 Minyak Sawit 12375.0 10368.0 13469.0 17261.0
−Minyak sawit (CPO) 6561.0 671.0 9085.0 10961.0
−Minyak sawit lainnya 5814.0 3658.0 4384.0 63.0
3 Kelapa 900.5 494.5 702.6 1060.7
4 Kopi 991.5 824.0 814.3 963.4
5 Teh 159.0 171.6 178.5 152.1
6 Lada 185.7 140.3 245.9 195.9
7 Tembakau 133.2 172.6 195.6 137.5
8 Kakao 1268.9 1413.5 1643.7 1172.0
9 Jambu Mete 77.8 82.7 71.6 67.7
10 Cengkeh 7.3 5.6 12.6 15.1
11 Kapas 0.7 0.7 1.0 1.0
12 Tebu (molasses) 72.4 61.8 69.2 60.1
Tebu (gula hablur) 0.8 0.6 - -
Total 22196.1 16977.4 24730.06 32222.3
Keterangan: * Angka Sementara
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2013
Selain karena nilai ekspornya yang tinggi kakao menjadi komoditas
unggulan karena Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kakao terbesar
di dunia. Berdasarkan data FAOSTAT pada tahun 2007-2012 Indonesia
merupakan negara produsen kakao terbesar ke dua setelah Pantai Gading (tabel 2).
Pada kurun waktu tersebut produksi kakao Indonesia menunjukkan
kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya. Adapun produksi kakao olahan
Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2012 dengan volume yang mencapai sekitar
900.000 ton. Dengan jumlah produksi kakao nasional di atas 700.000 ton, kakao
tersebut tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri namun
juga untuk diekspor.
Tabel 2 Produksi negara penghasil kakao terbesar di dunia (ton)
Negara 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pantai Gading 1 229 908 1 382 441 1 223 153 1 301 347 1 559 441 1 713 505
Indonesia 740 006 803 593 809 583 844 626 712 200 972 336
Ghana 614 500 680 781 710 638 632 037 700 020 913 192
Nigeria 360 570 367 020 363 510 399 200 400 000 397 740
Cameroon 212 619 229 203 235 500 264 077 272 000 265 852
Brazil 201 651 202 030 218 487 235 389 248 524 138 454
Sumber: FAOSTAT, 2013
3
Selama ini Indonesia telah mengekspor kakao ke berbagai Negara.
Komoditi ekspor kakao terbesar disumbang oleh cocoa beans, whole or broken,
raw or roasted atau yang dapat didefinisikan sebagai biji kakao yang volumenya
mencapai sekitar 70% dibandingkan komoditi kakao (olahan) lainnya. Selama
kurun waktu 2000-2012 nilai ekspor cocoa beans berfluktuasi meskipun masih
mengungguli produk turunan ekspor kakao lainnya. Volume ekspor biji kakao
terbesar terjadi pada tahun 2006 yang mancapai sekitar 500.000 ton (Gambar 2). Volume ekspor biji kakao yang besar tersebut belum mampu diikuti
produk turunan kakao (olahan) baik produk akhir maupun setengah jadi yaitu
cocoa butter, cocoa paste, cocoa powder, chocolate dan lainnya. Pada (Gambar 2)
terlihat secara grafis ekspor produk turunan kakao menunjukan kecenderungan
pertumbuhan yang statis. Kondisi demikan mengindikasikan bahwa belum
optimalnya ekspor produk turunan kakao olahan Indonesia.
Sumber : UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Gambar 2 Volume ekspor produk kakao berdasarkan kode HS 4 digit tahun 2000-
2012
Dalam upaya meningkatkan industri pengolahan kakao di dalam negeri,
pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan kebijakan pajak ekspor yang
kemudian disebut dengan Bea Keluar (BK) pada komoditi biji kakao. Kebijakan
tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.67/PMK.011/2010 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan BK dan
Tarif BK. Kebijakan pengenaan bea keluar terhadap ekspor biji kakao bertujuan
untuk menjamin pasokan bahan baku bagi industri pengolahan kakao di dalam
negeri. Oleh karena itu pengenaan bea keluar atas biji kakao dimaksudkan untuk
merangsang tumbuhnya industri pengolahan kakao di Indonesia yang pada
gilirannya akan meningkatkan ekspor kakao olahan Indonesia.
0
100000000
200000000
300000000
400000000
500000000
600000000
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Jum
lah
Eks
po
r (k
g)
Tahun
COCOA BEANS, WHOLE ORBROKEN, RAW OR ROASTED
COCOA SHELLS, HUSKS, SKINSAND OTHER COCOA WASTE
COCOA PASTE,WETHER, ORNOT DEFATTED
COCOA BUTTER, FAT AND OIL
COCOA POWDER, NOTCONTAINING ADDED SUGAROR OTHER SWEETENING
CHOCOLATE AND OTHER FOODPREPARATIONS CONTAININGCOCOA (+)
4
Adapun negara tujuan utama ekspor kakao olahan Indonesia adalah
Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan Jerman. Pada kurun waktu tahun 2006-
2012 ekspor produk kakao olahan Indonesia yang diserap oleh kelima negara
tersebut rata-rata mencapai 42.8% dari seluruh total ekspor produk kakao olahan
Indonesia. Adapun persentase ekspor tertinggi kakao olahan Indonesia yang
diserap oleh kelima negara tersebut terjadi pada tahun 2012, yakni mencapai 51,5
persen dari seluruh total ekspor produk kakao olahan Indonesia ke berbagai
negara (tabel 3).
Tabel 3 Ekspor kakao olahan Indonesia ke negara tujuan utama tahun 2006-2012
Tahun Volume Ekspor (1000 ton)
Ekspor Indonesia
ke negara tujuan
utama
Amerika Australia Belanda Cina Jerman (%)
2006 19.9 8.8 8.8 3.3 1.3 40.6
2007 25.1 9.5 6.8 3.2 2.4 41.4
2008 24.1 8.7 7.7 5.7 3.5 41.5
2009 16.4 5.8 4.6 4.1 3.2 38.7
2010 24.2 6.8 2.2 5.9 3.5 41.9
2011 37.1 6.3 3.2 6.3 14 44
2012 45.8 8.1 3.4 7.9 24.7 51.5
Rata-rata 27.5 7.7 5.3 5.2 7.5 42.8
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Jika dikalkulasikan, pada tahun 2008-2012 persentase rata-rata lima
negara tujuan utama ekspor kakao olahan Indonesia tersebut mampu menyerap
mencapai 36.8% dari seluruh total impor dunia (tabel 4). Selain itu, tren impor
lima negara tersebut menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap
tahunnya. Kondisi demikian mengindikasikan bahwa kebutuhan kakao olahan
pada negara-negara tersebut semakin meningkat, sehingga secara tidak langsung
akan memberi peluang bagi Indonesia sebagai negara pengekspor kakao olahan
untuk meningkatkan volume ekspornya pada lima negara tersebut.
Tabel 4 Impor total kakao olahan oleh negara tujuan ekspor Indonesia 2008-2012
Negara Volume Impor (1000 ton)
Pangsa
terhadap total
impor dunia
Amerika Australia Belanda China Jerman (%)
2008 282.6 43.3 148.7 34.6 184.6 34.4
2009 267.7 41.2 142.1 34.5 198.8 35.5
2010 305.5 43.1 175.4 44.7 237.6 37.2
2011 278.3 48.7 240.4 53.3 251.9 38
2012 253.6 45.4 209 58.4 283 38.9
Rata-rata 277.5 44.3 183.1 45.1 231.2 36.8
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
5
Sebagai salah satu negara produsen kakao terbesar dunia, Indonesia dapat
dikatakan masih tergolong baru dalam Industri pengolahan kakao. Hal demikian
tercermin dari rendahnya ekspor kakao olahan dibandingkan ekspor dalam bentuk
biji. Adanya kebijakan bea keluar atas ekspor biji kakao diharapkan dapat
berpengaruh pada berkembangnnya industri pengolahan kakao di Indonesia yang
pada akhirnya mampu meningkatkan ekspor kakao nya dalam bentuk olahan.
Perumusan Masalah
Kakao merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting bagi
perekonomian Indonesia. Seperti yang telah dipaparkan pada latar belakang di
bagian sebelumnya, kakao merupakan penyumbang devisa terbesar ketiga setelah
sawit dan karet dari ekspor yang dilakukan oleh Indonesia. Meskipun demikian,
komoditas ekspor kakao selama ini masih didominasi dalam bentuk biji dan
belum mampu diimbangi oleh produk turunan lainnya. Sehingga pemerintah
berkewajiban mendorong terjadinya hilirisasi atau peningkatan nilai tambah
komoditas kakao melalui produk turunan kakao tersebut.
Pada gambar 3 menunjukkan volume aliran ekspor kakao olahan Indonesia
dan dunia dari tahun 2000 hingga 2012. Pada gambar tersebut terlihat bahwa tren
ekspor kakao olahan Indonesia menunjukkan kecenderungan yang statis setiap
tahunnya. Adapun peningkatan ekspor kakao olahan Indonesia mulai terlihat pada
kurun waktu 2010-2012. Hal berbeda terjadi pada volume ekspor kakao olahan
dunia yang menunjukkan kecenderungan peningkatan setiap tahunnya pada
periode tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat
peluang bagi Indonesia sebagai salah satu eksportir kakao olahan dunia untuk
meningkatkan volume ekspornya.
Sumber: UN COMTRADE, 2014 (diolah)
Gambar 3 Volume aliran ekspor kakao olahan dunia dan Indonesia tahun 2000-
2012
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
To
n
Dunia
Indonesia
6
Dalam perkembangannya, pangsa pasar kakao olahan Indonesia pada
masing-masing negara tujuan utama menunjukkan tren yang berbeda setiap
tahunnya (Gambar 4). Pangsa pasar kakao olahan Indonesia di Amerika
menunjukkan tren meningkat pada tahun 2008-2012. Sedangkan pangsa pasar
ekspor kakao olahan Indonesia di negara Belanda terus mengalami penurunan
drastis dari tahun 2008-2012. Selain itu, pangsa pasar kakao olahan Indonesia di
Jerman juga mengalami penurunan pada tahun 2008-2010. Adapun pangsa pasar
kakao olahan Indonesia di negara Australia dan Cina mengalami fluktuasi setiap
tahunnya.
Sumber : UN COMTRADE, 2014 (diolah)
Gambar 4 Pangsa pasar kakao olahan Indonesia di negara tujuan utama tahun
2008-2012
Potensi aliran ekspor kakao olahan dunia di masa mendatang sepatutnya
dapat menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan perdagangan
ekspor kakao olahannya. Namun kecenderungan peningkatan aliran kakao dunia
tersebut justru tidak diikuti oleh peningkatan peningkatan aliran ekspor kakao
olahan Indonesia secara konsisten khususnya di lima pasar utama ekspor kakao
olahan Indonesia yaitu Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan Jerman.
Kecenderungan fluktuasi kelima negara tersebut menimbulkan ketidakpastian
tentang aliran ekspor Indonesia di masa mendatang. Berdasarkan kondisi tersebut,
maka pengembangan dayasaing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan
perluasan pasar produk kakao olahan Indonesia.
Dayasaing kakao olahan Indonesia di pasar Internasional yang menjadi
andalan ekspor Indonesia tentunya akan memengaruhi perkembangan ekspor dan
nilai ekspor. Sehingga pada penelitian ini akan dianalisis posisi dayasaing kakao
olahan Indonesia. Selain itu penelitian ini juga melakukan analisis faktor-faktor
yang memengaruhi permintaan ekspor kakao olahan Indonesia ke negera-negara
tujuan utama yaitu Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan Jerman.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan fenomena permasalahan tersebut, maka
dalam penelitian ini dirumuskan beberapa permasalahan, diantaranya:
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
2008 2009 2010 2011 2012
Pan
gsa
Eksp
or
(%)
Amerika
Australia
Belanda
China
Jerman
7
1. Mengkaji perkembangan luas lahan, produksi dan ekspor kakao olahan
Indonesia serta perekonomian negara tujuan utama ekspor.
2. Menganalisis posisi dayasaing hasil kakao olahan Indonesia di negara
tujuan ekspor.
3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi volume aliran ekspor
kakao olahan (kode HS 4 digit) Indonesia ke Amerika, Australia, Belanda,
Cina, dan Jerman.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan di atas, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang perdagangan komoditas kakao Indonesia.
2. Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi unutk
penelitian sselanjutnya yang berkaitan dengan perdagangan.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis mengenai dayasaing serta faktor-faktor yang
memengaruhi ekpor komoditas kakao olahan Indonesia. Periode waktu yang
dianalisis dalam penelitian ini dari tahun 2005-2012. Komoditi hasil olahan kakao
yang diteliti berdasarkan Harmony System (HS) 4 digit dengan kode Harmony
system sebagai berikut :
1. Pasta kakao tidak dihilangkan lemaknya atau dihilangkan lemaknya (HS
1803).
2. Mentega, lemak, dan minyak kakao (HS 1804).
3. Bubuk kakao tidak mengandung tambahan pemanis atau lainnya (HS
1805)
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Dayasaing
Dayasaing menurut Porter (1995) didefinisikan sebagai kemampuan suatu
perusahaan dalam suatu industri untuk menghadapi berbagai lingkungan.
Dayasaing ditentukan oleh keunggulan bersaing suatu perusahaan dan sangat
tergantung pada tingkat sumberdaya relatif yang dimilikinya. Penelitian Porter
tentang keunggulan bersaing negara-negara mencakup tersedianya peranan
sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada keadaan negara yang memengaruhi
dayasaing perusahaan-perusahaan internasional pada industri yang berbeda.
Dayasaing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar
luar negeri dan kemampuan untuk bertahan di dalam pasar tersebut. Pengertian
dayasaing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan
8
produk yang dihasilkan negara relatif terhadap kemampuan negara lain (Porter,
1990).
Pada dasarnya tingkat dayasaing suatu negara dalam perdagangan
internasional ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor keunggulan komparatif
(comparative advantage) dan faktor keunggulan kompetitif (competitive
advantage). Lebih lanjut, faktor keunggulan komparatif dapat dianggap sebagai
faktor yang bersifat alamiah dan faktor keunggulan kompetitif dianggap sebagai
faktor yang bersifat acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan (Tambunan,
2001).
Teori Keunggulan Komparatif
Teori keunggulan komparatif dari David Ricardo merupakan
penyempurnaan dari teori keunggulan absolut Adam Smith. Teori keunggulan
komparatif (The Law of Comparative Advantage) mula-mula dikemukakan oleh
David Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki
keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan
negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa
berlangsung, selama rasio harga antarnegara masih berbeda jika dibandingkan
dengan tidak ada perdagangan.
Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasarkan teori tenagakerja
(labour theory of value) yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang
penting yang menentukan nilai suatu komoditas yaitu tenaga kerja. Nilai suatu
komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja
yang diperlukan untuk menghasilkannya. Menurut teori keunggulan komparatif
suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional apabila
melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut
dapat berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara
tersebut berproduksi relatif kurang/tidak efisien.
Perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena
memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang keunggulan
komparatifnya ia kuasai. Dengan kata lain, perdagangan antara dua negara akan
menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan
mengekspor produk yang keunggulan komparatifnya ia kuasai.
Menurut Simatupang (1991), konsep keunggulan komparatif merupakan
ukuran dayasaing (keunggulan) potensial. Artinya, dayasaing akan dicapai apabila
perekonomian tidak mengalami distorsi. Dengan kata lain, komoditas yang
memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara
ekonomi. Suatu Negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu
secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain.
Teori keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif adalah suatu keunggulan yang dapat
dikembangkan, keunggulan ini harus diciptakan untuk dapat memilikinya. Jadi,
keunggulan kompetitif suatu komoditas atau sektor ekonomi terbentuk dengan
kinerja yang dimilikinya sehingga dapat unggul dari komoditas atau sektor
9
ekonomi lainnya. Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh
Porter (1990) dengan empat faktor utama yang menentukan dayasaing yaitu
kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta kondisi
strategis, struktur perusahaan dan persaingan.
Selain keempat faktor tersebut, ada dua faktor yang memengaruhi interaksi
antara keempat faktor tersebut yaitu peran pemerintah dan peran kesempatan.
Secara bersama-sama faktor-faktor tersebut membentuk sistem dalam peningkatan
keunggulan dayasaing yang disebut Porter’s Diamond Theory (Tarigan, 2005).
Konsep Perdagangan Internasional
Perdagangan Internasional merupakan perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu Negara dengan penduduk Negara lain atas dasar kesepakatan
bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu
dengan individu), antar individu dengan pemerintah suatu Negara atau pemerintah
suatu Negara dengan pemerintah Negara lain. Perdagangan internasional
tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu Negara menjadi salah satu
komponen dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) dari sisi
pengeluaran suatu Negara.
Perdagangan Internasional sebenarnya sudah ada sejak dahulu, namun
dalam ruang lingkup dan jumlah yang terbatas, dimana pemenuhan kebutuhan
setempat (dalam negeri) yang tidak dapat diproduksi, dipenuhi secara barter
(pertukaran barang dengan barang lainnya yang dibutuhkan oleh kedua belah
pihak, dimana masing-masing negara tidak dapat memproduksi barang-barang
tersebut untuk kebutuhannya sendiri). Hal ini terjadi karena setiap negara dengan
negara mitra dagangnya mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya perbedaan
kandungan sumberdaya alam, iklim, penduduk, sumberdaya manusia, spesifikasi
tenagakerja, konfigurasi geografis, teknologi, tingkat harga, struktur ekonomi,
sosial dan politik, dan sebagainya. Dari perbedaan tersebut, maka atas dasar
kebutuhan yang saling menguntungkan, terjadilah proses pertukaran, yang dalam
skala luas dikenal sebagai perdagangan internasional.
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian
halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan
perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain
motif mencari keuntungan, Krugman (2003) mengungkapkan bahwa alasan utama
terjadinya perdagangan internasional:
1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.
2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai
skala ekonomi (economic of scale).
Menurut Sukirno (2004) keuntungan dari melakukan perdagangan
internasional adalah :
1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi dalam negeri. Beberapa
barang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri karena faktor alam
maupun pengetahuan dan teknologi.
2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi karena faktor-faktor produksi
yang dimiliki setiap negara dapat digunakan dengan lebih efisien dan
10
setiap negara dapat menikmati lebih banyak barang yang dapat diproduksi
di dalam negeri.
3. Memperluas pasar-pasar industri dalam negeri. Dengan perluasan pasar,
kapasitas produksi dapat terus ditingkatkan dengan pasar yang luas
sehingga efisiensi dari skala ekonomi dapat tercapai.
4. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara mempelajari teknik
produksi dan manajemen yang lebih baik dari negara lain dan mengimpor
alat-alat dengan teknologi yang lebih canggih dari negara lain untuk
meningkatkan efisiensi.
Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu
komoditas (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga
domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih
rendah dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 5). Struktur harga
yang terjadi di negara A lebih rendah karena produk domestiknya lebih besar
daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply
(memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai
kesempatan menjual kelebihan produksinya ke Negara lain. Di lain pihak, di
negara B kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada
produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B
lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari
negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara
negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan
harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama. Gambar 2.1 memperlihatkan
sebelum terjadinya perdagangan internasional harga di negara A sebesar PA,
sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran pasar internasional akan terjadi
jika harga internasional lebih tinggi dari PA sedangkan permintaan di pasar
internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari PB. Pada saat
harga internasional (P*) sama dengan PA maka negara B akan terjadi excess
demand (ED) sebesar B. Jika harga internasional sama dengan PB maka di Negara
A akan terjadi excess supply (ES) sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva
ES dan ED yang akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional
sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara A akan
mengekspor komoditas (pakaian jadi) sebesar X sedangkan negara B akan
mengimpor komoditas (pakaian jadi) sebesar M, dimana di pasar internasional
sebesar X sama dengan M yaitu Q*.
Sumber: Salvatore (1997)
Gambar 5 Kurva Perdagangan Internasional
SA DA A
PA
O QA
P*
O Q*
ES
ED
PB
SB DB
M
O QB
B
Negara A Perdagangan Negara B
X
11
Keterangan:
PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional.
OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor)
tanpa perdagangan internasional.
A : Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa
perdagangan internasional.
X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A.
PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional.
OQB : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor)
tanpa perdagangan internasional.
B : Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa
perdagangan internasional.
M : Jumlah komoditas yang diimpor oleh negara B.
P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdagangan
internasional.
OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana
jumlah yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).
Konsep Aliran Perdagangan Ekspor
Aliran perdagangan ekspor dari suatu negara ke negara tujuannya dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor penawaran maupun permintaan. Adanya aliran
perdagangan berupa ekspor ke negara-negara tujuan ekspor dapat dikarenakan
penawaran ekspor dari eksportir maupun permintaan ekspor dari negara importir.
Penawaran ekspor dan permintaan ekspor dapat diturunkan dari pengertian
penawaran atau permintaan komoditas pada suatu pasar.
Arti dari penawaran dijelaskan dalam Lipsey, Courant, dan Ragan (1999)
yaitu jumlah komoditas yang dijual oleh penjual atau supplier dalam suatu waktu
dan pada suatu pasar. Jika dalam penawaran ekspor, maka arti tersebut akan
menjadi jumlah komoditas yang dapat dijual oleh suatu negara. Semakin banyak
jumlah yang diproduksi, maka penawaran ekspor suatu negara juga meningkat.
Jumlah komoditas yang diproduksi tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan
atau kapasitas supplier (dalam hal ini adalah negara) dalam memproduksi
komoditas atau output.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kemampuan suatu
negara dalam memproduksi output merupakan faktor penting yang memengaruhi
jumlah penawaran ekspor. Output yang dihasilkan suatu negara dapat disebut
dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP).
Seperti yang dijelaskan oleh Dornbusch, Fischer, dan Startz dalam bukunya
Makroekonomi (2008) bahwa GDP adalah nilai akhir dari semua barang dan jasa
yang diproduksi oleh suatu negara pada suatu waktu. GDP ini merupakan nilai
ouput total yang telah diproduksi (output akhir). Selanjutnya dijelaskan bahwa di
sisi produksi, output ini akan dibayarkan sebagai pembayaran atas faktor-faktor
yang digunakan selama proses produksi, seperti tenaga kerja dan modal.
GDP merupakan faktor penting dalam penawaran ekspor. Hal ini terkait
dengan meningkatnya GDP maka pembayaran untuk tenaga kerja dan modal akan
meningkat sehingga akan mendorong produktivitas dari tenaga kerja dan modal
12
tersebut. Peningkatan produktivitas ini maka barang yang diproduksi akan
meningkat sehingga output nasional akan meningkat kembali, kemudian
penawaran ekspor juga meningkat.
Selain GDP, Lipsey dan Steiner (1975) menyatakan terdapat beberapa
faktor yang dapat memengaruhi penawaran dari suatu komoditas diantaranya
adalah:
1. Tujuan dari perusahaan. Tujuan dari perusahaan akan menentukan berapa
banyak suatu komoditas yang akan ditawarkan. Sebagai contoh sebuah
perusahaan obat–obatan yang lebih memilih untuk memproduksi obat-
obatan dibandingkan memproduksi racun tikus karena obat dinilai lebih
dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga obat merupakan komoditas yang
akan lebih banyak diproduksi dan ditawarkan oleh perusahaan tersebut.
2. Teknologi yang digunakan untuk produksi. Tingkat teknologi memiliki
peranan yang sangat penting di dalam menentukan banyaknya jumlah
barang yang dapat ditawarkan. Semakin modern teknologi yang
digunakan, maka akan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam
berproduksi. Menurut Sukirno (1985), Dalam hubungannya dengan
penawaran suatu barang, kemajuan teknologi menimbulkan dua akibat,
yaitu produksi dapat ditambah dengan lebih cepat dan ongkos produksi
semakin murah, dan dengan demikian keuntungan menjadi lebih besar.
3. Harga barang itu sendiri. Dalam penawaran, harga suatu barang akan
berpengaruh secara positif. Dalam hal ini jika harga suatu barang lebih
tinggi, maka perusahaan atau produsen akan meningkatkan penawarannya
karena barang tersebut dinilai akan memberikan keuntungan yang lebih
tinggi ketika biaya faktor produksi tidak berubah.
4. Harga barang lain (subtitusi atau komplementer) Sebagai contoh, beberapa
petani jagung seharusnya dapat memilih untuk beralih beternak babi atau
menanam kedelai ketika harga jagung turun, namun nyatanya petani
tersebut memilih untuk menanam gandum.
5. Biaya faktor produksi. Perubahan pada biaya faktor produksi akan
memengaruhi penawaran akibat adanya perubahan dari keuntungan yang
akan diperoleh.
Menurut Sukirno (1985), hukum penawaran pada dasarnya menyatakan
bahwa semakin tinggi harga suatu barang, maka akan semakin banyak jumlah
barang tersebut yang akan ditawarkan oleh para penjual, sebaliknya semakin
rendah harga sesuatu barang, maka semakin sedikit jumlah barang yang
ditawarkan oleh para penjual.
Untuk permintaan ekspor juga sama halnya dengan penawaran ekspor,
bahwa pengertian dari permintaan ekspor dapat diambil dari pengertian
permintaan. Pengertian dari permintaan (Lipsey, Courant, dan Ragan, 1999)
adalah jumlah suatu komoditas yang akan dibeli oleh rumah tangga sedangkan
permintaan ekspor dapat berarti jumlah suatu komoditas ekspor yang diminta oleh
suatu negara tertentu.
Lipsey dan Steiner (1975) menyatakan bahwa jumlah permintaan suatu
komoditas ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu:
1. Selera dari suatu masyrakat. Tinggi rendahnya suatu permintaan
ditentukan oleh selera atau kebiasaan dari pola hidup suatu masyarakat.
13
2. Rata-rata pendapatan rumah tangga, dimana jika ada kenaikan pendapatan
rata-rata rumah tangga akan menyebabkan jumlah komoditas yang diminta
lebih banyak pada setiap harga tertentu. Jika dalam konteks perdagangan
internasional, maka pendapatan rumah tangga merupakan pendapatan
suatu negara.
3. Populasi, dimana jika ada kenaikan jumlah populasi maka permintaan
akan suatu komoditas juga meningkat pada tingkat harga tertentu.
4. Harga dari komoditi itu sendiri. Apabila harga dari suatu komoditi
mengalami kenaikan maka permintaan akan komoditi tersebut akan
berkurang. Begitu pula sebaliknya, jika harga dari suatu komoditi
mengalami penurunan makan permintaan akan menigkat.
5. Harga dari komoditas lainnya. Adanya komoditas lain yang mempunyai
kaitan erat dengan suatu barang dapat dikatakan sebagai barang subtitusi
atau barang komplementer. Adanya perbedaan harga pada komoditas lain
tersebut akan memengaruhi harga pada suatu komoditi.
Sukirno (1985) mengungkapkan bahwa hukum permintaan pada
hakekatnya merupakan suatu hipotesa yang menyatakan semakin rendah harga
dari suatu barang, maka semakin banyak permintaan atas barang tersebut.
Sebaliknya, semakin tinggi harga suatu barang, maka akan semakin sedikit
permintaan atas barang tersebut.
Gross Domestik Produk juga dapat diartikan sebagai pendapatan yang
diterima oleh suatu negara. Pendapatan ini dapat diukur dari nilai total barang dan
jasa yang diproduksi suatu negara. Kemudian dijelaskan pula dalam Dornbusch,
Fischer, dan Startz (2008) bahwa dari sisi konsumsi, output atau GDP ini akan
digunakan dalam kegiatan konsumsi dan investasi oleh pemerintah dan para
sektor swasta seperti eksportir. Oleh karena itu, GDP merupakan faktor yang juga
penting dalam hal permintaan ekspor, jika GDP meningkat maka pendapatan juga
meningkat, sehingga konsumsi suatu negara juga meningkat.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa populasi memiliki hubungan yang
positif dengan permintaan. Namun, dalam penelitian Kien dan Hashimoto (2005)
populasi dapat berdampak positif maupun negatif terhadap perdagangan. Hal
tersebut tergantung dari faktor mana yang lebih dominan antara efek penyerapan
atau skala ekonomi suatu populasi. Populasi yang besar menandakan besarnya
pasar domestik yang besar dan sumber penyerapan atas barang dan jasa yang
ditawarkan. Jika penyerapan dari pasar domestik lebih besar, maka akan
mengurangi perdagangan internasional. Dalam kasus tersebut hubungan populasi
terhadap perdagangan adalah negatif. Di lain sisi, pasar domestik memberi
peluang untuk mencapai skala ekonomi. Besarnya populasi secara tidak langsung
akan menciptakan pasar tenaga kerja yang besar. Ketika ada peningkatan tenaga
kerja sebagai faktor produksi maka biaya tenaga kerja dapat ditekan sehingga
produktivitas meningkat. Ketika peningkatan produktivitas lebih besar dari
peningkatan konsumsi pasar domestik, makan akan menciptakan peluang untuk
meningkatkan perdagangan internasional.
Selain GDP, harga dan populasi, nilai tukar juga memengaruhi permintaan
ekspor dari suatu negara (Mankiw, 2007). Kurs merupakan perbandingan nilai
tukar mata uang suatu negara dengan negara lain. Nilai tukar mata uang memiliki
peranan sentral dalam hubungan perdagangan internasional karena kurs dapat
membandingkan harga barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara.
14
e2
e1
NX(e2) NX(e1) NX
Kurs terdiri dari dua jenis yaitu, kurs nominal (nominal exchange rate)
dan kurs riil (real exchange rate). Kurs nominal adalah harga relatif dari
matauang dua negara. Sebagai contoh, jika antara dolar Amerika Serikat dan yen
jepang adalah 120 yen per dolar maka orang Amerika Serikat dapat menukar 1
dolar untuk 120 yen di pasar uang. Sebaliknya, orang Jepang yang ingin memiliki
dolar akan membayar 120 yen untuk setiap dolar yang dibeli. Ketika orang-orang
mengacu pada “kurs” diantara kedua negara, mereka biasanya mengartikan kurs
nominal (Mankiw,2007).
Kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs
riil menyatakan tingkat dimana suatu negara dapat memperdagangkan barang-
barangnya di negara lain dengan kata lain nilai tukar nominal yang sudah
dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga dalam negeri dibandingkan
dengan harga-harga luar negeri. Nilai tukar riil ini dapat pula disebut dengan
Terms of Trade (TOT). Rumus dari nilai tukar dinyatakan dalam persamaan
berikut:
Nilai Tukar Riil = Nilai Tukar Nominal x Harga Barang Dalam Negeri
Harga Barang Luar Negeri
Jika nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terdepresiasi,
maka harga barang Indonesia di luar negeri akan menjadi relatif lebih murah
daripada harga barang yang diperdagangkan di pasar dunia. Hal tersebut
menyebabkan konsumen dunia akan meningkatkan permintaannya terhadap
komoditas ekspor Indonesia. Permintaan yang meningkat ini akan meningkatkan
harga dari komoditas tersebut. Maka dari itu dari sisi produsen, dalam jangka
panjang, jika ada kenaikan harga akan memberikan sinyal untuk terus berproduksi
hingga keuntungannya maksimal. Hal ini tentunya akan meningkatkan penawaran
ekspor. Sebaliknya, Apabila mata uang domestik terapresiasi maka harga impor
bagi penduduk domestik relatif menjadi lebih murah sedangkan bagi para
eksportir hal ini akan berdampak pada kenaikan harga produk mereka sebab
harganya menjadi relatif lebih mahal.
Pada Gambar 6 memperlihatkan pengaruh dari nilai tukar riil (e) terhadap
net ekspor (NX). Terjadinya depresiasi atau penurunan harga barang domestik di
mata dunia ditunjukkan pada penuruan e dari e1 menjadi e2. Penurunan harga
barang domestik ini mengakibatkan ekspor meningkat sehingga net ekspor (NX)
juga meningkat dari NX(e1) menjadi NX(e2).
Sumber: Mankiw, 2007.
Gambar 6 Dampak depresiasi mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
pada net ekspor
e
15
Model Gravitasi (Gravity Model)
Gravity model pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan
internasional oleh Tinberger (1962) yang menganalisis arus perdagangan di
negara-negara Eropa. Menurut Feenstra et al (1998), gravity model dapat
menjelaskan aliran perdagangan internasional dengan baik. Selanjutnya menurut
Alonso (1987) dalam Yuniarti (2007), ditemukan hubungan yang kuat dengan
menggunakan fungsi gravity dengan mengganti massa dengan populasi dan
kekuatan gravitasi dengan beberapa ukuran interaksi antara dua lokasi.
Model gravitasi didasarkan pada hukum gravitasi Newton, yang
menyatakan bahwa gaya gravitasi antara dua benda secara langsung dipengaruhi
secara proporsional oleh massa dari kedua benda dan sebaliknya secara
proporsional dipengaruhi oleh jarak kuadrat antara keduanya. Dalam konteks
perdagangan, model ini menyatakan bahwa intensitas perdagangan antara negara-
negara akan berhubungan secara positif dengan pendapatan nasional masing-
masing negara, dan berhubungan terbalik dengan jarak diantara keduanya.
Gravity model menyajikan suatu analisis yang lebih empiris dari pola
perdagangan dibandingkan model yang lebih teoritis. Model ini pada bentuk
dasarnya menjelaskan perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi
antar Negara dalam ukuran ekonominya seperti PDB dan nilai tukar. Alasan yang
melatar belakangi penggunaan gravity model adalah bahwa negara yang lebih
besar dan kaya banyak melakukan perdagangan luar negeri dibandingkan dengan
negara yang lebih kecil dan miskin di mana ada pengaruh dari jarak, namun bukan
sebagai hambatan. Sesuai dengan perumusan Newton terhadap model gravitasi
fisika yaitu “interaksi antara dua objek adalah sebanding dengan massanya dan
berbanding terbalik dengan jarak masing-masing”.
Fij = G
dimana :
Fij = Volume aliran perdagangan
Mi,j = Ukuran ekonomi untuk kedua negara
Dij = Jarak antara kedua negara
G = Konstanta
Jarak adalah faktor geografi yang menjadi variabel utama dalam gravity
model untuk aliran perdagangan. Dalam kaitannya dengan perdagangan, jarak
memberikan pengaruh dalam masalah biaya angkut (transportasi) produk dari titik
produksi ke titik konsumsi. Biaya angkut tersebut juga memberikan dampak
secara langsung maupun tidak langsung bagi perdagangan internasional. Variabel
jarak tersebut dapat dimodifikasi menjadi economics distance atau jarak ekonomi.
Jarak ekonomi dalam model gravitasi berpengaruh negatif terhadap aliran
perdagangan. Semakin jauh jarak, maka aliran perdagangan akan semakin rendah
karena menunjukkan biaya transportasi yang tinggi. Variabel ini menghitung jarak
geografis antara dua negara, juga memasukkan GDP negara mitra dagang atau
yang disebut weighted-average economics distance (Li et al., 2008). Adapun
rumus yang digunakan dalam menghitung jarak ekonomi yaitu:
Mi x Mj
Dij2
16
Ekspor
Impor
3
5
7
9
11
13
D
Px($)
Z Z
Jarak Ekonomi = Jarak Geografis antarnegara X (∑ GDPj)
GDPj
Salvatore (1997) menjelaskan pengaruh biaya transportasi terhadap
perdagangan internasional seperti dalam Gambar 7. Sebelum dilakukan
perdagangan internasional, negara 1 akan memproduksi komoditas X sebanyak 50
unit dengan harga $5, sementara negara 2 akan memproduksi komoditas X
sebanyak 50 unit dengan harga $11. Setelah dilakukan perdagangan internasional
(tanpa biaya transportasi), harga komoditas X di negara 1 akan meningkat
sehingga negara 1 berproduksi lebih banyak kemudian kelebihan produksinya
diekspor ke negara 2. Bertambahnya kuantitas komoditas X menyebabkan harga
komoditas X di negara 2 menurun hingga harga yang berlaku di kedua negara
adalah sama yaitu sebesar $8 dengan kuantitas X yang diperdagangkan sebanyak
50 unit. Biaya transportasi akan menyebabkan harga komoditas di negara importir
yaitu negara 2 meningkat sehingga harga komoidtas X di negara 2 sebesar $9
sementara di negara 1 sebesar $7. Negara 1 akan meningkatkan produksi domestik
atas komoditas X hingga 70 unit, dimana untuk konsumsi domestik sebanyak 30
unit dan 40 unit sisanyadiekspor ke negara 2. Sedangkan di negara 2 disaat harga
$9 produksi komoditas X sebanyak 30 unit, sehingga untuk memenuhi kebutuhan
domestiknya negara 2 mengimpor 40 unit komoditas X dari negara 1.
D
100 70 50 30 30 50 70 100
Sumber : Salvatore (1996)
Gambar 7 Analisis keseimbangan parsial atas biaya transportasi
Studi Penelitian Terdahulu
Penelitian Aspek Ekonomi dan Perdagangan Komoditas Kakao
Sitanggang (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor
yang Memengaruhi Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia di Malaysia,
Singapura, dan Thailand dalam Skema CEPT-AFTA. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa harga biji kakao di pasar internasional, harga biji kakao di
Negara 1
Negara 2 Sx
Sx
17
negara tujuan, dan ekspor olahan negara tujuan berpengaruh signifikan terhadap
permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand
pada taraf lima persen. Sedangkan variabel dummy CEPT-AFTA menunjukkan
bahwa sebelum dan sesudah implementasi CEPT-AFTA, permintaan ekspor biji
kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalah berbeda nyata.
Adjusted R2
pada penelitian ini sebesar 96,45 persen yang berarti bahwa
perubahan pada permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura,
dan Thailand sebesar 96,45 persen dapat dijelaskan oleh variabel independen yang
digunakan dalam model.
Rahmanu (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Dayasaing
Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia”. Penelitian ini
menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk
menganalisa dayasaing olahan kakao Indonesia, metode Porter’s Diamond untuk
menganalisa faktor-faktor yang menghambat perkembangan industri pengolahan
kakao nasional, dan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menganalisa
faktor-faktor yang memengaruhi posisi dayasaing hasil olahan kakao Indonesia.
Hasil penelitian dengan menggunakan metode RCA menunjukkan bahwa kakao
olahan Indonesia tidak memilliki keunggulan komparatif pada tahun 1988 sampai
dengan tahun 1995 dengan nilai RCA di bawah satu dan memiliki keunggulan
komparatif pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 dengan nilai RCA diatas
satu. Sedangkan hasil metode OLS menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi dayasaing hasil olahan kakao Indonesia adalah harga kakao olahan,
volume ekspor kakao olahan, dan krisis ekonomi, sedangkan faktor-faktor yang
tidak berpengaruh terhadap dayasaing hasil olahan kakao Indonesia adalah
produktivitas industry pengolahan kakao. Pada variabel produktivitas industri
pengolahan kakao tidak berpengaruh terhadap dayasaing hasil olahan kakao,
karena dayasaing hasil olahan kakao lebih dipengaruhi oleh mutu dan kualitas
produk, sedangkan peningkatan produktivitas tidak menjamin peningkatan mutu
hasil olahan kakao.
Osei danYeboah (2007) dalam jurnal “Increased Cocoa Bean Exports
under Trade Liberalization: A Gravity Model Approach” menganalisis potensi
ekspor kakao 16 negara eksportir utama Amerika Serikat dengan menggunakan
Gravity Model. Model diestimasi dengan regresi data panel panel Fixed Effect
Model (FEM). Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa perbedaan relative
faktor pendorong berbeda pengaruhnya bagi perdagangan. Perbedaan pendapatan
di antara negara importer dan eksportir, perbedaan factor endowment, yang diukur
melalui perbedaan GDP per kapita, dan perbandingan perekonomian antar negara
yang diukur dengan membandingkan GDP AS terhadap GDP negara eksportir
berpengaruh signifikan dan sesuai dengan hipotesis. Sedangkan nilai tukar dan
perbandingan lahan terhadap tenaga kerja tidak signifikan. Nilai tukar tidak
signifikan karena negara eksportir merupakan negara berkembang yang umumnya
menerapkan control terhapa nilai tukar.
Penelitian tentang Gravity Model dan Panel Data
Nurul Andelisa (2011) dalam skripsinya “Analisis Dayasaing dan Aliran
Ekspor Produk Crude Coconut Oil (CCO) Indonesia”. Penelitian ini mengestimasi
18
faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor CCO Indonesia (dengan
pendekatan Model Gravitasi). Model diestimasi dengan regresi data panel panel
Fixed Effect (Cross). Kesimpulan dari penelitian ini adalah varibel GDP per
kapita Indonesia tidak berpengaruh nyata pada model. Variabel yang signifikan
terhadap variabel volume ekspor produk tersebut yaitu, populasi negara tujuan
ekspor, GDP per kapita riil negara tujuan ekspor, nilai tukar riil rupiah terhadap
mata uang negara tujuan dan jarak ekonomi. Nilai R squared sebesar 0,990527
dapat diinterpretasikan 99,0527 persen keragaman volume ekspor produk CCO
Indonesia dapat dijelaskan oleh lima variabel bebas yang ada di dalam model.
Selain itu, hasil fixed effect (cross) memberikan gambaran Cina merupakan pasar
paling potensial kerena memiliki rata-rata perubahan volume ekspor produk CCO
tertinggi diantara negara tujuan ekspor lainnya.
Eita dan Jordan (2007) dalam jurnal “South Africa Exports of Metal and
Articles of Base Metal: A Gravity Approach”, menganalisis faktor-faktor yang
memengaruhi aliran ekspor baja dan barang berbasis baja Afrika Selatan ke 33
negara tujuan ekspor. Faktor-faktor yang dianalisis untuk mengetahui determinan
pengaruh ekspor baja dan barang berbasis baja Afrika Selatan adalh GDP Afrika
Selatan dan negara tujuan, Populasi Afrika Selatan dan negara tujuan, jarak antara
Afrika Selatan dan negara tujuan sebagai proksi biaya transpostasi serta dummy
variabel South African Development Community (SADC) yaitu bernilai satu untuk
negara yang menjadi anggota dan bernilai nol untuk lainnya dan dummy variabel
Afrika dimana bernilai satu untuk negara anggota Afrika dan bernilai nol untuk
lainnya.
Penelitian ini menggunakan uji stasioneritas sebelum mengestimasi model
faktor-faktor yang menentukan aliran ekspor baja dan barang berbasis baja Afrika
Selatan. Jika seluruh model telah stasioner, maka metode estimasi tradisional
seperti OLS dapat dilakukan untuk mengestimasi hubungan antara variabel.
Penelitian ini melakukan uji pemilihan model terbaik dengan melakukan
Hausman Test pada data panel yang menghasilkan Fixed Effect Model (FEM)
sebagai model terbaik sementara hasil estimasi Random Effect Model (REM) tidak
konsisten. Estimasi menghasilkan GDP Afrika, GDP negara tujuan, Populasi
Afrika selatan memiliki hubungan positif dan signifikan, sedangkan populasi
negara tujuan berpengaruh negatif namun tidak signifikan. Sedangkan jarak dan
dummy variable diestimasi pada regresi tahap dua. Jarak berpengaruh negatif dan
dummy variable SADC dan Afrika berpengaruh positif terhadap aliran ekspor.
Ketiga varibel menghasilkan tanda yang sesuai dengan teori.
Yuniarti (2007) meneliti tentang determinan perdagangan bilateral
Indonesia dengan pendekatan Gravity Model yang menyimpulkan bahwa PDB
dari Negara eksportir (Yi) dan importir (Yj) mempunyai hubungan positif,
variabel jarak berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral, variabel
kesamaan ukuran perekonomian berpengaruh positif, variabel populasi mitra
dagang mempunyai koefisien positif, dan keanggotaan dalam area perdagangan
bebas tidak berpengaruh.
Karomah (2011) meneliti tentang dayasaing dan faktor-faktor yang
memengaruhi aliran ekspor nenas Indonesia di pasar internasional,
pengestimasian dengan metode Gravity Model menunjukkan bahwa faktor-faktor
yang memengaruhi aliran ekspor nenas Indonesia dengan negara tujuan adalah
pendapatan per kapita, jarak Indonesia dengan negara tujuan, dan pendapatan per
19
kapita Indonesia. Sedangkan hasil penelitian menggunakan metode Export
Product Dynamic (EPD) menunujukkan bahwa selama periode 2002-2008 kinerja
ekspor nenas Indonesia terletak pada posisi Retreat, disebabkan pertumbuhan
pangsa ekspor nenas dari Indonesia ke dunia yang mengalami penurunan, begitu
juga dengan pangsa pasar ekspor Indonesia.
Penelitian tentang Penawaran Ekspor
Nurahmat (2011) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
penawaran ekspor CPO Indonesia ke India. Penelitian ini menggunakan model
regresi doublelog dan metode untuk menduga parameternya adalah metode
Ordinary Least Square (OLS). variabel independen seperti volume produksi CPO
Indonesia, harga ekspor CPO Indonesia ke India, kurs riil Rupiah terhadap Dollar
Amerika, dan tarif ekspor CPO Indonesia dapat menjelaskan volume ekspor CPO
Indonesia ke India sebesar 89,3% dan sisanya sebesar 10,7% dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak disertakan dalam model penelitian ini.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan
bahwa, besarnya ekspor CPO Indonesia ke India dikarenakan telah terjadi
pengalihan pasar CPO Indonesia dari Eropa ke Asia. Hal ini disebabkan pasar
Eropa menginginkan CPO yang sudah diolah misal biofuel, sedangkan Indonesia
belum mampu untuk memenuhi keinginan Eropa tersebut. Seluruh variabel
variabel independen yang dimasukan dalam model penelitian ini dapat
memengaruhi ekspor CPO Indonesia ke India secara statistik dengan taraf nyata
lima persen. Adapun dalam penelitian ini, dihasilkan variabel harga ekspor CPO
Indonesia ke India memiliki hubungan negatif dengan volume ekspor CPO
Indonesia ke India. Hal ini disebabkan relatif rendahnya kualitas CPO Indonesia.
Sehingga menyebabkan posisi CPO Indonesia di dunia menjadi lemah
dibandingkan negara pesaingnya, seperti Malaysia.
Junaidi (2005), manganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penawaran
ekspor teh Indonesia. Dalam penelitian ini digunakan data sekunder time series
dari tahu 1979 sampai dengan tahun 2002. Metode analisis yang digunakan adalah
metode Error Correction Model (ECM). Dalam penelitian ini digunakan
pendekatan ECM karena pendekatan ini dapat memberikan makna yang lebih luas
dari estimasi model ekonomi sebagai pengaruh perubahan variabel independen
terhadap dependen dalam hubungan jangka pendek dan jangka panjang.
Dari dugaan yang dihasilkan ECM, variabel bebas jangka pendek variabel
bebas jangka panjang yang berpengaruh secara nyata pada taraf nyata 15 persen
terhadap pertumbuhan volume ekspor teh Indonesia adalah pertumbuhan
penawaran ekspor tahun sebelumnya, pertumbuhan produksi, pertumbuhan nilai
tukar, dan dummy. Volume ekspor teh dalam jangka pendek dan jangka panjang
tidak responsif terhadap seluruh variabel bebas. Hal demikian ditunjukkan dengan
nilai elastisitas yang lebih kecil dari satu.
Kustaman (2005), meneliti respon penawaran ekspor serat sabut kelapa
Indonesia. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam
bentuk time series. Analisis regresi adalah metode yang digunakan untuk
menganalisis hubungan antar variabel. Model persamaan yang digunakan adalah
model regresi linier berganda (ekonometrika) atau model double log. Faktor-
20
faktor yang menjadi variabel pada penelitian ini adalah harga ekspor serat sabut
kelapa (US$/Kg), nilai tukar riil rupiah (Rp/US$), produk domestik bruto (Rp),
produksi sabut kelapa (Kg), jumlah ekspor serat sabut kelapa tahun sebelumnya
(Kg) dan luas areal pertanaman kelapa (ha).
Berdasarkan hasil identifikasi variabel dapat disimpulkan bahwa variabel
yang berpengaruh nyata terhadap ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah harga
ekspor serat sabut kelapa, nilai tukar riil rupiah, produk domestik bruto dan
produksi sabut kelapa, sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap
penawaran ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah lag dan luas areal
perkebunan kelapa. Respon semua variabel bebas terhadap penawaran ekspor
serat sabut kelapa Indonesia adalah inelastis.
Penelitian tentang Permintaan Ekspor
Kharunnisa (2009) meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi
permintaan ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia di Amerika Serikat.
Penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil estimasi
metode OLS tersebut, variabel yang berpengaruh positif terhadap permintaan
ekspor yaitu GDP riil AS, dummy kuota dan dummy krisis global. Sedangkan
variabel yang berpengaruh negatif terhadap permintaan ekspor adalah harga dan
nilai tukar riil. Variabel dummy kuota dan dummy krisis global tidak sesuai
dengan teori karena mempunyai pengaruh yang positif sehingga walaupun
Indonesia sudah tidak menikmati fasilitas kuota atau kepastian pasar dan
terjadinya krisis pada negara pengimpor, permintaan ekspornya justru lebih besar
sedangkan pengaruh variabel GDP riil AS, harga ekspor, dan nilai tukar riil
terhadap permintaan ekspor sesuai dengan teori ekonomi.
Tilova (2012) meneliti faktor-faktor yang memengaruhi permintaan
batubara Indonesia di empat negara tujuan utama ekspor terbesar. Penelitian ini
menggunakan metode panel data dengan data sekunder, berupa deret waktu (time
series) dari tahun 2001 hingga tahun 2009. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa estimasi yang berpengaruh nyata pada taraf 10 persen (0,1) terhadap
permintaan ekspor batubara Indonesia adalah harga ekspor batubara negara tujuan
ekspor, GDP per kapita negara tujuan ekspor, jumlah penduduk negara tujuan
ekspor. Variabel harga ekspor batubara memiliki tanda keofisien yang tidak sesuai
dengan hipotesis. Ketidaksesuaian ini diduga karena adanya kontrak berjangka
pada penjualan dan pembelian antara batubara Indonesia dengan negara tujuan
ekspor sehingga harga yang meningkat tidak menjadi masalah bagi importir.
Variabel jumlah penduduk negara tujuan ekspor juga memiliki tanda koefisien
yang tidak sesuai dengan hipotesis. Jumlah penduduk berpengaruh negatif
terhadap permintaan ekspor batubara Indonesia. Hal tersebut diduga karena
batubara merupakan salah satu komoditi yang tidak langsung dikonsumsi
masyarakat, tetapi dikonsumsi oleh industri.
Ningrum (2006) meneliti permintaan ekspor pulp dan kertas Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode ordinary least square (OLS). Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa perkembangan ekspor pulp dan kertas Indonesia
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Harga ekspor pulp, nilai tukar, produksi
pulp dan harga ekspor pulp tahun sebelumnya berpengaruh secara signifikan
21
terhadap permintaan ekspor pulp dan kertas Indonesia. Variabel yang berpengaruh
paling besar dari permintaan ekspor pulp adalah varibel produksi. Hal ini dapat
dilihat dari elastisitas produksi pulp yang lebih dari satu. Apabila industri pulp
Indonesia mampu mempertahankan ketersediaan bahan baku yang terus
berkesinambungan guna menigkatkan produksi kertas dapat dipastikan bahwa
ekspor pulp Indonesia terus meningkat. Variabel yang memiliki koefisien negatif
terhadap perkembangan permintaan ekspor pulp adalah harga ekspor pulp pada
tahun itu dan harga ekspor tahun puls pada tahun sebelumnya. Hal ini berarti
peningkatan harga pulp akan menyebabkan konsumen pulp Indonesia memilih
untuk membeli pulp pada negara penghasil pulp yang yang menjual produknya
dengan harga yang lebih murah. Pada permintaan kertas, variabel yang
berpengaruh secara signifikan adalah produksi kertas, nilai tukar, variabel harga
ekspor kertas, sedangkan variabel dummy larangan ekspor kayu bulat dan
variabel harga ekspor kertas pada tahun sebelumnya tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap permintaan kertas. Variabel yang memiliki elastisitas yang
terbesar pada persamaan permintaan kertas adalahb produksi kertas yaitu nilainya
lebih dari satu.
Kerangka Pemikiran
Indonesia dikenal sebagai Negara agraris karena besarnya peran sektor
pertanian terhadap perekonomiannya. Salah satu subsektor pertanian yang
menjadi penyumbang besar bagi pendapatan Negara adalah sektor perkebunan.
Seperti yang diketahui bahwa hasil komoditas perkebunan Indonesia memiliki
orientasi pasar ekspor, sehingga subsektor tersebut menjadi sektor andalan
penyumbang devisa Negara.
Salah satu komoditas unggulan di sektor perkebunan adalah kakao. Selama
ini ekspor kakao Indonesia cenderung menunjukkan tren yang positif. Adapun
kakao yang diekspor masih didominasi dalam bentuk biji. Oleh karena itu, saat ini
pemerintah tengah berupaya untuk meningkatkan ekspor dalam bentuk lainya,
baik produk olahan setengah jadi maupun produk akhir dengan mengeluarkan
pajak ekspor atas komoditas biji kakao atau yang dikenal dengan bea keluar.
Meskipun demikian, upaya pemerintah untuk meningkatkan ekspor kakao olahan
dipasar internasional bukan tanpa hambatan. Hal tersebut ditandai oleh
berfluktuasinya aliran ekspor kakao olahan Indonesia tiap tahunnya di negera
tujuan utama ekspor. Sedangkan pada saat yang sama aliran perdagangan ekspor
kakao olahan dunia terus mengalami peningkatan.
Di pasar dunia, kualitas kakao Indonesia masih dinilai rendah, sehingga
kakao Indonesia kerap mendapatkan potongan harga sekitar 15% dari rata-rata
harga kakao dunia (Kementerian Perindustrian, 2007). Selain karena kualitas,
kakao olahan Indonesia juga mendapatkan diskriminasi pada beberapa negara
importir berupa bea masuk yang relatif lebih tinggi dibandingkan beberapa negara
pengekspor kakao lainnya. Apabila Indonesia mampu menghasilkan produk yang
mampu bersaing di pasar internasional, maka peluang Indonesia untuk bersaing di
pasar internasional akan semakin besar. Selain itu perkembangan ekonomi dunia
yang menciptakan berbagai kebijakan kerjasama perdagangan antar Negara, baik
tarif maupun non tarif ikut menentukan dayasaing setiap Negara di pasar
22
internasional tersebut. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada perekonomian
Indonesia.
Untuk itu, dalam penelitian ini akan dianalisis dayasaing dan faktor-faktor
yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia ke beberapa
negara tujuan ekspor utama. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi
posisi dayasaing komoditas kakao Indonesia adalah metode Revealed
Comparative Advabtage (RCA). Sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor
yang memengaruhi aliran ekspor kakao olahan Indonesia dilakukan secara
statistik dengan pendekatan Gravity Model yang diolah dengan Eviews 6. Di
dalam Gravity Model, variabel yang akan dianalisis adalah jarak ekonomi antara
Indonesia dengan negara tujuan ekspor (pengimpor), GDP negara Indonesia,
GDP negara tujuan ekspor (pengimpor), populasi Indonesia, populasi negara
tujuan ekspor (pengimpor), harga ekspor kakao olahan Indonesia, nilai tukar riil
rupiah, jarak ekonomi, dan dummy kebijakan bea keluar. Pengolahan data Di
dalam) dapat
Gambar 8 Kerangka Pemikiran
Indonesia merupakan salah satu
produsen biji kakao terbesar di
dunia
Aliran ekspor kakao Olahan
dunia meningkat setiap
tahunnya
Analisis posisi
dayasaing
Komoditas Kakao
Olahan Indonesia
Faktor-faktor yang
memengaruhi ekspor
komoditas kakao olahan
Indonesia
Revealad
Comparative
Advantage(RCA)
Strategi dan Rekomendasi Kebijakan Guna
Pengembangan Komoditas Kakao Indonesia
Gravity Model:
1. GDP negara pemgimpor
2. GDP Indonesia
3. Populasi negara
pengimpor
4. Populasi Indonesia
5. Nilai tukar
6. Harga ekspor kakao
olahan Indonesia
7. Jarak Ekonomi
8. Dummy bea keluar
Aliran ekspor kakao olahan Indonesia ke
negara tujuan utama berfluktuasi
Pemberlakuan bea
keluar atas biji
kakao
23
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berupa dugaan tanda
koefisien variabel-variabel yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao
Indonesia adalah:
1. GDP negara pengimpor diduga memiliki pengaruh positif terhadap aliran
ekspor komoditas kakao olahan Indonesia.
2. GDP negara Indonesia diduga memilik pengaruh positif terhadap aliran
ekspor komoditas kakao olahan Indonesia.
3. Populasi negara pengimpor diduga dapat berpengaruh positif maupun
negatif terhadap aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia.
4. Populasi negara Indonesia diduga dapat berpengaruh positif maupun
negatif terhadap aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia
5. Nilai tukar riil Indonesia diduga memiliki pengaruh negatif terhadap aliran
ekspor komoditas kakao Indonesia.
6. Harga kakao olahan Indonesia diduga memiliki pengaruh negatif terhadap
aliran ekspor kakao ke olahan negara tujuan.
7. Jarak ekonomi diduga memiliki pengaruh negatif terhadap aliran ekspor
komoditas kakao olahan Indonesia.
8. Bea Keluar pada biji kakao memiliki pengaruh positif terhadap aliran
ekspor kakao olahan Indonesia.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data panel yang terdiri
dari data cross section dan time series. Data tersebut berupa data dari negara-
negara tujuan utama ekspor kakao olahan Indonesia selama kurun waktu 2005-
2012. Negara-negara tujuan utama ekspor produk kakao olahan Indonesia yaitu,
Amerika Australia, Belanda, Cina, dan Jerman. Komoditas yang menjadi objek
pada penelitian ini adalah kakao dengan kode Harmonized System 1803, 1804,
dan 1805.
Adapun data-data yang diperlukan dalam pemodelan yaitu volume ekspor
produk kakao olahan Indonesia ke negara tujuan utama ekspor (pengimpor), jarak
ekonomi antara Indonesia dengan negara pengimpor, GDP per kapita Indonesia,
GDP per kapita negara pengimpor, nilai tukar riil rupiah, populasi negara
pengimpor, populasi negara Indonesia, harga ekspor kakao olahan Indonesia, serta
jarak ekonomi Indonesia dengan negara mitra dagangnya.
Data tersebut diperoleh dari beberapa sumber, diantaranya COMTRADE
(Commodity Trade Statistics Database) yang diakses melalui WITS (World
Integrated Trade Solution) untuk data nilai perdagangan ekspor kakao, CEPII
(Centre d`Etudes Prospectives et d`Informartions Internationales) untuk data
jarak antara Indonesia dan negara tujuan ekspor, World Bank untuk data nilai
tukar mata uang negara pengimpor, populasi negara pengimpor, populasi
Indonesia, serta GDP negara pengimpor dan negara Indonesia. Selain itu data
24
penunjang lainnya diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat
Jenderal Perkebunan.
Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif adalah proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki maupun mengkaji suatu fenomena
sosial. Analisis dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji kondisi umum
pasar ekspor produk kakao olahan Indonesia di Amerika, Australia, Belanda,
Cina, dan Jerman.
Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif pada penelitian digunakan untuk menganalisis posisi
dayasaing komoditas kakao Indonesia di Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan
Jerman digunakan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA). Sedangkan
untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi perdagangan komoditas
kakao Indonesia ke kawasan ke Amerika, Australia, Belanda, Cina, dan Jerman
adalah analisis ekonometrika data panel dengan menggunakan Gravity Model.
Metode Revealed Comparative Advantage (RCA)
Metode Revealed Comparative Advantage merupakan salah satu metode
yang digunakan secara objektif untuk menganalisis keunggulan komparatif suatu
komoditi dalam suatu negara. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa
pada tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara
direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya (Batra dan Khan 2005).
Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan
antarwilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh
suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap
total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai
produk dalam perdagangan dunia.
RCA = Xij/Xit …………………………………………………………….....(3.1)
Wj/Wt
Dimana:
Xij = nilai ekspor negara i akan komoditi j ke dunia
Xit = total nilai ekspor negara I ke dunia pada tahun ke- t
Wj = nilai ekspor komoditi j di dunia
Wt = total nilai ekspor dunia pada tahun ke-t
Jika nilai RCA lebih besar dari satu (RCA>1), maka negara tersebut
mempunyai keunggulan komparatif produknya. Keunggulan metode Revealed
Comparative Advantage adalah mengurangi dampak pengaruh campur tangan
25
pemerintah sehingga kita dapat melihat keunggulan komparatif yang jelas suatu
produk dari waktu ke waktu. Sedangkan kelemahannya yaitu:
1. Asumsi bahwa suatu negara dianggap mengekspor semua komoditi.
2. Nilai RCA tidak dapat menjelaskan apakah pola peerdagangan yang
sedang berlangsung tersebut sudah optimal.
3. Tidak dapat mendeteksi dan memprediksi produk-produk yang berpotensi
di masa yang akan datang.
Analisis Ekonometrika Data Panel
Dalam sebuah penelitian, terkadang akan ditemukan suatu persoalan
mengenai ketersediaan data yang mewakili variabel yang akan digunakan dalam
penelitian. Terkadang ditemukan data dalam bentuk series yang pendek dan data
dalam bentuk cross section yang terbatas juga. Dalam teori ekonometrika, kedua
kondisi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan panel data (pooled data) agar
dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik (efisien). Manfaat menggunakan
penggunaan data panel adalah sebagai berikut :
1. Mampu mengukur heterogenitas individu.
2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi
kolinearitas antar variabel. Meningkatkan degrees of freedom dan lebih
efisien.
3. Lebih baik untuk study of dynamic adjustment.
4. Mampu mengidentifikasi dan menukur efek yang secara sederhana tidak
dapat diperoleh dari data cross section murni maupun data time series
murni.
5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks.
6. Kelebihan fundamental panel data dibandingkan cross section maupun
time series adalah bahwa data panel akan membuat peneliti lebih fleksibel
dalam memodelkan perbedaan sifat tiap data pengamatan.
Dalam analisa ekonometrika data panel dikenal tiga macam pendekatan
yaitu pendekatan kuadrat terkecil (pooled least square), pendekatan efek tetap
(fixed effect model), dan pendekatan efek acak (random effect model). Setelah
melalui uji Chow dalam studi ini digunakan model efek tetap (fixed effect model)
(lampiran 9, 10, 11).
A. Model Pooled Least Square
Pendekatan pertama adalah pendekatan kuadrat terkecil. Pada metode ini
penggunaan data panel dengan mengumpulkan semua data cross section dan time
series lalu melakukan pendugaan (pooling). Di setiap observasi (setiap periode)
terdapat regresi sehingga datanya berdimensi tunggal. Dari data panel akan
diketahui N adalah jumlah unit cross section dan T adalah jumlah periode waktu.
Dengan melakukan pooling seluruh observasi sebanyak N.T, maka dapat
dituliskan fungsi dari model kuadrat terkecil, misalnya yaitu :
Yit = α + Xit βj + εit ………………………………………(3.3)
untuk i,j = 1,2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T
Dimana :
26
Yit = Variabel endogen
Xit = Variabel eksogen
α = Intersep
β = Slope
i = Individu ke-i
t = periode tahun ke-t
ε = error/simpangan
N = jumlah unit cross section
T = jumlah periode waktu
Pendekatan yang paling sederhana untuk mengestimasi persamaan tersebut
adalah mengabaikan dimensi cross section dan time series dari data panel dan
mengestimasi data dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) yang diterapkan
dalam data yang berbentuk pool.
Pada metode ini, model mengasumsikan bahwa nilai intersep masing-
masing variabel adalah sama, kemudian model ini juga mengasumsikan bahwa
slope koefisien dari dua variabel adalah identik untuk semua unit cross section.
Ini merupakan asumsi yang ketat, sehingga walaupun metode PLS (pooled least
square) menawarkan kemudahan, namun model mungkin mendistorsi gambaran
yang sebenarnya dari hubungan antara Y dan X antar unit cross section.
B. Model Efek Tetap (Fixed Effect Model)
Model efek tetap adalah model yang didapatkan dengan
mempertimbangkan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat
mengakibatkan perubahan dalam intersep-intersep cross section dan time series.
Peubah dummy dapat ditambahkan ke dalam model untuk memungkinkan
perubahan-perubahan intersep ini, lalu model diduga dengan Ordinary Least
Square (OLS), yaitu :
Yit = αiDi + βXit + εi …………………………………………………(3.4)
Dimana :
Yit = variabel endogen
Xit = variabel eksogen
α = intersep
D = variabel dummy
β = slope
i = individu ke-i
t = periode tahun ke-t
ε = error/simpangan
C. Model Efek Acak (Random Effect Model)
Penambahan variabel dummy dalam efek tetap akan dapat menimbulkan
konsekuensi yaitu akan mengurangi banyaknya degree of freedom yang pada
akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Maka untuk
mengatasinya, dapat menggunakan model efek acak. Dalam model ini, parameter
yang berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error.
Bentuk model efek acak dapat dijelaskan dengan persamaan berikut:
27
Yit = α + β Xit + εit……………………………………………………(3.5)
εit = uit + vit + wit
Dimana :
uit ~ N(0, δu2) = Komponen cross section error
vit ~ N(0, δv2) = Komponen time series error
wit ~ N(0, δw2) = Komponen combinaton error
i = individu ke-i, t = periode waktu ke-t
Dapat pula mengasumsikan bahwa error secara individual juga tidak
saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya. Penggunaan model
efek acak dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi
jumlahnya seperti yang dilakukan pada model efek tetap. Hal ini berimplikasi
pada parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi efisien.
Dalam pengolahan data panel, terdapat pilihan untuk menggunakan
kriteria pembobotan yang berbeda-beda, yakni :
1. No weighting : Semua observasi diberi bobot yang sama.
2. Cross Section Weight : Generalized Least Square dengan menggunakan
estimasi varians residual cross section, digunakan apabila ada asumsi bahwa
terdapat cross section heterokedasticity.
3. SUR : GLS yang merupakan estimasi residual covariance
matrix cross section. Metode ini mengoreksi, baik hetereoskedastisitas
maupun autokolerasi antar unit cross section.
Perumusan Model
Salah satu metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan model gravitasi (Gravity Model). Model tersebut adalah
model yang baik untuk mengukur laju perdagangan antar daerah atau negara
secara makroekonomi. Beberapa variabel yang digunakan di dalam model GDP
riil per kapita negara Indonesia dan negara pengimpor, populasi Indonesia,
populasi negara pengimpor, harga ekspor kakao olahan Indonesia, nilai tukar riil
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, jarak ekonomi antara Indonesia dan
negara tujuan ekspor (pengimpor), serta dummy kebijakan bea keluar biji kakao.
Sedangkan variabel dependennya adalah volume aliran perdagangan bilateral
ekspor komoditas kakao olahan antara Indonesia dengan negara mitra dagang.
Negara yang masuk dalam model dalam menganalisis permintaan ekspor
komoditas kakao adalah Indonesia sebagai negara eksportir dan Amerika,
Australia, Belanda, Cina, dan Jerman sebagai negara importir. Adapun periode
waktu yang akan digunakan pada penelitian ini adalah tahun 2005-2012.
Formulasi model yang dibentuk dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Ln Xijt = β0 + β1 ln GDPt + β2 ln GDPIt + β3 ln POPt + β4 ln POPIt + β5 ln PCO
ijt + β6 ln RERt + β7 ln DISTij + BKt + ε ………………………......(3.2)
Dimana :
β0 = konstanta (Intersep)
28
β1, β2, ..., β4 = Parameter masing-masing variabel yang akan diuji
Xijt = Volume ekspor komoditas kakao olahan Indonesia berdasarkan
masing-masing kode HS (1803,1804, 1804) ke negara tujuan
ekspor pada tahun t (kilogram),
GDPt = Pendapatan negara pengimpor pada tahun t (US$)
GDPIt = Pendapatan negara Indonesia pada tahun t (US$)
POPt = Populasi negara pengimpor (Jiwa)
POPIt = Populasi Indonesia pada waktu t (Jiwa)
PCOit = Harga Ekspor kakao olahan Indonesia (USS/Kg)
RERij = Nilai tukar riil mata uang Indonesia (pengekspor) terhadap US$
(Rupiah/US$),
DISTij = Jarak ekonomi dari Indonesia ke negara j (Kilometer),
BKt = dummy pemberlakuan bea keluar biji kakao
t = (1, ..., T) mulai tahun 2005-2012,
i,j = (1, ..., N) perdagangan bilateral negara i dan j,
ε = Galat (pengaruh variabel lain yang tidak termasuk di dalam
model).
Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel
Pemilihan model yang akan digunakan dalam satu penelitian perlu
dipertimbangkan secara statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan
yang efisien. Ada tiga pengujian untuk menentukan model yang akan digunakan
dalam pengolahan data panel yaitu Chow Test , Hausman Test, dan LM Test.
A. Chow Test
Chow Test adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan
adalah Pooled Least Square atau Fixed Effect. Sebagaimana diketahui, bahwa
terkadang asumsi “setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama”
cenderung tidak realistismengingat dimungkinkan setiap unit cross section
memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan hipotesa sebagai
berikut :
H0 : Model Pooled Least Square
H1 : Model Fixed Effect
Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik
seperti yang dirumuskan oleh Chow :
CHOW = (RSSS – URSS)/(N-1)………………………………………(3.6)
(URSS)/(NT-N-K)
Dimana :
RSSS = Residual Sum Square hasil pendugaan model PLS
URSS = Unrestricted Residual Sum Square hasil pendugaan model Fixed
Effect
N = Jumlah data cross section
T = Jumlah data time series
K = Jumlah variabel penjelas
29
Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas
jika nilai CHOW statistik (F-stat) hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka
cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang
digunakan adalah model fixed effect dan begitu pula sebaliknya.
B. Hausman Test
Uji Hausman digunakan untuk membandingkan metode fixed effect
dengan random effect. Model fixed effect mengandung suatu unsur trade off yaitu
hilangnya unsur derajat bebas dengan memasukkan variabel dummy. Namun
penggunaan model random effect juga harus memperhatikan ketiadaan
pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Hipotesa Hausman Test adalah
sebagai berikut :
H0 : Model Random Effect
H1 : Model Fixed Effect
Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan
membandingkannya dengan Chi-Squared. Statistik Hausman dirumuskan sebagai
berikut :
m = (β - b) (Mo - Mi)-1
(β - b) ~X2(K)…………………………………(3.7)
Dimana :
β = Vektor statistik variabel fixed effect
b = Vektor statistik variabel random effect
Mo = Matriks kovarians untuk dugaan random effect
Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari X2-tabel, maka cukup
melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model
fixed effect dan begitu pula sebaliknya.
C. LM Test
LM Test atau The Breusch - Pagan LM Test digunakan sebagai
pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect Model atau Pooled
Least Square. Pengujian hipotesisnya :
H0 : Pooled Least Square
H1 : Random Effect Model
Dasar penolakan H0 dengan menggunakan statistik LM yang mengikuti
distribusi Chi-square.
Pengujian Model
Uji F-statistic
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel
independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel independen.
30
Pengujian dilakukan dengan menggunakan distribusi F dengan membandingkan
antara nilai kritis F dengan nilai F-hitung yang terdapat pada hasil analisis.
Langkah-langkah analisis dalam pengujian hipotesis terhadap variasi nilai
variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi nilai variabel independen
adalah sebagai berikut :
1. Perumusan hipotesis.
H0 : β1 = β2 = ... = βk = 0
H1 : minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol.
2. Penentuan taraf nyata (α).
3. Membandingkan F-statistic dengan F-tabel pada α atau bandingkan probabilitas
F-statistic dengan α.
4. Penentuan penerimaan atau penolakan Ho.
Fstatistic > Ftabel pada α atau prob (F-statistic) < α : tolak H0.
Artinya, variabel-variabel independen secara serentak berpengaruh signifikan
terhadap variabel dependennya.
Uji t-statistic
Pengujian hipotesis dari koefisien pada masing-masing peubah bebas
dilakukan dengan uji-t untuk mengetahui apakah masing-masing variabel
independen memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya
atau tidak. Langkah-langkah analisis dalam pengujian t-statistic adalah :
1. Perumusan hipotesis.
H0 : β1 = 0
H1 : β1 ≠ 0
2. Penetuan taraf nyata (α)
3. Membandingkan t-statistic dengan t-tabel pada α atau bandingkan
probabilitas t-statistic dengan α.
4. Penentuan penolakan atau penerimaan H0.
Tstatistic > Ttabel pada α atau prob (t-statistic) < α : tolak H0.
Artinya, variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependennya.
Koefisien Determinasi
Kesesuaian model dihitung dengan nilai koefisien determinasi (R2) yang
bertujuan untuk mengukur keragaman variabel dependen yang dapat diterangkan
oleh variabel independen. R2 menunjukkan besarnya pengaruh semua variabel
independen terhadap variabel dependen.
R-Squared = RSS/TSS………………………………………………...(3.8)
Dimana :
RSS = Jumlah kuadrat regresi
TSS = Jumlah kuadrat total
Selang R2 yang digunakan adalah 0 ≤ R
2 ≤ 1. R
2 = 1 berarti 100 persen
variasi dalam variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel
independennya. Sedangkan R2 = 0 berarti tidak satupun variabel dependen tidak
dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independennya.
31
Pengujian Asumsi Klasik
Dalam analisis regresi, terdapat tiga asumsi yang harus diuji,pada model
yang akan digunakan yaitu multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan
autokorelasi. Selain itu, ada uji normalitas untuk mengetahui apakah error term
menyebar normal atau tidak.
Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-
variabel independen (peubah bebas) di dalam persamaan regresi. Salah satu
asumsi dari model regresi berganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear
sempurna antara peubah bebas dalam model tersebut. Jika ada, maka dikatakn
bahwa peubah-peubah bebas tersebut berkolinearitas ganda sempurna (Juanda,
2007). Adanya multikolinearitas menyebabkan pendugaan koefisien regresi tidak
nyata walaupun nilai R2-nya besar. Hal tersebut dapat dideteksi dari nilai R
2 yang
tinggi (0,7-1), tetapi hanya sedikit sekali atau bahkan tidak terdapat koefisien
dugaan yang berpengaruh nyata. Multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi
perlakuan General Least Square/GLS (cross section weight), sehingga parameter
dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan.
Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi penting dalam model ekonomi klasik adalah nilai varian
dari variabel bebas yang konstan yang disebut dengan homoskedastisitas. Apabila
asumsi ini tidak terpenuhi, maka nilai varian dari variabel bebas tidak lagi bersifat
konstan yang disebut heteroskedastisitas. Pengujian masalah heteroskedastisitas
dilakukan dengan menggunakan uji White Heteroskedasticity Test. Sebelum
dilakukan pengujian, dibuat hipotesisi sebagai berikut :
H0 : Homoskedastisitas
H1 : Heteroskedastisitas
Pengujian dilakukan dengan melihat Probability Obs* R-Squared. Apabila
nilai Probability Obs* R-squared lebih kecil dari taraf nyata berarti terdapat
heteroskedastisitas pada model atau menolak hipotesis H0. Bila nilai Probability
Obs*R-Squared lebih besar dari taraf nyata berarti tidak ada gejala
heteroskedastisitas pada model atau menerima hipotesis H0. Diketahui taraf nyata
(α) = 5 persen.
Autokorelasi
Autokorelasi adalah adanya korelasi serial antara sisaan (μt). Juanda
(2009) menjelaskan akibat adanya autokorelasi dalam model yang diestimasi yaitu
pendugaan parameter masih tetap tidak bias dan konsisten namun penduga ini
memeiliki standar error yang bias ke bawah, atau lebih kecil dari nilai yang
sebenarnya sehingga nilai statistik uji-t tinggi (overestimate). Salah satu cara
untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan metode Generalized
Least Square dalam estimasi model (Gujarati, 2004).
Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi dapat dilakukan uji Durbin-
Watson (DW). Dalam Eviews6 Guide dijelaskan bahwa jika nilai DW tersebut
32
sudah lebih dari 1,5 dan mendekati 2 maka dapat dikatakan tidak ada autokorelasi.
Pada tabel 5 memperlihatkan distribusi nilai DW dimana nilai tersebut telah
disusun oleh Durbin-Watson untuk derajat keyakinan 95 persen dan 99 persen.
Tabel 5 Selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya
Nilai Durbin Watson Kesimpulan
DW < 1,10
1,10 < DW < 1,54
1.55 < DW < 2,46
2,46 < DW < 2,90
DW > 2,91
Ada Autokorelasi
Tanpa kesimpulan
Tidak ada autokorelasi
Tanpa kesimpulan
Ada autokorelasi
Sumber: Firdaus: (2004)
Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah error term menyebar
normal atau tidak. Uji normalitas diaplikasikan dengan melakukan tes Jarque
Bera, jika nilai probabilitas yang diperoleh lebih besar dari taraf nyata yang
digunakan, maka terima H0 yang berarti error term dalam model sudah menyebar
normal. Hipotesis yang diunakan adalah:
H0 : error term menyebar normal
H1 : error term tidak meyebar normal
Definisi Operasional
Definisi operasional dari masing-masing variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Volume ekspor merupakan volume ekspor dari masing-masing komoditas
kakao olahan Indonesia berdasarkan kode HS 4 digit (1803, 1805, dan 1805)
ke negara mitra dagang (pengimpor) selama jangka waktu 2005-2012 dengan
satuan kilogram.
2. Nilai GDP negara mitra dagang (pengimpor) adalah produk domestik yang
dihasilkan perekonomian tersebut selama satu tahun selama periode 2005-
2012, dinyatakan dalam US$.
3. Nilai GDP negara Indonesia adalah produk domestik yang dihasilkan
perekonomian tersebut selama satu tahun selama periode 2005-2012
4. Nilai tukar riil, dinyatakan dalam mata uang Rupiah/US$.
5. Jarak ekonomi (economic distance) menjadi variabel utama gravity model
dalam aliran perdagangan. Jarak ekonomi merupakan pendekatan yang
mewakili biaya transportasi, dinyatakan dalam satuan kilometer. Biaya
transportasi meliputi ongkos pengapalan, biaya bongkar muat di pelabuhan,
premi asuransi, serta pungutan lainnya saat komoditas yang diperdagangkan
disimpan di suatu tempat sementara (Salvatore,1997)
Jarak Ekonomi = Jarak Geografis Antarnegara X (Σ GDPj)
6. Populasi negara mitra dagang (pengimpor) adalah total penduduk di negara
pengimpor dan dinyatakan dalam jiwa.
GDPj
33
7. Populasi negara Indonesia (pengekspor) adalah total penduduk di negara
pengekspor dan dinyatakan dalam Jiwa.
8. Harga kakao olahan adalah harga dimana dinegara tujuan ekspor selama
periode 2005-2012. Satuan harga ekspor adalah US$/kilogram.
PRODUKSI DAN EKSPOR KAKAO OLAHAN INDONESIA SERTA
PERKEMBANGAN EKONOMI NEGARA TUJUAN UTAMA
Produksi dan Ekspor Kakao Olahan Indonesia
Luas Lahan dan Produksi Kakao Indonesia
Selama kurun waktu tahun 2006-2013 luas areal perkebunan kakao
nasional menunjukan tren yang terus meningkat secara signifikan tiap tahunnya
(Tabel 6). Sedangkan total produksi kakao Indonesia menunjukkan tren yang
cenderung stabil. Hal demikian mengindikasikan bahwa produktivitas kakao
dalam negeri belum optimal. Luas areal dan produksi terbesar keduanya tercapai
pada tahun yang sama, yaitu tahun 2013.
Tabel 6 Luas areal perkebunan dan produksi kakao tahun 2006-2013
Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)
2006 1 320 820 769 386
2007 1 379 279 740 006
2008 1 425 216 803 594
2009 1 587 136 809 583
2010 1 650 356 837 918
2011 1 732 641 712 231
2012* 1 732 955 936 266
2013** 1 736 403 938 844
Rata-rata 1 278 864 737 963
Keterangan: * Angka Sementara
** Angka Estimasi
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012
Berdasarkan status pengusahaannya, perkebunan kakao Indonesia
dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar
negara (PBN), dan perkebunan besar swasta (PBS). Perkebunan rakyat (PR)
merupakan perkebunan dengan luas areal terbesar berdasarkan status
pengusahaannya. Pada periode 2009-2013, luas areal perkebunan rakyat
menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata
persentase luas arealnya sebesar 94.41% dari total seluruh areal perkebunan
Indonesia. Luas areal perkebunan rakyat terbesar terjadi pada tahun 2012 yaitu
mencapai 1 638 540. Adapun pada periode yang sama rata-rata persentase luas
areal pada perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS)
keduanya menunjukkan nilai yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan
34
perkebunan rakyat, yaitu masing-masing nilai persentase rata-ratanya adalah
2.91% dan 2.67% (Tabel 7).
Tabel 7 Perkembangan luas areal perkebunan kakao Indonesia berdasarkan
status pengusahaannya tahun 2009-2013
Tahun
Perkebunan Rakyat
(PR)
Perkebunan Besar
Negara (PBN)
Perkebunan Besar
Swasta (PBS) Total
Luas
(Ha) (%)
Luas
(Ha) (%)
Luas
(Ha) (%)
Luas
(Ha) (%)
2009 1 491 808 93.99 49 489 3.12 45 839 2.89 1 587 136 100
2010 1 558 153 94.41 48 935 2.97 43268 2.62 1 650 356 100
2011 1 638 329 94.56 48 935 2.82 45377 2.62 1 732 641 100
2012* 1 638 540 94.55 49 013 2.83 45402 2.62 1 732 955 100
2013** 1 641 817 94.55 49 162 2.83 45424 2.62 1 736 403 100
Rata-rata 94.41
2.91
2.67
100
Keterangan : * Angka Sementara
** Angka Estimasi
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012
Selama periode tahun 2006-2012, perkembangan produktivitas
perkebunan kakao berdasarkan status pengusahaannya yaitu perkekebunan rakyat
(PR), perkebunan besar negara (PBN), dan perkebunan besar swasta (PBS)
berfluktuatif dan mempunyai kecenderungan meningkat (Tabel 8). Pada periode
tersebut tingkat pertumbuhan produktivitas PR merupakan yang terendah yaitu
dengan rata-rata pertumbuhannya hanya mencapai 0.03%. Sementara itu,
pengusahaan kakao oleh PBN dan PBS relatif lebih baik yang tercermin dari
produktivitas kakao PBN dan PBS berfluktuatif namun mempunyai
kecenderungan meningkat, masing-masing dengan rata-rata sebesar 0.71% per
tahun dan 2.62% per tahun.
Tabel 8 Perkembangan produktivitas kakao berdasarkan status pengusahaannya
tahun 2006-2012
Tahun
Perkebunan Rakyat (PR) Perkebunan Besar
Negara Perkebunan Swasta
Hasil
(Kg/Ha)
Pertumbuhan
(%)
Hasil
(Kg/Ha)
Pertumbuhan
(%)
Hasil
(Kg/Ha)
Pertumbuhan
(%)
2006 576
691
639
2007 527 -8.38 604 -12.51 692 8.25
2008 558 5.83 615 1.87 664 -3.95
2009 497 -10.91 699 13.62 720 8.37
2010 496 -0.28 710 1.53 703 -2.38
2011 394 -20.66 702 -1.06 731 4.02
2012 530 34.61 708 0.84 741 1.38
Rata-rata
pertumbuhan (%) 0.03
0.71
2.62
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012
35
Berdasarkan informasi dari Kementerian Pertanian sentra produksi kakao
terbesar berada di pulau Sulawesi. Secara umum pada kurun waktu 2006-2010
Provinsi Sulawesi Tengah menjadi provinsi terbesar dalam memproduksi kakao
nasional diikuti Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan. Pada
tahun 2012 produksi kakao Sulawesi Tengah mencapai 198 682 ton (Tabel 9).
Tabel 9 Produksi kakao di daerah sentra produksi di Indonesia
No Provinsi Produksi Kakao (ton)
2008 2009 2010 2011 2012*
1 Aceh 27 295 29 130 27 625 24 596 32 647
2 Sumatera Utara 60 253 78 255 63 425 54.515 63 597
3 Sumatera Barat 32 183 33 430 49 388 44.613 58 812
4 Lampung 25 690 26 037 26 539 20.721 26 364
5 Jawa Timur 18 270 22 677 24 199 24.788 27 391
6 Sulawesi Tengah 151 949 138 149 138 306 124 777 168 401
7 Sulawesi Selatan 112 037 164 444 173 755 142 829 198 682
8 Sulawesi Barat 149 458 96 860 96 011 80.194 101 319
9 Sulawesi Tenggara 116 994 132 189 141 176 114 578 154 229
Total 694 129 721 171 740 424 631 611 831 442
Keterangan: * Angka Sementara
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012
Produk Olahan Kakao
Tanaman kakao (Theobroma cacao) dibagi dalam tiga kelompok besar
yaitu jenis Criollo, Forastero dan Trinitario. Criollo menghasilkan biji kakao
dengan aroma yang sangat kuat tanpa rasa pahit, tetapi sensitif terhadap
perubahan iklim dan serangan hama penyakit dengan jumlah produksi relatif
rendah. Berbeda dengan criollo, forastero lebih tahan perubahan iklim dan
serangan hama, jumlah produksinya relatif besar tetapi bijinya memiliki aroma
yang lemah dengan rasa yang pahit. Biji kakao Indonesia sendiri sebagian besar
masuk dalam jenis Trinitario yang merupakan hasil persilangan dari Criollo dan
Forastero. Sifat morfologi dan fisiologinya beragam, demikian juga daya dan
mutu hasilnya.
Biji kakao merupakan bahan baku produk pangan dan non pangan (obat-
obatan dan kosmetik). Biji kakao yang akan dijadikan bahan baku pangan berbeda
dalam hal penanganan pasca panennya dengan bahan baku non pangan. Untuk
bahan baku pangan, diperlukan proses fermentasi agar dapat diperoleh cita rasa
yang baik, sedangkan biji kakao yang digunakan sebagai bahan baku non pangan
tidak memerlukan proses fermentasi.
Biji-biji kakao diproses untuk menghasilkan sejumlah produk olahan
kakao, termasuk cokelat. Tahap pertama pengolahan biji kakao adalah
pemanggangan (roasting), diikuti oleh pemecahan (cracking) dan pelepasan dari
biji (de-shelling) untuk menghasilkan biji yang disebut nibs. Biji (nibs) ini
kemudian digiling dengan berbagai metode menjadi berbentuk pasta, yaitu cokelat
cair (chocolate liquor) atau pasta kakao. "Cairan" ini kemudian diproses lebih
lanjut menjadi cokelat dengan mencampurkan (lebih banyak) lemak kakao dan
36
gula, kemudian dimurnikan, dihaluskan dengan coche, lalu dipanaskan dan
didinginkan berulang kali (tempered).
Metode pengolahan lain adalah dengan memisahkannya menjadi bubuk
kakao dan lemak kakao menggunakan mesin tekanan hidrolik (hydraulic
press). Biji kakao yang telah kering dipisahkan antara kulit (shell) dan liquor-
nya. Jika pasta kakao kakao ditujukan untuk produksi lemak dan bubuk,
penghalusan yang berlebihan dapat menyulitkan tahap pengepresan, tetapi jika
terlalu kasar, pengempaan menjadi tidak sempurna karena masih banyak
tertinggal damal struktur jaringan sel. Oleh karena itu, tingkat kehalusan partikel
sangatlah penting. Proses pemisahan ini menghasilkan sekitar 50% bubuk kakao
dan 50% lemak kakao. Kakao bubuk standar memiliki kandungan lemak sebesar
10-12%. Penggunaan terbesar dari lemak kakao adalah untuk membuat makanan
coklat. Sebagian kecil dari lemak kakao juga digunakan sebai obat-obatan,
kosmetik, dan sabun. Dari kulit biji dan liquor, lebih lanjut akan diperoleh
bermacam-macam produk seperti yang dapat dilihat pada gambar 9.
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008
Gambar 9 Pohon Industri Kakao
37
Aliran Ekspor Kakao Olahan Indonesia dan Perekonomian Negara
Importir
Perkembangan Ekspor Kakao Olahan Menurut Jenis (Kode HS 4 digit) Pada
Negara Tujuan Ekspor
Ekspor produk kakao olahan Indonesia pada setiap negara tujuan utama
menunjukkan porsi yang berbeda-beda pada setiap jenis kakao olahan berdasarkan
kode HS 4 digit (tabel 10). Pada tahun 2012, kakao dengan kode HS 1804 yaitu
mentega, lemak, dan minyak kakao menunjukkan porsi terbesar dari seluruh
produk kakao olahan Indonesia yang diekspor pada negara tujuan utama dengan
persentase total mencapai 50.16%. Sedangkan pasta kakao (HS 1803) merupakan
produk kakao olahan dengan persentase total terbesar kedua yaitu 37.35%, lalu
dikuti dengan bubuk kakao (1805) sebesar 12.04%, serta yang terakhir adalah
cokelat dan bahan makan lainnya yang mengandung cokelat (1806) yaitu sebesar
0.45%.
Pada tabel 10 menunjukkan bahwa Amerika. Australia, dan Belanda,
merupakan negara yang cenderung mengimpor produk kakao olahan Indonesia
dalam bentuk mentega, lemak, dan minyak kakao. Hal demikan tercermin dari
besarnya volume ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao pada negara-negara
tersebut. Adapun Jerman menunjukkan kecenderungan mengimpor kakao olahan
Indonesia dalam bentuk pasta. Sedangkan Cina cenderung mengimpor kakao
olahan Indonesia dalam bubuk kakao dengan persentase yang mencapai 78.9%.
Tabel 10 Perkembangan ekspor kakao olahan Indonesia berdasarkan kode HS 4
digit pada negara tujuan utama ekspor tahun 2012
KODE HS 1803 1804 1805 1806
ton % ton % ton % ton %
Amerika 20275.62 43.74 25624.33 55.28 439.11 0.95 18.61 0.04
Australia 740.35 8.96 6283.5 76.03 1079.96 13.07 160.67 1.94
Belanda 200.2 5.83 1787.98 52.04 1446.71 42.11 0.95 0.03
Cina 924.02 11.37 563.04 6.93 6412.43 78.93 224.9 2.77
Jerman 11823.11 47.78 11350.71 45.87 1569.22 6.34 2.35 0.01
Total 33963.30 37.35 45609.56 50.16 10947.43 12.04 407.48 0.45
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Amerika merupakan pasar terbesar bagi Indonesia untuk memasarkan
produk kakao olahannya. Berdasarkan kode HS 4 digit, pada tahun2009-2012
ekspor kakao olahan Indonesia ke Amerika didominasi oleh produk kakao dengan
kode HS 1804, yaitu mentega, lemak, dan minyak kakao dengan persentase
tertinggi pada tahun 2009 yaitu mencapai 90.39% (Tabel 11). Pada periode yang
sama, untuk produk pasta kakao (HS 1803) dan bubuk kakao (1805) menunjukkan
perubahan tren ekspor pada kedua produk kakao olahan tersebut. Pasta kakao
menunjukkan tren yang meningkat secara signifikan pada periode tersebut dengan
persentase terbesar mencapai 43.57% pada tahun 2012. Sedangkan pada bubuk
kakao yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu menunjukkan tren yang menurun
dengan persentase terendah mencapai 3.49% pada tahun 2012. Adapun produk
38
kakao dengan kode HS 1806, yaitu cokelat dan bahan makan lainnya yang
mengandung kakao menunjukkan kecenderungan tren yang statis.
Tabel 11 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Amerika tahun 2009-2012
KODE HS 2009 2010 2011 2012
ton % ton % ton % ton %
1803 304.00 2.20 462.00 1.95 9734.80 23.05 20275.62 43.57
1804 12370.39 89.46 21410.21 90.39 30994.42 73.39 24612.43 52.89
1805 1119.37 8.09 1799.12 7.60 1485.92 3.52 1625.91 3.49
1806 34.27 0.25 14.85 0.06 19.74 0.05 18.61 0.04
Total 13828.03 100 23686.18 100 42234.88 100 46532.56 100
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Australia merupakan negara terbesar kedua yang menyerap produk kakao
olahan Indonesia. Pada tahun 2009-2010, aliran ekspor produk kakao olahan
Indonesia ke Australia menunjukkan tren yang berbeda pada masing-masing
produk kakao olahan (tabel 12). Adapun ekspor produk kakao olahan Indonesia ke
Australia didominasi produk kakao olahan dengan kode HS 1804 yaitu mentega,
lemak, dan minyak kakao dengan persentase terbesar mencapai 76.57% pada
tahun 2012 Selanjutnya, produk kakao olahan terbesar kedua yang diserap oleh
Australia adalah bubuk kakao (HS 1805), yang kemudian diikuti dengan pasta
kakao (HS 1803) serta cokelat dan bahan makanan lainnya (HS1806).
Tabel12 Ekspor Kakao Olahan Indonesia ke Australia tahun 2009-2012
KODE HS 2009 2010 2011 2012
ton % ton % ton % ton %
1803 807.80 13.61 597.80 8.81 787.65 12.31 740.35 9.02
1804 4015.60 67.65 5016.87 73.97 4622.85 72.26 6283.50 76.57
1805 983.75 16.57 1137.52 16.77 925.52 14.47 1079.96 13.16
1806 128.56 2.17 30.40 0.45 61.39 0.96 102.75 1.25
Total 5935.71 100 6782.59 100 6397.40 100 8206.56 100
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Belanda merupakan bagian dari negara uni eropa yang melakukan proteksi
terhadap produk kakao olahan Indonesia. Meskipun demikan, Belanda merupakan
negara terbesar ketiga yang menyerap ekspor produk kakao olahan Indonesia.
Sama halnya dengan Amerika dan Australia, aliran ekspor produk kakao olahan
Indonesia ke Belanda juga didominasi oleh produk kakao olahan dengan kode HS
1804 yaitu mentega, lemak, dan minyak kakao yang persentasenya mencapai
61.52% pada tahun 2009 dari seluruh produk kakao olahan Indonesia yang
diekspor ke Belanda (tabel 13). Meskipun demikian, pada tahun 2009-2012 aliran
ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao menunjukkan kecenderungan tren
yang menurun dengan persentase terendah yaitu mencapai 29.20% pada tahun
2010. Hal berbeda terjadi pada produk kakao dengan kode HS 1805 yaitu bubuk
kakao yang menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada periode yang
sama.
39
Tabel 13 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Belanda tahun 2009-2012
KODE HS 2009 2010 2011 2012
ton % ton % ton % ton %
1803 1638.11 35.34 129.93 5.98 187.49 5.46 200.20 5.83
1804 2852.14 61.52 634.25 29.20 1822.73 53.13 1787.98 52.05
1805 145.58 3.14 1407.82 64.82 1420.77 41.41 1446.71 42.12
1806 - 0.00 - 0.00 0.02 0.00 0.10 0.00
Total 4635.84 100 2172.00 100 3431.01 100 3434.98 100
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Cina merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor produk kakao
olahan Indonesia dengan populasi dan tingkat pertumbuhan ekonomi terbesar di
dunia. Kondisi demikan memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan
aliran ekspor produk kakao olahannya di Cina. Pada tahun 2009-2012 ekspor
produk kakao olahan Indonesia ke Cina juga menunjukkan tren yang berbeda
pada setiap produk kakao olahan. Adapun ekspor produk kakao olahan Indonesia
ke Cina cenderung didominasi produk kakao olahan dengan kode HS 1805 yaitu
bubuk kakao yang persentasenya mencapai 96.79% pada tahun 2009 (tabel 14).
Tabel 14 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Cina tahun 2009-2012
KODE HS 2009 2010 2011 2012
ton % ton % ton % ton %
1803 42.00 1.01 737.34 12.23 1625.88 25.28 924.02 11.37
1804 3.50 0.08 13.00 0.22 285.95 4.45 563.04 6.93
1805 4044.25 96.79 5194.48 86.13 4436.10 68.98 6412.43 78.93
1806 88.73 2.12 86.44 1.43 82.88 1.29 224.90 2.77
Total 4178.48 100 6031.26 100.00 6430.81 100 8124.40 100
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Aliran ekspor kakao olahan Indonesia di Jerman berbeda dengan negara
lainnya. Pada tahun 2009-2011 produk kakao olahan Indonesia di Jerman
didominasi oleh pasta kakao (HS 1803) yang persentasenya mencapai 84.97%
pada tahun 2011 (tabel 15). Sedangkan untuk komoditas mentega, lemak, dan
minyak kakao (HS 1804) merupakan komoditas kedua terbesar, yang kemudian
diikuti dengan pasta kakao (HS 1803) serta cokelat dan bahan makanan lainnya
(HS1806).
Tabel 15 Ekspor kakao olahan Indonesia ke Jerman tahun 2009-2012
KODE HS 2009 2010 2011 2012
ton % ton % ton % ton %
1803 2654.90 83.66 2713.50 77.33 11858.41 84.97 11823.11 47.78
1804 274.90 8.66 640.40 18.25 2022.31 14.49 11350.71 45.87
1805 243.40 7.67 154.80 4.41 74.38 0.53 1569.22 6.34
1806 0.20 0.01 0.20 0.00 0.26 0.00 2.35 0.00
Total 3173.40 100 3508.90 100 13955.37 100 24745.39 100
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
40
Hubungan Aliran Ekspor Kakao Olahan Indonesia dan GDP Riil Per kapita
Importir
Gambar 10 menunjukkan hubungan antara aliran ekspor kakao olahan
Indonesia dan GDP riil per kapita negara tujuan utama ekspor (pengimpor).
Secara grafis hubungan yang ditunjukkan GDP riil per kapita pengimpor dan
aliran ekspor kakao olahan Indonesia secara umum menunjukkan tren yang
positif, yaitu ketika GDP riil per kapita negara pengimpor mengalami penurunan,
aliran ekspor kakao olahan Indonesia juga mengalami penurunan. Begitu juga
sebaliknya, ketika GDP riil per kapita negara pengimpor meningkat, aliran ekspor
kakao olahan Indonesia ke negara pengimpor ikut meningkat.
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Gambar 10 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan GDP riil per
kapita negara pengimpor tahun 2005-2012
40000
41000
42000
43000
44000
0
10000
20000
30000
40000
50000
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor GDP Amerika
32000
34000
36000
38000
0
2000
4000
6000
8000
10000
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor GDP Australia
37000
38000
39000
40000
41000
42000
43000
0
2000
4000
6000
8000
10000
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor GDP Belanda
0
1000
2000
3000
4000
0
2000
4000
6000
8000
10000
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor GDP Cina
31000
32000
33000
34000
35000
36000
37000
38000
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Aliran Ekspor GDP Jerman
41
Hubungan Aliran Ekspor Kakao Olahan Indonesia dan Populasi Importir
Pada gambar 11 menunjukkan hubungan aliran ekspor kakao olahan
Indoensia dan populasi negara-negara importir. Hampir seluruh populasi setiap
negara pengimpor mengalami peningkatan, terkecuali Jerman yang populasinya
mengalami penurunan. Tren meningkatnya populasi masing-masing negara
importir setiap tahunnya tidak selalu diikuti dengan meningkatnya aliran ekspor
kakao olahan Indonesia pada masing-masing negara importir tersebut. Pada
beberapa tahun tertentu, ketika terjadi peningkatan populasi negara negara
pengimpor, aliran ekspor kakao olahan Indonesia mengalami penurunan.
Sementara itu, pada tahun-tahun lainnya, ketika terjadi peningkatan populasi
negara pengimpor, aliran ekspor kakao olahan Indonesia ikut meningkat.
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Gambar 11 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan populasi negara
pengimpor tahun 2005-2012
285.00
290.00
295.00
300.00
305.00
310.00
315.00
320.00
0
10000
20000
30000
40000
50000
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor Populasi Amerika
19.0
20.0
21.0
22.0
23.0
0
2000
4000
6000
8000
10000
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor Populasi Australia
16.0
16.2
16.4
16.6
16.8
17.0
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor Populasi Belanda
1280.0
1300.0
1320.0
1340.0
1360.0
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor Populasi Cina
81.4
81.6
81.8
82
82.2
82.4
82.6
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Aliran Ekspor Populasi Jerman
42
Hubungan Aliran Ekspor Kakao Olahan Indonesia dan Harga Ekspor
Kakao Olahan Indonesia
Gambar 12 menunjukkan hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia
dan harga ekspor kakao olahan Indonesia pada masing-masing negara pengimpor.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa keduanya mengalami tren yang berfluktuasi
setiap tahunnya. Pada beberapa tahun tertentu, ketika terjadi peningkatan harga
ekspor, aliran ekspor kakao olahan Indonesia mengalami penururunan. Sedangkan
pada tahun lainnya, ketika terjadi peningkatan harga ekspor, aliran ekspor kakao
olahan Indonesia justru meningkat.
Keterangan: PCO = Harga ekspor kakao olahan Indonesia
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Gambar 12 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan harga ekspor
kakao olahan Indonesia di negara importir tahun 2005-2012
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
0.0
10000.0
20000.0
30000.0
40000.0
50000.0
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
Aliran Ekspor PCO di Amerika
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
Aliran Ekspor PCO di Australia
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
Aliran Ekspor PCO di Belanda
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
Aliran Ekspor PCO di Cina
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
0.0
5000.0
10000.0
15000.0
20000.0
25000.0
30000.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Aliran Ekspor PCO di Jerman
43
Hubungan Aliran Ekspor Kakao Olahan Indonesia dan Nilai Tukar Riil
Indonesia
Pada gambar 13 menunjukkan hubungan aliran ekspor kakao olahan
Indonesia pada negara tujuan ekspor dengan nilai tukar riil Indonesia pada tahun
2005-2012. Secara grafis terlihat bahwa ketika terjadi depresiasi pada nilai tukar
riil Indonesia, aliran ekspor kakao olahan Indonesia mengalami peningkatan.
Begitu pun sebaliknya ketika terjadi apresiasi pada nilai tukar riil Indonesia, aliran
ekspor kakao olahan Indonesia mengalami penurunan, Namun demikian, pada
tahun 2011-2012 ketika terjadi apresiasi nilai tukar riil Indonesia, aliran ekspor
kakao tetap mengalami peningkatan. Hal demikian terjadi diduga akibat adanya
dampak dari kebijakan bea keluar atas ekspor biji kakao Indonesia.
Keterangan: RER IDN = Nilai Tukar Riil Indonesia
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Gambar 13 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan nilai tukar riil
Indonesia tahun 2005-2012
0.0
5000.0
10000.0
15000.0
0.0
10000.0
20000.0
30000.0
40000.0
50000.0
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor ke AmerikaRER IDN
0.0
5000.0
10000.0
15000.0
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor ke Australia
RER IDN
0.0
5000.0
10000.0
15000.0
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor ke Belanda
RER IDN
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
12000.0
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor ke Cina RER IDN
0.0
5000.0
10000.0
15000.0
0.0
10000.0
20000.0
30000.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Aliran Ekspor ke Jerman RER IDN
44
Hubungan Aliran Ekspor Kakao Olahan Indonesia dan Jarak Ekonomi
Gambar 14 menunjukkan hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia
dan jarak ekonomi Indonesia dengan negara importir. Aliran ekspor kakao olahan
Indonesia dan jarak ekonomi cenderung menalami fluktuasi. Secara umum pada
gambar 14, hubungan negatif terlihat jelas antara aliran ekspor kakao Indonesia
dan jarak ekonomi. Ketika terjadi kenaikan jarak ekonomi pada negara importir,
aliran ekspor kakao olahan Indonesia mengalami penurunan. Begitu pun
sebaliknya, ketika terjadi penurunan jarak ekonomi pada negara emportir, aliran
ekspor kakao olahan Indonesia mengalami peningkatan.
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Keterangan: DIST= Jarak Ekonomi
Gambar 14 Hubungan aliran ekspor kakao olahan Indonesia dan jarak ekonomi
importir tahun 2005-2012
55000.0
56000.0
57000.0
58000.0
59000.0
60000.0
61000.0
62000.0
0.0
10000.0
20000.0
30000.0
40000.0
50000.0
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor DIST Amerika
23000.0
23500.0
24000.0
24500.0
25000.0
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor DIST Australia
41000.0
42000.0
43000.0
44000.0
45000.0
46000.0
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor DIST Belanda
0.0
100000.0
200000.0
300000.0
400000.0
500000.0
0.0
2000.0
4000.0
6000.0
8000.0
10000.0
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9
201
0
201
1
201
2
Aliran Ekspor DIST Cina
47000.0
48000.0
49000.0
50000.0
51000.0
0.0
10000.0
20000.0
30000.0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Aliran Ekspor DIST Jerman
45
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Dayasaing Kakao Olahan Indonesia di Negara Tujuan Utama
Analisis RCA (Revealed Comparative Advantage) digunakan dalam
penelitian ini untuk melihat apakah Indonesia memliliki atau tidak memiliki
keunggulan komparatif pada produk kakao olahannya. Nilai RCA memberikan
gambaran dari kinerja ekspor. Jika nilai RCA yang lebih besar dari satu, maka
suatu negara atas produknya memiliki kinerja ekspor yang baik dan memiliki
keunggulan komparatif.. Sebaliknya jika nilai RCA lebih kecil dari satu, maka
suatu negara tidak memiliki keunggulan komparatif atas produknya.
Hasil estimasi RCA kakao olahan Indonesia di Amerika, Australia,
Belanda, Cina dan Jerman selama periode 2005-2012 menunjukkan fluktuasi yang
berbeda-beda pada masing-masing jenis komoditas kakao yang diekspor. Pada
tabel 16 menunjukkan hasil estimasi perhitungan RCA Indonesia di Amerika.
Pada tabel tersebut terlihat bahwa kakao olahan dalam bentuk pasta (1803) dan
mentega, lemak atau minyak (1804) memiliki nilai RCA yang lebih baik dari
bubuk kakao (1805). Pada tahun 2010-2012 nilai RCA pada komoditas pasta
kakao dan mentega, lemak, atau minyak dari kakao menunjukkan peningkatan
yang signifikan. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh kebijakan bea keluar pada
komoditas biji kakao yang diberlakukan pada tahun 2010. Namun demikian, hal
berbeda terjadi pada komoditas bubuk kakao. Pada periode yang sama nilai RCA
pada komoditas bubuk kakao justru mengalami penurunan dan memiliki nilai
RCA yang kurang dari satu. Hal demikian menunjukkan bahwa bubuk kakao
Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif di Amerika. Menurunnya nilai
RCA pada komoditas bubuk kakao diduga diakibatkan harga bubuk kakao
Indonesia yang masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara pesaing
lainnya seperti Ghana. Berdasarkan data UN COMTRADE 2014 pada tahun
2008-2012 harga rata-rata bubuk kakao Indonesia di Amerika adalah 3.48
dolar/kg, sedangkan harga bubuk kakao Ghana di Amerika adalah 3.37 dolar/kg.
Kondisi tersebut akan mempengaruhi dayasaing kakao olahan Indonesia di
Amerika.
Tabel 16 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Amerika
Tahun RCA pada komoditas kakao kode HS 4 Digit
1803 1804 1805
2005 1.537 22.672 1.216
2006 1.729 20.744 2.457
2007 4.126 24.913 5.944
2008 0.940 26.813 1.742
2009 2.189 20.540 1.596
2010 1.713 21.946 1.507
2011 8.283 35.162 0.801
2012 27.640 40.503 0.571
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
46
Australia merupakan pasar atau negara kedua terbesar tujuan ekspor kakao
olahan Indonesia. Pada tahun 2005-2012 nilai RCA ketiga jenis komoditas kakao
olahan Indonesia di Australia menunjukkan nilai yang lebih besar dari satu yang
berarti produk-produk kakao olahan Indonesia berada kinerja ekspor yang baik
(Tabel 17). Secara umum, produk mentega, lemak, dan minyak kakao olahan
(1804) memiliki nilai RCA yang terbesar dari ketiga jenis kakao olahan Indonesia
yang diekspor ke Australia.
Pada tabel 17 terlihat bahwa nilai RCA tertinggi pada ketiga jenis
komoditas kakao olahan Indonesia di Australia terjadi pada tahun 2008-2009.
Namun pada tahun setelahnya nilai RCA ketiga jenis kakao tersebut cenderung
mengalami penurunan. Hal demikian diduga akibat dampak luas dari krisis yang
terjadi pada tahun 2008 di Amerika.
Tabel 17 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Australia
Tahun RCA pada komoditas kakao kode HS 4 Digit
1803 1804 1805
2005 2.623 12.878 3.009
2006 2.003 14.551 2.913
2007 3.538 16.227 3.360
2008 4.030 17.289 3.062
2009 2.354 14.016 3.583
2010 1.722 14.168 3.009
2011 1.641 11.126 2.287
2012 1.595 14.159 2.779
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Selanjutnya, dayasaing kakao olahan Indonesia di Belanda sebagai negara
ketiga terbesar yang menyerap ekspor kakao olahan Indonesia dengan pangsa
pasar sekitar 8% menunjukkan nilai RCA beragam pada masing-masing jenis
kakao olahan (Tabel 18). Dari ketiga jenis kakao olahan Indonesia yang dianalisis
berdasarkan metode RCA menunjukkan bahwa pasta kakao (1803) Indonesia
memiliki nilai RCA yang lebih rendah dan dapat dikatakan tidak memilki
dayasaing di Belanda. Hal demikian diduga bukan diakibatkan harga pasta kakao
Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga negara pesaing lainnya.
Pada gambar 15 menunjukkan harga pasta kakao Indonesia relatif lebih
rendah dengan negara pesaing lainnya di Belanda. Pada tahun 2006-2011 harga
ekspor pasta kakao Indonesia di Belanda selalu lebih rendah dibandingkan harga
pasta kakao dari negara-negara pesaing lainnya. Sedangkan harga ekspor pasta
kakao Indonesia yang tertinggi terjadi pada tahun 2012, yaitu nilainya berkisar 3.9
dolar/kg Dengan harga yang relatif lebih rendah, namun pasta kakao memiliki
kecenderungan tidak berdayasaing di Belanda. Hal demikian diduga dikarenakan
adanya bea masuk pada negara uni eropa atas komoditas pasta kakao Indonesia
yang mencapai 9.6% dikarenakan kualitasnya yang dinilai rendah. Sedangkan
bagi negara pesaing lainnya seperti Pantai Gading dan Ghana bea masuk atas
kakao olahannya yang mencapai 0%. Kondisi demikian secara langsung maupun
tidak langsung akan menghambat ekspor pasta kakao Indonesia ke Belanda.
47
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Gambar 15 Harga pasta kakao negara eksportir di Belanda (USD/kg)
Produk mentega, lemak, dan minyak kakao (1804) memiliki
kecenderungan yang menurun. Penurunan nilai RCA Indonesia pada kakao
tersebut secara drastis terjadi pada tahun 2008-2009 dengan nilai 18.327 menjadi
7.44. Kecenderungan penurunan nilai RCA pada produk mentega, lemak, dan
minyak kakao pada tahun 2008-2012 diduga diakibatkan adanya perubahan harga
pada komoditas tersebut. Pada gambar 16 terlihat pada tahun 2008 harga produk
mentega, lemak, dan minyak kakao Indonesia menjadi relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan negara pesaingnya yaitu Pantai Gading dan Jerman.
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Gambar 16. Harga ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao negara eksportir di
Belanda (USD/kg)
Kondisi berbeda terjadi pada produk bubuk kakao Indonesia di Belanda.
Pada beberapa tahun terakhir nilai RCA bubuk kakao Indonesia di Belanda
menunjukkan tren yang positif. Produk bubuk kakao olahan Indonesia di Belanda
pada tahun 2010-2012 menunjukkan nilai RCA yang lebih besar dari satu yang
berarti bahwa kakao bubuk kakao Indonesia memiliki dayasaing di Belanda. Nilai
RCA tertinggi untuk bubuk kakao Indonesia di Belanda terjadi pada tahun 2010
yaitu sebesar 6.487.
0.00000
1.00000
2.00000
3.00000
4.00000
5.00000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pantai Gading Jerman Perancis Ghana Indonesia
0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Indonesia Jerman Pantai Gading
48
Tabel 18 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Belanda
Tahun RCA pada komoditas kakao kode HS 4 Digit
1803 1804 1805
2005 6.072 12.556 0.818
2006 0.317 22.668 0.330
2007 0.109 15.093 0.143
2008 0.109 18.327 0.138
2009 1.796 7.639 0.672
2010 0.139 1.593 6.487
2011 0.139 2.942 4.619
2012 0.367 2.983 5.924
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Di Cina, produk kakao olahan Indonesia juga menunjukkan tren yang
berbeda pada masing-masing produk kakao olahan. Pada tahun 2007-2012 Bubuk
kakao memiliki nilai RCA yang lebih besar dibandingkan jenis kakao olahan
lainnya yang diekspor ke Cina (Tabel19). Nilai RCA bubuk kakao Indonesia di
Cina yang tertinggi terjadi pada tahun 2008, yaitu mencapai 13.171. Adapun nilai
RCA Indonesia untuk pasta kakao (1803) serta mentega, lemak, dan minyak
kakao (1804) menunjukkan kecenderungan tren yang positif pada beberapa tahun
terakhir.
Tabel 19 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Cina
Tahun RCA pada komoditas kakao kode HS 4 Digit
1803 1804 1805
2005 5.770 0.424 1.690
2006 4.469 0.313 3.281
2007 1.300 0.190 7.030
2008 0.816 0.022 13.171
2009 0.049 0.051 12.949
2010 2.656 0.108 12.563
2011 3.897 1.493 7.992
2012 2.001 2.615 10.319
Sumber: UN COMTRADE, 2013(diolah)
Di Jerman, dayasaing kakao olahan Indonesia yang tercermin dari nilai
RCA juga menunjukkan tren yang beragam pada masing-masing produk kakao
olahanya (Tabel 20). Komoditas pasta kakao (1803) serta mentega, lemak, dan
minyak kakao (1804) menunjukkan tren yang relatif lebih baik dibandingkan
dengan bubuk kakao (1805). Hal demikian tercemin dari besarnya nilai RCA
kedua komoditas tersebut. Nilai RCA kedua produk tersebut pada tahun 2012
masing-masing mencapai 21.954 dan 20.835. Sedangkan nilai RCA bubuk kakao
hanya mencapai 5.705 dan pada kurun waktu 2005-2011 bubuk kakao tidak
memiliki dayasaing. Meskipun demikan, pada tahun 2012 tersebut seluruh kakao
olahan Indonesia di Jerman telah memilki dayasaing dan keunggulan komparatif.
49
Tabel 20 Hasil estimasi RCA produk kakao olahan Indonesia di Jerman
Tahun RCA pada komoditas kakao kode HS 4 Digit
1803 1804 1805
2005 0.078 1.833 0.091
2006 0.285 1.791 0.887
2007 6.876 1.785 0.995
2008 13.155 1.451 0.773
2009 8.575 0.705 0.594
2010 5.578 1.290 0.286
2011 22.042 4.092 0.192
2012 21.954 20.835 5.705
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Ekspor komoditas bubuk kakao Indonesia di Jerman merupakan produk
kakao olahan yang volumenya paling rendah diantara produk kakao olahan
Indonesia lainnya yang dianalisis pada penelitian ini (tabel 15). Hasil analisis
RCA menunjukkan pada kurun waktu 2005-2011 komoditas bubuk kakao tidak
memiliki dayasaing diduga bukan dikarenakan harga bubuk kakao lebih tinggi
dibandingkan dengan harga bubuk kakao dari negara pesaing. Hal tersebut terlihat
pada gambar 17 bahwa harga bubuk kakao Indonesia justru memiliki harga
terendah dibandingkan dengan negara pesaingnnya. Bubuk kakao Indonesia tidak
memiliki daya saing di Jerman diduga kualitas kakao Indonesia masih relatif lebih
rendah dibandingkan dengan kualitas bubuk kakao dari negara pesaing. Selain itu,
tidak berdayasaingnya komoditas bubuk kakao Indonesia
Sumber: UN COMTRADE, 2013 (diolah)
Gambar 17 Harga bubuk kakao negara eksportir di Jerman (USD/kg)
0.00000
1.00000
2.00000
3.00000
4.00000
5.00000
6.00000
7.00000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pantai Gading Spanyol Perancis
Indonesia Belanda Belgia
50
Estimasi Model Aliran Ekspor Kakao Olahan Indonesia
Dalam sub-bab ini akan dibahas hasil analisis faktor-faktor yang yang
memengaruhi aliran perdagangan ekspor produk kakao olahan Indonesia pada
lima negara tujuan ekspor utama. Analisis dilakukan dengan menggunakan
analisis ekonometrika data panel dengan pendekatan gravity model yang
diestimasi dengan metode regresi data panel. Komoditas yang digunakan dalam
estimasi ini adalah kakao olahan dengan kode HS 1803,1804, dan 1805. Periode
pengamatan analisis selama 2005-2012 dengan mengestimasi delapan variabel
independen yaitu GDP Indonesia, GDP negara pengimpor, populasi Indonesia,
populasi negara pengimpor, nilai tukar riil rupiah, harga kakao olahan, jarak
ekonomi Indonesia ke negara pengimpor, dan dummy kebijakan pajak ekspor atau
bea keluar pada biji kakao.
Pemilihan model terbaik dilakukan dengan menggunakan uji Chow. Hasil
Uji Chow pada masing-masing model aliran ekspor kakao olahan Indonesia
berdasarkan kode HS 4 digit yang dianalisis menunjukkan bahwa probabilitas F
lebih kecil dari taraf nyata 5% (lampiran 9, 10, 11) sehingga keputusan yang
diambil adalah Fixed Effect Model (FEM). Sedangkan pada model aliran ekspor
produk kakao olahan Indonesia tidak dapat dilakukan uji Hausmann untuk
memilih antara Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect Model (REM)
sebagai model yag terbaik. Hal demikian dikarenakan jumlah cross section pada
penelitian ini kurang dari jumlah variabel yang diamati.
Uji asumsi klasik pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada masing-
masing model komoditas kakao olahan yang diestimasi terbebas dari pelanggaran
asumsi klasik (lampiran 12, 13, 14). Dari hasil estimasi diperoleh nilai Sum
squared resid weighted yang lebih besar dari Sum squared resid unweighted
sehingga dapat disimpulkan bahwa model telah terbebas dari pelanggaran asumsi
heteroskedastisitas. Sedangkan indikasi tidak terjadinya pelanggaran asumsi
multikolinearitas pada masing-masing dapat dilihat dari uji-F yang signifikan dan
R-squared yang tinggi dan hanya sedikit variabel yang tidak signifikan. Asumsi
terakhir yang harus dipenuhi adalah asumsi tidak terjadinya autokorelasi. Nilai
Durbin-Watson pada masing-masing model menunjukkan bahwa nilai Durbin-
Watson berada pada selang dimana tidaknya autokorelasi pada model, sehingga
dapat disimpulkan bahwa permasalahan autokorelasi sudah teratasi. Selain itu,
hasil uji normalitas (lampiran 15, 16, 17) menunjukkan bahwa probabilitas
Jarque-Bera pada masing-masing model komoditas kakao olahan Indonesia lebih
besar dari taraf nyata 5%. Hal ini menunjukkan bahwa sisaan terdistribusi normal.
Faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor pasta kakao Indonesia
(kode HS 1803)
Komoditas yang digunakan dalam estimasi ini adalah kakao olahan
dengan kode HS 1803 yaitu pasta kakao. Berdasarkan hasil estimasi analisis
ekonometrika data panel dengan pendekatan Gravity Model menunjukkan
koefisien determinasi (R-squared) yang diperoleh pada model aliran ekspor pasta
kakao Indonesia adalah sebesar 0.9403 Hal ini menunjukkan bahwa model regresi
51
mampu menjelaskan 94,03 persen keragaman aliran perdagangan ekspor
sedangkan sisanya dijelaskan oleh varibel lain di luar model (Tabel 21).
Tabel 21 Hasil estimasi model aliran ekspor pasta kakao Indonesia ke negara
tujuan utama
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4445.821 367.1927 12.10759 0.0000*
GDP -17.09703 2.781029 -6.147734 0.0000*
GDPI 76.55079 5.590603 13.69276 0.0000*
POP 8.057878 9.027110 0.892631 0.3799*
POPI -246.8711 21.82921 -11.30921 0.0000*
PCO 0.878897 0.133578 6.579662 0.0000*
RER -9.292165 0.989360 -9.392098 0.0000*
DIST -11.52651 3.436281 -3.354357 0.0024*
BK 1.966831 0.196699 9.999185 0.0000*
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.940256 Mean dependent var 74.95227
Adjusted R-squared 0.913703 S.D. dependent var 100.7696
S.E. of regression 1.183812 Sum squared resid 37.83811
F-statistic 35.41071 Durbin-Watson stat 2.057653
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.525575 Mean dependent var 13.83797
Sum squared resid 34.23825 Durbin-Watson stat 1.079459
Keterangan: * Signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%
GDP Negara Pengimpor
GDP sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja ekonomi.
Semakin besar GDP suatu negara menunjukkan semakin besarnya kemampuan
dari negara tersebut untuk melakukan perdagangan dengan negara lain. Hasil
analisis regresi gravity model aliran ekspor pasta kakao Indonesia menunjukkan
nilai probabilitas t-statistic (0.0000), yaitu lebih kecil dari taraf nyata 5%. Hal ini
berarti bahwa GDP negara Amerika, Australia, Belanda, Cina dan Jerman
berpengaruh nyata terhadap aliran perdagangan ekspor pasta kakao Indonesia.
Peningkatan GDP negara mitra dagang diharapkan mendorong meningkatnya
permintaan ekspor akan pasta kakao Indonesia. Namun, berdasarkan hasil
estimasi koefisien GDP negara pengimpor menunjukkan tanda yang negatif yaitu
-17.0970. Hal tersebut berarti bahwa ketika terjadi kenaikan GDP negara
pengimpor sebesar 1% maka akan menurunkan aliran ekspor kakao olahan dari
52
Indonesia sebesar 17.09%. Hal demikian diduga jika terjadi peningkatan GDP
negara pengimpor, maka negara tersebut akan beralih untuk membeli pasta kakao
dari negara lainnya yang memiliki kualitas kakao yang lebih baik dari kualitas
pasta kakao Indonesia.
GDP Indonesia
GDP Indonesia dalam hal ini merupakan suatu proksi yang menunjukan
tingkat produksi dari negara Indonesia. Variabel GDP Indonesia berpengaruh
nyata terhadap aliran ekspor perdagangan pasta kakao. Hal ini dapat dilihat dari
nilai probabilitas t-statistic (0.0000) yang lebih kecil dari taraf nyata 5%.
Koefisien variabel GDP Indonesia menunjukkan tanda positif dan sesuai teori
yaitu sebesar 76.55. Nilai tersebut berarti bahwa jika GDP Indonesia meningkat
1%, maka aliran perdagangan ekspor pasta kakao Indonesia akan meningkat
sebesar 76.56%.
Populasi negara pengimpor
Hasil estimasi dari variabel populasi negara pengimpor menunjukkan hasil
yang tidak signifikan pada model aliran ekspor pasta kakao Indonesia. Hal
tersebut terlihat pada tabel 21 yang menunjukkan nilai probabilitas (0.3799) yang
lebih besar dari taraf nyata 5%. Tidak berpengaruhnya populasi negara pengimpor
diduga dikarenakan pasta kakao bukanlah komoditas konsumsi rumah tangga
secara langsung. Kebutuhan pasta kakao di negara-negara mitra dagang sebagian
besar pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan
kakao di negara tersebut. Hal demikian tercermin dari besarnya ekspor kakao
olahan yang dilakukan oleh negara importir tersebut. Sehingga ketika terjadi
perubahan pada jumlah populasi di negara mitra dagang atau pengimpor tidak
memengaruhi aliran ekspor pasta kakao Indonesia.
Populasi Indonesia
Probabilitas t-statistic dari varibel populasi Indonesia (0.0000)
menunjukkan nilai yang lebih kecil dari taraf nyata 5%. Hal ini memiliki arti
bahwa variabel populasi Indonesia signifikan memengaruhi permintaan ekspor
kakao olahan Indonesia. Koefisien populasi Indonesia menunjukkan tanda
negative dan tidak sesuai hipotesiss yaitu sebesar -246.87. Nilai tersebut berarti
bahwa jika populasi Indonesia meningkat 1%, maka aliran perdagangan ekspor
akan menurun 246.87%. Hal demikian diduga populasi Indonesia yang meningkat
berpengaruh pada meningkatnya konsumsi dalam negeri. Sehingga pada akhirnya
akan mengurangi ekspor Indonesia.
Harga Ekspor Kakao Olahan Indonesia
Hasil estimasi menunjukkan probabilitas t-statistic variabel harga ekspor
pasta kakao Indonesia (0.0000) yang lebih kecil dari taraf nyata 5%. Nilai tersebut
memiliki arti bahwa harga ekspor pasta kakao Indonesia berpengaruh nyata
terhadap aliran ekspor pasta kakao Indonesia. Koefisien harga kakao olahan
Indonesia menunjukkan nilai positif, yaitu 0.8789. Jika terjadi peningkatan harga
ekspor kakao olahan sebesar 1%, maka akan meningkatkan aliran ekspor kakao
olahan Indonesia sebesar 0.87%. Kenaikan harga ekspor pasta kakao Indonesia
akan mendorong para eksportir lebih memilih untuk mengekspor kakao dalam
53
bentuk olahan khususnya pasta kakao dibandingkan mengekspor kakao dalam
bentuk biji yang selama ini dilakukan. Hal demikian dikarenakan adanya nilai
tambah pada produk kakao olahan sehingga keuntungan yang akan diperoleh
menjadi lebih besar.
Nilai Tukar Riil Rupiah
Hasil estimasi variabel nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat signifikan memengaruhi aliran perdagangan ekspor pasta kakao Indonesia
ke negara tujuan utama. Hal ini ditunjukkan dari nilai probabilitas t-statistic
(0.0000) lebih kecil dari taraf nyata 5%. Koefisien nilai tukar menunjukkan nilai
yang negatif yaitu -9.292 dan sesuai teori, hal demikian memiliki arti bahwa jika
nilai tukar riil tersebut mengalami peningkatan (terapresiasi) sebesar satu 1%,
maka akan menurunkan ekspor pasta kakao Indonesia sebesar 9.29%.
Jarak Ekonomi
Hasil estimasi variabel jarak ekonomi merupakan proksi biaya transportasi
bagi negara-negara yang melakukan perdagangan. Berdasarka hasil estimasi
vriabel jarak ekonomi berpengaruh nyata terhadap aliran perdagangan ekspor
pasta kakao Indonesia. Hal ini diperoleh dari nilai probabilitas t-statistic (0.0000)
yang lebih kecil dari taraf nyata 5%. Koefisien jarak ekonomi menunjukkan nilai
yang negatif dan sesuai hipotesis, yaitu -11.52 Jika terjadi peningkatan jarak
ekonomi sebesar 1%, maka akan menurunkan aliran ekspor pasta kakao Indonesia
sebesar -11.52 persen cateris paribus.
Dummy Kebijakan Bea Keluar
Hasil estimasi pada model aliran ekspor pasta kakao Indonesia
menunjukkan bahwa variabel dummy kebijakan bea keluar atas biji kakao yang
diberlakukan oleh pemerintah Indonesia secara signifikan memengaruhi aliran
ekspor pasta kakao Indonesia. Hal tersebut terlihat bahwa probabilitas (0.0000)
dummy bea keluar atas biji kakao lebih kecil dari taraf nyata 5%. Adapun
koefisien pada variabel kebijakan bea keluar menunjukkan tanda yang positif
dengan nilai sebesar 1.966. Hal demikian berarti bahwa dengan adanya kebijakan
bea keluar atas biji kakao, maka akan meningkatkan ekspor kakao Indonesia
dalam bentuk olahan, dalam hal ini khususnya pasta kakao.
Faktor-faktor yang memengaruhi aliran mentega, lemak dan minyak kakao
Indonesia (kode HS 1804)
Komoditas yang digunakan dalam estimasi ini adalah kakao olahan
dengan kode HS 1804 yaitu mentega, lemak, dan minyak kakao. Berdasarkan
hasil estimasi analisis ekonometrika data panel dengan pendekatan Gravity Model
menunjukkan koefisien determinasi (R-squared) yang diperoleh pada model aliran
ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao Indonesia adalah sebesar 0.9867 Hal
ini menunjukkan bahwa model regresi mampu menjelaskan 98.67% keragaman
aliran perdagangan ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao Indonesia pada
negara tujuan utama, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar
model (tabel 22).
54
Tabel 22 Hasil estimasi model aliran ekspor mentega, lemak dan minyak kakao
Indonesia ke negara tujuan utama
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 5556.553 145.1328 38.28599 0.0000*
GDP -27.51553 1.071158 -25.68766 0.0000*
GDPI 93.62593 2.618221 35.75937 0.0000*
POP -14.63126 5.591459 -2.616716 0.0144*
POPI -277.2235 9.353715 -29.63780 0.0000*
PCO -0.501585 0.067543 -7.426174 0.0000*
RER -8.691834 0.210896 -41.21378 0.0000*
DIST -23.32904 1.444653 -16.14854 0.0000*
BK 1.300237 0.025231 51.53252 0.0000*
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.986789 Mean dependent var 111.6252
Adjusted R-squared 0.980918 S.D. dependent var 129.0238
S.E. of regression 1.037215 Sum squared resid 29.04700
F-statistic 168.0641 Durbin-Watson stat 1.956063
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.917319 Mean dependent var 14.17746
Sum squared resid 21.76215 Durbin-Watson stat 0.956681
Keterangan: * Signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, dan 10%
GDP Negara Pengimpor
GDP sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja ekonomi.
Semakin besar GDP suatu negara menunjukkan semakin besarnya kemampuan
dari negara tersebut untuk melakukan perdagangan dengan negara lain. Hasil
analisis regresi gravity model aliran ekspor mentega, lemak dan minyak kakao
Indonesia menunjukkan nilai probabilitas t-statistic (0.0000), yaitu lebih kecil dari
taraf nyata 5%. Hal ini berarti bahwa GDP negara Amerika, Australia, Belanda,
Cina dan Jerman berpengaruh nyata terhadap aliran perdagangan ekspor mentega,
lemak dan minyak kakao Indonesia. Peningkatan GDP negara mitra dagang
diharapkan mendorong meningkatnya aliran ekspor akan mentega, lemak dan
minyak kakao Indonesia. Namun, berdasarkan hasil estimasi koefisien GDP
negara pengimpor menunjukkan tanda yang negatif yaitu -27.5155. Hal tersebut
berarti bahwa ketika terjadi kenaikan GDP negara pengimpor sebesar 1% maka
akan menurunkan aliran ekspor mentega, lemak dan minyak kakao dari Indonesia
sebesar 27.51%. Hal demikian diduga jika GDP negara pengimpor meningkat,
55
maka negara tersebut akan beralih untuk membeli mentega, lemak dan minyak
kakao dari negara lainnya yang memiliki kualitas lebih baik dari Indonesia.
GDP Indonesia
GDP Indonesia dalam hal ini merupakan suatu proksi yang menunjukan
tingkat produksi negara Indonesia. Variabel GDP Indonesia berpengaruh nyata
terhadap aliran ekspor mentega, lemak dan minyak Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari nilai probabilitas t-statistic (0.0000) yang lebih kecil dari taraf nyata 5%.
Koefisien variabel GDP Indonesia menunjukkan tanda positif dan sesuai teori
yaitu sebesar 93.62. Nilai tersebut berarti bahwa jika GDP Indonesia meningkat
1%, maka aliran perdagangan ekspor mentega, lemak dan minyak Indonesia akan
meningkat 93.62%.
Populasi negara pengimpor
Hasil estimasi variabel populasi negara pengimpor signifikan pada taraf
nyata 5% dengan nilai probalitas (0.0144). Koefisien populasi negara pengimpor
menunjukkan nilai yang negatif, yaitu -14.6312. Hal tersebut memiliki arti bahwa
jika terjadi kenaikan populasi pada negara pengimpor sebesar 1%, maka akan
menurunkan aliran ekspor mentega, lemak dan minyak Indonesia sebesar 14.63%.
Populasi negara pengimpor sebagai proksi kebutuhan berpengaruh negatif
diduga dengan adanya peningkatan populasi di negara pengimpor secara tidak
langsung akan meningkatkan angkatan tenaga kerja dan membuat upah tenaga
kerja di negara tersebut semakin rendah, sehingga negara tersebut akan memilih
untuk membangun industri pengolahan kakao di negaranya masing-masing
dibandingkan berinvestasi di negara lain. Oleh karena itu, ketika ada peningkatan
populasi maka akan terjadi peningkatan produksi dan pada akhirnya akan
membantu negara tersebut dalam mencukupi kebutuhan negara itu dengan
kemampuan sendiri serta mengurangi impornya. Hal ini juga telah dijelaskan
dalam penelitian Kien dan Hashimoto (2005), bahwa populasi dapat memberikan
pengaruh positif atau negatif dalam perdagangan.
Selain itu pun, kakao olahan yang diimpor masih dalam bentuk produk
olahan setengah jadi yaitu mentega, lemak dan minyak kakao yang umumnya
digunakan sebagai input Industri. Sehingga aliran ekspor ke negara mitra dagang
(pengimpor) dapat dipengaruhi oleh keberlangsungan Industri di negara-negara
importir tersebut yang pada umumnya melakukan ekspor kembali produk-produk
kakao olahannya. Hal demikian tercermin dari besarnya ekspor kakao olahan yang
dilakukan oleh negara-negara mitra dagang (pengimpor) tersebut.
Populasi Indonesia
Probabilitas t-statistic dari varibel populasi Indonesia (0.0000)
menunjukkan nilai yang lebih kecil dari taraf nyata 5%. Hal ini memiliki arti
bahwa variabel populasi Indonesia signifikan memengaruhi aliran ekspor
mentega, lemak dan minyak kakao Indonesia. Koefisien populasi Indonesia
menunjukkan tanda negatif yaitu sebesar -277.22. Nilai tersebut berarti bahwa jika
populasi Indonesia meningkat 1%, maka aliran perdagangan ekspor mentega,
lemak dan minyak kakao Indonesia akan menurun 277.22%. Hal demikian diduga
populasi Indonesia yang meningkat berpengaruh pada meningkatnya konsumsi
dalam negeri. Sehingga pada akhirnya akan mengurangi ekspor Indonesia.
56
Harga Ekspor Kakao Olahan Indonesia
Probabilitas t-statistic dari variabel harga ekspor mentega, lemak dan
minyak kakao Indonesia pada negara tujuan utama menunjukkan nilai yang lebih
kecil dari taraf nyata 5% yaitu sebesar 0.000. Nilai tersebut memiliki arti bahwa
harga ekspor mentega, lemak dan minyak Indonesia berpengaruh nyata terhadap
aliran ekspor mentega, lemak dan minyak Indonesia. Koefisien harga kakao
tersebut menunjukkan nilai negatif, yaitu -0.5015. Jika terjadi peningkatan harga
ekspor kakao mentega, lemak, dan minyak kakao sebesar 1%, maka akan
menurunkan aliran ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao Indonesia sebesar
50% pada negara-negara tujuan utama. Dengan turunnya harga ekspor kakao
olahan Indonesia akan membuat produk kakao Indonesia menjadi lebih kompetitif
di pasar Internasional.
Nilai Tukar Riil
Berdasarkan hasil estimasi pada model aliran ekspor mentega, lemak dan
minyak kakao Indonesia, variabel nilai tukar riil rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat signifikan memengaruhi aliran perdagangan ekspor mentega, lemak dan
minyak Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari nilai probabilitas t-statistic (0.0000)
lebih kecil dari taraf nyata 5%. Koefisien nilai tukar riil rupiah menunjukkan nilai
yang negatif yaitu -8.691 dan sesuai teori, hal demikian memiliki arti bahwa jika
nilai tukar riil rupiah mengalami peningkatan (terapresiasi) sebesar satu 1%,
maka akan menurunkan aliran ekspor mentega, lemak dan minyak Indonesia ke
negara tujuan utama sebesar 8.69%.
Jarak Ekonomi
Variabel jarak ekonomi merupakan proksi biaya transportasi bagi negara-
negara yang melakukan perdagangan. Berdasarkan hasil estimasi pada model
aliran ekspor mentega, lemak dan minyak kakao Indonesia menunjukkan variabel
jarak ekonomi berpengaruh nyata terhadap aliran perdagangan ekspor mentega,
lemak dan minyak kakao Indonesia. Hal ini diperoleh dari nilai probabilitas t-
statistic (0.0000) yang lebih kecil dari taraf nyata 5%. Koefisien jarak ekonomi
menunjukkan nilai yang negatif dan sesuai hipotesis, yaitu -23.32 Jika terjadi
peningkatan jarak ekonomi sebesar 1%, maka akan menurunkan aliran ekspor
mentega, lemak dan minyak kakao Indonesia sebesar -23.32%.
Dummy Kebijakan Bea Keluar
Hasil estimasi pada model aliran ekspor mentega, lemak dan minyak
kakao Indonesia menunjukkan bahwa variabel dummy kebijakan bea keluar atas
biji kakao secara signifikan memengaruhi aliran ekspor Indonesia. Hal tersebut
terlihat bahwa probabilitas (0.0000) dummy bea keluar atas biji kakao lebih kecil
dari taraf nyata 5%. Adapun koefisien pada variabel kebijakan bea keluar
menunjukkan tanda yang positif dengan nilai sebesar 1.30. Hal demikian berarti
bahwa dengan adanya kebijakan bea keluar atas biji kakao, maka akan
meningkatkan ekspor kakao Indonesia dalam bentuk olahan, dalam hal ini
mentega, lemak dan minyak kakao Indonesia. Kondisi demikian merupakan
dampak positif dari adanya kebijakan bea keluar atas biji kakao dan seseuai
seperti apa yang telah diharapkan oleh pemerintah Indonesia yaitu untuk
meningkatkan ekspor Indonesia kakao dalam bentuk olahannya.
57
Faktor-faktor yang memengaruhi aliran bubuk kakao Indonesia (kode HS
1805)
Komoditas yang digunakan dalam estimasi ini adalah kakao olahan
dengan kode HS 1805 yaitu bubuk kakao. Pada tabel 23 terlihat hasil estimasi
koefisien determinasi (R-squared) yang diperoleh sebesar 0.9575. Hal demikian
menunjukkan bahwa variabel-variabel di dalam model regresi mampu
menjelaskan 95.75% keragaman aliran perdagangan ekspor bubuk kakao
Indonesia ke negara tujuan utama. Sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain
di luar model.
Tabel 23 Hasil estimasi model aliran ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara
tujuan utama
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 306.8483 108.9891 2.815404 0.0088*
GDP 1.240711 3.259834 0.380606 0.7064*
POP -27.77074 2.687796 -10.33216 0.0000*
POPI 13.44352 5.586459 2.406448 0.0230*
PCO -0.146592 0.050082 -2.927060 0.0067*
RER -3.935970 1.211541 -3.248731 0.0030*
DIST -1.554584 3.008721 -0.516692 0.6094*
BK 0.391602 0.133801 2.926742 0.0067*
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.957559 Mean dependent var 19.74842
Adjusted R-squared 0.940885 S.D. dependent var 34.90984
S.E. of regression 1.098067 Sum squared resid 33.76102
F-statistic 57.43036 Durbin-Watson stat 1.789451
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.660815 Mean dependent var 13.66240
Sum squared resid 21.40283 Durbin-Watson stat 1.643952
Keterangan: * Signifikan pada taraf nyata 5%, dan 10%
GDP Negara Pengimpor
GDP sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja ekonomi.
Semakin besar GDP suatu negara menunjukkan semakin besarnya kemampuan
dari negara tersebut untuk melakukan perdagangan dengan negara lain. Hasil
analisis regresi gravity model aliran ekspor bubuk kakao Indonesia menunjukkan
nilai probabilitas t-statistic (0.7064), yaitu lebih besar dari taraf nyata 5%. Hal ini
58
berarti bahwa GDP negara Amerika, Australia, Belanda, Cina dan Jerman tidak
berpengaruh nyata terhadap aliran perdagangan ekspor bubuk kakao Indonesia.
Tidak berpengaruhnya GDP negara pengimpor terhadap produk kakao
olahan Indonesia diduga disebabkan oleh orientasi impor produk kakao dalam
bentuk biji pada negara pengimpor tersebut. Hal demikian dapat dilihat dari
adanya kebijakan bea masuk pada produk biji kakao sebesar nol persen,
sedangkan 7%-9% untuk produk kakao olahan Indonesia. Dengan adanya
kebijaka bea masuk tersebut negara pengimpor mendapatkan potongan harga atas
komoditas kakao olahan Indonesia yang diekspor ke negara-negara tersebut.
Populasi negara pengimpor
Hasil estimasi variabel populasi negara pengimpor signifikan pada taraf
nyata 5% dengan nilai probalitas (0.0000). Koefisien populasi negara pengimpor
menunjukkan nilai yang negatif, yaitu -27.7707. Hal tersebut memiliki arti bahwa
jika terjadi kenaikan populasi pada negara pengimpor sebesar 1%, maka akan
menurunkan aliran ekspor bubuk Indonesia sebesar 27.77%.
Populasi negara pengimpor sebagai proksi kebutuhan berpengaruh negatif
diduga dengan adanya peningkatan populasi di negara pengimpor secara tidak
langsung akan meningkatkan angkatan tenaga kerja dan membuat upah tenaga
kerja di negara tersebut semakin rendah, sehingga negara tersebut akan memilih
untuk membangun industri pengolahan kakao di negaranya masing-masing
dibandingkan berinvestasi di negara lain. Oleh karena itu, ketika ada peningkatan
populasi maka akan terjadi peningkatan produksi dan pada akhirnya akan
membantu negara tersebut dalam mencukupi kebutuhan negara itu dengan
kemampuan sendiri serta mengurangi impornya. Hal demikian tercermin dari
besarnya ekspor kakao olahan yang dilakukan oleh negara-negara tersebut. Hal ini
juga telah dijelaskan dalam penelitian Kien dan Hashimoto (2005), bahwa
populasi dapat memberikan pengaruh positif atau negatif dalam perdagangan.
Selain itu pun, kakao olahan yang diimpor masih dalam bentuk produk
olahan setengah jadi yang umumnya digunakan sebagai input Industri. Sehingga
aliran ekspor ke negara mitra dagang (pengimpor) dapat dipengaruhi oleh
keberlangsungan Industri di negara-negara importir tersebut yang pada umumnya
melakukan ekspor kembali produk-produk kakao olahannya.
Populasi Indonesia
Hasil estimasi menunjukkan bahwa probabilitas t-statistic dari variabel
populasi Indonesia (0.0230) menunjukkan nilai yang lebih kecil dari taraf nyata
5%. Hal ini memiliki arti bahwa variabel populasi Indonesia signifikan
memengaruhi aliran ekspor kakao olahan Indonesia. Koefisien populasi Indonesia
menunjukkan tanda positif yaitu sebesar 13.44. Nilai tersebut berarti bahwa jika
populasi Indonesia meningkat 1%, maka aliran perdagangan ekspor akan
meningkat 13.44%.
Harga Ekspor Kakao Olahan Indonesia
Hasil estimasi probabilitas t-statistic variabel harga ekspor bubuk kakao
Indonesia (0.0067) yang lebih kecil dari taraf nyata 5%. Nilai tersebut memiliki
arti bahwa harga ekspor bubuk kakao Indonesia berpengaruh nyata terhadap aliran
ekspor Indonesia. Koefisien harga bubuk kakao Indonesia menunjukkan nilai
59
negatif, yaitu -0.1465. Jika terjadi peningkatan harga ekspor kakao olahan sebesar
1%, maka akan menurunkan aliran ekspor kakao olahan Indonesia sebesar 0.14%.
Dengan turunnya harga ekspor kakao olahan Indonesia akan membuat produk
kakao Indonesia menjadi lebih kompetitif.
Nilai Tukar Riil
Berdasarkan hasil estimasi, variabel nilai tukar riil rupiah signifikan
memengaruhi aliran perdagangan ekspor bubuk kakao Indonesia. Hal ini
ditunjukkan dari nilai probabilitas t-statistic (0.0030) lebih kecil dari taraf nyata
5%. Koefisien nilai tukar menunjukkan nilai yang negatif yaitu -3.935, hal
demikian memiliki arti bahwa jika nilai tukar riil tersebut mengalami peningkatan
(terapresiasi) sebesar satu 1%, maka akan menurunkan ekspor bubuk kakao
Indonesia sebesar 3.93%.
Jarak Ekonomi
Variabel jarak ekonomi merupakan proksi biaya transportasi bagi negara-
negara yang melakukan perdagangan. Berdasarkan hasil estimasi variabel jarak
ekonomi tidak berpengaruh nyata terhadap aliran perdagangan ekspor bubuk
kakao Indonesia. Hal ini diperoleh dari nilai probabilitas t-statistic (0.6094) yang
lebih besar dari taraf nyata 5%. Koefisien jarak ekonomi menunjukkan nilai yang
negatif dan sesuai hipotesis, yaitu -1.55 Jika terjadi peningkatan jarak ekonomi
sebesar 1%, maka akan ekspor bubuk kakao Indonesia sebesar 1.55%.
Variabel jarak ekonomi merupakan proksi biaya transportasi bagi negara-
negara yang melakukan perdagangan. Tidak berpengaruhnya variabel jarak
ekonomi terhadap permintaan ekspor kakao olahan Indonesia diduga akibat
adanya biaya-biaya transaksi lain diluar biaya transportasi seperti adanya
kebijakan pemotongan harga kakao Indonesia oleh negara pengimpor, sehingga
biaya transaksi yang diterima oleh negara pengimpor menjadi lebih rendah. Hal
demikian akan membuat jarak ekonomi tidak berpengaruh. Adapun pengaruh
lainnya diduga dikarenakan keuntungan yang diperoleh dari perdagangan lebih
besar dari pada jarak ekonomi sehingga jarak ekonomi tidak menjadi suatu
masalah.
Dummy Kebijakan Bea Keluar
Hasil estimasi pada model aliran ekspor bubuk kakao Indonesia
menunjukkan bahwa variabel dummy kebijakan bea keluar atas biji kakao secara
signifikan memengaruhi aliran ekspor bubuk Indonesia. Hal tersebut terlihat
bahwa probabilitas (0.0067) dummy bea keluar atas biji kakao lebih kecil dari
taraf nyata 5%. Adapun koefisien pada variabel kebijakan bea keluar
menunjukkan tanda yang positif dengan nilai sebesar 0.39. Hal demikian berarti
bahwa dengan adanya kebijakan bea keluar atas biji kakao, maka akan
meningkatkan ekspor kakao Indonesia dalam bentuk olahan, dalam hal ini bubuk
kakao Indonesia. Kondisi tersebut merupakan dampak positif dari adanya
kebijakan bea keluar atas biji kakao dan seseuai seperti apa yang telah diharapkan
oleh pemerintah Indonesia yaitu untuk meningkatkan ekspor Indonesia kakao
dalam bentuk olahannya.
60
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Dalam lima tahun terakhir baik produksi maupun luas lahan perkebunan kakao
mengalami peningkatan dimana perkebunan rakyat (PR) mendominasi rata-
rata 94.41% dari total luas areal perkebunan kakao Indonesia. Namun
demikian produktivitas kakao perkebunan rakyat lebih rendah dibandingkan
dengan perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS),
begitu juga dalam hal rata-rata pertumbuhannya. Pertumbuhan produktivitas
PBS merupakan yang paling tinggi.
2. Berdasarkan kode HS 4 digit terdapat tiga jenis produk kakao olahan
Indonesia yang diekspor dalam jumlah yang relatif besar diantaranya adalah
kakao dalam bentuk pasta, mentega (butter) atau lemak, dan bubuk. Namun
demikian masih lebih kecil dibandingkan dengan ekspor dalam bentuk biji.
Disamping itu dalam beberapa tahun terakhir ekspor kakao olahan Indonesia
cenderung stagnan dibandingkan dengan ekspor kakao olahan dunia yang
cenderung meningkat tajam. Tujuan utama ekspor olahan Indonesia untuk
kode HS 1803 dan 1804 adalah Amerika Serikat, sedangkan untuk kode HS
1805, tujuan utama ekspornya adalah Cina. Dalam delapan tahun terakhir
secara total ekspor kakao olahan Indonesia ke Amerika, Jerman, dan Cina
cenderung meningkat. Sementara itu, ekspor kakao olahan tersebut ke Belanda
cenderung turun dan dan ke Australia cenderung berfluktuasi.
3. Dalam delapan tahun terakhir, perkembangan ekonomi di negara tujuan
ekspor utama khususnya GDP riil per kapita dan populasi relatif tidak jauh
berbeda. Nilai GPD riil per kapita Australia, Cina, dan Jerman cenderung
meningkat, sementara GDP riil per kapita Belanda dan Amerika berfluktuasi.
Untuk populasi, kecuali Jerman, di negara tujuan ekspor lainnya (Amerika,
Australia, Belanda, dan Cina) populasi penduduknya cenderung meningkat.
Untuk harga ekspor kakao olahan Indonesia di negara tujuan utama cenderung
berfluktuasi, kecuali di Cina harga ekspor kakao olahan Indonesia tersebut
cenderung meningkat. Untuk nilai tukar rill, di semua negara tujuan utama
ekspor, nilai tukar riil Indonesia cenderung menurun. Jarak ekonomi ke
Australia, Cina, dan Jerman cenderung meningkat, sedangkan jarak ekonomi
ke Amerika dan Belanda cenderung menurun.
4. Hasil analisis dayasaing produk kakao olahan Indonesia di negara-negara
tujuan ekspor dengan metode RCA menunjukan bahwa kakao dengan kode
HS 1804 yaitu mentega, lemak dan minyak kakao secara umum memiliki
daya saing yang terbaik dan tertinggi di negara tujuan utama ekspor kecuali di
Cina. Di China, produk kakao olahan Indonesia yang berdayasaing hanya
kakao olahan dalam bentuk bubuk (HS 1805) dan nilai dayasaingnya tertinggi
diibandingkan di negara tujuan ekspor lainnya. Sementara, di Jerman, produk
kakao olahan Indonesia yang berdayasaing tinggi adalah kakao olahan dalam
bentuk pasta (HS 1803) dan nilai dayasaingnya relatif lebih tinggi
diibandingkan di negara tujuan ekspor lainnya. Nilai daya saing untuk semua
jenis kakao olahan dalam lima tahun terakhir berfluktuasi.
61
5. Dengan pendekatan Gravity Model diketahui bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi aliran ekspor kakao olahan Indonesia ke negara tujuan ekspor
berbeda-beda pada masing-masing komoditas kakao olahan. Namun secara
umum dapat dilihat bahwa, terdapat empat faktor yang memengaruhi secara
signifikan aliran ekspor semua jenis kakao olahan (HS 1803, HS 1804 dan HS
1805) yaitu populasi penduduk Indonesia, harga ekspor kakao olahan
Indonesia di negara tujuan ekspor, nilai tukar riil Indonesia dan dummy bea
keluar atas biji kakao Indonesia. Variabel populasi penduduk indonesia, harga
ekspor kakao olahan Indonesia di negara tujuan dan nilai tukar riil Indonesia
berpengaruh secara negatif terhadap aliran ekspor kakao olahan indonesia
kecuali populasi penduduk indonesia untuk ekspor bubuk kakao (HS 1805);
sedangkan bea keluar berpengaruh positif yang artinya pemberlakuan
kebijakan pengenaan bea keluar pada komoditas biji kakao telah memberikan
pengaruh positif terhadap ekspor kakao olahan Indonesia. Variabel lainnya
yang ada dalam model (GDP riil per kapita Indonesia dan negara tujuan
ekspor, populasi negara tujuan ekspor dan jarak ekonomi) berpengaruh
signikan terhadap aliran ekspor kakao olahan jenis mentega, lemak, dan
minyak kakao Indonesia (HS 1804) dengan arah yang negatif kecuali untuk
GDP riil per kapita Indonesia berpengaruh positif. Keempat variabel tersebut
juga berpengaruh siginifikan terhadap aliran ekspor kakao olahan dalam
bentuk pasta (HS 1803) dan bubuk kako (HS 1805), kecuali populasi
penduduk negara tujuan ekspor untuk HS 1803 dan kecuali jarak ekonomi
untuk HS 1805.
Saran
1. Berdasarkan hasil perhitungan RCA, prioritas ekspor kakao olahan Indonesia
adalah mentega, lemak, dan minyak kakao (HS 1804) dengan prioritas negara
tujuan adalah Amerika, Australia dan Belanda. Produk kakao olahan lainnya
yaitu bubuk kakao (HS 1805) khususnya ke China dan pasta (HS 1803)
khususnya ke Jerman juga harus didiorong ekspornya. Untuk menjaga dan
meningkatkan dayasaing Indonesia melalui pihak terkait untuk tetap
mempertahan kebijakan bea keluar pada komoditi biji kakao. Selain itu,
pemerintah Indonesia diharapkan mampu menyelesaikan sikap diskriminatif
uni eropa dan negara mitra dagang lainnya atas kebijakan bea masuk pada
produk kakao olahan Indonesia.
2. Adanya pengenaan bea masuk atas kakao olahan Indonesia di beberapa negara
mitra dagang dikarenakan mutu produksi kakao Indonesia dinilai rendah. Oleh
karena itu diperlukan revitalisasi dan investasi di sektor industri kakao
Indonesia agar mampu meningkatkan produksi sekaligus mutu kakao yang
baik.
3. Faktor GDP negara tujuan utama (importir) merupakan faktor eksternal
terhadap aliran perdagangan ekspor kakao olahan Indonesia. Dari hasil
estimasi data panel menunjukkan bahwa GDP negara pengimpor berpengaruh
negatif atau bahkan tidak berpengaruh untuk bubuk kakao terhadap aliran
ekspor kakao olahan Indonesia. Jika terjadi peningkatan GDP pada negara
tujuan utama, maka aliran ekspor kakao olahan Indonesia akan menurun pada
62
negara tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperhatikan kondisi
perkonomian negara tujuan utama agar tetap dapat mengendalikan ekspor
kakao olahan Indonesia.
4. Indonesia diharapkan mampu terus meningkatkan GDP setiap tahun. Dengan
GDP yang semakin tinggi, maka kemampuan untuk menghasilkan suatu
barang khususnya kakao olahan juga akan semakin tinggi, sehingga Indonesia
mampu menigkatkan ekspor kakao olahannya.
5. Pemerintah harus menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Dengan nilai tukar
yang stabil, maka harga ekspor kakao olahan Indonesia tetap stabil. Sehingga
tidak akan merugikan para petani maupun pengusaha kakao olahan Indonesia.
Selain itu, dengan nilai tukar yang stabil akan menjaga permintaan kakao
olahan dari luar negeri tetap tinggi.
6. Indonesia diharapkan dapat meningkatkan infrastruktur dan teknologi
khususnya untuk keperluan distribusi barang dan jasa agar kendala jarak dapat
teratasi. Sehingga pada akhirnya akan tercapai efisiensi dalam perdagangan
Internasional.
63
DAFTAR PUSTAKA
Andelesia, Nurul. 2011. Analisis Dayasaing dan Aliran Ekspor Produk Crude
Coconut Oil (CCO) Indonesia. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (ID)
Badan Pusat Statistik 2013. Tabel Pendapatan domestik bruto atas harga konstan
2000 menurut lapangan usaha. www.bps.go.id [Februari-April 2013].
Batra dan Khan Z. 2005. Revealed Comparative Advantages: An Analysis for
India and China. Jurnal Indian Council For Research On international
Economics Relations (ICRIER) 2005 (Agustus): 5-6 (IND)
Centre d`Etudes Prospectives et d`Informartions Internationales.
http://www.cepii.fr/welcome_en.asp [Februari-April 2013].
Dornbusch R, Fischer S, dan Start R. 2008. Makroekonomi. Mirazudin RI,
penerjemah. Wibisono Y, editor. Tangerang (ID): Penerbit PT Media Global
Edukasi. Terjemahan dari : MacroEconomics. Ed ke-10
Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian.
http://ditjenbun.deptan.go.id/ [Februari-April 2013].
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Statistik Perkebunan Indonesia. Jakarta
(ID): Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian.
Eita, J.H. dan Jordaan A.C. 2007. South Africa Exports of Metal and Articles of
Base Metal: A Grivity Model Approach. Journal for Studies in Economics
and Econometrics 31 (3): 81-96
Firdaus M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Jakarta (ID): PT.
Bumi Aksara
Food And Agriculture Organization Of The United Nations. http://faostat.fao.org/
[Februari-April 2013].
Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometric. Fouth Edition. New York : McGraw Hill
Companies, Inc
Juanda B. 2009. Metodelogi Penelitian: Ekonomi dan Bisnis. Bogor (ID): IPB Pr.
Junaidi M. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor
The Indonesia. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor. (ID)
Karomah ABM. 2011. Analisis Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Aliran Ekspor Nenas Indonesia di Pasar Internasional. [Skripsi]. Bogor :
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (ID)
Kementerian Keuangan. 2012. Kajian Perkembangan Perekonomian Kakao
Nasional Pasca Pengenaan Bea Keluar Biji Kakao (Juni):1-8 (ID)
Kien N.T dan Hashimoto. 2005. Economic Analysis of ASEAN Free Trade Area
by a Country Panel Data. Discussion Paper 05-12. Osaka University, Osaka.
[JPN]
Khairunnisa S. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan
Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia di Amerika Serikat.
[Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor. (ID)
Kustaman PH. 2005. Analisis Serat Serabut Kelapa. [Skripsi]. Bogor : Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (ID)
Li, Song, dan Zhau. 2008. Component Trade and China’s Global Economics
Integration [Paper]. United Kingdom: United Nations University.
64
Lipsey RG dan Steiner PO. 1975. Economics. Fourth Edition. New York: Harper
and Row, Publisher, Inc.(US)
Mankiw G. 2009. Makroekonomi. Liza F dan Nurmawan I, penerjemah; Wardani
W, Barnadi D, Saat S, editor. Jakart (ID): Erlangga. Terjemahan dari:
Macroeconomics. Ed ke-6
Ningrum AWP. 2006. Analisis Permintaan Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia.
[Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor. (ID)
Nurahmat D. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor
CPO Indonesia ke India. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (ID)
Oktaviani R dan Novianti T. 2009. Teori Perdagangan dan Aplikasinya di
Indonesia Bagian I. Bogor (ID): Departemen Ilmu Ekonomi, Institut
Pertanian Bogor.
Rahmanu, Riza. 2009. Analisi Day Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan
Kakao Indonesia. [Skripsi] Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Salvatore, D. 1996. Ekonomi Internasional. Munandar H, penerjemah; Sumiharti
Y, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari : International
Economics. Ed ke-5.
Sitanggang VE.2009. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruh Permintaan
Ekspor Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam
skema Cept-AFTA. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor. (ID)
Sukirno, S. 1985. Teori Pengantar Makroekonomi. Jakarta.(ID) : FEUI dan Bima
Grafika.
Sukirno, S. 1985. Teori Pengantar Mikroekonomi. Jakarta.(ID) : FEUI dan Bima
Grafika.
Tilova R. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Batu Bara
Indonesia di Empat Negara Tujuan Ekspor Terbesar. [Skripsi]. Bogor :
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (ID)
United Nations Commodity Trade Statistics Database. www.un.COMTRADE.org
[Juli-Septemberl 2013].
United Nation Commodity Trade Statistics. 2013. UNCOMTRADE Database.
[UNCOMTRADE Online]. http://COMTRADE.un.org [Februari-Mei 2013].
Wahyudi T, Pangabean TR, dan Pujiyanto. 2008. Panduan Lengkap Kakao :
Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta. (ID) : Penerbar
Swadaya.
World Bank. http://www.worldbank.org/ [Juli-September 2013].
Yeboah, Osei-Agyeman, Shaik S, Wozniak S dan Allen A.J. 2007. Increased
Cocoa Bean Export under Trade Liberalization: A Gravity Model Approach.
Jurnal IDEAS Department of Economics, College of Liberal Arts and
Sciences.
65
Lampiran 1 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di
Amerika berdasarkan kode HS 4 digit dengan metode RCA
tahun 2005-2012
Kode
HS Tahun
Ekspor total
kakao olahan
Indonesia ke
negara j US$
(Xij)
Ekspor total
seluruh produk
Indonesia ke
negara j US$
(Xi)
Ekspor total
kakao olahan
dunia ke
negara j US$
(Wj)
Ekspor total seluruh
produk dunia ke
negara j US$ (Wj)
RCA
1803 2005 1152.1 12946648.5 100284.6 1732320798.0 1.537
1803 2006 1666.5 14342140.3 128993.6 1918997094.0 1.729
1803 2007 3596.2 15208274.9 115593.4 2017120776.0 4.126
1803 2008 1152.8 16712682.9 158871.3 2164834031.0 0.940
1803 2009 3401.5 13650990.8 182315.9 1601895815.0 2.189
1803 2010 4617.6 17392279.0 304720.9 1966496750.0 1.713
1803 2011 26378.6 19991946.6 360411.6 2262585634.0 8.283
1803 2012 82798.4 18839700.9 371091.4 2333805233.0 27.640
1804 2005 68186.5 12946648.5 402426.9 1732320798.0 22.672
1804 2006 61549.8 14342140.3 397004.0 1918997094.0 20.744
1804 2007 74196.2 15208274.9 395002.4 2017120776.0 24.913
1804 2008 137637.3 16712682.9 664929.6 2164834031.0 26.813
1804 2009 94531.1 13650990.8 540057.3 1601895815.0 20.540
1804 2010 114071.3 17392279.0 587706.1 1966496750.0 21.946
1804 2011 140863.3 19991946.6 453386.8 2262585634.0 35.162
1804 2012 77542.2 18839700.9 237160.9 2333805233.0 40.503
1805 2005 1789.8 12946648.5 196874.0 1732320798.0 1.216
1805 2006 3194.1 14342140.3 173965.4 1918997094.0 2.457
1805 2007 8221.1 15208274.9 183442.9 2017120776.0 5.944
1805 2008 2604.8 16712682.9 193671.5 2164834031.0 1.742
1805 2009 3179.3 13650990.8 233782.2 1601895815.0 1.596
1805 2010 6513.7 17392279.0 488559.4 1966496750.0 1.507
1805 2011 3726.5 19991946.6 526383.6 2262585634.0 0.801
1805 2012 2303.2 18839700.9 499373.2 2333805233.0 0.571
66
Lampiran 2 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di
Australia berdasarkan kode HS 4 digit dengan metode RCA
tahun 2005-2012
Kode
HS Tahun
Ekspor total
kakao olahan
Indonesia j
US$ (Xij)
Ekspor total
seluruh produk
Indonesia ke
negara j US$
(Xi)
Ekspor total
kakao olahan
dunia ke
negara j US$
(Wj)
Ekspor total seluruh
produk dunia ke
negara j US$ (Wj)
RCA
1803 2005 1291.0 2793227.6 20884.7 118503632.6 2.623
1803 2006 1422.2 3426463.0 27370.2 132107888.1 2.003
1803 2007 4267.3 4048152.1 46185.5 155034967.0 3.538
1803 2008 5069.4 4449404.0 53953.7 190860428.8 4.030
1803 2009 3459.9 3612151.4 64395.6 158279741.7 2.354
1803 2010 3152.1 4773269.0 72025.4 187867705.9 1.722
1803 2011 3757.5 6098803.5 87662.1 233511555.3 1.641
1803 2012 2612.4 6554598.7 62354.3 249482123.1 1.595
1804 2005 23623.0 2793227.6 77824.5 118503632.6 12.878
1804 2006 27593.7 3426463.0 73115.3 132107888.1 14.551
1804 2007 30890.1 4048152.1 72905.5 155034967.0 16.227
1804 2008 37044.1 4449404.0 91910.8 190860428.8 17.289
1804 2009 27020.4 3612151.4 84474.0 158279741.7 14.016
1804 2010 33822.8 4773269.0 93958.0 187867705.9 14.168
1804 2011 20421.0 6098803.5 70274.0 233511555.3 11.126
1804 2012 18350.6 6554598.7 49329.1 249482123.1 14.159
1805 2005 1376.0 2793227.6 19403.3 118503632.6 3.009
1805 2006 1147.4 3426463.0 15188.1 132107888.1 2.913
1805 2007 1336.8 4048152.1 15238.5 155034967.0 3.360
1805 2008 1285.4 4449404.0 18006.5 190860428.8 3.062
1805 2009 1890.0 3612151.4 23111.6 158279741.7 3.583
1805 2010 2964.3 4773269.0 38769.2 187867705.9 3.009
1805 2011 4007.8 6098803.5 67109.5 233511555.3 2.287
1805 2012 4823.7 6554598.7 66067.3 249482123.1 2.779
67
Lampiran 3 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di
Belanda berdasarkan kode HS 4 digit dengan metode RCA
tahun 2005-2012
Kode
HS Tahun
Ekspor total
kakao olahan
Indonesia j
US$ (Xij)
Ekspor total
seluruh produk
Indonesia ke
negara j US$
(Xi)
Ekspor total
kakao olahan
dunia ke
negara j US$
(Wj)
Ekspor total seluruh
produk dunia ke
negara j US$ (Wj)
RCA
1803 2005 3830.2 1863234.6 105158.5 310591343.9 6.072
1803 2006 192.2 2074568.2 104672.3 358509533.5 0.317
1803 2007 76.9 2343437.1 126764.8 421367715.8 0.109
1803 2008 116.4 3009098.6 174948.6 494936571.1 0.109
1803 2009 1858.0 2400954.9 164650.8 382190421.8 1.796
1803 2010 220.1 2498753.6 279343.5 439986633.0 0.139
1803 2011 356.7 3132320.2 404731.1 492837632.2 0.139
1803 2012 764.3 3647874.8 286431.4 501134302.5 0.367
1804 2005 16015.8 1863234.6 212633.0 310591343.9 12.556
1804 2006 31288.1 2074568.2 238530.9 358509533.5 22.668
1804 2007 28545.7 2343437.1 340070.0 421367715.8 15.093
1804 2008 50430.1 3009098.6 452603.6 494936571.1 18.327
1804 2009 19302.3 2400954.9 402204.7 382190421.8 7.639
1804 2010 3138.1 2498753.6 346955.1 439986633.0 1.593
1804 2011 8093.6 3132320.2 432855.2 492837632.2 2.942
1804 2012 5941.2 3647874.8 273604.8 501134302.5 2.983
1805 2005 355.5 1863234.6 72463.1 310591343.9 0.818
1805 2006 80.4 2074568.2 42103.6 358509533.5 0.330
1805 2007 31.6 2343437.1 39576.7 421367715.8 0.143
1805 2008 28.0 3009098.6 33440.8 494936571.1 0.138
1805 2009 248.3 2400954.9 58820.4 382190421.8 0.672
1805 2010 4556.7 2498753.6 123690.3 439986633.0 6.487
1805 2011 6331.4 3132320.2 215691.5 492837632.2 4.619
1805 2012 6764.9 3647874.8 156869.5 501134302.5 5.924
68
Lampiran 4 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di
Cina berdasarkan kode HS 4 digit dengan metode RCA tahun
2005-2012
Kode
HS Tahun
Ekspor total
kakao olahan
Indonesia j
US$ (Xij)
Ekspor total
seluruh produk
Indonesia ke
negara j US$
(Xi)
Ekspor total
kakao olahan
dunia ke
negara j US$
(Wj)
Ekspor total seluruh
produk dunia ke
negara j US$ (Wj)
RCA
1803 2005 1357.2 8436960.2 16862.3 604789857.4 5.770
1803 2006 1212.2 9605743.2 20276.6 718128033.7 4.469
1803 2007 383.6 12464206.9 20598.0 870342243.8 1.300
1803 2008 389.5 14322934.8 34657.9 1040100961.0 0.816
1803 2009 32.2 13663782.6 43950.3 919141231.8 0.049
1803 2010 2870.1 20795188.5 66998.8 1289133668.0 2.656
1803 2011 7549.4 31337083.9 100191.7 1620780483.0 3.897
1803 2012 3201.6 31935986.4 83938.7 1675269315.0 2.001
1804 2005 87.1 8436960.2 14741.2 604789857.4 0.424
1804 2006 82.8 9605743.2 19769.5 718128033.7 0.313
1804 2007 57.2 12464206.9 21024.2 870342243.8 0.190
1804 2008 10.1 14322934.8 33862.3 1040100961.0 0.022
1804 2009 20.0 13663782.6 26495.6 919141231.8 0.051
1804 2010 72.4 20795188.5 41498.6 1289133668.0 0.108
1804 2011 1205.3 31337083.9 41756.4 1620780483.0 1.493
1804 2012 1762.6 31935986.4 35355.6 1675269315.0 2.615
1805 2005 324.0 8436960.2 13742.7 604789857.4 1.690
1805 2006 552.6 9605743.2 12589.1 718128033.7 3.281
1805 2007 1684.4 12464206.9 16729.8 870342243.8 7.030
1805 2008 4320.6 14322934.8 23822.3 1040100961.0 13.171
1805 2009 7331.1 13663782.6 38085.0 919141231.8 12.949
1805 2010 16527.4 20795188.5 81552.1 1289133668.0 12.563
1805 2011 17215.3 31337083.9 111412.6 1620780483.0 7.992
1805 2012 27413.0 31935986.4 139360.7 1675269315.0 10.319
69
Lampiran 5 Hasil analisis dayasaing komoditas kakao olahan Indonesia di
Jerman berdasarkan Kode HS 4 digit dengan metode RCA
tahun 2005-2012
Kode
HS Tahun
Ekspor total
kakao olahan
Indonesia j
US$ (Xij)
Ekspor total
seluruh produk
Indonesia ke
negara j US$
(Xi)
Ekspor total
kakao olahan
dunia ke
negara j US$
(Wj)
Ekspor total seluruh
produk dunia ke
negara j US$ (Wj)
RCA
1803 2005 32.0 3028284.0 104985.0 779819058.0 0.078
1803 2006 112.0 3527820.0 102702.0 922213393.0 0.285
1803 2007 3868.0 4310869.0 138222.0 1059307813.0 6.876
1803 2008 9523.0 4596282.0 189661.0 1204209307.0 13.155
1803 2009 8905.0 3760277.0 259147.0 938363080.0 8.575
1803 2010 10891.7 4767312.0 436966.8 1066816752.0 5.578
1803 2011 46163.1 5899222.5 447430.7 1260297537.0 22.042
1803 2012 41425.9 5139491.4 430757.6 1173287645.0 21.954
1804 2005 2509.0 3028284.0 352538.0 779819058.0 1.833
1804 2006 2356.0 3527820.0 343890.0 922213393.0 1.791
1804 2007 3059.0 4310869.0 421220.0 1059307813.0 1.785
1804 2008 3039.0 4596282.0 548671.0 1204209307.0 1.451
1804 2009 1578.0 3760277.0 558637.0 938363080.0 0.705
1804 2010 3135.9 4767312.0 543807.6 1066816752.0 1.290
1804 2011 9406.4 5899222.5 491072.9 1260297537.0 4.092
1804 2012 36220.5 5139491.4 396860.4 1173287645.0 20.835
1805 2005 31.0 3028284.0 87529.0 779819058.0 0.091
1805 2006 238.0 3527820.0 70174.0 922213393.0 0.887
1805 2007 340.0 4310869.0 83928.0 1059307813.0 0.995
1805 2008 270.0 4596282.0 91504.0 1204209307.0 0.773
1805 2009 254.0 3760277.0 106634.0 938363080.0 0.594
1805 2010 210.7 4767312.0 164606.0 1066816752.0 0.286
1805 2011 217.3 5899222.5 241898.5 1260297537.0 0.192
1805 2012 5659.3 5139491.4 226466.2 1173287645.0 5.705
70
Lampiran 6 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan
Indonesia kode HS 1803 tahun 2005-2012 (dalam bentuk LN)
Tahun Negara VOL PCO GDP GDPI POP POPI ER DIST BK
2005 Amerika 14.40 -0.45 10.66 7.15 19.50 19.23 9.18 10.96 1
2006 Amerika 14.52 -0.19 10.67 7.19 19.51 19.24 9.03 10.97 1
2007 Amerika 15.36 -0.26 10.68 7.24 19.52 19.26 9.00 10.98 1
2008 Amerika 14.11 -0.16 10.67 7.28 19.53 19.27 9.00 11.01 1
2009 Amerika 14.06 0.98 10.63 7.31 19.54 19.29 9.02 11.01 1
2010 Amerika 14.17 1.18 10.65 7.36 19.55 19.30 8.85 11.02 0
2011 Amerika 15.72 1.36 10.66 7.41 19.56 19.31 8.79 11.02 0
2012 Amerika 16.80 1.43 10.67 7.46 19.56 19.32 8.84 11.02 0
2005 Australia 13.17 0.90 10.43 7.15 16.83 19.23 9.18 10.10 1
2006 Australia 13.28 0.88 10.45 7.19 16.85 19.24 9.03 10.12 1
2007 Australia 14.12 1.15 10.47 7.24 16.86 19.26 9.00 10.12 1
2008 Australia 13.96 1.48 10.49 7.28 16.88 19.27 9.00 10.11 1
2009 Australia 13.60 1.45 10.49 7.31 16.90 19.29 9.02 10.08 1
2010 Australia 13.30 1.66 10.50 7.36 16.91 19.30 8.85 10.09 0
2011 Australia 13.58 1.56 10.51 7.41 16.92 19.31 8.79 10.09 0
2012 Australia 13.51 1.26 10.53 7.46 16.94 19.32 8.84 10.08 0
2005 Belanda 14.60 0.56 7.46 7.15 20.99 19.23 9.18 13.03 1
2006 Belanda 13.21 -1.05 7.57 7.19 20.99 19.24 9.03 12.94 1
2007 Belanda 11.98 -0.73 7.70 7.24 21.00 19.26 9.00 12.84 1
2008 Belanda 12.68 -1.01 7.78 7.28 21.00 19.27 9.00 12.76 1
2009 Belanda 14.31 0.13 7.87 7.31 21.01 19.29 9.02 12.65 1
2010 Belanda 11.77 0.53 7.96 7.36 21.01 19.30 8.85 12.57 0
2011 Belanda 12.14 0.64 8.05 7.41 21.02 19.31 8.79 12.50 0
2012 Belanda 12.21 1.34 8.12 7.46 21.02 19.32 8.84 12.44 0
2005 Cina 14.83 -0.71 10.42 7.15 18.23 19.23 9.18 10.83 1
2006 Cina 14.72 -0.71 10.46 7.19 18.23 19.24 9.03 10.82 1
2007 Cina 13.56 -0.70 10.49 7.24 18.23 19.26 9.00 10.81 1
2008 Cina 13.30 -0.43 10.50 7.28 18.22 19.27 9.00 10.81 1
2009 Cina 10.65 -0.27 10.45 7.31 18.22 19.29 9.02 10.83 1
2010 Cina 13.51 1.36 10.50 7.36 18.22 19.30 8.85 10.80 0
2011 Cina 14.30 1.54 10.53 7.41 18.22 19.31 8.79 10.79 0
2012 Cina 13.74 1.24 10.53 7.46 18.22 19.32 8.84 10.79 0
2005 Jerman 10.62 -0.25 10.57 7.15 16.61 19.23 9.18 10.69 1
2006 Jerman 12.60 -0.97 10.61 7.19 16.61 19.24 9.03 10.68 1
2007 Jerman 14.16 1.01 10.64 7.24 16.61 19.26 9.00 10.67 1
2008 Jerman 14.78 1.29 10.66 7.28 16.62 19.27 9.00 10.67 1
2009 Jerman 14.79 1.21 10.61 7.31 16.62 19.29 9.02 10.68 1
2010 Jerman 14.81 1.39 10.63 7.36 16.63 19.30 8.85 10.69 0
2011 Jerman 16.29 1.36 10.63 7.41 16.63 19.31 8.79 10.70 0
2012 Jerman 16.29 1.25 10.62 7.46 16.63 19.32 8.84 10.72 0
71
Lampiran 7 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan
Indonesia Kode HS 1804 tahun 2005-2012 (dalam bentuk LN)
Tahun Negara VOL PCO GDP GDPI POP POPI ER DIST Bea
2005 Amerika 16.62 1.42 10.66 7.15 19.50 19.23 9.18 10.96 1
2006 Amerika 16.55 1.38 10.67 7.19 19.51 19.24 9.03 10.97 1
2007 Amerika 16.59 1.54 10.68 7.24 19.52 19.26 9.00 10.98 1
2008 Amerika 16.85 1.89 10.67 7.28 19.53 19.27 9.00 11.01 1
2009 Amerika 16.44 1.93 10.63 7.31 19.54 19.29 9.02 11.01 1
2010 Amerika 16.87 1.69 10.65 7.36 19.55 19.30 8.85 11.02 0
2011 Amerika 17.20 1.56 10.66 7.41 19.56 19.31 8.79 11.02 0
2012 Amerika 17.06 1.11 10.67 7.46 19.56 19.32 8.84 11.02 0
2005 Australia 15.54 1.44 10.43 7.15 16.83 19.23 9.18 10.10 1
2006 Australia 15.71 1.42 10.45 7.19 16.85 19.24 9.03 10.12 1
2007 Australia 15.69 1.56 10.47 7.24 16.86 19.26 9.00 10.12 1
2008 Australia 15.63 1.80 10.49 7.28 16.88 19.27 9.00 10.11 1
2009 Australia 15.21 1.91 10.49 7.31 16.90 19.29 9.02 10.08 1
2010 Australia 15.43 1.91 10.50 7.36 16.91 19.30 8.85 10.09 0
2011 Australia 15.35 1.49 10.51 7.41 16.92 19.31 8.79 10.09 0
2012 Australia 15.65 1.07 10.53 7.46 16.94 19.32 8.84 10.08 0
2005 Belanda 15.17 1.41 7.46 7.15 20.99 19.23 9.18 13.03 1
2006 Belanda 15.90 1.36 7.57 7.19 20.99 19.24 9.03 12.94 1
2007 Belanda 15.60 1.57 7.70 7.24 21.00 19.26 9.00 12.84 1
2008 Belanda 15.81 1.93 7.78 7.28 21.00 19.27 9.00 12.76 1
2009 Belanda 14.86 1.91 7.87 7.31 21.01 19.29 9.02 12.65 1
2010 Belanda 13.36 1.60 7.96 7.36 21.01 19.30 8.85 12.57 0
2011 Belanda 14.42 1.49 8.05 7.41 21.02 19.31 8.79 12.50 0
2012 Belanda 14.40 1.20 8.12 7.46 21.02 19.32 8.84 12.44 0
2005 Cina 9.92 1.45 10.42 7.15 18.23 19.23 9.18 10.83 1
2006 Cina 9.74 1.59 10.46 7.19 18.23 19.24 9.03 10.82 1
2007 Cina 9.31 1.65 10.49 7.24 18.23 19.26 9.00 10.81 1
2008 Cina 7.13 2.09 10.50 7.28 18.22 19.27 9.00 10.81 1
2009 Cina 8.16 1.74 10.45 7.31 18.22 19.29 9.02 10.83 1
2010 Cina 9.47 1.72 10.50 7.36 18.22 19.30 8.85 10.80 0
2011 Cina 12.56 1.44 10.53 7.41 18.22 19.31 8.79 10.79 0
2012 Cina 13.24 1.14 10.53 7.46 18.22 19.32 8.84 10.79 0
2005 Jerman 13.31 1.42 10.57 7.15 16.61 19.23 9.18 10.69 1
2006 Jerman 13.27 1.40 10.61 7.19 16.61 19.24 9.03 10.68 1
2007 Jerman 13.27 1.66 10.64 7.24 16.61 19.26 9.00 10.67 1
2008 Jerman 13.17 1.76 10.66 7.28 16.62 19.27 9.00 10.67 1
2009 Jerman 12.52 1.75 10.61 7.31 16.62 19.29 9.02 10.68 1
2010 Jerman 13.37 1.59 10.63 7.36 16.63 19.30 8.85 10.69 0
2011 Jerman 14.52 1.54 10.63 7.41 16.63 19.31 8.79 10.70 0
2012 Jerman 16.24 1.16 10.62 7.46 16.63 19.32 8.84 10.72 0
72
Lampiran 8 Variabel-variabel dalam model aliran ekspor kakao olahan
Indonesia Kode HS 1805 tahun 2005-2012 (dalam Bentuk LN)
Tahun Negara VOL PCO GDP GDPI POP POPI ER DIST Bea
2005 Amerika 14.08 0.31 10.66 7.15 19.50 19.23 9.18 10.96 1
2006 Amerika 14.70 0.28 10.67 7.19 19.51 19.24 9.03 10.97 1
2007 Amerika 15.31 0.61 10.68 7.24 19.52 19.26 9.00 10.98 1
2008 Amerika 14.48 0.29 10.67 7.28 19.53 19.27 9.00 11.01 1
2009 Amerika 14.11 0.87 10.63 7.31 19.54 19.29 9.02 11.01 1
2010 Amerika 14.33 1.36 10.65 7.36 19.55 19.30 8.85 11.02 0
2011 Amerika 13.61 1.52 10.66 7.41 19.56 19.31 8.79 11.02 0
2012 Amerika 12.99 1.66 10.67 7.46 19.56 19.32 8.84 11.02 0
2005 Australia 13.85 0.29 10.43 7.15 16.83 19.23 9.18 10.10 1
2006 Australia 14.27 -0.32 10.45 7.19 16.85 19.24 9.03 10.12 1
2007 Australia 14.29 -0.18 10.47 7.24 16.86 19.26 9.00 10.12 1
2008 Australia 14.15 -0.08 10.49 7.28 16.88 19.27 9.00 10.11 1
2009 Australia 13.80 0.65 10.49 7.31 16.90 19.29 9.02 10.08 1
2010 Australia 13.94 0.96 10.50 7.36 16.91 19.30 8.85 10.09 0
2011 Australia 13.74 1.47 10.51 7.41 16.92 19.31 8.79 10.09 0
2012 Australia 13.89 1.50 10.53 7.46 16.94 19.32 8.84 10.08 0
2005 Belanda 12.83 -0.05 7.46 7.15 20.99 19.23 9.18 13.03 1
2006 Belanda 12.44 -1.15 7.57 7.19 20.99 19.24 9.03 12.94 1
2007 Belanda 13.41 -3.06 7.70 7.24 21.00 19.26 9.00 12.84 1
2008 Belanda 11.08 -0.84 7.78 7.28 21.00 19.27 9.00 12.76 1
2009 Belanda 11.89 0.53 7.87 7.31 21.01 19.29 9.02 12.65 1
2010 Belanda 14.16 1.17 7.96 7.36 21.01 19.30 8.85 12.57 0
2011 Belanda 14.17 1.49 8.05 7.41 21.02 19.31 8.79 12.50 0
2012 Belanda 14.18 1.54 8.12 7.46 21.02 19.32 8.84 12.44 0
2005 Cina 12.79 -0.10 10.42 7.15 18.23 19.23 9.18 10.83 1
2006 Cina 13.67 -0.45 10.46 7.19 18.23 19.24 9.03 10.82 1
2007 Cina 14.71 -0.37 10.49 7.24 18.23 19.26 9.00 10.81 1
2008 Cina 15.45 -0.17 10.50 7.28 18.22 19.27 9.00 10.81 1
2009 Cina 15.21 0.59 10.45 7.31 18.22 19.29 9.02 10.83 1
2010 Cina 15.46 1.16 10.50 7.36 18.22 19.30 8.85 10.80 0
2011 Cina 15.31 1.36 10.53 7.41 18.22 19.31 8.79 10.79 0
2012 Cina 15.67 1.45 10.53 7.46 18.22 19.32 8.84 10.79 0
2005 Jerman 10.03 0.31 10.57 7.15 16.61 19.23 9.18 10.69 1
2006 Jerman 13.06 -0.68 10.61 7.19 16.61 19.24 9.03 10.68 1
2007 Jerman 12.94 -0.20 10.64 7.24 16.61 19.26 9.00 10.67 1
2008 Jerman 12.66 -0.15 10.66 7.28 16.62 19.27 9.00 10.67 1
2009 Jerman 12.40 0.04 10.61 7.31 16.62 19.29 9.02 10.68 1
2010 Jerman 11.95 0.31 10.63 7.36 16.63 19.30 8.85 10.69 0
2011 Jerman 11.22 1.07 10.63 7.41 16.63 19.31 8.79 10.70 0
2012 Jerman 14.27 1.28 10.62 7.46 16.63 19.32 8.84 10.72 0
73
Lampiran 9 Uji Chow pada kakao dengan kode HS 1803 (Pasta Kakao)
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: EQ01
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 12.734254 (4,27) 0.0000
Lampiran 10 Uji Chow pada kakao dengan kode Kode HS 1804 (Mentega,
Lemak, dan Minyak Kakao)
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: EQ01
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 51.663258 (4,27) 0.0000
Lampiran 11 Uji Chow pada kakao dengan kode kode HS 1805 (Bubuk
Kakao)
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: EQ02
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 107.854079 (4,28) 0.0000
74
Lampiran 12 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran
ekspor pasta kakao (HS 1803) Indonesia ke negara tujuan
utama
Dependent Variable: VOL
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 06/23/14 Time: 19:34
Sample: 2005 2012
Periods included: 8
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 40
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4445.821 367.1927 12.10759 0.0000
GDP -17.09703 2.781029 -6.147734 0.0000
GDPI 76.55079 5.590603 13.69276 0.0000
POP 8.057878 9.027110 0.892631 0.3799
POPI -246.8711 21.82921 -11.30921 0.0000
PCO 0.878897 0.133578 6.579662 0.0000
ER -9.292165 0.989360 -9.392098 0.0000
DIST -11.52651 3.436281 -3.354357 0.0024
BK 1.966831 0.196699 9.999185 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.940256 Mean dependent var 74.95227
Adjusted R-squared 0.913703 S.D. dependent var 100.7696
S.E. of regression 1.183812 Sum squared resid 37.83811
F-statistic 35.41071 Durbin-Watson stat 2.057653
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.525575 Mean dependent var 13.83797
Sum squared resid 34.23825 Durbin-Watson stat 1.079459
75
Lampiran 13 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran
ekspor mentega, lemak, dan minyak (HS 1804) Indonesia ke
negara tujuan utama
Dependent Variable: VOL
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 06/20/14 Time: 06:53
Sample: 2005 2012
Periods included: 8
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 40
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 5556.553 145.1328 38.28599 0.0000
GDP -27.51553 1.071158 -25.68766 0.0000
GDPI 93.62593 2.618221 35.75937 0.0000
POP -14.63126 5.591459 -2.616716 0.0144
POPI -277.2235 9.353715 -29.63780 0.0000
PCO -0.501585 0.067543 -7.426174 0.0000
ER -8.691834 0.210896 -41.21378 0.0000
DIST -23.32904 1.444653 -16.14854 0.0000
BK 1.300237 0.025231 51.53252 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.986789 Mean dependent var 111.6252
Adjusted R-squared 0.980918 S.D. dependent var 129.0238
S.E. of regression 1.037215 Sum squared resid 29.04700
F-statistic 168.0641 Durbin-Watson stat 1.956063
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.917319 Mean dependent var 14.17746
Sum squared resid 21.76215 Durbin-Watson stat 0.956681
76
Lampiran 14 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi aliran
ekspor bubuk kakao (HS 1805) Indonesia ke negara tujuan
utama
Dependent Variable: VOL
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 06/23/14 Time: 19:35
Sample: 2005 2012
Periods included: 8
Cross-sections included: 5
Total panel (balanced) observations: 40
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
WARNING: estimated coefficient covariance matrix is of reduced rank
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 306.8483 108.9891 2.815404 0.0088
GDP 1.240711 3.259834 0.380606 0.7064
POP -27.77074 2.687796 -10.33216 0.0000
POPI 13.44352 5.586459 2.406448 0.0230
PCO -0.146592 0.050082 -2.927060 0.0067
ER -3.935970 1.211541 -3.248731 0.0030
DIST -1.554584 3.008721 -0.516692 0.6094
BK 0.391602 0.133801 2.926742 0.0067
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.957559 Mean dependent var 19.74842
Adjusted R-squared 0.940885 S.D. dependent var 34.90984
S.E. of regression 1.098067 Sum squared resid 33.76102
F-statistic 57.43036 Durbin-Watson stat 1.789451
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.660815 Mean dependent var 13.66240
Sum squared resid 21.40283 Durbin-Watson stat 1.643952
77
Lampiran 15 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi
aliran ekspor pasta kakao (HS 1803) Indonesia ke negara
tujuan utama
Lampiran 16 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi
aliran ekspor mentega, lemak, dan minyak (HS 1804)
Indonesia ke negara tujuan utama
Lampiran 17 Uji Normalitas pada model faktor-faktor yang memengaruhi
aliran ekspor bubuk kakao (HS 1805) Indonesia ke negara
tujuan utama
0
1
2
3
4
5
6
-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
Series: Standardized Residuals
Sample 2005 2012
Observations 40
Mean -1.48e-15
Median -0.082569
Maximum 1.680815
Minimum -1.696500
Std. Dev. 0.984991
Skewness -0.019887
Kurtosis 1.823304
Jarque-Bera 2.310327
Probability 0.315006
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
Series: Standardized Residuals
Sample 2005 2012
Observations 40
Mean 7.66e-16
Median 0.075324
Maximum 1.363544
Minimum -2.176301
Std. Dev. 0.863015
Skewness -0.762383
Kurtosis 3.054454
Jarque-Bera 3.879797
Probability 0.143719
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
-2 -1 0 1
Series: Standardized Residuals
Sample 2005 2012
Observations 40
Mean -2.56e-15
Median 0.141049
Maximum 1.621960
Minimum -2.045597
Std. Dev. 0.930412
Skewness -0.572820
Kurtosis 2.773091
Jarque-Bera 2.273299
Probability 0.320892
78
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 1990. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Firdaus dan
Ibu Syamsiah. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 47 Jakarta dan pada
tahun yang sama penulis lulus masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi yaitu
organisasi kepecintalaman KAREMATA FEM IPB sebagai anggota muda pada
tahun 2010 dan ketua divisi pelatihan dan pengembangan tahun 2011. Pada tahun
2009-2011 penulis juga aktif dalam himpunan mahasiswa HIPOTESA sebagai
staff divisi DISTRO. Selain itu penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan
diantanranya Masa Perkenalan Departemen Ilmu Ekonomi (MPDIE), HIPOTEX-
R 2010, Susur Pantai 2010 KEREMATA, dan lainnya.